Beranda blog Halaman 83

Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 15-18

0
Tafsir Surah Al-Hujurat
Tafsir Surah Al-Hujurat

Sebagai penutupan ayat, dalam Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 15-18 menerangkan hakikat iman yang sebenarnya. Bahwasanya orang-orang yang diakui mempunyai keimanan yang sungguh-sungguh hanyalah mereka yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya tanpa keragu-raguan. Di akhir ayat, Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 15-18 menegaskan kembali bahwa Allah Maha Mengetahui.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 13-14


Ayat 15

Dalam ayat ini, Allah menerangkan hakikat iman yang sebenarnya, yaitu bahwa orang-orang yang diakui mempunyai iman yang sungguh-sungguh hanyalah mereka yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, tanpa keragu-raguan sedikit pun dan tidak goyah pendiriannya apa pun yang dihadapi. Mereka menyerahkan harta dan jiwa dalam berjihad di jalan Allah semata-mata untuk mencapai keridaan-Nya.

اَلْمُؤْمِنُوْنَ فِى الدُّنْيَا عَلَى ثَلاَثَةِ أَجْزَاءٍ، اَلَّذِيْنَ اٰمَنُوا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوْا وَجَاهَدُوْا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِىْ سَبِيْلِ اللهِ. وَالَّذِيْ يَأْمَنُهُ النَّاسُ عَلَى أَمْوَالِهِمْ بِأَنْفُسِهِمْ وَالَّذِيْ إِذَا أَشْرَفَ عَلَى طَمَعٍ تَرَكَهُ ِللهِ عَزَّ وَجَلَّ. (رواه أحمد عن أبي سعيد الخدري)

Orang mukmin di dunia ada tiga golongan: pertama, orang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu dan berjihad fi sabilillah dengan harta dan dirinya. Kedua, orang yang tidak mengganggu harta dan diri orang lain. Ketiga, orang yang mendapatkan kemuliaan ambisi, ia meninggalkannya karena Allah. (Riwayat Ahmad dari Abu Sa’id al-Khudri)

Mereka itulah orang-orang yang imannya diakui oleh Allah. Tidak seperti orang-orang Arab Badui itu yang hanya mengucapkan beriman dengan lidah belaka, sedangkan hati mereka kosong karena mereka masuk Islam itu hanya karena takut akan tebasan pedang, hanya sekadar untuk mengamankan jiwa dan harta bendanya.

Ayat 16

Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya agar bertanya kepada orang-orang Arab Badui itu, apakah mereka akan memberitahukan kepada Allah tentang keyakinannya yang telah tersimpan di dalam hatinya, padahal Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, termasuk apa yang terkandung di dalam hati mereka karena Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.


Baca Juga: Surat al-Anfal [8] Ayat 2: Ciri-Ciri Orang Yang Beriman Menurut Al-Qur’an


Ayat 17

Allah menjelaskan bahwa orang-orang Arab Badui itu merasa telah memberi nikmat kepada Rasulullah saw. Mereka menganggap bahwa keislaman dan ketundukan mereka kepada Nabi Muhammad itu harus dipandang suatu nikmat yang harus disyukuri oleh Nabi. Kemudian Allah memerintahkan kepada rasul-Nya supaya membantah ucapan mereka yang selalu menonjol-nonjolkan pemberian nikmat karena sesungguhnya hanya Allah yang melimpahkan nikmat kepada mereka dengan menunjuki mereka keimanan, jika mereka sungguh-sungguh menjadi orang-orang yang benar imannya.

Ayat 18

Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Mengetahui apa-apa yang gaib di langit dan di bumi. Dia-lah yang melihat apa yang tersembunyi di dalam hati, dan apa yang diucapkan oleh lidah karena Allah Maha Melihat apa yang dikerjakan oleh seluruh hamba-hamba-Nya.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 13-14

0
Tafsir Surah Al-Hujurat
Tafsir Surah Al-Hujurat

Dijelaskan dalam Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 13-14 bahwasanya maksud dan tujuan Allah menciptakan manusia berbeda-beda warna kulit, berbangsa dan bersuku-suku adalah agar manusia dapat saling mengenal dan menolong, bukan saling mengejek dan menjatuhkan.

Allah tidak menyukai orang-orang sombong karena memiliki harta yang banyak, pangkat yang tinggi dan berasal dari keturunan terpandang. Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 13-14 mengingatkan bahwa derajat seorang manusia di sisi Allah dinilai dari ketakwaannya.

Kemudian, dalam Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 13-14 ini dikisahkan pula tentang makna keimanan bagi orang mukmin, hal ini dicontohkan dari kisah orang Badui.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 12


Ayat 13

Dalam ayat ini, dijelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dari seorang laki-laki (Adam) dan seorang perempuan (Hawa) dan menjadikannya berbangsa-bangsa, bersuku-suku, dan berbeda-beda warna kulit bukan untuk saling mencemoohkan, tetapi supaya saling mengenal dan menolong. Allah tidak menyukai orang-orang yang memperlihatkan kesombongan dengan keturunan, kepangkatan, atau kekayaannya karena yang paling mulia di antara manusia pada sisi Allah hanyalah orang yang paling bertakwa kepada-Nya.

Kebiasaan manusia memandang kemuliaan itu selalu ada sangkut-pautnya dengan kebangsaan dan kekayaan. Padahal menurut pandangan Allah, orang yang paling mulia itu adalah orang yang paling takwa kepada-Nya.

Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan at-Tirmidzi dari Ibnu ‘Umar bahwa ia berkata:

طَافَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى رَاحِلَتِهِ الْقَصْوَاءِ يَوْمَ الْفَتْحِ وَاسْتَلَمَ الرُّكْنُ بِمِحْجَنِهِ وَمَا وَجَدَ لَهَا مُنَاخًا فِى الْمَسْجِدِ حَتَّى أُخْرِجَتْ إِلَى بَطْنِ الْوَادِيِّ فَأُنِيْخَتْ ثُمَّ حَمِدَ اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ: أَمَّا بَعْدُ أَيُّهَا النَّاسُ فَإِنَّ اللهَ قَدْ أَذْهَبَ عَنْكُمْ عُبِيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ  يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا النَّاسُ رَجُلاَنِ: بِرٌّ تَقِيٌّ كَرِيْمٌ عَلَى رَبِّهِ وَفَاجِرٌ شَقِيٌّ هَيِّنٌ عَلَى رَبِّهِ ثُمَّ تَلاَ (يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوْبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوْا) حَتىَّ قَرَأَ الآيَةَ ثُمَّ قَالَ: أَقُوْلُ قَوْلِى هَذَا وَاَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ) (رواه ابن حبان والترمذي عن ابن عمر)

Rasulullah saw melakukan tawaf di atas untanya yang telinganya tidak sempurna (terputus sebagian) pada hari Fath Makkah (Pembebasan Mekah). Lalu beliau menyentuh tiang Ka’bah dengan tongkat yang bengkok ujungnya. Beliau tidak mendapatkan tempat untuk menderumkan untanya di masjid sehingga unta itu dibawa keluar menuju lembah lalu menderumkannya di sana. Kemudian Rasulullah memuji Allah dan mengagungkan-Nya, kemudian berkata, “Wahai manusia, sesungguhnya Allah telah menghilangkan pada kalian kesombongan dan keangkuhan Jahiliah. Wahai manusia, sesungguhnya manusia itu ada dua macam: orang yang berbuat kebajikan, bertakwa, dan mulia di sisi Tuhannya. Dan orang yang durhaka, celaka, dan hina di sisi Tuhannya. Kemudian Rasulullah membaca ayat: ya ayyuhan-nas inna khalaqnakum min dzakarin wa untha… Beliau membaca sampai akhir ayat, lalu berkata, “Inilah yang aku katakan, dan aku memohon ampun kepada Allah untukku dan untuk kalian. (Riwayat Ibnu Hibban dan at-Tirmidzi dari Ibnu ‘Umar).

Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Mengetahui ten-tang apa yang tersembunyi dalam jiwa dan pikiran manusia. Pada akhir ayat, Allah menyatakan bahwa Dia Maha Mengetahui tentang segala yang tersembunyi di dalam hati manusia dan mengetahui segala perbuatan mereka.


Baca Juga: Mengulik Kembali Nilai Pluralisme dalam Surah Al-Hujurat Ayat 13


Ayat 14

Allah menjelaskan bahwa orang-orang Arab Badui mengaku bahwa diri mereka telah beriman. Ucapan mereka itu dibantah oleh Allah. Sepantasnya mereka itu tidak mengatakan telah beriman, karena iman yang sungguh-sungguh ialah membenarkan dengan hati yang tulus dan percaya kepada Allah dengan seutuhnya. Hal itu belum terbukti karena mereka memperlihatkan bahwa mereka telah memberikan kenikmatan kepada Rasulullah saw dengan keislaman mereka dan dengan tidak memerangi Rasulullah saw.

Mereka dilarang oleh Allah mengucapkan kata beriman itu dan sepantasnya mereka hanya mengucapkan ‘kami telah tunduk’ masuk Islam, karena iman yang sungguh-sungguh itu belum pernah masuk ke dalam hati mereka. Apa yang mereka ucapkan tidak sesuai dengan isi hati mereka.

Az-Zajjaj berkata, “Islam itu ialah memperlihatkan kepatuhan dan menerima apa-apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Dengan memperlihatkan patuh itu terpeliharalah darah dan jiwa, dan jika ikrar tentang keislaman itu disertai dengan tasdiq (dibenarkan hati), maka barulah yang demikian itu yang dinamakan iman yang sungguh-sungguh. Jika mereka benar-benar telah taat kepada Allah dan rasul-Nya, ikhlas berbuat amal, dan meninggalkan kemunafikan, maka Allah tidak akan mengurangi sedikit pun pahala amal mereka, bahkan akan memperbaiki balasannya dengan berlipat ganda.”

Terhadap manusia yang banyak berbuat kesalahan, di mana pun ia berada, Allah akan mengampuninya karena Dia Maha Pengampun terhadap orang yang bertobat dan yang beramal penuh keikhlasan.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 15-18


Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 12 Part 2  

0
Tafsir Surah Al-Hujurat
Tafsir Surah Al-Hujurat

Sebagai lanjutannya, dalam Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 12 Part 2 menjelaskan tentang larangan bergunjing atau membicarakan aib seseorang.

Terdapat banyak banyak Riwayat larangan berbuat demikian di dalam Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 12 Part 2 bahkan Allah swt mengumpakan orang yang bergunjing, ghibah, ifk, dan buhtan laksana orang yang memakan daging bangkai saudaranya sendiri.

Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 12 Part 2 ditutup dengan enam perkara yang menjadi pengecualian untuk bergunjing. Selengkapnya baca Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 12 Part 2 di bawah ini, dan semoga kita senantiasa terjaga dari sifat tercela dan suka bergunjing.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 11


Ayat 12 Part 2

Diriwayatkan pula oleh Ahmad dari Abu Barzah al-Aslami, Rasulullah saw bersabda:

يَا مَعْشَرَ مَنْ اٰمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ اْﻹِيْمَانُ قَلْبَهُ لاَ تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِيْنَ وَلاَ تَتَّبِعُوْا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنْ يَّتَّبِعْ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِيْ بَيْتِهِ. (رواه أحمد عن أبي برزه اﻷسلمى)

Wahai orang-orang yang beriman dengan lidahnya, tetapi iman itu belum masuk ke dalam hatinya, jangan sekali-kali kamu bergunjing terhadap kaum Muslimin, dan jangan sekali-kali mencari-cari aib-aib mereka. Karena siapa yang mencari-cari aib kaum Muslimin, maka Allah akan membalas pula dengan membuka aib-aibnya. Dan siapa yang dibongkar aibnya oleh Allah, niscaya Dia akan menodai kehormatannya dalam rumahnya sendiri.” (Riwayat Ahmad dari Abu Barzah al-Aslami).

Imam at-Tabrani meriwayatkan sebuah hadis dari Harithah bin an-Nu’man:

ثَلاَثٌ لاَزِمَاتٌ ِﻷُمَّتِى الطَّيْرَةُ وْالحَسَدُ وَسُوْءُ الظَّنِّ فَقَالَ رَجُلٌ مَا يُذْهِبُهُنَّ يَا رَسُوْلَ اللهِ مِمَّنْ هُنَّ فِيْهِ؟ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذَا حَسَدْتَ فَاسْتَغْفِرِ الله َوَاِذَا ظَنَنْتَ فَلاَ تُحَقِّقْ وَاِذَا تَطَيَّرْتَ فَامْضِ. (رواه الطبرانى عن حارثة بن النعمان)

Ada tiga perkara yang tidak terlepas dari umatku, yaitu anggapan sial karena sesuatu ramalan, dengki, dan buruk sangka. Maka bertanya seorang sahabat, “Ya Rasulullah, apa yang dapat menghilangkan tiga perkara yang buruk itu dari seseorang?” Nabi menjawab, “Apabila engkau hasad (dengki), maka hendaklah engkau memohon ampun kepada Allah. Dan jika engkau mempunyai buruk sangka, jangan dinyatakan, dan bilamana engkau memandang sial karena sesuatu ramalan maka lanjutkanlah tujuanmu.” (Riwayat at-Tabrani dari Harithah bin an-Nu’man).


Baca Juga: Jangan Berprasangka Buruk! Renungkanlah Pesan Surat Al-Hujurat Ayat 12


Abu Qilabah meriwayatkan bahwa telah sampai berita kepada ‘Umar bin Khattab, bahwa Abu Mihjan as-Shaqafi minum arak bersama-sama dengan kawan-kawannya di rumahnya. Maka pergilah ‘Umar ke rumahnya dan kemudian masuk ke dalam, tetapi tidak ada seorang pun di rumah kecuali seorang Abu Mihjan sendiri. Maka Abu Mihjan berkata, “Sesungguhnya perbuatanmu ini tidak halal bagimu karena Allah telah melarangmu untuk mencari-cari kesalahan orang lain.” Kemudian ‘Umar keluar dari rumahnya.

Allah melarang pula bergunjing atau mengumpat orang lain. Yang dinamakan gibah atau bergunjing itu ialah menyebut-nyebut suatu keburukan orang lain yang tidak disukainya sedang ia tidak berada di tempat itu, baik dengan ucapan atau isyarat, karena yang demikian itu menyakiti orang yang diumpat. Umpatan yang menyakitkan itu ada yang terkait dengan cacat tubuh, budi pekerti, harta, anak, istri, saudaranya, atau apa pun yang ada hubungannya dengan dirinya.

Hasan, cucu Nabi, berkata bahwa bergunjing itu ada tiga macam, ke-tiga-nya disebutkan dalam Al-Qur’an, yaitu gibah, ifk, dan buhtan. Gibah atau bergunjing, yaitu menyebut-nyebut keburukan yang ada pada orang lain. Adapun ifki adalah menyebut-nyebut seseorang mengenai berita-berita yang sampai kepada kita, dan buhtan atau tuduhan yang palsu ialah bahwa menyebut-nyebut kejelekan seseorang yang tidak ada padanya. Tidak ada perbedaan pendapat antara para ulama bahwa ber-gunjing ini termasuk dosa besar, dan diwajibkan kepada orang yang bergunjing supaya segera bertobat kepada Allah dan meminta maaf kepada orang yang bersangkutan.

Mu’awiyah bin Qurrah berkata kepada Syu’bah, “Jika seandainya ada orang yang putus tangannya lewat di hadapanmu, kemudian kamu berkata ‘Itu si buntung,” maka ucapan itu sudah termasuk bergunjing.”


