Beranda blog Halaman 315

Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 101-110

0
Tafsir Surah Al-Kahfi
Tafsir Surah Al-Kahfi

Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 101-110 menjelaskan bahwa orang-orang yang mata hatinya tertutup dari kekuasaan Allah akan disediakan Azab yang pedih. Sebagai penutup dari surah Al-Kahfi Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 101-110 ini lebih banyak memperingati manusia untuk berperilaku baik sesuai dengan syariat dan ridha yang ditetapkan oleh Allah.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 98-100


Ayat 101

Ayat ini menjelaskan bahwa azab yang pedih itu disediakan untuk orang-orang yang mata hatinya selalu tertutup dari memperhatikan tanda-tanda kebesaran Allah yang ada di dunia ini. Mereka tidak pernah memikirkan bukti-bukti kekuasaan-Nya, tidak pernah bertobat kepada Tuhannya, tidak pernah mengikuti perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, seolah-olah mereka menutup telinga tidak mau mendengar peringatanperingatan dari Allah itu.

Azab yang demikian itu ditimpakan kepada mereka sebagai akibat perbuatan mereka berkecimpung (bergelimangan) dalam dosa dan pelanggaran, mengikuti godaan setan masuk dalam perangkap-perangkap yang dipasang oleh setan, sehingga hati mereka dikunci mati oleh Tuhan sehingga tidak dapat lagi mempergunakan mata dan telinganya untuk menerima petunjuk dan kebenaran. Dan Allah menjelaskan bahwa apa-apa yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memberi manfaat kepada mereka sedikit pun.

Ayat 102

Apakah orang-orang kafir yang mempersekutukan Aku dengan yang lain menyangka bahwa hamba-hamba-Ku yang ada dalam genggaman kekuasaan-Ku, seperti para malaikat, Isa putra Maryam dan berhala-berhala yang mereka sembah, dapat mereka jadikan penolong untuk menyelamatkan diri dari kemurkaan dan azab-Ku?

Sangkaan mereka itu adalah sesat dan salah belaka dan Allah dengan tegas menyatakan lagi, “Kami telah menyediakan neraka Jahannam bagi orang-orang kafir sebagai tempat tinggal dan sebagai ganti dari apa-apa yang mereka sajikan untuk sembahan-sembahannya.

Ayat 103

Ayat ini menjelaskan perintah Allah kepada Nabi Muhammad untuk mengatakan kepada orang-orang yang membantahnya di antara Ahli-ahli Kitab yaitu Yahudi dan Nasrani, “Maukah kamu diberi tahu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya yaitu orang-orang yang telah bersusah payah mengerjakan suatu perbuatan yang dengan perbuatan itu ia mengharap pahala dan karunia, tetapi yang mereka peroleh hanyalah malapetaka dan kebinasaan, seperti orang-orang yang telah membeli barang dengan mengharapkan keuntungan, tetapi yang diperolehnya hanyalah kerugian belaka.

Ayat 104

Yaitu orang-orang yang sia-sia perbuatannya dalam menghimpun kebaikan di dunia, mereka melakukan perbuatan yang bertentangan dengan perbuatan yang diridai Allah dan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat yang sebaik-baiknya. Kemudian ternyata mereka telah berbuat keliru dan menempuh jalan yang sesat sehingga amal perbuatan yang telah mereka kerjakan itu tidak memberi manfaat sedikit pun bagaikan debu yang terbang habis dihembus angin.

Ayat 105

Mereka yang sia-sia usahanya itu ialah orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Tuhan dan kufur pula terhadap hari kebangkitan padahal di hari itu mereka akan dihadapkan kepada hari perjumpaan dengan Allah. Oleh karena itu segala amal mereka akan hapus sehingga tidak ada lagi amal kebajikan yang akan ditimbang di atas neraca timbangan mereka. Karena yang akan memberatkan timbangan pada hari Kiamat hanyalah amal saleh yang bersih dari kemusyrikan.

Ayat 106

Balasan yang demikian itu diakibatkan kekafiran mereka kepada utusan-utusan Allah dan mukjizat-mukjizat yang dibawanya yang selalu mereka jadikan sebagai olok-olok. Mereka bukan hanya tidak percaya saja tetapi juga memperolok-olok dan menghinakan utusan-utusan Allah yang berarti pula menghinakan Allah yang mengutusnya.

Ayat 107

Sesungguhnya orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan membenarkan risalah para rasul dan berbuat amal saleh semata-mata untuk mencapai keridaan-Nya, bagi mereka disediakan surga Firdaus sebagai tempat tinggal. Diriwayatkan oleh al-Bukhāri dan Muslim dari Abu Hurairah ra, bersabda Rasulullah saw:

اِذَا سَأَلْتُمُ الله َفَاسْأَلُوْهُ الْفِرْدَوْسَ فَاِنَّهَا اَوْسَطُ الْجَنَّةِ وَاَعْلَى الْجَنَّةِ وَفَوْقَهَا عَرْشُ الرَّحْمٰنِ تَبَارَكَ وَتَعَالىٰ وَمِنْهُ تُفَجِّرُ اْلاَنْهَارُ. (رواه البخاري ومسلم عن ابى هريرة)

Apabila kamu memohon kepada Allah, maka mohonlah surga Firdaus, karena ia itu surga yang paling mulia dan yang paling tinggi dan di atasnya terdapat Arsy Ar Rahmàn, dan dari surga Firdaus itu mengalirlah sungai-sungai surga. (Riwayat al-Bukhāri dan Muslim dari Abu Hurairah)

Ayat 108

Mereka kekal di dalam surga dan tidak ingin pindah ke tempat lain, karena tidak ada tempat yang lebih mulia dan lebih agung pada sisi mereka kecuali surga Firdaus.

Ayat 109

Diriwayatkan bahwa orang-orang Yahudi berkata kepada Nabi Muhammad, “Engkau mengatakan bahwa kami telah diberi oleh Allah hikmah, sedang dalam kitab engkau (Al-Qur’an) terdapat ayat:

وَمَنْ يُّؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ اُوْتِيَ خَيْرًا كَثِيْرًا ۗ

Dan barangsiapa dianugerahkan al-hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. (al-Baqarah/2: 269)

Kemudian engkau mengatakan pula sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an:

وَمَآ اُوْتِيْتُمْ مِّنَ الْعِلْمِ اِلَّا قَلِيْلًا

Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit. (al-Isrā’/17: 85)

Mereka berpendapat, ada pertentangan antara kedua ayat ini, maka turunlah ayat ini sebagai jawaban atas kritikan mereka. Rasul diperintahkan untuk mengatakan kepada mereka, “Katakanlah kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk menuliskan (dengan pena) kalimat-kalimat Tuhanku dan ilmu-ilmu-Nya, maka akan habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku meskipun air laut itu ditambahkan sebanyak itu pula, karena lautan itu terbatas sedangkan ilmu dan hikmah Allah tidak terbatas.”

Seperti firman Allah:

وَلَوْ اَنَّ مَا فِى الْاَرْضِ مِنْ شَجَرَةٍ اَقْلَامٌ وَّالْبَحْرُ يَمُدُّهٗ مِنْۢ بَعْدِهٖ سَبْعَةُ اَبْحُرٍ مَّا نَفِدَتْ كَلِمٰتُ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ

“Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan lautan (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh lautan (lagi) setelah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat-kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (Luqmān/31: 27)

Ayat 110

Dalam Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 101-110 ini, Katakanlah kepada mereka, “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, mengakui bahwa semua ilmuku tidak sebanding dengan ilmu Allah, aku mengetahui sekedar apa yang diwahyukan Allah kepadaku, dan tidak tahu yang lainnya kecuali apa yang Allah ajarkan kepadaku. Allah telah mewahyukan kepadaku bahwa, “Yang disembah olehku dan oleh kamu hanyalah Tuhan Yang Maha Esa, yang tidak ada sekutu bagi-Nya.”

Oleh karena itu barangsiapa yang mengharapkan pahala dari Allah pada hari perjumpaan dengan-Nya, maka hendaklah ia tulus ikhlas dalam ibadahnya, mengesakan Allah dalam rububiyah dan uluhiyah-Nya dan tidak syirik baik yang terang-terangan maupun yang tersembunyi seperti riya, karena berbuat sesuatu dengan motif ingin dipuji orang itu termasuk syirik yang tersembunyi.

Setelah membersihkan iman dari kemusyrikan itu hendaklah selalu mengerjakan amal saleh yang dikerjakannya semata-mata untuk mencapai keridaan-Nya.

Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw. bersabda:

اِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَقُوْلُ: اَنَا اَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ فَمَنْ عَمِلَ عَمَلاً اَشْرَكَ فِيْهِ غَيْرِيْ تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ. (رواه مسلم عن ابي هريرة)

Sesungguhnya Allah berfirman, “Saya adalah yang paling kaya di antara semua yang berserikat dari sekutunya. Dan siapa yang membuat suatu amalan dengan mempersekutukan Aku dengan yang lain, maka Aku tinggalkan dia bersama sekutunya.” (Riwayat Muslim dari Abu Hurairah)

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 98-100

0
Tafsir Surah Al-Kahfi
Tafsir Surah Al-Kahfi

Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 98-100 mengisahkan tentang datangnya Yakjuj dan Makjuj ke muka bumi dan membuat kerusakan. Pada Tafsir sebelumnya dijelaskan bahwa nabi Zulkarnain  mengurung Yakjuj dan Makjuj ke dalam sebua Benteng. Dijelaskan pula dalam Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 98-100 ini bahwa Benteng tersebut merupakan rahmat karunia dari Tuhan kepada hamba-Nya. Selengkapnya Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 98-100….


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 89-97


Ayat 98

Selanjutnya Zulkarnain berkata, “Benteng ini adalah merupakan rahmat karunia dari Tuhanku kepada hamba-Nya, karenanya ia menjadi benteng yang kokoh yang menjaga mereka dari serbuan Yakjuj dan Makjuj.

