Beranda blog Halaman 246

Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 222: Ikhtiar Menyucikan Diri Lahir dan Batin

0
tafsir surah Al-Baqarah ayat 222_ikhtiar menyucikan diri lahir dan batin
tafsir surah Al-Baqarah ayat 222_ikhtiar menyucikan diri lahir dan batin

Manusia sedari awal penciptaanya terdiri dari dua hal, fisik, pisikis, lahir dan batin. Khusus untuk dua unsur yang terakhir, lahir atau zahir biasanya diarahkan kepada jasad (anggota tubuh) karena dapat dilihat oleh panca indera, sementara batin biasanya diarahkan pada ruh karena tidak dapat dilihat oleh panca indera. Mengingat dua unsur tersebut selalu ada pada manusia, maka berlaku pula pada sifat atau predikat yang diterima oleh manusia, mutatahhirin (orang-orang yang menyucikan diri) misalnnya.

Predikat mutatahhirin (orang-orang yang menyucikan diri) sendiri dalam surah Al-Baqarah ayat 222 disebut sebagai orang yang disenangi oleh Allah. Jika memang dua unsur manusia di awal tadi selalu ada pada predikat manusia, maka yang dikatakan mutatahhirin adalah bukan hanya orang yang suci lahir (fisiknya) saja, tetapi juga suci batinnya.

Namun sayang sekali, masih sangat banyak orang yang lupa perihal ‘menyucikan batin’. Ini dapat dilihat salah satunya pada anjuran pencegahan di masa pandemi. Banyak sekali yang hanya peduli pada kesucian lahiriyah saja, suci badan dan tempat dari hal-hal najis dan melewatkan dan penyucian batin. Ada banyak pencegahan-pencegahan yang dianjurkan hanya bersifat lahiriyah, seperti memakai masker, cuci tangan, menjaga jarak dan lain sebagainya. Ini tentu tidak salah, namun akan lebih bagus jika anjuran tadi itu disempurnakan dengan anjuran ‘batiniyah’.

Baca Juga: Tafsir Surah Ali Imran Ayat 42: Meneladani Kebersihan dan Kesucian Diri Siti Maryam

Mutatahhirin: orang-orang yang menyucikan diri lahir dan batin

Menyucikan diri lahir dan batin ini salah satu yang coba diingatkan oleh Al-Quran dalam surah Al-Baqarah ayat 222. Di situ dikatakan bahwa Allah swt suka kepada hamba-Nya yang mutatahhirin (orang-orang yang tidak hanya memperhatikan kesucian lahiriyahnya, melainkan pula kesucian batin). Berikut bunyi ayatnya,

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ…….

“……Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang menyucikan diri” (QS. Al-Baqarah [2]: 222).

Menurut Rasyid Ridha dalam tafsirnyaو al-Manar” menyucikan diri di sini dibagi menjadi dua opsi. Pertama, mensucikan diri secara hissiyah atau lahiriyah (sesuatu yang dapat dicapai dengan panca indera). Kedua, mensucikan diri secara maknawiyah atau batiniyah (sesuatu yang tidak dapat dicapai panca indera). (Rasyid Ridha, 1990: 215)

Adapun yang dimaksud dengan mensucikan diri secara hissiyah yaitu seperti mensucikan badan dari segala kotoran, hadast (besar maupun kecil) serta dari kejelekan-kejelekan dan kemungkaran. Sedangkan yang dimaksud dengan mensucikan diri secara maknawiyah yaitu mensucikan hati dari segala penyakit misalnya riya’, takabur, hasud dan lain-lain dengan cara bertaubat kepada Allah swt.

Senada dengan Rasyid Ridha, dalam “Taysir al-Karim al-Rahman”, al-Sa’di juga menyatakan maksud dari “Wa Yuhibbul Mutathahhirin” yaitu mencakup orang-orang yang membersihkan diri dari berhala-berhala dan juga orang-orang yang membersihkan anggota badan dari najis dan hadast (kecil maupun besar).

Lanjutnya, thaharah atau bersuci di dalam Islam disyari’atkan secara mutlak karena Allah swt mencintai orang-orang yang disifati dengan demikian. Ia juga menegaskan bahwa mensucikan di sini juga dapat diterapkan pada hal yang sifatnya maknawi misal mensucikan diri dari akhlak yang hina, sifat-sifat serta perbuatan-perbuatan yang tercela. (Al-Sa’di, 2000: 100)

Baca Juga: Tafsir Surat Al-A’raf Ayat 180: Anjuran Berdoa dan Berdzikir dengan Asmaul Husna

Seseorang yang senantiasa menyucikan diri yang sifatnya batin maka ia akan senantiasa berzikir, mengingat Allah. Dengan demikian ia juga akan mendapatkan kegembiraan dan ketentraman hati dalam menjalani kehidupannya. Allah berfirman dalam QS. Taha [20]: 130.

فَاصْبِرْ عَلَى مَا يَقُولُونَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا وَمِنْ آنَاءِ اللَّيْلِ فَسَبِّحْ وَأَطْرَافَ النَّهَارِ لَعَلَّكَ تَرْضَى

Maka bersabarlah kamu atas apa yang mereka katakan, bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang. (Q.S al-Taha [20]: 130)

Dalam kitab Tafsir al-Maraghi dijelaskan bahwa pada ayat ini Allah swt memerintahkan Nabi Muhammad saw agar bersabar menghadapi cemoohan orang-orang kafir terhadap ajarannya dan juga diperintah untuk bertasbih. Tentu saja hal ini bertujuan agar Nabi Muhammad ridha (rela, tenang dan menerima dengan lapang dada atas apa yang menimpa dirinya), sebagaimana tersirat dalam akhir ayat, la‘allaka tarda. (Al-Maraghi, hal. 162). Dengan ridha tentu hati akan menjadi tenang dan tidak panik dalam menghadapi segala yang terjadi.

Berzikir untuk menenangkan hati

Ayat lain yang juga memperkuat peran zikir dalam menenangkan hati yaitu surah al-Ra‘d [13]: 28.

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram.

Baca Juga: Surah Ar-Ra’d [13] Ayat 28: Zikir Dapat Menenangkan Hati

Menurut al-Sa’di kata zikir memiliki dua tafsiran. Pertama, zikir seperti membaca tasbih, tahlil dan takbir kepada Allah, sehingga seorang hamba tidak akan tentram hatinya kecuali dengan berzikir kepada Allah, tidak ada sesuatu yang lebih lezat ataupun manis selain cinta kepada Allah, mendekatkan diri serta bermakrifat kepada-Nya. Ukuran kecintaan dan makrifat kepada Allah ialah sesuai dengan zikir yang dilakukan.

Kedua, ketentraman hati didapat ketika mengetahui makna-makna dan hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an karena akan menunjukkan kepada seorang hamba kenenaran yang terang disertai dengan dalil-dalil di dalamnya. Pada bagian ini, ketentraman tidak akan didapat kecuali dengan keyakinan dan pengetahuan.

Patutlah kita perhatikan juga kesucian batin ini, terlebih dalam kondisi seperti sekarang, di masa pandemi. Beruntung, kita bangsa Indonesia di Indonesia masih punya beberapa guru yang selalu mengingatkan untuk senantiasa berzikir, ajakan istighotsah, doa bersama mengetuk pintu langit meski melalui virtual, tidak lain untuk memohon ketenangan hati, perlindungan dan keselamatan kita semua. Wallahu a’lam

Tujuh Prinsip Politik Islam dalam Al-Quran

0
Politik islam dalam Al-Quran
Politik islam dalam Al-Quran

Pada dasarnya Islam tidak pernah mendoktrinkan sebuah sistem politik tertentu secara utuh dan baku. Politik dalam Islam sangatlah lentur dan dinamis, terlihat dari bagaimana rekam jejak Nabi dan para penggantinya yang disebut Khulafaurrasyidin mengelola kehidupan politik umat Islam di awal sejarah.

Karena itu istilah negara Islam (darul/daulah islam) atau pun khilafah tidak pernah disebut dalam Al-Quran dan tidak diajarkan dalam hadis. Al-Quran hanya pernah menyebut kata khalifah merujuk pada peran manusia di bumi dan khalaif merujuk pada sebuah generasi. Keduanya tidak mempunyai konotasi politik dan apalagi, tidak bisa disebut sebagai sistem politik.

Relasi Islam dan politik memang telah diperbincangkan sejak sangat lama. Beberapa ulama yang pernah mengkaji politik Islam di antaranya adalah al-Farabi (w. 339 H), al-Mawardi (w. 450 H), al-Ghazali (w. 505 H), Ibn Taymiyah (728 H) dan Ibn Khaldun (w. 784 H). Dan di era kontemporer di antaranya adalah Jamaludin al-Afghani (w. 1897 M), Hasan al-Banna (w. 1949 M), Abdul Wahab Khalaf (w. 1956 M), Ali Abd al-Raziq (w. 1966 M), Sayyid Quthb (w. 1966), al-Maududi (w. 1979 M), Abdurrahman Wahid (w. 2009 M), dan lainnya.

Semua teori tentang politik Islam yang ditawarkan oleh para tokoh tersebut adalah bersifat ijtihadi dengan kebenaran yang relatif, tidak ada yang qot’i al-dilalah berasal dari nas Al-Quran. Karena itu tawaran tentang gambaran seperti apa politik Islam sangat beragam dan jauh dari kata baku. Masing-masing ijtihad dipengaruhi oleh kondisi sosial-politik negara pada saat mereka hidup. Sehingga bentuk sistem politik Islam pada dasarnya sangat fleksibel menyesuaikan kondisi yang maslahat di masing-masing negara, bisa saja republik, kerajaan, keamiran, maupun lainnya.

Baca Juga: Adakah Dalil Nasionalisme? Inilah Dalilnya dalam Al Quran

Tujuh prinsip politik Islam

Namun meski Islam tidak mengajarkan sebuah sistem yang utuh tentang politik, Islam menekankan sejumlah prinsip dan moralitas berpolitik dan bernegara. Paling tidak ada tujuh prinsip politik Islam yang tersirat di dalam Al-Quran. Pertama, Amanah. Dikarenakan seorang politisi adalah pemegang mandat rakyat atau konstituen di mana di dalamnya terkandung sebuah perjanjian (baiat/pemilu), maka menjalankan amanah merupakan sebuah kewajiban. Hal tersebut disampaikan oleh Allah dalam QS al-Nisa [4] ayat 58: “Sesungguhnya Allah menyuruh kalian untuk menunaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.” Di sisi lain, bagi rakyat juga ada kewajiban menaati seorang pemimpin (QS. Al-Nisa [4]: 59).

