Beranda blog Halaman 241

Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 25 (2)

0
Tafsir Surah Al-Hajj
Tafsir Surah Al-Hajj

Melanjutkan tafsir sebelumnya, Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 25 (2) diawali dengan penjelasan tentang perbedaan pendapat dikalangan ulama terkait boleh dan tidaknya ‘kepemilikan’ wilayah disekitar Masjidil Haram, kemudian berlanjut pada penjelasan terkait keistimewaan dari Masjidil Haram itu sendiri, berikut uraiannya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 25 (1)


Ayat 25 (2)

  1. Menurut suatu riwayat, pada permulaan Islam, Masjidil Haram tidak mempunyai pintu-pintu masuk, sehingga sampai pada suatu masa, banyak pencuri berdatangan, lalu seorang laki-laki membuat pintu-pintu, tetapi Umar melarangnya dan berkata, “Apakah kamu menutup pintu-pintu orang-orang berhaji ke Baitullah? Laki-laki itu menjawab, Aku membuat pintu-pintu untuk memelihara barang-barang pengunjung dari pencuri.” Karena itu Umar ra membiarkannya.

Imam Syafi`i berpendapat bahwa tanah sekitar Masjidil Haram itu boleh dimiliki dan diperjual-belikan, asal tidak menghalangi kaum Muslimin beribadah di sana.

عَنْ اُمَامَةَ بْنِ زَيْدٍ قَالَ قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ أَأُنْـزِلَ غَدًا فِى دَارِكَ بِمَكَّةَ؟ فَقَالَ فَهَلْ تَرَكَ لَنَا عَقِيْلٌ مِنْ رِبَاعٍ. (رواه الشيخان)

Dari Umamah bin Zaid, dia berkata, “Wahai Rasulullah bolehkah aku besok berkunjung ke rumahmu di Mekah? Rasulullah menjawab, “Apakah keluarga Aqil meninggalkan rumah? (Riwayat asy-Syaikhān)

Perbedaan pendapat ini berpangkal pada persoalan; Apakah Nabi Muhammad dan para sahabat pada saat penaklukan kota Mekah (fathu Makkah) dengan cara kekerasan atau dengan cara damai?

Jika direbut dari tangan orang-orang musyrik dengan kekerasan, tentulah tanah sekitar Masjidil Haram itu merupakan harta rampasan bagi kaum Muslimin yang harus dibagi-bagi sesuai dengan ketentuan agama. Tetapi Rasulullah tidak membagi-baginya, sehingga tetaplah tanah itu merupakan milik bagi kaum Muslimin sampai saat ini.

Hal seperti ini pernah pula dilakukan oleh Sayidina `Umar pada suatu daerah yang telah direbutnya dari orang-orang kafir. Pendapat kedua menyatakan bahwa tanah Mekah itu direbut Nabi Muhammad saw dengan cara damai, karena itu ia bukan merupakan barang rampasan, dan tetap menjadi milik empunya waktu itu. Kemudian diwariskan atau dijual oleh pemiliknya yang dahulu, sehingga menjadi milik dari pembeli pada saat ini.

Sekalipun ada perbedaan pendapat yang demikian, namun para ulama sependapat bahwa Masjidil Haram merupakan tempat beribadah bagi seluruh kaum Muslimin yang datang dari seluruh penjuru dunia. Mereka boleh datang kapan saja mereka kehendaki, tanpa seorang pun yang boleh mengganggu dan menghalanginya.

Jika berlawanan kepentingan pribadi atau golongan dengan kepentingan agama Islam, maka kepentingan agama Islam yang harus diutamakan dan diprioritaskan. Tentu saja kaum Muslimin yang telah bermukim dan menjadi penduduk Mekah itu berhak dan boleh mencari nafkah dari hasil usaha mereka melayani dan mengurus jama`ah haji yang datang dari segenap penjuru dunia.

Sekalipun demikian, usaha mengurus dan melayani jama`ah haji itu, tidak boleh dikomersilkan, tetapi semata-mata dilakukan untuk mencari pahala yang besar.


Baca Juga : Tafsir Ahkam: Bolehkah Non-Muslim Masuk ke Masjidil Haram?


Masjidil Haram sebagai tempat yang suci dan kiblat umat Islam, memiliki keistimewaan dan kelebihan-kelebihan, di antaranya adalah:

  1. Di tempat tersebut orang yang baru berencana saja untuk berbuat maksiat/makar, maka Allah akan mengazabnya. Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Umar, ad-adhahak dan Ibnu Zaid, menyatakan bahwa bila seseorang sedang berada di Masjidil Haram, kemudian dia berencana untuk membunuh seseorang yang tinggal di Aden, maka Allah akan mengazabnya.
  2. Ibadah yang dilakukan di Masjidil Haram mempunyai nilai tambah dibandingkan dengan ibadah di tempat-tempat lain, bahkan satu kali salat di Masjidil Haram nilainya sama dengan seratus ribu kali salat di luar Masjidil Haram. Rusulullah bersabda:

عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قاَلَ: صَلاَةٌ فِى مَسْجِدِي أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيْمَا سِوَاهُ اِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ وَصَلاَةٌ فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ اَلْفِ صَلاَةِ فِيْمَا سِوَاهُ. (رواه أحمد بسند صحيح)

Dari Jabir bahwa Rasulullah berkata, “Salat di masjidku (Masjid Nabawi) lebih utama seribu kali dibandingkan dengan salat di luar masjidku, kecuali di Masjidil Haram. Dan salat di Masjidil Haram lebih utama seratus ribu kali dibandingkan salat di luar Masjidil Haram. (Riwayat Ahmad dengan sanad sahih)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 26


Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 25 (1)

0
Tafsir Surah Al-Hajj
Tafsir Surah Al-Hajj

Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 25 (1) menjelaskan tentang cikal bakal terjadinya perjanjian Hudaibiyah, yang bertujuan agar pihak Rasulullah dan sahabatnya dapat beribadah di Masjidil Haram. Ditegaskan pula bahwa Ka’bah dan Makkah adalah milik Allah, dan semua orang berhak untuk mengunjunginya, tidak ada yang boleh mneghalang-halangi rombongan yang hendak berziarah ke Ka’bah, termasuk penduduk yang menetap disekitanya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 19-24


Ayat 25 (1)

Menurut riwayat Ibnu `Abbas ra ayat ini sesungguhnya diturunkan berhubungan dengan Abi Sufyan bin Harb dan kawan-kawannya. Mereka itu menghalang-halangi Rasulullah saw dan para sahabat memasuki Masjidil Haram untuk melakukan ibadah umrah di tahun “perdamaian Hudaibiyah”.

Karena itu Rasulullah enggan untuk memerangi mereka karena Rasulullah berada dalam keadaan ihram. Kemudian terjadilah kesepakatan yang melahirkan perjanjian Hudaibiyah, yang di dalamnya tercantum bahwa Rasulullah tidak jadi umrah di tahun itu, akan tetapi ditangguhkan sampai tahun depan dan mereka tidak akan menghalangi Nabi dan sahabatnya masuk Masjidil Haram untuk mengerjakan ibadah, pada tahun yang akan datang.

Ayat ini menerangkan bahwa semua orang yang mengingkari keesaan dan kekuasaan Allah, mendustakan rasul dan meningkari agama yang dibawanya, menghalang-halangi manusia masuk agama Islam dan menegakkan kalimat Allah, menghalang-halangi kaum Muslimin masuk Masjidil Haram untuk beribadat, baik orang-orang penduduk Mekah asli maupun pendatang dari negeri lain dan menghalang-halangi orang beribadat di dalamnya, niscaya Allah akan menimpakan kepada mereka azab yang sangat pedih.

Dari ayat di atas dipahami bahwa Masjidil Haram yang terletak di sekitar Ka`bah adalah suatu tempat bagi kaum Muslimin untuk mengerjakan ibadah haji, umrah serta ibadah-ibadah yang lain, seperti tawaf, salat, i`tikaf, zikir, dan sebagainya, baik mereka yang berasal dari Mekah sendiri maupun yang berasal dari luar Mekah.

Dengan perkataan lain, bahwa semua kaum Muslimin berhak melakukan ibadah di tempat itu, darimana pun mereka datang. Allah mengancam dengan azab yang keras terhadap orang-orang yang mencegah dan menghalang-halanginya. Karena itu ada di antara para ulama yang mempersoalkan kedudukan tanah yang berada di sekitar Masjidil Haram itu, apakah tanah itu dapat dimiliki oleh perseorangan atau pemerintah, atau tanah itu merupakan hak seluruh kaum Muslimin.

