Beranda blog Halaman 557

Tafsir Surat Al A’raf Ayat 8-10

0
tafsir surat al a'raf
tafsiralquran.id

Ayat 8

Ayat ini menerangkan adanya timbangan di akhirat nanti. Timbangan ini wajib kita percayai karena dengan timbangan itulah akan diketahui besar kecilnya, berat ringannya amal seseorang. Timbangan di akhirat nanti adalah timbangan yang seadil-adilnya dan tak mungkin terjadi kecurangan dalam timbangan itu.

وَنَضَعُ الْمَوَازِيْنَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيٰمَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْـًٔا

Dan Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari Kiamat, maka tidak seorang pun dirugikan walau sedikit. (al Anbiya′/21: 47)

Barang siapa berat timbangan amalnya, karena iman yang dimilikinya adalah iman yang sebenarnya. Ibadahnya kepada Allah dilakukan sebanyak mungkin penuh dengan khusuk dan ikhlas, dan hubungannya dengan sesama manusia baik sekali. Dia banyak menolong orang yang memerlukan pertolongan, membantu pembangunan masjid, madrasah, pesantren dan bangunan-bangunan lain yang digunakan memperbaiki dan meningkatkan akhlak umat, memelihara anak yatim, dan lain sebagainya. Manusia yang demikian inilah yang akan beruntung di akhirat nanti, merasa puas menerima semua balasan amalnya di dunia sebagaimana firman Allah:

فَاَمَّا مَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهٗۙ  ٦  فَهُوَ فِيْ عِيْشَةٍ رَّاضِيَةٍۗ  ٧

Artinya:

Maka adapun orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan (senang). (al Qari’ah/101: 6-7)

Ayat 9

Barang siapa yang ringan timbangan amalnya, karena keingkarannya, imannya lemah sehingga ia banyak melakukan pelanggaran agama; ibadah ditinggalkan; amal-amal kebaikan disia-siakan, dan yang digemarinya adalah larangan-larangan agama, banyak menipu, menyakiti hati sesama manusia, memusuhi tetangganya, menyia-nyiakan anak yatim, membiarkan orang-orang sekelilingnya lapar dan menderita, asal dia kenyang dan senang.

Manusia yang seperti ini akan merugi di akhirat nanti, dan akan dimasukkan ke dalam api neraka yang membara, seperti firman Allah:

وَاَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِيْنُهٗۙ  ٨  فَاُمُّهٗ هَاوِيَةٌ  ۗ  ٩  وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا هِيَهْۗ  ١٠  نَارٌ حَامِيَةٌ ࣖ  ١١

Dan adapun orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Dan tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu? (Yaitu) api yang sangat panas. (al Qari’ah/101: 8-11)

Yang ditimbang ialah amal perbuatan, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Ishak az-Zajjaj, “Telah sepakat ahlu sunnah tentang adanya timbangan itu, dan amal perbuatan hamba itulah yang ditimbang di akhirat nanti. Timbangan itu mempunyai lidah dan dua daun neraca timbangan.” Pernyataan Abu Ishak ini didasarkan pada sabda Nabi Muhammad saw:

تُوْضَعُ الْمَوَازِيْنُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَتُوْزَنُ الْحَسَنَاتُ وَالسَّيِّئَاتُ فَمَنْ رَجَحَتْ حَسَنَاتُهُ عَلَى سَيِّئَاتِهِ مِثْقَالَ حَبَّةٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ، فَمَنْ رَجَحَتْ سَيِّئَاتُهُ عَلَى حَسَنَاتِهِ مِثْقَالَ حَبَّةٍ دَخَلَ النَّارَ

(رواه أبو داود والترمذي عن جابر)

“Diletakkanlah timbangan-timbangan itu di Hari Kiamat, maka ditimbanglah amal kebaikan dan amal kejahatan. Barang siapa lebih berat timbangan kebaikannya dari timbangan kejahatannya, sekali pun seberat butir biji, maka masuklah ia ke dalam surga, dan barang siapa timbangan kejahatannya lebih berat dari timbangan kebaikannya, sekalipun seberat butir biji masuklah ia ke dalam neraka.” (Riwayat Abu Daud dan at Tirmizi dari Jabir r.a.)

Ayat 10

Pada ayat ini Allah menegaskan sebagian dari sekian banyak karunia yang telah dianugerahkan kepada hamba-Nya yaitu bahwa Dia telah menyediakan bumi ini untuk manusia tinggal dan berdiam di atasnya, bebas berusaha dalam batas-batas yang telah digariskan, diberi perlengkapan kehidupan.

Kemudian disempurnakan-Nya dengan bermacam-macam perlengkapan lain agar mereka dapat hidup di bumi dengan senang dan tenang, seperti tumbuh-tumbuhan yang beraneka ragam macamnya, binatang-binatang, baik yang boleh dimakan maupun yang tidak, burung baik di udara atupun di darat, ikan baik di laut, di danau maupun di tempat-tempat pemeliharan ikan lainnya, air tawar untuk diminum, dipergunakan mencuci pakaian dan keperluan lainnya, minuman dan makanan yang bermacam rasa dan aromanya untuk memenuhi selera masing-masing.

Bahkan semua yang ada di bumi ini adalah diperuntukkan bagi manusia, sebagaimana firman Allah:

هُوَ الَّذِيْ خَلَقَ لَكُمْ مَّا فِى الْاَرْضِ جَمِيْعًا

Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untukmu. (al Baqarah/2: 29)

Untuk memenuhi keperluan hidup seseorang tentu tidak akan bisa terus menetap di satu tempat, tetapi ia berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain, untuk itu disediakan bagi mereka alat pengangkutan dan perhubungan yang bermacam-macam yang berkembang dan maju sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk dipergunakan mereka seperti mobil dengan segala macam bentuk dan keindahannya, kapal terbang, kapal laut, dan kapal selam, kereta api dan lain sebagainya yang tak terhitung banyaknya.

Tidak seorang pun manusia yang dapat memberi angka pasti tentang banyaknya karunia itu sekalipun dengan komputer. Allah berfirman:

وَاِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ لَا تُحْصُوْهَا

Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. (Ibrahim/14: 34)

Semua karunia dan nikmat tersebut di atas adalah untuk memenuhi keperluan hidup jasmani baik secara perorangan maupun secara berkelompok yang akan dijadikan batu loncatan untuk memenuhi dan menjaga kesejahteraan hidup rohani guna kesucian diri dan mempersiapkan diri untuk hidup kekal di akhirat nanti serta memperoleh nikmat dan kebahagian abadi yang tak berkesudahan. Atas semua karunia dan nikmat yang tak terhitung banyaknya itu maka wajiblah manusia bersyukur, mensyukuri penciptanya, yaitu Allah swt, dan janganlah sekali-kali dia mengingkarinya, sebagaimana firman Allah:

وَاشْكُرُوْا لِيْ وَلَا تَكْفُرُوْنِ

Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku. (al Baqarah/2: 152)

Alangkah sedikitnya manusia yang dapat menyadari dan menginsyafi hal tersebut. Pada umumnya manusia menganggap bahwa yang dicapai dan diperolehnya itu adalah hasil dari kecerdasan otaknya, kesungguhan usahanya, bukan dari Allah dan sedikit dari mereka yang bersyukur:

وَقَلِيْلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُوْرُ

Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur. (Saba′/34: 13)

Bersyukur kepada Allah tidak cukup dengan hanya mengucapkan Alhamdulillah wa syukru lillah, tetapi harus diiringi dengan amal perbuatan yaitu dengan cara mendayagunakan nikmat tersebut dalam hal-hal yang diridai dan disukai Allah, bermanfaat bagi sesama manusia serta menaati segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya.

