Beranda blog Halaman 244

Tafsir Surah Al-Baqarah 280: Lebih Bersabar dalam Menunggu Pembayaran Hutang

0
Lebih Bersabar dalam Menunggu Pembayaran Hutang
Lebih Bersabar dalam Menunggu Pembayaran Hutang

Ibnu Khaldun dalam karyanya yang fenomenal, “Muqaddimah”, ia menulis teori tentang manusia dan segenap persoalannya. Teorinya yang paling fenomenal dan mudah dihafal “manusia adalah makhluk sosial”. Karena sesungguhnya manusia tidak lepas dari bahu membahu, untuk memenuhi kebutuhan-keperluan sehari-hari, manusia tidak lepas dari bantuan manusia lain. Mengetahui hal ini dalam tafsir Al-Qur’an menegaskan untuk lebih bersabar dalam menunggu pembayaran hutang.

Mereka yang memiliki keluasan harta, atau setidak-tidaknya lebih memadai materi dan harta bendanya, bisa jadi opsi bantuan bagi mereka yang ditakdirkan berada di barisan kelas menengah ke bawah. Pasalnya, punya keluasan harta saja tidak cukup, butuh hati yang murah lagi rahmah untuk bisa memberikan bantuan kepada saudara – baik sedarah, seiman, maupun kemanusiaan – yang membutuhkan.

Baca juga: 4 Spirit Kemerdekaan yang Dibawa Islam dalam Ayat-Ayat Al-Qur’an

Dalam Al Qur’an, Allah Swt berfirman:

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

 “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui” (QS. Al Baqarah: 280).

Tafsir Surah Al-Baqarah 280

Ibnu Katsir, dalam tafsir fenomenalnya, Tafsir al Qur’an al ‘Adhim atau yang lebih dikenal dengan Tafsir Ibnu Katsir memberi keterangan, bahwa Allah Swt melalui perantara ayat ini, Ia memerintahkan seseorang agar lebih bersabar dalam menunggu pembayaran hutang dari pihak peminjam.

Memberi kesempatan (lagi) kepada pihak peminjam dan tidak segera menagih harta pinjaman apabila telah jatuh tempo pelunasan hutang, tidak mendesaknya untuk segera melunasi pinjamannya, sampai ia (yang berhutang) memiliki keluasan harta.  Yang paling penting lagi untuk diketahui, pihak pemberi pinjaman juga tidak menambah berat beban hutang dengan tidak memberikan bunga atau semacamnya.

Melalui ayat ini, Allah Swt selain memberi perintah untuk bersabar dalam menunggu pelunasan hutang, Allah Swt sekaligus menghapuskan tradisi riba yang sudah berlangsung lama dan mapan di masa jahiliyah. Umumnya, mereka biasa mengatakan (kepada peminjam): “idza halla ‘alaihi al dainu, immaa an taqdliya, wa immaa an tarbiya. (jika hutangmu sudah jatuh tempo, maka segera lunasilah atau nanti ia akan berbunga). (al Tafsir al Qur’an al ‘Adhim, Vol I, 716-722)

Baca juga: Memahami Qalbun Wajil dan Qalbun Muthmainnah dalam Al-Quran yang Sepintas Kontradiktif

Aidh al Qarni dalam Tafsir Muyassar menyebutkan, bahwa konten ayat di atas, adalah perintah dari Allah untuk memberi bantuan berupa perpanjangan waktu kepada peminjam hutang yang tidak mampu melunasi hutangnya pada saat jatuh tempo yang ditentukan. Lelaku tersebut adalah lelaku yang mengantarkan kita menjadi orang yang lebih berdaya, yang dijamin Allah mendapat rezeki yang lebih lapang, dan menjadi manusia yang lebih bernilai di dunia dan akhirat. (al Tafsir al Muyassar Vol I, 298)

Simpulnya, jika tidak mendesak pembayaran hutang atau menambaah berat beban hutang dengan bunga dijanjikanNya menjadi seorang hamba yang memiliki nilai lebih di hadapanNya, apalagi jika sampai kita mengikhlaskan harta kita kepada si peminjam harta dengan menganggap lunas hutang, tentu saja kita bisa menjadi manusia yang jauh lebih bernilai.

Puncaknya adalah, sebagaimana difirmankanNya di ayat lain,

لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ

“Surga disiapkan untuk orang-orang yang bertakwa, yaitu orang-orang yang berinfak baik di waktu lapang maupun sempit” (QS. Ali Imran: 133-134).

Kemudian, pada puncaknya (juga), Allah akan memberikan pahala bagi mreka yang bersedekah, baik secara langsung yakni dengan memberikan sebagian kelebihan harta kepada orang lain, atau bersedekah secara tidak langsung yakni dengan cara yang anti minstream: menganggap lunas hutang, memberikan pembebasan pada peminjam yang tidak mampu melunasinya.

Allah Swt berfirman:

ان الله يجزي المتصدقين

“Sesungguhnya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang bersedekah)

Melalui konstruksi ayat-ayat di atas, Allah Swt mendidik kita untuk saling memudahkan. Balasan bagi mereka yang saling memudahkan sesama dijanjikan oleh nabi saw dalam banyak dawuhnya, di antaranya hadith yang berstatus shahih, muttafaq ‘alaih: barangsiapa yang melepaskan satu kesusahan seorang mukmin, niscaya Allah akan melepas darinya satu kesusahan di hari kiamat. Barang siapa yang memudahkan urusan orang lain, maka Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan di akhirat.

Baca juga: Memahami Qalbun Wajil dan Qalbun Muthmainnah dalam Al-Quran yang Sepintas Kontradiktif

Kemudian, dalam hadith riwayat Thabrani, diceritakan, nabi Saw pernah ditanya, siapakah manusia yang paling dicintai Allah, juga perbuatan apakah yang paling dicintai Allah? Jawaban nabi adalah:

“Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah mereka yang paling bermanfaat dan berguna bagi orang lain. perbuatan yang paling dicintai oleh Allah adalah memberikan kegembiraan bagi orang lain atau menghapus kesedihan orang lain, atau melunasi hutang orang yang tidak mampu membayarnya, atau memberi makan mereka yang sedang kelaparan. Orang yang menolong mereka yang sedang kesusahan lebih aku sukai daripada beri’tikaf di masjidku selama satu bulan” (HR. Thabrani)

Dalam riwayat yang lain juga disebutkan: Pertolongan Allah kepada seseorang tergantung pada pertolongan yang diberikannya pada sesama manusia. Sesungguhnya Allah pasti menolong hambaNya selama hamba tersebut mau menolong orang lain (HR. Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi)

Jika ditelaah ulang, Allah melalui kalamNya, juga melalui lidah nabiNya, mendidik diri kita secara halus untuk menjadi pribadi yang baik, santun, dan bermanfaat bagi orang lain. semakin banyak kebaikan yang dilakukan seseorang, semakin banyak kemanfaatan yang dibagikannya, semakin dekat pula ia dengan derajat al muttaqun. Maka berilah kemudahan bagi mereka yang membutuhkan, niscaya ridha Allah bisa didapatkan.

Wallahu a’lam.

Sejarah dan Dinamika Tradisi Kelisanan Al-Qur’an dari Masa ke Masa

0
Sejarah dan Dinamika Tradisi Kelisanan Al-Qur’an dari Masa ke Masa
Tradisi Kelisanan Al-Qur’an

Peran verbal atau lisan dalam pembacaan dan pengajaran Al-Qur’an merupakan hal yang sudah berlangsung sejak 14 abad silam. Membaca Al-Qur’an menjadi ritual ibadah yang khas dan jamak dilakukan umat Islam sehari-hari, baik itu sebagai ibadah tersendiri atau bagian dari ibadah lainnya. Misalnya ibadah salat fardhu yang dilakukan lima waktu dalam sehari, di mana dalam setiap rakaatnya diwajibkan membaca surah al-Fatihah.

Puncaknya, pembacaan Al-Qur’an dapat mudah terdengar secara bersahut-sahutan di malam-malam bulan Ramadhan setelah pelaksanaan salat tarawih. Tidak hanya itu, pada zaman sekarang ini pembacaan Al-Qur’an juga digunakan sebagai pembukaan acara-acara penting seperti pernikahan, khitanan, pemakaman, dan lain sebagainya.

Pembacaan Al-Qur’an di Masa Awal Islam

Pada dasarnya, tradisi kelisanan Al-Qur’an sudah dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. saat menerima wahyu pertama kali di Gua Hira’ pada umur 40 tahun. Aisyah menceritakan, sebagaimana yang dikutip al-Tabari dalam tafsirnya bahwa saat Nabi ber-uzlah di Gua Hira’, tiba-tiba ia didatangi oleh malaikat Jibril yang membawa wahyu dari Tuhannya, dan menyuruhnya untuk menirukan apa yang diucapkan. Dilihat dari sejarah awal pewahyuan ini pun dapat diketahui, bahwa awal mula perkembangan Al-Qur’an berasal dari tradisi lisan.