Tetapi apabila telah datang janji Tuhanku tentang keluarnya mereka dari belakang benteng, maka Dia akan menjadikannya hancur luluh lantak rata dengan tanah karena Allah memberi kuasa kepada suatu kaum untuk menghancurkannya, dan janji Tuhanku itu adalah benar tidak dapat diragukan.

Menurut ahli sejarah, ucapan Zulkarnain ini terbukti dengan kasus munculnya raja Jengis Khan yang telah membuat kerusakan di muka bumi dari Timur sampai ke Barat dan mengadakan penyerangan yang menghancurkan benteng besi dan kerajaan Islam di Baghdad.

Adapun sebabnya raja Jengis Khan ini mengadakan penyerbuan ke negeri Baghdad, oleh karena Sultan Khuwarazmi dari Bani Saljuk telah membunuh beberapa utusan dan pedagang-pedagang yang diutus dari negerinya. Harta benda mereka dirampas dan diadakan pula serbuan-serbuan ke tapal batas negerinya sehingga menimbulkan kemarahan raja Jengis Khan.

Lalu ia menulis surat kepada Sultan Bagdad dengan kata-kata yang pedas sebagai berikut, “Mengapa kamu berani membunuh sahabat-sahabatku dan merampas harta benda perniagaanku. Apakah kamu membangunkan singa yang sedang tidur dan menimbulkan kejahatan-kejahatan yang tersembunyi.”

Tidakkah Nabimu memberikan wasiat kepadamu agar tidak berbuat aniaya. Oleh karena itu tinggalkanlah bangsa Turki selagi mereka tidak mengganggu kamu. Mengapa kamu sakiti tetanggamu padahal Nabimu sendiri telah berwasiat untuk menghormati tetangga.

Dan inilah wasiatku kepadamu, “Peliharalah baik-baik dan pertimbangkanlah kebijaksanaanmu sebelum timbulnya rasa dendam dan sebelum terbukanya benteng besi. Dan Allah pasti akan menolong setiap orang yang dianiaya, karena itu tunggulah kedatangan Yakjuj dan Makjuj yang akan turun dari tiap-tiap tempat yang tinggi.”

عَنْ اُمِّ حَبِيْبَةَ بِنْتِ اَبِيْ سُفْيَانَ عَنْ زَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ رَضِيَ الله ُعَنْهُنَّ اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَيْهَا فَزَعًا يَقُوْلُ: لاَاِلَهَ اِلاَّ الله ُوَيْلٌ لِلْعَرَبِ مِنْ شَرِّ قَدْ اِقْتَرَبَ، فُتِحَ الْيَوْمَ مِنْ رَدْمِ يَأْجُوْجَ وَمَأْجُوْجَ مِثْلُ هَذِهِ. وَحلََّّقَ بِاِصْبَعِهِ اْلاِبْهَامِ وَالَّتِيْ تَلِيْهَا. قَالَتْ زَيْنَبُ بِنْتُ جَحْشٍ فَقُلْتُ يَارَسُوْلَ الله:ِ اَنَهْلِكُ وَفِيْنَا الصَّالِحُوْنَ؟ قَالَ نَعَمْ اِذَا كَثُرَ الْخَبَثُ. (رواه البخارى)

 “Dari Umu Habibah ra dari Zainab binti Jahsyin ra, bahwa Rasulullah saw pada suatu hari masuk ke rumah istrinya, Siti Zaenab bint Jahsy dan dengan terkejut beliau mengatakan, “Lā ilāha illallāh, celakalah bagi orang Arab dari suatu kejahatan yang telah mendekat, hari ini terbuka dari Benteng Yakjuj dan Makjuj lubang besar seperti ini.”

Dan beliau melingkarkan ibu jarinya dengan jari telunjuknya. Lalu Zaenab bertanya, “Ya Rasulullah apakah kami akan binasa padahal di kalangan kami terdapat banyak orang-orang yang saleh.” Beliau menjawab, “Ya, apabila kejahatan sudah banyak  jumlahnya.” (Riwayat al-Bukhāri)

Sejak hari itu lubang di dalam benteng semakin lama semakin besar. Pada abad ke-7 Hijri, datanglah tentara raja Jengis Khan menyerbu dan menimbulkan berbagai kerusakan di muka bumi terutama di negeri Baghdad.

Ayat 99

Pada hari hancurnya benteng besi itu, maka keluarlah Yakjuj dan Makjuj muncul dari belakang benteng gelombang demi gelombang, merusak tanaman dan harta benda seperti yang tersebut dalam firman Allah:

حَتّٰىٓ اِذَا فُتِحَتْ يَأْجُوْجُ وَمَأْجُوْجُ وَهُمْ مِّنْ كُلِّ حَدَبٍ يَّنْسِلُوْنَ

“Hingga apabila  (tembok) Yakjuj dan Makjuj dibukakan dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi.” (al-Anbiyā`/21: 96)

Pada hari terbukanya tembok itu Kami biarkan mereka bercampur aduk dalam keadaan kacau balau, kemudian situasi itu akan mengingatkan penghuni bumi ketika ditiup sangkakala oleh malaikat Israfil pada hari Kiamat, lalu dikumpulkan mereka di padang Mahsyar untuk diadili. Sesuai dengan firman Allah:

قُلْ اِنَّ الْاَوَّلِيْنَ وَالْاٰخِرِيْنَۙ   ٤٩  لَمَجْمُوْعُوْنَۙ اِلٰى مِيْقَاتِ يَوْمٍ مَّعْلُوْمٍ   ٥٠

Katakanlah, “(Ya), sesungguhnya orang-orang yang terdahulu dan yang kemudian, pasti semua akan dikumpulkan pada waktu tertentu, pada hari yang sudah dimaklumi.”  (al-Wāqi’ah/56: 49-50)

Dan firman Allah:

وَيَوْمَ نُسَيِّرُ الْجِبَالَ وَتَرَى الْاَرْضَ بَارِزَةًۙ وَّحَشَرْنٰهُمْ فَلَمْ نُغَادِرْ مِنْهُمْ اَحَدًاۚ

Dan (ingatlah) pada hari (ketika) Kami perjalankan gunung-gunung dan engkau akan melihat bumi itu rata dan Kami kumpulkan mereka (seluruh manusia), dan tidak Kami tinggalkan seorang pun dari mereka. (al-Kahf/18: 47);

Ayat 100

Dan Kami tampakkan neraka Jahanam pada hari ditiupnya sangkakala kepada orang-orang kafir sehingga mereka melihat kedahsyatannya dan keganasannya yang luar biasa dan mereka mendengar pula suaranya dan semburan apinya yang sangat menakutkan, di mana mereka yakin bahwa mereka segera akan dijerumuskan ke dalamnya dan tidak dapat menghindarkan diri daripadanya.

Diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah saw bersabda:

كَيْفَ اَنْعَمُ وَصَاحِبُ الْقَرْنِ قَدِ الْتَقَمَ قَرْنَهُ وَحَنىَ الْجَبْهَةَ وَأَصْغَى اْلاُذُنَ مَتىَ يُؤْمَرُ اَنْ يَنْفُخَ؟ وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ مِنىٰ اِجْتَمَعُوْا عَلَى الْقَرْنِ اَنْ يُقِلُّوْهُ مِنَ اْلاَرْضِ مَاقَدَرُوْا عَلَيْهِ قَالَ: فَأَبْلَسَ (يَئِسَ وَتَحَيَّرَ) أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَقَّ عَلَيْهِمْ، قَالَ: فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قُوْلُوْا – حَسْبُنَا الله ُوَنِعْمَ الْوَكِيْلُ وَعَلَى اللهِ-   (رواه أحمد والترمذي)

“Bagaimana aku dapat bersenang-senang padahal malaikat Israfil sudah mendekatkan mulutnya pada ujung sangkakala dan telah menundukkan dahi dan telinganya telah siap-siap untuk mendengar kapan datangnya perintah dari Allah untuk meniup sangkakala itu. Dan seandainya jamaah haji yang berkumpul di Mina bersama-sama akan mengangkat sangkakala itu dari bumi niscaya mereka tidak mampu (karena sangat beratnya).”

Maka terdiamlah sahabat Rasulullah dan merasa berat mendengar berita itu. Maka Rasulullah saw bersabda, “Bacalah (cukuplah) Allah sebagai penyelamat kami, dan Dia adalah sebaik penolong. Hanya kepada Allahlah (kami bertawakal).” (Riwayat Ahmad dan at-Tirmidzi)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 101-110


Inilah Enam Fungsi Energi Matahari Menurut Tafsir

0
fungsi energi matahari
fungsi energi matahari

Salah satu fungsi energi matahari adalah sebagai sumber energi bagi seluruh alam seisinya. Matahari bertanggung jawab untuk mendukung hampir semua kehidupan di Bumi melalui fotosintesis, serta mengatur suhu, iklim, dan cuaca Bumi. Lebih dari itu, energi matahari termasuk bagian dari energi terbarukan yang dapat menggantikan bahan bakar fosil sebagai sumber energi utama.

Namun, tahukah anda bahwa ternyata matahari memiliki enam fungsi selain disebutkan di atas. Simak penjelasannya di bawah ini.

Baca juga: Bom Bunuh Diri Tinjauan Tafsir Maqashidi

Matahari Sebagai Pusat Tata Surya

Fungsi pertama, yaitu matahari sebagai pusat tata surya. Nicolaus Copernicus (1473-1543), seorang matematikawan dan astronom, sebagaimana dinukil oleh Profesor Robert S. Westman, mengatakan bahwa matahari diam di pusat alam semesta (center of the universe) dan bumi berputar mengelilinginya.

