Beranda blog Halaman 245

Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 94-98

0
tafsir surah al-anbiya'
tafsir surah al-anbiya'

Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 94-98 menerangkan bagaimana Allah akan membalas kebaikan seorang mukmin selama di dunia. Sementara bagi orang kafir dan musyrik mereka pun akan menadapat balasan, baik di dunia ataupun di akhirat kelak. Sebelum masuk dunia akhirat manusia akan mengalami peristiwa yang disebut Kiamat, dan salah satu tanda tibanya hari itu adalah keluarnya Ya’juj dan Ma’juj, sebagaimana yang akan dijelaskan berikut.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 91-93


Ayat 94

Dalam ayat ini Allah menjamin bahwa amal kebajikan yang dilakukan oleh seseorang yang beriman, betapapun kecilnya, namun Allah akan membalasnya dengan kebaikan pula. Amal kebajikan itu tidak akan hilang percuma, dan tidak akan diingkari karena Allah telah menuliskannya untuk orang yang melakukannya.

Jaminan Allah untuk memberikan balasan atas setiap kebajikan hamba-Nya terdapat dalam firman-Nya:

وَمَنْ اَرَادَ الْاٰخِرَةَ وَسَعٰى لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَاُولٰۤىِٕكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَّشْكُوْرًا

Dan barang siapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh, sedangkan dia beriman, maka mereka itulah orang yang usahanya dibalas dengan baik. (al-Isrā`/17: 19)

Firman-Nya lagi pada ayat yang lain:

اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ اِنَّا لَا نُضِيْعُ اَجْرَ مَنْ اَحْسَنَ عَمَلًاۚ

Sungguh, mereka yang beriman dan mengerjakan kebajikan, Kami benar-benar tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang mengerjakan perbuatan yang baik itu. (al-Kahf/18: 30)

Ayat 95

Pada ayat ini dijelaskan bahwa tidak mungkinlah bagi penduduk suatu negeri yang telah dibinasakan dengan azab-Nya, bahwa mereka tidak akan kembali kepada-Nya.

Maksudnya, kaum yang ingkar dan kafir itu, walaupun sudah dibinasakan dengan azab yang berat di dunia, namun mereka pasti akan kembali kepada Allah di akhirat kelak, lalu dihisab semua amalannya, dan diberi balasan yang setimpal.


Baca Juga: Tafsir Surah Al-Mukminun Ayat 33: Pendusta Nabi Shalih Adalah Para Penguasa yang Kaya Raya


Ayat 96

Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa kaum kafir telah dibinasakan dengan azab yang berat di dunia ini, sehingga mereka menemui kemusnahan, mereka tidak akan kembali lagi ke dunia, mereka akan tetap dalam kemusnahan sampai hari Kiamat kelak.

Sebagai salah satu dari tanda-tanda akan datangnya hari Kiamat adalah terbukanya tembok Yakjuj dan Makjuj, sehingga Yakjuj dan Makjuj berdatangan, meluncur dengan cepat dari setiap tempat yang tinggi. Mereka membuat keonaran dan kebinasaan di dunia.

Ayat 97

Pada ayat ini ditegaskan, bahwa pada waktu keluarnya Yakjuj dan Makjuj itu, dan di waktu telah dekatnya saat kedatangan janji yang benar, yaitu hari kebangkitan dan hisab, maka dengan serta merta terbelalaklah mata kaum kafir karena terkejut, seraya berteriak dengan nada penyesalan, “Aduhai celakalah kami, benar-benar kami lalai tentang kedatangan hari kebangkitan dan hisab, sehingga kami tidak mempersiapkan diri kami dengan baik.

Bahkan kami ini adalah orang-orang yang zalim atas diri kami dan terhadap orang lain, karena kami telah diberi peringatan bahwa hari kebangkitan dan hisab itu benar-benar akan datang, tetapi kami tidak mengindahkan peringatan itu, bahkan mendustakannya.

Akan tetapi, betapa pun mereka menyesali dirinya pada saat itu namun penyesalan itu sudah tidak berguna lagi, karena saat kebangkitan dan hisab itu memang benar-benar datang, sedang mereka tidak percaya sedikitpun.

Ayat 98

Ayat ini menegaskan kepada orang-orang musyrik Mekah bahwa mereka beserta apa yang mereka sembah selain Allah, selama mereka hidup di dunia, seperti patung, binatang, benda-benda mati, pohon atau tempat keramat dan sebagainya akan dimasukkan ke dalam neraka Jahannam. Hal ini merupakan janji Allah kepada mereka, yang pasti ditepati-Nya.

Dalam ayat ini disebutkan bahwa orang-orang musyrik beserta sembahan-sembahan mereka akan dimasukkan ke dalam neraka, padahal yang berdosa dan memperserikatkan Tuhan dalam hal ini ialah penyembah-penyembahnya.

Adapun sembahan-sembahan itu mereka tidak tahu menahu apa yang diperbuat oleh penyembah-penyembahnya. Hikmah menyertakan sembahan-sembahan itu beserta penyembah-penyembahnya ialah untuk memperlihatkan kepada mereka bahwa kepercayaan mereka terhadap sembahan-sembahan itu sewaktu di dunia adalah tidak benar.

Mereka waktu di dunia dahulu mempercayai bahwa patung-patung dan segala apa yang mereka sembah itu akan memberi syafaat kepada mereka di hari Kiamat, sehingga mereka terhindar dari azab Allah.

Dengan perantara sembahan-sembahan itu mereka akan dimasukkan ke dalam surga. Setelah hari Kiamat datang dan setelah mereka masuk ke dalam neraka bersama-sama dengan sembahan-sembahan yang mereka sembah itu, ternyata sembahan-sembahan itu tidak dapat berbuat sesuatu pun terhadap mereka.

Dengan demikian terbuktilah kesalahan kepercayaan yang mereka anut dan kebenaran risalah yang pernah disampaikan Muhammad kepada mereka.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 99-101


 

Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 91-93

0
tafsir surah al-anbiya'
tafsir surah al-anbiya'

Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 91-93 diawali denga kisah Sayyidatuna Maryam sebagai sosok wanita yang terhormat, yang selalu menjaga diri dalam balutan ketaatan kepada Allah Swt, hingga kisah ketika Allah meniupkan ruh Nabi Isa dalam rahimnya. Diterangkan pula penegasan Allah tentang ketahuhidan, bahwa manusia hendaklah memahami aspek tauhid yang sebenar-benarnya, dan menganut agama tauhid agar tidak terpecah belah antar sesama.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 88-90


Ayat 91

Pada ayat ini Allah menerangkan kisah Maryam secara ringkas, yaitu bahwa dia adalah seorang perempuan yang memelihara kehormatan dirinya, maka suatu ketika Allah mengutus malaikat Jibril untuk memberitahukan Maryam bahwa Allah meniupkan ruh ke dalam tubuh Maryam sehingga ia mengandung, kemudian Maryam melahirkan Isa as tanpa ayah.

Oleh karena Isa lahir tanpa ayah, maka Maryam dan Isa lalu menjadi salah satu bukti bagi seluruh isi alam ini, tentang kekuasaan dan kemahaesaan Allah. Kelahiran Isa mengandung bukti dan tanda kekuasaan Allah sebagaimana halnya Nabi Adam yang lahir ke dunia tanpa ayah dan ibu, sedang Isa lahir tanpa ayah saja.

Hal yang membuat heran adalah karena Maryam belum pernah mengadakan hubungan apa pun dengan kaum lelaki, baik secara halal melalui perkawinan, apalagi secara tidak halal. Allah menyebutkan ucapan Maryam mengenai dirinya sendiri sebagai berikut:

 لَمْ يَمْسَسْنِيْ بَشَرٌ وَّلَمْ اَكُ بَغِيًّا

Tidak pernah ada orang (laki-laki) yang menyentuhku dan aku bukan seorang pezina!”  (Maryam/19: 20)

Firman Allah dalam ayat lain;

وَمَرْيَمَ ابْنَتَ عِمْرٰنَ الَّتِيْٓ اَحْصَنَتْ فَرْجَهَا ۔

Dan Maryam putri Imran yang memelihara kehormatannya. (at-Tahrim/66: 12)

Keheranan Maryam yang disampaikan kepada Malaikat Jibril dijawab degan firman Allah:

قَالَ كَذٰلِكِۚ قَالَ رَبُّكِ هُوَ عَلَيَّ هَيِّنٌۚ

Dia (Jibril) berkata, ”Demikianlah.” Tuhanmu berfirman, ”Hal itu mudah bagi-Ku. (Maryam/19 : 21)

Tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah yang diperlihatkan kepada diri Maryam ialah bahwa dia hamil tanpa melalui hubungan kelamin dengan siapa pun, dan malaikat senantiasa menyediakan makanan untuknya.