Di saat yang sama, ketika wahyu turun kepada Nabi Muhammad dan kemudian ditugaskan oleh Sang Pemilik Wahyu untuk menyapaikannya, bangsa Arab saat itu sedang mentradisikan tradisi lisan yang berupa puisi dan sastra. Perkembangan tradisi tersebut begitu hebat, sehingga saat itu pula bangsa Arab yang tidak percaya dengan wahyu yang dibawa Nabi, menganggap bahwa Nabi Muhammad hanyalah seorang yang ahli puisi dan sya’ir. Dan apa yang disampaikannya tidaklah lebih seperti sya’ir ataupun pantun.

Tentang bagaimana tata cara membaca Al-Qur’an, dalam Al-Qur’an sendiri tidak detail dalam menjelaskan bagaimana tata cara membaca Al-Qur’an. Al-Qur’an menjelaskan dalam surah al-Muzzammil ayat 4, agar membacanya dengan cara tartil, yang ditafsirkan Ibn Asyur dengan membaca Al-Qur’an dengan jelas, sesuai kadarnya, dan tidak tergesa-gesa.

Jika dalam Al-Qur’an hanya menjelaskan sedikit tentang bagaimana seharusnya ia dibaca, maka di dalam hadis, pembahasan tentang tata cara membaca Al-Qur’an cenderung lebih banyak ditemukan (terlepas dari adanya pro-kontra tentang kesahihan hadis tersebut).

Ketika Nabi Muhammad membaca Al-Qur’an dalam salat dan di luar salat, maka saat itulah para sahabat dapat mempelajari bacaan al-Qur’an Nabi. Dari proses tersebutlah akhirnya para sahabat meriwayatkan bacaan-bacaan Al-Qur’an kepada murid-muridnya kelak.

Baca juga: Inilah Keutamaan Membaca Al-Quran dengan Tartil

Ilmu Qiraat Al-Qur’an

Perkembangan riwayat pembacaan Al-Qur’an ini pada suatu masa mengalami perkembangan yang pesat dan luar biasa. Banyak ragam qiraat yang dijadikan sebagai landasan dalam membaca Al-Qur’an. Problem muncul ketika terdapat sebuah daerah yang tidak menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa ibu, atau yang mempunyai aksen yang berbeda dengan bahasa Arab Quraisy.

Kemudian untuk mengoordinir ragam qiraat ini, dimunculkan disiplin ilmu qiraah yang menurut kitab al-Busyrâ fî Taisîr al-Qirâât al-‘Asyr al-Kubrâ dipelopori oleh Abû ‘Ubaid al-Qâsim bin Salâm (w. 224 H). Adapun menurut kitab al-Irsyâdât al-Jaliyyah fî al-Qirâât as-Sab’ min Tharîq asy-Syâthibiyyah, pelopor ilmu qirâât adalah Hafsh bin ‘Umar ad-Dûrî (w. 246 H).

Disiplin ilmu ini sangatlah kompleks, karena di dalamnya berbicara tentang tata cara membaca Al-Qur’an dengan berbagai versi. Hanya sebagaian kecil pembaca Al-Qur’an yang mengetahui ilmu tersebut. Dapat dikatakan mayoritas pembaca Al-Qur’an hari ini hanya menguasai satu varian bacaan saja, karena yang dianggap penting adalah bagaimana agar Al-Qur’an tersebut dapat dibaca dengan baik dan benar.

Baca juga: Mabadi’ Asyrah: Sepuluh Dasar Ilmu Qiraat yang Perlu Diketahui

Ilmu Nagham Al-Qur’an

Kajian lain yang dapat diperhatikan dalam tradisi kelisanan Al-Qur’an adalah tentang kajian pembacaan Al-Qur’an dengan irama. Sebelum mengkaji ilmu ini, pembaca harus paham mengenai tata cara membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar terlebihi dahulu. Dalam hal ini tajwid menjadi pondasi awal dalam membaca Al-Qur’an. Meskipun demikian, banyak orang yang sudah dapat membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar, tetapi tidak tertarik pada ilmu seni membaca Al-Qur’an ini.

Memang untuk melagukan Al-Qur’an, si pembaca harus memiliki keahlian khusus. Adapun Pembacaan Al-Qur’an dengan nada ini tidak dianggap sebagai sebuah lagu atau musik, atau karya seni musik lainnya. Upaya ini hanya dimaksudkan sebagai persembahan yang istimewa yang ditujukan kepada Tuhan Pemilik Al-Qur’an.

Penutup

Berdasarkan uraian ringkas di atas, penulis menarik kesimpulan bahwa tradisi kelisanan Al-Qur’an pada zaman generasi Islam awal terbilang sangatlah kuat. Oleh karena itu, masuk akal jika dalam menghapal Al-Qur’an misalnya, mereka lebih condong menggunakan metode interaksi dari mulut ke mulut secara langsung. Peran mushaf kemudian tidak terlalu signifikan. Ini bisa dilihat dari bagaimana atribut tulisan di mushaf-mushaf kuno sangat sederhana.

Berbeda dengan zaman modern saat ini, yang ketika seseorang ingin menghapalkan Al-Qur’an, lumrahnya berangkat dari tulisan atau teks. Pertanyaannya kemudian, apakah dinamika tradisi kelisanan Al-Qur’an ini menunjukkan kemunduran generasi umat Islam saat ini, atau justru sebuah kemajuan? Wallahu A’lam

Baca juga: Tafsir Ahkam: Apakah Boleh Membaca Al-Qur’an dengan Dilanggamkan Atau Dilagukan?

Membaca QS. Al-Baqarah: 228, Ayat Pembela Kaum Wanita

0
Membaca QS. Al-Baqarah: 228, Ayat Pembela Kaum Wanita
QS. Al-Baqarah: 228

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘wanita’ berarti 1) perempuan dewasa, 2) kaum putri (dewasa). Secara kodrat, ia tercipta sebagai sosok yang berbeda dengan laki-laki. Secara sosial, ia dikonstruksi supaya memiliki sisi emosional yang lebih kuat daripada akalnya. Imam al-Sya’rāwī dalam al-Mar`ah fī al-Qur`ān-nya (70) menuturkan bahwa kuatnya perasaannya ini kelak akan lebih ia butuhkan untuk menjalankan salah satu tugasnya sebagai seorang ibu, yakni mengandung dan menyusui putra-putrinya.

Ketika sudah berkeluarga, tidak jarang seorang istri mendapatkan perlakuan kurang baik dari suaminya. Komnas Perempuan menuliskan jumlah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialami istri pada tahun 2020 sebanyak 3221 kasus. Hal ini dipicu oleh semakin banyaknya waktu berkumpul di rumah yang diperkuat oleh budaya patriarki. Pemahaman yang menempatkan perempuan sebagai penanggungjawab rumah tangga dan pengasuhan anak. Belum lagi ekonomi yang terdampak oleh pandemi. Tidak jarang seorang suami melakukan kekerasan atas nama maskulinitas (kemampuan memenuhi tanggung jawab sebagai suami) yang semakin tidak menentu. (CATAHU 2021: Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2020, 12-13).

Baca juga: Respon Al-Qur’an Terhadap Toxic Masculinity dalam Berumah Tangga

Keseimbangan hak dan kewajiban

Mengenai kekerasan ini, ada satu ayat yang layak untuk dijadikan pedoman kaum Adam dalam menjalankan tugasnya sebagai kepala rumah tangga. Ayat ini dikutip oleh Imam Nawawi saat menjelaskan ‘hak-hak istri atas suami’ dalam Kitab Syarh ‘Uqūḍ al-Lujjain. Allah berfirman:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ

dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut” (QS. Al-Baqarah: 228).

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an (LPMQ) memahami penggalan QS. Al-Baqarah: 228 di atas sebagai dalil bahwa syarat amal kebajikan mencapai kemajuan, perempuan dan laki-laki sama-sama mempunyai hak dan kewajiban. Meskipun demikian hak dan kewajiban itu disesuaikan dengan fitrah fisik maupun mentalnya. Dalam rumah tangga, suami dan istri adalah mitra sejajar, saling tolong menolong dan bantu membantu dalam mewujudkan rumah tangga sakinah yang diridai Allah Swt. (al-Qur’an dan Tafsirnya, 1/337).

Dalam salah satu hadisnya yang diriwayatkan oleh Imam Thabrānī dan al-Hākim, Nabi memberitahu hak-hak istri yang harus dipenuhi suami. Dalam hadis tersebut Nabi menyebutkan lima hak istri; mendapatkan makan, memperoleh pakaian yang layak, tidak mendapatkan kekerasan fisik ketika suami marah, jangan sampai mendengar ucapan yang tidak disukainya, dan tidak merasa dikucilkan.

