Beranda blog Halaman 233

Tafsir Surah An-Nur Ayat 19-20

0
tafsir surah an-nur
Tafsir Surah An-Nur

Tafsir Surah An-Nur Ayat 19-20 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai azab orang-orang yang suka menyiarkan berita bohong. Kedua berbicara mengenai kasih sayang Allah kepada orang-orang penyebar berita bohong tersebut.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah An-Nur Ayat 14-18


Ayat 19

Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa orang-orang yang senang menyiarkan perbuatan keji dan memalukan seperti perbuatan zina di kalangan orang-orang mukmin muhsan baik laki-laki maupun perempuan, mereka akan mendapat hukuman di dunia ini dan di akhirat, bila mereka tidak tobat dan tidak menjalankan hukuman di dunia, ia akan di azab di neraka.

Penyebaran berita yang tidak patut disebarkan dilarang dalam agama Islam. Yang diminta seharusnya adalah berita tentang pelanggaran etika harus disimpan, sebagaimana sabda Nabi:

اَلْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللهُ عَنُ. (رواه البخاري وابو داود والنسائى)

Orang Islam yang sebenarnya, ialah orang-orang Islam selamat dari kejahatan lidah dan tangannya, dan orang yang berhijrah ialah orang yang meninggalkan larangan Allah. (Riwayat al-Bukhāri, Abu Dāud dan an-Nasā`i)

Dan sabdanya:

لاَيَسْتُرُ عَبْدٌ مُؤْمِنٌ عَوْرَةَ عَبْدٍ مُؤْمِنٍ اِلاَّ سَتَرَهُ الله ُيَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَنْ اَقَالَ عَثْرَةَ مُسْلِمٍ اَقَالَ اللهُ عَثْرَتَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه احمد بن حنبل)

Tidaklah seorang hamba mukmin, menutupi cacat seorang hamba mukmin kecuali ditutupi juga cacatnya oleh Allah di hari akhirat. Dan barangsiapa menggagalkan kejahatan seorang muslim, akan digagalkan pula kejahatannya oleh Allah, di akhirat nanti. (Riwayat Ahmad bin Hanbal)

Allah Maha Mengetahui hakikat dan rahasia sesuatu hal yang manusia tidak mengetahuinya. Oleh karena itu, kembalikanlah segala sesuatunya kepada Allah dan janganlah kita suka memperkatakan sesuatu yang kita tidak mengetahui sedikit pun seluk beluknya, terutama hal-hal yang menyangkut diri atau keluarga Rasulullah, karena yang demikian itu akan membawa kepada kebinasaan.

Pemberitaan perbuatan zina atau pornografi akan berdampak buruk yaitu mendorong orang secara luas untuk berzina. Karena itu dampak buruknya luar biasa. Mengenai hal itu manusia tidak perlu meragukannya, karena Allah-lah yang lebih tahu daripada manusia. Sebagai contoh adalah terancamnya umat manusia oleh penyakit AIDS dengan virus HIV yang belum ditemukan obatnya sampai sekarang.


Baca juga: Kata Ḍarb dalam Al-Qur’an Tidak Selalu Berarti Memukul, Ini 15 Maknanya


Ayat 20

Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa larangan-Nya terhadap penyebaran pornografi dan perzinaan adalah karena kasih sayang-Nya terhadap umat manusia. Allah memberikan karunia dan rahmat-Nya kepada mereka penyebar berita bohong, yang masih memberi kepada mereka hidup dengan segala kelengkapannya.

Dan sekiranya Dia tidak Maha Penyantun dan Maha Penyayang, tentulah mereka itu sudah hancur binasa. Tetapi Dia senantiasa berbuat kepada hamba-Nya mana yang mendatangkan maslahat kepada mereka, sekalipun mereka itu telah melakukan pelanggaran-pelanggaran dan dosa serta maksiat kepada-Nya. Berkat larangan itulah dunia masih selamat sampai sekarang, karena sebagian besar manusia terutama kaum Muslimin mematuhinya.


Baca setelahnya: Tafsir Surah An-Nur Ayat 2122


(Tafsir Kemenag)

Kata Ḍarb dalam Al-Qur’an Tidak Selalu Berarti Memukul, Ini 15 Maknanya

0
Kata Ḍarb dalam Al-Qur’an Tidak Selalu Berarti Memukul, Ini 15 Maknanya
Kata Ḍarb dalam Al-Qur’an Tidak Selalu Berarti Memukul, Ini 15 Maknanya

Bahasa Arab yang dipakai al-Qur’an itu unik. Beberapa kosakatanya memiliki beragam bentuk derivasi dan makna-makna yang tak terduga. Misalnya kata ḍarb yang oleh pembelajar pemula biasanya hanya diartikan dengan “memukul”, padahal ia bisa berarti hingga belasan makna. Dalam menentukan makna yang tepat untuk kata tersebut, mufassir harus memerhatikan dengan jeli konteks ayatnya.

Lafal ḍaraba merupakan bentuk kata kerja lampau (fi’il maḍi) yang berasal dari masdar ḍarb (pemukulan) (Kamus Al-Munawir, hlm 815). Fathullah Akṡam mengartikan ḍaraba sebagai perbuatan menimpakan sesuatu kepada sesuatu yang lain, menggunakan perantara yang sudah dikenal seperti tangan, kaki, atau tongkat dan sesamanya (Hukm Ta’dīb az-Zaujah bi aḍ-ḍarb fi al-Fiqh al-Muqārin, hlm. 1131).

Makna Kata Ḍarb dan Derivasinya dalam al-Qur’an

Khusus dalam al-Qur’an, kata ḍarb dan derivasinya memiliki makna yang sangat beragam. Setidaknya terdapat 19 bentuk kata ḍarb dan turunannya, yang terserak di 58 tempat dalam 54 ayat al-Qur’an. (al-Mu’jām al-Mufahras li alfāz al-Qur’ān al-Karīm, hlm. 418-419).

Hudā Muhammad Ṣālih mencatat bahwa lafal ḍarb/ḍaraba dan derivasinya dalam al-Qur’an dapat memiliki setidaknya 15 macam petunjuk makna (dalālah) (Lafẓatu Ḍarbin min al-Isti’māl al-Lugawī ilā al-Isti’māl al-Qur’ānī, hlm. 456-463). Pertama, menunjukan makna mengajari tata krama atau pendidikan (ta’dīb) atau bentuk pengajaran. Makna ini bisa ditemukan dalam QS. An-Nisā’: 34.