Mengenai hal ini Al-Qur’an menceritakan pertanyaan Zakaria kepada Maryam dan jawaban Maryam kepadanya:

يٰمَرْيَمُ اَنّٰى لَكِ هٰذَا ۗ قَالَتْ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللّٰهِ ۗ

“Wahai Maryam! Dari mana ini engkau peroleh?” Dia (Maryam) menjawab, ”Itu dari Allah.” (Āli ‘Imrān/3: 37)

Adapun tanda-tanda kebesaran dan kemahakuasaan Allah yang terlihat melalui diri Isa as, sudah diterangkan dengan panjang lebar dalam Surah Āli ‘Imrān dan Surah Maryam.


Baca Juga: Kisah Keluarga ‘Imran (Bag. 4): Ujian Maryam dan Kelahiran Isa yang di Luar Nalar


Ayat 92

Dalam ayat ini ditegaskan bahwa agama tauhid ini adalah agama untuk seluruh manusia, dan merupakan agama yang satu, yaitu sama dalam akidah, meskipun berbeda dalam syariat.

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْنُ مَعَاشِرَ اْلاَنْبِيَاءِ اَوْلاَدُ عَلاَّتِ دِيْنُنَا وَاحِدٌ. (رواه البخاري ومسلم وابو داود واحمد عن ابي هريرة)

Rasulullah bersabda, “Kami para nabi seperti ibarat saudara-saudara se ayah, agama kami satu.” (Riwayat al-Bukhāri, Muslim, Abu Dāud dan Ahmad dari Abu Hurairah.)

Kemudian pada akhir ayat ini ditegaskan bahwa Allah adalah Tuhan bagi seluruh umat manusia. Oleh sebab itu kepada-Nya sajalah mereka harus menyembah.

Ayat 93

Dalam ayat ini Allah memperingatkan kaum Muslimin atas perpecahan yang timbul antara umat manusia. Seluruh umat manusia itu seharusnya menganut agama tauhid, karena agama yang diturunkan Allah adalah satu, yaitu agama tauhid (agama Islam).

Akan tetapi mereka telah berpecah belah, sehingga kesatuan mereka menjadi terkotak-kotak kecil yang dipisahkan dengan ketat oleh perbedaan pandangan, baik mengenai masalah-masalah yang tidak prinsip dalam agama maupun masalah-masalah duniawi semata.

Perbedaan-perbedaan paham itu pada umumnya disertai taklid kepada imam atau pemimpin sehingga kelompok yang satu menutup diri terhadap kelompok yang lain. Dengan demikian mereka sudah melalaikan ajaran agama, yang menyuruh mereka bersatu dan memelihara kesatuan umat. Akan tetapi mereka berbuat sebaliknya, yaitu berpecah belah.

Pada akhir ayat ini ditegaskan, bahwa umat manusia yang sudah berpecah belah itu, seluruhnya akan kembali kepada-Nya juga. Maka Allah akan melakukan hisab dan memberikan balasan atas keimanan dan amal mereka masing-masing.

(Tafsir Kemenag)

Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 94-98

 

 

Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 88-90

0
tafsir surah al-anbiya'
tafsir surah al-anbiya'

Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 88-90 menerangkan bagaimana sifat kasih sayang Allah kepada para Nabi. Di sini, ditunjukkan bagaimana Allah memberikan perhatian kepada nabi-Nya, seperti Nabi Yunus dan Zakaria, dimana Allah mengabulkan doa-doa mereka, serta mengampuni kekhilafan yang pernah mereka lakukan, meski sejatinya segala sesuatu itu sudah masuk dalam skenario Allah Swt.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 87


Ayat 88

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah mengabulkan doa Nabi Yunus, lalu diselamatkannya dari rasa duka yang amat sangat. Duka karena rasa bersalah, duka karena keingkaran umatnya, dan duka karena malapetaka yang menimpa dirinya.

Pada akhir ayat ini Allah menegaskan bahwa demikianlah Dia menyelamatkan mereka dari azab duniawi dan mengaruniakan mereka kebahagiaan ukhrawi. Hal ini diterangkan Allah dalam firman-Nya pada ayat yang lain:

فَلَوْلَا كَانَتْ قَرْيَةٌ اٰمَنَتْ فَنَفَعَهَآ اِيْمَانُهَآ اِلَّا قَوْمَ يُوْنُسَۗ  لَمَّآ اٰمَنُوْا كَشَفْنَا عَنْهُمْ عَذَابَ الْخِزْيِ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَمَتَّعْنٰهُمْ اِلٰى حِيْنٍ

Maka mengapa tidak ada (penduduk) suatu negeri pun yang beriman, lalu imannya itu bermanfaat kepadanya selain kaum Yunus? Ketika mereka (kaum Yunus itu), beriman, Kami hilangkan dari mereka azab yang menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami beri kesenangan kepada mereka sampai waktu tertentu. (Yunus/10: 98)

Sesuai dengan kisah Yunus ini Nabi mengajarkan umatnya yang sedang mengalami kesulitan untuk berdoa seperti doa Nabi Yunus. Mus’ab bin Umair meriwayatkan dari Rasulullah bersabda:

مَنْ دَعَا بِدُعَاءِ يُوْنُسَ اُسْتُجِيْبَ لَهُ . (رواه الترمذي)

Siapa yang berdoa dengan doa Nabi Yunus, maka akan dikabulkan. (Riwayat at-Tirmizi)


Baca Juga: Surah Yusuf Ayat 76, Mawas Diri dan Pintar Merasa


Ayat 89

Pada ayat ini Allah mengarahkan perhatian Nabi Muhammad saw dan umatnya kepada kisah Nabi Zakaria. Karena ia tidak mempunyai anak, maka ia merasa kesepian dan tidak mempunyai seorang pun keturunan yang akan menggantikan dan melanjutkan perjuangannya bila ia telah meninggal dunia. Sebab itu ia berdoa kepada Allah agar Dia tidak membiarkannya hidup tanpa keturunan.

Pada akhir ayat ini disebutkan ucapan Nabi Zakaria setelah ia mengucapkan doanya itu. Lalu ia berkata, “Dan Engkau adalah ahli waris yang paling baik?”

Maksudnya ialah bahwa apabila Allah menghendaki tidak akan menganugerahkan keturunan kepadanya, maka ia pun rela dan tidak berkecil hati, karena ia yakin bahwa Allah akan tetap memelihara agamanya, dan tidak akan menyia-nyiakan agamanya dan Allah tentu akan memilih orang yang paling tepat sebagai pengganti Zakaria setelah wafatnya. Kisah ini telah dibahas lebih luas dalam Surah Āli ‘Imrān dan Surah Maryam.

Ayat 90

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah telah memperkenankan doa Nabi Zakaria itu, dan mengaruniakan kepadanya seorang putra bernama Yahya. Untuk itu Allah telah mengaruniakan kesehatan yang baik kepada istri Zakaria, sehingga memungkinkan untuk mengandung, padahal sebelum itu ia adalah perempuan yang mandul.

Pada lanjutan ayat ini Allah menjelaskan apa alasan-Nya untuk mengabulkan permohonan Zakaria itu, ialah karena mereka semua senantiasa bersegera dalam berbuat kebajikan, terutama dalam memelihara keturunan dengan sebaik-baiknya.

Selain itu juga, karena senantiasa berdoa kepada Allah dengan hati yang harap-harap cemas, harap akan ampunan Tuhan dan cemas terhadap kemurkaan dan siksaan Allah. Dan alasan ketiga ialah karena mereka selalu khusyuk dan tawadu` kepada-Nya, dan tidak pernah sombong atau takabur dan mengingkari karunia-Nya.

