Beranda blog Halaman 243

Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 1

0
Tafsir Surah Al-Hajj
Tafsir Surah Al-Hajj

Surah al-Hajj termasuk kategori surah Makkiyah yang berjumlah 78 ayat, yang akan diawali dengan Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 1 tentang azab Allah Swt, bahwa manusia sebagai hamba hendaklah  menjaga dirinya dengan meningkatkan ketakwaan kepada-Nya. Sebab, azab Allah akan selalu ada hingga hari Kiamat tiba, dimana semua makhluk yang masih hidup di dunia akan menyaksikan kehancuran alam semesta, demikianlah yang dijanjikan Allah dalam al-Qur’an.

Ayat 1

Ayat ini menghimbau agar manusia mawas diri serta menjaga dirinya dari azab Allah, dengan mengikuti perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.

Perintah itu berlaku sejak ayat ini diturunkan sampai datangnya hari Kiamat, yang ditandai dengan terjadinya gempa bumi yang amat dahsyat, menghancurleburkan seluruh yang ada dalam jagat raya ini.

Allah memerintahkan yang demikian adalah karena guncangan dan malapetaka yang terjadi pada hari yang sangat hebat itu tiada taranya. Dalam firman Allah yang lain diterangkan guncangan dan gempa bumi yang terjadi pada hari itu. Allah berfirman:

اِذَا زُلْزِلَتِ الْاَرْضُ زِلْزَالَهَاۙ  ١  وَاَخْرَجَتِ الْاَرْضُ اَثْقَالَهَاۙ  ٢

Apabila bumi diguncangkan dengan guncangan yang dahsyat, dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya. (az-Zalzalah/99: 1-2)

Dan firman Allah:

وَّحُمِلَتِ الْاَرْضُ وَالْجِبَالُ فَدُكَّتَا دَكَّةً وَّاحِدَةًۙ  ١٤  فَيَوْمَىِٕذٍ وَّقَعَتِ الْوَاقِعَةُۙ  ١٥

Dan diangkatlah bumi dan gunung-gunung, lalu dibenturkan keduanya sekali benturan. Maka pada hari itu terjadilah hari Kiamat. (al-Hāqqah/69: 14-15)

Dari ayat itu dipahami bahwa orang-orang yang bertakwa, tidak merasa ngeri dan takut pada hari Kiamat itu, karena mereka telah percaya bahwa hari Kiamat itu pasti terjadi, bahwa mereka telah yakin benar akan mendapat perlindungan dan pertolongan Allah pada hari itu, serta yakin pula bahwa tidak seorang pun yang dapat memberi perlindungan dan pertolongan pada hari itu selain dari Allah Yang Mahakuasa, Maha Pengasih kepada hamba-hamba-Nya.

Sebaliknya orang-orang yang ingkar kepada Allah; tidak mengikuti perintah-Nya dan tidak menghentikan larangan-larangan-Nya akan merasakan akibat guncangan bumi dan kehancuran dunia pada waktu itu, sebagai siksaan yang tiada taranya.

Mereka tidak dapat menghindarkan diri daripadanya sedikit pun dan tidak ada seorang pun yang dapat menolong mereka, karena Allah hanya akan menolong dan melindungi hamba-hamba-Nya.

Menurut suatu riwayat, bahwa ayat ini diturunkan pada malam hari, pada waktu terjadi peperangan Bani Mustalik, lalu Nabi Muhammad saw membacakan ayat ini kepada para sahabat. Setelah beliau membacakan ayat ini, beliau pun menangis dan para sahabat juga ada yang ikut menangis, ada yang gundah gulana dan ada pula yang merenungi ayat ini.


Baca Juga : 5 Ragam Makna Kata Haqq dan Kontesknya dalam Al-Qur’an


Hal ini menunjukkan bagaimana kekhawatiran Nabi Muhammad saw dan para sahabat terhadap malapetaka yang besar yang terjadi pada hari Kiamat itu, sekalipun dalam diri mereka telah terpatri dengan kokoh iman dan kesabaran, dan mereka pun telah percaya bahwa Allah pasti menolong kaum Muslimin.

Hari Kiamat adalah hari kehancuran dunia, merupakan masa peralihan dari masa kehidupan dunia yang fana ini beralih ke masa kehidupan akhirat yang kekal lagi abadi. Pada waktu itu terjadi suatu kejadian yang amat mengerikan, seluruh planet dan benda-benda angkasa satu dengan yang lain berbenturan, sehingga pecah berserakan menjadi kepingan-kepingan yang halus.

Pada waktu itu lenyaplah segala yang ada di alam ini. Hanya yang tidak lenyap waktu itu ialah Tuhan Yang Mahakuasa, Maha Perkasa. Setelah alam fana ini lenyap semuanya, Allah menggantikannya dengan alam yang lain, yaitu alam akhirat. Pada waktu itu seluruh manusia dibangkitkan kembali dari kuburnya untuk ditimbang amal perbuatannya.

Perbuatan baik dibalas dengan surga yang penuh kenikmatan, sedang perbuatan jahat dan buruk dibalas dengan siksa yang pedih di dalam neraka yang menyala-nyala. Pada waktu itulah manusia memperoleh keadilan yang hakiki dari Tuhannya, yang selama hidup di dunia mereka tidak memperolehnya.

Kepercayaan akan adanya hari Kiamat termasuk salah satu dari rukun iman yang wajib diimani dan diyakini oleh setiap orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada Allah dan kepada Nabi Muhammad saw yang telah diutusnya.

Hari Kiamat itu termasuk salah satu dari perkara yang gaib, karena itu sukar untuk mengemukakan bukti-bukti yang nyata tentang hari Kiamat. Akan tetapi jika seseorang telah percaya dengan sungguh-sungguh bahwa Allah Mahakuasa dan Mahaadil, Dia cinta dan kasih sayang kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, maka orang itu akan sampai kepada kepercayaan akan adanya hari Kiamat.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Hajj 2


5 Ragam Makna Kata Haqq dan Kontesknya dalam Al-Qur’an

0
Kata Haqq
Kata Haqq

Al-Qur’an bagai lautan yang tak bertepi tapi bisa digapai; lautan yang sangat dalam tapi bisa diselami (Ahsin Sakho Muhammad, 2020). Barangkali begitulah perumpamaan yang tepat dalam menggali makna-makna yang terkandung didalam Al-Qur’an. Keluasaan makna yang terdapat dari satu kata ke kata lainnya membuat Al-Qur’an miliki karakteristik bahasa nun indah dan menjadikannya berbeda dengan bahasa manapun. Quraish Shihab dalam buku Mukjizat Al-Qur’an menyebutkan bahwa Al-Qur’an memiliki keistimewaan; yakni kata dan kalimat-kalimatnya yang singkat dan dapat menampung banyak makna. Al-Qur’an bagaikan berlian yang memancarkan cahaya dari setiap isinya.

Imam Al-Raghib al-Asfahani berpandangan bahwa setiap kata yang memiliki mutaradif (persamaan makna) di dalam Al-Qur`an tidak dapat disamakan maknanya sepenuhnya. Hal ini disebabkan susunan kata di dalam Al-Qur`an memiliki kekhususan di setiap maknanya dan memiliki kesesuaian dalam setiap susunannya, sehingga suatu kata di dalam Al-Qur’an tidak dapat digantikan dengan kata lain meskipun memiliki kemiripan makna. Maka dari itu, berikut penulis akan menyajikan lima makna kata Haqq dalam Al-Qur’an sesuai konteks kalimat sebelum maupun setelahnya.

Makna Dasar

Kata Haqq  (  حق) berasal dari  حق – يحق – حقا . Dalam kamus al-Munawwir, arti haqq ialah pasti, tetap, dan patut. Dalam bentuk  حقيقة dimaknai dengan benar, asli atau استحق yang berarti berhak. Menurut Raghib al-Ashfahani dalam Mu’jam Mufradat Li al-Fadlil Qur’an kata haqq berasal dari  مطابقةatau موافقة yang berarti kesesuaian. Lanjutnya, kata Haqq dalam Al-Qur’an memiliki empat kedudukan, yaitu:

  1. Menunjukkan hikmah/kedudukan.

Kata ini ditujukan kepada Allah Ta’ala dengan lafazh هوالحق yang termaktub dalam QS. Yunus (10): 30.

  1. Sesuatu yang sesuai dengan hikmah/kedudukannya.

Hal ini berkaitan dengan semua perbuatan Allah, terdapat dalam QS. Yunus (10): 5.

  1. Suatu kepercayaan yang sesuai dengan apa yang ada dalam dirinya.

Contoh kepercayaan ini ialah berupa percaya pada surga dan neraka, percaya yaumul akhir dan sebagainya. Terdapat dalam QS.Al-Baqarah (2): 213.

  1. Perbuatan atau perkataan yang sesuai dengan apa yang diwajibkan dan sesuai dengan kadarnya. Hal ini tercantum dalam QS. As-Sajdah (32): 13.

Baca Juga: Empat Kata yang Digunakan Al-Quran untuk Makna Kematian

Mengacu pada Mu’jam al-Mufahras li al-Fadlil Qur’an kata haqq beserta derivasinya disebutkan dalam al-Qur’an dengan beberapa bentuk, seperti lafadz al-haqqu (الحق) disebutkan sebanyak 227 kali yang tersebar dalam 58 surat. Kemudian, dalam bentuk kata haqq (حق) sebanyak 12 kali dalam 2 surat, kata يحق disebutkan sebanyak 4 kali dalam 3 surat, حقا disebutkan sebanyak 17 kali yang tersebar dalam 11 surat. Sedangkan untuk kata استحق,  استحقا,  حقة, الحاقة penyebutannya hanya satu kali di dalam Al-Qur’an.