Baca Juga: Pentingnya Berprasangka Baik Dalam Rangka Toleransi Beragama dalam Al-Quran


Allah mengemukakan sebuah perumpamaan supaya terhindar dari bergunjing, yaitu dengan suatu peringatan yang berbentuk pertanyaan, “Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging bangkai saudaranya? Tentu saja kita akan merasa jijik memakannya. Oleh karena itu, jangan menyebut-nyebut keburukan seseorang ketika ia masih hidup atau sudah mati, sebagaimana kita tidak menyukai yang demikian itu, dalam syariat hal itu juga dilarang.”

‘Ali bin al-Husain mendengar seorang laki-laki sedang mengumpat orang lain, lalu ia berkata, “Awas kamu jangan bergunjing karena bergunjing itu sebagai lauk-pauk manusia.”

Nabi dalam khutbahnya pada haji wada’ (haji perpisahan) bersabda:

اِنَّ دِمَاءَكُمْ وَاَمْوَالَكُمْ وَاَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هٰذَا فِيْ شَهْرِكُمْ هٰذَا فِيْ بَلَدِكُمْ هٰذَا. (رواه البخاري ومسلم عن ابن عباس)

Sesungguhnya darahmu, hartamu, dan kehormatanmu haram bagimu seperti haramnya hari ini dalam bulan ini dan di negerimu ini. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Abbas);Allah menyuruh kaum mukminin supaya tetap bertakwa kepada-Nya karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun terhadap orang yang ber-tobat dan mengakui kesalahan-kesalahannya. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang, dan tidak akan mengazab seseorang setelah ia bertobat.

Bergunjing itu tidak diharamkan jika disertai dengan maksud-maksud yang baik, yang tidak bisa tercapai kecuali dengan gibah itu, dan soal-soal yang dikecualikan dan tidak diharamkan dalam bergunjing itu ada enam perkara:

  1. Dalam rangka kezaliman agar dapat dibela oleh orang yang mampu menghilangkan kezaliman itu.
  2. Jika dijadikan bahan untuk mengubah suatu kemungkaran dengan menyebut-nyebut kejelekan seseorang kepada seorang penguasa yang mampu mengadakan tindakan perbaikan.
  3. Di dalam mahkamah, orang yang mengajukan perkara boleh melapor-kan kepada mufti atau hakim bahwa ia telah dianiaya oleh seorang penguasa yang (sebenarnya) mampu mengadakan tindakan perbaikan.
  4. Memberi peringatan kepada kaum Muslimin tentang suatu kejahatan atau bahaya yang mungkin akan mengenai seseorang; misalnya menu-duh saksi-saksi tidak adil, atau memperingatkan seseorang yang akan melangsungkan pernikahan bahwa calon pengantinnya adalah orang yang mempunyai cacat budi pekerti, atau mempunyai penyakit yang menular.
  5. Bila orang yang digunjingkan itu terang-terangan melakukan dosa di muka umum, seperti minum minuman keras di hadapan khalayak ramai.
  6. Mengenalkan seorang dengan sebutan yang kurang baik, seperti ‘awar (orang yang matanya buta sebelah) jika tidak mungkin memperkenalkannya kecuali dengan nama itu.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 13-14


Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 12 Part 1

0
Tafsir Surah Al-Hujurat
Tafsir Surah Al-Hujurat

Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 12 Part 1 mengingatkan orang-orang beriman agar senantiasa menjauhkan diri dari segala prasangka yang belum tentu benar dan sebagian prasangka itu mengandung dosa.

Selain itu, Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 12 Part 1 memaparkan hadis dari Imam al-Baihaqi dalam kitabnya Syu’abul Iman tentang petunjuk-petunjuk kehidupan oleh Rasulullah yang bersumber dari saudaranya di antara para Sahabat.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 11


Ayat 12

Dalam Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 12 Part 1 Allah memberi peringatan kepada orang-orang yang beriman supaya mereka menjauhkan diri dari prasangka terhadap orang-orang yang beriman. Jika mereka mendengar sebuah ucapan yang keluar dari mulut saudaranya yang mukmin, maka ucapan itu harus mendapat tanggapan yang baik, dengan ungkapan yang baik, sehingga tidak menimbulkan salah paham, apalagi menyelewengkannya sehingga me-nimbulkan fitnah dan prasangka. ‘Umar r.a. berkata, “Jangan sekali-kali kamu menerima ucapan yang keluar dari mulut saudaramu, melainkan dengan maksud dan pengertian yang baik, sedangkan kamu sendiri menemukan arah pengertian yang baik itu.”

Diriwayatkan dari Rasulullah saw bahwa sesungguhnya Allah mengharamkan dari orang mukmin darah dan kehormatannya sehingga dilarang berburuk sangka di antara mereka. Adapun orang yang secara terang-terangan berbuat maksiat, atau sering dijumpai berada di tempat orang yang biasa minum minuman keras hingga mabuk, maka buruk sangka terhadap mereka itu tidak dilarang.

Imam al-Baihaqi dalam kitabnya Syu’abul Iman meriwayatkan sebuah athar dari Sa’id bin al-Musayyab sebagai berikut:

كَتَبَ اِلَيَّ بَعْضُ اِخْوَانِى مِنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ صَنِّعْ أَمْرَ أَخِيْكَ عَلَى أَحْسَنِهِ مَا لَمْ يَأْتِكَ مَا يَغْلِبُكَ وَلاَ تَظُنَّنَّ بِكَلِمَةٍ خَرَجَتْ مِنِ امْرِئٍ مُسْلِمٍ شَرًّا وَأَنْتَ تَجِدُ لَهُ فِى الْخَيْرِ مَحْمَلاً وَمَنْ عَرَضَ نَفْسَهُ لِلتُّهَمِ فَلاَ يَلُوْمَنَّ اِلاَّ نَفْسَهُ وَمَنْ كَتَمَ سِرَّهُ كَانَتِ الْخِيْرَةُ فِى يَدِهِ وَمَا كَافَأْتَ مَنْ عَصَى الله تَعَالَى فِيْكَ بِمِثْلِ أَنْ تُطِيْعَ اللهَ فِيْهِ وَعَلَيْكَ بِاِخْوَانِ الصِّدْقِ فَكُنْ فِى اكْتِسَابِهِمْ فَاِنَّهُمْ زِيْنَةٌ فِى الرَّخَاءِ وَعُدَّةٌ عِنْدَ عَظِيْمِ اْلبَلاَءِ وَلاَ تَتَهَاوَنْ بِالْحَلْفِ فَيُهِيْنَكَ اللهُ تَعَالَى وَلاَ تَسْأَلَنَّ عَمَّا لَمْ يَكُنْ حَتَّى يَكُوْنُ وَلاَ تَضَعْ حَدِيْثَكَ اِلاَّ عِنْدَ مَنْ يَشْتَهِيْهِ وَعَلَيْكَ بِالصِّدْقِ وَاِنْ قَتَلَكَ وَاعْتَزِلْ عَدُوَّكَ وَاحْذَرْ صَدِيْقَكَ اِلاَّ الاَمِيْنَ وَلاَ اَمِيْنَ اِلاَّ مَنْ خَشِيَ اللهَ وَشَاوِرْ فِى اَمْرِكَ الَّذِيْنَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ. (رواه البيهقي)

