Beranda blog Halaman 242

Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 10-11

0
Tafsir Surah Al-Hajj
Tafsir Surah Al-Hajj

Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 10-11 berbicara tentang balasan Allah baik bagi orang kafir maupun mukmin, bahwa balasan itu disesuaikan dengan apa yang pernah dilakukan semasa hidup di dunia. Dijelaskan pula kalau ada orang-orang yang setengah-setengah dalam keimanannya, ia sering terombang ambing dengan situasi, kadang bisa saja beriman, atau bahkan lari dari keimanan itu sendiri.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 6-9


Ayat 10

Ayat ini menerangkan bahwa azab yang diterima oleh orang-orang kafir itu adalah seimbang dengan perbuatan mungkar yang pernah mereka kerjakan di dunia dahulu, sesuai dengan firman Allah:

لِيَجْزِيَ الَّذِيْنَ اَسَاۤءُوْا بِمَا عَمِلُوْا وَيَجْزِيَ الَّذِيْنَ اَحْسَنُوْا بِالْحُسْنٰىۚ

Dia akan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan dan Dia akan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (surga). (an-Najm/53: 31)

Allah mengazab manusia yang durhaka itu bukanlah karena Dia bermaksud untuk menganiaya hamba-Nya, tetapi semata-mata karena dosa hamba-hamba itu sendiri, mengazab mereka yang berdosa sesuai dengan keadilan Allah.

Ayat 11

Ayat ini menerangkan bahwa ada pula sebagian manusia yang menyatakan beriman dan menyembah Allah dalam keadaan bimbang dan ragu-ragu; mereka berada dalam kekhawatiran dan kecemasan; apakah agama Islam yang telah mereka anut itu benar-benar dapat memberikan kebahagiaan kepada mereka di dunia dan di akhirat.

Mereka seperti keadaan orang yang ikut pergi perang, sedang hati mereka ragu-ragu untuk ikut itu. Jika nampak bagi mereka tanda-tanda pasukan mereka akan memperoleh kemenangan dan akan memeroleh harta rampasan yang banyak, maka mereka melakukan tugas dengan bersungguh-sungguh, seperti orang-orang yang benar-benar beriman.

Sebaliknya jika nampak bagi mereka tanda-tanda bahwa pasukannya akan menderita kekalahan dan musuh akan menang, mereka cepat-cepat menghindarkan diri, bahkan kalau ada kesempatan mereka berusaha untuk menggabungkan diri dengan pihak musuh.

Keadaan mereka itu dilukiskan Allah dalam ayat ini. Jika mereka memperoleh kebahagiaan hidup, rezeki yang banyak, kekuasaan atau kedudukan, mereka gembira memeluk agama Islam, mereka beribadat sekhusyu-khusyunya, mengerjakan perbuatan baik dan sebagainya.

Tetapi jika mereka memperoleh kesengsaraan, kesusahan hidup, cobaan atau musibah, mereka menyatakan bahwa semuanya itu mereka alami karena mereka menganut agama Islam. Mereka masuk Islam bukanlah karena keyakinan bahwa agama Islam itulah satu-satunya agama yang benar, agama yang diridai Allah, tetapi mereka masuk Islam dengan maksud mencari kebahagiaan duniawi, mencari harta yang banyak, mencari pangkat dan kedudukan atau untuk memperoleh kekuasaan yang besar.

Karena itulah mereka kembali menjadi kafir, jika tujuan yang mereka inginkan itu tidak tercapai. Pada ayat-ayat yang lain Allah menerangkan perilaku mereka:

ۨالَّذِيْنَ يَتَرَبَّصُوْنَ بِكُمْۗ فَاِنْ كَانَ لَكُمْ فَتْحٌ مِّنَ اللّٰهِ قَالُوْٓا اَلَمْ نَكُنْ مَّعَكُمْ ۖ وَاِنْ كَانَ لِلْكٰفِرِيْنَ نَصِيْبٌ قَالُوْٓا اَلَمْ نَسْتَحْوِذْ عَلَيْكُمْ وَنَمْنَعْكُمْ مِّنَ الْمُؤْمِنِيْنَ ۗ فَاللّٰهُ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ ۗ وَلَنْ يَّجْعَلَ اللّٰهُ لِلْكٰفِرِيْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلًا ࣖ

(yaitu) orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu. Apabila kamu mendapat kemenangan dari Allah mereka berkata, ”Bukankah kami (turut berperang) bersama kamu?” Dan jika orang kafir mendapat bagian, mereka berkata, ”Bukankah kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang mukmin?” Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu pada hari Kiamat. Allah tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk mengalahkan orang-orang beriman. (an-Nisā`/4: 141)


Baca Juga : Jawaban Jin Ketika Mendengar Kalimat ‘Fabiayyi Alaa-i Robbikuma Tukadzdziban’ dalam Surah Ar-Rahman


Tujuan mereka melakukan tindakan-tindakan yang demikian itu dijelaskan Allah dengan ayat berikut:

اِنَّ الْمُنٰفِقِيْنَ يُخٰدِعُوْنَ اللّٰهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْۚ وَاِذَا قَامُوْٓا اِلَى الصَّلٰوةِ قَامُوْا كُسَالٰىۙ يُرَاۤءُوْنَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ اِلَّا قَلِيْلًاۖ

Sesungguhnya orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah-lah yang menipu mereka. Apabila mereka berdiri untuk salat mereka lakukan dengan malas. Mereka bermaksud ria  (ingin dipuji) di hadapan manusia. Dan mereka tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali. (an-Nisā`/4: 142)

Kemudian Allah menerangkan bahwa orang-orang yang demikian adalah orang-orang yang telah menyia-nyiakan sesuatu yang sangat bermanfaat bagi dirinya sendiri baik di dunia, apalagi di akhirat.

Akibatnya di dunia mereka mendapat bencana, kesengsaraan dan penderitaan lahir dan batin, dan di akhirat nanti mereka akan memperoleh siksa yang amat berat dengan dimasukkan ke dalam api neraka. Karena ketidaksabaran dan tidak tabah itu mereka akan memperoleh kerugian yang besar dan menimbulkan penyesalan selama-lamanya.

 (Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 12-15


Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 6-9

0
Tafsir Surah Al-Hajj
Tafsir Surah Al-Hajj

Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 6-9 menjelaskan bahwa hanya Allah yang mampu menghidup dan mematikan ciptaannya, termasuk manusia, dan hanya Dia pula yang berkuasa atas segala sesuatu yang ada di dunia ini, tidak ada yang mampu berkuasa sama seperti diri-Nya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 5 (2)


Akan tetapi, Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 6-9 menyatakan bahwa masih ada beberapa manusia yang mengingkari kekuasaan Allah Swt. meski sudah diterangkan kepada mereka bukti-bukti yang ada, bahkan sesuai dengan logika manusia itu sendiri. Mereka inilah yang akan mendapatkan peringatan serta ancaman keras dari Allah, sebab, keangkuhan yang mereka miliki, menandakan penentangan lansung kepada-Nya.

Ayat 6-7

Setelah Allah mengemukakan proses perkembangan manusia  dan tumbuh-tumbuhan itu pada ayat-ayat yang lalu, maka pada ayat-ayat berikut ini disimpulkan lima hal:

  1. Tuhan yang diterangkan pada ayat-ayat di atas adalah Tuhan yang sebenarnya, Tuhan Yang Mahakuasa, yang menentukan segala sesuatu. Tidak ada seorang pun yang sanggup menciptakan manusia dengan proses yang demikian itu, yaitu menciptakan manusia dari tanah, kemudian menjadi mani, nutfah (zygat), sel-sel, mudhgah, janin, kemudian lahir ke dunia, lalu menjadi dewasa, berketurunan, bertambah tua, akhirnya meninggal dunia menjadi makhluk yang mati kembali. Siapakah yang sanggup membuat proses kejadian manusia seperti itu.

Siapakah yang sanggup merubah tanah yang mati dan tandus menjadi tanah yang subur serta ditumbuhi oleh tumbuh-tumbuhan yang beraneka ragam. Siapakah yang membuat ketentuan dan aturan-aturan yang demikian rapi dan teliti itu, selain dari Allah yang wajib disembah?

  1. Dialah yang menghidupkan yang mati. Menghidupkan yang mati berarti memberi nyawa kepada yang mati itu, di samping memberi kelengkapan untuk kelangsungan hidup makhluk itu, baik kelangsungan hidup makhluk itu sendiri atau pun kelangsungan hidup jenisnya.

Kemudian Dia mematikannya kembali. Zat yang dapat menghidupkan yang mati, kemudian mematikannya, tentu Zat itu sanggup pula menghidupkannya kembali pada hari Kebangkitan. Menghidupkan makhluk kembali itu adalah lebih mudah dari menciptakannya pada kali yang pertama.

  1. Dialah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu. Dia berbuat sesuatu menurut yang dikehendaki-Nya; tidak ada sesuatu pun yang dapat mengubah dan menghalangi kehendak-Nya itu.
  2. Hari Kiamat yang dijanjikan itu pasti datang; tidak ada keraguan sedikit pun, agar orang-orang yang ingkar itu mengetahui.
  3. Bahwa setelah kiamat manusia akan dihidupkan kembali untuk diperiksa amal-amalnya dan menerima balasan amal-amal itu.

Baca Juga : Argumentasi Kekuasaan dan KeEsaan Allah Swt: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 164


Ayat 8-9

Ayat ini menerangkan bahwa di antara manusia itu ada yang benar-benar bertindak dan berbuat melampaui batas, ada yang membantah serta mengingkari Allah dan sifat-sifat-Nya, tanpa dasar pengetahuan, tanpa argumen yang kuat dan tanpa bimbingan wahyu yang benar.

