Beranda blog Halaman 332

Tafsir Surah Yusuf ayat 86-94

0
Tafsir Surah Yusuf
Tafsir Surah Yusuf

Tafsir Surah Yusuf ayat 86-94 mengulas pertemuan Yusuf dan Bunyamin serta Yaqub yang sangat bersedih karena telah kehilangan Yusuf, Bunyamin maupun Yahuda. Dalam Tafsir Surah Yusuf ayat 86-94 ini juga dikisahkan bahwa akhirnya Yusuf membuka identitas dirinya kepada para saudara-saudaranya. Selengkapnya baca Tafsir Surah Yusuf ayat 86-94 di bawah ini…


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Yusuf ayat 78-85


Ayat 86

Pada ayat ini, Allah menceritakan jawaban Nabi Yakub kepada anak-anaknya. Ia berkata, “Wahai anak-anakku janganlah kalian mencela dan mencercaku. Aku tidak pernah mengadu kepadamu sekalian, begitu juga kepada manusia yang lain tentang kesedihan dan kesusahanku. Aku mengadu dan menyampaikan keluhan atas musibah yang menimpaku hanya kepada Allah swt. Kepada-Nya aku meminta perlindungan dan memohon untuk menghilangkan kesusahan dan kesedihan itu. Biarkanlah aku bermunajat dengan Tuhanku. Aku mengetahui dari wahyu yang diberikan Allah kepadaku bahwa Yusuf itu masih hidup dan tetap memperoleh rezeki. Ia adalah manusia pilihan Allah. Dia akan menyempurnakan nikmat-Nya kepada Yusuf dan keluarga Yakub. Semua itu tidak kalian ketahui, bahkan mengira bahwa Yusuf itu telah mati.”

Ayat 67

Selanjutnya Yakub berkata kepada anak-anaknya bahwa ia tahu bahkan yakin mimpi Yusuf dulu itu benar dan ia akan sujud menghormatinya. Kalau mereka berpendapat lain, Yakub mengingatkan anak-anaknya bahwa satu saat Allah swt akan memperlihatkan kebenaran pendapatnya itu. Untuk itu, ia meminta anak-anaknya untuk kembali ke Mesir menyelidiki sampai mendapat berita yang pasti tentang Yusuf dan adiknya Bunyamin serta tidak berputus asa karena Allah telah berfirman:

 وَمَنْ يَّقْنَطُ مِنْ رَّحْمَةِ رَبِّهٖٓ اِلَّا الضَّاۤلُّوْنَ

Tidak ada yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali orang yang sesat. (al-Hijr/15:56)

Orang-orang mukmin tidak akan berputus asa karena musibah yang menimpanya, dan tidak goyah imannya karena bahaya yang melanda. Mereka bersabar dan tabah menghadapi segala kesulitan yang dialaminya. Ia dengan rela penuh ikhlas menerima takdir dari Allah swt dengan keyakinan bahwa suatu saat nanti Allah akan menghilangkan semua kesulitan itu, sebagaimana firman-Nya:

اِنَّ اللّٰهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْاۗ ࣖ

Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang telah beriman. (al-Hajj/22: 38)

Ayat 88

Tafsir Surah Yusuf ayat 86-94 khususnya dalam ayat 88 ini diterangkan bahwa setelah saudara-saudara Yusuf menerima anjuran dari ayahnya untuk kembali ke Mesir, mereka lalu berangkat. Sesampainya di Mesir, mereka masuk ke istana Yusuf dengan segala kerendahan diri. Mereka ingin mengetahui kebenaran keyakinan ayahnya yang pernah mengatakan bahwa al-’Aziz itu adalah Yusuf.

Mereka berkata kepada al-’Aziz bahwa mereka ditimpa musibah kelaparan sehingga mereka menjadi kurus dan lemah karena kekurangan makanan, sedangkan keluarga mereka tidak sedikit. Mereka mengadukan halnya itu kepada al-’Aziz, dengan maksud untuk mengetahui keadaan Yusuf dan Bunyamin. Mereka juga mengemukakan bahwa mereka datang membawa dagangan yang jelek dan rendah mutunya, sehingga mungkin tidak ada pedagang yang mau menawarnya. Mereka berharap agar al-’Aziz mau menolong mereka dengan menyempurnakan takaran dagangannya tanpa mempertimbangkan kejelekannya. Kekurangan yang harus mereka bayar kepadanya agar disedekahkan saja kepada mereka.

Allah membalas budi baik seseorang yang suka bersedekah dan Dia pulalah yang akan mengganti segala apa yang telah disedekahkan dan diinfakkan itu, sebagaimana firman-Nya:

 وَمَآ اَنْفَقْتُمْ مِّنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهٗ ۚوَهُوَ خَيْرُ الرّٰزِقِيْنَ

Dan apa saja yang kamu infakkan, Allah akan menggantinya, dan Dialah pemberi rezeki yang terbaik. (Saba’/34: 39)

Ayat 89

Setelah anak-anak Yakub mengemukakan alasan-alasan mereka kembali ke Mesir, Yusuf menjawabnya dengan mengingatkan mereka atas kejahatan yang telah mereka lakukan terhadap Yusuf dan Bunyamin, adiknya. Yusuf juga mengatakan bahwa apa yang mereka perbuat kepada diri dan adiknya adalah perbuatan yang sangat jelek atau buruk. Mungkin karena kejahilan mereka pada waktu itu, mereka tidak mengetahui dan merasakan buruknya perbuatan itu walaupun bertentangan dengan syariat agama serta melanggar kewajiban berbuat baik kepada kedua orang tua dan perintah bergaul dengan baik terhadap karib kerabat. Ini adalah realisasi dari apa yang telah Allah wahyukan kepada Yusuf ketika ia dilemparkan ke dalam sumur oleh saudara-saudaranya sebagaimana firman Allah swt:

وَاَوْحَيْنَآ اِلَيْهِ لَتُنَبِّئَنَّهُمْ بِاَمْرِهِمْ هٰذَا وَهُمْ لَا يَشْعُرُوْنَ

Kami wahyukan kepadanya, ”Engkau kelak pasti akan menceritakan perbuatan ini kepada mereka, sedang mereka tidak menyadari. (Yusuf/12: 15)

Ayat 90

Setelah mendengar ucapan Yusuf, timbullah di hati mereka kesadaran bahwa yang di hadapan mereka itu adalah Yusuf. Untuk menguatkan dugaannya, mereka mengajukan pertanyaan dengan penuh rasa heran, “Apakah kamu ini benar-benar Yusuf?” Dua tahun lebih mereka bolak-balik bertemu Yusuf tetapi tidak mengenalinya. Sebaliknya, Yusuf mengenali mereka, namun ia sembunyikan dalam hati. Pertanyaan mereka dijawab oleh Yusuf dengan mengatakan, “Aku ini adalah Yusuf yang telah kalian aniaya dengan penganiayaan yang cukup berat. Allah swt telah menolongku dan memuliakanku sampai memberiku pangkat yang tinggi. Aku tidak berdaya sama sekali ketika kalian berencana untuk membunuh dan membuangku ke dasar sumur yang dalam. Dan ini adikku, Bunyamin, yang telah kalian pisahkan dari aku, yang kemudian Allah swt memberikan karunia kepadanya sebagaimana kalian lihat. Allah swt melimpahkan karunia-Nya kepada kami berdua, menyatukan kami kembali sesudah berpisah sekian lama, memuliakan kami sesudah dihina, dan menyelamatkan kami dari segala ujian dan cobaan.

Agama telah menetapkan dan pengalaman telah membuktikan bahwa orang yang bertakwa kepada Allah swt dengan mengerjakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya serta selalu sabar menghadapi ujian dan cobaan yang menimpanya serta tipu daya setan dan hawa nafsu yang selalu menggodanya, Allah tidak akan menyia-nyiakan balasan amalnya itu di dunia, lebih-lebih di akhirat. Di dunia diberi jalan keluar dari kesulitan yang dihadapinya serta diberi rezeki dari arah yang tidak diduga sebelumnya, dan di akhirat diberi pahala tanpa ada perhitungan. Firman Allah swt:

 وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًا ۙ٢وَّيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُۗ

Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya. Dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. (ath-Thalaq/65: 2-3);Dan firman-Nya:

اِنَّمَا يُوَفَّى الصّٰبِرُوْنَ اَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas. (az-Zumar/39: 10)

Ayat 91

Setelah Yusuf memberikan pengakuan siapa dirinya sebenarnya dan saudara-saudaranya telah meyakini bahwa al-’Aziz itu adalah Yusuf, mereka secara jujur mengakui kemuliaan yang diberikan Allah swt kepada Yusuf tentang kelebihan ilmunya, dan ketinggian akhlak yang dimilikinya. Mereka dengan terus terang juga mengakui kesalahan yang telah mereka perbuat kepada Yusuf dan Bunyamin dengan sengaja dan direncanakan sebelumnya. Suatu kesalahan yang tidak diampuni oleh Allah swt kecuali dengan taubat na¡uha (tobat yang sebenar-benarnya), dan tidak dapat dimaafkan kecuali dengan hati lapang dan budi luhur dari yang bersangkutan.

Ayat 92

Setelah mendengar pengakuan bersalah dari saudara-saudaranya secara terus terang, Yusuf sebagai seorang nabi, manusia pilihan yang mempunyai budi pekerti yang mulia, kesopanan yang tinggi, dengan tandas dan gamblang memaafkan segala kesalahan yang telah diperbuat kepadanya dan Bunyamin. Dia mendoakan semoga Allah swt mengampuni dosa saudara-saudaranya dengan syarat mereka mau bertobat dengan segala keikhlasan dan kerendahan hati, menyesali perbuatan buruk itu, bertekad tidak akan mengulanginya lagi, dan senantiasa berbuat baik, karena Allah adalah Maha Penyayang.

