Beranda blog Halaman 331

Tafsir Surah Luqman ayat 12-13

0
Tafsir Surah Luqman
Tafsir Surah Luqman

Tafsir Surah Luqman ayat 12-13 mengisahkan tentang Lukman seorang seorang hamba yang arif lagi bijaksana dari Habasyah. Dalam Tafsir Surah Luqman ayat 12-13 dijelaskan bahwa Lukman memerintah anaknya untuk menyembah Allah swt dan tidak menyekutukannya. Selengkapnya Tafsir Surah Luqman ayat 12-13 di bawah ini….


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Luqman ayat 7-11


Ayat 12

Ayat ini menerangkan bahwa Allah menganugerahkan kepada Lukman hikmah, yaitu perasaan yang halus, akal pikiran, dan kearifan yang dapat menyampaikannya kepada pengetahuan yang hakiki dan jalan yang benar menuju kebahagiaan abadi. Oleh karena itu, ia bersyukur kepada Allah yang telah memberinya nikmat itu. Hal itu menunjukkan bahwa pengetahuan dan ajaran-ajaran yang disampaikan Lukman itu bukanlah berasal dari wahyu yang diturunkan Allah kepadanya, tetapi semata-mata berdasarkan ilmu dan hikmah yang telah dianugerahkan Allah kepadanya.

Berdasarkan riwayat Ibnu Abi Syaibah, Ahmad, Ibnu Abi Dunya, Ibnu Jarir ath-Thabari, Ibnu Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim dari Ibnu ‘Abbas bahwa Lukman adalah seorang hamba/budak dan tukang kayu dari Habasyah. Kebanyakan ulama mengatakan bahwa Lukman adalah seorang yang arif, bijak, dan bukan nabi.

Banyak riwayat yang menerangkan asal-usul Lukman ini, dan riwayat-riwayat itu antara yang satu dengan yang lain tidak ada kesesuaian. Said bin Musayyab mengatakan bahwa Lukman berasal dari Sudan, sebelah selatan Mesir. Zamakhsyari dan Ibnu Ishaq mengatakan bahwa Lukman termasuk keturunan Bani Israil dan salah seorang cucu Azar, ayah Ibrahim. Menurut pendapat ini, Lukman hidup sebelum kedatangan Nabi Daud. Sedang menurut al-Waqidi, ia salah seorang qadhi Bani Israil. Ada pula riwayat yang menerangkan bahwa Lukman hanyalah seorang yang sangat saleh (wali), bukan seorang nabi.

Terlepas dari semua pendapat riwayat di atas, apakah Lukman itu seorang nabi atau bukan, apakah ia orang Sudan atau keturunan Bani Israil, maka yang jelas dan diyakini ialah Lukman adalah seorang hamba Allah yang telah dianugerahi hikmah, mempunyai akidah yang benar, memahami dasar-dasar agama Allah, dan mengetahui akhlak yang mulia. Namanya disebut dalam Al-Qur’an sebagai salah seorang yang selalu menghambakan diri kepada-Nya.

Sebagai tanda bahwa Lukman itu seorang hamba Allah yang selalu taat kepada-Nya, merasakan kebesaran dan kekuasaan-Nya di alam semesta ini adalah sikapnya yang selalu bersyukur kepada Allah. Ia merasa dirinya sangat tergantung kepada nikmat Allah itu dan merasa dia telah mendapat hikmah dari-Nya.

Menurut riwayat dari Ibnu ‘Umar bahwa ia pernah mendengar Rasulullah bersabda, “Lukman bukanlah seorang nabi, tetapi ia adalah seorang hamba yang banyak melakukan tafakur, ia mencintai Allah, maka Allah mencintainya pula.”

Pada akhir ayat ini, Allah menerangkan bahwa orang yang bersyukur kepada Allah, berarti ia bersyukur untuk kepentingan dirinya sendiri. Sebab, Allah akan menganugerahkan kepadanya pahala yang banyak karena syukurnya itu. Allah berfirman:

وَمَنْ شَكَرَ فَاِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهٖۚ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ رَبِّيْ غَنِيٌّ كَرِيْمٌ

Barang siapa bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri, dan barang siapa ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Mahakaya, Mahamulia. (an-Naml/27: 40)

Sufyan bin Uyainah berkata, “Siapa yang melakukan salat lima waktu berarti ia bersyukur kepada Allah, dan orang yang berdoa untuk kedua orang tuanya setiap usai salat, ia telah bersyukur kepada keduanya.”

Orang-orang yang mengingkari nikmat Allah dan tidak bersyukur kepada-Nya berarti ia telah berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri, karena Allah tidak akan memberinya pahala bahkan menyiksanya dengan siksaan yang pedih. Allah sendiri tidak memerlukan syukur hamba-Nya karena syukur hamba-Nya itu tidak akan memberikan keuntungan kepada-Nya sedikit pun, dan tidak pula akan menambah kemuliaan-Nya. Dia Mahakuasa lagi Maha Terpuji.


Baca Juga : Nasihat-Nasihat Luqman al-Hakim Kepada Anaknya dalam Al Quran


Ayat 13

Allah mengingatkan kepada Rasulullah nasihat yang pernah diberikan Lukman kepada putranya ketika ia memberi pelajaran kepadanya. Nasihat itu ialah, “Wahai anakku, janganlah engkau memper-sekutukan sesuatu dengan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah itu adalah kezaliman yang sangat besar.”

Mempersekutukan Allah dikatakan kezaliman karena perbuatan itu berarti menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, yaitu menyamakan sesuatu yang melimpahkan nikmat dan karunia dengan sesuatu yang tidak sanggup memberikan semua itu. Menyamakan Allah sebagai sumber nikmat dan karunia dengan patung-patung yang tidak dapat berbuat apa-apa adalah perbuatan zalim. Perbuatan itu dianggap sebagai kezaliman yang besar karena yang disamakan dengan makhluk yang tidak bisa berbuat apa-apa itu adalah Allah Pencipta dan Penguasa semesta alam, yang seharusnya semua makhluk mengabdi dan menghambakan diri kepada-Nya.

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Ibnu Mas’ud bahwa tatkala turun ayat:

اَلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَلَمْ يَلْبِسُوْٓا اِيْمَانَهُمْ بِظُلْمٍ اُولٰۤىِٕكَ لَهُمُ الْاَمْنُ وَهُمْ مُّهْتَدُوْنَ ࣖ 

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan syirik, mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk. (al-An’am/6: 82)

timbullah keresahan di antara para sahabat Rasulullah saw. Mereka berpendapat bahwa amat berat menjaga keimanan agar tidak bercampur dengan kezaliman. Mereka lalu berkata kepada Rasulullah saw, “Siapakah di antara kami yang tidak mencampuradukkan keimanan dengan kezaliman?” Maka Rasulullah menjawab, “Maksudnya bukan demikian, apakah kamu tidak mendengar perkataan Lukman, ‘Hai anakku, jangan kamu menyekutukan sesuatu dengan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah kezaliman yang besar.”

Dari ayat ini dipahami bahwa di antara kewajiban ayah kepada anak-anaknya ialah memberi nasihat dan pelajaran, sehingga anak-anaknya dapat menempuh jalan yang benar, dan terhindar dari kesesatan. Hal ini sesuai dengan firman Allah:

 يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ 

Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. (at-Tahrim/66: 6)

Jika diperhatikan susunan kalimat ayat ini, maka dapat diambil kesimpulan bahwa Lukman melarang anaknya menyekutukan Tuhan. Larangan ini adalah sesuatu yang memang patut disampaikan Lukman kepada putranya karena menyekutukan Allah adalah perbuatan dosa yang paling besar.

Anak adalah generasi penerus dari orang tuanya. Cita-cita yang belum dicapai orang tua selama hidup di dunia diharapkan dapat tercapai oleh anaknya. Demikian pula kepercayaan yang dianut orang tuanya, di samping budi pekerti yang luhur, anak-anak diharapkan mewarisi dan memiliki semua nilai-nilai yang diikuti ayahnya itu di kemudian hari. Lukman telah melakukan tugas yang sangat penting kepada anaknya, dengan menyampaikan agama yang benar dan budi pekerti yang luhur. Cara Lukman menyampaikan pesan itu wajib dicontoh oleh setiap orang tua yang mengaku dirinya muslim.

(Tafsir Kemenag)


Baca Selanjutnya: Tafsir Surah Luqman ayat 14


 

Pandangan Kaum Sufi Terhadap Al-Qur’an dan Kalamullah Menurut Abu Bakar al-Kalabadzi

0
Abu Bakar al-Kalabadzi
ٍSufi, Kalamullah, dan Abu Bakar al-Kalabadzi

Abu Bakar al-Kalabadzi memiliki nama lengkap Abu Bakar bin Ishaq Muhammad bin Ibrahim bin Ya’qub al-Bukhari al-Kalabadzi. Ia adalah seorang sufi keturunan Persia bermazhab Hanafi-Maturidi. Sebutan al-Kalabadzi diambil dari nama sebuah wilayah di daerah Bukhara (sekarang termasuk negara Uzbekistan), yakni “Gulabad” (The Doctrine Of The Sufis: xi).

Nama berbahasa Persia ini kemudian ditransliterasikan ke bahasa Arab menjadi “Kalabadz” atau di barat lebih dikenal sebagai “Kalabadhi”. Sangat sedikit ditemukan catatan mengenai riwayat hidup al-Kalabadzi, namun ia dipercaya dilahirkan di Bukhara di mana Imam al-Bukhari – sang maestro hadis – dikebumikan (Warisan Agung Tasawuf: Mengenal Karya Besar Para Sufi: 153).

Baca Juga: Mengenal Ibn al-Araby: Mahaguru Tafsir Sufi Nazhari

Hal menarik dari sosok al-Kalabadzi adalah – meskipun ia lebih dikenal sebagai seorang sufi – ia digolongkan oleh Abd al-Hayy al-Lakhnawi sebagai ulama ahli fikih mazhab Hanafi yang termasyhur di bawah Muhammad bin Fadhl. Fakta ini sangat spesial karena pada periode sebelum dan setelahnya ada pergolakan antara ulama fikih dan ahli tasawuf (Mystical Dimensions Of Islam: 42).