Kedua, terdapat juga lafal ḍarb yang menunjukkan makna at-taudih wa at-tamsil (penjelasan dan perumpamaan). Lafal ḍarb/ḍaraba dan derivasinya kebanyakan memiliki makna semacam ini, yang terdapat pada setidaknya 31 tempat. Beberapa di antaranya seperti pada QS. Al-Baqarah: 26, QS. Ibrahim: 25, dan QS. An-Nahl: 74.

Ketiga, berikutnya kata ḍarb menunjukan makna as-safar wa al-ib’ad (bepergian dan menjauh). Ada sekitar enam ayat di mana lafal ḍarb/ḍaraba dan derivasinya menunjukan makna ‘pergi dan menjauh’. Di antaranya QS. Al-Baqarah: 273, QS. Ali Imran: 156, dan QS. An-Nisa’: 101.

Keempat, lafal ḍarb/ḍaraba dan derivasinya juga bisa bermakna al-qatl wa al-qath’ wa al-fashl (pembunuhan, pemotongan, dan pemutusan), seperti dalam QS. Al-Anfal: 12 dan QS. Muhammad: 4. Kelima, ia juga bisa bermakna al-ilzam wa al-ilshaq (kepastian dan ketentuan), seperti dalam QS. al-Baqarah: 61 dan QS. Ali Imran: 112.

Keenam, bermakna al-Idzlal wa al-Muhanah (pelecehan dan penghinaan), dalam dua tempat yaitu QS. Al-Anfal: 50 dan QS. Muhammad: 27. Ketujuh, bermakna al-infijar aw at-tafjir (pancaran atau semburan), seperti dalam QS. Al-Baqarah: 60 dan QS. Al-‘A’raf: 160.

Selanjutnya, makna kata ḍarb kedelapan ialah syaq wa al-insyiqaq at-thariq (membuka dan melebarkan jalan), seperti dalam QS. Thaha: 77 dan QS. Asy-Syu’ara: 63. Kesembilan, bermakna as-satr wa at-taghtiyah (penutup dan penghalang), yaitu dalam QS. An-Nur: 31. Kesepuluh, bermakna an-naum ats-tsaqil (tidur pulas) dalam QS. Al-Kahfi: 11.

Kesebelas, bermakna al-i’radl wa as-safh (palingan dan penolakan) dalam QS. Az-Zukhruf: 5. Keduabelas, bermakna al-hajzi wa al-man’i (pembatasan dan pencegahan) dalam QS. Al-Hadid: 13. Ketigabelas, bermakna at-tahtim aw at-taksir (perusakan atau penghancuran) dalam QS. As-Shafat: 93. Keempatbelas, bermakna al-mass aw ar-rifq (sentuhan dengan lembut) dalam QS. Shad: 44. Dan terakhir, kelimabelas, ia bermakna al-ihya bi wasithah (menghidupkan melalui perantara) dalam QS. al-Baqarah: 73.

Baca juga: Kuffar dalam Al-Quran Tidak Selalu Bermakna Orang-Orang Kafir, Lalu…

Penutup

Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa lafal ḍarb/ḍaraba dan derivasinya dalam al-Qur’an menunjukan makna yang sangat beragam. Secara umum, makna lafal ḍarb/ḍaraba dan derivasinya dalam al-Qur’an terbagi pada dua macam, indrawi (hissiy) dan maknawi.

Tipe indrawi (hissiy) terdapat pada sebagian ayat yang menunjukan persentuhan (mulamasah) secara langsung atau pemukulan secara langsung, seperti pada kejadian pemukulan tongkat Nabi Musa pada sebuah batu, atau pemukulan terhadap istri Nabi Ayyub menggunakan seikat rumput, maupun pemukulan terhadap berhala menggunakan tangan kanan pada kejadian Nabi Ibrahim.

Sedangkan ḍaraba (dan derivasinya) dengan tipe maknawi antara lain terdapat pada QS. Al-Baqarah [2]: 26, yang bermakna ‘membuat’ perumpamaan. Pada QS. Al-Baqarah [2]: 61 yang bermakna ‘ditimpakanlah’ kehinaan dan nista. Begitu juga pada QS. Az-Zukhruf [43]: 5 yang bermakna ‘berhenti’ menurunkan al-Qur’an. Wallahu a’lam.

Baca juga: Kesalingan dan Kesetaraan Relasi Suami-Istri dalam Maqashid Al-Quran

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 52-54

0
Tafsir Surah Al Mu'minun
Tafsir Surah Al Mu'minun

Secara umum Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 52-54 menjelaskan bahwa agama yang dibawa para Rasul adalah satu, yaitu mentauhidkan Allah Swt. Namun, beberapa penyimpangan dilakukan oleh sebagian umat untuk memenuhi nafsunya dengan menyamarkan ajaran tauhid tersebut. Pun alasan hadirnya Nabi Muhammad adalah untuk menyadarkan manusia agar kembali pada ajaran semula, yaitu mentauhidkan Allah Swt.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 48-51 (2)


Ayat 52

Pada ayat ini Allah menerangkan agama para rasul itu adalah agama yang satu yaitu agama tauhid yang menyembah Allah yang Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Tidak ada seorang rasul pun yang menyimpang dari prinsip ini.

Kalau dalam suatu agama terdapat sedikit saja penyimpang-an dari prinsip ini maka agama itu bukanlah agama yang dibawa oleh seorang rasul, berarti agama itu telah diubah-ubah oleh pengikutnya dan tidak orisinil lagi.

Mustahil Allah Yang Maha Esa memilih dan mengangkat seorang rasul dengan membawa agama yang bertentangan dengan kebenaran dan kemurnian keesaan-Nya. Meskipun syariat dan peraturan-peraturan yang dibawa para nabi dan rasul berbeda-beda sesuai dengan masa dan tempat di mana mereka diutus, tetapi mengenai dasar tauhid tidak ada sedikit pun perbedaan antara mereka.

Oleh sebab itu Allah menegaskan lagi dalam ayat ini bahwa Dia adalah Tuhan Semesta Alam, hendaknya semua manusia menyembah dan bertakwa hanya kepada-Nya dan sekali-kali jangan menyekutukan-Nya dengan siapa pun dan sesuatu apapun.

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَحْنُ مَعَاشِرَ اْلاَنْبِيَاءِ اَوْلاَدُ عَلاَّتِ دِيْنُنَا وَاحِدٌ. (رواه  البخاري ومسلم وابوا داود)

Rasulullah saw bersabda, “Kami para nabi adalah (ibarat) saudara-saudara seayah, agama kami adalah satu.” (Riwayat al-Bukhāri, Muslim dan Dāwud)

Ayat 53

Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa umat para rasul itu telah menyimpang dari ajaran rasul-rasul mereka sehingga terpecah belah menjadi beberapa golongan. Masing-masing golongan menganggap bahwa golongannyalah yang benar, sedang golongan yang lain adalah salah.