Hal ini menegaskan posisi matahari sebagai pusat tata surya dan bergerak sesuai garis edarnya sebagaimana difirmankan-Nya dalam Q.S. al-Anbiya [21]: 33),

وَهُوَ الَّذِيْ خَلَقَ الَّيْلَ وَالنَّهَارَ وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَۗ كُلٌّ فِيْ فَلَكٍ يَّسْبَحُوْنَ

Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing beredar pada garis edarnya. (Q.S. al-Anbiya’ [21]: 33)

Matahari Sebagai Sumber Energi Terbarukan

Fungsi kedua, yaitu matahari sebagai sumber energi terbarukan. Timothy C. Coburn, dkk dalam Renewable Energy, menjelaskan bahwa energi terbarukan adalah energi yang diperoleh dari pasokan yang secara konstan dan alami yang diproduksi ulang dalam waktu yang relatif singkat. Dan energi matahari termasuk bagian utama dari energi ini.

Berdasarkan laporan REN21 2017, energi terbarukan masing-masing menyumbang 19,3% untuk konsumsi energi global manusia dan 24,5% untuk pembangkit listrik mereka pada tahun 2015 dan 2016. Konsumsi energi ini dibagi menjadi 8,9% berasal dari biomassa tradisional, 4,2% sebagai energi panas (biomassa modern, panas bumi dan panas matahari), 3,9% dari pembangkit listrik tenaga air dan sisanya 2,2% adalah listrik dari angin, matahari, panas bumi, dan bentuk lain biomassa.

Baca juga: Dampak Hate Speech dalam Perspektif Surat al-Hujurat Ayat 12

REN menyampaikan bahwa teknologi energi terbarukan saat ini tengah berkembang untuk menjadi sumber energi utama (mainstream). Matahari sebagai sumber energi terbarukan tentu memiliki kontribusi yang signifikan, di antaranya konsumsi energi (consumption energy) lebih efisien, lebih murah dan lebih ramah lingkungan sehingga meminimalisir risiko terjadinya panas global.

Hal ini sejatinya telah disampaikan al-Razi jauh-jauh hari dalam Mafatih al-Ghaib bahwa energi matahari akan terus menjadi sumber energi hingga hari kiamat kelak dan tidak akan habis. Ia mengistilahkannya dengan istaqarra (stabil, konstan) sebagaimana disinggung dalam firman-Nya Q.S. Yasin [36]: 38),

وَالشَّمْسُ تَجْرِيْ لِمُسْتَقَرٍّ لَّهَا ۗذٰلِكَ تَقْدِيْرُ الْعَزِيْزِ الْعَلِيْمِۗ

Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan (Allah) Yang Mahaperkasa, Maha Mengetahui. (Q.S. Yasin [36]: 38)

Matahari Sebagai Sumber Energi Cahaya

Fungsi ketiga, yaitu matahari sebagai sumber energi cahaya. Annemarie Schimmel dalam Mystical Dimension of Islam, mendefinisikan cahaya sebagai sesuatu yang terang atau tampak (dzahir) pada dirinya dan bisa membuat yang lain tampak terang (al-mudzhir). Bahkan, sufi besar sepanjang sejarah Islam, al-Ghazali mempunyai ulasan panjang lebar terkait konsep cahaya ini, serta mengistilahkannnya sebagai berikut, misykat, misbah, nur, zujajah, syajarah mubarakah, dan al-zait.

Fungsi matahari sebagai sumber cahaya sejatinya telah termaktub dalam Q.S. Yunus [10]: 5,

هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاۤءً وَّالْقَمَرَ نُوْرًا وَّقَدَّرَهٗ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوْا عَدَدَ السِّنِيْنَ وَالْحِسَابَۗ

Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan (waktu). (Q.S. Yunus [10]: 5)

Dalam ayat yang lain dinyatakan,

وَّجَعَلَ الْقَمَرَ فِيْهِنَّ نُوْرًا وَّجَعَلَ الشَّمْسَ سِرَاجًا

Dan di sana Dia menciptakan bulan yang bercahaya dan menjadikan matahari sebagai pelita (yang cemerlang)? (Q.S. Nuh [71]: 16)

Matahari sebagai Sumber Ilmu (Agama dan Sains)

Fungsi keempat adalah matahari sebagai sumber ilmu (agama dan sains). Sebagai sumber ilmu agama ditunjukkan oleh Kisah Nabi Ibrahim a.s. tatkala mencari Tuhannya melalui pengalaman empiris sehingga ia berhasil menemukan Tuhan yang sebenarnya, yaitu Allah swt selaku pencipta langit dan bumi (inni wajjahtu wajhiya lilladzi fathara samawati wal ardh), sebagaimana diabadikan dalam firman-Nya Q.S. al-An’am [6]: 78,

فَلَمَّا رَاَ الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هٰذَا رَبِّيْ هٰذَآ اَكْبَرُۚ فَلَمَّآ اَفَلَتْ قَالَ يٰقَوْمِ اِنِّيْ بَرِيْۤءٌ مِّمَّا تُشْرِكُوْنَ

Kemudian ketika dia melihat matahari terbit, dia berkata, “Inilah Tuhanku, ini lebih besar.” Tetapi ketika matahari terbenam, dia berkata, “Wahai kaumku! Sungguh, aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.” (Q.S. al-An’am [6]: 78)

Ar-Razi dalam Mafatih al-Ghaib menafsirkan proses pencarian jati diri Nabi Ibrahim ini bahwa Nabi Ibrahim mencari “agama” dan kebenaran atas dirinya dan keberadaan Tuhannya (kana yathlubu ad-din wal ma’rifati li nafsihi).

Baca juga: Mari Berkenalan Dengan Tiga Sosok Qari Terkemuka Pada Masa Rasulullah

Sedangkan, sebagai sumber ilmu sains, matahari juga menyumbang penemuan-penemuan sains, di antaranya bagaimana Allah swt melalui matahari bisa mengatur elastisitas bayang-bayang (panjang-pendek, terang-redup, dan sebagainya). Ini menginspirasi lahirnya “teori gemerlap pita bayangan gerhana” (The scintillation theory of eclipse shadow bands) sebagaimana diriset oleh J.L. Codona di Center of Astrophysics, Harvard University.

Elastisitas bayang-bayang yang dimaksud termaktub dalam Q.S. al-Furqan [25]: 45,

اَلَمْ تَرَ اِلٰى رَبِّكَ كَيْفَ مَدَّ الظِّلَّۚ وَلَوْ شَاۤءَ لَجَعَلَهٗ سَاكِنًاۚ ثُمَّ جَعَلْنَا الشَّمْسَ عَلَيْهِ دَلِيْلًا ۙ

Tidakkah engkau memperhatikan (penciptaan) Tuhanmu, bagaimana Dia memanjangkan (dan memendekkan) bayang-bayang; dan sekiranya Dia menghendaki, niscaya Dia jadikannya (bayang-bayang itu) tetap, kemudian Kami jadikan matahari sebagai petunjuk, (Q.S. al-Furqan [25]: 45)

Matahari Sebagai Petunjuk Perhitungan Waktu Shalat

Di samping sebagai sumber ilmu, fungsi kelima matahari ialah sebagai penunjuk perhitungan waktu terutama waktu shalat, sebagaimana disiratkan dalam firman-Nya Q.S. al-Isra’ [17]: 78 dan Q.S. Taha [20]: 130,

اَقِمِ الصَّلٰوةَ لِدُلُوْكِ الشَّمْسِ اِلٰى غَسَقِ الَّيْلِ وَقُرْاٰنَ الْفَجْرِۗ اِنَّ قُرْاٰنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُوْدًا

Laksanakanlah salat sejak matahari tergelincir sampai gelapnya malam dan (laksanakan pula salat) Subuh. Sungguh, salat subuh itu disaksikan (oleh malaikat). (Q.S. al-Isra’ [17]: 78)

Dalam ayat yang lain dikemukakan,

فَاصْبِرْ عَلٰى مَا يَقُوْلُوْنَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوْعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوْبِهَا ۚوَمِنْ اٰنَاۤئِ الَّيْلِ فَسَبِّحْ وَاَطْرَافَ النَّهَارِ لَعَلَّكَ تَرْضٰى

Maka sabarlah engkau (Muhammad) atas apa yang mereka katakan, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum matahari terbit, dan sebelum terbenam; dan bertasbihlah (pula) pada waktu tengah malam dan di ujung siang hari, agar engkau merasa tenang. (Q.S. Taha [20]: 130)

Matahari Sebagai Tanda Kekuasaan Allah SWT

Terakhir, fungsi matahari yang keenam adalah sebagai tanda kekuasaan Allah swt. Bahkan, matahari “dibuatkan” secara khusus oleh Allah swt dalam satu nomenklatur surat bernama Surah al-Syams, dengan ayat pertama wa syams (Demi Matahari). Sungguh luar biasa matahari ini. Hal ini juga disinggung dalam firman-Nya Q.S. al-Nahl [16]: 12

وَسَخَّرَ لَكُمُ الَّيْلَ وَالنَّهَارَۙ وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ ۗوَالنُّجُوْمُ مُسَخَّرٰتٌۢ بِاَمْرِهٖ ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّعْقِلُوْنَۙ

Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu, dan bintang-bintang dikendalikan dengan perintah-Nya. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang mengerti, (Q.S. al-Nahl [16]: 12)

Demikianlah keenam fungsi matahari di atas. Semoga kita semua semakin bertambah iman dan takwa kepada Allah swt bahwa begitu maslahatnya semua yang diciptakan Allah swt untuk kepentingan manusia dan alam seisinya. Wallahu A’lam.

Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 89-97

0
Tafsir Surah Al-Kahfi
Tafsir Surah Al-Kahfi

Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 89-97 mengisahkan tentang perjalanan Nabi Zulkarnain hingga ia tiba menjumpai segolongan umat manusia yang hidupnya tidak di bawah bangunan rumah dan tidak pula dinaungi pohon dari panasnya matahari.