Sikap mereka yang demikian itu semata-mata karena kesombongannya sehingga memalingkan muka dari manusia, yaitu membelakangi orang lain. Hati mereka sudah mati dan tertutup. Sebagaimana firman Allah:

فَاِنَّهَا لَا تَعْمَى الْاَبْصَارُ وَلٰكِنْ تَعْمَى الْقُلُوْبُ الَّتِيْ فِى الصُّدُوْرِ

Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada. (al-Hajj/22: 46)

Orang yang demikian itu, jika diberi peringatan mereka tidak akan menerimanya, bahkan mereka bertambah ingkar dan sombong.

Allah berfirman:

وَاِذَا تُتْلٰى عَلَيْهِ اٰيٰتُنَا وَلّٰى مُسْتَكْبِرًا كَاَنْ لَّمْ يَسْمَعْهَا كَاَنَّ فِيْٓ اُذُنَيْهِ وَقْرًاۚ فَبَشِّرْهُ بِعَذَابٍ اَلِيْمٍ

Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbatan di kedua telinganya, maka gembirakanlah dia dengan azab yang pedih. (Luqmān/31: 7)

Orang yang buta mata hatinya dan menyombongkan dirinya, mereka itulah yang telah mengingkari Allah dan adanya Hari Kemudian itu. Maksud mereka adalah untuk menyesatkan dari jalan yang benar sehingga jauh dari Allah.

Menurut sebagian mufasir ayat ini diturunkan sebagai penegasan dan peringatan keras dari Allah kepada orang-orang yang mengingkari dan membantah-Nya, sebagaimana disebutkan pada ayat-ayat yang lalu.

Pada ayat 3 dan 4 Surah ini dinyatakan bahwa pemuka-pemuka kaum musyrikin Mekah, terutama Nadhar bin Harìs, telah membantah dan mengingkari Allah, tanpa pengetahuan, serta mengikuti godaan setan. Pada ayat ini ditegaskan bahwa Na«ar bin Harìs dan kawan-kawannya, serta orang-orang yang bertingkah laku seperti mereka itu, benar-benar membantah dan mengingkari Allah.

Dengan demikian ayat ini sesunguhnya memberikan peringatan dan ancaman yang keras kepada mereka, bahwa tindakan-tindakan mereka itu akan menimbulkan akibat yang sangat buruk bagi diri mereka sendiri, yaitu kehinaan di dunia dan di akhirat.

Dari ayat-ayat ini dan ayat-ayat sebelumnya dapat dipahami bahwa ada dua hal pokok yang diingkari oleh orang-orang musyrik Mekah itu. Pada ayat yang sebelumnya disebutkan bahwa mereka mengingkari dan membantah adanya hari Kiamat dan hari kebangkitan, sedang pada ayat-ayat ini mereka membantah dan mengingkari adanya Allah dan segala sifat-sifat keagungan dan kebesaran-Nya. Kedua hal ini termasuk rukun iman yang merupakan pokok-pokok yang wajib dipercayai dan diyakini.

Karena itu, tindakan mereka tidak saja menimbulkan kerugian bagi diri mereka sendiri, tetapi juga menyesatkan manusia yang lain dari jalan Allah, karena perbuatan mereka itu langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi manusia yang lain.

Mereka itu di dunia akan memperoleh kehinaan, seperti kehinaan yang dialami Abu Lahab dan istrinya, dan di akhirat akan ditimpa azab neraka yang sangat panas yang menghanguskan tubuh mereka.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 10-11


Tiga Kemerdekaan Dasar dalam Al-Quran

0
Tiga Kemerdekaan Dasar dalam Al-Quran
Tiga Kemerdekaan Dasar dalam Al-Quran

Agustus adalah bulan kemerdekaan bangsa Indonesia. Merdeka untuk bekerja, beribadah, berinteraksi dengan sesama, dan merdeka untuk berpikir. Semua itu tidak lain karena berkat rahmat Allah yang didorong oleh keinginan luhur sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai rakyat Indonesia yang beragama Islam, kita sudah diajarkan betapa kemerdekaan adalah hak setiap orang. Kita dilarang untuk membuat orang lain merasa minder tidak merdeka sebab pandangan kita yang sinis atau merendahkan.

Ada tiga makna merdeka yang bisa kita temukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI); 1) bebas (dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya), berdiri sendiri, 2) tidak terkena atau lepas dari tuntutan, 3) tidak terikat, tidak bergantung pada orang lain atau pihak tertentu. Kemudian oleh bahasa Arab, kata ‘merdeka’ diterjemahkan dengan hurrun (حرّ), ‘itqun (عتق), dan istiqlāl (استقلال). Hurrun – sebagai kata yang digunakan dalam al-Qur’an – memiliki dua makna 1) lawan dari perbudakan dan bebas dari kekurangan serta cacat, 2) lawan dari dingin yakni panas (Mu’jam Maqāyīs Lughah/2).

Al-Qur’an menjamin kemerdekaan setiap individu. Jaminan yang datang dari Allah ini diberikan sejak ia dilahirkan hingga meninggal. Jika Allah yang menciptakan dan memenuhi segala kebutuhan manusia saja tidak memaksa mereka untuk patuh dan tunduk kepada-Nya. Lantas apa hak kita yang sama sekali tidak turut andil dalam memenuhi seluruh kebutuhan orang lain untuk memaksa mereka agar mengikuti kemauan kita? Paling tidak, ada tiga kemerdekaan dasar dalam Al-Quran yang bisa kita temukan; kemerdekaan menjadi manusia seutuhnya, kemerdekaan memilih keyakinan, dan kemerdekaan beraktifitas dan berkreasi.

Baca Juga: 4 Spirit Kemerdekaan yang Dibawa Islam dalam Ayat-Ayat Al-Qur’an

Kemerdekaan Menjadi Manusia Seutuhnya

Menjadi manusia seutuhnya termasuk bagian dari nikmat yang tidak ternilai harganya. Inilah kemerdekaan dasar dalam Al-Quran yang disinggung dalam beberapa ayatnya. Dengan nikmat ini seseorang bisa menjadi individu yang terhormat. Kehormatannya bisa diraih sesuai dengan usahanya sendiri. Tidak lagi tunduk atau terikat pada orang lain seperti budak. Sejak kehadirannya, Islam tidak setuju dengan perbudakan, sebuah sistem yang membatasi ruang gerak manusia dan bahkan menilainya sebagai makhluk yang tidak jauh berbeda dengan hewan, bisa diperjualbelikan dan harus menuruti kemauan sang majikan.

Hal ini bisa kita lihat dari semangatnya dalam membebaskan manusia dari belenggu perbudakan. Islam menjadikan pembebasan budak sebagai penebus suatu kesalahan. Misalnya dalam QS. al-Nisā` [4]: 92 Allah menjadikannya sebagai tebusan dalam kasus pembunuhan seorang muslim yang dilakukan tanpa kesengajaan. Pembebasan budak pada ayat ini sepadan dengan bentuk kesalahan yakni menghilangkan nyawa. Jika melihat pada QS. al-Mā`idah [5]: 89 ternyata misi pembebasan manusia dari perbudakan ini sangat serius digencarkan oleh Islam. Di sana ia dijadikan sebagai salah satu penebus kesalahan atas sumpah yang dilanggarnya.

Jika dua kasus tersebut berlaku dalam dimensi sosial kemasyarakatan yang ruang lingkupnya besar, maka dalam dimensi yang lebih kecil, yakni keluarga, Allah juga menajdikannya sebagai penebus kesalahan. Seorang suami yang menginginkan istrinya kembali setelah men-zihar-nya (menganggap punggung istrinya sama seperti punggung ibunya yang haram untuk digauli), harus memilih satu dari tiga opsional yang Allah tawarkan dalam QS. al-Mujādilah [58]: 3. Diantara opsi tersebut adalah memerdekakan seorang budak. Demikianlah gambaran betapa Allah sangat memuliakan makhluk-Nya yang bernama manusia.

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًا

Artinya: “Sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna”. (QS. al-Isra’ [17]: 70)

Baca Juga: Menuai Spirit Kemerdekaan Melalui Ayat-Ayat Al-Qur’an

Kemerdekaan Memilih Agama

Kemerdekaan sebagai makhluk yang terhormat ini Allah sempurnakan dengan kebebasan memilih keyakinan atau agama. Sesuatu yang menjadi hak asai manusia. Terkait kebebasan ini, ada satu kisah yang menarik. Suatu ketika ada seorang wanita Anshār yang tidak kunjung dikaruniai putra. Wanita yang beragama Yahudi ini bernazar jika dikaruniai putra, ia akan menjadikan putranya sebagai orang Yahudi juga. setelah wanita tadi masuk Islam, kaum Anshār – mewakili wanita tadi – bertanya pada Nabi ‘bagaimana kami memperlakukan anak-anak kami?’

Kemudian turunlah satu ayat sebagai jawaban bahwa tidak boleh memaksa seseorang untuk masuk Islam meskipun ia adalah anak sendiri. Informasi yang diriwayatkan oleh Imam Abū Dāwūd dan al-Nasā`ī dari Sahabat Ibn Abbas ini dikutip oleh para mufasir semisal al-Thabarī, al-Baghawī, Ibn ‘Arabī, Ibn ‘Athiyyah, al-Qurthbī, Ibn Katsīr, dan Ibn ‘Asyūr dalam kitab tafsir mereka. (al-Muharrar fī Asbāb Nuzūl al-Qur’ān: 291). Adapun ayat yang turun menjawab problem itu adalah firman-Nya dalam QS. al-Baqarah [2]: 256.

لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِ

Artinya: “Tidak ada paksaan dalam agama”

Melalui Surat al-Kāfirūn, Islam mengajarkan umatnya untuk menghormati saudaranya yang beda keyakinan. Islam juga melarang pemeluknya untuk mencela sesembahan agama lain (QS. al-An’ām [6]: 108). Tuntunan ini kemudian diadposi dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 2: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” sebagai media terjaganya pluralitas agama di Indonesia.

Baca Juga: Makna Kebebasan Beragama dan Toleransi dalam Al-Quran

Kemerdekaan Berkreasi

Sebagai bangsa yang telah merdeka dari penjajahan dan perbudakan, kini saatnya kita melakukan berbagai aktifitas positif yang bermanfaat. Inilah kemerdekaan dasar dalam Al-Quran berikutnya. Hal ini sebagai bentuk ekspresi rasa syukur atas karunia tersebut. Islam menjamin kebebasan berekspresi ini melalui QS. Fushshilat [41]: 40.

اِعْمَلُوْا مَا شِئْتُمْ ۙاِنَّهٗ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ

Artinya: “Lakukanlah apa yang kamu kehendaki! Sungguh, Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.

Kebebasan yang Allah berikan ini tidak berarti bebas sebebas-bebasnya. Imam al-Baghāwī dalam Ma’ālim al-Tanzil-nya (7/176) menjelaskan bahwa perintah melakukan apapun dengan bebas ini merupakan perintah yang tujuannya menakut-nakuti dan mengancam. Jadi apa yang hendak dilakukan harus memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan sekitar. Jika baik berarti kerjakan sebaik dan semaksimal mungkin. Dan jika sebaliknya lebih baik segera tinggalkan. Dengan demikian, secara tidak langsung kita telah mengisi kemerdekaan dengan aktifitas yang membanggakan para pendahulu bangsa. Para pahlawan yang telah gugur memperebutkan kemerdekaan bangsa Indonesia dari cengkeraman tangan penjajah dengan mengorbankan harta benda dan nyawa. Wallahu a’lam

Idul Yatama dan Tuntunan Al-Quran dalam Memperlakukan Anak Yatim

0
tuntunan Al-Quran dalam memperlakukan anak yatim
tuntunan Al-Quran dalam memperlakukan anak yatim

Muharram adalah salah satu diantara 12 bulan yang istimewa. Pasalnya, di bulan ini terjadi peristiwa hijrah Nabi, yang dalam buku History of The Arabs, menurut Philip K. Hitti, hijrah terebut terjadi pada tanggal 24 September 622 M. Selain peristiwa hijrah, ada satu peristiwa yang istimewa di bulan Muharram yakni hari raya anak yatim, ‘idul yatama.

‘Idul Yatama ini diperingati setiap tanggal 10 Muharram. Sebagaimana termaktub dalam kitab Tanbih al-Ghafilin bi-Ahaditsi sayyidi al-Anbbiya wa al-Mursalin, Nabi bersabda:  “….Barangsiapa mengusap kepala anak yatim, pada hari ‘asyura (10 Muharram), maka Allah akan angkat derajat sebanyak rambut anak yatim yang terusap olehnya. (Tanbih al-Ghafilin: 331). Juga dalam kitab Nihayatu al-Zain, Imam Nawawi menyebut ada 12 amalan yang dilakukan oleh ulama’ pada hari ‘asyura, salah satunya mengusap kepala anak yatim. (Nihayatu al-Zain: 191)

Baca Juga: Apa Saja Amalan Sunnah 10 Muharram? Berikut Penjelasannya

Bagaimana memperlakukan anak yatim?

Perayaan ‘idul yatama bisa berbentuk santunan, hadiah, dan lain-lain. Selain sebuah perayaan yang setiap tahun dilaksanakan, ada pentingnya kita melihat posisi anak yatim di dalam Al-Qur’an. Agar supaya kita berhati-hati dalam merawat mereka. Ayat yang akan dieksplor adalah QS. Al-An’am [5]: 152.

وَلَا تَقۡرَبُوۡا مَالَ الۡيَتِيۡمِ اِلَّا بِالَّتِىۡ هِىَ اَحۡسَنُ حَتّٰى يَبۡلُغَ اَشُدَّهٗ‌ ۚ وَاَوۡفُوۡا الۡكَيۡلَ وَالۡمِيۡزَانَ بِالۡقِسۡطِ‌ ۚ لَا نُـكَلِّفُ نَفۡسًا اِلَّا وُسۡعَهَا‌ ۚ وَاِذَا قُلۡتُمۡ فَاعۡدِلُوۡا وَلَوۡ كَانَ ذَا قُرۡبٰى‌‌ ۚ وَبِعَهۡدِ اللّٰهِ اَوۡفُوۡا‌ ؕ ذٰ لِكُمۡ وَصّٰٮكُمۡ بِهٖ لَعَلَّكُمۡ تَذَكَّرُوۡنَ

“Janganlah kamu mendekati (menggunakan) harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, sampai dia mencapai (usia) dewasa. Sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya. Apabila kamu berbicara, lakukanlah secara adil sekalipun dia kerabat(-mu). Penuhilah pula janji Allah. Demikian itu Dia perintahkan kepadamu agar kamu mengambil pelajaran” (Terjemah Kemenag 2019).

Dari ayat di atas kita dapat memetakan bahwa ayat tersebut mengandung 4 wasiat, pertama, laranganan untuk mendekati (menggunakan) harta anak yatim. Kedua, perintah untuk menyempurnakan takaran/timbangan, ketiga, perintah untuk bersikap adil dalam segala hal dan, keempat, perintah untuk memenuhi janji.

Menurut al-Thabari, wala taqrabu mal al-yatim illa billati hiya ahsan, ditafsirkan apabila kita, atau pun siapa saja yang memelihara anak yatim, dilarang untuk mendekati harta anak yatim tersebut, kecuali dengan cara yang ishlah (mengandung kemaslahatan) atau untuk mengembangkannya sehingga menghasilkan keuntungan bagi anak yatim tersebut. (Jami’ al-Bayan, Vol. 9, hlm. 662)

Dalam tafsir Ibn Katsir disebutkan, ketika Allah menurunkan QS. Al-An’am [5]: 152 dan QS. An-Nisa [4]: 10, orang-orang yang memiliki anak yatim langsung bergerak memisahkan makanan dan minuman mereka dari makanan anak yatim, kemudian mereka menyisakan sesuatu dan menyimpan untuknya hingga anak yatim tersebut memakannya atau rusak. Karena merasa keberatan dengan hal tersebut, orang-orang melaporkan keluhannya kepada Rasulullah. Lalu Allah menurunkan QS. Al-Baqarah [2]: 220, agar kita semua memperlakukan anak yatim dengan baik (kemanusiaan). (Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, juz 6, hlm. 215)

Baca Juga: Mengurusi Harta Anak Yatim, Perhatikan Pesan Surat An-Nisa Ayat 6

Adapun wa aufu al-kaila wa al-mizan bi al-qisth di tafsirkan oleh al-Thabari dengan janganlah mengurangi takaran jika menakar, dan jangan pula mengurangi timbangan kalau menimbang, akan tetapi berilah hak-hak mereka dengan adil. (Jami’ al-Bayan, Vol. 9, hlm. 665)

Sedangkan menurut Quraish Shihab, penggunaan kata “jangan mendekati” seperti ayat di atas biasanya merupakan larangan mendekati sesuatu yang dapat merangsang jiwa atau nafsu untuk melakukannya. Dengan demikian, larangan mendekati mengandung makna larangan untuk tidak terjerumus dalam rayuan sesuatu, yang berpotensi mengantar kepada langkah melakukannya. (Al-Misbah, Vol. 2, hlm. 735).

Frasa wa aufu al-kaila wa al-mizan bi al-qisth oleh Ibn Asyur, sebagaimana dikutip Shihab, ditafsirkan sebagai isyarat bahwa mereka dituntut untuk memenuhi secara sempurna takaran dan timbangan, sehingga perhatian mereka tidak sekedar pada upaya tidak mengurangi, tetapi pada penyempurnaannya. Sedangkan al-qisth, menurut Shihab, tidak hanya berarti adil tetapi merasa senang kedua belah pihak saat bertransaksi. (Al-Misbah, Vol. 2, hlm. 736).

Wa idza qultum fa’dilu walau kana za qurba, ditafsirkan oleh al-Thabari sebagai perintah untuk berbuat adil dalam menghukum atau mengambil keputusan bagi seseorang. Adapun wa bi ‘ahdilahi aufu, menurut al-Tabari mengadung makna seluruh wasiat, selama wasiat itu tidak melanggar larangan Allah, hendaknya dipenuhi. Penghujung ayat ini berbunyi zalikum washshakum bih la’allakum tadzakkarun. Kata tadzakkarun oleh al-Tabari diartikan mengingat dosa-dosa dan kesalahan yang mereka lakukan karena melanggar larangan-Nya. (Jami’ al-Bayan, Vol. 9, hlm. 666-667)

Baca Juga: Kisah Perhatian Nabi Muhammad Terhadap Anak Yatim Terutama di Hari Raya

Penafsiran surah Al-An’am ayat 152 hari ini

Ayat di atas akan dieksplor lebih luas. Pertama, wala taqrabu dapat kita artikan selain dari janganlah kamu mendekat, juga dapat diartikan dengan jangalah kamu sewenang-wenang, mengeksploitasi, kolusi, dan menyalah gunakan. Mal bisa berarti harta (uang), mencatut nama, dan jasa. Apakah lagi dalam konteks sekarang, pemeliharaan dan pengasuhan anak yatim tidak selalu dilakukan perseorangan, yakni kerabatnya.

