Beranda blog Halaman 333

Mengenal Ibn al-Araby: Mahaguru Tafsir Sufi Nazhari

0
Mengenal Ibn al-Araby: Mahaguru Tafsir Sufi Nazhari
Mengenal Ibn al-Araby: Mahaguru Tafsir Sufi Nazhari

Dalam sejarah keilmuan Islam, ada dua nama Ibn al-Araby yang cukup masyhur dalam dunia tafsir al-quran. Yang satu adalah seorang yang fakih mazhab maliki dengan kitab tafsir Ahkam al-Qur’an, sedangkan yang satunya adalah seorang sufi besar dengan karya tafsir berjudul Rahmah min al-Rahman fi Tafsir wa Isyarat al-Qur’an, keduanya sama-sama lahir di Spanyol. Namun, yang akan kita bahas kali ini hanya Ibn al-Araby sang sufi besar pada masanya, yang dikenal dengan tafsir sufi nazhari  .

Kehidupan Ibn al-Araby

Beliau memiliki nama lengkap Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad al-Tha’i al-Hatimi bin al-‘Araby, lahir pada tahun 1165 M di salah satu pusat peradaban Islam pada masa itu, yakni Spanyol.

Ibn al-Araby terlahir dalam keluarga yang salih, bahkan ayah dan beberapa anggota keluarganya merupakan tokoh sufi yang masyhur pada zamannya. Ia sendiri di kemudian hari diberi gelar Syaikhul Akbar oleh para pengkaji tasawuf atas sumbangsih pemikirannya dalam dunia tasawuf.

Dalam kitab al-Tafsir wa al-Mufassirun (2/252), penulis bahkan mengatakan Ibn al-Araby sebagai mahaguru tafsir sufi nazhari. Dikarenakan karya tafsirnya yang memberikan corak baru dalam penafsiran Alquran, yakni corak sufi nazhari atau sufi falsafi, yang ia gunakan dalam mayoritas penafsirannya untuk menjelaskan isi kandungan Alquran.

Baca juga: Hikmah Disandingkannya Ayat Tentang Itikaf dan Puasa Di dalam Al-Qur’an

Ibn al-Araby adalah seorang yang haus akan ilmu, ia bahkan rela melakukan rihlah ilmiah ke tempat yang jauh hanya untuk mendapatkan wawasan baru, berdasarkan catatan al-Dzahabi dalam Siyar A’lam al-Nubala (hlm. 3593), tertulis bahwa Ibn al-Araby pernah belajar kepada Ibn Basykawal dan Ibn Shafi, lalu di Mekkah ia pernah belajar kepada Zahir bin Rustum, di Damaskus kepada Ibn al-Harastani. Selain itu tercatat ia juga pernah melawat ke Baghdad dan Rum.

Sepanjang hidupnya Ibn al-Araby telah menghasilkan banyak sekali karya tulis yang di kemudian hari menjadi rujukan para sufi falsafi, sebutlah tiga karyanya yang terkenal yaitu al-Futuhat al-Makkiyyah, Fushush al-Hikam dan tafsir Rahmah min al-Rahman fi Tafsir wa Isyarat al-Qur’an.

Baca juga: Tiga Fungsi Pokok Al-Quran [1]: Hudan dalam Surah Al-Baqarah Ayat 185

Ibn al-Araby: Sosok Kontroversial

Sudah tak asing lagi bahwa Ibn al-Araby adalah sosok yang penuh polemik, sebagian kalangan khususnya dari kelompok sufi menyanjung beliau setinggi langit, bahkan ada yang sampai fanatik. Namun disisi lain, sebagian ulama khususnya dari kalangan fuqaha mengkritisinya, bahkan ada yang sampai memvonis kafir kepada Ibn al-Araby.

Bahkan seorang imam Izzuddin bin Abdissalam pernah mengomentari Ibn al-Araby sebagai “syaikh suu’ kadzdzab, yaqulu bi qidam al-‘alam wa la yuharrimu farj” atau ‘orang tua yang buruk lagi pendusta, ia berpendapat bahwa alam itu qadim dan tidak mengharamkan kemaluan (zina)’.

Yang harus dipahami adalah terkadang perkataan para tokoh sufi itu tidak bisa dipahami secara tekstual, karena terkadang bahasa yang digunakan adalah bahasa sastra yang perlu untuk dita’wil.

Baca juga: Surah an-Najm [53] Ayat 49: Bintang Sirius dan Masyarakat Arab

Ada juga tuduhan bahwa Ibn al-Araby telah kafir dan seringkali melakukan ta’wil secara serampangan terhadap Alquran untuk mendukung ‘pandangan-pandangan aneh dan ajaran bidahnya’ atau yang semisalnya. Tuduhan semacam ini menurut Dr. Syamsuddin Arif dalam ‘Orientalisme & Diabolisme Pemikiran’ adalah tuduhan yang tidak memiliki argumentasi yang kuat.

Memang benar bahwa Ibn al-Araby mengecam mereka yang merasa puas hanya dengan makna literal ayat. Akan tetapi Ibn al-Araby juga mengecam mereka yang melakukan ta’wil terhadap ayat-ayat Alquran secara serampangan.

Setiap tokoh dan setiap pemikir pasti memiliki kelebihan dan kekurangan, tinggal bagaimana kita sebagai pelajar untuk terus belajar dan bersikap kritis, bisa mengambil yang baik dan meninggalkan yang buruk.

 Harmoni antara Syariat dan Tasawuf

Perlu diketahui bahwa Ibn al-Araby menyatakan komitmennya terhadap syariat yang dibawa oleh nabi Muhammad, tidak sebagaimana yang dituduhkan oleh sebagian orang bahwa ia menafikan syariat Rasulullah. Dalam muqaddimah kitab ‘Fushush al-Hikam’ (hal. 48) ia menyatakan,

وَمِنَ اللهِ أَرجُو أَن أَكُونَ مِمَّن أُيِّدَ فَتَأَيَّدَ وَقُيِّدَ بِالشَّرعِ المُحَمَّدِيِّ المُطَهَّرِ فَتَقَيَّدَ وَقَيَّدَ, وَحُشِرنَا فِي زُمرَتِهِ كَمَا جَعَلنَا مِن أُمَّتِهِ

dan kepada Allah aku mengharap termasuk pada orang-orang yang ditolong agar aku tertolong, dan diikatkan pada syariat Muhammad yang suci maka aku terikat dan mengikatkan diri (pada syariat Muhammad), dan semoga kami dikumpulkan bersamanya (di hari kiamat) sebagaimana kami menjadi umatnya (di dunia)”.

Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh imam al-Alusi dalam Ruh al-Ma’ani (11/179) yang mengatakan bahwa barangsiapa yang keluar dari tuntunan syariat barang sejengkal saja, maka tak sepantasnya gelar ‘wali’ itu disematkan kepadanya, walaupun ia mampu menghadirkan beribu-ribu keajaiban.

Baca juga: Sejarah Awal Kewajiban Puasa dan Turunnya Surah al-Baqarah Ayat 187

‘Derajat’ Wali itu Muktasabah

Ibn al-Araby mengatakan bahwa nubuwah itu berakhir seiring wafatnya Rasulullah, sehingga tak mungkin lagi ada nabi sesudah nabi Muhammad. Adapun derajat kewalian atau waliyullah itu akan selalu ada sampai akhir zaman dan bisa didapat oleh siapapun. Ini terlihat ketika ia menafsirkan Qs. Yunus [10]: 63 berikut. Allah berfirman,

الذين آمنوا وكانوا يتقون

Mereka (para wali-wali Allah) itu adalah orang-orang yang beriman dan senantiasa bertakwa”.

Ibn al-Araby dalam Tafsirnya (2/310-311) mengatakan,

…وَقُلنَا إِنَّ الوَلَايَةَ مُكتَسَبَةٌ وَالتَّعَمُّلَ فِي تَحصِيلِهَا اختِصَاصٌ, فَمِنهُم مَن تَحَصَّلَ لَهُ الوَلَايَةُ بِالصَّدَقَةِ وَالقَرضِ الحَسَنِ وَصِلَةِ الرَّحمِ, وَمِنَ النَّاسِ مَن تَحَصَّلَ لَهُ بِمُرَاقَبَةِ اللهِ وَالمُبَادَرَةِ لِأَوَامِرِهِ الَّتِي نَدَبَ إِلَيهَا لَا الَّتِي افتَرَضَهَا عَلَيهِ…(إلى آخره).

Terjemah bebasnya, derajat kewalian itu bisa diusahakan (muktasabah) dan siapapun yang diberikan taufik untuk melakoninya jalannya berarti ia telah dikhususkan dan dimuliakan oleh Allah. Maka diantara mereka ada yang menjadi wali Allah karena sedekahnya, ada yang karena rajin menyambung silaturahmi, dan lain sebagainya dari amalan-amalan yang sunnah. Bukan amalan yang wajib, karena itu adalah kewajiban yang harus ditunaikan oleh seorang hamba, sedangkan mengerjakan amalan sunnah merupakan pertanda kecintaan kepada Allah dan mengundang cintanya Allah kepada seorang hamba. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Yusuf ayat 58-62

0
Tafsir Surah Yusuf
Tafsir Surah Yusuf

Tafsir Surah Yusuf ayat 58-62 ini mengisahkan Nabi Yusuf menjadi orang kepercayaan Raja dalam mengatur perekonomian Mesir dalam menghadapi 7 tahun masa penceklik kepercayaan Raja dapat Yusuf peroleh sebab kejujuran dan akhlaknya yang terpuji. Selanjutnya baca Tafsir Surah Yusuf ayat 58-62 di bawah ini….


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Yusuf ayat 53-57


Ayat 58

Dalam kitab Perjanjian Lama Kitab Kejadian 42: 2-25 disebutkan bahwa Yusuf mengadakan persiapan dan perbekalan secara besar-besaran untuk menghadapi bahaya kelaparan pada musim kering. Untuk itu, dia membangun gudang-gudang besar untuk menyimpan bahan makanan yang dihasilkan pada musim subur. Ketika datang musim kering, ternyata kekeringan itu bukan hanya terjadi di Mesir saja, tetapi meliputi negeri-negeri tetangga yang berdekatan terutama di negeri Palestina.