Dikisahkan pula dalam Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 89-97 ini bahwa Nabi Zulkarnain dalam perjalanannya juga berjumpa dengan orang-orang yang tidak mengerti pembicaraan kawan-kawannya apalagi bahasa orang lain.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 81-88


Ayat 89-90

Ayat menjelaskan bahwa Zulkarnain menempuh jalan ke arah Timur. Setelah ia sampai ke pantai Afrika sebelah barat, lalu ia kembali menuju ke arah timur sehingga sampailah ia ke tempat terbitnya matahari di sekitar negeri Tiongkok di mana ia menjumpai segolongan umat manusia yang hidupnya tidak di bawah bangunan rumah dan tidak ada pula pohon-pohon menaunginya dari panasnya matahari.

Mereka langsung mendapat sorotan cahaya matahari karena tidak terlindung oleh atap atau bukit-bukit yang berada di sekitarnya. Mereka pada siang hari berada dalam lubang-lubang di bawah tanah dan baru muncul di atas permukaan bumi setelah matahari terbenam, untuk mencari penghidupannya. Keadaan mereka jauh berbeda sekali dengan penghuni dunia yang lainnya, karena mereka hidupnya masih primitif dan tidak mempunyai bangunan untuk tempat tinggal.

Ayat 91

Selanjutnya perjalanan Zulkarnain itu seperti yang telah diterangkan di atas, sampai ke ujung Barat dan Timur dan telah sampai ke puncak kebesarannya dalam pemerintahannya yang jarang ada bandingannya. Sungguh Kami mengetahui apa saja yang ada padanya dan apa-apa yang diperbuatnya bersama bala tentaranya, walaupun mereka tersebar luas di seluruh permukaan bumi.

Ayat 92

Kemudian dia menempuh suatu jalan lain lagi yaitu jalan antara Masyriq (arah timur) dan Maghrib (arah barat) membelok ke arah utara. Yakni ke arah dua gunung di Armenia dan Ajerbaijan.

Ayat 93

Ketika  dia sampai ke suatu tempat di antara dua buah gunung yang terletak di belakang sungai Jihun di negeri Balkh dekat kota Tirmiz. Dia menjumpai segolongan manusia yang hampir tidak mengerti pembicaraan kawan-kawannya sendiri apalagi bahasa lain, karena bahasa mereka sangat berbeda dengan bahasa-bahasa yang dikenal oleh umat manusia dan taraf kecerdasan mereka pun sangat rendah.


Baca Juga: Mengenal Imran Hosein dan Diskursus Yajuj dan Majuj di Dunia Modern


Ayat 94

Mereka melalui juru bicaranya berkata, “Wahai Zulkarnain sesungguhnya Yakjuj dan Makjuj oleh sebagian peneliti ditengarai sebagai bangsa Tartar dan Mongol, sangat membuat kerusakan di muka bumi dengan pembunuhan, perampasan dan segala macam keganasan, maka bersedialah kamu menerima sesuatu upah dari kami yang kami kumpulkan dari harta benda kami supaya kamu membuatkan benteng untuk menjaga kami dari serbuan mereka.”

Ayat 95

Zulkarnain menjawab, “Apa-apa yang telah Allah karuniakan kepadaku yaitu ilmu, pengetahuan yang cukup, kerajaan besar, kekuasaan yang luas dan kekayaan yang melimpah ruah itu adalah lebih baik dari pada upah yang kamu sodorkan kepadaku, maka kami ucapkan terima kasih atas segala kebaikanmu itu dan aku hanya memerlukan bantuan kekuatan tenaga manusia dan alat-alat agar aku dapat membuatkan benteng antara kamu dan mereka.

Ayat 96

“Bawalah kepadaku potongan-potongan besi.” Dan setelah mereka membawa potongan-potongan besi itu, lalu Zulkarnain merangkai dan memasang besi-besi itu sehingga tingginya sama rata dengan kedua puncak gunung itu. Lalu ia berkata kepada pekerja-pekerjanya, “Gerakkanlah alat-alat peniup angin untuk menyalakan api dan memanaskan besi-besi itu.”

Sehingga bilamana besi itu telah merah seperti api, maka dia berkata pula, “Sekarang berilah aku tembaga yang mendidih agar kutuangkan ke atas besi yang panas itu,” sehingga lubang-lubangnya tertutup rapat dan terbentuklah sebuah benteng besi yang kokoh dan kuat.

Ayat 97

Dan tatkala Yakjuj dan Makjuj mengadakan penyerbuan ke tempat tersebut, mereka tidak bisa mendakinya karena tingginya yang luar biasa dan mereka tidak bisa pula melubanginya karena keras dan tebal sekali.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 98-100


Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 81-88

0
Tafsir Surah Al-Kahfi
Tafsir Surah Al-Kahfi

Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 81-88 mengulas tentang penjelasan Nabi Khidir yang mengharapkan supaya Allah memberi rezeki yang lebih baik daripada anaknya yang telah dibunuh. Selain itu Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 81-88 juga mengulas kisah Nabi Dzulkarnain sebagai bentuk mukjizat dari Nabi Muhammad yang sedang diuji kenabiannya oleh orang-orang Quraisy.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 77-81


Ayat 81

Ayat ini menjelaskan bahwa Khidir mengharapkan supaya Allah memberi rezeki kepada kedua orang tuanya itu dan seorang anak laki-laki yang lebih baik dari anaknya yang telah dibunuh itu, dan lebih banyak kasih sayangnya kepada ibu bapaknya. Tindakan Khidir membunuh anak tersebut dilandasi oleh keinginan agar pada waktunya Allah dapat menggantikan anak itu dengan yang lebih baik akhlaknya.

Ayat 82

Adapun yang menjadi pendorong bagi Khidir untuk menegakkan dinding itu adalah karena dibawahnya ada harta simpanan milik dua orang anak yatim di kota itu, sedangkan ayahnya seorang yang saleh. Allah memerintahkan kepada Khidir supaya menegakkan dinding itu, karena jika dinding itu jatuh (roboh) niscaya harta simpanan tersebut akan nampak terlihat dan dikhawatirkan akan dicuri orang.

Allah menghendaki agar kedua anak yatim itu mencapai umur dewasa dan mengeluarkan simpanannya itu sendiri dari bawah dinding, sebagai rahmat dari pada-Nya. Khidir tidak mengerjakan semua pekerjaan itu atas dorongan dan kemauannya sendiri melainkan semata-mata atas perintah Allah, karena sesuatu tindakan yang berakibat merugikan harta benda manusia dan pertumpahan darah tidak boleh dikerjakan kecuali dengan izin dan wahyu dari Allah.

Demikianlah penjelasan Khidir tentang berbagai tindakannya yang tidak biasa yang membuat Nabi Musa tidak bisa sabar, sehingga mempertanyakannya.

Usaha Khidir untuk menegakkan dinding yang hampir roboh, dapat pula dipahami kebijaksanaannya karena robohnya dinding itu mengakibatkan harta benda simpanan dua anak yatim itu diambil orang. Allah telah memberikan kepada Khidir ilmu hakekat dan hal ini tidak mungkin dimilikinya kecuali setelah membersihkan dirinya dan hatinya dari ikatan syahwat jasmani.

Nabi Musa ketika telah sempurna ilmu syariatnya diutus oleh Tuhan untuk menemui Khidir supaya belajar dari padanya ilmu hakekat, sehingga sempurnalah ilmu yang wajib dituntut oleh setiap orang yang beriman yaitu ilmu tauhid, fiqih dan tasawuf atau iman, Islam dan ihsan.

Ayat 83

Orang-orang Quraisy bertanya kepada Muhammad setelah mereka mengadakan pembicaraan lebih dahulu dengan orang-orang Yahudi tentang apa yang harus mereka tanyakan kepada Muhammad untuk menguji kebenaran kenabiannya.

Mereka bertanya kepada Muhammad tentang Zulkarnain, maka Allah menyuruh Muhammad menyatakan kepada mereka itu, ”Akan kubacakan padamu cerita-cerita yang lengkap tentang apa yang kamu tanyakan itu karena aku telah diberi keterangan oleh Tuhanku.” Kemudian beliau memberikan perinciannya sebagaimana dijelaskan ayat berikut:

Ayat 84

Sesungguhnya Tuhan telah memberikan kekuasaan kepada Zulkarnain untuk menjelajahi alam ini sebagaimana yang dia kehendaki sehingga dia sampai kepada semua pelosok dunia dan menguasai kerajaan-kerajaan bumi, dan Tuhan telah memberikan kepadanya cara-cara untuk mencapai segala maksud dan tujuannya karena Tuhan telah memberikan kepadanya ilmu pengetahuan yang cukup, kekuasaan yang luas dan alat perlengkapan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuannya itu.

Ayat 85

Ayat ini menjelaskan bahwa Zulkarnain menempuh jalan ke arah Barat. Setelah dia menempuh jalan itu, maka sampailah ia ke ujung bumi sebelah barat di mana kelihatan matahari terbenam seolah-olah masuk ke dalam lautan Atlantik. Di mana dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang tampak kehitam-hitaman seperti lumpur.

Dia telah melalui negeri Tunis dan Maroko dan sampailah ke pantai Afrika sebelah barat, dan di sana menjumpai beberapa kaum kafir. Allah telah menyuruhnya untuk memilih di antara dua hal, yaitu menyiksa mereka dengan pertumpahan darah atau mengajak mereka supaya beriman kepada Allah. Yang demikian ini dijelaskan dalam firman Allah yang disampaikan kepada Zulkarnain secara ilham.

Zulkarnain disuruh supaya membunuh mereka jika mereka tidak mau mengakui Keesaan Allah dan tidak mau tunduk kepada ajakannya, atau mengajarkan kepada mereka petunjuk-petunjuk sehingga mereka mengenal hukum dan syariat agama dengan penuh keyakinan.

Ayat 87

Zulkarnain berkata kepada sebagian komandan pasukannya, “Adapun orang yang berbuat aniaya terhadap dirinya dan terus-menerus hidup dalam kemusyrikan kepada Allah maka kami akan mengazabnya dan kemudian di akhirat akan dikembalikan kepada Tuhannya untuk diazab dengan azab yang tidak ada taranya dalam neraka Jahannam.”