Hari ini, pengelolaan anak yatim sudah terorganisir dalam lembaga atau yayasan (Panti Asuhan) yang mana hidup di bawah pengurus yang bersangkutan. Larangan untuk mendekati harta anak yatim bermakna juga untuk tidak mengeruk kepentingan pribadi dan memperkaya diri. Alhasil, berbuat islah tidak hanya dalam penyaluran (pendistribusian), tetapi juga dalam pencarian dana (donatur).

Hatta yablugha asyuddah dapat diartikan sampai anak yatim mendapat legalitas atas kepemilikan hartanya. Sehingga, kalaupun suatu saat, misal ada orang ketiga untuk mempermasalahkan harta kepemilikannya setelah sang pengasuh wafat, karena sudah berlegalitas maka semua tidak akan dengan mudah untuk dimanipulasi.

Kedua, perintah untuk menyempurnakan takaran/timbangan. Ini bermaksud kepada penekanan agar kita bersikap adil, seimbang, dan proporsional. Tidak mengkorupsi atau apa pun sebutannya, yang dapat merugikan anak yatim. Sehingga keadilan harus ditegakkan semaksimal mungkin termasuk menjadi pengelola panti asuhan adil dan beradab.

Ketiga, perintah untuk berbuat adil dalam segala hal. Sama seperti halnya poin dua, sebagai pengelola hendaknya berlaku adil. Adil terhadap diri sang pengelola, serta kepada yang dikelola. Dan terakhir, keempat, perintah untuk memenuhi janji, baik janji itu kepada Allah atau pun manusia. Janji kepada Allah seperti tidak menyekutukanNya dengan apapun. Dalam konteks sekarang menuhankan pangkat, jabatan, popularitas, dan lain-lain juga masuk kategori tersebut. Sedang janji terhadap manusia, dalam konteks pengelolaan panti asuhan berarti memenuhi apa yang diperintahkan Nabi yakni menggembirakan anak yatim.

Baca Juga: Tafsir Surat An-Nisa Ayat 2: Cara Mengelola Harta Anak Yatim

Ujung ayat ini kemudian ditutup dengan nada perintah nan indah agar kita selalu mengambil pelajaran dalam hal apapun. Wallahu’alam bish-showab.

Ayat-Ayat Syifa’, Penjelasan dan Pengalaman Para Mufasir Tentangnya

0
ayat-ayat syifa
ayat-ayat syifa

Bagi beberapa orang, khususnya para santri, wirid dan zikir adalah rutinitas yang sulit mereka tinggalkan, seolah wirid dan zikir telah menjadi bagian dari diri mereka yang harus diamalkan demi meraih keseimbangan hidup antara olah jasad dan olah hati. Demikian memang sudah menjadi tradisi di pesantren dari masa ke masa. Untuk tetap dalam rutinanitas itu, mereka pada umumnya memanfaatkan buku saku yang memuat wirid, zikir, dan doa-doa, disamping karena daya hafal yang lemah, juga dikarenakan buku saku itu lumayan kecil sehingga mudah dibawa kemana saja.

Umumnya, dzikir atau wirid yang dimuat dalam buku-buku wirid itu adalah ayat-ayat Al-Quran yang memang dianjurkan untuk dibaca, bisa karena bernilai pahala atau karena diyakini memiliki khasiat tertentu yang tentunya atas petunjuk Nabi dan orang-orang saleh yang diyakini integritas kesalehannya. Seperti surah al-Kahfi, al-Waqi’ah dsb. Selain ayat-ayat Al-Quran, buku wirid itu juga banyak didominasi oleh doa-doa dan zikir yang biasa dibaca oleh Nabi saw. di waktu, tempat, kondisi, dan situasi tertentu.

Baca Juga: Quranic Immunity: Kajian Ayat-Ayat Syifa dalam Al-Quran

Diantara buku-buku wirid yang popular adalah Khulashah Syawariqul Anwar buah karya Imam besar Abuya Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki yang lahir dan wafat di kota Makkah al-Mukarramah. Buku saku yang dapat dibawa kemana saja ini, banyak berisi doa-doa, zikir, ratib, dan hizib yang disusun oleh ulama-ulama pilihan, seperti wirid Imam al-Haddad, Imam at-Tijani, Imam Nawawi dsb.

Dan di bagian akhir kitab, Khulashah Syawariqul Anwar hal.162, Abuya Sayyid Muhammad mencantumkan enam ayat Al-Quran yang menyebutkan frasa syifa’ (kesembuhan) dalam berbagai bentuk derivasinya dan ayat-ayat Al-Quran ini populer disebut ayat-ayat syifa’. Enam ayat itu adalah sebagai berikut,

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ ما هُوَ شِفاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِين

وَيَشْفِ صُدُورَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ

شِفاءٌ لِما فِي الصُّدُور

قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدىً وَشِفاءٌ

وَإِذا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ

فِيهِ شِفاءٌ لِلنَّاسِ

Al-Quran dan penyembuhan penyakit

Seperti yang terlihat jelas, di antara ayat-ayat di atas menegaskan bahwa Al-Quran adalah syifa’ yakni obat yang dapat menyembuhkan penyakit. Hanya saja ulama masih berselisih tentang sakit yang bisa disembuhkan oleh Al-Quran, tetapi semua ulama sepakat penyakit hati pasti dapat tersembuhkan oleh Al-Quran, mereka hanya berselisih, apakah Al-Quran juga dapat menyembuhkan penyakit fisik atau tidak.

Wahbah Zuhaili dalam Tafsir Munir-nya mengatakan bahwa ulama memiliki dua pandangan tentang penyakit apakah yang dimaksud dapat disembuhkan oleh Al-Quran. Pendapat pertama mengatakan hanya penyakit hati yang dapat tersembuhkan oleh Al-Quran, seperti menghilangkan kebodohan, kegelapan hati dan menjernihkannya. Pendapat lain mengatakan tidak hanya penyakit hati, tapi Al-Quran juga dapat menyembuhkan penyakit badan yaitu dengan ruqyah dan ta’awudz.

Beliau, Wahbah Zuhaili kemudian menampilkan beberapa dalil yang menguatkan pandangan kedua, di antaranya; Nabi Muhammad melegalkan sahabatnya melakukan ruqyah dengan Al-Quran, Nabi juga menyuruh ber-isytisfa’ atau berobat dengan Al-Quran. Dari kalangan Tabi’in, Sa’id ibn Musayyib membolehkan berobat dengan Al-Quran yaitu dengan menuliskan beberapa ayat Al-Quran -seperti al-Fatihah- ke dalam wadah yang berisi air lalu airnya diberikan kepada orang yang sedang sakit.

Seorang Imam Malik pun pernah berkata “boleh mengalungkan tulisan-tulisan yang berisi nama Allah di lehernya orang sakit, dengan niat tabarruk (mengharap berkahnya untuk kesembuhan).” Kemudian di akhir uraiannya Wahbah Zuhaili mengutip pendapat Imam Al-Qurtubi, bahwa pandangan pertamalah yang paling diyakini benar, tetapi beliau menambahkan bahwa upaya pengobatan dengan Al-Quran seperti ayatus syifa’ dan doa-doa lain hanyalah sebatas perantara yang harus diyakini tidak dapat menyembuhkan tanpa izin Allah Swt. dan harus menyakini hanya Dia semata yang dapat menyembuhkan dengan cara apa pun yang dikehendakinya termasuk dengan berkah ayatus syifa’ (Tafsir Munir, juz 15 hal. 154)

Baca Juga: Tafsir Ayat Syifa: Al-Quran sebagai Obat Penyakit Hati Manusia

Keutamaan ayat-ayat Syifa’

Sebagaimana yang sering dikutip oleh Quraish Sihab dalam buku-bukunya dan di berbagai kesempatan, Abdullah Darraz menulis “Ayat-ayat al-Quran bagaikan intan, setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lainnya, dan tidak mustahil jika kita mempersilahkan orang lain memandangnya, ia akan melihat banyak dibanding apa yang kita lihat” itu sebabnya para sufi banyak yang menemukan rahasia-rahasia al-Quran yang tidak diketahui oleh orang lain. Mereka melihat ayat-ayat al-Quran sejatinya bersatu padu, yang terikat dalam sebuah rahasia. Ayat-ayat syifa’ yang tercecer dalam mushaf Al-Quran sejatinya memiliki kaitan satu sama lain yang secara tidak langsung merupakan sebuah kesatuan yang memiliki rahasia tersendiri diantranya adalah dapat digunakan untuk kesembuhan suatu penyakit.

Mengenai keutamaan ayat-ayat syifa’ ini, banyak ulama yang menyebutkan kisah yang dialami oleh Imam Abu Qasim al-Qusyairi. Imam Qusyairi menceritakan sendiri bahwa suatu hari putranya mengalami sakit yang sangat parah. Tidak satu pun yang mampu mengobatinya. Namun beliau tidak putus asa dan terus berusaha, sampai kemudian sang Imam tertidur dan bermimpi “melihat Allah” seraya mengadukan keadaan putranya dan bermohon agar kiranya diberi petunjuk untuk kesembuhan anaknya.

Allah swt. pun berfirman “Wahai Qusyairi bacakanlah ayat-ayat syifa’, lalu tuliskan di secarik kertas lalu masukkan kedalam wadah yang telah berisi air kemudian berikan kepada anakmu agar diminumnya” setelah terbangun beliau pun segera melakukan apa yang baru saja diajarkan Allah kepadanya, dan dengan izin Allah anaknya seketika itu pula sembuh dan pulih sehat seperti sedia kala.