Demikianlah sejarah agama-agama samawi yang dibawa para nabi dan rasul. Pada mulanya agama-agama itu tetap suci dan murni, tak sedikit pun dimasuki oleh dasar-dasar kesyirikan, tetapi dengan berangsur-angsur sedikit demi sedikit paham tauhid yang murni itu dimasuki oleh paham-paham lain yang berbau syirik atau menyimpang sama sekali dari dasar tauhid.

Akibatnya, manusia terjatuh ke jurang kesesatan, bahkan ada di antara mereka yang menyembah manusia, binatang, dan benda-benda seperti patung dan berhala. Namun demikian, kita dapat mengetahui suci dan murninya suatu agama jika masih berpegang teguh kepada paham tauhid.

Bila dalam agama itu tidak terdapat sedikit pun penyimpangan dari dasar tauhid, maka agama itu pastilah agama yang asli dan murni. Tetapi bila terdapat di dalamnya paham yang menyimpang dari dasar itu, maka agama itu tidak murni lagi dan telah kemasukan paham-paham yang sesat.


Baca Juga: Pesan di Balik Doa Nabi Ibrahim dalam Surah Asy-Syu’ara Ayat 83-89


Paham-paham yang sesat inilah yang telah dianut oleh kaum musyrikin Mekah sekalipun mereka mendakwahkan bahwa mereka adalah pengikut Nabi Ibrahim.

Mereka telah jauh tersesat dari ajaran Nabi Ibrahim, tetapi mereka tetap membanggakan bahwa agama merekalah yang benar, walaupun yang mereka sembah adalah benda-benda mati yang tidak bermanfaat sedikit pun dan tidak pula berdaya menolak kemudaratan.

Mereka menentang dengan keras ajaran tauhid yang dibawa Nabi Muhammad saw dan mengancam akan bertindak tegas terhadap siapa saja yang menentang mereka.

Ayat 54

Pada ayat ini Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad agar membiarkan orang-orang yang keras kepala yang tidak mau menerima kebenaran itu sampai tiba saatnya Allah akan menyiksa mereka baik di dunia maupun di akhirat nanti, di mana mereka akan menyaksikan sendiri bagaimana hebat dan dahsyatnya siksaan yang disediakan untuk mereka.

Adapun siksaan di dunia ialah malapetaka yang menimpa mereka pada waktu Perang Badar dimana mereka mengalami kekalahan besar dan kehancuran. Perintah seperti ini terdapat pula pada ayat lain, seperti firman Allah:

فَمَهِّلِ الْكٰفِرِيْنَ اَمْهِلْهُمْ رُوَيْدًا

Karena itu berilah penangguhan kepada orang-orang kafir itu. Berilah mereka itu kesempatan untuk sementara waktu. (at-Thāriq/86: 17)

Dan firman-Nya:

ذَرْهُمْ يَأْكُلُوْا وَيَتَمَتَّعُوْا وَيُلْهِهِمُ الْاَمَلُ فَسَوْفَ يَعْلَمُوْنَ

Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong) mereka, kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatannya). (al-Hijr/15: 3)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Mu’minun 55-56


 

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 48-51 (2)

0
Tafsir Surah Al Mu'minun
Tafsir Surah Al Mu'minun

Melanjutkan tafsir sebelumnya, Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 48-51 (2) menerangkan tentang perintah Allah kepada para Rasul dan umatnya agar memakan rezeki yang halal, sebab rezeki yang baik, akan mempengaruhi tubuh agar menjalankan aktivitas yang baik pula, dan ibadah pun akan terasa nyaman dan menyenangkan.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 48-51 (1)


Ayat 51 (2)

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda:

اَيُّهَا النَّاسُ  اِنَّ الله َتَعَالَى طَيِّبٌ لاَيَقْبَلُ اِلاَّ طَيِّبًا، وَاِنَّ الله َتَعَالَى اَمَرَ الْمُؤْمِنِيْنَ بِمَا اَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِيْنَ فَقَالَ: (يَأاَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوْا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوْا صَالِحًا اِنِّي بِمَا تَعْمَلُوْنَ عَلِيْمٌ) وَقَالَ: (يَأاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُلُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ) ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ اَشْعَثَ أَغْبَرَ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ. يَمُدُّ يَدَيْهِ اِلَى السَّمَاءِ، يَارَبِّ يَارَبِّ فَأَنىَّ يُسْتَجَابُ لَهُ. (رواه مسلم والترمذي)

Hai manusia, sesungguhnya Allah Ta’ala adalah baik, Dia tidak menerima kecuali yang baik. Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan kepada orang-orang yang beriman apa yang diperintahkan-Nya kepada Rasul-rasul-Nya.

Maka Rasulullah saw membaca ayat ini (yā ayyuhar-rusulu kulu  minaththayyibāti wa’malu Shālihā inni bimā ta’maluna ‘alim, “Wahai para rasul! Makanlah dari (makanan) yang baik-baik, dan kerjakanlah kebajikan. Sungguh, Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.).

Kemudian Rasulullah saw membaca lagi ayat  yā ayyuhalladzina āmanu kulu min thayyibāti mā razaqnākum…

Kemudian Nabi menerangkan keadaan seseorang yang telah melakukan perjalanan panjang (lama), rambutnya tidak teratur dan penuh debu, dan makanannya dari yang haram, minumannya dari yang haram dan pakaiannya dari yang haram pula.

Orang itu berkata sambil menadahkan tangan ke langit, “Ya Tuhanku! Ya Tuhanku! Bagaimana mungkin  doanya itu akan terkabul?” (Riwayat Muslim dan at-Tirmizii).

Pada ayat ini Allah mendahulukan perintah memakan makanan yang halal dan baik baru beramal saleh. Hal ini berarti amal yang saleh itu tidak akan diterima oleh Allah kecuali bila orang yang mengerjakannya memakan harta yang halal dan baik dan menjauhi harta yang haram.

Menurut riwayat yang diterima dari Rasulullah, beliau pernah bersabda:

اِنَّ الله َتَعَالَى لاَيَقْبَلُ عِبَادَةَ مَنْ فِى جَوْفِهِ لُقْمَةٌ مِنْ حَرَامٍ. وَصَحَّ اَيْضًا- اَيُّمَا لَحْمٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ اَوْلَى بِهِ. (رواه مسلم والترمذي)

Sesungguhnya Allah tidak menerima ibadah orang yang dalam perutnya terdapat sesuap makanan yang haram. Dan diriwayatkan dengan sahih pula bahwa Nabi saw bersabda, “Setiap daging yang tumbuh dari makanan yang haram maka neraka lebih berhak membakarnya.” (Riwayat Muslim dan at-Tirmizi).

