Beranda blog Halaman 83

Corak Tafsir Lughawi: Menilik Penafsiran Al-Quran Quraish Shihab

0
Tafsir Lughawi
Tafsir Lughawi M. Quraish Shihab (src: Narasi TV)

Sebagai sumber primer ajaran Islam, Al-Quran menyimpan segudang multi tafsir tergantung bagaimana cara kita meresepsi dan memperlakukan Al-Quran. Di sinilah letak keragaman, kompleksitas sekaligus universalitas Al-Quran sehingga tidak ada tafsir tunggal atas Al-Quran itu sendiri. Bahwa kebenaran Al-Quran itu absolut sudah barang tentu, namun ada banyak sekian ragam penafsiran Al-Quran dan itu semua dibenarkan sepanjang tidak melanggar ketentuan syariat.

Berkaitan dengan itu, kiranya corak tafsir lughawi dan tafsir waqf adalah dua corak tafsir yang menurut Ulama kenamaan Indonesia, KH. Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha, seringkali digunakan oleh pakar tafsir sebagai landasan dalam menafsirkan Al-Quran. Ambil contoh, mufasir yang menjadikan lughawi (kosakata) ayat Al-Quran sebagai bagian integral dalam penafsirannya adalah Quraish Shihab.

Pola Khas Corak Tafsir Lughawi ala Quraish Shihab

Gus Baha mencontohkan penafsiran Quraish Shihab, misalnya, dalam Surat Al-Isra’ ayat 24,

وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ

“Rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang.” (Q.S. Al-Isra’ [17]: 24)

Quraish Shihab menafsirkan ayat di atas dengan pola lughat, yaitu dengan membahas arti dasar perkata. Kata janaha (جَنَاحَ), pada ayat di atas oleh Quraish Shihab diartikan sayap. Lalu ia menganalogikannya dengan burung. Seekor burung, kata Shihab dalam Tafsir al-Misbah, merendahkan sayapnya pada saat ia hendak mendekat dan bercumbu kepada betinanya, demikian juga bila ia melindungi anak-anaknya. Sayapnya terus dikembangkan dengan merendah dan merangkul, serta tidak beranjak meninggalkan tempat dalam keadaan demikian sampai berlalunya bahaya. Dari sini ungkapan itu dipahami dalam arti kerendahan hati, hubungan harmonis serta perlindungan dan ketabahan.

Baca Juga: Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Tafsir Nuzuli Karya Quraish Shihab

Inilah penafsiran khas dari Quraish Shihab dalam amatan Gus Baha. Menurutnya, Pak Quraish, sapaan Gus Baha kepada beliau, itu dengan mudah mengatakan bahwa janaha itu artinya sayap. Sayap itu berfungsi untuk melindungi, seperti halnya ayam melindungi anaknya dengan kedua sayapnya. Dengan orang tua juga harus seperti itu. Lindungi orang tuamu dengan sayapmu. “Pokoknya beliau itu bisa mencocokkan, othak athik gathuk kalau istilah Jawanya”, ujar Gus Baha.

Hal ini cukup beralasan mengingat Quraish Shihab dalam Kosakata Keagamaan, mengatakan satu kata bisa menimbulkan multi interpretasi. Ia lalu mengibaratkannya dengan sebuah wadah. Setiap wadah mestinya menampung semua isi dan menyingkirkan selain isinya. Di sisi lain, bisa jadi satu kata telah berisi penuh semua muatannya sebagaimana yang dikehendaki oleh penutur bahasa, tapi bisa jadi juga hanya sebagian lalu diisi yang bukan muatannya. Bahkan, bisa jadi tidak terisi sama sekali.

Pengguna bahasa, demikian juga yang mendengarnya, kata Shihab, seyogyanya menangkap semua muatannya dan mengesampingkan yang bukan muatannya. Di sinilah, menurut Shihab, letak kepelikan dan kerumitan dalam memilih kata-kata/ kalimat yang ditulis dalam bahasa diplomasi atau perjanjian apalagi bahasa agama. Faktanya, hampir sekian banyak kata yang digunakan hanya dipahami/ diterjemahkan/ ditafsirkan sebagian dari kandungannya.

Tak heran, jikalau Quraish Shihab menjadikan lughat sebagai landasan dalam menguak kandungan Al-Quran. Karena dengan begitu ia mampu obyektif dalam menafsirkan Al-Quran, tidak hanya mengandalkan rasionalitas sebab acapkali rasio tercampuri nafsu dalam melakukan pekerjaannya. Dalam kerangka demikian, Quraish Shihab banyak merujuk ke kamus-kamus bahasa Arab klasik yang menjelaskan makna dasar satu kata, terkhusus buku Mu’jam Maqayis al-Lughah karya Abu Al-Husain Ahmad bin Faris (941-1004 H), al-Mufradat fi Gharib Al-Quran karya al-Raghib al-Asfahani (w. 1108 M) dan juga Kitab al-Ta’rifat karya Ali bin Muhammad al-Jurjani (w. 1413 M) yang memang mereka tulis untuk menjelaskan makna dasar kosakata dan istilah-istilah keagamaan.

Kaidah Tafsir Lughawi

Quraish Shihab menggarisbawahi, para pakar dan ulama Islam, sejak semula menekankan bahwa kalimat harus menghasilkan manfaat, bukan sekadar manfaat dalam arti mengungkap pikiran yang utuh sebagaimana dijelaskan para pakar bahasa tersebut, melainkan makna yang dikandungnya harus bermanfaat bagi pengucap dan pendengarnya sehingga bisa diresapi dan direnungi.

Baca Juga: Surah Al-Nisa’ Ayat 3: Poligami Perspektif Quraish Shihab dan Amina Wadud

Lebih lanjut, Shihab menekankan semestinya satu kalimat yang ditafsiri idealnya melahirkan kekuatan yang mampu menggerakkan manusia untuk berbuat kebaikan secara konkrit, tak sekadar informasi belaka. Ambil contoh, ketika Al-Quran berbicara tentang berhala-hala yang disembah kaum musyrikin yang mereka namai “Tuhan”; Latta, Manat, Uzza, Allah melukiskannya sesembahan mereka itu dengan firman-Nya, “Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu buat sendiri, Allah tidak menurunkan suatu sultan (kekuatan baginya).” (Q.S. al-Najm [53]: 23).

Artinya, berhala-berhala itu tidak lebih hanyalah nama-nama belaka, sekadar tulisan atau kata-kata belaka yang tidak memiliki kekuatan apapun, tetapi hakikatnya tidak ada. Inilah yang kami maksud bahwa kalimat harus menghasilkan kandungan yang bermanfaat, tak sekadar informatif. Karena itu, penting bagi penafsir Al-Quran di era kontemporer ini untuk bisa dan mampu menguak makna suatu kalimat dari sisi kebahasaannya terlebih dahulu (lughat), baru kemudian beranjak kepada pemaknaan yang utuh dari berbagai sudut pandang. Wallahu a’lam.

Kriteria Amal yang Makbul

0
Kriteria amal yang makbul
Kriteria amal yang makbul

Rasulullah saw. mengajarkan kita untuk selalu memohon 3 hal di pagi hari; ilmu yang bermanfaat, rezeki yang tayib, dan amal yang makbul (lihat HR Ibnu Majah no. 925). Hal ini menjadi isyarat bahwa terdapat ilmu yang tidak bermanfaat, rezeki yang tidak tayib, serta amal yang tidak makbul, sehingga kita patut berlindung diri kepada Allah dari tiga hal itu.

Mengenai indikasi amal yang makbul, kita tidak pernah tahu amal saleh mana yang Allah terima. Meski demikian, kita tetap harus mengusahakan agar amalan kita diterima dengan cara menjauhi hal-hal yang dapat merusaknya dan memenuhi kriteria diterimanya suatu amalan.

