Beranda blog Halaman 326

Memaknai Kandungan al-Quran dan Perintah Iqra’

0
Kandungan al-Quran
Memaknai Kandungan al-Quran dan Perintah Iqra

Layaknya ujung jarum dicelupkan ke dalam samudera kemudian diangkat, seperti itulah perumpamaan pengetahuan manusia terhadap isi kandungan al-Quran. Ilmu manusia hanyalah tetesan yang jatuh dari ujung jarum sedangkan Kalam Allah (Al-Quran) adalah samudera. Perumpamaan itu dapat kita baca dalam al-Kahfi [28]: 109 berikut

قُل لَّوْ كَانَ ٱلْبَحْرُ مِدَادًا لِّكَلِمَٰتِ رَبِّى لَنَفِدَ ٱلْبَحْرُ قَبْلَ أَن تَنفَدَ كَلِمَٰتُ رَبِّى وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِۦ مَدَدًا

“Katakanlah; andai lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh niscaya habislah lautan sebelum kalimat-kalimat Tuhanku habis (ditulis), meskipun Kami datangkan (lautan) sebanyak itu pula.”

Baca Juga: Inilah Lima Fadilah Membaca Al-Qur’an Menurut Hadis-Hadis Sahih

Lalu siapakah yang di antara manusia yang paling mengetahui kandungan al-Quran beserta penafsirannya? Siapa lagi kalau bukan seseorang yang kepadanya al-Quran diturunkan. Adalah hikmah terdalam Rasulullah saw. tidak menafsirkan al-Quran ayat per ayat, akan tetapi semua tafsiran al-Quran telah tertuang pada tindak-tanduk beliau saw.

“Akhlak beliau saw. adalah al-Quran,” begitulah jawab Aisyah r.a. kala ditanya seperti apa akhlak Rasul (H.R. Muslim). Maka bisa disimpulkan bahwa semua perilaku hidup Rasulullah saw. adalah sebenar-benar tafsir terhadap kandungan al-Quran.

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلْأَخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah saw. itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (datangnya) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (al-Ahzab [33]: 21)

Bahkan apa yang ditafsirkan Rasulullah saw. melalui hadits-hadits beliau, tidak lebih banyak, dari apa yang tidak beliau tuturkan secara langsung. Apabila pada diri Rasulullah saw. telah dihiasi dengan al-Quran, maka suluk beliau merupakan sebuah tafsir atas al-Quran.

وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلْهَوَىٰٓ 3 إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْىٌ يُوحَىٰ 4

“Dia (Muhammad) tidak pernah bertutur menuruti hawa nafsunya, melainkan apa yang telah diwahyukan.” Al-Najm [53]: 3-4. Dengan kata lain. Semua perilaku Rasulullah adalah representasi pesan al-Quran, baik ucapan, diam maupun gerak beliau saw.

Sebagai uswah, maka perilaku beliau saw. ditiru oleh para sahabat. Mereka meniru segala yang dilakukan Rasulullah semampu mereka. Mereka juga tidak berusaha untuk menafsirkan al-Quran, baik perkalimat maupun per ayat. Akan tetapi mereka berusaha keras untuk istifadah mencari petunjuk dalam al-Quran dan berusaha agar al-Quran menjadi akhlak mereka, semampunya.

Mereka menjadikan al-Quran sebagai imam dan tongkat penunjuk jalan hidup yang terjal. Mereka tidak pernah melakukan studi teoritis terhadap kandungan al-Quran, melainkan mereka menjadikan al-Quran sebagai petunjuk hidup, bahkan sebagian mereka tidak menghafalkan satu ayat pun, sebelum ia mengamalkan ayat tersebut.

Iqra’! Bacalah!

Dr. Abdul Halim Mahmud menjelaskan dalam al-Quran fi Syahr al-Quran, bahwa Q.S. Al-Alaq 1-5, wahyu pertama yang diturukan Allah kepada Nabi Muhammad saw. melalui perantara Jibril adalah ayat yang mengandung makna yang sangat kaya.

Diriwayatkan dalam al-Tahrir wa al-Tanwir, pada suatu ketika, datanglah malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw yang sedang ber-tahannuts di gua Hira. Jibril merengkuh Nabi sambil mengatakan: “Iqra’, bacalah!”

Maa ana bi qaari-in, aku tidak bisa membaca.”

“Bacalah!” kata Jibril mengulanginya lagi. Nabi Muhammad mengulangi jawaban yang sama. Lalu Jibril menarik dan mendekap Nabi Muhammad saw. cukup kuat sampai menyulitkan beliau bernafas. Jibril melepaskan Nabi dan mengulangi perintahnya lagi dan dijawab dengan jawaban yang sama. Kejadian itu berulang hingga tiga kali. Pada kali ke empat, Nabi Muhammad Saw. kemudian mengucapkan kalimat suci itu (al-Alaq [96]: 1-5).

Riwayat di atas dilanjutkan oleh Dr. Abdul Halim, usai Jibril menghilang, Nabi Muhammad saw. bergegas pulang dengan tubuh yang menggigil. Keringat mengucur dari sekujur tubuhnya. Sesampainya di rumah beliau segera menemui Khadijah. Kata Nabi, “Selimuti aku, selimuti aku..” Lalu Khadijah segera menyelimuti Nabi Muhammad dan menenangkannya hingga hilanglah rasa takut pada diri Nabi.

“Aku takut,” tutur Nabi kepada Khadijah. Dengan welas asih Khadijah berkata, “Tidak, Demi Allah, Dia tidak akan menghinakanmu. Engkaulah yang akan menyambung tali persaudaraan, memikul derita orang lain, bekerja untuk mereka yang tak punya, menjamu tamu, dan menolong orang-orang yang tertindas karena kebenaran.”

Kemudian Khadijah menemui putra pamannya, Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdul ‘Uzza. Ia adalah seorang pemuka Nasrani, fasih berbahasa Ibrani hingga menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Ibrani atas kehendak Allah. “Duh, putra paman, dengarkan sepupumu ini.” Lalu Rasulullah menceritakan semua kejadian yang beliau alami.

Waraqah adalah seorang Nasrani yang tahu betul tanda-tanda nabi akhir zaman, dan sosok itulah yang ia tunggu-tunggu. “Muhammad, itulah Namus yang pernah diturunkan Allah kepada Musa. Duhai, andaikan aku masih hidup ketika kaummu mengusirmu.” Nabi bertanya, “Akankah mereka mengusirku?” Waraqah menjawab, “Benar. Tak ada seorang pun yang diberi wahyu sepertimu kecuali ia dimusuhi orang. Andai aku menemui hari itu, aku akan menolongmu sekuat-kuatnya.” Tak lama berselang setelah itu, Waraqah meninggal dunia.

Iqra’, Spirit Literasi al-Quran

Iqra’ adalah satu kata berjuta makna. Bukan hanya dari lafalnya saja makna-makna itu datang, akan tetapi juga datang dari apa yang diisyaratkan kata itu sendiri.

Dr. Abdul Halim menyebutkan bahwa redaksi iqra’ memberi isyarat kepada manusia untuk membaca—yang merupakan wasitah terpenting untuk mencapai pengetahuan—realitas di dalam segala hal, baik pernak-pernik kehidupan, fenomena alam, hal terkecil yang luput dari jangkauan akal hingga penciptaan alam semesta.

Dalam lima ayat pertama yang Allah turunkan, ada dua kata iqra’ di dalamnya. Sedangkan kata al-‘ilm disebutkan tiga kali dalam bentuk kata kerja (alladzi ‘allama bil qalam. ‘allamal-insaana ma lam ya’lam). Lalu disebutkan kata al-qalam. Setelah lima ayat tersebut, Allah kemudian menurunkan ayat yang dimulai dengan huruf Nun, dan mengawali sumpahNya di dalam al-Quran dengan kata al-qalam yang berarti pena, artinya aktivitas membaca tak bisa lepas dari menulis (Al-Qalam [68] 1-2).

Rasulullah juga telah diperintah untuk memohon kepada Allah supaya ditambahkan ilmu. “Dan katakanlah (wahai, Muhammad) “Rabb, tambahkanlah ilmu kepadaku,” (Thaha [20]: 114). Doa ini merupakan ajaran Rasulullah saw. terindah dalam tarbiah.

Ia bersumber dari insan kamil sekaligus utusan Allah yang paling sempurna,yang menjelaskan kepada umat bahwasanya manusia, setinggi apapun derajat dan kedudukannya, tetap akan berkurang pengetahuannya. Rasulullah saw.—makhluk yang paling sempurna—saja mengharap kepada Allah agar ditambah kan ilmu, apalagi masing-masing dari umatnya?

Bukanlah syak bahwa iman merupakan suatu hal tertinggi dalam kehidupan manusia. Dan untuk mencapai ketetapan iman, maka seseorang harus memiliki ilmu dan selalu menambahnya. Sangat jelas bahwa yang takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya hanyalah ulama (Fathir [35]: 35).

Baca Juga: Membaca Ummatan Wasatan Sebagai Pesan Moderasi dalam Al-Quran

Tidak ada di antara anak turun Adam yang sampai pada inti keimanan kecuali orang yang memiliki ilmu. Lihatlah bagaimana Allah menyertakan mereka yang berilmu bersama para malaikat dalam penyaksian ke-esa-an Allah. “Allah menyaksikan bahwa tiada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah). Para Malaikat dan orang yang berilmu (juga menyaksikan yang demikian itu)..” (Ali Imran [3]: 18). Inilah tinjauan al-Quran terhadap ilmu yang menjadi titik awal Islam sejak kata iqra’.

Lebih jauh, surah Al-‘Alaq mengisyaratkan bahwa yang utama dalam praktik membaca bukan soal objek, akan tetapi cara dan tujuan: bismi rabbika, yaitu membaca dengan dan untuk kebenaran. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Al-Qasas ayat 59-62

0
Tafsir Surah Al Qashash
Tafsir Surah Al Qashash

Tafsir Surah Al-Qasas ayat 59-62 menerangkan bahwa Allah tidak pernah membinasakan suatu kota kecuali terlebih dulu mengutus seorang rasul untuk menyampaikan ayat-ayat Allah. Dijelaskan pula bahwa pembinasaan besar-besaran seperti sebelum umatnya Nabi Muhammad tidak akan terjadi lagi dalam Tafsir Surah Al-Qasas ayat 59-62. Selengkapnya Tafsir Surah Al-Qasas ayat 59-62 di bawah ini…


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Qasas ayat 55-58


Ayat 59

Ayat ini menerangkan bahwa sesuai dengan sunah-Nya, Allah tidak pernah membinasakan suatu kota, kecuali terlebih dahulu mengutus seorang rasul ke kota itu untuk membacakan kepada penduduknya ayat-ayat Allah yang berisi kebenaran. Rasul itu ditugaskan untuk menyeru dan memberi peringatan kepada mereka supaya mereka itu beriman kepada Allah, namun mereka tidak mengindahkannya. Firman Allah:

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِيْنَ حَتّٰى نَبْعَثَ رَسُوْلًا

Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul. (al-Isra’/17: 15)

Sesudah Allah mengutus rasul untuk membimbing penduduk kota itu ke jalan yang lurus, memberi petunjuk kepada kebenaran, tetapi mereka tetap melakukan kezaliman dan mendustakan rasul, mengingkari ayat-ayat-Nya, maka Dia akan membinasakan kota itu beserta penduduknya.