Di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hātim dan Ibnu Mardawaih dari Ummi Abdillah saudara perempuan Syaddad bin Aus ra:

اَنَّهَا بَعَثَتْ اِلَى النَِّبيِّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَدَحِ لَبَنٍ حِيْنَ فِطْرِهِ وَهُوَ صَائِمٌ، فَرَدَّ اِلَيْهَارَسُوْلَهَا وَقَالَ مِنْ اَيْنَ لَكِ هَذَا؟ فَقَالَتْ: مِنْ شَاةٍ لِيْ، ثُمَّ رَدَّهُ وَقَالَ: وَمِنْ اَيْنَ هَذِهِ الشَّاةِ؟ اِشْتَرَيْتُهَا بِمَالِيْ فَأَخَذَهُ، فَلَمَّا كَانَ مِنَ الْغَدِ جَاءَتْهُ وَقَالَتْ: يَارَسُوْلَ اللهِ لِمَا رَدَدْتُهُ؟ فَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اُمِرَتِ الرَّسُلُ اَلاَّ يَأْكُلُوْا اِلاَّ طَيِّبًا وَلاَ يَعْمَلُوْا اِلاَّ صَالِحًا. (رواه ابن ابي حاتم وابن مردويه)

Bahwa Ummi Abdillah mengirimkan seteko susu kepada Rasulullah ketika beliau akan berbuka puasa. Susu itu ditolak oleh Rasulullah dan beliau menyuruh pembawa susu itu kembali dan menanyakan kepadanya dari mana susu itu didapatnya. Ummi Abdillah menjawab, “Itu susu dari kambingku sendiri.” Kemudian susu itu ditolak lagi dan pesuruh Ummi Abdillah disuruh lagi menanyakan dari mana kambing itu didapat. Ummi Abdillah menjawab, “saya beli kambing itu dengan uangku sendiri.” Kemudian barulah Rasulullah menerima susu itu. Keesokan harinya Ummi Abdillah datang menemui Rasulullah dan bertanya, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau selalu menolak susu itu?” Rasulullah menjawab, “Para rasul diperintahkan supaya jangan memakan kecuali yang baik-baik dan jangan berbuat sesuatu kecuali yang baik-baik pula.” (Riwayat Ibnu Abi Hātim dan Ibnu Mardawaih)

Demikianlah perintah Allah kepada para Rasul-Nya yang harus dipatuhi oleh umat manusia karena Allah Maha Mengetahui amal perbuatan manusia, tak ada satu pun yang tersembunyi bagi-Nya. Dia akan membalas perbuatan yang baik dengan berlipat ganda dan perbuatan jahat dengan balasan yang setimpal.

(Tafsir Kemenag)

Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Mu’minun 52-54

 

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 48-51 (1)

0
Tafsir Surah Al Mu'minun
Tafsir Surah Al Mu'minun

Sebelumnya telah diterangkan bahwa ketika Allah memilih utusan, maka utusan itu adalah yang terbaik untuk kaumnya, dan pada zaman Fir’aun, Allah mengutus Nabi Musa dan Nabi Harun untuk mendakwahkan ketauhidan Allah Swt. Adapun Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 48-51 (1) mengisahkan kemenangan Nabi Musa dan Nabi Harun atas Fir’aun dan bala tentaranya.

Kemudian Allah memberikan karunianya kepada Nabi Musa dengan Kitab Taurat yang dijadikan sebagai petunjuk bagi umatnya menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.

Selain itu, Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 48-51 (1) juga sedikit menyinggung kisah Nabi Isa sebagai tanda dari kekuasaan Allah Swt. Kemudian berlanjut pada perintah Allah agar senantiasa bagi hambanya untuk beramal saleh, taat kepada-Nya, dan mengkonsumsi rezeki yang halal.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 43-47


Ayat 48

Fir’aun dan para pembesar kaumnya tetap mendustakan Musa dan Harun. Dengan demikian, mereka termasuk orang-orang yang dibinasakan dengan cara ditenggelamkan di Laut Merah.

Ayat 49

Kemudian setelah musuh-musuh Musa dan Harun ditenggelamkan (dibinasakan), Allah menerangkan karunia-Nya yang dilimpahkan kepada para utusan-Nya, bahwa Dia telah menurunkan Al-Kitab (Taurat) kepada Musa, yang di dalamnya berisi hukum-hukum syariat, beberapa perintah dan larangan, dengan harapan agar Bani Israil mendapat petunjuk ke jalan yang membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.

Ayat 50

Ayat ini menerangkan bahwa Allah telah menjadikan Isa putra Maryam sebagai tanda kekuasaan Allah yang dapat menciptakan seorang manusia hanya dari seorang ibu saja tanpa ayah, dan memberi kemampuan kepada seorang bayi berbicara sebelum waktunya, dan memberi mukjizat kepadanya, dapat menyembuhkan orang buta sejak lahir, menghidupkan orang yang sudah mati dari kuburannya, membuat burung dari tanah liat yang bisa terbang, dan sebagainya.

Kelahiran Isa dari seorang ibu yaitu Maryam dijadikan bukti kekuasaan Allah, karena hamil tanpa disentuh manusia. Maryam dan putranya menjadi tanda kekuasaan Allah bagi seluruh manusia sebagaimana dalam firman-Nya:

وَالَّتِيْٓ اَحْصَنَتْ فَرْجَهَا فَنَفَخْنَا فِيْهَا مِنْ رُّوْحِنَا وَجَعَلْنٰهَا وَابْنَهَآ اٰيَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ

Dan (ingatlah kisah Maryam) yang memelihara kehormatannya, lalu Kami tiupkan (roh) dari Kami ke dalam (tubuh)nya; Kami jadikan dia dan anaknya sebagai tanda (kebesaran Allah)  bagi seluruh alam. (al- Anbiyā`/21: 91)

Allah menjelaskan bahwa Isa dan ibunya diberi tempat kediaman dan dilindungi di suatu dataran yang tinggi di daerah Palestina yang mempunyai padang rumput dan sumber air jernih yang mengalir. Nabi Isa dan Maryam selama hidupnya tidak pernah keluar dari Palestina atau Syam.

