Beranda blog Halaman 327

Tafsir Surah Al-Qasas ayat 41-47

0
Tafsir Surah Al Qashash
Tafsir Surah Al Qashash

Tafsir Surah Al-Qasas ayat 41-47 disebutkan bahwa Fir’aun dan kaumnya yang durhaka adalah pemimpin  yang akan membawa manusia ke neraka. Pada ayat 43 Tafsir Surah Al-Qasas ayat 41-47 ini dijelaskan pula bahwa kitab Taurat diturunkan kepada Nabi Musa.

Selengkapnya Tafsir Surah Al-Qasas ayat 41-47….


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Qasas ayat 35-40


Ayat 41-42

Ayat ini memberi julukan kepada Fir’aun dan kaumnya yang durhaka bahwa mereka adalah pemimpin-pemimpin yang membawa manusia ke neraka karena mereka telah menyesatkan manusia dan memaksa setiap orang untuk kafir terhadap Tuhannya. Mereka merasa bebas melakukan kezaliman sekehendak hatinya, tanpa ada rasa keadilan dan rasa kasih sayang.

Sebenarnya mereka ini telah melakukan dua kesalahan, kesalahan bagi diri mereka sendiri dan kesalahan menyesatkan orang lain. Maka pantaslah bila mereka menerima siksaan yang berlipat ganda, siksaan terhadap kesesatan sendiri dan siksaan karena menyesatkan orang lain. Oleh karena itu, tidak akan ada penolong bagi mereka di akhirat nanti dan tidak ada yang akan membebaskan dari siksa Allah.

Ayat 43

Ayat ini menerangkan bahwa Allah telah menurunkan kepada Musa kitab Taurat sebagai rahmat baginya dan bagi kaumnya, yang telah lama tertindas dan teraniaya di bawah kekuasaan Fir’aun. Di dalamnya terdapat hikmah dan hukum yang membimbing manusia menuju ke-bahagiaan dunia dan akhirat. Di sini tampak perbedaan yang besar dan nyata dalam perlakuan Allah terhadap pemimpin-pemimpin dan kaum yang durhaka, sombong dan takabur dengan perlakuannya terhadap pemimpin yang saleh dan ikhlas serta taat kepada-Nya.

Kepada golongan pertama, seperti Fir’aun dan kaumnya, diturunkan malapetaka dan siksaan sehingga dia ditenggelamkan bersama tentaranya ke dalam laut. Kepada golongan kedua, seperti Musa, Harun, dan kaumnya, diturunkan Kitab yang akan menjadi petunjuk bagi mereka dalam menempuh kehidupan, baik di dunia maupun di akhirat.

Demikianlah sunatullah yang berlaku semenjak dahulu kala. Berapa banyaknya umat-umat yang terdahulu yang telah dibinasakan-Nya dengan berbagai macam cara seperti yang terjadi pada kaum Nabi Nuh, Nabi Saleh, Nabi Hud, dan lain-lain.

عَنِ أَبِى سَعِيْدٍ الخُدْرِي َمْرفُوْعًا اِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قَالَ: مَا اََهْلَكَ اللهُ قَوْمًا بِعَذَابٍ ِمنَ السّمَاءِ وَلاَ مِنَ اْلارْضِ بَعْدَ مَا أُنْزِلَتِ التَّوْرَةُ عَلَى َوجْهِ الاَْرْضِ غَيْرَ أَهْلِ الْقَرْيَةِ الَّذِيْنَ مُسِخُوْا قِرَدَةً بَعْدَ مُوْسَى، ثُمَّ قَرَأَ: ((وَلَقَدْ اٰتَيْنَا مُوْسَى الْكِتَابَ مِنْ بَعْدِ مَا َاهْلَكنَا الْقُرُوْنَ اْلاُوْلَى بَصَائِرَ لِلنَّاسِ وَهُدًى وَرَحْمَةً لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ)). (رواه الحاكم)

Dari Abu Sa’id al-Khudri bersumber dari Nabi saw, beliau bersabda, “Setelah diturunkannya kitab Taurat di atas bumi Allah tidak lagi membinasakan suatu kaum dengan azab dari langit atau bumi kecuali penduduk negeri yang diubah menjadi kera, mereka adalah orang Bani Israil sepeninggal Nabi Musa, lalu Nabi saw membaca ayat ini (al-Qa¡a¡/28: 43). (Riwayat al-Hakim)

Ayat 44

Ayat ini menerangkan bahwa Muhammad saw tidak pernah berada di sisi sebelah barat Lembah Suci Thuwa, tempat Allah mewahyukan lembaran-lembaran Taurat kepada Musa. Ketika itu, Allah membebankan urusan-urusan kenabian kepadanya. Karena tidak termasuk salah seorang dari rombongan 70 orang yang telah terpilih untuk mendengarkan secara terperinci hal-hal yang diwahyukan Allah kepada Musa, maka Muhammad saw tidak mungkin menerangkan semua itu, kecuali dengan jalan wahyu dari Allah.

Muhammad saw dapat menyampaikan hal-hal gaib yang telah lama terjadi serta tidak disaksikan dan dilihatnya sama sekali, padahal ia adalah seorang ‘ummi tidak dapat membaca dan menulis, berada di tengah-tengah kaum yang ‘ummi  pula, dan tidak mengetahui sedikit pun tentang hal-hal tersebut. Hal itu merupakan bukti nyata bahwa Muhammad benar-benar nabi dan rasul Allah. Semua itu disampaikan dan dikisahkannya melalui perantaraan wahyu dari Allah. Firman Allah:

وَقَالُوْا لَوْلَا يَأْتِيْنَا بِاٰيَةٍ مِّنْ رَّبِّهٖۗ اَوَلَمْ تَأْتِهِمْ بَيِّنَةُ مَا فِى الصُّحُفِ الْاُوْلٰى

Dan mereka berkata, “Mengapa dia tidak membawa tanda (bukti) kepada kami dari Tuhannya?” Bukankah telah datang kepada mereka bukti (yang nyata) sebagaimana yang tersebut di dalam kitab-kitab yang dahulu? (Thaha/20: 133)

Ayat 45

Ayat ini menerangkan bahwa Allah telah menciptakan generasi demi generasi sejak Nabi Musa sampai kepada Nabi Muhammad dalam waktu yang panjang dan merupakan masa kekosongan, sehingga pengetahuan mereka berkurang, akhlak mereka menurun dan telah menjurus kepada kehancuran dan dekadensi moral. Pada waktu itu terasa benar perlunya diutus seorang rasul untuk membimbing dan memberi petunjuk kepada mereka ke jalan yang benar.

Maka diutuslah Nabi Muhammad saw dan dia diberitahu oleh Allah keadaan dan ihwal nabi-nabi terdahulu, begitu juga keadaan dan hal ikhwal Nabi Musa. Allah juga menerangkan pada ayat ini bahwa Muhammad tidak tinggal bersama-sama penduduk Madyan untuk menanyakan dan mempelajari kisah Nabi Musa dari orang-orang yang menyaksikan kisah itu sendiri. Semua itu diketahui oleh Nabi Muhammad dengan perantaraan wahyu yang diturunkan kepadanya.

Ayat 46

Ayat ini menerangkan bahwa Nabi Muhammad tidak berada di dekat Gunung Tur pada waktu Allah menyeru Nabi Musa dan ketika terjadi munajat antara keduanya. Peristiwa itu diketahui oleh Muhammad dengan perantaraan kitab suci Al-Qur’an yang diwahyukan kepadanya sebagai rahmat Allah yang di dalamnya dibentangkan kisah tersebut.

Juga terdapat hal-hal yang mendatangkan maslahat dan kebahagiaan bagi mereka di dunia dan di akhirat, agar Muhammad memberi peringatan kepada kaum Quraisy yang belum pernah memperoleh peringatan sebelumnya. Selain ayat ini sebagai dalil yang jelas atas kerasulan Muhammad saw, juga sebagai dalil atas kemukjizatan Al-Qur’an, karena ia menceritakan peristiwa yang telah terjadi beratus-ratus tahun. Padahal Rasulullah tidak menyaksikan peristiwa tersebut apalagi hadir di tengah-tengah mereka.

Ayat 47

Ayat ini menerangkan bahwa salah satu hikmah pengutusan Muhammad kepada mereka adalah untuk menolak alasan-alasan mereka, ketika kelak mendapat azab yang pedih atas kekafiran mereka terhadap Allah dan dosa-dosa yang telah diperbuatnya. Seandainya Muhammad belum diutus sedangkan azab menimpa mereka, tentu mereka akan mengemukakan alasan dan hujah.

Mereka akan berkata, “Wahai Tuhan kami! Kenapa tidak diutus seorang rasul kepada kami sebelum kemurkaan-Mu menimpa kami, dan azab-Mu diturunkan kepada kami, agar kami dapat mengikuti petunjuk-petunjuk-Mu, mengamalkan ayat-ayat yang ada di dalam kitab-Mu yang diturunkan kepada rasul itu, sehingga kami percaya atas ketuhanan-Mu dan membenarkan rasul yang Engkau utus itu?”

 Oleh sebab itu, jauh sebelum mereka dimurkai dan diazab oleh Allah, Muhammad telah diutus kepada mereka untuk memberi peringatan dan ancaman dengan kemurkaan dan azab yang akan ditimpakan kalau mereka tetap dalam agama nenek moyang mereka, menyembah berhala, mempersekutukan Allah. Dengan demikian, tidak ada jalan bagi mereka untuk mengemukakan alasan-alasan dan hujah. Itulah sunatullah yang berlaku pada tiap-tiap umat. Hal ini ditegaskan dalam ayat lain dalam Al-Qur’an seperti firman Allah:

رُسُلًا مُّبَشِّرِيْنَ وَمُنْذِرِيْنَ لِئَلَّا يَكُوْنَ لِلنَّاسِ عَلَى اللّٰهِ حُجَّةٌ ۢ بَعْدَ الرُّسُلِ ۗوَكَانَ اللّٰهُ عَزِيْزًا حَكِيْمًا

Rasul-rasul itu adalah sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah setelah rasul-rasul itu diutus. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana. (an-Nisa’/4: 165)

Dan firman-Nya:

مَنِ اهْتَدٰى فَاِنَّمَا يَهْتَدِيْ لِنَفْسِهٖۚ وَمَنْ ضَلَّ فَاِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَاۗ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِّزْرَ اُخْرٰىۗ وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِيْنَ حَتّٰى نَبْعَثَ رَسُوْلًا

Barang siapa berbuat sesuai dengan petunjuk (Allah), maka sesungguhnya itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barang siapa tersesat maka sesungguhnya (kerugian) itu bagi dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, tetapi Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul. (al-Isra’/17: 15)