Walaupun hanya ada sedikit informasi mengenai kehidupan al-Kalabadzi, para ahli sejarah meyakini bahwa ia kemungkinan besar memiliki hubungan dengan para tokoh sufi generasi awal yang sezaman dengan dirinya atau pernah membaca dan mempelajari karya-karya mereka secara komprehensif, baik melalui guru atau mengkajinya secara mandiri.

Hal ini dapat dibuktikan melalui perkataan Abu Bakar al-Kalabadzi sendiri yang menyebutkan bahwa telah ada sekitar 17 kitab sufi dan 11 tokoh sufi yang menulis tentang ajaran sufi sebelum ia menulis buku al-Ta’arruf Li Madzhabi Ahl al-Taṣawwuf. Dengan demikian, secara nyata dapat disimpulkan bahwa ia telah melakukan studi pustaka.

Selain dikenal sebagai sufi dan ahli fikih, Abu Bakar al-Kalabadzi sebenarnya juga merupakan ahli hadis. Ia menulis sebuah kitab berjudul Bahr al-Fawa’id fi Ma’ani al-Akhbar yang terdiri dari komentar-komentarnya terhadap 222 hadis pilihan. Karya al-Kalabadzi yang masih bisa dinikmati hingga sekarang ini membuktikan kepada kita bahwa ia juga seorang ahli hadis.

Ketokohan Abu Bakar al-Kalabadzi dalam bidang hadis sebenarnya adalah hal yang lumrah, sebab Bukhara merupakan salah satu kota yang menjadi pusat peradaban, perdagangan dan keilmuan Islam pada masa dinasti Samaniyah yang muncul pasca melemahnya dinasti Abbasiyah di Baghdad. Pada masa inilah lahir ilmuan muslim ternama seperti Imam Bukhari (w. 870M).

Semasa hidupnya, al-Kalabadzi telah menuliskan enam buah karya. Namun dari enam buku tersebut, hanya dua buah yang bisa ditemukan hingga saat ini, yaitu: Bahr al-Fawa’id fi Ma’ani al-Akhbar, komentar singkat pada 222 hadis dan al-Ta’arruf Li Madzhabi Ahl al-Taṣawwuf yang berisi tentang pengantar terhadap doktrin-doktrin tasawuf Islam.

Para ahli sejarah berbeda pendapat mengenai kapan Abu Bakar al-Kalabadzi wafat, sebab sangat sedikit ditemukan catatan tentang akhir kehidupannya sehingga sulit untuk dipastikan kebenarannya. Hal ini juga disampaikan oleh Darah Sikuh. Namun menurutnya, al-Kalabadzi diyakini wafat pada hari Jumat tanggal 19 Jumadil Awal tahun 380 H, 384 atau 385.

Jika pendapat Darah Sikuh benar, maka yang paling mungkin adalah Abu Bakar al-Kalabadzi wafat pada tahun 385 H/995 M, karena satu-satunya tahun pada dekade itu yang tanggal 19 Jumadil Awalnya jatuh pada hari Jumat, tidak ada yang cocok selain itu. Pendapat inilah yang dipegangi oleh N. Hanif dalam Biographical Encyclopaedia of Sufis: South Asia.

Pandangan Kaum Sufi Tentang Posisi Al-Qur’an dan Kalamullah

Dalam kitab Ta’arruf Li Madzhabi Ahl al-Taṣawwuf, Abu Bakar al-Kalabadzi membahas dua pasal terkait Al-Qur’an dan Kalamullah. Menurutnya, semua sufi sepakat bahwa Al-Qur’an itu merupakan kata-kata Allah atau Kalamullah yang hakiki dan (Al-Qur’an) bukanlah makhluk hasil ciptaan atau sesuatu yang baharu (hadist).

Al-Qur’an dibaca dengan lisan kita, ditulis dalam buku (mushaf) kita, dihafal dalam hati kita, akan tetapi bukanlah ia bermukim di sana sebagaimana Allah swt. Dia diketahui dalam hati kita, disembah dalam masjid-masjid kita, tetapi Dia tidak berada di sana. Sebab Allah swt Maha Suci dari sikap dan sifat ketergantungan terhadap sesuatu apa pun.

Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa Al-Qur’an benar-benar firman Allah (Kalamullah), bukan kalam Muhammad saw maupun bisikan setan sebagaimana dituduhkan oleh Salman Rushdie dalam The Satanic Verses”. Bagi para sufi, posisi Al-Qur’an yang transenden ini mutlak adanya, tanpa bisa diganggu gugat.

Kendati demikian- sebagaimana disampai Abu Bakar al-Kalabadzi – hakikat eksistensi Al-Qur’an bagi kaum sufi tidaklah terletak pada teks, bunyi, maupun hafalan. Al-Qur’an tidak terikat dengan semua instrumen itu sebagaimana Dzat Allah Swt atau bisa dikatakan Al-Qur’an tidak terpisahkan dengan Dzat-Nya. Oleh karena itu, Al-Qur’an bukan benda, unsur atau bagian sesuatu.

Mayoritas sufi berpandangan, Al-Qur’an – sebagai Kalamullah – merupakan sebuah sifat Allah yang kekal ada pada Dzat-Nya, ia tidak menyerupai perkataan makhluk-Nya dari segala bentuk dan segi, tidak bersuara kecuali dari segi ketetapan atau kekuatan. Dengan kata lain, Al-Qur’an pada hakikatnya tidaklah sama dengan sesuatu apa pun.

Kalamullah pada hakikatnya – termasuk Al-Qur’an – bukanlah berupa huruf, bukan berupa suara maupun ucapan. Adanya huruf, suara dan ucapan hanyalah sesuatu yang menunjuk kepada Kalamullah, bukan hakikat yang sesungguhnya. Sebab, huruf, suara dan ucapan mempunyai alat dan anggota yang mendukungnya seperti pena dan lidah. Sedangkan Allah swt tidak membutuhkan itu semua.

Baca Juga: Tafsir Sufistik: Kenali Dua Golongan Yang Mempengaruhi Kendali Manusia

Dalam konteks ini, mushaf yang terdiri dari tulisan dan kertas tidaklah bisa dikatakan sebagai Kalamullah. Ia hanyalah sesuatu yang menunjuk kepada kalamullah yang tidak berhuruf, bersuara, dan berkata. Kalamullah adalah sebuah misteri yang tak bisa ditangkap panca indera manusia. Mereka hanya tahu bahwa Allah swt bersifat kalam.

Agak pelik memang untuk menjelaskan hakikat Al-Qur’an dan teksnya, namun al-Kalabadzi menyebutkan, “Al-Qur’an adalah perkataan Allah (Kalamullah) yang sunyi dari kata, suara dan huruf, ketika ia (kalam) sebelum didatangkan (diturunkan) dan sebelum dibacakan sebagai ayat, maka ia adalah bukan makhluk.” Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Luqman ayat 18-19

0
Tafsir Surah Luqman
Tafsir Surah Luqman

Tafsir Surah Luqman ayat 18-19 lanjutan nasehat Luqman adalah jangan bersifat angkuh dan ketika berjalan yang sewajarnya tidak menunjukkan kesombongan atau keangkuhan. Wasiat Luqman ini bertujuan agar anaknya berbudi pekerti. Selanjutnya baca Tafsir Surah Luqman ayat 18-19 di bawah ini…


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Luqman ayat 15-17


Ayat 18-19

Tafsir Surah Luqman ayat 18-19 ini menerangkan lanjutan wasiat Lukman kepada anaknya, yaitu agar anaknya berbudi pekerti yang baik, dengan cara:

  1. Jangan sekali-kali bersifat angkuh dan sombong, membanggakan diri dan memandang rendah orang lain. Tanda-tanda seseorang yang bersifat angkuh dan sombong itu ialah:
  • Bila berjalan dan bertemu dengan orang lain, ia memalingkan mukanya, tidak mau menegur atau memperlihatkan sikap ramah.
  • Berjalan dengan sikap angkuh, seakan-akan ia yang berkuasa dan yang paling terhormat. Firman Allah:

وَلَا تَمْشِ فِى الْاَرْضِ مَرَحًاۚ اِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الْاَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُوْلًا

Dan janganlah engkau berjalan di bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya engkau tidak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mampu menjulang setinggi gunung. (al-Isra’/17: 37)

Dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda:

لاَ تَبَاغَضُوْا وَلاَتَدَابَرُوْا وَلاَتَحَاسَدُوْا وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ اِخْوَانًا وَلاَيَحِلُّ لِمُسْلِمٍ اَنْ يَهْجُرَ اَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثٍ. (رواه مالك عن انس بن مالك)

Janganlah kamu saling membenci, janganlah kamu saling mem-belakangi dan janganlah kamu saling mendengki,  dan jadilah kamu hamba Allah yang bersaudara. Tidak boleh bagi seorang muslim memencilkan (tidak berbaik) dengan temannya lebih dari tiga hari. (Riwayat Malik dari Anas bin Malik)

  1. Hendaklah berjalan secara wajar, tidak dibuat-buat dan kelihatan angkuh atau sombong, dan lemah lembut dalam berbicara, sehingga orang yang melihat dan mendengarnya merasa senang dan tenteram hatinya. Berbicara dengan sikap keras, angkuh, dan sombong dilarang Allah karena gaya bicara yang semacam itu tidak enak didengar, menyakitkan hati dan telinga.