Dalam Alquran surah Almulk ayat 2, Allah Swt. berfirman:

 الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”

Di dalam tafsir Ibnu Katsir,  Allah tidak menggunakan kata “paling banyak” amalan, melainkan kata “paling baik” amalan. Suatu amal dikatakan baik apabila dilakukan dengan ikhlas karena Allah Swt. dan sesuai dengan prinsip dasar Islam dan tuntunan Nabi. Maka, ketika satu dari dua hal ini tidak terpenuhi, amalan tersebut batal dan terhapus. (Tafsir Ibnu Katsir, 4/30)

Senada dengan itu, Fudhail bin ‘Iyadh menafsirkan ahsanu ‘amala pada ayat tersebut, dengan amal amal yang dilakukan dengan ikhlas dan shawab (sesuai tuntunan Rasulullah). Apabila ikhlas tanpa shawab, maka amal tidak akan diterima. Begitu pula, amal yang shawab tanpa ikhlas pun tidak akan diterima. (Tafsir al-Baghawi: 4/369)

Baca juga: Amalan Alquran sebelum Tidur dan Dalilnya

Oleh karena itulah, suatu amal harus memenuhi dua kriteria; ikhlas dan shawab. Yang dimaksud ikhlas adalah beramal karena Allah, sedangkan shawab adalah beramal sesuai ajaran Rasulullah saw. (Madarij al-Salikin, 2/93)

Pemaparan di atas menjadi catatan penting tentang dua kriteria yang harus dipenuhi seorang hamba dalam setiap amal ibadahnya selama hidup. Banyak beramal namun tidak ikhlas dan tidak mengikuti sunah, hanya akan menjadikan amalnya sia-sia.

Ikhlas saja tapi tidak shawab, batal. Shawab saja tapi tidak ikhlas pun tidak sempurna. Oleh karena itu, setiap kali hendak beramal, pastikan agar selalu dalam keadaan niat yang ikhlas dan sesuai dengan syariat yang diajarkan Rasulullah saw.

Keikhlasan adalah harga mutlak diterimanya suatu amalan. Hadis innama al-a’malu bi al-niyyat mungkin sangat masyhur . Hadis itu menunjukkan dengan jelas bahwa perbuatan kita tergantung apa yang kita niatkan, dan hanya niat yang ikhlas yang dapat menjadikan amal diterima oleh Allah. Dalam hadis lain pun -sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim- dari Abu Hurairah dijelaskan bahwa ada orang yang berjihad, berilmu, bersedekah, mereka semua masuk neraka karena amalan mereka tidak dilandasi keikhlasan.

Adapun kriteria shawab atau mengikuti ajaran Nabi adalah sebagaimana dalam kaidah ushul fikih:

الأَصْلُ فِي الْعِبَادَةِ الْبُطْلَان حَتَّى يَقُوْمَ الدَّلِيْلُ عَلَى أَمْرِهِ

“Asal dalam ibadah itu batal, sampai ada dalil yang memerintahkan.”

Artinya, dalam perkara ibadah, harus ada dan jelas dalil yang memerintahkan. Ada tidak dalil yang memerintahnya? Prinsip itulah yang harus menjadi prioritas dalam hal ibadah.  Berbeda dengan adat dan perkara muamalah, yang harus lebih diprioritaskan adalah boleh selama tidak ada dalil larangan.

Baca juga: Asal Muasal Amalan Baca Surah Alkausar Tujuh Kali saat Sahur

Contoh dalam hal ibadah, perintah salat, puasa, sudah jelas ada dalilnya. Misalnya, kita ingin menambah salat Shubuh menjadi empat rakaat, maka ini termasuk batal, karena tidak ada dalil yang memerintahkannya meskipun dianggap bagus.

Contoh dalam hal muamalah, dalam hal jual beli. Pada dasarnya dihukumi mubah. Ketika kita ingin mengurangi timbangan misalnya, ada tidak dalil yang melarang. Jelas ada. Maka jika kita mengurangi timbangan, jual beli kita menjadi batal karena ada dalil yang melarang.

Munasabah ayat

Terdapat ayat yang semakna dengan ayat di atas, yakni dalam surah Alkahfi ayat 7 dengan redaksi:

 لنبلوهم ايهم أحسن عملا

“Supaya kami menguji mereka, siapa diantara mereka yang lebih baik amalnya.”

Penggalan ayat tersebut meneguhkan bahwa tujuan Allah menjadikan bumi sebagai perhiasan adalah untuk menguji amal seseorang, apakah tetap baik atau tidak. Sudah berapa banyak amalan kita yang ikhlas dan sesuai sunah? Karena hanya dua syarat itu yang diterima di sisi Allah. Dan hanya amal dengan dua syarat itu yang akan menyelamatkan kita kelak di Akhirat.

Jangan sampai meninggalkan kedua syarat itu, karena amal kita tidak akan diterima. Begitupun bila hanya satu syarat saja, amalan tetap tidak akan diterima. Jangan sampai amalan kita seperti debu yang bertebaran karena kesia-siaan. Gambaran ini berdasarkan penjelasan para mufassir dalam menafsirkan debu yang bertebaran sebagai amal yang batil dan tidak memenuhi kedua kriteria di atas. Sebagaimana firman Allah:

وَقَدِمْنَآ إِلَىٰ مَا عَمِلُوا۟ مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَٰهُ هَبَآءً مَّنثُورًا

“Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (QS. Al-Furqan ayat 23). Na’udzubillah min dzalik.”

Godaan “Promo” Dunia: Tafsir Surah At-Takatsur Ayat 1

0
surah At-Takatsur Ayat 1
surah At-Takatsur Ayat 1

Hedonisme merupakan gaya hidup yang fokus pada pencarian kesenangan dan kepuasan tanpa batas. Dalam arti lain, hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa kebahagiaan harus dicari sebanyak mungkin dan menghindar dari perasaan yang bisa menyebabkan sakit, dengan cara apapun itu. Dengan itu, manusia hanya akan fokus mencapai kebahagiaan itu, karena itulah tujuan hidup mereka.

Seiring dengan laju perkembangan zaman, hedonisme seakan-akan sudah menjadi hal yang berdampingan dengan manusia modern. Salah satu ciri hedonisme adalah gemar belanja. Hal ini dipermudah dengan adanya aplikasi pasar online yang sangat marak dengan berbagai macam pelayanannya. Masing-masing aplikasi tersebut mempunyai strategi pemasaran yang bisa menggaet konsumen untuk terus membeli, seperti promo beli 1 gratis 1, flash sale, diskon dan berbagai macam strategi lainnya. Semakin lengkaplah akses kemudahan tersebut.