Jadi, sifat-sifat yang mulia itulah yang menyebabkan mereka memperoleh karunia dari Allah.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 91-92


 

Tafsir Surah Al-Hasyr 21: Kemuliaan Al-Qur’an dan Pentingnya Tafakur

0
Surah Al-Hasyr 21: Kemuliaan Al-Qur'an dan Pentingnya Tafakur
Surah Al-Hasyr 21: Kemuliaan Al-Qur'an dan Pentingnya Tafakur

Al-Qur’an merupakan kitab Allah yang mulia dan agung. Kemulian dan keagungan itu diungkapkan secara lugas dalam Firman Allah. Beberapa surah tersebut antara lain adalah surah al-Hijr ayat 87, surah Qaf ayat 1, surah al-Waqiah ayat 77 dan surah al-Buruj ayat 21. Selain itu, Allah Swt juga mengungkapkan betapa mulia dan agungnya Al-Qur’an menggunakan amtsal al-musharrahah atau al-qiyasiyah, penjelasan tersebut bisa klik di sini. Selanjutnya agar manusia senantiasa bertafakur (berpikir) tentang kemulian kitab Allah dan lainnya, Allah berfirman dalam surah al-Hasyr ayat 21

لَوْ أَنْزَلْنَا هَذَا الْقُرْآنَ عَلَى جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

“Sekiranya Kami turunkan al-Quran ini kepada sebuah gunung pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia agar mereka berpikir,” (QS. al-Hasyr [59];21)

Baca juga: Tafsir Surah al-Ikhlas (Bag. 2): Tiga Tingkatan Pencari Tuhan

Ragam Tafsir Surah al-Hasyr Ayat 21

Setelah Allah menerangkan perbedaan orang sesat, yakni orang munafik dan orang-orang sesat dari golongan yahudi dan selainnya, kemudian Allah  memerintahkan orang beriman untuk bertakwa kepada Allah SWT sebagai persiapan menghadapi hari Kiamat. Selain itu, sesungguhnya Allah juga menurunkan sebuah Al-Qur’an petunjuk, pembimbing, dan hidayah. Kitab tersebut menjadikan hati khusyuk disebabkan wibawanya dan hati tergugah disebabkan nasihat-nasihat yang dikandungnya.

Di dalam Al-Quran terdapat janji dan ancaman, kabar gembira dan peringatan, serta hikmah dan hukum-hukum. Andaikan Allah SWT memberikan kepada gunung akal, pemahaman terhadap kitab-Nya, dan kemampuan men-tadabburi kitab-Nya , niscaya gunung itu akan tunduk dan terpecah belah karena takut kepada Allah. Maka bagaimana kalian wahai manusia ? tidakkah hati kalian menjadi tenang dan tunduk karena takut kepada  Alah SWT padahal kalian memahami dan men-tadabburi kitab-Nya ? (Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Marāghī, juz 28, hal 57)

Kemudian menurut Al-Khazin dalam Lubāb al-Ta`wīl fi Ma’āni al-Tanzīl (juz 4, hal 276), tertulis, “Sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah” maknanya adalah andaikata Allah SWT memberikan kepada gunung  sebuah akal dan kemampuan membedakan baik dan buruk sebagaimana diberikan kepada manusia, pasti gunung tersebut merasa takut dan terpecah belah karena takut kepada Allah SWT.

Baca juga: Tafsir Surah Al-A’raf Ayat 31: Begini Adab Memasuki Masjid

Gunung yang keras dan kokoh bisa terpecah karena sangat takut kepada Allah SWT dan  takut ketika tidak melaksanakan hak Allah dalam mengagungkan Al-Qur’an. Sedangkan orang kafir justru meremehkan dan berpaling dari pelajaran dan hukum-hukum dalam Al-Quran seolah-olah mereka tidak mendengarnya.  Perumpamaan ini, menurut al-Alūsi adalah perumpamaan betapa tingginya kedudukan Al-Qur’an dan betapa kuatnya pengaruh Al-Qur’an dalam menyampaikan nasihat dan teguran. Hal ini dimaksudkan untuk memperingatkan manusia yang hatinya gelap dan sedikit sekali penghayatannya ketika membaca Al-Qur’an dan men-tadabburi isinya (Rūḥ al-Ma’ānī, juz 14, hal 255).

Penafsiran yang berbeda diungkapkan oleh al-Sa’di dalam Taisīr al-Karīm al-Raḥmān fi Tafsīr Kalām al-Minān halaman 853. Menurutnya, ketika Allah SWT menjelaskan mengenai suatu hal, memerintahkan dan melarang  hamba-hamba-Nya dalam al-Quran, maka wajib bagi hamba-hamba-Nya untuk segera melaksanakannya meskipun dalam keadaan hati yang gelap dan hati yang keras seperti gunung. Karena Al-Qur’an jika diturunkan kepada gunung, pasti gunung itu akan terpecah karena takut kepada Allah SWT. Ini menunjukkan bahwa Al-Qura’n mempunyai pengaruh kuat di dalam hati manusia.

Kedahsyatan Al-Qur’an Membuat Orang Bertafakur

Nasihat-nasihat Al-Quran adalah nasihat-nasihat agung. Segala perintah dan larangannya mengandung hikmah dan kemaslahatan. Nasihat-nasihat dan hikmah ini dapat dengan mudah masuk dalam jiwa, ringan diterima oleh badan, tidak ada beban, konsisten dan tidak ada kontradiksi, tidak ada yang sulit untuk dilaksanakan, tidak ada unsur kezaliman, shalih fi kulli zaman  wa al-makan, sesuai dengan siapa pun.

Baca juga: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 222: Ikhtiar Menyucikan Diri Lahir dan Batin

Kemudian Allah juga memberikan perumpamaan-perumpamaan dan menjelaskan kepada hamba-Nya di dalam kitab-Nya apa yang halal dan haram supaya hamba-hamba-Nya berpikir dan men-tadabburi ayat-ayatnya. Karena tafakur dapat membuka sumber ilmu. Allah SWT juga menjelaskan jalan kebaikan dan keburukan, mendorong kepada akhlak yang baik, kebiasaan baik dan memperingatkan hambanya dari akhlak tercela. Maka tidak ada hal yang lebih manfaat bagi seorang hamba dibanding ber-tafakur dan men-tadabburi makna-makna Al-Quran.

Kemuliaan dan keagungan Al-Quran sudah tidak diragukan lagi. Sampai-sampai Al-Quran membuat matsal bahwa jika gunung yang kokoh dan keras itu diberi akal hingga mampu memahami dan men­tadabburi Al-Quran, niscaya gunung tersebut akan pecah karena sangat takut dengan keagungan Allah, Dzat yang menurunkan Al-Qur’an. Maka bagaimana dengan manusia yang telah diberi kesempurnaan berupa akal yang dapat digunakan untuk memahami dan men-tadabburi isi Al-Quran? Seharusnya manusia bisa takut dan tunduk patuh kepada Allah karena mengetahui isi Al-Quran. Selain menunjukkan kedahsyatan Al-Quran, ayat tersebut juga mendorong manusia untuk ber-tafakur. Wallahu a’lam bissowab[]

Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 87

0
tafsir surah al-anbiya'
tafsir surah al-anbiya'

Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 87 mengisahkan perjalanan kisah Nabi Yunus AS. Diterangkan bahwa nabi Yunus adalah nabi yang cukup baper ketika menghadapi tingkah kaumnya. Beliau memiliki kebiasaan unik, yaitu tiap kali dalam keadaan marah, ia pergi ke pantai untuk melarikan diri dan menenagkan hatinya.

Diceritakan pula dalam Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 87, alasan mengapa Nabi Yunus tidak termasuk dari nabi yang bergelar ulul’azmi, yaitu karena ia kurang berlapang dada, sementara untuk mendapat predikat ulul ‘azmi adalah mereka yang sabar, ulet, dan berlapang dada ketika mendakwahkan ajaran Allah Swt.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 84-86


Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 87 juga menceritakan bagaimana kisah Nabi Yunus sampai ditelan oleh seekor ikan besar, dan bagaimana Allah menjaga dan menunjukkan ke agungan-Nya kepada Nabi Yunus, sehingga ia mampu belajar dari kejadian tersebut.

Ayat 87

Pada ayat ini Allah mengingatkan Rasul-Nya dan kaum Muslimin semuanya, kepada kisah Nabi Yunus, yang pada permulaan ayat ini disebutkan dengan nama “Dzun Nun”.

Dzu berarti “yang mempunyai”, sedang an-Nun berarti “ikan besar”. Maka Dzu an-Nun berarti “Yang empunya ikan besar”. Ia dinamakan demikian, karena pada suatu ketika ia pernah dijatuhkan ke laut dan ditelan oleh seekor ikan besar. Kemudian, karena pertolongan Allah, maka ia dapat keluar dari perut ikan tersebut dengan selamat dan dalam keadaan utuh.

