Beranda blog Halaman 251

Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 24-26

0
tafsir surah al-anbiya'
tafsir surah al-anbiya'

Adapun Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 24-26 berisi bantahan Allah terhadap tuduhan-tuduhan yang di lontarkan oleh orang kafir. Di sini, ada tiga tuduhan yang dijawab, yakni; Pertama, bahwa Allah memiliki sekutu. Kedua, Muhammah bukanlah nabi melainkan manusia biasa. Terakhir, tuduhan bahwa para Malaikat adalah anak-anak Tuhan. Berikut jawaban atas tuduhan tersebut.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 20-23


Ayat 24

Dalam ayat ini Allah menegaskan kembali bantahan-Nya terhadap kaum musyrikin mengenai kepercayaan mereka bahwa Allah mempunyai sekutu, atau ada tuhan yang lain selain Allah. Setelah mereka diberikan bukti-bukti dan dalil-dalil yang jelas tentang kemahaesaan Allah, mereka kemudian ditanya, apakah mereka masih belum percaya, dan masih mengambil tuhan-tuhan selain Allah?

Ini menunjukkan kebodohan dan keingkaran mereka yang bukan kepalang. Sebab, kalau bukan demikian, niscaya mereka segera menganut kepercayaan tauhid dan membuang kepercayaan syirik, setelah memperoleh keterangan dan bukti-bukti yang begitu jelas.

Selanjutnya dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad untuk menyampaikan tantangan kepada kaum musyrik itu, bahwa jika mereka masih saja memegang kepercayaan syirik dan menolak ajaran tauhid, hendaklah mereka mengemukakan pula dalil dan keterangan yang membuktikan kebenaran kepercayaan mereka itu.

Akan tetapi, tantangan itu tidak akan pernah mereka jawab, baik berdasarkan dalil-dalil yang berdasarkan akal (rasionil), maupun dengan bukti-bukti yang berupa ajaran yang terdapat dalam Injil, Taurat, atau pun Zabur.

Tantangan itu mengandung pengertian bahwa jika orang-orang musyrik berpendapat bahwa kepercayaannya itu benar, hendaklah mereka menunjukkan bukti dan dalilnya, karena pada mereka ada Al-Qur’an yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad, dan Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa, dan Taurat yang diturunkan-Nya kepada Nabi Musa, serta Zabur yang diturunkan-Nya kepada Nabi Daud.

Tunjukkanlah sebuah ayat yang terdapat dalam kitab-kitab suci tersebut yang membenarkan kepercayaan syirik.

Sudah pasti, mereka tidak akan dapat menunjukkan bukti yang dimaksudkan itu, karena semua kitab suci tersebut hanyalah mengajarkan kepercayaan tauhid, dan tidak membenarkan kepercayaan syirik.

Ini membuktikan, bahwa agama Islam dan semua agama yang disampaikan oleh para rasul sebelum Muhammad, dasarnya adalah sama, yaitu kepercayaan tauhid yang murni kepada Allah.

Hanya saja, setelah para rasul itu wafat, sebagian umatnya meninggalkan kepercayaan tauhid, dan kembali kepada kepercayaan syirik, karena kebanyakan mereka tidak mengetahui yang benar, oleh sebab itulah mereka berpaling dari kebenaran kitab suci mereka.


Baca Juga: Mabadi’ Asyrah: Sepuluh Dasar Ilmu Qiraat yang Perlu Diketahui 


Ayat 25

Dalam ayat ini Allah menegaskan, bahwa setiap rasul yang diutus sebelum Muhammad saw adalah manusia yang telah diberi-Nya wahyu yang bertugas mengajarkan bahwa tidak ada tuhan selain Allah.

Oleh sebab itu menjadi kewajiban bagi manusia untuk menyembah Allah semata-mata. Dan tidak ada satu dalil pun, baik dalil berdasarkan akal, atau pun dalil yang diambilkan dari kitab-kitab suci yang disampaikan oleh semua rasul-rasul Allah, yang membenarkan kepercayaan selain kepercayaan tauhid kepada Allah.

Ayat 26

Dalam ayat ini Allah menyebutkan tuduhan kaum musyrik yang mengatakan bahwa para malaikat adalah anak-anak Allah. Kemudian Allah membantah tuduhan itu dengan menegaskan bahwa Dia Mahasuci dari tuduhan itu, dan para malaikat itu adalah hamba-hamba-Nya yang diberi kemuliaan.

Mempunyai anak adalah salah satu gejala alam atau makhluk yang bersifat “baru” sedang Allah adalah bersifat “Qidām” (dahulu). Dan juga merupakan gejala adanya hajat terhadap kehidupan berkeluarga dan berketurunan, yang juga merupakan salah satu sifat yang ada pada makhluk, sedang Allah tidak serupa dengan makhluk-Nya.

Di samping itu, anak tentu mempunyai persamaan dengan ayahnya dalam satu segi, dan mempunyai perbedaan dalam segi lain. Sebab itu, jika benar malaikat adalah anak Allah, maka ia juga ikut disembah, padahal Allah telah menegaskan bahwa hanya Allah-lah yang patut disembah dan para malaikat itu selalu menyembah atau beribadat kepada Allah.

Ringkasnya, malaikat bukanlah anak Allah, melainkan hamba-hamba-Nya, hanya saja mereka itu merupakan hamba-hamba Allah yang diberi kemuliaan dan tempat yang dekat kepada Allah serta diberi kelebihan atas semua makhluk, karena ketaatan mereka dalam beribadah kepada-Nya melebihi makhluk-makhluk yang lain. Tetapi manusia yang beriman, taat dan saleh lebih mulia daripada malaikat.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 27-29


Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 20-23

0
tafsir surah al-anbiya'
tafsir surah al-anbiya'

Selain berbicara tentang bagaimana ibadah para malaikat, Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 20-23 juga menyinggung kesesatan orang kafir yang masih menyembah patung-patung (benda mati) daripada Allah Swt sebagai Tuhan yang Maha Hidup. Allah menjelaskan bukti konkrit dan rasional terkait Tuhan, dengan perumpamaan dua Tuhan yang ada, apakah mungkin mereka bersepakat? Akur? dan sejalan? Hal ini tidak direnungkan oleh orang-orang kafir tersebut.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 17-19


Ayat 20

Dalam ayat ini Allah menjelaskan bagaimana caranya para malaikat itu beribadah kepada-Nya, yaitu dengan senantiasa bertasbih siang dan malam dengan tidak putus-putusnya.

Dalam ayat lain Allah berfirman tentang para malaikat ini:

 لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ

Yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (at-Ta¥r³m/66: 6);

Ayat 21

Dalam ayat ini Allah menunjukkan kesesatan dan kebodohan kaum musyrikin, karena mereka tidak berpegang kepada ajaran tauhid, bahkan menyembah “tuhan-tuhan yang berasal dari bumi,” yaitu patung-patung yang merupakan benda mati, yang dibuat oleh tangan mereka sendiri yang berasal dari benda-benda bumi. Sudah pasti, bahwa benda mati tidak akan dapat memelihara dan mengelola makhluk hidup apalagi menghidupkan orang-orang yang sudah mati. Sedang Tuhan kuasa berbuat demikian.