Budi pekerti yang mulia dan akhlak yang tinggi sebagaimana yang dimiliki Nabi Yusuf a.s. itu juga pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, yaitu ketika beliau dan bala tentaranya menaklukkan kota Mekah. Setelah Nabi Muhammad saw bertawaf dan kemudian salat sunat dua rakaat, beliau berdiri di samping Ka’bah menghadap para tawanan perang lalu berkata:

مَاذَا تَظُنُّوْنَ أَنِّي فَاعِلٌ بِكُمْ قَالُوْا نَظُنُّ خَيْراً أَخٌ كَرِيْمٌ وَابْنُ أَخٍ كَرِيْمٍ فَقَالَ: وَأَنَا أَقُوْلُ كَمَا قَالَ أَخِى يُوْسُف: قَالَ لاَ تَثْرِيْبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ. فَخَرَجُوْا كَأَنَّمَا حُشِرُوْا مِنَ الْقُبُوْرِ. (رواه البخاري عن ابى هريرة)

Apakah perkiraanmu terhadap apa yang akan saya perbuat terhadap kalian? Para tawanan menjawab, “Kami hanya menyangka yang baik saja. Anda adalah saudara yang mulia dan anak saudara yang mulia.” Nabi saw berkata, “Saya akan mengatakan sebagaimana yang telah dikatakan oleh saudaraku Yusuf, “Tidak ada celaan, cercaan, dan kekerasan sekarang ini.” Maka keluarlah para tawanan itu (meninggalkan tempat) seakan-akan mereka dibangkitkan dari kubur. (Riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah)

Ayat 93

Setelah Yusuf menjelaskan siapa dirinya kepada saudara-saudaranya, dia lalu menanyakan kepada mereka tentang keadaan ayahnya. Mereka menjawab bahwa beliau tidak bisa melihat lagi. Seketika itu Yusuf memberikan baju gamisnya kepada saudara-saudaranya agar dibawa pulang ke negerinya. Sesampainya di rumah, baju gamis itu agar segera disapukan ke wajah beliau, niscaya dia akan melihat kembali. Yusuf berkata demikian berdasarkan wahyu. Dia juga mengetahui bahwa penyebab tertutupnya penglihatan ayahnya ialah terlalu banyak menangis.

Apabila ayahnya mengetahui bahwa baju gamis itu adalah miliknya, yang menandakan bahwa ia masih hidup dan selamat dari aniaya dan cobaan yang dialaminya, tentu ayahnya akan senang dan timbul dalam hatinya perasaan gembira, dan akan melihat kembali seperti sediakala. Hal tersebut merupakan mukjizat bagi Nabi Yusuf. Ia juga meminta kepada saudaranya supaya mendatangkan segenap keluarganya ke Mesir, baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak, yang menurut suatu riwayat, semuanya berjumlah tujuh puluh orang.

Ayat 94

Tatkala barisan unta putra-putra Yakub keluar dari perbatasan negeri Mesir menuju tanah Syam, berkatalah Yakub kepada cucu-cucunya dan para kerabat yang berada di sampingnya pada waktu itu, “Aku telah mencium bau Yusuf yang wangi, seperti baunya yang pernah aku kenal di waktu kecilnya. Andaikata kalian tidak berburuk sangka kepadaku, menyangka bahwa aku lemah akal, rusak pikiran karena terlalu tua, tentunya kalian akan membenarkan ucapanku ini bahwa aku benar-benar telah mencium bau Yusuf, dan dia masih hidup. Tidak lama lagi aku akan berjumpa dengannya dan merasa senang melihatnya.” Ini adalah suatu mukjizat bagi Yakub yang dapat mencium bau Yusuf dari tempat yang amat jauh, kira-kira delapan hari perjalanan unta waktu itu.

(Tafsir Kemenag)


Baca Selanjutnya: Tafsir Surah Yusuf ayat 95-101


Tafsir Surah Luqman ayat 7-11

0
Tafsir Surah Luqman
Tafsir Surah Luqman

Tafsir Surah Luqman ayat 7-11 menerangkan sifat-sifat orang yang menukar kitab-kitab Allah dengan dongengan yang tidak berguna. Selain itu Tafsir Surah Luqman ayat 7-11 juga mengulas orang-orang beriman yang mengerjakan kebajikan serta ganjaran yang akan diperoleh oleh orang-orang beriman.

Tafsir Surah Luqman ayat 7-11 khususnya pada ayat 10-11 Allah memberi tanda-tanda kekuasaan-Nya yang ada di semesta alam ini yang bisa dibaca lebih lengkap dalam Tafsir Surah Luqman ayat 7-11 di bawah ini….


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Luqman ayat 1-6


Ayat 7

Pada ayat ini, Allah menerangkan sifat-sifat orang-orang yang menukar kitab-kitab Allah dengan dongengan-dongengan yang tidak berguna. Apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, mereka membelakanginya dengan sikap angkuh dan sombong, seakan-akan mereka tidak mendengarnya karena telinga mereka telah tersumbat dan tuli.

Pada ayat yang lain Allah berfirman:

ۗ قُلْ هُوَ لِلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا هُدًى وَّشِفَاۤءٌ ۗوَالَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ فِيْٓ اٰذَانِهِمْ وَقْرٌ وَّهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى

Katakanlah, “Al-Qur’an adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, dan (Al-Qur’an) itu merupakan kegelapan bagi mereka. (Fushshilat/41: 44)

Karena perbuatan itu, mereka akan mendapat azab yang pedih di akhirat. Itu sebagai balasan dari perbuatan dan tindakan mereka.

Ayat 8

Ayat ini menerangkan bahwa bagi orang-orang yang beriman kepada Allah, membenarkan para rasul, dan mengerjakan amal saleh, baik yang terdapat di dalam kitab yang diturunkan-Nya maupun yang disampaikan oleh rasul, menghentikan semua yang dilarang-Nya, tidak mendengarkan nyanyian, dongengan, dan segala macam bunyi-bunyian yang dapat merusak iman, mengurangi ketaatan, dan membawa ke jalan yang menjurus kepada perbuatan jahat, disediakan surga yang penuh kenikmatan. Di dalamnya terdapat segala macam kesenangan yang diinginkan, seperti makanan, minuman, pakaian, kamar-kamar, dan sebagainya.

Ayat 9

Mereka kekal di dalam surga itu selama-lamanya. Semua itu adalah janji Allah kepada makhluk-Nya, yang pasti terjadi, dan tidak akan dimungkiri sedikit pun. Di sisi lain, sangat keras pula azab yang ditimpakan-Nya kepada orang-orang yang berdosa dan menghalangi manusia menempuh jalan-Nya. Allah Maha Bijaksana dalam mengurus dan menyelesaikan segala urusan makhluk-Nya.


Baca Juga: Merenungi Tanda-Tanda Kekuasaan Allah di Surat Ar-Rum ayat 20-25


Ayat 10

Ayat ini menerangkan beberapa tanda dan bukti kekuasaan Allah yang terdapat di alam ini, yaitu:

  1. Menciptakan alam semesta dengan segala macam isinya, berupa planet-planet yang tidak terhitung jumlahnya. Planet-planet yang banyak itu merupakan bola-bola besar yang terapung di angkasa luas. Dalam ayat ini disebutkan “tanpa tiang sebagaimana kamu lihat”. Dari perkataan ini dapat dipahami bahwa langit itu mempunyai tiang, yakni satu kekuatan yang menopangnya dan berfungsi sebagai tiang, sehingga planet-planet itu tidak jatuh berserakan. Hanya orang-orang yang berilmulah yang dapat melihat tiang-tiang yang kukuh itu dengan ilmu batiniah mereka.
  2. Allah menciptakan gunung-gunung di permukaan bumi agar bumi itu stabil, tidak berguncang, sehingga manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan dapat hidup tenang di atasnya. Gunung itu seakan-akan merupakan pasak yang dapat mengokohkan permukaan bumi seperti halnya tiang-tiang kapal yang menjulang, yang dapat menstabilkan kapal itu berlayar dan berlabuh di tengah lautan, sehingga ia tidak oleng. Di samping itu, gunung juga mempunyai manfaat lain bagi manusia, di antaranya untuk mengatur pembagian dan penyaluran air hujan yang dicurahkan dari langit, sehingga air itu tetap ada di permukaan bumi meskipun musim kemarau. Banyak lagi manfaat gunung bagi manusia dan makhluk Allah yang lain.
  3. Allah menciptakan binatang yang tidak dapat dihitung jumlah dan jenisnya, bentuk dan warnanya, sejak dari yang besar sampai ke yang kecil sehingga tidak kelihatan oleh mata. Semua binatang yang diciptakan itu ada manfaat dan faedahnya. Kadang-kadang manusia, karena tidak mengetahui faedah dan guna binatang-binatang itu, mereka membunuh dan menumpasnya, sehingga tanpa mereka sadari timbullah kerusakan di alam ini. Akan tetapi, Allah mengetahui dengan pasti jumlah, jenis, warna, kegunaan, dan faedah semua binatang-binatang yang diciptakan-Nya itu.
  4. Allah menurunkan hujan dari langit. Hujan itu berasal dari awan yang dihalau-Nya ke suatu tempat tertentu, kemudian berubah menjadi hujan yang membasahi permukaan bumi. Dengan air hujan itu, tumbuhlah segala macam tumbuh-tumbuhan yang beraneka ragam, dengan warna yang indah dan manfaat yang banyak.;Menurut para saintis, langit dengan kenyataannya yang tampak, seluas mata memandang tidak sepotong tiang pun yang menyangganya. Logika manusia mengharuskan ada tiang penyangga agar tidak roboh. Akan tetapi, Allah dengan kekuasaan-Nya mampu berbuat di luar jangkauan logika manusia. Manusia dan semua makhluk yang hidup di bumi berada di bawah sistem gravitasi (gaya tarik) bumi. Dengan demikian, mereka bisa stabil mengerjakan pekerjaan mereka di bumi, tidak melayang-layang di udara.

Ketika keluar dari bumi memasuki alam yang tak bergravitasi, manusia pun tahu bahwa di sana semua benda menjadi melayang-layang tak berbobot, termasuk manusia sendiri. Sungguh mudah bagi Allah untuk membuat apa saja sesuai kehendak-Nya, termasuk membuat langit menjadi “ringan” tak berbobot sehingga tidak diperlukan tiang-tiang untuk menyangganya. Tapi dapat juga dianggap bahwa medan-medan gaya yang ada dalam alam semesta ini sebagai “tiang maya” yang tidak tampak oleh mata?

Ayat 11

Pada ayat ini, Allah menegaskan bahwa yang disebutkan pada ayat di atas itu adalah ciptaan Allah, baik yang ada di langit maupun di bumi. Tidak ada sesuatu pun yang bersekutu dengan Allah dalam menciptakan semua makhluk itu, dan tidak sesuatu pun yang berkuasa atasnya selain Allah. Segala keperluan untuk kelangsungan hidup makhluk itu, di mana ia dapat hidup dan di tempat mana ia akan mati, demikian pula tentang kegunaan dan bahaya yang dapat ditimbulkan makhluk itu, semuanya diketahui, diatur, dan dipelihara oleh Allah.

Kemudian Allah menantang orang-orang yang mempersekutukan-Nya, “Cobalah tunjukkan kepada-Ku apa yang telah diciptakan berhala-berhala dan patung-patung yang kamu sembah itu. Apakah patung-patung itu berbuat sesuatu sehingga dapat diyakini sebagai Tuhan selain Aku.”