Perlu diingat, bahwa kisah Nabi Yunus di dalam Al-Qur’an terdapat pada dua buah surah, yaitu Surah al-Anbiyā` dan Surah Shād. Apabila kita bandingkan antara ayat-ayat yang terdapat pada kedua Surah tersebut yang mengandung kisah Nabi Yunus ini, terdapat beberapa persamaan, misalnya dalam ungkapan-ungkapan yang berbunyi:

كَمْ اَهْلَكْنَا مِنْ قَبْلِهِمْ مِّنْ قَرْنٍ فَنَادَوْا وَّلَاتَ حِيْنَ مَنَاصٍ

Betapa banyak umat sebelum mereka yang telah Kami binasakan, lalu mereka meminta tolong padahal (waktu itu) bukanlah saat untuk lari melepaskan diri. (Shād/38: 3)

Ungkapan tersebut terdapat dalam Surah al-Anbiyā` ini, dan terdapat pula dalam ayat Surah Shād. Perhatikan pula al-Anbiyā`/21:11 dan Yunus/10: 13.

Dalam ayat ini Allah berfirman, mengingatkan manusia pada kisah Nabi Yunus, ketika ia pergi dalam keadaan marah. Yang dimaksud ialah bahwa pada suatu ketika Nabi Yunus sangat marah kepada kaumnya, karena mereka tidak juga beriman kepada Allah. Ia telah diutus Allah sebagai Rasul-Nya untuk menyampaikan seruan kepada umatnya, untuk mengajak mereka kepada agama Allah.

Tetapi hanya sedikit saja di antara mereka yang beriman, sedang sebagian besar mereka tetap saja ingkar dan durhaka. Keadaan yang demikian itu menjadikan ia marah, lalu pergi ke tepi laut, menjauhkan diri dari kaumnya.

Kisah ini memberi kesan bahwa Nabi Yunus tidak dapat berlapang hati dan sabar menghadapi umatnya. Akan tetapi memang demikianlah keadaannya, ia termasuk nabi-nabi yang sempit dada. Memang dari sekian banyak Nabi dan Rasul yang diutus Allah, hanya lima orang saja yang disebut “Ulul Azmi”, yaitu rasul-rasul yang amat sabar dan ulet.

Mereka adalah Nabi Ibrahim, Musa, Isa, Nuh dan Muhammad saw. Sedang yang lain-lainnya, walaupun mereka ma’shum dari dosa besar dan sifat-sifat yang tercela, namun pada saat-saat tertentu sempit juga dada mereka menghadapi kaum yang ingkar dan durhaka kepada Allah.

Akan tetapi, walaupun Nabi Yunus pada suatu ketika marah kepada kaumnya, namun kemarahannya itu dapat dipahami, karena ia sangat ikhlas kepada mereka, dan sangat ingin agar mereka memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat dengan menjalankan agama Allah yang disampaikannya kepada mereka.

Tetapi ternyata sebagian besar dari mereka itu tetap ingkar dan durhaka. Inilah yang menyakitkan hatinya, dan mengobarkan kemarahannya.

Nabi Muhammad sendiri, walaupun sudah termasuk Ulul ‘azmi, namun Allah beberapa kali memberi peringatan kepada beliau agar jangan sampai marah dan bersempit hati menghadapi kaumnya yang ingkar. Allah berfirman dalam ayat yang lain:

فَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ وَلَا تَكُنْ كَصَاحِبِ الْحُوْتِۘ

Maka bersabarlah engkau (Muhammad) terhadap ketetapan Tuhanmu, dan janganlah engkau seperti (Yunus) orang yang berada dalam (perut) ikan. (al- Qalam/68: 48)

Firman-Nya lagi kepada Nabi Muhammad saw:

فَلَعَلَّكَ تَارِكٌۢ بَعْضَ مَا يُوْحٰىٓ اِلَيْكَ وَضَاۤىِٕقٌۢ بِهٖ صَدْرُكَ ۗ

Maka boleh jadi engkau (Muhammad) hendak meninggalkan sebagian dari apa yang diwahyukan kepadamu dan dadamu sempit karenanya. (Hud/11: 12)

Ringkasnya sifat marah yang terdapat pada Nabi Yunus bukanlah timbul dari sifat yang buruk, melainkan karena kekesalan hatinya melihat keingkaran kaumnya yang semula diharapkannya untuk menerima dan melaksanakan agama Allah yang disampaikannya.


Baca Juga: Kisah Teladan Nabi di Bulan Muharram; Nabi Yunus Keluar dari Perut Ikan Paus


Selanjutnya dalam ayat ini Allah menjelaskan kesalahan Nabi Yunus  dimana kemarahannya itu menimbulkan kesan bahwa seolah-olah dia mengira bahwa sebagai Nabi dan Rasul Allah tidak akan pernah dibiarkan menghadapi kesulitan, sehingga jalan yang dilaluinya akan selalu indah tanpa halangan.

Akan tetapi dalam kenyatan tidak demikian. Pada umumnya para rasul dan nabi banyak menemui rintangan, bahkan siksaan dan ejekan terhadap dirinya dari orang-orang yang ingkar.

Hanya saja dalam keadaan yang sangat gawat, baik dimohon atau tidak oleh yang bersangkutan, Allah mendatangkan pertolongan-Nya, sehingga Rasul-Nya selamat dan umatnya yang ingkar itu mengalami kebinasaan.

Menurut riwayat yang dinukil dari Ibnu Katsir,  bahwa ketika Nabi Yunus dalam keadaan marah, ia lalu menjauhkan diri dari kaumnya pergi ke tepi pantai. Di sana ia menjumpai sebuah perahu, lalu ia ikut serta naik ke perahu itu dengan wajah yang muram.

Di kala perahu itu hendak berlayar, datanglah gelombang besar yang menyebabkan perahu itu terancam tenggelam apabila muatannya tidak segera dikurangi. Maka nahkoda perahu itu berkata, “Tenggelamnya seseorang lebih baik daripada tenggelamnya kita semua.” Lalu diadakan undian untuk menentukan siapakah di antara mereka yang harus dikeluarkan dari perahu itu. Setelah diundi, ternyata bahwa Nabi Yunuslah yang harus dikeluarkan.

Akan tetapi, penumpang kapal itu merasa keberatan mengeluarkannya dari pertahu itu. Maka undian dilakukan sekali lagi, tetapi hasilnya tetap demikian. Bahkan undian yang ketiga kalinya pun demikian pula. Akhirnya Yunus melepaskan pakaiannya, lalu ia terjun ke laut atas kemauannya sendiri. Allah mengirim seekor ikan besar yang berenang dengan cepat lalu menelan Yunus.

Dalam ayat ini selanjutnya Allah menerangkan bahwa setelah Nabi Yunus berada dalam tiga tingkat “kegelapan berbeda”, maka ia berdoa kepada Allah, “Tidak ada Tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim.”

Yang dimaksud dengan tiga kegelapan berbeda di sini ialah bahwa Nabi Yunus sedang berada di dalam perut ikan yang gelap, dalam laut yang dalam dan gelap, dan di malam hari yang gelap gulita pula.

Pengakuan Nabi Yunus bahwa dia “termasuk golongan orang-orang yang zalim”, berarti dia sadar atas kesalahannya yang telah dilakukannya sebagai Nabi dan Rasul, yaitu tidak sabar dan tidak berlapang dada menghadapi kaumnya, seharusnya ia bersabar sampai menunggu datangnya ketentuan Allah atas kaumnya yang ingkar itu.

Karena kesadaran itu maka ia mohon ampun kepada Allah, dan mohon pertolongan-Nya untuk menyelamatkan dirinya dari malapetaka itu.

 

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 88-89


 

Tafsir Surah al-Ikhlas (Bag. 2): Tiga Tingkatan Pencari Tuhan

0
surah al-ikhlas (Bag. 2): tiga tingkatan pencari Tuhan
surah al-ikhlas (Bag. 2): tiga tingkatan pencari Tuhan

Pada artikel sebelumnya telah dijelaskan bahwa surah al-Ikhlas selain sebagai pemurni akidah ketauhidan, juga untuk mengenalkan Allah kepada kaum pagan Makkah, atau secara khusus kepada ‘Amir bin al-Thufail. Namun istimewanya, menurut Fakhrudin al-Razi surah ini secara implisit juga menjelaskan perihal 3 tingkatan pencari Tuhan. Jadi bukan terkhusus hanya diperuntukkan bagi orang yang belum mengenal Tuhan. Ajaibnya, makna implisit itu dapat kita gali dengan memerinci ketiga kata dari ayat pertamanya berikut,

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ

“Katakanlah (Muhammad), Dialah Allah Yang Esa.” (Q.S. al-Ikhlas [122]: 1)

Baca Juga: Kisah Kecintaan Sahabat Nabi Muhammad Saw Terhadap Surah Al-Ikhlas

Tingkatan Pertama (هو)

“Dia,”

Lafal huwa adalah kata ganti (isim dlomir) yang berarti dia. Yang namanya kata ganti pastinya memiliki rujukan tertentu, contoh, “Beliau adalah Muhammad bin Abdullah. ‘Dia’ adalah nabi yang membawa agama Islam.”