Pembinasaan umat secara besar-besaran sebagaimana terjadi pada umat-umat terdahulu tidak terjadi pada umat Nabi Muhammad. Beliau adalah nabi terakhir yang diutus bagi seluruh alam, sehingga pembinasaan total sudah tidak terjadi lagi. Yang ada hanyalah pembinasaan parsial atau lokal seperti bencana penyakit, bencana alam, gempa bumi, gelombang tsunami, dan sebagainya.

Pengutusan Muhammad saw sebagai nabi terakhir berarti Allah tidak akan mengutus nabi atau rasul setelah beliau. Sedangkan tugas–tugas dakwah dan tanggung jawab memberi peringatan kepada umat terletak di pundak para ulama.

Ayat 60

Ayat ini menerangkan bahwa apa yang diberikan Allah bagi manusia baik berupa harta benda maupun keturunan hanya merupakan kesenangan duniawi. Kehidupan dunia dengan segala perhiasannya belum tentu menjamin keselamatan dan kebahagiaan mereka. Sebaliknya, pahala yang ada di sisi Allah yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang taat adalah lebih baik, karena yang demikian itu kekal dan abadi. Berbeda dengan kesenangan duniawi yang dipujanya karena waktunya terbatas sekali, dan sesudah itu habis dan punah. Firman Allah:

وَمَا عِنْدَ اللّٰهِ خَيْرٌ لِّلْاَبْرَارِ

Dan apa yang di sisi Allah lebih baik bagi orang-orang yang berbakti. (Ali ‘Imran/3: 198)

مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِنْدَ اللّٰهِ بَاقٍ

Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. (an-Nahl/16: 96)

وَمَا هٰذِهِ الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا لَهْوٌ وَّلَعِبٌۗ وَاِنَّ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُۘ لَوْ كَانُوْا يَعْلَمُوْنَ

Dan kehidupan dunia ini hanya senda-gurau dan permainan. Dan sesungguhnya negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, sekiranya mereka mengetahui. (al-’Ankabut/29:64)

بَلْ تُؤْثِرُوْنَ الْحَيٰوةَ الدُّنْيَاۖ   ١٦  وَالْاٰخِرَةُ خَيْرٌ وَّاَبْقٰىۗ   ١٧

Sedangkan kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan dunia, padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal. (al-A’la/87: 16-17)

Ayat ini ditutup dengan pertanyaan yang bernada ejekan sekaligus peringatan dari Allah. Mengapa mereka tidak mau menggunakan akalnya, dan berpikir secara mendalam sehingga mereka mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak. Apakah menurut mereka kehidupan dunia dengan segala kenikmatannya yang fana dan bisa dinikmati dalam waktu yang sangat singkat lebih baik daripada kehidupan akhirat yang kekal dan abadi itu.

Ayat 61

Ayat ini dimulai dengan pertanyaan untuk meyakinkan agar orang-orang kafir itu dengan penuh kesadaran berpikir dan membandingkan tentang mana yang lebih baik. Apakah orang-orang yang dijanjikan Allah apabila mereka taat dan menuruti perintah dan menjauhi larangan-Nya akan dikaruniai nikmat di akhirat yang tidak pernah dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas dalam hati seseorang dan mereka benar-benar memperolehnya di akhirat.

Mana yang lebih baik antara orang yang taat menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan dengan orang yang memilih kesenangan duniawi tetapi tidak menaati perintah Allah dan mengerjakan larangan-larangan-Nya. Menurut akal yang sehat, tentu golongan pertama lebih baik dari golongan kedua. Ayat ini menunjukkan bahwa orang kafir diberi kesenangan duniawi, tetapi di akhirat dimasukkan ke dalam neraka. Firman Allah:

اِنَّهَا سَاۤءَتْ مُسْتَقَرًّا وَّمُقَامًا

Sungguh, Jahanam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman. (al-Furqan/25: 66)

Sedang orang mukmin yang sabar dan tabah menghadapi berbagai cobaan dunia, karena yakin akan janji Allah, di akhirat nanti mereka dimasukkan ke dalam surga. Firman Allah:

اَصْحٰبُ الْجَنَّةِ يَوْمَىِٕذٍ خَيْرٌ مُّسْتَقَرًّا وَّاَحْسَنُ مَقِيْلًا

Penghuni-penghuni surga pada hari itu paling baik tempat tinggalnya dan paling indah tempat istirahatnya. (al-Furqan/25: 24)

مَثَلُ الْجَنَّةِ الَّتِيْ وُعِدَ الْمُتَّقُوْنَۗ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُۗ  اُكُلُهَا دَاۤىِٕمٌ وَّظِلُّهَاۗ

Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang yang bertakwa (ialah seperti taman), mengalir di bawahnya sungai-sungai; senantiasa berbuah dan teduh. (ar-Ra’d/13: 35)

Ayat 62

Pada ayat ini, Allah memerintahkan Nabi saw untuk memperingatkan kaumnya tentang hari ketika Allah memanggil orang-orang yang menyesatkan dan menghalang-halangi manusia dari jalan Allah. Allah akan berkata kepada mereka, “Mana sekutu-sekutu-Ku?

Mana malaikat, jin, dan berhala-berhala yang kamu anggap sekutu-sekutu-Ku di dunia? Dapatkah semuanya itu melepaskan dari azab yang menimpamu?” Tentu tidak. Hal ini dikemukakan sekedar penghinaan kepada mereka. Sejalan dengan ayat ini Allah berfirman:

وَلَقَدْ جِئْتُمُوْنَا فُرَادٰى كَمَا خَلَقْنٰكُمْ اَوَّلَ مَرَّةٍ وَّتَرَكْتُمْ مَّا خَوَّلْنٰكُمْ وَرَاۤءَ ظُهُوْرِكُمْۚ وَمَا نَرٰى مَعَكُمْ شُفَعَاۤءَكُمُ الَّذِيْنَ زَعَمْتُمْ اَنَّهُمْ فِيْكُمْ شُرَكٰۤؤُا ۗ لَقَدْ تَّقَطَّعَ بَيْنَكُمْ وَضَلَّ عَنْكُمْ مَّا كُنْتُمْ تَزْعُمُوْنَ

Dan kamu benar-benar datang sendiri-sendiri kepada Kami sebagaimana Kami ciptakan kamu pada mulanya, dan apa yang telah Kami karuniakan kepadamu, kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia). Kami tidak melihat pemberi syafaat (pertolongan) besertamu yang kamu anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu (bagi Allah). Sungguh, telah terputuslah (semua pertalian) antara kamu dan telah lenyap dari kamu apa yang dahulu kamu sangka (sebagai sekutu Allah). (al-An’am/6: 94)

(Tafsir Kemenag)


Baca Selanjutnya: Tafsir Surah Al-Qasas ayat 63-67


Tafsir Surah Al-Qasas ayat 55-58

0
Tafsir Surah Al Qashash
Tafsir Surah Al Qashash

Tafsir Surah Al-Qasas ayat 55-58 meneruskan tafsiran sebelumnya yang menerangkan tentang tiga sifat orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah, yakni mereka tidak mendengarkan perkataan yang tidak baik. Ditegaskan pula dalam Tafsir Surah Al-Qasas ayat 55-58 ini bahwa Allah mengutus Rasulullah untuk menyampaikan risalah Islam. Selengkapnya dalam Tafsir Surah Al-Qasas ayat 55-58…


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Qasas ayat 48-54


Ayat 55

Ayat ini menerangkan tentang sifat yang ketiga dari orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah yaitu apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, baik mengenai urusan dunia maupun akhirat, seperti cacian, cemoohan, dan sebagainya, mereka berpaling dan tidak melayaninya. Apabila mereka diperlakukan kasar atau disakiti dengan kata-kata atau perbuatan, mereka tidak membalasnya dengan tindakan serupa.

Akan tetapi, mereka menghadapinya dengan tenang dan berkata, “Bagi kami amal-amal kami, kamu tidak akan diberi pahala dan tidak pula diganjar karenanya. Bagimu amal-amalmu, kami tidak akan menuntut sedikit pun dari perbuatan itu, dan tidak akan berusaha membalasnya. Kedamaian atasmu, kami tidak ingin berbuat sebagaimana kamu berbuat.” Firman Allah:

وَالَّذِيْنَ لَا يَشْهَدُوْنَ الزُّوْرَۙ وَاِذَا مَرُّوْا بِاللَّغْوِ مَرُّوْا كِرَامًا

Dan orang-orang yang tidak memberikan kesaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka berlalu dengan menjaga kehormatan dirinya. (al-Furqan/25: 72)

Diriwayatkan oleh Muhammad bin Ishak bahwa telah berkunjung kepada Rasulullah di Mekah dua puluh orang lebih dari kaum Na¡ara Habasyah setelah mendengar berita tentang beliau. Mereka menemui Nabi di dalam masjid, kemudian mereka duduk bersama-sama. Di sekeliling Ka’bah pada waktu itu tokoh-tokoh kaum Quraisy sedang duduk berkumpul.

Rasulullah kemudian menyeru kaum Nashara Habasyah untuk beriman kepada Allah dan membacakan kepada mereka Al-Qur’an. Setelah mereka mendengar ayat-ayat Al-Qur’an, mereka menangis tersedu-sedu dan dengan spontan beriman kepada Allah serta percaya kepada beliau dan membenarkannya. Mereka mengetahui bahwa sifat-sifat yang mereka saksikan pada diri Rasulullah sama dengan sifat-sifat yang telah diterangkan di dalam kitab suci mereka.

Ketika meninggalkan Nabi Muhammad, mereka dicegat oleh Abu Jahal bin Hisyam dan beberapa orang Quraisy dan mereka mengatakan, “Semoga Allah menggagalkan niatmu, kalian diutus oleh teman-teman kalian hanya untuk mengetahui sifat-sifat pribadi Muhammad lalu memberitahukan kepada mereka.