Tafsir Surat Al A’raf Ayat 5-7

0
tafsir surat al a'raf
tafsiralquran.id

Ayat 5

Ayat ini menerangkan bahwa umat yang telah ditimpa siksa itu, tidak lain keluhannya kecuali mereka mengakui kezaliman, kesalahan dan kedurhakaan yang telah mereka perbuat. Ketika itulah baru mereka sadar dan menyesal, serta mengharapkan sesuatu jalan yang dapat mengeluarkan mereka dari bencana yang telah menimpa itu. Kesadaran dan penyesalan mereka tentunya tidak akan bermanfaat dan tidak ada gunanya lagi; sebagaimana firman Allah:

وَكَمْ قَصَمْنَا مِنْ قَرْيَةٍ كَانَتْ ظَالِمَةً وَّاَنْشَأْنَا بَعْدَهَا قَوْمًا اٰخَرِيْنَ   ١١  فَلَمَّآ اَحَسُّوْا بَأْسَنَآ اِذَا هُمْ مِّنْهَا يَرْكُضُوْنَ ۗ  ١٢  لَا تَرْكُضُوْا وَارْجِعُوْٓا اِلٰى مَآ اُتْرِفْتُمْ فِيْهِ وَمَسٰكِنِكُمْ لَعَلَّكُمْ تُسْـَٔلُوْنَ   ١٣  قَالُوْا يٰوَيْلَنَآ اِنَّا كُنَّا ظٰلِمِيْنَ   ١٤  فَمَا زَالَتْ تِّلْكَ دَعْوٰىهُمْ حَتّٰى جَعَلْنٰهُمْ حَصِيْدًا خَامِدِيْنَ   ١٥

Dan berapa banyak (penduduk) negeri yang zalim yang telah Kami binasakan, dan Kami jadikan generasi yang lain setelah mereka itu (sebagai penggantinya). Maka ketika mereka merasakan azab Kami, tiba-tiba mereka melarikan diri dari (negerinya) itu. Janganlah kamu lari tergesa-gesa; kembalilah kamu kepada kesenangan hidupmu dan tempat-tempat kediamanmu (yang baik), agar kamu dapat ditanya. Mereka berkata, ”Betapa celaka kami, sungguh, kami orang-orang yang zalim.” Maka demikianlah keluhan mereka berkepanjangan, sehingga mereka Kami jadikan sebagai tanaman yang telah dituai, yang tidak dapat hidup lagi. (al Anbiya′/21: 11-15)

Ayat 6

Ayat ini menerangkan bahwa di akhirat nanti, semua umat yang telah diutus seorang rasul kepada mereka akan ditanya, sebagaimana firman Allah:

فَوَرَبِّكَ لَنَسْـَٔلَنَّهُمْ اَجْمَعِيْنَۙ  ٩٢  عَمَّا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ   ٩٣

Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu. (al Hijr/15: 92-93)

Lebih dahulu ditanyakan tentang rasul-rasul yang telah diutus kepada mereka, kemudian disusul dengan pertanyaan sampai di mana mereka telah merespon dan melaksanakan seruan para rasul itu. Firman Allah:

يٰمَعْشَرَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِ اَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِّنْكُمْ يَقُصُّوْنَ عَلَيْكُمْ اٰيٰتِيْ وَيُنْذِرُوْنَكُمْ لِقَاۤءَ يَوْمِكُمْ هٰذَاۗ قَالُوْا شَهِدْنَا عَلٰٓى اَنْفُسِنَا وَغَرَّتْهُمُ الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا وَشَهِدُوْا عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ اَنَّهُمْ كَانُوْا كٰفِرِيْن

Wahai golongan jin dan manusia! Bukankah sudah datang kepadamu rasul-rasul dari kalanganmu sendiri, mereka menyampaikan ayat-ayat-Ku kepadamu dan memperingatkanmu tentang pertemuan pada hari ini? Mereka menjawab, ”(Ya), kami menjadi saksi atas diri kami sendiri.” Tetapi mereka tertipu oleh kehidupan dunia dan mereka telah menjadi saksi atas diri mereka sendiri, bahwa mereka adalah orang-orang kafir. (al An’am/6: 130)

Firman-Nya:

يَوْمَ يَجْمَعُ اللّٰهُ الرُّسُلَ فَيَقُوْلُ مَاذَٓا اُجِبْتُمْ

(Ingatlah), pada hari ketika Allah mengumpulkan para rasul, lalu Dia bertanya (kepada mereka), ”Apa jawaban (kaummu) terhadap (seruan)mu?” (al Ma′idah/5: 109)

Pertanyaan itu diajukan kepada orang-orang yang durhaka, dan pembuat maksiat bukan karena Allah tidak tahu atau belum tahu keadaannya, tetapi semua itu dilakukan semata-mata untuk mendapatkan pengakuan mereka atas adanya rasul yang telah diutus kepada mereka dan untuk menampakkan cela dan aib mereka, sehingga tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak disiksa atau dimasukkan ke dalam neraka.

Imam ar-Razi berkata, sebenarnya mereka ditanya bukanlah mengenai amal yang telah diperbuatnya di dunia, karena semua itu telah diketahui melalui catatan malaikat yang ditugaskan untuk itu, sehingga tidak ada suatu perbuatan manusia dari yang sebesar-besarnya sampai yang sekecil-kecilnya yang luput dari catatannya, tetapi yang ditanyakan ialah sebab yang mengakibatkan mereka meninggalkan perintah Allah.

Ayat ini tidak bertentangan dengan ayat-ayat yang menerangkan bahwa tidak akan ditanyakan dosa manusia dan jin dan dosa orang-orang yang berbuat maksiat, seperti dalam firman Allah:

فَيَوْمَئِذٍ لَّا يُسْـَٔلُ عَنْ ذَنْۢبِهٖٓ اِنْسٌ وَّلَا جَاۤنٌّ

Maka pada hari itu manusia dan jin tidak ditanya tentang dosanya. (ar Rahman/55: 39)

dan firman-Nya:

وَلَا يُسْـَٔلُ عَنْ ذُنُوْبِهِمُ الْمُجْرِمُوْنَ

Dan orang-orang yang berdosa itu tidak perlu ditanya tentang dosa-dosa mereka. (al Qasas/28: 78)

Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa bukan saja umat yang telah diutus Rasul kepada mereka yang ditanya sampai di mana mereka melaksanakan seruan rasul itu, tetapi juga rasul-rasul yang telah diutus kepada suatu umat akan ditanya sampai di mana seruan mereka disambut baik dan dilaksanakan oleh umatnya sebagaimana firman Allah:

يَوْمَ يَجْمَعُ اللّٰهُ الرُّسُلَ فَيَقُوْلُ مَاذَٓا اُجِبْتُمْ

(Ingatlah), pada hari ketika Allah mengumpulkan para rasul, lalu Dia bertanya (kepada mereka), “Apa jawaban (kaummu) terhadap (seruan)mu?” (al Ma′idah/5: 109)

Pertanyaan yang ditujukan kepada rasul di akhirat nanti, adalah pertanyaan yang jawabannya merupakan pengakuan dan kesaksian atas seruan yang telah disampaikan kepada umatnya, dan pembangkangan umat atas isi seruan ini.