Terdengarlah di sana berita bahwa pemerintahan Mesir mempunyai simpanan bahan makanan yang banyak sekali, sehingga dapat membantu meringankan penderitaan penduduk negeri-negeri tetangga itu. Penguasa di sana rela melepaskan sebagian dari simpanan itu dengan cara menjual kepada siapa yang sangat memerlukannya. Oleh karena itu, Yakub menyuruh anak-anaknya (saudara-saudara Yusuf) supaya mengumpulkan barang-barang dagangan dan membawanya ke Mesir untuk ditukarkan dengan bahan makanan.

Untuk memenuhi permintaan Yakub, berangkatlah saudara-saudara Yusuf, kecuali Bunyamin karena tidak diizinkan oleh Yakub, untuk membeli bahan makanan yang sangat mereka perlukan. Ketika sampai di sana, mereka langsung menemui Yusuf dengan harapan akan segera dapat membeli bahan makanan, karena urusan ini sepenuhnya berada di tangan Yusuf. Ketika mereka masuk menghadap, Yusuf mengetahui bahwa yang datang itu adalah saudara-saudaranya sendiri, karena rupa dan jenis pakaian mereka masih melekat dalam ingatannya apalagi mereka berjumlah sepuluh orang. Yusuf berkata dalam hatinya, “Tidak diragukan lagi mereka ini adalah saudara-saudara saya.” Sebaliknya mereka tidak tahu sama sekali bahwa yang mereka hadapi adalah saudara sendiri.

Mereka semua tidak lagi ingat bentuk Yusuf karena sudah lama berpisah, apalagi yang mereka hadapi adalah seorang perdana menteri dengan pakaian kebesaran dan tanda-tanda penghargaan berkilau di bajunya. Tidak mungkin Yusuf menjadi orang yang memiliki jabatan yang amat tinggi itu karena mereka telah membuangnya ke dalam sumur. Kalaupun masih hidup, dia tentu akan menjadi budak belian yang diperas tenaganya oleh tuannya.

Ayat 59

Ayat ini menjelaskan bahwa Yusuf mengabulkan permintaan saudara-saudaranya untuk membeli barang-barang yang mereka bawa dan ditukar dengan bahan makanan. Dia kemudian memerintahkan supaya disiapkan untuk mereka 10 pikul bahan makanan dan keperluan-keperluan lain yang dibutuhkan dalam perjalanan, karena mereka berjumlah sepuluh orang, masing-masing berhak mendapat satu pikul. Tetapi mereka men-ceritakan bahwa di kampung mereka ada lagi 2 orang yang sangat memerlukan bahan makanan yaitu seorang saudara dan seorang ayah mereka sendiri.

Mereka memohon supaya mereka diberikan 12 pikulan sebab yang sepuluh pikulan itu hanya cukup untuk mereka saja, “Ayah kami tidak dapat datang kemari karena sudah tua dan lemah, sedangkan saudara kami sengaja kami tinggalkan untuk menjaganya dan menyenangkan hatinya.” Mendengar keterangan saudara-saudaranya itu, Yusuf berkata, “Kalau demikian bawalah saudara kalian itu kemari sebagai bukti bagi kami atas kebenaran kalian semua dan kami akan mengabulkan permintaan kalian itu.

Kami telah melihat sendiri bahan-bahan makanan yang disediakan untuk kalian semua berjumlah 10 pikulan, karena kami hanya sanggup menyerahkan satu pikulan untuk satu orang. Selain dari itu, selama di sini kalian semua sudah kami perlakukan dengan baik sebagai tamu kami karena begitulah biasanya kami memperlakukan tamu dengan sebaik-baiknya. Sekarang pulanglah kalian semua dan bawalah bahan makanan itu, kemudian datanglah kembali dengan membawa barang dagangan untuk ditukar dengan bahan makanan, tetapi dengan syarat kalian harus membawa saudara kalian sebagai bukti kebenaran dan kejujuran kalian.”

Ayat 60

Selanjutnya Yusuf berkata, “Jika kalian tidak membawanya, kalian tidak akan mendapat bahan makanan sama sekali karena itu berarti kalian bukan orang-orang yang jujur. Orang-orang yang pembohong dan pendusta tidak akan kami layani dan kami sangat membencinya. Sekali lagi kami tegaskan, kalau kalian tidak membawa saudara kalian itu, jangan diharap kalian akan diberi bahan makanan. Bahkan jangan mencoba mendekat ke negeri kami, apalagi menghadap kepada kami karena tidak ada tempat di sini bagi orang-orang yang tidak jujur.”

Ayat 61

Saudara-saudara Yusuf menjawab, “Kalau begitu, kami akan pulang dan berusaha dengan sungguh-sungguh agar ayah kami dapat mengizinkan saudara kami itu pergi bersama kami ke Mesir. Kami akan menceritakan kepadanya semua yang telah terjadi dan mengatakan bahwa kami telah disambut dengan baik sekali dan diperlakukan sebagai tamu selama kami berada di Mesir.”

Ayat 62

Kemudian Yusuf memerintahkan kepada petugas-petugasnya yang mengurus bahan makanan agar semua barang-barang yang dibawa mereka dimasukkan kembali ke dalam karung-karung bahan makanan tanpa setahu mereka. Barang-barang itu terdiri dari berbagai macam bahan hasil produksi padang pasir, seperti kulit bulu domba dan lain sebagainya. Dengan mengembalikan barang-barang itu, mereka akan menyadari sepenuhnya betapa baiknya hati penguasa Mesir itu, dan betapa tinggi jasanya terhadap mereka.

Mereka telah diperlakukan sebagai tamu selama di Mesir kemudian diberi bahan makanan, sedangkan barang-barang dagangan mereka sendiri dikembalikan, seakan-akan bahan makanan yang sepuluh pikul itu diberikan kepada mereka dengan cuma-cuma sebagai hadiah yang bagi mereka sendiri sangat diperlukan dan tak ternilai harganya. Dengan kesadaran itu, diharapkan timbul tekad yang kuat dalam hati mereka untuk kembali ke Mesir membawa barang-barang dan membawa Bunyamin sekaligus sebagaimana diamanatkan oleh Yusuf.

(Tafsir Kemenag)


Baca Selanjutnya: Tafsir Surah Yusuf ayat 63-66


Tafsir Q.S. Ali Imran [3]: 145: Menyoal Kematian dan Ragam Motif di Balik Amal

0
di balik amal
Kematian dan motif di balik amal

Q.S. Ali Imran [3]: 145 menjadi salah satu rekomendasi ayat yang patut dipelajari secara mendalam di bulan Ramadhan ini. Secara garis besar, Q.S. Ali Imran [3]: 145 ini berbicara soal kematian dan ragam motif di balik amal. Kedua diskursus yang dibawa oleh ayat ini begitu relate diaplikasikan sebagai renungan dalam meningkatkan kualitas keimanan selama bulan Ramadhan.

Sebelumnya mari dibaca dulu lafadz ayatnya supaya semakin menambah keberkahan selama mempelajarinya:

وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ اَنْ تَمُوْتَ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ كِتٰبًا مُّؤَجَّلًا ۗ وَمَنْ يُّرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهٖ مِنْهَاۚ وَمَنْ يُّرِدْ ثَوَابَ الْاٰخِرَةِ نُؤْتِهٖ مِنْهَا ۗ وَسَنَجْزِى الشّٰكِرِيْنَ

Dan setiap yang bernyawa tidak akan mati kecuali dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala (dunia) itu, dan barangsiapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala (akhirat) itu, dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.

Baca Juga: Kematian dalam Al-Quran dan Penggunaannya Menurut Hamza Yusuf

Imam al-Thabari dalam Jami’ al-Bayan fi Tafsir Ay al-Qur’an memberikan penjelasan yang cukup mendalam terkait dua pelajaran penting yang dikandung dalam ayat ini. Pada penggalan pertama ayat yang berbicara soal kematian, ia menguraikannya sebagaimana berikut ini:

وما يموت محمد ولا غيره من خلق الله إلا بعد بلوغ أجله الذي جعله الله غاية لحياته وبقائه، فإذا بلغ ذلك من الأجل الذي كتبه الله له، وأذن له بالموت، فحينئذ يموت. فأما قبل ذلك، فلن يموت بكيد كائد ولا بحيلة محتال

“Dan tidaklah Nabi Muhammad wafat dan tidak pula makhluk Allah lainnya kecuali setelah sampai ajalnya—yang Allah jadikan sebagai tujuan (atau akhir) kehidupannya dan (awal) keabadiannya. Maka jika telah sampai ajalnya—yang telah ditetapkan oleh Allah serta izin-Nya, seketika itu baik Nabi maupun makhluk Allah lainnya akan langsung mati. Namun kalau belum sampai, mustahil ia akan mati walau dengan tipu daya apapun”.

Selanjutnya pada penggalan kedua dari ayat yang berbicara soal ragam motif di balik amal, Imam al-Thabari menguraikan sebagai berikut:

من يرد منكم، أيها المؤمنون، بعمله جزاءً منه بعضَ أعراض الدنيا، دون ما عند الله من الكرامة لمن ابتغى بعمله ما عنده =”نؤته منها”، يقول: نعطه منها، يعني من الدنيا، يعني أنه يعطيه منها ما قُسم له فيها من رزق أيام حياته، ثم لا نصيب له في كرامة الله التي أعدها لمن أطاعه وطلب ما عنده في الآخرة =”ومن يرد ثوابَ الآخرة”، يقول: ومن يرد منكم بعمله جزاءً منه ثواب الآخرة، يعني: ما عند الله من كرامته التي أعدها للعاملين له في الآخرة =”نؤته منها”، يقول: نعطه منها، يعني من الآخرة. والمعنى: من كرامة ألله التي خصَّ بها أهلَ طاعته في الآخرة.

“Siapapun dari kalian wahai orang-orang mukmin yang menginginkan balasan atas amalnya berupa sebagian kehormatan duniawi, bukannya karomah Allah. Maka orang mukmin jenis ini akan Allah berikan imbalan duniawi berupa rizki yang dibagikan sepanjang usianya. Lalu baginya tidak ada bagian (imbalan) karomah Allah—yang telah Dia peruntukkan kepada hamba-Nya yang taat dan mencari kemuliaan di sisi-Nya bagi kehidupannya di akhirat”.

