Beranda blog Halaman 556

Apakah Benar Perempuan Diciptakan dari Tulang Rusuk Laki-Laki? Tafsir Surat An-Nisa ayat 1

0
Surat An-Nisa Ayat 1

Apakah benar perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki? Surat An Nisa ayat 1 merupakan ayat tentang asal kejadian manusia yang memicu polemik di antara mufassir. Kubu tekstualis menyatakan bahwa ayat tersebut menginformasikan bahwa Adam as merupakan manusia pertama, dan hawa lahir dari tulang rusuknya. Bahkan penafsiran demikian mereka generalisasikan kepada seluruh perempuan, sehingga menggiringnya pada klaim bahwa laki-laki adalah superior, sedangkan perempuan inferior.

Pemahaman itu timbul atas dasar penafsiran secara tekstual terhadap redaksi min nafsin wahidah yang tertera dalam ayat 1 surat an nisa berikut ini:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِى خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَٰحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَآءً ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ٱلَّذِى تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.

At-Thabari (w. 923), ibnu Athiyyah (w. 1159), Az-Zamakhsyari (w. 1144), As-Sinqqithi (w. 1973), al-Qurthubi (w. 1273), dan Az-Zuhaili sepakat mengartikan nafsin wahidah dengan Adam. Kemudian untuk menguatkan argumennya, kelompok mufassir ini mengacu pada hadis sahih yang diriwayatkan oleh Imam Abu Hurairah ra dan Imam Bukhari berikut ini:

فعن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (استوصوا بالنساء، فإن المرأة خلقت من ضلع، وإن أعوج شيء في الضلع أعلاه، فإن ذهبت تقيمه كسرته، وإن تركته لم يزل أعوج، فاستوصوا بالنساء) متفق عليه

DijjJriwayatkan dari Abi Hurairah ra., ia berkata: Nabi telah bersabda: berilah nasihat kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk. Dan tulang rusuk paling condong ialah yang paling atas. Bila kamu biarkan akan sentiasa condong. Maka berilah nasihat kepadanya. HR Bukhari Muslim.

Hadis ini seakan menjadi tendensi tak terbantahkan bagi mufassir yang menyatakan perempuan tercipta dari tulang rusuk. Karena, secara makna harfiah menginformasikan demikian. Sedangkan menurut al-ashfahani Bila meninjau dalam ayat lain yang mengandung redaksi nafs seperti QS. At-Taubah 128, QS. ar-Rum ayat 21, dan QS. Al-Jum’ah ayat 2, kata nafsun wahidah pada QS An Nisa 1 tersebut cenderung bermakna jenis yang sama.

Begitu pula, menurut Amina Wadud, kata zauj di QS an-Nisa 1 di atas tidak khusus mencakup perempuan, melainkan laki-laki pula. Sehingga, mengandung arti bahwa tiap tiap individu berasal dari satu jenis yang sama, begitu pula dengan pasangannya.

Abu Hayyan (w. 1344), al-Maraghi (w. 1952), al-Qasimi (w.1914), Rasyid Rida (w. 1935), al-Sya’rawi (w. 1998 ) dan M. Quraish Shihab juga seirama dengan dua tokoh sebelumnya, bahwa yang dimaksud nafsin wahidah ialah kesamaan jenis, unsur ataupun hakikat.Dengan demikian, dapat dipahami bahwa hawa tidak diciptakan dari Adam, tetapi dari jenis yang sama sebagaimana Adam.

Abu Hayyan kemudian menjelaskan, muasal laki-laki dan perempuan dari satu jenis yang sama mengandung nilai kesamarataan, sehingga adalah tidak pantas bila salah satu merasa sombong dan menjatuhkan yang lain. Asal yang sama ini juga seharusnya memunculkan rasa saling kasih dan sayang antar manusia, imbuh al-Qasimi. Adapun al-Maraghi menonjolkan nilai saling tolong menolong antar sesama dalam ayat tersebut.

Sementara itu, Abu Hayyan mengarahkan hadis tersebut pada perempuan secara keseluruhan, tidak hanya pada hawa. Abu Hayyan lebih memilih mengartikan hadis itu sebagai perumpamaan. Artinya, tulang rusuk dan sifatnya merupakan analogi dari perempuan yang memiliki karakter berbeda sehingga tidak bisa dipaksakan.

Surat an Nisa ayat 1 yang ditafsirkan secara tekstual dengan hadis sahih tentang penciptaan perempuan dari tulang rusuk sudah kehilangan relevansinya. Dengan tafsir tandingngan yang diuraikan al-Ashfihani, yang bahkan lebih kuat karena mentafsir dengan Alquran. Begitu pula Abu Hayyan dan seterusnya, yang cenderung kontekstual dan kritis, sekalipun dengan hadis yang sahih. Wallahu a’lam[]

Belajar Sabab Nuzul dalam Menafsirkan Al Quran Sangat Penting!

0
Model interksi dengan al Quran
Interaksi dengan al Quran

Belajar Sabab Nuzul atau kronologi penurunan Alquran sangat menarik dan urgent dalam untuk menggeluti Ulumul Quran. Menariknya adalah para penelaah Alquran diajak melihat dan berdialog dengan konteks ketika ayat turun. Dalam istilah Abid al-Jabiri adalahseakan membaca Alquran sebagaimana saat ia diturunkan.

Pentinganya adalah Sabab Nuzul menjadi salah satu penentu fleksibilitas Alquran ketika diimplementasikan di zaman sekarang. Saking pentingnya, menguasai Sabab Nuzul menjadi salah satu kualifikasi seorang mufassir.

Ibnu Taimiyah juga mengatakan bahwa mengetahui Sabab Nuzul ini mempermudah untuk memahami ayat, karena dengan kita mengetahui kronologi penurunan Alquran, maka akan mengantarkan kita untuk mengetahui maksud yang terkandung di dalamnya. Berikut ini hal-hal penting yang membuat kita harus mengerti sebab nuzul Alquran.

Mereka berdua melakukan transaksi yang mengandung unsur riba dalam hutang yang mereka berikan kepada orang-orang dari Madinah. Transaksi ini berlangsung hingga Islam datang. Dan selama itu, uang dari riba yang mereka miliki melimpah ruah, lalu turunlah firman Allah dalam QS Al-Baqarah (2:275). Kemudian Nabi saw. bersabda:

ألا إن كل ربا من ربا الجاهلية موضوع، وأول ربا أضعه ربا العباس، وكل دم من دم الجاهلية موضوع، وأول دم أضعه دم ربيعة بن الحارث بن عبد المطلب

Ingatlah, sungguh setiap riba Jahili adalah batal, dan riba yang pertama kali aku batalkan ialah ribanya ‘Abbas ra.. Setiap darah orang Jahiliyyah adalah batal, dan darah yang pertama kali aku batalkan ialah darahnya Robi’ah bin al-Harith bin Abdul Muthallib.

Ingatlah, sungguh setiap riba Jahili adalah batal, dan riba yang pertama kali aku batalkan ialah ribanya ‘Abbas ra. Setiap darah orang Jahiliyyah adalah batal, dan darah yang pertama kali aku batalkan ialah darahnya Robi’ah bin al-Harith bin Abdul Muthallib.