Ayat 7

Ayat ini menerangkan bahwa kepada mereka, baik kepada rasul-rasul maupun kepada umat yang telah menerima seruan rasul, akan diceritakan kelak hal-hal yang telah mereka perbuat karena semua itu telah diketahui Allah, dan semuanya telah dicatat di dalam buku catatan malaikat pencatat. Tidak ada sesuatu pun yang luput dari pencatatan malaikat, sebagaimana firman Allah:

يٰوَيْلَتَنَا مَالِ هٰذَا الْكِتٰبِ لَا يُغَادِرُ صَغِيْرَةً وَّلَا كَبِيْرَةً اِلَّآ اَحْصٰىهَاۚ وَوَجَدُوْا مَا عَمِلُوْا حَاضِرًاۗ وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ اَحَدًا

… dan mereka berkata, “Betapa celaka kami, kitab apakah ini, tidak ada yang tertinggal, yang kecil dan yang besar melainkan tercatat semuanya,” dan mereka dapati (semua) apa yang telah mereka kerjakan (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menzalimi seorang jua pun. (al Kahf/18: 49)

Allah selalu menyaksikan gerak-gerik dan segala perbuatan mereka pada setiap waktu. Allah mendengar apa yang mereka katakan, melihat apa yang mereka lakukan, mengetahui semua perbuatan mereka, baik yang mereka lakukan secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Allah berfirman:

وَهُوَ مَعَهُمْ اِذْ يُبَيِّتُوْنَ مَا لَا يَرْضٰى مِنَ الْقَوْلِ ۗ وَكَانَ اللّٰهُ بِمَا يَعْمَلُوْنَ مُحِيْطًا

… karena Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang tidak diridai-Nya. Dan Allah Maha Meliputi terhadap apa yang mereka kerjakan. (an Nisa′/4: 108)

Pertanyaan ini bukanlah untuk meminta penjelasan tentang sesuatu yang tidak diketahui Allah, tetapi semata-mata untuk mencela perbuatan dan kelakuan mereka.

Tafsir Surat Al A’raf Ayat 1-4

0
tafsir surat al a'raf
tafsiralquran.id

Ayat 1

Mengenai tafsir ayat “Alif Lam Mim Sad”, lihat jilid I Al-Qur’an dan Tafsirnya tentang tafsir permulaan surah dengan huruf-huruf hijaiyah.

Ayat 2

Ayat ini menerangkan bahwa kitab yang diturunkan kepada Muhammad saw yang berisi bimbingan dan petunjuk, adalah untuk memberi peringatan kepada orang-orang mukmin. Muhammad janganlah sekali-kali merasa sedih menghadapi tantangan, perlawanan, ejekan dan hal-hal yang lain dari kaum musyrikin, dalam menyampaikan risalah yang telah ditugaskan kepadanya. Hendaklah dia bersabar menghadapinya.

Adanya tantangan dari kaum musyrikin sehingga dada Muhammad saw akan menjadi sesak karenanya telah diketahui oleh Allah sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:

وَلَقَدْ نَعْلَمُ اَنَّكَ يَضِيْقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُوْلُوْنَ

Dan sungguh, Kami mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan. (al-Hijr/15: 97)

Tetapi ia diperintahkan agar bersabar, tetap teguh hati menghadapi mereka sebagaimana halnya rasul-rasul sebelumnya.

Firman Allah:

فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ اُولُوا الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ

Maka bersabarlah engkau (Muhammad) sebagaimana kesabaran rasul-rasul yang memiliki keteguhan hati… (al-Ahqaf/46: 35)

 Kitab tersebut harus dijadikan pelajaran dan peringatan bagi orang-orang mukmin, karena peringatan itu akan membawa manfaat dan pengaruh kepada mereka.

وَذَكِّرْ فَاِنَّ الذِّكْرٰى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِيْنَ

Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang mukmin. (Az-Zariyat/51: 55)

Ayat 3

Pada ayat ini ada perintah agar orang-orang mukmin mengikuti apa yang telah diturunkan kepada Muhammad oleh Allah yang menguasai dan mengatur segala gerak-gerik mereka, baik perintah itu menyuruh untuk mengerjakan sesuatu, maupun melarang mengerjakan sesuatu, karena apa yang telah diperintahkan-Nya mengandung kebaikan, kebenaran, kesejahteraan dan kebahagiaan.

Dan, janganlah sekali-kali mereka mengikuti ajaran-ajaran selain dari ajaran Allah, begitu pula ajakan-ajakan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan-Nya, karena yang demikian itu membahayakan mereka dan akan membawa pengikut-pengikutnya ke jalan yang sesat dan merusak akidah/akhlaknya dan sebagainya.

Sekalipun hal-hal tersebut di atas telah menjadi kenyataan, dan disaksikan oleh mata kepala sendiri, tidaklah banyak orang yang menyadarinya, mengambil pelajaran dan iktibar daripadanya, bahkan ia tetap mengikuti keinginan nafsunya, dan ajakan setan yang dipertuannya.

Ayat 4

Ayat ini menerangkan bahwa tidak sedikit negeri yang telah dimusnahkan dan penduduknya dibinasakan karena kedurhakaannya. Mereka menentang, membangkang dan mendustakan para rasul Allah yang diutus kepadanya untuk memberi kabar gembira dan peringatan. firman Allah:

فَكَاَيِّنْ مِّنْ قَرْيَةٍ اَهْلَكْنٰهَا وَهِيَ ظَالِمَةٌ فَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلٰى عُرُوْشِهَاۖ وَبِئْرٍ مُّعَطَّلَةٍ وَّقَصْرٍ مَّشِيْدٍ

Maka betapa banyak negeri yang telah Kami binasakan karena (penduduk)nya dalam keadaan zalim, sehingga runtuh bangunan-bangunannya dan (betapa banyak pula) sumur yang telah ditinggalkan dan istana yang tinggi (tidak ada penghuninya). (al-Hajj/22: 45)

وَكَمْ اَهْلَكْنَا مِنْ قَرْيَةٍ ۢ بَطِرَتْ مَعِيْشَتَهَا ۚفَتِلْكَ مَسٰكِنُهُمْ لَمْ تُسْكَنْ مِّنْۢ بَعْدِهِمْ اِلَّا قَلِيْلًاۗ وَكُنَّا نَحْنُ الْوَارِثِيْنَ

Dan betapa banyak (penduduk) negeri yang sudah bersenang-senang dalam kehidupannya yang telah Kami binasakan, maka itulah tempat kediaman mereka yang tidak didiami (lagi) setelah mereka, kecuali sebagian kecil. Dan Kamilah yang mewarisinya. (al-Qasas/28: 58)

Apabila suatu negeri akan dimusnahkan, maka datanglah azab dan siksaan Allah kepada penduduk negeri itu dalam keadaan mereka sedang lengah dan tidak menduga sama sekali, karena tidak ada tanda-tanda sebelumnya. Adakalanya siksaan itu datang di waktu malam, di waktu mereka bersenang-senang, merasa aman sebagaimana halnya kaum Nabi Lut. Adakalanya datang di waktu siang, di kala mereka istirahat tidur sebagaimana halnya kaum Nabi Syu’aib.