Makna Kata Haqq

  1. Bermakna sebagai Dzat Allah Swt.

Allah sebagai Haqq merupakan puncak makna dari Kata Haqq itu sendiri. Bermakna sebagai dzat Allah tercantum dalam Firman-Nya:

وَلَوِ ٱتَّبَعَ ٱلۡحَقُّ أَهۡوَآءَهُمۡ لَفَسَدَتِ ٱلسَّمَـٰوَٲتُ وَٱلۡأَرۡضُ وَمَن فِيهِنَّ‌ۚ بَلۡ أَتَيۡنَـٰهُم بِذِڪۡرِهِمۡ فَهُمۡ عَن ذِكۡرِهِم مُّعۡرِضُونَ ٧١

Artinya: Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.” (QS. Al-Mu’minun (23): 71)

Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa Mujahid dan Abu Saleh serta As-Saddi mengatakan, yang dimaksud dengan al-haqq ialah Allah Swt. Dan makna yang dimaksud pada ayat diatas ialah bahwa sekiranya Allah menuruti kemauan hawa nafsu mereka dan mensyari’atkan peraturan hukum sesuai dengan keinginan mereka, pasti binasalah langit dan bumi dan semua yang ada di dalamnya (Al-Muminun: 71) Yakni binasa karena hawa nafsu mereka dan keinginan mereka yang berbeda-beda.

  1. Bermakna Al-Qur’an

فَقَدْ كَذَّبُوا۟ بِٱلْحَقِّ لَمَّا جَآءَهُمْ ۖ فَسَوْفَ يَأْتِيهِمْ أَنۢبَٰٓؤُا۟ مَا كَانُوا۟ بِهِۦ يَسْتَهْزِءُونَ ٥

Artinya: Sesungguhnya mereka telah mendustakan yang hak (Al Qur’an) tatkala sampai kepada mereka, maka kelak akan sampai kepada mereka (kenyataan dari) berita-berita yang selalu mereka perolok-olokkan.” (QS. Al-An’am (6): 5)

Ibnu Katsir menyebutkan ayat di atas mengandung ancaman dan peringatan yang keras terhadap perbuatan orang-orang yang mendustakan perkara yang hak (Al-Qur’an), bahwa pasti akan sampai kepada mereka berita apa yang mereka dustakan itu, dan mereka pasti akan menjumpai akibatnya serta pasti akan merasakan akibat kedustaannya itu. Kemudian Allah Ta’ala berfirman menasihati mereka seraya memperingatkan mereka akan datangnya azab dan pembalasan di dunia yang menimpa mereka, seperti halnya apa yang telah menimpa orang-orang dari kalangan umat-umat terdahulu yang perbuatannya serupa dengan perbuatan mereka. Padahal mereka lebih kuat, lebih banyak jumlahnya, serta lebih banyak harta benda dan anak-anaknya, juga lebih berkuasa serta lebih tinggi kebudayaannya ketimbang mereka.

  1. Bermakna Islam

لِيُحِقَّ ٱلۡحَقَّ وَيُبۡطِلَ ٱلۡبَـٰطِلَ وَلَوۡ كَرِهَ ٱلۡمُجۡرِمُونَ ٨

Artinya: agar Allah menetapkan yang hak (Islam) dan membatalkan yang bathil (syirik) walaupun orang-orang yang berdosa (musyrik) itu tidak menyukainya.”(QS. Al-Anfal (8): 8)

  1. Bermakna Adil

   يَوْمَئِذٍ يُوَفِّيهِمُ ٱللَّهُ دِينَهُمُ ٱلْحَقَّ وَيَعْلَمُونَ أَنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلْحَقُّ ٱلْمُبِينُ

Artinya: “Di hari itu, Allah akan memberi mereka Balasan yang setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allah-lah yang benar, lagi yang menjelaskan (segala sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya).” ( QS. An-Nur (24): 25)

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa janji dan ancaman Allah selalu bersifat adil, meskipun kebaikan atupun keburukan yang dilakukan hanya sekecil (seberat) biji zarrah.

  1. Bermakna Kebaikan (nasib kebaikan)

وَفِىٓ أَمۡوَٲلِهِمۡ حَقٌّ۬ لِّلسَّآٮِٕلِ وَٱلۡمَحۡرُومِ ١٩

“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (Q.S Adz-Dzariyah: 19)

Baca Juga: Ragam Pemaknaan Kata Rabb dalam Surah al-Fatihah Ayat 2 dan Kaitannya dengan Pendidikan

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa setelah Allah Swt menyifati keluarga Nabi Ya’qub sebagai orang-orang yang rajin mengerjakan shalat malam hari dan seterusnya, Allah Swt menekankan pada harta mereka ada hak. Menurut Ibnu Katsir bagian yang telah dipisahkan, sengaja disiapkan untuk diberikan kepada orang yang meminta-minta dan yang tidak mendapat bagian. Maka haq disini bermakna kebaikan (nasib baik) bagi kaum muharif. Ummul Mu’minin Aisyah radiyallahu’anhu mengartikan muharif sebagai orang yang tidak mendapat bagian atau tidak beruntung, orang yang sulit dalam mencari mata pencaharian.

Seperti yang telah penulis terangkan di awal bahwa kata Haqq di dalam al-Qur’an tidak miliki makna yang sama. Kata Haqq terkadang bisa bermakna sebagai Dzat Allah, Al-Qur’an, Islam, Adil, dan juga bermakna sebagai kebaikan (nasib baik). Penempatan kata-kata tersebut ialah bagian dari I’jaz Al-Qur’an. Pembubuhan kata yang mempunyai kedalaman makna sehingga membuat kita dapat terus melakukan pengkajian (riset) dan penggalian makna yang lebih mendalam lagi. Wallahu A’lam.

Metodologi Tafsir Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Konstruksi Fiqh Ke-Indonesiaan

0
Hasbi Ash-Shiddieqy
Hasbi Ash-Shiddieqy (wikipedia)

Hasbi Ash-Shiddieqy terkenal sebagai salah seorang tokoh muslim reformis yang gagasannya mampu membuat namanya bersanding dalam jejeran sarjana muslim berpengaruh di Indonesia. Salah satu gagasannya yang terkenal ialah Fiqh Ke-Indonesiaan, sebuah gagasan pembaharuan hukum Islam yang menjadikan konteks lokalitas adat atau urf sebagai elemen penting dalam formulasinya.

Untuk melihat posisi al-Qur’an dalam kerangka reformasi Fiqh Ke-Indonesiaan yang disusun oleh Hasbi, maka perlu adanya kacamata menarik yang mampu mengurainya. Dalam hal ini, uraian yang ditulis oleh Yudian Wahyudi dalam karyanya Hasbi’s Theory of Ijtihad menjadi salah satu karya yang mampu mengupas pemikiran fiqh reformis secara komprehensif. Karya ini sekaligus dapat menjadi jembatan dalam melihat bagaimana Hasbi memposisikan al-Qur’an dalam konstruksi pemikirannya.

Hasbi dan Dinamika Pemikirannya

Pemikiran memang merupakan suatu wilayah yang dinamis dan tidak terprediksi. Salah satu contoh cendekiawaan yang menjadi contoh populer dalam kasus ini semisal al-Syafi’i dengan qaul qadim dan qaul jadid-nya, lalu al-Ghazali dengan Tahafut al-Falasifah­ dan Ihya’ Ulumuddin-nya. Maka dinamisasi pemikiran seorang tokoh merupakan suatu hal yang sangat lumrah, sebab pemikiran tidak bisa dilepaskan oleh orientasi yang muncul dari keterpengaruhan faktor eksternal yang bisa berupa hasil pembacaaannya terhadap teks maupun konteks tertentu.

Baca Juga: Mufasir Indonesia: Hasbi Ash-Shiddieqy, Pelopor Khazanah Kitab Tafsir Kontemporer di Indonesia

Sebagaimana penjelasan di atas, Hasbi Ash-Shiddieqy juga mengalami hal yang sama. Dalam perjalanan pemikirannya, ia mengalami perubahan orientasi yang cukup mencolok. Dalam perjalanan pemikirannya, ia mengalami perubahan orientasi yang cukup mencolok. Yudian yang mendapati fakta data tersebut kemudian mencoba membaca Hasbi dengan dua tema besar yaitu: 1) Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah; 2) Ke-Indonesiaan.

Tema pertama tersebut menandai tonggak awal pemikiran Hasbi. Konsekuensi dari “kembali” menurutnya ialah menghidupkan substansi al-Qur’an maupun Hadis di segala macam konteks ruang dan waktu. Maka tidak mengherankan apabila Hasbi menolak adanya taqlidisme ataupun fanatisme dalam bermadzhab. Baginya, taklid hanya akan meruntuhkan peluang bagi kemunculan ijtihad baru.

Dari sini bisa dilihat bahwa Hasbi menempatkan al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber utama dalam konstruksi pemikirannya. Menghadirkan ijtihad sebagai “mesin produksi” dalam menghadirkan produk-produk baru dalam menjawab tantangan perkembangan ruang dan waktu, merupakan substansi pemikirannya di fase awal ini.

Cara pandang dan metodologi yang digagas Hasbi pada fase ini terkesan modernis dan mungkin sekilas seperti pemikiran Syahrur. Sebab memberikan kebebasan pada siapapun untuk melakukan ijtihad. Namun pada realitanya pemikiran Hasbi ini justru menjadi angin segar bagi kalangan fundamentalis yang ingin mendegradasi kaum tradisionalis.