Baca Juga: Membincang Nazar dalam Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 270 Membantu Memahami Makna Ayat Secara Mendalam al-Wahidi dalam Asbabun Nuzulnya berkata bahwa tidak mungkin seseorang mengetahui tafsir suatu ayat tanpa mengetahui kisah dan penjelasan tentang sebab turunnya. Karena itu tidak heran, jika salah satu syarat seorang mufassir adalah mengetahui Sabab Nuzul sebagaiman disebutkan di atas. Salah satu contohnya adalah Surat Āli Imrān ayat 188:

لاتحسبن الذين يفرحون بما أتوا ويحبون أن يحمدوا بما لم يفعلوا فلا تحسبنهم بمفازة من العذاب ولهم عذاب عظيم

Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan, maka janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.

Marwan bin al-Ḥakam kesulitan dalam memahami ayat ini. Dia berkata, kalau sekiranya setiap orang merasa gembira dengan apa yang telah ia peroleh dan ingin dipuji terhadap apa yang belum dikerjakan akan diazab, tentu kita semua akan diazab. Kemudian, Abdullāh bin Abbās menjelaskan bahwa ayat ini turun kepada Ahlul Kitab ketika mereka ditanya oleh Nabi tentang sesuatu, mereka menyembunyikannya dan menerangkan hal yang lain. Mereka memperlihatkan sikap bahwa telah memberi tahu Nabi apa yang ditanyakan, mereka senang dan minta pujian.

Mampu Memahami Teks Alquran yang Redaksinya Masih Samar

Dengan mengetahui Sabab Nuzul, kita dapat memahami ayat Alquran dengan benar, karena ada banyak ayat yang harus dipahami dengan metode ini. Misalnya, adanya Sabab Nuzul dari surat Al-Maidah (5:23), sehingga terungkap bahwa yang dimaksud dua laki-laki yang mendesak Bani Israel untuk memasuki Syiria ialah Yusya’ dan Kalib, dua pengikut setia Nabi Musa dan mengimani Tuhannya. Jikalau tidak ada data yang merekam kronologi ayat ini turun, maka tidak akan didapat informasi yang konkrit mengenai dua orang yang dimaksudkan dalam ayat itu, yang secara redaksi hanya berupa kata ganti tanpa ada identitas pasti yang dapat dirujuk di ayat sebelumnya.

Selain tiga hal yang telah disebutkan, banyak hal penting lain yang membuat kita harus belajar sabab nuzul, seperti ketika memahami kaidah tafsir yang bersinggungan dengan konteks penurunan ayat, misalnya, kaidah al-‘ibrah bi ‘umumil lafdzi  (ketika redaksi teks Alquran umum dan sebab penurunannya mengindikasikan kekhususan, maka yang keumuman lafadz menjadi objek pemberlakuan ayat tersebut, sehingga ayat itu berlaku tidak hanya pada orang yang disapa dalam sabab nuzul) dan kaidah al-‘ibrah bi khususis sabab kekhususan sebab nuzul menjadi objek pemberlakuan ayat tersebut). Maka, untuk bisa memahami kaidah ini, terlebih dahulu kita harus mengetahui sebab penurunan ayat. Wallahu a’lam []

Jangan Terkecoh oleh Label Figur!

0
Jangan Terkecoh oleh Label Figur!
Ilustrasi (sumber: Unsplash)

Masyarakat kita yang kualitas literasi dan berpikir kritisnya masih rendah, gemar memandang orang lain berdasarkan strata sosial dan menetapkan label atau stereotipe tertentu, baik positif maupun negatif. Pandangan ini tentunya tidak selalu sesuai dengan fakta, sebab tidak ada sosok yang seratus persen baik maupun seratus persen buruk. Pelabelan yang disematkan oleh masyarakat juga kadang kala terlalu berlebihan.

Pada era digital saat ini, berapa banyak kita melihat publik figur yang awalnya dihiasi label-label positif dari masyarakat, di kemudian hari tersandung kasus yang seketika merontokkan segala citra baik yang disandangnya selama ini. Ada pula yang sering dipandang sebelah mata, namun terbukti memiliki hati yang luhur lagi mulia. Dalam hal ini, QS. At-Tahrim: 10-12 secara implisit mengajarkan kita untuk tidak terkecoh pada figur tertentu dan label yang disandangnya. Allah berfirman:

 

ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِّلَّذِينَ كَفَرُوا امْرَأَتَ نُوحٍ وَامْرَأَتَ لُوطٍ ۖ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلَا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ

وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِّلَّذِينَ آمَنُوا امْرَأَتَ فِرْعَوْنَ إِذْ قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِي عِندَكَ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِن فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِ وَنَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

وَمَرْيَمَ ابْنَتَ عِمْرَانَ الَّتِي أَحْصَنَتْ فَرْجَهَا فَنَفَخْنَا فِيهِ مِن رُّوحِنَا وَصَدَّقَتْ بِكَلِمَاتِ رَبِّهَا وَكُتُبِهِ وَكَانَتْ مِنَ الْقَانِتِينَ

( 10 )   Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): “Masuklah ke dalam jahannam bersama orang-orang yang masuk (jahannam)”.

( 11 )   Dan Allah membuat isteri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: “Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam firdaun, dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim.

( 12 )   dan (ingatlah) Maryam binti Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari ruh (ciptaan) Kami, dan dia membenarkan kalimat Rabbnya dan Kitab-Kitab-Nya, dan dia adalah termasuk orang-orang yang taat.

Umumnya pasangan dari tokoh agama akan dipandang sosok religius dan berhati mulia pula, namun hal itu tidak berlaku pada istri Nabi Nuh dan Nabi Lut yang disebut di ayat di atas sebagai pengkhianat dan termasuk penghuni neraka.

Ibnu Abbas sebagaimana dinukil ucapannya oleh Ibn Kasir menyatakan, bentuk khianat istri Nabi Nuh adalah dengan membocorkan rahasia suaminya seperti memberitahu kepada penguasa zalim nama-nama orang yang telah beriman pada ajaran Nabi Nuh untuk disiksa. Sedangkan khianatnya istri Nabi Lut berupa mengabarkan kaum Nabi Lut yang memiliki penyimpangan seksual bilamana suaminya kedatangan tamu di rumahnya untuk dijadikan objek seksual mereka.

Adapun maksud dari ungkapan “keduanya di bawah dua hamba kami”, menurut Tantawi Jauhari dalam kitab tafsirnya, adalah dekatnya hubungan dua istri tersebut dengan suami mereka. Mereka berada dalam jangkauan pengawasan dan penjagaan langsung dari suaminya. Akan tetapi hal tersebut tidak lantas menjadikan mereka secara otomatis menjadi pribadi yang baik layaknya pasangan orang saleh.