Salah satu hikmat pengutusan para rasul adalah untuk membendung dan menolak alasan yang akan dikemukakan mereka. Hikmah diturunkannya kitab suci Al-Qur’an juga untuk menolak alasan mereka yang akan mengatakan bahwa mereka tidak beriman karena kitab samawi hanya diturunkan kepada dua golongan saja yaitu Yahudi dan Nasrani, sebagaimana firman Allah swt:

اَنْ تَقُوْلُوْٓا اِنَّمَآ اُنْزِلَ الْكِتٰبُ عَلٰى طَاۤىِٕفَتَيْنِ مِنْ قَبْلِنَاۖ وَاِنْ كُنَّا عَنْ دِرَاسَتِهِمْ لَغٰفِلِيْنَۙ

(Kami turunkan Al-Qur’an itu) agar kamu (tidak) mengatakan, “Kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan sebelum kami (Yahudi dan Nasrani) dan sungguh, kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca.” (al-An’am/6: 156)

(Tafsir Kemenag)


Baca Selanjutnya: Tafsir Surah Al-Qasas ayat 41-47


 

Tafsir Surah Ibrahim Ayat 33-34

0
Tafsir Surah Ibrahim
Tafsir Surah Ibrahim

Jika sebelumnya telah dibahas tentang perintah Allah, yakni; sholat dan infaq sebagai bentuk kehambaan dan syukur atas nikmat-nikmat-Nya. Maka Tafsir Surah Ibrahim Ayat 33-34 mengulas sebagian dari tanda nikmat Allah, yakni matahari dan bulan yang terus berputar pada porosnya, serta memberikan manfaat bagi manusia; adalah siang untuk beraktivitas, malam untuk beristirahat. Begitu banyak nikmat-nikmat Allah yang tentunya tidak akan bisa dihitung oleh siapapun.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Ibrahim Ayat 32


Ayat 33

Demikian pula sebagai nikmat Allah swt kepada manusia ialah Dia telah menaklukkan bagi manusia matahari dan bulan, yaitu menjadikan matahari dan bulan terus menerus berjalan mengelilingi garis edarnya, yang menimbulkan terang dan gelap yang berfaedah bagi hidup dan kehidupan makhluk.

Dengan tetapnya matahari dan bulan, demikian juga planet-planet yang lain, berjalan mengelilingi garis edarnya, akan terhindarlah terjadinya benturan yang dahsyat antara planet-planet yang ada di cakrawala, sebagaimana firman Allah:

وَالْقَمَرَ قَدَّرْنٰهُ مَنَازِلَ حَتّٰى عَادَ كَالْعُرْجُوْنِ الْقَدِيْمِ   ٣٩  لَا الشَّمْسُ يَنْۢبَغِيْ لَهَآ اَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا الَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ ۗوَكُلٌّ فِيْ فَلَكٍ يَّسْبَحُوْنَ  ٤٠

Dan telah Kami tetapkan tempat peredaran bagi bulan, sehingga (setelah ia sampai ke tempat peredaran yang terakhir) kembalilah ia seperti bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya. (Yasin/36: 39-40).

Keberadaan garis edar yang terus menerus dilalui oleh setiap planet, telah memberi jalan kepada manusia sampai ke bulan, memberi kemungkinan yang besar bagi manusia untuk berusaha mencapai planet-planet yang lain.

Dengan perantara garis edar itu pula, manusia dapat menempatkan satelit-satelit yang dapat digunakan untuk kepentingan umat manusia, seperti untuk mengetahui keadaan cuaca, untuk memperlancar hubungan telekomunikasi dan sebagainya, sehingga hubungan antar negara yang semula dirasakan jauh, maka sekarang dirasakan bertambah dekat.

Allah swt menundukkan pula bagi manusia siang dan malam. Siang dapat digunakan manusia sebagai tempat berusaha, beramal, dan bermasyarakat. Sedangkan malam dapat dijadikan sebagai waktu untuk beristirahat dari kelelahan setelah berusaha di siang hari. Allah berfirman:

وَمِنْ رَّحْمَتِهٖ جَعَلَ لَكُمُ الَّيْلَ وَالنَّهَارَ لِتَسْكُنُوْا فِيْهِ وَلِتَبْتَغُوْا مِنْ فَضْلِهٖ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

Dan adalah karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, agar kamu beristirahat pada malam hari dan agar kamu mencari sebagian karunia-Nya (pada siang hari) dan agar kamu bersyukur kepada-Nya. (al-Qashash/28: 73).

Dalam ayat ini pula Allah menggunakan kata sakhkhara (menunduk-kan), yang mengisyaratkan kita untuk menggunakan akal dalam memanfaat-kan baik matahari, bulan, maupun fenomena malam maupun siang.

Dengan demikian sakhkhara ini mengandung perintah untuk mengembangkan teknologi, kalender berbasis matahari (solar calendar) atau bulan (lunar calendar), dan energi matahari (solar energy).

Juga mengandung perintah untuk menggunakan baik matahari atau bulan untuk keperluan navigasi dalam pelayaran maupun penerbangan, dan sebagainya. Begitu juga meng-gunakan malam dan siang untuk mengetahui atau mengukur biological clock kita. Demikian penjelasan dari sudut  pandang saintis.


Baca Juga : Menelisik Makna Sifat Shamadiyah dan Wahidiyah Allah SWT dalam Surat al-Ikhlas Ayat 1-4


Ayat 34

Sebagai nikmat Allah juga ialah Dia telah menyediakan bagi manusia segala yang diperlukannya, baik diminta atau tidak, karena Allah telah menciptakan langit dan bumi ini untuk manusia.

Dia menyediakan bagi manusia segala sesuatu yang ada, sehingga dapat digunakan dan dimanfaatkan kapan dikehendaki. Kadang-kadang manusia sendiri tidak mengetahui apa yang menjadi keperluan pokoknya, dimana tanpa keperluan itu, ia tidak akan hidup atau dapat mencapai cita-citanya.

Keperluan seperti itu tetap dianugerahkan Allah kepadanya sekalipun tanpa diminta. Ada pula bentuk keperluan manusia yang lain yang tidak mungkin didapat kecuali dengan berusaha dan berdoa, karena itu diperlukan usaha manusia untuk memperolehnya.

 Sangat banyak nikmat Allah swt yang telah dilimpahkan-Nya kepada manusia, sehingga jika ada yang ingin menghitungnya tentu tidak akan sanggup. Oleh karena itu, hendaknya setiap manusia mensyukuri nikmat yang telah diberikan Allah swt dengan jalan menaati segala perintah-Nya dan tidak melakukan hal-hal yang menjadi larangan-Nya.

Mensyukuri nikmat Allah yang wajib dilakukan oleh manusia itu bukanlah sesuatu yang diperlukan oleh Allah swt.

Allah Mahakaya, tidak memerlukan sesuatupun dari manusia, tetapi kebanyakan manusia sangat zalim dan mengingkari nikmat yang telah diberikan kepadanya.

(Tafsir Kemenag)

Baca Setelahnya : Tafsir Surah Ibrahim Ayat 35-36

Al-Wujuh dan Al-Nazhair Kata Shalat pada Alquran

0
Al-Wujuh dan al-Nazhair Kata Shalat
Al-Wujuh dan al-Nazhair Kata Shalat

Al-Wujuh dan al-Nazhair merupakan bagian dari ulumul Qur’an yang berfungsi menjelaskan sebagian lafaz yang telah disebutkan dalam al-Quran, pada suatu tempat dengan makna yang berbeda ketika lafaz itu di sebutkan pada tempat lain. Misalnya, dalam al-qur’an, tidak kurang dari 60 kali kata ‘shalat’ dengan berbagai derivasinya disebutkan. Namun jika diteliti satu per satu, ternyata belum tentu semuanya merujuk pada makna yang sama. Sebagian di antaranya memang bermakna shalat seperti yang kita kenal, akan tetapi lafadz sholat memiliki makna yang beragam.

Nah, pembahasan tentang ini kemudian dituliskan oleh para ulama menjadi sebuah cabang ilmu dalam rumpun ilmu-ilmu al-quran dengan istilah al-wujuh wa al-nazhair.

Baca juga: Perintah Menjaga Diri dan Keluarga dari Api Neraka

Definisi al-Wujuh dan al-Nazhair

Al-Zarkasyi dalam al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an (1/102) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan al-wujuh secara istilah adalah,

فالوجوه اللفظ المشترك الذي يستعمل في عدة معان

Maka al-wujuh adalah lafazh musytarak yang digunakan untuk banyak makna”. Atau mudahnya, satu kata yang bisa memiliki beberapa makna. Jadi al-wujuh adalah satu kata yang bisa memiliki makna berbeda pada ayat dan konteks yang berbeda.

Sedangkan al-Nazhair adalah sebaliknya, al-Zarkasyi dalam kitab yang sama menyebutkan,

والنظائر كلألفظ المتواطئة

Adapun al-nazhair adalah seperti lafaz-lafaz yang saling serupa”. Dalam bahasa lain, al-nazhair adalah satu makna dalam Alquran yang disebutkan dengan berbagai lafaz. Diantara contohnya adalah shalat yang dalam Alquran selain diungkapkan dengan lafaz shalat itu sendiri, juga diungkapkan dengan lafaz lain seperti qiyam, dzikr, ruku’, sujud dan lain-lain.

Baca juga: Mengenal Kitab Tafsir Indonesia yang Lahir dari Ruang Akademik

Urgensi Ilmu al-Wujuh wa al-Nazhair

Para Ulama sejak zaman dahulu telah memberikan perhatian lebih terhadap ilmu ini, sebutlah diantaranya Muqatil ibn Sulaiman, kemudian diikuti dengan Ibn al-Jauzi, al-Damaghani, dan Abu al-Hasan ibn Faris. Memperlajari ilmu ini memiliki beberapa urgensi diantaranya,

1). Ilmu ini merupakan salah satu perangkat untuk mentadabburi Alquran dan memahaminya dengan pemahaman yang benar.

2). Menjelaskan mana makna yang tepat pada lafaz-lafaz yang memiliki keragaman makna sesuai dengan konteks ayat.

3). Mengungkapkan salah satu sisi kemukjizatan Alquran, dimana satu kata bisa memiliki hingga 20 makna bahkan lebih.

4). Disatu sisi merupakan salah satu bentuk tafsir maudhu’i, yang kalau merujuk pada teori Mushtafa Muslim dalam Mabahits fi al-Tafsir al-Maudhu’i termasuk kedalam tematik term/kosakata Alquran (al-mushthalah al-Qur’aniy).

Contoh al-Nazhair dalam kata shalat 

Adapun contoh untuk al-nazhair diantaranya adalah kata shalat yang terkadang diungkapkan dengan kosakata lain selain shalat itu sendiri, yaitu.