Patung-patung yang mereka sembah itu dalam ayat ini disebut sebagai ‘tuhan-tuhan dari bumi’. Ini menunjukkan betapa rendahnya martabat tuhan mereka itu, sebab tuhan-tuhan tersebut mereka buat dari tanah, atau dari benda-benda yang lain yang terdapat di bumi ini, dan hanya disembah oleh manusia. Sedang Tuhan yang sebenarnya, disembah oleh seluruh makhluk, baik di bumi maupun di langit.

Dengan demikian jelaslah betapa sesatnya kepercayaan dan perbuatan kaum musyrikin itu, karena mereka mempertuhankan apa-apa yang tidak sepantasnya untuk dipertuhankan.

Ayat 22

Pada ayat ini Allah memberikan bukti yang rasional berdasarkan kepada benarnya kepercayaan tauhid dan keimanan kepada Allah Yang Maha Esa, yaitu seandainya di langit dan di bumi ada dua tuhan, niscaya rusaklah keduanya, dan binasalah semua makhluk yang ada di antara keduanya. Sebab, jika seandainya ada dua tuhan, maka ada dua kemungkinan yang terjadi:

Pertama, Bahwa kedua tuhan itu mungkin tidak sama pendapat dan keinginan mereka dalam mengelola dan mengendalikan alam ini, lalu keinginan mereka yang berbeda itu semuanya terlaksana, di mana yang satu ingin menciptakan, sedang yang lain tidak ingin menciptakan, sehingga alam ini terkatung-katung antara ada dan tidak. Atau hanya keinginan pihak yang satu saja yang terlaksana, maka tuhan yang satu lagi tentunya menganggur dan berpangku tangan. Keadaan semacam ini tidak pantas bagi tuhan.

Kedua, Bahwa tuhan-tuhan tersebut selalu sepakat dalam menciptakan sesuatu, sehingga setiap makhluk diciptakan oleh dua pencipta. Ini menunjukkan ketidak mampuan masing-masing tuhan itu untuk menciptakan sendiri makhluk-makhluknya. Ini juga tidak patut bagi tuhan. Oleh sebab itu, kepercayaan yang benar adalah mengimani tauhid yang murni kepada Allah, tidak ada sesuatu yang berserikat dengan-Nya dalam mencipta dan memelihara alam ini. Kepercayaan inilah yang paling sesuai dengan akal yang sehat.

Dengan demikian, keyakinan dalam Islam bertentangan baik dengan ajaran atheisme maupun ajaran polytheisme.

Setelah mengemukakan dalil yang rasional, maka Allah menegaskan bahwa Dia Mahasuci dari semua sifat-sifat yang tidak layak yang dihubungkan kepada-Nya oleh kaum musyrikin, misalnya bahwa Dia mempunyai anak, atau sekutu dalam menciptakan, mengatur, mengelola dan memelihara makhluk-Nya.


Baca Juga: Mengapa Al-Quran Mukjizat Terbaik? Ini Jawaban al-Suyuthi dalam al-Itqan


Ayat 23

Untuk memperkuat keterangan bahwa Allah Mahasuci dari sifat-sifat yang tidak layak bagi Tuhan, maka dalam ayat ini Allah menye-butkan kekuasaan-Nya yang mutlak atas segala makhluk-Nya, sehingga tidak seorang pun berwenang untuk menanyakan, memeriksa atau meminta pertanggung jawaban-Nya atas setiap perbuatannya. Bahkan ditegaskan, bahwa manusialah yang akan diminta pertanggungjawabannya atas setiap perbuatannya. Hal ini disebabkan Allah-lah Hakim dan  Penguasa yang sebenarnya. Allah menciptakan segala sesuatu senantiasa berdasarkan ilmu dan hikmah-Nya yang tinggi, serta kasih sayang dan keadilan-Nya kepada hamba-Nya.

Dalam hubungan ini, Allah telah berfirman dalam ayat lain:

فَوَرَبِّكَ لَنَسْـَٔلَنَّهُمْ اَجْمَعِيْنَۙ  ٩٢  عَمَّا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ   ٩٣

Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu. (al-¦ijr/15: 92-93)

Firman-Nya lagi:

وَّهُوَ يُجِيْرُ وَلَا يُجَارُ عَلَيْهِ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

Dia melindungi, dan tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab-Nya), jika kamu mengetahui? (al-Mu`minµn/23: 88)

 

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 24-26


Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 97-99

0
tafsir surah al isra'
tafsir surah al isra'

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 97-99 berbicara mengenai tiga hal. Pertama mengenai kekuasaan Allah SWT terkait dengan taufik dan hidayah. Kedua berbicara mengenai keingkaran orang-orang kafir terhadap ayat-ayat Allah dan hari kebangkitan.


Baca juga: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 94-96


Ayat 97

Allah swt menerangkan dalam ayat ini bahwa Dialah yang menguasai dan menentukan segala sesuatu. Dia yang memberi petunjuk dan taufik kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Orang yang tidak menerima petunjuk dan taufik-Nya, adalah orang yang sesat dan tidak akan memperoleh penolong selain Allah.

Orang-orang sesat itu akan dikumpulkan Allah pada hari kiamat di suatu tempat untuk dihisab. Mereka dibangkitkan dari kubur dalam keadaan buta, bisu, dan tuli, sebagaimana mereka dahulu di dunia tidak melihat dan mendengarkan kebenaran yang disampaikan.

Nabi saw bersabda:

قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ يَحْشُرُ النَّاسُ عَلَى وُجُوْهِهِمْ؟ قَالَ: الَّذِي أَمْشَاهُمْ عَلَى أَرْجُلِهِمْ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُمْشِيَهُمْ عَلَى وُجُوْهِهِمْ. (رواه البخاري و مسلم عن أنس بن ملك)

Seorang bertanya kepada Rasulullah saw, “Ya Rasulullah bagaimana manusia berjalan dengan wajah mereka?” Rasulullah menjawab, “Dia yang menjalankan mereka dengan kaki mereka, tentu berkuasa pula menjalankan mereka dengan wajah mereka”. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik)

Abµ Dawud dan at-Tirmizi meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah:

إِنَّ النَّاسَ يَكُوْنُوْنَ ثَلاَثَةَ اَصْنَافٍ فِى الْحَشْرِ مُشَاةً وَرُكْبَانًا وَ عَلَى وُجُوْهِهِمْ.

Bahwa manusia itu ada tiga macam pada hari berkumpul di padang Mahsyar, ada yang berjalan, ada yang berkendaraan dan ada pula yang berjalan dengan wajah mereka.;Setelah selesai dihisab, mereka dimasukkan ke dalam neraka Jahanam dan dibakar dengan api yang menyala-nyala karena setiap akan padam, nyala api itu ditambah lagi.