Sebaliknya, pada ayat berikutnya Allah memuji iman seorang perempuan dan menjadikannya role model bagi orang-orang beriman, padahal ia adalah istri Firaun. Barang kali tidak ada manusia yang dikenal paling durhaka pada Allah melebihi Firaun, namun begitu keburukannya tidak mampu mempengaruhi iman seorang Asiyah binti Muzahim, istrinya sendiri. Begitu juga kepada mantan karyawannya, yaitu perempuan tukang sisir putrinya yang diceritakan dalam tafsir Ibn Kasir.

Selain istri Firaun, Allah juga memuji Maryam, putri Imran atau Ibu Nabi Isa. Maryam awalnya dikenal sebagai perempuan yang taat beribadah. Dalam QS. Ali Imran: 37-39 diceritakan Maryam memiliki mihrab atau tempat ibadah khusus yang di dalamnya senantiasa ditemukan makanan secara ajaib sehingga ia bisa leluasa beribadah di sana. Namun, semenjak mengandung Nabi Isa, Maryam dituduh pezina karena terbukti mengandung janin tanpa diketahui memiliki suami yang sah.

Maryam berusaha sabar sekuat mungkin atas ujian dari Allah. Ia hampir saja menyerah karena tidak tahan akan cibiran kaumnya dan ia tak mampu menjawab tuduhan tersebut sampai akhirnya Allah memberikan pembelaan atasnya melalui lisan anaknya sendiri yang masih bayi. Dikatakan dalam hadis riwayat Ibn Abbas, Asiyah dan Maryam termasuk empat perempuan yang berkedudukan tinggi di surga.

أَفْضَلُ نِسَاءِ الْجَنَّةِ أَرْبَعٌ مَرْيَمُ بِنْتُ عِمْرَانَ وَخَدِيجَةُ بِنْتُ خُوَيْلِدٍ وَفَاطِمَةُ ابْنَةُ مُحَمَّدٍ وَآسِيَةُ ابْنَةُ مُزَاحِمٍ

“Wanita penghuni surga yang paling mulia adalah empat orang; Maryam binti Imran, Khadijah binti Khuwailid, Fathimah binti Muhammad dan Asiyah binti Muzahim.” (HR. Ahmad, no. 2805).

Dua perempuan awal yang disebutkan dalam ayat di atas merupakan contoh orang-orang kafir dan dua perempuan lainnya adalah permisalan dari orang-orang yang beriman. Selain narasi ini, pesan yang dapat diambil adalah bahwa label atau citra seseorang tidak selalu mencerminkan hakikat orang tersebut sebenarnya, maka hendaknya kita tidak tertipu oleh label tersebut.

Dalam konteks saat ini, sedang marak politik pelabelan. Seseorang dengan sengaja melabeli diri sendiri atau berdasarkan struktur sosialnya ia memanfaatkan label-label tertentu demi meraih privilege atau untuk kepentingan politis. Di antara label yang kerap dipakai adalah kiai, ulama, gus, habib, putra daerah dan sebagainya. Dengan membawa julukan gus atau habib misalnya, ada yang berbuat dan berbicara sekenanya.

Akibat pelabelan yang berlebihan atau tidak pada sosok yang tepat, banyak masyarakat yang tertipu. Apapun yang diperbuat figur tersebut diikuti dan apapun yang keluar dari mulutnya diamini, tanpa melihat secara kritis apa yang figur tersebut lakukan dan ucapkan. Padahal sebagaimana yang tersirat dari QS. At-Tahrim: 10-12 di atas, hakikat seseorang bukan pada label yang disandangnya melainkan pada substansi nilai yang dimilikinya. Wallahu a’lam.

Parenting Demokratis ala Nabi Ibrahim dalam Q.S. As-Saffat: 102

0

Ketika perayaan hari raya Idul Adha, kita sering mendengar cerita bagaimana besarnya pengorbanan Nabi Ibrahim as. ketika diperintahkan Allah Swt menyembelih putranya. Pun bagaimana pula Nabi Ismail as. yang juga patuh dan sabar dengan titah Tuhannya tersebut. Akan tetapi pernahkah kita memikirkan bagaimana seorang anak kecil yang dijelaskan dalam Tafsir al-Jalalain baru berusia antara 7-13 tahun bisa memiliki kematangan jiwa seperti itu?

Argumentasi teologis yang bisa dikemukakan barangkali dengan merujuk pada status Ismail as sebagai seorang nabi dan juga putra dari seorang nabi. Akan tetapi secara psikologis, Ismail ketika itu tetaplah seorang bocah belia yang tentunya memiliki sifat-sifat manusiawi pada umumnya, sehingga pasti ada faktor lain yang mempengaruhi kejiwaannya menerima untuk dikorbankan. Untuk mengetahui hal tersebut, mari kita selisik QS. As-Saffat: 102 berikut:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.

Ayat di atas menceritakan Nabi Ibrahim bermimpi seakan-akan ia menyembelih anak kesayangannya, Ismail. Mimpinya mengisyaratkan perintah Allah atasnya untuk melakukan apa yang dimimpikan tersebut. Dan ini adalah suatu kewajiban karena mimpinya seorang nabi menurut para ulama termasuk wahyu ilahi. Meski demikian, Nabi Ibrahim tidak lantas langsung mengeksekusi titah Tuhannya, tapi mendialogkan hal tersebut kepada Ismail terlebih dahulu.

Dengan lembutnya ia berkata, “ya bunayya (wahai putraku), sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?”.

Menurut Tantawi Jauhari dalam Tafsir al-Wasit, musyawarah yang dilakukan Nabi Ibrahim bertujuan supaya Ismail dapat lebih menerima dan sabar atas penyembelihan dirinya sehingga akan menambah ketenangan diri Nabi Ibrahim sebagai sang ayah. Selain itu, dengan usaha ini dapat terlihat kemantapan iman Ismail pada perintah Allah, apakah ia taat atau durhaka sebagaimana Kan’an, putra Nabi Nuh a.s.

Dalam perspektif parenting (pola asuh anak) modern, apa yang dilakukan Nabi Ibrahim dengan memakai dialog, komunikasi, musyawarah atau persuasi termasuk teknik parenting demokratis. Parenting secara umum menurut Diana Baumrind ada tiga macam: otoriter, permisif dan demokratis.

Pola asuh (Parenting) otoriter adalah pola asuh yang ketat, di mana orang tua mengontrol penuh tumbuh kembang anak, membatasi tindakan anak dan memaksakan kehendak orang tua pada anak. Sebaliknya, pola asuh permisif adalah ketika orang tua melepaskan anak berekspresi dan bertindak bebas tanpa ada batasan. Sedangkan pola asuh demokratis berusaha mengakomodasi dua model sebelumnya, yaitu dengan mengapresiasi pilihan dan kemampuan anak dengan tetap mengarahkan dan membimbingnya supaya dapat mandiri dan bertanggung jawab atas perbuatannya.

Pola asuh demokratis bercirikan di antaranya adanya hubungan yang hangat antara orang tua dan anak, komunikasi keduanya berjalan lancar dan intens serta anak tidak merasa terlalu tertekan maupun terlalu semena-mena. Pola asuh ini dinilai lebih tepat dibanding pola asuh lainnya. Terbukti dalam kasus Nabi Ibrahim di atas ketika menanyakan pendapat Ismail, ia mendapatkan tanggapan positif.