  1. Zikr

Kata pertama yang terkadang dipakai untuk menunjukkan makna shalat adalah al-dzikr. Dalam Qs. Al-Baqarah [2]: 239 berbentuk fi’il amr, Allah berfirman,

…فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَمَا عَلَّمَكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ

“…Kemudian apabila kalian telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kalian apa yang tidak kalian ketahui

  1. Qiyam

Kemudian yang kedua adalah al-Qiyam. Juga muncul dalam bentuk fi’il amr dalam Qs. Al-Muzzammil [73]: 2 dimana Allah berfirman,

قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا

bangunlah (shalat) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya)

  1. Ruku’

Yang ketiga adalah ruku’. Ini terdapat dalam firman Allah Qs. Al-Baqarah [2]: 43,

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku

Yakni shalatlah bersama orang-orang yang shalat, ayat ini berisi anjuran untuk menunaikan shalat secara berjama’ah.

  1. al-Qur’an

Yang keempat kata al-Qur’an juga bisa merujuk kepada makna shalat. Ini terdapat pada firman Allah Qs. Al-Isra [17]: 78,

أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَىٰ غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ ۖ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا

Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan

Menurut Ibn Katsir dalam tafsir al-Qur’an al-‘Azhim (5/102), kata qur’an al-fajr disana berarti shalat al-fajr, yakni shalat subuh. Atau oleh sebaian ulama yang lain dipahami sebagai shalat sunnah fajar.

Baca juga: Prinsip Dasar Penyusunan Tafsir Ilmi

Itulah definisi dan urgensi dari al-wujuh wa al-nazhair, salah satu cabang ilmu dari rumpun ulumul Qur’an, serta pengaplikasian pada kata shalat dalam ayat al-Quran.

Tafsir Surah Al-Qasas ayat 35-40

0
Tafsir Surah Al Qashash
Tafsir Surah Al Qashash

Tafsir Surah Al-Qasas ayat 35-40 mengisahkan tentang kesombongan Fir’aun yang mengaku dirinya sebagai Tuhan. Tafsir Surah Al-Qasas ayat 35-40 juga menjelaskan bahwa Allah mengazab Fir’aun dan pasukannya di dunia maupun di akhirat.

Selengkapnya Tafsir Surah Al-Qasas ayat 35-40


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Qasas ayat 29-34


Ayat 35

Allah mengabulkan permintaan Musa dan berjanji mengangkat Harun menjadi rasul dan pendampingnya (wazir). Allah juga menenteramkan hatinya yang selalu diliputi kekhawatiran karena beratnya beban yang dipikulkan kepadanya. Allah menjanjikan bahwa Dia akan memberikan kepada Musa dan saudaranya kekuatan yang tak dapat dikalahkan oleh kekuatan apa pun di dunia apalagi kekuatan Fir’aun yang sangat terbatas.

Dengan hati yang aman dan tenteram, Musa kembali ke tempat istrinya yang ditinggalkannya. Dia menceritakan kepadanya semua kejadian yang dialaminya, yaitu dia telah diangkat Allah menjadi rasul. Mendengar cerita Musa, hati istrinya menjadi tenteram. Musa lalu berangkat bersama keluarganya menuju Mesir didorong oleh cita-cita yang suci yaitu menyampaikan risalah Allah kepada Fir’aun dan Bani Israil. Di Mesir, Harun telah bersiap-siap untuk memikul risalah itu dan membantu saudaranya.

Ayat 36

Musa lalu datang kepada Fir’aun dan kaumnya untuk menyeru mereka kepada agama tauhid dengan memberikan bukti-bukti yang nyata dan keterangan yang kuat dan jelas. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi mereka menolak kebenaran yang dikemukakannya.

Akan tetapi, serta merta mereka menolak apa yang diucapkan oleh Musa. Ketika mereka telah terpojok dan tidak dapat lagi membantah kebenaran yang dibawanya, mereka lalu menuduh semua itu hanya sihir belaka dan mereka tidak pernah mendengar apa yang diucapkan Musa dari nenek moyang mereka.

Demikianlah sikap orang-orang kafir terhadap rasul-rasul yang menyeru kepada agama yang benar seperti tersebut dalam firman-Nya:

كَذٰلِكَ مَآ اَتَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ مِّنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا قَالُوْا سَاحِرٌ اَوْ مَجْنُوْنٌ

Demikianlah setiap kali seorang rasul yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, mereka (kaumnya) pasti mengatakan, “Dia itu pesihir atau orang gila.” (adz-Dzariyat/51: 52).

Ayat 37

Tuduhan Fir’aun dan kaumnya bahwa bukti-bukti yang dikemukakan Musa hanya sihir belaka dijawabnya dengan tenang dan tidak keluar dari adab dan sopan santun berdebat, tanpa menuduh lawannya bahwa mereka telah sesat. Musa mengatakan kepada mereka bahwa Tuhannya yang lebih mengetahui siapa sebenarnya yang membawa petunjuk dari Allah dan siapa sebenarnya yang beruntung yang akan mendapat kebahagiaan di akhirat.

Di balik itu, dalam hatinya ia yakin sepenuhnya dialah yang benar, dialah orang yang beruntung dan siapa yang menentang kebenaran yang dibawanya pasti akan merugi dan menyesal. Jawaban ini sama dengan jawaban yang diberikan oleh Nabi Muhammad kepada kaum musyrikin yang menentangnya, seperti tersebut dalam firman Allah:

قُلْ مَنْ يَّرْزُقُكُمْ مِّنَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ قُلِ اللّٰهُ ۙوَاِنَّآ اَوْ اِيَّاكُمْ لَعَلٰى هُدًى اَوْ فِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ

Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?” Katakanlah, “Allah,” dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. (Saba’/34: 24)

Walaupun demikian, Musa tetap menegaskan bahwa orang zalim tidak akan memperoleh kemenangan. Ini adalah sebagai isyarat kepada Fir’aun dan kaumnya bahwa mereka tidak akan menang. Mereka pasti akan kalah dan hancur karena mereka adalah orang-orang yang sombong dan aniaya.

Ayat 38

Ayat ini menerangkan bahwa setelah kehabisan alasan dan dalil untuk membantah keterangan Musa dan bukti-bukti yang dikemukakannya, Fir’aun memerintahkan kepada kaumnya supaya jangan percaya kepada berita dusta yang dikemukakan Musa. Selama ini tidak ada seorang pun yang berani mendakwahkan bahwa ada Tuhan selain dia.

Semenjak dahulu selama Mesir diperintah oleh Fir’aun, yang silih berganti, tak seorang pun yang mengingkari bahwa Fir’aun adalah tuhan-tuhan yang berkuasa di muka bumi. Mata hati rakyat dikelabui dengan dongeng dan khurafat yang menyatakan bahwa manusia harus tunduk kepada kekuasaan Fir’aun.

Dia selalu melakukan tindakan yang kejam dan bengis terhadap orang yang berani mengingkari kekuasaannya sebagai tuhan dengan menyiksa dan memenjarakan bahkan membunuhnya. Hal ini disebutkan dalam firman Allah:

 فَحَشَرَ فَنَادٰىۖ  ٢٣  فَقَالَ اَنَا۠ رَبُّكُمُ الْاَعْلٰىۖ  ٢٤

Kemudian dia mengumpulkan (pembesar-pembesarnya) lalu berseru (memanggil kaumnya). (Seraya) berkata, “Akulah tuhanmu yang paling tinggi.” (an-Nazi’at/79: 23-24)

Firman Allah:

قَالَ لَىِٕنِ اتَّخَذْتَ اِلٰهًا غَيْرِيْ لَاَجْعَلَنَّكَ مِنَ الْمَسْجُوْنِيْنَ

Dia (Fir’aun) berkata, “Sungguh, jika engkau menyembah Tuhan selain aku, pasti aku masukkan engkau ke dalam penjara.” (asy-Syu’ara’/26: 29)

Imam Fakhruddin ar-Razi berpendapat bahwa Fir’aun mendakwahkan dirinya sebagai tuhan maksudnya bukan dia yang menciptakan langit, bumi, lautan, gunung-gunung, dan manusia seluruhnya karena hal itu tidak akan dapat diterima oleh akal. Maksudnya adalah supaya orang memperhambakan diri kepadanya. Dia hanya menolak adanya tuhan yang harus dipatuhi dan di sembah selain dia.

Lalu Fir’aun memerintahkan kepada wazirnya, Haman, supaya menyalakan api yang besar untuk membuat batu bata yang banyak dan mendirikan bangunan yang tinggi supaya dia dapat naik ke langit melihat Tuhan yang didakwahkan Musa. Fir’aun lalu menegaskan bahwa Musa adalah pembohong besar. Senada dengan ini, Allah berfirman:

وَقَالَ فِرْعَوْنُ يٰهَامٰنُ ابْنِ لِيْ صَرْحًا لَّعَلِّيْٓ اَبْلُغُ الْاَسْبَابَۙ  ٣٦  اَسْبَابَ السَّمٰوٰتِ فَاَطَّلِعَ اِلٰٓى اِلٰهِ مُوْسٰى وَاِنِّيْ لَاَظُنُّهٗ كَاذِبًا ۗوَكَذٰلِكَ زُيِّنَ لِفِرْعَوْنَ سُوْۤءُ عَمَلِهٖ وَصُدَّ عَنِ السَّبِيْلِ ۗوَمَا كَيْدُ فِرْعَوْنَ اِلَّا فِيْ تَبَابٍ ࣖ   ٣٧

Dan Fir’aun berkata, “Wahai Haman! Buatkanlah untukku sebuah bangunan yang tinggi agar aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, agar aku dapat melihat Tuhannya Musa, tetapi aku tetap memandangnya seorang pendusta.” Dan demikianlah dijadikan terasa indah bagi Fir’aun perbuatan buruknya itu, dan dia tertutup dari jalan (yang benar); dan tipu daya Fir’aun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian. (al-Mu’min/40: 36-37)

Ayat 39

Tafsir Surah Al-Qasas ayat 35-40 khususnya pada ayat ini, Allah menegaskan bahwa Fir’aun dan tentaranya sangat sombong dan takabur. Fir’aun menganggap dan mengaku hanya dialah penguasa yang mutlak di muka bumi. Siapa saja yang menantangnya dianggap salah dan durhaka. Kalau dikatakan kepadanya ada Tuhan yang lebih besar daripada kekuasaannya, Fir’aun menjadi kalap, dan tak dapat lagi menguasai dirinya, seperti memerintahkan dengan segera membuat suatu hal yang mustahil, seperti membuat bangunan setinggi langit agar dia dapat berhadapan dengan Tuhan Yang Mahakuasa lagi Mahaperkasa.