Dari penafsiran Imam al-Thabari, setidaknya ada tiga hal yang dapat direfleksikan secara lebih mendalam. Pertama, dalam menyoal kematian, manusia tidak punya kuasa dalam menentukan hal-hal yang berkaitan dengannya. Mulai dari kapan, di mana dan bagaimana kematian itu akan menjumpainya, manusia sama sekali tidak memiliki pengetahuan atasnya.

Segala hal perihal kematian hanya Allah saja yang mengetahuinya dan hanya dengan izin Allah saja hal itu bisa terjadi. Sebab itulah dalam al-Qur’an Allah dalam beberapa ayat disebut sebagai Dzat yang ‘alim al-ghaibi wa al-syahadah, artinya hanya Allah-lah yang memiliki pengetahuan mengenai perkara yang ghaib maupun yang nampak.

Poin pertama ini apabila direnungi secara mendalam, akan membawa pada manusia pada kokohnya keimanan serta menjauhkannya dari keangkuhan. Manusia akan sepenuhnya menyadari bahwa segala skenario kehidupan makhluk itu ada di tangan Allah dan tiada satupun yang bisa mengintervensi ketetapan-Nya.

Pemahaman di atas juga sekaligus menjauhkan diri manusia dari sifat angkuh serta berusaha menjaga perilakunya. Sebab manusia akan menyadari bahwa dirinya tidaklah memiliki daya apapun di dunia yang fana ini, bahkan dalam hal mengetahui masa depannya sekalipun. Manusia juga akan senantiasa berhati-hati dalam menjalani kehidupannya, sebab bisa saja saat melakukan hal buruk kematian datang dan menjemputnya.

Kedua, perihal ragam motif di balik amal, al-Qur’an telah memperlihatkan bahwa ada dua motif yang bisa saja ada di benak seorang mukmin saat mengerjakan suatu amal. Bisa saja ia berniat memperoleh kemegahan dunia dan bisa saja dalam hatinya tulus meraih karamah Allah serta kemuliaan akhirat. Niat yang ada di benak masing-masing itulah nantinya yang menentukan balasan yang akan Allah berikan.

Manusia yang masih memikirkan dunia sebagai satu-satunya hal yang harus dikejar, hanya akan mendapatkan dunia saja. Namun berbeda halnya dengan manusia yang menjadikan dunia sebagai batu loncatan dalam mengejar karomah Tuhan, maka ia tak hanya mendapatkan bagiannya di dunia saja melainkan juga mendapatkan bagiannya di kehidupan setelah kematian.

Sebab bagaimanapun memikirkan perkara duniawi juga merupakan sunnatul hayah bagi manusia. Namun jangan sampai hajat duniawi itu menjadi satu-satunya tujuan, akan tetapi harus diseimbangkan dan dilengkapi dengan hajat akhirat. Hal ini sebagaimana dalam Q.S. al-Qashash: 77:

وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ

Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuatbaiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.

Baca Juga: Maut Tidak Selalu Kematian, Kenali Lima Makna Maut dalam Al-Quran

Ketiga, ada hubungan yang bisa diambil dari dua penggalan ayat tersebut. Di mana salah satu hakikat dari adanya kehidupan dan kematian itu ialah sebagai ujian bagi manusia terhadap amal yang ia telah kerjakan. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-Mulk: 1-2:

الَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيٰوةَ لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ اَحْسَنُ عَمَلًاۗ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْغَفُوْرُۙ

Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun.

Maka penggalan ayat yang kedua menjadi pengingat bahwa amal akan dibalas sesuai yang ada di balik motifnya. Dengan demikian jangan sampai saat ajal menjemput justru tak ada satupun dari balasan dari amal yang menanti di akhirat, sebab telah selesai dibalaskan oleh Allah di dunia.

Jangan sampai juga kita sebagai manusia mengingkari skenario kematian dan bahkan enggan untuk menerimanya. Seyogyanya manusia mengingat pesan Imam al-Ghazali dalam Mizanul Amal, bahwa kematian harus menjadi sesuatu yang diingat betul oleh manusia sebab dengan mengingatnya manusia dapat melepaskan belenggu kemegahan duniawi yang mungkin selama ini menjadi tujuan yang selalu ia kejar. Wallahu a’lam.

Hikmah Disandingkannya Ayat Tentang Itikaf dan Puasa Di dalam Al-Qur’an

0
Itikaf dan Puasa
Itikaf dan Puasa

Saat mempelajari Al-Qur’an, tepatnya pada ayat-ayat yang menjelaskan tentang kewajiban berpuasa, akan ditemukan sebuah fakta menarik. Yakni disandingkannya perihal itikaf dan puasa pada sebuah ayat. Padahal secara sekilas, itikaf dan puasa tidak memiliki keterkaitan secara langsung. Itikaf adalah persoalan berdiam diri di masjid, dan puasa adalah soal menahan diri dari makan, minum serta berhubungan intim.

Fakta ini tidak lepas dari perhatian para ulama’, utamanya para pakar tafsir. Ibn Katsir mengungkapkan keterkaitan itikaf dan puasa dalam segi hukum, sedang Ar-Razi serta Al-Baqa’i mengungkapkan keterkaitan keduanya dalam upaya menggiring opini pembacanya ke arah hukum yang benar. Berikut keterangan ulama’ mengenai hikmah disandingkannya itikaf dan puasa.

Keutamaan Serta Larangan Itikaf

Itikaf dan puasa disandingkan oleh Allah di dalam firman-Nya yang berbunyi:

وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَامَ اِلَى الَّيْلِۚ وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عٰكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا تَقْرَبُوْهَاۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ ١٨٧

Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian, sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam. Akan tetapi, jangan campuri mereka ketika kamu (dalam keadaan) beriktikaf di masjid. Itulah batas-batas (ketentuan) Allah. Maka, janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka bertakwa (QS. Al-Baqarah [2] :187).

Baca Juga: Sejarah Awal Kewajiban Puasa dan Turunnya Surah al-Baqarah Ayat 187

Imam Ibn Katsir di dalam tafsirnya menyatakan, karena ayat ini para ahli fikih meletakkan bab itikaf setelah bab puasa di dalam karya mereka. Ibn katsir juga menjelaskan, di balik disandingkannya puasa dengan itikaf di ayat di atas, ada petunjuk atau arahan untuk melakukan itikaf di bulan puasa atau di sepuluh hari terakhir di bulan puasa. Hal ini sebagaimana dicontohkan oleh nabi Muhammad. Ibn Katsir kemudian memaparkan beberapa hadis yang mendukung kesimpulannya. Di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan dari ‘Abdullah ibn ‘Umar bahwa ia berkata (Tafsir Ibn Katsir/1/511:

كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

Rasulullah salallahualaihi wasallam melakukan itikaf di sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan sampai beliau wafat. Lalu istri-istri beliau melakukan itikaf setelahnya (HR. Imam Bukhari dan Muslim).

Imam An-Nawawi di dalam Syarah Sahih Muslim menyatakan, hadis di atas menunjukkan kesunnahan itikaf. Dan kesunnahan itu menjadi bertambah amat dianjurkan (muakkad) bila dilakukan di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Ini adalah pemahaman yang telah disepakati oleh seluruh umat muslim (Syarah Sahih Muslim/4/201).

Imam Ar-Razi memberikan penjelasan yang berbeda perihal disandingkannya puasa dengan itikaf. Menurutnya, keharaman berhubungan intim bagi orang yang berpuasa di siang hari, serta diperbolehkannya di malam hari, dapat menggiring opini orang yang itikaf bahwa ia bebas berhubungan intim tatkala di malam hari.

Padahal tidak seperti itu. Meski di malam hari, orang yang itikaf tidak diperbolehkan berhubungan intim. Dalam artian, apabila ia keluar sejenak dari masjid lalu berhubungan intim dengan istrinya di rumah, maka itikafnya menjadi batal. Berbeda bila ia keluar hanya sekedar untuk membuang hajat, maka itikafnya tidak batal meski ia sejenak keluar dari masjid (Tafsir Mafaatiihul Ghaib/3/127).

Imam Al-Baqa’i memberikan penjelasan hampir serupa. Menurutnya, dikarenakan puasa di bulan Ramadhan amat lekat dengan tempat bernama masjid dan prilaku itikaf, dan dalam ayat di atas terdapat hukum bolehnya berhubungan intim di malam hari entah dalam keadaan seperti apapun dan di tempat manapun, maka kiranya perlu diterangkan keadaan serta tempat yang membuat hubungan intim di malam hari saat puasa di larang. Yakni keadaan masih beritikaf dan tempat berupa masjid (Nadzmud Durar/1/282).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Untuk Musafir, Tetap Berpuasa atau Berbuka?

Kesimpulan

Lewat berbagai uraian di atas dapat disimpulkan, lewat disandingkannya itikaf dengan puasa pada Surat Al-Baqarah ayat 187, bisa jadi Allah ingin menunjukkan kepada kita akan beberapa hal. Pertama, keutamaan itikaf di bulan puasa; kedua, agar kita tidak melakukan larangan berhubungan intim di bulan puasa pada malam hari. Yakni pada waktu itikaf dan pada saat sedang di masjid. Wallahu a’lam bishshawab.

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 186-188

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Sebelumnya dibahas tentang wajibnya puasa di bulan Ramadan untuk orang mukmin kecuali orang sakit dan musafir. Selanjutnya Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 186-188 ini Allah menyuruh hambanya berdoa kepada-Nya.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 184-185


Pada Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 186-188 juga diterangkan halangan yang diperbolehkan untuk meninggalkan puasa dan Allah melarang hambanya untuk tidak memakan harta orang lain dengan jalan batil.

Ayat 186

Di dalam ayat ini, Allah menyuruh hamba-Nya agar berdoa kepada-Nya, serta Dia berjanji akan memperkenankannya, tetapi pada akhir ayat ini Allah menekankan agar hamba-Nya memenuhi perintah-Nya dan beriman kepada-Nya agar mereka selalu mendapat petunjuk.