Dengan mantap, Ismail kecil menjawab, “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.

Model parenting yang dicontohkan Nabi Ibrahim ini perlu ditiru para orang tua, karena secara tidak langsung mengajarkan kemandirian dan tanggung jawab pada diri anak serta menumbuhkan kreatifitas mereka.

Dalam konteks lebih luas, orang tua tidak perlu memaksakan kehendak. Biarlah sang anak tumbuh sesuai dengan minat, bakat dan potensinya masing-masing. Tentunya dengan tetap memonitor, membimbing dan mengarahkannya.

Di masa sekarang masih banyak ditemukan orang tua yang banyak memaksakan kehendaknya pada diri anak, termasuk dalam hal-hal yang sangat personal seperti ibadah, sekolah, pekerjaan hingga jodoh masih sering didikte secara berlebihan oleh orang tua.

Kita bisa mencontoh Prof. Quraish Shihab, salah satu ulama tafsir Indonesia yang barangkali menurut saya beliau mempraktekkan prinsip parenting demokratis. Beliau tidak memaksakan putri-putrinya memakai jilbab dan membebaskan mereka memilih, karena sebagaimana ditulisnya dalam buku Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, ada beragam pandangan ulama terkait hukum jilbab dan batasan-batasannya.

Bagi saya, apa yang lahir dari paksaan tidak akan bertahan lama. Sebaliknya, apa yang lahir dari kesadaran pribadi akan menjadi lebih awet dan bermakna. Dan bersikap demokratis pada siapapun merupakan salah satu wujud dari usaha memuliakan dan memanusiakan manusia sebagai makhluk yang memiliki akal budi dan pikiran.

Tafsir Surah Al Kahfi Ayat 82: Meraih Keberkahan hingga Tujuh Turunan

0

Tafsiralquran.id – Semua orang menginginkan hidup dengan penuh keberkahan (kebaikan dan kebahagiaan), baik yang sifatnya duniawi maupun ukhrawi. Bahkan setiap orang berharap kebaikan dan kebahagiaan yang dimilikinya ada pula pada keturunan mereka. Akan tetapi, apakah mereka sudah mengetahui perihal yang bisa memberi dampak keberkahan kepada keturunannya?

Allah Swt. berfirman dalam QS. Al-Kahfi [15]: 82,

وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا

Artinya :” Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang Ayahnya adalah seorang yang saleh, Maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya”.

Ayat di atas adalah penggalan dari kisah perjalanan Nabi Musa As. dan Nabi Khidir As. Disebutkan pada ayat sebelumnya, bahwa dalam perjalanan Nabi Musa sampai bertanya sebanyak tiga kali terkait sikap yang dilakukan Nabi Khidir yang diniliai telah menyalahi syariat Allah. Dan pada akhir perjalanan, Nabi Khidir menjelaskan perihal perbuatannya.

Diantara perbuatan tersebut yang dipertanyakan oleh Nabi Musa As. adalah manakala Nabi Khidhir membangunkan dinding rumah yang hampir roboh, di sebuah desa. Padahal sebelumnya ketika mereka berdua meminta makanan kepada penduduk tersebut mereka berdua di tolak. Sehinga Nabi Musa As. mengusulkan kepada Nabi Khidir agar meminta upah dari kebaikan yang dilakukannya, dan berkomentar “sebaiknya engkau tidak melakukan hal tersebut secara gratis karena mereka tidak menjamu kita ”.

LaluNabi Khidir menjawab: “bahwa dinding rumah tersebut adalah milik kedua anak yatim yang ayahnya adalah seorang yang shalih, dan di bawah dinding terdapat harta simpanan”.

Para ahli tafsir menjelaskan bahwa alasan dari perbuatan baik yang dilakukan Nabi Khidir As. terhadap kedua anak yatim tersebut adalah karena keshalihan ayah mereka. Sebab keshalihan ayahnya, Allah Swt. melindungi kedua anak yatim tersebut dan menjaga harta simpanan miliknya sampai usia dewasa. Dan disebutkan oleh banyak mufasir seperti Nawawi al-Bantani, az-Zuhaili, Ibnu Ajibah, Ibnu Katsir, Ibnu Athiyyah dll. bahwa ayah yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah ayah generasi ke tujuh leluhur.  

 Ibnu Katsir menyebutkan dalam Tafsirnya :

وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فيه دليل على أن الرجل الصالح يحفظ في ذريته وتشمل بركة عبادته لهم في الدنيا والآخرة بشفاعته فيهم، ورفع درجتهم إلى أعلى درجة في الجنة، لتقر عينه بهم

Artinya: “Penggalan ayat (wa Kana Abuhuma Shaliha) terdapat dalil bahwa seorang yang shalih akan diberikan penjagaan pada keturunannya, keberkahan ibadahnya akan meliputi mereka di dunia dan akhirat dengan syafaatnya, dan dia akan mengangkat mereka ke derajat yang tinggi di surga agar menjadi penyejuk baginya”.

Ibnu Ajibah dalam tafsirnya mengutip perkataan Muhammad bin al-Munkadir:

إن الله تعالى ليحفظ بالرجل الصالح ولده، وولد ولده، ومَسربته التي هو فيها، والدويرات التي حولها، فلا يزالون في حِفْظِ الله وستره

Artinya: “Sungguh, sebab keshalihan seseorang, Allah Swt. akan menjaga anaknya, cucunya, kerabatnya dan lingkungan sekitarnya. Mereka senantiasa dalam perlindungan dan penjagaan Allah”.

Dari ayat dan penafsiran tersebut dapat difahami bahwa amal shaleh akan dapat berdampak keberkahan (kebaikan) kepada keturunannya dan juga yang lain. Terkait keberkahan ini, al-Qusyairi memberi nasehat: “hendaknya seorang muslim menjadikan takwa dan amal shaleh sebagai tabungan untuk keluarganya, bukan harta kekayaan. Karena Allah tidak berfirman (perbanyaklah harta, tanah,  budak, peremuan dan kekayaan lainnya), tapi berfirman (bertaqwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Dia melindungi orang-orang shaleh) ”. Wallahu A’lam

Tafsir Surah An Nahl Ayat 97: Tips Meraih Hidup Bahagia

0
bahagia bersama keluarga tercinta

Tafsiralquran.id – Alquran sebagai pedoman hidup manusia telah menjelaskan bagaimana meraih hidup bahagia. Kita mungkin tidak asing dengan doa sapu jagat, rabba aatina fid dunya hasanah wa fil akhirati hasanah. Tujuan hidup ini tidak lain dan tidak bukan adalah meraih hasanah (kebaikan dan kebahagiaan) di dunia dan akhirat.

Memang, dalam hidup di dunia ini seseorang tidak terlepas dari berbagai permasalahan dan cobaan. Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Athaillah as-Sakandari “janganlah engkau heran karena terjadinya kesukaran-kesukaran selama engkau masih tinggal di negri ini (dunia)” (al-Hikam: 32).