Pada akhir ayat ini diterangkan bahwa orang-orang yang menyembah Tuhan selain Allah adalah orang yang bodoh, sesat, dan memperturutkan hawa nafsunya. Mereka adalah orang yang zalim kepada dirinya sendiri, sehingga mereka ditimpa azab karena memperturutkan hawa nafsunya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Selanjutnya: Tafsir Surah Luqman ayat 12-13


 

Kritik Muhammad Abduh Terhadap Metode Penafsiran Klasik

0
Muhammad Abduh
Muhammad Abduh

Muhammad Abduh adalah seorang pemikir muslim asal Mesir dan salah satu tokoh penggagas gerakan modernisme Islam. Ia dikenal sebagai seorang reformer yang menggaungkan pembaharuan pemikiran rasional lewat karya masterpiece-nya Risalah al-Tauhid. Selain itu, ia juga seorang aktivis penggerak yang selalu memompa semangat nasionalisme Arab.

Ide pembaharuan Muhammad Abduh datang dari pengalaman pribadinya berkenaan kondisi sosial, politik dan keagamaan masyarakat Mesir. Realitas itu membuatnya sadar bahwa keterbelakangan dan keterjajahan Islam tidak hanya disebabkan oleh faktor eksternal dari bangsa Barat, tetapi juga datang dari internal muslim itu sendiri seperti kejumudan dan dikotomi keilmuan (Pemikiran Islam Modern).

Karena alasan itulah, Muhammad Abduh getol untuk mengadakan perubahan-perubahan radikal dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Mesir, mulai dari bidang pendidikan, politik, hingga sosial keagamaan. Sebagai contoh, Ia mereformasi manajemen Universitas Al-Azhar yang merupakan sentral pendidikan Mesir agar dapat bersaing dengan kampus-kampus dunia lainnya.

Baca Juga: Muhammad Abduh: Mufasir Pelopor Pembaharuan Pemikiran di Dunia Islam

Dalam bidang sosial keagamaan, hal yang paling meresahkan bagi Muhammad Abduh adalah paham kejumudan, karena ini membuat masyarakat muslim tidak mau berubah dan bahkan cenderung menolak kemajuan peradaban. Dalam konteks ini, ia banyak mengkritik kecenderungan masyarakat terhadap mistis yang berlebihan (Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan).

Setidaknya ada tiga poin yang ingin ditekankan Muhammad Abduh dalam gagasannya berkenaan pembaharuan sosial keagamaan masyarakat Muslim, yakni: revitalisasi ajaran Islam agar tidak dipahami secara kaku dan statis; menegaskan pentingnya posisi akal dalam Islam dan fungsinya bagi kehidupan manusia; dan integrasi antara ajaran Islam dengan pengetahuan atau sains modern (Pioneer of Islamic Revival).

Klasifikasi Tafsir dan Plus-Minusnya Perspektif Muhammad Abduh

Salah satu aspek dari tradisi muslim – khususnya wilayah Mesir – yang diberi catatan kritis Muhammad Abduh adalah metode penafsiran Al-Qur’an. Ada banyak hal yang dikomentarinya, namun secara umum ia mengkritik penafsiran yang membuat makna serta tujuan Al-Qur’an terabaikan dan penafsiran yang lebih terfokus kepada hal-hal bersifat non-esensial.

Catatan kritis Muhammad Abduh terkait tafsir mulai dengan klasifikasi tafsir. Dalam muqaddimah Tafsir al-Manar – sebagaimana ditulis oleh Rasyid ridha – Abduh menuturkan bahwa selama ini tafsir Al-Qur’an setidaknya terbagi kepada delapan klasifikasi. Masing-masing klasifikasi mungkin memiliki kelebihan tersendiri, namun sering kali sama-sama meminggirkan makna hakiki Al-Qur’an.

Pertama, tafsir sastrawi. Penafsiran semacam ini menitikberatkan pada uslub al-Qur’an dan makna-makan balaghah yang terkandung di dalamnya sehingga terlihat perbedaan signifikan antara Al-Qur’an dengan kalam selainnya sebagaimana yang dilakukan al-Zamakhsyari. Kedua, tafsir i’rab al-Qur’an. Penafsiran ini sering kali hanya terfokus pada penjelasan i’rab al-Qur’an.

Ketiga, tafsir kisah. Penafsiran ini biasanya banyak menguraikan kisah-kiah Al-Qur’an secara luas berdasarkan buku-buku sejarah ataupun kisah-kisah israiliyyat. Catatan kritis Muhammad Abduh pada penafsiran ini adalah mufasirnya yang tidak merujuk pada sumber-sumber kredibel, mereka bahkan banyak mengutip kisah-kisah “tak jelas” tanpa membedakan dan menyeleksinya dengan baik (Tafsir al-Manar [1]: 17).

Maksud dari tanpa membedakan dan menyeleksi kisah-kisah dengan baik adalah mereka tidak mampu menentukan apakah kisah tersebut merupakan kebenaran atau kebohongan dan tidak mampu menyeleksi kisah-kisah yang bertentangan dengan akal sehat serta syariat. Singkatnya, pengadopsian kisah tersebut dilakukan secara semena-mena atau sembarangan, tanpa filter dan seleksi.

Keempat, tafsir garib al-Qur’an. Kelima, tafsir ahkam. Penafsiran ini menitik beratkan pada penggalian hukum dari ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam konteks ini, biasanya para mufasir mengumpulkan ayat-ayat berkenaan dengan tema tertentu dan menafsirkannya berdasarkan hukum fikih. Catatan kritis Muhammad Abduh terkait penafsiran ini adalah dominasi fikih yang berlebihan.

Keenam, tafsir teologis. Penafsiran ini biasanya berisi tentang dasar-dasar akidah Islam, perdebatannya dan pembelaan terhadap salah satu aliran. Ketujuh, tafsir mauizah. Penafsiran ini fokus pada aspek mauizhah dan keutamaan, namun sering kali berisi cerita fiktif tentang ketasawufan dan peribadatan sampai-sampai melupakan batasan fadhilah dan adab-abad yang telah diletakkan Al-Qur’an.

Kedelapan, tafsir isyari. Tafsir ini biasanya berisi tentang ajaran-ajaran tasawuf, mistis dan spiritualitas. Secara umum ada dua aliran tafsir isyari, yakni tafsir yang beraliran sufi (Sunni) dan tafsir yang beraliran batiniah (Syiah). Keduanya cukup identik sehingga orang terkadang salah membedakannya sebagaimana Tafsir al-Qasysyani al-Batini yang sering disangka sebagai karangan sufi kalangan Sunni.

Menurut catatan kritis Muhammad Abduh, semua klasifikasi tafsir di atas memiliki kekurangan yang sama, yakni kecenderungan berlebihan terhadap coraknya sampai-sampai mengabaikan makna hakiki Al-Qur’an. Sebagai contoh untuk memudahkan, jika seorang mufasir menafsirkan Al-Qur’an dengan corak fikih, maka yang sering terjadi adalah hadirnya dominasi fikih di atas penjelasan makna ayat (Tafsir al-Manar [1]: 18).

Muhammad Abduh bahkan mengatakan, “Sungguh Aku telah mengetahui bahwa kecenderungan pada satu tujuan dari sekian banyak tujuan membuat suatu penafsiran keluar atau menjauh dari maksud Al-Qur’an, mereka menyampaikan pandangan mazhab mereka sampai-sampai melupakan makna hakikat Al-Qur’an.” Artinya, intensitas narasi terhadap pandangan tertentu sering kali membuat mufasir lupa akan tujuan menafsirkan Al-Qur’an yang sesungguhnya.

Bagi Muhammad Abduh, yang semestinya dilakukan adalah memahami Al-Qur’an sebagai sebuah agama dan hidayah dari Allah swt kepada seluruh alam, yang menghimpun penjelasan tentang perkara-perkara kemaslahatan kehidupan manusia di dunia dan begitu pula kebahagiaan akhirat. Catatan kritis Muhammad Abduh ini mengingatkan kita bahwa Al-Qur’an berperan di dunia dan di akhirat, tidak hanya salah satunya.

Baca Juga: Pandangan Muhammad Ahmad Khalafullah Tentang Kisah Al-Quran

Lantas apakah menafsirkan Al-Qur’an dengan corak tertentu adalah sebuah kesalahan fatal dan seharusnya tidak dilakukan? Jawabannya, tidak demikian. Menurut Abduh seseorang boleh menafsirkan Al-Qur’an menggunakan pendekatan atau corak tertentu, hanya saja dengan catatan itu dilakukan secara proporsional atau seperlunya dalam rangka memahami makna hikiki Al-Qur’an.

Yang menjadi keresahan Abduh adalah penggunaan pendekatan atau kecenderungan tertentu dan penjelasan panjang lebar mengenainya – seperti permasalahan i‘rab, fikih, balaghah dan kisah – dapat membuat mufasir melupakan tujuan utama menafsirkan Al-Qur’an, yakni memahami kalam ilahi sebagaimana adanya dan mengimplementasikan esensinya dalam kehidupan sehari-hari. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Luqman ayat 1-6

0
Tafsir Surah Luqman
Tafsir Surah Luqman

Tafsir Surah Luqman ayat 1-6 dimulai dengan huruf hijaiyah “Alif Lam Mim”. Dijelaskan pula bahwa ayat al-Qur’an disusun dengan rapi dan juga teliti berasal dari berbagai bahasa yang sarat akan nilai sastra. Selain itu Tafsir Surah Luqman ayat 1-6 juga menegaskan bahwa al-Qur’an merupakan kitab petunjuk bagi manusia untuk mengarungi kehidupan di dunia.

Dalam Tafsir Surah Luqman ayat 1-6 khususnya pada ayat 4 dijelaskan ciri-ciri orang muhsin dan orang muhsin tersebut mendapatkan keberuntungan karena memperoleh hasil yang baik dan menyenangkan hatinya dari upayanya terus berbuat baik dan membuka hati terhadap petunjuk Allah. Selengkapnya baca Tafsir Surah Luqman ayat 1-6 di bawah ini…


Baca Juga: Nasihat-Nasihat Luqman al-Hakim Kepada Anaknya dalam Al Quran


Ayat 1

Surah Luqman ini dimulai dengan huruf-huruf hijaiyah “Alif Lam Mim”. Selanjutnya lihat tafsir Alif Lam Mim pada jilid I. Baca Tafsir Surah Al Baqarah ayat 1-2.