Bahkan Hasbi pun mendukung aktivitas purifikasi yang sebenarnya berbeda motif dengannya. Sebab Hasbi memiliki motif modernisasi (lepas dari residu taqlidisme termasuk warisannya berupa adat istiadat yang religius) sedangkan pihak yang mengambil keuntungan memiliki motif salafisasi yang terpengaruh paham Wahabisme. Selengkapnya dapat dibaca di Pembaruan Islam Yudian Wahyudi.

Akhirnya Hasbi pun bentrok dengan kalangan tradisionalisme yang menudingnya sebagai aktor utama. Namun, karena faktor tertentu—yang belum penulis temukan, Hasbi merombak konstruksi pemikiran reformisnya. Ia yang sebelumnya tidak menempatkan lokalitas adat/ urf sebagai sumber pembaruan pemikirannya—bahkan membuangnya, kini memungutnya kembali dan menjadikannya sebagai bahan utama dalam mengolah al-Qur’an dan Hadis.

Ia pun mencetuskan produk Fiqh Ke-Indonesiaan yang kemudian menjadi jembatan antara orientasi pertamanya yang mengusung ijtihad sebagai alat reformasi fiqh dengan orientasi keduanya yang menjadikan lokalitas adat/ urf sebagai acuan reformasinya. Maka jika diistilahkan, Hasbi telah berhasil melakukan sintesa antara modernis dan tradisionalis atau sederhanya telah berhasil merangkul kedua golongan yang bergejolak dalam konstelasi politik saat itu serta memberikan solusi penengah di antara keduanya.

Metodologi Tafsir dalam Fiqh Ke-Indonesiaan

Pada uraian dinamisasi pemikiran Hasbi Ash-Shiddieqy sebelumnya, sudah diperlihatkan bahwa pada produk Fiqh Ke-Indonesiaan setidaknya memiliki dua komitmen dasar. Pertama, melakukan pembacaan ulang (re-interpretasi atau kontekstualisasi) terhadap al-Qur’an maupun Hadis yang merupakan sumber hukum Islam. Kedua, menempatkan adat istiadat khas Indonesia/ urf sebagai sumber pokok yang harus dipertimbangkan dalam melakukan kontekstualisasi, sehingga menghasilkan produk hukum yang kontekstual dan bernafaskan ke-Indonesiaan.

Dengan demikian, secara sederhana dapat diuraikan bahwa metodologi tafsir Hasbi Ash-Shiddieqy dalam konstruksi Fiqh Ke-Indonesiaan yang dicetuskannya, berorientasi kepada upaya untuk terus membuka pintu ijtihad sembari memproporsikannya dengan konteks lokalitas. Artinya metodologi ini memaksa umat Islam untuk selalu berpikir terhadap nash-nash pokok agama dan membuka potensi adanya pemaknaan baru yang mampu menjawab tantangan zaman sembari mengakomodasi budaya lokalitas sebagai bagian yang tak terpisahkan.

Baca Juga: Kembali kepada Al-Qur’an dengan Fitur Kontekstualis-Progresif Menurut Amin Abdullah

Maka Hasbi sejatinya mengingkan agar umat Islam di Indonesia ini mampu untuk memproduksi produk fiqh secara mandiri yang kontekstual dan bernafaskan ciri khas lokalitas. Sebab bagaimanapun sampai saat ini fiqh masih menjadi wacana yang hampir selalu mengalami perdebatan baik dari tingkat akar rumput sampai ke atas—sebab perbedaan madzhab fiqh yang dibawa.

Oleh karena itu, Hasbi Ash-Shiddieqy mencetuskan ide Fiqh ke-Indonesiaan ini juga sebagai metodologi yang menurutnya bisa dikonsensus sebagai panduan dalam merumuskan hukum Islam di Indonesia. Menurutnya fiqh kontekstual yang berlandaskan nafas lokalitas akan sangat ideal sebab selain mampu menjawab tantangan perkembangan zaman, juga mampu mengakomodasi kebudayaan–yang tentu setiap daerah mempunyai ciri khas yang berbeda—sehingga tidak ada pemaksaan fiqh yang bernafaskan lokalitas tertentu kepada lokalitas lain yang memiliki perbedaan kebudaayaan yang signifikan. Seperti halnya memaksakan aplikasi fiqh yang bernafaskan budaya Timur Tengah kepada masyarakat yang hidup di Nusantara. Wallahu a’lam

Pentingnya Muhasabah dan Perintah dalam Al-Quran dan Hadis

0
Muhasabah
Muhasabah

Kata muhasabah, secara etimologi, diambil dari kata bahasa Arab. Kata ini adalah bentuk masdar (bentuk dasar) dari kata kerja hasaba (حاسب)- yuhasibu (يحاسب), yang berarti “menghitung-hitung, melakukan introspeksi diri, mengoreksi diri, dan mengingat diri.” Karena Muhasabah adalah kata benda, maka kata itu dapat diartikan dengan “penghitungan, introspeksi diri, koreksi diri, dan ingat diri.

Istilah ini dalam kehidupan sehari-hari diartikan sebagai usaha dan upaya seseorang untuk melakukan penghitungan secara dini, melakukan koreksi diri terhadap apa yang sudah dilakukan, apa yang sedang dilakukan, dan apa yang akan dilakukan oleh seseorang dalam kaitannya dengan amal ibadah kepada Allah swt.

Mengapa kita harus ber-Muhasabah? Salah satu tujuan hidup yang penting dalam menjalani kehidupan dunia ini adalah bahwa setiap manusia harus melakukan amal-amal yang  terbaik untuk menggapai kehidupan yang terbaik, baik di dunia maupun di akhirat.

Baca Juga: Menuai Spirit Kemerdekaan Melalui Ayat-Ayat Al-Qur’an

Dengan Muhasabah itu dapat berfungsi sebagai berikut:

  1. Dengan Muhasabah seseorang dapat mengoreksi diri tentang kebajikan apa yang telah dilakukan dan tentang kesalahan apa yang telah dilakukannya selama ini.
  2. Dengan Muhasabah dapat melihat kelebihan dan kekurangan yang pernah dilakukannya sebelumnya.
  3. Dengan Muhasabah dia dapat merencanakan apa yang harus dilakukannya untuk hari ini, apa yang terbaik yang harus dilakukannya hari ini.
  4. Dengan Muhasabah dia dapat merencanakan apa akan dilakukannya esok dan apa yang akan dilakukannya pada masa yang akan datang.
  5. Dengan Muhasabah dia harus berusaha meninggalkan kesalahan yang pernah dilakukannya, meningkatkan apa yang perlu ditingkatkan, dan mempertahankan hal-hal yang terbaik yang pernah dilakukan sebelumnya.
  6. Dengan Muhasabah itu dia berupaya mempertahankan dan meningkatkan kebajikan yang sudah pernah dilakukan selama ini.
  7. Dengan Muhasabah itu pula, seseorang berusaha mengingat dirinya dengan meninjau kembali segala yang telah dialaminya selama ini, mengingat kembali nikmat yang dilimpahkan Allah Swt kepadanya, dan mengingat kembali apa yang seharusnya dilakukan pada dahulu, pada masa kini, dan pada masa yang akan datang dalam rangka mensyukuri segala nikmat yang diberikan Allah swt.

Setiap muslim harus berupaya untuk melakukan muhasabah ini dalam kehidupannya di dunia ini agar ia dapat mengetahui, dapat menyadari, dapat memahami, dan dapat mengoreksi diri dalam rangka meningkatkan amal ibadah dan pendekatan diri kepada Allah swt.

Dalil-dalil yang dijadikan dasar dalam melakukan Muhasabah terdapat di dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis Rasulullah Saw.

Di dalam Al-Qur’an, misalnya, terdapat sejumlah ayat yang memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan Muhasabah, baik yang diungkapkan secara tekstual maupun yang dipahami secara kontekstual. Di antaranya adalah QS. Al-Hasyr (59): 18 di mana Allah memerintahkan sebagai berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Ada tiga perintah penting yang disampaikan oleh Allah di dalam ayat di atas, yaitu 1) bertakwalah kepada Allah, 2) hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang dilakukan untuk hari esoknya (hari akhiratnya), dan 3) bertakwalah kepada Allah. Bertakwa itu menjaga dirimu dari hal-hal yang buruk yang ditimpakan oleh kepadamu. Cara menjaga diri itu adalah dengan melaksanakan semua yang diperintahkan Allah dan meninggalkan semua yang dilarang Allah.

Dalam kaitan dengan Muhasabah, ayat ini memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk menyiapkan diri dengan amal-ibadah untuk menghadapi kehidupan hari esok, yaitu hari akhirat. Setiap muslim harus beramal dan beribadah sebagai persiapan menghadapi kehidupan akhirat.

Siapkanlah dirimu sekarang dengan melakukan amal-amal saleh yang paling baik dan paling lengkap untuk menghadapi hari akhiratmu. Amalmu itulah yang akan selalu menemani di akhirat. Jika di dunia ini engkau melakukan amal yang buruk, maka amal yang buruk itulah yang kelak akan menemanimu.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Baqarah 280: Lebih Bersabar dalam Menunggu Pembayaran Hutang

Jika engkau ditemani oleh amal yang buruk di akhirat, itu berarti bahwa engkau mendapatkan nasib yang buruk. Tempatmu di dalam neraka Jahanam. Sebaliknya, jika di dunia ini engkau melakukan amal yang saleh, maka amal yang saleh itulah yang kelak akan menemanimu. Jika engkau ditemani oleh amal yang saleh di akhirat, itu berarti bahwa engkau mendapatkan nasib yang baik.