Gaya hidup hedonisme –dalam jangka panjang- bisa menyebabkan manusia lupa akan kehidupan akhirat. Mereka lupa untuk mempersiapkan bekal kehidupan akhiratnya kelak, karena sibuk memenuhi keinginan duniawi mereka. Alquran menyinggung gaya hidup tersebut dalam surah At-Takatsur ayat 1

اَلْهَىٰكُمُ التَّكَاثُرُ

Saling memperbanyak telah melengahkan kamu

Baca Juga: Tafsir Surat at-Takatsur: Kritik Al Quran Kepada Mereka yang Bermegah-Megahan

Al-Maraghi (w. 1364 H) menjelaskan kandungan ayat di atas dengan kesibukan manusia yang berlomba-lomba memperbanyak pengikut dan berbagai kenikmatan duniawi. Hal itu kemudian menyebabkan manusia abai dengan kewajibannya masing-masing. Banyak kewajiban yang terbengkalai, baik kewajiban kepada dirinya sendiri, kepada keluarga maupun kepada orang-orang sekitar. (Tafsir al-Maraghi, jilid 30, 229)

Mufasir Nusantara, M. Quraish Shihab mengurai kata اَلْهَىٰكُمْ pada ayat di atas. Kata اَلْهَىٰكُمْ berasal dari kata لَهَى-يَلْهَى yang mempunyai arti meyibukkan diri dengan sesuatu yang akhirnya berakibat pada pengabaian sesuatu yang lebih penting. (Tafsir al-Mishbah, jilid 15, 486)

Sedangkan al-Mawardi (w. 450 H) menjelaskan tentang makna yang terkandung dalam kata اَلْهَىٰكُمْ dengan 2 pendapat, yakni menyibukkan dan melupakan. Maksudnya, melalaikan dan menyibukkan dari taat dan beribadah kepada Tuhan. (al-Nukat wa al-‘Uyun, jilid 6, 330)

Adapun kata التَّكَاثُرُ merupakan bentukan kata dari كَثْرَةٌ yang berarti banyak. Kata al-Takatsur dalam ayat di atas menunjukkan adanya dua pihak atau lebih yang saling bersaing. Mereka bersaing untuk memperbanyak dan sama-sama mengaku memiliki lebih banyak dari pihak yang lain. (Tafsir al-Mishbah, jilid 15, 486)

Al-Mawardi dalam tafsirnya memaparkan 3 penafsiran tokoh terkait kata التَّكَاثُرُ dalam ayat di atas. Pertama berlomba-lomba memperbanyak harta dan anak sebagaimana dikemukakan oleh al-Hasan. Kedua berbangga-bangga dengan kerabat dan golongan, pendapat ini diutarakan oleh Qatadah. Sedangkan yang ketiga  mengutip penafsiran al-Dhahhak, yakni bersibuk ria dengan mata pencaharian dan perdagangan. (al-Nukat wa al-‘Uyun, jilid 6, 330)

Baca Juga: Tafsir Surat At Takatsur Ayat 4-8

Ayat di atas memberikan peringatan kepada kita untuk berhati-hati dengan sikap suka menumpuk atau memperbanyak harta duniawi. Sebab hal itu, kita akan lupa bahwa kehidupan di dunia hanyalah sementara, sebagaimana yang tertera dalam Q.S Ghafir [40] ayat 39

يٰقَوْمِ اِنَّمَا هٰذِهِ الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا مَتَاعٌ ۖوَّاِنَّ الْاٰخِرَةَ هِيَ دَارُ الْقَرَارِ

Wahai kaumku! Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.

Kehidupan di dunia tak ubahnya seumpama bunga yang bermekaran, penuh dengan keindahan. Hal itu merupakan kekhawatiran Rasulullah Saw., sebagaimana termaktub dalam salah satu haditsnya.

وَعَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِي – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – قَالَ: جَلَسَ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَلَى الْمِنْبَرِ، وَجَلَسْنَا حَوْلَهُ، فَقَالَ: «‌إنَّ ‌مِمَّا ‌أَخَافُ ‌عَلَيْكُمْ ‌مِنْ ‌بَعْدِي ‌مَا ‌يُفْتَحُ ‌عَلَيْكُمْ ‌مِنْ ‌زَهْرَةِ ‌الدُّنْيَا وَزِينَتِهَا». متفقٌ عَلَيْهِ

Dari Abi Sa’id al-Khudzri r.a., beliau berkata: Rasulullah Saw. duduk di atas mimbar dan kami duduk di sekelilingnya, beliau bersabda: Sesungguhnya di antara yang aku khawatirkan pada diri kalian setelah peninggalanku ialah dibukakannya bunga dunia dan pernak-perniknya untuk kalian. (Riyadh al-Shalihin, 162)

Sebab kehidupan dunia seperti bunga yang bermekaran, maka kita diwanti-wanti untuk tidak terlena dengan kehidupan tersebut. Sebagaimana bunga, di awal ia cantik, indah dengan aneka macam warna dan aroma, namun akhirnya akan layu dan kering. Begitulah kehidupan dunia.

Lantas bagaimana dengan kebiasaan sebagian orang saat ini yang suka belanja lantaran adanya banyak promo dan diskon dari berbagai macam e-commerce? Jawaban untuk hal ini masih diperinci, dilihat dari kebutuhannya. Jika berbelanja sesuai kebutuhan –bukan keinginan- maka boleh saja. Namun, apabila berbelanja hanya untuk menumpuk barang, mengejar diskon dan promo, menuruti keinginan yang menjelma kebutuhan, maka mungkin saja untuk dimasukkan pada hal yang jadi pembahasan ayat di atas. Hal itu dikarenakan adanya kebiasaan menumpuk harta dan gemar berbelanja sehingga kemudian abai dan lalai terhadap kewajibannya. Pun apa yang dibeli tidak sesuai dengan kebutuhan, hanya sebatas keinginan nafsu belaka.

Ada baiknya kita untuk merenungkan bekal apa yang sudah kita kumpulkan di dunia untuk kehidupan di akhirat kelak. Sebagaimana sudah maklum, bekal ketakwaan dan amal baik adalah hal yang sangat dibutuhkan ketika sudah pulang ke akhirat yang kekal. Harta dan segala apa yang kita miliki hanya akan menjadi barang warisan yang mungkin saja menjadi rebutan anak cucu –naudzu billahi min dzalik-.

Sesuatu yang sering dibeli dan ditumpuk, hanya akan menjadi barang yang diambil alih oleh orang yang masih hidup. Sedangkan takwa dan amal baik akan menjadi teman di akhirat. Punya harta lebih, sedekahkan saja, karena sebenarnya harta kita hanya sebatas pada sesuatu yang kita makan, yang kita pakai dan bukan apa yang kita tumpuk. Sebagaimana termaktub dalam hadis Rasulullah saw.

أَبُو خَالِدٍ الْأَحْمَرُ، عَنْ، مُوَرِّقٍ الْعِجْلِي، قَالَ: قَرَأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ} [التكاثر: 2]، قَالَ: فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «‌لَيْسَ ‌لَكَ ‌مِنْ ‌مَالِكِ ‌إِلَّا ‌مَا ‌أَكَلْتَ ‌فَأَفْنَيْتَ ، أَوْ لَبِسْتَ فَأَبْلَيْتَ أَوْ تَصَدَّقْتَ فَأَمْضَيْتَ»

Abu Khalid al-Ahmar dari Muwarriq al-‘Ijli, berkata: Rasulullah saw. membaca surah al-Takatsur ayat 1-2. Dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: tiada dari hartamu kecuali apa yang engkau makan, lalu engkau menghabiskan, atau apa yang engkau pakai lalu engkau menjadikannya usang dan apa yang engkau sedekahkan, lalu engkau melewatkannya. (Al-Kitab al-Mushannaf fi al-Ahadits wa al-Atsar, Jilid 7, 80).

Wallah a’lam

Makna Preposisi Lam dalam Surah at-Taubah ayat 51

0
preposisi lam
makna preposisi lam

Dari Alquran lahir berbagai cabang ilmu seperti ilmu tafsir, nahwu sharaf, balaghah, dan masih banyak lagi. Bahkan uniknya, satu huruf dari Alquran saja memuat makna yang keindahannya tak pernah bisa dijangkau oleh syair terhebat versi manusia. Siapapun tak ada yang dapat membuat sebuah ayat dengan faidah huruf demi huruf yang sempurna, jauh dari kekeliruan. Contohnya saja makna preposisi lam yang akan dibahas pada tulisan ini.

Allah Ta’ala berfirman dalam surah at-Taubah ayat 51:

قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا ۚ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

“Katakanlah: Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.”