Kedua, keadilan (‘adalah), merupakan sebuah prinsip yang sangat ditekankan oleh Islam sebagai soko guru dalam bernegara. Keadilan harus dijalankan dengan kejujuran, ketulusan dan integritas. Keadilan ini berlaku untuk semua makhluk, tanpa memandang status sosial, ras, suku, agama maupun kedekatan hubungan. Allah SWT berfirman: “Berlakulah adil walaupun terhadap kerabat.” (QS. Al-An’am [6]: 152) Juga: “Berlakulah adil, karena adil itu lebih dekat dengan takwa.” (QS. Al-Maidah [5]: 8).

Ketiga, musyawarah (syura). Musyawarah merupakan sebuah etika politik utama, yang bersifat komunikatif-dialogis. Musyawarah merupakan sebuah media mencapai hasil mufakat atau pengambilan jalan tengah. Dengan musyawarah, totalitarianisme dan penggumpalan kekuasaan pada satu orang yang lebih berpotensi keliru dapat diminimalisir. Allah SWT berfirman: “Hendaklah urusan mereka tentang permasalahan dunia diputuskan dengan bermusyawarah di antara mereka.” (QS. Al-Syura [42]: 38). Pesan yang hampir sama juga disampaikan oleh QS. Ali Imran [3] ayat 159. Dalam prinsip ini pula nasehat dan kritik konstruktif terhadap penguasa menemukan legitimasinya.

Keempat, kebhinekaan dan kebangsaan (sya’bi). Prinsip ini sebagaimana penjelasan Allah SWT dalam firman-Nya: “Hai manusia, sesugguhnya kami menciptakan kalian dari seorang lelaki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar supaya kamu saling memahami. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah di antara kalian adalah yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat [49]: 13). Berdasarkan ayat ini, kebhinekaan merupakan hal yang niscaya dan dalam konsteks bernegara semua mempunyai hak dan kewajiban yang setara, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi dalam susunan Piagam Madinah.

Baca Juga: Kebhinnekaan dalam Al-Quran

Kelima, kebebasan (huriyah). Dalam kehidupannya, manusia dihadapkan pada konsekuensi dan tanggungjawab. Itu meniscayakan adanya sebuah kebebasan dalam memilih setiap langkah kehidupan. Sebuah konsekuensi tidak mungkin dibebankan kepada manusia yang dipaksa tanpa punya kehendak memilih. Manusia sendiri dilahirkan dalam keadaan merdeka. Karena itu kebebasan memilih merupakan hakikat kehidupan manusia di bumi ini. Kebebasan dijamin bahkan dalam sebuah hal yang sangat prinsip, yaitu memilih agama. Allah SWT berfirman: “Tidak ada paksaan dalam memeluk agama.” (QS. Al-Baqarah [2]: 256). Dalam hal ini, adanya kebebasan beragama tidak menafikan pentingnya dakwah dan dalam konteks bernegara di ruang publik, kebebasan seseorang harus dibatasi oleh kebebasan orang lain.

Keenam, kemaslahatan dan kesejahteraan, merupakan salah satu tujuan utama didirikannya sebuah negara. Karena itu politik seorang negarawan harus berorientasi pada kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat, sebagaimana digambarkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya: “Sesungguhnya bagi kaum Saba ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun.” (QS. Saba’ [34]: 15)

Ketujuh, perdamaian (salam). Pada dasarnya Islam merupakan agama yang mencintai perdamaian. Jalan damai merupakan jalan yang selalu dipilih oleh Nabi sebagaimana terlihat dalam Suluh Hudaybiyah, meski Nabi harus menerima konsekuensi yang pahit. Adapun perang merupakan sebuah jalan keluar yang terjadi karena situasi yang darurat, yaitu adanya serangan musuh. Dalam kondisi negara yang damai lah umat beragama bisa beribadah dengan khusyuk dan tenang. Dalam kondisi damai pula Islam bisa didialogkan kebenarannya dengan umat agama lain. Terkait ini Allah SWT berfirman: “Apabila mereka cenderung pada perdamaian, maka penuhilah perdamaian itu.” (QS. Al-Anfal [8]: 61).

Baca Juga: Makna Islam Sebagai Agama Perdamaian dalam Al-Quran

Simpulan dari pemaparan di atas adalah bahwa Islam tidak mengajarkan sebuah sistem politik tertentu yang baku. Tetapi Islam sebagai agama yang syumul, melalui kitab suci Al-Quran menekankan prinsip dan moralitas etika berpolitik dan bernegara, di antaranya adalah amanah, ‘adalah (keadilan), syura (musyawarah), kebhinekaan, huriyah (kebebasan), kemaslahatan, dan salam (perdamaian). Islam tidak mendoktrinkan sebuah bentuk formalitas sistem tetapi menekankan esensi dan substansi dalam sebuah sistem. Dengan kata lain, bukan sebuah negara berlabel Islam yang dicita-citakan, tetapi sebuah negara yang mengandung nilai-nilai islami. Di sinilah letak kesempurnaan Islam, sebagaimana disampaikan oleh kaedah, al-‘ibrah bi al-jawhar la bi al-mazhar.

Abi Laits al-Samarqandi; Mufasir Bergelar Faqih, Penulis Tafsir Bahr al-‘Ulum

0
ilustrasi gambar Abi Laits al-Samarqandi
ilustrasi gambar Abi Laits al-Samarqandi

Selain menguasai ilmu Al-Quran, tidak sedikit mufasir yang juga menguasai banyak bidang disiplin ilmu lain, sebut saja Abi Laits al-Samarqandi, seorang mufassir dari Samarkand yang terkenal dengan karyanya Tafsir al-Samarqandi al-Musamma Bahr al-‘Ulum. Beliau merupakan mufasir yang memiliki keahlian dalam berbagai macam bidang disiplin ilmu selain tafsir, salah satunya yaitu bidang fiqih.

Abi Laits cukup ahli dalam bidang fiqih, bahkan dalam muqaddimah tafsirnya yang telah ditahqiq (dikoreksi) dan dita’liq (dikomentari) salah satunya oleh Dr Zakariya Abd al-Majid al-Nauti disebutkan bahwa keahlian Abi Laits dalam bidang fiqih telah sampai kepada derajat yang tinggi, sehingga beliau menyandang gelar al-faqih. Untuk lebih jelasnya berikut uraian terhadap Abi Laits al-Samarqandi;

Baca Juga: Jalaluddin As-Suyuthi: Pemuka Tafsir yang Multitalenta dan Sangat Produktif

Biografi Intelektual Abi Laits al-Samarqandi

Dalam muqaddimah Tafsir al-Samarqandi al-Musamma Bahr al-‘Ulum (Juz 1, hal  6) disebutkan bahwa Abi Laits al-Samarqandi memliki nama lengkap Nashr bin Muhammad bin Ibrahim al-Khithab al-Samarqandi al-Tauzi al-Balkhi, ada yang mengatakan Nashr bin Muhammad bin Ahmad (Muhammad) bin Ibrahim al-Samarqandi. Selain dikenal dengan panggilan Abi Laits beliau juga dikenal dengan panggilan al-Samarqandi yang merupakan nama kunyah dari penyandaran kepada kota kelahirannya, Samarkand, salah satu kota besar di Khurasan, kini masuk wilayah negara Uzbekistan yang sebelum 1 September 1991 merupakan bagian dari Uni Soviet.

Dibesarkan oleh kedua orang tua yang shalih dan shalihah menjadikan Abi Laits seorang yang dekat dengan agama. Beliau lahir antara tahun 301-310 H, tidak diketahui secara pasti tahun berapa beliau dilahirkan. Sejak dini Abi Laits telah menghafal al-Qur’an kepada orang tuanya serta menuntut ilmu agama kepada para ulama’ Samarkand hingga menginjak usia remaja.

Ketika menginjak remaja Abi Laits telah meninggalkan tanah kelahirannya untuk melanjutkan Thalab al-‘Ilmi. Perjalanan beliau dalam menuntut ilmu cukup panjang hingga bertemu dengan banyak ulama’ hebat dalam berbagai bidang disiplin ilmu yang kemudian menjadi gurunya seperti Muhammad bin Ibrahim al-Taudzi, Abu Ja’far al-Handawani (Abu Ja’far al-Balkhi), Khalil bin Ahmad al-Qadhi, Muhammad bin al-Fadhl al-Balkhi dan lain sebagainya, seperti yang tertulis dalam muqaddimah tafsirnya (Juz 1 hal 9).

Hal tersebut menjadikan faktor mahirnya seorang Abi Laits al-Samarqandi dalam berbagai bidang disiplin ilmu selain tafsir. Sejak muda Abi Laits memang sudah terkenal sebagai ulama’ yang ahli dalam bidang tafsir, nahwu, aqidah, sastra, dan hukum (fiqih).

Terlebih dalam bidang hukum, beliau sangat mahir hingga mampu meyakinkan banyak orang dengan argumentasi yang kuat, tidak heran ketika beliau berkunjung ke beberapa kota seperti Baghdad di Iraq dan Hamadan di Yaman pasti akan ramai orang datang untuk berdiskusi dengannya bahkan berguru dan menjadi muridnya, seperti Luqman bin Hakim al-Farghani, Na’im al-Khathib Abu Malik, Muhammad bin Abdurrahman al-Zabiri, Ahmad bin Muhammad Abu Sahl, Thahir bin Muhammad bin Ahmad bin Nashr Abu ‘Abdillah al-Haddadi.

Kenyataan tersebut sesuai dengan apa yang telah disebutkan di awal bahwa Abi Laits al-Samarqandi memiliki laqab (gelar) al-Faqih (pada saat itu tidak seorang pun yang menyamai pada tingkatan tersebut). Gelar tersebut didapat langsung dari Rasulullah SAW melalui mimpinya, oleh karena itu Abi Laits begitu menyukai gelar al-Faqih tersebut.

Seperti yang telah ditulis Abi Laits dalam muqaddimah tafsirnya dimana peristiwa tersebut terjadi ketika beliau mengarang kitab “Tanbih al-Ghafilin”, saat itu Abi Laits membawa kitab tersebut untuk sowan ke Raudhah-Nya Nabi SAW dan beliau menginap disana, kemudian ketika Abi Laits tertidur beliau bermimpi melihat Nabi SAW mengambil kitabnya seraya berkata “ambillah kitabmu wahai Faqih”, lalu beliau pun terjaga dan beliau menemukan di dalam kitabnya tempat-tempat yang dikoreksi oleh Nabi SAW. Disamping gelar al-Faqih Abi Laits juga memiliki gelar Imam al-Huda.