Setiap kali kulit dan tubuh menjadi hangus, dan daging-daging mereka menjadi musnah, Allah menggantinya kembali dengan kulit, daging, dan tubuh yang baru, sehingga mereka kembali merasakan azab yang tidak putus-putusnya.


Baca juga: Tiga Macam Bentuk Jadal (Perdebatan) Yang Direkam dalam Al-Quran


Ayat 98

Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang kafir itu diazab karena mengingkari ayat-ayat Allah dan hari kebangkitan dengan mengatakan, “Apakah mungkin kita dibangkitkan kembali, setelah kita mati, tubuh kita sudah hancur dan lumat bersama tanah, kemudian tulang-belulang kita berserakan menjadi bahagian yang terpisah-pisah. Apakah bagian-bagian tubuh itu dapat dikumpulkan dan dihidupkan kembali, sehingga kita menjadi makhluk hidup yang baru?”

Ayat 99

Allah swt membantah pendapat orang-orang yang tidak mem-percayai adanya hari kebangkitan dengan mengatakan bahwa apakah mereka tidak melihat dan memperhatikan bagaimana Allah telah menciptakan mereka dari tidak ada menjadi ada, begitu juga langit dan semua isinya, dan bumi dengan segala benda dan makhluk yang ada di dalamnya, termasuk manusia sendiri.

Apakah mereka tidak memperhatikan segala kejadian yang ada di langit dan di bumi? Semuanya diciptakan dari tiada menjadi ada. Jika Allah swt sanggup menciptakan semuanya untuk kali yang pertama, tentu sanggup pula menciptakannya untuk kali yang kedua karena merancang ulang biasanya lebih mudah dibandingkan dengan menciptakan pertama kali.

Allah telah menciptakan bagi manusia jangka waktu yang tidak ada keraguan padanya, menetapkan masa hidup mereka di dunia dan dalam kubur, dan masa mereka dibangkitkan kembali. Hanya Allah sajalah Yang Maha Mengetahui penentuan masa-masa itu.

Meskipun bukti-bukti tentang hari kebangkitan, kebesaran, dan kekuasaan Allah telah dikemukakan dan dijelaskan kepada orang-orang kafir yang zalim itu, mereka tetap ingkar dan tidak percaya kepada bukti-bukti tersebut.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 100-102


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 94-96

0
tafsir surah al isra'
tafsir surah al isra'

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 94-96 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai keingkaran orang-orang musyrik terhadap wahyu Allah. Kedua berbicara mengenai keengganan orang musyrik ketika Allah mengutus seorang rasul dari kalanan manusia sendiri.


Baca juga: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 90-93


Ayat 94

Ayat ini menerangkan bahwa tidak ada yang menghalangi orang-orang musyrik Mekah beriman kepada Nabi Muhammad ketika wahyu diturunkan Allah kepadanya disertai dengan bermacam-macam mukjizat, kecuali keinginan mereka bahwa jika Allah swt mengutus seorang rasul-Nya kepada manusia, maka rasul itu haruslah seorang malaikat, bukan seorang manusia biasa.

Orang-orang kafir Mekah khususnya dan orang-orang kafir pada umumnya heran mengapa wahyu itu diturunkan kepada seorang manusia biasa seperti Muhammad, bahkan seorang anak yatim.

Kenapa tidak diturunkan kepada yang terpandai atau terkaya di antara mereka atau manusia yang mempunyai kekuatan gaib, malaikat, dan sebagainya. Sikap orang musyrik Mekah seperti itu sama dengan sikap orang-orang yang terdahulu terhadap para rasul yang diutus kepada mereka.

Firman Allah swt:

اَوَعَجِبْتُمْ اَنْ جَاۤءَكُمْ ذِكْرٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ عَلٰى رَجُلٍ مِّنْكُمْ لِيُنْذِرَكُمْ وَلِتَتَّقُوْا وَلَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ

Dan herankah kamu bahwa ada peringatan yang datang dari Tuhanmu melalui seorang laki-laki dari kalanganmu sendiri, untuk memberi peringatan kepadamu dan agar kamu bertakwa, sehingga kamu mendapat rahmat? (al-A’raf/7: 63)


Baca juga: Makna Pengulangan Lafaz al-Rahmān al-Rahīm dalam Surah al-Fatihah


Ayat 95

Allah membantah sikap orang-orang musyrik Mekah itu dengan menyatakan bahwa sekiranya di bumi ini terdapat malaikat-malaikat yang berjalan, berpikir, bertempat tinggal, hidup bermasyarakat, mempunyai hawa nafsu, berkebudayaan, berorganisasi, dan sebagainya, tentulah Allah swt akan mengutus malaikat sebagai rasul-Nya, bukan manusia.

Ayat ini seakan-akan memperingatkan orang-orang kafir bahwa rasul yang diutus Allah adalah seorang manusia biasa tetapi sanggup menyampai-kan ajaran agama-Nya kepada mereka, mengerti apa yang mereka inginkan, apa yang mereka rasakan, apa yang baik bagi mereka, dan sebagainya.

Bukan seperti malaikat yang tidak mempunyai ambisi dalam hidup seperti manusia dan hanya melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepada mereka.

Allah swt berfirman:

لَقَدْ مَنَّ اللّٰهُ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ اِذْ بَعَثَ فِيْهِمْ رَسُوْلًا مِّنْ اَنْفُسِهِمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِهٖ وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَۚ وَاِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ

Sungguh, Allah telah memberi karunia kepada orang-orang beriman ketika (Allah) mengutus seorang rasul (Muhammad) di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab (Al-Qur’an) dan Hikmah (Sunnah), meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Ali ‘Imran/3: 164)

Ayat 96

Allah memerintahkan kepada Rasulullah saw agar menyampaikan ancaman-Nya kepada orang-orang kafir bahwa Allah akan menjadi saksi atas apa yang diperselisihkan antara Nabi dan orang-orang musyrik Mekah. Allah akan menjadi hakim yang akan mengadili perkara mereka dengan adil di akhirat nanti karena Dia mengetahui semua yang mereka kerjakan, bahkan yang terkandung dalam hati mereka.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 97-99


(Tafsir Kemenag)

 

 

Ibnu Al-Arabi atau Ibnu Arabi? Inilah Dua Mufasir dari Andalusia

0
gambar ilustrasi Ibnu Al-Arabi atau Ibnu Arabi
gambar ilustrasi Ibnu Al-Arabi atau Ibnu Arabi

Bagaimana sebenarnya penyebutan yang benar untuk nama salah seorang cendekia Muslim, Ibnu Al-Arabi atau Ibnu Arabi? Keduanya tidak keliru, karena keduanya merupakan cendekia Muslim abad pertengahan yang memiliki nama yang nyaris seiras. Keduanya juga seorang mufasir Al-Quran, dan sama-sama berasal dari semenanjung Iberia atau Andalusia. Perbedaannya, yang satu memakai “al-ma’rifat (alif lam) pada namanya, dan yang satunya lagi tidak. Karya tafsir kedua alim tersebut juga memiliki corak yang berbeda. Tafsir karya Ibnu Al-Arabi bercorak fiqhi, sedangkan tafsir anggitan Ibnu Arabi beraliran tafsir isyari/sufistik.