Kisah ini diantaranya diceritakan oleh, Imam Abdurahman Bin Abdissalam dalam kitab Nuzhatu al-Majalis Wa Muntakhabu an-Nafais-nya, Ibn Saif dalam Thabaqat, Sihabuddin ibn Ahmad ibn Muhammad di dalam Hasyiyah ‘Ala Tafsir al-Baidhowi, Imam as-Subki dalam Thabaqat-nya dan Ismail Mustafa Haqqi di dalam tafsirnya, Ruhul Bayan dan ulama-ulama lain.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Isra Ayat 82: Al-Qur’an Sebagai Syifā’ (Penyembuh) Lahir dan Batin

Imam as-Subki berkata “ayat-ayat syifa’ ini telah diuji coba dan sering diamalkan dan aku banyak melihat ulama yang menulis ayat-ayat ini kedalam wadah air kemudian diberikan kepada orang yang sedang sakit mengharap sembuh dengan berkah ayat-ayat ini”. (Hasyiatus Syihab ‘Ala Tafsir al-Baidhawi [6] 55 dan Ruhul Bayan [5] 194). Wallahu a’lam.

Benarkah Surah At-Taubah Ayat 37 Melarang Pengunduran Hari Libur 1 Muharram?

0
benarkah surah at-taubah ayat 37 melarang pengunduran libur 1 muharram?
benarkah surah at-taubah ayat 37 melarang pengunduran libur 1 muharram?

Baru-baru ini muncul berita viral di jagat dunia maya lantaran pemerintah memundurkan Hari Libur Nasional karena ada Peringatan Hari Besar Islam 1 Muharram dari yang sejatinya hari Selasa tanggal 10 Agustus 2021 menjadi hari Rabu, 11 Agustus 2021. Tidak cukup di sini saja, orang-orang yang tidak bertanggungjawab tersebut menyitir surah at-Taubah ayat 37 sebagai dalil yang melegitimasi pemerintah sebagai aktor yang patut dicela karena dianggap telah melakukan perbuatan yang sama dengan yang dilakukan oleh orang-orang Kafir Arab Jahiliyah dalam pengunduran bulan Haram.

Benarkah pengunduran libur 1 Muharram adalah Perbuatan kufur? Bagaimana penafsiran surah at-Taubah ayat 37 ini?

اِنَّمَا النَّسِيْۤءُ زِيَادَةٌ فِى الْكُفْرِ يُضَلُّ بِهِ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا يُحِلُّوْنَهٗ عَامًا وَّيُحَرِّمُوْنَهٗ عَامًا لِّيُوَاطِـُٔوْا عِدَّةَ مَا حَرَّمَ اللّٰهُ فَيُحِلُّوْا مَا حَرَّمَ اللّٰهُ ۗزُيِّنَ لَهُمْ سُوْۤءُ اَعْمَالِهِمْۗ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْكٰفِرِيْنَ ࣖ

“Sesungguhnya pengunduran (bulan haram) itu hanya menambah kekufuran. Orang-orang yang kufur disesatkan dengan (pengunduran) itu, mereka menghalalkannya suatu tahun dan mengharamkannya pada suatu tahun yang lain agar mereka dapat menyesuaikan dengan bilangan yang diharamkan Allah, sehingga mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (Oleh setan) telah dijadikan terasa indah bagi mereka perbuatan-perbuatan buruk mereka itu. Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang kafir.” (Terjemah Kemenag 2019)

Apabila kita melihat surah at-Taubah dari sisi terjemahan, maka mungkin kita akan terjebak dalam Logical Fallacy (kesesatan berpikir) yang menyimpulkan bahwa pengunduran bulan yang diharamkan (seperti Muharram) adalah perbuatan yang menambah kekufuran orang. Agar dapat terhindarkan dari Logical Fallacy, maka lebih baik kita menjelaskan hubungan surah at-Taubah ayat 37 dengan ayat sebelumnya (ayat 36) serta makna pengunduran tersebut dari perspektif ilmu tafsir.

Baca Juga: Apa Saja Amalan Sunnah 10 Muharram? Berikut Penjelasannya

Konteks awal turunnya ayat

Bulan haram (al-hurum) yang dimaksud di Surah at-Taubah ayat 37 adalah bulan-bulan sebagaimana telah disebutkan pada ayat sebelumnya (ayat 36) yaitu empat bulan yang dimulyakan; Rajab, Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. Imam Zamakhsyari dalam kitab Tafsir al-Kasysyaf menjelaskan bahwa orang-orang Arab dahulu menjadikan agama Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail sebagai landasan sehingga mereka senantiasa mengagungkan empat bulan al-hurum tersebut sebagaimana warisan kedua Nabi dan mereka mengharamkan perang di dalamnya. Bahkan, saking mulianya empat bulan haram ini, jikalau ada seseorang bertemu dengan pembunuh ayah atau saudaranya maka dia tidak boleh terbakar emosinya.

Kata النَّسِيْۤءُ berarti التأخير yaitu mengakhirkan, mengundurkan, menunda bulan haram ke bulan yang lain. Dan orang-orang yang disesatkan karena pengunduran tersebut adalah orang-orang kafir yang sedang berperang. Oleh sebab itu, ayat tersebut menyebutkan mereka semakin bertambah kekufurannya yang disebabkan perbuatan mereka dalam hal mengundur bulan haram ke bulan yang lain. Merubah keadaan yang sebenarnya tidak boleh berperang ke keadaan yang boleh berperang. Kemudian, mereka menghalalkan (membolehkan) tindakan tersebut dan menolak bulan-bulan haram secara spesifik untuk diharamkan. Konsekuensinya adalah mereka mengharamkan bulan lainnya yang sebenarnya boleh berperang.

Dalam keterangan kalimat زِيَادَةٌ فِى الْكُفْرِ Imam Zamakhsyari menjelaskan bagaimana orang-orang kafir menambah kekufurannya akibat maksiat yang dilakukan dalam pengunduran bulan Haram tersebut demi tujuan nafsu kekuasaanya dalam berperang. Hal ini karena orang kafir semakin bermaksiat maka semakin bertambah kekufurannya. Sebaliknya, orang mukmin semakin taat maka semakin bertambah keimanannya. Keterangan ini lantas tidak dapat disimpulkan kalau orang kafir tidak bermaksiat terus dia hilang kekufurannya atau juga tidak bisa kalau orang mukmin yang tidak taat kemudian dia tidak menjadi orang beriman. Akan tetapi, yang benar adalah orang kafir jika tidak bermaksiat maka dia tidak bertambah kekufurannya dan jika orang mukmin tidak taat maka jelas, dia tidak bertambah keimanannya.

Dengan demikian, orang kafir Arab Jahiliyah melakukan manipulasi data pertanggalan (kalender) Islam di mana mereka diwajibkan untuk melakukan gencatan senjata dengan lawan perangnya, akan tetapi dengan alasan berat dan sangat “nanggung” untuk ditinggalkan karena ada faktor keuntungan ekonomi dan kekuasaan, akhirnya mereka memanipulasi bulan-bulan haram tersebut menjadi bulan yang halal atau boleh untuk berperang.

Pemalsuan atau manipulasi pertanggalan (kalender) Islam tersebut adalah dengan cara mengundurkan satu atau dua bulan yang diharamkan ke bulan-bulan yang lain, sehingga terjadi tumpang tindih dalam penanggalan Islam yang zaman itu masih belumlah terlalu canggih dan sistematis seperti sekarang ini dalam pencatatan kalender Islam. Dan konteks pengundurannya adalah pengunduran bulan bukan hari atau awal hari dalam bulan-bulan haram.

Pengunduran bulan ini sebagaimana diceritakan dalam beberapa kitab tafsir, seperti Jami’ al-Bayan, al-Kasysyaf, Bahrul Ulum bahwa ada seorang pemimpin dari bangsa Kinanah yang bernama Junadah bin Auf al-Kinani. Dia merupakan juru bicara dan paling banyak pengikutnya di Arab Jahiliyah. Dia berkata dengan lantang di atas kuda: sesungguhnya tuhan-tuhan kalian telah menghalalkan bulan Muharram, maka halalkanlah. Kemudian di tahun berikutnya, dia berkata; bahwa sesungguhnya tuhan-tuhan kalian telah mengharamkan bulan Muharram, maka haram bagi kalian.

Sedikit berbeda dengan ar-Razi dalam Mafatih Al-Ghaib, ia memberi banyak pilihan nama dalam kasus ini, selain Junadah bin Auf al-Kinani ada pula Amr bin Luhayy bin Qam’ah bin Khunduf, Nu’aim bin Tsa’labah, Hudaifah bin ‘Ubaid yang sering disebut dengan Al-Qalammas.

Baca Juga: Tafsir Surah At-Taubah Ayat 37-38

Logical fallacy dalam pengutipan ayat

Dari sini, dapat kita pahami bahwa konteks makna dalam kata  النَّسِيْۤء adalah pengunduran bulan bukan pengunduran satu hari apalagi berkaitan dengan pengunduran hari libur. Apa yang dikutip oleh netizen yang tidak bertanggung jawab dalam pengambilan ayat untuk melegitimasi adanya kekufuran dalam kebijakan pemerintah terkait pengunduran hari libur 1 muharram dari tanggal 10 Agustus 2021 ke 11 Agustus 2021 tidak sama sekali berkaitan dengan objek material yang dibahas oleh surah at-Taubah ayat 37.

Legitimasi yang menyimpulkan pemerintah telah melanggar syariat dan ketentuan Allah dalam pengunduran hari libur 1 Muharam melalui kutipan surah at-Taubah ayat 37 adalah sesuatu yang kontradiktif. Secara fakta, pemerintah (dalam hal ini Kemenag) tetap meletakkan tanggal 1 Muharram pada tanggal 10 Agustus 2021 dan tidak merubah atau mengundurkan satu hari pun ke hari-hari berikutnya, apalagi sebulan. Hanya saja, terkait dengan adanya peringatan 1 Muharram sebagai libur nasional dimundurkan pada tanggal 11 Agustus 2021 di mana pengunduran tersebut tidak ada relevansinya dengan pengunduran 1 Muharram secara kalender Islam.