Akan tetapi, kenyataannya kalian sudah terpengaruh lalu meninggalkan agama kalian dan membenarkan apa yang dikatakan Muhammad. Kami tidak melihat ada rombongan yang lebih bodoh dari kalian.” Mendengar kata-kata pedas dan tajam dari Abu Jahal bin Hisyam, mereka menjawab, “Selamat tinggal buat kamu, kami tidak akan membalas dan berbuat jahat kepadamu. Bagi kami amal-amal kami, dan bagimu amal-amalmu.”

Ayat 56

Ayat ini menerangkan bahwa Muhammad tidak dapat menjadikan kaumnya untuk taat dan menganut agama yang dibawanya, sekalipun ia berusaha sekuat tenaga. Ia hanya berkewajiban menyampaikan dan hanya Allah yang akan memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya. Dia yang mempunyai kebijaksanaan yang mendalam dan alasan yang cukup. Hal tersebut ditegaskan pula pada ayat lain di dalam Al-Qur’an.

لَيْسَ عَلَيْكَ هُدٰىهُمْ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ يَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُ

Bukanlah kewajibanmu (Muhammad) menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. (al-Baqarah/2: 272) ;

Dan firman-Nya:

وَمَآ اَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِيْنَ

Dan kebanyakan manusia tidak akan beriman walaupun engkau sangat menginginkannya. (Yusuf/12:103)

Pada akhir ayat ini, Allah menegaskan bahwa Dia lebih mengetahui siapa orang-orang yang bersedia dan pantas menerima hidayah itu. Di antara mereka ialah orang-orang Ahli Kitab yang pernah dikisahkan peristiwanya pada ayat-ayat yang lalu. Sebaliknya orang-orang yang tidak bersedia menerima hidayah seperti beberapa kerabat Nabi, maka hidayah tidak akan diberikan kepada mereka.

Ayat 57

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Ibnu ‘Abbas bahwa ayat ini turun berkenaan dengan al-Haris bin Utsman bin ‘Abd Manaf ketika ia dan beberapa orang Quraisy lainnya mendatangi Nabi saw dan mereka berkata kepada Nabi, ”Kami telah mengetahui bahwa apa yang engkau katakan itu benar. Akan tetapi, yang menghalangi kami mengikuti agamamu ialah orang-orang Arab yang akan memusuhi dan mengusir kami dari negeri kami, dan kami tidak mempunyai kesanggupan sedikit pun untuk melawan mereka.”

Ayat ini menerangkan bahwa sebagian orang musyrik Mekah mengemukakan alasan yang tidak dapat diterima oleh pikiran yang sehat. Mereka berkata, “Jika kami mengikuti petunjuk yang diberikan Muhammad kepada kami, dan agama yang diturunkan kepadanya, kami khawatir akan diusir dari negeri kami.

Orang-orang musyrik serta tokoh-tokoh bangsa Arab juga akan memusuhi kami dengan kekerasan sedang kami tidak mampu melawan mereka.” Dengan peringatan ini tampak bahwa mereka lebih takut kepada makhluk daripada Tuhan yang menciptakan mereka. Mereka tidak pernah membayangkan azab yang akan ditimpakan kepada mereka.

Mereka lupa bahwa mereka berada di daerah Haram yang sangat dihormati sejak dahulu kala, aman dan mendapat aneka macam rezeki dan buah-buahan. Apakah mereka mengira akan tetap aman dan sejahtera di daerah Haram yang aman itu kalau mereka tetap dalam kekafiran dan kemusyrikan. Tidak sedikit di antara mereka yang tidak mengetahui dan menyadari nikmat dan azab Allah yang akan diberikan kepada setiap orang sesuai dengan amal baik dan buruk mereka.

Mereka seharusnya mengetahui bahwa rezeki yang berlimpah itu datang dari Allah. Oleh karena itu, Dialah yang patut ditakuti dan ditaati bukan manusia, makhluk yang lemah dan serba kekurangan.

Ayat 58

Banyak penduduk negeri yang semula hidup bersenang-senang dengan kekayaan berlimpah ruah, tetapi karena mereka selalu membuat kerusakan dan tidak mensyukuri nikmat Allah, maka Allah menghancurkan negeri mereka dan hanya sedikit saja rumah-rumah mereka yang tersisa. Padahal Allah tidak akan menghancurkan suatu negeri selama penduduk negeri itu berbuat kebaikan, firman Allah:

وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرٰى بِظُلْمٍ وَّاَهْلُهَا مُصْلِحُوْنَ

Dan Tuhanmu tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, selama penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan. (Hud/11: 117)

Setelah kaum itu hancur, maka tempat tinggal mereka menjadi gersang dan tidak dimakmurkan lagi, hingga negeri itu kembali kepada pemiliknya yang hakiki, yaitu Allah. Firman Allah:

وَضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ اٰمِنَةً مُّطْمَىِٕنَّةً يَّأْتِيْهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِّنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِاَنْعُمِ اللّٰهِ فَاَذَاقَهَا اللّٰهُ لِبَاسَ الْجُوْعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوْا يَصْنَعُوْنَ

Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezeki datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah, karena itu Allah menimpakan kepada mereka bencana kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang mereka perbuat. (an-Nahl/16: 112)

(Tafsir Kemenag)


Baca Selanjutnya: Tafsir Surah Al-Qasas ayat 59-62


Tafsir Surah Ibrahim Ayat 37 (Part 2)

0
Tafsir Surah Ibrahim
Tafsir Surah Ibrahim

Tafsir Surah Ibrahim Ayat 37 (Part 2) menlanjutkan tafsir sebelumnya, dikisahkan bagaimana tempat yang awalnya tandus akan menjadi tempat yang mulia dikemudian hari, didatangi oleh orang-orang dari berbagai tempat di dunia.   Tujuan mereka antara lain adalah melakukan peribadatan di Ka’bah, tempat yang sakral di tanah tandus, yang kemudian dikenal dengan tanah Haram.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Ibrahim Ayat 37 (Part 1)


Ayat 37

Lalu ia pun berdoa sebagaimana terdapat dalam ayat itu, “Wahai Tuhanku, aku telah menempatkan sebagian keturunanku, yaitu istri dan anakku Ismail, yang akan melanjutkan keturunanku, di lembah padang pasir yang tandus lagi gersang, di dekat tempat akan didirikan Ka’bah, rumah-Mu nanti, yang dihormati, yang Engkau akan melarang manusia mencemarkan kehormatannya.

Dan yang akan Engkau jadikan daerah sekitarnya sebagai daerah haram, yaitu dilarang di tanah itu berperang dan menumpahkan darah.”

Doa Ibrahim dan istrinya Hajar itu dikabulkan Tuhan. Waktu itu juga, terpancarlah air dari tanah bekas pukulan kaki anaknya Ismail yang sedang menangis.

Di saat itu pula, timbullah pada diri Hajar rasa syukur kepada Allah atas rahmat-Nya yang tiada terhingga, dan timbullah dalam hatinya harapan akan kelangsungan hidupnya dan putranya lalu diminumkannya air itu kepada putranya Ismail.

Karena khawatir air itu habis dan lenyap kembali ke dalam pasir, maka ia mengumpulkan air itu dengan tangannya, seraya berkata, “Zam! Zam! (Berkumpullah! Berkumpullah!)” Dan terkumpullah air itu, tidak kering-kering sampai sekarang dan bernama Telaga Zamzam.

Dengan adanya Telaga Zamzam di tempat itu, banyaklah orang yang lewat meminta air ke sana. Tatkala Bani Jurhum melihat adanya sumber air di tempat itu, maka mereka minta izin kepada Hajar tinggal bersama di sana, dan Hajar pun mengabulkan permintaan itu.

Sejak itu, mulailah kehidupan di daerah yang tandus itu, semakin hari semakin banyak pendatang yang menetap. Akhirnya timbullah negeri dan kebudayaan, sehingga daerah tersebut menjadi tempat jalan lintas perdagangan antara barat dan timur.

Setelah Ismail dewasa, ia menikah dengan salah seorang wanita Bani Jurhum, pendatang baru itu, yang kemudian menurunkan keturunan yang merupakan cikal-bakal penghuni negeri itu. Keturunan itu berkembang biak, mendiami negeri Mekah dan sekitarnya.

Dari keturunan Ismail inilah nanti, lahir Nabi Muhammad di kemudian hari, sebagai nabi dan rasul Allah yang penghabisan.

Dalam ayat di atas, selanjutnya diterangkan bahwa Ibrahim a.s. berdoa kepada Tuhan agar memelihara keturunannya yang ada di Mekah, menjadi-kan mereka sebagai orang-orang taat mengerjakan salat, menghambakan dan menundukkan dirinya kepada Tuhan.

Ia juga meminta agar Tuhan menjadi-kan hati manusia cenderung, cinta, dan kasih kepada keturunannya itu, diberi rezeki, dan didatangkan bahan makanan dan buah-buahan ke negeri yang tandus itu, karena di negeri itu tidak mungkin hidup tumbuh-tumbuhan yang diperlukan sebagai bahan makanan.


Baca Juga : Inilah 8 Manfaat Buah Zaitun, Buah yang Disebut dalam Al-Quran


Doa Nabi Ibrahim dikabulkan Allah swt. Terbukti sejak dahulu hingga sekarang banyak manusia yang mengunjungi Baitullah untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah, serta melihat bekas peninggalan-peninggalan dan perjuangan Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya.

Demikian pula banyak didatangkan ke bumi yang tandus itu pelbagai macam barang keperluan yang diperlukan penghuni negeri itu, seperti bahan makanan, buah-buahan, dan barang pakaian sampai barang mewah.

Penganugerahan karunia yang berlipat ganda itu ditegaskan dalam firman Allah swt:

وَقَالُوْٓا اِنْ نَّتَّبِعِ الْهُدٰى مَعَكَ نُتَخَطَّفْ مِنْ اَرْضِنَاۗ اَوَلَمْ نُمَكِّنْ لَّهُمْ حَرَمًا اٰمِنًا يُّجْبٰٓى اِلَيْهِ ثَمَرٰتُ كُلِّ شَيْءٍ رِّزْقًا مِّنْ لَّدُنَّا وَلٰكِنَّ اَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ

Dan mereka berkata, ”Jika kami mengikuti petunjuk bersama engkau, niscaya kami akan diusir dari negeri kami.” (Allah berfirman) Bukankah Kami telah meneguhkan kedudukan mereka dalam tanah haram (tanah suci) yang aman, yang didatangkan ke tempat itu buah-buahan dari segala macam (tumbuh-tumbuhan) sebagai rezeki (bagimu) dari sisi Kami? Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (al-Qashash/28: 57).

Allah swt menganugerahkan rezeki dan kekayaan yang banyak kepada penduduk dan negeri Arab itu agar mereka mensyukuri nikmat Allah dengan menjaga Baitullah, melaksanakan perintah-perintah-Nya, dan menghentikan larangan-larangan-Nya.