Untuk pengaturannya sekarang diserahkan kepada Kerajaan Arab Saudi, karena Masjidil Haram terletak di negara ini, selama negara tersebut melaksanakan perintah-perintah Allah melayani orang-orang yang ingin beribadah di sana.

Menurut Imam Mujahid dan Malik, Masjidil Haram itu adalah milik kaum Muslimin seluruhnya, tidak seorang pun atau sesuatu negara pun yang boleh memilikinya.


Baca Juga : Tafsir Tabiin: Ragam Kekhasan Kajian Madrasah Tafsir Madinah


Pendapat ini juga diikuti oleh Imam Abu Hanifah, alasan mereka ialah perkataan baik “yang bermukim maupun yang berkunjung” berarti Masjidil Haram dijadikan bagi manusia, agar mereka menghormatinya, beribadah di sana baik bagi orang-orang Mekah maupun orang-orang yang berasal dari luar Mekah.

Karena itu tidak dapat dikatakan bahwa penduduk Mekah lebih berhak atas Masjidil Haram itu dari penduduk dari luar Mekah.

Alasan-alasan mereka yang lain ialah:

  1. Menurut riwayat, bahwa Umar, Ibnu `Abbas dan banyak sahabat berpendapat, “Para pengunjung Masjidil Haram boleh menempati rumah-rumah yang didapatinya kosong, belum berpenghuni di Mekah, dan orang-orang Mekah sendiri yang mempunyai rumah kosong itu, hendaklah mengizinkannya.”
  2. Hadis Nabi Muhammad saw:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ, قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَكَّةُ مُنَاحُ لاَتُبَاعُ رُبَاعُهَا وَتُؤَاجَرُ بُيُوْتُهَ . (رواه الدار قطنى)

Dari Abdullah bin Umar, ia berkata, “Rasulullah berkata, “Mekah itu pemberian, tidak boleh dijual hasilnya dan tidak boleh disewakan rumahnya. (Riwayat ad-Dāruquthni)

  1. Dan hadis Nabi saw lagi:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ الله ُعَنْهَا قَالَتْ, قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ اَلاَّ اَبْنِى لَكَ بِمِنىً بَيْتًا اَوْبِنَاءً يُظِلُّكَ مِنَ الشَّمْسِ, قَالَ لاَ, اِنَّمَا هُوَ مُنَاحٌ مَنْ سَبَقَ اِلَيْهِ. (رواه ابو داود)

Dari `Aisyah ra ia berkata, “Ya Rasulullah, bolehkah aku buatkan untukmu rumah di Mina atau rumah yang dapat melindungi engkau dari terik panas matahari? Beliau menjawab, “Tidak, sesungguhnya tanah itu adalah hadiah bagi orang yang lebih dahulu mendapatkannya.” (Riwayat Abu Dāud)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 25 (2)


Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 19-24

0
Tafsir Surah Al-Hajj
Tafsir Surah Al-Hajj

Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 19-24 menerangkan tentang beberapa golongan yang dianut oleh manusia, golongan tersebut dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu kafir dan mukmin. Kedua kelompok besar ini memiliki keyakinan dan asas yang berbeda, dan kelak ketika di Akhirat akan berbeda pula perlakuan terhadap keduanya, sebagaimana yang akan diterangkan berikut.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 18


Ayat 19-22

Ayat ini menerangkan bahwa enam golongan manusia tersebut di atas dapat dibagi kepada dua golongan saja, yaitu golongan kafir dan golongan mukmin. Yang termasuk golongan kafir ialah orang-orang Yahudi, orang-orang Shābi`in, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang yang mempersekutukan Allah.

Kelima golongan ini mempunyai asas-asas kepercayaan yang berbeda, golongan yang satu tidak mengakui bahkan mengingkari pokok-pokok kepercayaan golongan yang lain, sehingga antara mereka terjadi pertikaian pendapat yang kadang-kadang meningkat menjadi permusuhan.

Golongan kedua ialah golongan mukmin yaitu golongan yang taat kepada Allah. Antara golongan pertama dan golongan kedua sering terjadi perdebatan dan permusuhan, sebagaimana yang dilukiskan dan sabab nuzul ayat di atas.

Dalam ayat ini dan ayat berikutnya akan digambarkan bentuk-bentuk hukuman dan azab yang akan diterima oleh orang-orang kafir serta bentuk-bentuk nikmat yang akan diterima oleh orang-orang mukmin kelak.

Azab yang akan diterima oleh orang-orang kafir diterangkan Allah sebagai berikut:

  1. Orang-orang kafir itu akan dimasukkan ke dalam api neraka yang panas menyala-nyala, sehingga api itu meliputi seluruh badan mereka, seperti pakaian yang membungkus dan meliputi seluruh badan orang yang memakainya.

Pada ayat lain diterangkan pula keadaan orang-orang kafir di dalam neraka; mereka diliputi api neraka sampai meliputi seluruh badan mereka. Allah berfirman:

لَهُمْ مِّنْ جَهَنَّمَ مِهَادٌ وَّمِنْ فَوْقِهِمْ غَوَاشٍۗ وَكَذٰلِكَ نَجْزِى الظّٰلِمِيْنَ

Bagi mereka tikar tidur dari api neraka dan di atas mereka ada selimut (api neraka). Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang zalim. (al-A’rāf/7: 41)

Sebagian ulama berpendapat bahwa pakaian yang menutupi seluruh badan mereka itu, terbuat dari cairan aspal sangat panas, sebagaimana firman Allah:

سَرَابِيْلُهُمْ مِّنْ قَطِرَانٍ وَّتَغْشٰى وُجُوْهَهُمُ النَّارُۙ

Pakaian mereka dari cairan aspal, dan wajah mereka ditutup oleh api neraka. (Ibrahim/14: 50)

  1. Dituangkan ke atas kepala mereka air yang mendidih yang sangat panas. Hadis Nabi Muhammad saw menjelaskan pula hal ini.

عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ اَنَّهُ تَلا َهَذِهِ اْلاَيَةَ فَقَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ اِنَّ الْحَمِيْمَ لَيُصَبُّ عَلَى رُؤُوْسِهِمْ فَيَنْفُذُ مِنَ الْجُمْجُمَةِ حَتىَّ يَخْلُصَ اِلَى جَوْفِهِ فَيَسْلِتَ مَا فِى جَوْفِهِ حَتىَّ يَبْلُغَ قَدَمَيْهِ وَهُوَ الصَّهْرُ ثُمَّ يُعَادُ كَمَا كَانَ.( رواه الترمذي)

Dari Abi Hurairah, sesungguhnya dia membaca ayat ini, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw, bersabda, “Sesungguhnya air panas mendidih dituangkan ke atas kepala mereka (orang-orang kafir), lalu air panas itu menembus ubun-ubunnya sampai ke rongga perutnya, maka dihancurkannya apa yang berada dalam rongga perut itu, hingga sampailah air panas itu ke tumitnya dan dalam keadaan cair, kemudian (tubuh orang itu) kembali seperti semula. (Riwayat at-Tirmizi)

  1. Mereka dicambuk dengan cemeti-cemeti yang terbuat dari besi, hingga mengenai muka, kepala dan seluruh tubuhnya.

عَنْ أَبِى سَعِيْدِ الْخُدْرِيِّ عَنْ َرسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قاَلَ: لَوْ اَنَّ مِقْمَعًا مِنَ حَدِيْدٍ وُضِعَ فِى اْلاَرْضِ فَاجْتَمَعَ لَهُ الثَّقَلاَنِ مَا اَقَلُوْهُ مِنَ اْلاَرْضِ. (رواه أَحْمَدَ)

Dari Abi Sa’id al-Khudriy, dari Rasulullah bersabda, “Seandainya cambuk dan besi diletakkan di bumi kemudian berkumpul manusia dan jin, mereka tidak bisa mengangkatnya  dari bumi. (Riwayat Ahmad)

  1. Setiap mereka mencoba lari keluar dari neraka, mereka dihalau dan dicambuk dengan cemeti itu, seraya dikatakan kepada mereka, “Rasakanlah olehmu azab ini, sebagai balasan bagi keingkaran dan kedurhakaan.”