Ada yang mengatakan bahwa Nabi Isa pergi ke Rabwah dekat Lahore di Pakistan dan meninggal dunia di sana, tetapi pendapat ini tidak mempunyai dasar sama sekali.


Baca Juga : Kisah Keluarga ‘Imran (Bag. 4): Ujian Maryam dan Kelahiran Isa yang di Luar Nalar


Ayat 51 (1)

Allah memerintahkan kepada para nabi supaya memakan rezeki yang halal dan baik yang dikaruniakan Allah kepadanya dan sekali-kali tidak dibolehkan memakan harta yang haram, selalu mengerjakan perbuatan yang baik, dan menjauhi perbuatan yang keji dan mungkar.

Para nabi itulah orang yang pertama yang harus mematuhi perintah Allah, karena mereka akan menjadi teladan bagi umat di mana mereka diutus untuk menyampaikan risalah Tuhannya.

Perintah ini walaupun hanya ditunjukkan kepada para nabi, tetapi ia berlaku pula terhadap umat mereka tanpa terkecuali, karena para nabi itu menjadi panutan bagi umatnya kecuali dalam beberapa hal yang dikhususkan untuk para nabi saja, karena tidak sesuai jika diwajibkan pula kepada umatnya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Mu’minun 48-51 (2)


 

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 43-47

0
Tafsir Surah Al Mu'minun
Tafsir Surah Al Mu'minun

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 43-47 diawali dengan penegasan bahwa setiap manusia tidak akan bisa menghindari ‘ajal’, sekalipun dia adalah seorang raja/pemimpin yang berkuasa. Sama halnya Fir’aun yang angkuh sebagai penguasa, meski sudah diutus dua orang Rasul, ia sama sekali tidak berubah, dan justru menenatang seruan dari para utusan tersebut – yaitu Nabi Musa dan Nabi Harun –, dan pada akhinya Fir’aun menemui ajalnya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 35-42


Ayat 43

Pada ayat ini Allah menegaskan bahwa tidak ada satu umat pun yang dapat mempercepat ajal atau kehancuran mereka, dan tidak pula dapat menundanya.

Semua itu berlaku sesuai dengan ketentuan Allah Yang Mahakuasa, yang mengatur alam ini dengan segala isinya dengan tertib, teratur dan lancar.

Oleh karena itu, umat-umat yang telah binasa itu tidak dapat mendahului ajalnya yang telah ditentukan dan tidak pula mereka dapat mengundurkannya atau menundanya, sebab setiap umat telah ada ketetapan lebih dahulu di Lauh Mahfuz, berapa lama mereka akan mengalami hidup di dunia.

Ayat 44

Kemudian Allah mengutus kepada umat-umat itu para rasul-Nya secara berturut-turut dalam beberapa masa yang berbeda.

Pada setiap periode ada rasul Allah yang berfungsi menyampaikan risalah-Nya. Demikianlah mereka datang silih berganti sampai kepada nabi penutup yaitu Nabi Muhammad, setiap diutus rasul kepada umatnya, umat itu mendustakannya.

Oleh karena masing-masing umat itu mendustakan rasul-Nya, maka Allah membinasakan mereka berturut-turut dan Allah menjadikan kisah mereka buah tutur manusia yang datang kemudian.

Kisah mereka sering disebut, baik dalam percakapannya sehari-hari maupun dalam pelajaran sejarah umat-umat yang pernah mendustakan nabi-nabi-Nya.

Ayat 45

Allah mengutus Musa dan saudaranya Harun (sebagai pembantu-nya) kepada Fir’aun dan kaumnya dengan membawa sembilan macam mukjizat seperti yang telah tersebut dalam Surah al-A’rāf dan hujjah yang nyata atas kerasulannya.

Ini dilakukan semata-mata agar mereka hanya menyembah kepada Allah dan meninggalkan kemusyrikan kepada-Nya, dan agar mereka jangan menyiksa Bani Israil yang berada di Mesir, dan membolehkan mereka dibawa kembali oleh Musa dan Harun kembali ke negeri asal Nabi Yakub di Palestina.

Musa dan Harun datang kepada Fir’aun dengan seruan yang lemah lembut sebagaimana dalam firman-Nya:

فَقُوْلَا لَهٗ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهٗ يَتَذَكَّرُ اَوْ يَخْشٰى

Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir‘aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut. (Thāhā/20: 44)


Baca Juga : Kisah Dialog Harun Ar-Rasyid dengan Seorang Ustadz dan Seni Berdakwah Qurani


Ayat 46

Musa dan Harun datang kepada Fir`aun dan pembesar-pembesar kaumnya disertai dengan alasan dan hujjah yang kuat, namun mereka tidak juga menyadari, bahkan mereka bersikap sombong sebagaimana kebiasaan mereka.

Ayat 47

Mereka berkata, “Apakah kita pantas percaya kepada dua orang manusia seperti kita juga? Apakah patut kita tunduk pada keduanya, padahal mereka itu adalah golongan hamba-hamba dan pembantu-pembantu yang tunduk kepada kita sebagai majikan dan tuannya?”

Mereka menyamakan misi menyampaikan tugas risalah dari Allah yang berdasarkan keikhlasan, kepercayaan dan kejujuran, seperti jabatan keduniaan yang bersumber kepada kepangkatan dan kekayaan. Pandangan mereka itu juga dipegang oleh orang kafir Quraisy, sebagaimana dijelaskan dalam ayat ini:

وَقَالُوْا لَوْلَا نُزِّلَ هٰذَا الْقُرْاٰنُ عَلٰى رَجُلٍ مِّنَ الْقَرْيَتَيْنِ عَظِيْمٍ

Dan mereka (juga) berkata, ”Mengapa Al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada orang besar (kaya dan berpengaruh) dari salah satu dua negeri ini (Mekah dan Taif)?” (az-Zukhruf/43: 31)

Mereka mengingkari wahyu dan kenabian Muhammad saw, karena menurut jalan pikiran mereka, orang yang diangkat menjadi rasul itu hendaklah orang yang kaya dan berpengaruh.

Mereka tidak mengetahui bahwa pilihan Allah untuk kerasulan itu tidak didasarkan kepada kekayaan atau kepangkatan, akan tetapi semata-mata kepada karunia Allah, yang sudah ada ketetapannya di alam azali, dan hubungannya dengan keluhuran budi pekerti, kesucian dan kejujuran serta kesayangan kepada umatnya.

Para nabi karena kesucian batin mereka tidak terpengaruh oleh alam kebendaan. Mereka menerima wahyu dengan perantaraan malaikat, dan melayani segala kepentingan umatnya. Mereka tetap berhubungan dengan Tuhan mereka.