Berkaitan dengan pengunduran libur nasional 1 Muharram, pemerintah melihat adanya potensi libur long weekend dari hari sabtu sampai selasa sehingga bisa berdampak pada munculnya klaster baru dalam penyebaran Covid-19 baik dari sisi kegiatan maupun liburan masyarakat. Pencegahan penyebaran Covid-19 melalui pengunduran libur nasional 1 Muharram tidak berpengaruh sama sekali dengan kekhusyukan umat Islam dalam mengisi peringatan hari besar Islam baik melalui ibadah maupun kegiatan-kegiatan tradisi lokal karena tanggal 1 Muharram tetap sesuai dengan kalender Islam yang jatuh pada tanggal 10 Agustus 2021.

Baca Juga: Peristiwa Bersejarah Apa Saja di Bulan Muharram? Ini Dia Kisahnya

Dengan demikian, pengutipan surah at-Taubah ayat 37 untuk melegitimasi pemerintah yang kufur dalam pengambilan kebijakan pengunduran libur 1 Muharram adalah manipulasi yang sangat fatal. Selain itu, pengambilan kesimpulan adanya istilah pengunduran bulan haram di dalam surah itu sebagai dasar logika dalam pengkufuran pemerintah adalah benar-benar kesesatan berpikir (logical fallacy). Penggunaan logical fallacy ini disengaja oleh mereka dalam berargumentasi dengan tujuan untuk propaganda dan tipu muslihat dalam mempengaruhi umat Islam. Maka kita harus berhati-hati untuk melihat penafsiran-penafsiran virtual dari tokoh agama untuk hawa nafsu semata ataukah untuk kebenaran yang sesungguhnya. Wallahu a’lam

Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 5 (2)

0
Tafsir Surah Al-Hajj
Tafsir Surah Al-Hajj

Setelah manusia melewati proses nuthfah,’alaqah, mudhgah, lalu ditiupkan ruh sehingga seorang wanita hamil, maka kali ini Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 5 (2) akan mejelaskan lanjutan tafsir sebelumnya, yaitu dari manusia menjadi sebuah janin hingga proses tumbuhnya menjadi seorang manusia dewasa, kemudian meninggal dan kembali pada ketiadaan lagi, sama seperti awal adanya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 5 (1)


Ayat 5

  1. Kemudian janin itu dikandung ibunya selama waktu yang ditentukan Allah. Masa kandungan normal adalah sembilan bulan lebih sepuluh hari. Sekurang-kurangnya usia kandungan adalah enam bulan, sebagaimana dipahami dari ayat bahwa lama mengandung dan menyusui itu tiga puluh bulan, sedangkan lama menyusui saja dua tahun atau dua puluh empat bulan.
  2. Selanjutnya datanglah waktu kelahiran. Bayi dari hari ke hari tumbuh menjadi kanak-kanak.
  3. Kanak-kanak terus tumbuh menjadi dewasa sampai kondisi sempurna, baik jasmani maupun rohani.
  4. Di antara manusia ada yang meninggal sebelum kondisi ideal itu. Tetapi ada manusia yang baru meninggal setelah usia lanjut sampai pikun sehingga tidak dapat mengingat apa-apa lagi.

Proses perkembangan manusia dari kondisi lemah menjadi kuat dari kondisi kuat menjadi lemah kembali atau sejak lahir, menjadi dewasa dan menjadi tua dilukiskan dalam firman Allah:

۞ اَللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْۢ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنْۢ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَّشَيْبَةً ۗيَخْلُقُ مَا يَشَاۤءُۚ وَهُوَ الْعَلِيْمُ الْقَدِيْرُ

Allah-lah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dan Dia Maha Mengetahui, Mahakuasa.  (ar-Rum/30: 54)

Selanjutnya setelah manusia meninggal, kehidupan tidaklah berakhir. Tetapi mereka akan dibangkitkan kembali untuk diperiksa amal perbuatan mereka. Kemudian mereka akan diberi balasan atau ganjaran. Allah berfirman:

ثُمَّ اِنَّكُمْ بَعْدَ ذٰلِكَ لَمَيِّتُوْنَ ۗ  ١٥  ثُمَّ اِنَّكُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ تُبْعَثُوْنَ  ١٦

Kemudian setelah itu, sesungguhnya kamu pasti mati. Kemudian, sesungguhnya kamu akan dibangkitkan (dari kuburmu) pada hari Kiamat. (al-Mu`minun/23: 15-16)


Baca Juga : Dinamika Awal Pencetakan Al-Qur’an dalam Kajian Hamam Faizin


Kemudian Allah mengemukakan petunjuk adanya hari Kiamat dan hari kebangkitan, selain yang telah dikemukakan di atas dengan memberikan contoh kehidupan tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di permukaan bumi. Perhatikanlah bumi yang tandus dan kering, tiada ditumbuhi tumbuh-tumbuhan apa pun. Kemudian turunlah hujan membasahi permukaan bumi itu.

Maka permukaan bumi itu mulai gembur dan subur lalu mulai ditumbuhi oleh tumbuh-tumbuhan. Semakin lama tumbuh-tumbuhan itu semakin besar, bahkan daun-daunnya telah menutupi permukaan bumi yang semulanya tandus, dengan warna-warni yang beraneka ragam ada yang hijau, ada yang keputih-putihan, ada yang merah dan sebagainya.

Perpaduan warna-warni daun-daunan itu sangat indah dan menakjubkan dan semakin indah oleh warna-warni bunga-bungaan yang bermacam corak warnanya. Maka permukaan bumi yang dahulunya tandus telah berubah menjadi hamparan pohon-pohon dan tanaman-tanaman yang beraneka ragam warnanya.

Setelah sampai masanya bunga-bunga itu berubah menjadi putik-putik yang berangsur-angsur besar pula, sampai menjadi buah. Pada saat buah telah masak siap untuk dipetik, maka berdatanganlah manusia yang akan memetiknya.

Buah-buahan itu merupakan rezeki yang halal bagi manusia, baik untuk dimakannya maupun untuk dijadikan keperluan yang lain yang bermanfaat baginya. Setelah itu datang lagi musim kemarau, bumi kembali menjadi kering dan tandus seperti sediakala.

Demikianlah keadaan bumi itu, yang berubah keadaannya setiap pergantian musim, dari mati dan tandus menjadi hidup dan subur ketika disirami hujan, menghasilkan buah yang bermanfaat bagi manusia, kemudian tumbuh-tumbuhan itu mati pada musim panas dan kering untuk dihidupkan kembali pada musim hujan.

Manusia yang berpikir, tentulah akan memikirkan proses hidup dan kematian bumi dan segala yang ada di permukaanya itu. Pikirannya tentu akan sampai kepada Zat yang menentukan kehidupan dan kematian itu. Manusia yang beriman dan berpikir, tentulah baginya semua proses kejadian itu menambah kuat imannya kepada kekuasaan dan keesaan Tuhan, yang menghidupkan dan mematikan makhluk-makhluk-Nya, menurut yang dikehendaki-Nya.

Jika Allah telah berbuat demikian, tentulah Dia mampu pula menciptakan dan membangkitkan manusia kembali di kemudian hari, karena mengulang penciptaan sesuatu kembali adalah lebih mudah dari menciptakannya buat pertama kalinya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 6-9


Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 5 (1)

0
Tafsir Surah Al-Hajj
Tafsir Surah Al-Hajj

Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 5 (1) menjelaskan bahwa efek dari godaan setan diantaranya adalah muncul manusia yang menentang hari Kiamat. Untuk itu, dalam tafsir kali ini, akan dijelaskan bagaimana Allah menepis sikap manusia yang demikian dengan memberikan perumpaan nyata bahwa tidak ada yang mustahil bagi-Nya, termasuk hari Kiamat.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 3-4


Di sini, Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 5 (1) memberi perumpamaan kepada manusia terkait awal penciptaan manusia itu sendiri, yang secara rasional tentu akan sulit dianalogikan, akan tetapi faktanya, manusia bisa tumbuh dan terlahir ke dunia ini.

Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 5 (1) juga menerangkan beberapa istilah yang akan mengiringi proses lahirnya manusia ke dunia ini, yaitu; nuthfah, ‘alaqah, dan mudhgah. Ketiga kata ini cukup sering dijumpai dalam teks, baik al-Qur’an maupun hadis-hadis nabi, dan berikut penjelasan tafsirnya.

Ayat 5

Pada ayat ini Allah menentang orang-orang yang tidak percaya akan adanya hari Kiamat dan hari kebangkitan. Seandainya mereka tetap tidak mempercayainya hendaklah mereka mengemukakan alasan-alasan dan bukti-bukti yang dapat menguatkan pendapat mereka itu. Tetapi mereka tidak dapat mengemukakannya.

Karena itu Allah memberikan contoh diri mereka sendiri, yaitu mulai dari sperma-ovum, kemudian menjadi zygat, ‘alaqah, janin, kemudian lahir menjadi besar dan kemudian mati, bila menciptakan dari tiada Allah mampu, tentu saja mengulang penciptaan manusia kembali adalah lebih mudah dari penciptaan pertama kali.

Orang yang tidak percaya akan adanya hari kebangkitan menganggap kebangkitan itu merupakan suatu kejadian yang mustahil terjadi. Dalam pandangan mereka tidak mungkin tulang belulang yang telah lapuk berserakan, dan daging-daging yang telah hancur luluh menjadi tanah akan kembali bersatu dalam bentuk seperti semula.