Inilah gambaran azab ukhrawi yang diterangkan Allah kepada manusia. Dengan keterangan itu manusia dapat membayangkan bagaimana hebat dan pedihnya azab yang diterima orang-orang kafir di hari Kiamat, sehingga gambaran itu merupakan kabar yang menakutkan baginya.

Hal ini sebagai salah satu cara Al-Qur’an meyakinkan manusia dan menyadarkannya dari keingkaran dan kedurhakaan yang telah diperbuatnya. Bagaimana hakekat yang sebenarnya dari azab ukhrawi itu, adalah termasuk pengetahuan yang gaib, hanya Allah sajalah yang Maha Mengetahui, mungkin sesuai dengan yang dilukiskan itu yang berupa azab jasmani atau mungkin pula berupa azab jasmani dan azab rohani.


Baca Juga : Kuffar dalam Al-Quran Tidak Selalu Bermakna Orang-Orang Kafir, Lalu…


Ayat 23-24

Pada ayat ini Allah menerangkan berbagai kenikmatan yang akan diterima oleh orang-orang yang beriman dan beramal saleh yang membersihkan diri dan hatinya serta selalu berusaha mendekatkan diri kepada Allah. Berbagai kenikmatan yang akan diterima ialah:

  1. Mereka akan dimasukkan ke dalam surga yang penuh kenikmatan, yang di bawahnya mengalir sungai-sungai.
  2. Mereka diberi perhiasan yang indah, seperti gelang-gelang dari emas, mahkota yang bertahtakan permata dan mutiara yang indah.
  3. Bagi mereka disediakan pakaian sutera yang indah.
  4. Mereka diberi petunjuk dan pelajaran, sehingga mereka mengucapkan perkataan yang sopan dan sedap didengar, mengerjakan perbuatan yang menyenangkan hati orang, dapat bergaul dengan baik dengan penduduk surga yang lain, hidup bersaudara, dan saling kasih mengasihi.

Sebagaimana keterangan Allah tentang azab di atas, maka gambaran kenikmatan dan kesenangan yang digambarkan pada ayat ini, sebagai pahala yang akan diterima orang-orang yang beriman dan beramal saleh di akhirat nanti adalah sama dengan kenikmatan dan kesenangan yang selalu diimpikan oleh manusia selama mereka hidup di dunia. Pada umumnya manusia waktu hidup di dunia menginginkan kekayaan yang berlimpah-ruah, mempunyai kedudukan yang terhormat dan kekuasaan yang tidak terbatas, mempunyai istri-istri yang cantik dan perkakas rumah tangga yang serba mewah.

Sekalipun Allah telah menjelaskan dalam ayat-ayat-Nya hal-hal yang demikian itu, namun masalah surga dan neraka itu termasuk hal yang gaib bagi manusia, hanya Allah sajalah yang mengetahui hakikat yang sebenarnya, tetapi kaum Muslimin wajib percaya bahwa surga dan neraka itu pasti ada. Gambaran yang diberikan Allah itu, merupakan sebagian dari kesenangan yang dijanjikan itu. Kesenangan yang sebenarnya lebih dari gambaran itu karena bagi manusia sendiri tidak ada sesuatu yang dapat dijadikan sebagai perbandingan. Yang jelas ialah bahwa orang-orang yang beriman akan mengalami kesenangan dan kenikmatan yang tiada taranya, belum pernah dirasakan selama hidup di dunia, semua menyenangkan hati, perasaan, pikiran, penglihatan, pendengaran dan sebagainya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 25 (1)


Cak Nun, Cak Fuad, dan Mushaf Al-Qur’an Tadabbur Maiyah Padhangmbulan

0
Cak Nun, Cak Fuad dan Maiyah Padhangmbulan
Cak Nun, Cak Fuad dan Maiyah Padhangmbulan

Satu bulan yang lalu, tepatnya 7 Juli 2021 Cak Nun bersama kakaknya Cak Fuad meluncurkan Mushaf Al-Qur’an Tadabbur Maiyah Padhangmbulan. Mushaf yang disertai narasi tadabbur setebal 860 halaman ini merupakan karya bersama Cak Nun dan Cak Fuad sebagai marja’ (rujukan) untuk para jamaah Maiyah.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Ketahuilah, Apa Makna Junub Di dalam Al-Qur’an

Dalam tulisan ini, kita akan membahas siapa sebenarnya Cak Nun dan Cak Fuad dan mengapa mereka menerbitkan Mushaf Al-Qur’an. Bagi penulis, terdapat dua keunikan yang membuat karya mushaf ini patut untuk dibahas. Pertama terkait nama besar Cak Nun, Cak Fuad dan pengajian Maiyah Padhangmbulan. Kedua terkait pemilihan term tadabbur yang cenderung berbeda dengan mushaf pada umumnya. Biasanya mushaf Al-Qur’an diiringi dengan terjemahan atau tafsir ringkas.

Baik, dua keunikan ini akan kita bahas satu per satu.

Cak Nun, Cak Fuad dan Maiyah Padhangmbulan

Cak Nun memiliki nama lengkap Muhammad Ainun Nadjib atau Emha Ainun Nadjib. Ia merupakan putra keempat  pasangan Kiai Muhammad Abdul Latief dan Chalimah. Cak Nun mulai pendidikan dasar di desa Menturo, desanya sendiri. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Pondok Modern Darussalam Gontor hingga tahun ketiga. Namun karena suatu hal, ia pindah ke SMP Muhammadiyah 4 dan melanjutkan ke SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta.

Di Yogyakarta (Malioboro) inilah Cak Nun memulai proses kreatifnya, tepatnya pada akhir tahun 1969 sampai 1975. Tahun tersebut sebenarnya tahun-tahun di mana Cak Nun masih SMA dan kuliah di Universitas Gadjah Mada. Namun, ia lebih memilih jalan kreatifnya di Malioboro dan meninggalkan kuliahnya. Dalam hal ini, Cak Nun bergabung dengan PSK (Persada Studi Klub) yang diasuh oleh sastrawan Umbu Landu Paranggi. Selama proses kreatif, aktivitas menulis Cak Nun semakin berkembang dan didaulat sebagai penyair garda depan yang dimiliki Yogyakarta.

Baca juga: Kembali kepada Al-Qur’an dengan Fitur Kontekstualis-Progresif Menurut Amin Abdullah

Singkat cerita, Cak Nun semakin aktif berkarya dengan berbagai media, baik dalam bentuk puisi, esai, cerpen, film, radio, seminar, ceramah, hingga televisi. Karya-karyanya pun menyuarakan isu-isu yang bergam dan di berbagai bidang, seperti sastra, filsafat, musik, pendidikan, tasawuf, hingga tafsir. Untuk bidang terakhir inilah, kolaborasi Cak Nun dengan kakaknya Cak Fuad diminati masyarakat luas, yang kemudian dikenal dengan Padhangmbulan.

Tokoh selanjutnya adalah Cak Fuad yang bernama lengkap Ahmad Fuad Effendy. Ia merupakan kakak tertua Cak Nun beserta 14 saudara lainnya. Cak Fuad merupakan salah satu tokoh didikan Pondok Modern Darussalam Gontor yang berperan penting di level internasional. Pada tahun 2013, Cak Fuad dipilih oleh King Abdullah bin Abdulaziz International Center for Arabic Language (KAICAL) sebagai member of the board of trustees (anggota Dewan Pengawas), yang bertugas menjaga bahasa Arab di seluruh dunia. Terpilihnya Cak Fuad sebagai anggota dewan pengawas tersebut menunjukkan kiprah dan kemampuan yang luar biasa di dunia akademik, khususnya di bidang bahasa Arab.

Selain dunia akademik, kiprahnya di tengah masyarakat juga diakui publik. Kemampuan bahasa Arabnya ia terapkan dalam berbagai pengajian. Salah satunya di Padhangmbulan. Dalam pengajian ini, Cak Fuad membeberkan tafsir Al-Qur’an tekstual yang disusul dengan keterangan Cak Nun secara kontekstual. Padhangmbulan ini merupakan forum terbuka sejak tahun 1992 di desa Menturo, Jombang yang mengaji  tafsir Al-Qur’an. Forum ini juga menjadi sarana ‘pulang kampung’ bagi Cak Nun dan bertemu kakaknya. Semenjak tahun 2000-an forum seperti ini semakin berkembang di berbagai kota yang kemudian  dikenal sebagai maiyah.