Baca Juga: Ibnu Athiyyah, Mufasir Al-Quran dari Granada Spanyol

Ibnu Al-Arabi, Seorang Mufasir yang Faqih dari Sevilla

Ibnu Al-Arabi lahir di Isybilia, sekarang Sevilla, Spanyol, pada tahun 468 H/1076 M. Nama lengkapnya adalah Abu Bakr Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad yang terkenal dengan Ibnu Al-Arabi al-Ma’afiri al-Isybili. Sejak kecil, ia telah dididik oleh ayahnya yang merupakan seorang ahli fiqih dan ulama besar di Sevilla.

Sebagaimana kutipan Farid Wajdi dalam Dairat al-Ma’arif li al-Qarn al-‘Isyrin, di usianya yang ke-17 Ibnu Al-Arabi telah diajak rihlah menimba pengetahuan oleh ayahnya ke kota-kota penting keilmuan seperti Baghdad, Damaskus, Kairo, dan Iskandariyah (Alexandria). Sekembalinya dari studinya ke luar daerah, Ibnu Al-Arabi menjadi orang yang sangat alim yang menguasai berbagai disiplin ilmu seperti hadis, fiqh, ushul, ulumul quran, balaghah, gramatika Arab, dan sejarah.

Meski menguasai banyak disiplin keilmuan, Ibnu Al-Arabi terkenal sebagai seorang ahlul fiqhi atau faqih. Madzhab yang dianutnya adalah Maliki. Ia sempat diangkat menjadi seorang qadhi yang sangat tegas dan berwibawa di Seville. Namun beberapa waktu kemudian, ia mengundurkan diri dan memilih menyibukkan diri untuk mengajar dan menulis. Dan dalam aktivitas tersebut, Ibnu Al-Arabi telah menorehkan belasan kitab yang sangat berharga.

Di antara kitabnya yang terkenal adalah tafsir Al-Quran, sehingga julukan mufasssir pun pantas disandang Ibnu Al-Arabi. Kitab tafsir tersebut berjudul Ahkam al-Qur’an. Menurut penuturan Musthafa al-Hanafi dalam Kasyf al-Syubuhat ‘an al-Musytabihat, 500 ayat dalam Ahkam al-Quran dan sisanya bukan merupakan ayat ahkam. Meskipun corak penafsiran ayat ini didominasi madzhab Maliki, namun kitab ini memberikan keterbukaan makna lain di luar madzhab, sebagaimana keluasan ilmu Ibnu Al-Arabi. Kitab tafsir ini juga menjadi rujukan penting di Andalusia bagi karya tafsir setelahnya seperti Tafsir Al-Qurtubi.

Baca Juga: Tafsir Fiqh (3): Ibn Al-Arabi dan Ahkam al-Qur’an-nya

Ibnu Arabi, Seorang Mufasir dan Sufi Kenamaan dari Mursia

Ibnu Arabi yang disebut kedua ini merupakan seorang filsuf dan salah satu sufi terbesar dalam dunia Islam. Ia lahir di Mursia, Spanyol tahun 560 H, dan memiliki nama asli Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Abdillah al-Hatimi at-Ta’iy. Kelahirannya bertepatan pada era mulukut thawaif (pecahnya kerajaan menjadi kerajaan-kerajaan kecil), konflik, dan penyerangan kelompok reconquista (kelompok penakluk Kristen). Namun, Ibnu Arabi cukup beruntung karena dilahirkan di keluarga terpandang, hartawan, dan berilmu. Sehingga memberikan kesempatan kepadanya untuk mengenyam pendidikan sedari kecil.

Ia memulai pendidikan awalnya di Lisabon, kemudian pindah dan menetap di Sevilla. Selama di menetap di sana, Ibnu Arabi melakukan banyak rihlah ilmiah ke berbagai daerah seperti Tunisia, AlJazair, Makkah, dan Mesir. Ia bertemu dengan banyak sekali guru. Keterangan dalam Futuhat Al-Makiyyah memberikan penjelasan bahwa Ibnu Arabi bertemu dengan banyak sekali sufi dan filsuf terkemuka, serta para intelektual lintas agama.

Pergumulannya dengan banyak pemikiran mengantarkan Ibnu Arabi memiliki ketajaman intelektualitas yang tinggi. Hingga kemudian, di akhir perjalanan intelektual dan spiritualnya, ia menempuh jalan menjadi seorang sufi. Syaikh Al-Akbar merupakan julukan atas kebesarannya sebagai seorang sufi yang namanya hanya dapat ditandingi oleh Al-Ghazali.

Ibnu Arabi termasuk salah satu intelektual yang produktif. Setiap kali rihlah ia selalu menuliskan satu atau beberapa karya. Menurut penuturan Browne dalam A Literary History of Persia tercatat tidak kurang dari 500 buah judul karya yang telah dihasilkan Ibnu Arabi, baik berupa buku maupun artikel pendek. Bidang Al-Quran pun juga tidak luput dari goresan tintanya, hingga akhirnya ia menelurkan dua buah karya tafsir Al-Quran fenomenal yang bertajuk Fusus al-Hikam dan Futuhat al-Makiyyah. Sebagaimana mufasir dengan latar belakang sufi, tak pelak lagi, kedua kitab hasil penafsiran Ibnu Arabi tersebut sangat bernuansa sufistik.

Fusus al-Hikam, sebuah kitab yang berisi 27 bab tentang kenabian tersebut diakui Ibnu Arabi sebagai ilham dari Nabi Muhammad. Adapun kitab Futuhat Al-Makiyyah, kitab yang ditulis paling akhir yaitu pada saat di Makkah, diutarakan Ibnu Arabi sebagai ilham dari Sang Ilahi. Sebagaimana karakteristik tafsir isyari pada umumnya, ia tidak terususun secara sistematis. Kedua kitab tafsir Ibnu Arabi pun juga demkian, tidak terikat pada satu pakem sistematika penyusunan disiplin ilmu tafsir, tapi lebih menjelaskan makna-makna Al-Quran secara esoterik. Kedalaman makna kitab inipun hingga hari ini diakui oleh banyak sarjana Barat maupu Timur sebagai satu bentuk spiritualitas tertinggi.

Baca Juga: Mengenal Corak Sufistik Tafsir Ruh Al-Ma’ani Karya Al-Alusi

Ibnu Arabi atau Ibnu Al-Arabi, adalah dua orang mufasir yang sama-sama berasal dari Barat Islam, Andalusia, yang memiliki konsentrasi disiplin keilmuan yang sangat berbeda. Terlihat kentara sekali perbedaan corak penafsiran Ibnu Al-Arabi dalam Ahkam al-Quran dengan Ibnu Arabi dalam Fusus al-Hikam dan Futuhat al-Makiyyah-nya. Meski berbeda disiplin keilmuan, tapi tetap saja kedua cendekia alim tersebut sejatinya merupakan berlian berharga yang dimiliki Islam. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 90-93

0
tafsir surah al isra'
tafsir surah al isra'

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 90-93 berbicara mengenai sikap para pemuka Quraisy ketika menghadapi seruan Nabi Muhammad SAW. Mereka enggan untuk menerima seruan Nabi Muhammad SAW.