Fir’aun dan kaumnya mengira bahwa mereka tidak akan dibangkitkan, tidak akan diperhitungkan apa yang telah dikerjakan selama hidup di dunia, dan tidak ada yang akan menyiksa bila mereka melakukan kezaliman dan kekejaman. Memang demikianlah kepercayaan mereka karena pengaruh kesombongan dan ketakaburan itu. Mereka membuat piramida yang besar untuk kuburan mereka yang diisi dengan perabot yang lengkap dan serba mewah serta pakaian dan perhiasan yang indah-indah, untuk dinikmati sesudah mati.

Karena kesombongan dan ketakaburan itu, Allah mengazab mereka di dunia dan akhirat. Di dunia Fir’aun ditenggelamkan bersama tentaranya ke dalam lautan, dan di akhirat mereka akan disiksa dalam neraka.

Demikianlah nasib yang telah ditetapkan Allah bagi orang yang takabur dan sombong, berbuat zalim dan aniaya terhadap Allah dan sesamanya. Sebenarnya kelanjutan kisah Fir’aun bisa ditemukan pada surah-surah lain dalam Al-Qur’an seperti Surah al-A’raf, Yunus, Taha, dan sebagainya.

Akan tetapi, Allah hendak menegaskan di sini bagaimana nasib orang-orang yang durhaka yang tidak lagi mempergunakan akal dan pikirannya sehingga tertutuplah hatinya untuk menerima kebenaran dari mana pun datangnya, sehingga dia menjadi sombong dan takabur. Hal itu layak menjadi perhatian dan pelajaran bagi seluruh manusia.

(Tafsir Kemenag)


Baca Selanjutnya: Tafsir Surah Al-Qasas ayat 41-47

Pesan Gus Ghofur Maimoen (2): Bersikap Moderat itu Memerlukan Introspeksi Diri

0
Gus Ghofur (Tawazun)
KH. Dr. Abdul Ghofur Maimoen atau akrab dikenal Gus Ghofur

Pada webinar milad tafsiralquran.id pada Kamis (29/04/2021), pesan kedua yang disampaikan Gus Ghofur Maimoen dalam konteks tafsir moderat ialah introspeksi diri itu perlu. Sebagaimana pesan pertamanya yang lalu, “moderat itu mempermudah segala hal. Artinya mempermudah urusan orang lain bukan mempersulit diri atau sesama. Bukan berarti pula mempermudah melepas diri nilai-nilai agama (sekuler) atau menjalankan yang haram dan menyingkirkan yang halal sehingga kehilangan mahabbah terhadap agama ini.” Tegas Ketua STAI Al-Anwar, Rembang

Moderat, demikian Gus Ghofur, adalah berada di tengah-tengah di antara kondisi yang mempersulit diri dan meniadakan agama dengan gampang sekali. “Jadi sebetulnya mafhum al-wasatiyyah itu memiliki banyak item. Ia berada di tengah di antara dua term yang bertentangan”. Ujar Gus Ghofur

Baca juga: Perintah Menjaga Diri dan Keluarga dari Api Neraka

Lima Parameter Bersikap Moderat

Beliau juga memberi contoh beberapa kontradiksi untuk mengukur diri apakah kita sudah benar-benar bersikap moderat atau belum dalam memahami Al-Quran.

Pertama, al-Rabbaniyah (sisi ketuhanan) dan al-Insaniyyah (sisi kemanusiaan). “Apakah kita sudah benar-benar di wilayah tengah ataukah membikin negara ini lebih menonjolkan aspek ketuhanan ketimbang kemanusiaan ataukah sebaliknya. Tatkala menjalankan ramadhan misalnya, anak usia 3 tahun sudah ada yang puasa, anak usia 4 tahun sudah “dipaksa” puasa. Sikap seperti ini apakah sudah termasuk moderat atau lebih berat aspek ketuhanannya dari pada kemanusiaannya”. Tandas Pengasuh PP. Al-Anwar 3, Sarang Rembang

Mengarifi hal itu, Gus Ghofur menuturkan, “makanya kita ini harus terus introspeksi diri”. Introspeksi diri itu bak vitamin yang memperkuat antibody tubuh kita terhadap kepungan penyakit.

Baca juga: Tafsir Surah Al-Isra Ayat 72: Balasan di Akhirat bagi Orang yang Buta Hatinya

Kedua, al-Ruhiyyah (aspek spiritualitas) dan al-Maddiyah (aspek materialitas). Apakah selama menjalankan ibadah puasa ini kita sudah berada di wilayah moderat, ataukah justru menonjol pada aspek materialisme saja (al-maddah) ataukah sebaliknya. Secara syariat, berpuasa itu tidak makan dan minum, serta menghindari segala perbuatan yang membatalkan puasa mulai dari terbitnya fajar sampai tenggelamnya matahari.

Itu semua kan al-maddah-nya (materi), apakah kita sudah berpuasa dari lisan kita, misalnya menggunjing, ghibah, ngerasani, menebar fitnah. Sudahkah kita berpuasa dari tangan kita misalnya jempol yang asal meneken send message yang belum jelas kebenarannya, dan lain-lain. “Ramadhan ini, kita merasakan betapa sulitnya berada di wilayah tengah atau moderat”. Sambung putra kelima KH. Maimoen Zubair

Ketiga, al-ukhrawiyyah (aspek akhirat) dan al-dunyawiyyah (aspek keduniawian). Beliau mencontohkan aspek pendidikan. Dalam penuturannya, “Pendidikan kita ini misalnya apakah sudah berpikir tentang dunia ataukah hanya berkutat masalah akhirat saja. Seperti banyak kita temui madrasah kita yang kecenderungannya mengajarkan agama lebih tinggi ketimbang sains, mencari ustadz lebih gampang ketimbang dokter. Apakah kita ini kebablasan mengurus akhirat hingga lupa mengurus dunia.

Terkait hal ini, saya teringat akan Q.S. al-Qashash [28]: 77,

وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا

“Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia”. (Q.S. al-Qashash [28]: 77)

Ayat ini mewanti-wanti kepada umat Islam untuk tidak melupakan aspek keduniawian. Boleh memperhatikan aspek akhirat tapi jangan melupakan dunia. Bukan berarti kemudian orientasi hidup kita full duniawi tidak begitu, akan tetapi orientasi hidup kita adalah lillahi ta’ala (hanya untuk Allah), namun kita tetap bekerja, mencari nafkah untuk keluarga, mencari ilmu, berdakwah, membantu sesama, saling mengamankan dan menyamankan, tidak membuat gaduh-khawatir, dan sebagainya. Itulah yang esensi pesan ayat di atas.

Kata Muhammad Ali al-Shabuni dalam Shafwah al-Tafasir, beliau menafsiri redaksi wabtaghi fima atakallahud daral akhirata, adalah

أي اطلب فيما أعطاك الله من الأموال رضى الله، وذلك بفعل الحسنات والصدقات والإنفاق من الطاعات

“Carilah harta itu yang dianugerahkan kepadamu dengan penuh ketaatan kepada Allah, dan berbuat baiklah, bershadaqahlah, berinfaq dengan ketaatan pula”.

Lalu pada redaksi berikutnya, wala tansa nashibaka minad dunya,

قال الحسن: أي لا تضيع حظك من دنياك في تمتعك بالحلال وطلبك إياه

“Hasan berkata, “Jangan sia-siakan keberuntunganmu di dunia dalam kehalalan dan carilah kehalalan itu di dalam dunia”.

Keempat, al-wahyu wal aql. Kecenderungan berpikir wahyu atau akal (rasionalitas). Gus Ghofur terkait hal ini mencontohkan vaksin. Misalnya, apakah vaksin itu haram atau halal. Apakah justifikasi halal-haram bermetode wahyu lebih menonjol ketimbang rasional ataukah sebaliknya. Atau justru romantisme masa lalu yang mempengaruhi kita atau menatap masa depan yang cerah.

Baca juga: Tafsir Surah Abasa Ayat 1-10: Kesamaan dalam Islam Menurut Wahbah Al-Zuhaili

Selanjutnya, terkati membikin negara Indonesia masih saja berpikir tentang penerapan khilafah, bentuk negara dan sebagainya. Apakah kita ini sebetulnya dipengaruhi romantisme masa lalu daripada masa depan. Kapan majunya jika terus dipengaruhi oleh ekstrem masa lalu, sedangkan menatap masa depan yang lebih maju adalah perintah Al-Quran (wala tansa nashibaka minad dunya). Hal ini menjadi refleksi kita bersama.

Kelima, al-fardhiyyah wal jama’iyyah (individualistik atau komunal). Apakah bersosial lebih mementingkan kepentingan dirinya dan golongannya, misalnya sebagai individu yang berlatar belakang santri atau partai tertentu, golongan ormas tertentu akan saya ke depankan. Ataukah ketika saya bersosial lebih berpikir mendahulukan kemasalahatan bersama dan mementingkan masyarakat. Hal-hal semacam ini patut menjadi renungan dan refleksi kita bersama.

Dalam konteks ini, introspeksi diri itu sangat perlu guna sebisa mungkin bersikap moderat atau berada di wilayah tengah, tidak condong ke kanan atau ke kiri, tidak bergeser ke kepentingan kanan ataupun kepentingan kiri. Wallahu A’lam.

Tafsir Surah Ibrahim Ayat 32

0
Tafsir Surah Ibrahim
Tafsir Surah Ibrahim

Tafsir Surah Ibrahim Ayat 32 khusus mengulas tentang kekuasaan Allah swt. Maka renungkanlah, bahwa Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dari ketiadaan dan tanpa model yang mendahuluinya. Kemudian diturunkan-Nya air hujan dari awan di langit, guna menumbuhkan tumbuhan sebagai kebutuhan hidup manusia.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Ibrahim Ayat 31


Masih membicarakan Allah, Tafsir Surah Ibrahim Ayat 32 juga menerangkan bahwa Dia pula yang telah menundukkan kapal, agar mudah berlayar di lautan dengan kehendak-Nya demi memenuhi kebutuhan hidup. Dia juga yang telah menundukkan sungai-sungai, agar manusia dan hewan-hewan ternak dapat minum darinya serta bisa dimanfaatkan untuk keperluan yang lain.

Ayat 32

Allah Yang Maha Esa dan Mahakuasa sangat banyak melimpahkan nikmat kepada hamba-hamba-Nya. Di antaranya ialah:

Allah Yang Maha Agung, yang ilmunya meliputi segala sesuatu, menerangkan bahwa Dialah yang telah menciptakan langit dan bumi, yang kejadiannya jauh lebih besar dan lebih sulit dari kejadian manusia, yang selalu disaksikan dan diperhatikan manusia dan pada keduanya terdapat pelajaran dan manfaat.

Langit berupa ruang angkasa yang tidak terhingga luas dan besarnya, di dalamnya terdapat benda-benda angkasa berupa planet-planet yang tidak terhitung jumlahnya, masing-masing berjalan menurut garis edar yang telah ditentukan, mengikuti hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah swt.