Di dalam hadis banyak diterangkan hal-hal yang bertalian dengan doa antara lain:

  1. Sabda Rasulullah saw:

ثَلاَثَـةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ: اْلإِمَامُ الْعَاِدلُ وَالصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ (رواه مسلم)

Tiga macam orang tidak ditolak doanya, yaitu Imam yang adil, orang yang sedang berpuasa hingga ia berbuka dan doa seorang yang teraniaya. (Riwayat Muslim)

  1. Sabda Rasulullah saw:

لاَ يَزَالُ يُسْتَجَابُ لِلْعَبْدِ مَالَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيْعَةِ رَحِمٍ مَالَمْ يَسْتَعْجِلْ قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَا اْلاِسْتِعْجَالُ؟ قَالَ: يَقُوْلُ قَدْ دَعَوْتُ فَلَمْ أَرَ يُسْتَجَابُ لِي فَيَحْسِرُ عِنْدَ ذٰلِكَ وَيَدَعُ الدُّعَاءَ

(رواه أحمد والترمذي والنسائي وابن ماجه);

Senantiasa diterima permohonan setiap hamba, selama ia tidak mendoakan hal-hal yang menimbulkan dosa atau memutuskan hubungan silaturrahim (dan) selama tidak meminta agar segera dikabulkan. Rasulullah ditanya,  Apakah maksud segera dikabulkan ya Rasulullah?  Beliau menjawab,  Maksudnya ialah seorang hamba yang berkata,  Saya sesungguhnya telah berdoa, tetapi saya lihat belum diperkenankan, karena itu ia merasa kecewa lalu tidak berdoa lagi . (Riwayat Ahmad, at-Tirmizi, an-Nasa′i dan Ibnu Majah)

Walaupun ada pendapat yang mengatakan bahwa Allah swt Mahakuasa, Maha Mengetahui dan mengatur segalanya, diminta atau tidak diminta Dia berbuat sekehendak-Nya, sehingga manusia tidak perlu berdoa, tetapi pendapat itu bertentangan dengan ayat ini dan hadis-hadis Nabi Muhammad.

Apabila di antara doa yang dipanjatkan kepada Allah ada yang belum dikabulkan, maka ada beberapa sebab:

  1. Tidak memenuhi syarat-syarat yang semestinya.
  2. Tidak mutlak Allah memberikan sesuai dengan yang dimohonkan oleh hamba-Nya, tetapi diganti atau disesuaikan dengan yang lebih baik bagi pemohon, baik di dunia maupun di akhirat. Dalam ayat ini Allah menghubungkan antara doa yang dijanjikan akan dikabulkan-Nya itu dengan ketentuan bahwa hamba-hamba-Nya harus mematuhi segala perintah-Nya dan beriman kepada-Nya.

Selain itu doa hendaklah dilakukan dengan khusyuk, sungguh-sungguh dan dengan sepenuh hati, dan bukan doa untuk menganiaya orang, memutuskan hubungan silaturrahim dan lain-lain perbuatan maksiat.

Memang segala sesuatu harus menurut syarat-syarat atau tata cara yang baik dan dapat menyampaikan kepada yang dimaksud. Kalau seorang berkata, “Ya Tuhanku berikanlah kepadaku seribu rupiah,” tanpa melakukan usaha, maka dia bukanlah berdoa tetapi sesungguhnya dia seorang jahil. Artinya permohonan serupa itu tidak ada artinya, karena tidak disertai usaha yang wajar.


Baca juga: Penjelasan tentang Kebaikan di Akhirat dalam Surah al-Baqarah Ayat 201


Ayat 187

Pada ayat ini Allah menerangkan ‘uzur atau halangan yang membolehkan untuk meninggalkan puasa, serta hukum-hukum yang bertalian dengan puasa.

Banyak riwayat yang menceritakan tentang sebab turunnya ayat ini, antara lain: pada awal diwajibkan puasa, para sahabat Nabi dibolehkan makan, minum, dan bersetubuh sampai salat Isya atau tidur.

Apabila mereka telah salat Isya atau tidur, kemudian bangun maka haramlah bagi mereka semua itu. Pada suatu waktu, ‘Umar bin al-Khattab bersetubuh dengan istrinya sesudah salat Isya, dan beliau sangat menyesal atas perbuatan itu dan menyampaikannya kepada Rasulullah saw.

Maka turunlah ayat ini menjelaskan hukum Allah yang lebih ringan daripada yang telah mereka ketahui dan mereka amalkan. Bahwa sejak terbenamnya matahari (magrib) sampai sebelum terbit fajar (subuh), dihalalkan semua apa yang tidak diperbolehkan pada siang hari pada bulan Ramadan dengan penjelasan sebagai berikut:

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari Ramadan bersetubuh dengan istri kamu, karena mereka adalah pakaian bagi kamu dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu telah mengkhianati diri kamu, yakni tidak mampu menahan nafsu dengan berpuasa seperti yang kamu lakukan, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi keringanan pada kamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang ditetapkan bagimu . (al-Baqarah/2:186)

Artinya sekarang kamu diperbolehkan bersetubuh dengan istri kamu dan berbuat hal-hal yang dibolehkan untuk kamu. Makan dan minumlah sehingga terang bagimu benang putih dari benang hitam yaitu sampai terbit fajar, sempurnakanlah puasa itu sampai datang malam.

Selain dari itu kamu dilarang pula bersetubuh dengan istrimu ketika kamu sedang beriktikaf di dalam masjid. Kemudian Allah menutup ayat ini dengan menegaskan bahwa larangan-larangan yang telah ditentukan Allah itu tidak boleh kamu dekati dan janganlah kamu melampaui dan melanggarnya. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepada umat manusia, agar mereka bertakwa.

Ayat 188

Pada bagian pertama dari ayat ini Allah melarang makan harta orang lain dengan jalan batil.  Makan  ialah  mempergunakan atau memanfaatkan, sebagaimana biasa dipergunakan dalam bahasa Arab dan bahasa lainnya. Batil ialah cara yang dilakukan tidak menurut hukum yang telah ditentukan Allah.

Para ahli tafsir mengatakan banyak hal yang dilarang yang termasuk dalam lingkup bagian pertama ayat ini, antara lain:

  1. Makan uang riba.
  2. Menerima harta tanpa ada hak untuk itu.
  3. Makelar-makelar yang melaksanakan penipuan terhadap pembeli atau penjual.

Kemudian pada ayat bagian kedua atau bagian terakhir yang melarang menyuap hakim dengan maksud untuk mendapatkan sebagian harta orang lain dengan cara yang batil, dengan menyogok atau memberikan sumpah palsu atau saksi palsu. Rasulullah saw bersabda:

إِنَّمَا اَنَا بَشَرٌ وَإِنَّكُمْ تَخْتَصِمُوْنَ إِلَيَّ، وَلَعَلَّ بَعْضُكُمْ أَنْ يَكُوْنَ أَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ فَأَقْضِي لَهُ بِنَحْوِ مَا أَسْمَعُ، فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ مِنْ حَقِّ أَخِيْهِ شَيْئًا يَأْخُذُهُ، فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنَ النَّارِ، فَبَكَى الْخَصْمَانِ وَقَالَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا: اَنَا حِلٌّ لِصَاحِبِي فَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ اِذْهَبَا فَتَوَخَّيَا ثُمَّ اسْتَهِمَا ثُمَّ لِيُحْلِلْ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا صَاحِبَهُ

(رواه مالك وأحمد والبخاري ومسلم و غيرهم)

Sesungguhnya saya adalah manusia dan kamu datang membawa suatu perkara untuk saya selesaikan. Barangkali di antara kamu ada yang lebih pintar berbicara sehingga saya memenangkannya, berdasarkan alasan- alasan yang saya dengar. Maka siapa yang mendapat keputusan hukum dari saya untuk memperoleh bagian dari harta saudaranya (yang bukan haknya) kemudian ia mengambil harta itu, maka ini berarti saya memberikan sepotong api neraka kepadanya . (Mendengar ucapan itu) keduanya saling menangis dan masing-masing berkata. Saya bersedia mengikhlaskan harta bagian saya untuk teman saya. Lalu Rasulullah saw memerintahkan,  Pergilah kamu berdua dengan penuh rasa persaudaraan dan lakukanlah undian dan saling menghalalkan bagianmu masing-masing menurut hasil undian itu. (Riwayat Malik, Ahmad, al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain)


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 189-190


(Tafsir kemenag)

Tujuan Al-Quran Diturunkan: Merubah Tradisi Buruk Masyarakat Jahiliyyah

0
Al-Quran merubah tradisi buruk Masyarakat Jahiliyyah
Al-Quran merubah tradisi buruk Masyarakat Jahiliyyah

Al-Quran merupakan kitab suci umat Islam yang memiliki banyak sekali pertentangan dengan adat-istiadat Masyarakat Jahiliyyah. Tidak dapat dipungkiri bahwa Masyarakat Jahiliyyah memiliki tradisi yang sangat buruk tidak hanya di mata Al-Quran tapi juga dimata manusia normal pada umumnya. Kemaksiatan, penyalahgunaan wewenang, penindasan dan banyak hal buruk lainnya yang terjadi pada masa jahiliyah. Pada keadaan itulah Al-Quran diturunkan untuk merubah tradisi buruk tersebut.

Masyarakat Arab pra-Islam disebut dengan istilah Jahiliyah karena pada masa itu masyarakat Arab hidup dalam kondisi ketidaktahuan. Rasulullah SAW mengatakan bahwa mereka adalah golongan orang-orang yang tidak tahu. Hal ini beliau katakan ketika beliau SAW diusir dan dilempari batu oleh penduduk Thaif. Malaikat Jibril kala itu menawarkan untuk melempar penduduk Thaif dengan gunung, namun Rasulullah SAW mengatakan “Jangan! Mereka adalah masyarakat yang belum tahu.”

Baca juga: Petunjuk Al-Quran tentang Tiga Hal Untuk Memperkuat Keyakinan

Masyarakat Arab pra-Islam diketahui tidak bisa melihat nilai-nilai kemanusiaan diluar kelompoknya. Hal ini disebabkan karena pada saat itu, masyarakat Arab terbagi-bagi kedalam kabilah-kabilah yang berbeda. Fanatisme yang terlalu berlebihan membuat masyarakat Arab sangat loyal kepada kabilahnya, namun di waktu yang sama mereka juga menilai kabilah diluar kabilah mereka adalah kelompok yang salah, sehingga muncullah rasa kebencian terhadap kabilah yang lain.