Beberapa saudaraku di antara sahabat Rasulullah saw telah menyampaikan sebuah tulisan kepadaku yang berisi beberapa petunjuk, di antaranya, “Kerjakanlah urusan saudaramu dengan sebaik-baiknya selagi tidak datang kepadamu urusan yang mengalahkanmu dan jangan sekali-kali engkau memandang buruk perkataan yang pernah diucapkan oleh seorang Muslim, jika engkau menemukan tafsiran yang baik pada ucapannya itu. Siapa yang menempatkan dirinya di tempat tuduhan buruk, maka janganlah ia mencela, kecuali kepada dirinya sendiri. Dan siapa yang menyembunyikan rahasianya, maka pilihan itu berada di tangannya, dan kemaksiatan seseorang kepada Allah pada diri kamu, tidak akan mengimbangi ketaatanmu kepada Allah pada orang tersebut. Hendaklah engkau selalu bersahabat dengan orang-orang yang benar sehingga engkau berada di dalam lingkup budi pekerti yang mereka upayakan, karena mereka itu menjadi perhiasan dalam kekayaan dan menjadi perisai ketika menghadapi bahaya yang besar. Dan jangan sekali-kali meremehkan sumpah agar kamu tidak dihinakan oleh Allah. Dan jangan sekali-kali bertanya tentang sesuatu yang belum ada sehingga berwujud terlebih dahulu dan jangan engkau sampaikan pembicaraan kecuali kepada orang yang mencintainya. Dan tetaplah berpegang kepada kebenaran walaupun kamu akan terbunuh olehnya. Hindarilah musuhmu dan tetaplah menaruh curiga kepada kawanmu, kecuali orang yang benar-benar sudah dapat dipercaya, dan tidak ada yang dapat dipercaya kecuali orang yang takut kepada Allah. Dan bermusyawarahlah dalam urusanmu dengan orang-orang yang takut kepada Tuhan mereka dalam keadaan gaib.” (Riwayat al-Baihaqi)


Baca Juga:Jangan Berprasangka Buruk! Renungkanlah Pesan Surat Al-Hujurat Ayat 12


Kemudian Allah menerangkan bahwa orang-orang mukmin wajib menjauhkan diri dari prasangka karena sebagian prasangka itu mengandung dosa. Berburuk sangka terhadap orang mukmin adalah suatu dosa besar karena Allah nyata-nyata telah melarangnya. Selanjutnya Allah melarang kaum mukminin mencari-cari kesalahan, kejelekan, noda, dan dosa orang lain.

Abu Hurairah meriwayatkan sebuah hadis sahih sebagai berikut:

اِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَاِنَّ الظَّنَّ اَكْذَبُ الْحَدِيْثِ وَلاَ تَجَسَّسُوْا وَلاَ تَحَسَّسُوْا وَلاَ تَنَاجَشُوْا وَلاَ تَبَاغَضُوْا وَلاَ تَحَاسَدُوْا وَلاَ تَدَابَرُوْا وَكُونُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا. (رواه البخاري عن أبي هريرة)

Jauhilah olehmu berburuk sangka, karena berburuk sangka itu termasuk perkataan yang paling dusta. Dan jangan mencari-cari kesa-lahan orang lain, jangan buruk sangka, jangan membuat rangsangan dalam penawaran barang, jangan benci-membenci, jangan dengki-mendengki jangan belakang-membelakangi, dan jadilah kamu hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (Riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 12


Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 11

0
Tafsir Surah Al-Hujurat
Tafsir Surah Al-Hujurat

Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 11 menjelaskan tentang sikap seorang mukmin kepada mukmin yang lainnya, yaitu dengan tidak mengolok-ngolok kaum dan juga memanggil dengan sebutan yang buruk.

Kemudian Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 11 juga mengingatkan agar selaku mukmin kita senantiasa saling menjaga dan menyayangi, karena diibaratkan satu tubuh jika sakit maka anggota tubuh yang lain akan turut merasakan sakit.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 9-10


Ayat 11

Dalam Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 11 ini, Allah mengingatkan kaum mukminin supaya jangan ada suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain karena boleh jadi, mereka yang diolok-olok itu pada sisi Allah jauh lebih mulia dan terhor-mat dari mereka yang mengolok-olokkan. Demikian pula di kalangan perempuan, jangan ada segolongan perempuan yang mengolok-olok perempuan yang lain karena boleh jadi, mereka yang diolok-olok itu pada sisi Allah lebih baik dan lebih terhormat daripada perempuan-perempuan yang mengolok-olok.

Allah melarang kaum mukminin mencela kaum mereka sendiri karena kaum mukminin semuanya harus dipandang satu tubuh yang diikat dengan kesatuan dan persatuan. Allah melarang pula memanggil dengan panggilan yang buruk seperti panggilan kepada seseorang yang sudah beriman dengan kata-kata: hai fasik, hai kafir, dan sebagainya. Tersebut dalam sebuah hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim dari an-Nu’man bin Basyir:

مَثلُ اْلمُؤْمِنِيْنَ فِيْ تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ اِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالْحُمَّى وَالسَّهَرِ. (رواه مسلم وأحمد عن النعمان بن بشير)

Perumpamaan orang-orang mukmin dalam kasih mengasihi dan sayang-menyayangi antara mereka seperti tubuh yang satu; bila salah satu anggota badannya sakit demam, maka badan yang lain merasa demam dan terganggu pula.

(Riwayat Muslim dan Ahmad dari an-Nu’man bin Basyir)

اِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ اِلٰى صُوَرِكُمْ وَاَمْوَالِكُمْ وَلٰكِنْ يَنْظُرُ اِلٰى قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ. (رواه مسلم عن ابي هريرة)

Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupamu dan harta kekayaanmu, akan tetapi Ia memandang kepada hatimu dan perbua-tanmu. (Riwayat Muslim dari Abu Hurairah).

Hadis ini mengandung isyarat bahwa seorang hamba Allah jangan memastikan kebaikan atau keburukan seseorang semata-mata karena melihat kepada perbuatannya saja, sebab ada kemungkinan seseorang tampak mengerjakan kebajikan, padahal Allah melihat di dalam hatinya ada sifat yang tercela. Sebaliknya pula mungkin ada orang yang kelihatan melakukan suatu yang tampak buruk, akan tetapi Allah melihat dalam hatinya ada rasa penyesalan yang besar yang mendorongnya bertobat dari dosanya. Maka perbuatan yang tampak di luar itu, hanya merupakan tanda-tanda saja yang menimbulkan sangkaan yang kuat, tetapi belum sampai ke tingkat meyakinkan. Allah melarang kaum mukminin memanggil orang dengan panggilan-panggilan yang buruk setelah mereka beriman.


Baca Juga: Julukan Buruk Yang Dilarang Alquran


Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Ibnu ‘Abbas dalam menafsirkan ayat ini, menerangkan bahwa ada seorang laki-laki yang pernah pada masa mudanya mengerjakan suatu perbuatan yang buruk, lalu ia bertobat dari dosanya, maka Allah melarang siapa saja yang menyebut-nyebut lagi keburukannya di masa yang lalu, karena hal itu dapat membangkitkan perasaan yang tidak baik. Itu sebabnya Allah melarang memanggil dengan panggilan dan gelar yang buruk.

Adapun panggilan yang mengandung penghormatan tidak dilarang, seperti sebutan kepada Abu Bakar dengan as-Shiddiq, kepada ‘Umar dengan al-Faruq, kepada ‘Uthman dengan sebutan Zu an-Nurain, kepada ‘Ali dengan Abu Turab, dan kepada Khalid bin al-Walid dengan sebutan Saifullah (pedang Allah).

Kemudian Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 11 menerangkan tentang Panggilan yang buruk dilarang untuk diucapkan setelah orangnya beriman karena gelar-gelar untuk itu mengingatkan kepada kedurhakaan yang sudah lewat, dan sudah tidak pantas lagi dilontarkan. Barang siapa tidak bertobat, bahkan terus pula memanggil-manggil dengan gelar-gelar yang buruk itu, maka mereka dicap oleh Allah sebagai orang-orang yang zalim terhadap diri sediri dan pasti akan menerima konsekuensinya berupa azab dari Allah pada hari Kiamat.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 12


Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 9-10

0
Tafsir Surah Al-Hujurat
Tafsir Surah Al-Hujurat

Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 9-10 menerangkan tentang upaya agar berdamai untuk menghindari peperangan bagi dua golongan yang berseteru. Sesungguhnya umat Islam saling bersaudara karena menganut keimanan yang sama dan kelak akan kekal di syurga bersama.