Atas dasar ini, apabila kita mempergunakan kata ganti tanpa menyebutkan rujukan pasti, lawan bicara kita tidak akan dapat memahami apa yang kita katakan. Umpamanya, tiba-tiba kita menyampaikan berita kepada orang tua, “Ibu, di pasar tadi dia bilang kepada saya bahwa dia akan datang nanti malam.”

Ibu kita pastinya menjadi bingung dengan perkataan kita, sebab ia belum mengetahui benar siapa yang kita maksud dengan kata ganti “dia”. Boleh jadi “dia” yang kita maksud adalah tetangga sebelah, tunangan, atau rentenir penagih hutang. Maka muncullah pertanyaan, “Dia siapa yang kau maksud itu nak?”

Tingkatan pencari Tuhan yang pertama dan paling utama adalah apa yang diisyaratkan oleh kata ganti huwa (dia). Penjelasannya seperti ini; golongan pertama akan dapat mengetahui secara pasti bahwa maksud dari kata ganti “dia” adalah Allah swt., meskipun tidak ada rujukan atau indikasi jelas yang menegaskannya. Alasannya, bagi mereka satu-satunya yang ada dan eksis hanyalah Allah swt. Semua hal selain Allah itu tidak ada.

Dalam teologi Islam dijelaskan bahwa sesuatu (wujud) terbagi menjadi dua, mumkin al-wujud dan wajib al-wujud.

Mumkin al-Wujud adalah sesuatu yang mungkin ada dan mungkin tidak ada. Hewan, tumbuhan dan manusia adalah termasuk macam bagian ini. Artinya kita dapat membayangkan ketiganya tidak ada dan tidak eksis di dunia ini. (Mi’yar al-‘Ulum, hal 331)

Wajib al-Wujud adalah sosok yang keberadaannya wajib ada; tidak mungkin Ia tidak ada. Tuhan adalah Dzat yang wajib dan harus ada. Alasannya, kita telah menyaksikan bahwa hewan, tumbuhan dan manusia yang masih mumkin telah benar-benar eksis di dunia, maka perlu keberadaan Dzat yang menciptakannya.

Namun, sosok pencipta ini tidak boleh termasuk macam yang mumkin al-wujud. Ia harus wajib ada (wajib al-wujud). Sebab bilamana Dzat Allah swt. mungkin ada dan mungkin tidak ada, maka Ia membutuhkan pencipta yang mengadakan-Nya. Dan terus seperti itu; pencipta Allah membutuhkan pencipta lainnya. Alur pikir seperti ini akan mengakibatkan munculnya regresi tidak berbatas (tasalsul). Dalam bahasan filsafat logika, regresi tidak terbatas adalah hal yang mustahil. (Lentera Kehidupan, Mulyadhi Kartanegara, hal 17-18)

Bagi Al-Muqarrabin -gelar yang disematkan kepada tingkatan ini- makhluk tidak ada dan tidak eksis, karena keberadaannya hanya masih mungkin saja. Sedangkan Tuhan adalah satu-satunya Sosok yang ada dan eksis. Hati pikiran mereka hanya mengenal keberadaan Tuhan. Atas dasar ini, ketika disebutkan kata “dia” pasti itu merujuk kepada Tuhan sebagai satu-satunya sosok yang ada. Kata al-Razi,

وَهَؤُلَاءِ هُمُ الَّذِينَ نَظَرُوا إِلَى مَاهِيَّاتِ الْأَشْيَاءِ وَحَقَائِقِهَا مِنْ حَيْثُ هِيَ هِيَ

“Dan mereka ini adalah golongan orang yang benar-benar melihat sesuatu dari hakikatnya sebagaimana adanya.” (Mafatih al-Ghaib, juz 32 hal 360)

Baca Juga: Alasan Mengapa Surat Al-Ikhlas Sebanding Sepertiga Al-Quran Menurut Imam Ghazali

Tingkatan Kedua (هو الله)

“Dialah Allah.”

Tidak seperti al-Muqarrabin, orang-orang di tingkatan ashab al-yamin (golongan kanan) belum mempunyai pemahaman bahwa Allah-lah satu-satunya sosok yang eksis. Bagi mereka ini, dunia dan segala isinya selain Allah, masih merupakan hal yang nyata dan belum bisa mereka singkirkan sepenuhnya dari hati pikirannya. Singkatnya, masih ada sosok lain yang eksis di alam kenyataan ini.

فَلَا جَرَمَ لَمْ يَكُنْ هُوَ كَافِيًا فِي الْإِشَارَةِ إِلَى الْحَقِّ، بَلْ لَا بُدَّ هُنَاكَ مِنْ مُمَيِّزٍ بِهِ يَتَمَيَّزُ الْحَقُّ عَنِ الْخَلْقِ فَهَؤُلَاءِ احْتَاجُوا إِلَى أَنْ يَقْرِنُوا لَفْظَةَ اللَّهِ بِلَفْظَةِ هُوَ،

“Maka tidak salah, bahwa kata “dia” belum cukup untuk mengenalkan mereka (ashab al-yamin) kepada Tuhan. Akan tetapi harus juga dibersamakan dengan indikasi lainnya yang membedakan Tuhan dari makhluk-Nya. Mereka masih membutuhkan suatu indikator (agar dapat mengenal Tuhan dari kata ganti “dia”); makanya lafal Allah disambungkan dengan lafal “dia” (huwa).” (Mafatih al-Ghaib, juz 32, hal 360)

Di dalam al-Quran, ashab al-yamin merupakan sebutan bagi mereka yang pada hari perhitungan akan menerima catatan amalnya dari sisi sebelah kanan atau dengan tangan kanan. Ini menunjukkan bahwa mereka mendapatkan keselamatan dari siksa akhirat. Ashab al-syimal adalah kebalikan dari kelompok ini. (Q.S. Al-Waqi’ah [56]: 8-9)

Baca Juga: Performasi Surat Al-Ikhlas: Era Nabi Muhammad hingga Kontemporer

Tingkatan Ketiga (هو الله احد)

“Dialah, Allah Yang Maha Esa”

Jika tingkatan kedua disebut ashab al-yamin, maka tingkatan ketiga adalah ashab al-syimal (golongan kiri). Ini adalah tingkatan terendah dan terhina. Sebab untuk mengenal Allah swt., golongan ini perlu untuk diberitahukan bahwa, “Dia adalah Allah Yang Esa.”

Alasannya, selain karena dunia dan segala isinya sudah memperkeruh eksistensi Tuhan di hati pikiran mereka, bagi mereka tuhan tidak hanya satu. Mereka telah terjebak dalam liang kemuysrikan. Untuk itulah dibutuhkan tambahan kata “Yang Maha Esa” untuk mempertegas kesalahan akidah mereka. (Mafatih al-Ghaib, juz 33, hal 361)

Pada titik ini, kita dapat menjumpai relevansi ayat dengan latar belakang kemunculan surah al-Ikhlas, yakni seperti yang disebutkan di muka, surah al-Ikhlas diturunkan Allah swt. sebagai jawaban dari pertanyaan seorang musyrik Makkah; ‘Amir bin al-Thufail yang meminta agar Nabi Muhammad menjelaskan hakikat dan esensi dari Tuhan yang Beliau sembah.

Wa Allahu a’lam.

Tafsir Surah Al-A’raf Ayat 31: Begini Adab Memasuki Masjid

0
Begini Adab Memasuki Masjid
Begini Adab Memasuki Masjid

Masjid adalah tempat yang mulia bagi kaum Muslimin. Masjid adalah rumah Allah dan menjadi tempat untuk melakukan berbagai macam ibadah, baik ibadah mahdah (ibadah yang telah diatur secara rinci oleh syara’ tata cara peribadahannya; salat, membaca dan mengkaji al-Qur’an dsb.) maupun ibadah ghair mahdah (ibadah yang umum dan tidak diatur secara rinci tata caranya, seperti diskusi ilmiah, rapat, dsb.) Dengan begitu kaum Muslimin hendaknya memperhatikan adab-adab setiap kali hendak memasukinya. Hal tersebut sebagai bentuk penghormatan dan pemuliaan terhadap masjid sebagai tempat peribadatan. Di antara adab memasuki masjid adalah menggunakan pakaian yang bagus (terbaik), sopan, serta menutup aurat.