Abi Laits al-Samarqandi wafat pada malam selasa 11 Jumadil Akhir, namun mengenai tahun kewafatannya terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama’. Beberapa ulama’ sependapat bahwa Abi Laits wafat pada tahun 393 H seperti al-Dawidi dalam kitabnya Thabaqat al-Mufassirin (Juz 2 hal 346), Abu al-Fida’ dalam kitabnya Taj al-Tarajim (hal 310), dan Umar Ridha Kahalah dalam kitabnya Mu’jam al-Muallifin (Juz 4 hal 24), sementara Muhammad ‘Abd al-Hay dalam kitabnya Tarajim al-Hanafiyah (hal 220) mengatakan Abi Laits wafat pada tahun 383 H, kemudian Muhy al-Din Abi Muhammad mengatakan pada tahun 373 H yang ia tuangkan pada kitabnya al-Jawahir al-Madhiyah (Juz 3 hal 196), sedangkan Muhammad Ali Iyazi dalam kitabnya al-Mufassirun Hayatuhum Wa Manhajuhum (hal 173) menyebutkan bahwa Abi Laits wafat pada tahun 375 H yang bertepatan dengan tahun 983 M.

Baca Juga: Wahbah az-Zuhaili: Mufasir Kontemporer yang Mendapat Julukan Imam Suyuthi Kedua

Karya-Karya Abi Laits al-Samarqandi

Semasa hidupnya Abi Laits al-Samarqandi berhasil menghasilkan beberapa karya besar, salah satunya yang masyhur ialah Tafsir al-Samarkandi al-Musamma Bahr al-‘Ulum. Karena Abi Laits seorang mufassir yang ahli dalam berbagai bidang disiplin ilmu, beliau juga menulis kitab-kitab di luar bidang tafsir, seperti dalam bidang fiqih, tasawuf, dan Ushul al-Din. Untuk lebih jelasnya berikut daftar beberapa karya yang telah dihasilkan Abi Laits al-Samarkandi:

Bidang Tafsir

  • Tafsir al-Samarkandi al-Musamma Bahr al-‘Ulum

Bidang Fiqih

  • Khizanat Al-Fiqh
  • Uyun al-Masail
  • Muqaddimat Abi Laits al-Samarqandi fi al-Shalat
  • al-Nawazil fi al-Fatawa
  • Ta’sis al-Nadzair al-Fiqhiyyah
  • Al-Nawadi al-Muqayyad
  • Al-Mabsuth fi Furu’ al-Fiqhi al-Hanafi
  • Syarh al-Jami’ al-Kabir dan Syarh al-Jami’ al-Shagir karya dari Muhammad bin Hasan Al-Syaibani
  • Muqaddimah fi Bayan al-Kabair wa al-Shaghair
  • Fatawa Abi Al-Laits

Bidang Tasawuf

  • Tanbih al-Ghafilin
  • Bustan al-‘Arifin
  • Qurrat al-‘Uyun wa Mufrih al-Qalb al-Mahzun

Bidang Ushul al-Din

  • Ushul al-Din
  • Bayan ‘Aqidah al-Ushul
  • Asrar al-Wahyi
  • Risalah fi Ma’rifah wa al-Iman
  • Risalah fi al-Hukm
  • Qut al-Nafs fi Ma’rifah al-Arkan al-Khams.

Baca Juga: Imam At-Thabari, Sang Maestro Tafsir Al-Quran Pertama Dalam Islam

Karya-karya tersebut sedikit banyak berhasil menggambarkan kepribadian seorang Abi Laits, seperti yang disebutkan dalam kitab al-Mufassirun Hayatuhum Wa Manhajuhum (hal 173) bahwa Abi Laits al-Samarqandi merupakan seorang mufassir yang bermadzhab fiqih Hanafi, hal tersebut terlihat dari beberapa karya fiqihnya yang menguraikan cabang-cabang mazhab Hanafi seperti kitab Ta’sis al-Nadhair al-Fiqhiyyah dan ‘Uyun al-Masail.

Terlepas dari apapun itu, Abi Laits al-Samarqandi atau yang memliki nama lengkap Nashr bin Muhammad bin Ibrahim al-Khithab al-Samarqandi al-Tauzi al-Balkhi merupakan sosok mufassir hebat yang pernah lahir di muka bumi.

Adab Lahiriah dan Adab Batiniah dalam Membaca Al-Qur’an

0
Adab lahiriah
Adab lahiriah dan adab batiniah dalam membaca al-Quran

Membaca Al-Qur’an merupakan ibadah, yang bahkan pada pengertian tertentu disebut sebagai cara seorang berkomunikasi dengan Allah Swt. Karena itu, membaca Al-Qur’an semestinya dilakukan dengan adab. Dalam konteks ini, Ibrahim Eldeeb menawarkan sepuluh adab yang dibagi dalam adab lahiriah dan adab batiniah. Keduanya mesti dilakukan ketika membaca Al-Qur’an, sebagaimana tertuang dalam bukunya be a Living Qur’an (2005).

Ada dua jenis adab, yakni adab lahiriah dan adab batiniah. Yang dimaksud adab lahiriah adalah adab-adab yang berkaitan tingkah laku dapat diketahui dengan kasat mata, mulai dari sebelum hingga selesai mambaca Al-Qur’an. Sementara itu, yang dimaksud adab batiniah adalah adab-adab yang berkaitan pikiran dan hati, yang dilakukan secara bertahap. Dari keduanya, tulisan ini akan membahas dua jenis adab tersebut.

Adab Lahiriah dalam Membaca Al-Qur’an

Dalam buku be a Living Qur’an, Ibrahim Eldeeb menawarkan sembilan adab lahir yang dapat dilakukan ketika membaca Al-Qur’an: (1) Berwudhu dan menghadap Kiblat, (2) Ukuran bacaan, (3) Tartil, (4) Menangis, (5) Memenuhi hak ayat, (6) ta’audz, (7) Berinteraksi dengan ayat sesuai kandungannya, (8) Membaca dengan suara keras, dan (9) Menghias dan memerdukan suara.

Mengenai berwudhu dan menghadap Kiblat, dikatakan bahwa dua keadaan tersebut merupakan keadaan yang paling baik untuk membaca Al-Qur’an. Mengenai ukuran bacaan, dikatakan bahwa paling cepat adalah tiga hari dalam mengkhatamkan seluruh Al-Qur’an (30 Juz), dan paling lama adalah sebulan. Ini berdasarkan hadis, yang menunjukkan bahwa ukuran bacaan yang paling tepat berada di antara kedua waktu tersebut.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-A’raf Ayat 204: Adab Seorang Mukmin Ketika Mendengar Lantunan Ayat-Ayat Al-Qur’an

Mengenai tartil dengan cara yang benar. Banyak ayat Al-Qur’an yang menganjurkan agar dibaca dengan tartil, misalnya dalam QS. Al-Muzzammil: 4 “Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan tartil”. Dalam QS. Al-Baqarah: 121 dikatakan “Orang-orang yang telah Kami berikan al-Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenar-benarnya”.

Mengenai menangis. Dalam hadis riwayat Ibnu Majah dikatakan bahwa “Sesungguhnya Al-Qur’an itu dibaca dengan sedih, dan jika kamu sekalian membacanya maka bersedihlah”. Dengan ini, disunahkan membaca Al-Qur’an dengan menangis, terutama karena mengetahui makna ayat-ayat yang dibaca. Sehingga menghasilkan kelembutan hati setiap kali membacanya.

Mengenai hak ayat, maksudnya adalah apabila membaca ayat sajdah maka disunahkan bersujud khususnya ketika dalam keadaan suci. Mengenai ta’audz, dianjurkan setiap kali mengawali bacaan Al-Qur’an. Mengenai berinteraksi dengan ayat sesuai kandungannya, di antaranya dengan bertasbih kepada Allah SWT ketika membaca ayat-ayat yang mengandung tasbih, bertakbir ketika membaca ayat-ayat mengandung takbir, bertighfar, membaca do’a, dan seterusnya sesuai ayat-ayat yang dibaca.

Mengenai membaca dengan suara keras, yakni dengan suara yang dapat didengar oleh dirinya sendiri dan orang lain di dekatnya. Hal ini agar tatap semangat membaca, dan tidak mengantuk, selain itu juga dapat membantu memahami dan menghayati ayat yang dibaca, serta dapat menginspirasi orang yang didekat kita.

Mengenai menghias dan memerdukan suara, sebagaimana hadis-hadis Nabi. Misalnya “Hiasilah Al-Qur’an itu dengan suaramu” (HR. Abu Dawud). Yang dimaksud dengan menghias di sini adalah membuat suara indah dan merdu ketika membaca Al-Qur’an.

Adab Batiniah dalam Membaca Al-Qur’an

Selanjuntnya, Ibrahim Eldeeb menawarkan sepuluh adab batin yang dapat dilakukan ketika membaca Al-Qur’an: (1) Memahami kebesaran dan keagungan firman Allah SWT, (2) Mengagungkan Allah SWT, (3) Memutuskan perhatian, (4) Penghayatan, (5) Pemahaman, (6) Menghindari hal-hal yang dapat menghalangi pemahaman, (7) Pengkhususan, (8) Merasakan pengaruh Al-Qur’an, (9) Meningkat, (10) Lepas dari diri.

Mengenai memahami kebesaran dan keagungan firman Allah SWT, ini berdasarkan di antara dari tujuan diturunkanna Al-Qur’an. Salah seorang arif berkata “Sesungguhnya setiap huruf Al-Qur’an tersimpan di Lauh Mahfuz dan andaikan seluruh malaikat bersatu untuk mengangkat satu huruf Al-Qur’an, maka niscaya mereka tidak mampu melakukannya. Hal itu karena Al-Qur’an adalah firman Allah SWT yang suci dan jauh dari segala kekurangan dan kesalahan”.

Mengenai mengagungkan Allah SWT, yakni dengan menghayati kebesaran dan keagungan Allah SWT ketika membaca ayat-ayat Al-Qur’an. Mengenai memusatkan perhatian, yaitu dalam rangka mempelajari, menghayati, memahami dan memusatkan segala perhatian dan kemampuan kepada Al-Qur’an.