Hal itu diibaratkan Allah dengan suara keledai yang tidak nyaman didengar. Yahya bin Jabir ath-Tha’i meriwayatkan dari Gudhaif bin Harits, ia berkata, “Aku duduk dekat ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-’As, maka aku mendengar ia berkata, ‘Sesungguhnya kubur itu akan berbicara dengan orang yang dikuburkan di dalamnya, ia berkata:

‘Hai anak Adam apakah yang telah memperdayakan engkau, sehingga engkau masuk ke dalam liangku? Tidakkah engkau mengetahui bahwa aku rumah tempat engkau berada sendirian? Tidakkah engkau mengetahui bahwa aku tempat yang gelap? Tidakkah engkau mengetahui bahwa aku rumah kebenaran? Apakah yang memperdayakan engkau sehingga engkau masuk ke dalam liangku? Sesungguhnya engkau waktu hidup menyombongkan diri.”

Sederhana atau wajar dalam berjalan dan berbicara bukan berarti berjalan dengan menundukkan kepala dan berbicara dengan lunak. Akan tetapi, maksudnya ialah berjalan dan berbicara dengan sopan dan lemah lembut, sehingga orang merasa senang melihatnya. Adapun berjalan dengan sikap gagah dan wajar, serta berkata dengan tegas yang menunjukkan suatu pendirian yang kuat, tidak dilarang oleh agama.

Menurut suatu riwayat dari ‘Aisyah r.a. bahwa beliau melihat seorang laki-laki berjalan menunduk lemah, seakan-akan telah kehilangan kekuatan tubuhnya, maka beliau pun bertanya, “Mengapa orang itu berjalan terlalu lemah dan lambat?” Seseorang menjawab, “Dia adalah seorang fuqaha yang sangat alim.” Mendengar jawaban itu ‘Aisyah berkata, “Umar adalah penghulu fuqaha, tetapi apabila berjalan, ia berjalan dengan sikap yang gagah, apabila berkata, ia bersuara sedikit keras, dan apabila memukul, maka pukulannya sangat keras.”

(Tafsir Kemenag)


Baca Selanjutnya: Tafsir Surah Luqman ayat 20-21


Tafsir Surah Luqman ayat 15-17

0
Tafsir Surah Luqman
Tafsir Surah Luqman

Tafsir Surah Luqman ayat 15-17 ini diturunkan berkaitan dengan kisah Sa’ad bin Abi Waqqash yang ketika beliau masuk Islam ibunya bersumpah tidak akan makan dan minum hingga Sa’ad meninggalkan Islam.

Selain itu Tafsir Surah Luqman ayat 15-17 ini juga mengisahkan tentang nasehat Luqman kepada anaknya untuk beramal baik karena hal kecil maupun besar yang ada dimuka bumi ini pasti diketahui oleh Allah swt. Pada ayat 17 dalam Tafsir Surah Luqman ayat 15-17 disebutkan poin-poin nasehat Luqman kepada anaknya.

Selengkapnya Tafsir Surah Luqman ayat 15-17 dibawah ini…


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Luqman ayat 14


Ayat 15

Diriwayatkan bahwa ayat ini diturunkan berhubungan dengan Sa’ad bin Abi Waqqash, ia berkata, “Tatkala aku masuk Islam, ibuku bersumpah bahwa beliau tidak akan makan dan minum sebelum aku meninggalkan agama Islam itu. Untuk itu pada hari pertama aku mohon agar beliau mau makan dan minum, tetapi beliau menolaknya dan tetap bertahan pada pendiriannya.

Pada hari kedua, aku juga mohon agar beliau mau makan dan minum, tetapi beliau masih tetap pada pendiriannya. Pada hari ketiga, aku mohon kepada beliau agar mau makan dan minum, tetapi tetap menolaknya. Oleh karena itu, aku berkata kepadanya, ‘Demi Allah, seandainya ibu mempunyai seratus jiwa dan keluar satu persatu di hadapan saya sampai ibu mati, aku tidak akan meninggalkan agama yang aku peluk ini.’ Setelah ibuku melihat keyakinan dan kekuatan pendirianku, maka beliau pun mau makan.”

Dari sebab turun ayat ini dapat diambil pengertian bahwa Sa’ad tidak berdosa karena tidak mengikuti kehendak ibunya untuk kembali kepada agama syirik. Hukum ini berlaku pula untuk seluruh umat Nabi Muhammad yang tidak boleh taat kepada orang tuanya mengikuti agama syirik dan perbuatan dosa yang lain.

Ayat ini menerangkan bahwa dalam hal tertentu, seorang anak dilarang menaati ibu bapaknya jika mereka memerintahkannya untuk menyekutukan Allah, yang dia sendiri memang tidak mengetahui bahwa Allah mempunyai sekutu, karena memang tidak ada sekutu bagi-Nya. Sepanjang pengetahuan manusia, Allah tidak mempunyai sekutu. Karena  menurut naluri, manusia harus mengesakan Tuhan.

Selanjutnya Allah memerintahkan agar seorang anak tetap bersikap baik kepada kedua ibu bapaknya dalam urusan dunia, seperti menghormati, menyenangkan hati, serta memberi pakaian dan tempat tinggal yang layak baginya, walaupun mereka memaksanya mempersekutukan Tuhan atau melakukan dosa yang lain.

Pada ayat lain diperingatkan bahwa seseorang anak wajib mengucapkan kata-kata yang baik kepada ibu bapaknya. Jangan sekali-kali bertindak atau mengucapkan kata-kata yang menyinggung hatinya, sekalipun hanya kata-kata “ah”. Allah berfirman:

فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ

maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”. (al-Isra’/17: 23) ;

Pada akhir ayat ini kaum Muslimin diperintahkan agar mengikuti jalan orang yang menuju kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, dan tidak mengikuti jalan orang yang menyekutukan-Nya dengan makhluk. Kemudian ayat ini ditutup dengan peringatan dari Allah bahwa hanya kepada-Nya manusia kembali, dan Ia akan memberitahukan apa-apa yang telah mereka kerjakan selama hidup di dunia.

Ayat 16

Lukman berwasiat kepada anaknya agar beramal dengan baik karena apa yang dilakukan manusia, dari yang besar sampai yang sekecil-kecilnya, yang tampak dan yang tidak tampak, yang terlihat dan yang tersembunyi, baik di langit maupun di bumi, pasti diketahui Allah.

Oleh karena itu, Allah pasti akan memberikan balasan yang setimpal dengan perbuatan manusia itu. Perbuatan baik akan dibalas dengan surga, sedang perbuatan jahat dan dosa akan dibalas dengan neraka. Pengetahuan Allah meliputi segala sesuatu dan tidak ada yang luput sedikit pun dari pengetahuan-Nya.

Allah kemudian melukiskan dalam firman-Nya tentang penimbangan perbuatan manusia:

وَنَضَعُ الْمَوَازِيْنَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيٰمَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْـًٔاۗ

Dan Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari Kiamat, maka tidak seorang pun dirugikan walau sedikit. (al-Anbiya’/21: 47)

Ayat 17

Pada ayat ini, Lukman mewasiatkan kepada anaknya hal-hal berikut:

  • Selalu mendirikan salat dengan sebaik-baiknya, sehingga diridai Allah. Jika salat yang dikerjakan itu diridai Allah, perbuatan keji dan perbuatan mungkar dapat dicegah, jiwa menjadi bersih, tidak ada kekhawatiran terhadap diri orang itu, dan mereka tidak akan bersedih hati jika ditimpa cobaan, dan merasa dirinya semakin dekat dengan Tuhannya. Nabi saw bersabda:

اُعْبُدُوا الله َكَأَنَّكَ تَرَاهُ فَاِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَاِنَّهُ يَرَاكَ. (رواية البخاري ومسلم)

Sembahlah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, maka jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihat engkau. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

  • Berusaha mengajak manusia mengerjakan perbuatan-perbuatan baik yang diridai Allah, berusaha membersihkan jiwa dan mencapai ke-beruntungan, serta mencegah mereka agar tidak mengerjakan perbuatan-perbuatan dosa. Allah berfirman:

قَدْ اَفْلَحَ مَنْ زَكّٰىهَاۖ  ٩  وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسّٰىهَاۗ  ١٠;

Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya. (asy-Syams/91: 9-10);

  • Selalu bersabar dan tabah terhadap segala macam cobaan yang menimpa, akibat dari mengajak manusia berbuat baik dan meninggalkan perbuatan yang mungkar, baik cobaan itu dalam bentuk kesenangan dan kemegahan, maupun dalam bentuk ke-sengsaraan dan penderitaan.;Pada akhir ayat ini diterangkan bahwa Allah memerintahkan tiga hal tersebut di atas karena merupakan pekerjaan yang amat besar faedahnya bagi yang mengerjakannya dan memberi manfaat di dunia dan di akhirat.

(Tafsir Kemenag)


Baca Selanjutnya: Tafsir Surah Luqman ayat 18-19


Al-Fatihah dalam Pandangan Arthur Jeffery, Orientalis Asal Australia

0
Al-Fatihah dalam Pandangan Arthur Jeffery
Al-Fatihah dalam Pandangan Arthur Jeffery

Arthur Jeffery, seorang orientalis asal Australia, dalam karyanya berjudul A Variant Text of The Fatihah, dia menyampaikan kesimpulan hasil analisanya bahwa surat al-Fatihah bukanlah bagian intergral dari surat-surat al-Qur’an, melainkan hanya sekedar rangkain doa pengantar saja sebelum membaca al-Qur’an.