Ingatlah bahwa dunia adalah tempat menanam dan akhirat adalah tempat memetik hasil tanaman. Wallau A’lam.

Memahami Qalbun Munib sebagai Karakter Orang yang Bertakwa

0
Qalbun Munib
Qalbun Munib

Karakter orang bertakwa dalam Al-Quran sangat beragam. Secara umum dapat dikategorikan dalam dua bentuk, yaitu zahir dan batin. Dalam artikel ini akan dibahas salah satu karakter orang bertakwa yang berkaitan dengan batin (tidak nampak), mencakup hati. Dalam tulisan Didi Junaedi telah disebutkan berbagai jenis hati yang ada dalam Al-Quran, namun belum dijelaskan secara spesifik dari masing-masing jenis hati.

Dari 20 jenis hati yang ada dalam Al-Quran, baru tiga jenis hati yang telah ditulis; qalbun salim, qalbun wajil, dan qalbun muthmainnah yang diuraikan M. Yoeki Hendra. Adapun terkait dengan qalbun munib secara spesifik belum disebutkan. Lantas, apa yang dimaksud dengan qalbun munib? Kenapa menjadi karakter orang yang bertakwa? Berikut penjelasannya!

Keterkaitan Qalbun Munib dan Qalbun Salim

Qalbun munib atau disebut dengan hati yang bertaubat pada hakikatnya memilki keterkaitan dengan qalbun salim. Fakhruddin Al-Razi dalam Mafātīh al-Gaib (28, 147) dan Wahbah Al-Zuhaili  al-Tafsīr al-Munīr  (26, 308) secara jelas menyebutkan bahwa qalbun munib seperti qalbun salim.

Dari dua penjelasan di atas, keterkaitan qalbun munib dan qalbun salim didasari pada pertemuan manusia dengan Allah swt, yang mengahruskan adanya hati yang selamat (qalbun salim). Hal demikian dapat ditelesuri dari penafsiran al-Razi yang mengutip Q.S Al-Shāffāt [37]: 83. Ayat tersebut menceritakan terkait dengan keadaan Nabi Ibrahim tatkala kelak bertemu dengan Allah, dengan hati yang baik dan selamat.

Tidak hanya dalam satu tempat, qalbun salim juga dapat ditemui dalam Q.S Al-Syu’arā [26]: 89; di dalamnya merupakan bagian dari doa Nabi Ibrahim ketika menyifati hari kiamat pada akhir doanya.

Walaupun al-Zuhaili tidak mengutip ayat -sebagaimana al-Razi- secara langsung, tetapi ia satu pendapat dengan al-Razi dalam hal ini, melalui keterangan “Allah akan ditemui oleh orang dengan qalbun munib yang tunduk di sisi-Nya.” (Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī’ah wa al-Manhaj 26, 308).

Apabila kita pahami qalbun salim adalah hati yang selamat/bersih dari kemusyrikan, maka dalam perakteknya pasti memprioritaskan Allah dan mengesampingkan selain Allah. Selain itu, hati yang bersih juga meniscayakan dirinya kembali kepada Allah. Dalam pengertian inilah orang yang kembali disebut orang yang bertaubat (qalbun munib). Sebaliknya, orang yang sanggup untuk bertaubat dan terbebas dari kemusrikan dipastikan ia akan selamat. Oleh karena itu, disebut dengan qalbun salim.

Kesamaan Qalbun Munib dan Qalbun Mukhlish

Hati yang ikhlas (qalbun mukhlis) sering dikaitkan dengan pelaksanaan mentaati perintah Allah dan menjalankan aktivitas di muka bumi. Lebih dari itu, hati ikhlas menjadi ruh dalam ritual beribadah. Sebaliknya, ibadah tanpa didasari keikhlasan dianggap tidak ada ruhnya (sia-sia).

Al-Qurtubi dalam al-Jāmi’ Li Ahkām al-Quran (17, 21) mengatakan bahwa qalbun munib diartikan dengan datang sekaligus mendekatkan diri dengan cara taat kepada Allah. Hal yang sama juga dalam penafsiran Jalāluddin al-Mahally (Tafsīr al-Jalālain 2, 189). Dari dua penafsiran tersebut tidak heran adanya kesamaan makna hati yang ikhlas dengan hati yang bertaubat. Kesamaan tersebut terletak pada syarat yang harus terpenuhi sebelum mendekatkan diri dan kembali kepada Allah. Yaitu harus didasari pada hati ikhlas tidak ada paksaan dan harus memilki hati yang bertaubat.

Qalbun mukhlis juga sering dijadikan pra syarat untuk menjalankan (mengikuti) ketaatan kepada Allah (Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī’ah wa al-Manhaj 26, 308). Jadi orang yang mempunyai cita-cita kembali menghadap Allah tidak akan lepas dari kepasrahan dan menggantungkan hati dan dirinya kepada Allah. Fakta tersebut juga berlaku bagi orang yang memiliki qalbun munib.

Hubungan Qalbun Munib dengan Orang Bertakwa

Qolbun munib merupakan jenis hati yang akan memberikan dampak signifikan bagi pemiliknya. Dalam Al-Quran sendiri qalbun munib merupakan karakter orang yang bertakwa. Menurut hemat penulis, qalbun munib akan merubah status manusia menjadi orang yang bertakwa. Sementara itu, dampak yang paling besar atau hasil yang akan didapatkan mereka akan mendapatkan kenikmatan surga. Dapat kita perhatikan dalam Q.S Qaf [50]: 31-35.

وَأُزْلِفَتِ الْجَنَّةُ لِلْمُتَّقِينَ غَيْرَ بَعِيدٍ(31)  هَذَا مَا تُوعَدُونَ لِكُلِّ أَوَّابٍ حَفِيظٍ (32) مَنْ خَشِيَ الرَّحْمنَ بِالْغَيْبِ وَجاءَ بِقَلْبٍ مُنِيبٍ (33) ادْخُلُوها بِسَلامٍ ذلِكَ يَوْمُ الْخُلُودِ (34) لَهُمْ ما يَشاؤُنَ فِيها وَلَدَيْنا مَزِيدٌ (35)

Dan didekatkanlah surga itu kepada orang-orang yang bertakwa (31) Inilah yang dijanjikan kepada kalian, kepada setiap hamba yang selalu kembali lagi memilihara (32) yaitu orang yang takut kepada Yang Maha Pengasih sedangkan Dia tidak kelihatan olehnya dan dia datang dengan kalbu yang bertaubat (33) Masukilah surga itu dengan aman, itulah hari kekekalan (34) Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki, dan pada sisi Kami ada tambahanya (35).

Berdasarkan tematik, ayat di atas menyingkap keadaan orang yang bertakwa (Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī’ah wa al-Manhaj 26, 306). Selain itu, orang yang bertakwa juga dapat dikategorikan sebagai ahli surga. Pendapat tersebut diketahui melalui penelusuran munasabah (hubungan) antar kata yang berada di ayat 31.

Konstruksi kata al-Muttaqīn yang disandingkan dengan harf jar lam (bermakna memiliki) menandakan surga itu diperuntukkan dan dimiliki oleh orang yang bertakwa. Karena pada dasarnya orang yang memiliki sesuatu dapat dikatakan ahli. Dengan demikian, orang yang bertakwa merupakan ahli surga.

Melalui ayat selanjutnya, telah disebutkan secara rinci karakter atau ciri ahli surga (orang yang bertakwa). Dari ayat di atas terdapat empat karakter orang yang bertakwa. Di sinilah dapat kita pahami keterhubungan qalbun munib dengan orang yang bertakwa.

Empat karakter tersebut meliputi; pertama, mereka kembali kepada Allah dan menarik diri (tidak melakukan) kemaksiatan; kedua, menjaga ketentuan atau syariat Allah, sehingga ia mengerjakan dan tidak melampaui batas (tidak sesuai aturan); ketiga, memilki rasa takut terhadap Tuhannya, baik dalam keadaan publik atau privat; keempat, datang kepada Allah dengan hati yang bertaubat.

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa qalbun munib adalah salah satu karakter atau sifat yang dimilki oleh orang yang bertakwa. Takwa sendiri memilki pengertian takut serta sanggup menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Pengertian tersebut merupakan manifestasi dan prosesi mendekatkan diri dalam ruang lingkup ketaatan kepada Allah. Wallahu A’lam.

Menuai Spirit Kemerdekaan Melalui Ayat-Ayat Al-Qur’an

0
Menuai Spirit Kemerdekaan Melalui Ayat-Ayat Al-Qur’an
Spirit Kemerdekaan

Kemerdekaan merupakan wujud dari kedaulatan atas sesuatu. Artinya, seseorang atau suatu kelompok tidak lagi dijajah oleh siapapun. Sebagaimana negara kita Indonesia yang menjunjung tinggi kemerdekaan dan pada saat yang sama mengutuk keras penjajahan di atas dunia.

Bangsa kita, Indonesia telah mempersiapkan segala sesuatu untuk meraih kemerdekaan yang hakiki seperti yang terkandung dalam lagu Indonesia Raya. Kalimat “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya”, merupakan spirit untuk terus meningkatkan kualitas kemerdekaan.

Penyebutan jiwa terlebih dahulu ketimbang badan, menunjukkan pentingnya membangun jiwa sebelum badan. Karena melawan penjajahan secara batin lebih dahsyat ketimbang melawan penjajahan secara lahiriah saja.