Ayat 2

Ayat ini menerangkan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an itu disusun dengan rapi dan teliti, dengan gaya bahasa yang tinggi nilai sastranya, dan dengan tujuan yang agung dan mulia bagi manusia yang mengikuti petunjuk-petunjuknya. Tidak terdapat di dalamnya cacat, cela, dan kekurangan walaupun sedikit. Juga tidak ada satu pun dari ayat-ayatnya yang bertentangan satu sama lain. Perintah-perintahnya mudah dilaksanakan oleh siapa pun, dalam keadaan bagaimanapun dan di mana pun ia berada.

Ayat 3

Ayat-ayat ini menegaskan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an berisi petunjuk-petunjuk bagi manusia dalam mengarungi semua sisi kehidupan di dunia yang mengantar dan memimpinnya mencapai kebahagiaan hidup di akhirat kelak.

Jika manusia membuka lembaran-lembaran sejarah dari zaman dahulu sampai sekarang, ia akan berkesimpulan bahwa dengan diutusnya Nabi Muhammad oleh Allah dengan membawa Al-Qur’an yang berisi pokok-pokok risalah yang dibawanya, maka terbukalah pintu-pintu kebajikan bagi semesta alam. Dengan hal itu, bertambah pulalah perkembangan ilmu pengetahuan dengan segala macam cabangnya.

Sekalipun telah ada kebudayaan yang tinggi sebagai hasil pemikiran manusia pada periode sebelum ini, seperti kebudayaan Mesir kuno, Babilonia, Yunani, dan sebagainya, namun semua itu belum mempunyai dasar-dasar yang kuat dan kukuh untuk mencapai perkembangan manusia lebih lanjut dan sempurna di kemudian hari.

Dalam bidang hidup dan kehidupan manusia, Al-Qur’an memberi petunjuk agar manusia menjaga keseimbangan antara kehidupan jasmani dan rohani, serta keseimbangan dalam mencapai kehidupan duniawi dan ukhrawi. Demikian pula dalam hidup bermasyarakat dan bernegara, apa yang halal dan baik untuk dimakan boleh dimakan dan apa yang tidak baik jangan dimakan. Juga terdapat tuntunan cara berbicara dan bergaul yang baik dan sebagainya.

Al-Qur’an memberi petunjuk dan aturannya, kemudian manusia mengolah dan menyesuaikan dirinya dengan alam sekelilingnya berdasarkan petunjuk dan aturan itu, mana yang paling baik dan tepat untuk dilaksanakan, dan mana yang harus dijauhi dan ditinggalkan. Orang-orang yang memikirkan, merenungkan, mengolah, dan mengamalkan petunjuk-petunjuk Al-Qur’an dengan sebaik-baiknya adalah “orang-orang yang muhsin”.

Ayat 4

Pada ayat-ayat ini disebutkan bahwa di antara tanda-tanda orang yang muhsin itu adalah:

  1. Selalu mengerjakan salat lima waktu yang diwajibkan kepadanya pada setiap waktu yang telah ditentukan. Ia selalu berusaha untuk melaksanakan salat itu dengan sebaik-baiknya lengkap dengan rukun dan syaratnya.
  2. Selalu menunaikan zakat jika telah terpenuhi syarat-syarat wajibnya. Ia yakin bahwa menunaikan zakat itu adalah kewajiban karena dalam hartanya itu terdapat hak orang lain yang harus segera diserahkan.
  3. Yakin bahwa masih ada hidup sesudah mati, yaitu di akhirat. Pada kehidupan akhirat itu setiap manusia akan memperoleh keadilan yang sempurna dari Allah. Perbuatan baik di balas dengan surga dan perbuatan jahat dibalas dengan siksaan neraka.

Ayat 5

Orang-orang yang mempunyai tanda-tanda dan sifat-sifat yang disebutkan pada ayat-ayat yang lalu adalah orang-orang yang mengikuti petunjuk Tuhannya. Ia mendapatkan keberuntungan karena memperoleh hasil yang baik dan menyenangkan hatinya, setelah bekerja dan berusaha mengikuti petunjuk-petunjuk Al-Qur’an. Seorang yang beramal saleh akan mendapatkan keberuntungan hidup di dunia dan di akhirat nanti, dan hal itu diperoleh dengan melakukan perbuatan yang baik.


Baca Juga: 7 Sifat-Sifat Penghuni Surga Menurut Al-Qur’an


Ayat 6

Ayat ini menerangkan bahwa di antara manusia ada yang tidak menghiraukan perkataan yang bermanfaat, yang dapat menambah keyakinan manusia kepada agama dan memperbaiki budi pekertinya. Mereka lebih suka mengatakan perkataan-perkataan yang tidak ada manfaatnya, menyampaikan khurafat-khurafat, dongengan-dongengan orang masa lalu, lelucon-lelucon yang tidak ada artinya.

Di antara contohnya adalah seperti yang dilakukan Nadhar bin Harits, dengan cara membeli buku-buku berbahasa Persia yang berisi cerita-cerita, kemudian dia mencemoohkannya kepada orang-orang Quraisy. Kalau perlu, mereka menggaji penyanyi-penyanyi untuk diperdengarkan suaranya kepada orang banyak. Isi nyanyian dan suaranya itu dibuat sedemikian rupa sehingga dapat merangsang orang yang mendengarkannya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang, dan makin menjauhkan-nya dari agama.

Diriwayatkan dari Nafi’, ia berkata, “Aku berjalan bersama ‘Abdullah bin ‘Umar dalam suatu perjalanan, maka terdengar bunyi seruling. ‘Abdullah lalu meletakkan jarinya ke lubang telinga, agar tidak mendengar bunyi seruling itu dan ia berbelok melalui jalan yang lain. Kemudian ia berkata, Nafi’ apakah engkau masih mendengar suara itu?” Aku menjawab, ‘Tidak.’ Maka ia mengeluarkan anak jarinya dari telinganya dan berkata, ‘Beginilah aku melihat yang diperbuat Rasulullah saw jika mendengar bunyi semacam itu.”

Pada riwayat yang lain dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf bahwa Rasulullah saw bersabda:

اِنَّمَا نُهِيْتُ عَنْ صَوْتَيْنِ اَحْمَقَيْنِ فَاجِرَيْنِ صَوْتٌ عِنْدَ نَغْمَةِ لَهْوٍ وَمَزَامِيْرِ شَيْطَانٍ وَصَوْتٍ عِنْدَ مُصِيْبَةٍ خَمْشِ وُجُوْهٍ وَشَقِّ جُيُوْبٍ وَرَنَّةِ شَيْطَانٍ. (رواه الترمذي)

Aku dilarang (mendengarkan) dua macam suara (bunyi) yang tidak ada artinya dan menimbulkan perbuatan jahat, yaitu suara lagu yang melalaikan dan seruling-seruling setan dan (kedua) suara ketika ditimpa musibah, yaitu yang menampar muka, mengoyak-ngoyak baju, dan nyanyian setan. (Riwayat at-Tirmidzi)

Menurut Ibnu Mas’ud, yang dimaksud dengan perkataan lahw al-hadits dalam ayat ini ialah nyanyian karena ia dapat menimbulkan kemunafikan di dalam hati. Sebagian ulama mengatakan bahwa semua suara, perkataan, nyanyian, bunyi-bunyian yang dapat merusak ketaatan kepada Allah dan mendorong orang-orang yang mendengarnya melakukan perbuatan yang terlarang, disebut lahw al-hadits.

Dari ayat dan hadis-hadis di atas dapat diambil kesimpulan bahwa yang dilarang itu ialah mendengarkan nyanyian yang dapat membangkitkan nafsu birahi dan menjurus ke perbuatan zina, seperti nyanyian yang berisi kata-kata kotor. Termasuk juga nyanyian atau musik yang menyebabkan pendengarnya mengerjakan perbuatan-perbuatan terlarang, seperti minum khamar dan sebagainya.

Mendengar nyanyian atau musik yang tujuannya untuk melapangkan pikiran pada waktu istirahat atau hari raya tidak dilarang. Bahkan disuruh mendengarkannya jika nyanyian atau musik itu mempunyai arti yang baik, menambah iman, memperbaiki budi pekerti, dan menambah semangat bekerja dan berjuang.

Qusyairi berkata, “Ditabuh rebana di hadapan Nabi saw ketika beliau memasuki kota Medinah, lalu Abu Bakar ingin menghentikannya, maka Rasulullah saw berkata, ‘Biarkanlah mereka menabuh rebana, hai Abu Bakar, hingga orang-orang Yahudi mengetahui bahwa agama kita tidak sempit.”

Mereka menabuh rebana disertai dengan nyanyian-nyanyian dan syair-syair, di antara bait-baitnya berbunyi: “Nahnu banatun Najjar, habbazha Muhammadun min’jar” (kami adalah perempuan-perempuan Bani Najjar, alangkah baiknya nasib kami jika Muhammad menjadi tetangga kami).”

Pada ayat ini, Allah menerangkan akibat mendengar dan memperdengarkan nyanyian, musik, dan perkataan yang terlarang. Mereka akan memperoleh azab yang sangat menghinakan di hari Kiamat akibat perbuatan mereka yang tidak mengindahkan yang hak dan memilih kebatilan, serta menukar petunjuk dengan dosa.

(Tafsir Kemenag)


Baca Selanjutnya: Tafsir Surah Luqman ayat 7-11


Tafsir Surah Yusuf ayat 78-85

0
Tafsir Surah Yusuf
Tafsir Surah Yusuf

Tafsir Surah Yusuf ayat 78-85 mengisahkan lebih lanjut dari pertemuan Bunyamin dan Yusuf pada ayat sebelumnya. Agar Bunyamin dapat tinggal lebih lama di Mesir Nabi Yusuf pun membuat rencana yang dapat dibaca secara lengkap dalam Tafsir Surah Yusuf ayat 78-85 di bawah ini…


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Yusuf ayat 67-77


Ayat 78

Tafsir Surah Yusuf ayat 78-85 ini khususnya dalam ayat 78 ini dijelaskan tentang apa yang dikatakan oleh saudara-saudara Yusuf kepada al-’Aziz, bahwa Bunyamin yang ditetapkan sebagai pencuri itu mempunyai ayah yang telah lanjut usia, dan tidak bisa berpisah dengannya. Bunyamin adalah pengganti saudaranya yang hilang. Oleh karena itu, mereka mengharap kepada al-’Aziz agar sudi mengambil salah seorang dari mereka sebagai jaminan karena Bunyamin lebih dicintai ayahnya. Mereka juga telah berjanji untuk menjaga keselamatan Bunyamin selama dalam perjalanan.