Mengenai penghayatan, yakni dilakukan di antaranya dengan konsentrasi secara penuh. Ali ibn Abi Thalib pernah berkata “Tidak ada gunanya ibadah yang tidak disertai dengan pemahaman. Begitu pula dengan bacaan Al-Qur’an dengan tanpa penghayatan.”

Mengenai pemahaman, yakni berusaha semaksimal mungkin memahami makna dan kandungan ayat-ayat sebagaimana mestinya. Misalnya, ayat tentang sifat-sifat Allah SWT, kisah-kisah para Nabi, peristiwa di hari akhir. Semua ini menuntut kemampuan kita mengikuti pemahaman antara satu ayat dengan ayat lainnya.

Menghindari hal-hal yang dapat menghalangi pemahaman, di antaranya ada empat: (1) Kurang konsentrasi dalam melafalkan huruf sebagaimana mestinya dari makhrajnya. (2) Bertaklid dan fanatik terhadap mazhab tertentu yang pernah didengar atau dipelajari. (3) Selalu berbuat maksiat, baik dosa kecil maupun besar. (4) Pernah membaca sebuah kitab tafsir, lalu berkeyakinan bahwa tidak ada lagi penafsiran lain selain itu.

Mengenai pengkhususan, yakni selalu berusaha merasakan seakan-akan setiap ayat Al-Qur’an itu secara khusus mengajark dirinya berbicara, sehingga merasa bertanggungjawab untuk mengamalkannya, juga merasa bahwa dirinya akan dimintai pertanggungjawaban pada hari Kiamat atas setiap huruf Al-Qur’an.

Baca Juga: Mengenal Yahya ibn Syarf an-Nawawi, Penulis Kitab al-Tibyan fi Adab Hamalat al-Qur’an

Mengenai merasakan pengaruh Al-Qur’an, yakni ketika membaca Al-Qur’an senantiasa berpengaruh sesuai kandungan ayat-ayatnya seperti sedih, takut, penuh harapan, cintah akan keadilan, dan seterusnya. Hal ini pernah dialami oleh, misalnya, Umar ibn Khattab ketika membaca ayat “Sesungguhnya azab Tuhanmu pasti terjadi” (QS. Al-Thur: 7), maka beliau langsung jatuh sakit selama satu bulan karena merasa takut atas ancaman Allah SWT.

Mengenai meningkat, paling tidak dalam tiga tingkatan. (1) Merasakan seakan-akan membaca Al-Qur’an di hadapan Allah SWT. (2) Menyaksikan dengan hatinya seolah-olah Allah SWT melihatnya dan berbicara dengannya. (3) konsentrasi penuh berdiri di hadapan Allah SWT sebagai Pemilik firman untuk menyaksikan berbagai adegan peristiwa, perintah maupun larangan.

Mengenai lepas dari diri, yakni mengingkari daya dan kekuatan pribadi serta memandang dirinya dengan pandangan yang tidak memuaskan. Misalnya, ketika membaca ayat yang menyebutkan orang-orang shaleh, tidak akan menganggap dirinya termasuk mereka, melainkan akan tetap berdo’a dan berharap agar dapat dijadikan seperti mereka (orang-orang shaleh tersebut). Demikian beberapa adab yang dapat dipraktikkan ketika membaca Al-Qur’an agar mendapat manfaat yang lebih besar. [] Wallahu A’lam.

Surah Al-Isra Ayat 23-24: Etika dalam Merawat Orang Tua

0
Merawat Orang Tua
Merawat Orang Tua

Sebagian masyarakat di negara maju memiliki budaya yang memandang generasi tua sebagai beban bagi mereka. Panti jompo telah menjadi kebutuhan pokok bagi generasi yang lebih tua dan beberapa anak mencari cara alternatif untuk merawat orang tua mereka. Untungnya, Islam datang dengan sikap yang tegas untuk merawat dan memulikan orang tua sebagaiman tuntunan al-Quran dan Sunnah.

Tuntunan Islam dalam bersikap kepada orang tua

Dalam kitab Al-Adab al-Mufrad, ada riwayat yang menyatakan, “Al-Asy’ari berkata, “Sebagian dari menghormati Allah adalah dengan menunjukkan rasa hormat kepada orang yang tua.” Islam menyoroti pentingnya merawat orang tua, dan bahwa ini harus dilakukan sebagai upaya untuk membayar kembali waktu yang dihabiskan untuk mengurus anak. Perintah untuk menyembah selain Allah diiringi dengan perintah untuk berbakti lah kepada kedua orang tua, sebagaimana dalam ayat berikut,

 وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا  وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيٰنِيْ صَغِيْرًاۗ

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.” Surah Al-Isra`(17): 23-24.

Baca Juga: Tafsir Surah An-Nur Ayat 58-59: Etika Anak Ketika Ingin Masuk Kamar Orang Tua

Ayat ini menunjukkan bahwa peran seorang anak kepada orang tua adalah salah satu dari penghambaan. Penting untuk dicatat bahwa ayat Al-Qur’an di atas dimulai dengan perintah dari Allah, yang menunjukkan bahwa apa pun yang harus diikuti adalah kewajiban dari Yang Maha Tinggi. Perintah pertama adalah Syahadat yang menjadi Pilar Utama Islam. Kalimat tauhid yang pendek itulah yang menonjolkan keyakinan teologis umat Islam, bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa yang menciptakan Langit dan Bumi, dan memelihara ciptaan-Nya dan Nabi Muhammad SAW adalah utusan terakhir.

Dengan pemahaman tersebut, maka tidak dapat dipisahkan bakti kepada orang tua setelah menyembah Allah SWT. Al-Quran dengan tegas menggunakan perintah dalam ayat ini untuk memberi pelajaran kepada para pembaca, segera setelah menyebutkan poin teologis yang paling penting dalam agama, yaitu memerintahkan berlaku adil dan penuh kasih kepada orang tua. Para ulama telah menyatakan bahwa jika orang tua telah meninggal, maka anak bertanggung jawab untuk menjaga kerabat terdekat orang tua mereka (bibi, paman), yang lanjut usia.

Dari Abdullah bin Amr bin al-‘Ash: Nabi SAW berkata, “Bukan lah hgolongan kami, orang-orang yang tidak menunjukkan belas kasihan kepada anak-anak kita dan tidak menyadari hak-hak orang yang lebih tua” (HR. Abu Daud). Apa hak-hak orang yang lebih tua?

Seperti yang dinyatakan oleh ayat Al-Qur’an, adalah memperlakukan mereka dengan baik, dan sikap hormat yang sepantasnya mereka terima. Jika diperluas perhatian kepada orang tua sebagai balasan atas yang mereka lakukan saat seseorang masih kecil, tidak hanya berlaku bagi kerabat, tetapi juga setiap orang tua muslim yang tidak memilki kerabat, maka mereka menjadi tanggung jawab komunitas Muslim untuk merawatnya.

Abu Hurairah RA, berkata Nabi SAW berkata, “Semoga dia dipermalukan! Semoga dia dipermalukan! Semoga dia dipermalukan, yang orang tuanya, salah satu atau keduanya, mencapai usia tua selama hidupnya, dan dia tidak masuk Jannah (dengan berbakti kepada mereka)” (HR. Muslim).

Orang Tua adalah Aset Bersama

Ada kemungkinan alternatif untuk masalah yang berkembang dari rasa tidak hormat dan kurangnya perhatian bagi orang tua. Pertama, harus diingat dengan jelas bahwa pemahaman terhadap ajaran Islam secara holistik mutlak diperlukan. Siapa pun perlu diingatkan tentang Tuhan, dan mengapa manusia harus mengikuti perintah yang ditetapkan oleh syariat. Namun pendidikan dan kesadaran semata tidak akan menyelesaikan abai kepada orang tua.

Duhaka kepada orang tua dalam skala kecil biasa dilakukan seorang anak, sengaja atau tidak. Pada suami istri yang masih memiliki orang tua, tidak jarang timbul dilema. Seorang menantu tidak akur dengan mertuanya, sehingga istri atau suami berpotensi berbuat durhaka kepada orang tuanya sendiri. Bisa jadi seorang istri menolak untuk mengizinkan orang tua suaminya pindah ke rumah mereka meskipun dia tidak memiliki saudara kandung lain yang dapat membantu dalam hal ini.

Apa yang kemudian harus diselesaikan? Para ahli telah menyatakan bahwa dalam kasus seperti itu pasangan harus duduk dan berdiskusi dengan tenang satu sama lain tentang besarnya perawatan untuk orang tua. Jika seseorang masih tidak dapat hidup bersama mertua atau orang tua, maka suami-istri tersebut  harus berusaha untuk membayar bantuan keuangan orang tuanya. Tetapi keuangan bukan satu-satunya cara anak untuk merawat orang tua. Seorang anak juga wajib memberikan perhatian dan kepedulian terhadap hal-hal kecil bagi orang orang tuanya. Nabi SAW menegaskan, “Engkau dan hartamu adalah milik orang tuamu”.

Baca Juga: Pembagian Warisan Bagi Anak dan Orang Tua Menurut Al-Qur’an

Dalam lingkup komunitas, kehadiran panti jompo bagaimana pun sangat penting. Bagi mereka yang tinggal di dalam panti atau yang terpisah, maka komunitas masyarakat (atau masjid dan sejenis lembaga keuangan umat) perlu menyiapkan dana abadi untuk membantunya. Banyak organisasi keumatan yang telah tergerak melakukan ini patut diapresiasi. Sebagian komunitas menyiapkan sarana untuk merawat orang tua atau membantu mereka yang berusaha melakukannya sendiri. Bahkan ada beasiswa bagi mahasiswa yang berkenan membantu mengurus orang tua.

Apa pun bentuk kepedulian bagi orang tua muslim, terlebih adalah orang tuanya sendiri, harus didasarkan pada premis bahwa menghormati orang yang lebih tua adalah Islami. Seorang remaja yang tumbuh tidak hanya perlu diajari bahwa kepedulian, cinta, dan kasih sayang terhadap orang tua sendiri adalah kewajiban, baik bagi orang tua dari teman-teman dan orang-orang di sekitar. Orang tua laksana ‘aset’, yang menjadi kewajiban setiap muslim untuk memuliakannya. Dengan begitu maka hakikat ajaran untuk ‘menghormati orang tua’ berlaku bagi setiap individu muslim kepada individu muslim lainnya. Semoga Saya dan anda mampu melakukan amal ini sebagai wasilah menghantarkan keridhaan Allah SWT, masuk surga atas kepedulian terhadap orang tua. Wallahu A’lam.