Baca juga; Surah Al-Isra Ayat 23-24: Etika dalam Merawat Orang Tua

Perintah untuk Menggunakan Pakaian Terbaik Saat Memasuki Masjid

Di dalam al-Qur’an Allah swt telah memerintahkan kepada anak-cucu Adam, terkhusus kaum Muslimin agar memakai pakaian yang bagus (terbaik) setiap kali hendak memasuki masjid, baik untuk mengerjakan sesuatu kewajiban maupun sesuatu lainnya yang bersifat sunnah atau mubah. Allah berfirman:

يَٰبَنِيٓ ءَادَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمۡ عِندَ كُلِّ مَسۡجِدٖ وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ وَلَا تُسۡرِفُوٓاْۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُسۡرِفِينَ

Artinya: Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaian kamu yang bagus setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. ( QS. al-A’raf: 31)

Secara eksplisit ayat tersebut berisikan perintah untuk menggunakan pakaian yang bagus (terbaik) setiap kali memasuki masjid, dan perintah untuk makan dan minum tetapi tidak boleh israf (berlebihan). Lalu, adakah makna atau faedah lain yang terkandung dalam ayat tersebut?

Tafsir Surah al-A’raf Ayat 31

Ibnu Katsir (w. 774 H) dalam kitabnya Tafsīr al-Qur’an al-Azhīm atau yang masyhur dengan Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat yang mulia ini berisikan bantahan/penentangan terhadap kaum musyrikin yang mereka –memiliki adat/kebiasaan—  melakukan thawwaf di Baitullah dalam keadaan telanjang (tidak berbusana). Sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Muslim dan an-Nasa’i dari sahabat Ibnu Abbas bahwa beliau mengabarkan: Mereka –kaum musyrikin— senantiasa melakukan thawwaf di Baitullah dengan keadaan telanjang, baik laki-laki maupun perempuan. kaum laki-laki melakukannya di siang hari, sedangkan kaum perempuan melakukannya di malam hari.

Kemduian, maksud dari firman Allah “Pakailah olehmu pakaian yang bagus setiap memasuki masjid” diawali oleh adanya sekelompok laki-laki yang melakukan thawwaf di Baitullah dengan keadaan telanjang, lalu Allah –dengan turunnya ayat ini— langsung memerintahkan mereka untuk mengenakan az-Zinah (pakaian yang bagus/terbaik). Selain itu, mereka juga diperintahkan untuk mengenakan pakaian terbaik setiap kali memasuki masjid.

Baca juga; Tujuh Prinsip Politik Islam dalam Al-Quran

Berdasarkan ayat ini –QS. al-A’raf ayat 31— secara pemaknaan ini menjadi dasar adanya sunnah/anjuran untuk berhias diri setiap kali hendak ke masjid terlebih pada saat hari Jum’at dan hari raya (idul fitri dan idul adha), lalu mengenakan parfum atau wangi-wangian juga termasuk bagian az-Zinah (berhias diri), serta bersiwak (membersihkan gigi). (Tafsir Ibnu Katsir, 1997)

Di antara pakaian yang paling utama untuk digunakan adalah pakaian yang berwarna putih, sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” الْبَسُوا مِنْ ثِيَابِكُمُ الْبَيَاضَ ؛ فَإِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْوَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ

Artinya: Dari Ibnu Abbas (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Pakailah pakaianmu yang berwarna putih, karena sesungguhnya pakaian putih termasuk pakaian terbaik, dan kafanilah dirimu saat mati dengannya (kain berwarna putih).” (HR. al-Khamsah)

Selanjutnya, As-Sa’di (w. 1376 H) dalam kitab tafsirnya Taisir al-Karīm ar-Rahmān fī tafsīr kalām al-Mannān atau yang masyhur dengan Tafsir as-Sa’di menjelaskan juga bahwa ayat ini –QS. al-A’raf ayat 31— adalah penegasan dari firman Allah swt sebelumnya –QS. al-A’raf ayat 26—, yaitu Allah telah  telah menyediakan bagi anak-cucu Adam pakaian untuk menutupi aurat dan juga sebagai perhiasan bagi mereka.

“Wahai anak-cucu Adam! pakailah pakaian kamu yang bagus setiap memasuki masjid”. As-Sa’di menambahkan maksud dari ayat tersebut adalah tutuplah auratmu setiap kali memasuki masjid, baik untuk mengerjakan sesuatu yang wajib maupun sesuatu yang nafilah (sunnah). Sesungguhnya menutup aurat termasuk bagian dari menghias diri, sebagaimana menyingkapkannya berarti membiarkan tubuh pada keadaan yang jelek/hina. Adapun yang dimaksud dengan az-Zinah dalam ayat adalah sesuatu yang lebih dari menutup aurat, yaitu menggunakan pakaian yang bersih lagi bagus (terbaik).

Secara singkat perintah dalam ayat tersebut –QS. al-A’raf ayat 31— menunjukkan perintah untuk menutup aurat ketika salat, menghias/memperbagus keadaan diri (dengan pakaian yang bagus bersih), serta menjaga kebersihan tabir (kain atau kondisi tempat) dari segala najis dan kotoran. (Tafsir as-Sa’diy)

Baca juga: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 222: Ikhtiar Menyucikan Diri Lahir dan Batin

Berdasarkan penafsiran di atas QS. al-A’raf ayat 31 berisikan perintah untuk menggunakan pakaian terbaik yang bersih dari segala kotoran dan najis, serta dapat menutup aurat setiap kali hendak memasuki masjid. Jangan sampai mengikuti kebiasaan buruk kaum musyrikin atau orang-orang jahiliyah dahulu yang mereka memasuki dan melakukan thawwaf di Baitullah dalam keadaan tidak berbusana. Perbuatan tersebut seakan-akan bertujuan untuk merendahkan dan melecehkan Baitullah. Dengan demikian, semoga kita senantiasa dapat  menjaga adab ini setiap kali hendak memasuki masjid, dan semoga hal tersebut menjadi washilah bagi kita untuk mendapatkan rida Allah dan pahala dari-Nya.

Wallahu A’lam bi ash-Shawwab [].

Perbedaan Rasm Al-Daniy dan Al-Suyuthiy, Berikut Penjelasannya

0
Perbedaan Rasm Al-Daniy dan Al-Suyuthiy
Perbedaan Rasm Al-Daniy dan Al-Suyuthiy

Meski tidak ditemukan penjelasan yang sharih mengenai afiliasinya (tarjih al-riwayah), rasm pada Mushaf Al-Qur’an Standar Usmani Indonesia cenderung mendekati mazhab Al-Daniy dalam Al-Muqni‘. Namun aplikasi penulisannya memang tidak secara langsung merujuk padanya, tetapi seperti yang telah dijelaskan dalam Sejarah Penulisan Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia terbitan LPMQ Kemenag, merujuk pada Al-Itqan karya Al-Suyuthiy. Dengan begitu tulisan ini akan mengulas terkait perbedaan rasm al-Daniy dan Al-Suyuthiy.

Kaidah rasm Al-Suyuthiy sendiri menurut Zainal Arifin Madzkur lebih mendekati rumusan yang disusun oleh Abu ‘Amr al-Daniy dalam Al-Muqni‘. Berbeda dengan klaim Ahmad Fathoni yang menyebutkan bahwa afiliasi Al-Itqan lebih dekat kepada Abu Dawud dalam Al-Tabyin.

Memang jika melihat secara langsung keterangan yang disebutkan sendiri oleh Al-Suyuthiy dalam Al-Itqan, pernyataan Zainal Arifin agaknya lebih dapat dibenarkan ketimbang Ahmad Fathoni. Pada pengantar yang diberikan di awal, Al-Suyuthiy menyebutkan bahwa kaidah yang disusun olehnya disarikan dari Al-Muqni‘ karya Al-Daniy dan syarh Al-Sakhawiy atas ‘Aqilah Atrab al-Qasha’id fi Asna al-Maqashid.

Baca juga: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 222: Ikhtiar Menyucikan Diri Lahir dan Batin

Selain pengantarnya di awal tersebut, pada bab ke-76 tentang marsum al-khath wa adab kitabatih, Al-Suyuthiy juga menyebutkan rujukan lain atas penyusunan kaidah rasm-nya, yakni ‘Unwan al-Dalil fi Marsum Khathth al-Tanzil karya Abu al-‘Abbas al-Marakisyiy. Dan dari semua rujukan yang ada, tak ada satu pun yang menyebutkan secara langsung bahwa afiliasi ‘mazhab’ rasm Al-Suyuthiy merujuk pada Abu Dawud, sebagaimana klaim Ahmad Fathoni.