Apabila orang-orang kafir merasa aneh dan mempertanyakan mengapa Allah mengutus utusan-Nya dari kalangan manusia sendiri, maka lebih aneh dan ajaib lagi, jika dipertanyakan mengapa mereka menjadikan kayu dan batu, yang dibuat dan diukir oleh tangan mereka sendiri sebagai Tuhan. Sungguh tepat apa yang difirmankan dalam ayat:

فَاِنَّهَا لَا تَعْمَى الْاَبْصَارُ وَلٰكِنْ تَعْمَى الْقُلُوْبُ الَّتِيْ فِى الصُّدُوْرِ

Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.  (al-Hajj/22: 46)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Mu’minun 48-51 (1)


Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 35-42

0
Tafsir Surah Al Mu'minun
Tafsir Surah Al Mu'minun

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 35-42 mengisahkan keingkaran kaum Nabi Hud pada dirinya. Terutama ketika Hud menjelaskan perihal hari Kebangkitan, bagi mereka, peristiwa itu mustahil terjadi, dan mereka menganggap bahwa Hud telah berdusta mengatasnamakan Tuhan. Bagi mereka, dunia adalah tempat abadi, tidak ada kehidupan lagi setelah mati, namun sikap demikian justru mengantarkan mereka kepada murka Allah Swt.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 29-34


Ayat 35

Kemudian mereka menambah alasan keingkaran mereka kepada rasul yang diutus Allah, yaitu Nabi Hud dengan mengatakan bagaimana mungkin Nabi Hud menjanjikan kepada pengikutnya bahwa jika manusia sudah mati, dan badannya telah hancur dalam kubur dan hanya tinggal tulang-belulang saja, akan dibangkitkan lagi dalam keadaan utuh dari kuburannya itu untuk dihisab pada hari Kiamat.

Mereka tidak mem-percayainya karena hanya mengikuti pemikirannya yang dangkal, padahal dalam Surah Yāsin Allah telah berfirman:

قُلْ يُحْيِيْهَا الَّذِيْٓ اَنْشَاَهَآ اَوَّلَ مَرَّةٍ ۗوَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيْمٌ ۙ

Katakanlah (Muhammad), ”Yang akan menghidupkannya ialah (Allah) yang menciptakannya pertama kali. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk. (Yāsin/36: 79)

Ayat 36

Ayat ini menjelaskan bahwa apa yang dikatakan Nabi Hud tentang kebangkitan, menurut mereka mustahil terjadi. Mereka tidak mau beranjak dari pikirannya yang sederhana untuk melihat kenyataan bahwa ada kekuasaan Allah di luar kekuasaan manusia. Allah yang telah menciptakan alam semesta dan seluruh manusia.

Ayat 37

Kemudian mereka mempertegas keingkaran mereka dengan ucapan, “Kehidupan yang sebenarnya hanya kehidupan dunia ini saja. Sebagian kita ada yang hidup kemudian mati, disusul pula oleh yang lain secara silih berganti, generasi demi generasi, tak beda seperti tanaman, di sana ada yang bercocok tanam dan di situ ada yang panen. Kita sekalian tidak akan dibangkitkan lagi setelah mati.”

Orang-orang kafir hanya memandang kehidupan manusia seperti tumbuh-tumbuhan dan binatang yang dari waktu ke waktu hanya mengalami pergantian generasi, dan tidak ada perkembangan pikiran dan kebudayaan, serta tidak ada tanggung jawab dalam perbuatannya sehari-hari.

Ayat 38

Mereka tidak saja mengingkari kebangkitan setelah mati, tetapi juga melemparkan tuduhan kepada Hud bahwa ia berbuat dusta kepada Allah. Mereka berkata, “Orang itu memang mengadakan kedustaan terhadap Allah dan kami sekali-kali tidak akan beriman kepadanya.”


Baca Juga : Tafsir Surah Yasin ayat 51-52: Penyesalan di Hari Kebangkitan


Ayat 39

Ketika Hud mendengar ucapan kaumnya, bahwa mereka sama sekali tidak akan beriman kepadanya, maka beliau berdoa kepada Allah, “Ya Tuhanku, tolonglah aku karena mereka mendustakan aku, walaupun aku telah menjalankan segala daya upaya untuk memberi petunjuk kepada mereka, tetapi mereka telah menutup semua pintu-pintu hidayah, sehingga aku merasa berputus asa dari keimanan mereka itu.”

Ayat 40

Allah berfirman, “Tunggulah, tidak lama lagi orang-orang yang mendustakanmu itu semuanya akan menjadi orang-orang yang menyesal. Azab-Ku akan menimpa mereka dan pada waktu itu semua penyesalan tidak akan berguna lagi.”

Ayat 41

Maka mereka dimusnahkan dengan azab yang tidak ada bandingannya, yaitu dihancurkan oleh air dan suara yang mengguntur dengan dahsyat. Mereka dijadikan sebagai sampah banjir besar yang tidak berfaedah sama sekali, maka orang-orang yang zalim itu menjadi binasa.

Ayat 42

Setelah kehancuran kaum ‘Ad, pada ayat ini diterangkan tentang kaum Tsamud, kaum negeri Madyan dan negeri Aikah, serta negeri Sodom. Kepada kaum Tsamud Allah mengutus Nabi Saleh, tetapi kaum Tsamud menolaknya, bahkan sampai membunuh unta Nabi Saleh yang merupakan mukjizatnya.

Sedangkan kepada penduduk Madyan dan Aikah, Allah mengutus Nabi Syuaib. Mereka juga durhaka dan menolak Nabi Syuaib, serta mereka suka mengurangi timbangan. Penduduk Sodom juga mengingkari Nabi Lut dan banyak yang melakukan homoseksual.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Mu’minun 43-47


Tafsir Surah An-Nur Ayat 14-18

0
tafsir surah an-nur
Tafsir Surah An-Nur

Tafsir Surah An-Nur Ayat 14-18 berbicara mengenai karunia Allah SWT kepada mereka yang melakukan tuduhan zina. Seadainya bukan karena rahmat Allah niscaya mereka akan ditimpa azab.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah An-Nur Ayat 11-13


Ayat 14

Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa andaikata bukan karena karunia di dunia ini kepada para penyebar berita bohong itu dengan banyaknya nikmat yang telah diberikan kepada mereka antara lain diberinya kesempatan bertobat, dan rahmat-Nya di akhirat dengan dimaafkan mereka dari perbuatan dosa dan maksiat mereka sesudah tobat maka akan ditimpakan dengan segera oleh Allah azab kepada mereka di dunia atas perbuatannya menyebarkan fitnahan dan berita bohong.