Baca juga: Idul Yatama dan Tuntunan Al-Quran dalam Memperlakukan Anak Yatim

Mushaf Tadabbur Maiyah Padhangmbulan

Sebelum membahas Mushaf Tadabbur Maiyah Padhangmbulan, di Indonesia begitu banyak mushaf yang dilampiri konten-konten menarik. Pada Jurnal Ulumuna, Eva Nugraha mencatat tren penerbitan mushaf semakin beragam. Salah satu catatannya, Eva Nugraha menyebutkan ragam konten yang ada dalam mushaf, mulai dari tafsir ringkas, asbabun nuzul, doa keseharian, kisah nabi, asmaul husna, hingga tajwid aplikatif.

Jika dilihat dari tren mushaf yang berkembang, mayoritas penerbit menambahkan konten tafsir ringkas dan asbabun nuzul. Sehingga Mushaf Al-Qur’an Tadabbur Maiyah Padhangmbulan merupakan inovasi yang paling unik di antara mushaf lainnya. Mengutip dari Caknun.com dan pengantar Mushaf Al-Qur’an Tadabbur Maiyah Padhangmbulan, kata tadabbur merupakan pemilihan yang dinilai sesuai dengan kebutuhan jamaah Maiyah.

“Kajian Al-Qur`an di Maiyah Padangmbulan diarahkan kepada tadabbur, karena dinilai sesuai dengan kebutuhan jamaah. Jamaah Maiyah Padangmbulan sangat heterogen, dan sebagian besar awam dalam ilmu-ilmu keagamaan. Oleh karena itu, yang diperlukan oleh jamaah bukanlah kajian ilmiah tapi kajian imaniah amaliah. Yang diperlukan bukan pemahaman Al-Qur`an secara meluas atau mendalam, tapi cukup memahami makna ayat secara umum kemudian melakukan perenungan, penghayatan, dan bagaimana mengamalkannya dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu, pilihan ayat-ayatnya pun disesuaikan dengan kebutuhan untuk pembangunan jiwa dan kehidupan.” (Ahmad Fuad Effendy/Cak Fuad, dalam Pengantar Mushaf Al-Qur’an dan Tadabbur Maiyah Padhangmbulan).

Demikian, uraian ringkas tentang Mushaf Al-Qur’an Tadabbur Maiyah Padhangmbulan yang dipelopori oleh Cak Nun dan Cak Fuad. Hadirnya mushaf ini merupakan bagian dari semaraknya mushaf-mushaf yang aplikatif dengan berbagai konten yang menyertainya.

Wallahu a’lam[]

Kuffar dalam Al-Quran Tidak Selalu Bermakna Orang-Orang Kafir, Lalu…

0
kuffar dalam Al-Quran tidak selalu bermakna orang-orang kafir
kuffar dalam Al-Quran tidak selalu bermakna orang-orang kafir

Beberapa masyarakat umum beranggapan bahwa term kafir selalu identik dengan non muslim dan merupakan lawan kata iman. Padahal, term ini memiliki arti yang sangat variatif, meski pada umumnya, term ini sering digunakan sebagai lawan kata dari iman.

Secara etimologi, kata kafir merupakan bentuk isim fa’il dari akar kata kufr, yang berarti menutup. Dalam al-Qur’an, term ini tidak selalu digunakan untuk menyebut orang-orang yang tidak beriman kepada Allah Swt. Term ini memiliki berbagai macam derivasi dalam al-Qur’an, diantaranya : pertama, kafur, yang secara bahasa berarti kelompok yang menutupi buah. Term ini muncul satu kali dalam al-Qur’an (Q.S. al-Insan : 5) yang diartikan sebagai nama suatu mata air di surga yang airnya putih, baunya sedap serta enak rasanya.

Kedua, kuffar (bentuk jamak dari kafir). Kuffar dalam Al-Quran ada di banyak tempat, salah satunya di QS. al-Hadid: 20. Ketiga, Kaffarah. Kata ini berarti denda penebus dosa atas kesalahan tertentu. Kata ini muncul 3 kali dalam al-Qur’an (Q.S. al- Ma>’idah : 45, 89, dan 95).

Ketiga, kaffarah. Kata ini dalam beberapa ayat dimaknai sebagai denda dalam bentuk sedekah atau puasa. Keempat, kaffarayukaffiru. Kata ini berarti menutupi, menghapuskan atau menghilangkan. Kata ini terulang sebanyak 14 kali dalam al-Qur’an. Semuanya berkaitan dengan penghapusan dosa.

Baca Juga: Memahami Kata Kafir dalam Al Quran

Kuffar dalam Al-Quran juga bermakna para petani

Dari keempat derivasi ini, penulis memfokuskan kajian dalam artikel ini pada derivasi yang kedua, yaitu Kata kuffar yang merupakan bentuk plural dari kata kafir. Salah satu penyebutan kata ini adalah dalam Q.S. al-Hadid [57] : 20. Berikut firman Allah Swt dalam ayat ini :

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَياةُ الدُّنْيا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكاثُرٌ فِي الْأَمْوالِ وَالْأَوْلادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ ‌أَعْجَبَ ‌الْكُفَّارَ نَباتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَراهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطاماً وَفِي الْآخِرَةِ عَذابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوانٌ وَمَا الْحَياةُ الدُّنْيا إِلَاّ مَتاعُ الْغُرُورِ

Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sendagurauan, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu.

Para mufasir berbeda pendapat mengenai khitab ayat ini. Sayyid Tantawi dalam kitab al-Tafsir al-Wasit (14/219) menyatakan bahwa khitab ayat ini hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang beriman. Sedangkan Wahbah Zuhayli dalam kitab al-Tafsir al-Munir (27/320) berpendapat bahwa khitab ayat ini tidak hanya bagi orang-orang yang beriman, namun mencakup juga seluruh umat manusia.

Para mufasir juga berbeda pendapat mengenai arti dari kata al-kuffar dalam ayat ini. Menurut Sayyid Tantawi dalam tafsirnya, kata ini berarti orang-orang yang mengingkari berbagai nikmat Allah, sehingga mereka menutup diri dari nikmat-nikmat tersebut. Sedangkan menurut riwayat yang bersumber dari ‘Abd Allah bin Mas’ud, kata ini berarti para petani yang menanam tanaman di sawah setelah turun hujan. Menurut penulis, arti ini lebih tepat dari pada arti sebelumnya berdasarkan konteks ayat ini dan pendapa mayoritas mufasir.

Baca Juga: Haruskah Selalu Bersikap Kasar dan Keras Terhadap Orang Kafir dan Munafik? Tafsir Surah At-Taubah Ayat 73

Para petani tersebut oleh al-Qur’an disebut dengan kuffar karena setelah melubangi tanah, mereka lalu meletakkan benih di lubang, kemudian menutup benih dalam lubang itu dengan tanah agar benih bisa tumbuh. Perilaku para petani yang menutup benih tersebut oleh al-Qur’an disebut dengan kuffar. Makna ini terambil dari arti kata kufr secara etimologi, yaitu menutup.

Jadi, yang dimaksud kuffar dalam Al-Quran pada ayat ini bukan orang-orang yang tidak beriman dan tidak mensyukuri nikmat Allah Swt. Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah (14/38), penggunaan kata kafir pada ayat ini – walaupun yang dimaksud adalah petani -, namun memberi kesan bahwa demikian itulah sikap orang-orang yang jauh, dari tuntunan agama, yakni sangat senang dan tergiur oleh hiasan dan gemerlapan duniawi.

 Ilustrasi Al-Quran tentang kemegahan dunia

Selain itu, karakter dan perilaku para petani dalam ayat ini dihubungkan oleh al-Qur’an dengan kehidupan dunia yang penuh kemegahan, namun kemegahan itu cepat sirna. Keadaan dunia yang demikian diungkapkan oleh al-Qur’an dengan gambaran konkret tentang para petani yang merasa sangat takjub dengan berbagai tanaman yang tumbuh karena siraman hujan. Tanaman tersebut terlihat hijau dan segar. Namun, tak lama kemudian tanaman-tanaman itu berubah menjadi kuning, kering lalu hancur dan sirna oleh terpaan angin. Mereka merasa takjub dengan sesuatu yang cepat musnah, seperti orang-orang yang terlena dengan kemegahan dunia.

Tanaman yang ditanam oleh para petani itu memiliki batas akhir, cepat berakhir dan batas akhirnya itu dekat. Kemudian, tanaman itu akan hancur. Begitulah seluruh rangkaian kehidupan berakhir dalam sosok dinamis seperti itu, yang berasal dari pemandangan yang biasa dilihat oleh manusia. Dunia berakhir dalam pemandangan kehancuran.