Di samping itu, mereka pun memuji al-’Aziz bahwa beliau adalah orang yang gemar berbuat baik. Pujian serupa itu tentu saja dengan maksud agar Bunyamin dibebaskan dari penahanan karena tuduhan pencurian. Mereka sebagai tamu merasa telah mendapatkan pelayanan dengan sebaik-baiknya, dan alangkah lebih sempurna jika kebaikan itu ditambah lagi dengan memenuhi permintaan mereka untuk membiarkan Bunyamin kembali kepada ayahnya yang selama ini dilanda kesedihan karena kehilangan Yusuf.

Ayat 79

Lalu Yusuf berkata kepada saudara-saudaranya bahwa dia melakukan tindakan salah jika melepaskan Bunyamin yang telah terbukti di dalam karungnya ditemukan barang yang hilang itu. Ia berlindung kepada Allah bahwa ia tak mungkin menangkap seseorang kecuali karena telah terbukti mencuri. Seandainya ia menerima usul saudara-saudaranya, berarti ia bertindak tidak adil karena telah menyalahi undang-undang atau peraturan yang berlaku di wilayah kerajaannya.

Ayat 80

Allah mengabarkan bahwa tatkala saudara-saudara Yusuf berputus asa karena Yusuf menolak salah seorang dari mereka untuk menggantikan Bunyamin, mereka lalu berkumpul untuk merundingkan secara rahasia apa yang akan mereka kerjakan selanjutnya. Saudaranya yang tertua yang bernama Yahuda berkata, “Bukankah kamu mengetahui bahwa ayahmu, Yakub, telah mengambil janji yang berat dari kita dengan nama Allah bahwa kita akan sungguh-sungguh menjaga keselamatan Bunyamin dan sanggup mengembalikannya kepada ayah, kecuali jika kita menghadapi bahaya yang besar yang tidak dapat dihindari.

Penahanan Bunyamin ini akan membuat ayah kita bertambah sedih, terlebih bila diingat bahwa kita dahulu telah menyia-nyiakan Yusuf.” “Oleh sebab itu,” kata Yahuda lebih lanjut, “aku tidak akan meninggalkan Mesir sampai ayahku mengizinkanku untuk kembali, atau sampai Allah memberi keputusan lain kepadaku karena Allahlah yang Maha Mengetahui perkara-perkara yang gaib dan Dia adalah Hakim yang paling baik.”

Ayat 81

Lalu Yahuda memerintahkan kepada saudara-saudaranya yang lain supaya pulang menghadap ayah mereka dan melaporkan segala kejadian yang dialaminya di Mesir untuk menghindarkan tuduhan-tuduhan yang buruk. Yahuda berkata, “Kembalilah kepada ayahmu dan sampaikanlah kepadanya bahwa anaknya, Bunyamin, telah mencuri piala raja dan akibatnya dijadikan hamba sahaya selama setahun sesuai dengan syariat yang berlaku.” Ia juga menyuruh saudara-saudaranya untuk mengatakan kepada ayah mereka, Nabi Yakub, bahwa mereka hanya dapat menyaksikan apa yang diketahui. Mereka melihat sendiri bahwa piala raja itu dikeluarkan dari karung makanan Bunyamin. Mereka sama sekali tidak dapat mengetahui perkara yang gaib. Seandainya mereka tahu bahwa Bunyamin akan mencuri, tentu mereka tidak akan berjanji pada ayah mereka.

Ayat 82

Selanjutnya dijelaskan bahwa Yahuda juga menyarankan agar saudara-saudaranya mengatakan kepada ayah mereka untuk menanyakan hal ini kepada penduduk negeri tempat mereka berada di Mesir untuk membeli bahan makanan, karena soal pencurian itu sudah tersebar beritanya di kalangan mereka. Juga dapat ditanyakan kepada kafilah yang datang bersama-sama dengan mereka, dan sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang benar dan selalu melaporkan apa yang benar-benar terjadi.

Ayat 83

Setelah berhadapan dengan putra-putranya yang memberi laporan seperti yang diamanatkan oleh Yahuda, Nabi Yakub berkata, “Hanya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan yang buruk itu, dan mengapa kamu mengatakan bahwa yang mencuri harus dijadikan hamba sahaya selama satu tahun, padahal ketentuan itu hanya ada pada syariat kita dan tidak ada dalam perundang-undangan mereka. Maka kesabaran yang baik itulah kesabaranku yang tidak diliputi oleh kejengkelan dan kemarahan. Mudah-mudahan Allah mendatangkan mereka semuanya kepadaku (Yusuf, Bunyamin, dan Yahuda), karena sesungguhnya Dialah Tuhan Yang Maha Mengetahui dan Mahabijaksana.”

Ayat 84

Karena tidak senang menerima laporan yang disampaikan para putranya, maka Nabi Yakub berpaling dari mereka seraya berkata dengan penuh kesedihan, “Aduhai dukacitaku terhadap Yusuf, karena aku tadinya menunggu-nunggu berita yang menggembirakan dari Mesir, tetapi kenyata-annya justru berita yang menyedihkan yang kuterima.” Karena kesedihan yang terus-menerus dialaminya dan sering menangis, maka kedua mata Yakub menjadi putih, sehingga keadaannya seperti orang buta. Akan tetapi, beliau tetap masih bisa menahan amarah terhadap anak-anaknya.

Menurut dunia ilmu pengetahuan, ketika seseorang menderita stres, tubuhnya bereaksi dan membangkitkan tanda bahaya, sehingga memicu terjadinya beragam reaksi biokimia di dalam tubuh: Kadar adrenalin dalam aliran darah meningkat; penggunaan energi dan reaksi tubuh mencapai titik tertinggi; gula, kolesterol dan asam-asam lemak tersalurkan ke dalam aliran darah; tekanan darah meningkat dan denyutnya mengalami percepatan. Ketika glukosa tersalurkan ke otak, kadar kolesterol naik, dan semua ini memunculkan masalah bagi tubuh. Mungkin hal ini pula yang dialami oleh Nabi Ya’qub as ketika kehilangan anak yang disayanginya Nabi Yusuf a.s.

Stres yang parah, mampu mempengaruhi bahkan mengubah fungsi-fungsi normal organ tubuh. Hal ini dapat berakibat sangat buruk. Akibat stres, kadar adrenalin dan kortisol di dalam tubuh meningkat di atas batas normal. Peningkatan kadar kortisol dalam rentang waktu lama berujung pada gangguan organ tubuh antara lain dapat terjadi gangguan pada pankreas. Akibatnya timbul penyakit diabetes atau kencing manis yakni penyakit rusaknya sel-sel beta pankreas yang menghasilkan insulin,  berakibat pada kadar gula darah tubuh tidak terkontrol. Dalam banyak kasus penyakit diabetes ini dapat menimbulkan gejala katarak yakni kekeruhan pada lensa mata yang mengakibatkan pandangan kabur. Apabila lensa menjadi keruh, maka cahaya yang masuk ke dalam mata dapat terpencar dan mengakibatkan pandangan kabur.

Para ahli kedokteran (mata) sepakat bahwa penanganan yang kurang atau tidak terkontrol dengan baik dapat menyebabkan kebutaan  pada penderita penyakit ini. Gejala utama katarak adalah penglihatan kabur, daya penglihatan berkurang secara progresif, adanya selaput tipis yang menghalangi pandangan, sangat silau jika berada di bawah cahaya yang terang. Pada perkembangan selanjutnya penglihatan semakin memburuk, pupil akan tampak berwarna putih (ada putih-putih pada hitam mata)

Dewasa ini penyakit ”mata putih” (katarak) ini dapat disembuhkan terutama dengan semakin majunya teknologi kedokteran saat ini atau karena kadar gula dalam darah dapat dikontrol dengan baik.

Berbeda tentunya dengan Nabi Yaqub a.s. yang kesembuhannya berlangsung secara cepat, mungkin karena mukjizat bagi seorang Nabi atau bisa juga sebagai buah dari ”kesabarannya”. Maha Suci Allah yang Maha Mengetahui dan Maha Penyembuh.

Ayat 85

Pada ayat ini, diterangkan bahwa ketika mendengar keluhan dan kesedihan ayahnya yang mendalam, anak-anak Yakub yang baru kembali dari Mesir berkata kepadanya, yang diawali dengan sumpah kepada Allah sebagai tanda rasa kasih dan sayang mereka, agar dia tidak selalu mengingat Yusuf karena peristiwa Yusuf itu sudah lama berlalu. Kalau selalu mengingat Yusuf, ia akan terus mengalami kesedihan yang mendalam, sehingga dikhawatirkan akan mendapat penyakit yang akan membinasakan atau meninggal dunia karenanya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Selanjutnya: Tafsir Surah Yusuf ayat 86-94


Tafsir Surah Yusuf ayat 67-77

0
Tafsir Surah Yusuf
Tafsir Surah Yusuf

Tafsir Surah Yusuf ayat 67-77 mengisahkan perjumpaan Nabi Yusuf dan saudara kandungnya Bunyamin. Selain itu Tafsir Surah Yusuf ayat 67-77 ini juga mengisahkan tentang saudara-saudara nabi Yusuf yang akhlaknya tidak berubah. Selengkapnya baca Tafsir Surah Yusuf ayat 67-77 di bawah ini…


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Yusuf ayat 63-66


Ayat 67

Pada ayat ini dijelaskan bahwa Nabi Yakub berkata kepada anak-anaknya agar ketika sampai di istana raja Mesir, mereka tidak masuk bersama-sama dari satu pintu gerbang, tetapi masuk dari pintu-pintu gerbang yang lain, supaya terhindar dari penglihatan mata orang yang hasad atau mengalami hal-hal yang tidak diinginkan. Di samping itu agar Bunyamin sempat bertemu dengan Yusuf secara terpisah dari saudara-saudaranya yang lain.

Nabi Yakub menasihatkan pula bahwa walaupun mereka sudah berusaha menghindari berbagai kemungkinan yang membahayakan, namun beliau tidak dapat mencegah ketentuan dari Allah, sebab keputusan menetapkan sesuatu hanya berada di tangan-Nya. Semua pekerjaan harus dilaksanakan sesuai dengan kemampuan dan disertai keyakinan bahwa ketentuan dari Allah pasti terjadi, dan tidak seorang pun yang dapat menghalang-halanginya. Oleh karena itu, hanya kepada-Nyalah semua orang bertawakal dan berserah diri.