Ayat 88

Adapun orang yang membenarkan Allah dan Keesaan-Nya dan beramal saleh, maka baginya disediakan pahala yang terbaik sebagai balasan atas segala kebijaksanaannya yang telah diperbuatnya selama dia hidup di dunia, dan akan kamu titahkan kepadanya di dunia perintah-perintah yang mudah dikerjakannya yaitu beberapa amalan yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah seperti salat, zakat, jihad dan sebagainya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Juga: Belajar Metode Demonstrasi Dari Kisah Nabi Khidir Dan Musa


Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 78-80

0
Tafsir Surah Al-Kahfi
Tafsir Surah Al-Kahfi

Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 78-80 ini akhirnya Nabi Musa menjelaskan alasan ia membunuh anak kecil, melubangi perahu yang mengantarkannya serta memperbaiki rumah yang telah rubuh dan Nabi Musa pun berhenti mengikuti Nabi Khidir. Di dalam Tafsir Surah Al-kahfi ayat 78-81 ini diulas alasan mengapa Nabi Musa tidak dapat bersabar ketika mengikuti Nabi Khidir.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 74-77


Ayat 78

Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 78-80 khususnya Ayat ini menjelaskan jawaban Khidir kepada Musa, “Pertanyaanmu yang ketiga kalinya ini adalah penyebab perpisahan antara aku dan kamu.” Sebagian Ulama Tafsir mengatakan bahwa sebab perpisahan itu tidak terjadi pada pertanyaan yang pertama dan kedua, oleh karena pertanyaan pertama dan kedua itu menyangkut perbuatan yang munkar yaitu membunuh anak yang tidak berdosa dan membuat lubang (merusak) pada dinding kapal, maka wajarlah bila dimaafkan.

Adapun pertanyaan yang ketiga adalah Khidir berbuat baik kepada orang yang kikir, yang tidak mau memberikan jamuan kepadanya, dan perbuatan itu adalah perbuatan yang baik yang tidak perlu disangkal dan dipertanyakan.

Khidir berkata, ”Aku akan memberitahukan kepadamu berbagai hikmah perbuatanku, yang kamu tidak sabar terhadapnya, yaitu membunuh anak, melubangi kapal dan menegakkan dinding rumah.

Tujuannya ialah untuk menyelamatkan kapal dari penyitaan orang yang zalim, menyelamatkan ibu-bapak anak yang dibunuh itu dari kekafiran andaikata ia hidup dan menggantinya dengan adiknya yang saleh serta menyelamatkan harta pusaka kepunyaan dua anak yatim yang berada di bawah dinding yang akan roboh itu.”

Ayat 79

Khidir menerangkan sebab ia mengerjakan berbagai tindakan yang telah dilakukannya. Adapun perbuatan Khidir melubangi perahu karena perahu itu kepunyaan satu kaum yang lemah dan miskin. Mereka tidak mampu menolak kezaliman raja yang akan merampas perahunya itu, dan mereka mempergunakan perahu itu untuk menambah penghasilannya dengan mengangkut barang-barang dagangan atau menyewakannya pada orang-orang lain.

Khidir sengaja membuat cacat pada perahu itu dengan jalan melubanginya karena di hadapannya ada seorang raja zalim yang suka merampas dan menyita setiap perahu yang utuh dan tidak mau mengambil perahu yang cacat, sehingga karena adanya cacat tersebut perahu itu akan selamat.

Para Nabi biasanya menetapkan sesuatu sesuai dengan kenyataan-kenyataan yang nampak di hadapannya, sedangkan soal-soal yang merupakan rahasia intern diserahkan kepada kebijaksanaan Allah sesuai dengan bunyi sebuah hadis yang dikutip dari Kitab Tafsir al-Marāgi jilid VI halaman 7 sebagai berikut:

نَحْنُ نَحْكُمُ بِالظَّوَاهِرِ وَالله ُيَتَوَلَّى السَّرَائِرَ

 “Kami (para Nabi) menetapkan sesuatu sesuai dengan fakta yang nampak dalam pandangan mata, sedangkan Allah mengetahui hakikatnya.”

Hukum-hukum yang berlaku di dunia ini berlandaskan kepada sebab-sebab yang hakiki yaitu fakta-fakta yang sebenarnya dan hal ini hanya diperlihatkan Allah kepada beberapa orang hamba-Nya saja. Oleh karena itu Nabi Musa menyangkal atas perbuatan Khidir dan beliau tidak mengetahui bahwa Khidir telah diberi ilmu laduni yang dapat mengetahui rahasia-rahasia perkara gaib.

Martabat Nabi Musa adalah di dalam bidang ilmu syariat dan hukum-hukum yang berlandaskan kepada alam yang nyata, sedangkan Khidir diberi pengetahuan ilmu hakekat sehingga mengetahui rahasia-rahasia perkara gaib.

Pada pertanyaan Nabi Musa yang pertama dan yang kedua ada penerapan sebuah kaidah dalam ilmu usul fiqih yang maksudnya, apabila terjadi dua kemudaratan yang tidak dapat dihindarkan lagi, maka ambillah kemudaratan yang paling ringan untuk menghindari kemudaratan yang lebih besar. Seandainya perahu itu tidak dilubangi dindingnya tentu akan disita oleh raja suatu negara yang zalim yang bakal melaluinya.

Ayat 80

Adapun anak yang dibunuh itu, adalah anak yang kafir sedangkan kedua orang tuanya termasuk orang yang sungguh-sungguh beriman. Maka kami khawatir karena kecintaan kedua orang tuanya kepada anak itu keduanya akan tertarik kepada kekafiran. Qatadah berkata, “Kedua orang tuanya gembira ketika anak itu dilahirkan, dan keduanya bersedih ketika anak itu terbunuh.”

Dan seandainya dia masih hidup akan mengakibatkan kesusahan dan kebinasaan pada kedua orang tuanya. Oleh sebab itu hendaklah setiap orang menerima ketentuan Allah dengan senang hati karena ketentuan Allah bagi seorang mukmin dalam hal yang tidak disukainya adalah lebih baik daripada ketentuan Allah terhadapnya dalam hal-hal yang disukainya. Disebutkan dalam sebuah hadis bahwa Nabi saw bersabda:

لاَيَقْضِي الله ُلِمُؤْمِنٍ قَضَاءً اِلاَّ كَانَ خَيْرًا لَهُ. (رواه احمد وابو يعلى)

“Allah tidak menetapkan kepada seorang mukmin suatu ketetapan, kecuali ketetapan itu terdapat kebaikan baginya.” (Riwayat Ahmad dan Abu  Ya’la)

Sesuai pula dengan firman Allah:

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ ࣖ

“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (al-Baqarah/2: 216)

Khidir berkata, “Kami telah mengetahui, bahwa anak itu jika sudah dewasa, akan mengajak ibu bapaknya kepada kekafiran dan mereka berdua akan mengikuti ajakannya karena sangat cinta kepada anaknya.”

(Tafsir Kemenag)


Baca Juga: Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam Al-Quran: Refleksi Kepatuhan Terhadap Guru


Bom Bunuh Diri Tinjauan Tafsir Maqashidi

0
bom bunuh diri tinjauan tafsir maqashidi
bom bunuh diri tinjauan tafsir maqashidi

Beberapa waktu lalu kita digemparkan kembali dengan aksi pengeboman (bom bunuh diri) yang dilakukan oleh sepasang suami istri yang diduga pengikut kelompok JAD (Jamaah Ansharut Daulah). Mereka melakukan aksinya di depan salah satu gereja di Makassar. Aksi ini tentunya menuai kecaman yang keras dari beberapa organisasi masyarakat serta pemerintah di Indonesia.

Bom bunuh diri di dalam Islam sebenarnya lekat dikaitkan dengan aksi terorisme. Gerakan ini biasanya didalangi karena mis-interpretasi (kesalahpahaman) terkait dengan pemaknaan teks-teks yang tupoksinya mengarah kepada perintah untuk berjihad. Artinya dalam memahami teks-teks tersebut mereka lebih menekankan terhadap pembacaan secara tekstualis-literalis.

Oleh karenanya penting bagi kita membedah ayat-ayat sensitif tersebut dengan pembacaan yang kontekstual dan moderat, sehingga kita tidak salah dalam memahami dan memaknainya, dalam penelitian ini kami menggunakan tafsir maqashidi sebagai solusi dalam membaca ayat-ayat tersebut.

Baca Juga: Bom Bunuh Diri Bukan Jihad! Inilah Makna Jihad Dalam Al-Qur’an

Tafsir Maqashidi sebagai Tafsir Berbasis Moderat

Menurut Abdul Mustaqim dalam kitab al-Tafsir al-Maqhasidi (al-Qadhaya al-Mu’ashirah fi Dhau’il Qur’an wa al-Sunnah al-Nabawiyah) mengatakan bahwa Tafsir maqashidi adalah sebuah metode penafsiran yang menggali pesan-pesan, maksud dari ayat-ayat Al-Qur’an ataupun teks-teks hadis bukan hanya yang berbicara terkait dengan hal-hal ibadah (ta’abbudi) tetapi juga membicarakan ayat-ayat atau hadis-hadis yang bisa dinalar (ta’aqquli).

Sesuai namanya, tafsir maqashidi juga sangat berkaitan dengan realisasi tujuan syariat atau yang biasa dikenal dengan istilah maqashid al-syari’ah, tetapi cara kerja tafsir maqashidi memiliki cakupan yang lebih luas, bukan hanya diaplikasikan pada ayat-ayat hukum saja, tetapi juga ayat-ayat yang berbicara akidah, sosial, ekonomi, budaya dan lain sebagainya.

Di samping itu, nalar berfikir dari tafsir maqashidi adalah tercapainya sebuah maslahah dan menghindarkan dari mafsadah. Hal ini juga didukung oleh Wasfi ‘Asyur dalam kitab al-Tafsir al-Maqhasid Li Suwar al-Qur’an al-Karim, beliau mengatakan bahwa tafsir ini memiliki corak yang pemaknaannya mengarah pada visi al-Qur’an baik universal maupun parsial yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia.