Kembali kepada Al-Qur’an dengan Fitur Kontekstualis-Progresif Menurut Amin Abdullah

0
Amin Abdullah
Amin Abdullah

Istilah kembali kepada Al-Qur’an atau dalam bahasa Arab dikenal Al-Ruju’ ila Al-Qur’an pada dasarnya disepakati oleh setiap Muslim, dari kelompok manapun. Akan tetapi, berbeda-beda caranya yang ditempuh menuju ‘kembali’ tersebut. Di sini, Amin Abdullah mengatakan bahwa yang paling tepat digunakan oleh Muslim Indonesia untuk kembali ke Al-Qur’an adalah dengan model kontekstualis-progresif.

Pandangan Amin Abdullah tersebut diuraikan dalam tulisannya yang berjudul Al-Ruju’ ila Al-Qur’an wa Al-Sunnah. Ia mengatakan bahwa model tafsir kontekstualis-progresif mengadopsi teori system yang ditawarkan oleh Jasser Auda, terutama enam fitur rumusan hukum Islam yang dimasukkan pada cara kerja model tafsir kontekstualis-progresif. Tulisan ini akan mengulas pemikiran Amin Abdullah dalam kerangka kembali kepada Al-Qur’an.

Mengenal Amin Abdullah

Bagi sarjana Indonesia (mungkin juga dunia) nama Amin Abdullah tidaklah asing, beliau adalah pemikir dan cendikiawan muslim Indonesia era modern kontemporer. Ia dilahirkan pada 28 Juli 1953 di Pati, Jawa Tengah. Beliau menjadi rektor UIN Sunan Kalijaga dari tahun 2005-2010, Guru Besar Ilmu Filsafat di UIN Sunan Kalijaga, aktif di Muhammadiyah sebagai wakil ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah dari 2000-2005, dan lainnya.

Baca Juga: Tafsir Nusantara: Mengenal Tafsir Fatihah Karya Raden Haji Hadjid

Karya-karyanya cukup banyak, baik dalam bentuk buku, artikel jurnal berstandar nasional maupun internasional, maupun lainnya. Di antaranya adalah Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif (2006), Re-strukturisasi Metodelogi Islamic Studies Mazhab Yogyakarta (2007), Agama, Ilmu dan Budaya: Paradigma Integrasi-Interkoneksi Keilmuan (2013), Al-Ruju’ ila Al-Qur’an wa Al-Sunnah (2015), dan lainnya.

Adapun tulisan Al-Ruju’ ila Al-Qur’an wa Al-Sunnah: dari Qira’ah Taqlidiyyah ke Tarikhiyyah-Maqashidiyyah penulis dapati dalam dua buku, yakni buku Fikih Kebinekaan: Pandangan Islam Indonesia tentang Umat, Kewargaan, dan Kepimpinan non-Muslim yang diterbitkan oleh PT Mizan Pustaka, Bandung, pada tahun 2015, dan buku Kitab Suci dan Para Pembacanya yang diterbitkan oleh Stelkendo Kreatif, Yogyakarta, pada tahun 2019.

Enam Fitur Kontekstualis-Progresif

Seperti yang dikemukakan terdahulu bahwa enam fitur kontekstualis-progresif Amin Abdullah diadopsi dari tawaran Jasser Auda. Adapun keenam fitur tersebut adalah fitur kognitif, kemenyeluruhan, keterbukaan, hierarki-saling berkaitan, multi-dimensionalitas, dan kebermaksudan atau tujuan utama.

Mengenai fitur kognitif, Amin Abdullah mengatakan bahwa penafsir AlQur’an perlu mampu memisahkan terlebih dahulu antara ‘Wahyu’ dan ‘Kognisi’ terhadap wahyu. Antara ‘wahyu’ dan ‘penafsiran manusia tentang wahyu’. Dengan adanya pemahaman kognisi ini, akan menjawab permasalahan akut dalam pemahaman dan keyakinan keagamaan, antara sisi ‘kemutlakan’ dan sisi ‘kenisbian’.

Mengenai fitur kemenyeluruhan, Amin Abdullah mengatakan bahwa fitur ini merupakan berkebalikan dari pamahaman ayat-ayat secara atomistik, yakni penggunaan satu nash saja untuk menyelesaikann permasalahan. Karena itu, perlu menerapkan holism melalui operasionalisasi ‘tafsir tematik’ yang tidak lagi terbatas pada ayat-ayat hukum, melainkan juga melibatkan seluruh ayat Al-Qur’an, termasuk yang memuat sosial dan budaya, sebagai pertimbangan dalam memutuskan pemahaman yang komprohensif.

Mengenai fitur keterbukaan, Amin Abdullah mengatakan bahwa fitur ini untuk memperluas jangkauan makna ‘urf, yang tidak lagi bermakna adat kebiasaan yang berbeda dengan adat kebiasaan Arab, melainkan juga seluruh pandangan dunia dan wawasan keilmuan seseorang. Pandangan duani dan wawasan ini harus bersifat kompoten, yaitu dibangun di atas basis fondasi ‘ilmiah’.

Mengenai fitur hierarki-saling berkaitan, Amin Abdullah mengatakan bahwa fitur ini dapat memperbaiki dua dimensi dari maqashid syari’ah, yakni perbaikan jangkauan wilayah liputan maqashid, dan perbaikan wilayah jangkauan yang diliput oleh maqashid. Pada perbaikan pertama, terdiri dari maqashid umum, maqashid khusus, dan maqashid partikular. Pada perbaikan kedua, memperluas maqashid dari yang semula bersifat individual ke sosial dan publik.

Mengenai fitur multi-dimensionalitas, Amin Abdullah mengatakan bahwa fitur ini dapat menjadi tawaran solusi atas dilemma dalil-dalil yang bertentangan. Dengan demikian, hukum Islam menjadi lebih fleksibel dalam menghadapi problematika kontemporer yang kompleks, bahkan dalil-dalil yang selama ini tidak difungsikan dapat difungsikan melalui fitur multi-dimensionalitas ini.

Mengenai fitur kebermaksudan atau tujuan utama, Amin Abdullah mengatakan bahwa fitur ini ditujukan kepada sumber-sumber Islam primer, misalnya Al-Qur’an. Sehingga surah ataupun ayat-ayat yang membahas tentang keimanan, kisah para nabi, kehidupan akhirat dan alam semesta, seluruhnya akan menjadi bagian dari sebuah ‘gambar utuh’. Beberapa prinsip dasar tujuan utama dapat disebutkan di sini seperti rasionalitas, asas kemanfaatan, keadilan, dan moralitas.

Kembali Kepada Al-Qur’an

Melalui enam fitur yang telah dikemukakan terdahulu, Amin Abdullah mengatakan bahwa sesungguhnya enam fitur tersebut merupakan satu entitas keuturan alat berpikir, yang saling terkait dan saling menembus antara satu sama lain, yang kemudian membentuk satu kesatuan sistem berpikir. Pada akhirnya, Muslim dituntut untuk menyelesaikan persoalan kontemporer, paling tidak ada lima.

Baca Juga: Tiga Faktor Terjadinya Perluasan Makna Kata dalam Al-Qur’an Menurut Mardjoko Idris

Lima persoalan tersebut yakni persoalan pemerataan dan kualitas pendidikan, eksistensi Negara bangsa, martabat kemanusiaan, hubungan antar-umat berbagai agama, dan kesetaraan gender. Kelimanya ini membawa perubahan sosial yang begitu dahsyat sekarang ini. Untuk itulah, car abaca Al-Qur’an dengan model tafsir kontekstualis-progresif sangat diperlukan.

Di antara masa turunnya wahyu pertama hingga masa kini terdapat ribuan tafsir yang diolah oleh akal pikiran manusia di dalam menatap zamannya. Tidak hanya turunnya ayat demi ayat yang mempunyai konteks sosial dan budaya masing-masing, tetapi masing-masing tafsir juga mempunyai konteksnya sendiri-sendiri. Kita pun, menurut Amin Abdullah, hidup di era sekarang juga mempunyai konteks kita sendiri yang khas dan berbeda dari lainnya.

Konteks sosial, budaya, ekonomi, politik, dan perkembangan ilmu pengetahuan perlu ikut serta membentuk car abaca dan cara memahami isi pesan dan risalah autentik Al-Qur’an, yang menunjukkan sekaligus meniscayakan perlunya kembali kepada Al-Qur’an dengan model konetkstualis-progresif. [] Wallahu A’lam.

Semangat Hijrah dengan Belajar dari Kisah Masa Lalu

0
Filosofi hijrah
Filosofi hijrah

Momen hijrah adalah salah kesempatan bagi umat di abad milenial ini untuk melihat kembali cerita (atau sejarah) masa lalu. Mungkin sebagian bertanya-tanya, “Apa pentingnya, dan apa hubungan orang-orang masa lalu dengan saya saat ini?

Dunia yang kita tinggali adalah tempat yang sangat berbeda dalam hal kemajuan teknologi, ilmu pengetahuan, kedokteran, dan peradaban lainnya. Sikap acuh terhadap masa lalu dapat membahayakan masa depan, begitu kata para futurolog. Bung Karno mengeluarkan jargon Jas Merah (Jangan sekali-kali mengabaikan sejarah), atau seperti kata George Santayana, “Mereka yang tidak dapat mengingat masa lalu dikutuk untuk mengulanginya.”

Mari kita luangkan sedikit waktu untuk merenungkan dua hal penting, yakni sejarah mereka yang datang sebelum kita, sekaligus merenungkan kebijaksanaan ilahi dalam melestarikan beberapa kisah mereka dalam Al-Qur’an.

Hijrah Para Nabi

Hijrah adalah berpindah atau menyingkir untuk sementara waktu dari suatu tempat ke tempat lain yang lebih baik dengan alasan tertentu. Sebagian nabi yang mulia diperintahkan Allah SWT untuk hijrah. Allah SWT dalam al-Quran mengisahkan beberapa cerita dari orang-orang sebelumnya untuk berbagai alasan; sehingga dengan mempelajari, merenungkan, dan memahami kisah mereka, kita dapat mengambil pelajaran yang akan bermanfaat dalam menjalani kehidupan masa kini. Jadi mengetahui kisah masa umat terdahulu bukanlah omong kosong atau buang-buang waktu.

لَقَدْ كَانَ فِيْ قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۗ مَا كَانَ حَدِيْثًا يُّفْتَرٰى وَلٰكِنْ تَصْدِيْقَ الَّذِيْ بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيْلَ كُلِّ شَيْءٍ وَّهُدًى وَّرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُّؤْمِنُوْنَ ࣖ

Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai akal. (Al-Qur’an) itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya, menjelaskan segala sesuatu, dan (sebagai) petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. (Surah Yusuf, 12: 111).