Tidak ada satu pun dari planet-planet yang tidak mengikuti hukum itu, karena tidak mengikuti hukum-hukum yang telah ditetapkan itu berarti kehancuran bagi seluruh planet-planet itu.

Jika direnungkan, diperhatikan, dan dipelajari tata ruang angkasa yang rapi dan teratur itu, akan terasa ketiadaan arti manusia dan semakin terasa pula keagungan dan kebesaran Penciptanya.

Allah juga yang menciptakan bumi yang merupakan salah satu dari planet-planet ruang angkasa, tempat manusia hidup, berdiam, dan mempersiapkan diri sebelum mengalami hidup yang sebenarnya di akhirat.

Permukaan bumi ditumbuhi tumbuh-tumbuhan yang beraneka ragam, dengan buahnya yang beraneka macam pula yang berguna dan bermanfaat bagi manusia. Di dalam perut bumi terdapat barang tambang yang beraneka macam. Semuanya itu diciptakan Allah untuk manusia.

Dialah yang menurunkan hujan yang berasal dari uap air dan menjadi awan. Awan itu dihalau-Nya dengan angin ke tempat tertentu, hingga menjadi mendung yang hitam pekat, kemudian berubah dan jatuh sebagai hujan yang menyirami permukaan bumi. Dengan siraman hujan itu, tumbuh dan suburlah tumbuh-tumbuhan yang kemudian menjadi besar, berbunga, dan berbuah, sebagaimana firman Allah swt:

 وَتَرَى الْاَرْضَ هَامِدَةً فَاِذَآ اَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاۤءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَاَنْۢبَتَتْ مِنْ كُلِّ زَوْجٍۢ بَهِيْجٍ

Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air (hujan) di atasnya, hiduplah bumi itu dan menjadi subur dan menumbuhkan berbagai jenis pasangan tetumbuhan yang indah. (al-Hajj/22: 5).

Dan firman Allah swt:

الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الْاَرْضَ مَهْدًا وَّسَلَكَ لَكُمْ فِيْهَا سُبُلًا وَّاَنْزَلَ مِنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءًۗ فَاَخْرَجْنَا بِهٖٓ اَزْوَاجًا مِّنْ نَّبَاتٍ شَتّٰى

(Tuhan) yang telah menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu, dan menjadikan jalan-jalan di atasnya bagimu, dan yang menurunkan air (hujan) dari langit.” Kemudian Kami tumbuhkan dengannya (air hujan itu) berjenis-jenis aneka macam tumbuh-tumbuhan. (Thaha/20: 53).

Secara kauniyah (sains) ayat ini menjelaskan tentang siklus biosfer (Biospheric Cycle). Allah menegaskan kembali akan kekuasaan-Nya dalam mengatur kehidupan di bumi ini. Dari air yang tercurah dari langit, maka muncullah kebun-kebun yang subur yang mengeluarkan buah-buahan, yang kesemuanya diperuntukkan sebagai rezeki bagi manusia.

Kemudian dalam ayat tersebut dilanjutkan dengan ”Dia menundukkan kapal bagimu”, dan juga ”Dia telah menundukkan sungai-sungai bagimu”. Menundukkan dalam kedua kalimat ayat di atas diterjemahkan dari kata dalam bahasa Arab sakhkhara.

Ini mengisyaratkan kepada manusia untuk menggunakan akalnya (teknologinya) dalam membuat atau menciptakan kapal yang mampu berlayar di lautan, atau dalam pengelolaan sungai, sebagai tempat untuk pelayaran atau keperluan lainnya.

Jika manusia menggunakan akalnya dengan menggunakan ilmu pengetahuan alam (ketentuan Allah) sehingga dapat menemukan sendiri ketentuan Allah yang digunakan Allah untuk mengendalikan kapal, maka manusia tadi dapat mengusahakan agar kehendak manusia sejalan dengan kehendak-Nya dan ketentuan-Nya.


Baca Juga : Tafsir Surat Yasin Ayat 62: Akal Sebagai Tameng dari Godaan Setan


Ketentuan Allah itu menunjukkan bagaimana mengkonstruksikan kapal agar bisa mengangkat tubuhnya beserta muatannya agar tidak tenggelam. Ketentuan Allah menunjukkan bahwa suatu benda yang mengapung  di air akan memindahkan air sebanyak isi benda tersebut.

Berat dari air yang dipindahkan benda tadi akan sebanding dengan tekanan ke atas yang dialami oleh benda itu. Dengan membuat kapal berongga maka akan tercapai volume luar yang besar, tapi beratnya kecil karena berongga. Oleh sebab itu, tubuh kapal dan muatannya itu mampu diangkat kekuatan ke atas hingga mengapung.

Dengan menggunakan mesin penggerak yang serupa dengan kendaraan darat tapi telah disesuaikan sedemikian rupa, maka kapal itu selain mampu mengapung juga mampu bergerak ke arah yang dikehendaki. Demikian penjelasan dari sudut kajian saintis.

Allah menjelaskan yang demikian itu agar manusia mengetahui betapa besar kekuasaan-Nya dalam mengatur hidup dan kehidupan di permukaan bumi ini dan nikmat yang telah dilimpahkan kepada manusia.

Bagi manusia yang suka memperhatikan kejadian hujan, tumbuh-tumbuhan, serta proses kehidupan di permukaan bumi ini akan mengetahui betapa tingginya nilai hukum Allah dan betapa luas ilmu-Nya, yang berlaku secara tetap, tiada henti-hentinya sampai kepada waktu yang ditentukan-Nya.

Allah juga memerintahkan manusia memperhatikan air yang diminumnya agar mereka bersyukur, sebagaimana firman-Nya:

اَفَرَءَيْتُمُ الْمَاۤءَ الَّذِيْ تَشْرَبُوْنَۗ ٦٨ءَاَنْتُمْ اَنْزَلْتُمُوْهُ مِنَ الْمُزْنِ اَمْ نَحْنُ الْمُنْزِلُوْنَ ٦٩لَوْ نَشَاۤءُ جَعَلْنٰهُ اُجَاجًا فَلَوْلَا تَشْكُرُوْنَ   ٧٠

Pernahkah kamu memperhatikan air yang kamu minum? Kamukah yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkan? Sekiranya Kami menghendaki, niscaya Kami menjadikannya asin, mengapa kamu tidak bersyukur? (al-Waqi’ah/56: 68-70).

Allah menaklukkan kapal (bahtera) bagi manusia maksudnya ialah memberikan kemampuan kepada manusia membuat kapal dan menjadikannya dapat mengapung di permukaan air dan berlayar ke tempat yang dikehendakinya, membawanya ke segenap penjuru dunia.

Allah swt menaklukkan lautan bagi manusia sehingga laut itu dapat dilayari kapal-kapal yang mengangkut segala keperluan mereka, sebagaimana firman-Nya:

وَاٰيَةٌ لَّهُمْ اَنَّا حَمَلْنَا ذُرِّيَّتَهُمْ فِى الْفُلْكِ الْمَشْحُوْنِۙ  ٤١  وَخَلَقْنَا لَهُمْ مِّنْ مِّثْلِهٖ مَا يَرْكَبُوْنَ  ٤٢

Dan suatu tanda (kebesaran Allah) bagi mereka adalah bahwa Kami angkut keturunan mereka dalam kapal yang penuh muatan, dan Kami ciptakan (juga) untuk mereka (angkutan lain) seperti apa yang mereka kendarai. (Yasin/36: 41-42)

Dengan kapal itu pula, manusia bersenang-senang menikmati pelayaran. Dengan kapal itu pula mereka mencari nafkah, menangkap ikan, mencari hasil-hasil lautan, dan mencari barang tambang yang tidak ternilai harganya. Semuanya itu merupakan nikmat Allah kepada manusia.

Allah menundukkan sungai-sungai bagi manusia, seperti memberi kemampuan untuk membendung dan mengalirkannya untuk kepentingan pertanian, serta mengubah arus air yang deras itu menjadi sumber tenaga yang bermanfaat, seperti kincir air dan arus listrik.

Sungai dapat juga berfungsi sebagai jalan raya yang dilalui kapal-kapal dan merupakan urat nadi perdagangan.

Untuk memperpendek lalu-lintas sungai maka manusia membuat terusan-terusan yang menghubungkan antara sungai yang satu dengan sungai yang lain, dan antara lautan yang satu dengan lautan yang lain. Air sungai yang kotor dapat dibersihkan, sehingga membuat air mengalir dengan baik.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Ibrahim Ayat 33-34


Tafsir Surah Ibrahim Ayat 31

0
Tafsir Surah Ibrahim
Tafsir Surah Ibrahim

Tafsir Surah Ibrahim Ayat 31 berbicara tentang perintah Allah kepada kaum Mukmin. Ada dua hal yang Allah perintahkan dalam ayat ini, yaitu; sholat dan berinfaq. Dimulai dengan penjelasan sholat, bahwa sholat merupakan kewajiban dan tiang agama, dengannya dapat membersihkan jasmani maupun rohani seorang hamba.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Ibrahim Ayat 27-30


Kemudian Tafsir Surah Ibrahim Ayat 31 dilanjutkan dengan pembahasan infaq. Infaq adalah sebuah ritual yang kompleks, selain menunaikan hak-hak spiritual, ia juga manifestasi dari gerakan sosial. Bagi Islam, berinfaq berarti pembersihan harta, artinya nilai keberkahan dari rezeki yang didapat akan semakin bertambah.

Selain itu, Tafsir Surah Ibrahim Ayat 31 juga menegaskan bahwa infaq merupakan bentuk rasa syukur seorang hamba, sekaligus membudayakan nilai-nilai kemanusiaan dengan berbagi kebahagiaan kepada sesama. Dengan demikian, tumbuh rasa peduli, perhatian, dan empati.

Ayat 31

Pada ayat ini Allah swt memerintahkan kepada kaum Muslimin agar mereka mengerjakan perbuatan-perbuatan baik, yang dapat membahagiakan manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi. Perbuatan-perbuatan itu ialah :

  1. Melaksanakan salat.
  2. Menginfakkan sebagian harta yang telah dianugerahkan Allah swt.

Allah swt memerintahkan kepada kaum Muslimin mendirikan salat, karena salat itu tiang agama, sebagaimana sabda Nabi saw:

اَلصَّلاَةُ عِمَادُ الدِّيْنِ فَمَنْ اَقَامَهَا فَقَدْ اَقَامَ الدِّيْنَ وَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ هَدَمَ الدِّيْنَ (رواه البيهقي عن عمر بن الخطاب)

Salat itu adalah tiang agama, barang siapa yang mendirikannya, maka sesungguhnya ia telah mendirikan agama dan barang siapa yang meninggalkannya, maka sesungguhnya ia telah meruntuhkan agama. (Riwayat al-Baihaqi dari Umar bin al-Khathab)

Seseorang yang taat dan selalu melaksanakan salat sesuai dengan ajaran Al-Qur’an adalah orang yang suci jasmani dan rohaninya, karena salat itu mencegah orang yang mengerjakannya melakukan perbuatan keji dan perbuatan yang terlarang, sebagaimana firman Allah swt:

وَاَقِمِ الصَّلٰوةَۗ اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ ۗوَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ ۗوَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ

… dan laksanakanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (salat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (al-‘Ankabut/29: 45).