Hak istri yang masih sulit dijumpai hingga saat ini adalah ucapan yang tidak disukainya dari sang suami. Karena memang sedikit sekali manusia yang bisa menjaga lisannya. Terlebih ketika dalam kondisi marah. Bukankah lidah itu tidak bertulang? Adapun mengucilkan istri, Nabi membatasinya hanya di dalam kamar. Yakni ketika pisah tempat tidur karena istri durhaka pada suami. Hal ini tidak lain agar keharmonisan rumah tangga tetap terjaga di mata masyarakat.

Baca juga: Kesalingan dan Kesetaraan Relasi Suami-Istri dalam Maqashid Al-Quran

Teladan dari sahabat Nabi

Berkaitan dengan QS. Al-Baqarah: 228 di atas, sahabat Ibnu Abbas, sepupu Nabi, mengambil sikap yang unik. Jika kebanyakan hanya sampai pada rasa tanggung jawab yang sepenuh hati, sahabat yang dijuluki tarjumān al-qur’ān ini tidak demikian. Tidak hanya berbuat baik kepada sang istri, ia berdandan untuk sang istri. Sebagaimana istrinya berdandan untuknya. Ia memperlakukan istrinya sebagaimana ia diperlakukan olehnya. Hal ini dikutip oleh Imam al-Qurthubī dalam tafsirnya (4/52) dan Imam Nawawi dalam Kitab Syarh ‘Uqūḍ al-Lujjain.

Berbeda dengan sepupu Nabi, sahabat Umar yang menjadi mertua Nabi memahami Al-Baqarah: 228 tersebut dengan memilih diam saat dimarahi istrinya. Ketika itu, ada seorang sahabat yang hendak mengadukan perilaku kasar istrinya kepada sahabat Umar yang kala itu menjabat sebagai khalifah kaum muslimin. Ketika sampai di depan pintu rumahnya, sahabat tadi tercengang karena mendapati sahabat yang terkenal tegas itu diam tanpa sepatah katapun ketika dimarahi istrinya.

Melihat kejadian ini, sahabat tadi memutuskan untuk pulang. Belum jauh dari rumah orang nomor satu kala itu, sahabat tadi dipanggil dan terjadilah percakapan. Setelah mendengar keluh kesah sahabat tadi, Sahabat Umar berkata “Saudaraku, aku diam karena ia memiliki hak atas diriku. Ia memasak dan membuat roti untukku, mencuci bajuku, menyusui anak-anakku. Padahal semua itu bukanlah kewajibannya. Darinya aku mendapatkan ketenangan tidak melakukan perbuatan yang dilarang”. Kurang lebih demikianlah gambaran siakp dua sahabat besar terhadap pasangan mereka.

Betapapun kuatnya wibawa dua sahabat agung ini di hadapan sahabat yang lain, mereka adalah seorang suami yang tidak bisa lepas dari peran istri dalam rumah tangganya. Memang, pasangan suami istri memiliki posisi dan tugas yang berbeda. Namun demikian, perbedaan ini bukan untuk diunggulkan salah satunya atau malah dipertentangkan. Perbedaan ini harus dikelola sebagai dua hal yang saling melengkapi. Ibarat sepasang sandal atau sepatu. Kendati memiliki bentuk dan tempat yang berbeda, sepasang dari keduanya bisa bersinergi berjalan bersama memberikan manfaat kepada pemakainya.

Penutup

Orang bijak berpesan kepada seorang lelaki di hari pernikahannya. “Ketika engkau menikahi seorang wanita, jadikanlah juga dirimu sebagai ayah, saudara, dan teman baginya. Karena dia meninggalkan mereka semua demi mengikutimu”. Seorang suami harus bisa dan pandai memposisikan diri saat bersama istri. Dia harus siap menjelma sebagai sosok ayah yang menjadi tempat berkeluh kesah istri sebelum menikah. Siap menjadi saudaranya yang mengisi hari-harinya penuh kebahagiaan dan canda tawa. Dan sebagai kawan yang menjadi partner ngobrolnya. Begitu pula sebaliknya, istri terhadap suami.

Jika seseorang sudah berhasil menguasai tiga aktor tersebut dan memerankan dengan baik, maka kebahagiaanlah yang akan dirasakan oleh pasangan dan tentunya kebahagiaan itu juga akan dirasakan oleh putra-putri mereka. Wallaahu a’lam.

Baca juga: Lima Pilar Kehidupan Rumah Tangga dalam Al-Quran Menurut Faqihuddin Abdul Kodir

Empat Spirit Kemerdekaan yang Dibawa Islam dalam Alquran

0
4 Spirit Kemerdekaan yang Dibawa Islam dalam Ayat-Ayat Al-Qur’an
Spirit Kemerdekaan yang Dibawa Islam dalam Ayat-Ayat Al-Qur’an

Berbicara mengenai kemerdekaan tidak hanya terbatas pada terbebasnya suatu negara dari kolonialisme. Ada banyak aspek dari kemerdekaan yang perlu terus diperjuangkan, bahkan ketika negara tersebut telah lama memproklamirkan kemerdekaannya. Dalam rangka menyambut kemerdekaan NKRI yang ke 76 ini, penulis mengajak pembaca melusuri setidaknya empat spirit kemerdekaan yang dibawa oleh Islam yang terukir dalam ayat-ayat al-Qur’an.

Merdeka dari teologi batil   

Islam datang dalam keadaaan bangsa Arab sedang berada dalam masa jahiliyyah yang sangat memprihatinkan. Dari segi keyakinan, mereka mengalami krisis dan penyimpangan teologis. Dari semula memeluk dan mengamalkan ajaran Nabi Ibrahim as, beralih kepada kesyirikan dengan menyembah berhala-berhala yang mereka buat sendiri. Dalam kitab Nur al-Yaqin disebutkan ada 360 berhala yang ditemukan di sekitar Ka’bah ketika akan dihancurkan saat Pembebasan Mekah.

Memerdekakan bangsa Arab, bahkan seluruh manusia dari teologi yang batil ialah tujuan utama Islam. al-Qur’an menyatakan dengan tegas hal ini dalam banyak ayat, misalnya dalam QS. Al-Baqarah: 257. Diksi “Dia (Allah) mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya” dalam ayat tersebut ditafsirkan para ulama dengan pembebasan manusia dari gelapnya kekafiran menuju terangnya iman. Al-Baghawi menambahkan bahwa apabila dalam al-Qur’an ada kata al-zulumat (kegelapan) disandingkan dengan kata al-nur (cayaha) -selain di surah al-An’am-, maka ia pasti bermakna kekafiran dan keimanan.

Penolakan Islam terhadap penyembahan tuhan berwujud patung atau benda-benda langit seperti dalam cerita Nabi Ibrahim (Al-An’am: 76-79) mengajarkan kita untuk tidak terpaku pada materi-materi yang tampak. Orang sekarang menyebutnya materialisme. Seseorang hendaknya tidak menuhankan sesuatu yang hanya bisa dijangkau oleh panca indera, yang terasa nyata manfaatnya, namun ternyata ia hanyalah ilusi semata. Sesuatu yang ‘besar’ seringkali tidak tampak di mata.

Merdeka dari penindasan terhadap kaum mustad’afin  

Spirit kemerdekaan lainnya adalah merdeka dari segala penindasan terhadap kelompok yang lemah secara sosial. Islam melarang umatnya saling menindas satu sama lain dengan alasan apapun. Melalui al-Qur’an, kita disuguhi kisah-kisah terdahulu, bagaimana nasib buruk menimpa penguasa yang zalim dan bagaimana pada akhirnya orang-orang yang terzalimi seperti kaum Nabi Musa diselamatkan oleh Allah.

Selain kepada penjajahan atau rezim yang zalim, al-Qur’an juga mengecam penguburan anak (At-Takwir: 8-9),  menganjurkan memerdekakan budak (Al-Balad: 13), memberi makan orang miskin dan menyantuni anak yatim (Al-Balad: 14-16), serta memperlakukan perempuan dengan baik (An-Nisa: 19).

Baca juga: Tafsir Surah Hud Ayat 27: Konflik Sosial di Balik Pendustaan Dakwah Nabi Nuh

Merdeka dari fanatisme kesukuan

Bangsa Arab pada masa jahiliyyah melihat seseorang bergantung pada nasabnya. Orang yang memiliki jalur nasab yang bagus akan sangat dimuliakan. Sebaliknya, mereka yang tidak memiliki nasab bagus akan dipandang remeh. Ini kemudian menjadi cikal bakal munculnya fanatisme kesukuan yang berlebihan. Mereka menjadi terpecah-belah dan terkotak-kotak berdasarkan suku masing-masing. Tidak jarang fanatisme ini menjurus pada konflik antarsuku.