Baca juga: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 88-89


Ayat 90-93

Ayat-ayat ini menerangkan sikap para pemimpin Quraisy menghadapi seruan Nabi Muhammad saw, mereka itu di antaranya Utbah, Syaibah, Abu Sufyan, Nazar, dan lain-lain.

Sikap mereka itu menunjukkan tampak tanda-tanda keingkaran dan keengganan mereka menerima seruan tersebut. Akibatnya, apa saja bukti yang dikemukakan kepada mereka, mereka tetap tidak akan beriman.

Mereka meminta kepada Rasulullah hal-hal yang mustahil karena mereka tahu bahwa Rasulullah tidak akan sanggup mengerjakannya. Dengan demikian ada alasan bagi mereka untuk tidak mengikuti seruan Rasul itu.

Di antara permintaan orang-orang kafir itu ialah:

  1. Agar Rasulullah saw memancarkan mata air dari bumi, padahal negeri mereka padang pasir.
  2. Agar Rasulullah mewujudkan sebuah kebun kurma atau anggur yang dialiri sungai-sungai. Dengan air yang tetap mengalir, akan bertambah suburlah pohon korma dan anggur itu dan memberi hasil yang berlipat ganda.
  3. Agar Rasulullah menjatuhkan langit berkeping-keping sehingga menim-pa mereka. Permintaan mereka yang seperti ini diterangkan pada ayat yang lain. Allah swt berfirman:

وَاِذْ قَالُوا اللهم  اِنْ كَانَ هٰذَا هُوَ الْحَقَّ مِنْ عِنْدِكَ فَاَمْطِرْ عَلَيْنَا حِجَارَةً مِّنَ السَّمَاۤءِ اَوِ ائْتِنَا بِعَذَابٍ اَلِيْمٍ

Dan (ingatlah), ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata, ”Ya Allah, jika (Al-Qur’an) ini benar (wahyu) dari Engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih.” (al-Anfal/8: 32)

Permintaan mereka ini adalah seperti permintaan penduduk Aikah (Madyan) kepada Nabi Syuaib dahulu, sebagaimana Allah berfirman:

فَاَسْقِطْ عَلَيْنَا كِسَفًا مِّنَ السَّمَاۤءِ اِنْ كُنْتَ مِنَ الصّٰدِقِيْنَ ۗ

Maka jatuhkanlah kepada kami gumpalan dari langit, jika engkau termasuk orang-orang yang benar.” (asy-Syu’ara’/26: 187)

  1. Agar Rasulullah saw mendatangkan Allah dan malaikat secara kasat mata (bisa dilihat secara nyata) kepada mereka untuk menyatakan secara langsung bahwa Muhammad adalah seorang rasul yang diutus-Nya.

Baca juga: Makna Pengulangan Lafaz al-Rahmān al-Rahīm dalam Surah al-Fatihah


  1. Agar Rasulullah saw mendirikan rumah yang terbuat dari emas. Orang-orang musyrik berpendapat bahwa seorang rasul yang diutus Allah hendaklah seorang penguasa, kaya raya, dan terhormat. Oleh karena itu, menurut pendapat mereka, mustahil Muhammad sebagai anak yatim piatu lagi miskin diangkat menjadi rasul.
  2. Agar Rasulullah saw naik ke langit melalui sebuah tangga yang dapat mereka lihat, kemudian turun kembali ke dunia melalui tangga yang sama dengan membawa sebuah kitab yang dapat mereka baca dan menggunakan bahasa mereka yang menerangkan bahwa Muhammad adalah rasul Allah.

Sebenarnya semua yang diminta oleh orang musyrikin itu amatlah mudah bagi Allah mengabulkannya, tidak ada satu pun yang sukar dan mustahil bagi Allah mengadakan dan melakukannya. Namun Allah tahu bahwa semua permintaan itu hanyalah mengada-ada, sebagai alasan untuk tidak beriman kepada Nabi Muhammad. Sikap orang-orang musyrik itu dijelaskan dalam firman Allah swt:

اِنَّ الَّذِيْنَ حَقَّتْ عَلَيْهِمْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لَا يُؤْمِنُوْنَ   ٩٦  وَلَوْ جَاۤءَتْهُمْ كُلُّ اٰيَةٍ حَتّٰى يَرَوُا الْعَذَابَ الْاَلِيْمَ   ٩٧

Sungguh, orang-orang yang telah dipastikan mendapat ketetapan Tuhanmu, tidaklah akan beriman, meskipun mereka mendapat tanda-tanda (kebesaran Allah), hingga mereka menyaksikan azab yang pedih. (Yµnus/10: 96-97);Dan firman Allah:

وَلَوْ اَنَّنَا نَزَّلْنَآ اِلَيْهِمُ الْمَلٰۤىِٕكَةَ وَكَلَّمَهُمُ الْمَوْتٰى وَحَشَرْنَا عَلَيْهِمْ كُلَّ شَيْءٍ قُبُلًا مَّا كَانُوْا لِيُؤْمِنُوْٓا اِلَّآ اَنْ يَّشَاۤءَ اللّٰهُ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَهُمْ يَجْهَلُوْنَ

Dan sekalipun Kami benar-benar menurunkan malaikat kepada mereka, dan orang yang telah mati berbicara dengan mereka dan Kami kumpulkan (pula) di hadapan mereka segala sesuatu (yang mereka inginkan), mereka tidak juga akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki. Tapi kebanyakan mereka tidak mengetahui (arti kebenaran). (al-An’am/6: 111)

Allah swt memerintahkan kepada Muhammad agar menyampaikan kepada orang-orang musyrik itu bahwa ia hanyalah manusia yang diangkat sebagai seorang rasul dan diberi wahyu. Allah mampu mewujudkan semua permintaan mereka itu, tetapi permintaan mereka itu tidak dikabulkan-Nya karena tidak diperlukan. Seandainya dikabulkan pun, mereka tetap tidak akan beriman.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 94-96


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah al-Maidah Ayat 2: Anjuran untuk Takziyah, dan Berikut Waktu Terbaik untuk Takziyah

0
Anjuran untuk Takziyah, dan Berikut Waktu Terbaik untuk Takziyah
Anjuran untuk Takziyah, dan Berikut Waktu Terbaik untuk Takziyah

Istilah takziyah sudah tidak asing lagi ditelinga kita, apalagi pada saat ini kita sedang berada pada suasana pandemi Covid-19, berita kematian silih berganti, sehingga menganjurkan kita sebagai umat muslim untuk melayat. Dalam melayat yang kita lakukan adalah menengok keluarga yang terkena musibah, dan ini sama halnya dengan anjuran untuk takziyah, dan apakah benar bahwa makna takziyah adalah hanya sekedar menengok kerabat atau tetangga yang terkena musibah?