Ungkapan dalam ayat ini menurut Zuhayli dalam al-Tafsir al-Munir (27/321) sebagaimana dalam Q.S. Yunus [10]: 24

‌إِنَّما ‌مَثَلُ ‌الْحَياةِ ‌الدُّنْيا ‌كَماءٍ أَنْزَلْناهُ مِنَ السَّماءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَباتُ الْأَرْضِ مِمَّا يَأْكُلُ النَّاسُ وَالْأَنْعامُ حَتَّى إِذا أَخَذَتِ الْأَرْضُ زُخْرُفَها وَازَّيَّنَتْ وَظَنَّ أَهْلُها أَنَّهُمْ قادِرُونَ عَلَيْها أَتاها أَمْرُنا لَيْلاً أَوْ نَهاراً فَجَعَلْناها حَصِيداً كَأَنْ لَمْ تَغْنَ بِالْأَمْسِ كَذلِكَ نُفَصِّلُ الْآياتِ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, hanya seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah tanaman-tanaman bumi dengan subur (karena air itu), di antaranya ada yang dimakan manusia dan hewan ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan berhias, dan pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya (memetik hasilnya), datanglah kepadanya azab Kami pada waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanaman)nya seperti tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda (kekuasaan Kami) kepada orang yang berpikir.”

Baca Juga: Makna dan Urgensi Perumpamaan dalam Al-Quran

Pola perumpamaan dalam Q.S. al-Hadid (57) : 20 ini merupakan seni ilustrasi al-Qur’an yang mengungkapkan gagasan abstrak dengan menggunakan hal-hal konkret yang mampu ditangkap oleh panca indera manusia. Kemegahan dunia yang cepat sirna merupakan gagasan abstrak yang dijelaskan dengan perumpamaan yang konkret, yaitu tanaman yang cepat kering. Dengan demikian, manusia akan lebih mudah menangkap pesan-pesan ilahiyah dari al-Qur’an. Wallahu a’lam

Tafsir Ahkam: Ketahuilah, Apa Makna Junub Di dalam Al-Qur’an

0
Apa Makna Junub Di dalam Al-Qur’an
Apa Makna Junub Di dalam Al-Qur’an

Di dalam Islam, bersuci terbagi pada bersuci dari najis dan bersuci dari hadas. Hadas sendiri juga terbagi menjadi dua; yakni hadas kecil seperti yang disebabkan kentut, serta hadas seperti yang disebabkan berhubungan suami istri. Cara bersuci dari hadas kecil amatlah berbeda dengan hadas besar. Hadas kecil cukup dengan berwudhu, sedang hadas besar haruslah dengan mandi besar atau junub. Terkait hal tersebut, perlu kita mengetahui apa itu makna junub di dalam Al-Qur’an?

Baca juga: Idul Yatama dan Tuntunan Al-Quran dalam Memperlakukan Anak Yatim

Berbeda dengan perintah bersuci dari hadas kecil yang diungkapkan di dalam Al-Qur’an, dengan hanya menyebutkan penyebab serta cara bersucinya, Al-Qur’an memberi istilah khusus bagi orang yang berhadas besar dengan istilah orang yang junub. Lalu apa sebenarnya pengertian dari redaksi junub, yang kemudian berkewajiban untuk mandi wajib saat hendak salat? Berikut penjelasan para pakar tafsir dan fikih:

Redaksi Junub Di dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an menyinggung istilah junub secara khusus terkait dengan permasalahan hadas besar di antaranya dalam firman Allah yang berbuyi:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقْرَبُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْتُمْ سُكٰرٰى حَتّٰى تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ وَلَا جُنُبًا اِلَّا عَابِرِيْ سَبِيْلٍ حَتّٰى تَغْتَسِلُوْا ۗ

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah mendekati salat, sedangkan kamu dalam keadaan mabuk sampai kamu sadar akan apa yang kamu ucapkan dan jangan (pula menghampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub, kecuali sekadar berlalu (saja) sehingga kamu mandi (junub) (QS. An-Nisa’ [4] :43)

Dan firman Allah yang berbunyi:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ

Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berdiri hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku serta usaplah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai kedua mata kaki. Jika kamu dalam keadaan junub, mandilah (QS. Al-Ma’idah [5] :6)

Baca juga: Mengenal Kitab Bahr al-‘Ulum; Tafsir Klasik dari “Negeri di Seberang Sungai”

Para ahli tafsir menjelaskan, istilah junub mengarah pada makna orang yang menanggung jinabat. Jinabat sendiri secara bahasa maknanya adalah “jauh”. Disebabkan ia dilarang salat dan selainnya, ia seakan-akan dijauhkan dari salat dan selainnya. Jinabat adalah keadaan dimana perlu menjauh dari salat, membaca Al-Qur’an dan selainnya, disebabkan adanya tindakan berhubungan intim atau keluarnya sperma (Tafsir Mafatihul Ghaib/5/215 dan Tafsir Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an/5/204).

Kesimpulannya, junub adalah orang yang tidak diperbolehkan salat, membaca Al-Qur’an dan sebagainya disebabkan telah berhubungan intim atau mimpi basah sehingga menyebabkan keluarnya sperma. Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa tidak setiap orang yang mengalami keadaan dilarang salat dan selainnya dapat disebut dengan orang yang junub.

Dan juga, tidak setiap orang yang menanggung hadas besar dan berkewajiban mandi, dapat disebut orang yang junub. Misalnya orang yang haid dan nifas, meski keduanya dilarang melakukan hal-hal yang juga dilarang dilakukan orang yang keluar sperma, juga berkewajiban mandi saat berhentinya darah, keduanya tidak dapat disebut orang yang junub.

Imam Al-Jashshah menyatakan, permasalahan Junub dengan penyebab berhubungan intim atau keluar sperma dengan permasalahan orang yang mengalami haid atau nifas, meski keduanya memiliki kemiripan tapi juga memiliki perbedaan besar. Hadas besar sebab berhubungan intim atau keluar sperma tidak menyebabkan larangan berhubungan intim, sedang mengalami haid dan nifas memunculkan larangan berhubungan intim.

Baca juga: Benarkah Surah At-Taubah Ayat 37 Melarang Pengunduran Hari Libur 1 Muharram?

Selain itu, mandi besar dapat secara langsung menghilangkan larangan-larangan yang diberikan kepada orang yang telah berhubungan intim atau keluar sperma. Sementara orang yang haid dan nifas, tanpa wujud berhentinya keluar darah dari keduanya, maka mandi besar tidak dapat menghilangkan larangan-larang agama yang diberikan agama pada keduanya (Ahkamul Qur’an Lil Jashshash/5/372).

Imam An-Nawawi; salah satu pakar perbandingan mazhab menyatakan, jinabat pada asalnya di dalam bahasa bermakna “jauh”. Kemudian di dalam syariat dipakai untuk orang yang habis keluar sperma atau berhubungan intim. Dari keterangan ini kita hendaknya bisa lebih berhati-hati untuk tidak memakai istilah junub pada orang yang haid dan nifas. Sebab meski sama-sama disebut hadas besar, tapi memiliki penyebab yang berbeda. Wallahu a’lam bish showab. (Al-Majmu’/2/155).

Benarkah Ibn ‘Arabi Mendukung Paham Panteisme dalam Tafsirnya?

0
benarkah paham panteisme dalam tafsir surah al-hadid ayat 4?
benarkah paham panteisme dalam tafsir surah al-hadid ayat 4?

Muhyiddin ibn al-‘Araby atau yang bernama lengkap Muhammad bin Ali bin Ahmad al-Tha’i al-Hatimi bin al-‘Arabi adalah seorang sufi besar yang lahir di salah satu pusat peradaban Islam pada masanya, yakni Andalus pada 17 Ramadhan 560 H/28 Juli 1165 M. Beliau wafat pada tahun 638 H/1240 M.

Sebagaimana disebutkan oleh Khudori Soleh dalam Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer, Ibn ‘Arabi adalah sosok yang cinta ilmu, ini bisa dilihat dari kesenangannya mengembara hanya untuk mencari guru dan ilmu. Salah satu pemikiran Ibn ‘Arabi yang paling terkenal dan berpengaruh adalah pemikiran wahdatul wujud, atau kesatuan wujud antara Tuhan dan hamba. Bahkan tidak jarang Ibn ‘Arabi ini dituduh oleh sebagian orang telah menyebarkan paham panteisme.