Disebabkan perilaku Jahiliyah yang sangat parah, Allah pun menurunkan Al-Quran ke tanah Arab untuk merubah tradisi buruk mereka. Akan tetapi, faktor itu bukan satu-satunya faktor yang menjadi alasan bagi Allah menurunkan Al-Quran disana. Prof. Dr. Quraish Shihab menjelaskan faktor lain mengapa Al-Quran diturunkan di tanah Arab, faktor lainnya adalah karena pada masa itu Timur Tengah dianggap sebagai wilayah yang strategis. Sehingga hal ini bisa dijadikan peluang bagi Islam menyebarkan ajarannya dengan tempo yang cepat.

Mengutip Ronaldy, Salah seorang ulama asal India yang bernama Abu Hasan an-Nadwi mengatakan bahwa masyarakat Arab pada masa itu memiliki jiwa yang relatif bersih dan belum ternodai dengan hal-hal buruk yang nantinya akan sulit dihilangkan. Mereka terlihat bodoh karena hati mereka ditutupi oleh keluguan dan ketidaktahuan. Kebodohannya dianggap sebagai kebodohan yang sederhana, sehingga mudah dihapus dan digantikan dengan hal lain.

Meskipun pada masa itu kebodohan merajalela di masyarakat Arab, namun nampaknya tidak semua orang Arab pada masa itu termasuk orang yang jahil. Jahil disini menurut sebagian ulama bukan mengacu pada seberapa kaya pengetahuan mereka atau seberapa hebat mereka dalam memimpin kabilahnya, akan tetapi yang menjadi tolak ukurnya adalah moralitas masyarakat Arab itu sendiri yang seringkali tidak sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Kondisi sosio-kultur yang buruk menyelimuti kehidupan mereka, seperti kemusyrikan, kekafiran, ketidakadilan, perzinahan, fanatisme kesukuan, dan penindasan terhadap kaum yang lebih lemah, membuat kaum jahiliyah memiliki moralitas yang buruk. Selain itu, harta, martabat, dan wanita juga membuat orang Arab Jahiliyah merasa dirinya paling hebat diantara yang lainnya. (Luthviyah Romziana, Pandangan Al-Quran Tentang Makna Jahiliyah Perspektif Semantik, hal. 124).

Baca juga: Tiga Fungsi Pokok Al-Quran [1]: Hudan dalam Surah Al-Baqarah Ayat 185

Tatkala Al-Quran didakwahkan kepada kaum Jahiliyah oleh Rasulullah SAW, seluruh masyarakat jahiliyah bertanya-tanya mengenai apa yang diucapkan oleh Rasulullah. Kaum Quraisy yang mendengar apa yang diucapkan oleh Rasulullah menganggap bahwa itu hanyalah kata-kata yang biasa diucapkan oleh para pendeta atau tokoh besar, sehingga perkataan tersebut mereka anggap tidak lebih dari sekedar ucapan saja yang tidak akan berefek pada kepercayaan mereka.

Nyatanya, mereka menjadi bingung dan ketakutan memikirkan apa yang Rasulullah SAW katakan. Karena kebingungan inilah, Rasulullah SAW disebut oleh kaum Quraisy sebagai seorang penyihir yang nantinya akan memecah-belah setiap suku. Hal ini menjadi ketakutan yang besar bagi mereka, karena bagi kaum Quraisy kabilah-kabilah dan kepercayaan mereka adalah hal yang paling utama yang harus diperjuangkan. (Fadhli Lukman, Menyingkap Jati Diri Al-Quran, hal.69).

Meskipun pada masa itu masyarakat Arab telah sangat terikat dengan kebiasaan-kebiasaan yang menyimpang dari Islam, Rasulullah SAW dengan dakwahnya yang bisa dibilang sangat singkat. Yakni kurang lebih 23 tahun, mampu membuat Islam menjadi agama yang banyak dianut oleh masyarakat Arab kala itu.

Alasan Islam diterima Masyarakat Jahiliyyah

Banyak alasan mengapa masyarakat Arab Jahiliyah menganut agama Islam, salah satu alasannya adalah karena Islam memuliakan mereka yang memeluknya. Selain itu, banyaknya orang yang menganut Islam adalah karena Islam dinilai sebagai agama yang lemah lembut dalam menyampaikan dakwahnya. Selain itu, Islam juga mempunyai cara yang sangat baik dalam menghilangkan setiap kebiasaan buruk yang dilakukan oleh masyarakat Arab kala itu. Contohnya, seperti pelarangan khamr. Allah dalam Al-Quran tidak langsung melarang dengan tegas mengenai khamr.

Pertama-tama, Allah menjelaskan bagaiman khamr itu dibuat, lalu setelah itu memberikan isyarat bahwa sebenarnya khamr itu tidak baik untuk dikonsumsi. Setelah itu, Allah menurunkan firman nya yang menerangkan bahwa kita tidak boleh meminum khamr ketika mendekati waktu shalat (Q.S. An-Nisa: 43). Terakhir, perintah mutlak dari Allah bahwa meminum khamr termasuk perbuatan syaitan yang tidak akan mendatangkan keberuntungan kepada peminumnya (Q.S. Al-Maidah: 90).

Firman-firman Allah diatas menjadi bukti bahwa Al-Quran tidak sekaligus menghilangkan apa yang telah menjadi kebiasaan suatu kaum. Allah dengan sifat Maha Pengasih-Nya masih ingin memberikan ampunan kepada hambanya dan mentolerir apa yang telah diperbuat oleh hamba-Nya. Oleh karena itu, hal inilah yang menjadi salah satu penyebab banyak masyarakat Arab jahiliyah mau memeluk agama Islam.

Baca juga: Menilik Keutamaan dan Tujuan Qasam dalam Al-Quran

Masih banyak cara yang dilakukan Al-Quran dalam merubah keburukan suatu kaum. Namun, pastinya Al-Quran melakukan perubahan-perubahan tersebut dengan cara terbaik, cara yang mampu diterima oleh orang-orang yang berakal. Bagi orang-orang yang sadar bahwa dirinya perlu sebuah perubahan menuju jalan yang lebih baik, maka ia akan mengambil pelajaran dari Al-Quran, namun bagi orang-orang yang belum tersadarkan dirinya, ia memilih untuk tidak mengambil pelajaran dari Al-Quran dan membiarkan dirinya dalam kesesatan.

Dengan berbagai macam cara tersebut, Al-Quran pun mampu merubah tradisi buruk kaum Jahiliyah dengan cara yang sangat mulus, tanpa paksaan. Pencapaian ini menjadi prestasi terbesar bagi umat Islam terkhususnya Rasulullah yang mengemban tugas membawa amanah tersebut. Wallahu a’lam[]

Tafsir Surah Ar Ra’d Ayat 13

0
Tafsir Surah Ar Ra'd
Tafsir Surah Ar Ra'd

Tafsir Surah Ar Ra’d Ayat 13 berbicara mengenai suara gegelar dari petir. Hal itu menurut al-Qur’an merupakan tasbih memuji Allah. Sedangkan dalam kajian saitifik hal itu akibat adanya lompatan listrik yan sangat besar.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Ar Ra’d Ayat 12


Ayat 13

Suara menggelegar yang dikeluarkan oleh petir akibat terjadinya lompatan listrik yang sangat besar menurut Al-Qur’an adalah bacaan tasbihnya dalam memuji Allah.

Ini merupakan tanda ketundukannya kepada Allah, menyucikan-Nya dari persekutuan dan pengungkapan kelemahan dirinya dibandingkan kekuasaan Penciptanya Yang Mahaluhur dan Maha Agung. Tiap-tiap benda yang bersuara maka suaranya itu berarti tasbih, hanya saja manusia tidak mengerti bahasanya:

وَاِنْ مِّنْ شَيْءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهٖ وَلٰكِنْ لَّا تَفْقَهُوْنَ تَسْبِيْحَهُمْۗ

Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka. (al-Isra’/17: 44)

Apabila kita mendengar suara guntur dan halilintar, maka disunatkan untuk membaca doa, sebagaimana hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Ahmad, at-Tirmizi, an-Nasa’i dari Ibnu Umar, bahwa Nabi Muhammad saw bila mendengar suara guntur dan halilintar beliau membaca:

;اَللَّهُمَّ لاَ تَقْتُلْنَا بِغَضَبِكَ وَلاَ تُهْلِكُنَا بِعَذَابِكَ وَعَافِنَا قَبْلَ ذٰلِكَ.

Ya Allah, janganlah Engkau membunuh kami dengan kemurkaan-Mu, janganlah Engkau membinasakan kami dengan azab-Mu, dan berilah kesehatan kepada kami sebelum itu.;Ibnu Mardawaih meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah sebagai berikut:

;أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا هَبَّتِ الرِّيْحُ أَوْ سَمِعَ صَوْتَ الرَّعْدِ تَغَيَّرَ لَوْنُهُ حَتَّى يُعْرَفَ ذٰلِكَ فِي وَجْهِهِ ثُمَّ يَقُوْلُ لِلرَّعْدِ سُبْحَانَ مَنْ سَبَّحَتْ لَهُ وَلِلرِّيْحِ اجْعَلْهَا رَحْمَةً وَلاَ تَجْعَلْهَا عَذَابًا.

(رواه ابن مردويه)

Bahwa Rasulullah saw bila ada tiupan angin yang keras, atau mendengar suara guruh, warna mukanya berubah, lalu beliau berkata untuk guruh itu, “Mahasuci Zat, yang guruh bertasbih kepada-Nya.” Dan kepada angin beliau berkata, “Ya Allah jadikanlah angin itu sebagai rahmat dan jangan jadikan sebagai azab.” (Riwayat Ibnu Madawaih)

Demikian pula para malaikat bertasbih karena takut kepada Allah dan memuji kepada-Nya. Allah melepaskan halilintar, lalu mengenai siapa yang Dia kehendaki dan membinasakannya.