Islam melalui sosok Nabi Muhammad mencoba memperbaiki kondisi ini. Dalam kitab-kitab sirah nabawiyyah misalnya, bisa kita lihat bagaimana cerdiknya Nabi menyelesaikan konflik sosial dalam peletakan hajar aswad. Bagaimana Nabi mempersaudarakan Muhajirin dan Ansar setibanya di Madinah dan mendamaikan dua suku besar yang sering berseteru di Madinah, Aus dan Khazraj. Nabi mengajarkan bahwa kaum muslimin adalah satu kesatuan. Ia bersabda:

تَرَى الْمُؤْمِنِينَ فِي تَرَاحُمِهِمْ وَتَوَادِّهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى عُضْوًا تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ جَسَدِهِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

“Kamu akan melihat orang-orang mukmin dalam hal saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga (tidak bisa tidur) dan merasa panas (akibat turut merasakan sakitnya).” (HR. al-Bukhari no. 5552).

Sejalan dengan sabda Nabi di atas, Allah menyatakan bahwa sesama orang mukmin adalah saudara (al-Hujurat: 10). Ibn Asyur dalam tafsirnya menjelaskan, hal tersebut sudah sangat jelas. Bahwa ketika seseorang masuk Islam, maka ia sudah terjalin hubungan persaudaraan dengan sesama muslim lainnya.

Merdeka dari kebodohan

Islam juga membawa spirit kemerdekaan dari kebodohan. Ini tercermin jelas ketika wahyu pertama merupakan perintah membaca. Dengan membaca, seseorang akan mendapat pengetahuan baru. Ia akan lebih bijak dalam menjalani kehidupan.

Aktivitas membaca tidak hanya terbatas pada apa yang tertulis pada lembaran kertas, akan tetapi mencakup segala hal yang bisa dipahami. Tadabbur alam sebagaimana pencarian ‘tuhan’ oleh Nabi Ibrahim termasuk aktivitas membaca, tepatnya membaca ayat-ayat Allah al-kauniyyah (yang berupa alam semesta). Yang pada akhirnya kita tahu Nabi Ibrahim berhasil menemukan Tuhannya dengan mendayagunakan logika akalnya.

Jika kita amati, banyak ayat al-Qur’an yang diakhiri dengan perintah mendayagunakan akal pikiran. Semisal afala ta’qilun ‘apakah kamu tidak berakal?’ (Al-Baqarah: 44, 65, 76, Al-An’am: 32); afala tatafakkarun ‘tidaklah kamu memikirkannya?’ (Al-An’am: 50); dan afala tatazakkarun ‘apakah kamu tidak dapat mengambil pelajaran?’ (Al-An’am: 80).

Baca juga: Kisah Nabi Ibrahim Mencari Tuhan Melalui Matahari dalam Al-Quran

Penutup

Demikianlah sedikitnya empat spirit kemerdekaan yang dibawa Islam. Semoga spirit kemerdekaan dalam al-Qur’an di atas bisa menginspirasi kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Secara khusus, pada setiap momen kemerdekaan negara kita tercinta, Indonesia ini, kita perlu mempertanyakan kembali apakah kita sudah benar-benar merdeka? Sebuah pertanyataan sederhana sebagai bentuk evaluasi diri demi masa depan yang lebih cerah, semoga.

Baca juga: Belajar Mensyukuri Nikmat Kemerdekaan dari Kisah Negeri Saba’

Memahami Qalbun Wajil dan Qalbun Muthmainnah dalam Al-Quran yang Sepintas Kontradiktif

0
Qalbun Wajil
Qalbun Wajil dan Qalbun Muthmainnah

Sepekan yang lalu penulis sempat membaca artikel dalam rubrik tafsir tematik, tepatnya dua artikel yang berisi penjelasan ragam hati dengan semua macam-macamnya yang tersebar di dalam mushaf al-Quran. Artikel itu bertajuk, 20 Macam Jenis Hati yang Disebutkan dalam Al-Quran dan Karakteristiknya (Bag. 1). Disana disebutkan sekitar 20 kategori hati berikut ayat yang melandasinya.

Sepertinya ada yang menarik dikupas lebih mendalam dua kategori dari kategori-kategori di atas. Pada urutan ke empat dari dua puluh kategori hati, penulis artikel mengambil ayat 60 surat al-Mu’minun sebagai representasi bagi kategori qalbun wajil. Sementara pada urutan ke ketujuh disebutkan qalbun muthmainnah yang diwakili oleh Q.S. Ar-Ra’du (13) 28.

Sekilas mungkin tidak ada masalah dengan kedua kategori hati diatas, kalau kategori qalbun wajil dipahami dari ayat 60 surah al-Mu’minun. Di tempat lain qalbun wajil juga disinggung oleh al-Quran, yang dianggap menarik perhatian karena diduga kontradiksi dengan qalbun muthmainnah, ayat yang dimaksud adalah  Q.S. al-Anfal (8) 2.

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اِذَا ذُكِرَ اللّٰهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَاِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ اٰيٰتُهٗ زَادَتْهُمْ اِيْمَانًا وَّعَلٰى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَۙ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal.”

Sementara qalbun muthmainnah ditunjukkan oleh Q.S. Ar-Ra’du (13) 28.

الَّذِينَ امَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللهِ أَلاَبِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ,

“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dan tenang dengan mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.”

Baca Juga: Tafsir Surah Yunus Ayat 12: Bersabar Saat Bahaya dan Bersyukur Kala Bahagia

Perhatikan kedua ayat diatas, sama-sama mensifati hati orang-orang mukmin, dengan kondisi yang akan dialaminya saat mengingat Allah Swt. Ayat pertama mengatakan wajilat yang bermakna gemetar atau berguncang karena ketakutan. Sementara pada ayat kedua, al-Quran mensifatinya dengan muthmainnah yang berarti tentram dan tenang.

Pertanyaannya kemudian, bukankah gemetar lawan dari tenang? Bagaimana mungkin al-Quran menggambarkan hati mukmin dengan dua hal yang bertentangan?. Mungkinkah dua keadaan itu sama-sama dialami?

Fakhruddin ar-Rozi telah menduga jauh-jauh hari, pertanyaan ini akan muncul atau bahkan sudah ada, karenanya saat menafsirkan Q.S. Ar-Ra’du Ayat 28, beliau menyinggung pertanyaan di atas sekaligus memberikan jawabannya.

Namun sebelum masuk pada jawaban itu, pengertian kontrdiksi mesti diketengahkan terlebih dahulu. Kontradiksi menurut ilmu mantiq adalah suatu pertentangan antara dua proposisi yang meniscayakan salah satunya benar dan yang lain salah, alias keduanya tidak mungkin sama-sama benar begitu pun tidak mungkin sama-sama salah.

Dalam ilmu mantiq kontradiksi dibahas menyangkut hubungan antarproposisi, dan biasanya pokus pada syarat-syarat yang mesti dipenuhi agar dua proposisi dapat dinyatakan bertentangan. Mantiq menyebut delapan hal yang harus sama-sama ada pada proposisi agar dapat dikatakan kontradiktif. Mulai dari subjek, predikat, waktu, tempat, kondisi, relasi, seluruh-sebagiannya, dan potensi-aktualitasnya. Bila satu saja tidak sama maka suatu proposisi tidak dapat dikatakan berkontradiksi dengan proposisi yang lain.

Menurut ar-Rozi dua ayat di atas sama sekali tidak kontradiktif. Karena ada kreteria atau syarat-syarat kontradiksi tidak terpenuhi. Yaitu kondisi dan objek kedua ayat itu. Sehingga tidak tepat anggapan adanya pertentangan. Ar-Rozi kemudian mengatakan bahwa ayat pertama menyinggung hati mukmin yang selalu diliputi rasa takut, sehingga bila nama Allah disebutkan hatinya akan gemetar dan berguncang karena ketakutan. Sementara ayat kedua menyinggung hati mukmin yang diliputi rasa gembira dengan janji-janji pahala, sehingga tatkala yang bersangkutan mengingat Allah hatinya merasa tenang dan bahagia.

Atau kemungkinan kedua, bahwa objeknya berbeda. Objek yang diinggat pada ayat pertama adalah siksaan Allah, sementara ayat kedua pahala-pahala-Nya. Sehingga tidak ada pertentangan kalau demikian.

Kemungkinan terakhir, jika penekanan objek sebelumnya pada hal yang diinggat, kemungkinan ini tertuju pada orangnya. Sehingga ayat pertama menghendaki mukmin tertentu dan ayat kedua mukmin yang tertentu pula.