Allah berfirman:

حَتّٰٓى اِذَآ اَخَذَتِ الْاَرْضُ زُخْرُفَهَا وَازَّيَّنَتْ وَظَنَّ اَهْلُهَآ اَنَّهُمْ قٰدِرُوْنَ عَلَيْهَآ اَتٰىهَآ اَمْرُنَا لَيْلًا اَوْ نَهَارًا فَجَعَلْنٰهَا حَصِيْدًا كَاَنْ لَّمْ تَغْنَ بِالْاَمْسِۗ  كَذٰلِكَ نُفَصِّلُ الْاٰيٰتِ لِقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْن

… Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan berhias, dan pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya (memetik hasilnya), datanglah kepadanya azab Kami pada waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanaman)nya seperti tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda (kekuasaan Kami) kepada orang yang berpikir. (Yunus/10: 24);Firman-Nya:

اَفَاَمِنَ اَهْلُ الْقُرٰٓى اَنْ يَّأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا بَيَاتًا وَّهُمْ نَاۤىِٕمُوْنَۗ  ٩٧  اَوَاَمِنَ اَهْلُ الْقُرٰٓى اَنْ يَّأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا ضُحًى وَّهُمْ يَلْعَبُوْنَ  ٩٨

Maka apakah penduduk negeri itu merasa aman dari siksaan Kami yang datang malam hari ketika mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri itu merasa aman dari siksaan Kami yang datang pada pagi hari ketika mereka sedang bermain?  (al-A’raf/7: 97-98)

Tafsir Surah Maryam Ayat 33: Tiga Bentuk Keselamatan Yang Diminta oleh Nabi Isa

0
tiga bentuk keselamatan
tiga bentuk keselamatan

Tafsiralquran.id– Keselamatan merupakan puncak daripada pengharapan manusia kepada tuhannya. Tanpa keselamatan hidup manusia akan runyam tiada bernilai apa-apa. Keselamatan dalam Islam merupakan bentuk makna dari salam. Kata salam sendiri menempati klaster tertinggi dalam Islam. Tidak ada kata-kata yang bisa menggantikan kedudukan salam mengingat keutamaan dan maknanya yang mengandung doa, keselamatan dan penghormatan.

Bahkan Allah swt meletakkan salam sebagai pamungkas (penutup) dari serangkaian ibadah shalat. Menandakan bahwa seluruh perintah agama dan sserangkaian ibadah kita kepada Allah harus mampu menghadirkan perdamaian dan kedamaian bagi sesama. Maka, pengharapan salam tidak hanya dilakukan oleh kita sebagai manusia biasa, melainkan para nabi juga di antaranya adalah Nabi Isa a.s. yang termaktub dalam Q.S. Maryam [19]: 33,

وَالسَّلٰمُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُّ وَيَوْمَ اَمُوْتُ وَيَوْمَ اُبْعَثُ حَيًّا

Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari kelahiranku, pada hari wafatku dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali. (Q.S. Maryam [19]: 33).

Tafsir Surah Maryam Ayat 33

Ibn Katsir menjelaskan dalam ayat ini mengandung itsbat li’ubudiyyahillah (penetapan hamba Allah) bahwa Nabi Isa merupakan makhluk Allah sebagaimana manusia pada umumnya yang mengalami fase hidup, mati dan esok akan dibangkitkan kembali. Namun Allah swt memberikan keselamatan kepada Nabi Isa pada keadaan tertentu (dihidupkan, dimatikan dan dibangkitkan) di mana merupakan keadaan genting bagi para hamba.

Semoga keselamatan senantiasa terlimpah pada Nabi Isa. Senada dengan Ibn Katsir, Thantawi dalam Tafsir al-Wasith menafsirkan bahwa Nabi Isa menggambarkan dirinya sebagai bishifati al-‘ubudiyyatillah (sifat sebagaimana hamba Allah pada umumnya) di mana beliau juga membutuhkan petunjuk dan keselamatan dari Allah swt.

Dalam tafsir yang lain misalnya Quraish Shihab merinci permintaan salam Nabi Isa tidak hanya meminta keselamatan saja, tetapi agar terhindar dari segala bencana dan kekurangan pada hari aku (Nabi Isa) dilahirkan, wafat, dan dibangkitkan kembali pada padang mahsyar.

Sebab, tiga tempat atau kondisi tersebut merupakan kondisi penentuan dalam kehidupan manusia. Saat kelahiran, tatkala lahirnya cacat maka kehidupannya di dunia akan terganggu. Saat kematian, jika kematiannya dalam kondisi su’ul khatimah dan kurang bahkan tidak ada amal kebaikannya maka kesengsaraan hidup akan menyertainya di alam barzah dan perlunya keselamatan di padang mahsyar agar terhindar dari rasa malu dan takut yang mencekam.

Permohonan Nabi Isa Atas Tiga Bentuk Keselamatan

Sebagai seorang hamba, Nabi Isa tetap memohon keselamatan kepadaNya lebih-lebih di tiga tempat atau kondisi yaitu saat dihidupkan, dimatikan dan dibangkitkan. Sebab tiga kondisi ini adalah esensi kehidupan manusia. Tatkala selamat dari tiga kondisi tersebut, maka hidup manusia akan berlinang kebahagiaan, dan sebaliknya. Hal ini juga menjadi permintaan semua orang. Maka nilai salam (keselamatan) dalam ayat tersebut hendaknya menjadi permohonan kita dalam setiap doa, bertutur kata dan bersikap dalam kehidupan sehari-hari. Wallahu A’lam.

Jenis-Jenis Teks Alquran yang Belum Banyak Diketahui

0
Teks Alquran
Teks Alquran

Teks Alquran dari segi kandungannya sangat variatif. Bahkan, segala aspek dalam kehidupan masyarakat disinggung di dalamnya. Hal ini menjadi sebuah keniscayaaan bagi Alquran, mengingat keberadaannya sebagai kitab petunjuk seluruh manusia (hudan linnas/the book of guidance).

Pada masa awal perkembangan keilmuan tafsir, sebenarnya para ulama telah membuat klasifikasi dasar teks Alquran, yang tentunya mengacu pada sudut pandang tertentu.

Klasifikasi ini pertama dibuat oleh Sahabat Ibnu Abbas ra yang mengklasifikasikan teks Alquran berdasarkan kemungkinannya untuk diketahui. Ia membagi teks Alquran menjadi 4, yaitu; teks yang bisa diketahui oleh semua orang, yang orang Arab bisa mengetahui, yang hanya pengkaji Alquran saja yang bisa mengetahui, dan yang hanya Allah yang bisa mengetahui.

Hal yang hampir sama juga dilakukan oleh al-Thabari. Dalam tafsirnya yang berjudul Jaami’ul Bayaan ‘an Tafsiril Aayil Qur’aan, ia membagi teks Alquran berdasarkan otoritas untuk menafsirkannya, yakni; teks yang hanya bisa ditafsirkan oleh Allah seperti ayat yang mengandung hal gaib, teks yang hanya bisa ditafsirkan oleh Nabi, seperti yang berhubungan dengan syariat, dan yang terbuka untuk ditafsirkan oleh siapapun.

Baca Juga: Ibn Jarir At-Thabari: Sang Bapak Tafsir

Dua klasifikasi di atas tidak menguak tujuan yang terkandung dalam teks, sehingga perlu dilakukan klasifikasi lain yang berorientasi pada isi/kandungannya. Hal inilah kemudian yang menginspirasi Abdullah Saeed untuk membuat klasifikasi dasar berdasarkan jenis teks Alquran.