Alasan Jeffery, karena surat al-Fatihah tidak tercantum dalam mushaf Ibn Mas’ud. Selain itu juga dalam karyanya yang berjudul Material for the History of the Text of the Qur’an, disana Jeffery menunjukan bahwa ada beberapa tulisan dan bacaan yang terdapat pada mushaf Ibn Mas’ud dengan Mushaf Utsmani (al-Qur’an). Sebelum menuju pembahasan mengenai posisi al-Fatihah dalam al-Qur’an menurut Arthur Jeffery, alangkah baik kita paparkan secara ringkas biografi dari Arthur Jeffery.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Tiba Ramadhan, Ini Hukum yang Belum Bayar Utang Puasa

Biografi Singkat Arthur Jeffery

Dalam buku Historical Data The Union Theological Seminary Alumni Directory 1836-1958, bahwa Arthur Jeffery, lahir 18 Oktober 1892 di Melbroune (Australia) dan meninggal 2 Agustus 1959 di South Milford (Nova Scotia, Canada). Karir akademinya, S1 (1918) di University of Melbourne, S2 (1920) di Melbourne College of Divinity dan S3 di University of Edinburgh. Studi akademisnya ini pernah tertunda karena perang Dunia Pertama. Lalu ia pergi ke India dan mengajar di Mardras Christian College sambil belajar beberapa bahasa India. Di sana ia mengembangkan beasiswa Alquran. Kepiawiannya dalam berkomunikasi bahasa Arab dan kekuatannya dalam berkhotbah, menurut Cragg, Jeffery hampir tidak memiliki orang yang sebanding dengannya.

Kemudian pada tahun 1921 Charles R. Watson direktur Universitas Amerika di Kairo (Mesir) merekrut Jeffery untuk bergabung di School of Oriental Studies (SOS). Di lembaga ini banyak berkumpul para misionaris bertaraf internasional seperti Earl E. Elder, William Henry Temple Graidner dan Samuel Marinus Zwemer, pendiri Konferensi Umum Misionaris Kristen sekaligus pendiri jurnal The Muslim World. Selanjutnya, dia menjadi seorang professor bahasa semit di Universitas Columbia sejak 1938 hingga meninggalnya.

Baca juga: Ramadhan sebagai Bulan Pewahyuan Al-Qur’an Perspektif Ibnu Ishaq

Pandangan Arthur Jeffry Mengenai Surat al-Fatihah

Surat al-Fatihah, sebagimana yang telah disebutkan penulis diatas, menurut Jeffery bukan bagian dari surat yang ada didalam Qur’an (it was not originally part of the text). Akan tetapi al-Fatihah hanya sebatas susunan doa Fattihah ini hanyalah merupakan susunan doa (prayer composed) sebagaimana buku suci lainnya dalam agama-agama di Timur Dekat.

Argumentasi Jeffery diatas selain menyadarkan pendapat sesama tokoh orientalis, yaitu Theodor Nöldek, dan dia juga menyandarkan pemikiran ulama Islam, yaitu Abu Bakar al-Asham yang dikutip oleh ar-Razi. Hanya saja penulis tidak menemukan apa yang Jeffry kemukakan dalam kitab Mafatih al-Ghaib tersebut sebagaimana dia sebutkan. Dengan demikian, maka Jeffery mengutip pendapat yang sangat marginal untuk menjustifikasi pendapatnya, padahal ar-Razi sendiri mengakui bahwa al-Fatihah adalah bagian dari Al-Qur’an. Menurut ar-Razi dalam kitab Mafatih al-Ghaib, bahwa nama lain dari al-Fatihah adalah al-Asas karena salah satu alasannya, karena al-Fatihah merupakan surat pertama dan juga surat pembuka dalam al-Qur’an.

Tetapi dalam Kitab Gharaib al-Qur’an wa Gharaib al-Furqan disana ditemukan redaksi yag apa dimaksudkan oleh Jeffery Memang al-A’sham berpendapat, bahwa:

عن أبي بكر الأصم أنه قال : كان ابن مسعود لا يكتب في مصحفه فاتحة الكتاب

“Bersumber dari Abi Bakar al-A’sham bahwasanya ia berkata, Keberadaan Ibnu Mas’ud tidak menulis surat al-Fatihah dalam mushafnya”.

Tetapi pada kitab ini juga dijelaskan alasannya, kenapa al-fatihah bukan bagian dari al-Qur’an yang ada dalam mushaf Ibn Mas’ud, bahwa al-A’sham memahami surat al-Hijr ayat 87 dan menganggap bahwa huruf al-Wawu pada kata al-Qur’an al-‘Adhim sebagai huruf athaf (sambung), maka konsekuesinya menurut dia adalah :

 “Dan huruf athaf itu wajib berubah, maka wajib pula eskitensi as-Sab’u al-Matsani ini bukanlah al-Qur’an”.

Sebenarnya secara gramatikal terkadang bisa saja athaf befungsi (الجزء على الكل), menghubungkan yang parsial terhadap yang universal seperti QS. Al-Baqarah [2]: 98. Ayat ini secara tegas menyebutkan bahwa Jibril dan Mikail adalah bagian dari para Malaikat. Begitu pula dengan sebaliknya, dari yang universal ke yang parsial.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Bolehkah Itikaf Tidak di Masjid?

Selain itu, jika Jeffery mau menelusuri kitab-kitab Ulum al-Qur’an, akan mendapatkan bahwa isu seputar al-Fatihah ini sudah menjadi pembahasan sejak era klasik dulu. Misalnya, as-Syuti dalam karya nya al-Itqan Fi Ulum al-Qur’an, menegaskan bahwa surat al-Fatihah ini tidak tercantum dalam mushaf Ibnu Mas’ud. Begitu pun dengan az-Zarqoni ia membenarkan bahwa  dalam msuhaf Ibnu Mas’uf surat al-Fatihah tidak tercamtum. Sedangkan al-Qathan dalam karyanya Mabahits Fi Ulum al-Qur’an, menjelaskan lebih lanjut bahwa mushaf Ibnu Mas’ud, dimulai dengan surat al-Baqarah langsung.

Dalam kitab Manahil al-irfan fi Ulum al-Qur’an, az-Zarqoni mengatakan bahwa tidak dicantumkannya surat al-Fatihah dalam mushaf Ibnu Mas’ud hukan berarti Ibnu Mas’ud mengingkarinya. Kemudian az-Zarqoni mengutip pendapat Ibnu Qutaibah yang mengatakan bahwa :

أن عدم كتابة ابن مسعود للفاتحة في مصحفه كان سببه وضوح أنها من القرآن وعدم الخوف عليها من الشك والنسيان

والزيادة والنقصان

“Sebenarnya Ibn Mas’ud mengakui bahwa surat al-Fatihah ini bagian dari surat-surat Alquran. Adapun dia tidak mencantumkan dalam mushhaf-nya, alasannya  sangatlah jelas, yaitu sebagai upaya untuk  menghilangka nrasa takut terjadi atasal-Fatihah ini keraguan, kelupaan, penambahan atau pengurangan”

Selain itu, sejatinya Jeffery melacak juga pada mushaf lainnya. Sebab, menurut al-Qathan bahwa surat al-Fatihah ini tercantum pula dalam mushaf Ubai bin Ka’ab. Dimana dalam mushaf tersebut di mulai dari al-Fatihah, Dari sini terlihat sekali bahwa Jeffry menggunakan argumentasi silentio (argumentasi keheningan). Padahal, hemat penulis, tidak adanya Fatihah dalam mushaf Ibnu Mas’ud, boleh jadi ia tidak mendengarnya dari Rasulullah saw. Buktinya,surat al-Fatihah ini tercantum dalam mushaf Ubai bin Ka’ab.

Sebagaimana Az-Zarqoni menuturkan :

“Sebenarnya Ibnu Mas’ud tidak mendengar al-muawidzatain dari Nabi saw, karena dalam pandangan Ibn Mas’ud kedua surat tersebut ditransmisikan tidak secara mutawatir.Oleh karena itu, ia memilih diam dalam persoalan ini. Sesungguhnya bacaan ‘Ashim dari Ibnu Mas’ud membuktikan bahwa di dalamnya terdapat surat al-muawidzatain dan Fatihah dan ini merupakan riwayat shahih.”

Baca juga: Tafsir Ahkam: Bolehkah Itikaf Tidak di Masjid?

Dan satu lagi yang penting untuk dipertimbangkan adalah pendapat Ibnu Bathal, ia mengatakan bahwa pada mushaf Ibnu Mas’ud diawali dengan ungkapan ملك يوم الدين , al-Baqarah, an-Nisa. Boleh jadi frase maliki yaum ad-dini yang dimaksud adalah al-Fatihah. Sebagaimana surat al-Fatihah ini pada riwayat lain diungkapkan dengan nama surat, الْحمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.

Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa Jeffery tidak mengekplorasi data dari sumber yang lainnya sebagai data pembanding argumentasinya, sehingga simpulannya ini tidak utuh. Dengan demikian, hemat penulis, pendapatnya ini memiliki validitas data yang sangat lemah. Wallahu A’lam.

Tafsir Surah Yusuf ayat 102-107

0
Tafsir Surah Yusuf
Tafsir Surah Yusuf

Tafsir Surah Yusuf ayat 102-107 mengulas secara singkat kisah Nabi Yusuf yang telah di paparkan pada ayat sebelumnya. Pada Tafsir Surah Yusuf ayat 102-107 khususnya dalam ayat 104 Allah mengingatkan Muhammad saw agar tidak meminta upah kepada siapa pun, sebagai imbalan dari dakwah dan anjurannya supaya mereka taat dan menyembah hanya kepada Allah swt serta meninggalkan agama berhala.

Selain itu Tafsir Surah Yusuf ayat 102-107 khususnya dalam ayat 105 membahas tentang tanda-tanda keesaan Allah SWT. Selengkapnya baca Tafsir Surah Yusuf ayat 102-107 di bawah ini….


Baca Juga Sebelumnya: Tafsir Surah Yusuf ayat 95-101


Ayat 102

Pada ayat ini, Allah swt menerangkan bahwa kisah Yusuf yang telah dipaparkan di atas termasuk berita gaib. Berita gaib itu diwahyukan kepada Muhammad. Sebelumnya, ia dan umat Islam tidak mengetahuinya. Dia juga tidak mengetahui ketika saudara-saudara Yusuf bersatu dan sepakat untuk membuang Yusuf ke dalam sumur yang dalam, dan ketika mereka mengatur tipu daya dan makarnya. Muhammad saw mengetahui peristiwa yang telah dialami oleh Yusuf itu dengan perantaraan wahyu dari Allah swt. Peristiwa ini merupakan bukti yang nyata atas kebenaran kenabian dan kerasulan Muhammad saw. Bagi orang yang sadar, bukti ini menjadi alasan untuk mempercayai dan membenarkan kerasulan Muhammad saw itu.