Lantas bagaimana cara agar dapat menjalani hidup dengan bahagia dalam keadaan apapun?

Allah SWT berfirman dalam Q.S. al-Nahl 97,

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.

Ayat di atas merupakan janji Allah SWT. bagi siapapun yang beriman serta beramal saleh, bahwa ia akan mendapat karunia dariNya berupa hidup bahagia. Dalam segmentasi lain, Allah juga menegaskan stigma hidup bahagia (tidak merugi) adalah hidup yang berdasar keimanan dan amal saleh. Allah SWT berfirman dalam Q.S. al-Ashr 1-3,

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”.

Menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya (Ibnu Katsir 4: 516), bahwa yang dimaksud amal saleh adalah perbuatan yang sesuai dengan Alquran dan sunah nabi Muhammad SAW. dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban. Dalam Tafsir al-Wasith li az-Zuhaili (2: 1300) disebutkan bahwa amal-amal saleh mencakup semua amal ketatan dan perbuatan baik.  

Dikalangan para mufasir, kata “Hayatan Thayyibatan” (balasan bagi orang yang beramal saleh) pada ayat terdapat tafsiran yang beragam. 

Pertama, mayoritas mufasir berpendapat bahwa balasan tersebut diberikan di dunia,  Seperti Ibnu Abbas dan sejumlah ahli tafsir yang mengartikan dengan: rizki halal dan baik, kebahagiaan, qana’ah, manisnya taat, atau kecukupan dalam hidup. Yang benar menurut Ibnu Katsir makna  “Hayatan Thayyibatan” mencakup  semua makna tersebut, demikian berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ، وَرُزِقَ كَفَافًا، وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتاه

Artinya: “sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda, ‘Sungguh, telah beruntung orang yang berislam, memperoleh kecukupan rizki dan dianugerahi sifat qana’ah (merasa cukup) atas segala pemberian’.” (HR. Ahmad).

Kedua, sebagian mufasir yang berpendapat bahwa balasan berupa “Hayatan Thayyibatan” diberikan di akhirat, yakni surga, dengan merujuk perkataan al-Hasan:

لَا تَطِيبُ الْحَيَاةُ لِأَحَدٍ إِلَّا فِي الْجَنَّةِ

Artinya: “Kebahagiaan hidup seseorang tidak bisa didapat kecuali di surga”. (al-Baghawi, 5:42)

Lalu bagaimana dengan perbuatan baik orang yang tidak beriman?. Dalam mengomentari ayat diatas, Ibnu Katsir mengutip sebuah hadits yang diriwayatkan Anas bin Malik:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ الْمُؤْمِنَ حَسَنَةٌ يُعْطَى بِهَا الدُّنْيَا وَيُثَابُ عَلَيْهَا فِي الْآخِرَةِ، وَأَمَّا الْكَافِرُ فَيُطْعِمُ بِحَسَنَاتِهِ فِي الدُّنْيَا، حَتَّى إِذَا أَفْضَى إِلَى الْآخِرَةِ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَةً يُعْطَى بِهَا خَيْرًا

Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak mezalimi kebaikan seorang mukmin, ganjarannya diberikan di dunia dan dibalas di akhirat. Adapun orang kafir, semua kebaikan-kebaikannya dibalas di dunia sehingga apabila di akhirat maka tidak ada lagi balasan kebaikan yang diberikan kepadanya ”. (HR. Muslim dan Ahmad).

Keterangan ahli tafsir di atas cukup memberikan kesimpulan, jika amal saleh seseorang akan berdampak kehidupan yang baik (sukses). Dengan beragam penafsiran hidup yang baik (sukses), menunjukkan bahwa kesuksesan hidup tidak diukur dari materi, tapi dengan non-materi. Betapa indahnya hidup apabila terkumpul antara kebaikan materi dan non-materi seperti kecukupan dalam hidup, memiliki rizki yang halal, hidup dalam ketaatan, penuh damai, dan bahagia. Namun, kesuksehan hidup yang hakiki adalah kebahagiaan di akhirat yang diperoleh siapapun yang beramal saleh serta mengimani-Nya. Wallahu A’lam.

Tafsir Surah Thaha Ayat 43-44: Cara Menasehati Orang Lain

0
ilustrasi menasihati tanpa menyakiti

Tafsiralquran.id – Sebagai manusia biasa yang tidak terlepas dari khilaf dan salah, tentu kita dalam hal ini sangat membutuhkan peran orang lain untuk dapat mengingatkan di saat salah. Agama Islam adalah agama nasehat, maka dari itu nasehat menduduki posisi yang penting dalam agama Islam.

Semua sendi-sendi agama Islam adalah nasehat. Dan setiap dari umat Islam ini akan senantiasa menasehati dan dinasehati, sehingga inilah yang menyebabkan umat ini menjadi yang terbaik. Agar pesan-pesan yang disampaikan dapat diterima oleh orang lain, maka hendaknya seseorang mengetahui etika ketika menyampaikannya. Allah Swt berfirman dalam (QS. Thaha [20] 43-44):

اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى (43) فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى (44)

Artinya:” 43. Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, Sesungguhnya Dia telah melampaui batas; 44. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut”.

Pada ayat 43, Allah Swt. memerintah Musa dan saudaranya (Harun) pergi mendatangi Fir’aun perlu membatalkan seruannya sebagai tuhan (untuk disembah) dengan argument dan dalil, karena dia telah melampaui batas kufur, menentang dan durhaka kepada Allah, yakni dengan ucapannya: “saya adalah tuhan kalian yang maha tinggi”. (al-Munir, 16/215).

Menurut al-Zuhaili, ayat 44 merupakan sebuah metode berdakwah, yang kemudian dipraktikkan Musa dan Harun ketika menghadap Fir’aun perlu menasehati dan menyampaikan risalah ilahi. Cara yang digunakan oleh keduanya adalah Qaula Layyina.

Dalam menjelaskan ayat tersebut, al-Baghawi (3/261) mengutip beberapa tafsiran terkait makna Qaula Layyina. Diantaranya adalah tafsiran Ibnu Abbas berupa larangan berkata kasar. Al-Suddi dan ‘Ikrimah menafsiri dengan perintah kepada Musa dan Harun untuk menyeru Fir’aun dengan kunyah (Abu Abbas atau Abu Walid).

Al-Suddi juga menafsiri Qaula Layyina dengan janji-janji kepada Fir’aun, berupa; ‘jika dia beriman, maka dia senantiasa akan tetap muda (tidak pikun atau mudah lupa), tetap memiliki kerajaan dengan segala kemewahan sampai ajalnya datang, dan akan masuk surga. Dan ada pendapat lain yang menafsirinya dengan perkataan yang lembut.

Benang merah yang bisa ditarik dari beberapa pendapat diatas mengenai cara Musa dan Harun menyampaikan risalah ilahi adalah dengan perkataan yang lembut, tidak kasar, dan dengan penyebutan nama yang baik, tidak cacian. Cara seperti inilah hingga konon disebutkan Fir’aun sempat tertarik, namun Allah belum menghendakinya mendapat hidayah. 