Al-Qur’an Kitab Kemerdekaan

Al-Qur’an mengandung spirit kemerdekaan. Kitab ini bertujuan mengeluarkan manusia dari keterjajahan. Baik itu keterjajahan yang bersifat fisik maupun yang bersifat batin sebagaimana difirmankan oleh Allah di surah Ibrahim ayat pertama:

الر ۚ كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَىٰ صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ

Artinya: “Alif Lam, Ra’. Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya engkau mengeluarkan manusia dari aneka gelap gulita menuju cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, yaitu jalan Tuhan Yang Maha Mulia lagi Maha Terpuji.”

Dalam menjelaskan ayat ini, Quraish Shihab menegaskan bahwa Al-Qur’an bertujuan untuk mengeluarkan manusia dari segala bentuk dan jenis kegelapan (zulumāt). Oleh karenanya, kata ini berbentuk jamak. Sementara kata cahaya (nūr) berbentuk tunggal. Artinya, segala macam keterjajahan secara lahir dan batin dapat dihilangkan melalui pengamalan atas nilai-nilai Al-Qur’an. Kemudian manusia akan berada dalam satu cahaya kemerdekaan. (Tafsir Al-Misbah, vo.7, hal. 7).

Sementara Asy-Sya’rawi menambahkan, bahwa ayat ini menggunakan kata manusia secara umum. Dengan demikian, risalah Nabi Muhammad dapat berlaku untuk seluruh manusia. Risalah tersebut mengeluarkan manusia dari segala bentuk kecenderungan hawa nafsu mereka menuju satu jalan yang lurus dan luas. (Tafsīr Asy-Sya’rawī, hal. 7425).

Melalui uraian di atas, dapat dipahami bahwa Al-Quran mengandung spirit kemerdekaan. Dengannya, seluruh manusia tanpa terkecuali dapat terbebas dari segala bentuk keterjajahan. Kemudian dapat berdaulat atas diri sendiri dengan kemerdekaan yang sejati.

Baca juga: Tafsir Surat Ibrahim Ayat 1: Al-Quran sebagai penerang dari kegelapan

Keterjajahan oleh Hawa Nafsu

Satu dari sekian bentuk keterjajahan adalah dikuasai oleh hawa nafsu. Manusia yang dibutakan oleh hawa nafsunya tidak lagi memiliki kedaulatan atas diri sendiri. Ia akan condong melakukan segala perbuatan yang menyimpang. Tentu, hal ini serupa dengan menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan baginya. Karena ia hanya tunduk kepada nafsunya sendiri.

Hal ini juga disinggung oleh Al-Qur’an dalam surah Al-Furqan ayat 43:

أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا

Artinya: “Sudahkah engkau (Muhammad) melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?”

Fakhruddin Al-Razi menjelaskan ayat ini dengan mengutip riwayat dari Ibn Abbas, bahwa hawa nafsu yang dimaksud adalah hawa nafsu yang ditempatkan sebagai tuhan yang disembah (Tafsir Al-Kabīr, jil. 24, hal. 463). Dengan demikian, hawa nafsu telah menjajahnya dan membuatnya tunduk. Sehingga, orang semacam ini tidak memiliki kendali atas dirinya, karena telah direbut oleh hawa nafsu itu tadi.

Baca juga: 4 Spirit Kemerdekaan yang Dibawa Islam dalam Ayat-Ayat Al-Qur’an

Ajaran Tauhid Sebagai Basis Anti-Penjajahan

Di sisi yang lain, keterjajahan oleh apapun merupakan lawan dari tauhid. Tauhid bermakna hanya menyembah Allah, tidak selain-Nya. Bahkan, tidak boleh menyembah Allah sekaligus menyembah selain-nya. Artinya, orang yang terjajah, sesungguhnya belum benar-benar mengamalkan tauhid yang sejati.

Selain itu, tauhid juga memiliki dampak sosial bagi manusia, dalam artian tidak boleh menghamba kepada sesama manusia. Seorang perempuan misalnya tidak boleh menghamba kepada lelaki, begitupun sebaliknya. Lebih jauh lagi, seseorang yang bertauhid tidak boleh menghamba kepada harta, kekuasaan, jabatan, dan nafsunya.

Bahkan, selain memerdekakan diri sendiri dari keterjajahan, Islam sangat menganjurkan untuk membebaskan orang lain dari keterjajahan. Sebagai contoh, Al-Qur’an memerintahkan kita memerdekakan budak sebagaimana dinyatakan dalam surah Al-Balad ayat 13-14:

فَكُّ رَقَبَةٍ وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْعَقَبَةُ

Artinya: “Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) memerdekakan budak.”

Dengan demikian, Al-Qur’an memberikan perhatian yang besar terhadap kemerdekaan manusia. Baik kemerdekaan secara fisik maupun kemerdekaan secara mental. Spirit kemerdekaan ini perlu terus digali dan diamalkan. Untuk menutup tulisan ini, saya akan mengutip mutiara hikmah dari Sayyidina Ali ra. tentang kemerdekaan:

Sesungguhnya Engkau diciptakan oleh Allah secara merdeka, maka hiduplah Engkau sebagaimana engkau diciptakan.”

Terakhir, semoga dengan momen kemerdekaan ini, kita semua dapat menuai spirit kemerdekaan dan memaknai hakikatnya kembali. Menghayati dengan lebih serius, kemudian bertanya lagi kepada diri kita masing-masing, “Sudahkah saya merdeka?”. Wallahu’alam bishawab.

Baca juga: Tafsir Surat An-Naml Ayat 34: Penjajahan Menyalahi Fitrah Kemerdekaan Manusia

Latar Belakang Pembakuan Rasm Al-Daniy dalam Mushaf Standar Indonesia

0
Latar Belakang Pembakuan Rasm Al-Daniy dalam Mushaf Standar Indonesia
Mushaf Al-Qur'an

Sejarah mushaf Al-Qur’an di Indonesia menyebutkan bahwa kemunculan mushaf standar sebagai acuan bermula dari kebutuhan tim Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an akan Master Mushaf sebagai pedoman. Usai diselenggarakannya musyawarah kerja (Muker) selama sembilan kali, muncullah Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia (MASI) dengan berbagai ‘varian’-nya.

Ada 4 unsur utama yang menjadi spesifikasi MASI. Sementara pada unsur rasm, MASI tidak melakukan tarjih al-riwayat sebagaimana mushaf lain di beberapa negara di dunia, tetapi mengadopsi seluruh kaidah, baik milik Abu ‘Amr al-Daniy (w. 444 H.) maupun Abu Dawud Sulaiman (w. 496 H.).

Oleh karenanya jika pembaca sekalian membuka MASI secara langsung, tidak akan dijumpai penjelasan tarjih atau afiliasi mazhab rasm seperti yang dilakukan Mushaf Madinah (terafiliasi mazhab Abu Dawud) atau Mushaf al-Jamahiriyyah Libya (terafiliasi mazhab Al-Daniy). Penjelasan yang ada terkait rasm boleh jadi hanya pada tulisan nusikha ‘ala al-rasm al’utsmaniy yang berisi informasi umum.

Meski begitu, kajian yang telah dilakukan oleh Zainal Arifin Madzkur menyebutkan bahwa kaidah-kaidah rasm yang dianut oleh MASI dari total persentase yang ada, condong kepada milik Al-Daniy, bukan Abu Dawud. Hingga praktis, mushaf turunan MASI -yang dicetak dan ditashih mengikutinya- memiliki afiliasi mazhab rasm yang sama.

Pertanyaannya sekarang, bagaimana mazhab Al-Daniy dapat menjadi acuan kaidah baku rasm Al-Qur’an? Tulisan singkat kali ini akan membahas tentang faktor apa saja yang menyebabkan pembakuan rasm Al-Daniy dalam mushaf-mushaf di Indonesia.

Kemiripan terhadap Penulisan Arab Konvensional

Seperti yang telah jamak diketahui, afiliasi mazhab rasm mushaf hari ini mengerucut pada dua imam besar, Al-Daniy dan Abu Dawud. Keduanya sering disebut dengan syaikhani fi al-rasm, layaknya Al-Bukhariy dan Muslim dalam hadis dan Al-Rafi‘iy dan Al-Nawawi dalam fikih. Kendati keduanya memiliki hubungan guru-murid, kaidah-kaidahnya tidak jarang mengalami perbedaan.

Dari perbedaan-perbedaan yang ada, kaidah dalam rasm Al-Daniy cenderung memiliki kemiripan dengan cara penulisan bahasa Arab konvensional, sehingga jarang memunculkan problem kesulitan yang cukup berarti. Seperti penulisan kata shirath dalam QS. Al-Fatihah [1] ayat 6 dan 7, kata-kata yang mengikuti bentuk mifal seperti mirats (QS. Ali Imran [3]: 180) dan bentuk fu‘lan seperti bunyan (QS. Shaf [61]: 4), dan beberapa bentuk jamak seperti abshar, shawa‘iq, azwaj, yang semuanya menggunakan alif sebagai ganti fathah berdiri.

Baca juga: Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia dalam Diskursus Rasm Mushaf Indonesia

Rendahnya Tingkat Pengetahuan Rasm

Faktor kemiripan kaidah rasm Al-Daniy terhadap penulisan Arab konvensional menjadi alasan yang cukup kuat bagi penerapan kaidah Al-Daniy dalam MASI. Pasalnya kajian mengenai rasm terbilang cukup baru bagi masyarakat Indonesia.