Panteisme adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa antara Tuhan dan alam adalah satu hal yang sama, Tuhan adalah alam dan alam adalah Tuhan, demikian disebutkan oleh al-Hafni dalam al-Mu’jam al-Syamil li Musthalahat al-Falsafah, dalam bahasa Arab istilah ini menurut beliau bisa disepadankan dengan kata hulul.

Keyakinan panteisme ini mirip dengan apa yang diyakini oleh sebagian kalangan Nasrani yang meyakini bahwa Allah itu menjelma dengan tubuh nabi Isa as. atau seperti keyakinan sebagian muslim bahwa Allah dapat menjelma atau mewujud dalam suatu bentuk, wujud ataupun seseorang tertentu.

Baca Juga: Ibnu Al-Arabi atau Ibnu Arabi? Inilah Dua Mufasir dari Andalusia

Asal-usul istilah wahdatul wujud Ibn ‘Arabi

Perlu dicatat bahwa sebenarnya istilah wahdatul wujud sendiri tidak pernah keluar dari lisan Ibn ‘Arabi dan juga tidak pernah tertulis dalam karya-karyanya. Adapun tuduhan bahwa Ibn ‘Arabi adalah seorang berpaham panteisme itu bermula dari sebuah syair yang pernah dilantunkannya, seperti dinukil oleh Ahmad al-Bu’thami dalam Tahdzir al-Muslimin (hal. 196) syair tersebut berbunyi,

الرَّبُّ حَقٌّ وَالْعَبْدُ حَقٌّ          يَا لَيْتَ شعري من المكلف؟

إِنْ قُلْتَ عَبْدٌ فَذَاكَ رَبٌّ        أَوْ قُلْتَ رَبٌّ أَنِّى يكلف؟

Terjemah bebasnya, “Tuhan itu ialah haq, hamba pun juga haq. Duhai lantas siapa yang dibebani taklif? Jika kamu mengatakan ‘hamba’, maka dialah ‘Tuhan’, dan jika engkau menjawab ‘Tuhan’, maka kenapa pula ‘Tuhan’ dibebani taklif?” Syair ini secara tersurat mengandung paham panteisme, bahwa Tuhan adalah hamba dan hamba adalah Tuhan.

Namun, sependek yang penulis ketahui dalam muqaddimah kitab al-futuhat al-makkiyyah (1/15) cetakan dar al-kutub al-‘ilmiyyah, terdapat perbedaan diksi kata pada syair yang tertulis, dimana di kitab ini dituliskan in qulta ‘abdun fadzaka maitun, bukan fadzaka rabbun seperti yang dinukil oleh al-Bu’thami tadi, dimana terdapat perbedaan makna yang sangat jauh di antara keduanya.

Baca Juga: Mengulik Pandangan Ibn ‘Arabi Tentang Al-Quran

Tafsir surah Al-Hadid ayat 4

Juga menarik untuk dicermati ketika Ibn ‘Arabi sendiri menafsirkan surah Al-Hadid [57]: 4 yang berbunyi

وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Terjemahnya, “dan Dia bersama kalian dimanapun kalian berada, dan Allah Maha Melihat apa yang kalian kerjakan

Ibn ‘Arabi dalam tafsirnya Rahmah min al-rahman fi tafsir wa isyarat al-Qur’an justru menyucikan Allah dari kebersatuannya dengan makhluk, ia mengatakan Allah selalu bersama dengan hambanya melalui asma-nya dengan yang sepantasnya bagi Dzat-Nya tanpa takyif, tasybih ataupun tashawwur. Dalam tafsirnya (4/276-277) ia menyebutkan,

وَلَم يَقُل تَعَالَى: وَأَنتُم مَعَهُ, لِأَنَّهُ مَجهُولُ المُصَاحَبَةِ, فَيَعلَمُ سُبحَانَهُ كَيفَ يَصحَبُنَا فِي كُلِّ حَالٍ نَكُونُ عَلَيهِ, وَنَحنُ لَا نَصحَبُهُ إِلَّا فِي الوُقُوفِ عِندَ حُدُودِهِ, فَمَا نَصحَبُ عَلَى الحَقِيقَةِ إِلَّا أَحكَامَهُ لَا هُوَ, فَاللهُ مَعَ الخَلقِ مَا الخَلقُ مَعَ اللهِ…

Terjemah bebasnya, Allah bisa membersamai hambanya, selama hambanya menerima ‘keberadaan Allah’ dengan menjalankan aturan-aturannya, sedangkan itu tidak berlaku sebaliknya karena bagaimana kita tahu kita sedang bersama Allah? (li annahu majhul al-mushahabah).

Masih dalam tafsir ayat ini ia bahkan menegaskan bahwa tidak dibenarkan jika ada seseorang yang mengaku mampu membersamai Allah (fala yashihhu an yakuna ahadun ma’allah). Keterangan di atas menunjukkan adanya ambivalensi Ibn ‘Araby terkait kesatuan wujud. Pada tempat pertama, seakan-akan mendukung, namun pada tempat kedua Ibn ‘Araby kedapatan menentang adanya kemungkinan Allah dan hamba dalam satu wadah.

Abdul Halim Mahmud -mantan Grand Syaikh al-Azhar- dalam Qadhiyyat al-Tasawwuf (154-155) menjelaskan bahwa paham panteisme dalam artian antara Allah dan segala makhuk itu adalah satu kesatuan -Abdul Halim menyebutnya dengan istilah wahdatul maujud– ini merupakan suatu paham disusupkan oleh sekelompok filsuf di masa lampau maupun di masa sekarang.

Selain itu menurut beliau hal ini juga dipengaruhi oleh kesalahpahaman mereka yang memusuhi tasawuf, ketika para sufi mengatakan al-wujud al-wahid mereka menafsirkannya dengan wahdatul maujud dengan definisi panteisme diatas. Padahal terdapat perbedaan yang sangat jauh antara wahdatul maujud yakni panteisme dengan wahdatul wujud yang sebenarnya dimaksud oleh para sufi besar.

Baca Juga: Merenungi Tanda-Tanda Kekuasaan Allah di Surat Ar-Rum ayat 20-25

Paham panteisme adalah hal yang sulit dicari dasarnya dalam ajaran Islam dan jika dilihat lagi ajaran wahdatul wujud Ibn ‘Arabi ini berbeda dengan paham panteisme. al-Attas dalam Positive Aspect of Tasawuf menjelaskan bahwa para sufi yang filsuf itu memperoleh kebenaran dan memahami Pencipta, penciptaan dan ciptaannya melalui pendekatan pengalaman langsung yang bersifat transempirik.

Dimana pengalaman itu menurut Isma’il al-Alam dalam buku Tasawuf dan Tragedi (hal. 93) mengantarkan mereka pada keyakinan dan penerimaan bahwa antara maujud dengan Wujud Allah di alam tidak terpisah dan memiliki entitasnya masing-masing, akan tetapi sebagai bentuk khusus manifestasi diri (tajalliyat) dan bentuk khusus determinasi (ta’ayyunat) Allah dalam konteks kesatuan wujud. Jadi sebenarnya dimanakah posisi Ibn ‘Arabi dalam hal ini? Hal ini menarik untuk didiskusikan dan tentu saja memerlukan pembacaan yang lebih mendalam terhadap karya-karya Ibn ‘Araby. Wallahu A’lam.

Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 18

0
Tafsir Surah Al-Hajj
Tafsir Surah Al-Hajj

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa Allah adalah Dzat yang MahaAdil, dan tidak tebang pilih ketika menjatuhkan hukuman bagi mereka yang tidak taat atas pertintah-Nya. Salah satu bukti ketaatan adalah senantiasa untuk sujud kepada-Nya, lalu bagaimanakah maksud sujud dalam al-Qur’an? Adakah sujud hanya dimaknai dengan menempelkan jidat ke lantai/tanah? Atau ada makna lain yang mengitarinya? Berikut ini penjelasan para ulama terkait makna sujud dalam Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 18 yang akan dibahas.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 16-17


Ayat 18

Sujud dalam ayat ini berarti mengikuti kehendak dan mengikuti hukum-hukum yang telah digariskan dan ditetapkan Allah. Dapat pula berarti menghambakan diri, beribadat dan menjalankan segala yang diperintahkan Allah dan menjauhi semua yang dilarang.