Namun demikian, kedekatan afiliasi rasm Al-Suyuthiy terhadap Al-Daniy ini memang tidak banyak didukung oleh beberapa ulama Al-Qur’an, seperti Allahu yarham KH. Matuh Basthul Birri dalam Mari Memakai Al-Qur’an Rasm ‘Usmaniy (RU) (baca selengkapnya di Kontroversi Rasm Imam Al-Suyuthi). Hal ini cukup beralasan mengingat keduanya memiliki beberapa perbedaan.

Dalam tulisan kali ini, penulis bermaksud menyajikan perbandingan perbedaan keduanya. Setidaknya ada 2 perbedaan yang nantinya akan penulis sebutkan. Pada 2 perbedaan ini, masing-masing dari Al-Daniy dan Al-Suyuthiy sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan.

Baca juga: Tujuh Prinsip Politik Islam dalam Al-Quran

Perbedaan Kaidah Al-Daniy dan Al-Suyuthiy

Baik Al-Daniy maupun Al-Suyuthiy sebenarnya sama-sama menganut model sajian tematik, dimana kaidah-kaidah yang sama disusun dalam satu bab atau fashl. Namun demikian, cara penyajian yang digunakan oleh Al-Suyuthiy agaknya lebih tersistem dengan baik.

Al-Daniy membagi kaidahnya ke dalam 21 bab dan 17 fashl. Dari bab dan fashl ini sering kali dijumpai kesamaan tema kaidah, seperti al-hadhf (pembuangan) yang disebutkan dalam 4 bab dan fashl yang berbeda, atau al-ithbat (penetapan) yang disebutkan dalam 3 bab dan fashl yang berbeda.

Berbeda dengan Al-Daniy, Al-Suyuthiy secara langsung membagi kaidahnya ke dalam 6 tema utama: al-hadhf, al-ziyadah (penambahan), al-hamz (penulisan hamzah), al-badal (penggantian huruf), al-fashl wa al-washl (memisah dan menyambung huruf),  dan ma fih qira’atan kutiba ‘ala ihdahuma (kata yang memiliki dua bacaan berbeda dan ditulis dengan salah satunya).

Dalam masalah sistematika ini, cara Al-Suyuthiy agaknya lebih baik ketimbang Al-Daniy, sebagaimana pandangan kontemporer saat ini. Penulis sendiri merasa cukup kesulitan ketika melakukan rujukan dan penelusuran terhadap kaidah Al-Daniy. Karena seperti telah disebutkan, tema-tema yang masih memiliki kaitan tidak disebutkan bersamaan secara runtut.

Baca juga: Surah Al-Isra Ayat 23-24: Etika dalam Merawat Orang Tua

Perbedaan lain diantara keduanya adalah jumlah kaidah dan masalah yang disebutkan. Al-Muqni‘ yang merupakan karya khusus ilmu rasm memuat kaidah lebih banyak. Sedangkan Al-Itqan yang menjadi bagian karya umum ilmu Al-Qur’an, ternyata hanya sedikit menyinggung kaidah-kaidah ilmu rasm. Sehingga, Al-Daniy jelas lebih diunggulkan dari pada Al-Suyuthiy dalam masalah ini.

Beberapa masalah yang tidak disebutkan oleh Al-Suyuthiy seperti farsy al-kalimah atau penulisan kata yang tidak dapat tercakup dalam enam klasifikasi kaidah dan perbandingan penulisan mushaf-mushaf ‘uthmaniy.

Memang tidak cukup fair membandingkan keduanya dalam aspek jumlah kaidah, karena jelas akan memunculkan ketimpangan. Namun, kebanyakan kritik yang ditujukan terhadap rujukan mushaf Indonesia kepada Al-Itqan berkisar pada aspek ini. Al-Itqan belum cukup dijadikan panduan penulisan rasm karena masih banyak menyisakan kaidah.

Akan tetapi dengan melakukan perbandingan semacam ini setidaknya dapat memberikan sedikit gambaran mengenai kelebihan dan kekurangan masing-masing karya di atas. Dalam hal jumlah kaidah misalnya, setelah diketahui bahwa Al-Itqan tidak selengkap Al-Muqni‘. Sehingga harapannya akan ada upaya koreksi dan penyempurnaan. Oleh sebab itu, Mushaf Al-Qur’an Standar Usmani Indonesia benar-benar menerapkan kaidah rasm secara menyeluruh. Wallahu a‘lam bi al-shawab [].

Ragam Qiraat Sebagai Hujah Kebahasaan, Antara Mazhab Basrah dan Kufah

0
Ragam qiraat: antara mazhab Basrah dan Kufah
Ragam qiraat: antara mazhab Basrah dan Kufah

Syauqi Dhaif menukil pendapat para ahli nahwu mengatakan bahwa setidaknya ada dua faktor yang melatarbelakangi munculnya ilmu nahwu. Pertama, faktor agama. Yaitu merebaknya kesalahan (lahn) pembacaan al-Quran setelah Islam menyebar ke seluruh Jazirah Arab. Di situlah fenomena percampuran bahasa tak terelakkan yang mengakibatkan banyaknya lahn. Faktor kedua adalah non-agama (politis), yaitu rasa nasionalisme bangsa Arab yang ingin menjaga kemurnian bahasa mereka dari ketercampuran dengan bahasa bangsa lainnya.

Baca Juga: Al-Quran dan Faktor Kemunculan Ilmu Nahwu

Munculnya Dua Mazhab Besar: Mazhab Basrah dan Kufah

Para pakar nahwu saling berbeda pendapat mengenai orang yang pertama kali merumuskan nahwu. Setidaknya, ada banyak nama yang menjadi perdebatan, yakni Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Nashr bin ‘Ashim, Abdurrahman bin Hurmuz, dan Abu al-Aswad al-Du’ali. Namun, nama belakangan ini lah yang disepakati oleh mayoritas ulama sebagai perumus ilmu nahwu.

Perbedaan pendapat tersebut disebabkan oleh banyaknya riwayat yang merekam aktivitas masing-masing nama di atas yang berkaitan dengan nahwu. Riwayat-riwayat tersebut tidak akan kita bahas di sini, namun dapat kita baca dalam buku-buku sejarah nahwu. Al-Madaris al-Nahwiyyah karya Syauqi Dhaif, untuk menyebut satu contoh buku tarikh nahwu.

Pada masa awal Islam, kajian nahwu masih sangat sederhana, hanya sebatas isim, fiil, mubtada’, fail, maf’ul dan beberapa istilah lainnya. Baru era berikutnya lah kajian nahwu begitu semarak dengan munculnya Ibn Abi Ishaq al-Hadhrami, mengawali lahirnya mazhab Bashrah. Kemudian disusul dengan munculnya mazhab Kufah yang dibentuk oleh Abu Ja’far al-Ru’asi dan Mu’adz al-Harra’.

Baca Juga: Al-Quran: Antara Ragam Qiraat dan Sumber Ilmu Nahwu

Beda Bashrah, Beda Kufah (Seputar Kila dan Kilta)

Ada perbedaan yang sangat kentara antara mazhab Basrah dan Kufah. Para ulama nahwu Bashrah tidak menjadikan qiraat sebagai hujah atas teori-teori gramatika bahasa Arab kecuali beberapa qiraat yang memang telah disepakati pendahulu mereka dan sesuai dengan standar mereka, seperti kata (كلا) kila dan (كلتا) kilta dalam qiraat Hamzah dan al-Kisai.

Menurut mereka, keduanya—kila dan kilta—menunjukkan mufrad secara lafaz dan tastniah secara makna, dan alif pada kedua kata tersebut sama halnya alif dalam contoh kata (عصا) ‘ashaa dan (رحا) rahaa. Mereka juga menyebutkan, bahwa huruf alif pada kata kila dan kilta tersebut bukanlah sebagai tanda tatsniah—yang menunjukkan dua, dan boleh membacanya dengan imalah—ingat bacaan majreha!

Perhatikan ayat berikut (al-Isra’ [17]: 23);

اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا… الأيه

Dan ayat berikut (al-Kahfi [18]: 33);

كِلْتَا الْجَنَّتَيْنِ اٰتَتْ اُكُلَهَا وَلَمْ تَظْلِمْ مِّنْهُ شَيْـًٔاۙ وَّفَجَّرْنَا خِلٰلَهُمَا نَهَرًاۙ

Abd al-Al Salim Mukram dalam Atsar al-Qiraat al-Quraniyyah fi Dirasat al-Nahwiyyah (2009) menyebutkan bahwa qiraat Hamzah, al-Kisai dan Khalaf membaca kedua ayat tersebut dengan meng-imalah alif dalam kata kila dan kilta. Dan jika alif dalam keduanya adalah sebagai tanda tatsniyah maka mestinya tidak boleh dibaca dengan imalah.