Ahmad Fathoni menyebutkan bahwa meningkatnya angka kajian rasm baru dimulai usai diselenggarakannya Muker sembilan kali dari tahun 1974 hingga 1983. Dari Muker ini pula aplikasi rasm dalam penulisan MASI menjadi semakin digiatkan. Terbukti dari beberapa pembenahan penulisan kata yang tidak mengikuti kaidah pada MASI cetakan 1983 disesuaikan dengan kaidah pada MASI cetakan 2002.

Sebelumnya, kebanyakan penulisan mushaf tidak mengacu kaidah rasm yang ada, dengan pengecualian pada beberapa kata yang telah familier ditulis demikian, seperti al-shalah dan al-zakah dengan menggunakan wawu sebagai ganti alif, seperti dapat dilihat pada kebanyakan mushaf-mushaf kuno Nusantara.

Oleh karenanya, penggunaan kaidah yang lebih mendekati penulisan Arab konvensional seperti milik Al-Daniy dirasa lebih cocok dengan background akademik masyarakat yang tidak cukup kuat terkait dengan ilmu rasm, atau bahkan disiplin ilmu Al-Qur’an dan bahasa Arab secara umum.

Baca juga: Eksklusivitas Kajian Rasm di Masa Sekarang, Sebuah Rahmat atau Laknat?

Pemilihan Al-Itqan Sebagai Acuan

Selain dua faktor yang telah disebutkan sebelumnya, satu faktor lagi yang memiliki andil cukup besar terhadap pembakuan kaidah Al-Daniy adalah pemilihan kitab Al-Itqan karya Al-Suyuthiy sebagai acuan penyusunan MASI.

Mengapa hal ini bisa berdampak pada pembakuan kaidah Al-Daniy? Karena seperti yang telah penulis ulas pada tulisan yang lalu, Perbedaan Rasm Al-Daniy dan Al-Suyuthiy, Berikut Penjelasannya, kaidah Al-Suyuthiy disusun dengan merujuk karya Al-Daniy, yaitu Al-Muqni‘. Sehingga secara tidak langsung kaidah yang digunakan dalam MASI adalah kaidah milik Al-Daniy.

Kesimpulan

Pemilihan rasm Al-Daniy sebagai acuan penulisan rasm mushaf tak lepas dari beberapa faktor. Antara lain kemiripan dengan penulisan bahasa Arab konvensional, rendahnya pengetahuan rasm di kalangan masyarakat, dan kitab Al-Itqan yang dijadikan sebagai acuan penulisan. Masing-masing darinya bermula dari plot-plot tertentu dalam sejarah permushafan Indonesia di masa lalu yang membentuk kausa bagi kelahiran produk mushaf Al-Qur’an Indonesia hari ini. Wallahu a‘lam bi al-shawab.

Baca juga: Jejak Manuskrip Al-Qur’an Nusantara dan Problem Penulisan Rasm Imla’i

Nabi Musa as yang Ringan Tangan dan Doa Ketika Lapar

0
Nabi Musa as yang Ringan Tangan dan Doa Ketika Lapar
Ringan Tangan

Kisah tentang Nabi Musa As adalah kisah yang paling banyak dimuat dalam Al Qur’an. Kisah-kisahnya termaktub dalam lebih dari 30 surah (al-Fann al-Qashashi fi al-Qur’an al-Kariim, 98-112). Meski demikian, kisah mengenai Nabi Musa tidak disebutkan secara detail dan selesai dalam satu surah. Sebagian surah hanya menceritakan perjalanan hidupnya secara global, untuk kemudian diambil pelajaran dan hikmahnya oleh umat Nabi Muhammad saw, baik secara moralitas sosial atau menjadi doktrin teologis.

Kisah Nabi Musa as tercecer di berbagai surah dan dapat dikelompokkan ke dalam beberapa episode (setidak-tidaknya) sebagai berikut:

Episode pertama adalah kisah bagaimana Nabi Musa as lahir dan kemudian hidup di dalam istana Fir’aun yang megah di Mesir. Episode berikutnya adalah tentang bagaimana Nabi Musa as dikisahkan membunuh seorang penduduk lalu melarikan diri ke Madyan, kemudian ia kembali ke Mesir, menjadi Rasul dan menumpas kedzaliman Fir’aun. Selanjutnya ia meninggalkan Mesir menuju Palestina, lalu bertemu Tuhan untuk kedua kalinya, dan terakhir, pertemuannya dengan Nabi Khidir As.

Ada enam surah yang paling rinci membahas kisah Nabi Musa as. Antara lain, surah Thaha, al-Qashash, an-Naml, al-Kahfi, dan asy-Syu’ara. Dari enam surah tersebut, surah Al-Qashash adalah surah yang dinilai paling komplit menyajikan kisah mengenai Nabi Musa as. Salah satunya yang akan dibahas di sini, yaitu kisahnya yang ringan tangan kepada orang yang membutuhkan. Kisah ini spesifiknya termaktub dalam QS. Al-Qasas: 24 berikut:

فَسَقَى لَهُمَا ثُمَّ تَوَلَّى إِلَى الظِّلِّ فَقَالَ رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ

Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya, kemudian dia kembali ke tempat yang teduh, lalu berdoa, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku” (QS. Al-Qashash: 24).

Baca juga: Meski di Bawah Pimpinan Firaun, Allah Tak Perintahkan Nabi Musa Untuk Berontak

Tafsir Surah Al-Qashash Ayat 24

Dalam Tafsir Al-Qur’an al-Adhiim, Ibnu Katsir menulis rangkaian kisah yang menggiring Nabi Musa as berada di kondisi itu dan mengapa ia memanjatkan doa sebagaimana dipotret dalam surah Al-Qashash ayat 24.

Nabi Musa as bukanlah sosok yang biasa mengembara, sebab sebagaimana kisah yang sudah lama sampai di telinga kita, bahwa ia sejak kecil sudah biasa dengan “kenyamanan” dan “kedudukan yang tinggi” di bawah atap istana Fir’aun.

Akan tetapi setelah mendengar berita Fir’aun menggalakkan pencarian dan penangkapan dirinya karena telah berbuat makar, mau tidak mau Nabi Musa harus berjalan sendirian dan kabur dari Mesir.

Ibnu Abbas menyebutkan, kepergian Nabi Musa as dari Mesir ini tidak disertai dengan bekal makanan yang memadai. Ia tak membawa apapun kecuali sayuran dan dedaunan dari pohon-pohon tertentu (Tafsir alQur’an al-‘Adhiim Vol VI, 226-229).

Ia berangkat bahkan tanpa menggunakan alas kaki, hingga ketika ia sampai di Madyan, kondisinya bisa terbilang buruk. Ia letih, lapar, dan ditambah  lagi melepuhnya telapak kakinya (alTafsir alBasiith Vol XVII, 372).

Baca juga: Pendidikan Moral dan Etika Sosial dalam Kisah Nabi Musa as. Dalam Q.S. al-Qashshash: 23-28

Di kota itu, Nabi Musa mendatangi sumber mata air. Di sana sudah banyak orang yang datang untuk antri menimba air dan meminumkannya kepada hewan ternak mereka. Mereka saling berebut dan saling mendahului.

Berbeda dengan dua orang perempuan (kakak beradik) di salah satu sudut, yang hanya diam dan tidak ikut antri. Nabi Musa as datang menghampiri mereka dan menanyakan apa keperluan mereka. Sama seperti mereka yang berdesakan, dua perempuan itu hendak memberi minum ternak ayah mereka yang sudah tidak mampu mengembala.

Mendengar kesulitan dua perempuan itu, Nabi Musa as berinisiatif membantu mereka mengambil air. Akan tetapi secara sengaja orang-orang curang menutup mulut sumber air itu dengan batu besar yang hanya bisa diangkat oleh 10 hingga 40 orang laki-laki dewasa. Nabi Musa kemudian maju dan berhasil mengangkatnya seorang diri. (al-Tafsiir al-Kabiir Vol XXIV, 587-589).

Nabi Musa akhirnya mampu mengambilkan air untuk ternak dua perempuan yang rupanya kakak-beradik itu. Setelah berterima kasih, kedua gadis itu meninggalkannya di bawah rindang pohon yang bernama Samurah, sebagaimana disebutkan Imam al-Jalalain dalam tafsirnya (Tafsiir al-Jalaalain Vol I, 510).

Di bawah perlindungan pohon itu, Nabi Musa memanjatkan doa dengan mantab.

رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ

“Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku” (QS. Al-Qashash: 24).

Ulama tafsir sepakat, bahwa tafsir dari kata khair pada doa tersebut adalah tha’am atau makanan. Karena memang doa tersebut dipanjatkan ketika Nabi Musa as berada di kondisi yang sangat lapar dan membutuhkan makan, akan tetapi jika ditinjau dari keumumannya redaksinya dan ingin kembali dikontekstualisasikan, maka tidak masalah jika makna doa tersebut bisa disesuaikan dengan kebutuhan pembaca masing-masing. Wallahu a’lam.

Baca juga: Ingin Diberi Kelancaran Urusan? Baca Doa Nabi Musa Ini!

Tafsir Surat Ghafir 28: Siapakah Laki-Laki Beriman dari Keluarga Firaun?