Dan firman Allah swt:

قَدْ اَفْلَحَ مَنْ تَزَكّٰىۙ   ١٤  وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهٖ فَصَلّٰىۗ   ١٥

Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri (dengan beriman), dan mengingat nama Tuhannya, lalu dia salat. (al-A’la/87: 14-15).

Perbuatan hamba yang pertama kali dihisab Allah di hari kiamat ialah salat. Jika baik salat seorang hamba, maka baiklah perbuatannya, sebaliknya jika buruk salatnya atau tidak mengerjakannya, maka buruk dan rusak pulalah seluruh pahala amalnya yang lain.

Rasulullah saw bersabda:

أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الصَّلاَةُ فَإِنْ صَلُحَتْ صَلُحَ سَائِرُ عَمَلِهِ وَإِنْ فَسَدَتْ فَسَدَ سَائِرُ عَمَلِهِ. (رواه الطبراني عن أنس بن مالك)

Perbuatan hamba yang pertama kali dihisab Allah pada hari kiamat ialah salat. Maka jika baik amalan salat itu, baik pulalah seluruh amalnya, dan jika rusak amalan salat itu, rusak pulalah seluruh amalnya. (Riwayat at-Thabrani dari Anas bin Malik).

Bahkan Allah swt menegaskan, bahwa orang yang selalu mengerjakan salat itu adalah orang yang menjadi pewaris surga Firdaus di akhirat, sebagaimana firman-Nya:

وَالَّذِيْنَ هُمْ عَلٰى صَلَوٰتِهِمْ يُحَافِظُوْنَ ۘ  ٩  اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْوَارِثُوْنَ ۙ  ١٠  الَّذِيْنَ يَرِثُوْنَ الْفِرْدَوْسَۗ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ   ١١

Serta orang yang memelihara salatnya. Mereka itulah orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi (surga) Firdaus. Mereka kekal di dalamnya. (al-Mu’minµn/23: 9-11).

Melaksanakan salat berarti mengerjakan salat terus-menerus, sesuai dengan waktu yang telah ditentukan agama, lengkap dengan syarat-syarat dan rukun-rukunnya, disertai dengan khusyuk dan ikhlas.

Allah juga memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk menginfakkan sebagian harta yang telah dikaruniakan Allah kepada mereka, sebelum datang hari kiamat, yaitu hari ketika semua pintu tobat telah ditutup, tidak satu dosa pun yang dapat ditebus, walaupun ditebus dengan emas sepenuh bumi.

Tidak ada lagi seorang teman karib yang dapat menolong dan tidak seorang pun yang dapat menyelamatkan dan memberikan bantuan termasuk anak-anak dan cucu-cucu. Allah swt berfirman:

فَالْيَوْمَ لَا يُؤْخَذُ مِنْكُمْ فِدْيَةٌ وَّلَا مِنَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْاۗ

Maka pada hari ini tidak akan diterima tebusan dari kamu maupun dari orang-orang kafir. (al-Hadid/57: 15).

Dan firman Allah swt:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنْفِقُوْا مِمَّا رَزَقْنٰكُمْ مِّنْ قَبْلِ اَنْ يَّأْتِيَ يَوْمٌ لَّا بَيْعٌ فِيْهِ وَلَا خُلَّةٌ وَّلَا شَفَاعَةٌ  ۗوَالْكٰفِرُوْنَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ

Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari ketika tidak ada lagi jual beli, tidak ada lagi persahabatan dan tidak ada lagi syafaat. Orang-orang kafir itulah orang yang zalim. (al-Baqarah/2: 254).

Orang-orang yang terlepas dari azab hari kiamat itu hanyalah orang-orang yang selama hidup di dunia mengerjakan amal-amal saleh, senang bersedekah, sehingga hatinya suci dan bersih serta rela terhadap apa yang diberikan Allah kepadanya nanti. Allah swt berfirman:

يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَّلَا بَنُوْنَ ۙ    ٨٨  اِلَّا مَنْ اَتَى اللّٰهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ ۗ   ٨٩

(Yaitu) pada hari (ketika) harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. (asy-Syu’ara/26: 88-89).

Senang menginfakkan harta merupakan pencerminan dari kepribadian muslim yang sesungguhnya, sebagai seorang yang telah menyerahkan diri, harta, dan kehidupannya kepada agama, semata-mata untuk mencari keridaan Allah swt.

Perbuatan itu juga merupakan perwujudan dari rasa syukur kepada Allah yang telah melimpahkan nikmat-Nya yang tidak terhingga banyaknya. Terhadap orang yang mensyukuri nikmat, Allah akan menambah nikmat lebih banyak dari nikmat-nikmat yang telah diberikan-Nya.


Baca Juga : Kisah Kedermawanan Dua Sahabat Nabi Saw yang Diabadikan Al-Qur’an


Sebaliknya sifat tidak senang menginfakkan sebagian harta yang telah dianugerahkan Allah adalah pencerminan pribadi orang-orang yang ingkar kepada Allah dan rasul-Nya serta pencerminan dari rasa ingkar terhadap nikmat Allah.

Mereka merasa bahwa segala yang mereka peroleh itu semata-mata karena hasil jerih payahnya sendiri.

Dengan sikap yang demikian berarti mereka telah zalim terhadap dirinya sendiri. Akibat zalim terhadap dirinya sendiri ialah tidak lagi mendapat tambahan nikmat dari Allah, bahkan mereka akan ditimpa azab yang pedih di dunia dan di akhirat.

Zalim terhadap orang lain ialah ia tidak mau memberikan atau mengeluarkan hak orang lain yang ada dalam hartanya. Zalim kepada masyarakat yang ada di sekitarnya ialah mengganggu kepentingan dan hubungan baik yang telah dijalin dalam masyarakat.

Bahkan dari ayat ini dipahami bahwa orang yang kikir dan tidak mau membelanjakan sebagian hartanya itu adalah orang yang congkak dan sombong.

Karena merasa dirinya telah mampu mengatasi segala macam kesulitan yang dihadapinya, termasuk kesulitan dan malapetaka yang akan menimpanya di hari kiamat nanti. Mereka merasa tidak lagi memerlukan tambahan nikmat dan pertolongan Allah baik di dunia maupun di akhirat.

Menginfakkan harta dalam agama Islam ada beberapa bentuk:

  1. Membelanjakan harta untuk nafkah diri sendiri, anak-anak, kerabat, dan istri.
  2. Menginfakkan harta untuk menunaikan kewajiban, seperti zakat harta dan zakat fitrah.
  3. Menginfakkan harta untuk infak sunah.

Membelanjakan harta untuk nafkah istri, kerabat, dan untuk menunaikan nafkah wajib, merupakan suatu kewajiban yang ditetapkan agama atas orang-orang yang beriman, dan ketentuan-ketentuannya tersebut di dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi.

Sedang infak sunah yang diberikan untuk kepentingan umum dan untuk meninggikan kalimat Allah dikategorikan sebagai amal jariah, yaitu infak atau amal yang tidak akan putus pahalanya, walaupun orang yang memberi infak itu telah meninggal dunia, selama infak itu memberikan manfaat.

Pemberian infak wajib, infak sunah, dan nafkah itu haruslah diiringi dengan niat yang ikhlas, semata-mata dilakukan untuk mencari keridaan Allah, terjauh dari sifat ria, ingin dipuji dan disanjung oleh sesama manusia.

Karena itu Allah menyerahkan kepada manusia bagaimana cara sebaiknya memberi harta itu kepada orang yang berhak menerimanya, sehingga membuahkan pahala dari sisi Allah. Jika ia khawatir akan timbul rasa ria dalam hatinya, maka ia boleh memberikan harta itu secara sembunyi, tidak diketahui orang.

Bila ingin perbuatannya ditiru orang lain, maka ia boleh pula memberikan hartanya itu dengan terang-terangan.

Hendaklah kaum Muslimin ingat bahwa harta itu pada hakikatnya adalah milik Allah.

Dianugerahkan-Nya kepada manusia agar mereka dapat melaksanakan tugasnya sebagai hamba Allah selama mereka hidup di dunia.

Oleh karena itu, jika seseorang telah memperoleh harta dan telah melebihi keperluannya, hendaklah diinfakkan kepada yang berhak menerimanya.;

(Tafsir Kemenag)

Baca Setelahnya : Tafsir Surah Ibrahim Ayat 32-33

Indeks Literasi Al-Qur’an di Indonesia dan Nasihat Quraish Shihab

0
Indeks Literasi Al-Qur'an
Indeks Literasi Al-Qur'an

Pada artikel sebelumnya, Inilah Lima Fadilah Membaca Al-Qur’an Menurut Hadis-Hadis Sahih, telah dijelaskan ada banyak manfaat membaca Al-Qur’an, terutama ganjaran pahala yang besar di akhirat kelak. Kendati demikian, realitasnya indeks literasi Al-Qur’an di Indonesia tidak tinggi, bahkan cenderung rendah, terutama jika dibandingkan negara-negara muslim lainnya.

Sebagai contoh, dalam penelitian Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama tentang Indeks Literasi Al-Qur’an Siswa Sekolah Menengah Atas [SMA] (2016), ditemukan fakta indeks literasi Al-Qur’an siswa SMA di tingkat nasional berada dalam kategori sedang (2,44).

Dilihat dari aspek membaca, nilai indeks berada  dalam kategori  sedang (2.59). Ini mengindikasikan kemampuan membaca Al-Qur’an siswa SMA baru sampai tahap pengenalan huruf Al-Qur’an beserta beberapa prinsip tajwid dasar. Data ini tentunya menjadi sebuah isyarat adanya problem serius berkenaan pendidikan Al-Qur’an di Indonesia.

Dalam penelitian lain, yakni riset PTIQ Jakarta, ditemukan fakta yang lebih problematik, di sana disimpulkan bahwa umat Islam Indonesia yang tidak bisa membaca Al-Qur’an ada sekitar 60-70 persen. Pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng Salahuddin Wahid atau yang akrab disapa Gus Sholah juga pernah menyebutkan Muslim Indonesia yang bisa membaca Al-Qur’an hanya 23 persen.