Dengan lebih jauh, beliau mencoba menyeret masalah ini ke dalam kajian sufistik yang banyak mengungkap rahasia-rahasia hati manusia. Secara umum “sesuatu” itu dibagi menjadi maujud (yang ada) dan ma’dum (yang tidak ada). Perkara maujud terdiri dari tiga macam; pertama, apa yang mereka istilahkan Muatsir La Yataatsar (sesuatu yang mempengaruhi tapi tidak dapat terpengaruh) kedua, Mutaatsir La Yuatsir (yang bisa terpengaruh tapi tidak mempengaruhi) dan ketiga, Yuatsir Pi Syaiin Wa Yataatsar ‘An Syaiin (yang mempengaruhi pada sesuatu dan dapat terpengaruhi oleh sesuatu lain). Ketiganya adalah; pertama Allah, karena Dia bisa mempengaruhi sesuatu tapi tidak dapat terpengaruh oleh apapun. Yang kedua adalah jism (alam materi/ jasmani). Sementara kategori ketiga adalah ruhaniyah (alam rohani/ hati).

Ruhaniyah atau hati adalah kategori maujud yang satu sisi dapat mempengaruhi disisi lain juga dapat terpengaruh oleh sesuatu lain. Karena itu tatkala hati atau ruhani condong kepada alam materi/dunia maka dia akan mempengaruhi alam materi yang diwakili oleh jasmani untuk melakukan keinginan-keinginan buruknya, sehingga ketika nama Allah disebutkan dalam kondisinya seperti itu, maka hatinya akan menggegar dan bergejolak kencang.

Baca Juga: Apa Maksud Qalbun Salim (Hati yang Sehat) dalam As-Syu’ara: 88-89?

Tetapi bila mana hati atau ruhani itu cendrung kepada hadrah Ilahiyah (dimensi ketuhanan) dia akan mengalami ketenangan karena limpahan nikmat dari sumber aslinya. Sehingga mengingat Allah seakan menjadi asupan sehari-harinya yang membuat dia tenang dan bahagia. Dengan begitu pemaknaan qalbun wajil dan qalbun muthmainnah dalam dua ayat di atas memiliki konteks masing-masing yang membuat keduanya berbeda satu dengan yang lain.

Walhasil untuk menyimpulkan suatu proposisi itu kontradiktif harus mengacu pada kreteria yang telah ditetapkan oleh ilmu mantiq, agar tidak salah paham dan menyesatkan. Wallahu a’lam.

Berinfak di Jalan Allah Swt dan Balasan yang Didapatkan

0
Berinfak
Berinfak

Berinfak ialah mengeluarkan sebagian dari harta yang dimiliki untuk digunakan di jalan Allah Swt, jalan kebaikan, dan jalan kemaslahatan bersama. Berinfak pada umumnya berkaitan dengan materi. Adapun bersedekah ialah memberikan sesuatu kepada orang lain untuk kebaikan dan kemaslahatan, baik yang bersifat materi, seperti uang, beras, makanan, dan minuman maupun non-materi, seperti jasa, pelayanan, dan bantuan tenaga.

Allah Swt memerintahkan setiap manusia untuk berinfak atau bersedekah kepada orang lain, sebagian kecil dari apa yang mereka miliki. Tidak banyak yang diminta oleh Allah untuk diinfakkan dan disedekahkan. Sekecil apa pun nilai infaq dan sedekah yang engkau keluarkan akan digantikan oleh Allah dengan yang lebih baik daripada apa yang telah engkau keluarkan.

Baca Juga: Surah Al-Fajr Ayat 2: Waktu Utama Bersedekah di Bulan Dzulhijjah

Allah Swt memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw untuk menyampaikan kepada umatnya tentang keutamaan berinfak itu. Hal ini dinyatakan Allah di dalam Surah Saba’ [34]: 39:

قُلۡ إِنَّ رَبِّي يَبۡسُطُ ٱلرِّزۡقَ لِمَن يَشَآءُ مِنۡ عِبَادِهِۦ وَيَقۡدِرُ لَهُۥۚ وَمَآ أَنفَقۡتُم مِّن شَيۡءٖ فَهُوَ يُخۡلِفُهُۥۖ وَهُوَ خَيۡرُ ٱلرَّٰزِقِينَ ٣٩

“Katakanlah: “Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya)”. Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.”

Ayat di atas menggambarkan beberapa hal berikut:

  1. Hanya Allah yang melapangkan, membentangkan, dan menghamparkan rezeki kepada semua hamba-Nya dan Allah pula yang dapat menyempitkan rezeki bagi orang-orang yang dikehendaki-Nya. Allah yang memberi rezeki dan Allah pula yang menahan rezeki-Nya.
  2. Sekecil apa pun dari harta yang telah manusia infakkan kepada orang lain, maka Allah akan menggantikannya dengan yang lebih baik daripada itu.
  3. Allah adalah pemberi rezeki yang paling baik.

Di ayat yang lain Allah menggambarkan bahwa betapa besar pahala bagi orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah. Allah menggambarkan hal ini di dalam surah Al-Baqarah [2]: 261:

مَّثَلُ ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمۡوَٰلَهُمۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنۢبَتَتۡ سَبۡعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنۢبُلَةٖ مِّاْئَةُ حَبَّةٖۗ وَٱللَّهُ يُضَٰعِفُ لِمَن يَشَآءُۚ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ ٢٦١

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”

Di dalam ayat ini Allah memberikan perumpamaan orang-orang yang berinfak di jalan Allah itu bagaikan sebutir benih yang ditanam, yang kemudian menumbuhkan tujuh batang, dan setiap batang memiliki 100 buah (biji). Berarti 1 biji menghasilkan 700 biji.

Ibarat yang diberikan Allah di dalam ayat di atas dapat diilustrasikan sebagai berikut. Kalau ada seseorang yang menginfakkan atau bersedekah uang 1 rupiah di jalan Allah Swt, maka Allah Swt akan melipatgandakan pahala infaqnya itu menjadi 700 rupiah. Kalau seribu rupiah diinfakkan, maka pahalanya menjadi 700 ribu rupiah. Kalau dia berinfak 1 juta rupiah, maka pahalanya menjadi 700 juta rupiah. Demikian hebatnya balasan yang diberikan Allah kepada orang-orang yang telah berinfak di jalan Allah karena Allah swt.

Baca Juga: Surah Al-Furqan [25] Ayat 67: Anjuran Bersedekah Secara Proporsional

Akan tetapi, hitung-hitungan tersebut adalah gambaran kecil yang dapat dibayangkan oleh kita sebagai manusia. Tentu saja, bilangan Allah Swt jauh lebih besar dari bilangan kita sebagai manusia. Bisa jadi, uang ataupun harta senilai satu juta rupiah, dibalas oleh Allah Swt bukan dalam bentuk uang 700 juta, tetapi hal lain yang jauh lebih besar. Perlu diingat bahwa apa yang diinginkan oleh kita, belum tentu apa yang dibutuhkan. Allah Swt lebih tahu apa yang kita butuhkan. Wallahu A’lam.

Surah Ibrahim Ayat 28: Larangan Memanipulasi Nikmat Allah Swt dalam Konteks Berbangsa

0
Surah Ibrahim
Surah Ibrahim Ayat 28: Larangan Memanipulasi Nikmat Allah Swt

Di dalam Al-Qur’an, surah Ibrahim menempati urutan surah ke-14 yang terdiri dari 52 ayat. Surah ini, menurut Quraish Shihab, dari segi urutan turunnya menempati urutan yang ke-70 sesudah surah asy-Syu’ara dan sebelum surah al-Anbiya’.

Tema uraian utama dalam surah Ibrahim adalah berbicara tentang tauhid serta uraian tentang kesempurnaan kitab suci al-Qu’an yang mampu mengantarkan ke hadirat Ilahi melalui penjelasan-Nya tentang ash-Shirath, yakni jalan luas dan lebar yang mengantar ke sana. Sayyid Quthub, sebagaimana dikutip Shihab, mengatakan bahwa keterkaitan tema surah ini dengan Nabi Ibrahim terlihat dari suasana uraian surah ini berkaitan dengan namanya “Ibrahim” sebagai “Bapak para Nabi” seorang yang diberkahi, yang pandai bersyukur, belas kasih dan selalu kembali pada Allah. (Al-Mishbah, vol. 6, hlm.303-304)

Ada ayat yang menarik dalam surah Ibrahim untuk kita fikirkan ulang. Tepatnya pada ayat yang ke-28:

 اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْنَ بَدَّلُوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ كُفْرًا وَّاَحَلُّوْا قَوْمَهُمْ دَارَ الْبَوَارِۙ

“Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekufuran dan menjatuhkan kaumnya kelembah kebinasaan” (Terjemahan kemenag edisi 2019)

Dalam Tafsir Ibn Katsir disebutkan bahwa pendapat yang paling masyhur dan shohih adalah perkataan dari Ibnu ‘Abbas yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang yang menukar nikmat Allah dengan kekufuran adalah orang-orang kafir ahlul Mekkah.