Baca Juga: Momentum Hijrah di Tahun Baru, Penjelasan Surat An-Nisa Ayat 100

Allah SWT berfirman kepada Nabi Muhammad SAW, “Dan bacakanlah (Muhammad) kepada mereka, berita orang yang telah Kami berikan ayat-ayat Kami kepadanya, kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang yang sesat. Dan sekiranya Kami menghendaki niscaya Kami tinggikan (derajat)nya dengan (ayat-ayat) itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan mengikuti keinginannya (yang rendah), maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya dijulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia menjulurkan lidahnya (juga). Demikianlah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka berpikir. (Surah Al-A’raf (7): 175-176).

Meretas Hikmah: dari Taubat hingga Sabar

Pengalaman orang-orang di masa lalu mengajari kita banyak hal tentang kehidupan. Tentang diri kita sendiri, tentang rencana Tuhan bagi hamba-hamba-Nya dan hikmah di baliknya. Merujuk kisah awal dari ayah kita Adam AS kita menemukan kisah dimensi manusiawi. Kisah seorang hamba yang melupakan Tuhannya dan tergelincir dalam dosa. Tetapi yang lebih penting, dari kisahnya ada pengajaran bagi manusia, yaitu pertaubatan. Bagaimana kita menebus kesalahan? Bagaimana Tuhan bisa mengampuni kita setelah kita mengabaikan pesan-Nya, dan setelah manusia mengikuti hawa nafsu.

Orang bijak berkata, “orang pintar belajar dari kesalahannya, tetapi orang bijak belajar dari kesalahan orang lain. Ya, Adam AS membuat kesalahan. Ini patut menjadi pelajaran untuk direnungkan; bahwa dosa-dosa memiliki konsekuensi yang parah. Jika manusia bijak, ini seharusnya cukup sebagai peringatan agar terhindar dari kesalahan yang sama. Allah SWT memberitahu manusia,

يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطٰنُ كَمَآ اَخْرَجَ اَبَوَيْكُمْ مِّنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْءٰتِهِمَا ۗاِنَّهٗ يَرٰىكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهٗ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْۗ اِنَّا جَعَلْنَا الشَّيٰطِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ لِلَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ

Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman. (Surah al-A’raf/7: 27)

Jadi, Allah SWT memberitahu kita bahwa apa yang terjadi pada mereka (yang berbuat dosa) bisa terjadi pada kita jika kita lengah, tidak waspada. Meskipun Adam dianugrahi untuk dapat bertaubat, Allah SWT pun menerima taubatnya, tapi kita tidak ada jaminan dijaminan akan mengalami nasib yang sama. Sementara kita hanya punya keyakinan bahwa ada belas kasihan Allah SWT yang luar biasa terhadap orang-orang yang beriman. Seorang hamba sadar bahwa Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban atas selurh dosa-dosa yang telah diperbuat. Hukuman bisa diberikan di dunia dan juga di kehidupan selanjutnya. Allah SWT berfirman,

۞ نَبِّئْ عِبَادِيْٓ اَنِّيْٓ اَنَا الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُۙ وَاَنَّ عَذَابِيْ هُوَ الْعَذَابُ الْاَلِيْمُ

Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa Akulah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang, dan sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang sangat pedih. (Surah al-Hijr/15: 49-50)

Tetapi kita menemukan pelajaran lain dalam kisah Adam (saw), dan para nabi yang lain seperti Yunus AS, yakni pelajaran bagaimana taubat (kembali kepada Allah SWT). Jika dosa-dosa kita adalah bentuk kegagalan, maka pertobatan adalah jalan kita menuju kesuksesan. Sama seperti kita belajar dari kesalahan orang lain, kita harus melihat keberhasilan mereka yang datang sebelum kita dan mengikuti teladan mereka. Bagaimana Adam berhasil? Bagaimana Yunus berhasil?

Mereka sepenuhnya menerima kesalahan mereka sendiri dan mencari bantuan dari satu-satunya yang dapat membantu mereka, Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan memberi tahu kita tentang Yunus dengan mengatakan, “Dan (ingat) Yunus, ketika dia menyerbu dengan marah, mengira Kami tidak memiliki kuasa atas dia. Tetapi kemudian Dia berseru dalam kegelapan, ‘Tidak ada Tuhan selain Engkau! Kemuliaan bagi Anda! Sesungguhnya aku termasuk orang yang zalim!’” (21:87).

Alasan penting lainnya untuk mempelajari kisah masa silam adalah untuk menguatkan hati kita. Allah memberi tahu Nabi SAW sebagaimana dalam sabda-Nya, “Dan semua kisah rasul-rasul, Kami ceritakan kepadamu (Muhammad), agar dengan kisah itu Kami teguhkan hatimu; dan di dalamnya telah diberikan kepadamu (segala) kebenaran, nasihat dan peringatan bagi orang yang beriman (Surah Hud/11: 120).

Baca Juga: Makna Hijrah dalam Al-Quran

Ketika orang-orang beriman memahami sejarah perjuangan umat manusia dan musuhnya, mereka dikuatkan untuk mengetahui bahwa apa yang mereka alami tidak hanya terjadi pada mereka. Sebagian orang secara keliru menganggap bahwa karena Islam adalah kebenaran, maka Allah akan selalu memberikan kesuksesan kepada orang-orang yang beriman dalam setiap peristiwa dalam hidup mereka. Asumsi yang salah ini disebabkan oleh kurangnya pemahaman tentang sifat perjuangan ini, serta tentang bagaimana hukum sebab akibat Allah bekerja.

Dari kisah sejarah, kita tahu bahwa orang-orang beriman sebelum kita menderita karena berpegang teguh pada iman. Mereka harus bersabar dan meneguhkan kesabaran hingga kemudian menang. Kita dapat memahami bahwa ada tantangan dan teladan dari mereka dalam menghadapi berbagai rintangan. Dalam al-Quran, Allah SWT memberi tahu kita agar mengikuti apa yang telah diwahyukan kepadamu, dan bersabar hingga Allah memberi keputusan (Surah yunus/10: 109). Wallahu A’lam.

Tafsir Surah As-Saff ayat 2-3: Celaan Bagi Orang yang Perkataannya Tidak Sesuai dengan Tindakannya

0
Tafsir Surah As-Saff ayat 2-3: Celaan Bagi Orang yang Perkataannya Tidak Sesuai dengan Tindakannya
Surah As-Saff ayat 2-3

Jarkoni, kepanjangan dari iso ngujari tapi ora bisa nglakoni merupakan akronim dalam bahasa Jawa  yang berarti bisa berkata/menasehati tapi tidak bisa melaksanakan. Akronim jarkoni merupakan sindiran dan cemoohan bagi orang yang hanya pandai berbicara namun dia sendiri tidak melakukan apa yang dikatakannya. Akronim ini ditujukan bagi siapa saja terutama para pendakwah yang pandai berbicara, padahal dia sendiri tidak melakukan apa yang dikatakannya. Mengenai hal ini, al-Quran juga memberikan peringatan keras, yakni pada QS. As-Saff ayat 2-3

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ (2) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ (3)

Wahai orang-orang beriman! Mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan? (iu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa saja yang tidak kamu kerjakan (QS. As-Saff ayat 2-3).

Tafsir QS. As-Saff ayat 2-3

Ibn Jarir al-Tabari dalan kitabnya Jāmi` al-Bayān (juz 22, hal 607) memberikan rincian mengenai pendapat para ulama mengenai sebab ayat tersebut diturunkan. Sebagian ulama berkata bahwa ayat tersebut turun sebagai teguran dari Allah atas orang mukmin. Mereka sangat ingin tahu berbagai amalan yang paling utama. Namun ketika Allah memberitahukan amalan utama itu, mereka melakukannya tidak secara sempurna.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa sebagian kaum mukmin berkata “Demi Allah, jikalau kami mengetahui amal yang paling dicintai Allah, kami pasti akan melaksanakannya”. Lalu Allah menurunkan QS. Al-Shaf [61]: 2-4. Pada ayat keempat Allah memberitahukan amalan yang paling dicintainya, yaitu jihad di jalan Allah, namun mereka tidak senang.

Sebagian ulama berpendapat, QS. As-Saff ayat 2-3 tersebut menjadi teguran bagi sebagian sahabat Nabi yang membangga-banggakan perbuatan yang tidak mereka kerjakan. Mereka berkata “Aku melakukan ini dan itu,padahal dia tidak melakukannya dan Allah mencela mereka sebab sesuatu yang tidak mereka kerjakan.

Diriwayatkan dari Qatadah bahwa ayat tersebut berkaitan dengan seruan jihad di mana ada seorang laki-laki berkata “Aku pasti berperang, aku pasti melakukannya,” padahal dia tidak melakukannya. Maka Allah menegurnya dengan teguran yang keras.  Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa ayat tersebut merupakan teguran kepada orang-orang munafik yang berjanji kepada orang-orang mukmin untuk menolong mereka di medan perang namun ternyata mereka berbohong.

Ibn Katsir menjelaskan bahwa QS. Al-Shaf [61]: 2 merupakan bentuk pengingkaran terhadap sikap orang yang berjanji namun tidak ditepatinya  atau yang berkata namun tidak sesuai dengan apa yang dikatakannya.

Baca juga: Fenomena Ghosting dan Pentingnya Memenuhi Janji: Tafsir Surah An-Nahl Ayat 92

Melalui QS. As-Saff ayat 2-3 ini, para ulama salaf  menjadikannya dalil mengenai wajibnya menepati janji secara mutlak. Baik itu janji yang bisa mengakibatkan denda atau tidak. Para ulama salaf tersebut juga berhujjah dengan  hadis shahih, Rasulullah bersabda “Tanda-tanda orang munafik ada tiga: ketika berkata, dia berbohong, ketika dia berjanji, dia mengingkari, dan ketika dipercaya, dia berkhianat.” (Ibnu Katsir, Tafsir Ibn al-Kaṡīr, juz 8, hal 105).

Allah tidak hanya mengingkari (menolak) perbuatan tersebut, namun juga sangat membenci perbuatan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari redaksi ayat selanjutnya كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ  . Lafaz maqtan dalam ayat tersebut bermakna asyaddul bukhdhi (sangat dibenci). Apalagi kebencian tersebut berkaitan dengan bencinya Allah, maka lebih menakutkan lagi peringatan ini. Manusia tidak bisa membayangkan jika dia dibenci Allah, Sang pencipta.