Dijelaskan pula di akhir Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 9-10 bahwasanya Allah sangat menyukai kedamaian.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 5-8


Ayat 9

Allah menerangkan bahwa jika ada dua golongan orang mukmin berperang, maka harus diusahakan perdamaian antara kedua pihak yang bermusuhan itu dengan jalan berdamai sesuai ketentuan hukum Allah berdasarkan keadilan untuk kemaslahatan mereka yang bersangkutan. Jika setelah diusahakan perdamaian itu masih ada yang membangkang dan tetap juga berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka golongan yang agresif yang berbuat aniaya itu harus diperangi sehingga mereka kembali untuk menerima hukum Allah.

Jika golongan yang membangkang itu telah tunduk dan kembali kepada perintah Allah, maka kedua golongan yang tadinya bermusuhan itu harus diperlakukan dengan adil dan bijaksana, penuh kesadaran sehingga tidak terulang lagi permusuhan seperti itu di masa yang akan datang. Allah memerintahkan supaya mereka tetap melakukan keadilan dalam segala urusan mereka, karena Allah menyukainya dan akan memberi pahala kepada orang-orang yang berlaku adil dalam segala urusan.


Baca Juga: Rahasia Makna Adanya Perintah Allah dalam Al-Qur’an


Ayat 10

Dalam Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 9-10 khususnya pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa sesungguhnya orang-orang mukmin semuanya bersaudara seperti hubungan persaudaraan antara nasab, karena sama-sama menganut unsur keimanan yang sama dan kekal dalam surga. Dalam sebuah hadis sahih diriwayatkan:

اَلْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَسْلِمُهُ وَمَنْ كَانَ فِيْ حَاجَةِ أَخِيْهِ كَانَ اللهُ فِيْ حَاجَتِهِ وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. (رواه البخاري عن عبد الله بن عمر)

Muslim itu adalah saudara muslim yang lain, jangan berbuat aniaya dan jangan membiarkannya melakukan aniaya. Orang yang membantu kebutuhan saudaranya, maka Allah membantu kebutuhannya. Orang yang melonggarkan satu kesulitan dari seorang muslim, maka Allah melonggarkan satu kesulitan di antara kesulitan-kesuliannya pada hari Kiamat. Orang yang menutupi aib saudaranya, maka Allah akan menutupi kekurangannya pada hari Kiamat.

(Riwayat al-Bukhari dari ‘Abdullah bin ‘Umar)

Pada hadis sahih yang lain dinyatakan:

اِذاَ دَعَا الْمُسْلِمُ لِأَخِيْهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ قَالَ الْمَلَكُ: اٰمِيْنَ وَلَكَ بِمِثْلِهِ. (رواه مسلم عن أبي الدرداء)

Apabila seorang muslim mendoakan saudaranya yang gaib, maka malaikat berkata, “Amin, dan semoga kamu pun mendapat seperti itu.” (Riwayat Muslim dari Abu ad-Darda’)

Karena persaudaraan itu mendorong ke arah perdamaian, maka Allah menganjurkan agar terus diusahakan di antara saudara seagama seperti perdamaian di antara saudara seketurunan, supaya mereka tetap memelihara ketakwaan kepada Allah. Mudah-mudahan mereka mem-peroleh rahmat dan ampunan Allah sebagai balasan terhadap usaha-usaha perdamaian dan ketakwaan mereka. Dari ayat tersebut dapat dipahami perlu adanya kekuatan sebagai penengah untuk mendamaikan pihak-pihak yang bertikai.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 11


Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 5-8

0
Tafsir Surah Al-Hujurat
Tafsir Surah Al-Hujurat

Melanjutkan kisah Bani Tamim pada tafsiran sebelumnya, pada Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 5-8 ini menerangkan bahwa sikap mereka yang berteriak-teriak memanggil Rasulullah merupakan bentuk dari kurangnya tata krama mereka. Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 5-8 menyesali perbuatan mereka yang seperti itu, akan tetapi meskipun demikian Allah Maha Pengampun dan mengampuni mereka. Kelak mereka tidak akan di azab karena perbuatan yang memalukan itu.

Selain membahas tentang etika sopan santun, Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 5-8 juga mengingatkan umat Islam untuk senantiasa berhati-hati dalam menerima informasi terutama jika itu berasal dari orang yang fasik.

Sebagai penutup, tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 5-8 menerangkan bahwa sikap iman yang sempurna itu terdiri dari pengakuan dengan lisan, membenarkan dengan hati, dan beramal saleh dengan anggota tubuh.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 3-4


Ayat 5

Seandainya tamu-tamu delegasi itu tidak berteriak-teriak memanggil Nabi Muhammad dan mereka sabar menunggu sampai beliau sendiri keluar kamar peristirahatannya, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka. Karena sikap demikian itu menunjukkan adanya takzim dan penghormatan kepada Nabi Muhammad. Allah Maha Pengampun kepada mereka yang memanggil Nabi Muhammad dari belakang kamar-kamarnya bila mereka bertobat dan mengganti kecerobohan mereka dengan kesopanan tata krama. Allah Maha Penyayang kepada mereka, tidak mengazab mereka nanti pada hari Kiamat karena mereka telah menyesali perbuatan mereka yang memalukan itu.

Ayat 6

Dalam ayat ini, Allah memberitakan peringatan kepada kaum mukminin, jika datang kepada mereka seorang fasik membawa berita tentang apa saja, agar tidak tergesa-gesa menerima berita itu sebelum diperiksa dan diteliti dahulu kebenarannya. Sebelum diadakan penelitian yang seksama, jangan cepat percaya kepada berita dari orang fasik, karena seorang yang tidak mempedulikan kefasikannya, tentu juga tidak akan mempedulikan kedustaan berita yang disampaikannya. Perlunya berhati-hati dalam menerima berita adalah untuk menghindarkan penyesalan akibat berita yang tidak diteliti atau berita bohong itu. Penyesalan yang akan timbul sebenarnya dapat dihindari jika bersikap lebih hati-hati.

Ayat ini memberikan pedoman bagi sekalian kaum mukminin supaya berhati-hati dalam menerima berita, terutama jika bersumber dari seorang yang fasik. Maksud yang terkandung dalam ayat ini adalah agar diadakan penelitian dahulu mengenai kebenarannya. Mempercayai suatu berita tanpa diselidiki kebenarannya, besar kemungkinan akan membawa korban jiwa dan harta yang sia-sia, yang hanya menimbulkan penyesalan belaka.


Baca Juga: Tabayyun, Tuntunan Al-Quran dalam Klarifikasi Berita


Ayat 7

Allah menjelaskan bahwa Rasulullah saw ketika berada di tengah-tengah kaum mukminin, sepatutnya dihormati dan diikuti semua petunjuknya karena lebih mengetahui kemaslahatan umatnya. Nabi lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri, sebagaimana dicantumkan dalam firman Allah:

اَلنَّبِيُّ اَوْلٰى بِالْمُؤْمِنِيْنَ مِنْ اَنْفُسِهِمْ

Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dibandingkan diri mereka sendiri (al-Ahzab/33: 6)

Karena Nabi Muhammad selalu berada dalam bimbingan wahyu Ilahi, maka beliau yang berada di tengah-tengah para sahabat itu sepatutnya dijadikan teladan dalam segala aspek kehidupan dan aspek kemasyarakat-an. Seandainya beliau menuruti kemauan para sahabat dalam memecahkan persoalan hidup, niscaya mereka akan menemui berbagai kesulitan dan kemudaratan seperti dalam peristiwa al-Walid bin ‘Uqbah. Seandainya Nabi saw menerima berita bohong tentang Bani al-Mustaliq, lalu mengirimkan pasukan untuk menggempur mereka yang disangka murtad dan menolak membayar zakat, niscaya yang demikian itu hanya akan menimbulkan penyesalan dan bencana. Akan tetapi, sebaliknya dengan kebijaksanaan dan bimbingan Rasulullah saw yang berada di tengah-tengah para sahabat, mereka dijadikan oleh Allah mencintai keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hati mereka, dan menjadikan mereka benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan.