Kesanggupan dan kekuasaan Allah mereka ukur sama dengan kesanggupan dan kekuasaan mereka sendiri. Jika mereka merasa tidak sanggup melakukan sesuatu pekerjaan, tentu Allah tidak pula akan sanggup melakukannya. Mereka yang tidak percaya itu semata-mata karena keingkaran saja, karena dikuasai hawa nafsu dan godaan setan, sedangkan hati dan akal pikiran mereka sebenarnya mengakuinya.

Mereka khawatir kedudukan dan pangkat mereka akan terancam jika mereka mengikuti kepercayaan dan agama yang dibawa oleh Muhammad saw. Karena itu mereka membantah Allah tanpa berdasar ilmu pengetahuan yang benar.

Pada ayat ini Allah mengemukakan petunjuk tentang adanya hari kebangkitan dengan mengemukakan dua macam alasan. Pertama ialah berhubungan dengan proses kejadian manusia dan yang kedua berhubungan dengan proses kehidupan dan pertumbuhan tumbuh-tumbuhan.

Proses kejadian manusia di dalam rahim ibunya dan kehidupannya dari lahir sampai mati sebagai berikut:

  1. Allah telah menciptakan manusia pertama, yaitu Adam as, dari tanah. Kemudian dari Adam diciptakan istrinya Hawa, dan dari kedua makhluk itu berkembangbiaklah manusia melalui proses yang cukup panjang. Dapat pula berarti bahwa manusia diciptakan Allah melalui pembuahan ovum oleh sperma di dalam rahim perempuan.

Kedua sel itu berasal dari darah, darah berasal dari makanan yang dimakan manusia, dan makanan manusia berasal dari tumbuh-tumbuhan dan ada yang berasal dari binatang ternak atau hewan-hewan yang lain. Semuanya itu berasal dari tanah sekalipun telah melalui beberapa proses. Karena itu tidaklah salah jika dikatakan bahwa manusia itu berasal dari tanah.

  1. Dalam ayat ini disebutkan bahwa manusia itu berasal dari nutfah. Yang dimaksud dengan nutfah ialah zygat, yaitu ovum yang sudah dibuahi oleh sperma.
  2. ‘Alaqah, yaitu zygat yang sudah menempel di rahim perempuan.
  3. Mudhgah, yaitu ‘alaqah yang telah berbentuk kumpulan sel-sel daging, sebesar yang dikunyah. (mudhgah artinya mengunyah). Mudhgah itu ada yang tumbuh sempurna, tidak cacat dan ada pula yang tumbuh tidak sempurna dan cacat.

Kejadian sempurna dan tidak sempurna inilah yang menimbulkan kesempurnan fisik manusia, cacat atau keguguran. Proses kejadian nutfah menjadi ‘alaqah adalah empat puluh hari, dari ‘alaqah menjadi mudhgah” juga empat puluh hari. Kemudian setelah lewat empat puluh hari itu, Allah, meniupkan roh, menetapkan rezeki, amal, bahagia dan sengsara, menetapkan ajal dan sebagainya, sebagaimana tersebut dalam hadis:

اِنَّ اَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِى بَطْنِ اُمِّهِ اَرْبَعِيْنَ يَوْمًا نُطْفَةً ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذٰلِكَ ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذٰٰلِكَ ثُمَّ يُرْسَلُ اْلمَلَكُ فَيُنْفَخُ فِيْهِ الرُّوْحُ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَعَمَلِهِ وَاَجَلِهِ وَشَقِيٌّ اَوْ سَعِيْدٌ. (رواه البخاري ومسلم عن ابن مسعود)

Sesungguhnya penciptaan seseorang di antara kamu disatukan dalam perut ibunya selama 40 malam dalam bentuk nutfah, kemudian menjadi ‘alaqah selama itu pula lalu menjadi mudhgah selama itu pula. Kemudian Allah mengutus malaikat, lalu meniupkan roh ke dalamnya, maka (malaikat itu) diperintahkan menulis empat kalimat, yaitu  menuliskan rezekinya, amalnya, ajalnya, bahagia atau sengsara. (Riwayat al-Bukhāri dan Muslim dari Ibnu Mas’ud)


Baca Juga : Makna Hayat dalam Al-Quran: Kehidupan dan Ciri-Cirinya


Dalam hadis yang lain diterangkan:

يَدْخُلُ الْمَلَكُ عَلَى النُّطْفَةِ بَعْدَ مَا تَسْتَقِرُّ فِى الرَّحْمِ بِأَرْبَعِيْنَ اَوْخَمْسَةٍ وَاَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً فَيَقُوْلُ يَارَبِّ, أَشَقِيٌّ اَوْ سَعِيْدٌ فَيُكْتَبَانِ فَيَقُوْلُ يَارَبِّ, أَذَكَرٌ اَوْ أُنْثَى فَيُكْتَبَانِ وَيُكْتَبُ عَمَلُهُ وَأَثَرُهُ وَاَجَلُهُ وَرِزْقُهُ ثُمَّ تُطْوَى الصُّحُفُ فَلاَيُزَادُ فِيْهَا وَلاَيُنْقَصُ. (رواه ابن ابى حاتم ومسلم)

Bersabda Rasulullah saw, “Malaikat mendatangi nuthfah setelah menetap di dalam rahim 40 atau 45 hari, maka ia berkata, “Wahai Tuhanku: Burukkah atau untungkah?” (Lalu Allah memfirmankan buruk atau baiknya), maka ditulislah keduanya (yakni buruk atau baiknya).

Maka Malaikat berkata pula, “Wahai Tuhanku laki-lakikah dia atau perempuan?” (Lalu Allah memfirmankan tentang laki-lakikah dia atau perempuan), maka ditulislah keduanya (yakni laki-laki atau perempuan), dan ditulislah kerja, peninggalan, ajal dan rezekinya. Kemudian ditutuplah lembaran-lembaran itu, maka apa yang telah dituliskan di dalamnya tidak dapat ditambah atau dikurangi lagi. (Riwayat Ibnu Abi Hātim dan Muslim)

Allah menetapkan proses kejadian yang demikian, yaitu membiarkan nuthfah, ‘alaqah, mudhgah sampai berbentuk janin yang sempurna dalam waktu yang ditentukan itu, adalah untuk menerangkan kepada manusia tanda-tanda kekuasaan, kebesaran dan kekokohan aturan-aturan yang dibuat-Nya, dan untuk menjadi bahan pemikiran bagi manusia.

Sesungguhnya Allah kuasa menciptakan manusia pada kali yang pertama, tentulah Dia kuasa pula menciptakannya pada kali yang kedua, dan menciptakan sesuatu pada kali yang kedua itu biasanya lebih mudah dari menciptakannya pada kali yang pertama.

Membangkitkan manusia dari kubur pada hakikatnya adalah menciptakan manusia pada kali yang kedua. Tentu hal itu sangat mudah bagi Allah. Bahkan jika Allah menghendaki kejadian sesuatu tidak melalui proses yang demikian, tidaklah sukar bagi Allah. Karena jika Dia menghendaki adanya sesuatu, cukuplah Dia mengatakan kepadanya, “Jadilah.” Maka terwujud sesuatu itu.

Sebagaimana firman-Nya:

اِنَّمَآ اَمْرُهٗٓ اِذَآ اَرَادَ شَيْـًٔاۖ اَنْ يَّقُوْلَ لَهٗ كُنْ فَيَكُوْنُ

Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu Dia hanya berkata kepadanya, ”Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu. (Yāsin/36: 82)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 5 (2)


Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 3-4

0
Tafsir Surah Al-Hajj
Tafsir Surah Al-Hajj

Sebelumnya telah diterangkan tentang keganasan hari Kiamat, adapaun Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 3-4 akan menerangkan tentang keingkaran manusia atas cerita tersebut, bahkan beberapa diantara mereka ada yang mendebat kekuasaan Allah Swt. Maka, bagi manusia yang demikian, adalah golongan yang sudah terjebak dalam perangkap rayuan setan yang terkutuk.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 2


Setan adalah makhluk yang dilaknat oleh Allah Swt, kerjaan mereka hanyalah menyesatkan manusia agar melakukan perbuatan keji dan mungkar, namun ada sebagian manusia yang tidak mampu mereka taklukkan, yaitu mereka yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt. sebagaimana penjelasan dalam Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 3-4 berikut.

Ayat 3

Ayat ini menerangkan bahwa sekalipun Allah telah menerangkan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi pada hari Kiamat, namun banyak manusia yang mengingkarinya, bahkan mereka bertindak lebih dari itu.

Mereka tidak saja mengatakan bahwa Allah tidak kuasa membangkitkan dan menghidupkan manusia kembali setelah hancur dan berserakan menjadi tanah, Allah mempunyai anak dan mempunyai syarikat, Al-Qur’an isinya tidak lain hanyalah dongeng-dongeng orang-orang purbakala, tetapi mereka berbuat lebih dari itu yaitu menantang Allah.

Mereka berkata, “Seandainya Allah itu benar-benar Mahakuasa cobalah turunkan azab yang pedih yang pernah dijanjikan itu,” dan tantangan-tantangan yang lain.

Menurut Ibnu Abi Hātim, ayat ini diturunkan berhubungan dengan Nadhar bin Harits, ia membantah keesaan dan kekuasaan Allah dengan mengatakan, “Malaikat itu adalah putri-putri Allah, Al-Qur’an itu tidak lain adalah dongengan orang-orang purbakala saja. Allah tidak kuasa menghidupkan orang-orang yang telah mati yang tubuhnya telah hancur luluh menjadi tanah.”