Ayat 15

Ayat ini menerangkan bahwa andaikata bukan karena karunia dan rahmat Allah, pasti mereka yang menyebarkan berita bohong itu akan ditimpa azab; penyebaran berita bohong melalui berbagai cara, yaitu pertama, mereka itu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut lalu berbincang-bincang tentang hal itu, kemudian turut menyebarluaskannya sehingga tidak satu rumah atau suatu tempat pertemuan yang luput dari berita bohong itu;

Kedua, mereka turut mempercakapkan suatu berita bohong yang mereka tidak tahu sama sekali seluk beluknya; ketiga, mereka menganggap enteng saja berita bohong itu, seakan-akan tidak berarti, padahal berita bohong itu adalah suatu hal yang sangat buruk akibatnya dan dosa besar di sisi Allah. Allah berfirman:

اِنَّ الَّذِيْنَ يُؤْذُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ لَعَنَهُمُ اللّٰهُ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِ وَاَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا مُّهِيْنًا

Sesungguhnya (terhadap) orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah akan melaknatnya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan azab yang menghinakan bagi mereka.  (al-Ahzāb/33: 57);

Ayat 16

Pada ayat ini diterangkan bahwa Allah menyayangkan sikap sebagian kaum Muslimin yang tidak menyetop membicarakan fitnah itu dan tidak merasa layak memperkatakan dan menyambung-nyambungnya. Mereka seharusnya menyucikan Allah, bahwa Allah tidak akan mungkin membiarkan kekejian seperti itu menimpa istri seorang nabi apalagi Nabi yang paling dimuliakan-Nya. Seharusnya mereka menyikapinya bahwa berita itu adalah bohong besar.


Baca juga: Tafsir Ahkam Tentang Zina; Mendekati Saja Dilarang, Apalagi Melakukan!


Ayat 17

Pada ayat ini Allah memperingatkan kepada orang-orang mukmin supaya tidak mengulangi kembali perbuatan yang jahat dan dosa yang besar itu pada masa-masa yang akan datang. Hal itu bila mereka memang beriman.

Orang yang beriman tentunya mengambil pelajaran dari apa yang diajarkan Allah, mengerjakan perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya. Allah sudah mengajarkan sikap yang harus diambil menghadapi berita yang tidak jelas ujung pangkalnya, yang merugikan seorang atau kaum Muslimin, bahwa berita itu tidak boleh disambung-sambung, tetapi disikapi sebagai berita bohong.

Ayat 18

Ayat ini menerangkan bahwa Allah telah menjelaskan di dalam kitab-Nya secara terperinci mengenai syariat-Nya, akhlak dan adab yang baik, perbuatan dan kelakuan yang diridai-Nya. Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. Tidak ada sesuatu yang tersembunyi bagi-Nya bagaimana pun kecilnya,

Allah membalas dengan baik amal orang yang berbuat baik, dan membalas dengan siksa orang-orang yang berbuat jahat, Allah Mahabijaksana mengatur kepentingan hamba-hamba-Nya membebankan di atas pundak mereka hal-hal yang mendatangkan kebahagiaan kepada mereka di dunia dan di akhirat.


Baca setelahnya: Tafsir Surah An-Nur Ayat 19-20


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah An-Nur Ayat 11-13

0
tafsir surah an-nur
Tafsir Surah An-Nur

Tafsir Surah An-Nur Ayat 11-13 berbicara mengenai perstiwa tuduhan zina kepada keluarga Nabi Muhammad SAW yang dilakukan oleh orang-orang munafik. Allah SWT mencela orang-orang yang melakukan hal tersebut, pun orang-orang yang percaya terhadap tuduhan itu.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah An-Nur Ayat 10


Ayat 11

Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang yang membuat-buat berita bohong atau fitnah mengenai rumah tangga Rasulullah  itu adalah dari kalangan kaum Muslimin sendiri. Sumbernya dari Abdullah bin Ubay bin Salul, pemuka kaum munafik di Medinah, Safwan bin Mu’attal, keponakan Nabi, dan Hassan bin Sabit.

Allah menghibur hati mereka, agar mereka jangan menyangka bahwa peristiwa itu buruk dan merupakan bencana bagi mereka, tetapi pada hakikatnya kejadian itu adalah suatu hal yang baik bagi mereka karena dengan kejadian itu, mereka akan memperoleh pahala besar dan kehormatan dari Allah dengan diturunkannya ayat-ayat yang menyatakan kebersihan mereka dari berita bohong itu, suatu bukti autentik yang dapat dibaca sepanjang masa.

Setiap orang yang menyebarkan berita bohong itu akan mendapat balasan, sesuai dengan usaha dan kegiatannya tentang tersiar luasnya berita bohong itu. Sedang orang yang menjadi sumber pertama dan menyebarluaskan berita bohong ini, ialah Abdullah bin Ubay bin Salul, sebagai seorang tokoh munafik yang tidak jujur, di akhirat kelak akan diazab dengan azab yang pedih.


Baca juga: Ketika Al-Quran Dibaca, Dengarkan dan Perhatikanlah!


Ayat 12

Ayat ini menerangkan bahwa Allah mencela tindakan orang-orang mukmin yang mendengar berita bohong itu yang seakan-akan mempercayainya. Mengapa mereka tidak menolak fitnahan itu secara spontan? Mengapa mereka tidak mendahulukan baik sangkanya?

Iman mereka, semestinya membawa mereka untuk berbaik sangka, dan mencegah mereka berburuk sangka kepada sesama orang mukmin, karena baik atau buruk sesama mukmin, pada hakikatnya adalah juga baik atau buruk juga bagi dia sendiri, sebagaimana firman Allah:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ  اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ

Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.  (al-Hujurāt/49: 12)

Maksudnya, janganlah orang mukmin mencela sesama orang mukmin, karena orang mukmin itu seperti satu badan.

Rasulullah sendiri mencegah para sahabat melakukan sangkaan yang tidak baik itu ketika beliau menjemput kedatangan Aisyah dengan mempergunakan unta Safwan bin Mu’attal di tengah hari bolong dan disaksikan oleh orang banyak, agar mencegah adanya sangkaan-sangkaan yang tidak sehat.

Kalau ada desas-desus yang sifatnya negatif, sebenarnya hal itu adalah luapan prasangka mereka yang disembunyikan dan kebencian yang ditutupi selama ini.