Bacaan imalah pada kila dalam al-Isra’ [17]: 23 di atas dapat kita simak dalam tautan Youtube ini (https://www.youtube.com/watch?v=rT5uFL9-2u0&t=436s), yang dibacakan oleh Shaikh Okasha Kameny, seorang Qari’ berkebangsaan Ghana, dengan riwayat al-Daury dari al-Kisai.

Baca Juga: Makna Tujuh Huruf (Sab’atu Ahruf) dalam Qiraat Al-Quran Menurut Ibn Qutaibah

Seputar In dan Inna

Begitu pula pendapat mereka mengenai in (إِنْ) dapat berfungsi seperti inna (إنَّ)—me-nashab-kan isim dan me-rafa’-kan khabar, seperti dalam Hud [11]: 111.

وَاِنَّ كُلًّا لَّمَّا لَيُوَفِّيَنَّهُمْ رَبُّكَ اَعْمَالَهُمْ ۗاِنَّهٗ بِمَا يَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ

Mayoritas dari kita, orang Indonesia, membacanya sebagaimana tertulis di atas—dengan tasydid inna dan lamma. Namun, ada qiraat lain yang membaca dengan in dan lama (keduanya tanpa tasydid). Bacaan tersebut dapat kita simak dalam tautan ini (https://www.youtube.com/watch?v=zoPhrqyCmVM), yang dibacakan oleh Dr. Muhammad bin Umar al-Janayiny, dengan qiraat riwayat Qalun dari Nafi’. Atas dasar qiraat tersebut lah, Mazhab Bashrah merumuskan kaidah bahwa in dapat ber‘amal’ seperti innatanshibul isma wa tarfa’ul khabar.

Beda mazhab Bashrah, beda mazhab Kufah. Mazhab Kufah memilih standar yang lebih longgar dan fleksibel dalam menentukan syawahid (dalil teori). Artinya, semua periwayatan qiraat diterima oleh Mazhab Kufah sebagai syawahid. Karena bagi mereka, semua qiraat al-Quran itu disandarkan pada riwayat. Dan riwayat, bagi mereka, lebih kuat daripada syair-syair orang Arab. Sebab dalam periwayatan, ada standar tinggi yang ditetapkan seperti dhabit, itqan, daqqah yang masing-masing menunjukkan makna hafalan yang kuat, melekat dan detil.

Wallahu a’lam bisshawab.

Tafsir Surah Al-Mukminun Ayat 33: Pendusta Nabi Shalih Adalah Para Penguasa yang Kaya Raya

0
Tafsir Surah Al-Mukminun ayat 33
Tafsir Surah Al-Mukminun ayat 33

Kisah Nabi Shalih ‘alaihisalam dalam Surah Al-Mukminun merentang sepanjang sepuluh ayat, dari ayat 31 sampai ayat 41. Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim menyebut ada perbedaan pendapat soal kaum mana dan Nabi siapa yang dikisahkan. Ada yang memaknai sebagai kisah kaum ‘Ad, kaumnya Nabi Hud. Karena sebelumnya menceritakan tentang Nabi Nuh, yang secara runtut setelahnya berarti kisah Nabi Hud. Tetapi ada yang memaknai kaum Tsamud, kaumnya Nabi Shalih.

Disebut kaum Tsamud karena melihat azab yang meluluhlantakkan segenap pendusta di penghujung kisah dalam Surah Al-Mukminun ayat 41. “Maka dimusnahkanlah mereka oleh suara yang mengguntur dengan hak,…” (terjemahan  QS. Al-Mukminun [23]: 41). Sedang kaum ‘Ad yang mendustakan Nabi Hud diterjang angin topan, sebagaimana kisah dalam Surat Al-Haqqah ayat 6-7, “Adapun kaum ‘Ad, maka mereka telah dibinasakan dengan angin yang sangat dingin lagi amat kencang, yang Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam dan delapan hari terus-menerus,…” (terjemahan QS. Al-Haqqah [69]: 6-7)

Walaupun dalam periode kehidupannya, setelah kaum ‘Ad binasa di kawasan Hadramaut karena azab yang menimpa mereka, Barulah muncul kehidupan yang bertumbuh kembang menjadi kabilah Tsamud, yang menurut Ibnu Katsir, mereka menetap di daerah antara negeri Hijaz dan Syam hingga Wadil Qura’.

Baca Juga: Isyarat Pelestarian Alam Dibalik Kisah Nabi Shalih, Unta dan Kaum Tsamud

Penyangkalan kaum Tsamud

Nabi Shalih sendiri merupakan bagian dari kaum Tsamud. Namun sewaktu ia berseru kepada mereka untuk menyembah Allah Swt, para pemuka kaum menyangkalnya begitu saja, seperti halnya dikisahkan Surah Al-Mukminun ayat 33.

وَقَالَ الْمَلأ مِنْ قَوْمِهِ الَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا بِلِقَاءِ الآخِرَةِ وَأَتْرَفْنَاهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا مَا هَذَا إِلا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يَأْكُلُ مِمَّا تَأْكُلُونَ مِنْهُ وَيَشْرَبُ مِمَّا تَشْرَبُونَ

Dan berkatalah pemuka-pemuka yang kafir di antara kaumnya dan yang mendustakan akan menemui hari akhirat (kelak) dan yang telah Kami mewahkan mereka dalam kehidupan di dunia, (Orang) ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, dia makan dari apa yang kamu makan, dan meminum dari apa yang kamu minum. (terjemahan QS. Al-Mukminun [23]: 33)

Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam tafsirnya, menerangkan bahwa petinggi kaum Tsamud menyangsikan keesaan Allah dan mendustakan adanya perjumpaan di akhirat. Sementara Allah telah memberi kenikmatan dunia, dengan memperkaya penghidupan serta melimpahkan rezeki mereka. Hingga mereka angkuh dan sombong terhadap Tuhan mereka sendiri, sampai menjadikan mereka kafir (Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an Juz 19, hal. 28).

Dalam pandangan Ibnu Asyur, ada keterhubungan antara kalimat wa kadzdzabu bi liqa’i al-akhirati (dan yang mendustakan akan menemui hari akhirat) dan wa atrafnahum (dan yang telah Kami mewahkan). Relasi keduanya ini yang menyebabkan mereka mendustai ajakan Nabi Shalih.

Di mana pengingkaran mereka akan adanya perjumpaan di akhirat karena mereka menolak bila menimpa hukuman setelah mati. Dan kekayaan serta kenikmatan telah memperdaya mereka dengan penuh kesombongan, yang kemudian membiasakan mereka menjadi pemimpin, bukan sekedar pengikut.

Sebab itulah, mereka tidak menerima seruan Nabi Shalih untuk mewaspadai siksaan pada hari kebangkitan, sekaligus mengharap keselamatan dengan mengikuti perintahnya (al-Tahrir wa al-Tanwir Juz 18, hal 52).

Baca Juga: Epidemiologi Al-Qur’an (2): Virus Sampar Dalam Kisah Nabi Shalih dan Kaum Tsamud

Sedari sini bisa dilihat bahwa mala’ menjadi aktor utama yang mengajak kaum Tsamud supaya berpaling dari Nabi Shalih. Di mana dalam kitab Lisan al-Arab (Ibnu Mandzur, tt) menyebut mala’ sebagai pemimpin, kalangan terhormat, para pemuka dan para tetua, yang menjadi rujukan segenap permasalahan bagi kaumnya. Dalam hal ini, mereka berarti para elit penguasa di kalangan kaum Tsamud.

Secara politik mereka mempunyai posisi serta pengaruh yang kuat di tengah-tengah kaum Tsamud, apalagi kekuasaan ekonomi juga dalam genggaman mala’ ini, yang mewujud dalam kehidupan penuh dengan gelimang pesona dunia hingga membuat mereka lalai. Relasi kuasa inilah yang menjadi kepentingan dominan untuk terus mereka pertahankan. Dengan tanpa henti mendustakan seruan Nabi Shalih untuk meng-Esakan Allah, yang mana hanya diikuti oleh orang-orang lemah lagi tertindas. Maka secara ekonomi-politik, tentu saja para penguasa yang kaya raya ini mempunyai kepentingan yang bertentangan dengan misi perjuangan Nabi Shalih beserta pengikutnya. Wallahu a’lam