Sujud bila dihubungkan dengan makhluk Tuhan selain dari manusia, jin dan malaikat berarti tunduk mengikuti kehendak dan hukum-hukum atau kodrat yang ditentukan Allah, mereka tidak dapat lepas dari ketentuan-ketentuan itu, baik secara sukarela maupun terpaksa.

Sedang bagi manusia, jin dan malaikat, sujud berarti taat dan patuh kepada hukum-hukum Allah, taat melaksanakan perintah-perintah Allah dan menghentikan larangan-larangan-Nya.

Pada ayat ini Allah menegaskan lagi kekuasaan-Nya terhadap semua makhluk, yaitu semua yang di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang- bintang, gunung-gunung, tumbuh-tumbuhan dan semua binatang melata tunduk dan mengikuti aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang di-berikan-Nya.

Allah menciptakan jagat raya ini dan mengaturnya dengan hukum dan ketentuan-Nya. Seperti adanya garis edar pada tiap-tiap planet yang ada di ruang angkasa. Tiap-tiap planet mengikuti garis edar yang telah ditentukan.

Jika ia keluar dari garis edarnya itu maka ia akan berbenturan dengan planet-planet yang lain. Demikian pula tumbuh-tumbuhan, binatang-binatang tumbuh menjadi besar dan berkembang mengikuti ketentuan-ketentuan Allah.

Dalam tafsir al-Marāgi disebutkan bahwa dalam ayat ini disebut matahari, bulan, bintang-bintang dan sebagainya secara khusus adalah untuk mengingatkan bahwa makhluk-makhluk itu termasuk makhluk yang disembah manusia selain Allah, seperti penduduk Himyar menyembah matahari, Bani Kinanah menyembah bulan, bintang Syi`ra disembah oleh Bani Lahm, bintang Surayya disembah oleh orang Thayyai, penduduk Mesir kuno menyembah patung anak sapi atau burung Ibis.

Seakan-akan ayat ini menegaskan bahwa semuanya itu tidak pantas disembah karena semuanya itu termasuk makhluk-makhluk Tuhan yang mengikuti kehendak dan hukum-hukum Allah. Hanya Allah saja yang berhak disembah.


Baca Juga : Benarkah Malaikat Sujud Kepada Nabi Adam? Begini Pendapat Mufassir


Allah menerangkan bahwa banyak manusia yang beriman, taat dan patuh kepada Allah dengan benar, karena merasakan kebesaran dan kekuasaan atas diri mereka. Karena itu mereka beribadat dengan sungguh-sungguh, melaksanakan semua perintah Allah dan menghentikan semua larangan-Nya.

Mereka melakukan semua perbuatan yang menyebabkan Allah sayang kepada mereka, sehingga Allah memberikan pahala dan memuliakan mereka. Ada pula manusia yang tidak beriman dengan benar kepada Allah atau tidak mau merasakan kebesaran dan kekuasaan-Nya, ia melakukan perbuatan-perbuatan yang menyebabkan Allah marah kepadanya, karena itu mereka pantas mendapat kemurkaan dan kehinaan dari Allah.

Siapa yang mendapat kehinaan dan murka Allah akan masuk neraka, tidak ada seorang pun yang dapat membela dan melepaskannya dari azab Allah, karena segala kekuasaan berada di tangan Allah. Sebaliknya Allah memuliakan orang yang beriman dengan benar, berbuat baik, Allah akan memasukkan mereka ke dalam surga.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 19-22


Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 16-17

0
Tafsir Surah Al-Hajj
Tafsir Surah Al-Hajj

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa Allah akan memberi ganjaran kepada manusia berdasarkan apa yang mereka lakukan di dunia. Adapun Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 16-17 kembali menegaskannya dengan dalil-dalil yang kuat dan rasional bagi mereka yang mencari kebenaran. Bahkan keputusan Allah sangat adil, tidak tebang pilih, bagi mereka yang beriman kepada Allah, baik dari golongan Islam, Yahudi, Nasrani, ataupun Shabi’in, akan mendapatkan balasan. Berikut penjelasan detailnya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 12-15


Ayat 16

Ayat ini menerangkan bahwa Allah telah menurunkan bukti-bukti dan dalil-dalil yang kuat kepada Muhammad untuk membantah orang kafir yaitu Al-Qur’an. Makna dan petunjuknya cukup jelas, mudah dimengerti bagi orang-orang yang mau mencari kebenaran. Karena itu hendaklah manusia mengikuti dan mengamalkan ajaran Islam yaitu ajaran-ajaran Al-Qur’an agar mereka diberi Allah pertolongan dan kemenangan di dunia dan akhirat.

Al-Qur’an berguna bagi orang-orang yang tidak ada rasa dengki dalam hatinya, jiwa dan hatinya bersih, ingin mencari kebenaran dan mempunyai kesediaan beriman kepada yang gaib. Orang seperti yang dilukiskan itu, jika mereka membaca Al-Qur’an pasti ia akan beriman, semakin banyak membaca dan mengamalkan ajaran Al-Qur’an semakin bertambah pula imannya.

Hal ini senada dengan firman Allah:

وَيَزِيْدُ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اهْتَدَوْا هُدًىۗ وَالْبٰقِيٰتُ الصّٰلِحٰتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَّخَيْرٌ مَّرَدًّا

Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk. Dan amal kebajikan yang kekal itu lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu dan lebih baik kesudahannya. (Maryam/19: 76)

Sebaliknya orang yang dengki, hatinya berpenyakit, tidak ingin mencari kebenaran dan tidak mempunyai kesediaan beriman kepada yang gaib, maka ayat-ayat Al-Qur’an tidak akan berfaedah baginya bahkan akan menambah keingkaran dan kekafirannya.

Ayat 17

Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa semua orang yang beriman, Yahudi, Shābi`in, Nasrani, Majµsi dan musyrik, akan diberi keputusan yang adil oleh Allah pada hari Kiamat.

Orang-orang yang beriman dalam ayat ini ialah orang-orang yang beriman kepada apa yang diajarkan Nabi Muhammad saw, yaitu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul yang telah diutus-Nya, hari Kiamat dan kepada adanya kadar baik dan kadar buruk.

Yang dimaksud dengan orang-orang Yahudi ialah anak cucu Nabi Yakub as yang berkembangbiak di Mesir kemudian dibawa kembali oleh Nabi Musa as ke Palestina. Mereka adalah pengikut Nabi Musa as dan ajaran-ajarannya termuat dalam kitab Taurat. Shābi`in ialah orang-orang yang mengakui keesaan Allah tetapi mereka bukan mukmin, bukan Yahudi dan bukan pula Nasrani.


Baca Juga : Kisah Bani Israil Dalam Al-Quran dan Hidangan Dari Langit


Orang-orang Nasrani ialah pengikut-pengikut Nabi Isa as dengan kitab suci mereka Injil. Dan mereka yang syirik, yaitu yang menyembah selain  Allah, baik berupa benda, manusia atau berhala, seperti yang disembah kaum musyrikin Mekah sebelum Islam.

Terhadap semua golongan di atas Allah akan memberikan keputusan dengan adil di hari Kiamat, siapa yang benar-benar mengikuti Allah dan Rasul-rasul-Nya selama hidup di dunia, dan siapa pula yang mengada-ada sesuatu dalam agama Allah dan siapa pula yang mengingkari agama Allah itu.

Keadilan yang sebenarnya belum didapat lagi oleh manusia selama hidup di dunia yang fana ini. Betapa banyak orang yang dengan kehendak hatinya mengubah-ubah agama Allah lalu dipaksakannya agama itu agar diikuti oleh orang-orang lain.

Betapa banyaknya agama-agama yang menyimpang dari ajaran Allah, tetapi agama itu dapat hidup dan subur dengan pengikut-pengikutnya yang banyak, sehingga jika dilihat sepintas lalu agama itulah yang benar dan diridai Allah, sebaliknya agama Allah sendiri hanya dianut oleh mereka yang terhimpit kemiskinan serta tidak mempunyai kekuasaan sedikitpun atau tertindas di dalam negerinya, seakan-akan agama itu bukanlah agama yang diridai Allah.

Semuanya itu belum memperoleh keadilan yang sebenarnya selama hidup di dunia. Karena itu di akhirat nanti Allah akan memberikan keadilan yang sesungguhnya. Semuanya akan mendapat balasan sesuai dengan iman, amal dan perbuatan yang telah dikerjakannya.