Namun demikian, mereka tetap berbantah-bantahan tentang sifat-sifat Allah yang telah diterangkan oleh rasul-Nya, seperti: ilmu-Nya yang sempurna, kekuasaan, keesaan, dan ketentuan-Nya menghidupkan manusia kembali di hari kiamat untuk menghisab mereka pada hari pengadilan dan pembalasan.

Baca juga:

Pada ayat ini, Allah swt menyuruh Nabi supaya bersikap sabar atas keingkaran orang-orang musyrik yang menuntutnya untuk mendatangkan mukjizat seperti tongkat Musa, mukjizat Isa, dan lain-lain. Padahal, Al-Qur’an sendiri adalah mukjizat terbesar dan kekal sepanjang masa, tidak dapat ditiru oleh siapapun juga.

Allah menyuruh Nabi bersabar karena mereka itu sudah melampaui batas sampai mengingkari ketuhanan Allah dan Keesaan-Nya, mengadakan berbagai sekutu bagi-Nya, mengatakan bahwa Allah mempunyai anak, dan mengingkari adanya hari kebangkitan dan pembalasan.

Dengan cara demikian, Allah swt menenteramkan hati Nabi supaya jangan larut dalam kesedihan dalam menghadapi semua tantangan itu, dan menyatakan bahwa Dialah Tuhan Yang Mahakeras (siksa-Nya), seperti tercantum dalam firman-Nya:

وَكَذٰلِكَ اَخْذُ رَبِّكَ اِذَآ اَخَذَ الْقُرٰى وَهِيَ ظَالِمَةٌ  ۗاِنَّ اَخْذَهٗٓ اَلِيْمٌ شَدِيْدٌ

Dan begitulah siksa Tuhanmu apabila Dia menyiksa (penduduk) negeri-negeri yang berbuat zalim. Sungguh, siksa-Nya sangat pedih, sangat berat. (Hµd/11: 102)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Ar Ra’d Ayat 14-15


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Yusuf ayat 41-52

0
Tafsir Surah Yusuf
Tafsir Surah Yusuf

Tafsir Surah Yusuf ayat 41-52 ini mengisahkan tentang Nabi Yusuf dan mimpi sang raja. Sebab Nabi Yusuf dapat men-ta’bir mimpi iapun dibebaskan dari penjara. Baca lebih lengkap dalam Tafsir Surah Yusuf ayat 41-52 di bawah ini….


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Yusuf ayat 35-40


Ayat 41

Pada ayat ini barulah diterangkan takwil mimpi kedua pemuda itu oleh Yusuf. Berkatalah Yusuf, “Hai kedua kawan penghuni penjara, adapun mimpi yang pertama, takwilnya ialah, bahwa engkau segera akan keluar dari penjara ini dan kembali bekerja seperti dulu sebelum masuk penjara, yaitu sebagai tukang siram kebun raja dan akan memberi minum raja dengan khamar. Takwil mimpi kedua, bahwa engkau akan dihukum salib, lalu bangkaimu dan sebagian dari kepalamu akan dimakan burung. Begitulah takwil mimpi yang kamu tanyakan kepada saya sebagai wahyu yang telah diwahyukan kepadaku.”

Ayat 42

Dalam ayat ini diterangkan bahwa Yusuf berpesan kepada pemuda yang keluar dengan takwil yang baik, agar disampaikan kepada raja, bahwa di dalam penjara masih banyak orang yang tidak bersalah dihukum. Mereka dihukum karena tuduhan-tuduhan yang tidak benar agar hal ini menjadi perhatian raja. Sampaikan juga kepada raja apa yang dia lihat dan didengar tentang Yusuf dan seruan untuk menganut agama tauhid dan lain-lain yang terjadi selama ia dalam penjara. Rupanya pemuda itu setelah sampai di luar, lupa menyampaikan pesan-pesan Yusuf kepada raja, sehingga Yusuf terpaksa meringkuk dalam penjara beberapa tahun lamanya.

Ayat 43

Dalam ayat ini diterangkan bahwa raja pada suatu ketika bermimpi yang sangat ajaib sekali dan sangat menggelisahkan hatinya. Belum pernah raja bermimpi seperti itu selama hidupnya. Maka dikumpulkannya semua orang cerdik pandainya, juru-juru tenung dan pembesar-pembesar kerajaannya. Lalu dia berkata, “Aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi yang gemuk-gemuk dimakan tujuh ekor sapi yang kurus, aku melihat tujuh butir gandum yang subur dan tujuh butir pula yang kering. Cobalah kamu ceritakan ta’bir mimpiku itu kalau di antara kamu ada yang mempunyai ilmu ta’bir mimpi.”

Ayat 44

Tidak seorang pun dapat memecahkan permintaan raja itu. Bermacam-macam pendapat mereka, ada yang mengatakan bahwa itu adalah sebagai mimpi permainan tidur saja dan ada pula yang mengatakan bahwa itu adalah pengaruh angan-angan di waktu tidur yang tidak mempunyai arti apa-apa. Terhadap mimpi yang seperti itu, mereka tidak mempunyai ilmu untuk mencarikan ta’birnya.

Ayat 45

Raja tidak puas mendengar jawaban mereka dan raja bertambah gelisah nampaknya. Raja ingin mengetahui ta’bir mimpinya, tetapi tidak tahu kepada siapa akan ditanyakan. Setelah tukang siram kebun raja yang pernah meringkuk dalam penjara bersama Yusuf mendengar kabar ini, dia teringat Yusuf yang sedang meringkuk dalam penjara yang pernah menta’wilkan mimpinya sendiri dengan tepat. Dia dengan cepat datang menghadap raja seraya berkata, “Ya tuanku, di dalam penjara ada seorang pemuda bernama Yusuf. Dia seorang yang mulia, mempunyai pikiran yang dalam, pandangan yang luas, dan dapat pula menta’birkan mimpi dengan tepat. Kalau tuanku utus saya kepadanya, pastilah saya kembali dengan membawa ta’bir mimpi tuanku itu yang tentunya akan meyakinkan tuanku kebenarannya.”

Ayat 46

Raja gembira mendengar pendapat tukang siram kebunnya itu, lalu mengutusnya untuk menemui Yusuf dalam penjara. Sesampainya di penjara dan bertemu dengan Yusuf, dia berkata, “Hai Yusuf, saudaraku yang mulia yang dapat dipercaya. Saya datang kepadamu untuk meminta suatu ta’bir mimpi: yaitu tujuh ekor sapi yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi yang kurus dan tujuh bulir gandum yang hampa kering dan ada pula tujuh bulir gandum yang rimbun. Mudah-mudahan saya kembali dengan membawa ta’bir mimpi itu dari engkau dan supaya dapat diketahui oleh orang banyak yang tentunya mereka akan berterima kasih kepadamu atas segala kelebihan dan kebaikan yang engkau berikan itu.”

Ayat 47

Dengan segala kemurahan hati Yusuf menerangkan ta’bir mimpi raja itu, seolah-olah Yusuf menyampaikan kepada raja dan pembesar-pembesarnya, katanya, “Wahai raja dan pembesar-pembesar negara semuanya, kamu akan menghadapi suatu masa tujuh tahun lamanya penuh dengan segala kemakmuran dan keamanan. Ternak berkembang biak, tumbuh-tumbuhan subur, dan semua orang akan merasa senang dan bahagia. Maka galakkanlah rakyat bertanam dalam masa tujuh tahun itu. Hasil dari tanaman itu harus kamu simpan, gandum disimpan dengan tangkai-tangkainya supaya tahan lama. Sebagian kecil kamu keluarkan untuk di makan sekadar keperluan saja.

Ayat 48

Sehabis masa yang makmur itu akan datang masa yang penuh kesengsaraan dan penderitaan selama tujuh tahun pula. Pada waktu itu ternak habis musnah, tanaman-tanaman tidak berbuah, udara panas, musim kemarau panjang. Sumber-sumber air menjadi kering dan rakyat menderita kekurangan makanan. Semua simpanan makanan akan habis, kecuali tinggal sedikit untuk kamu jadikan benih.

Ayat 49

Kemudian sesudah berlalu masa kesulitan dan kesengsaraan itu, maka datanglah masa hidup makmur, aman dan sentosa. Di masa itu bumi menjadi subur, hujan turun sangat lebatnya, manusia kelihatan beramai-ramai memeras anggur dengan aman dan gembira. Mereka telah duduk bersantai menikmati buah-buahan hasil kebunnya bersama anak-anak dan keluarganya. Itulah ta’bir mimpi raja itu saya sampaikan kepadamu untuk saudara sampaikan kepada raja dan pembesar-pembesarnya.”

Ayat 50Dalam ayat ini diterangkan bagaimana tertariknya raja dengan ta’bir mimpi yang disampaikan oleh utusannya itu, sehingga raja ingin sekali bertemu langsung dengan Yusuf, maka raja memerintahkan kembali menemui Yusuf di penjara lalu berkata, “Pergilah engkau temui Yusuf di penjara dan bawalah dia kemari, supaya langsung aku mendengarkan per-kataannya dan aku dapat mengukur sampai di mana tinggi ilmunya dan luas pandangannya.

Mudah-mudahan ilmunya itu dan pandangan-pandangannya itu berguna bagiku untuk keselamatan bangsa dan negaraku.” Maka utusan itu pergi menemui Yusuf dan menyampaikan panggilan raja terhadap dirinya, agar ia datang menghadap raja, sebab raja membutuhkan nasihatnya dan akan mengangkatnya ke derajat yang tinggi. Yusuf memenuhi panggilan raja. Tetapi sebelum Yusuf datang menghadap, Yusuf minta kepada utusan raja itu agar dia kembali dan menanyakan kepada raja tentang peristiwa perempuan-perempuan yang sudah memotong jarinya sendiri dengan pisau supaya diketahui dengan jelas duduk perkaranya yang sebenarnya. Sehingga ketika datang menghadap raja, dia sudah dalam keadaan bebas dari tuduhan karena raja lebih mengetahui tentang tipu daya perempuan-perempuan itu.