Baca Juga: Belajar Mensyukuri Nikmat Kemerdekaan dari Kisah Negeri Saba’

Sebab, lanjut Ibn Katsir, Allah telah mengutus Nabi Muhammad SAW sebagai rahmat dan nikmat untuk manusia maka barang siapa yang bersyukur dengan di utusnya Nabi maka bagi mereka (orang kafir Makkah) adalah surga. Sebaliknya, barang siapa yang mengingkari Nabinya maka bagi mereka adalah neraka. (Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, juz 8, hlm. 219)

Menurut Ibn ‘Asyur, apabila ayat ini dipahami sebagai berbicara tentang tokoh-tokoh kaum musyrik Makkah, penukaran nikmat Allah yang dimaksud antara lain adalah keberadaan mereka di wilayah masjid al-Haram, yang dijadikan Allah tempat yang aman, tetapi anugerah itu mereka tidak syukuri.

Sejalan dengan Ibn ‘Asyur, Sayyid Quthub juga memhami ayat ini ditujukan kepada tokoh-tokoh kaum musyrikin pada masa Nabi Muhammad SAW. Sedang makna ni’matallah, menurut Sayyid Quthub adalah kehadiran Nabi Muhammad, ajaran kepada iman, tuntunan kepada pengamun dan surga. (Al-Mishbah, vol. 6, hlm. 373)

Alhasil, menurut Quraish Shihab, yang pasti adalah tokoh-tokoh yang berpengaruh di dalam satu masyarakat yang tidak mensyukuri nikmat Ilahi, antara lain dalam kedudukan mereka sebagai tokoh panutan, pastilah mengantar masyarakatnya kepada kebinasaan. (Al-Mishbah, vol. 6, hlm. 374)

Pemaknaan Kontekstual Surah Ibrahim Ayat 28

Supaya kontekstual, ayat ini akan sedikit diterjemahkan secara luas. Allah menyuruh kita untuk alam-tara. Alam-tara bisa kita artikan apakah kita tidak melihat, mengobservasi, meneliti dan meriset. Baddalu dapat kita artikan sebagai mengganti, menukar, memanipulasi, dan mengeskploitasi.

Nikmat Allah, dalam konteks Indonesia, setidaknya ada 3 yakni; pertama, sumber daya manusia. Kedua, sumber daya alam, dan, ketiga, sumber daya ideologi (pancasila). Kemudian Allah memperingatkan kita di ujung ayat ini dengan qoumahum dara al-Bawar, kaum yang celaka.

Sampai disini, ayat ini mengandung pesan yang begitu dalam. Agar Indonesia tetap dalam yang telah dijanjikan Allah pada surah Saba’ [34]: 15 yakni, baldatun toyyibatun wa rabbun ghafur. Sebuah negeri yang aman, tentram, nyaman, dan jauh dari mala petaka serta musibah.

Tugas besar untuk menjaga tiga nikmat di atas bukanlah perkara mudah. Apalagi masalah ideologi bangsa yang kerap kali dibenturkan dengan ideologi khilafah. Sebuah sistem yang, katanya, mampu membuat dan menumpas segala kemaksiatan, menegakkan amar ma’ruf, serta mensejahterakan manusia yang hidup di dalamnya. Pertanyaannya? Apakah pancasila sebagai ideologi bertentangan dengan Islam? Jawabannya: TIDAK.

Baca Juga: Napak Tilas Kemerdekaan Islam Pada Peristiwa Fathu Makkah

Sejak berdirinya bangsa Indonesia, itu artinya 17 Agustus 2021 besok hari jadi yang ke-76, tidak pernah ada yang berani mengganti pancasila. Sebab, para founders — dengan berbagai latar belakang agama, ras, suku, bangsa yang berbeda – telah sepakat bahwa pancasila sudah final.

Begitu juga dengan sumber daya alam, kita dilarang untuk mengeksploitasi, membakar dan menebang hutan sembarangan, supaya hutan kita tetap lestari. Bukankah orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat dan batu jadi tanaman, begitu sebait sya’ir memotret alam Indonesia. Pun dengan sumber daya manusia, kita diperintahkan untuk selalu meningkatkan kualitas diri sebagai khalifah di muka bumi (khalifah fi al-Ardh), surah Al-Baqarah [2]: 30. Alhasil, mari kita jaga dan rawat bangsa Indonesia.

Gus Mus pernah berkata, Indonesia adalah rumah kita. Tempat kita lahir. Tempat kita mencari nafkah. Tempat kita bersujud. Bahkan kita mati pun akan dikubur di bumi Indonesia. Kitalah yang harus menjaga bersama-sama Indonesia. Jangan biarkan orang lain merusaknya. Wallahu A’lam bish-Showab.

Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 106-112

0
tafsir surah al-anbiya'
tafsir surah al-anbiya'

Series terakhir tafsir surah Al-Anbiya’ ditutup dengan uraian Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 106-112, dijelaskan bahwa banyak hikmah yang dapat dipelajari dari keseluruhan surah ini, utamanya sebagai bekal manusia dalam menjalani kehidupan di dunia untuk menjalani kehidupan yang kekal di akhirat.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 104-105


Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 106-112 juga memperingatkan kaum musyrik dan kaum yang ingkar, bahwa Allah mengetahui segala perbuatan mereka. Untuk itu, melalui lisan Nabi Muhammad, peringatan itu terus disampaikan meskipun ditolak. Kelak, mereka akan mendapatkan balasan atas perilaku mereka itu, dan Allah meyakinkan Nabi agar tidak bersedih hati, sebab begitulah tugas para nabi, sebagaimana yang sudah dialami oleh pendahulunya.

Ayat 106

Allah menerangkan bahwa segala kisah yang diterangkan dalam surah ini adalah pelajaran dan peringatan yang disampaikan sejak awal sampai akhir surah ini, cukup menjadi pelajaran dan banyak hikmah yang terkandung di dalamnya, sebagai bekal dan bahan bagi orang yang ingin mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

Bahkan ayat-ayat dalam surah ini merupakan peringatan dan ancaman yang keras dari Allah kepada orang-orang yang mengingkari seruan para rasul. Mereka akan ditimpa oleh malapetaka yang besar, sebagaimana telah ditimpakan kepada umat-umat dahulu.

Karena itu kaum Muslimin wajib mengambil pelajaran dan mengamalkan ayat-ayat tersebut agar tidak terkena ancaman Allah yang berupa azab dan malapetaka yang sangat dahsyat.


Baca Juga: Pengertian dan Penyebab Datangnya Musibah Menurut Al-Quran


Ayat 107

Tujuan Allah mengutus Nabi Muhammad yang membawa agama-Nya itu, tidak lain adalah memberi petunjuk dan peringatan agar mereka bahagia di dunia dan di akhirat. Rahmat Allah bagi seluruh alam meliputi perlindungan, kedamaian, kasih sayang dan sebagainya, yang diberikan Allah terhadap makhluk-Nya. Baik yang beriman maupun yang tidak beriman, termasuk binatang dan tumbuh-tumbuhan.

Jika dilihat sejarah manusia dan kemanusiaan, maka agama Islam adalah agama yang berusaha sekuat tenaga menghapuskan perbudakan dan penindasan oleh manusia terhadap manusia yang lain.

Seandainya pintu perbudakan masih terbuka, itu hanyalah sekedar untuk mengimbangi perbuatan orang-orang kafir terhadap kaum Muslimin. Sedangkan jalan-jalan untuk menghapuskan perbudakan disediakan, baik dengan cara memberi imbalan yang besar bagi orang yang memerdekakan budak maupun dengan mengaitkan kafarat/hukuman dengan pembebasan budak.

Perbaikanperbaikan tentang kedudukan perempuan yang waktu itu hampir sama dengan binatang, dan pengakuan terhadap kedudukan anak yatim, perhatian terhadap fakir dan miskin, perintah melakukan jihad untuk memerangi kebodohan dan kemiskinan, semuanya diajarkan oleh Al-Qur’an dan Hadis. Dengan demikian seluruh umat manusia memperoleh rahmat, baik yang langsung atau tidak langsung dari agama yang dibawa Nabi Muhammad. Tetapi kebanyakan manusia masih mengingkari padahal rahmat yang mereka peroleh adalah rahmat dan nikmat Allah.

Ayat 108

Allah memerintahkan kepada Muhammad agar menyampaikan kepada orang kafir dan kepada orang yang telah sampai seruan kepadanya, bahwa pokok wahyu yang disampaikan kepadanya ialah tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah.