Mengapa harus dengan cara yang lembut?

Al-Sya’rawi dalam tafsirnya menyebutkan kepribadian yang hendaknya dimiliki seorang pendakwah beserta alasannya,

أن الداعية لا بُدَّ أن يكون رَحْب الصدر، رَحْب الساحة، ذلك لأنه يُخرِج أهل الضلال عما أَلِفوه إلى شيء يكرهونه، فلا تُخرجهم من ذلك بأسلوب يكرهونه، فتجمع عليهم شدتين

Artinya: “seorang pendakwah hendaknya dapat bermurah hati dan berlapang dalam penyambutan. Demikian karena tugasnya adalah mengentaskan orang-orang yang tersesat dari apa yang menjadi kebiasaannya menuju apa yang mereka benci, maka janganlah kalian mengentaskan mereka dengan cara yang mereka membencinya, sehingga akan bertambah kebenciannya”. (Al-Sya’rawi, 17/10438)

Di akhir penafsiran ayat tersebut, al-Zuhaili menyebutkan hikmah dan pelajaran yang dapat diambil. Yakni, jika orang seperti Fir’aun saja yang angkuh dan sombong, Nabi Musa yang menjadi pilihan-Nya masih diperintahkan berkata yang lembut dan santun, apalagi untuk mendakwahi selainnya yang tidak lebih dari Fir’aun.   

Dikisahkan, suatu ketika Khalifah al-Ma’mun didatangi seseorang. Lalu dia berkata, “Khalifah, saya ingin menasehati Anda, tapi dengan kata-kata keras. Semoga Tuan dapat menerimanya,”.

“Tidak. Tidak. Itu tidak baik.”, jawab sang khalifah.

“Kenapa ?”, dia kembali bertanya. “Perlu anda ketahui, Allah pernah mengutus orang yang lebih baik dari Anda (Nabi Musa) untuk memberi nasehat kepada orang yang lebih buruk dariku (Fir’aun). Dan Anda tahu, sungguh pun begitu Allah tetap memerintah orang itu untuk berkata-kata dengan baik dan lemah lembut.” (al-Syanawani, Syarh Abi Jamrah, hlm. 51). Wallahu A’lam bi Shawab.

Tafsir, Takwil dan Terjemah

0
takwil alquran

Tafsiralquran.id – Dewasa ini, beberapa kalangan masyarakat awam atau muslim urban masih susah membedakan istilah tafsir, takwil dan terjemah al-Quran, sehingga tidak jarang mengakibatkan adanya kesalahpahaman atau terjebak pada pemaknaan al-Quran secara literal. Tidak dapat dipungkiri, minimnya pengetahuan yang kurang komperhensif tentang tiga istilah ini akan menimbulkan kerancuan dalam proses memahami makna al-Quran.

Menaggapi hal ini, menjadi urgen seorang muslim mengenal terlebih dulu perbedaan makna tafsir, takwil dan terjemah. Lantas, bagaimana pandangan ulama terkait pengertian dan perbedaan tiga istilah tersebut ?

Pengertian Tafsir, Takwil dan Terjemah

Pertama, tafsir, Abu Hayyan menjelaskan tafsir sebagai sebuah ilmu yang membahas tentang cara-cara untuk memahami teks yang berhubungan dengan makna yang memuat hikmah, petunjuk dan hukum dalam ayat-ayat al-Quran, baik dari segi tekstual ataupun kontekstual. Pengertian tafsir dipertegas oleh pendapat oleh al-Jurjani bahwa tafsir ialah menjelaskan makna ayat, dengan memahami seluruh aspek yang berkaitan dengannya, baik sebab diturunkannya ayat, kisah dan urusannya.

Kedua, pengertian takwil menurut Quraish Shihab adalah suatu pengertian tersirat yang diistinbatkan (diproses) dari ayat-ayat al-Quran dan masih memerlukan adanya perenungan serta perkiraan sebagai sarana pembuka tabir, dalam hal ini cenderung untuk memahami ayat-ayat yang maknanya tersembunyi.

Ketiga, pengertian terjemah dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah menyalin atau memindahkan suatu bahasa kepada bahasa lain dalam artian mengalihbahasakan. Sesuai dengan yang dikemukakan Ash-Shabuni bahwa terjemah al-Quran adalah memindahkan bahasa al-Quran (Arab) kepada bahasa lain yang mampu dipahami. dan mencetak naskahnya dapat mempermudah memahami bahasa al-Quran dengan perantara terjemahan.

Perbedaan Tafsir dan Takwil serta Terjemah

Menurut Manna Qaththan adalah tafsir cenderung diaplikasikan dalam lafad dan mufradat sedangkan takwil cenderung dipergunakan dalam makna dan susunan kalimat. Ar-Raghib Ashfahani mengartikan tafsir sebagai ilmu yang lebih umum dan dapat diaplikasikan dalam kitab-kitab lain selain kitab Allah sedangkan takwil lebih banyak dipergunakan dalam makna dan kalimat yang terdapat pada kitab Allah saja.

Para ulama juga berpendapat bahwa tafsir merupakan penjelasan berdasarkan riwayah sedangkan takwil berdasarkan dirayah. Dalam konteks ini tafsir berupaya menafsirkan ayat al-Quran secara tersurat sedangkan takwil lebih mengarah pada pengertian al-Quran secara implisit atau tersirat. Sangat berbeda dengan pengertian terjemah yang merupakan salinan teks Arab sebagai bahasa al-Quran kepada bahasa lain, tidak menyentuh pada maksud mendalam suatu ayat.

Modern ini, masyarakat serba instan yang gemar memaknai al-Quran hanya berlabuh pada pemahaman terjemah saja, sudah sepatutnya memahami bahwa dalam ilmu al-Quran terdapat perbedaan makna dan aplikasi dari tafsir, takwil dan terjemah. Wallahu A’lam

Munasabah Al-Quran: Inspirator Teori Baru dalam Penafsiran

0
munasabah alquran

Tafsiralquran.id – Ilmu munasabah juga merupakan salah satu sub kajian dalam ‘ulumul Qur’an. Dalam perkembangannya, ilmu munasabah telah mengilhami lahirnya teori-teori baru dalam penafsiran. Seperti adanya pembahasan kesatuan ayat atau surat dalam Alquran. Dengan penggunaan istilah-istilah yang berbeda.

Dalam catatan sejarahnya, ulama yang pertama kali memperkenalkan ilmu munasabah adalah an-Naisaburi (w. 324 H). Hadirnya ilmu ini sebagai respon an-Naisaburi kepada ulama Baghdad saat itu, yang menurutnya belum mengetahui akan ilmu munasabah.

Kemudian, Ahmad bin Ibrahim bin Zubair as-Saqafi (628-708 H) dalam kitabnya, al-Burhan fi Tanasub Suwar al-Qur’an, membahas munasabah secara tersendiri. Lalu, diikuti oleh Badr al-Din Muhammad bin ‘Abdillahh az-Zarkasyi (745-749 H) yang juga memaparkan pembahasan munasabah dalam kitabnya al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an.