Menetapkan keputusan dengan adil dan melaksanakan keadilan itu bukanlah suatu yang mustahil bagi Allah, karena Allah Mahakuasa terhadap semua makhluk-Nya, Dia menyaksikan dan mengetahui segala perbuatan dan apa saja yang terjadi atas makhluk, baik yang nampak maupun yang tidak nampak, baik yang besar atau pun yang kecil, bahkan Dia mengetahui segala yang tergores di dalam hati.

 (Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 18


Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 12-15

0
Tafsir Surah Al-Hajj
Tafsir Surah Al-Hajj

Sebelumnya sudah dijelaskan tentang perilaku orang kafir, dan Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 12-15 menegaskan kembali bahwa apa yang mereka sembah akan menjadi bumerang kelak dihadapan Allah Swt., dan memastikan bahwasanya mereka akan mendapatkan azab, baik saat di dunia ataupun kelak di akhirat.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 10-11


Sebaliknya bagi orang mukmin yang taat, mereka akan mendapat balasan yang setimpal kelak di akhirat. Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 12-15 juga menegaskan kepada orang-orang yang memusuhi Nabi Muhammad bahwa Dia pasti akan menolong dan menjaga Nabi-Nya, dan tidak ada satu orang pun yang bisa mencegah hal itu.

Ayat 12

Pada ayat ini Allah menjelaskan bentuk kerugian yang besar yang akan mereka alami, yaitu mereka menyembah tuhan-tuhan selain Allah atau mereka mengakui adanya kekuatan gaib selain Allah lalu mereka sembah, atau mereka menganggap bahwa ada mahluk yang dapat dijadikan perantara untuk menyampaikan sesuatu permohonan atau doa kepada Allah, padahal tuhan-tuhan itu tidak memberikan mudarat atau manfaat bagi mereka, baik di dunia maupun di akhirat.

Perbuatan yang demikian itu adalah perbuatan yang amat jauh menyimpang dari kebenaran. Mereka seperti seorang yang telah jauh tersesat di tengah padang pasir, akan kembali ke jalan yang semula amat jauh dan melelahkan.

Ayat 13

Orang-orang kafir sebagaimana disebutkan dalam ayat ini adalah orang-orang yang menyembah sesuatu yang lebih banyak mudaratnya dari manfaatnya. Mereka menyembah sesuatu selain Allah, baik berupa manusia, maupun benda atau patung-patung. Disebabkan kekafirannya itu Allah menimpakan azab kepada mereka di dunia dan di akhirat.

Di akhirat mereka akan mengetahui bahwa semua yang mereka puja dan sembah selama hidup di dunia, dan semua yang mereka anggap sebagai penolong, sebagai sesuatu yang dapat mengabulkan segala permintaan mereka dan sebagai teman yang baik, di akhirat nanti tidak mempunyai arti sedikitpun, bahkan semuanya itu akan menjadi teman-teman yang sama-sama ditimpa kemurkaan dan azab Allah.


Baca Juga : Memahami Falsafah Jawa “Urip Iku Urup” Melalui Tafsir Surah Al-Isra Ayat 7


Ayat 14

Terhadap orang-orang yang hanya menyembah Allah semata, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, mengikuti ajaran yang disampaikan Nabi-Nya, mengerjakan amal-amal yang saleh.

Maka Allah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka, dengan menyediakan tempat yang penuh kenikmatan dan kebahagiaan berupa surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dengan pohon-pohon yang rindang dan menyejukkan, sebagai balasan dari Allah atas semua ibadah dan amal saleh yang telah mereka lakukan itu. Karunia yang berupa kebahagiaan hidup itu mereka nikmati untuk selama-lamanya.

Allah, Tuhan Yang Mahakuasa, yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, yang melakukan sesuatu menurut kehendak-Nya sendiri, akan memberikan kemuliaan bagi orang-orang yang beriman dan menaati-Nya serta akan memberikan kehinaan dan kesengsaraan bagi orang-orang ingkar dan durhaka kepada-Nya. Tidak ada sesuatu pun yang dapat merubah, menambah, mengurangi atau menghilangkan ketetapan-ketetapan dan kekuasaan-Nya itu.

Ayat 15

Para mufasir berbeda pendapat dalam menafsirkan ayat ini. Menurut Abu Ja`far an-Nahhas tafsir ayat ini yang paling baik ialah, “Siapa yang berpendapat bahwa Allah tidak akan menolong Muhammad di dunia dan di akhirat atau ingin menghentikan pertolongan Allah yang akan diberikan-Nya itu, maka hendaklah ia naik ke langit dan berusahalah dari sana menghentikan pertolongan itu. Hendaklah mereka lihat, apakah usaha itu berhasil atau tidak. Dan usaha yang seperti itu pun mustahil dapat dilakukannya.”

Az-Zamakhsyari menafsirkan, “Allah pasti menolong Rasul-Nya di dunia dan di akhirat. Jika musuh-musuh Muhammad mengira bahwa Allah tidak akan menolongnya atau bermaksud tidak akan menolongnya, sedang mereka mengetahui jaminan Allah terhadap pertolongan-Nya itu, tentulah mereka akan marah.

Mereka berusaha dengan segala cara untuk menghilangkan kemarahan mereka itu, yaitu melakukan apa saja bahkan menggantung diri. Setelah itu hendaklah dia memperhatikan apakah tindakannya dengan menggantung diri itu dapat menghentikan pertolongan Allah kepada Muhammad.”

Sebagian ahli tafsir menafsirkan, “Siapa yang berpendapat bahwa Allah tidak menolong Muhammad, maka hendaklah ia merentangkan tali ke loteng rumahnya, kemudian menggantung diri dengan tali itu. Mereka akan mengetahui bahwa segala usaha dan tipu daya mereka itu tidak berguna sedikit pun.

Sekalipun para mufasir berbeda pendapat tentang tafsir ayat di atas namun itu hanyalah lahiriyah, sedangkan maksudnya sama, yaitu seandainya orang-orang yang memusuhi Nabi Muhammad tidak merasa senang akan kemajuan Islam dan kaum Muslimin maka mereka disilahkan naik ke langit lalu akan melihat keadaan dari sana akan kemajuan Islam dan kaum Muslimin.

 Sebagaimana diketahui dalam sejarah bahwa dengan berkembangnya agama Islam dalam waktu yang singkat di kota Mekah, dan semakin banyak penganutnya maka timbullah usaha di kalangan orang-orang musyrik Mekah untuk menghambat perkembangan Islam atau melenyapkan agama Islam itu.

Segala macam usaha untuk mencapai maksud itu, mereka lakukan seperti memutuskan hubungan, mengadakan pemboikotan, mengadakan penganiayaan terhadap orang-orang yang masuk Islam, terutama terhadap budak-budak yang masuk Islam, sehingga kaum Muslimin merasa teraniaya dan tersiksa.

Dalam pada itu orang-orang musyrik sendiri menyatakan bahwa Allah tidak menolong Muhammad dan kaum Muslimin, karena agama yang dibawanya itu bukanlah agama yang diridai Allah.

Dalam keadaan yang demikian turunlah ayat ini memberikan semangat dan harapan kepada kaum Muslimin. Sehingga timbullah keyakinan dalam diri mereka bahwa agama yang telah mereka anut adalah agama yang benar, karena itu mereka wajib melanjutkan untuk menyebarkannya, dan Tuhan pasti akan menolong mereka itu.

Menurut Muqātil, ayat ini turun berkaitan dengan Bani Asad dan Bani Gathfan yang telah masuk Islam, mereka khawatir bahwa Allah tidak menolong Muhammad, lalu terputuslah hubungan mereka dengan pemimpin-pemimpin Yahudi yang menyebabkan kehidupan mereka tidak dibantu lagi. Dengan turunnya ayat ini, hilanglah segala kekhawatiran yang timbul dalam hati mereka itu.

Dari ayat di atas dipahami bahwa musuh-musuh Islam tidak mempunyai kemampuan sedikit pun untuk mematahkan perjuangan Nabi Muhammad dan kaum Muslimin dalam usaha menyebarluaskan agama Islam karena mereka selalu mendapat pertolongan Allah di dunia dan di akhirat. Pertolongan Allah ini ditegaskan pada ayat yang lain:

اِنَّا لَنَنْصُرُ رُسُلَنَا وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ يَقُوْمُ الْاَشْهَادُۙ

Sesungguhnya Kami akan menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari tampilnya para saksi (hari Kiamat). (al-Mu`min/40: 51)

 (Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 16-17