Menurutnya, klasifikasi yang ia buat ini akan mempermudah seseorang untuk menemukan maksud dan tujuan yang terkandung di dalam teks, sehingga mempermudah untuk memahami teks tersebut. Saeed membagi klasifikasinya menjadi 4 jenis, yakni teks teologis, historis, perumpamaan, serta etika-hukum. Berikut ulasan singkatnya.

Teks Teologis

Teks teologis ialah jenis teks yang berorientasi pada hal-hal metafisik, yang tidak bisa dijangkau oleh indera dan nalar manusia. Abdullah Saeed dalam The Qur’an: an Introduction, membagi teks ini ke dalam dua jenis entitas.

Pertama, Tuhan dan sifat-Nya, misalnya dalam QS Al-Ikhas (112:1), tentang Allah dan sifat Esa-Nya.

Kedua, hal metafisik selain yang disebut di bagian pertama, misalnya, singgasana Allah (‘arsy) yang tersebut dalam QS Thaha (20:5), surga (QS Ali Imran (3:15), neraka (QS Al-Anfal (8:14), dan lain sebagainya.

Karena manusia tidak bisa menjangkau dengan indera dan kemampuan nalarnya, pengetahuan tentang jenis teks ini sebatas pada kira-kira, tidak sampai pada maksud teks tersebut secara penuh dan otentik.

Adapun cara memahami teks jenis ini, menurut al-Zamakhsyari dalam Tafsir al-Kasyaaf, ialah dengan menggunakan perumpamaan. Misalnya, ketika suatu teks berbicara tentang surga, seringkali disertai analoginya dengan tempat yang di bawahnya dikelilingi oleh sungai dan lain sebagainya.

Teks Historis

Teks historis ialah jenis teks Alquran yang mengandung elemen sejarah. Termasuk dalam teks jenis ini ialah cerita nabi-nabi dan umat terdahulu, serta para tokoh ikonik di masa lampau, seperti Lukman al-Hakim, Fir’aun, dan Zulkarnain.

Pada umumnya, karakteristik teks historis dalam Alquran tidak mengilustrasikan tokoh, setting waktu, dan tempat kejadian secara terperinci, tetapi lebih menekankan pada nilai moril yang disampaikan dalam narasi tersebut.

Misalnya, kisah tentang Nabi Syu’aib dan umatnya yang terdapat dalam QS Al-A’raf (7:85-89), yang lebih menekankan ajaran tauhid, berbuat adil dalam bertransaksi, serta bijaksana terhadap alam dengan tidak merusak lingkungan.

Baca Juga: Inilah Alasan Kenapa Kisah Al Quran Adalah Kisah Terbaik

Selain itu, teks historis dalam Alquran juga memiliki karakteristik berupa pengulangan di beberapa tempat, dengan fragmen serta nilai moral etis yang berbeda. Seperti halnya kisah Nabi Nuh yang setidaknya disebutkan 13 kali di surat yang berbeda, dan kesemuanya memiliki sense-nya masing-masing.

Fragmen sejarah yang tak utuh dalam Alquran ini sekaligus menjadi bukti bahwa Alquran bukanlah buku sejarah, melainkan kitab suci yang mengandung petunjuk atau pedoman bagi segala bidang, termasuk di dalamnya ialah sejarah.

Teks Perumpamaan

Perumpamaan (matsal) ialah jenis teks Alquran yang berupa ilustrasi atau analogi terhadap sesuatu. Menurut Saeed, sebagaimana teks historis, perumpamaan dalam Alquran juga menggunakan sentuhan sastrawi dan imajinasi yang merupakan cirikhas bagi masyarakat Islam awal.

Jenis teks ini sering dijumpai dalam Alquran karena menyesuaikan dengan konteks masyarakat Arab pra-Islam yang juga sering menggunakan perumpamaan dalam menyampaikan sesuatu.

 Dalam Alquran, perumpamaan pada umumnya dipakai untuk menyampaikan ajaran agar dapat lebih mudah dan jelas untuk dipahami. Secara praktis, perumpamaan dalam Alquran pada umumnya dibumbui dengan majaz, sebagaimana perumpamaan ucapan baik dengan pohon yang baik dalam QS Ibrahim (14:21). Selain itu, juga seperti perumpamaan sifat riya’ dengan batu licin yang di atasnya ada debu, sebagaimana dalam QS Al-Baqarah (2:264).

Sejalan dengan itu, M Khalafullah dalam karyanya berjudul al-Fannul Qashashi fil Qur’anil Karim, menegaskan bahwa teks Alquran yang berupa perumpamaan dan begitu pula kisah atau sejarah, tak lain adalah salah satu cara Allah mengajak berbicara manusia dengan gaya komunikasi dan imajinasi yang biasa digunakan oleh manusia itu sendiri, dengan tujuan untuk menyelaraskan informasi yang hendak Allah sampaikan dengan gaya komunikasi manusia.

Teks Etika-Hukum

Jenis teks ini merupakan teks Alquran yang berorientasi pada persoalan akidah (misalnya dalam QS Al-Baqarah (2:41) tentang iman pada kitab suci, hukum legal-formal (seperti dalam QS Al-Maidah (5:6) tentang tatacara bersuci, nilai universal atau maqashid al-syari’ah (seperti dalam QS Al-Baqarah (2:179) tentang nilai universal berupa perlindungan hidup pada pensyariatan hukuman mati.

Menurut Saeed, teks etika-hukum ini menjadi jenis teks Alquran yang paling berdampak pada kehidupan manusia. Hal ini karena teks ini mengatur tingkah laku manusia secara langsung.

Dan karena kondisi dan situasi yang dialami manusia senantiasa berkembang dan mengalami perubahan, penafsiran terhadap teks jenis ini juga sangat fleksibel, utamanya dalam tatanan legal-formal. Demi menjaga fleksibilitas Alquran serta melestarikan substansinya, analisis sejarah atau konteks yang melatari turunnya ayat menempati posisi penting.

Dengan mempelajari klasifikasi dasar berdasarkan jenis teks Alquran ini, kita tidak hanya dapat meraba teks mana yang dapat ditindaklanjuti untuk digali maknanya lebih dalam atau tidak. Tetapi, lebih jauh, klasifikasi ini dapat memberikan pemahaman umum tentang tujuan dan maksud teks tersebut diturunkan. Wallahu a’lam.

Tafsir Surat An-Nisa’ ayat 164: Apakah Benar Jumlah Nabi ada 25?

0

Penting kiranya sebagai umat muslim mengetahui apakah benar jumlah Nabi dan Rasul ada 25. Sebab, dalam rukun Iman umat muslim dianjurkan untuk mengimani Rasul dan Nabi –Nabi Allah. Berikut nama-nama Nabi dan Rasul yang termasuk kategori 25 Nabi; Nabi Adam, Nabi Idris, Nabi Nuh, Nabi Hud,  Nabi Soleh, Nabi Ibrahim, Nabi Luth, Nabi Isma’il, Nabi Ishaq,  Nabi Ya’qub,  Nabi Yusuf, Nabi Ayyub, Nabi Syu’aib, Nabi Harun, Nabi Musa, Nabi Ilyasa, Nabi Dzulkifli, Nabi Dawud, Nabi Sulaiman, Nabi Ilyas,  Nabi Yunus, Nabi Zakaria, Nabi Yahya, Nabi Isa, Nabi Muhammad.