Selanjutnya, ilmu munasabah dipraktekkan langsung dalam sebuah penafsiran oleh Burhan al-Din Abi al-Hasan Ibrahim bin ‘Umar al-Biqa’i (w. 885 H) pada kitabnya Nadzm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar.

Arti kata munasabah secara bahasa berasal dari akar kata nasaba yang artinya yaitu keterkaitan sesuatu dengan sesuatu. Demikian juga dengan kata al-nasab, yakni kekerabatan (qarabah). Juga, diartikan sebagai muqaarabah yakni saling berdekatan, yang terjadi pada dua hal atau lebih, pada sebagian atau seluruhnya. Ada pula munasabah dalam hal illat dalam pembahasan qiyas.

Secara istilah, sesuai dengan apa yang telah dijelaskan oleh sebagai ulama yang konsentrasinya ada di bidang ke-alquran-an, di antaranya adalah az-Zarkasyi. Menurutnya, munasabah adalah ilmu yang mulia, teka-teki pikiran dan dengannya bisa diketahui kadar pembicaraan.

Az-Zarkasyi menuliskan demikian,

المناسبة امر معقول, إذا عرض على العقول تلقته بالقبول

Munasabah merupakan suatu perkara yang logis, ketika dihadapkan kepada akal, akal dapat menerimanya. Hal ini berarti, munasabah adalah upaya rasionalitas manusia untuk menyingkap rahasia keterkaitan ayat atau surat sehingga bisa diterima oleh akal.

Burhan al-Din Abi al-Hasan Ibrahim bin ‘Umar al-Biqa’i berpendapat,

فعلم مناسب القران علم تعرف منه علل ترتيب أجزائه

Bahwa perlunya untuk mengetahui ilmu munasabah, karena ilmu ini dapat mengetahui pembenaran akan susunan atau urutan dari bagian-bagian Alquran.

وأقل ما يعنيه هذا المعيار الدقيق أن وجه المناسبة بين الايات أو بين السور يخفى تاره و يظهر أخرى

Ia berpendapat bahwa munasabah itu adakalanya antar ayat atau antar surat, dan adakalanya samar, juga adakalanya jelas.

Penyebutan istilah munasabah pun berbeda-beda dikalangan mufassir, sebagai suatu bentuk sinonim. Al-Fakhr al-Razi menggunakan istilah ta’alluq, al-Alusi menggunakan istilah tartib, sedangkan Rasyid Ridha menggunakan dengan dua istilah yakni al-ittishal dan al-ta’lil.

Manna’ al-Qattan menjelaskan bahwa munasabah dibagi menjadi tiga, yakni, pertama, munasabah antar kalimat (jumlah), yaitu persesuaian antara suatu kalimat dengan kalimat lainnya dalam satu ayat. Kedua, munasabah antar ayat yaitu, persesusaian antara ayat dengan ayat dalam satu surat. Munasabah model ini akan kelihatan jelas pada surat-surat pendek yang mengandungsatu tema pokok.

Dan, ketiga yaitu munasabah antar surat, adalah persesuaian antara satu surat dengan surat lainnya bisa diperinci, dengan pertama, munasabah antara satu surat dengan surat sebelumnya. kedua, Persesuaian antara penutup (akhir) suatu surat dengan pembuka (awal) surat berikutnya. Ketiga, Munasabah antara nama surat dengan isi yang dikandungnya.

Dalam perkembangannya, memang tidak semua ulama menerima adanya ilmu munasabah ini. Ada yang menolak, menerima dan ada juga yang berupaya untuk menengahi perkara ini. Yang menolak ilmu munasabah ini, salah satunya yaitu Imam Syaukani. Menurutnya, penafsiran yang menerapkan munasabah berarti telah menggunakan akal pikiran mufassir secara pribadi.

Sehingga, dalam mengaitkan ayat atau surat ada unsur kelancangan dan kecerobahan, tidak obyektif, serta tidak mengaitkan pendapat kepada Ulama yang ahli balaghah, apalagi mendekati maksud dari ayat atau surat. Hal ini sebenarnya tidak lain adalah untuk menjaga penafsiran agar tidak menyimpang.

Pendapat Imam Syaukani tersebut mendapat respon dari Imam Syarqawi. Ia  menilai bahwa Imam Syaukani tidak konsisten terhadap argumentasinya. Di satu waktu ia mencela Imam al-Biqa’i, namun di sisi lain ia memuji terhadap apa yang dilakukan Imam al-Biqa’i dalam kitab tafsirnya.

Kemudian, yang menerima ilmu munasabah dan meyakini bahwa munasabah ada dalam keadaan apapun, di antarnya yaitu Imam Fakhrur Razi, Imam Ibn Zubair serta Imam al-Biqa’i. Dan, yang menengahi akan hal ini adalah Imam ‘Izzuddin ‘Abd al-Salam, argumennya dikutip oleh Imam al-Zarkasyi dalam kitab al-Burhan.

Imam ‘Izzuddin memberikan sebuah tanggapan dengan memberikan argumen, bahwa memang benar ilmu munasabah adalah ilmu yang baik, akan tetapi persyaratan yang baik dalam pertalian sebuah kalam adalah ketika menjadi satu pertalian dari awal hingga akhir.

Sedangkan apabila terjadi perbedaan sebab turunnya ayat, maka hal itu tidak menjadi persayaratan pertalian antara satu dengan yang lainnya. Imam ‘Izzuddin melanjutkan argumennya dengan memberikan penegasan, jika tetap dimunculkan sebuah pertalian dari hal yang berbeda tersebut kemudian dihasilkan sebuah penafsiran, maka hal itu di luar batas kemampuan dan penafsiran yang dihasilkan pun jauh dari keidealan tafsir. Demikianlah, penjelasan terkait ilmu munasabah secara ringkas.[]

Inilah Definisi dan Ciri-Ciri Ayat Makki dan Madani

0
Makki dan Madani
Makki dan Madani

Dalam kajian Ulumul Quran, ada pembahasan terkait makki dan madani. Yakni, ayat-ayat mana saja yang termasuk makki dan madani. Pengetahuan akan hal ini sangatlah penting dikala menafsirkan Alquran. Dengan menelisik, apakah ayat tersebut termasuk dalam makkiyah atau madaniyah, maka akan membantu untuk mengetahui keadaan sosial, politik dan lainnya.

Ilmu tentang makkiyah dan madaniyah termasuk dalam salah satu ilmu yang mulia. Sebagaimana yang dituliskan oleh Abu al-Qasim al-Hasan bin Muhammad bin Habib an-Nisaiburi dalam kitabnya at-Tanbih ‘ala Fadhli ‘Ulumil Qur’an.

“Di antara ilmu-ilmu Alquran yang paling mulia adalah ilmu tentang nuzulul Qur’an, urutan turunnya di Mekkah dan Madinah, tentang yang diturunkan di Mekkah tapi hukumnya Madinah, dan sebaliknya. Dan, yang diturunkan di Mekkah tapi tentang penduduk Madinah, tau sebaliknya…”

Dalam kitab al-Burhan fi ‘Ulumil Qur’an, Az-Zarkasyi menjelaskan, bahwa ada tiga definisi terkait ayat makkiyah dan madaniyah yakni berdasarkan tempat, waktu dan kandungan mukhaththabnya. Pertama, ayat makkiyah adalah ayat yang diturunkan di Mekkah, sedangkan ayat madaniyah adalah ayat yang diturunkan di Madinah.