Karena iman yang sempurna itu terdiri dari pengakuan dengan lisan, membenarkan dengan hati, dan beramal saleh dengan anggota tubuh, maka kebencian terhadap kekafiran berlawanan dengan kecintaan kepada keimanan. Menjadikan iman itu indah dalam hati adalah paralel dengan membenarkan (tasdiq) dalam hati, dan benci kepada kedurhakaan itu paralel dengan mengadakan amal saleh. Orang-orang yang demikian itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk dan mengikuti jalan yang lurus, yang langsung menuju kepada keridaan Allah.

Ayat 8

Karunia dan anugerah itu semata-mata kemurahan dari Allah dan merupakan nikmat dari-Nya. Allah Maha Mengetahui siapa yang berhak menerima petunjuk dan siapa yang terkena kesesatan, dan Mahabijaksana dalam mengatur segala urusan makhluk-Nya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 9-10


Tafsir Surah Al-Hujurat ayat 3-4

0
Tafsir Surah Al-Hujurat
Tafsir Surah Al-Hujurat

Melanjuti tentang tata cara bersikap sopan pada tafsir sebelumnya, Tafsir Surah Al-Hujurat ayat 3-4 ini menegaskan bahwa bagi mereka yang telah berusaha untuk melatih diri untuk merendahkan suaranya di sisi Rasulullah akan mendapat ampunan dan pahala yang sangat besar.

Selain itu Tafsir Surah Al-Hujurat ayat 3-4 menerangkan tentang asbab an-nuzul dari turunnya ayat 4 surah Al-Hujurat yang disebabkan datangnya Bani Tamim sebanyak 70 orang untuk menemui Rasulullah.

Selengkapnya mengenai tata krama yang dianjurkan Allah swt tertulis lengkap dalam Tafsir Surah Al-Hujurat ayat 3-4 di bawah ini…


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 1-2


Ayat 3

Sesungguhnya orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah saw setelah melatih diri dengan berbagai latihan yang ketat lagi berat, mereka itulah orang yang telah diuji hatinya oleh Allah untuk bertakwa. Mereka telah berhasil menyucikan diri mereka dengan berbagai usaha dan kesadaran serta bagi mereka ampunan dan pahala yang sangat besar.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Mujahid bahwa ada sebuah pertanyaan tertulis yang disampaikan kepada Umar, “Wahai Amirul Muk-minin, ada seorang laki-laki yang tidak suka akan kemaksiatan dan tidak mengerjakannya, dan seorang laki-laki lagi yang hatinya cenderung kepada kemaksiatan, tetapi ia tidak mengerjakannya. Manakah di antara kedua orang itu yang paling baik?”

Umar menjawab dengan tulisan pula, “Sesungguhnya orang yang hatinya cenderung kepada kemaksiatan, akan tetapi tidak mengerjakannya, mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.”


Baca Juga: Akhlak Nabi saw yang Mempersatukan Umat dan Tafsir Surat At-Taubah Ayat 107-109


Ayat 4

Dalam ayat ini, Allah memberikan pelajaran kesopanan dan tata krama dalam menghadapi Rasulullah saw, terutama dalam mengadakan percakapan dengan beliau. Rasulullah saw selama di Medinah tinggal di sebuah rumah di samping masjid Medinah. Di dalam rumah itu terdapat kamar-kamar untuk istri-istri nabi. Bangunan tersebut dibuat sangat sederhana, atapnya rendah sekali sehingga mudah disentuh oleh tangan dan pintu-pintunya terdiri dari gantungan kulit binatang yang berbulu.

Pada masa Khalifah al-Walid bin ‘Abd al-Malik, kamar-kamar itu dibongkar dan dijadikan halaman masjid. Hal itu sangat menyedihkan kaum mukminin di Medinah. Sa’id bin al-Musayyab merespon dan berkata, “Saya suka sekali jika kamar-kamar istri Nabi itu tetap berdiri dan tidak dirombak, agar generasi mendatang dari penduduk Medinah dan orang-orang yang datang dapat meneladani kesederhanaan Nabi Muhammad dalam mengatur rumah tangganya.”

Ibnu Ishaq menerangkan dalam kitab Sirah-nya bahwa tahun kesembilan Hijrah itu merupakan tahun mengalirnya para delegasi dari seluruh Jazirah Arab. Setelah Pembebasan Mekah, seusai Perang Tabuk, dan Kabilah Tsaqif dari Taif masuk Islam dan ikut membaiat Rasulullah saw, maka datanglah dengan berduyun-duyun berbagai delegasi ke Medinah untuk menemui Rasulullah saw.

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Zaid bin Arqam bahwa sekumpulan orang-orang Badui berkata kepada kawan-kawannya, “Marilah kita menemui laki-laki (Muhammad) itu, apabila ia benar-benar seorang nabi, maka kitalah yang paling bahagia beserta dia, dan jika ia seorang raja maka kita pun akan beruntung dapat hidup di sampingnya.” Maka datanglah Zaid bin Arqam kepada Rasulullah saw menyampaikan berita itu lalu mereka datang beramai-ramai menemui beliau yang kebetulan sedang berada di kamar salah seorang istrinya. Mereka memanggil dengan suara yang lantang sekali, “Ya Muhammad, ya Muhammad, keluarlah dari kamarmu untuk berjumpa dengan kami karena pujian kami sangat indah dan celaan kami sangat menusuk perasaan.” Nabi Muhammad saw keluar dari kamar istrinya untuk menemui mereka, dan turunlah ayat ini.


Baca Juga: Ngaji Gus Baha: Etika Bertamu Saat Berkunjung ke Rumah Orang Lain


Menurut Qatadah, rombongan sebanyak tujuh puluh orang itu adalah dari kabilah Bani Tamim. Mereka berkata, “Kami ini dari Bani Tamim, kami datang ke sini membawa pujangga-pujangga kami dalam bidang syair dan pidato untuk bertanding dengan penyair-penyair kamu.” Nabi menjawab, “Kami tidak diutus untuk mengemukakan syair dan kami tidak diutus untuk memperlihatkan kesombongan, tetapi bila kamu mau mencoba, boleh kemukakan syairmu itu.” Maka tampillah salah seorang pemuda di antara mereka membangga-banggakan kaumnya dengan berbagai keutamaan. Nabi Muhammad menampilkan Hassan bin Tsabit untuk menjawab syair mereka dan ternyata Hassan dapat menundukkan mereka semuanya. Setelah mereka mengakui keunggulan Hassan, mereka lalu mendekati Rasulullah saw dan mengucapkan dua kalimat syahadat sekaligus masuk Islam.