Ayat 68

Tatkala putra-putra Nabi Yakub itu masuk ke istana Yusuf di Mesir sesuai dengan yang diperintahkannya, yaitu masuk dari pintu gerbang yang berlainan, cara yang mereka lakukan itu tidak dapat melepaskan mereka sedikit pun dari ketentuan Allah. Ini hanya keinginan Nabi Yakub yang harus dilaksanakan agar Yusuf dapat bertemu dengan Bunyamin empat mata, karena keduanya akan membuat perencanaan dan tindakan yang bijaksana. Ini menunjukkan bahwa Nabi Yakub telah diberi ilmu pengetahuan dengan wahyu Allah swt, namun kebanyakan manusia tidak mengetahui, termasuk anak-anaknya sendiri.

Ayat 69

Ketika anak-anak Yakub masuk ke dalam ruangan khusus, Yusuf langsung mengenali adiknya, Bunyamin. Yusuf berusaha untuk bertemu empat mata dengannya seraya berkata, “Jangan sedih dan gundah. Saya ini adalah saudara kandungmu, tapi hal ini jangan  kamu ceritakan kepada saudara-saudara yang lain.”

Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa tatkala saudara-saudara Yusuf masuk ke tempatnya, mereka memperkenalkan Bunyamin seraya berkata, “Inilah saudara kami Bunyamin, yang diminta datang bersama-sama dengan kami, sekarang kami memperkenalkannya kepada Baginda.” Yusuf menjawab, “Terima kasih banyak, dan untuk kebaikan ini niscaya kami akan menyediakan balasannya.” Lalu Yusuf menyediakan hidangan makanan untuk mereka yang semuanya berjumlah sebelas orang. Tiap-tiap meja untuk dua orang, sehingga semuanya sudah duduk berhadap-hadapan pada lima meja dalam lima buah kamar yang tertutup. Hanya tinggal Bunyamin sendirian tidak mempunyai pasangan.

Yusuf berkata kepada tamu-tamunya, “Kamu yang sepuluh orang, masing-masing berdua masuklah ke dalam kamar. Karena yang seorang ini, yaitu Bunyamin tidak mempunyai kawan, maka baiklah saya yang menemaninya.” Setelah Yusuf dan Bunyamin berdua dalam sebuah kamar, maka Yusuf merangkulnya dengan penuh kemesraan, dan berkata, “Apakah kamu suka menerima aku sebagai saudara-mu, ganti dari saudaramu yang hilang itu?” Bunyamin menjawab, “Siapa yang akan menolak mendapatkan saudara seperti engkau yang mulia ini? Namun engkau tidak dilahirkan dari bapakku Yakub dan ibuku Rahil.”

Karena tidak tahan mendengar ucapan itu, lalu Yusuf menangis dan merangkul Bunyamin seraya berkata, “Akulah Yusuf, saudaramu yang dikatakan hilang itu.” Lalu Yusuf menasihati saudaranya, supaya jangan bersedih atas apa yang telah dikerjakan oleh saudara-saudaranya terhadap-nya. Yusuf memberitahukan pula kepada Bunyamin rencananya terhadap saudara-saudaranya, untuk menguji mereka, apakah akhlaknya masih seperti dahulu atau sudah ada perubahan. Maksudnya supaya Bunyamin jangan terkejut, bila nanti terjadi hal-hal yang dilakukan Yusuf yang terasa janggal baginya.

Ayat 70

Maka tatkala bahan makanan itu sedang dipersiapkan, diam-diam Yusuf memasukkan piala (tempat minum yang dapat juga digunakan untuk menakar) raja ke dalam karung Bunyamin. Setelah kafilah itu bersiap-siap untuk berangkat meninggalkan Mesir, seorang utusan datang menyusul kafilah itu seraya berseru dengan suara yang keras, “Hai kafilah, tunggu dulu sesungguhnya kamu adalah para pencuri.”

Ayat 71

Saudara-saudara Yusuf segera menghentikan perjalanan mereka dan bertanya barang apakah yang hilang dari kerajaan, sehingga ia datang menyusul dan menuduh mereka sebagai pencuri.

Ayat 72

Penyeru itu berkata bahwa raja kehilangan piala yang ada cap kerajaan padanya. Barang siapa yang dapat mengembalikan piala itu akan memperoleh hadiah yaitu bahan makanan seberat beban unta. Penyeru itu menjelaskan pula bahwa dia menjamin akan tetap memberikan hadiah itu pada siapa saja yang bisa mengembalikannya.

Ayat 73

Saudara-saudara Yusuf berkata dengan maksud membersihkan diri dari tuduhan itu, “Demi Allah kamu telah mengetahui bahwa kami datang ke Mesir ini, baik pertama maupun yang kedua kalinya, bukan untuk membuat kerusakan di negeri Mesir dengan mencuri ataupun melakukan kejahatan lainnya, dan kami yakin bahwa kami bukanlah pencuri.”

Ayat 74

Penyeru itu bertanya, “Tetapi apa akibatnya jika kamu berdusta? Dan ternyata piala raja itu disembunyikan di karung-karungmu.”

Ayat 75

Mereka menjawab, “Balasannya ialah siapa saja yang ditemukan piala itu di dalam karungnya, maka dialah pencurinya dan harus bersedia menerima akibatnya.” Syariat yang berlaku menurut agama yang dibawa Nabi Yakub ialah si pencuri dijadikan hamba sahaya oleh orang yang kecurian selama satu tahun. Demikianlah Allah membalas kejahatan orang-orang yang zalim.

Ayat 76

Setelah kafilah kembali lagi ke Mesir dan menghadap Yusuf, ia mulai memeriksa karung-karung mereka semuanya dan yang terakhir diperiksa adalah karung Bunyamin. Sengaja beliau berbuat demikian untuk menutupi taktiknya. Kemudian Yusuf menemukan piala yang hilang itu dari karung Bunyamin. Dengan cara demikian Allah mengatur taktik Yusuf untuk mencapai maksudnya. Yusuf sama sekali tidak bermaksud menghu-kum saudaranya menurut undang-undang kerajaan kecuali jika Allah menghendakinya.

Beliau sengaja membuat taktik ini untuk sekedar menguji akhlak saudara-saudaranya dan bukan untuk menyakiti Bunyamin, karena ia terlebih dahulu telah diberitahu tentang rencana tersebut. Allah meninggikan derajat orang-orang yang dikehendaki-Nya, baik berupa ilmu maupun keimanan dan memperlihatkan pula jalan kebenaran untuk mencapai maksudnya, seperti Allah telah mengangkat derajat Yusuf di atas saudara-saudaranya. Di atas setiap orang yang berpengetahuan ada lagi yang lebih mengetahui. Hanya Allah yang Maha Mengetahui

Ayat 77

Dalam ayat ini, saudara-saudara Yusuf mengatakan bahwa jika Bunyamin ternyata mencuri, itu karena saudaranya Yusuf juga telah mencuri. Tuduhan mereka bahwa Yusuf pernah mencuri menunjukkan bahwa sifat dengki masih tertanam dalam hati mereka. Hal itu sempat menimbulkan perasaan jengkel dalam diri Yusuf. Akan tetapi, dengan sabar Yusuf mampu menyembunyikan kejengkelan itu dan tidak menampakkan-nya kepada mereka.

Bahwa Yusuf dikatakan pernah mencuri pada waktu ia masih kecil, sebenarnya tidaklah benar. Peristiwa yang sebenarnya bukanlah kasus pencurian, melainkan kasus yang direkayasa agar Yusuf kecil tetap tinggal bersama bibinya, tidak dibawa pulang oleh ayahnya, yaitu Nabi Yakub a.s. Kasusnya adalah seperti yang diriwayatkan oleh Mujahid r.a. yang menerangkan bahwa Yusuf ketika kecil dipelihara oleh bibinya yang sangat sayang kepadanya. Bibinya menyimpan ikat pinggang Nabi Ishak a.s. yang secara turun-temurun diwariskan kepada anaknya yang tertua.

Nabi Yakub sering datang kepada saudara perempuannya, untuk mengambil Yusuf. Karena bibinya amat sayang kepadanya, beliau mempertahankan Yusuf supaya tetap di bawah asuhannya. Akhirnya, bibinya tersebut membuat suatu taktik dengan mengikatkan ikat pinggang pusaka tadi ke pinggang Yusuf dan ditutup oleh bajunya sehingga tidak kelihatan. Lalu, bibinya mengumumkan bahwa ikat pinggang pusaka itu hilang dicuri orang. Kemudian, semua anggota keluarga diperiksa. Ternyata ikat pinggang kedapatan dipakai oleh Yusuf. Menurut syariat Nabi Yakub a.s. waktu itu, Yusuf harus diserahkan kepada bibinya sebagai hamba sahaya selama satu tahun. Peristiwa inilah, antara lain, yang dituduhkan oleh saudara-saudaranya bahwa ia pernah mencuri.

(Tafsir Kemenag)


Baca Selanjutnya: Tafsir Surah Yusuf ayat 78-85


Tafsir Ahkam: Bolehkah Itikaf Tidak di Masjid?

0
Bolehkah Itikaf Tidak di Masjid?
Bolehkah Itikaf Tidak di Masjid?

Bulan puasa dapat dikatakan bulan itikaf. Hal ini dikarenakan amat dianjurkannya beritikaf di bulan puasa, terutama di sepuluh hari terakhir bulan puasa. Sebagaimana yang disinggung Allah di dalam Surat Al-Baqarah ayat 187 dan beberapa hadis tentang itikaf Nabi di bulan Ramadhan. Dan kebanyakan umat muslim melakukan itikaf ada di masjid, namun apakah boleh itikaf tidak di masjid, misalnya dirumah.

Ada salah satu hal yang kadang agak memberatkan umat muslim untuk itikaf. Yaitu keharusan memilih masjid sebagai tempat itikaf. Sebab tidak semua orang memiliki tempat tinggal yang dekat dengan masjid. Lalu, benarkah itikaf harus dilakukan di masjid? Bolehkah semisal, melakukan itikaf di musolla pribadi yang biasa digunakan untuk salat berjamaah sebagaimana masjid? Berikut penjelasan ulama’.

Baca juga: Tafsir Q.S. Ali Imran [3]: 145: Menyoal Kematian dan Ragam Motif di Balik Amal

Ayat Tentang Keharusan Beritikaf Di Masjid

Allah menunjukkan kedekatan ibadah itikaf dan puasa di dalam Surat Al-Baqarah ayat 187. Dan lewat ayat ini pula ulama’ mengambil beberapa kesimpulan hukum terkait itikaf. Allah berfirman:

. وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَامَ اِلَى الَّيْلِۚ وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عٰكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا تَقْرَبُوْهَاۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ ١٨٧

Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian, sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam. Akan tetapi, jangan campuri mereka ketika kamu (dalam keadaan) beriktikaf di masjid. Itulah batas-batas (ketentuan) Allah. Maka, janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka bertakwa (QS. Al-Baqarah [2] :187).