Dari ayat ini, dapat dipahami bahwa segala sesuatu yang diperoleh selama hidup di dunia ini, adalah untuk keperluan beribadah kepada Tuhan.

Dengan hasil yang diperoleh itu, dapat disempurnakan pelaksanaan perintah-perintah Allah dan penghentian larangan-Nya, bukan semata-mata untuk kepentingan dan kesenangan diri sendiri.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Ibrahim Ayat 38-39


Tafsir Surah Ibrahim Ayat 38-39

0
Tafsir Surah Ibrahim
Tafsir Surah Ibrahim

Tafsir Surah Ibrahim Ayat 38-39 berbicara tentang doa lain yang dipanjatkan oleh Ibrahim, yakni kelapangan riziki. Dengan rizki yang lapang, mudah kiranya mereka dalam berdakwah dan mengembangkan agama Allah swt. Adab dan cara Ibrahim dalam tiap-tiap doanya menunjukkan bahwa, berdoa seharusnya tidak terburu-buru, memaksa, atau bahkan bercanda dalam doa-nya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Ibrahim Ayat 37 (Part 2)


Dalam Tafsir Surah Ibrahim Ayat 38-39 juga dikisahkan bagaimana Allah mengabulkan doa dan harapan Ibrahim untuk mendapatkan anak dari rahim istri pertamanya, Sarah. Maka lahirlah Ishaq saudara baru bagi Ismail, yang keduanya merupakan nabi penerus lisan dan dakwah ayahnya.

Ayat 38

Selanjutnya Nabi Ibrahim berdoa, “Wahai Tuhan kami, sesungguh-nya Engkau mengetahui segala yang tersimpan dalam hati kami termasuk di dalamnya segala yang tersirat dan tergores dalam hati kami.

Engkau mengetahui pula segala yang kami ucapkan dan nyatakan termasuk di dalamnya doa-doa yang telah kami panjatkan kepada Engkau. Tidak ada sesuatupun yang tidak Engkau ketahui segala yang ada di bumi maupun di langit, karena semua itu hanya Engkaulah yang menciptakan, memiliki, dan mengaturnya, perkenankanlah doa kami, Ya Tuhan kami.”

Ayat ini mengajarkan kepada kaum Muslimin cara-cara berdoa yang baik sesuai dengan ketentuan agama, yaitu berdoa dengan hati yang bersih, penuh keyakinan akan kebesaran dan kekuasaan Allah, dan isi doa itu melukiskan keinginan untuk menyempurnakan penghambaan diri kepada Tuhan, bukan untuk mencapai sesuatu cita-cita untuk kepentingan dan kesenangan diri dan merugikan orang lain.

Doa yang dimohonkan Nabi Ibrahim itu ditujukan agar Tuhan menjadikannya dan anak cucunya hamba Allah yang taat, dan agar anak cucunya itu diberi rezeki, sehingga dengan rezeki itu mereka dapat menyempurnakan penghambaan dirinya kepada Allah.

Dengan rezeki itu pula, mereka dapat membela dan mengembangkan agama Allah serta menjadi pelayan dan khadam Ka’bah, rumah Allah.


Baca Juga : Tafsir Kebangsaan, Kiai Cholil Nafis: Dalam Konteks Dakwah, Sangat Diperlukan


Ayat 39

Ibrahim a.s. memanjatkan puja kepada Allah, Tuhan Semesta Alam, yang telah menganugerahkan kepadanya dua orang putra yang terbaik, di saat-saat ia dan istrinya telah lanjut usia, tidak mungkin mempunyai putra lagi, bahkan istrinya Sarah telah putus asa dan merasa dirinya tidak mungkin lagi mempunyai anak.

Waktu itulah ia dianugerahi putra yang bernama Ishak dan sebelumnya ia telah dianugerahi putra dari istrinya Hajar.

Sekalipun Sarah telah sangat tua dan tidak mungkin lagi melahirkan anak, tetapi keinginan mempunyai putra selalu menjadi idamannya, lebih-lebih setelah mendengar Ismail telah bertambah dewasa, selalu dikunjungi oleh suaminya Ibrahim, ke tempat ia dibesarkan di Mekah yang sangat jauh jaraknya dari Palestina.

Timbul rasa iri hatinya kepada Hajar, bekas pembantunya, apalagi setelah dinikahi Ibrahim atas izinnya pula. Ditambah pemikiran Sarah, kenapa pembantunya dikaruniai Allah swt seorang putra, sedangkan dia sendiri belum juga lagi dianugerahi. Rasa iri itu semakin lama semakin besar.

Dalam keadaan demikianlah, malaikat datang kepada dua orang suami istri yang telah lanjut usia itu, menyampaikan perintah Allah untuk memberitahukan berita gembira bahwa mereka akan dianugerahi Allah seorang putra yang bernama Ishak, seorang anak laki-laki yang akan diangkat menjadi nabi dan rasul di kemudian hari.

Berita itu diterima oleh Ibrahim, terutama Sarah, dengan rasa heran dan tidak percaya, tetapi penuh harapan. Ia hampir tidak percaya berita itu karena umurnya telah terlalu tua untuk mengandung dan melahirkan anak.

Menurut kelaziman, wanita yang seumur dia mustahil melahirkan anak. Sekalipun demikian, ia juga mempunyai harapan karena berita itu berasal dari Tuhan Yang Maha Esa yang disampaikan oleh malaikat pesuruh-Nya. Ia yakin dan percaya bahwa Tuhan kuasa menciptakan yang dikehendaki-Nya, semua mudah bagi Tuhan.

 Penyampaian berita oleh malaikat kepada Ibrahim dan Sarah bahwa mereka akan mempunyai putra, dilukiskan dalam firman Allah swt:

وَامْرَاَتُهٗ قَاۤىِٕمَةٌ فَضَحِكَتْ فَبَشَّرْنٰهَا بِاِسْحٰقَۙ وَمِنْ وَّرَاۤءِ اِسْحٰقَ يَعْقُوْبَ  ٧١  قَالَتْ يٰوَيْلَتٰىٓ ءَاَلِدُ وَاَنَا۠ عَجُوْزٌ وَّهٰذَا بَعْلِيْ شَيْخًا ۗاِنَّ هٰذَا لَشَيْءٌ عَجِيْبٌ  ٧٢  قَالُوْٓا اَتَعْجَبِيْنَ مِنْ اَمْرِ اللّٰهِ رَحْمَتُ اللّٰهِ وَبَرَكٰتُهٗ عَلَيْكُمْ اَهْلَ الْبَيْتِۗ اِنَّهُ حَمِيْدٌ مَّجِيْدٌ  ٧٣

Dan istrinya berdiri lalu dia tersenyum. Maka Kami sampaikan kepadanya kabar gembira tentang (kelahiran) Ishak dan setelah Ishak (akan lahir) Yakub. Dia (istrinya) berkata, ”Sungguh ajaib, mungkinkah aku akan melahirkan anak padahal aku sudah tua, dan suamiku ini sudah sangat tua? Ini benar-benar sesuatu yang ajaib.” Mereka (para malaikat) berkata, ”Mengapa engkau merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat dan berkah Allah, dicurahkan kepada kamu, wahai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji, Maha Pengasih.” (Hud/11: 71-73)

Dan firman Allah swt:

قَالُوْا لَا تَوْجَلْ اِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلٰمٍ عَلِيْمٍ   ٥٣  قَالَ اَبَشَّرْتُمُوْنِيْ عَلٰٓى اَنْ مَّسَّنِيَ الْكِبَرُ فَبِمَ تُبَشِّرُوْنَ   ٥٤  قَالُوْا بَشَّرْنٰكَ بِالْحَقِّ فَلَا تَكُنْ مِّنَ الْقٰنِطِيْنَ   ٥٥  قَالَ وَمَنْ يَّقْنَطُ مِنْ رَّحْمَةِ رَبِّهٖٓ اِلَّا الضَّاۤلُّوْنَ   ٥٦

(Mereka) berkata, ”Janganlah engkau merasa takut, sesungguhnya kami memberi kabar gembira kepadamu dengan (kelahiran seorang) anak laki-laki (yang akan menjadi) orang yang pandai (Ishak).” Dia (Ibrahim) berkata, ”Benarkah kamu memberi kabar gembira kepadaku padahal usiaku telah lanjut, lalu (dengan cara) bagaimana kamu memberi (kabar gembira) tersebut?” (Mereka) menjawab, ”Kami menyampaikan kabar gembira kepadamu dengan benar, maka janganlah engkau termasuk orang yang berputus asa.” Dia (Ibrahim) berkata, ”Tidak ada yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali orang yang sesat.” (al-Hijr/15: 53-56).

Ibrahim memanjatkan puji dan syukur kepada Allah, yang Maha Pemurah atas anugerah-Nya yang lain, yaitu mengabulkan doa-doanya, seperti menjadikan tanah Mekah dan sekitarnya sebagai tanah haram, menjadikan dia dan sebagian keturunannya orang yang saleh bahkan mengangkat dua orang putranya, Ismail dan Ishak, menjadi nabi dan rasul.

Apa yang dirasakan Ibrahim a.s. waktu memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan ini dapat dimaklumi, betapa bahagianya ia dan keluarganya setelah berusaha dengan keras, mengalami cobaan-cobaan yang sangat berat, mendapat halangan dan rintangan dari bapak dan kaumnya.

Kemudian pada saat umurnya dan istrinya semakin tua, ia melihat semua hasil usahanya itu, hampir semua yang pernah dimohonkannya kepada Tuhan dahulu, dikabulkan.

Bahkan cita-citanya memperoleh keturunan, yang semula dirasakannya tidak akan mungkin terwujud, kemudian atas kehendak Tuhan Yang Maha Pemurah, akhirnya terkabul juga, sehingga lahirlah putra yang kedua, yaitu Ishak.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Ibrahim Ayat 40-42


Tafsir Surah Ibrahim Ayat 37 (Part 1)

0
Tafsir Surah Ibrahim
Tafsir Surah Ibrahim

Tafsir Surah Ibrahim Ayat 37 (Part 1) masih menceritakan kisah Ibrahim, terutama ketika ia bersama istrinya. Diketahui bahwa Ibrahim memiliki dua istri, Hajar dan Sarah, keduanya tinggal terpisah, sehingga Ibrahim sering melakukan perjalanan jauh untuk menemui istri-istrinya tersebut.

Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Ibrahim Ayat 35-36

Dikisahkan pula dalam Tafsir Surah Ibrahim Ayat 37 (Part 1) ini bahwa Ibrahim dikaruniai seoang anak bernama Ismail, hasil pernikahannya dengan Hajar. Hajar dan anaknya kemudian dibawa merantau untuk menuju suatu tempat. Dan meninggalkan Hajar dan Ismail ditempat tersebut. Sebab peristiwa inilah Allah menunjukkan kasih sayangnya dengan memberikan hadiah pada keduanya,yakni air zam-zam.

Ayat 37

Ayat ini menerangkan saat Ibrahim a.s. akan kembali ke Palestina menemui istrinya Sarah, meninggalkan istrinya Hajar dan putranya Ismail yang masih kecil di Mekah, di tengah-tengah padang pasir yang tandus, tanpa ditemani oleh seorang manusia pun dan tanpa bekal untuk keluarganya yang ditinggalkan.

Waktu itulah ia berdoa kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, mohon agar keluarganya itu dilindungi dan diselamatkan dari segala bahaya dan bencana yang mungkin akan menimpanya.

Ibrahim a.s. adalah nabi dan rasul yang diutus menyeru raja Namrud, raja Babilonia dan rakyatnya, agar mereka mengikuti agama Allah. Setelah menerima siksaan, halangan, dan ancaman dari raja Namrud dan pengikut-pengikutnya, Ibrahim meninggalkan Babilonia dan akhirnya menetap di Palestina, bersama istrinya Sarah dan pembantu istrinya seorang wanita yang bernama Hajar.

Karena Sarah wanita yang mandul, maka Ibrahim a.s. tidak mempunyai seorang putra pun, sedang umurnya telah menginjak masa tua. Sekalipun demikian keinginannya untuk mempunyai seorang putra tetap merupakan cita-cita yang selalu diidam-idamkannya.

Oleh karena itu, dinikahinya pembantu istrinya bernama Hajar itu setelah mendapat izin dan persetujuan dari Sarah. Dari pernikahan itu, lahirlah seorang putra yang bernama Ismail dan dengan kelahiran itu pula, terkabullah cita-cita Ibrahim yang diingininya selama ini.

Kesayangan Ibrahim kepada putranya Ismail dan bertambah cintanya kepada Hajar menimbulkan rasa cemas dan iri hati pada diri Sarah.

Cemas karena khawatir akan berkurang cinta Ibrahim kepadanya, dan iri hati karena ia sendiri tidak dapat memenuhi keinginan Ibrahim untuk memperoleh seorang putra sebagai penerus hidupnya, sedang pembantunya Hajar dapat memenuhi keinginan suaminya.

Sarah menyampaikan perasaan hatinya itu kepada suaminya Ibrahim, dan meminta dengan sangat agar Ibrahim membawa dan menjauhkan Hajar dan putranya Ismail darinya.

Dengan demikian, ia tidak lagi melihat kebahagiaan Hajar dan semakin bertambah dewasanya Ismail. Ibrahim dapat merasakan betapa dalam cintanya kepada Sarah. Ia pun khawatir kalau-kalau Sarah sedih jika permintaan itu tidak dikabulkan. Oleh karena itu, Ibrahim pun mengabulkan permintaan Sarah.

Maka dibawanya Hajar dan putranya, Ismail yang masih kecil, berjalan mengikuti untanya tanpa mengetahui tujuannya, dalam keadaan iba dan terharu mengingat nasib yang akan dialami oleh istrinya dan putranya nanti.

Dalam keadaan yang demikian, tanpa disadarinya, sampailah ia ke daerah yang asing baginya, suatu daerah yang terletak di antara bukit-bukit batu yang gersang, yang sekarang bernama kota Mekah.


Baca Juga : Ibrah Kisah Nabi Adam Memakan Buah dan Bencana dari Kerusakan Alam


Pada waktu itu, Mekah merupakan daerah dataran rendah padang pasir yang belum didiami oleh seorang manusia pun. Tidak ditemukan suatu sumber air. Menurut hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari bahwa di tempat itu terdapat sebatang pohon kayu, dan di bawah pohon itulah Ibrahim dan keluarganya berteduh dan melepaskan lelah dari perjalanan yang jauh dari Palestina sampai ke Mekah sekarang ini.

Setelah beberapa hari Ibrahim menemani Hajar dan putranya di tempat itu, ia pun teringat kepada istrinya Sarah yang ditinggalkannya di Palestina. Ingin kembali ke Palestina, ia tak sampai hati pula meninggalkan Hajar dan putranya.

Dalam keadaan demikian, ia pun memutuskan akan kembali ke Palestina dan meminta persetujuan dari Hajar. Di waktu ia meminta persetujuan dan kerelaan hati Hajar, maka Hajar bertanya kepada Ibrahim, “Apakah Allah yang memerintahkan kepadamu agar aku ditempatkan di daerah sunyi lagi tandus ini?” Ibrahim menjawab, “Benar.” Hajar menjawab, “Jika demikian, Dia (Allah) tidak menyia-nyiakan kita.”

Maka berangkatlah Ibrahim ke Palestina, menemui istrinya Sarah dan meninggalkan istri dan putranya Ismail yang masih kecil di tempat itu, di tengah-tengah panas matahari membakar padang pasir, tanpa rumah tempat berteduh, dan perbekalan yang cukup, kecuali sekendi air untuk pelepas haus.

Ketika Hajar dan putranya sampai kepada suatu tempat, yang waktu itu semua perbekalan dan air minum telah habis, putranya Ismail menangis kehausan, sedang air susunya tidak mengalir lagi.

Ia bermaksud mencari air, dan ditidurkannya putranya di bawah pohon tempat ia berteduh. Ia pun pergi ke mana saja yang dianggapnya ada air, namun ia tidak menemukannya setetes pun. sehingga, tanpa disadarinya ia telah berlari-lari kecil pulang balik tujuh kali antara bukit Safa dan bukit Marwah, tetapi ia belum juga memperoleh air barang setetes pun.

Maka dengan rasa sedih dan putus asa, ia kembali ke tempat putranya yang ditinggalkan. Waktu itu Ismail sedang menangis kehausan sambil memukul-mukulkan kakinya ke tanah. Hajar pun berdoa menyerahkan diri kepada Tuhan Yang Maha Pemurah.

Dalam keadaan yang demikian, Ibrahim yang sedang melanjutkan perjalanannya ke Palestina, ingat akan istri dan putranya yang ditinggalkan dan nasib yang mungkin sedang dideritanya, karena diperkirakan makanan dan air yang ia tinggalkan telah habis.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Ibrahim Ayat 37 (Part 2)


Lima Referensi Awal Pembelajaran Tajwid di Bumi Nusantara

0
Pembelajaran Tajwid
Referensi Awal Pembelajaran Tajwid

Sebagaimana dijelaskan pada artikel, Sejarah Lembaga Tahfiz Al-Qur’an di Indonesia, pembelajaran Al-Qur’an di Nusantara hadir beriringan dengan kedatangan Islam pada abad ke 12 M. Sejak itu, pembelajaran Al-Qur’an – termasuk pembelajaran tajwid – mulai berkembang sedikit demi sedikit hingga menjadi seperti yang disaksikan saat ini.

Pada mulanya, pembelajaran tajwid hanyalah upaya individual di mana seorang murid belajar kepada guru berkenaan cara membaca Al-Qur’an yang baik dan benar. Saat itu, tidak ada kurikulum khusus atau lembaga tertentu yang menaungi kegiatan pembelajaran tajwid dan Al-Qur’an. Kegiatan ini biasanya terpusat di Masjid atau surah, tempat ibadah umat Islam.

Pelembagaan pembelajaran Al-Qur’an atau pendidikan Islam baru dilakukan pada abad ke 15 M, tepatnya pada padepokan Ampel di bawah bimbingan Syekh Ahmad Rahmatillah atau lebih dikenal sebagai Sunan Ampel. Setelah itu bermunculan berbagai pesantren yang menjadi pusat pendidikan Islam (Lihat Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia).

Baca Juga: Hukum Lam Sukun dalam Ilmu Tajwid

Kendati pada masa awal Islam di Nusantara belum ada instansi dan kurikulum khusus – seperti kurikulum modern – terkait pembelajaran tajwid, namun mayoritas guru atau ulama saat itu menggunakan kitab tertentu sebagai bahan acuan dalam pembelajaran mereka. Literatur-literatur inilah yang menjadi referensi utama pembelajaran tajwid di Nusantara.

Menurut para peneliti – sebagaimana diungkapkan Wawan Djunaedi dalam Sejarah Qira’at Al-Qur’an di Indonesia – terdapat beberapa literatur yang dijadikan sebagai acuan utama dalam pembelajaran tajwid di Nusantara pada masa awal kedatangan Islam. Mayoritas kitab ini berasal dari karangan ulama asal timur tengah, di antaranya:

  1. Hidayat al-Mustafi fi ‘Ilm al-Tajwid

Kitab Hidayat al-Mustafi fi ‘Ilm al-Tajwid merupakan karya Muhammad al-Mahmud al-Najar atau yang lebih masyhur dengan sebutan Abu Rimah. Kitab ini ditulis dengan tujuan agar dapat dijadikan sebagai buku pedoman pembelajaran tajwid bagi anak-anak atau bisa dikatakan sebagai buku pengantar ilmu tajwid bagi pemula (muqaddimah fi ilm al-tajwid).

Kitab ini terdiri dari tiga bagian, yakni: pertama, mukadimah yang berisi tentang latar belakang penyusunan kitab; kedua, pembahasan yang berisi tentang hukum dan penjelasan – kurang lebih sebanyak 15 pasal – seperti bacaan ta’awwudz, basmalah, nun sakinah, tanwin, mim taysdid, nun tasydid, alif lama qamariah dan alif lam syamsiah; ketiga, penutup yang berisi penjelasan tentang tradisi ulama mengkhatamkan Al-Qur’an.

  1. Fathu al-Rahman fi Tajwid al-Qur’an

Kitab kedua yang dijadikan referensi utama pembelajaran tajwid di Nusantara awal adalah Fathu al-Rahman fi Tajwid al-Qur’an. Kitab ini ditulis oleh Sa’ad bin Nabhan dan pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa oleh KH. Ahmad Shiddiq, Ra’is Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama tahun 1984-1991), untuk diterbitkan di Surabaya.

Sama seperti kitab Hidayat al-Mustafi fi ‘Ilm al-Tajwid, kitab Fathu al-Rahman fi Tajwid al-Qur’an juga terdiri dari tiga bagian, yakni: pertama, mukadimah yang terdiri dari salam dan kata pengantar; kedua, pembahasan yang terdiri dari 15 pasal terkait hukum bacaan tajwid seperti izhar, ikhfa, iqlab, mim sakinah, idgam bigunnah dan idgam bi ghairi gunnah; ketiga, penutup.