Selain itu, redaksi ayatnya disertai dengan pengulangan mā lā taf’alūn. Ketika ada satu lafaz yang sama diulang dalam satu kalam (pembicaraan), itu menunjukkan betapa ngeri dan agungnya hal tersebut (al-Qasimi, Maḥāsin al-Ta`wīl, juz 9, hal 216).

Ali al-Shabuni (Shafwah al-Tafāsīr, hal 1325) mengutip sebuah pendapat yang menyatakan bahwa termasuk orang yang perkataannya tidak sesuai dengan tindakannya adalah orang-orang yang memerintahkan saudaranya untuk melakukan kebaikan namun dia sendiri tidak melaksanakannya, atau melarang perbuatan mungkar namun dia tidak melarang dirinya sendiri. Hal ini sebagaimana Firman Allah “mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca Kitab ? Tidakkah kamu mengerti “ (QS. Al-Baqarah [2]:44).

Berkaitan dengan ayat ini, Al-Qurthubi mengutip riwayat dari Anas bin Malik dalam Musnad Ahmad hadis nomor 12940; “Ketika malam aku di-isra’-kan, aku melewati suatu kaum yang lidahnya dipotong-potong dengan gunting api. Aku bertanya ‘siapakah mereka itu Wahai Jibril?’. Dia menjawab ‘Mereka adalah juru dakwah umatmu, mereka memerintahkan orang-orang untuk berbuat kebaikan namun melupakan diri mereka sendiri padahal mereka membaca Kitab. Tidakkah mereka berakal?.” (Tafsir al-Qurtubi, juz 1, hal 365).

Baca juga: Sisi lain dari Isra Mikraj Nabi Muhammad Saw, Tafsir Alternatif Surah Al-Isra ayat 1

Penutup

Imam al-Ghazali dalam Bidāyah al-Hidāyah (halaman 27)  memasukkan ulama su’ (ulama yang buruk) termasuk orang yang perkataannya tidak sesuai dengan tindakannya. Mereka berpura-pura dengan ilmunya untuk memperbanyak harta, membanggakan pangkat, mencari pengikut, menaklukkan tempat yang bisa dia taklukkan, dan mengharap bagiannya di dunia yang kesemua niat ini dia sembunyikan dalam dirinya.

Mereka seolah-olah mengajak manusia untuk berpaling dari dunia, padahal sebenarnya mereka menggiring manusia untuk mencintai dunia karena lisānul ḥāl afshaḥu min lisānil maqāl,  yaitu bahasa perbuatan lebih fasih daripada bahasa lisan. Sedangkan tabiat manusia lebih cenderung meniru apa yang dilakukan daripada apa yang dikatakan.

Ayat tersebut memberikan peringatan kepada kita untuk selalu menepati apa yang kita janjikan dan berkata sesuai dengan perbuatan. Ayat ini juga mengajarkan kita untuk selalu berusaha menyesuaikan dengan apa yang yang kita yakini, katakan, dan lakukan. Ini juga merupakan implementasi dari iman, yaitu meyakini dengan hati, ikrar dengan lisan, dan beramal dengan perbuatan. Orang yang mengaku beriman namun hatinya ingkar maka munafik.

Berusahlah untuk tidak bersikap seolah memusuhi setan dalam keramain sedangkan bersekutu dengannya ketika sendiri. Oleh karena itu, ibda’ binafsik, mulailah kebaikan dari diri sendiri. Wallahu a’lam.

Baca juga: Tafsir Surat Yasin Ayat 62: Akal Sebagai Tameng dari Godaan Setan

Tafsir Surah Al-Ikhlas: Mengenal Tuhan Via Negativa (Bag. 1)

0
Tafsir Surah Al-Ikhlas: Mengenal Tuhan Via Negativa (Bag. 1)
Surah Al-Ikhlas

Fakhruddin al-Razi sebelum menafsiri surah Al-Ikhlas memilih untuk menuliskan beberapa hal penting untuk diketahui oleh para pembaca sebelum lebih jauh mengkajinya. Beliau memulai dari menjelaskan gelar-gelar lain selain Al-Ikhlas untuk surah ke 112 ini. Surah yang sangat akrab dibaca oleh umat muslim di Indonesia ini beliau sebut memiliki 20 nama lain. Banyaknya nama surah Al-Ikhlas menandakan betapa banyaknya fadilah dan keistimewaan yang dikandungnya.

Baca juga: Kisah Kecintaan Sahabat Nabi Muhammad Saw Terhadap Surah Al-Ikhlas

Arti Sebenarnya Kata Al-Ikhlas

Kata ikhlas jamak dipahami oleh orang Indonesia sebagai tindakan terpuji yang tidak mengharapkan apa-apa selain keridaan Allah Swt. Sang pelaku memiliki ketulusan hati dan hati yang bersih (KBBI Daring). Kata Ikhlas berantonim dengan kata pamrih.

Herannya, jika kita amati keempat ayat surah Al-Ikhlas, alih-alih kita menjumpai ajaran tentang ketulusan hati dan larangan berlaku pamrih, kita malah dihidangkan penegasan perihal keesaan Allah Swt. Lantaran itu, untuk memahami relevansi antara nama dan kandungan isinya, hakikat kata Al-Ikhlas perlu langsung kita cek dari sumber bahasanya, bahasa Arab.

Al-Ikhlas memiliki arti bening. Kata ini juga memiliki satu padanan kata, yaitu al-shafi. Meski demikian, keduanya memiliki perbedaan yang jelas. Bilamana terdapat air jernih dalam suatu gelas maka air itu kita sebut sebagai al-shafi. Namun apabila air tersebut kemudian menjadi keruh maka disebut al-kadr. Nah, jika kemudian air tersebut kembali terjernihkan barulah disebut sebagai al-khalis. Dalam Lisan al-‘Arab disebutkan,

وقَعْنا فِي غضْراءَ، وَهِيَ الطِّين الخالِصُ الَّذِي يُقَالُ لَهُ الحُرُّ، لخُلُوصِه مِن الرَّمْلِ وَغَيْرِهِ

“Kami berada di ghadlra’, yakni tanah subut yang telah bersih yang disebut juga sebagai al-hurr, karena tanah itu telah bersih (terbebas) dari batu kerikil dan lainnya.” (Lisan al-‘Arab, juz 1 hal 354).

Atas pemahaman ini, dapat kita katakan alasan mengapa surah ini disebut sebagai Al-Ikhlas adalah karena ia akan menjernihkan dan memurnihkan kembali kepercayaan mengenai Tuhan yang sebelumnya kotor dan tercampur dengan penyekutuan terhadap Allah Swt. mengenai ini Imam al-Razi menyebutkan,

وَرَابِعُهَا: سُورَةُ الْإِخْلَاصِ لِأَنَّهُ لَمْ يَذْكُرْ فِي هَذِهِ السُّورَةِ سِوَى صِفَاتِهِ السَّلْبِيَّةِ الَّتِي هِيَ صِفَاتُ الْجَلَالِ، وَلِأَنَّ مَنِ اعْتَقَدَهُ كَانَ مُخْلِصًا فِي دِينِ اللَّهِ

“Nama keempat adalah surah Al-Ikhlas, sebab di dalam surah ini hanya akan disebutkan perihal sifat-sifat Allah dengan cara negatif (salbiyah), di mana sifat itu adalah sifat-sifat yang agung. Dan juga lantaran orang yang meyakini isinya berarti telah kembali terjernihkan (mukhlis) dalam agama Allah.” (Mafatih al-Ghaib, juz 32 hal 357).

Baca juga: Menelisik Makna Sifat Shamadiyah dan Wahidiyah Allah SWT dalam Surat al-Ikhlas Ayat 1-4

Teologi Apofatik dalam Surah Al-Ikhlas

Apa sesungguhnya yang dimaksud al-Razi dengan pendeskripsian Tuhan dengan cara negatif dalam surah Al-Ikhlas?

Sejatinya, mengetahui esensi zat Tuhan dengan cara positif (mujabah) sangat sulit dilakukan. Mengutip Mulyadhi Kartanegara, seorang doktor penulis buku Lentera Kehidupan,

“Jadi, tidak heran kalau ada filsuf yang menyebut Tuhan sebagai The Great Unknown, Yang Besar tapi Tak Dikenal. Adapun Maksud kata “tak bisa dikenal” adalah “tidak bisa diketahui secara positif, tetapi dengan cara negatif”, atau dalam istilah filsafatnya, “Via Negativa”. Via Negativa maksdunya adalah mengetahui Tuhan dengan cara membedakan-Nya dengan yang lain,” (Lentera Kehidupan, hal 3).

Singkatnya, teologi negatif adalah suatu teologi yang berusaha menjelaskan Tuhan dengan hanya berbincang mengenai apa yang tidak mungkin disematkan kepada Tuhan. Seperti dinyatakan dalam ayat berikut,

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tiada satu pun yang sama dengan Allah. Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha melihat.” (Q.S. al-Syura’ [42]: 11).

Untuk mengenalkan Tuhan, surah Al-Ikhlas mempergunakan cara yang satu ini. Teologi negatif adalah cara termudah untuk memperkenalkan Allah kepada orang-orang yang belum mengenal-Nya. Ini berkaitan erat dengan asbab al-nuzul surah ini.

Baca juga: Performasi Surat Al-Ikhlas: Era Nabi Muhammad hingga Kontemporer

Diceritakan dalam salah satu riwayat berkenaan sebab turunya surah Al-Ikhlas, bahwa suatu hari Nabi Muhammad didatangi oleh ‘Amir bin al-Thufail. Laki-laki ini diutus oleh para pembesar musyrik Makkah untuk menyampaikan pesan kepada Nabi agar mau kembali kepada agama berhala. Kata ‘Amir,

“Engkau telah menghancurkan tongkat (sandaran) kami dan kau mencaci tuhan-tuhan kami. Kau telah tinggalkan agama nenek moyangmu, maka kalau engkau faqir, kami akan membuatmu kaya raya, kalau engkau gila kami akan mengobatimu, kalau kau menghendaki seorang wanita akan kami nikahkan kau dengannya (dengan syarat murtad dari Islam).”

فَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: لَسْتُ بِفَقِيرٍ ولا مجنون ولا هويت المرأة، أَنَا رَسُولُ اللَّهِ أَدْعُوكُمْ مِنْ عِبَادَةِ الْأَصْنَامِ إِلَى عِبَادَتِهِ

“Kemudian Nabi saw. menjawab, “Aku bukan orang faqir, bukan orang gila, dan aku tidak menghendaki seorang perempuan (untuk aku nikahi). Sesungguhnya aku adalah utusan Allah untuk mengajak kalian, dari sebelumnya menyembah berhala menuju penghambaan kepada-Nya.”

Setelah kejadian ini, datang lagi utusan untuk yang kedua kalinya kepada Nabi. Namun kali ini pesan yang disampaikan adalah, “Jelaskan kepada kami, dari jenis apa Tuhan yang kau sembah itu. Apakah ia dari jenis emas ataukah perak?”

Akhirnya Allah Swt. menurunkan surah Al-Ikhlas kepada Nabi Muhammad sebagai penjelasan kepada orang-orang musyrik Makkah. (Mafatih al-Ghaib, juz 32 hal 357).

Dari pembacaan terkait latar situasi turunnya Al-Ikhlas (asbab al-nuzul) ini, kita dapat mengetahui bahwa surah Al-Ikhlas selain sebagai pemurni akidah ketuhanan juga disampaikan dengan cara termudah, di mana memang dimaksudkan sebagai pengenalan pertama kepada orang-orang yang sama sekali tidak mengenal Allah Swt.

Wa Allahu a’lam.

Baca juga: Alasan Mengapa Surat Al-Ikhlas Sebanding Sepertiga Al-Quran Menurut Imam Ghazali 

Pesan di Balik Doa Nabi Ibrahim dalam Surah Asy-Syu’ara Ayat 83-89

0
Surah Asy-Syu’ara Ayat 83-89: Pesan di Balik Doa Nabi Ibrahim kepada Allah
Ilustrasi doa

Nabi Ibrahim adalah salah satu Nabi yang wajib diketahui oleh umat Islam. Nabi Ibrahim juga memiliki gelar yang cukup banyak yang menandakan kemuliannya. Tidak heran ajaran-ajaran beliau banyak diadopsi oleh umat Nabi Muhammad saw. Di samping itu, kisah perjalanan hidupnya menyimpan banyak hikmah dan pelajaran bagi semua orang, khususnya yang paling masyhur adalah kisahnya mencari Tuhan.

Dari kisah spiritual mencari Tuhan tersebut, Nabi Ibrahim menyandang julukan bapak agama-agama. Julukan tersebut ia miliki setelah melalui fase keraguan akan keberadaan Tuhan, sampai ia benar-benar meyakini dan mempercayai Allah sebagai Tuhan semesta alam. Setelah Nabi Ibrahim meyakini Allah adalah Tuhan, lantas ia tidak pernah berhenti untuk mempertebal keyakinannya, salah satunya dengan menanyakan cara menghidupkan orang mati kepada Allah.

Terlepas dari kisah-kisah di atas, yang cukup menarik dari perjalanan hidupnya, yakni mengenai isi dari doa Nabi Ibrahim yang terdapat dalam Q.S. Asy-Syu’ara ayat 83-89. Terkait dengan makna doa Nabi Ibrahim itu sendiri memiliki empat makna, sebagaimana yang telah diungkap oleh Senata Adi Prasetia.

Sementara itu, Miftahus Syifa Bahrul Ulumiyah menulis secara spesifik inti dari salah satu doa Nabi Ibrahim yang terdapat dalam Q.S. Asy-Syu’ara ayat 83. Adapun terkait dengan doa Nabi Ibrahim yang terdapat di surah lain, salah satunya terkait dengan doa meminta keturunan yang saleh telah ditulis oleh Muhammad Rafi.

Akan tetapi, dalam artikel ini hanya akan dibahas secara spesifik doa Nabi Ibrahim yang terdapat dalam Q.S. Asy-Syu’ara ayat 83-89 saja beserta pesan yang terkandung. Pada tulisan ini juga akan disampaikan setiap makna yang terdapat dalam doa Nabi Ibrahim.

Nabi Ibrahim dan Surah Al-Syua’ara

Menurut mayoritas, surah Asy-Syu’ara tergolong dalam surah makiyah dan terdiri dari 227 ayat, namun menurut Muqāṭil, surah tersebut termasuk dalam madaniyah (Al-Jāmi’ Li Ahkām al-Quran, 13, 87). Dalam tartib mushafi, ia berada di urutan ke 26 sebelum surah An-Naml dan sesudah surah Al-Furqan. Kata Asy-Syu’ara sendiri memiliki arti para penyair.

Wahbah Al-Zuhaili dalam al-Tafsīr al-Munīr (19, 118) mengungkapkan bahwa alasan surah tersebut dinamai dengan Asy-Syu’ara adalah karena di akhir surah tersebut terdapat perbandingan antara para penyair yang sesat dan beriman, sekaligus bermaksud menolak anggapan kaum musyrik mengenai Nabi Muhammad seorang penyair. Al-Zuhaili juga telah membagi surah tersebut ke dalam 17 tema besar. Salah satu temanya adalah kisah Nabi Ibrahim.

Kisah Nabi Ibrahim dalam surah Asy-Syu’ara dimulai dari ayat 69 sampai 89, kemudian diteruskan sampai ayat 104  (yang berhubungan dengan kisah Nabi Ibrahim). Dalam al-Mu’jām al-Mufahras li Alfāẓ al-Quran al-Karīm (1-2) kata “Ibrahim” dalam Al-Quran disebutkan sebanyak 69 kali. Di antaranya terdapat dalam surah ini, yaitu mengenai kritikan kepada penyembah berhala dan penjelasan sifat Tuhan yang berhak untuk disembah, serta doa Nabi Ibrahim.

Permohonan Nabi Ibrahim dalam Doanya

Sebelum lebih jauh mengungkap permohonannya, alangkah lebih baik kita cermati Q.S. Asy-Syu’ara ayat 83-89 terlebih dahulu.

رَبِّ هَبْ لِي حُكْماً وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ (83) وَاجْعَلْ لِي لِسانَ صِدْقٍ فِي الْآخِرِينَ (84) وَاجْعَلْنِي مِنْ وَرَثَةِ جَنَّةِ النَّعِيمِ (85) وَاغْفِرْ لِأَبِي إِنَّهُ كانَ مِنَ الضَّالِّينَ (86) وَلا تُخْزِنِي يَوْمَ يُبْعَثُونَ (87) يَوْمَ لا يَنْفَعُ مالٌ وَلا بَنُونَ (88) إِلَاّ مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ (89)

Ya Rabbku! Berikanlah kepadaku hikmah  dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh (83) Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang yang datang kemudian (84) Dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mewarisi surga yang penuh kenikmatan (85) Dan ampunilah bapakku, karena sesungguhnya ia termasuk orang-orang yang sesat (86) Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan (87) Pada hari ketika harta dan anak laki-laki tidak lagi berguna (89) Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih (89).

Ayat di atas mengandung empat permohonan yang diajukan oleh Nabi Ibrahim kepada Allah, namun yang dikabulkan hanya tiga; sedangkan satu lagi tidak dikabulkan karena bertentangan dengan prinsip doa itu sendiri (harus satu akidah).

Tiga permohonan yang dikabulkan tersebut yaitu; pertama, memohon kebahagiaan di dunia dan akhirat untuknya; kedua, meminta ganjaran -surga- di akhirat; ketiga, meminta Allah untuk menutupi -kejelekannya- di akhirat kelak. Sedangkan yang ditolak merupakan doa memohon kebahagiaan dan ampunan yang dikhususkan untuk ayahnya yang masih kafir.

Baca juga: Surat Ghafir [40] Ayat 60: Allah Swt Akan mengabulkan Doa Setiap Hamba

Pesan dari Permintaan Nabi Ibrahim

Empat permintaan Nabi Ibrahim di atas mengandung pesan yang mendalam. Pesan ini perlu diperhatikan sebagai gambaran tatkala berdoa kepada Allah. Lebih jauh lagi, pesan ini sebagai bekal kehidupan. Berikut pesan-pesan yang terdapat dalam permintaan Nabi Ibrahim.

Pertama, hendaknya seseorang mempunyai tujuan yang kuat untuk menggapai kehidupan bahagia di dunia dan akhirat. Hal ini pula memberikan pelajaran bagi kita bahwa kebahagian di salah satu alam bukanlah tujuan yang baik, namun sebisanya harus menggapai keduanya. Gambaran tersebut sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw, bahwa keseimbangan hidup sangatlah diperlukan.

Kedua, bergaul dengan orang saleh. Salah satu langkah untuk mendapatkan kebahagiaan adalah menjadi orang saleh, baik saleh sosial atau spiritual. Namun, menjadi saleh bukanlah hal yang mudah, membutuhkan waktu dan pengorbanan. Oleh karena itu, langkah awal yang perlu dilakukan adalah bergaul dengan orang saleh. Tujuannya supaya masuk dalam golongan mereka.

Ketiga, menjadi suri teladan bagi masyarakat. Sebagaimana Nabi Ibrahim telah menjadi contoh yang baik bagi generasi selanjutnya, hal itu pula yang harus diusahakan oleh generasi sekarang. Yaitu menjadi orang yang dapat ditiru kebaikannya. Jika kita lihat Nabi Ibrahim, dalam setiap tasyahhud salat umat Islam di seluruh dunia namanya selalu disebut. Selain itu sunah-sunahnya juga banyak yang diikuti oleh umat Nabi Muhammad.

Keempat, tidak berhenti berharap mendapatkan surga. Walaupun Nabi Ibrahim sudah dijamin masuk surga oleh Allah, namun sebagai kewajiban hamba kepada sang khalik, ia tidak berhenti berharap untuk dimasukan ke surga. Sebuah pesan bagi kita bahwa jangan putus asa dan teruslah menaruh harapan kepada Allah, walaupun banyak berbuat dosa. Dan jangan berhenti berharap meskipun sering melakukan kebaikan.

Kelima, berbakti kepada orang tua. Walaupun doa khusus untuk ayahnya ini ditolak oleh Allah, tetapi hal ini menjadi bukti baktinya kepada ayahnya. Nabi Ibrahim menginginkan ayahnya bertobat dan bisa berkumpul bersamanya di akhirat. Akan tetapi salah satu syarat doa akan sampai kepada objeknya ialah harus satu keyakinan. Hal ini pula yang menjadi bantahan untuk golongan yang berpendapat bahwa doa tidak akan sampai kepada jenazah muslim. Wallahu ‘Alam.

Baca juga: Menyeimbangkan Urusan Dunia dan Akhirat, Perhatikan Semangat Doa Al-Quran Berikut!