Menurut Zamakhsyari, “Sekalipun ayat ini ditujukan kepada Nadhar bin Haris pada waktu turunnya, tetapi ayat ini berlaku umum dan ditujukan kepada semua orang yang membantah Allah, tanpa pengetahuan dan menetapkan sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya.”

Allah mencela orang yang berdebat tentang Allah, mengingkari keesaan dan kekuasaan-Nya, tanpa dasar pengetahuan yang benar dan bukti yang kuat. Jika mereka hendak mengemukakan sesuatu tentang Allah, hendaklah mereka menggunakan dalil-dalil dan bukti-bukti yang kuat.

Dalam pada itu Allah memperingatkan bahwa akal dan pikiran manusia tidak akan sanggup untuk mengenal dan memikirkan zat Allah, karena zat Allah merupakan sesuatu yang gaib.

Tetapi jika ingin mengetahui adanya Tuhan, keesaan dan kekuasaan-Nya pikirkanlah makhluk-makhluk yang telah diciptakan-Nya seperti jagat raya dan segala isinya, hukum-hukum yang mengaturnya, bumi dengan segala isinya, gunung-gunung dengan lembah-lembahnya, lautan yang luas dengan segala kandungannya dan diri mereka sendiri serta semua makhluk yang telah diciptakan Allah.

Allah berfirman:

اَوَلَمْ يَتَفَكَّرُوْا فِيْٓ اَنْفُسِهِمْ ۗ مَا خَلَقَ اللّٰهُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَآ اِلَّا بِالْحَقِّ وَاَجَلٍ مُّسَمًّىۗ وَاِنَّ كَثِيْرًا مِّنَ النَّاسِ بِلِقَاۤئِ رَبِّهِمْ لَكٰفِرُوْنَ

Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan dalam waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar mengingkari pertemuan dengan Tuhannya.  (ar-Rum/30: 8)

Dan firman Allah:

وَاَلْقٰى فِى الْاَرْضِ رَوَاسِيَ اَنْ تَمِيْدَ بِكُمْ وَاَنْهٰرًا وَّسُبُلًا لَّعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَۙ  ١٥  وَعَلٰمٰتٍۗ وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُوْنَ    ١٦  اَفَمَنْ يَّخْلُقُ كَمَنْ لَّا يَخْلُقُۗ اَفَلَا تَذَكَّرُوْنَ   ١٧

Dan Dia menancapkan gunung di bumi agar bumi itu tidak goncang bersama kamu, (dan Dia menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk, dan (Dia menciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang mereka mendapat petunjuk. Maka apakah (Allah) yang menciptakan sama dengan yang tidak dapat menciptakan (sesuatu)? Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (an-Nahl/16: 15-17)

Allah mencela orang yang buruk budi pekertinya, yaitu orang yang mengikuti setan. Setan itu mempunyai budi pekerti yang buruk karena ia mengikuti dan memperturutkan hawa nafsunya, karena keangkuhannya ia enggan sujud kepada Adam sebagaimana yang diperintahkan Allah.

Ia melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah, menginginkan orang lain mengikuti perbuatan-perbuatannya yang tercela itu, berusaha dengan segala tipu dayanya agar manusia memandang baik segala perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah, seperti mempersekutukan Tuhan, meminum khamar, berjudi, berzina, menumpuk harta untuk kepentingan diri sendiri, menindas orang lain dan sebagainya. Setan itu ada yang berupa setan jin dan ada pula yang berupa setan manusia.


Baca Juga : Surah Ibrahim Ayat 28: Larangan Memanipulasi Nikmat Allah Swt dalam Konteks Berbangsa


Ayat 4

Ayat ini menerangkan bahwa Allah telah memberi kesempatan bagi setan melakukan segala macam usaha untuk menyesatkan dan memperdayakan manusia, agar manusia menjadi sesat dan ingkar sebagaimana yang telah ia lakukan. Tetapi usaha itu hanyalah dapat dilakukannya terhadap orang-orang kafir dan tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedang hamba-hamba Allah yang mukmin dan mukhlis tidak dapat mereka ganggu dan perdayakan sedikit pun.

Allah berfirman:

قَالَ رَبِّ بِمَآ اَغْوَيْتَنِيْ لَاُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِى الْاَرْضِ وَلَاُغْوِيَنَّهُمْ اَجْمَعِيْنَۙ    ٣٩  اِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِيْنَ   ٤٠

Ia (Iblis) berkata, ”Tuhanku, oleh karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih di antara mereka.” (al-Hijr/15: 39-40)

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa Allah mengingatkan agar manusia waspada terhadap godaan setan. Barang siapa yang memperturutkan godaan setan dan menempuh jalannya, maka Allah menyesatkan mereka pula dengan melapangkan jalan yang dibentangkan setan itu sehingga mereka mudah melaluinya.

Karena itu mereka akan dimasukkan ke dalam neraka bersama-sama setan yang menggodanya itu. Seorang yang telah terbiasa mengikuti jalan setan itu amat sulit baginya kembali ke jalan yang benar, karena hatinya telah ditutupi oleh keinginan setan itu.

Allah berfirman:

مَنْ يُّضْلِلِ اللّٰهُ فَلَا هَادِيَ لَهٗ  ۖوَيَذَرُهُمْ فِيْ طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُوْنَ

Barang siapa dibiarkan sesat oleh Allah, maka tidak ada yang mampu memberi petunjuk. Allah membiarkannya terombang-ambing dalam kesesatan. (al-A’rāf/7: 186)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 5


Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 2

0
Tafsir Surah Al-Hajj
Tafsir Surah Al-Hajj

Melanjutkan tafsir sebelumnya tentang kengerian hari Kiamat, Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 2 akan menjelaskan bagaimana dahsyatnya peristiwa itu, dan gambaran ketika hari itu tiba akan dijelaskan pada tafsir kali ini, diantaranya adalah hubungan seorang ibu dan anak yang tidak lagi terjalin harmonis, wanita yang sedang mengandung akan mengalami keguguran, dan semua manusia tidak dalam kondisi baik, mereka bagaikan sedang mabuk padahal sama sekali tidak. Selengkapnya, simak penjelasan berikut.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 1


Ayat 2

Dalam ayat ini diterangkan betapa dahsyatnya peristiwa yang terjadi pada hari Kiamat itu dan betapa besar pengaruhnya kepada seseorang, di antaranya:

  1. Pada hari itu ibu yang sedang menyusukan anaknya lalai dari anaknya. Padahal hubungan antara ibu dan anak adalah hubungan yang paling dekat dibandingkan dengan hubungan manusia dengan manusia yang lain.

Demikian pula hubungan kasih sayang ibu dengan anaknya adalah hubungan kasih sayang yang tidak akan putus-putusnya. Di antara perwujudan hubungan kasih sayang ibu dengan anaknya itu ialah ibu menyusukan tanpa pamrih anaknya yang masih kecil dan air susu ibu itu merupakan makanan pokok bagi si bayi. Tanpa adanya makanan itu si bayi bisa mati kelaparan dan hal ini benar-benar disadari akibatnya oleh setiap ibu.

Karena itu ibu berkewajiban menyusukan anaknya yang merupakan jantung hatinya itu, setiap saat yang diperlukan. Pada hari Kiamat yang demikian mengerikan dan dahsyatnya peristiwa yang terjadi, seakan hubungan yang demikian itu terputus. Di dalam diri si ibu waktu itu timbul rasa takut dan ngeri melihat suasana yang kacau balau itu, sehingga si ibu lupa menyusukan anaknya, dan lupa segala-galanya termasuk anaknya yang sedang menyusu.

  1. Pada hari Kiamat itu gugurlah semua kandungan perempuan yang hamil. Biasanya keguguran kandungan perempuan yang hamil terjadi, jika terjadi peristiwa yang sangat mengejutkan dan menakutkan hati atau karena terjatuh atau mengalami guncangan yang keras, seperti guncangan kendaraan dan sebagainya.

Pada hari Kiamat itu terjadi gempa bumi dan guncangan yang hebat yang menghancurkan manusia yang hidup, termasuk di dalamnya perempuan-perempuan yang hamil beserta anak yang sedang dikandungnya.


Baca Juga : Apa Makna “Kiamat Sudah Dekat” dalam Al-Quran? Ini Penjelasannya


Al-Hasan berkata, yang dimaksud dengan “lalailah semua perempuan yang menyusukan anak dari anak yang disusukannya”, ialah kelalaian yang bukan disebabkan karena menyapih anak itu, dan yang dimaksud dengan “gugurlah semua kandungan perempuan yang hamil” ialah anak yang dikandung itu lahir sebelum sempurna waktunya.

  1. Pada hari itu manusia kelihatan seperti orang yang sedang mabuk, padahal ia bukan sedang mabuk. Hal ini menunjukkan kebingungan mereka tidak tahu apa yang harus mereka kerjakan, semua dalam keadaan takut, dalam keadaan mencari-cari tempat berlindung, dan berusaha menghindarkan diri dari malapetaka yang sedang menimpa itu.

Keadaan dan peristiwa yang diterangkan di atas adalah untuk melukiskan dan menggambarkan kepada manusia, betapa dahsyatnya malapetaka yang terjadi pada hari Kiamat itu, sehingga gambaran itu dapat menjadi pelajaran dan peringatan bagi mereka, kendati pun kejadian yang sebenarnya lebih dahsyat lagi dari yang digambarkan itu.

Sedang kejadian yang sebenarnya yang terjadi pada hari Kiamat itu tidak dapat digambarkan kedahsyatannya, karena tidak ada suatu kejadian yang terjadi sebelumnya yang dapat dijadikan sebagai perbandingan.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 3-4