0
Siapakah Laki-Laki Beriman dari Keluarga Firaun?
Siapakah Laki-Laki Beriman dari Keluarga Firaun?

Firaun merupakan orang kafir dan sangat membenci dakwah Nabi Musa. Bahkan dia berniat untuk membunuh Nabi Musa dan pengikutnya Nabi Musa. Mengetahui hal itu, Nabi Musa berdoa, memohon agar dia beserta pengikutnya mendapat perlindungan dari Allah. Doa Nabi Musa pun dikabulkan dan salah satu realisasinya adalah adanya laki-laki beriman dari keluarga Firaun yang menyembunyikan keimanannya, laki-laki tersebut berdiplomasi dengan Firaun untuk tidak membunuh Nabi Musa. Diplomasi tersebut dikisahkan dalam Al-Quran QS. Ghafir ayat 28

وَقَالَ رَجُلٌ مُؤْمِنٌ مِنْ آلِ فِرْعَوْنَ يَكْتُمُ إِيمَانَهُ أَتَقْتُلُونَ رَجُلًا أَنْ يَقُولَ رَبِّيَ اللَّهُ وَقَدْ جَاءَكُمْ بِالْبَيِّنَاتِ مِنْ رَبِّكُمْ وَإِنْ يَكُ كَاذِبًا فَعَلَيْهِ كَذِبُهُ وَإِنْ يَكُ صَادِقًا يُصِبْكُمْ بَعْضُ الَّذِي يَعِدُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ مُسْرِفٌ كَذَّابٌ

“Dan seorang yang beriman di antara keluarga Firaun yang menyembunyikan imannya berkata, ‘apakah kamu akan membunuh seseorang karena dia berkata ‘Tuhanku adalah Allah’, padahal sungguh dia telah datang kepadamu dengan membawa bukti-bukti yang nyata dari Tuhanmu. Dan jika dia seorang pendusta, maka dialah yang akan menanggung (dosa) dustanya itu; dan jika dia seorang yang benar niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang yang melampaui batas dan pendusta.” (QS. Ghāfir [40]:28)

Baca juga: Mengenal Kitab Bahr al-‘Ulum; Tafsir Klasik dari “Negeri di Seberang Sungai”

Makna “Āli” dalam ayat di atas menurut al-Sudi dan Muqatil, seseorang yang dimaksud pada ayat di atas adalah keluarga secara nasab. Dia adalah anak paman Firaun. Pendapat lain mengatakan bahwa yang dimaksud adalah kabilah dan kerabat. Qatadah dan Muqatil berkata bahwa dia adalah orang Qibti sementara pendapat lain berkata bahwa dia orang Israil.

Nama Laki-Laki yang Beriman dari Keluarga Firaun  dalam Pelbagai Pendapat

Terkait namanya ada lima pendapat. Pertama, pendapat Ibnu Abbas dan Muqatil yaitu Hizbil. Kedua, pendapat Ka’ab yaitu Habib. Ketiga, pendapat Syuaib al-Jiba’i yaitu Sam’un. Keempat, yaitu Jibril. Kelima, riwayat dari Ibnu Ishaq, yaitu Syam’an. Menurut jumhur ulama dia beriman ketika kedatangan Nabi Musa sementara menurut Al-Hasan dia beriman sebelum kedatangan Nabi Musa , begitu pula istri Firaun. Qatadah menambahkan bahwa dia menyembunyikan keimanannya dari Firaun selama seratus tahun (Ibnu al-jauzi, Zād al-Masīr fi ilm al-Tafsīr, juz 4, hal 35)

Ibnu Asyur berbeda pendapat dengan beberapa mufasir yang mengatakan bahwa laki-laki beriman dari kalangan keluarga Firaun yang dimaksud adalah laki-laki dari bani Israil.

Menurut Ibnu Asyur, laki-laki tersebut merupakan orang Qibti yang beriman kepada Allah dan membenarkan dakwah Nabi Musa dan bukan dari bani Israil karena bani Israil tidak memiliki kekuasaan di sana sebagaimana digambarkan pada ayat berikutnya.

Baca juga: Penafsiran Kyai Sholeh Darat tentang Makna Alif Lam Mim

Laki-laki beriman tersebut terus menerus menyembunyikan keimanannya karena dia tahu menunjukkan keimanannya dapat membahayakannya dan tidak bermanfaat bagi orang lain (Ibnu Asyur, al-Taḥrīr wa al-Tanwīr, juz 24, hal 128).

Ketika laki-laki beriman itu mengetahui niat Firaun untuk membunuh Nabi Musa dia berkata “apakah kamu akan membunuh seseorang karena dia berkata ‘Tuhanku adalah Allah’, padahal sungguh dia telah datang kepadamu dengan membawa bukti-bukti yang nyata dari Tuhanmu”.  Pertanyaan ini mengandung penolakannya atas niat Firaun yang ingin membunuh Nabi Musa. Dia memberikan  alasan mengapa sebenarnya Firaun tidak perlu membunuh Nabi Musa.

Pertama, Firaun tidak perlu membunuh seseorang hanya karena dia berkata “Tuhanku adalah Allah”. akan tetapi, secara tersirat ini merupakan ketauhidan. Kedua, Nabi Musa juga telah mampu mendatangkan bukti-bukti berupa mukjizat seperti yang Firaun minta pada kesempatan terdahulu (Al-Razi, Mafātiḥ al-Ghaib, hal ). Jadi seolah-olah dia berkata pada Firaun “Wahai Firaun, apakah hanya gara-gara ada seorang yang berkata ‘Tuhanku adalah Allah’, engkau akan membunuhnya. Dia juga tidak memaksamu meyakini apa yang dia yakini. Selain itu, dia juga telah mendatangkan bukti-bukti mukjizat sesuai dengan apa yang engkau minta. Maka atas dasar apa engkau membunuhnya, ini tentu tidak perlu.”

Kata-katanya tersebut, membuat dia dicurigai dan hampir diketahui keimanannya sehingga dia segera menyambungnya dengan perkataan yang dapat membuat Firau ragu-ragu apakah sebenarnya dia (laki-laki beriman) berada di pihak Nabi Musa atau Firaun.

Baca juga: Metodologi dan Pendekatan dalam Penelitian Studi al-Quran dan Tafsir

Dia berkata “jika dia seorang pendusta, maka dialah yang akan menanggung (akibat) dustanya itu”. Artinya laki laki itu seolah-olah berkata jika dia (Nabi Musa) berbohong tentang apa yang didakwahkannya, maka dia menanggung madharat atas kebohongannya itu dan itu sama sekali tidak membahayakan Firaun. Dalam kondisi ini, tentu Firaun menjadi berpikir lagi mengenai niatnya membunuh Nabi Musa karena Firaun pasti berkeyakinan bahwa dia berada di pihak yang benar dan apa yang didakwahkan Nabi Musa adalah kebohongan sehingga Firaun berpikir bahwa Nabi Musa akan meneriam kecelakaan akibat kebohongannya.

Kemudian dia melanjutkan lagi “dan jika dia seorang yang benar niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu”. Dia berani berkata demikian karena dia yakin Firaun tidak memikirkan kata-kata ini karena memang Firaun tidak mempercayai apa yang didakwahkan Nabi Musa. Artinya,  jika apa yang didakwahkan Nabi Musa benar sekalipun, itu juga tidak akan bermanfaat dan menguntungkan bagi Firaun (Al-Biqa’i, Nazm al-Durar, juz 17, hal 54)

Akan tetapi di sisi lain, sebenarnya kata-kata tersebut mengandung peringatan bagi Firaun bahwa jika apa yang didakwahkan Nabi Musa adalah kebenaran, maka Firaun akan menerima apa yang pernah Nabi Musa ancamkan kepada Firaun. Meskipun dalam redaksinya menggunakan “sebagian”, namun maksud sebenarnya adalah seluruhnya dan penyebutan “sebagian” ini juga bagian dari lemah lembut dalam memberi nasihat (Al-Qurtubi, al-Jāmi’ li Aḥkām Al-Quran, juz 15, hal 307). Ancaman Nabi Musa kepada Firaun yaitu kehancuran dan kebinasaan baik di dunia dan akhirat.

Baca juga: Membaca Aktivitas Tafsir Lisan Nabi Muhammad SAW

Dari kisah laki-laki beriman dari keluarga Firaun ini dapat diambil pelajaran antara lain: Pertama, Allah sekali-kali tidak akan membiarkan utusannya. Pertolongan Allah pasti datang,  yakni dengan mengilhamkan kepada lelaki beriman dalam keluarga Firaun untuk berdiplomasi dengan Firaun agar dia membatalkan niatnya membunuh Nabi Musa (Ibnu Asyur, al-Taḥrīr wa al-Tanwīr, juz 24, hal 128).

Kedua, menyembunyikan keimanan diperbolehkan ketika berada dalam lingkungan yang sekiranya keimanan seseorang diketahui akan menyebabkan kecelakaan bagi orang tersebut. Ketiga, kemampuan berdiplomasi sangat dibutuhkan dalam berdakwah  dan kepada orang yang sangat keras seperti Firaun sekalipun, dakwah dengan mauidzah tetap dipilih. Wallahu a’lam bissowab []

Mengenal Kitab Bahr al-‘Ulum; Tafsir Klasik dari “Negeri di Seberang Sungai”

0
Kitab Bahr al-‘Ulum; Tafsir Klasik dari “Negeri di Seberang Sungai”
Kitab Bahr al-‘Ulum; Tafsir Klasik dari “Negeri di Seberang Sungai”

Negeri di Seberang Sungai atau Bilad Ma Wara’a Nahr atau dalam literatur latin disebut Transoxania/Transoxiana merupakan sebutan yang disematkan kepada kawasan Asia Tengah.(Tradisi Intelektual Muslim Uzbekirtan, hal iv). Sebagaimana dikutip dari jurnal Islamica, Qadimisme Versus Jadidisme Dan Dinamika Ulama Di Asia Tengah (Vol 12, No 1) merupakan kawasan yang mengalami islamisasi, ketika tentara pembebasan Islam di bawah panglima besar Qutaibah bin Muslim al-Bahli masuk ke wilayah itu sekitar tahun 88 H/706 M. Kini kawasan tersebut terdiri dari negara-negara pecahan Uni Soviet pasca imperialisme seperti Uzbekisten, Kirgistan, Kazakhstan, Tajikistan dan lain sebagainya.