Kalau kita memperhatikan dan menelaah secara saksama kitab kitab Fathu al-Rahman fi Tajwid al-Qur’an – meskipun tidak ada keterangan eksplisit mengenai qiraat apa yang digunakan di dalamnya – maka dapat disimpulkan bahwa kitab ini disusun berdasarkan mazhab qiraat Imam ‘Ashim riwayat Hafs yang lumrah digunakan di Indonesia.

  1. Hidayah al-Sibyan fi Tajwid al-Qur’an

Kitab Hidayah al-Sibyan fi Tajwid al-Qur’an disusun oleh Sa’ad bin Nabhan, pengarang kitab Hidayat al-Mustafi fi ‘Ilm al-Tajwid. Kitab ini berisi tentang 39 bait syair mengenai tajwid yang terbagi kepada tiga bagian, yakni 1) mukadimah, 2) pembahasan yang terdiri 6 bab, yakni tanwin dan nun sakinah, mim dan nun tashdiq, mim sakinah dan idgham, lam ta’rif, dan lam fi’il, tafkhim dan qalqalah, dan mad, 3) serta penutup.

  1. Tuhfah al-Atfal

Kitab Tuhfah al-Atfal disusun oleh Sulaiman bin Husain bin Muhammad al-Jamzury asal Mesir atau yang lebih dikenal sebagai Alfandi. Menurut Ali Mursyid dalam Tajwid di Nusantara: Kajian Sejarah, Tokoh dan Literatur, kitab ini ditujukan untuk pembelajaran tajwid bagi anak-anak sebagaimana judulnya. Bisa dikatakan isinya yang terdiri dari syair cukup sederhana dan mudah dipahami.

Baca Juga: 10 Pertanyaan Dasar Seputar Ilmu Tajwid yang Harus Kamu Tahu

  1. Matan al-Jazariyah

Kitab Matan al-Jazariyah ditulis oleh Abu al-Khair Syamsuddin Muhammad bin Muhammad al-jazari dalam bentuk nazham yang berjumlah 107 syair. Ibnu al-jazari membagi kitabnya ke dalam tiga bagian, yakni: 1) pendahuluan, 2) pembahasan yang terdiri dari makhraj al-huruf, sifat huruf, huruf lam, idgham mutamasilain dan mutajanisain, nun sakinah dan tanwin, macam-macam madd, waqaf  dan ibtida, maqtu’ dan mausul, serta 3) penutup.

Satu hal yang perlu diketahui, mayoritas kitab atau referensi pembelajaran tajwid di Nusantara di atas ditulis berdasarkan mazhab qiraat Imam ‘Ashim riwayat Hafs yang lumrah digunakan di Indonesia. Bisa dikatakan bahwa referensi inilah – selain mushaf yang dibawa oleh pedagang muslim asal Gujarat India – yang menjadi faktor utama tersebarnya qiraat ‘Ashim. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Ibrahim Ayat 35-36

0
Tafsir Surah Ibrahim
Tafsir Surah Ibrahim

Tafsir Surah Ibrahim Ayat 35-36 mengulas tentang kisah nabi Ibrahim saat berdoa kepada Tuhannya. Kisah ini disampaikan oleh Nabi Muhammad kepada bangsa Arab agar menjadi pelajaran untuk mereka, tentang adab berdoa dan tips supaya mendapat keturunan yang saleh. Sebagaimana doa yang dipanjatkan oleh Ibrahim agar dikaruniai keturunan yang saleh yang senantiasa taat kepada Tuhannya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Ibrahim Ayat 33-34


Diceritakan pula dalam Tafsir Surah Ibrahim Ayat 35-36 ini, bahwa bangsa Arab sangat menghormati tanah haram, bahkan jika ada suatu problem yang terjadi di tanah tersebut, mereka akan menyelesaikannya dengan baik atau bahkan melupakannya (memaklumi). Sebaliknya, jika masalahnya terjadi diluar tanah Arab, maka darah bisa menjadi jaminan perselisihan tersebut.

Dan doa Ibrahim yang dibahas dalam Tafsir Surah Ibrahim Ayat 35-36 memberi pesan bahwa siapa saja yang mengakui keturunan Ibrahim hendaklah mengikuti ajaran yang dibawa Ibrahim, yakni; beribadah, berbuat kebajikan, dll. Terutama dalam aspek hubungan sosial, beretika menjadi urgensi pondasinya.

Ayat 35-36

Pada ayat-ayat ini, Allah swt memerintahkan kepada Nabi Muhammad agar menyampaikan kepada umatnya kisah di waktu Nabi Ibrahim berdoa kepada Tuhannya, agar doa itu menjadi iktibar dan pelajaran bagi orang Arab waktu itu, karena Ibrahim a.s. itu adalah cikal-bakal dan asal keturunan mereka.

Doa itu ialah: Ya Tuhan kami, jadikanlah negeri Mekah ini, negeri yang aman, tenteram, dan sentosa, serta terpelihara dari peperangan dan serangan musuh. Doa Nabi Ibrahim ini dikabulkan Tuhan, dan Dia telah menjadikan negeri Mekah dan sekitarnya, menjadi tanah dan tempat yang aman bagi orang-orang yang berada di sana.

Di negeri itu dilarang menumpahkan darah, menganiaya orang, membunuh binatang, dan menebang tumbuh-tumbuhan yang berada di sana.

Allah berfirman:

اَوَلَمْ يَرَوْا اَنَّا جَعَلْنَا حَرَمًا اٰمِنًا وَّيُتَخَطَّفُ النَّاسُ مِنْ حَوْلِهِمْۗ اَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُوْنَ وَبِنِعْمَةِ اللّٰهِ يَكْفُرُوْنَ

Tidakkah mereka memperhatikan, bahwa Kami telah menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman, padahal manusia di sekitarnya saling merampok. Mengapa (setelah nyata kebenaran) mereka masih percaya kepada yang batil dan ingkar kepada nikmat Allah? (al-‘Ankabut/29: 67).

Orang-orang Arab dan orang-orang yang berdiam di sekitar Jazirah Arab, sejak dahulu hingga sekarang tetap memandang suci dan menghormati tanah haram itu.

Bangsa Arab dahulu adalah bangsa yang terkenal sebagai bangsa yang merasa terhina seandainya mereka tidak dapat menuntut bela atas pembunuhan atau penganiayaan yang dilakukan oleh seseorang atau suatu kabilah terhadap anggota kabilahnya.

Penuntutan bela itu merupakan suatu kewajiban suci untuk membela kehormatan kabilahnya yang telah ternoda itu. Oleh karena itu, mereka akan mengadakan penuntutan bela pada setiap kesempatan yang mungkin mereka lakukan.

Kecuali jika mereka bertemu di tanah haram, mereka tidak akan melakukan penuntutan bela. Mereka menunggu di luar tanah haram. Setelah musuhnya itu keluar dari tanah haram, barulah mereka melakukan pembalasan dendam itu.

Demikian pula tanah haram itu dihormati dan terpelihara dari maksud jahat orang-orang yang hendak menghancurkan Ka’bah dan mengotorinya. Sebagaimana yang pernah dilakukan dan dialami oleh Abrahah, gubernur Ethiopia dan tentaranya.

Abrahah yang beragama Nasrani itu dapat menak-lukkan Yaman yang beragama Yahudi. Ia bermaksud mengembangkan agama Nasrani di Yaman dan menciptakan Yaman menjadi pusat agama Nasrani di Jazirah Arab.

Ia mengetahui pula bahwa orang-orang di Jazirah Arab sangat menghormati Ka’bah. Karena itu ia ingin memalingkan perhatian orang dari menghormati dan mengunjungi Ka’bah kepada menghormati dan mengunjungi suatu tempat atau bangunan yang ada di Yaman.

Untuk memenuhi keinginannya itu, dibuatlah sebuah gereja besar dan megah di Yaman, namun penduduk Jazirah Arab tidak tertarik minatnya untuk mengunjungi, apalagi menghormati bangunan tersebut.

Karena itu timbullah amarah Abrahah, maka disiapkannya pasukan tentara yang mengendarai gajah untuk menyerbu Mekah dan menghancurkan Ka’bah. Sekalipun ia dan tentaranya tidak mendapat perlawanan sedikit pun dari orang Mekah waktu itu, tetapi Allah swt menghancurkan Abrahah dengan tentaranya sampai mereka cerai berai.

Peristiwa kehancuran Abrahah dan bala tentaranya sewaktu menyerang Mekah ini, dilukiskan Allah swt dalam firman-Nya:

اَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِاَصْحٰبِ الْفِيْلِۗ  ١  اَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِيْ تَضْلِيْلٍۙ  ٢  وَّاَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا اَبَابِيْلَۙ  ٣  تَرْمِيْهِمْ بِحِجَارَةٍ مِّنْ سِجِّيْلٍۙ  ٤  فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَّأْكُوْلٍ   ٥

Tidakkah engkau (Muhammad) perhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka itu sia-sia? Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu dari tanah liat yang dibakar, sehingga mereka dijadikan-Nya seperti daun-daun yang dimakan (ulat). (al-Fil/105: 1-5).

Pada hadis-hadis Rasulullah saw, banyak diterangkan tentang penetapan tanah Mekah sebagai tanah haram. Bahkan pada hadis yang diriwayatkan al-Bukhari ditegaskan bahwa tanah Mekah telah ditetapkan Allah sebagai tanah haram sejak Allah menciptakan langit dan bumi:

عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ شَيْبَةَ قَالَتْ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ عَامَ الْفَتْحِ فَقَالَ يَااَيُّهَا النَّاسُ اِنَّ اللهَ حَرَّمَ مَكَّةَ يَوْمَ خَلَقَ السَّمٰوَاتِ وَاْلأَرْضَ. فَهِيَ حَرَامٌ اِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ لاَ يُعْضَدُ شَجَرُهَا وَلاَ يُنَفَّرُ صَيْدُهَا وَلاَ يَأْخُذُ حَوْطَتَهَا اِلاَّ مُنْشِدٌ. (رواه البخاري)

Dari Shafiyah binti Syaibah, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw berkhotbah pada hari penaklukan Mekah, beliau berkata, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah telah menjadikan Mekah sebagai tanah haram pada hari penciptaan langit dan bumi, maka Dia mengharamkannya sampai hari kiamat, tidak boleh dipotong tumbuh-tumbuhannya, tidak boleh diburu binatangnya dan tidak boleh mengambil barang temuannya kecuali orang yang akan mengumumkan.” (Riwayat al-Bukhari).