Kebijaksanaan Nabi Muhammad dalam menghadapi delegasi dari Bani Tamim yang tidak sopan itu akhirnya berkesudahan dengan baik. Sebelum pulang, mereka lebih dahulu telah mendapat petunjuk tentang jalan yang benar dan kesopanan dalam pergaulan. Dengan tegas sekali Allah menerangkan bahwa orang-orang yang memanggil Nabi supaya keluar kamar istrinya yang ada di samping masjid Medinah, kebanyakan mereka itu bodoh, tidak mengetahui kesopanan dan tata krama dalam mengadakan kunjungan kehormatan kepada seorang kepala negara apalagi seorang nabi. Tata cara yang dikemukakan ayat ini sekarang dikenal sebagai protokoler dan security (keamanan). Dari ayat ini dapat pula dipahami bahwa agama Islam sejak dahulu sudah mengatur kode etik dengan maksud memberikan penghormatan yang pantas kepada pembesar yang dikunjungi.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 5-8


Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 1-2

0
Tafsir Surah Al-Hujurat
Tafsir Surah Al-Hujurat

Awal dari tafsir surah Al-Hujurat, khususnya dalam Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 1-2 ini merupakan panduan bagi kaum Muslimin agar bersikap sopan kepada Rasulullah. Sebagaimana contohnya adalah jangan mendahului Allah dan Rasul dalam menentukan suatu hukum atau pendapat.

Adapun sahabat yang menjadi contoh dalam Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 1-2 ini dalam hal memutuskan pendapat adalah Mu’adz bin Jabal. Sedangkan contoh untuk merendahkan suara saat berbicara dengan Nabi Muhammad adalah sahabat Abu Bakar dan Tsabit bin Qais.

Demikianlah gambaran akhlaq al karimah yang dicontohkan dalam Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 1-2.


Baca Juga: Kriteria Akhlak Mulia dalam Islam dan Empat Sifat Sebagai Pilarnya


Ayat 1

Pada ayat ini, Allah mengajarkan kesopanan kepada kaum Muslimin ketika berhadapan dengan Rasulullah saw dalam hal perbuatan dan percakapan. Allah memperingatkan kaum mukminin supaya jangan mendahului Allah dan rasul-Nya dalam menentukan suatu hukum atau pendapat.

Mereka dilarang memutuskan suatu perkara sebelum membahas dan meneliti lebih dahulu hukum Allah dan (atau) ketentuan dari rasul-Nya terhadap masalah itu. Hal ini bertujuan agar keputusan mereka tidak menyalahi apalagi bertentangan dengan syariat Islam, sehingga dapat menimbulkan kemurkaan Allah.

Yang demikian ini sejalan dengan yang dialami oleh sahabat Nabi Muhammad yaitu Mu’adz bin Jabal ketika akan diutus ke negeri Yaman. Rasulullah saw bertanya, “Kamu akan memberi keputusan dengan apa?” Dijawab oleh Mu’adz, “Dengan kitab Allah.” Nabi bertanya lagi, “Jika tidak kamu jumpai dalam kitab Allah, bagaimana?” Mu’adz menjawab, “Dengan Sunah Rasulullah.” Nabi Muhammad bertanya lagi, “Jika dalam Sunah Rasulullah tidak kamu jumpai, bagaimana?” Mu’adz menjawab, “Aku akan ijtihad dengan pikiranku.” Lalu Nabi Muhammad saw menepuk dada Mu’adz seraya berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan rasul-Nya tentang apa yang diridai Allah dan rasul-Nya.” (Riwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Mu’adz bin Jabal).

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kepada kaum mukminin supaya melaksanakan perintah Allah, menjauhi larangan-Nya, dan tidak tergesa-gesa melakukan perbuatan atau mengemukakan pendapat dengan mendahului Al-Qur’an dan hadis Nabi yang ada hubungannya dengan sebab turunnya ayat ini. Tersebut dalam kitab al-Iklil bahwa mereka dilarang menyembelih kurban pada hari Raya Idul Adha sebelum Nabi me-nyembelih, dan dilarang berpuasa pada hari yang diragukan, seperti apakah telah datang awal Ramadan atau belum, sebelum jelas hasil ijtihad untuk penetapannya. Kemudian Allah memerintahkan supaya mereka tetap bertakwa kepada-Nya karena Allah Maha Mendengar segala percakapan dan Maha Mengetahui segala yang terkandung dalam hati hamba-hamba-Nya.


Baca Juga: Tafsir Surat An-Nisa Ayat 36: Allah Tidak Menyukai Sifat Sombong dan Angkuh


Ayat 2

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Ibnu Abi Mulaikah bahwa ‘Abdullah bin Zubair memberitahukan kepadanya bahwa telah datang satu rombongan dari Kabilah Bani Tamim kepada Rasulullah saw. Abu Bakar berkata, “Rombongan ini hendaknya diketuai oleh al-Qa’qa’ bin Ma’bad.” ‘Umar bin Khattab berkata, “Hendaknya diketuai oleh al-Aqra’ bin Habis.” Abu Bakar membantah, “Kamu tidak bermaksud lain kecuali menentang aku.” ‘Umar menjawab, “Saya tidak bermaksud menentangmu.” Maka timbullah perbedaan pendapat antara Abu Bakar dan ‘Umar sehingga suara mereka kedengarannya bertambah keras, maka turunlah ayat ini. Sejak itu, bila Abu Bakar berbicara dengan Nabi Muhammad, suaranya direndahkan sekali seperti bisikan saja, demikian pula ‘Umar. Oleh karena sangat halus suaranya, hampir-hampir tak terdengar, sehingga sering ditanyakan lagi apa yang diucapkannya itu.

 

Mereka sama-sama memahami bahwa ayat-ayat tersebut sengaja diturunkan untuk memelihara kehormatan Nabi Muhammad. Setelah ayat ini turun, Tsabit bin Qais tidak pernah datang lagi menghadiri majelis Rasulullah saw. Ketika ditanya oleh Nabi tentang sebabnya, Tsabit menjawab, “Ya Rasulullah, telah diturunkan ayat ini dan saya adalah seorang yang selalu berbicara keras dan nyaring. Saya merasa khawatir kalau-kalau pahala saya akan dihapus sebagai akibat kebiasaan saya itu.” Nabi Muhammad menjawab, “Engkau lain sekali, engkau hidup dalam kebaikan dan insya Allah akan mati dalam kebaikan pula, engkau termasuk ahli surga.” Tsabit menjawab, “Saya sangat senang karena berita yang menggembirakan itu, dan saya tidak akan mengeraskan suara saya terhadap Nabi untuk selama-lamanya.” (Riwayat al-Bukhari dari Ibnu Abi Mulaikah). Maka turunlah ayat berikutnya, yaitu ayat ke-3 dari Surah al-Hujurat.

 

Dari paparan di atas, dapat dipahami bagaimana Allah mengajarkan kepada kaum mukminin kesopanan dalam percakapan ketika berhadapan dengan Nabi Muhammad. Allah melarang kaum mukminin meninggikan suara mereka lebih dari suara Nabi. Mereka dilarang untuk berkata-kata kepada Nabi dengan suara keras karena perbuatan seperti itu tidak layak menurut kesopanan dan dapat menyinggung perasaan Nabi. Terutama jika dalam ucapan-ucapan yang tidak sopan itu tersimpan unsur-unsur cemoohan atau penghinaan yang menyakitkan hati Nabi dan dapat menyeret serta menjerumuskan orangnya kepada kekafiran, sehingga mengakibatkan hilang dan gugurnya segala pahala kebaikan mereka itu di masa lampau, padahal semuanya itu terjadi tanpa disadarinya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 3-4


Belajar Memperbaiki Kesalahan dari Kisah Nabi Adam

0
Belajar Memperbaiki Kesalahan dari Kisah Nabi Adam
Belajar dari kesalahan

Salah satu episode pembuka kehidupan manusia bermula dari kisah tentang kesalahan. Sebagaimana diketahui Nabi Adam dan Ibu Hawa diturunkan ke muka bumi karena gagal mengelakkan diri dari tipu muslihat Iblis. Mereka mendekati pohon dan mencicipi buah yang Allah telah melarangnya yang menyebabkan segala nikmat yang dianugerahkan-Nya kepada keduanya sewaktu bertempat tinggal di surga dicabut seketika.