Kawasan Asia Tengah terkenal dengan kota-kota bersejarah masa peradaban Islam seperti kota Samarkand dan Bukhara yang kini masuk wilayah negara Uzbekistan. Banyak karya dari tokoh intelelektual Muslim yang lahir disini, salah satunya kitab tafsir Bahr al-‘Ulum karya Nashr bin Muhammad bin Ibrahim al-Khithab al-Samarkandi al-Tauzi al-Balkhi yang biasa dikenal dengan Abi Laits al-Samarkandi.

Baca juga: Tafsir Surah Al-Baqarah 280: Lebih Bersabar dalam Menunggu Pembayaran Hutang

Tidak diketahui secara pasti kapan kitab tersebut mulai ditulis, namun dengan melihat riwayat biografi dari muallif (penulis) yang hidup sekitar tahun 301-310 H hingga 375-393 H mengindikasikan bahwa kitab tafsir Bahr al-‘Ulum ini ditulis pada periode klasik fase penulisan tafsir terpisah dari hadits (tadwin al-tafsir ‘ala istiqlal wa infirad min abwab al hadits), seperti yang dijelaskan oleh Syukron Affani dalam karyanya Tafsir al-Qur’an dalam Sejarah Perkembangannya (hal 137)

Dalam muqaddimahnya dijelaskan bahwa kitab tafsir ini ditulis atas dasar kesadaran muallif bahwa Al-Qur’an merupakan sumber ilmu, menurutnya ketika seseorang ingin mendapatkan ilmu maka ia harus mengambil dari Al-Qur’an, sehingga untuk memudahkan hal tersebut maka ditulislah sebuah kitab tafsir yang kemudian diberi nama “Bahr al-‘Ulum” yang berarti “Lautan Ilmu”.

Tafsir Bahr al-‘Ulum pertama kali selesai dicetak dan diterbitkan oleh penerbit Edinburgh maktabah تشيستربتي yang kala itu hanya terdiri dari empat surat saja yakni Q.S al-Hijr, Q.S al-Nahl, Q.S al-Isra’, dan Q.S al-Kahfi. Kini Tafsir Bahr al-‘Ulum telah dicetak secara lengkap sebanyak 3 jilid oleh penerbit Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah yang terbit pertama kali pada tahun 1993 dan telah ditahqiq (dikoreksi) serta dita’liq (dikomentari) oleh Ali Muhammad Mu’awadh, ‘Adil Ahmad ‘Abd al-Maujud, dan Zakariya ‘Abd al-Majid al-Nauti.

Baca juga: Membaca QS. Al-Baqarah: 228, Ayat Pembela Kaum Wanita

Karakteristik Tafsir Bahr al-‘Ulum

Tafsir Bahr al-‘Ulum memiliki nama asli Tafsir al-Samarkandi al-Musamma Bahr al-‘Ulum. Tafsir ini disajikan dengan konsep tartib mushafi yakni ditulis runtut dari awal hingga akhir surat sesuai dengan susunan dalam Al-Qur’an mushaf Utsmani.

Seperti yang telah diketahui bahawa Tafsir Bahr al-‘Ulum telah diterbitkan oleh penerbit Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah sebanyak 3 jilid, dimana jilid pertama berisi muqaddimah dan tafsir surat al-Fatihah hingga surat al-A’raf, kemudian jilid kedua berisi tafsir surat al-Anfal hingga surat al-‘Ankabut, dan yang terakhir pada jilid ketiga berisi tafsir surat al-Rum hingga al-Nas.

Abi Laits al-Samarkandi memaparkan penafsirannya di dalam Tafsir Bahr al-‘Ulum menggunakan metode tahlili dengan disertai beberapa aspek pendekatan seperti ‘Ulum al-Lughah (ilmu-ilmu bahasa), ‘Ulum al-Qur’an (ilmu-ilmu Qur’an) dan pendekatan Fiqhi (hukum Islam).

Ilmu Nahwu, Ilmu Sharaf, Sya’ir Arab, hingga menyandarkan kepada ulama’ ahli lughat seperti Ibnu Qutaibah, al-Ashma’i, al-Zujaj, Khalil bin Ahmad merupakan pendekatan bahasa yang digunakan dalam Tafsir Bahr al-‘Ulum. Sementara ilmu Al-Qur’an yang digunakan sebagai media pendekatan diantaranya seperti Ilmu Qira’at, Makki-Madani, Nasikh-Mansukh, serta Asbab al-Nuzul.

Sedangkan pendekatan berbasis Fiqhi (hukum Islam) biasanya digunakan ketika menjelaskan ayat yang berkenaan dengan masalah Fiqih, hal ini dilakukan mengingat background penulis yang merupakan seorang ahli fiqih.

Baca juga: 4 Spirit Kemerdekaan yang Dibawa Islam dalam Ayat-Ayat Al-Qur’an

Berdasarkan sumber penafsirannya Tafsir Bahr al-‘Ulum tergololong tafsir bi al-Iqtirani atau perpaduan antara bi al-Ma’tsur (riwayat) dan bi al-Ra’yi (nalar). Dikatakan tafsir bi al-Ma’tsur karena dalam kitab ini mufassir menafsirkan menggunakan sumber riwayat, diantaranya seperti ayat al-Qur’an, Hadits Nabi, Riwayat Sahabat, Tabi’in, dan Israilliyat.

Meskipun sekilas terlihat sama dengan tafsir bi al-Ma’tsur pada umumnya, namun Tafsir Bahr al-‘Ulum sedikit berbeda perihal penulisan hadits sebagai sumber penafsiran, dimana muallif terkadang tidak menyertakan sanad rawi dari hadits yang dikutip. Hal ini mungkin menjadi kebiasaan dari Abi Laits selaku muallif Tafsir Bahr al-‘Ulum, sebab dalam muqaddimah kitab tasawufnya Bustan al-‘Arifin beliau menjelaskan alasan melakukan hal tersebut dengan mengatakan;

وَحَذَفْتُ أَسَانِيْدَ اْلأَحَادِيْثِ تَخْفِيْفاً لِلرَّاغِبِيْنَ فِيْهِ وَتَسْهِيْلًا لِلْمُجْتَهِدِيْنَ وَالْتِمَاساً لِمَنْفَعَةِ النَّاسِ

Saya sengaja membuang sanad-sanad haditsnya, tak lain untuk mempermudah para pembacanya, meringankan para pengkajinya, serta demi kemanfaatan yang luas bagi segenap manusia

Sementara dikatakan tafsir bi al-Ra’yi karena dalam Tafsir Bahr al-‘Ulum juga menggunakan sumber ra’yu (nalar) dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an yang menjelaskan perihal hukum (fiqhi) seperti ketika menafsirkan Q.S. al-Baqarah [2]: 222.

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ  فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ  (٢٢٢)

Ayat tersebut menjelaskan mengenai boleh atau tidaknya menggauli perempuan yang telah usai haidh dalam kondisi belum melaksanakan mandi wajib.

Ada 2 pemahaman mengenai “تَطَهَّرْنَ”, pertama apabila huruf tha’ dibaca dengan tasydid maka menunjukkan sampai suci dari haidh, jadi boleh menggauli sebelum mandi, kedua apabila huruf tha’ dibaca dengan tanpa tasydid maka bermakna sampai mandi, jadi baru boleh didekati seusai mandi wajib.

Perihal masalah ini Abi Laits menerima keduanya, dengan alasan bilamana seorang perempuan masa haidhnya kurang dari 10 hari maka tidak boleh didekati sebelum mandi wajib, akan tetapi bilamana lebih dari 10 hari maka boleh didekati ketika masa haidhnya usai sebelum perempuan tersebut mandi wajib.

Baca juga: Memahami Qalbun Wajil dan Qalbun Muthmainnah dalam Al-Quran yang Sepintas Kontradiktif

Komentar Ulama’ Terhadap Tafsir Bahr al-‘Ulum

Beberapa ulama’ peneliti kitab tafsir seperti Muhammad Husein adz-Dzahabi, dan Muhammad Ali Iyazi berkomentar dan memberi penilaian terhadap kitab Tafsir Bahr al-‘Ulum dalam kitabnya masing-masing.

Muhammad Husein adz-Dzahabi dalam kitabnya al-Tafsir wa al-Mufassirun (juz 1 hal 161) mengatakan bahwa Tafsir Bahr al-‘Ulu>m tergolong tafsir bi al-ma’tsur yang sesuai dengan ketentuan ulama’ salaf, namun tidak disertakannya sanad dalam penulisan beberapa hadits oleh muallif menjadikan kekurangan tersendiri dalam kitab tersebut.

Sementara Muhammad Ali Iyazi dalam kitabnya al-Mufassirun Hayatuhum Wa Manhajuhum (hal 176) mengatakan bahwa dalam Tafsir Bahr al-‘Ulum terdapat beberapa riwayat hadits dhaif yang tidak disertakan keterangan status kedhaifannya seperti hadits riwayat al-Kalbi. Hal tersebut menjadi salah satu celah bagi sebuah kitab Tafsir yang banyak mengutip hadits dalam penafsirannya.

Meski demikian kitab Tafsir Bahr al-‘Ulum merupakan salah satu bukti eksistensi Islam di “Negeri Seberang Sungai” (Asia Tengah) pada masa lampau. Wallahu a’lam[]