Pada kitab al-Adzkar an-Nawawiyah  karangan Imam An-Nawawi:

واعلم أن التعزية هي التصبير، وذكر ما يسلّي صاحب الميت، ويخفّف حزنه، ويهوّن مصيبته، وهي مستحبة، فإنها مشتملة على الأمر بالمعروف، والنهي عن المنكر، وهي داخلة أيضاً في قول الله تعالى: (وَتَعاونُوا على البِرّ والتَّقْوَى)، وهذا أحسن ما يُستدلّ به في التعزية.

Takziyah memiliki makna tashabbur (mengajak sabar), menghibur keluarga yang terkena musibah meninggal, meringankan kesedihannya, dan memudahkan urusan musibahnya.

Kemudian dalam kitab tersebut juga tertulis bahwa hukum takziyah sendiri adalah sunnah.

Baca juga: Haruskah Selalu Bersikap Kasar dan Keras Terhadap Orang Kafir dan Munafik? Tafsir Surah At-Taubah Ayat 73

Tafsir Surah al-Maidah Ayat 2

Ada beberapa dalil anjuran takziyah, salah satunya yang ada pada Al-Qur’an adalah surat al-Maidah ayat 2:

وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya (Q.S Al-Maidah Ayat 2)

Ayat tersebut merupakan dalil takziyah karena dalam takziyah kita dianjurkan untuk membantu dan menolong keluarga mayit agar lepas dari kesedihan, termasuk membacakan doa takziyah. Dan hal tersebut merupakan hal kebaikan yang mesti kita lakukan.

Pada kitab Tafsir Maraghi ditulis oleh Ahmad Musthafa al-Maraghi menjelaskan tentang surah al-Maidah ayat 2, yang mana pada ayat tersebut diperintahkan tolong menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan. Karena prinsip menjalin kerjasama dalam kebaikan dengan siapapun merupakan pokok-pokok petunjuk sosial dalam Al-Qur’an.

و الأ مر با التعا ن على البر والتقوى من أركان الهدا يه الا جتما عيه في القرأن

Kemudian pada Tafsir Fi Zhilalil Quran yang ditulis oleh  Sayyid Quthb, bahwa ayat di atas merupakan puncak jiwa dan toleransi hati umat muslim yang ditugasi Allah Swt untuk selalu mengedepankan kemanusiaan demi mendaki ke ufuk kemuliaan yang cemerlang.

Baca juga: Mengulas Penafsiran Q.S. al-Alaq Ayat 1-5 dari Kacamata Tafsir non Tarbawi

Waktu Terbaik untuk Takziyah

Menurut para ulama, waktu yang baik untuk melaksanakan takziyah adalah saat sebelum mayit dikuburkan dan ketika pasca dikuburkan. Kemudian untuk batasan waktu takziyah, menurut Imam al-Juwaini adalah maksimal tiga hari.

Meskipun ada batasan waktu sebagaimana yang dijelaskan di atas, ternyata juga ada waktu terbaik untuk takziyah, yakni antara sebelum dan sesudah dikuburkan. Mengapa demikian?  Karena sebelum dikuburkan para keluarga sibuk mengatur pengurusan jenazah.

Akan tetapi, jika keluarga lebih membutuhkan bantuan banyak ketika proes penguruan jenazah, maka alangkah lebih baiknya bisa hadir ketika proses pengurusan jenazah.

Ganjaran untuk Orang yang Saling Tolong Menolong

Dari kitab shahih Muslim dijelaskan bahwa umat muslim yang melakukan kebaikan untuk sesama muslim yang sedang tertimpa musibah, maka Allah akan meringankan urusannya di dunia dan di akhirat, berikut hadis riwayat dari Imam Muslim:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّمِيمِيُّ، وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَمُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ الْهَمْدَانِيُّ – وَاللَّفْظُ لِيَحْيَى، قَالَ يَحْيَى: أَخْبَرَنَا وقَالَ الْآخَرَانِ: حَدَّثَنَا – أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ، يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا، سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ، وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ، وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ، يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ، وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ، إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمِ السَّكِينَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ، وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ، لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang menghilangkan satu kesulitan seorang mukmin yang lain dari  kesulitannya di dunia, niscaya Allah akan menghilangkan darinya satu kesulitan pada hari kdiamat. Barangsiapa yang meringankan orang yang kesusahan (dalam hutangnya), niscaya Allah akan meringankan baginya (urusannya) di dunia dan akhirat. Barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, niscaya Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Dan Allah  akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba tersebut mau menolong saudaranya. Barangsiapa yang menempuh satu jalan untuk mencari ilmu, niscaya Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah dari rumah–rumah Allah (masjid), membaca kitabullah, saling mengajarkan di antara mereka, melainkan akan turun kepada mereka ketenangan, diliputi oleh rahmat dan dinaungi oleh para malaikat serta Allah akan menyebut–nyebut mereka di hadapan makhluk yang berada di sisiNya. Barangsiapa yang lambat dalam beramal, sungguh garis nasabnya tidak akan bisa membantunya.” (HR. Muslim)

 

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 88-89

0
tafsir surah al isra'
tafsir surah al isra'

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 88-89 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai perkataan sebagain orang musyrik yang akan mendatangkan sesuatu yang mirip dengan al-Qur’an. kedua berbicara mengenai macam-macam bentuk penyampaian bukti kekuasaan Allah.


Baca juga: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 86-87


Ayat 88

Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dan Ibnu Jarir dari Sa’id dari Ibnu ‘Abbas, bahwa Salam bin Misykam dan kawan-kawannya sesama orang Yahudi datang menghadap Rasulullah saw dan berkata, “Bagaimana kami akan mengikuti engkau Muhammad, padahal engkau telah meninggalkan kiblat kami dan Al-Qur’an yang engkau bawa itu susunannya tidak seperti kitab Taurat.

Karena itu turunkanlah kepada kami sebuah kitab yang dapat kami periksa. Kalau kamu tidak sanggup mendatangkannya, maka kami akan mendatangkan kepada kamu sesuatu yang sama dengan yang engkau bawa itu. Maka Allah swt menurunkan ayat ini yang menegaskan kepada mereka bahwa mereka semuanya tidak akan sanggup membuat kitab seperti Al-Qur’an.

Sabab nuzul ayat ini tidak disepakati oleh para ulama karena surah ini termasuk surah Makkiyah dan sasarannya adalah orang-orang Quraisy, sedangkan orang Yahudi tinggal di Medinah.

Pada ayat ini, Allah swt menegaskan mukjizat Al-Qur’an dan keutamaan-nya, yaitu Al-Qur’an benar-benar dari Allah dan diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.

Sebagai bukti bahwa Al-Qur’an itu dari Allah, bukan buatan Muhammad sebagaimana yang didakwakan oleh orang-orang kafir Mekah dan ahli kitab, Allah swt memerintahkan Nabi Muhammad saw agar menyampaikan tantangan kepada mereka yang mengabaikan dan meman-dang Al-Qur’an itu bukan wahyu Allah untuk membuat tandingan Al-Qur’an.