Baca juga: Hikmah Disandingkannya Ayat Tentang Itikaf dan Puasa Di dalam Al-Qur’an

Dari kalangan ahli tafsir; Imam Ar-Razi dan Al-Alusi menyatakan, ulama’ telah sepakat bahwa melakukan itikaf haruslah di masjid. Kesimpulan ini, menurut Imam Al-Alusi, berdasar redaksi “di masjid” dalam ayat di atas. Dimana kalau memang selain masjid diperbolehkan, tentu melakukan itikaf di rumah diperbolehkan. Padahal ulama’ sepakat bahwa itikaf di rumah tidak diperbolehkan. Imam Ar-Razi menerangkan, masjid memang pantas diistimewakan sebab masjid dibangun agar dapat Digunakan Sebagai Tempat Melakukan Berbagai Kegiatan Taat Di Dalamnya (Tafsir Ruhul Ma’ani/2/13 Dan Tafsir Mafatihul Ghaib/3/128).

Dari kalangan ahli fikih; Imam An-Nawawi juga menyatakan hal serupa. Itikaf haruslah di masjid. Hal ini didasarkan pada bagaimana Allah mengaitkan keharaman berhubungan intim dengan itikaf di masjid pada ayat di atas. Dimana berhubungan intim sebenarnya dilarang sebab keberadaan itikaf, dalam artian orang yang beritikaf kemudian keluar masjid dan berhubungan intim, maka itikafnya menjadi batal. Dan larangan ini tidak ada hubungannya dengan masjid.

Maka bisa diambil kesimpulan bahwa keberadaan redaksi “di masjid” dalam ayat di atas tidak berhubungan dengan persoalan berhubungan intim dengan itikaf. Namun berhubungan dengan itikaf itu sendiri. Andai selain masjid diperbolehkan, mengapa perlu ada redaksi “di masjid”. Hal ini menunjukkan bahwa itikaf haruslah dilaksanakan di masjid (Al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab/6/483).

Itikaf haruslah di masjid. Dan tidak ada perbedaan pendapat antar ulama’ soal hal ini. Perbedaan terjadi pada apakah masjid yang boleh digunakan itikaf adalah masjid secara umum, atau masjid-masjid tertentu saja? Mazhab Syafiiyah dan Malikiyah menyatakan bahwa tidak ada ketentuan mengenai masjid yang diperbolehkan itikaf. Hal ini berbeda dengan mazhab Hanafiyah dan Hanbaliyah yang menyatakan bahwa masjid boleh digunakan itikaf adalah, masjid yang didirikan solat lima waktu serta jamaah di dalamnya. Selain pendapat di atas, adapula yang menyatakan bahwa itikaf harus di Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjid Al-Aqsha (Al-Bayan/3/575).

Baca juga: Tiga Fungsi Pokok Al-Quran [1]: Hudan dalam Surah Al-Baqarah Ayat 185

Berdasar uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa itikaf memang haruslah dikerjakan di masjid. Tidak ada pebedaan pendapat soal ini. Perbedaan pendapat terjadi hanya pada kreteria masjid yang dapat digunakan itikaf saja. Lewat hal ini, Allah mungkin meminta kita sebisa mungkin untuk dekat dengan masjid. Andai semua ibadah dapat di lakukan di luar masjid, tentu masjid tidaklah menjadi tempat istimewa lagi. Wallahu a’lam bishshowab.

Diskursus Maqashid Al-Quran di Kalangan Ulama Klasik

0
Diskursus Maqashid Al-Quran di kalangan ulama klasik
Diskursus Maqashid Al-Quran di kalangan ulama klasik

Istilah maqashid Al-Quran sebenarnya baru populer ketika para mufasir kontemporer mencurahkan perhatian lebih pada masalah tujuan pewahyuan Al-Quran. Walau begitu, tema-tema pokok Al-Quran telah lama menjadi perbincangan para ulama dalam usaha kerasnya memahami wahyu ilahi. Para ulama terdahulu merujuk pada pembahasan ini dengan istilah lain, misalnya, kumpulan makna-makna dan ilmu-ilmu yang dikandung oleh Al-Quran. Artikel ini mencoba menelusuri diskursus maqashid Al-Quran khusus pada masa ulama klasik, seperti al-Thabari, al-Ghazali, al-Syatibi dan al-Biqa’i.

Makna Maqasid Al-Quran

Maqashid berakar dari kata kerja (قصد – يقصد – قصدا – ومقصدا) yang memiliki arti tujuan atau maksud. Jika dibandingkan dengan kata ghayah—istilah Arab yang juga bermakna sama—maqashid tidak hanya bermakna tujuan atau titik pencapaian, tetapi juga meliputi segala proses yang dilakukan untuk memperoleh tujuan tersebut. Karena itu, maqashid Al-Quran tidak berhenti pada satu atau beberapa tema pokok Al-Quran melainkan juga meliputi seluruh proses untuk mencapainya (al-Tijani, Maqashid al-Qur’an al-Karim wa Shilatuha bi al-Tadabbur).

Menurut al-Syatibi, maqashid adalah jiwa atau esensi dari suatu perbuatan. Sehingga maqashid Al-Quran berarti jiwa atau esensi dari kitab suci Al-Quran. Sementara Abdul Karim al-Hamidi mengemukakan bahwa arti dari maqashid Al-Quran adalah al-ghayah atau tujuan diturunkan Al-Quran sebagai jaminan maslahah bagi manusia. Pengertian ini memposisikan maqashid Al-Quran sebagai tujuan tertentu yang nantinya akan membatasi penafsiran Al-Quran dalam tujuan-tujuan tersebut (al-Tijani, Maqashid al-Qur’an al-Karim wa Washilatuha bi al-Tadabbur).

Baca juga: Menafsir Ayat tentang Pakaian dengan Tafsir Maqashidi

Beberapa pengertian di atas berpulang pada dua pemahaman. Makna pertama, maqashid Al-Quran merupakan akumulasi dari proses sekaligus hasil dari usaha untuk memperolehnya. Sedangkan makna kedua merujuk kepada hasil pencarian saja. Tazul Islam mendukung pendapat al-Ghazali yang secara substantif menempatkan maqashid Al-Quran sebagai suatu proses. Tazul Islam juga mengemukakan satu definisi yang merangkum unsur pokok dari konsep-konsep maqashid Al-Qur’an baik dari beberapa ahli maupun pendapatnya sendiri, yakni sebuah ilmu untuk memahami inti Al-Quran berdasarkan tujuan diturunkannya yang didapat dan dibenarkan oleh bukti dari makna dari ayat-ayatnya dan hanya dapat dipahami dari ayat-ayat yang muhkam (ayat-ayat yang jelas maknanya) (Tazul Islam, The Genisis and Development of Maqasid al-Quran)

Ruang Lingkup Maqashid Al-Quran

Maqasid Al-Quran dapat diklasifikasikan berdasarkan ruang lingkupnya, dari yang terkecil sampai yang terbesar. Pertama, ada yang disebut dengan maqashid al-ayah (maksud dari suatu ayat), baik yang sudah jelas (sharih) maupun yang masih samar (khafi). Dalam konteks ini, tugas mendasar seorang penafsir adalah menjelaskan makna dan maksud setiap ayat yang ditafsirkannya. Kedua, ada pula yang disebut maqashid al-surah atau maksud dari suatu surah.

Menurut al-Biqa’i, setiap surah mempunyai satu pembahasan tentang tema pokok yang dikandungnya dan biasanya ayat-ayat awal dan akhir pada surah tersebut mengitari tema pokoknya. Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa maqashid al-surah sangat mempengaruhi tujuan-tujuan dan pemaknaan ayat-ayat dalam surah tersebut. Ketiga, ada yang disebut dengan maqashid al-Qur’an al-‘ammah (maksud Al-Quran secara keseluruhan). Penafsir menempuh satu dari dua cara untuk mengidentifikasi ini, yaitu dengan memerhatikan teks Al-Quran yang menerangkan tujuan dan sifatnya sendiri atau dengan merangkum hukum maupun penjelasan Al-Quran dan menyimpulkan unsur-unsurnya yang utama (al-Raisuni, Maqashid al-Maqashid, al-Ghayat al-Ilmiyyah wa al-‘Amaliyyah li Maqashid al-Syari’ah)

Baca juga: Kitab al-Tafsir al-Maqashidi Karya Abdul Mustaqim: Hifz Al-Din dalam Kehidupan Keberagamaan yang Multikultural

Maqashid Al-Quran dalam Linkar Ulama Klasik

Para ulama klasik pemerhati tafsir mengidentifikasi hal-hal yang berbeda sebagai tema-tema inti Al-Quran. Mereka menganggap bahwa kandungan utama Al-Quran lebih pada ajaran teologi dan metafisika. Orientasi ini sangat wajar dikembangkan pada masa klasik, karena pada waktu itu ilmu keislaman masih dalam tahap perkembangan disertai minimnya hubungan dengan dunia luar. Sementara itu, para ulama tafsir zaman modern memahami tema inti Al-Quran dengan melihat bahwa kitab suci agama Islam ini memiliki kandungan yang mengarah kepada persoalan kemanusiaan dan berbagai perkembangan zaman. Kesadaran akan realitas dunia Islam pada awal abad ke-19 menyebabkan perubahan orientasi ini.

Dari kalangan ulama klasik, diskusi ini mulai dari Abu Hamid al-Ghazali yang dianggap sebagai pioner dalam kajian maqasid Al-Quran melalui karyanya Jawahir al-Qur’an. Ia menyebutkan bahwa surah-surah dan ayat-ayat dalam Al-Quran terangkum menjadi enam tema (al-Ghazali, Jawahir al-Qur’an). Tiga tema yang utama adalah mengenal Allah, mengenal jalan yang lurus, dan mengenal hari akhir. Sementara tiga tema pelengkap adalah gambaran tentang orang yang beriman, gambaran orang yang membangkang, dan jalan menuju Allah. Sedangkan bagi al-Thabari yang hidup sebelum masa al-Ghazali, tema besar Al-Quran hanya ada tiga; ajaran tauhid, informasi-informasi (akhbar) dan tentang agama-agama (al-Suyuthi, al-‘Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an).