Ayat 51

Setelah utusan kembali menemui raja dan menyampaikan permintaan Yusuf kepadanya, maka dengan segera raja memanggil isteri menteri dan semua perempuan-perempuan yang memotong jarinya itu dan berkata kepada mereka, “Bagaimana pandanganmu terhadap Yusuf ketika kamu menggodanya dulu? Sebab Yusuf akan aku keluarkan dari penjara.” Mereka menjawab, “Bahwa Yusuf seorang pemuda yang suci murni, Maha Sempurna Allah, kami tiada melihat sesuatu yang buruk padanya.” Istri menteri yang tergila-gila dan terus menggoda Yusuf selama bersama-sama tinggal di rumahnya pun berkata, “Sudah terlalu lama Yusuf dalam penjara tanpa kesalahan apa-apa. Akulah yang bersalah karena aku tidak dapat menahan hawa nafsuku, aku selalu menggodanya.” Sekarang jelaslah kebenaran itu, bahwa Yusuf tidak bersalah dan dia termasuk orang-orang yang benar.

Ayat 52

Ayat ini menerangkan pengakuan istri al-’Aziz yang terus-terang mengatakan bahwa dialah yang bersalah, dialah yang menggoda, tetapi Yusuf tetap enggan dan berpaling, karena takut kepada Tuhannya. Semuanya itu menjadi bukti tentang kejujurannya. Ia tidak mau berdusta terhadap Yusuf walaupun Yusuf dalam penjara. Juga supaya diketahui oleh suaminya, bahwa dia berterus-terang seperti itu menunjukkan bahwa dia bersih, terpelihara dari perbuatan keji, karena kekuatan iman Yusuf. Istrinya tidak mau dituduh pengkhianat, sebab Allah swt tidak akan memberi petunjuk kepada setiap pengkhianatan.

(Tafsir Kemenag)


Baca Selanjutnya: Tafsir Surah Yusuf ayat 53-57


Mengenal Paradigma Al-Quran Karya M Dawam Rahardjo

0
Paradigma Al-Quran karya M Dawam Rahardjo
Paradigma Al-Quran karya M Dawam Rahardjo

Dalam kajian al-Quran di Indonesia, nama M Dawam Rahardjo cukup dikenal sebagai penulis Ensiklopedi Al-Quran: Tafsir Sosial Berdasarkan Kata-kata Kunci. Selain karya tafsir tersebut, sejatinya Dawam juga memiliki karya dalam kajian Al-Quran lainnya yang sering luput dari perhatian. Karya itu berjudul Paradigma Al-Quran: Metodologi Tafsir dan Kritik Sosial.

Sesuai penamaannya, Paradigma Al-Quran merupakan karya Dawam yang membahas pemikiran-pemikirannya terhadap Al-Quran. Ada tujuh artikel terkumpul di dalamnya. Artikel-artikel tersebut berasal dari bagian bukunya yang telah terpublikasi sebelumnya seperti dan Masyarakat Madani. Semua tulisan tersebut kemudian diedit oleh Izza Rahman Nahrowi dan diterbitkan oleh PSAP Muhammadiyah pada tahun 2005.

Baca juga: Mengenal Muhammad Dawam Rahardjo dan Karyanya, Ensiklopedi Al-Quran

Secara teknis, Paradigma Al-Quran dimulai dengan sebuah pengantar dari Dawam pribadi yang menceritakan pengalamannya mengkaji Al-Quran dan latar belakang penerbitan buku. Setelah itu, secara berurutan pembahasan dilanjutkan dengan penyajian tujuh artikel sebagaimana berikut:

(1) “Metodologi Tafsir: Beberapa Tawaran Menuju Kemudahan Memahami Alquran”,

(2) “Al-Fātihah Sebagai Paradigma: Akses dan Metode Pemahaman Alquran”,

(3) “Kerangka Referensi dalam Penafsiran: Menuju Konsepsi Manusia Menurut Alquran”,

(4) “Manusia, Tema Sentral Alquran: Dari Penciptaan, Rekonstruksi Sejarah, hingga Kritik Sosial”,

(5) “Cita-cita Sosial dalam Alquran: Ke-Esaan Tuhan dan Kesatuan Umat Manusia”,

(6) “Refleksi Sosiologi Alquran: Landasan Revolusi Sosial”, dan

(7) “Islam Sebagai Ideologi Pembebasan: Jejak Kisah Para Nabi dalam Alquran”.

Baca juga: Belajar dari Islah Gusmian, Peneliti Khazanah Al-Qur’an dan Manuskrip Nusantara

Secara keseluruhan, pembahasan fungsi Al-Quran sebagai al-hudā menjadi sorotan utama dalam karya ini, khususnya dalam menyikapi perkembangan zaman yang berhubungan langsung dengan perkara sosial yang memerlukan banyak analisis spekulatif-empiris untuk memahami masalah yang kompleks. Terkait hal ini, setidaknya, ada tiga poin utama yang penulis catat.

Pertama, manusia sebagai tema sentral Al-Quran. Pada artikel “Manusia, Tema Sentral Al-Quran”, Dawam menguraikan konsep manusia dalam Al-Quran dan bagaimana Al-Quran memberikan petunjuk bagi manusia untuk kehidupan di dunia dan akhirat. Mengutip hasil penelitian Dirk Bakker, Dawam sepakat bahwa Al-Quran telah menggambarkan manusia secara komplet dari berbagai dimensi mulai dari soal kejadiannya, keterkaitannya dengan dunia dan manusia, hingga hubungannya dengan Tuhan. Dawam juga merujuk pada Abū al-A’lā al-Maudūdī yang menyatakan bahwa pokok pembicaraan Al-Quran adalah manusia. Oleh karena itu, Dawam menekankan pentingnya memikirkan dan merenungi Al-Quran. Menurutnya, ayat-ayat Al-Quran yang berisi banyak petunjuk tidak akan berfungsi jika tidak direnungkan.

Baca juga: Masa Kelahiran Tafsir Al-Quran di Tanah Madura

Dalam artikel tersebut, Dawam membahas ayat-ayat kauniyyah dan ayat-ayat yang bermuatan sejarah. Ayat-ayat tersebut merupakan objek berpikir yang harus dipikirkan oleh manusia sebagai subjeknya. Melalui ayat-ayat itu Al-Quran memberikan pengajaran dan pedoman hidup bagi manusia secara dialogis baik berupa kritik sosial atau rekonstruksi sejarah. Oleh karenanya, Al-Quran perlu dibaca dengan pendekatan sosial-historis agar menghasilkan suatu makna/ pelajaran yang dapat diaplikasikan pada masa sekarang.

Kedua, cita-cita sosial dalam Al-Quran. Dalam artikel berjudul “Cita-cita Sosial dalam Al-Quran” Dawam mengkaji konsep masyarakat dalam Al-Quran. Setelah menganalisis beberapa surat yang turun pada masa awal dengan sejarah dakwah Nabi Muhammad Saw di Mekkah dan Madinah, Dawam menemukan bahwa Al-Quran telah memberikan petunjuk tentang pembentukan masyarakat ideal. Pembentukan masyarakat tersebut didasarkan pada QS. Āli ‘Imrān (3): 103-104. Berdasarkan dua ayat tersebut, konsep serta nilai- nilai masyarakat dalam Al-Quran dapat diaplikasikan ke dalam kehidupan masa sekarang.

Baca juga: Kisah Akhnas Ibn Syuraiq dan Pergulatan Politik Berbaju Agama di Indonesia

Ketiga, refleksi sosiologi Al-Quran. Dalam artikel berjudul “Refleksi Sosiologi Al-Quran: Landasan Revolusi Sosial” Dawam menggali petunjuk Al-Quran tentang revolusi sosial. Dengan menggunakan pendekatan sejarah dan ilmu sosial, Dawam berusaha menelaah ayat-ayat yang mengandung nilai-nilai sosial seperti QS. al-Anbiyā’ (21): 51, 73, 74, QS. Hūd (11): 84-87, dll.. Dari tulisan ini, tampak bahwa Al-Quran merupakan sumber nilai sekaligus petunjuk yang menimbulkan terjadinya revolusi sosial pada zaman Nabi Muhammad Saw. Oleh karena itu, dalam beberapa kesempatan Dawam menyinggung pembentukan masyarakat dengan mengkontekstualisasikan nilai-nilai sosial dalam Al-Quran.

Ketiga poin utama di atas menunjukkan bahwa sebagai seorang aktivis sosial, Dawam memiliki pandangan lebih mengenai Al-Quran. Ia melihat Al-Quran mengandung nilai-nilai sosial yang perlu diaktualisasi untuk membantu masyarakat menyelesaikan masalah kehidupan. Oleh karenanya, fungsionalitas Al-Quran sangat diperlukan dengan cara melakukan pembacaan, pemahaman, dan pemaknaan Al-Quran yang lebih mendalam.

Terlepas dari latar belakang keilmuannya, gagasan-gagasan Dawam Rahardjo dalam Paradigma Al-Quran patut diapresiasi oleh para pengkaji Al-Quran. Setidaknya, gagasan-gagasan tersebut dapat dipertimbangkan untuk perkembangan kajian Al-Quran yang lebih baik ke depannya.

Wallāhu a’lam bi al-ṣawāb.

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 184-185

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Sebelumnya Allah memerintahkan kepada orang yang mau meninggal untuk berwasiat dan mewajibkan kepada orang mukmin untuk berpuasa. Selanjutnya Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 184-185 masih membahas tentang puasa wajib.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 180-183


Pada Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 184-185 dijelaskan hari yang diwajibkannya berpuasa yaitu hari selama di bulan Ramadan. Wajib untuk semua orang beriman kecuali orang sakit dan musafir.

Ayat 184

Ayat 184 dan permulaan ayat 185, menerangkan bahwa puasa yang diwajibkan ada beberapa hari yaitu pada bulan Ramadan menurut jumlah hari bulan Ramadan (29 atau 30 hari).

Nabi Besar Muhammad saw semenjak turunnya perintah puasa sampai wafatnya, beliau selalu berpuasa di bulan Ramadan selama 29 hari, kecuali satu kali saja bulan Ramadan genap 30 hari.

Sekalipun Allah telah mewajibkan puasa pada bulan Ramadan kepada semua orang yang beriman, namun Allah yang Mahabijaksana memberikan keringanan kepada orang-orang yang sakit dan musafir, untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadan dan menggantinya pada hari-hari lain di luar bulan tersebut.