Makna preposisi lam

Beberapa ulama mengomentari bahwa ada rahasia di balik penggunaan preposisi lam di surah at-Taubah ayat 51 ini. Menurut mereka, ada alasan kenapa Allah menggunakan kata lanā (لنا) dan bukan ‘alainā (علينا). Ibnu Hajar Rahimahullah berpendapat, Allah menyampaikan ayat ini dengan kata (لنا) dan bukan ( علينا) sebagai peringatan bahwa hendaklah kita memandang setiap apa yang menimpa dan terjadi pada kita sebagai ni’mah (anugerah) dan bukan nikmah (kesengsaraan). [Fathul Bari: 11/626].

Baca Juga: Tafsir Surah Ad-Duha Ayat 11 dan Surah Yusuf Ayat 5

Dalam Tafsir Ibnu Rajab al-Hanbali, Ibnu Jauzi berkata di dalam al-Muqtabas: aku mendengar menteri (Ibnu Hubairah) berkata tentang ayat ini. Allah tidak mengatakan dengan mā kataba ‘alainā (ما كتب علينا) karena menyangkut urusan seorang mukmin. Setiap kali ia ditimpa sesuatu, maka sesungguhnya sesuatu itu adalah tetap baik untuknya. Apabila ditimpa kebaikan, maka itulah kebaikan yang ia peroleh di dunia. Dan apabila ditimpa keburukan, maka kebaikannya adalah nanti berupa pahala di Akhirat.

Untuk lebih memahami perbedaan makna tersebut, mari kita perdalam pada gaya bahasa ath-thibaq dalam surah al-Baqarah ayat 286:

لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ

Ayat di atas diterjemahkan dengan redaksi: “Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.”

Sebagaimana dalam tafsir Jalalain yang menafsirkan  لها ما كسبت:  berupa kebaikan yakni pahala; sedangakn عليها ماكتسبت: berupa keburukan yakni siksaan.

Maka dapat disimpulkan bahwa ayat ini menggunakan lafadz lanā, sebab preposisi ini dalam bahasa Arab selalu menggambarkan kebaikan, bertolak belakang dengan lafadz ‘alā yang melambangkan hal buruk.

Contoh lain ialah doa untuk pengantin yang Rasulullah ajarkan. Terdapat kata bārakallah laka dan kata bārakallah ‘alaika. Laka di sini adalah mendoakan keberkahan pada hal-hal baik dan manis selama menjalani biduk rumah tangga. Disempurnakan oleh lafadz ‘alaika, sebagai doa agar tetap dalam keberkahan pula selama menjalani masa-masa sulit dan pahit di dalam berumah tangga.

Makna lam dalam ayat

Surah at-Taubah ayat 51 ini diperuntukan untuk orang mukmin sebagai manifestasi lafadz lanā. Karena hanya orang mukmin yang seluruh kehidupannya dikaruniai nikmat. Adapun nikmat yang diberikan kepada orang kafir dalam pandangan Allah adalah hal yang sebaliknya. Mereka mungkin saja diberi nikmat di dunia, tapi mereka tidak akan merasakan nikmat akhirat. Sedangkan orang mukmin, dunia akhiratnya, suka dukanya, lahir batinnya, semuanya bernilai kebaikan.

Baca Juga: Ketika Allah Mengajarkan Nabi Daud tentang Kepemimpinan

Semestinya setiap mukmin berprasangka baik terhadap setiap hal yang menimpa karena semuanya adalah untuk kebaikannya. Apapun yang menimpa hidup seorang mukmin, semuanya adalah ni’mah dan bukan nikmah. Sebagaimana sabda Rasulullah saw dalam hadis berikut.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلممَا يَزَالُ الْبَلاَءُ بِالْمُؤْمِنِ وَالْمُؤْمِنَةِ فِى نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ وَمَالِهِ حَتَّى يَلْقَى اللَّهَ وَمَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ

“Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Ujian selalu bersama dengan orang beriman lelaki dan perempuan, baik di dalam diri, anak dan hartanya, sampai dia bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak mempunyai satu kesalahanpun.” (H.R. Tirmidzi :2687).

Demikianlah makna huruf dalam Alquran yang selalu memuat rahasia indah, hingga penggunaan preposisi lam saja dapat menjadi bahan telaah para ulama dengan segala rahasia maknanya. Wallah a’lam.

Habib Luthfi bin Yahya: Surah Alfatihah Ajarkan Persatuan dan Kerukunan

0
Habib Luthfi bin Yahya: Surah Alfatihah Ajarkan Persatuan dan Kerukunan
Surah Alfatihah

“Keukhuahan (persaudaraan), persatuan, dan kesatuan telah diwariskan bahkan sejak zaman Walisongo. Jangan sampai kita mengecewakan warisan leluhur bangsa kita. Oleh karenanya, sebagai sesama anak bangsa yang hidup dalam keberagaman, kita harus saling menjaga hal itu agar tidak terpecah-belah. Tidak hanya melalui perbuatan. Namun, juga dalam berdoa,” terang Habib Muhammad Luthfi bin Yahya dalam beberapa kali kesempatan ceramahnya.

Kemudian beliau melanjutkan penjelasannya, bahwa menjaga persatuan dan kerukunan telah dibimbing dan diajarkan Allah melalui surah Alfatihah. Pada ayat-ayat terakhir dari surah tersebut, seorang muslim membuat pengakuan bahwa hanya kepada Allah ia menyembah, berdoa, dan memohon pertolongan. Yang menarik adalah kata ganti yang digunakan bukan untuk individu meskipun ayat tersebut sedang dibaca oleh satu orang (mufrad), melainkan menggunakan kata ganti “kami” (jamak). Jelas itu bukan tanpa alasan, melainkan ada maksud indah di balik penggunaan kata ganti tersebut dalam redaksi ayat 5-6 Q.S. Alfatihah. Salah satunya ialah mengajarkan tentang persatuan dan kerukunan.

Baca juga: Tafsir Surah Ali Imran Ayat 103: Dalil Sila Ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia

Makna kata ganti “kami”  dalam Q.S. Alfatihah menurut para mufasir

Imam Mahmud al-Alusi berpendapat dalam Tafsir Ruh al-Ma’ani, bahwa ketika seorang hamba berdiri di hadapan Allah, berkomunikasi dengan-Nya (seperti dalam keadaan salat), lalu merendahkan diri di hadapan-Nya, hamba tersebut hakikatnya tak lagi berbicara sebagai individu, tetapi sebagai perwakilan dari keseluruhan manusia.

Penggunaan kata ganti “kami” bertujuan untuk mengungkapkan kekurangan, kelemahan, dan kebutuhan seorang hamba kepada Tuhannya. Dalam hal ini, seakan-akan seorang hamba sedang berkata, “Ya Allah, ibadahku belum mampu mencapai tingkatan yang layak karena dalam setiap ibadahku masih dipenuhi berbagai macam kekurangan. Oleh sebab itu, aku akan menggabungkannya dengan ibadah seluruh hamba lainnya lewat sebutan “kami”. Dengan harapan dari sekian banyak hamba-Mu yang ada di muka bumi, terdapat satu atau lebih di antara hamba-Mu yang beribadah dengan tulus.”

Selain itu, menurut ar-Razi, kata ganti “kami” juga menunjukkan simbol jamaah dan kebersamaan, sebab “saya” berarti sendiri dan “kami” berarti bersama. Dengan demikian saling berkumpul (jamaah) antar sesama muslim dapat menjadi jalan persatuan dan kerukunan.

Penggunaan kata ganti “kami” menafikan paham diskriminasi berdasarkan warna kulit, suku, ras, jenis kelamin, maupun tanah asal. Semuanya telah utuh menjadi “Kami adalah hamba Allah yang hanya menyembah-Nya dan memohon pertolongan kepada-Nya”. Kata ganti “kami” adalah refleksi dari rasa saling menghargai, peduli satu sama lain, saling mengasihi, dan menyayangi antarsesama. Penyebutan “kami” adalah lambang bahwa seluruh umat muslim di belahan bumi bagian manapun adalah saudara.