Ayat 103

Pada ayat ini, diterangkan bahwa orang-orang yang telah benar-benar kafir dan terus-menerus membangkang, tidak akan beriman bagaimanapun kita mengharap dan menginginkannya, sekalipun telah diberikan alasan-alasan yang nyata dan meyakinkan. Begitu pula halnya dengan kebanyakan orang Quraisy Mekah, sekalipun telah diberikan bukti-bukti yang nyata, mereka tidak akan percaya dan tidak akan membenarkan kenabian dan kerasulan Muhammad saw. Oleh sebab itu, beriman atau tidaknya seseorang setelah menerima dakwah rasul bukan menjadi tanggung jawabnya. Firman Allah swt:

اِنَّكَ لَا تَهْدِيْ مَنْ اَحْبَبْتَ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ يَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُ ۚوَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima  petunjuk. (al-Qashash/28: 56);

Ayat 104

Pada ayat ini, Allah swt mengingatkan Muhammad saw agar tidak meminta upah kepada siapa pun, sebagai imbalan dari dakwah dan anjurannya supaya mereka taat dan menyembah hanya kepada Allah swt serta meninggalkan agama berhala. Allah yang akan memberikan upah dan pahala atas usahanya itu, karena memang Al-Qur’an diturunkan kepadanya sebagai petunjuk melaksanakan tugasnya sebagai rasul. Al-Qur’an merupakan peringatan dan nasihat untuk membimbing dan memberi petunjuk kepada manusia yang akan membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.

Ayat 105

Pada ayat ini, Allah swt menerangkan bahwa tidak sedikit tanda-tanda yang menunjukkan keesaan, kesempurnaan, dan kekuasaan-Nya, seperti matahari, bulan, bintang-bintang, gunung-gunung, lautan, tanam-tanaman, dan lain-lain, yang bisa dilihat dan disaksikan sendiri oleh manusia. Akan tetapi, mereka tidak memperhatikannya dan tidak memikir-kan hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya. Semua itu menunjukkan bahwa Allah swt itu Esa, tiada Tuhan melainkan Dia. Dialah yang menciptakan semua makhluk dengan sempurna dan teratur. Kalaupun ada di antara mereka yang berusaha ingin mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi, tetapi mereka lupa kepada Penciptanya. Dengan akalnya, mereka asyik menerapkan ilmunya, mengembangkan dan memanfaatkannya, tetapi jiwa mereka kosong dari mengingat Allah dan tidak beriman kepada-Nya. Ilmu saja, meskipun ada gunanya, tetapi tidak bermanfaat di akhirat kecuali apabila dilandasi iman kepada Allah. Alangkah berbahagianya orang yang dapat menyatukan keduanya. Orang itulah yang akan memperoleh kebaikan di dunia, dan akhirat serta selamat dari azab api neraka kelak.

Ayat 106

Ayat ini menjelaskan keadaan orang-orang Quraisy Mekah. Di samping percaya kepada Allah yang menciptakan segala sesuatu, mereka juga menyekutukan-Nya. Kalau mereka ditanya siapa yang menciptakan semua yang ada di bumi maupun di langit, mereka akan menjawab dengan tegas bahwa yang menciptakan semuanya itu ialah Allah swt sebagai tercantum dalam Al-Qur’an:

وَلَىِٕنْ سَاَلْتَهُمْ مَّنْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ لَيَقُوْلُنَّ اللّٰهُ ۗقُلِ الْحَمْدُ لِلّٰهِ ۗبَلْ اَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ

Dan sungguh, jika engkau (Muhammad) tanyakan kepada mereka, ”Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Tentu mereka akan menjawab, ”Allah.” Katakanlah, ”Segala puji bagi Allah,” tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (Luqman/31: 25)

Pengakuan Quraisy Mekah terhadap eksistensi Allah juga diikuti dengan mempersekutukan-Nya. Mereka menyembah berhala dan menjadikan pendeta sebagai tuhan. Bahkan, ada di antara mereka yang mengatakan bahwa Allah itu mempunyai anak. Mahasuci Allah swt dari apa yang dituduhkan itu. Menyekutukan Allah itu adalah dosa yang paling besar. Ibnu Mas’ud pernah bertanya kepada Nabi Muhammad saw tentang dosa yang paling besar. Nabi saw menjawab:

أَنْ تَجْعَلَ ِللهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ (رواه البخاري و مسلم عن ابن مسعود)

Bahwa kamu jadikan sekutu bagi Allah swt padahal Dialah yang menciptakanmu. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud)

Ayat 107

Dalam ayat ini, Allah mempertanyakan apakah orang-orang yang mengakui Allah swt sebagai Penciptanya tetapi juga menyekutukan-Nya dengan mengadakan sembahan-sembahan selain-Nya, merasa aman dari azab yang akan menimpa mereka secara tiba-tiba. Apakah mereka merasa aman tidak akan menemui kematian secara mendadak dan tidak pernah diduga sebelumnya? Sekali-kali tidak! Sewaktu-waktu Allah swt dapat saja menimpakan azab kepada mereka, begitu juga Allah swt dapat memerintah-kan Malaikat Izrail untuk mencabut nyawanya secara mendadak tanpa diduga sebelumnya apabila Allah menghendaki. Allah swt Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki, sebagaimana firman-Nya:

 اِنَّ رَبَّكَ فَعَّالٌ لِّمَا يُرِيْدُ

Sungguh, Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki. (Hud/11: 107)

Sejalan dengan ayat 107 ini, firman Allah swt:

اَفَاَمِنَ الَّذِيْنَ مَكَرُوا السَّيِّاٰتِ اَنْ يَّخْسِفَ اللّٰهُ بِهِمُ الْاَرْضَ اَوْ يَأْتِيَهُمُ الْعَذَابُ مِنْ حَيْثُ لَا يَشْعُرُوْنَۙ  ٤٥  اَوْ يَأْخُذَهُمْ فِيْ تَقَلُّبِهِمْ فَمَا هُمْ بِمُعْجِزِيْنَۙ  ٤٦  اَوْ يَأْخُذَهُمْ عَلٰى تَخَوُّفٍۗ فَاِنَّ رَبَّكُمْ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ   ٤٧

Maka apakah orang yang membuat tipu daya yang jahat itu, merasa aman (dari bencana) dibenamkannya bumi oleh Allah bersama mereka, atau (terhadap) datangnya siksa kepada mereka dari arah yang tidak mereka sadari, atau Allah mengazab mereka pada waktu mereka dalam perjalanan; sehingga mereka tidak berdaya menolak (azab itu), atau Allah mengazab mereka dengan berangsur-angsur (sampai binasa). Maka sungguh, Tuhanmu Maha Pengasih, Maha Penyayang. (an-Nahl/16: 45-47)

Di antara hikmah disembunyikannya waktu kedatangan azab yang seolah-olah dengan tiba-tiba atau pencabutan nyawa oleh Izrail secara mendadak, ialah supaya mereka selalu siap siaga akan datangnya ajal. Dengan demikian, mereka selalu patuh dan taat dalam melaksanakan ibadah serta tidak melakukan maksiat. Mereka sadar hanya kepada Allah swt  manusia menyembah dan tidak menyekutukan-Nya sedikit pun.

(Tafsir Kemenag)


Baca Selanjutnya: Tafsir Surah Yusuf ayat 109-111

Tafsir Surah Yusuf ayat 95-101

0
Tafsir Surah Yusuf
Tafsir Surah Yusuf

Tafsir Surah Yusuf ayat 95-101 dikisahkan akibat rasa sedih yang teramat sangat mata Nabi Yaqub menjadi putih seperti buta. Namun ketika berjumpa dengan Yusuf atas izin Allah  mata Nabi Yaqub pun sehat kembali. Selengkapnya baca Tafsir Surah Yusuf ayat 95-101 di bawah ini….


Baca Juga Sebelumnya: Tafsir Surah Yusuf ayat 86-94


Ayat 95

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa tidak seorang pun di antara keluarga Yakub yang membenarkan ucapannya, bahkan mereka mengecamnya dengan ucapan yang tidak sepantasnya diucapkan kepada orang tua. Menurut mereka, Yakub keliru karena merasa akan segera berjumpa dengan Yusuf, padahal dalam anggapan mereka Yusuf telah tewas diterkam serigala. Anggapan Yakub ini, menurut mereka, sebagai tanda-tanda kesesatannya.

Ayat 96

Pada ayat ini, Allah swt menerangkan bahwa setelah pembawa kabar gembira itu sampai ke tempat ayahnya sesuai dengan anjuran Yusuf, Yahuda tampil ke depan membawa baju gamis Yusuf dan mengusapkannya ke wajah Yakub. Mata Yakub dengan seketika kembali melihat seperti sediakala. Yakub berkata kepada putra-putranya, “Bukankah pernah kukatakan kepadamu ketika aku menyuruhmu ke Mesir mencari berita tentang Yusuf dan saudaranya, bahwa sesungguhnya aku tahu dengan perantaraan wahyu dari Allah swt, bukan khayalan dan angan-angan bahwa Yusuf itu masih hidup sedang kamu tidak mengetahuinya.” Penyerahan baju Yusuf kepada ayahnya oleh Yahuda sebagai bukti bahwa Yusuf masih hidup mengingatkan Yakub pada penyerahan baju Yusuf yang berlumuran darah oleh Yahuda sebagai bukti bahwa Yusuf telah diterkam serigala.