Nabi Muhammad saw pernah berdoa kepada Allah swt agar Madinah dijadikan juga sebagai tanah haram. Doa itu diucapkan Rasulullah pada waktu kaum Muslimin menghadap beliau pada permulaan musim buah-buahan, untuk menghadiahkan buah-buahan itu kepada beliau. Tatkala beliau memegang buah-buahan yang diberikan itu, beliau berdoa:

اَللّهُمَّ إِنَّ إِبْرَاهِيْمَ عَبْدُكَ وَخَلِيْلُكَ وَنَبِّيُكَ وَإِنِّي عَبْدُكَ وَنَبِّيُكَ وَإِنَّهُ دَعَاكَ لِمَكَّةَ، وَإِنِّي أَدْعُوْكَ لِلْمَدِيْنَةِ بِمِثْلِ مَا دَعَاكَ لِمَكَّةَ وَمِثْلُهُ مَعَهُ.

Wahai Tuhan, sesungguhnya Ibrahim adalah hamba-Mu, kekasih-Mu, dan nabi-Mu. Demikian pula aku adalah hamba dan nabi-Mu. Sesungguhnya Ibrahim telah berdoa kepada-Mu untuk Mekah, dan sesungguhnya aku berdoa pula untuk Madinah seperti ia mendoakan kepada-Mu untuk Mekah dan semisalnya (Riwayat Muslim dari Abu Hurairah)

Ibrahim juga berdoa agar ia dan keturunannya dihindarkan Allah swt dari perbuatan menyembah berhala, karena perbuatan itu menyesatkan manusia dari jalan yang benar ke jalan yang salah.


Baca Juga : Kisah Al-Quran: Biografi Nabi Ibrahim dan Perjalanan Dakwahnya


Selanjutnya, Ibrahim menerangkan bahwa siapapun di antara anak cucunya itu yang mengikutinya, yaitu beriman kepada Allah dengan sepenuh hati, memurnikan ketaatan dan ketundukan hanya kepada Allah semata, itulah orang-orang yang mengikuti agamanya.

Sebaliknya siapa pun di antara anak cucunya itu yang tidak mengikuti agamanya, dan tidak mengikuti petunjuk Allah yang telah disampaikannya, maka Allah Maha Pengampun Mahakekal rahmat-Nya, Maha Penerima Tobat dengan menuntun manusia ke jalan yang benar.

Hal ini berarti bahwa siapapun yang mengakui sebagai pengikut Nabi Ibrahim a.s., tentulah ia menganut agama yang berdasarkan tauhid, mengakui bahwa Tuhan itu Esa tidak beranak, tidak dilahirkan atau diciptakan, dan tidak berserikat dengan sesuatupun, sebagaimana pengakuan penganut-penganut agama yang menyatakan bahwa asal agama mereka ialah agama Nabi Ibrahim.

Mustahil jika suatu agama menyatakan sebagai pengikut ajaran Ibrahim padahal mereka mempersekutukan Allah, dan tidak memurnikan ketaatan dan ketundukan kepada Allah semata.

Doa Nabi Ibrahim ini tidak seluruhnya dikabulkan Allah karena banyak pula anak cucunya yang durhaka kepada Allah, di samping banyak pula yang beriman, bahkan ada pula yang diangkat menjadi nabi dan rasul.

Pada ayat yang lalu Allah swt menerangkan bahwa setelah Nabi Ibrahim diangkat menjadi nabi dan rasul, ia pun berdoa pula agar anak cucunya di kemudian hari diangkat pula menjadi nabi dan rasul.

Tetapi Allah swt menjawab bahwa tidak seluruh doa Nabi Ibrahim itu dikabulkan Tuhan, karena orang-orang yang zalim, walaupun anak seorang nabi dan rasul, mustahil diangkat menjadi nabi dan rasul, seperti bapak dan kakeknya.

Allah swt berfirman:

وَاِذِ ابْتَلٰٓى اِبْرٰهٖمَ رَبُّهٗ بِكَلِمٰتٍ فَاَتَمَّهُنَّ ۗ قَالَ اِنِّيْ جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ اِمَامًا ۗ قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِيْ ۗ قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِى الظّٰلِمِيْنَ

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman, ”Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.” Dia (Ibrahim) berkata, ”Dan (juga) dari anak cucuku?” Allah berfirman, ”(Benar, tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim.” (al-Baqarah/2: 124).

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa kaum Muslimin dilarang mengangkat orang-orang zalim sebagai pemimpin-pemimpin yang akan mengurus urusan mereka. Yang akan diangkat menjadi pemimpin itu hendaklah orang-orang yang masih berjiwa bersih, suka mengerjakan amal-amal yang saleh, melaksanakan perintah-perintah Allah, dan menghentikan larangan-larangan-Nya.

(Tafsir Kemenag)

Baca Setelahnya : Tafsir Surah Ibrahim Ayat 37

Tafsir Surah Al-Qasas ayat 48-54

0
Tafsir Surah Al Qashash
Tafsir Surah Al Qashash

Tafsir Surah Al-Qasas ayat 48-54 ini menerangkan bahwa ketika Nabi Muhammad diutus kepada kaum Quraisy mereka justru menantang dan memperlihatkan kesesatan. Dalam Tafsir Surah Al-Qasas ayat 48-54 ini beliau justru meragukan Nabi Muhammad karena tidak seperti Nabi Musa yang dapat menurunkan mukjizat. Selengkapnya Tafsir Surah Al-Qasas ayat 48-54.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Qasas ayat 41-47


Ayat 48

Ayat ini menerangkan bahwa ketika Muhammad diutus kepada kaum Quraisy yang belum pernah didatangi oleh seorang rasul yang dibekali kitab suci Al-Qur’an, mereka menyombongkan diri, menentang, dan memperlihatkan kesesatan.

Mereka berkata, “Mengapa ia tidak memiliki mukjizat sebagaimana halnya Nabi Musa yang diberi mukjizat, seperti tongkat menjadi ular, lautan terbelah dengan pukulan tongkatnya, tangannya menjadi putih, dinaungi oleh awan, dan lain-lain. Firman Allah:

فَلَعَلَّكَ تَارِكٌۢ بَعْضَ مَا يُوْحٰىٓ اِلَيْكَ وَضَاۤىِٕقٌۢ بِهٖ صَدْرُكَ اَنْ يَّقُوْلُوْا لَوْلَآ اُنْزِلَ عَلَيْهِ كَنْزٌ اَوْ جَاۤءَ مَعَهٗ مَلَكٌ  ۗاِنَّمَآ اَنْتَ نَذِيْرٌ ۗ وَاللّٰهُ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ وَّكِيْلٌ

Maka boleh jadi engkau (Muhammad) hendak meninggalkan sebagian dari apa yang diwahyukan kepadamu dan dadamu sempit karenanya, karena mereka akan mengatakan, “Mengapa tidak diturunkan kepadanya harta (kekayaan) atau datang bersamanya malaikat?” Sungguh, engkau hanyalah seorang pemberi peringatan dan Allah pemelihara segala sesuatu. (Hud/11: 12)

Ucapan kaum Quraisy itu dijawab bahwa orang-orang yang durhaka dan sombong pada masa Nabi Musa telah ingkar kepada mukjizat yang diberikan kepada Musa dahulu. Bahkan mereka menuduh Musa dan Harun adalah dua ahli sihir yang saling membantu.

Apakah orang-orang kafir Mekah akan mengikuti apa yang telah diperbuat kaum Nabi Musa? Apakah mereka akan mengingkari apa yang didatangkan Muhammad, dan mengatakan bahwa Musa dan Muhammad adalah ahli sihir? Apakah mereka juga tidak akan mempercayai risalah dan mukjizat keduanya?

Mengenai tuduhan bahwa keduanya adalah ahli sihir pada ayat ini, Said bin Jubair, Mujahid, dan Ibnu Zaid berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “keduanya adalah ahli sihir” ialah Musa dan Harun. Ini adalah ucapan orang-orang Yahudi pada permulaan kerasulan. Sedangkan Ibnu ‘Abbas dan al-Hasan al-Ba¡ri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan keduanya adalah ahli sihir yaitu Musa dan Muhammad saw, dan ini adalah ucapan orang-orang musyrikin bangsa Arab.

Ayat 49

Allah menyuruh Muhammad menantang orang-orang kafir Mekah yang mengatakan bahwa Musa dan Muhammad adalah ahli sihir, dan Taurat dan Al-Qur’an adalah sihir belaka, untuk mendatangkan sebuah kitab dari sisi Allah yang lebih memberi petunjuk dan lebih mendatangkan kemaslahatan daripada kedua kitab itu. Nabi menegaskan kepada mereka bahwa dia bersedia meninggalkan Al-Qur’an apabila mereka itu benar dalam pengakuan mereka, dan benar-benar dapat mendatangkan kitab yang dimaksud.

Ayat 50

Ayat ini menerangkan bahwa Allah menurunkan Al-Qur’an secara bertahap, sebagian demi sebagian sesuai dengan kebijaksanaan yang telah digariskan-Nya, agar mudah dibaca, diingat, dipahami, dan bisa memantapkan hati dan menguatkan iman. Ini merupakan jawaban atas permintaan orang-orang kafir yang menghendaki Al-Qur’an itu diturunkan sekaligus. Firman Allah:

وَقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْاٰنُ جُمْلَةً وَّاحِدَةً ۛ كَذٰلِكَ ۛ لِنُثَبِّتَ بِهٖ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنٰهُ تَرْتِيْلًا

Dan orang-orang kafir berkata, “Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekaligus?” Demikianlah agar Kami memperteguh hatimu (Muhammad) dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (berangsur-angsur, perlahan dan benar). (al-Furqan/25: 32)

Ayat 52

Ayat ini menerangkan bahwa Ahli Kitab yang percaya kepada Taurat dan Injil, dan bertemu dengan masa kenabian Muhammad saw, juga percaya kepada Al-Qur’an. Mereka menemukan dalam kitab suci mereka berita yang menggembirakan tentang Al-Qur’an dan kecocokan sifat-sifat Al-Qur’an dengan sifat-sifat yang dijelaskan di dalam kitab mereka. Hal ini dijelaskan pula di dalam ayat yang lain:

وَاِنَّ مِنْ اَهْلِ الْكِتٰبِ لَمَنْ يُّؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَمَآ اُنْزِلَ اِلَيْكُمْ وَمَآ اُنْزِلَ اِلَيْهِمْ خٰشِعِيْنَ لِلّٰهِ ۙ

Dan sesungguhnya di antara Ahli Kitab ada yang beriman kepada Allah, dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu, dan yang diturunkan kepada mereka, karena mereka berendah hati kepada Allah. (²li ‘Imran/3: 199)

Dan firman-Nya:

اَلَّذِيْنَ اٰتَيْنٰهُمُ الْكِتٰبَ يَتْلُوْنَهٗ حَقَّ تِلَاوَتِهٖۗ اُولٰۤىِٕكَ يُؤْمِنُوْنَ بِهٖ

Orang-orang yang telah Kami beri Kitab, mereka membacanya sebagaimana mestinya, mereka itulah yang beriman kepadanya. (al-Baqarah/2: 121)

Ayat 53

Ayat ini menerangkan bahwa apabila Al-Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka mengakui bahwa Al-Qur’an itu benar-benar dari Allah. Bahkan, mereka telah membenarkannya sebelum diturunkan karena mereka telah menemukan sifat-sifat Muhammad dan sifat-sifat Al-Qur’an dalam kitab suci mereka.