Tetapi Allah menegaskan bahwa mereka tidak akan mampu membuat kitab yang sama. Allah berfirman:

وَاِنْ كُنْتُمْ فِيْ رَيْبٍ مِّمَّا نَزَّلْنَا عَلٰى عَبْدِنَا فَأْتُوْا بِسُوْرَةٍ مِّنْ مِّثْلِهٖ ۖ وَادْعُوْا شُهَدَاۤءَكُمْ مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ   ٢٣  فَاِنْ لَّمْ تَفْعَلُوْا وَلَنْ تَفْعَلُوْا فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِيْ وَقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ ۖ اُعِدَّتْ لِلْكٰفِرِيْنَ  ٢٤

Dan jika kamu meragukan (Al-Qur’an) yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surah semisal dengannya dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Jika kamu tidak mampu membuatnya, dan (pasti) tidak akan mampu, maka takutlah kamu akan api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir. (al-Baqarah/2: 23-24)

Sejarah menunjukkan bahwa banyak pemimpin dan ahli sastra Arab yang mencoba menandingi dan meniru Al-Qur’an, bahkan ada yang mendakwakan dirinya sebagai seorang nabi, seperti Musailamah al-Kazzab, Sulaiḥah, Habalah bin Ka’ab, dan lain-lain.

Akan tetapi, mereka semua gagal dalam usahanya bahkan mendapat cemooh dan hinaan dari masyarakat. Sebagai contoh ialah apa yang telah dibuat oleh Musailamah al-Ka©©±b yang dianggapnya dapat menandingi ayat-ayat Al-Qur’an:

أَيُّهَا الضِّفْدَعُ بِنْتُ الضِّفْدَعَيْنِ نَقِّي مَا تُنَقِّيْنَ أَعْلاَكِ فِى الْمَاءِ وَأَسْفَلَكِ فِى التُّرَابِ.

Hai katak, anak dari dua katak, pekikkan suaramu apa yang ingin kamu pekikkan. Bagian atas engkau di air dan bagian bawah engkau di tanah.;Para ahli menyatakan bahwa perkataan Musailamah itu tidak ada yang mengandung sesuatu makna.

Di antara yang memberi komentar ialah al-Jahiz, seorang sastrawan Arab yang mashyur yang mengatakan, “Saya tidak mengerti apakah gerangan yang menggerakkan jiwa Musailamah menyebut-kan katak dan sebagainya, alangkah buruknya gubahan yang dikatakannya sebagai ayat Al-Qur’an yang telah diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw.

Kemungkinan kerjasama jin dan manusia disebutkan di sini adalah untuk mengimbangi Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad yang memperoleh Al-Qur’an dari Allah. Mereka tidak mungkin menandinginya karena Al-Qur’an berasal dari Allah swt.


Baca juga: Makna Pengulangan Lafaz al-Rahmān al-Rahīm dalam Surah al-Fatihah


Ayat 89

Dalam ayat ini diterangkan bahwa Allah menyampaikan segala macam bukti dan argumen kepada manusia agar mereka beriman. Berbagai bukti dan argumen itu diungkapkan dalam bentuk penjelasan dengan berbagai macam gaya bahasa, ada dalam bentuk perintah, berita, dan cerita.

Demikian pula isinya yang bermacam-macam, seperti akidah, hukum, budi pekerti, ibadah, kisah, dan sebagainya yang tidak dapat dibantah kebenaran-nya.

Sekalipun Allah swt telah menyampaikan dalam bentuk dan cara yang berbeda-beda, juga isinya yang mengandung nilai-nilai yang tinggi untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat, namun orang-orang kafir tidak mengimaninya. Mereka tetap mengingkari dan menentangnya.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 90-93


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 86-87

0
tafsir surah al isra'
tafsir surah al isra'

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 86-87 berbicara mengenai dau hal. Pertama mengenai kekuasaan Allah apabila berkehendak untuk mencabut al-Qur’an. Kedua berbicara mengenai penegasan bahwa al-Qur’an tidak akan dicabut dari hati orang-orang mukmin.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 84-85


Ayat 86

Ayat ini menerangkan bahwa jika Allah swt menghendaki untuk menarik kembali Al-Qur’an yang telah diturunkan dan menghapusnya dari hati Nabi Muhammad dan dari lembaran-lembaran yang telah ditulis, hal itu pasti dengan mudah dapat dilaksanakan-Nya, sedikit pun tidak akan ada bekasnya.

Mudahnya bagi Allah swt menghapus Al-Qur’an itu diterangkan dalam hadis Nabi saw:

عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ: إِنَّ هَذَا الْقُرْاٰنَ سَيُرْفَعُ، قِيْلَ كَيْفَ يُرْفَعُ وَقَدْ أَثْبَتَهُ اللهُ فِي قُلُوْبِنَا وَأَثْبَتْنَاهُ فِى الْمَصَاحِفِ؟ قَالَ يُسْرَى عَلَيْهِ فِي لَيْلَةٍ وَاحِدَةٍ فَلاَ تُتْرَكُ مِنْهُ اٰيَةٌ فِي قَلْبٍ وَلاَ مُصْحَفٍ إِلاَّ رُفِعَتْ، فَتُصْبِحُوْنَ وَلَيْسَ فِيْكُمْ مِنْهُ شَيْءٌ ثُمَّ قَرَأَ هَذِهِ الْاٰيَةَ.

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’µd bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Al-Qur’an ini akan diangkat (dihapus).” Seseorang berkata, “Bagaimana mungkin, sesungguhnya Allah telah mengokohkannya di dalam hati kita, dan kita telah mengabadikan (menulisnya) di dalam lembar-lembar bertulis.” Ia berkata, “Diangkat Al-Qur’an di satu malam maka tidak ada yang ditinggalkan seayat pun darinya dalam hati dan tidak pula pula di dalam mushaf, kecuali semua diangkat. Maka pada waktu paginya tidak satu ayat pun lagi yang tinggal padamu.” Lalu Nabi membaca ayat ini. (Riwayat Sa’id bin Mansµr dan al-Hakim serta dinyatakan sahih oleh at-Tabrani dan al-Baihaqi)

Setelah Al-Qur’an dihapus dari hati dan yang tertulis dalam mushaf, maka pada saat itu tidak ada lagi yang dapat dijadikan pegangan dan petunjuk ke jalan yang benar. Tidak seorangpun yang sanggup mengembalikannya, baik dalam bentuk mushaf maupun hafalan.


Baca juga: Tafsir Ahkam: Dalil Keluarnya Benda Asing dari Kemaluan Atau Dubur Tidak Membatalkan Wudhu


Ayat 87

Akan tetapi, Allah tidak bermaksud menghapus Al-Qur’an dari hati Nabi dan mushaf-mushaf, karena rahmat-Nya yang besar yang dilimpahkan kepada hamba-hamba-Nya. Al-Qur’an adalah nikmat yang paling besar yang diberikan Allah kepada manusia. Dia menetapkan Al-Qur’an dalam hati manusia serta menjaganya dari campur tangan mereka.