Ayat 97

Tafsir Surah Yusuf ayat 95-101 ini mengisahkan setelah saudara-saudara Yusuf melihat bukti-bukti dan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, mereka menjadi sadar dan dengan jujur mengakui kesalahannya. Mereka juga meminta kepada ayahnya agar mau memohonkan ampun kepada Allah swt atas kedurhakaan yang telah mereka perbuat kepada ayahnya dan kezaliman yang dilakukan terhadap Yusuf. Pengakuan saudara-saudara Yusuf tentang kesalahan dan dosa yang telah diperbuat itu adalah pengakuan yang kedua kalinya. Sebelum itu, mereka pernah mengakui dosa dan kesalahannya di hadapan Yusuf, hanya pada waktu itu Yusuf langsung memohonkan ampunan dari Allah swt tanpa permintaan dari mereka.

Ayat 98

Setelah Yakub melihat kesadaran dan pengakuan anak-anaknya atas kesalahan yang mereka perbuat dengan terus terang serta permintaan mereka supaya ayahnya memohonkan ampunan kepada Allah swt, beliau menjawab, “Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Allah swt. Semoga Allah swt mengampunimu semua karena Dia Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Allah tidak akan mengecewakan seorang mukmin yang memohon kepada-Nya dengan sungguh-sungguh.”

Ayat 99

Pada ayat ini, dijelaskan bahwa saudara-saudara Yusuf pulang ke negerinya untuk memboyong semua keluarganya ke Mesir sesuai dengan anjuran Yusuf. Setelah sampai, mereka memberitahukan kepada kedua orang tuanya tentang kedudukan Yusuf di Mesir, dimana dia adalah penguasa yang berkuasa penuh di sana.

Disampaikan pula bahwa Yusuf mengundang semua keluarganya untuk menetap di Mesir bersama-sama dengannya, menikmati kemajuan dan keindahan kota Mesir. Mendengar berita itu, berangkatlah mereka bersama-sama ke Mesir. Setelah sampai di Mesir mereka bertemu dengan Yusuf dan rombongan yang pergi menjemput mereka di tengah jalan. Yusuf merangkul kedua orang tuanya dan berkata, “Silakan memasuki negeri Mesir dengan selamat dan aman, insya Allah kamu sekalian tidak akan mengalami kesulitan dan kelaparan, sekalipun musim kemarau masih saja mencekam.” Ucapan “Insya Allah” yang dikatakan Yusuf ini menjadi pelajaran bagi kita kaum Muslimin bahwa apabila hendak melakukan sesuatu, supaya disandarkan kepada kehendak Allah. Hal ini telah menjadi kebiasaan bagi para nabi dan ¡iddiqin. Hal tersebut sesuai pula dengan maksud firman Allah swt:

وَلَا تَقُوْلَنَّ لِشَا۟يْءٍ اِنِّيْ فَاعِلٌ ذٰلِكَ غَدًاۙ    ٢٣  اِلَّآ اَنْ يَّشَاۤءَ اللّٰهُ ۖ

Dan jangan sekali-kali engkau mengatakan terhadap sesuatu, ”Aku pasti melakukan itu besok pagi,” kecuali (dengan mengatakan), “Insya Allah.” (al-Kahf/18: 23 dan 24)

Ayat 100

Ayat ini menjelaskan Yusuf kemudian mengangkat kedua orang tuanya dan mendudukkan mereka di atas singgasana sebagai penghormatan lebih daripada apa yang telah diperbuat kepada saudara-saudaranya. Mereka merebahkan diri seraya sujud memberi hormat kepada Yusuf, sebagaimana lazimnya orang-orang memberi hormat kepada raja dan para pembesar pada waktu itu. Yusuf lalu berkata,  “Wahai ayahku! Inilah takbir mimpiku dahulu ketika saya masih kecil yang telah saya sampaikan kepada ayah dengan ucapan:

اِنِّيْ رَاَيْتُ اَحَدَ عَشَرَ كَوْكَبًا وَّالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ رَاَيْتُهُمْ لِيْ سٰجِدِيْنَ

Sungguh, aku (bermimpi) melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku. (Yusuf/12: 4)

Lebih lanjut Yusuf berkata, “Allah swt menjadikan mimpiku itu benar-benar terjadi, bukan khayalan. Sebelas bintang itu adalah saudara-saudaraku yang berjumlah sebelas orang, sedang matahari dan bulan adalah ayah dan ibuku.” Dengan keluarga inilah Allah swt memelihara keturunan Nabi Ishak, anak Nabi Ibrahim as, untuk mengembangkan agama tauhid di muka bumi ini. Selanjutnya Yusuf berkata kepada ayahnya, “Allah swt telah berbuat baik kepadaku. Dia melepaskan aku dari penjara dan mengangkatku sebagai penguasa.

Dia memindahkan ayah dari dusun padang pasir berpenghidupan sederhana dan kasar, ke negeri yang ramai, menikmati hidup yang bahagia, penyiaran agama yang benar, dan tolong menolong di dalam memajukan ilmu pengetahuan. Ini semua terjadi setelah setan memutus hubungan silaturrahim antara aku dan saudara-saudaraku sehingga rusaklah hubungan persaudaraan, dan timbullah rasa dengki dan buruk sangka antara kita. Sesungguhnya Allah swt Maha Mengetahui segala sesuatu yang bagaimanapun halusnya, bersifat lemah lembut kepada hamba-hamba-Nya, dan menetapkan apa yang Dia kehendaki dengan kebijaksanaan-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui apa yang menjadi maslahat bagi hamba-hamba-Nya. Tiada suatu hal yang tersembunyi bagi-Nya. Mahabijaksana di dalam segala hal, membalas orang-orang yang berbuat baik dengan kebaikan, dan kesudahan yang baik diberikan kepada orang-orang yang bertakwa.”

Ayat 101

Ayat ini adalah pernyataan dan doa yang diucapkan Yusuf a.s. sesudah Allah swt menyelamatkannya dari dalam sumur, membebaskan dari fitnah istri al-’Aziz dan perempuan-perempuan lainnya, membebaskan dari penderitaan dalam penjara, dan menganugerahinya pangkat dan kedudukan sesudah bebas dari semua tuduhan yang ditujukan kepadanya. Yusuf segera berdoa memohon kepada Allah swt supaya dilipatgandakan pahalanya di akhirat kelak sebagaimana dilipatgandakan karunia yang diterimanya di dunia.

Yusuf berkata, “Ya Tuhanku, Engkau telah menganugerahkan kepadaku kedudukan dan kekuasaan, mengajarkan kepadaku takbir mimpi, dan memberitahukan kepadaku hal-hal yang akan terjadi di kemudian hari dan rahasia-rahasia yang terkandung di dalam wahyu-Mu. Ya Allah! Engkaulah Pencipta langit dan bumi ini, menciptakan keduanya dengan baik dan teratur, kokoh dan rapi, Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat, melindungiku dari maksud jahat orang-orang yang memusuhiku dan orang-orang yang ingin berbuat jahat kepadaku. Ya Allah Yang Mahakuasa! Wafatkanlah aku dalam keadaan Islam, sesuai dengan wasiat leluhurku yang berbunyi:

وَوَصّٰى بِهَآ اِبْرٰهٖمُ بَنِيْهِ وَيَعْقُوْبُۗ يٰبَنِيَّ اِنَّ اللّٰهَ اصْطَفٰى لَكُمُ الدِّيْنَ فَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ ۗ

Dan Ibrahim mewasiatkan (ucapan) itu kepada anak-anaknya, demikian pula Yakub, “Wahai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini untukmu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim. (al-Baqarah/2: 132)

Yusuf melanjutkan doanya dengan mengatakan, “Ya Allah Ya Tuhanku! Masukkanlah aku ke dalam kelompok orang-orang yang saleh dari leluhur kami seperti Nabi Ibrahim, Ismail, dan Ishak, begitu pula dengan para nabi dan rasul sebelumnya. Engkaulah Maha Pengasih, Maha Pemurah, dan Mahakuasa atas segala sesuatu.”

(Tafsir Kemenag)


Baca Selanjutnya: Tafsir Surah Yusuf ayat 102-108

Tafsir Surah Luqman ayat 14

0
Tafsir Surah Luqman
Tafsir Surah Luqman

Tafsir Surah Luqman ayat 14 ini berisi perintah Allah kepada manusia untuk berbakti kepada kedua orangtua, baik itu ibu maupun ayah. Dijelaskan pula alasan mengapa perlu berbakti kepada ibu dan ayah dalam Tafsir Surah Luqman ayat 14 ini. Selengkapnya baca Tafsir Surah Luqman ayat 14…


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Luqman ayat 7-11


Ayat 14

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kepada manusia agar berbakti kepada kedua orang tuanya dengan berusaha melaksanakan perintah-perintahnya dan mewujudkan keinginannya. Pada ayat-ayat lain, Allah juga memerintahkan yang demikian, firman-Nya:

وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ;

Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. (al-Isra’/17: 23)

Hal-hal yang menyebabkan seorang anak diperintahkan berbuat baik kepada ibu adalah:

  1. Ibu mengandung seorang anak sampai ia dilahirkan. Selama masa mengandung itu, ibu menahan dengan sabar penderitaan yang cukup berat, mulai pada bulan-bulan pertama, kemudian kandungan itu semakin lama semakin berat, dan ibu semakin lemah, sampai ia me-lahirkan. Kekuatannya baru pulih setelah habis masa nifas.
  2. Ibu menyusui anaknya sampai usia dua tahun. Banyak penderitaan dan kesukaran yang dialami ibu dalam masa menyusukan anaknya. Hanya Allah yang mengetahui segala penderitaan itu.;Dalam ayat ini yang disebutkan hanya alasan mengapa seorang anak harus taat dan berbuat baik kepada ibunya, tidak disebutkan apa sebab-nya seorang anak harus taat dan berbuat baik kepada bapaknya. Hal ini menunjukkan bahwa kesukaran dan penderitaan ibu dalam mengandung, memelihara, dan mendidik anaknya jauh lebih berat bila dibandingkan dengan penderitaan yang dialami bapak dalam memelihara anaknya. Penderitaan itu tidak hanya berupa pengorbanan sebagian dari waktu hidupnya untuk memelihara anaknya, tetapi juga penderitaan jasmani dan rohani. Seorang ibu juga menyediakan zat-zat penting dalam tubuhnya untuk makanan anaknya selama anaknya masih berupa janin di dalam kandungan.