Itulah yang ingin ditunjukkan oleh tafsir maqashidi, gaya penafsiran seperti ini sangatlah penting bagi kita, agar hasil pemahaman dan pemaknaan terhadap sebuah nash, tidak terkesan melangkahi rambu-rambu dalam penafsiran, sebab dewasa ini fenomena yang berkembang di masyarakat adanya upaya pemaknaan suatu nash yang simplifikatif (cenderung mengambil sesuatu tanpa pikir panjang).

Baca Juga: Bom Bunuh Diri Termasuk Mati Syahid?: Surah An-Nisa’ Ayat 29-30

Membedah Ayat yang Sering Disalahpahami dalam Kaca Mata Tafsir Maqhasidi

Sebagaimana statemen di atas, bahwa salah satu faktor yang menjadikan seseorang ekstrim dalam melakukan tindakan semisal bom bunuh diri, radikal dan lain sebagainya, adalah proses pengambilan dalil yang cenderung asal-asalan atau sembrono.

Ayat yang biasa digunakan dan dipahami teroris yang melancarkan aksinya secara serampangan adalah QS. al-Anfal ayat 60,

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).”

Dalam bukunya yang berjudul Islam yang Saya Pahami, Quraish Sihab mengatakan bahwa penafsiran kata “menggetarkan” dalam ayat di atas dipahami oleh para teroris sebagai izin melakukan teror. Salah satunya dengan melakukan bom bunuh diri. Padahal jika membaca secara holistik ayat-ayat yang berbicara tentang perang maka kita temui tujuan dari perang yang dilakukan Nabi adalah untuk menciptakan kedamaian, maka penafsiran yang mendukung aksi teror sangatlah jauh dan bertentangan dari pesan damai yang diajarkan oleh Rasul.

Jika ditinjau dari kajian tafsir maqashidi dalam memaknai ayat ke 60 tersebut, maka kita dapat menepis adanya kesalahan dalam penafsiran tersebut. Bahwa makna kata “menggetarkan” bukanlah berarti seenak diri untuk melakukan tindakan yang merugikan orang lain, karena substansi dari menggetarkan itu adalah ketika kita telah menyiapkan perlengkapan dan peralatan perang dengan sebaik-baiknya sehingga membuat musuh takut (lebih kepada pengamanan atau bentuk kewaspadaan). Hal ini senada dengan pendapat Ath-Thabari dalam tafsirnya yang mengatakan ayat ini adalah ayat bertahan (defend) bukan penyerangan.

Musuh dalam ayat tersebut diartikan bukan non-muslim secara umum, melainkan orang-orang non-muslim yang tergolong sebagi kafir harbi yang berkhianat terhadap perjanjian yang telah ditandatangani sebagaimana penejalasan Imam Al-Biqa’i dalam tafsir Nadzm al-Durar, beliau mengatakan bahwa umat Yahudi mengingkari isi perjanjian dengan menginjak-injaknya dan memerangi umat Islam untuk itu kita diperintahkan untuk mempersiapkan kekuatan fisik dan juga peralatan perang dengan semaksimal mungkin.

Baca Juga: Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 207: Ajaran Bom Bunuh Diri?

Hal di atas didukung pula dengan statemen yang dijelaskan oleh Abdul Mustaqim dalam kitab Tafsir Maqashidi nya beliau mengatakan bahwa Rasul ketika ber-mu’amalah dengan non-muslim (kafir) tidak lantas memerangi secara langsung, hanya Rasul melihat bagaimana perlakuan orang kafir tersebut kepada umat Islam, jika kafir tersebut melakukan teror atau memerangi umat Islam maka Rasul juga akan membencinya dan sebaliknya, jika kebaikan yang diterima oleh umat Islam maka beliau akan mencintai orang kafir sebagaiman mencintai umat Islam.

Dalam kajian tafsir maqashidi aksi teror dengan melakukan bom bunuh diri tidak dibenarkan di dalam agama, sebab salah satu ajaran dari maqhasid syariah adalah hifdz al-nafs (menjaga jiwa), artinya Islam memosisikan jiwa secara terhormat dan mulia bukan menganggapnya sebagai hal yang hina. Tidak dibenarkan melakukan aksi teror dengan pengeboman diri, sebab selain merugikan diri sendiri hal demikian juga sangat merugikan orang lain.

Oleh karenanya, dari hasil penafsiran maqashidi di atas, kita yakini bahwa Islam hadir bukan sebagai agama yang marah melainkan agama yang ramah atau rahmatan lil ‘alamin, yakni agama yang menyebarkan pesan-pesan kedamaian dan cinta kasih apapun bentuknya dan kepada siapapun objeknya. Sedangkan aksi terorisme, baik melakukan bom bunuh diri, ataupun membunuh orang non-muslim yang jelas-jelas tidak memerangi kita bukanlah ajaran dari agama Islam dan tidak dibenarkan adanya.

Wallahu a’lam

Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 74-77

0
Tafsir Surah Al-Kahfi
Tafsir Surah Al-Kahfi

Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 74-77 melanjutkan kisah perjalanan Nabi Musa dan Nabi Khidir dikisahkan dalam Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 74-77 ini Nabi Khidir membunuh seorang anak kecil dan memperbaiki rumah yang hampir roboh ketika tiba di suatu desa yang penduduknya kaya raya namun sangat kikir.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Kahfi Ayat 66-73


Ayat 74

Dalam Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 74-77 khususnya ayat ini, Allah mengisahkan bahwa keduanya mendarat dengan selamat dan tidak tenggelam, kemudian keduanya turun dari kapal dan meneruskan perjalanan menyusuri pantai. Kemudian terlihat oleh Khidir seorang anak yang sedang bermain dengan kawan-kawannya, lalu dibunuhnya anak itu.

Ada yang mengatakan bahwa Khidir itu membunuhnya dengan cara memenggal kepalanya, ada yang mengatakan dengan mencekiknya. Akan tetapi, Al-Qur’an tidak menyebutkan bagaimana cara Khidir membunuh anak itu, apakah dengan memenggal kepalanya, membenturkan kepalanya ke dinding batu, atau cara lain. Kita tidak perlu memperhatikan atau menyelidikinya.

Melihat peristiwa itu, dengan serta merta Nabi Musa berkata kepada Khidir, “Mengapa kamu bunuh jiwa yang masih suci dari dosa dan tidak pula karena dia membunuh orang lain? Sungguh kamu telah berbuat sesuatu yang mungkar, yang bertentangan dengan akal yang sehat.

Dalam ayat ini, pembunuh disebut dengan kata nukr (mungkar), sedangkan melubangi perahu dalam ayat 71 disebut kata imr (kesalahan yang besar). Penyebabnya adalah pembunuhan terhadap anak itu lebih keji dibandingkan dengan melubangi perahu. Melubangi perahu tidak menghilangkan nyawa apabila tidak tenggelam.

Tetapi pembunuhan atau menghilangkan nyawa yang tidak sejalan dengan ajaran agama itu nyata-nyata suatu perbuatan mungkar. Pembunuhan yang dapat dibenarkan oleh ajaran agama hanyalah karena murtad, zina muhsan, atau karena qishash.

Ayat 75

Dalam ayat ini dijelaskan bagaimana Khidir mengingkari pertanyaan Musa, seraya berkata kepada Musa as, “Bukankah sudah ku katakan kepadamu bahwa sesungguhnya kau tidak akan dapat sabar untuk mempelajari ilmu hakikat bersamaku.”

Memang sudah dua kali Musa membantah dan tidak menyetujui perbuatan Khidir, padahal Musa telah berjanji tidak akan mengadakan sangkalan apa-apa terhadap apa yang diperbuat oleh Nabi Khidir. Peringatan Khidir kepada Musa itu adalah peringatan yang terakhir.

Ayat 76

Selanjutnya Musa berkata, “Kalau sekiranya aku bertanya lagi kepadamu tentang suatu perbuatanmu yang aneh-aneh itu yang telah aku saksikan, karena aku ingin mengetahui hikmahnya bukan untuk sekedar bertanya saja. Maka jika aku bertanya sekali lagi sesudah kali ini, maka janganlah kamu mengizinkan aku menyertaimu lagi, karena kamu sudah cukup memberikan maaf kepadaku.” Inilah kata-kata Musa yang penuh dengan penyesalan atas perbuatannya yang terpaksa dia akui dan insafi.

Diriwayatkan dalam suatu hadis yang sahih bahwa Nabi Muhammad saw bersabda tentang keadaan Nabi Musa itu sebagai berikut:

رَحْمَةُ اللهِ عَلَيْنَا وَعَلَى مُوْسَى، لَوْ صَبَرَ عَلَى صَاحِبِهِ لَرَأَى الْعَجَبَ، لَكِنْ أَخَذَتْهُ مِنْ صَاحِبِهِ ذَمَامَةُ فَقَالَ: اِنْ سَأَلْتُكَ عَنْ شَيْئٍ بَعْدَهَا فَلاَ تُصَاحِبْنِيْ قَدْ بَلَغْتَ مِنْ لَدُنِّيْ عُذْرًا.  (رواه مسلم عن أُبي بن كعب)

Semoga Allah memberi rahmat kepada kita dan kepada Musa. Seandainya beliau sabar pada sahabatnya (Khidir), tentu beliau banyak menyaksikan keajaiban tentang ilmu hakikat, tetapi karena beliau merasa malu untuk menghadapi celaan lagi dari sahabatnya (Khidir), maka beliau berkata, “Kalau aku bertanya lagi kepadamu tentang sesuatu sesudah ini, maka janganlah kamu menemani aku. Sesungguhnya kamu sudah cukup memberi maaf kepadaku.” (Riwayat Muslim dari Ubay bin Ka’ab)

Ayat 77

Lalu Musa dan Khidir meneruskan perjalanan mereka berdua sampai ke suatu negeri. Mereka minta agar penduduk negeri itu menjamunya tetapi penduduk negeri itu sangat kikir tidak mau memberi jamuan kepada mereka.