Baca juga: Potret Persaudaraan Muhajirin dan Anshar yang Diabadikan Alquran

Pesan kepedulian terhadap sesama

Selanjutnya redaksi ayat “Ihdina al-shirat almustaqim”, menurut Habib Luthfi, menunjukkan bahwa Allah mengajarkan kepedulian seorang muslim terhadap saudaranya yang lain. Lafaz “Ihdina” menyimbolkan al-mu’min akhul mu’min dan al-muslim akhul muslim (seorang mukmin-muslim saudara mukmin-muslim yang lain). Seraya beliau berkata, “(Maknanya) tunjukkanlah kami jalan yang lurus, bukan hanya urusan akhirat saja. Mungkin yang mengalami problem dalam hidup, dagangan sepi, ketahanan pangan. Tujukkanlah kami ekonomi kami jalan yang beruntung, jangan sampai menempuh kerugian dalam perekonomian umat muslim khususnya, juga saudara sebangsa dan tanah air pada umumnya. Dengan demikian kita bukan hanya action saja. Namun, turut serta mendasari ikhtiar tersebut dengan ketauhidan kepada Allah.”

Karenanya, jika seorang hamba memahami betul makna ayat tersebut, tidak mungkin antarmuslim saling ribut atau mempersoalkan ikhtilaf-ikhtilaf kecil. Akan tetapi akan saling rukun, menjaga satu sama lain, saling menghormati, dan saling peduli satu sama lain. Sebab, setiap melafalkan Alfatihah, terutama dalam salat, ia benar-benar menyadari bahwa satu sama lain saling mendoakan untuk kebaikan bersama, bukan sekadar berdoa untuk dirinya sendiri. Wallahu a’lam.[]

Baca juga: Serba-serbi Seputar Surah Alfatihah

Bencana Alam dan Misi Dasar Islam: Refleksi Surah Alanbiya’ Ayat 107

0
Bencana alam dan misi dasar Islam
Bencana alam dan misi dasar Islam

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 3.350 becana alam terjadi sepanjang tahun 2022 di hampir seluruh provinsi di Indonesia. Hal ini mengakibatkan kekhawatiran dan juga kegelisahan tentang sebab serta cara mengatasi bencana alam tersebut. Pada saat bersamaan, banyaknya bencana alam ini juga menjadi momen introspeksi mendalam terkait pola beragama, khususnya dalam Islam yang memiliki misi dasar dalam membangun keseimbangan kehidupan di dunia dan juga akhirat.

Baca juga: Ada Isyarat Mitigasi Bencana dalam Mimpi Sang Raja di Kisah Nabi Yusuf

Jika melihat Alquran, kita akan menemukan bahwa misi dasar risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. adalah menjadi rahmat bagi seluruh alam. Hal ini tertuang di dalam Alanbiya’ [21]:107.

وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ

“Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.”

Ayat ini secara fundamental menjelaskan bahwa kerisalahan Nabi Muhammad sejatinya membawa misi kerahmatan yang sangat fundamental. Dan rahmat itu tidak lain ditujukan bagi kelesatarian alam semesta.

Pandangan mufassir

al-Thabari (w. 310 H) mendiskusikan ayat ini dengan mengajukan pertanyaan tentang alam di mana Nabi Muhammad diturunkan bagi mereka. Apakah ia mencakup setiap orang (yang ada di alam ini), baik mukmin atau kafir? Atau hanya dikhususkan bagi mereka yang beriman saja? Sebagian ulama berpandangan bahwa kata al-‘alamin dalam ayat ini adalah setiap orang tanpa memandang status iman dan kafirnya. Mereka bertolak dari dua riwayat yang disampaikan oleh Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa rahmat tersebut bagi seluruh manusia secara mutlak tanpa memandang status keimanannya.

Sedangkan, pendapat kedua mengatakan bahwa rahmat tersebut hanya dikhususkan bagi orang-orang beriman saja. Hal ini berangkat dari riwayat yang sampai kepada Ibnu Wahb dan Ibnu Zaid. al-Thabari sendiri lebih menguatkan pandangan Ibnu Abbas, di mana rahmat bagi orang beriman berupa hidayah dan keimanan, sedangkan bagi orang-orang yang tidak beriman rahmat tersebut berupa keselamatan dari berbagai petaka yang dapat turun secara spontan kepada mereka. (Tafsir al-Thabari, jilid 16, 439-441)

Baca juga: Spirit Peduli Lingkungan dalam Penafsiran Alquran

Penguatan al-Thabari ini kemudian dipertegas oleh Abi al-Su’ud (w. 982 H) yang menjelaskan bahwa ayat ini berbicara mengenai pengutusan Nabi Muhammad sebagai rahmat bagi seluruh alam tanpa terkecuali. Hal ini karena segala misi yang dibawa Nabi saw. adalah penyebab bagi lahirnya kemaslahatan dan kesejahteraan di dunia dan akhirat. Ini adalah rahmat yang diperuntukkan bagi mereka yang beriman dan mengikuti ajarannya. Namun, bagi mereka yang mendustakan ajarannya, akan tetap memperoleh rahmat tersebut berupa keamanan dari berbagai malapetaka dan pemusnahan sebagaimana halnya kaum-kaum terdahulu. (Abi al-Su’ud, jilid 6, 89).

Dalam surah Alanfal ayat 33 disebutkan:

وَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَاَنْتَ فِيْهِمْۚ وَمَا كَانَ اللّٰهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُوْنَ

“Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka selama engkau (Nabi Muhammad) berada di antara mereka dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka selama mereka memohon ampunan.”

Mufassir modern asal Tunisia, Ibnu ‘Asyur (w. 1393 H) menegaskan bahwa kata al-‘alamin di dalam ayat ini memiliki dua kemungkinan cakupan makna; boleh jadi merujuk kepada manusia yang secara khusus dianugerahi pengetahuan, atau kepada setiap entitas di alam semesta yang diberikan kehidupan. Untuk manusia, rahmat tersebut mencakup bagi setiap dari mereka, baik yang beriman maupun tidak. Sedangkan bagi entitas yang diberikan anugerah hidup, Ibnu ‘Asyur hanya mencontohkan rahmat bagi binatang-binatang yang dalam banyak tempat dalam al-Quran dijelaskan kemanfaatannya bagi manusia. (al-Tahrir wa al-Tanwir, jilid 17, 169-170).

Signifikansi ayat bagi lingkungan sekitar

Dengan memerhatikan penafsiran tiga mufassir beda masa di atas, kita dapat melihat bahwa secara umum ayat ini menegaskan tentang rahmat Allah yang ada di balik pengutusan Rasul-Nya ke alam semesta. Kata al-‘alamin yang dimaksud dalam ayat ini juga memiliki cakupan yang begitu luas, tidak hanya manusia dengan potensi keimanan dan kekafiran di baliknya, tapi juga seluruh makhluk yang masuk ke dalam kategori kata al-‘alam.

Dalam analisis di atas, terlihat pula bahwa rahmat yang dibawa oleh Nabi saw. di balik ajaran-ajarannya juga menjadi antisipasi bagi turunnya sebuah bencana yang dapat menimpa siapapun. Dan Alquran memerintahkan kepada setiap orang untuk takut terhadap bencana tersebut, sebagaimana tersirat di dalam Q.S. Alanfal [8]: 25:

وَاتَّقُوْا فِتْنَةً لَّا تُصِيْبَنَّ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْكُمْ خَاۤصَّةً ۚوَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ

“Peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Ketahuilah bahwa Allah Mahakeras hukuman-Nya.”