Akan tetapi jika membaca Al Quran terdapat kisah-kisah nabi selain dari 25 Nabi yang disebutkan diatas, misalnya saja nabi Khidir, Nabi Sam’un dan lain sebagainya. Sesungguhnya Allah SWT berfirman pada surat An-Nisa’ ayat 164:

وَرُسُلًا قَدْ قَصَصْنَاهُمْ عَلَيْكَ مِنْ قَبْلُ وَرُسُلًا لَمْ نَقْصُصْهُمْ عَلَيْكَ وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا

“Dan (Kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung”

Pada tafsir al-Misbah oleh Quraish Shibah tertulis,  Kami telah mengutus banyak rasul sebelummu. Di antara mereka ada yang Kami ceritakan kisahnya kepadamu, dan ada pula yang tidak Kami ceritakan. Cara Allah memberikan wahyu kepada Mûsâ adalah dengan berbicara secara langsung dari balik tabir, tanpa perantara.

Kemudian pada Tafsir as-Sa’di karangan Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, pakar tafsir abad 14 H, disebutkan bahwa mereka bersama-sama mendapatkan wahyu, maka disebutkan pengkhususan sebagian mereka. Nabi Dawud diberi oleh Allah kitab Zabur dan Nabi Musa ‘alaihis salam diajak bicara oleh Allah secara langsung tanpa perantara.

Dalam ayat tersebut juga diterangkan, bahwa para rasul tersebut ada yang dikisahkan Allah dan ada yang tidak dikisahkan-Nya, hal ini menunjukkan banyaknya jumlah mereka. Allah berbicara langsung dengan Nabi Musa terkait keistimewaan Nabi Musa, oleh karenanya Nabi Musa disebut Kalimullah (orang yang diajak bicara oleh Allah), sedangkan rasul-rasul yang lain mendapat wahyu dari Allah dengan perantaraan Jibril. Nabi Muhammad SAW juga pernah berbicara secara langsung dengan Allah pada malam hari di waktu mi’raj.

Kemudian jika akan menganalisa bagaimana Allah berbicara dengan Nabi Musa, adalah suatu hal yang tidak bisa dicerna oleh mata telanjang, sebab, tugas seorang muslim adalah mengimani atas apa yang telah terjadi pada Nabi dan Rasul. Lebih jelasnya terkait berapa jumlah Nabi dan Rasul sebenarnya, tertera dalam hadis Nabi riwayat Imam Ahmad, pada kitab Musnad Ahmad:

قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، كَمْ وَفَّى عِدَّةُ الْأَنْبِيَاءِ؟ قَالَ: «مِائَةُ أَلْفٍ وَأَرْبَعَةٌ وَعِشْرُونَ أَلْفًا الرُّسُلُ مِنْ ذَلِكَ ثَلَاثُ مِائَةٍ وَخَمْسَةَ عَشَرَ جَمًّا غَفِيرًا

Wahai Rasulullah berapa jumlah keseluruhan para nabi ? Rasul bersabda: Jumlah seluruh nabi dan rasul seratus dua puluh empat ribu (124.000) nabi, diantara mereka yang termasuk rasul sejumlah tiga ratus lima belas, suatu jumlah yang banyak. (HR. Imam Ahmad dalam Al-Musnad, dishahihkan Al-Albani dalam Al-Misykah” (3/1599 no.5732) dan dalam Ash-Shahihah no. 2668.)

Selanjutnya dalam tafsir Ibnu Katsir diterangkan, bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah Nabi dan Rasul. Pendapat yang masyhur jumlah Nabi adalah 124.000, dan jumlah Rasul adalah 313. Akan tetapi menurut Imam al-Baijuri, yang tepat adalah berhenti untuk menentukan jumlah Nabi dan Rasul. Sebab hal itu dapat berakibat mengklaim orang yang bukan Nabi dan Rasul menjadi Nabi dan Rasul, begitun pula sebaliknya.

Berdasarkan ayat diatas, bisa jadi Allah SWT tidak menceritakan semua Nabi dan Rasul pada Alquran. Namun, seyogyanya sebagai umat muslim tetap harus mengimani Nabi dan Rasul Allah, baik yang kita diketahui ataupun tidak. Waallhu a’lam

Tafsir Surah Al Qashash Ayat 85: Cinta Tanah Air adalah Sebagian Dari Iman

0
cinta tanah air adalah sebagian dari iman
cinta tanah air adalah sebagian dari iman

Cinta tanah Air merupakan perasaan bangga dan ikut memiliki sebuah wilayah tertentu. Perasaan ini begitu penting karena merupakan benih yang akan membuat seorang warga negara rela berkorban, menjaga dan berjuang demi memajukan bangsanya.  Alquran sebagai sumber primer ajaran Islam dan otoritatif, secara eksplisit mungkin tidak menyebutkan mengenai pentingnya cinta tanah air, akan tetapi secara implisit para ulama melalui interpretasinya terhadap beberapa ayat dan hadits mengatakan bahwa cinta tanah air dianjurkan dalam Islam.

Pada firman Allah Swt. (QS. Al-Qashash [28]:85) terdapat isyarat bahwa cinta tanah air adalah sebagian dari iman:

إِنَّ الَّذِي فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لَرَادُّكَ إِلَى مَعَادٍ… 85

“sungguh, Dzat yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum Alquran, benar-benar akan mengembalikanmu ke tempat kembali (kota Mekah)”.

Ayat di atas diturunkan ketika Nabi Muhammad Saw. sedang dalam perjalanan malam menuju Madinah. Sesampainya di daerah Juhfah, Nabi Muhammad Saw. sangat rindu pada tanah Mekah. Lalu malaikat Jibril turun menyampaikan ayat ini. Dalam menafsiri ayat ini, Ismail Haqqi memaparkan bahwa ayat di atas terdapat isyarat bahwa cinta tanah air adalah sebagian dari iman. Beliau menyebutkan:

والمعنى لراجعك الى مكان هو لعظمته أهل لان يقصد العود اليه كل من خرج منه وهو مكة المشرفة وطنك الدنيوي … وفى تفسير الآية إشارة الى أن حب الوطن من الإيمان وكان عليه السلام يقول كثيرا الوطن الوطن فحقق الله سؤله فحقق الله سؤله

“makna ayat tersebut adalah: Allah adalah Dzat yang mengembalikanmu pada suatu tempat, yang karena keagungannya, termpat tersebut layak untuk dituju oleh orang-orang yang telah diusir darinya. Tempat tersebut tidak lain adalah tanah Mekah yang mulia, tanah airmu di dunia ini. Dalam tafsir ayat ini terdapat isyarat bahwa cinta tanah air merupakan sebagian dari iman. Betapa seringnya Rasulullah Saw. mengucap ‘Duhai tanah airku, duhai tanha airku’, lalu Allah mengabulkan permintaannya itu”. (Ruh al-Bayan, jilid 6, hl. 441).

Pada ayat lain, Alquran juga menggambarkan tanah air adalah suatu hal yang sangat berharga, yakni berupa penyetaraan antara mengusir seseorang dari tanah airnya dan membunuh nyawanya. Demikian seperti penjelasan Imam al-Razi pada firman Allah Swt:

وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ أَوِ اخْرُجُوا مِنْ دِيَارِكُمْ مَا فَعَلُوهُ إِلَّا قَلِيلٌ مِنْهُمْ وَلَوْ أَنَّهُمْ فَعَلُوا مَا يُوعَظُونَ بِهِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَشَدَّ تَثْبِيتًا 66

Artinya: dan Sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: “Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu”, niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka. dan Sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka).(QS. Al-Nisa [4]:66).