Baca juga: Empat Makna Kata Khasyah dalam Al-Quran menurut Mufasir

Selanjutnya ada nama al-Syatibi yang memberi contoh maqashid al-suwar. Ia menyebut bahwa surah-surah Makkiyah berisi seruan untuk beribadah kepada Allah dan mentauhidkan-Nya. Ulama besar ini berpendapat bahwa surah-surah yang turun sebelum Nabi Muhammad hijrah ke Madinah itu memiliki tiga tema utama, yakni menetapkan keesaan Allah SWT, mengukuhkan kenabian Muhammad Saw. dan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan hari kebangkitan dan akhirat (eskatologi). Sementara itu, al-Biqa’i berpendapat bahwa ada tiga maqashid, terdiri dari urusan aqidah dengan mengesakan Allah, hukum-hukum dan kisah-kisah (al-Raisuni, Maqashid al-Maqashid, al-Ghayat al-‘Ilmiyyah wa al-‘Amaliyyah li Maqashid al-Syari’ah). 

Keempat ulama klasik yang menggeluti kajian Al-Quran di atas secara jelas terlihat sama-sama mengidentifikasi ajaran tauhid sebagai salah satu kandungan utama Al-Quran yang menjadi bagian sentral dalam diskursus maqashid Al-Quran. Sementara untuk yang tidak termasuk dalam daftar tema-tema utama Al-Quran versi para ulama klasik tersbut adalah seputar isu-isu kemanusiaan dan politik umat.

Wallahu a’lam []

Tafsir Surah Yusuf ayat 63-66

0
Tafsir Surah Yusuf
Tafsir Surah Yusuf

Tafsir Surah Yusuf ayat 63-66 ini mengisahkan tentang perjumpaan Nabi Yusuf dan saudara-saudaranya. Dalam Tafsir Surah Yusuf ayat 63-66 Yusuf meminta saudara-saudaranya yang datang ke Mesir untuk menukarkan bahan makanan kembali menjemput Bunyamin. Selengkapnya baca Tafsir Surah Yusuf ayat 63-66 di bawah ini….


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Yusuf ayat 58-62


Ayat 63

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa tatkala sampai di rumah dan bertemu dengan ayah mereka, saudara-saudara Yusuf memberitahukan semua pengalaman mereka di Mesir dan bagaimana baiknya sambutan penguasa di sana terhadap mereka dengan memperlakukan mereka sebagai tamu. Ketika akan pulang, mereka juga dibekali dengan barang-barang yang diperlukan selama dalam perjalanan. Mereka diberi bahan makanan sebanyak 10 pikulan yang ditukar dengan barang-barang yang mereka bawa karena mereka hanya sepuluh orang.

Mereka juga menceritakan kepada Yakub bahwa mereka telah mengatakan kepada penguasa Mesir tentang ayah mereka yang telah tua dan seorang saudara yang tidak dapat datang karena ditugaskan menjaga ayah mereka. Mereka meminta supaya diberi 12 pikulan. Penguasa itu menjawab bahwa kalau benar mereka mempunyai saudara, hendaklah dibawa ke Mesir. Penguasa itu akan memberi mereka lagi bahan makanan sebanyak yang diminta. Mereka diperingatkan bahwa kalau Bunyamin tidak dapat dibawa, mereka tidak boleh datang lagi ke Mesir, dan tidak akan diberi makanan, karena dianggap sebagai pendusta yang tidak layak dipercayai.

Oleh sebab itu, mereka memohon kepada Yakub dengan sangat agar mengizinkan Bunyamin ikut bersama mereka. Dengan demikian, mereka akan diberi bahan makanan dan disambut dengan sambutan yang lebih baik karena telah memenuhi janji mereka untuk membawa Bunyamin ke Mesir. Mereka berjanji akan menjaga Bunyamin dengan sebaik-baiknya.

Ayat 64

Yakub terkejut mendengar permintaan mereka, sehingga dengan seketika menjawab:

“Apakah aku akan mempercayakan Bunyamin kepada kalian sebagaimana aku telah mempercayakan Yusuf dahulu?

Apakah kalian belum puas dengan mencelakakan Yusuf sehingga sekarang kalian kembali ingin mencelakakan Bunyamin?

Apakah aku akan percaya begitu saja kepada janji-janji dan jaminan kalian terhadap Bunyamin, padahal dahulu kalian telah membuat janji dan jaminan serupa ketika hendak membawa Yusuf bermain-main ke tempat penggembalaan di padang pasir?

Aku tidak percaya lagi kepada ucapan dan janji kalian. Aku akan menggantungkan harapanku kepada Allah agar Dia tetap memelihara Bunyamin karena Dialah sebaik-baik Penjaga dan Penyayang. Kepada-Nyalah aku bertawakal dalam menghadapi segala persoalan. Hanya Dialah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, aku bermohon agar Dia selalu melimpahkan rahmat-Nya kepadaku dengan melindungi Bunyamin dan menjaga keselamatannya serta tidak akan menimpakan cobaan kepadaku seperti kehilangan Yusuf, anakku yang tercinta. Sesungguhnya rahmat Allah Mahaluas dan Karunia-Nya Mahabesar.”

Ayat 65

Setelah saudara-saudara Yusuf membuka karung bahan makanan yang mereka bawa dari Mesir, ternyata mereka juga mendapatkan barang-barang mereka masih ada pula di dalamnya. Mereka berkata pada Yakub, “Wahai ayah kami, barang-barang yang kami bawa ke Mesir ternyata dikembalikan. Ini adalah bukti yang nyata betapa baiknya hati penguasa Mesir itu kepada kita dan betapa pemurahnya sehingga dia tidak mau mengambil barang-barang kita sebagai penukar makanan yang diberikan kepada kita.

Dia telah menolong kita dengan ikhlas tanpa mengharapkan balasan. Memang amat besar hutang budi kita. Oleh sebab itu, kita harus membalas jasa dan budi baiknya dengan memenuhi janji kami yaitu akan membawa Bunyamin ke Mesir. Kalau kami kembali ke Mesir membawanya, tentu kita akan mendapat bahan makanan lebih banyak, paling tidak akan bertambah satu pikulan karena kami sudah berjumlah sebelas orang. Bagi penguasa Mesir satu pikulan bahan makanan itu tentu tidak akan memberatkan karena gudang-gudangnya penuh dengan bahan makanan.”

Ayat 66

Mendengar ucapan anak-anaknya itu, Yakub sadar bahwa budi baik penguasa Mesir itu harus dibalas dengan budi baik pula. Tidak ada cara untuk membalasnya kecuali dengan menepati janji anak-anaknya yang akan membawa Bunyamin karena dia dan anak-anaknya tidak mempunyai apa-apa lagi untuk dipersembahkan apalagi penguasa Mesir itu telah menolak menerima barang tukaran dan mengembalikan semuanya. Dengan perasaan yang berat, Yakub berkata kepada anak-anaknya bahwa kalau mereka harus membawa Bunyamin ke Mesir, maka ia tidak akan mengizinkan kecuali dengan janji yang dikuatkan dengan sumpah bahwa mereka benar-benar akan menjaga keselamatan Bunyamin dan membawanya kembali pulang.

Mereka juga diminta untuk bersedia mengorbankan jiwa raga bila terjadi hal-hal yang membahayakan atau mengancam jiwanya. Anak-anak Yakub bersedia bersumpah untuk memenuhi syarat yang dikemukakan ayah mereka. Lalu mereka bersumpah dengan menyebut nama Allah bahwa mereka akan menjaga keselamatan Bunyamin, membelanya mati-matian bila terancam bahaya, dan akan membawanya pulang kembali. Setelah mendengar sumpah anak-anaknya itu, barulah hati Yakub merasa lega dan dia berkata, “Allah menjadi saksi atas semua ucapan dan janjimu itu. Dialah Yang Mengawasi segala perbuatan dan tindak-tandukmu dan kepada-Nyalah aku serahkan keselamatan anakku.”

(Tafsir Kemenag)


Baca Selanjutnya: Tafsir Surah Yusuf ayat 67-77


Innalillahi wa Inna Ilaihi Rajiun, KH Sya’roni Achmadi Dikabarkan Wafat

0
Sya'roni Achmadi
KH Sya'roni Achmadi

Innalillahi wa Inna Ilaihi Rajiun, kabar duka datang dari Kudus KH. Sya’roni Achmadi ulama kharismatik ahli al-Quran dikabarkan wafat pada Selasa (27/04) pagi di Rumah Sakit Islam Sunan Kudus pukul 09.00 WIB di usia yang ke-89 tahun. 

Kabar duka ini menyebar lewat aplikasi pesan whatsapp dan dikonfirmasi kebenarannya dari keterangan Rumah Sakit. Dari informasi yang tersebar, disebutkan bahwa KH. Sya’roni Achmadi telah menjalani perawatan sejak Ahad.  

Ulama yang juga termasuk mustasyar PBNU ini adalah pendakwah yang dikenal telah melakukan dakwah sejak muda. Beliau adalah putra dari pasangan Ahmadi dan Hayati, dilahirkan pada tanggal 17 Agustus 1931. Kiai Sya’roni merupakan anak ketujuh dari delapan bersaudara. 

Di usianya menginjak ke 8 tahun, Sya’roni kecil ditinggal ibundanya. Kemudian di usia ke 13, ayahandanya turut meninggalkannya. Praktis sejak kecil kiai Sya’roni telah yatim piatu. 

Meskipun ditinggal orang tua sejak kecil, akan tetapi kegigihannya dalam mengkaji agama tidak pernah surut. Hal ini dibuktikan dengan prestasinya di usia 11 tahun sudah hafal kitab alfiyah ibnu malik dan sudah hafal al-Quran di usia yang ke 14 tahun. 

Pendidikan formalnya ditempuh di Madrasah Diniyah Mu’awanah di Madrasah Ma’ahid lama pada masa KH. Muchit. Sedangkan pendidikan non formalnya, banyak dihabiskan dari satu tempat ke tempat lain ke beberapa pesantren dan kiai.

Tercatat bahwa Kiai Sya’roni pernah berguru kepada KH. Arwani Amin Kudus untuk menimba ilmu terutama qiraah sab’ah, kemudian pernah berguru pula kepada KH. Turaikhan Ajjuhri, KH. Turmudzi, KH. Ma’ruf Asnawi dan lain lain. 

Selain meninggalkan jamaah pengajian rutin di berbagai tempat, peninggalan KH. Sya’roni Achmadi juga berupa karya tulis. Beliau termasuk ulama yang cukup produktif untuk menulis kitab. Beberapa kitab yang dikarang olehnya adalah Al-Faraid al-Saniyah, Faidl al-Asany, Al-Tashrih al-Yasir fi ‘ilmi al-Tafsir, dan Qira’ah al-Ashriyyah. 

Kita semua kehilangan sosok ulama yang meneduhkan dan menjadi oase di tengah kegersangan dunia yang fana ini. Semoga apa yang telah ditinggalkan beliau menjadi bekal menuju pertemuan dengan Sang Khalik. Lahul Fatihah.