Pada ayat tersebut tidak dirinci jenis/sifat batasan dan kadar sakit dan musafir itu, sehingga para ulama memberikan hasil ijtihadnya masing-masing antara lain sebagai berikut:

  1. Dibolehkan tidak berpuasa bagi orang yang sakit atau musafir tanpa membedakan sakitnya itu berat atau ringan, demikian pula perjalanannya jauh atau dekat, sesuai dengan bunyi ayat ini. Pendapat ini dipelopori oleh Ibnu Sirin dan Dawud az-Zahiri.
  2. Dibolehkan tidak berpuasa bagi setiap orang yang sakit yang benar-benar merasa kesukaran berpuasa, karena sakitnya. Ukuran kesukaran itu diserahkan kepada rasa tanggung jawab dan keimanan masing-masing. Pendapat ini dipelopori oleh sebagian ulama tafsir.
  3. Dibolehkan tidak berpuasa bagi orang yang sakit atau musafir dengan ketentuan-ketentuan, apabila sakit itu berat dan akan mempengaruhi keselamatan jiwa atau keselamatan sebagian anggota tubuhnya atau menambah sakitnya bila ia berpuasa. Juga bagi orang-orang yang musafir, apabila perjalanannya itu dalam jarak jauh, yang ukurannya paling sedikit 16 farsakh (kurang lebih 80 km).
  4. Tidak ada perbedaan pendapat mengenai perjalanan musafir, apakah dengan berjalan kaki, atau dengan apa saja, asalkan tidak untuk mengerjakan perbuatan maksiat. Sesudah itu Allah menerangkan pada pertengahan ayat 184 yang terjemahannya, “Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan orang miskin.” Menurut ayat itu (184), siapa yang benar-benar merasa berat menjalankan puasa, ia boleh menggantinya dengan fidyah, walaupun ia tidak sakit dan tidak musafir.

Termasuk orang-orang yang berat mengerjakan puasa itu ialah:

  1. Orang tua yang tidak mampu berpuasa, bila ia tidak berpuasa diganti dengan fidyah.
  2. Wanita hamil dan yang sedang menyusui. Menurut Imam Syafi‘i dan A¥mad, bila wanita hamil dan wanita yang sedang menyusui khawatir akan terganggu kesehatan janin/bayinya, lalu mereka tidak puasa, maka wajib atas keduanya mengqada puasa yang ditinggalkannya, dan membayar fidyah. Bila mereka khawatir atas kesehatan diri mereka saja yang terganggu dan tidak khawatir atas kesehatan janin/bayinya, atau mereka khawatir atas kesehatan dirinya dan janin/bayinya, lalu mereka tidak puasa, maka wajib atas mereka diqada puasa saja. Sedangkan menurut Abu Hanifah, ibu hamil dan yang sedang menyusui dalam semua hal yang disebutkan di atas, cukup mengqada puasa saja.
  3. Orang-orang sakit yang tidak sanggup berpuasa dan penyakitnya tidak ada harapan akan sembuh, hanya diwajibkan membayar fidyah.
  4. Mengenai buruh dan petani yang penghidupannya hanya dari hasil kerja keras dan membanting tulang setiap hari, dalam hal ini ulama fikih mengemukakan pendapat sebagai berikut:

1) Ibnu Hajar dan Imam al-Azra’i telah memberi fatwa,  Sesungguhnya wajib bagi orang-orang pengetam padi dan sebagainya dan yang serupa dengan mereka, berniat puasa setiap malam Ramadan. Apabila pada siang harinya ia ternyata mengalami kesukaran atau penderitaan yang berat, maka ia boleh berbuka puasa. Kalau tidak demikian, ia tidak boleh berbuka. )

2) Kalau seseorang yang pencariannya tergantung kepada suatu pekerjaan berat untuk menutupi kebutuhan hidupnya atau kebutuhan hidup orang-orang yang harus dibiayainya dimana ia tidak tahan berpuasa maka ia boleh berbuka pada waktu itu,  (dengan arti ia harus berpuasa sejak pagi).

Akhir ayat 184 menjelaskan orang yang dengan rela hati mengerjakan kebajikan dengan membayar fidyah lebih dari ukurannya atau memberi makan lebih dari seorang miskin, maka perbuatan itu baik baginya. Sesudah itu Allah menutup ayat ini dengan.


Baca juga: Tafsir Ahkam: Ke Manakah Kita Mengarahkan Pandangan Mata saat Salat?


Ayat 185

Ayat ini menerangkan bahwa pada bulan Ramadan, Alquran diwahyukan. Berkaitan dengan peristiwa penting ini, ada beberapa informasi Alquran yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk menetapkan waktu pewahyuan ini. Ayat-ayat itu antara lain surah al Qadar/97: 1, ayat ini mengisyaratkan bahwa Alquran diwahyukan pada malam yang penuh dengan kemuliaan atau malam qadar.

Surah ad Dukhan/44: 3, ayat ini mengisyaratkan bahwa Alquran diturunkan pada malam yang diberkahi. Surah al-Anfal/8: 41, ayat ini mengisyaratkan bahwa Alquran itu diturunkan bertepatan dengan terjadinya pertemuan antara dua pasukan, yaitu pasukan Islam yang dipimpin Nabi Muhammad dengan tentara Quraisy yang dikomandani oleh Abu Jahal, pada perang Badar yang terjadi pada tanggal 17 Ramadan.

Dari beberapa informasi Alquranini, para ulama menetapkan bahwa Alquran diwahyukan pertama kali pada malam qadar, yaitu malam yang penuh kemuliaan, yang juga merupakan malam penuh berkah, dan ini terjadi pada tanggal 17 Ramadan, bertepatan dengan bertemu dan pecahnya perang antara pasukan Islam dan tentara kafir Quraisy di Badar, yang pada saat turun wahyu itu Muhammad berusia 40 tahun.

Selanjutnya peristiwa penting ini ditetapkan sebagai turunnya wahyu yang pertama dan selalu diperingati umat Islam setiap tahun di seluruh dunia.

Berkenaan dengan malam qadar, terdapat perbedaan penetapannya, sebagai saat pertama diturunkannya Alquran, dan malam qadar yang dianjurkan Nabi Muhammad kepada umat Islam untuk mendapatkannya. Yang pertama ditetapkan terjadinya pada tanggal 17 Ramadan, yang hanya sekali terjadi dan tidak akan terulang lagi.

Sedangkan yang kedua, sesuai dengan hadis Nabi, terjadi pada sepuluh hari terakhir Ramadan, bahkan lebih ditegaskan pada malam yang ganjil. Malam qadar ini dapat terjadi setiap tahun, sehingga kita selalu dianjurkan untuk mendapatkannya dengan persiapan yang total yaitu dengan banyak melaksanakan ibadah sunah pada sepuluh hari terakhir Ramadan.

Ayat ini juga menjelaskan puasa yang diwajibkan ialah pada bulan Ramadan. Untuk mengetahui awal dan akhir bulan Ramadan Rasulullah saw telah bersabda:

صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِيَ عَلَيْكُمْ (وَفِي رِوَايَةٍ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ) فَأَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ (وَفِي رِوَايَةِ مُسْلِمٍ فَاقْدِرُوْا ثَلاَثِيْنَ)

(رواه البخاري ومسلم)

Berpuasalah kamu karena melihat bulan (Ramadan) dan berbukalah kamu, karena melihat bulan (Syawal), apabila tertutup bagi kamu, (dalam satu) riwayat mengatakan: Apabila tertutup bagi kamu disebabkan cuaca yang berawan), maka sempurnakanlah bulan Sya‘ban tiga puluh hari (dan dalam satu riwayat Muslim  takdirkanlah  atau hitunglah bulan Sya‘ban tiga puluh hari). (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Mengenai situasi bulan yang tertutup baik karena keadaan cuaca, atau memang karena menurut hitungan falakiyah belum bisa dilihat pada tanggal 29 malam 30 Sya’ban, atau pada tanggal 29 malam 30 Ramadan, berlaku ketentuan sebagai berikut: Siapa yang melihat bulan Ramadan pada tanggal 29 masuk malam 30 bulan Sya’ban, atau ada orang yang melihat bulan, yang dapat dipercayai, maka ia wajib berpuasa keesokan harinya.

Kalau tidak ada terlihat bulan, maka ia harus menyempurnakan bulan Sya’ban 30 hari. Begitu juga siapa yang melihat bulan Syawal pada tanggal 29 malam 30 Ramadan, atau ada yang melihat, yang dapat dipercayainya, maka ia wajib berbuka besok harinya. Apabila ia tidak melihat bulan pada malam itu, maka ia harus menyempurnakan puasa 30 hari.

Dalam hal penetapan permulaan hari puasa Ramadan dan hari raya Syawal agar dipercayakan kepada pemerintah, sehingga kalau ada perbedaan pendapat bisa dihilangkan dengan satu keputusan pemerintah, sesuai dengan kaidah yang berlaku:

حُكْمُ اْلحَاكِمِ يَرْفَعُ الْخِلاَفَ

Putusan pemerintah itu menghilangkan perbedaan pendapat.

Orang yang tidak dapat melihat bulan pada bulan Ramadan seperti penduduk yang berada di daerah kutub utara atau selatan di mana terdapat enam bulan malam di kutub utara dan enam bulan siang di kutub selatan, maka hukumnya disesuaikan dengan daerah tempat turunnya wahyu yaitu Mekah dimana daerah tersebut dianggap daerah mu’tadilah (daerah sedang atau pertengahan) atau diperhitungkan kepada tempat yang terdekat dengan daerah kutub utara dan kutub selatan.

Pada ayat 185 ini, Allah memperkuat ayat 184, bahwa walaupun berpuasa diwajibkan, tetapi diberi kelonggaran bagi orang-orang yang sakit dan musafir untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadan dan menggantikannya pada hari-hari lain.

Pada penutup ayat ini Allah menekankan agar disempurnakan bilangan puasa dan menyuruh bertakbir serta bersyukur kepada Allah atas segala petunjuk yang diberikan.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 186-188


(Tafsir kemenag)