Sesudah lahir ke dunia, sang anak itu lalu disusukannya dalam masa dua tahun (yang utama). Air susu ibu (ASI) juga terdiri dari zat-zat penting dalam darah ibu, yang disuguhkan dengan kasih sayang untuk dihisap oleh anaknya. Dalam ASI ini terdapat segala macam zat yang diperlukan untuk pertumbuhan jasmani dan rohani anak, dan untuk men-cegah segala macam penyakit. Zat-zat ini tidak terdapat pada susu sapi.

Oleh sebab itu, susu sapi dan yang sejenisnya tidak akan sama mutunya dengan ASI. Segala macam susu bubuk atau susu kaleng tidak ada yang sama mutunya dengan ASI.

Seorang ibu sangat dihimbau untuk menyusui anaknya dengan ASI. Janganlah ia menggantinya dengan susu bubuk, kecuali dalam situasi yang sangat memaksa. Mendapatkan ASI dari ibunya adalah hak anak, dan menyusukan anak adalah suatu kewajiban yang telah dibebankan Allah kepada ibunya.

Dalam ayat ini, Allah hanya menyebutkan sebab-sebab manusia harus taat dan berbuat baik kepada ibunya. Nabi saw sendiri memerintahkan agar seorang anak lebih mendahulukan berbuat baik kepada ibunya daripada kepada bapaknya, sebagaimana diterangkan dalam hadis:

عَنْ بَهْزِ بْنِ حَكِيْمٍ عَنْ اَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ: قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ مَنْ اَبَرُّ قَالَ اُمُّكَ قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ اُمُّكَ قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ اُمُّكَ قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ اَبُوْكَ ثُمَّ اْلاَقْرَبُ فَاْلاَقْرَبُ. (رواه ابو داود والترمذي)

Dari Bahz bin Hakim, dari bapaknya, dari kakeknya, ia berkata, “Aku bertanya ya Rasulullah, kepada siapakah aku wajib berbakti?” Rasulullah menjawab, “Kepada ibumu.” Aku bertanya, “Kemudian kepada siapa?” Rasulullah menjawab, “Kepada ibumu.” Aku bertanya, “Kemudian kepada siapa lagi?” Rasulullah menjawab, “Kepada ibumu.” Aku bertanya, “Kemudian kepada siapa lagi?” Rasulullah menjawab, “Kepada bapakmu. Kemudian kepada kerabat yang lebih dekat, kemudian kerabat yang lebih dekat.” (Riwayat Abu Dawud dan at-Tirmidzi)

Adapun tentang lamanya menyusukan anak, Al-Qur’an memerintahkan agar seorang ibu menyusukan anaknya paling lama dua tahun, sebagaimana yang diterangkan dalam ayat ini, dengan firman-Nya, “dan menyapihnya dalam masa dua tahun.”

Dalam ayat lain, Allah menentukan masa untuk menyusukan anak itu selama dua tahun. Allah berfirman:

وَالْوَالِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَ

Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. (al-Baqarah/2: 233)

Firman-Nya lagi:

وَحَمْلُهٗ وَفِصٰلُهٗ ثَلٰثُوْنَ شَهْرًا

Masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan. (al-Ahqaf/46: 15)

Pengertian ayat di atas adalah waktu yang dibutuhkan seorang ibu mengandung anaknya minimal enam bulan, dan masa menyusui dua puluh empat bulan atau dua tahun. Jika keduanya dijumlahkan akan ketemu bilangan 30 bulan.

Al-Qur’an mengajarkan bahwa seorang ibu hendaknya menyusui anaknya dalam masa dua tahun. Pada ayat 233 surah al-Baqarah diterangkan bahwa masa menyusui dua tahun itu adalah bagi seorang ibu yang hendak menyusukan anaknya dengan sempurna. Maksudnya, bila ada sesuatu halangan, atau masa dua tahun itu dirasakan amat berat, maka boleh dikurangi.

Masa menyusui dua tahun mengandung hikmah lainnya, yaitu untuk menjarangkan kelahiran. Dengan menjalankan pengaturan yang alami ini, seorang ibu hanya akan melahirkan paling cepat sekali dalam masa tiga tahun, atau kurang sedikit. Sebab dalam masa menyusui, seorang perempuan pada umumnya sukar untuk hamil kembali.

Kemudian Allah menjelaskan bahwa maksud dari “berbuat baik” dalam ayat ini adalah agar manusia selalu bersyukur setiap menerima nikmat-nikmat yang telah dilimpahkan kepada mereka, dan bersyukur pula kepada ibu bapak karena keduanya yang membesarkan, memelihara, dan mendidik serta bertanggung jawab atas diri mereka, sejak dalam kandungan sampai mereka dewasa dan sanggup berdiri sendiri.

Masa membesarkan anak merupakan masa sulit karena ibu bapak menanggung segala macam kesusahan dan penderitaan, baik dalam menjaga maupun dalam usaha mencarikan nafkah anaknya.

Ibu-bapak dalam ayat ini disebut secara umum, tidak dibedakan antara ibu bapak yang muslim dengan yang kafir. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa  anak wajib berbuat baik kepada ibu bapaknya, apakah ibu bapaknya itu muslim atau kafir.

Di samping apa yang disebutkan di atas, masih ada beberapa hal yang mengharuskan anak menghormati dan berbuat baik kepada ibu bapak, antara lain:

  1. Ibu dan bapak telah mencurahkan kasih sayangnya kepada anak-anaknya. Cinta dan kasih sayang itu terwujud dalam berbagai bentuk, di antaranya ialah membesarkan, mendidik, menjaga, dan memenuhi keinginan-keinginan anaknya. Usaha-usaha yang tidak mengikat itu dilakukan tanpa mengharapkan balasan apa pun dari anak-anaknya, kecuali agar mereka di kemudian hari menjadi anak yang berguna bagi agama, nusa, dan bangsa.
  2. Anak adalah buah hati dan jantung dari ibu bapaknya, seperti yang disebutkan dalam suatu riwayat bahwa Rasulullah bersabda, “Fatimah adalah buah hatiku.”
  3. Sejak dalam kandungan, lalu dilahirkan ke dunia hingga dewasa, kebutuhan makan, minum, pakaian, dan keperluan lain anak-anak ditanggung oleh ibu bapaknya.

Dengan perkataan lain dapat diungkapkan bahwa nikmat yang paling besar yang diterima oleh seorang manusia adalah nikmat dari Allah, kemudian nikmat yang diterima dari ibu bapaknya. Itulah sebabnya, Allah meletakkan kewajiban berbuat baik kepada kedua ibu bapak, sesudah kewajiban beribadah kepada-Nya.

Pada akhir ayat ini, Allah memperingatkan bahwa manusia akan kembali kepada-Nya, bukan kepada orang lain. Pada saat itu, Dia akan memberikan pembalasan yang adil kepada hamba-hamba-Nya. Perbuatan baik akan dibalas pahala yang berlipat ganda berupa surga, sedangkan perbuatan jahat akan dibalas dengan azab neraka.

(Tafsir Kemenag)


Baca Selanjutnya: Tafsir Surah Luqman ayat 15-17


Tafsir Ahkam: Tiba Ramadhan, Ini Hukum yang Belum Bayar Utang Puasa

0
Hukum yang Belum Bayar Utang Puasa
Hukum yang Belum Bayar Utang Puasa

Ada banyak hal yang dapat membuat tidak dapat berpuasa Ramadhan, baik itu karena menstruasi, sakit dan lain sebagainya, sehingga menyebabkan adanya hutang puasa. Dan perlu membayarkan ketika selesai berhalangan. Nah, apakah hutang puasa tersebut harus segera bayar selesai bulan ramadhan? dan apa konskwensinya apabila belum bayar utang puasa sebelumnya higga datangnya bulan Ramadhan berikutnya?

Baca juga: Tafsir Ahkam: Bolehkah Itikaf Tidak di Masjid?

Ayat Tentang Melunasi Utang Puasa Sebab Udzur

Hukum terkait tatacara melunasi hutang puasa di dalam Al-Qur’an merujuk pada Surat Al-Baqarah ayat 184 dan 185 yang memiliki redaksi hampir sama. Allah berfirman di ayat 184:

اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗوَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗ ۗوَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

 (Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka, siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, itu lebih baik baginya dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui (QS. Al-Baqarah [2] :184).

Imam Al-Qurthubi di dalam tafsirnya menyatakan, redaksi “pada hari-hari yang lain” di ayat di atas menunjukkan bahwa mengqada atau melunasi utang puasa tidak memiliki aturan waktu tertentu. Sebab redaksi tersebut menunjuk waktu secara umum tanpa menentukan satu waktu tertentu. Sehingga seakan-akan yang diinginkan adalah yang terpenting dilunasi di lain waktu (Tafsir Al-Qurthubi/2/282).

Meski di dalam Al-Qur’an tidak ada batas waktu untuk melunasi utang puasa, dengan beberapa pertimbangan dari hadis nabi dan yang lainnya, mayoritas ulama’ menyatakan bahwa batas melunasi utang puasa adalah sampai rentang waktu yang dapat digunakan melunasi puasa, sebelum datang Ramadhan berikutnya. Sehingga apabila puasa yang terhutang ada sepuluh hari, maka batas mengakhirkan puasa adalah sepuluh hari sebelum Ramadhan berikutnya. Apabila tidak dilunasi sampai batas waktu yang ditentukan, padahal tidak ada udzur yang menyertainya, ia dianggap berdosa.

Baca juga: Tafsir Q.S. Ali Imran [3]: 145: Menyoal Kematian dan Ragam Motif di Balik Amal

Selain itu, ulama’ juga menganjurkan agar uutang puasa harus segera dilunasi. Hal ini untuk mengantisipasi hal-hal di luar dugaan sebagaimana meninggal sebelum sempat melunasinya. Bahkan Mazhab Hanafiyah saja yang menyatakan bahwa orang yang mengakhirkan puasa sampai melewati Ramadhan berikutnya tanpa udzur ia dianggap tidak berdosa, menganjarkan agar melunasi puasa hendaknya dilakukan segera (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah/2/3417).