Menurut ar-Razi, ada dua macam nikmat besar yang diberikan Allah kepada ulama: pertama, memudahkan mereka memperoleh ilmu, dan kedua, tetapnya ilmu dalam pikiran dan ingatan mereka.

Dengan kedua macam nikmat itu, maka manusia mudah mencerna kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dan kemudian melaksanakan yang diperintahkan-Nya dan menghentikan yang dilarang-Nya. Dengan demikian, terjagalah mereka dari kehancuran di dunia dan azab neraka di akhirat.

Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa keutamaan yang diberikan-Nya kepada Nabi Muhammad sangat besar sehingga Allah tidak menginginkan terhapusnya wahyu yang telah diturunkan kepadanya. Wahyu ini merupakan nikmat Allah yang terbesar kepada Rasulullah dan orang-orang beriman karena berisi hidayah dan penyembuh dari berbagai penyakit.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 88-89


(Tafsir Kemenag)

https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/penyakit

Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 12-16

0
tafsir surah al-anbiya'
tafsir surah al-anbiya'

Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 12-16

Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 12-16 menjelaskan bahwa kaum kafir berada dalam kondisi panik ketika azab Allah Swt tiba, mereka berusaha lari, namun usaha yang mereka lakukan hanyalah sia-sia. Disaat peradilan Allah, mereka dimintai pertanggung jawaban, namun mereka hanya bisa mengeluh pada diri sendiri, dan menyesal atas kelalaian semasa hidup di dunia. Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 12-16 juga menjelaskan bahwa segalam makhluk yang ALlah ciptakan tidaklah sia-sia, melainkan ada tujuan dan hikmah didalamnya.

Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 7-11

Ayat 12

Pada ayat ini Allah menjelaskan bagaimana keadaan kaum kafir pada waktu terjadinya malapetaka tersebut, setelah mereka yakin bahwa azab Allah pasti akan menimpa diri mereka sebagaimana yang telah diperingatkan oleh para nabi dan rasul, maka mereka lari dalam keadaan tunggang langgang, padahal dahulunya mereka dengan penuh kesombongan berkata kepada rasul-rasul mereka, “Kami pasti akan mengusir kamu dari negeri kami ini, atau kamu akan kembali kepada agama kami.” Sekarang sebaliknya merekalah yang terpaksa meninggalkan rumah dan kampung halaman mereka, melarikan diri dari azab Allah.

Ayat 13

Pada ayat ini Allah menjelaskan, bahwa ketika mereka lari untuk menyelamatkan diri dari malapetaka yang datang, mereka diperintahkan kembali ke tempat semula, di mana mereka telah merasakan nikmat Allah, untuk kemudian menjawab pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan kepada mereka, sebagai pertanggung jawaban mereka kepada Allah.

Ayat 14

Dalam ayat ini Allah menjelaskan apa jawaban kaum kafir itu terhadap perintah di atas, ketika itu barulah mereka menyesal dan mengakui kezaliman yang telah mereka perbuat selama ini. Mereka berkata, “Aduhai, celaka sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim.” Akan tetapi, pengakuan dan penyesalan itu sudah tidak berguna lagi. Azab Allah tidak dapat dielakkan lagi. Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna.

Ayat 15

Ayat ini menegaskan bahwa mereka senantiasa mengulangi keluhan yang semacam itu, namun azab Allah telah menimpa dan membinasakan mereka, sehingga jadilah mereka seperti tanaman yang telah dituai, rusak binasa, dan tidak mungkin hidup kembali.


Baca Juga:


Ayat 16

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah tidak menciptakan langit dan bumi serta semua yang terdapat di antara keduanya, untuk maksud yang sia-sia atau main-main, melainkan dengan tujuan yang benar, yang sesuai dengan hikmah dan sifat-sifat-Nya yang sempurna.

Pernyataan ini merupakan jawaban terhadap sikap dan perbuatan kaum kafir yang mengingkari kenabian Muhammad saw, serta kemukjizatan Al-Qur’an. Karena tuduhan-tuduhan yang dilemparkan kepadanya yaitu, bahwa Al-Qur’an adalah buatan Muhammad, bukan wahyu dan mukjizat yang diturunkan Allah kepadanya.

Sikap ini menunjukkan bahwa mereka tidak mengakui ciptaan Allah, seakan-akan Allah menciptakan sesuatu hanya untuk main-main, tidak mempunyai tujuan yang benar dan luhur. Padahal Allah menciptakan langit, bumi dan seisinya, dan yang ada di antara keduanya, adalah agar manusia menyembah-Nya dan berusaha untuk mengenal-Nya melalui ciptaan-Nya itu. Akan tetapi maksud tersebut baru dapat tercapai dengan sempurna apabila penciptaan alam itu diikuti dengan penurunan Kitab yang berisi petunjuk dan dengan mengutus para rasul untuk membimbing manusia.

Al-Qur’an selain menjadi petunjuk bagi manusia, juga berfungsi sebagai mukjizat terbesar bagi Muhammad saw, untuk membuktikan kebenaran kerasulannya. Oleh sebab itu, orang-orang yang mengingkari kerasulan Muhammad adalah juga orang-orang yang menganggap bahwa Allah menciptakan alam ini dengan sia-sia, tanpa adanya tujuan dan hikmat yang luhur, tanpa ada manfaat dan kegunaannya.

Apabila manusia mau memperhatikan semua yang ada di bumi ini, baik yang tampak di permukaannya, maupun yang tersimpan dalam perut bumi itu, niscaya ia akan menemukan banyak keajaiban yang menunjukkan kekuasaan Allah. Jika ia yakin bahwa kesemuanya itu diciptakan Allah untuk kemaslahatan dan kemajuan hidup manusia sendiri, maka ia akan merasa bersyukur kepada Allah, dan meyakini bahwa semuanya itu diciptakan Allah berdasarkan tujuan yang luhur karena semuanya memberikan faedah yang tidak terhitung banyaknya. Bila manusia sampai kepada keyakinan semacam itu, sudah pasti ia tidak akan mengingkari Al-Qur’an dan tidak akan menolak kerasulan Nabi Muhammad saw.

Senada dengan isi ayat ini, Allah telah berfirman dalam ayat-ayat yang lain.

وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاۤءَ وَالْاَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا بَاطِلًا ۗذٰلِكَ ظَنُّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا فَوَيْلٌ لِّلَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنَ النَّارِۗ

Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dengan sia-sia. Itu anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang yang kafir itu karena mereka akan masuk neraka. (¢ād/38: 27)

Dan firman Allah lagi:

مَا خَلَقْنٰهُمَآ اِلَّا بِالْحَقِّ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ

Tidaklah Kami ciptakan keduanya melainkan dengan haq (benar), tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (ad- Dukhān/44: 39)

 

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 17-19