(Baca Juga: Pesan Az-Zarkasyi bagi Para Pengkaji Ilmu Al Quran)

Kedua, ayat makkiyah adalah ayat yang diturunkan sebelum hijrah sekalipun turun di Madinah, dan ayat madaniyah adalah ayat yang diturunkan sesudah hijrah sekalipun diturunkan di Mekkah. Ini adalah pendapat yang paling masyhur. Dan, yang ketiga adalah ayat-ayat makkiyah memiliki khithab untuk penduduk Mekkah, dan ayat madaniyah memiliki khithab untuk penduduk Madaniyah.

Seperti pendapat dari Ibnu Mas’ud, mayoritas penduduk Mekkah adalah orang kafir, maka khithab yang digunakan adalah yaa ayyuhan naas. Sekalipun, ada di antaranya adalah orang Islam. Sedangkan di Madinah, mayoritas adalah orang mukmin, maka khithabnya menggunakan yaa ayyuhalladziina aamanuu. Meskipun, ada juga di antaranya orang kafir.

Namun, dalam satu surat tidak selalu seluruhnya mengandung ayat makkiyah atau pun madaniyah. Terkadang, ayat madaniyah ada dalam surat makkiyah. Yang salah satu cirinya yaitu ayatnya berkaitan dengan hukum atau syariat. Sebagaimana dalam surat an-Najm ayat 32, “mereka yang menjauhi dosa-dosaa besar” bahwa setiap dosa konsekuensinya adalah neraka. “dan perbuatan keji” yaitu setiap dosa ada batasannya. “kecuali kesalahan-kesalahan kecil” maksudnya, ada di antara dua batasan dari dosa-dosa.

Ada juga, ayat makkiyah yang berada dalam surat madaniyah. Salah satu cirinya adalah ayat-ayat makkiyah bercerta tentang orang-orang musyrik. Sebagaimana dalam surat al-Anbiya’ ayat 17, di mana ayat ini diturunkan kepada kaum Nasrani di Najran. Dan, surat al-‘Adiyat ayat 1, serta surat al-Anfal ayat 32.

Ada dua cara untuk mengalisis, apakah termasuk dalam makkiyah atau madaniyah. Prtama, dengan cara sima‘i. Yaitu, melalui riwayat shahih yang berasal dari sahabat, yang sezaman dengan saat diturunkannya wahyu serta menyaksikan secara langsung proses turunnya.

Atau, melalui riwayat dari tabi’in yang menerima dan mendengar langsung dari sahabat tentang bagaimana wahyu turun, tempat dan kejadiannya. Dan, memang sebagian besar cara penentuan makkiyah-madaniyyah dengan cara ini.

Kedua, qiyasi. Yaitu, dengan cara meneliti dan menelusuri seluruh ayat dan surah, kemudian diambil kesimpulan menyangkut karakteristik makkiyah-madaniyyah. Metode ini menelusuri dan mendata apa saja karakteristik ayat atau surah makkiyah dan apa saja karakteristik ayat atau surah madaniyyah. Jika dalam sebuah surah makkiyah terdapat ayat yang memiliki karakter madaniyyah atau mengandung petunjuk bahwa ayat itu turun di Madinah maka mereka (para ulama) menyebut ayat itu sebagai madaniyyah. Dan, begitu pula sebaliknya.

Dalam penjelasan az-Zarkasyi, ada 85 surat yang termasuk Makkiyah dan 29 surat Madaniyah. Berikut uraiannya;

1) Al-Alaq; 2) Nun; 3) Al-Muzammil; 4) Al-mudatsir; 5) Al-Lahab; 6) At-Takwir; 7) Al-A’la; 8) Al-Lail; 9) Al-fajr; 10) Ad-dhuha; 11)  Al-Insyirah; 12) Al-‘asr; 13) Al-‘adiyat; 14) Al-kautsar; 15) At-takatsur; 16) Al-Ma’un; 17) Al-kafirun; 18) Al-Fil; 19) Al-Falaq; 20) An-Nas; 21) Al-Ikhlas; 22) An-Najm; 23) ‘Abasa; 24) Al-Qadr; 25) Asy-Syams; 26) Al-Buruj; 27) At-Tin; 28) Al-Quraisy; 29) Al-Qari’ah; 30) Al-Qiyamah; 31) Al- Humazah; 32) Al-Mursalat; 33) Qaf; 34) Al-Balad; 35) At-Thariq; 36) Al-Qamar; 37) Shad; 38) Al-a’raf; 39) Al-Jin; 40) Yaasin; 41) Al-Furqon; 42) Fatir; 43) Maryam; 44) Thaha; 45) Al-Waqi’ah; 46) Asy-Syu’ara; 47) An-Naml; 48) Al-Qasas; 49) Al-Isra; 50) Yunus; 51) Hud; 52) Yusuf; 53) Al-Hijr; 54) Al-An’am; 55) Ash-Shaffat; 56) Luqman; 57) Saba; 58) Az-Zumar; 59) Al-Mu’min; 60) Fussilat; 61) Asy-Syura; 62) Az-Zukhruf; 63) Ad-Dukhan; 64) Al-Jatsiyah; 65) Al-Ahqaf; 66) Adz-Dzariyat; 67) Al-Ghasyiyah; 68) Al-Kahf; 69) An-Nahl; 70) Nuh; 71) Ibrahim; 72) Al-Anbiya; 73) Al-Mu’minun; 74) As-Sajdah; 75) At-Thur; 76) Al-Mulk; 77) Al-Haqqah; 78) Al-Ma’arij; 79) An-Naba; 80) An-Nazi’at; 81) Al-Infithar; 82) Al-Insyiqaq; 83) Ar-Rum.

Ada beberapa perbedaan dalam akhir surat yang turun di Mekkah. Menurut Ibnu ‘Abbas surat yang terakhir turun di Mekkah yaitu surat Al-‘Ankabut. Menurut adh-Dhahak dan ‘Atha’ adalah Al-Mu’minun. Sedangkan, menurut Mujahid yakni surat Al-Muthafifin.

Dan, 29 surat Madaniyah yakni; Al-Baqarah, Al-Anfal, ‘Ali-Imran, Al-Ahzab, Al-Mumtahanah, An-Nisa, Al- Zalzalah, Al-Hadid, Muhammad, Ar-rad’u, Ar-Rahman, Al-Insan, Ath-Thalaq, Al- Bayyinah, Al-Hasyr, An-Nashr, An-Nur, Al-Hajj, Al-Munafiqun, Al-Mujadalah, Al-Hujurat, At-Tahrim, As-Shaff, Al-Jumu’ah, At-Taghabun, Al-Fath, At- Taubah, Al-Maidah, dan Al-Mutoffifin. Demikianlah penjelasan terkait makki dan madani. []