Maraknya bencana alam di Indonesia belakangan ini dapat menjadi momen refleksi bagi umat Islam untuk melihat kembali  fungsi sejati ajaran agamanya. Sebagai negara yang mayoritas Muslim, maraknya bencana yang sebagian besar disebabkan oleh krisis lingkungan agaknya mengindikasikan spirit penjagaan alam dari sisi keberagamaan pemeluknya mulai luntur. Padahal, alam menjadi tempat bagi rahmat Allah yang dibawa oleh Nabi saw. ke dunia.

Tafsir Surah Alinsyiqaq Ayat 8: Hisab yang Mudah

0
Tafsir surah Alinsyiqaq ayat 8: hisab yang mudah
Tafsir surah Alinsyiqaq ayat 8: hisab yang mudah

Ada banyak sekali lafaz hisab dalam Alquran. Salah satunya, hisab yang berhubungan dengan peristiwa hari kiamat. Dalam kaitannya dengan itu, hisab diartikan dengan penghitungan secara terperinci atas amalan-amalan hamba yang baik dan yang buruk sebelum beranjak dari padang Mahsyar, kecuali hamba-hamba tertentu. (Lawami’ al-Anwar, 2/165)

Yaum al-hisab (hari penghitungan amal) merupakan salah satu peristiwa yang akan terjadi dan wajib kita imani di hari kiamat kelak. Alquran mengabarkan kepada kita semua tentang adanya hisab yang mudah. Allah ta’ala berfirman dalam surah Alinsyiqaq ayat 8:

فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَّسِيْرًاۙ

“Maka, dia akan dihisab dengan hisab yang mudah.”

Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir mengatakan, maksud dari surah Alinsyiqaq ayat 8 di atas adalah janji Allah kepada orang yang diberikan catatan amalnya dari sebelah kanan, sebagaimana yang disebutkan di ayat sebelumnya. Adapun orang yang diberikan catatan amal dari sebalah kanan adalah orang-orang yang beriman. Artinya, orang-orang yang beriman akan dihisab kelak di hari kiamat dengan perhitungan yang mudah, yaitu dengan memperlihatkan amalan buruknya, lalu Allah akan mengampuninya tanpa mempersoalkannya.

Baca juga: Benarkah Kata Hisab dalam Al-Quran Hanya Bermakna Perhitungan Amal?

Dalam tafsir Ibnu Katsir, hisaban yasira diartikan dengan perhitungan yang mudah dan tiada kesulitan. Dengan kata lain, semua amal perbuatannya tidak diperhitungkan secara detail, karena sesungguhnya orang yang diperiksa dengan pemeriksaan yang teliti dan ketat pasti akan binasa. Sebagaimana dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari Muslim berikut:

مَنْ حُوسِبَ عُذِّبَ. قَالَتْ عَائِشَةُ: فَقُلْتُ أَوَلَيْسَ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: {فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا} [الانشقاق: 8] قَالَتْ: فَقَالَ إِنَّمَا ذَلِكِ العَرْضُ، وَلَكِنْ: مَنْ نُوقِشَ الحِسَابَ يَهْلِكْ

“Barangsiapa yang dihisab, maka ia tersiksa.” ‘Aisyah bertanya: ”Bukankah Allah telah berfirman ‘maka dia akan dihisab dengan hisab yang mudah?’” Lalu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Hal itu adalah al-‘ardh (pemaparan). Namun barangsiapa yang diperinci dan detail saat dihisab, maka dia akan binasa.” (HR Bukhari no. 103 dan Muslim no. 276)

Doa agar dimudahkan hisab

Rasulullah senantiasa berdoa agar dimudahkan hisabnya, sebagaimana dalam hadis berikut.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ سَمِعْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ فِى بَعْضِ صَلاَتِهِ « اللَّهُمَّ حَاسِبْنِى حِسَاباً يَسِيرًا ». فَلَمَّا انْصَرَفَ قُلْتُ يَا نَبِىَّ اللَّهِ مَا الْحِسَابُ الْيَسِيرُ قَالَ « أَنْ يَنْظُرَ فِى كِتَابِهِ فَيَتَجَاوَزَ عَنْهُ إِنَّهُ مَنْ نُوقِشَ الْحِسَابَ يَوْمَئِذٍ يَا عَائِشَةُ هَلَكَ وَكُلُّ مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ يُكَفِّرُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهِ عَنْهُ حَتَّى الشَّوْكَةُ تَشُوكُهُ

Dari Aisyah, dia berkata, saya telah mendengar Nabi saw. pada sebagian salatnya membaca: “Ya Allah hisablah aku dengan hisab yang mudah.” Ketika beliau berpaling saya bekata: “Wahai Nabi Allah, apa yang dimaksud dengan hisab yang mudah?” Beliau bersabda: “Seseorang yang Allah melihat catatan amalnya lalu memaafkannya. Karena orang yang diperdebatkan hisabnya pada hari itu, pasti celaka, wahai Aisyah. Dan setiap musibah yang menimpa orang beriman, Allah akan menghapus (dosanya) karena musibah tersebut, bahkan sampai duri yang menusuknya.” (HR. Ahmad, 6/48)

Hadis ini sekaligus menunjukan keistimewaan orang beriman, hingga duri yang menusuk pun sebagai penggugur dosa-dosanya. Tak hanya musibah di dunia yang menghapus dosanya, bahkan ketika di hisab pun Allah memaafkannya.

Baca juga: Apa Makna “Kiamat Sudah Dekat” dalam Al-Quran? Ini Penjelasannya

Sebagaimana penjelasan sebelumnya, bahwa yang dimaksud hisab yang mudah adalah perhitungan amal secara tidak detail. Lawan dari hisab yang mudah adalah hisab yang ketat (disebut dengan hisaban syadidan dalam surah Aththalaq ayat 8), yakni hisab yang Allah tidak akan melewatkan sekecil apapun suatu amalan yang dikerjakan oleh orang yang durhaka kepada Allah dan kepada rasul-rasul-Nya.

Oleh karena itulah, hendaknya kita mengamalkan doa yang diajarkan Rasulullah:

 اللَّهُمَّ حَاسِبْنِى حِسَاباً يَسِيرًا

“Ya Allah, hisablah aku dengan hisab yang mudah.”

Betapa beruntungnya mereka yang dikaruniai hisab yang mudah. Allah perlihatkan dosa-dosanya, Allah tutup aibnya di dunia, bahkan Allah mengampuni dosanya ketika dihisab kelak hingga dia pun menerima kitab amal kebaikan. Dan itu hanya dirasakan oleh orang yang beriman. Dalam Sahih Bukhari dijelaskan, karunia tersebut tidak diperoleh orang munafik dan kafir, sebab mereka telah mendustakan Tuhan mereka, dan Allah melaknat kezaliman mereka. (HR Bukhari no. 2441)

Wallah a’lam.

Menyoal Fenomena Nyawer Qariah

0
Menyoal Fenomena Nyawer Qariah
Photo by Ashkan Forouzani on Unsplash

Miris. Satu kata yang terucap tatkala menyaksikan tingkah laku aneh masyarakat saat ini. Terbaru yang viral di kalangan pemerhati Alquran adalah peristiwa nyawer qariah. Penulis sendiri mengetahui hal ini melalui feed Twitter Prof. Oman Fathurahman, “Selain tdk patut, nyawer pembaca al-Qur’an, qoriah/qori, bertentangan dg perintah-Nya agar pendengar diam dan menyimak bacaan”.

Penulis kemudian melakukan penelusuran atas postingan tersebut melalui berbagai laman media dan  mendapati satu kasus di Pandeglang, Banten. Seorang qariah bernama Hj. Nadia Hawasyi yang disawer salah seorang “jamaah”. Pembaca sekalian dapat melihat peristiwa selengkapnya pada (1) Full Video❗ Qoriah Hj. Nadia Hawasyi disawer jama’ah di Pandeglang – Banten | Dikecam Ketua MUI❓ – YouTube.