Mereka sangat rendah akhlaknya, sebab menurut kebiasaan waktu itu, bilamana ada seorang hartawan tidak mau memberi derma kepada seorang peminta-minta, maka hal seperti itu sangat dicela dan jika ia menolak untuk memberi jamuan kepada tamunya maka hal itu menunjukkan kemerosotan akhlak yang rendah sekali.

Dalam hal ini orang-orang Arab menyatakan celaannya yang sangat keras dengan kata-kata. Si pulan menolak tamu (mengusir) dari rumahnya. Qatadah berkata, “Sejelek-jelek negeri ialah yang penduduknya tidak suka menerima tamu dan tidak mau mengakui hak Ibnu Sabil (orang yang dalam perjalanan kehabisan bekal).”

Di negeri itu Musa dan Khidir menemukan sebuah dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidir memperbaikinya dengan tangannya, sehingga dinding itu tegak  menjadi lurus kembali. Keanehan itu termasuk mukjizatnya. Musa yang melihat dinding itu ditegakkan kembali oleh Khidir tanpa mengambil upah apa-apa, Musa ingin mengusulkan kepada Khidir supaya menerima bayaran atas jasanya menegakkan dinding itu, yang dengan bayaran itu ia dapat membeli makanan dan minuman yang sangat dibutuhkannya.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 66-73

0
Tafsir Surah Al-Kahfi
Tafsir Surah Al-Kahfi

Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 66-73 mengisahkan tentang perjalanan Nabi Musa dalam menimba ilmu kepada Nabi Khidir. Sebelum perjalanan dilakukan Nabi Khidir telah mengingatkan Nabi Musa bahwa ia tidak akan mampu bersabar bersamanya dan Nabi Musa berjanji untuk bersabar ketika mengikuti Nabi Khidir. Selengkapnya kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 66-73 di bawah ini….


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 61-65


Ayat 66

Dalam ayat ini, Allah menyatakan maksud Nabi Musa a.s. datang menemui Khidir, yaitu untuk berguru kepadanya. Nabi Musa memberi salam kepada Khidir dan berkata kepadanya, “Saya adalah Musa.” Khidir bertanya, “Musa dari Bani Israil?” Musa menjawab, “Ya, benar!” Maka Khidir memberi hormat kepadanya seraya berkata, “Apa keperluanmu datang kemari?”

Nabi Musa menjawab bahwa beliau datang kepadanya supaya diperkenankan mengikutinya dengan maksud agar Khidir mau mengajarkan kepadanya sebagian ilmu yang telah diajarkan Allah kepadanya, yaitu ilmu yang bermanfaat dan amal yang saleh.

Dalam ayat ini, Allah menggambarkan secara jelas sikap Nabi Musa sebagai calon murid kepada calon gurunya dengan mengajukan permintaan berupa bentuk pertanyaan. Itu berarti bahwa Nabi Musa sangat menjaga kesopanan dan merendahkan hati.

Beliau menempatkan dirinya sebagai orang yang bodoh dan mohon diperkenankan mengikutinya, supaya Khidir sudi mengajarkan sebagian ilmu yang telah diberikan kepadanya. Menurut al-Qadhi, sikap demikian memang seharusnya dimiliki oleh setiap pelajar dalam mengajukan pertanyaan kepada gurunya.

Ayat 67

Dalam ayat ini Khidir menjawab pertanyaan Nabi Musa sebagai berikut, “Hai Musa, kamu tak akan sabar mengikutiku. Karena saya memiliki ilmu yang telah diajarkan oleh Allah kepadaku yang kamu tidak mengetahuinya, dan kamu memiliki ilmu yang telah diajarkan Allah kepadamu yang aku tidak mengetahuinya.”

Kemampuan Khidir meramal sikap Nabi Musa kalau sampai menyertainya didasarkan pada ilmu ladunni yang telah beliau terima dari Allah di samping ilmu anbiya’ yang dimilikinya, seperti tersebut dalam ayat 65 di atas. Dan memang demikianlah sifat dan sikap Nabi Musa yang keras dalam menghadapi kenyataan-kenyataan yang bertentangan dengan syariat yang telah beliau terima dari Allah.

Ayat 68

Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 66-73 khususnya dalam ayat ini, Khidir menegaskan kepada Nabi Musa tentang sebab beliau tidak akan sabar nantinya kalau terus menerus menyertainya. Di sana Nabi Musa akan melihat kenyataan bahwa pekerjaan Khidir secara lahiriah bertentangan dengan syariat Nabi Musa a.s.

Oleh karena itu, Khidir berkata kepada Nabi Musa, “Bagaimana kamu dapat bersabar terhadap perbuatan-perbuatan yang lahirnya menyalahi syariatmu, padahal kamu seorang nabi. Atau mungkin juga kamu akan mendapati pekerjaan-pekerjaanku yang secara lahiriah bersifat mungkar, sedang pada hakikatnya kamu tidak mengetahui maksud atau kemaslahatannya.

Sebenarnya memang demikian sifat orang yang tidak bersabar terhadap perbuatan mungkar yang dilihatnya. Bahkan segera ia mengingkarinya.

Ayat 69

Dalam ayat ini, Nabi Musa berjanji tidak akan mengingkari dan tidak akan menyalahi apa yang dikerjakan oleh Khidir. Beliau juga berjanji akan melaksanakan perintah Khidir selama perintah itu tidak bertentangan dengan perintah Allah. Janji yang beliau ucapkan dalam ayat ini didasari dengan kata-kata “insya Allah” karena beliau sadar bahwa sabar itu perkara yang sangat besar dan berat, apalagi ketika melihat kemungkaran.

Ayat 70

Dalam ayat ini, Khidir dapat menerima Musa a.s. dengan pesan, “Jika kamu (Nabi Musa) berjalan bersamaku (Khidir) maka janganlah kamu bertanya tentang sesuatu yang aku lakukan dan tentang rahasianya, sehingga aku sendiri menerangkan kepadamu duduk persoalannya. Jangan kamu menegurku terhadap sesuatu perbuatan yang tidak dapat kau benarkan hingga aku sendiri yang mulai menyebutnya untuk menerangkan keadaan yang sebenarnya.”

Nabi Musa mau menerima syarat itu, memang sebenarnya sikap Nabi Musa yang demikian itu merupakan sopan-santun orang yang terpelajar terhadap cendekiawan, sikap sopan-santun murid dengan gurunya atau sikap pengikut dengan yang diikutinya. Kadang-kadang rahasia guru atau orang yang diikuti belum tentu dipahami oleh murid atau pengikutnya ketika itu juga, tetapi baru dapat dipahami kelak di kemudian hari.

Ayat 71

Dalam ayat ini, Allah mengisahkan bahwa keduanya (Nabi Musa dan Khidir) telah berjalan di tepi pantai untuk mencari sebuah kapal, dan kemudian mendapatkannya. Keduanya lalu menaiki kapal itu dengan tidak membayar upahnya, karena para awak kapal sudah mengenal Khidir dan pembebasan upah itu sebagai penghormatan kepadanya.

Ketika kapal itu sedang melaju di laut dalam, tiba-tiba Khidir mengambil kampak lalu melubangi dan merusak sekeping papan di dinding kapal itu. Melihat kejadian seperti itu, dengan serta merta Nabi Musa berkata kepada Khidir, “Mengapa kamu lobangi perahu itu? Hal itu dapat menenggelamkan seluruh penumpangnya yang tidak berdosa?

Sungguh kamu telah mendatangkan kerusakan yang besar dan tidak mensyukuri kebaikan hati para awak kapal yang telah membebaskan kita dari uang sewa kapal ini.” Kemudian Nabi Musa mengambil kainnya untuk menutup lubang itu.

Ayat 72

Dalam ayat ini, Khidir mengingatkan kepada Nabi Musa tentang persyaratan yang harus dipenuhinya kalau masih ingin menyertai Khidir dalam perjalanan. Khidir juga mengingatkan bahwa Nabi Musa takkan sanggup bersabar atas perbuatan-perbuatan yang dikerjakannya, bahkan beliau akan melawan dan menamakan perbuatan-perbuatan yang dikerjakan-nya itu sebagai kesalahan yang besar, karena Nabi Musa tidak memiliki pengetahuan untuk mengetahui rahasia apa yang terkandung dibalik perbuatan-perbuatan itu. Khidir berkata kepada Nabi Musa, “Bukankah telah kukatakan bahwasanya kamu sekali-kali tidak akan sanggup bersabar bersamaku?”

Ayat 73

Dalam ayat ini, Nabi Musa insaf dan mengetahui kealpaannya atas janjinya. Oleh karena itu, dia meminta kepada Khidir agar tidak menghukumnya karena kealpaannya, dan tidak pula memberatkannya dengan pekerjaan yang sulit dilakukan. Nabi Musa juga meminta kepada Khidir agar diberi kesempatan untuk mengikutinya kembali supaya memperoleh ilmu darinya, dan memaafkan kesalahannya itu.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 74-77


Mari Berkenalan Dengan Tiga Sosok Qari Terkemuka Pada Masa Rasulullah

0
Qari Terkemuka
Qari Terkemuka

Sejak diwahyukan pertama kali pada 17 Ramadhan tahun 13 SH/603 M Al-Qur’an senantiasa dibaca oleh Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya. Tidak hanya itu, mereka juga berbondong-bondong menghafal dan mengamalkan ayat-ayat Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, di antara mereka ada yang terkenal sebagai penghafal dan qari terkemuka pada masa Rasulullah.

Dari sekian banyak sahabat yang membaca dan menghafal Al-Qur’an, ada tiga sosok sahabat yang dapat disebut sebagai qari terkemuka pada masa Rasulullah, yakni Abdullah bin Mas’ud atau Ibnu Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari, dan Ubay bin Ka’ab. Ketiganya merupakan qari kebanggaan nabi Muhammad saw dengan kelebihan mereka masing-masing.