Konsekwensi Telat Melunasi Hutang Puasa

Apa konsekwensinya bila kita tidak melunasi utang puasa sampai Ramadhan berikutnya? Apabila hal itu disebabkan udzur, seperti sakit yang berlanjut sampai Ramadhan berikutnya, maka ia hanya memiliki kewajiban mengqada puasa saja usai Ramadhan berikutnya. Apabila tidak memiliki udzur, maka menurut Mazhab Syafiiyah, Malikiyah dan Hanbaliyah, disamping mangqada puasa ia juga wajib membayar fidyah sejumlah satu mud untuk tiap satu hari puasa (Al-Bayan/3/541).

Bahkan manurut pendapat yang kuat dalam Mazhab Syafiiyah, jumlah fidyah yang ia tanggung berlipat ganda sejumlah Ramadhan yang diliwati. Maka apabila tidak bisa melunasi hutang puasa sejumlah 5 hari sampai 3 Ramadhan berikutnya, maka jumlah fidyahnya adalah: 5 (hari puasa) x 3 (Ramadhan yang terlewati) = 15 mud. Apabila 1 mud adalah 6 ons, maka 15 mud = 90 ons atau 9 Kg beras yang wajib ia bayarkan (Al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab/6/366).

Baca juga: Hikmah Disandingkannya Ayat Tentang Itikaf dan Puasa Di dalam Al-Qur’an

Perlulah diingat bahwa hukum di atas berkaitan orang yang memiliki hutang puasa sebab adanya udzur semacam sakit dan selainnya. Menurut ulama’ ia dianjurkan untuk segera melunasi hutangnya. Dan ia diperbolehkan mengakhirkan sampai waktu yang cukup untuk melunasi puasa sebelum Ramadhan berikutnya. Apabila sampai melewati ramadhan berikutnya, apabila sebab udzur maka tidak ada kewajiban lain. Apabila tidak ada udzur, menurut mayoritas ulama kewajibannya bertambah dengan membayar 1 mud untuk tiap harinya. Wallahu a’lam bish showab.

Ramadhan sebagai Bulan Pewahyuan Al-Qur’an Perspektif Ibnu Ishaq

0
Ibnu Ishaq
Ramadhan sbh Bulan Al-Quran perspektif Ibnu Ishaq

Dalam konteks sejarah Islam, Ibnu Ishaq menjadi tokoh penting (bahkan utama) yang mesti dijadikan rujukan utama dalam memahami sejarah Islam. Ibnu Ishaq merupakan tabi’in yang sekaligus termasuk sejarawan muslim paling awal. Karyanya, Sirah Ibnu Ishaq (1990), adalah salah satu buku primer untuk memahami sejarah kenabian Muhammad SAW, termasuk pewahyuan Al-Qur’an.

Pewahyuan Al-Qur’an yang dipaparkan oleh Ibnu Ishaq dapat dibagi menjadi dua perspektif, yakni sejarah dan teologis. Dari perspektif sejarah, pewahyuan Al-Qur’an didasarkan pada sejarah kenabian awal Muhammad SAW. Sementara dari perspektif teologis, pewahyuan Al-Qur’an didasarkan dalil-dalil Al-Qur’an.

Dalam memaparkan Ramadhan dan awal pewahyuan Al-Qur’an, penulis merujuk kepada buku Sirah Nabawiyah Ibnu Ishaq yang disyarahi dan ditahqiq oleh Ibnu Hisyam (w. 218 H). Selain itu, bahasan tentang awal pewahyuan Al-Qur’an dilatarbelakangi oleh sejarah kenabian Nabi Muhammad SAW. Karena itu, penulis akan memaparkan sejarah kenabian Muhammad yang darinya akan terlihat mengapa Ramadhan dipilih menjadi bulan pewahyuan Al-Qur’an.

Ibnu Ishaq dan Sejarah Kenabian Nabi Muhammad saw

Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasir (w. 153 H) lahir sekitar tahun 85 H/ 704 M di Mekkah, merupakan salah satu tabi’in yang terkenal menulis Sirah Nabawiyyah li Ibnu Ishaq. Sebenarnya, buku ini tidak hanya memuat biografi Nabi Muhammad SAW, melainkan juga tentang kehidupan bangsa Arab sebelum kelahiran, bahkan setelah kematian Nabi Muhammad saw.

Model penulisan sejarah seperti ini umum ditemukan dalam pembahasan buku-buku sejarah Nabi Muhammad SAW, yang menunjukkan bahwa sejarah Nabi Muhammad saw tidak dapat dilepaskan dari sejarah Arab sebelum dan setelah kehadirannya. Ini penting dipahami, minimal, untuk menyadari peran berbagai aspek kehidupan bangsa Arab dalam keberadaan Nabi Muhammad saw, Islam, termasuk pewahyuan Al-Qur’an.

Awal pewahyuan Al-Qur’an menunjukkan awal kenabian Nabi Muhammad saw itu sendiri. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Untuk memahami awal pewahyuan, maka perlu masuk dalam sejarah kehidupan Nabi Muhammad. Di sini, Ibnu Ishaq mengatakan bahwa Muhammad menjadi seorang Nabi terjadi di umur 40 tahun.

Informasi kenabian ini sebenarnya telah dikabarkan kepada para Nabi terdahulu. Para Nabi tersebut pun juga diperintahkan untuk mengabarkan berita kenabian Nabi Muhammad saw kepada umatnya, sebagaimana dikatakan dalam QS. Ali Imran [3]: 81.

Ada beberapa tanda kenabian yang diinfokan Ibnu Ishaq, seperti mimpi yang sangat nyata (seperti realita) yang dialami Nabi Muhammad saw. Tatkala Nabi Muhammad saw berjalan melewati bongkahan batu dan pepohanan, maka bebatuan dan pepohonan tersebutpun menyapanya “Assalamu alaika ya Rasulullah”.

Keadaan seperti terus dialami oleh Nabi Muhammad saw, hingga beliau didatangi oleh malaikat Jibril pada malam Ramadhan di gua Hira. Ibnu Ishaq, dengan mengutip riwayat Wahb ibn Kaisan, mengatakan bahwa Muhammad suka menyendiri (tahannuts) di Gua Hira sebulan (bulan Ramadhan) setiap tahunnya, di gua Hira, hingga diwahyukannya Al-Qur’an.

Al-Qur’an yang Diwahyukan pada Bulan Ramadhan

Sebenarnya, Ramadhan bukan hanya menjadi bulan pewahyuan Al-Qur’an, tetapi juga kitab-kitab lainnya. Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa Ramadhan dikhususkan oleh Allah SWT sebagai bulan diturunkannya Al-Qur’an dan kitab-kitab lainnya. Pendapat Ibnu Katsir merujuk pada hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad ibn Hambal:

…Rasulullah SAW pernah bersabda: Lembaran-lembaran Nabi Ibrahim diturunkan pada permulaan malam Ramadhan dan kitab Taurat diturunkan pada tanggal enam Ramadhan, dan kitab Injil diturunkan pada tanggal tiga belas Ramadhan, sedangkan Al-Qur’an diturunkan pada tanggal dua puluh empat Ramadhan.

Dalam konteks Al-Qur’an, Ibnu Ishaq mengatakan bahwa fakta sejarah memperlihatkan bahwa wahyu pertama yang disampaikan pada bulan Ramadhan di gua Hira adalah QS. Al-Alaq: 1-5. Pandangan ini sebagaimana merujuk pada hadis-hadis yang banyak dirujuk oleh ulama Al-Qur’an-Tafsir. Ibnu Ishaq, dengan mengutip hadis pewahyuan QS. Al-Alaq: 1-5 tersebut, memaparkan bahwa ketika Nabi Muammad SAW keluar dari gua Hira, terdengar suara “wahai Muhammad, engkau adalah utusan Allah sedangkan aku adalah Jibril”.

Selain fakta sejarah, Ibnu Ishaq juga memaparkan dalil-dalil Al-Qur’an yang dinilainya terkait pewahyuan Al-Qur’an pertama kali terjadi pada bulan Ramadhan. Dalil Al-Qur’an yang dimaksud adalah QS. Al-Baqarah [2]: 185, sebagaimana sebagian terjemahannya “bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan Al-Qur’an…”; QS. Al-Qadr [97]: 1-5, yang sebagian terjemahannya adalah “sesungguhnya Kami telah menurunkan (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan …”.

Dalil lainnya adalah QS. Al-Dukhan [43]: 1-5, yang sebagian terjemahannya adalah “… Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Qur’an) pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan …”; dan QS. Al-Anfal [8]: 41, yang terjemahannya adalah “Jika kalian beriman kepada Allah SWT dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan”.

Khusus ayat terakhir, QS. Al-Anfal [8]: 41, Ibnu Ishaq mengatakan bahwa ayat ini terkait berperangnya Nabi Muhammad SAW melawan kaum Musyrikin pada perang Badar. Perang tersebut berlangsung pada tanggal 17 Ramadhan. Lebih jauh, Ibnu Ishaq mengatakan bahwa Al-Qur’an diwahyukan secara bertahap-tahap, dan selama itu juga Nabi Muhamamd SAW menerimanya sepenuh hati dan raganya.

Paparan Ibnu Ishaq di atas menginformasikan bahwa bulan Ramadhan sangat dekat dengan proses pewahyuan Al-Qur’an. Dengan segala keadaannya, Ramadhan telah dipersiapkan sebagai bulan diwahyukannya Al-Qur’an, terutama wahyu pertama. Hal ini dapat berdasarkan fakta sejarah serta dalil-dalil Al-Qur’an, yang karenanya tidak heran jika Ramadhan menjadi bulan terpenting bagi umat Islam sepanjang masa dan tempat. [] Wallahu A’lam.