Hingga tulisan ini dibuat, penulis mendapati satu tulisan pada portal tafsiralquran.id berjudul Hukum Membacakan Alquran di Hadapan Orang Banyak yang ditulis oleh Muhammad Nasif. Secara spesifik, tulisan Nasif tersebut lebih menyorot aspek legal formal publikasi bacaan Alquran berikut dengan landasan yang digunakan.

Berbeda dari Nasif, penulis memandang ada masalah lain yang seharusnya menjadi sorotan. Alih-alih hukum publikasi bacaannya, etika berinteraksi dengan Alquran agaknya lebih urgen untuk dibicarakan. Pertimbangannya karena aspek yang “dirusak” dalam peristiwa ini condong pada arah etika, bukan legal formalnya.

Kendati tulisan mengenai etika interaksi Alquran telah banyak dituliskan. Namun, menyuarakannya kembali perlu dilakukan. Hal ini berfungsi sebagai edukasi sekaligus pencegahan terhadap munculnya tindakan serupa mengingat polah tingkah masyarakat saat ini yang gampang memburu “berkah” viral.

Baca juga: Hukum Membacakan Alquran di Hadapan Orang Banyak

Etika interaksi dengan Alquran

Imam Syaraf al-Nawawi dalam Al-Tibyan fi Adab Hamalah al-Qur’an dan Jalal al-Din al-Suyuthiy dalam Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an menyebutkan begitu banyak etika yang harus dijaga ketika berinteraksi dengan Alquran. Etika-etika tersebut dapat dibagi menjadi dua bagian besar, etika sebagai pembaca dan etika sebagai pendengar.

Etika bagi pembaca di antaranya menghadap kiblat, kekhusyukan dan ketenangan diri, membaca dengan tadabur dan memahami kandungan yang dibaca, serta menangis atau berpura-pura menangis bagi mereka yang tidak mampu. Sedangkan etika bagi pendengar adalah mendengarkan, tidak berbicara atau pun melakukan sesuatu yang menimbulkan kegaduhan.

Landasan yang digunakan acuan dalam etika-etika tersebut di antaranya adalah surah Shad [38] ayat 29, surah Muhammad [47] ayat 24, dan surah Al-A‘raf [7] ayat 204.

كِتابٌ أَنْزَلْناهُ إِلَيْكَ مُبارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آياتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُوا الْأَلْبابِ

“(Alquran ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu (Nabi Muhammad) yang penuh berkah supaya mereka menghayati ayat-ayatnya dan orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran.”

أَفَلا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلى قُلُوبٍ أَقْفالُها

“Tidakkah mereka merenungkan Alquran ataukah hati mereka sudah terkunci?”

وَإِذا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Jika dibacakan Alquran, dengarkanlah (dengan saksama) dan diamlah agar kamu dirahmati.”

Baca juga: Anjuran Menghayati Bacaan Alquran hingga Menangis

Apabila ketiga ayat beserta poin-poin yang disebutkan Imam Nawawi dan Al-Suyuthiy di atas dicermati, agaknya yang menjadi spirit dari keseluruhannya adalah perintah perenungan (tadabbur) Alquran. Perintah (amr) ini kendati tidak berimplikasi pada kewajiban (wujub), tetapi harus dilaksanakan mengingat tujuan yang ingin diraih adalah pemahaman terhadap kandungan di dalam Alquran.

Urgensi pemahaman kandungan ini, menurut penulis, salah satunya dikarenakan efektifitas fungsi hudan (petunjuk) dalam Alquran. Fungsi ini menjadi terhalang hingga tidak dapat diraih secara maksimal manakala proses mendengarkan bacaan Alquran tidak disertai dengan pemahaman yang berdasarkan pada perenungan.

Berpijak pada ulasan ini, peristiwa “nyawer qariahsebagaimana terjadi di Banten tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk perilaku mencederai landasan utama dan dasar pijakan tadabur Alquran. Apakah sampai pada taraf penistaan terhadap Alquran? Penulis belum mampu menjawab sampai pada pertanyaan tersebut. Akan tetapi, melihat redaksi istinbath (penarikan hukum) yang dilakukan Al-Suyuthiy, misalnya, tindakan nyawer qariah tersebut setidaknya diganjar hukum makruh dan atau khilaf al-sunnah (menyalahi sunah). Hal ini mengacu pada redaksi yang digunakan seperti wa yustahabb (dianjurkan), wa tusann (disunahkan), dan yukrah (dimakruhkan).

Oleh karenanya, seperti disebutkan di awal, penulis miris melihat tingkah laku masyarakat saat ini. Jika merujuk pada twit Prof. Oman, menghormati tradisi dan budaya boleh saja dilakukan dengan catatan tidak mengabaikan norma pokok agama yang ada. Apalagi jika hal tersebut dilakukan sekadar demi mendapat “berkah’ viral, na‘udzu billah min syarr dzalik. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Baca juga: Tradisi Membaca Ayat Alquran secara Berulang-ulang

Hukum Membacakan Al-Quran di Hadapan Orang Banyak

0
membacakan al-quran
membacakan al-quran

Baru-baru ini cukup viral berita seorang qariah yang membacakan al-Quran di hadapan orang banyak, kemudian ada 2 orang peserta yang maju memberikan saweran. Tulisan ini akan mengulas tentang hukum meminta orang lain membacakan al-Quran, terutama di hadapan orang banyak. Apakah hal itu ada tuntunannya? Bukankah lebih baik membaca al-Quran sendirian dan meresapi maknanya, daripada membacakan kepada orang lain yang berpeluang pamer? Berikut keterangan selengkapnya:

Meminta orang lain membacakan al-Quran bukanlah sesuatu hal yang baru di dalam sejarah perkembangan Islam. Nabi Muhammad sendiri gemar meminta para sahabat membacakannya al-Quran. Sahabat Ibn Mas’ud bercerita:

قَالَ لِى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « اقْرَأْ عَلَىَّ » . قُلْتُ آقْرَأُ عَلَيْكَ وَعَلَيْكَ أُنْزِلَ قَالَ « فَإِنِّى أُحِبُّ أَنْ أَسْمَعَهُ مِنْ غَيْرِى » . فَقَرَأْتُ عَلَيْهِ سُورَةَ النِّسَاءِ حَتَّى بَلَغْتُ ( فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلاَءِ شَهِيدًا ) قَالَ « أَمْسِكْ » . فَإِذَا عَيْنَاهُ تَذْرِفَانِ

Nabi Muhammad berkata padaku: “Bacakan al-Quran padaku!” “Aku membacakannya pada Engkau padahal dia diturunkan padamu?” balasaku. Nabi kemudian berkata: “Aku senang mendengarkan bacaan al-Qur’an dari selain diriku”. Lalu aku membacakan Surat an-Nisa’ pada beliau. Sampai pada ayat:

فَكَيْفَ اِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ اُمَّةٍۢ بِشَهِيْدٍ وَّجِئْنَا بِكَ عَلٰى هٰٓؤُلَاۤءِ شَهِيْدًاۗ

Bagaimanakah (keadaan manusia kelak pada hari Kiamat) jika Kami mendatangkan seorang saksi (rasul) dari setiap umat dan Kami mendatangkan engkau (Nabi Muhammad) sebagai saksi atas mereka?  (QS. An-Nisa’/41).

Baca Juga: Tradisi Santri Pesantren Zainul Hasan Menyambut Nuzul Al Quran

Nabi Muhammad berkata “Berhentilah!”. Lalu aku melihat air mata bercucuran dari kedua mata beliau (HR. Bukhari).