1. Abdullah bin Ma’sud atau Ibnu Mas’ud

Abdullah bin Mas’ud adalah salah satu dari golongan sahabat yang pertama masuk Islam (al-sabiquna al-awwaluna). Setelah memeluk Islam, ia menawarkan diri menjadi pelayan pribadi nabi Muhammad saw. Permohonannya tersebut lalu dikabulkan Nabi saw. Maka tak heran interaksinya dengan baginda cukup intens, terutama berkenaan dengan pembelajaran Al-Qur’an.

Dikisahkan bahwa Abdullah bin Ma’sud senantiasa mendampingi nabi Muhammad saw ke mana pun beliau pergi. Ia juga selalu menyediakan kebutuhan harian nabi, mulai dari menyediakan air mandi hingga membawakan sendal dan siwak. Ia bahkan kerap kali memasuki kamar baginda untuk sekedar menyiapkan atau merapikan tempat tidur (Sirah 60 Sahabat Nabi Muhammad Saw).

Baca Juga: Inilah Lima Fadilah Membaca Al-Qur’an Menurut Hadis-Hadis Sahih

Karena kebersamaan bersama nabi inilah, Abdullah bin Mas’ud memiliki banyak kesempatan untuk belajar dengan nabi saw, termasuk membaca dan menghafal Al-Qur’an. Ia bahkan merupakan salah satu dari sedikit sahabat yang langsung belajar Al-Qur’an dari mulut beliau. Hal ini bertambah istimewa dengan sokongan kecerdasan yang tinggi dan kekuatan hafalannya.

Saking luasnya pengetahuan Abdullah bin Mas’ud tentang Al-Qur’an, ia bahkan mengetahui dengan rinci kapan, di mana, dan kepada siapa sebuah ayat diturunkan. Karena alasan inilah Nabi bersabda, “Ambillah Al-Qur’an dari empat orang, yaitu dari Abdullah bin Mas’ud, Salim, Mu’adz bin Jabal dan Ubay bin Ka’ab.” (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Ahmad).

Selain memiliki pemahaman yang kuat tentang Al-Qur’an, Abdullah bin Ma’sud juga memiliki suara yang merdu. Ia dikenal sebagai salah satu Qari terkemuka pada masa Rasulullah. Dikisahkan juga bahwa baginda senang mendengarkan bacaan Al-Qur’annya untuk dinikmati sekaligus mengecek bacaan tersebut.

Nabi Muhammad sering memuji bacaan Ibnu Mas’ud dan salah satunya adalah sabda beliau kepada sahabat-sahabatnya, “Barang siapa yang ingin membaca Al-Qur’an yang baik seperti pertama kali turun, maka bacalah seperti bacaan Abdullah bin Mas’ud.”(HR. Ibnu Majah, Ahmad). Ini menunjukkan begitu bagusnya bacaan Ibnu Mas’ud.

Kemudian, dalam Sirah Nabawiyah karya Ibnu Hisyam diterangkan bahwa Abdullah bin Mas’ud adalah sahabat yang pertama kali membacakan Al-Qur’an secara terang-terangan di hadapan kaum Quraisy. Akibat tindakannya ini, ia disakiti dan dipukuli hingga babak perlu karena ia bukan golongan bangsawan. Namun itu semua tidak melonggarkan niatnya sedikit pun untuk menyebarkan Al-Qur’an.

Pada zaman pemerintahan Umar  bin Khattab, Abdullah bin Mas’ud bertugas di Kufah untuk mengajarkan agama Allah di sana. Ali bin Abi Muthalib memuji Ibnu Mas’ud dan menyatakannya sebagai orang berilmu, yang mengetahui Al-Qur’an dan sunah sebab ia juga meriwayatkan sebanyak 840 hadis. Dia wafat di Madinah pada tahun 32 Hijriah dalam usia 65 tahun.

2. Abu Musa al-Asy’ari

Abu Musa al-Asy’ari memiliki nama lengkap Abdullah bin Qais bin Sulaim. Dia adalah salah satu qari terkemuka pada masa Rasullah yang sering dipuji karena kekuatan hafalan dan kebagusan bacaannya.  Bisa dikatakan bahwa ia merupakan salah satu dari segelintir orang yang pernah diminta nabi Muhammad saw untuk membacakan Al-Qur’an.

Sebelum memeluk Islam, Abu Musa al-Asy’ari adalah penduduk sebuah perkampungan di Yaman. Namun ketika ia mendengar tentang munculnya seorang rasul di Mekah, ia kemudian bersegera datang ke sana menyambut seruan tauhid dari nabi Muhammad saw. Selain itu, ia juga bertujuan untuk menjadi murid nabi saw karena kagum terhadap beliau.

Di Mekah, Abu Musa al-Asy’ari menghabiskan waktunya dengan menghadiri majelis nabi Muhammad saw. Dalam kesempatan itu, ia sering menerima petunjuk dan keimanan dari beliau. Pada saat bersamaan, ia juga mempelajari dan menghafal Al-Qur’an dengan serius secara langsung di hadapan nabi sejak keislamannya pertama kali (Kisah-Kisah Ajaib Para Penghafal Alquran).

Sebagai qari terkemuka pada masa Rasulullah, Abu Musa al-Asy’ari tidak hanya memiliki  hafalan yang kuat, tetapi juga suara nan merdu. Dengan suaranya itu, bacaan Al-Qur’annya mampu menembus tirai hati orang-orang. Siapa pun yang mendengar suara Abu Musa al-Asy’ari, niscaya akan tergerak hatinya untuk mengikuti apa yang diucapkannya.

Karena begitu merdunya bacaan Al-Qur’an Musa al-Asy’ari, nabi Muhammad saw bahkan memujikan dengan perkataan, “Ia (Abu Musa) benar-benar telah diberi seruling Nabi Daud.” (HR. Bukhari dan Muslim). Keindahan bacaan ini pula yang membuat para sahabat menanti-nanti kedatangannya untuk menjadi imam di setiap kesempatan shalat. Melalui bacaannya, batin jamaah menjadi tentang dan khusyuk.

Rasulullah saw pun kerap meminta Abu Musa Al-Asy’ari untuk menjadi imam atau membimbing sahabat lainnya.  Abu Musa sangat bertanggung jawab terhadap tugasnya dan memberikan perhatian yang besar terhadap sesama manusia. Sampai-sampai Rasulullah saw bersabda mengenai dirinya: “Pemimpin dari orang-orang berkuda ialah Abu Musa.”

Nama Abu Musa Al-Asy’ari terekam dalam catatan sejarah. Selain dikenal sebagai penghafal Al-Qur’an, Abu Musa juga merupakan seorang pejuang yang membersamai Rasulullah saw dalam beberapa pertempuran. Sepanjang hidupnya, ia juga telah meriwayatkan 365 hadis. Abu Musa Al-Asy’ari wafat dalam usia 63 tahun, pada tahun 44 Hijriah.

3. Ubay bin Ka’ab

Ubay bin Ka’ab merupakan kaum Anshar yang berasal dari Bani Khazraj dan merupakan salah seorang dari Yathrib (Madinah) yang pertama-tama menerima Islam dan melakukan baiat kepada Nabi Muhammad saw di Aqabah, sebelum terjadinya peristiwa hijrah. Dengan demikian, ia adalah salah satu penduduk Madinah yang paling awal memeluk Islam.

Ketika nabi saw di Madinah, Ubay bin Ka’ab menjadi salah satu sahabat yang berperan penting. Ia mengikuti perang badar dan beberapa perang sesudahnya. Selain itu, Ubay termasuk salah seorang yang pertama-tama mencatatkan ayat-ayat Al-Qur’an ke dalam bentuk tulisan, karena Ubay merupakan salah seorang penulis bagi Nabi Muhammad.

Ubay bin Ka’ab diriwayatkan memiliki suatu mushaf khusus susunannya sendiri, dan ia termasuk di antara para sahabat yang merupakan penghafal Al-Qur’an (hafiz). Ia belajar dan menghafal Al-Qur’an secara langsung di bawah bimbingan nabi Muhammad saw. Tak jarang beliau mengoreksi bacaannya jika terdapat kesalahan atau kekeliruan (lihat Fadhail Al-Qur’an).

Baca Juga: Membaca Urgensi Konteks Al-Qur’an dari Tiga Karya Fenomenal Imam Jalaluddin As-Suyuthi

Berkat didikan nabi tersebut, Ubay bin Ka’ab menjelma menjadi ahli Al-Qur’an, baik dari segi bacaan maupun tulisan. Selain itu, sebagai qari terkemuka pada masa Rasulullah, Ubai bin Ka’ab juga dikenal sebagai orang yang paling fasih bacaannya di antara kalangan sahabat. Nabi saw bahkan turut memuji dan membanggakannya:

Nabi Muhammad saw bersabda:

“Umatku yang paling penyayang terhadap yang lain adalah Abu Bakar. Yang paling kokoh dalam menjalankan perintah Allah adalah Umar. Yang paling jujur dan pemalu adalah Utsman. Yang paling mengetahui halal dan haram adalah Mu’adz bin Jabal. Yang paling mengetahui ilmu fara’idh (pembagian harta warisan) adalah Zaid bin Tsaabit. Yang paling bagus bacaan Al-Qur’annya adalah Ubay. Setiap umat mempunyai orang kepercayaan. Dan orang kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” (HR. At-Tirmidzi No. 3791).

Sejarawan berbeda pendapat kapan tahun wafatnya Ubay bin Ka’ab: Ada yang mengatakan ia wafat pada masa kekhalifahan Umar, yakni pada tahun 19 H; Ada yang mengatakan pada tahun 20 H; ada menyatakan pada tahun 22 H; dan ada pula yang menyebut ia wafat pada masa khalifah Utsman tahun 29 H. Pendapat terakhir ini merupakan pendapat terkuat, karena Utsman memasukkannya dalam tim penyusun Al-Qur’an. Wallahu a’lam.