Kepercayaan Ahli Kitab kepada Al-Qur’an sudah sejak dulu karena nenek moyang mereka membaca uraian tentang sifat-sifat Al-Qur’an dalam kitab suci mereka. Kebiasaan ini berlaku turun-temurun sampai ke anak cucunya jauh sebelum Al-Qur’an itu diturunkan.

Ayat 54

Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang yang percaya kepada Al-Qur’an sesudah mereka percaya kepada kitab-kitab suci sebelumnya, akan diberikan pahala dua kali lipat. Pahala atas kepercayaan mereka kepada kitab-kitab suci mereka, dan pahala atas kepercayaan mereka kepada Al-Qur’an.

Diperlukan kesabaran dan ketabahan untuk mempertahankan kepercayaan mereka. Fitnah dan cobaan yang harus dihadapi tentu sangat berat, bahkan mereka mendapat perlakuan yang tidak wajar karena mereka mengikuti Muhammad dan menganut agamanya.

Ada tiga macam orang yang mendapat pahala dua kali lipat sebagaimana dijelaskan di dalam sabda Nabi Muhammad:

ثَلاَثَةٌ يُؤْتَوْنَ أَجْرَهُمْ مَرَّتَيْنِ: رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الكِتَابِ أَمَنَ بِنَبِيِّهِ وَأَدْرَكَ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم فَاَمَنَ بِهِ وَاتَّبَعَهُ وَصَدَّقَهُ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَعَبْدٌ مَمْلُوْكٌ أَدَّى حَقَّ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَحَقَّ سَيِّدِهِ فَلَهُ اَجْرَانِ، وَرَجُلٌ كَانَتْ لَهُ أَمَةٌ فَغَذَّاهَا فَأَحْسَنَ غَذَاءَهَا ثُمَّ أَدَّبَهَا ثُمَّ اعْتَقَهَا وَتَزَوَّجَهَا فَلَهُ اَجْرَانِ.

(رواه البخاري عن ابى موسى الأشعري)

Tiga golongan orang yang diberi pahala, masing-masing dua kali lipat. Seorang Ahli Kitab yang percaya kepada nabinya, kemudian ia mendapati masa (Muhammad saw) maka ia beriman pula kepadanya dan mengikutinya serta membenarkannya maka baginya dua pahala. Hamba sahaya yang menunaikan hak Allah ‘Azza wa Jalla dan hak tuannya, maka baginya dua pahala. Dan seorang yang mempunyai hamba sahaya perempuan lalu ia memberi makan, dan memberinya pendidikan yang baik, kemudian ia memerdekakannya lalu menikahinya, maka baginya dua pahala.” (Riwayat al-Bukhari dari Abu Musa al-Asy’ari).

Selain kesabaran dan ketabahan, mereka juga mempunyai beberapa sifat yang menjadikan mereka dekat kepada Allah, antara lain:

  1. Mereka menolak kejahatan dengan kebaikan. Apa yang mereka dengar yang menyakitkan hati, berupa cacian dan sebagainya, tidak dibalas tetapi disambut dengan tenang bahkan dimaafkan.
  2. Mereka menginfakkan rezeki yang diberikan Allah ke jalan yang benar. Mereka memperoleh rezeki juga dengan halal dan baik. Mereka mengeluarkan zakat, belanja rumah tangga, bederma untuk pembangunan masjid, madrasah, pengajian, pembinaan dan pemeliharaan anak yatim, dan lain sebagainya. Dalam firman-Nya:

وَاَنْفِقُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰه

Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah. (al-Baqarah/2: 195)

Dan firman-Nya:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنْفِقُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا كَسَبْتُمْ

Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik. (al-Baqarah/2: 267)

(Tafsir Kemenag)


Baca Selanjutnya: Tafsir Surah Al-Qasas ayat 55-58


 

Pesan Gus Ghofur Maimoen (3); Yang Lebih Penting dari Moderat adalah Tawazun (Keberimbangan)

0
Gus Ghofur (Tawazun)
KH. Dr. Abdul Ghofur Maimoen atau akrab dikenal Gus Ghofur

Pesan ketiga yang dilayangkan Gus Ghofur Maimoen adalah yang lebih penting dari moderat adalah keberimbangan (tawazun). Dalam penuturannya, “ada sisi lain dari mafhumul wasatiyyah yaitu al-tawazun (keberimbangan atau balancing)”. Sebab kata beliau, “jika kita harus saklek (harus benar-benar) berpikir wasatiyah (moderat) itu tidak mungkin, mustahil, padahal hidup itu tidak bisa tengah-tengah”. Tegas doktor lulusan Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.

Lalu beliau mencontohkan misalnya antara kepentingan dunia dan akhirat, apakah harus sama persis 50 persen-50 persen. Ataukah mendahulukan kepentingan akhiratnya ketimbang dunianya, ataukah sebaliknya. Jadi menurut beliau, keberimbangan itu menjadi kata kunci (key word) dalam wasatiyah.

Dari sini, penulis menyitir Q.S. al-Isra [17]: 35 sebagai dasar sikap tawazun,

وَاَوْفُوا الْكَيْلَ اِذَا كِلْتُمْ وَزِنُوْا بِالْقِسْطَاسِ الْمُسْتَقِيْمِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا

Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan timbangan yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. al-Isra’ [17]: 35)

Baca Juga: Pesan Gus Ghofur Maimoen: Bersikap Moderat itu Tidak Mempersulit Diri Sendiri

Penafsiran ini penulis fokuskan pada redaksi wazinu bil qistasil mustaqim. Mengutip Syekh Muhammad Ali al-Shabuni dalam Shafwah al-Tafasir, beliau menafsirinya dengan

أي زنوا بالميزان العدل السوي بلا احتيال ولا خديعة

“Timbanglah suatu hal dengan timbangan yang adil, bukan dengan penipuan dan kemunafikan”.

Hampir senada dengan al-Shabuni, al-Tabari dalam Jami’ al-Bayan menuturkan demikian,

وقَضَى أو زنوا أيضاً إذا وزنتـم لهم بـالـميزان الـمستقـيـم، وهو العدل الذي لا اعوجاج فـيه، ولا دَغَل، ولا خديعة

“Jika engkau menimbang, hendaklah menimbang dengan timbangan yang lurus, yaitu adil, tidak terkandung unsur penipuan, tipu daya muslihat, dan kemunafikan”.

Tidak jauh berbeda, penafsiran lain juga disampaikan al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib bahwa untuk dapat menimbang dengan takaran pas diperlukan sikap istiqamah dan i’tidal. Keduanya ini tidak dapat dipisahkan.

Tawazun menjadi Kata Kunci

Kembali ke Gus Ghofur, “yang namanya adil dan moderat itu tidak harus sama persis, yang terpenting adalah balancing atau tawazun (keberimbangan). Agama kita mengajarkan untuk berpikir seimbang, meski dalam tataran aplikasi para umat Islam tidak 100 persen.” Ujar Ketua STAI Al-Anwar, Rembang.

Lebih jauh, beliau menuturkan, “tidak ada satu orang pun, kelompok pun yang mungkin bisa menafsirkan Al-Quran 100 persen berada di tengah (moderat). Misalnya saja kegiatan tahlilan, antara kepentingan mayyit dengan kepentingan ahli waris itu bobotnya lebih mengarah kepada si mayyit atau yang ditinggalkan (ahli waris). Sebab ada yang tahlilan itu karena harus menjamu yang diundang sehingga membutuhkan biaya, maka hutang sana-sini. Itu sebenarnya Nahdlatul Ulama sudah berada di tengah atau di pinggir”.

Tentu, penulis melihat ini bukanlah suatu sindiran, namun sebagai renungan dan mengingat orientasi daripada kegiatan keagaman itu sendiri, tahlilan misalnya. Kembali beliau mencontohkan tentang Nahdlatul Ulama, misalnya apakah pendidikan di NU sudah berpikir tentang akhirat atau duniawi. Begitu pula ormas keagamaan lain, apakah juga sama. Begitupun kelompok pembela wanita (feminis), pembela HAM, dan semacamnya apakah juga sudah memosisikan berada di tengah?”. Sambung Pengasuh PP. Al-Anwar 3, Sarang Rembang.

Beliau kembali melampirkan beberapa contoh, seperti orang yang selalu mengritik Ikhwanul Muslimin (IM), dan organisasi sejenisnya, apakah sudah bersikap moderat dalam mengritik dan objektif. Termasuk juga persoalan pilkada, pilpres lima tahunan apakah sudah bersikap moderat dalam persoalan dukung-mendukung, tanpa tendensi apapun. “Tentu ini hal yang sulit, karena kita dipengaruhi banyak hal”. Ucap Gus Ghofur.

Beliau juga menambahkan, ketika kita berhubungan sosial dengan orang-orang Arab, apakah sudah benar-benar mencintainya secara moderat atau justru berlebih-lebihan?. Termasuk salah satu ciri orang moderat misalnya, kata beliau, “kalau berfatwa kepada orang lain itu gampang, sedangkan untuk dirinya berat gak apa-apa lah. Tapi juga ada orang yang berfatwa itu sulitnya minta ampun, sementara terhadap dirinya memudahkan. Misalnya persoalan vaksin haram, padahal ia tidak tau betapa sulitnya menjalahi hidup di tengah pandemi”.

Baca Juga: Pesan Gus Ghofur Maimoen (2): Bersikap Moderat itu Memerlukan Introspeksi Diri

Gus Ghofur juga mengontekstualisasikan beberapa persoalan, misalnya ciri orang moderat adalah ia tahu mana batasan agama yang boleh berubah (furu’) dan yang tidak (ushul). Contohnya, “status orang non muslim di negara muslim itu kan dicap ahl dzimmah, ahlul harbi, dan sejenisnya apakah yang seperti ini tidak boleh berubah. Termasuk juga, apakah perempuan harus selalu dikekang di rumah dan tidak boleh keluar, apakah yang seperti ini juga tidak boleh dirubah?”.

Maka, kata Gus Ghofur, aspek moderatisme dan tawazun dalam memahami Al-Quran menjadi ciri besar sehingga kehadiran Al-Quran benar-benar rahmatan lil ‘alamin. Wallahu A’lam.