Imam Ibn Bathal menjelaskan, ada dua kemungkinan tentang alasan Nabi meminta orang lain membacakan al-Qur’an padanya. Pertama, agar memperdengarkan al-Qur’an menjadi sebuah kebiasaan; kedua, agar lebih mudah memahami dan meresapi ayat yang dibacakan. Sebab memahami ayat yang dibacakan orang lain akan lebih mudah daripada memahami bacaan sendiri (Syarah Ibn Bathal/19/365).

Prilaku meminta orang lain membacakan al-Quran kemudian berkembang diantara para sahabat, dengan tidak hanya membacakannya di hadapan satu orang, tapi pada beberapa orang. Sahabat Umar ibn Khatab kadang meminta salah satu sahabat membacakan al-Quran di hadapan beliau dan beberapa sahabat yang lain. Sahabat yang membacakan kadang Abu Musa, terkadang ‘Uqbah ibn Amr (Jamiul Ulum/1/344).

Tradisi ini kemudian berkembang lagi di antara para ulama. Dimana mereka gemar membuka setiap majlis pertemuan dengan membacakan hadis Nabi, dan menutupnya dengan mengumandangkan bacaan al-Quran dari qari yang bersuara indah. Di Indonesia sendiri, pembacaan al-Quran dalam majlis pertemuan biasa dilakukan di awal pertemuan (At-Tibyan/91).

Baca Juga: Ruwah: Momentum Pembersihan Hati

Dari berbagai keterangan di atas kita bisa mengambil kesimpulan, membacakan al-Quran di hadapan banyak orang bukanlah sesuatu yang tercela. Bahkan kebiasaan tersebut juga diamalkan oleh para sahabat dan ulama.

Hanya saja yang perlu diperhatikan, tujuan membacakan al-Qur’an di hadapan orang banyak bukanlah sekedar pamer keindahan suara yang menjurus ke hiburan bagi telinga semata, tapi agar al-Qur’an dapat di dengar orang banyak dan diresapi maknanya. Minimal andai masyarakat awam kurang bisa meresapi arti ayat yang dibacakan, mereka akan akrab dengan bacaan al-Qur’an dan tidak merasa asing dengan kitab sucinya sendiri. Wallahu A’lam.

Hamzah Washal dan Hamzah Qatha’

0
Hamzah Qatha' dan Hamzah Washal
Hamzah Qatha' dan Hamzah Washal

Salah satu huruf hijaiyah yang terbagi menjadi dua macam adalah hamzah. Satu bernama hamzah washal, yang lainnya disebut hamzah qatha’. Banyak perbedaan dari keduanya, mulai dari cara bacanya, penulisannya hingga karakter lainnya.

Perbedaan dari kedua hamzah ini yang kemudian menjadi alasan utama untuk mempelajarinya. Perbedaan ini nantinya akan mempengaruhi kebenaran dan kesalahan membaca Alquran.

Sebagai contoh yaitu kesalahan yang sering terjadi saat membaca awal surah Al-Fatihah. Jika sang qari’ (orang yang membaca Alquran) menyambung bacaan ayat pertama ke ayat kedua, membaca:

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ ١اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ ٢

Bismillahirrahmanirrahimialhamdulillahirabbil‘alamin, maka itu kurang tepat bacaannya. Bacaan yang lebih tepat adalah Bismillahirrahmanirrahimilhamdulillahi rabbil ‘alamin. Ini karena hamzah pada lafaz (alhamdu) adalah hamzah washal.

Penjelasan lebih detail dan contoh-contoh lain tentang kedua macam hamzah ini sebagaikan dijelaskan berikut.

Baca Juga: Mengenal 8 Huruf HijaiyahTambahan dalam Ilmu Tajwid

Hamzah Qatha’ (هَمْزَةُ الْقَطْعِ)

Hamzah qatha’ adalah huruf hamzah yang ditetapkan/dibaca pada saat memulai bacaan (ibtida), menyambung bacaan (washal) dan penulisannya (khat). (Ghayatul Murid fi ‘ilmit-Tajwid/278). Penamaan hamzah qatha karena memutus huruf satu dengan lainnya saat ia diucapkan.

Jadi, Hamzah qatha’ adalah hamzah yang selamanya dibaca (berharakat). Penulisannya juga dapat ditulis di awal, di tengah maupun di akhir sebuah kata.

Namun demikian, ada perbedaan penulisan hamzah qatha’ pada mushaf terbitan Timur Tengah dan mushaf terbitan Indonesia. Ciri-ciri penulisan pada mushaf Timur Tengah tercetak dengan ada tanda baca kepala ain’ kecil (ء أ إ), sedangkan pada mushaf terbitan Indonesia tercetak dengan ada harakat (  ُ ِ َ) fathah/kasrah/dammah di atas atau di bawah alif (اَ  اِ اُ). (Metode Maisura/43).

Berikut ini beberapa contoh hamzah qatha’ dalam potongan ayat Alquran, termasuk juga bentuk penulisannya di berbagai tempat (di awal, di tengah dan di akhir) kata.

  1. Hamzah Qatha’ di awal kata
No Harakat Contoh Surah dan Ayat
1. Fathah اَلْهٰىكُمُ التَّكَاثُرُ At-Takasur: 1
2. Kasrah إِنَّا Al-Kautsar: 1
3. Dhammah أُوتُوا Al-Baqarah: 101

2. Hamzah qatha’ di tengah kata

No Harakat Contoh Surah dan Ayat
1. Fathah قُرْءَاناً Yusuf: 2
2. Kasrah سُئِلَتْ At-Takwir: 7
3. Dhammah الْمَوْءُودَةُ At- Takwir: 7
4. Sukun بِئْرٍ Al-Hajj: 45

3. Hamzah qatha’ di akhir kata

No Harakat Contoh Surah dan Ayat
1. Fathah  مَنْ جَاءَ Al-An’am: 160
2. Kasrah قُرُوءٍ Al-Baqarah: 228
3. Dhammah يَسْتَهْزِئُ Al-Baqarah: 15
4. Sukun إنْ نَشَأْ Asy-Syu’ara: 3

Baca Juga: Pengertian dan Macam-Macam Shifatul Huruf dalam Ilmu Tajwid

Hamzah Washal (هَمْزَةُ الْوَصْلِ)

Hamzah washal adalah Hamzah tambahan pada awal kata yang tetap dibaca (berharakat) ketika ibtida (memulai bacaan) dan gugur (tidak dibaca, secara bacaan dianggap tidak ada) saat ada di tengah kata. (at-Tajwidul-Muyassar/145)

Jadi, hamzah washal hanya berada di awal kata, bentuknya seperti alif, terbaca ketika ada di permulaan kata, namun lebur (tidak dibaca) ketika berada di tengah kalimat.

Untuk mengetahui hamzah washal pada mushaf terbitan Timur Tengah, ia tercetak dengan tanda baca kepala huruf sad kecil berekor (ٱ), misalnya pada lafadz:

ٱلْحَمْدُ لِلَّٰهِ رَبِّ ٱلْعَالَمِينَ

Sedangkan pada mushaf terbitan Indonesia tercetak dengan ada harakat fathah/kasrah/dammah ( اَ اِ اُ ) , sebagai contoh:

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ

Setelah mengetahui kedua jenis hamzah di atas dapat disimpulkan bahwa keduanya memiliki perbedaan. Adapun perbedaan hamzah qatha’ dan hamzah washal adalah sebagai berikut:

  • Hamzah washal hanya berada di awal kata, dan hanya dibaca ketika berada di awal kalimat.
  • Hamzah qatha’ bisa berada didepan, tengah, maupun akhir kata, dan bisa juga dibaca di mana pun ia berada.
  • Penulisan hamzah washal dan qatha’ pada mushaf terbitan Indonesia tercetak dengan harakat
  • Adapun pada mushaf terbitan Timur Tengah, tercetak dengan tanda kepala ain kecil untuk hamzah qatha’, dan kepala sad berekor untuk hamzah washal. Wallahu a’lam