Karena itu hendaklah manusia menyembah-Nya, jangan sekali-kali mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun seperti mengakui adanya tuhan-tuhan yang lain selain Dia, atau mempercayai bahwa selain Allah ada lagi sesuatu yang mempunyai kekuatan gaib seperti kekuatan Allah. Dan serahkanlah dirimu kepada Allah dengan memurnikan ketaatan dan ketundukan hanya kepada-Nya saja, dan ikutilah segala wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.

Ayat 109

Kemudian Allah mengingatkan Muhammad, akan tugasnya sebagai seorang Rasul, yaitu hanya menyampaikan agama Allah kepada manusia. Karena itu juga mereka tidak mengindahkan seruanmu, tidak mengikuti wahyu yang disampaikan kepada mereka, maka janganlah kamu bersedih hati, dan katakanlah kepada mereka bahwa kamu telah menunjukkan kepada mereka jalan yang lurus, menuju kebahagiaan yang sempurna. Jika mereka tidak mau mengikuti dan menempuh jalan yang telah dibentangkan itu berati mereka ingin mendapat azab dari Allah.

Pada ayat lain Allah berfirman:

وَاِنْ كَذَّبُوْكَ فَقُلْ لِّيْ عَمَلِيْ وَلَكُمْ عَمَلُكُمْۚ اَنْتُمْ بَرِيْۤـُٔوْنَ مِمَّآ اَعْمَلُ وَاَنَا۠ بَرِيْۤءٌ مِّمَّا تَعْمَلُوْنَ

Dan jika mereka (tetap) mendustakanmu (Muhammad), maka katakanlah, ”Bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. Kamu tidak bertanggung jawab terhadap apa yang aku kerjakan dan aku pun tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Yunus/10: 41)

Jika orang-orang kafir menanyakan kepada kamu Muhammad tentang kapan azab yang dijanjikan itu akan ditimpakan, maka katakanlah kepada mereka bahwa engkau tidak tahu menahu tentang waktunya, kapan azab itu akan ditimpakan, karena wewenang sepenuhnya berada di tangan Allah, dan tidak seorang pun yang mengetahuinya.

Ayat 110

Allah Maha Mengetahui segala yang dikatakan oleh orang-orang kafir tentang agama Islam, baik dikatakan secara terang-terangan atau pun dikatakan secara berbisik, dan Allah mengetahui tentang kebencian hati orang-orang kafir terhadap kaum Muslimin. Karena itu Dia akan memberikan balasan yang setimpal kepada orang-orang yang demikian.

Ayat 111

Allah memerintahkan pula agar Muhammad memberitahukan kepada orang kafir bahwa ia tidak mengetahui sedikit pun mengapa azab itu ditunda datangnya. Boleh jadi agar mereka menikmati segala kesenangan duniawi sampai kepada waktu yang ditentukan Allah, maka Allah akan menimpakan azab secara tiba-tiba tanpa diketahui darimana datangnya.

Ayat 112

Karena orang musyrik Mekah semakin hari bertambah-tambah kezaliman mereka, maka Muhammad berdoa kepada Tuhan agar Dia segera menimpakan azab kepada mereka. Permohonan Muhammad ini dikabulkan Allah dengan kekalahan orang musyrik pada beberapa peperangan yang terjadi antara kaum Muslimin dengan kaum musyrik.

Qatadah berkata, “Para nabi dahulu berdoa”:

رَبَّنَا افْتَحْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ قَوْمِنَا بِالْحَقِّ وَاَنْتَ خَيْرُ الْفَاتِحِيْنَ

Ya Tuhan kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil). Engkaulah pemberi keputusan terbaik.” (al-A’rāf/7: 89).

Maka Rasulullah saw diperintahkan Allah untuk mengucapkan doa yang demikian itu.

(Tafsir Kemenag)

 

Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 104-105

0
tafsir surah al-anbiya'
tafsir surah al-anbiya'

Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 104-105 diawali dengan keadaan orang mukmin yang tidak gentar maupun takut ketika menghadapi hari kiamat, karena mereka yakin kepada Allah yang Maha Besar, bahwa mudah bagi Allah untuk menghancurkan dunia, lalu membangkitkan kembali makhluk-Nya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 99-103


Dijelaskan pula dalam Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 104-105 bahwa bumi dan isinya adalah amanah Allah kepada manusia untuk dipelihara. Di sini, beberapa ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan kata ‘bumi’, berikut penjelasan para mufassir terkait hal itu.

Ayat 104

Orang-orang yang mendapat sambutan para malaikat itu tidak merasa gentar dan terkejut dengan datangnya hari Kiamat, di waktu langit dilipat dan diganti dengan langit yang lain, seakan-akan langit yang lama dilipat untuk disimpan dan langit yang baru dikembangkan. Allah berfirman:

وَمَا قَدَرُوا اللّٰهَ حَقَّ قَدْرِهٖۖ وَالْاَرْضُ جَمِيْعًا قَبْضَتُهٗ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ وَالسَّمٰوٰتُ مَطْوِيّٰتٌۢ بِيَمِيْنِهٖ ۗسُبْحٰنَهٗ وَتَعٰلٰى عَمَّا يُشْرِكُوْنَ

Dan mereka tidak mengagungkan Allah sebagaimana mestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari Kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Mahasuci Dia dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan. (az-Zumar/39: 67)

Demikianlah Allah membangkitkan manusia setelah mereka mati dan berada di dalam kubur, untuk dikumpulkan di padang mahsyar, agar dapat dihisab amal perbuatan mereka.

Membangkitkan manusia setelah mati dan hancur menjadi tanah adalah mudah bagi Allah. Jika Allah menciptakan manusia dari tidak ada menjadi ada, tentulah mengulangi kembali menciptakannya adalah lebih mudah dari menciptakan pertama kali. Membangkitkan manusia kembali untuk dihisab itu adalah suatu janji dari Allah yang pasti ditepati-Nya.

Secara saintis, sebagaimana telah dijelaskan dalam ayat 30 dari surah ini, penciptaan alam semesta dimulai dari ketiadaan (keadaan singularitas: massa tak terhingga besarnya, volume tak terhingga kecilnya) yang kemudian meledak dahsyat dan kemudian membentuk alam semesta yang terus mengembang sampai dengan saat ini.

Bukti tentang alam semesta yang mengembang ini dapat ditemukan pada hasil pengamatan dengan teleskop yang menunjukkan bahwa dengan berjalannya waktu, jarak antara benda-benda langit semakin menjauh.

Para ilmuwan mengatakan bahwa alam semesta akan terus mengembang sampai dengan dicapainya massa kritis alam semesta. Apabila massa kritis ini telah tercapai, maka gaya tarik menarik (gravitasi) antara massa berbagai benda langit akan menahan proses pengembangan alam semesta.

Bahkan akan tercapai keadaan kontraksi alam semesta. Alam semesta yang semula mengembang akan mengkerut (berkontraksi) mengecil dan suatu saat akan hancur dan kembali pada keadaan awal (singularitas); keadaan seperti inilah yang disebut hari kiamat. Hari kiamat dalam ayat ini digambarkan sebagai hari di mana Allah akan ”menggulung langit”, bagaikan menggulung lembaran-lembaran kertas, sebagaimana halnya awal penciptaan yang pertama.

Istilah ”menggulung langit” adalah ungkapan yang tepat, karena sesungguhnya alam semesta tidak bundar melainkan datar terdiri dari trilyunan galaksi yang membentuk ”gulungan”.


Baca Juga: Kewajiban Merawat Bumi dan Larangan Merusaknya dalam Al-Quran


Ayat 105

Ayat ini menerangkan bahwa Allah telah menurunkan kitab kepada para Rasul, seperti Taurat, Zabur, Injil dan Al-Qur’an. Dalam kitab-kitab itu diterangkan bahwa bumi ini adalah kepunyaan Allah, diwariskan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Allah telah menetapkan juga dalam ayat ini, bahwa hamba-hamba yang mewarisi bumi itu ialah hamba-hamba yang sanggup mengolah bumi dan memakmurkannya, selama dia mengikuti petunjuk Allah.

Jika diperhatikan sejarah dunia dan sejarah umat manusia, maka orang-orang yang dijadikan Allah sebagai penguasa di bumi ini, ialah orang-orang yang sanggup mengatur dan memimpin masyarakat, mengolah bumi ini untuk kepentingan umat manusia, sanggup mempertahankan diri dari serangan luar dan dapat mengokohkan persatuan rakyat yang ada di negaranya.