Jika semua hasil riset digabungkan, dapat dikalkulasikan bahwa secara umum sekitar 50 sampai 60 persen masyarakat muslim Indonesia belum bisa membaca Al-Qur’an. Artinya, ada sekitar 100 sampai 110 juta dari 229 juta penduduk muslim Indonesia yang belum bisa membaca Al-Qur’an. Data ini cukup besar jika dilihat dari total penduduk Indonesia sebanyak 273,5 juta jiwa.

Lantas apakah alasan dibalik rendahnya indeks literasi Al-Qur’an masyarakat Indonesia? Apakah manfaat membaca Al-Qur’an yang banyak disebutkan dalam hadis tidak memberi pengeruh signifikan terhadap motivasi mereka? Apakah manfaat membaca Al-Qur’an tidak mereka ketahu? Atau ada faktor-faktor sosial yang membuat mereka tidak bisa membaca Al-Qur’an?

 Ketika berbicara mengenai faktor-faktor penyebab rendahnya indeks literasi Al-Qur’an, kita tidak bisa menyimpulkannya terlalu dini, sebab kemungkinan ada banyak faktor yang melatar belakanginya, termasuk pendidikan. Misalnya, dalam penelitian Puslitbang Lektur ditemukan fakta tingginya indeks ini dipengaruhi oleh background pendidikan dan sosial.

Orang-orang yang pernah mendapatkan pendidikan diniyah atau Taman Pendiidkan Al-Qur’an/Taman Kanak-kanak Al-Qur’an (TKQ), pada saat usia dini atau pada usia tingkat sekolah dasar melalui Madrasah Diniyah Awaliyah (DTA), menggapai indeks literasi Al-Qur’an lebih tinggi dibanding orang-orang yang tidak pernah mendapatkan itu semua.

Di sisi lain, faktor lingkungan sosial juga turut mengambil andil, di mana orang-orang yang berada dalam keluarga religius – terutama keluarga yang tingkat literasi Al-Qur’annya tinggi – memiliki nilai indeks literasi Al-Qur’an yang cukup baik. Sebaliknya, orang-orang yang tidak memiliki privilege tersebut, cenderung memiliki nilai indeks literasi Al-Qur’an yang rendah meskipun tidak berlaku mutlak.

Quraish Shihab: Bacalah Al-Qur’an Walaupun Terbata-bata

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, ketidaktahuan akan manfaat membaca Al-Qur’an bukanlah penyebab rendahnya nilai indeks literasi Al-Qur’an, melainkan faktor-faktor lain seperti pendidikan dan pengaruh lingkungan. Di samping itu, juga ada faktor-faktor yang bersifat pribadi, yakni penyebab yang datang dari internal individu.

Salah problem kultural yang menyebabkan rendahnya tingkat literasi Al-Qur’an – menurut penulis – adalah rasa malas dan rasa malu untuk memulai belajar membaca Al-Qur’an. Sebagai contoh, ketika penulis mengajar Al-Qur’an di salah satu instansi di Kalimantan Selatan, muncul beberapa ungkapan seperti, “malu sudah SMA baru belajar”, “sudah tua males buat belajar dari awal” dan “malu membaca Al-Qur’an terbata-bata.”

Ungkapan semacam ini banyak kita temukan di masyarakat. Sebagian orang takut atau malu untuk belajar Al-Qur’an karena sudah tua atau malu membaca Al-Qur’an terbata-bata. Dalam konteks ini, sebenarnya mereka tidak bisa sepenuhnya disalahkan, karena bisa jadi respons negatif – dari masyarakat terhadap orang yang membaca Al-Qur’an terbata-bata – yang membuat mereka takut dan malu untuk belajar atau membaca Al-Qur’an.

Berkenaan hal tersebut, ada pesan hikmah bagi kita dari Quraish Shihab dalam sebuah ceramah agama yang dilakukan pada salah satu stasiun swasta. Ia berkata, “Saudara, jangan enggan membaca Al-Qur’an dengan dalih masih terbata-bata, karena semua yang mahir membaca pada mulanya membaca Al-Qur’an terbata-bata.”

Quraish Shihab lalu mewanti-wanti, “Saudara, jangan pula enggan membaca Al-Qur’an dengan dalih tidak paham artinya, karena membaca tanpa paham lebih baik daripada tidak membaca Al-Qur’an sama sekali. Siapa tahu, orang yang membaca Al-Qur’an tanpa paham maknanya akan digerakkan Allah swt hatinya sehingga mau mempelajari dan memahami maknanya.”

Selain mengingatkan masyarakat agar membaca Al-Qur’an walaupun terbata-bata dan tak paham artinya – pada kesempatan ini – Quraish Shihab juga menyinggung soal zikir. Ia mengingatkan bahwa sebaiknya zikir dilakukan oleh semua orang dalam keadaan apa pun, terlepas dari apakah ia bisa khusyuk atau menghadirkan hati dalam zikirnya.

Ia berkata, “jangan juga enggan berzikir dengan alasan hati Anda tidak hadir bersama Allah swt, karena kelengahan dari berzikir lebih buruk dari zikir tanpa merasakan kehadiran Allah. Siapa tahu,  Allah menyambut Anda dengan zikir walaupun Anda tidak merasakan kehadiran-Nya. Siapa tahu, melalui zikir ini Anda meningkat menuju zikir yang dibarengi dengan rasa kehadiran-Nya.”

Nasihat Quraish Shihab di atas secara singkat mengingatkan kita untuk berani memulai belajar dan membaca Al-Qur’an walaupun terbata-bata, karena manfaat membaca Al-Qur’an teramat besar di sisi Allah swt. Hal yang sama harus dilakukan dalam ibadah lainnya seperti zikir, meskipun kita tidak bisa melaksanakannya secara sempurna, namun jangan sampai kita meninggalkannya.

Para ulama juga telah menyampaikan satu kaidah ushul fikih, yakni ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu (apa yang tidak bisa diraih semuanya, tidak boleh ditinggalkan semuanya). Dalam konteks membaca Al-Qur’an, walaupun seseorang tidak bisa membaca sebagus ahli Al-Qur’an atau hanya membaca Al-Qur’an terbata-bata, ia tidak boleh meninggalkan aktivitas membaca Al-Qur’an. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Ibrahim Ayat 27-30

0
Tafsir Surah Ibrahim
Tafsir Surah Ibrahim

Adapun Tafsir Surah Ibrahim Ayat 27-30 menjelaskan bahwa Allah akan meneguhkan hati orang Mukmin dengan ucapan-ucapan baik yang dapat memelihara keteguhan iman mereka. Sedangkan orang kafir dibiarkan dengan kezaliman mereka, yakni ucapan dan perilaku yang buruk.

Meski demikian, maksud dari Tafsir Surah Ibrahim Ayat 27-30 bukan berarti Allah sewenang-wenang, namun yang mereka alami adalah akibat perbuatan mereka sendiri. Dan hukuman bagi keingkaran mereka adalah siksa yang sangat pedih.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Ibrahim Ayat 26 (Part 2)


Ayat 27

Dalam ayat ini, Allah swt menjelaskan bahwa Dia meneguhkan orang-orang yang mukmin dengan ucapan-ucapan yang baik dan teguh, baik dalam kehidupan di dunia ini, maupun di akhirat.

Dengan demikian, ada hubungan timbal balik antara iman dengan ucapan yang baik dan teguh. Iman mendorong seseorang untuk senantiasa menggunakan ucapan yang baik dan teguh. Sebaliknya, ucapan yang baik itu dapat memelihara keteguhan iman seseorang.

Dalam ayat ini selanjutnya, Allah swt menegaskan bahwa Dia membiarkan sesat orang-orang yang zalim dan yang suka berbuat menurut kehendaknya sendiri, tanpa mengabaikan peraturan yang benar, antara lain ialah mengucapkan kata-kata yang buruk yang mengajak kepada kekafiran, kemusyrikan, kemaksiatan, dan sebagainya.

Ayat 28-29

Ayat ini disampaikan dalam bentuk pertanyaan, tetapi bukan untuk dijawab, melainkan hanyalah sebagai peringatan bagi kaum Muslimin agar mereka jangan sekali-kali berbuat dan bertindak seperti yang dilakukan oleh orang kafir.

Hendaklah mereka selalu taat, tunduk, dan patuh kepada perintah-perintah Allah dan menghentikan semua larangan-Nya. Jika mereka ingkar kepada Allah, mereka pasti akan diazab di dunia dan di akhirat seperti yang ditimpakan kepada orang kafir.

Menurut Ibnu ‘Abbas yang dimaksud dengan “orang-orang yang telah menukar nikmat Allah” dalam ayat ini ialah orang-orang kafir Mekah.

Mereka telah dianugerahi bermacam-macam nikmat yang tidak diberikan Allah kepada bangsa lain. Negeri Mekah telah dijadikan sebagai tanah haram yakni tanah yang dihormati, tanah yang terjamin keamanannya, dan tempat berdirinya Ka’bah yang dikunjungi manusia dari segala penjuru dunia setiap tahun.

Allah swt telah mendatangkan air, makanan, dan buah-buahan ke tanah yang tandus itu. Nikmat yang lebih besar lagi ialah diangkatnya Muhammad dari bangsa mereka sendiri sebagai nabi dan rasul penutup, yang membawa agama Allah, yang menjadi petunjuk dan pegangan hidup bagi seluruh manusia.

Semua nikmat yang telah dilimpahkan itu mereka ingkari. Bahkan mereka menyiksa Nabi Muhammad saw dan kaum Muslimin dan menghambat tersiarnya agama Islam.

Oleh karena itu, Allah swt menimpakan azab dan siksa kepada mereka berupa musim kemarau yang kering dan lama, sehingga mereka banyak yang mati kelaparan. Menurut riwayat, ada di antara mereka yang sampai memakan tulang karena tidak ada lagi makanan yang akan dimakan.

Allah menerangkan bahwa mereka adalah orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dan telah menempatkan kaum mereka yang jadi pengikut-pengikut mereka di tempat yang penuh kesengsaraan, yaitu neraka Jahanam yang menyala-nyala, yang bahan bakarnya adalah batu dan manusia.

 Dari ayat ini dipahami bahwa Allah swt memerintahkan manusia agar selalu mensyukuri nikmat-Nya dengan mengikuti perintah-perintah-Nya dan menghentikan larangan-larangan-Nya.

Seluruh manusia dan makhluk sangat tergantung kepada nikmat itu, baik nikmat dalam bentuk lahir, maupun nikmat dalam bentuk batin atau yang tidak nampak.


Baca Juga : Mengenal Paradigma Al-Quran Karya M Dawam Rahardjo


Ayat 30

Ayat ini menerangkan tindakan kedua dan ketiga yang menyebabkan Allah menimpakan azab yang pedih kepada mereka.