Ayat 13

Ayat ini menunjukkan kemarahan Allah kepada para penyebar berita bohong itu, mengapa mereka tidak mendatangkan empat orang saksi atas kebenaran fitnahan yang disebarkan dan dituduhkan kepada Aisyah r.a. itu? Tidak didatangkannya empat orang saksi oleh mereka itu, berarti bahwa mereka itu bohong, baik di sisi Allah maupun di kalangan manusia.


Baca setelahnya: Tafsir Surah An-Nur Ayat 14-18


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah An-Nur Ayat 6-9

0
tafsir surah an-nur
Tafsir Surah An-Nur

Tafsir Surah An-Nur Ayat 6-9 berbicara mengenai tuduhan perzinahan seorang suami kepada istrinya. Terdapat syarat yang harus terpenuhi atas tuduhan zina, salah satunya adalah harus mendatangkan emapat saksi. Di sini juga terdapat prosedur-prosedur untuk menolak tuduhan tersebut.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah An-Nur Ayat 3-5


Ayat 6

Ayat ini menerangkan bahwa suami yang menuduh istrinya berzina, dan ia tidak dapat mendatangkan empat orang saksi yang melihat sendiri perbuatan zina yang dituduhkan itu, maka ia diminta untuk bersumpah demi Allah sebanyak empat kali bahwa istrinya itu benar-benar telah berzina. Sumpah empat kali itu untuk pengganti empat orang saksi yang diperlukan bagi setiap orang yang menuduh perempuan berzina.

Seorang suami menuduh istrinya berzina adakalanya karena ia melihat sendiri istrinya berbuat mesum dengan laki-laki lain, atau karena istrinya hamil, atau melahirkan, padahal ia yakin bahwa janin yang ada di dalam kandungan istrinya atau anak yang dilahirkan istrinya itu bukanlah dari hasil hubungan dengan istrinya itu.

Untuk menyelesaikan kasus semacam ini, suami membawa istrinya ke hadapan yang berwenang dan di sanalah dinyatakan tuduhan kepada istrinya. Maka yang berwenang menyuruh suaminya bersumpah empat kali, sebagai pengganti atas empat orang saksi yang diperlukan bagi setiap penuduh perempuan berzina, bahwa ia adalah benar dengan tuduhannya. Kata-kata sumpah itu atau terjemahannya adalah:

اَشْهَدُ بِاللهِ الْعَظِيْمِ اَنِّي لَصَادِقٌ فِيْمَا رَمَيْتُ بِهِ زَوْجَتِى  فُلاَنَةَ  مِنَ الزِّنَى.

(Demi Allah Yang Maha Agung, saya bersaksi bahwa sesungguhnya saya benar di dalam tuduhanku terhadap istriku “si Anu” bahwa dia berzina)

Sumpah ini diulang empat kali.

Ayat 7

Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa setelah suami mengucapkan empat kali sumpah itu, pada kali kelima ia perlu menyatakan bahwa ia bersedia menerima laknat Allah, bila ia berdusta dengan tuduhannya itu. Redaksi pernyataan itu atau terjemahannya adalah:

وَعَلَيَّ لَعْنَةُ اللهِ اِنْ كُنْتُ مِنَ الْكَاذِبِيْنَ فِى دَعْوَايَ

(Laknat Allah ditimpakan atasku, apabila aku berdusta dalam tuduhanku itu)

Dengan demikian, terhindarlah ia dari hukuman menuduh orang berzina.

Ayat 8

Ayat ini menerangkan bahwa untuk menghindarkan istri dari hukuman akibat tuduhan suaminya itu, maka ia harus mengajukan kesaksian mengangkat sumpah pula demi Allah empat kali yang menegaskan kesaksiannya bahwa suaminya itu berbohong dengan tuduhannya. Redaksi sumpah dan terjemahannya sebagai berikut:

اَشْهَدُ بِاللهِ الْعَظِيْمِ اِنَّ فُلاَنًا هَذَا زَوْجِى لَمِنَ الْكَاذِبِيْنَ فِيْمَا رَمَانِى بِهِ مِنَ الزِّنَى.

(Demi Allah Yang Maha Agung, saya bersaksi bahwa sesungguhnya si anu ini, suamiku, adalah bohong di dalam tuduhannya kepadaku bahwa saya telah berzina)

Sumpah ini diulang empat kali.


Baca juga: Semua Manusia itu Sama, Lantas Kenapa Ada Kafaah dalam Pernikahan? Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 13


Ayat 8

Pada ayat ini diterangkan bahwa setelah mengucapkan sumpah itu empat kali, pada kali kelima ia harus menyampaikan penegasan bahwa ia bersedia menerima laknat Allah bila suaminya itu benar dengan tuduhannya kepadanya.  Redaksi sumpah dan terjemahannya sebagai berikut:

وَعَلَيَّ غَضَبُ اللهِ اِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِيْنَ

(Murka Allah ditimpakan atasku apabila suamiku itu benar);Kalau suami istri telah mengucapkan sumpah dan sudah saling melaknat (mula’anah) seperti itu, maka terjadilah perceraian paksa dan perceraian itu selama-lamanya, artinya suami istri itu tidak dibenarkan lagi rujuk kembali sebagai suami istri untuk selama-lamanya, sebagaimana dijelaskan oleh Ali dan Ibnu Mas`ud dengan katanya:

مَضَتِ السُّنَّةُ اَلاَّ يَجْتَمِعَ الْمُتَلاَعِنَانِ

(Telah berlaku Sunnah (Nabi saw) bahwa dua (suami istri) yang telah saling melaknat, bahwa mereka tidak boleh berkumpul lagi sebagai suami istri untuk selama-lamanya)

Ini, didasarkan hadis:

اَلْمُتَلاَعِنَانِ اِذَا افْتَرَقَا لاَيَجْتَمِعَانِ اَبَدًا

Dua orang (suami istri) yang saling melaknat apabila telah bercerai keduanya tidak boleh lagi berkumpul sebagai suami istri untuk selama-lamanya. (Riwayat ad-Dāruqutn dari Ibnu ‘Umar)

Istri diberi oleh Allah hak untuk membela diri dari tuduhan suaminya menunjukkan bahwa Allah menutup aib seseorang. Tetapi perlu diingat bahwa seandainya sang istri memang telah berzina, namun ia membantahnya maka ia memang terlepas dari hukuman di dunia, tetapi tidak akan terlepas dari azab di akhirat yang tentunya lebih keras dan pedih. Oleh karena itu, ia perlu bertobat maka Allah akan menerimanya sebagaimana dimaksud ayat berikutnya.


Baca setelahnya: Tafsir Surah An-Nur Ayat 10


(Tafsir Kemenag)