Bahkan seorang pakar hadits Al-Mulla Ali Al-Qari (w 1014 H) menafsiri kata fitnah dengan ‘terusir dari tanah air’, yakni pada firman Allah Swt. :

وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُمْ مِنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْل … 191

“dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan”. (al-Baqarah [2]: 191).

Sehingga dengan penafsiran ini, terusir dari tanah air lebih berat dan kejam dibanding pembunuhan.

ومفارقة الأوطان المألوفة التي هي أشد البلاء ومن ثم فسر قوله تعالى {والفتنة أشد من القتل} [البقرة: 191] بالإخراج من الوطن ; لأنه عقب بقوله {وأخرجوهم من حيث أخرجوكم} [البقرة: 191]

“berpisah dengan tanah air yang dicintai adalah cobaan paling berat, maka dari itulah firman Allah ‘Dan fitnah itu lebih berat dari pembunuhan’ ditafsiri dengan diusir dari tanah air. Sebab potongan ayat tersebut adalah terusan dari ‘Maka usirlah mereka sebagaimana mereka mengusir kalian’.” (Mirqat al-Mafatih, jilid 6, hlm. 2630).

Baca Juga: Adakah Dalil Nasionalisme? Inilah Dalilnya dalam Al Quran

Ayat-ayat di atas serta tafsirnya memberikan gambaran bahwa nasionalisme adalah sesuatu yang berharga, dan dengan menanamkan kecintaan terhadap tanah air suatu Negara akan makmur, sebab dengannya konflik horizontal dan kekacauan masyarakat bisa dihindari, ketertiban umum dapat ditegakkan, dan kemaslahatan duniawi dan ukhrawi bisa terpelihara.    Dan juga menjdi respon penolakan dan atas anggapan sebagian kelompok yang berasumsi bahwa nasionalisme tidak ada landasannya dalam Islam.

Kenali Syarat Menjadi Mufassir

0
kitab jurumiyah yang diajarkan di pesantren, syarat menjadi mufassir

Tafsiralquran.id – Untuk menjadi mufassir Alquran tidak cukup berbekal satu keilmuan saja misalnya ilmu bayan (ilmu bahasa). Namun, ada beberapa pra syarat yang harus ditempuh sehingga ia memiliki otoritas keilmuan yang jelas dan bersanad. Dalam hal ini Ibnu Abbas, Imam Mujahid, dan Abu Darda menegaskan betapa pentingnya mengusai ilmu tafsir bagi setiap pribadi muslim. Tentu pernyataan ini tidak lepas dari peran mufassir yang senantiasa berupaya menghimpun penjelasan makna al-Quran ke arah yang lebih luas.

Dari sekian banyak literatur kitab tafsir yang terlahir, sudah pasti melibatkan kematangan ilmu yang dikuasai oleh mufassir dalam memahami al-Quran. Pun inilah yang menjadi alasan mengapa kebanyakan mufassir menulis karya tafsir di masa akhir penghujung usianya.

Dalam penjelasan kitab klasik menyebutkan cukup banyak syarat serta adab yang harus dimiliki seorang mufassir. Dalam kitab al-Kasysyaf misalnya, Imam Zamakhsyari menulis bahwa seorang mufassir harus memiliki kejujuran, lapang dada, berjiwa sadar, bertekat keras, senantiasa tajam memandang setiap persoalan, tidak berhati keras atau berprangai kasar, serta memiliki kehati-hatian dalam menghadapi setiap isyarat dari nas al-Quran.

Muhammad Husain al-Dzahabi dalam kitab Tafsir al-Mufassirun turut menjelaskan, bahwa sikap mental yang harus dimiliki seorang mufassir adalah:

  1. Tidak asal menafsirkan al-Qur’an tanpa menguasai ilmu bahasa Arab, dasar-dasar syariat yang benar, dan segala aspek keilmuan yang diperlukan.
  2. Tidak memaksakan penafsiran sehingga melebihi batas makna yang menjadi hak prerogati Allah. Misal dalam kasus ayat mutasyabihat.
  3. Mampu mengendalikan hawa nafsu, senantiasa memelihara prasangka yang baik dan berakhlak terpuji.
  4. Tidak mengarahkan penafsiran kepada madzhab yang rusak.
  5. Menafsirkan berdasarkan dalil yang kuat.

Secara universal ada tiga disiplin ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mufassir, diantaranya adalah: ilmu bahasa Arab, u’lumul quran dan ‘ulumul hadist. Namun Imam as-Suyuti dalam al-Itqan fi ‘Ulumul al-Qur’an menjabarkan beberapa ilmu yang harus dikuasai mufassir jika dipeta-kan akan terbagi sebagaimana berikut:

  1. Menguasai ilmu bahasa agar mampu memahami pembendaaraan kata dalam al-Quran.
  2. Memiliki pemahaman terhadap ilmu nahwu agar mengetahui perubahan ikrabnya.
  3. Memahami ilmu sharaf atau tashrif secara mendalam untuk mengetahui bentuk kata.
  4. Mengerti ilmu etimologi untuk mengetahui asal-usul kata
  5. Memiliki pemahaman ilmu balaghoh dengan muatan aspeknya, baik ilmu bayan, badi’ dan ilmu ma’ani.
  6. Mampu memahami ilmu qira’at untuk mengetahui ragam cara melafalkan al-Quran sesuai dengan periwayatannya.
  7. Mengetahui ilmu ushuluddin, yakni kaidah yang berhubungan dengan keimanan dan sifat-sifat Allah.
  8. Memahami ilmu ushul fiqh untuk mengistinbatskan hukum hukum syara’ dari dalil yang jelas.
  9. Memiliki pemahaman terhadap ilmu asbabun nuzul guna mengetahui sebab turunnya ayat.
  10. Memahami ilmu nasikh mansukh untuk mengetahui ayat atau hukum yang dihapus.
  11. Mendalami ilmu hadis sebagai keterangan ayat alquran
  12. Memahami ilmu mauhibah, yakni pengetahuan yang diberikan Allah secara langsung kepada seseorang yang mengamalkan ilmunya.

Dari penjelasan diatas, sangat terlihat bahwa beberapa ulama berijtihad untuk saling melengkapi pendapat terkait syarat-syarat menjadi mufassir. Dengan mengetahui syarat-syarat menajadi mufassir maka dapat diketahui bahwa para mufassir yang ada tidak menafsirkan Al-Quran dengan asal tafsir atau dengan pendapatnya sendiri. Dan dengan hal ini setiap muslim akan lebih berhati-hati dalam meneliti atau para pengkaji al-Quran. Wallahu A’lam.

Hikmah Diturunkannya Al-Quran Secara Berangsur-angsur

0
anak-anak dapat belajar alquran, salah satu hikmah diturunkan alquran secara berangusr-angsur

Tafsiralquran.id – Munawwar Khalil dalam Al-Quran dari Masa ke Masa menjelaskan bahwa hikmah diturunkannya Al-Quran secara berangsur-angsur adalah tidak boleh dianggap sesuatu yang remeh, melainkan mengandung beberapa alasan dari kebijaksanaan-Nya.

Alquran diturunkan dalam kurun waktu 14 tahun silam, selama hampir 23 tahun, tepatnya 22 tahun 2 bulan 22 hari secara berangsur-angsur berdasarkan respon terhadap peristiwa-peristiwa dan problematika umat yang mengiringinya. Selain menjawab pertanyaan seputar permasalahan yang terjadi, Al-Quran melalui ayat-ayatnya juga mereformasi norma-norma yang berlaku pada masyarakat Jahiliyah saat itu, sekaligus merevolusi tatanan hidup yang jauh lebih baik dan mencerahkan.