Pemberian kekuasaan oleh Allah kepada orang-orang tersebut bukanlah berarti Allah telah meridai tindakan-tindakan mereka; karena kehidupan duniawi lain halnya dengan kehidupan ukhrawi. Ada orang yang bahagia hidup di akhirat saja, dan ada pula yang bahagia hidup di dunia saja. Sedangkan yang dicita-citakan seorang muslim ialah bahagia hidup di dunia dan di akhirat.

Apabila orang muslim ingin hidup bahagia di dunia dan akhirat, mereka harus mengikuti Sunnatullah di atas, yaitu taat beribadah kepada Allah, sanggup memimpin umat manusia dengan baik, sanggup mengolah bumi ini untuk kepentingan umat manusia, menggalang persatuan dan kesatuan yang kuat di antara meraka sehingga tidak mudah dipecah belah oleh musuh.

Para mufasir berbeda pendapat dalam menafsirkan kata “bumi” dalam ayat ini, di antaranya:

  1. Sebagian ahli tafsir mengartikan “bumi” dalam ayat ini dengan “surga”. Karena “surga” itu diwariskan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dan beramal saleh. Firman Allah:

وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ صَدَقَنَا وَعْدَهٗ وَاَوْرَثَنَا الْاَرْضَ نَتَبَوَّاُ مِنَ الْجَنَّةِ حَيْثُ نَشَاۤءُ ۚفَنِعْمَ اَجْرُ الْعٰمِلِيْنَ

Dan mereka berkata, ”Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi janji-Nya kepada kami dan telah memberikan tempat ini kepada kami sedang kami (diperkenankan) menempati surga di mana saja yang kami kehendaki.” Maka (surga itulah) sebaik-baik balasan bagi orang-orang yang beramal. (az-Zumar/39: 74)

  1. Sebagian yang lain mengartikan kata “bumi” dengan bumi yang sekarang ditempati umat manusia. Firman Allah:

وَعَدَ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِى الْاَرْضِ

Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan yang mengerjakan kebajikan, bahwa Dia sungguh, akan menjadikan mereka berkuasa di bumi. (an-Nur/24: 55)

اِنَّ الْاَرْضَ لِلّٰهِ ۗيُوْرِثُهَا مَنْ يَّشَاۤءُ مِنْ عِبَادِهٖۗ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ

“Sesungguhnya bumi (ini) milik Allah; diwariskan-Nya kepada siapa saja yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan (yang baik) adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (al-A’rāf/7: 128)

  1. Sebagian mufasir lain mengartikan “bumi” dengan tanah suci yang diwarisi oleh orang yang saleh, firman Allah:

وَاَوْرَثْنَا الْقَوْمَ الَّذِيْنَ كَانُوْا يُسْتَضْعَفُوْنَ مَشَارِقَ الْاَرْضِ وَمَغَارِبَهَا الَّتِيْ بٰرَكْنَا فِيْهَاۗ

Dan Kami wariskan kepada kaum yang tertindas itu, bumi bagian timur dan bagian baratnya yang telah Kami berkahi. (al-A’rāf/7: 137)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 106-108


 

Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 99-103

0
tafsir surah al-anbiya'
tafsir surah al-anbiya'

Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 99-103 secara umum membantah keyakinan orang musyrik dengan sesembahan mereka, bahwa benda-benda yang mereka anggap sebagai tuhan itu tidaklah dapat membantu mereka kala Kiamat tiba, dan kelak mereka bersama sesembahan itu akan mendapat siksa yang nyata di Neraka. Sementara orang mukmin yang senantiasa beramal saleh, akan mendapatkan balasan surga dengan kenikmatan tiada tara.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 94-98


Ayat 99

Ayat ini menerangkan seandainya sembahan-sembahan yang disembah orang-orang musyrik itu benar tuhan di samping Allah sebagaimana kepercayaan mereka, tentulah sembahan itu akan selamat bersama-sama mereka, karena jika ia tuhan tentulah ia mahakuasa dan perkasa, tidak ada sesuatu pun yang dapat menyiksanya, bahkan ia sendirilah yang akan menyiksa orang-orang yang durhaka padanya.

Akan tetapi yang terjadi ialah bahwa semuanya itu baik penyembah-penyembah berhala, maupun sembahan-sembahan yang disembah akan kekal di dalam neraka.

Ayat 100

Kemudian Allah menerangkan keadaan penyembah berhala- berhala itu beserta sembahan-sembahan mereka di dalam neraka, yaitu:

  1. Mereka di dalam neraka mengeluh dan merintih dan nafas mereka menjadi sesak menanggung azab yang tiada terperikan dahsyatnya.

فَاَمَّا الَّذِيْنَ شَقُوْا فَفِى النَّارِ لَهُمْ فِيْهَا زَفِيْرٌ وَّشَهِيْقٌۙ

Maka adapun orang-orang yang sengsara, maka (tempatnya) di dalam neraka, di sana mereka mengeluarkan dan menarik nafas dengan merintih. (Hud/11:106)

  1. Penyembah-penyembah berhala yang sedang diazab itu tidak dapat mengetahui keadaan temannya yang lain yang juga diazab, karena mereka tidak sempat memikirkannya, masing-masing mereka sibuk menghadapi azab yang selalu menimpa mereka.

Baca Juga: Mengenal Kuliner Neraka dalam Al-Quran, dari Buah Zaqqum hingga Shadid


Ayat 101

Pada ayat ini diterangkan keadaan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh serta orang-orang yang telah diberi Allah taufik untuk taat kepada-Nya, bahwa mereka tidak dimasukkan ke dalam neraka bahkan mereka sedikit pun tidak didekatkan kepadanya.

Diriwayatkan oleh al-Hākim dari Ibnu Abbas, bahwa waktu ayat 98 diturunkan, orang-orang musyrik Quraisy merasa terpukul karenanya. Mereka berkata, “Muhammad telah memaki-maki tuhan-tuhan kita. Lalu mereka pergi kepada Ibnu az-Ziba`ra dan menceritakan tentang ayat yang diturunkan itu, dia menjawab, “Kalau saya berhadapan dengan Muhammad tentulah saya dapat membantahnya.”

Orang-orang musyrik Quraisy itu berkata, “Apakah yang kamu katakan.” Dia menjawab, “Aku mengatakan kepadanya, “Al- Māsih disembah orang-orang Nasrani, ‘Uzair disembah orang Yahudi, apakah Al-Māsih dan ‘Uzair itu akan menjadi bahan bakar api neraka? Orang-orang Quraisy tertarik hatinya mendengar ucapan Ibnu az-Ziba`ra dan merasa telah dapat mengalahkan Muhammad. Maka turunlah ayat 99 sampai 101 Surah ini, yang menegaskan ayat 98 di atas.

Dengan turunnya ayat-ayat ini Ibnu az-Ziba`ra bungkam dan bimbanglah kembali hati orang-orang musyrik. Tetapi karena kedengkian mereka kepada Nabi Muhammad dan kaum Muslimin, maka mereka tetap dalam kemusyrikan mereka.

Ayat 102-103

Allah menerangkan keadaan penduduk surga, yaitu:

  1. Mereka tidak mendengar suara api neraka yang ditimbulkan oleh gejolak apinya dan bunyi menghanguskan barang-barang yang sedang dibakar.
  2. Mereka berada dalam kesenangan dan kegembiraan yang tidak putusputusnya, menikmati segala yang mereka inginkan, mendengar segala yang menyenangkan hati dan melihat apa yang disenangi mata mereka.
  3. Mereka tidak dirisaukan oleh bunyi sangkakala yang terakhir, yaitu bunyi sangkakala yang menandakan kebangkitan manusia dari kubur untuk dihisab, Allah berfirman:

وَنُفِخَ فِى الصُّوْرِ فَصَعِقَ مَنْ فِى السَّمٰوٰتِ وَمَنْ فِى الْاَرْضِ اِلَّا مَنْ شَاۤءَ اللّٰهُ ۗ ثُمَّ نُفِخَ فِيْهِ اُخْرٰى فَاِذَا هُمْ قِيَامٌ يَّنْظُرُوْنَ

Dan sangkakala pun ditiup, maka matilah semua (makhluk) yang di langit dan di bumi kecuali mereka yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sekali lagi (sangkakala itu) maka seketika itu mereka bangun (dari kuburnya) menunggu (keputusan Allah).  (az-Zumar/39: 68)

  1. Mereka disambut para malaikat dengan menyampaikan kabar gembira atas kemenangan mereka. Seakan-akan malaikat menyampaikan kepada mereka;

 “Inilah hari yang pernah dijanjikan Allah kepadamu hai orang-orang yang beriman sewaktu di dunia dahulu, pada saat ini Allah melimpahkan pahala yang besar dan kesenangan yang abadi sebagai balasan atas keimanan, ketaatan, dan kesucian dirimu dari perbuatan dosa dengan mengerjakan amal-amal saleh dan dengan melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi semua yang dilarang-Nya.”

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 104-105