 Sebab yang kedua ialah tindakan mempersekutukan Allah. Termasuk dalam tindakan ini ialah:

  1. Mengakui Tuhan itu banyak.
  2. Menyembah yang lain di samping menyembah Allah.
  3. Mengakui sesuatu selain Allah mempunyai kekuatan dan kekuasaan seperti kekuatan dan kekuasaan Allah swt.

 Mempersekutukan Allah ini adalah kepercayaan orang-orang Arab Jahiliah. Mereka mempunyai sesembahan selain Allah. Sesembahan itu ada yang berupa patung-patung yang mereka buat, di antaranya ada yang mereka letakkan di sekeliling Ka’bah. Mereka percaya kepada tenung dan ramalan nasib.

Jika mereka ingin melakukan sesuatu pekerjaan yang penting atau perjalanan yang jauh, mereka pergi ke Ka’bah dan menyuruh penjaganya mengadakan undian. Hasil undian inilah yang menentukan apakah mereka akan melakukan pekerjaan atau perjalanan jauh itu atau tidak.

Sebab yang ketiga ialah orang-orang kafir itu berusaha menyesatkan manusia dari jalan Allah. Mereka menghalang-halangi, bahkan membunuh orang-orang yang melakukan pekerjaan atau mengikuti agama Islam.

 Ketiga macam perbuatan di atas adalah perbuatan dosa besar. Oleh karena itu, Allah swt memerintahkan Nabi Muhammad agar menyampaikan peringatan keras-Nya kepada manusia.

Jika mereka tetap ingkar, biarkan mereka berbuat sesuka hatinya, bersenang-senang, dan berbuat kebinasaan di muka bumi dalam waktu tertentu, sampai Allah menimpakan azab yang keras kepada mereka.

 Hal ini ditegaskan oleh firman Allah swt:

قُلْ تَمَتَّعْ بِكُفْرِكَ قَلِيْلًا ۖاِنَّكَ مِنْ اَصْحٰبِ النَّارِ

Katakanlah, “Bersenang-senanglah kamu dengan kekafiranmu itu untuk sementara waktu. Sungguh, kamu termasuk penghuni neraka. (az-Zumar/39: 8)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Ibrahim Ayat 31-32


Tafsir Surah Ibrahim Ayat 26 (Part 2)

0
Tafsir Surah Ibrahim
Tafsir Surah Ibrahim

Melanjutkan tafsir sebelumnya, Tafsir Surah Ibrahim Ayat 26 (Part 2) menceritakan perkembangbiakan nyamuk selanjutnya, yakni dimulai dari larva nyamuk. Larva hidupnya di air, ia mulai beradaptasi dengan kondisi perairan, hingga kemudian tumbuh menjadi “pupa”, kehidupan lain yang akan menghantar menjadi nyamuk seutuhnya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Ibrahim Ayat 26 (Part 1)


Tafsir Surah Ibrahim Ayat 26 (Part 2) sejatinya adalah penegasan bahwa Allah berkuasa terhadap sesuatu, dan Dialah Dzat yang Maha Benar. Bahkan dengan perumpamaan yang dinilai remeh oleh sebagian orang/kaum, ternyata dibalik perumpamaan tersebut ada hikmah besar yang bisa di petik, dan Allah memulai perumpamaan tersebut dengan mahluk kecil seperti nyamuk yang diulas dalam tafsir ini.

Ayat 26 Part 2

Dalam kehidupan di air, larva nyamuk memilki organ-organ yang sama sekali berbeda saat sudah menjadi nyamuk. Pada kehidupan di air, mereka memiliki semacam rambut yang tumbuh di sekitar bagian mulut.

Dengan gerakan rambut ini, larva dapat mengarahkan jasad renik yang ada di perairan ke bagian mulutnya. Untuk bernapas, mereka menggunakan alat pernafasan yang berbentuk tabung yang terletak di bagian punggungnya.

Mereka mengambil oksigen saat mereka pada posisi jungkir balik di permukaan air. Untuk mencegah air masuk ke dalam tabung, larva nyamuk mengeluarkan cairan lengket yang dapat mencegah masuknya air. Tanpa keberadaan alat-alat ini, larva tidak akan dapat bertahan hidup di dalam air.

Pada pergantian kulit terakhir, bentuk larva berubah drastis, menjadi suatu bentuk yang lain sama sekali. Masa ini disebut sebagai masa “pupa”. Mereka sudah siap menjadi nyamuk yang “sebenarnya”.

Perubahannya sedemikian rupa sehingga sulit untuk dipercaya bahwa hal ini dilakukan oleh individu dan jenis yang satu. Perubahannya begitu kompleks, sehingga rasanya tidak dapat dilakukan dengan sempurna oleh mahluk itu sendiri.

Pada masa ini, akan tumbuh dua tabung atau pipa pernafasan baru di bagian kepala untuk menggantikan tabung yang ada di bagian punggung.

Apabila tidak ada tabung baru di kepala, dengan berubahnya bentuk dan posisi mahluk di air, maka apabila hanya ada tabung di punggung, jelas “pupa” nyamuk akan mati. Hal ini disebabkan karena posisinya yang demikian ini maka air akan masuk ke dalam tabung di punggungnya.

Selama berlangsungnya masa “pupa”, sekitar tiga sampai empat hari, larva nyamuk yang hidup dalam kepompong akan berpuasa. Dalam kepompong ini, bentuk larva berubah menjadi nyamuk dewasa seutuhnya, lengkap dengan sayap, dada, perut, kaki, antena, mata, dan seterusnya.


Baca Juga : Tiga Makna Metode Matsal Menurut Para Ulama


Kemudian kepompong akan terpecah di bagian atas. Masa ini adalah masa yang sangat rentan bagi nyamuk. Syarat agar nyamuk dapat terbang adalah tidak boleh terkena air. Hanya bagian bawah kaki saja yang akan menyentuh air.

Itulah sebabnya, kepompong yang terbuka di bagian atasnya akan dilapisi oleh cairan yang lengket, yang mencegah air masuk ke dalam kepompong. Setengah jam setelah keluar dari kepompong, nyamuk akan melakukan terbang perdananya.

Saat jentik-jentik bermetamorfose menjadi nyamuk, mereka dilengkapi dengan seperangkat sistem yang canggih guna dapat hidup dan meneruskan keturunannya.

Nyamuk dilengkapi dengan organ yang dapat digunakan untuk mendeteksi perubahan suhu, udara, kelembaban dan juga bau. Bahkan, nyamuk mempunyai kemampuan untuk “melihat melalui perubahan suhu” yang menolongnya saat mencari mangsanya, walaupun keadaan sangat gelap.

Teknik nyamuk dalam “mengisap darah” ternyata merupakan seperangkat sistem yang sangat kompleks dan rumit. Untuk mengiris kulit mangsanya, digunakan enam “pisau” pengiris yang bekerja seperti gergaji.

Pada saat proses pengirisan berlangsung, nyamuk menyiramkan suatu cairan ke luka yang dibuatnya. Cairan ini membuat bagian tubuh mangsa yang luka tersebut menjadi mati rasa, sekaligus mencegah darah membeku.

Dengan demikian, mangsa tidak akan merasa terganggu, di samping proses pengisapan darah berjalan lancar.

Apabila salah satu saja organ tidak bekerja baik, maka nyamuk akan memperoleh kesulitan dalam memperoleh pakannya serta meneruskan dan mempertahankan jenisnya.

Dengan rancangan tubuh yang demikian, walaupun “hanya” ada pada nyamuk yang kecil, ini merupakan bukti akan kerja penciptaan. Di dalam Al-Qur’an, nyamuk yang kecil ini dijadikan contoh untuk memperlihatkan kekuasaan Allah. Mereka yang beriman mengerti, sedangkan mereka yang kafir menyangkalnya.

Menurut Ibnu ‘Abbas, ayat ini diturunkan berhubungan dengan tuduhan orang Yahudi bahwa perumpamaan yang ada dalam Al-Qur′an itu tidak mempunyai nilai yang berarti, karena dalam perumpamaan itu disebut sesuatu yang tidak berarti bahkan termasuk binatang kecil lagi hina, seperti Dzubab yang berarti lalat (al-Hajj/22:73) dan ankabut yang berarti laba-laba (al-‘Ankabut/29:41).

Tetapi seandainya orang Yahudi itu mengetahui maksud perumpamaan itu, tentu mereka akan menyatakan bahwa perumpamaan-perumpamaan yang ada dalam Al-Qur′an merupakan perumpamaan yang tepat dan benar seperti pada al-‘Ankabut/29:41:

مَثَلُ الَّذِيْنَ اتَّخَذُوْا مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ اَوْلِيَاۤءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوْتِۚ اِتَّخَذَتْ بَيْتًاۗ وَاِنَّ اَوْهَنَ الْبُيُوْتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوْتِۘ لَوْ كَانُوْا يَعْلَمُوْنَ   ٤١

Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah.

Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba, kalau mereka mengetahui.;Pada ayat ini orang musyrik disamakan dengan laba-laba, iman mereka terhadap apa yang mereka sembah disamakan dengan sarang laba-laba yang rapuh yang mereka jadikan sebagai tempat berlindung dari segala bahaya. Padahal sedikit saja kena angin sarang itu akan rusak dan hancur.

Dalam membuat perumpamaan bagi Allah tidak ada perbedaan antara yang kecil dan besar, hina dan murka, semua adalah makhluk ciptaan Allah. Yang penting ialah perumpamaan itu mencapai tujuannya.

Dengan turunnya ayat ini, ternyata tuduhan orang Yahudi itu tidak mempunyai alasan yang kuat.

Adapun orang-orang mukmin hati mereka telah dipenuhi taufik dan hidayah Allah dan mereka mengetahui bahwa perumpamaan-perumpamaan itu adalah dari Allah, tetapi orang-orang kafir mengingkarinya bahkan mereka tercengang mendengar perumpamaan-perumpamaan itu, orang-orang kafir dan munafik itu bertambah sombong dan ingkar karenanya.

Allah menyesatkan orang-orang kafir dan munafik dengan membiarkan mereka memilih jalan kesesatan sesudah diterangkan kepada mereka jalan kebenaran.

Oleh karena mereka ingkar dan tidak mau memahami dan memikirkan petunjuk-petunjuk Allah, mereka mengikuti jalan-jalan yang tidak diridai-Nya. Akibatnya mereka ditimpa azab yang pedih, karena kefasikan mereka.

Orang-orang yang tidak menggunakan pikiran dan ilmu pengetahuan terhadap perumpamaan yang diberikan Allah swt, mereka menghadapinya dengan angkuh yang menyebabkan mereka bertambah sesat.

Mereka tidak mendapat petunjuk dan menjadi sesat karena kefasikannya. Sebaliknya, orang-orang yang iman di dalam hatinya, mempergunakan akal dan pikirannya, akan mendapat petunjuk dari perumpamaan-perumpamaan itu.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Ibrahim Ayat 27-30