Dalam hal ini, kita dapat mengetahui bahwa setiap ayat Al-Quran yang turun selalu memiliki azbabun nuzul atau sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat. Lalu, mengapa Alquran tidak turun dalam satu paket sekaligus, sebagaimana turunnya kitab-kitab sebelumnya ?.

Dalam hal ini, narasi ayat yang menyatakan bahwa Al-Quran diturunkan berangsur-angsur terekam dalam surah al-Furqan ayat 32:

وَقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْاٰنُ جُمْلَةً وَّاحِدَةً ۛ كَذٰلِكَ ۛ لِنُثَبِّتَ بِهٖ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنٰهُ تَرْتِيْلًا

Dan orang-orang kafir berkata, “Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekaligus?” Demikianlah, agar Kami memperteguh hatimu (Muhammad) dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (berangsur-angsur, perlahan dan benar). (Q.S. al-Furqan [25]: 32)

Adapun alasan mengapa ayat ini diturunkan, diperjelas oleh Ibnu Abbas bahwa sebab ayat ini berkenaan dengan narasi kaum musyrikin yang mengatakan “Jika Muhammad sebagai Nabi tentu Allah akan menurunkan Al-Quran secara sekaligus saja”. Kemudian turunlah ayat ini sebagaimana jawaban Allah yang mendasari mengapa Al-Quran turun secara berangsur-angsur.   

Dijelaskan pula dalam beberapa ayat lain seperti dalam surah al-Isra’ ayat 106 dan al-Insan ayat 23. Menurut penafsiran salah satu Ulama’ Nusantara, Munawwar Khalil menjelaskan dalam karyanya yang bertajuk Al-Quran dari Masa ke Masa bahwa hikmah diturunkannya Al-Quran secara berangsur-angsur adalah tidak boleh dianggap sesuatu yang remeh, melainkan mengandung beberapa alasan dari kebijaksanaan-Nya.

Tegasnya, beberapa hikmah yang tersimpan dibalik turunnya al-Quran secara bertahap antara lain adalah:

  1. Bertujuan agar masyarakat Arab yang menerima pengajaran dari Al-Quran dapat menerimanya secara perlahan-lahan atau sedikit demi sedikit. Sehingga mampu mengerjakan perintah dan larangan secara sempurna.
  2. Bertujuan agar setiap ayat-ayat yang diturunkan oleh Allah menetap dalam sanubari Rasullah Saw.
  3. Bertujuan untuk memudahkan Nabi dalam berdakwah baik membaca, memahami dan mengajarkan Al-Quran kepada umatnya.

Demikian mengapa Al-Quran sebagai kitab penyempurna memiliki tahap penurunan yang berbeda dengan kitab-kitab sebelumnya. Pun, salah satu keunggulan Al-Quran yang dapat kita rasakan hingga saat ini adalah keserasian teks Al-Quran hingga konteks yang terjadi saat ini. tidak dapat dipungkiri al-Quran selalu autentik dalam segala ruang dan waktu. Wallahu A’lam.

Inilah Tiga Mukjizat Al-Quran

0
dua lautan yang tak pernah tercampur, salah satu mukjizat ilmiah alquran

Tafsiralquran.id – Mukjizat atau I’jaz adalah kata dari bahasa Arab yang merupakan bentuk masdar dari akar kata a’jaza. Lafal a’jaza sendiri memuat beberapa makna, diantaranya adalah melemahkan, di luar kebiasaan dan tidak bisa ditirukan. Sedangkan istilah mukjizat merupakan padanan kata yang diambil dari lafal mu’jiz, yakni isim fail dari kata a’jaza yang bermakna fa’il al-‘ajzi fi ghairihi ‘yang melemahkan orang lain’.

Az-Zarqani mendefinisikan kata i’jaz sebagai suatu hal yang mampu melemahkan atau menundukkan manusia dan dapat diartikan dengan sesuatu yang diluar kebiasaan. Sedangkan menurut Quraish Shihab, i’jaz atau mukjizat adalah sesuatu yang luar biasa  yang tampak pada seorang Nabi, sesuatu tersebut tidak dapat tertandingi dan ditantangkan kepada kaum yang marugakannya.

Pada dasarnya, dimensi i’jaz atau mukjizat diturunkan kepada para rasul yang diutus untuk menyampaikan risalah Allah sebagai bukti kebenarannya. Salah satu kemampuan i’jaz yang dapat dilihat dan bisa dirasakan kehadirannya hingga saat ini adalah kemukjizatan al-Quran yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad untuk umat manusia. Tidak dapat dipungkiri, kemukjizatan al-Quran telah menjadi anugerah yang berhasil mengeluarkan manusia dari gelap menuju cahaya sehingga mampu melihat kebenaran ajaran Islam melalui nalurinya.

Sebagai kitab paripurna, Al-Quran memuat beberapa aspek kemukjizatan yang luar biasa bagi umat manusia, baik keindahan uslub dan nadzam-nya ataupun beragam ilmu dan penjelasan yang terkandung di dalamnya. Kemukjizatan ini menjadikan al-Quran menjadi kitab unggul tak tertandingi oleh siapapun dan sebagai bukti bahwa al-Quran benar-benar wahyu Allah. Menurut Quraish Shihab terdapat tiga aspek kemukjizatan yang terkandung dalam Al-Quran, adapun aspek tersebut meliputi:

Pertama, kemukjizatan segi bahasa. Aspek ini meliputi keindahan, ketelitian dan penggunaan bahasanya. Keistimewaan al-Quran dari aspek bahasa tidak hanya terlihat pada nilai ketinggian sastranya, pun mengantarkan pada suatu temuan bahwa dalam setiap pemilihan kata yang tercantum tidak ada kata yang sia-sia dalam penggunaanya.

Kedua, kemukjizatan sisi keilmiahan yang komprehensif. Aspek ini membuktikan bahwa al-Quran merupakan kitab petunjuk bagi makluk hidup, sejauh ini al-Quran telah menjadi benih inspirasi dari berbagai cabang ilmu pengetahuan yang berkembang tiada henti.

Ketiga, kemukjizatan dari pemberitaan gaib. Berita magis dalam al-Quran yang menceritakan tentang nabi-nabi terdahulu tentu mustahil diketahui oleh nabi Muhammad, sehingga hal ini menunjukkan bahwa al-Quran bukanlah kitab karangan nabi melainkan wahyu yang benar turun dari Allah. Mukjizat yang termuat oleh al-Quran tidak hanya menunjukkan bahwa itulah tujuan diturunkannya Al-Quran kepada umat manusia, pun menunjukkan ketidaksanggupan manusia untuk menandingi keistimewaan al-Quran.

Tidak heran jika aspek i’jazul quran merupakan salah satu kajian penting dalam ‘ulumul quran sebab para ulama’ memandang kemukjizatan al-Quran bukan hanya sebagai kajian untuk menunjukkan keotentikan al-Quran semata, namun juga diyakini mampu menambah dan memperteguh keimanan manusia. Dalam hal ini Quraish Shihab kembali mengingatkan kepada para pemerhati al-Quran untuk lebih mengedepankan keistimewaan al-Quran sesuai dengan masa atau zamannya. Wallahu A’lam.