Nabi Adam mengakui, menyesali kesalahan, dan menerima serta menjalankan apa yang ditetapkan oleh Allah pada dirinya. Ia tidak menyalahkan Iblis yang telah menggelincirkannya. Manusia pertama di dunia ini juga tidak meratapi nasibnya. Sebaliknya, dia memohon ampun kepada Allah dan terus menerus memperbaiki diri. Caranya dalam memperbaiki kesalahannya ini memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi umat manusia.

Kisah Nabi Adam dan Ibu Hawa dalam Alquran

Diceritakan dalam Q.S. Ala’raf: 22, ketika Nabi Adam dan istrinya mencicipi buah terlarang tersebut, Allah berseru kepada keduanya sebagai bentuk peringatan dan teguran, “Bukankah Aku telah melarang kamu dari pohon itu dan Aku telah mengatakan bahwa sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?”

Dinarasikan lebih lanjut dalam kitab Tafsir al-Qurthubi (juz VII, h. 180) bahwa Allah berfirman, “Bukankah telah dibebaskan bagimu memilih seluruh dedaunan di dalam surga ini daripada hanya satu pohon tersebut?” Nabi Adam menjawab, “Demi kemuliaan Engkau, benar. Akan tetapi, aku sama sekali tidak menyangka akan ada makhluk Engkau yang bersumpah atas nama-Mu padahal dia berbohong.” Lalu Allah berfirman lagi, “Maka demi kemuliaan-Ku, Aku benar-benar akan menurunkanmu ke bumi kemudian kamu tidak akan hidup kecuali dengan bekerja keras.”

Baca juga: Makna Tersirat dari Pelanggaran Nabi Adam dan Hawa Makan Buah Khuldi di Surga

Ada yang menarik dari kisah di atas, bahwa alasan Nabi Adam mau mengikuti bujuk rayu Iblis dikatakan Iblis bersumpah atas nama Allah. Sebab sikap hormat dan patuh Nabi Adam kepada Tuhannya, ketika dirinya mendengar asma-Nya itu terucap, ia akhirnya tertipu dan menuruti perintah Iblis yang sebenaranya telah berbohong. Ini sebagaimana penjelasan dalam kitab Tafsir Jami’ al-Bayan (juz XII, h. 351).

Selain menggunakan Nama Allah, Iblis menguatkan lagi sumpahnya dengan perkataannya, “Sesungguhnya aku diciptakan sebelum kalian berdua dan aku lebih tahu daripada kalian berdua. Ikutilah nasihatku, maka kalian akan mendapat petunjuk.” Karena bisikan disertai sumpah yang mengatasnamakan Allah itulah, Iblis berhasil melakukan tipu daya terhadap Nabi Adam dan Hawa.

Hukuman yang Allah berikan kepada Nabi Adam dan istrinya, tidak menjadikan beliau memilih jalan pembangkangan ataupun pengingkaran. Akan tetapi, justru pada momen itulah beliau semakin menyandarkan diri kepada Tuhannya dan meminta ampunan atas kesalahannya. Doa yang beliau panjatkan ini kemudian menjadi doa yang sangat sering kita baca sehari-hari, yang tercantum dalam Q.S. Ala’raf: 23.

Baca juga: Ibrah Kisah Nabi Adam Memakan Buah dan Bencana dari Kerusakan Alam

Buya Hamka menguraikan doa pada ayat tersebut dengan apik: “Keduanya menjawab, ‘Wahai Tuhan kami! Kami telah menganiaya diri kami.’ Inilah doa dan munajat kepada Ilahi yang telah menyatakan pengakuan kesalahan. Kami telah melanggar larangan. Sekarang, tahulah kami bahwa kami telah menganiaya diri, terasa oleh kami sekarang penderitaan batin kami sendiri. Oleh karena itu ampunan Engkaulah yang kami harapkan lagi.”

“Dan jika tidaklah Engkau ampuni kami dan Engkau nahmati kami, sesungguhnya jadilah kami dari orang-orang yang rugi.” Kami telah menganiaya diri kami sendiri. Telah nyata kelemahan kami. Maka kalau tidaklah Engkau ampuni dosa kami yang telah telanjur itu dan kalau tidaklah Engkau beri rahmat bagi kami dengan petunjuk dan hidayah sehingga buat selanjutnya kami hati-hati, niscaya rugilah kami, jiwa kami takut akan kerugian itu tetapi jalan lain untuk membangkitkan jiwa kembali kepada kebahagiaan dan kemenangan, tidak ada. Jalan hanya satu, yaitu kembali ke dalam perlindungan Engkau, berjalan di atas jalan Engkau.” (Tafsir al-Azhar, juz VIII, h. 193).

Menggali Ibrah: Manusia di antara Salah dan Ampunan

Sudah menjadi sunnatullah bahwa watak dasar manusia ialah sering berbuat kesalahan dan kelalaian. Manusia menyadari bahwa kehidupan dunia ini bukanlah hal yang mudah untuk dijalani. Ada banyak rintangan, tantangan, bahkan jebakan yang seringkali membuatnya terlena dengan apa yang sebenarnya menjadi tujuan dalam hidupnya. Banyak aspek dari diri manusia yang selalu ingin keluar dari rambu-rambu yang sudah Allah tetapkan. Ketidakmampuan menjaga diri ketika berhadapan dengan aturan Allah adalah realitas yang menimpa pada kebanyakan mereka.

Rasulullah saw. telah menyampaikannya dalam sebuah hadis.

 كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ

“Setiap manusia pasti berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah orang yang bertobat.” (H.R. Tirmidzi).

Bahwa sebaik-baik manusia adalah yang memperbaiki dirinya dari kesalahan yang telah ia lakukan. Hal ini relevan dengan kisah Nabi Adam dan istrinya. Kisah tentang kesalahan yang telah Nabi Adam dan istrinya lakukan menuju sebuah kisah ketaatan yang heroic; mereka bergerak melakukan perbaikan atas kelalaian yang mereka perbuat.

Baca juga: Nilai Kesetaraan hingga Evaluasi Diri; Qiraah Maqashidiyah Kisah Nabi Adam

Nabi Adam mengajarkan dengan baik persoalan tersebut. Hukuman yang Allah berikan kepada keduanya tidak menjadikan beliau memilih jalan pembangkangan ataupun pengingkaran, bahkan beliau tidak menyalahkan setan yang telah menjerumuskan; tak mencaci maki, menggerutu, dan menyalahkan pihak lain atas tipu dayanya. Namun, justru momen tersebut yang menjadikan Nabi Adam lebih berpasrah menyandarkan diri dan meminta ampunan atas kesalahannya.

Dapat dipahami bahwa kelalaian dalam hal ini berkonotasi negatif. Justru pada titik itulah hubungan ketergantungan seseorang dengan Allah seharusnya mulai dibangun dengan erat, seperti halnya Nabi Adam dan Ibu Hawa. Posisinya sebagai hamba yang penuh dengan kelalaian, kealpaan, dan dosa, sangat membutuhkan dan harus terus bergantung kepada Allah sebagai Tuhan yang Maha Memaafkan dan Mengampuni dosa.

Baca juga: Benarkah Nabi Adam a.s. Penghuni Pertama Bumi?

Toh, seluruh bagian dari hidup manusia sepenuhnya bersandar pada “pemberian” Allah selaku Tuhan yang menciptakan. Yang memberi kita rezeki tidak lain Allah; yang memberi solusi atas setiap masalah pun Allah. Adakah yang mampu menggantikan posisi tersebut? Tidak ada.

Karena itulah, Nabi Adam sungguh telah memberi teladan bahwa bagi siapa saja yang sedang jatuh dalam jurang kelalaian, tidak boleh ada kata menyerah untuk memohon ampunan dan rahmat-Nya. Berusaha untuk tidak mengulangi kesalahan, dan bersabar terhadapnya, juga tidak pernah putus asa untuk menyandarkan diri dan berharap kepada-Nya. Sebab, hubungan dengan Allah adalah prioritas utama manusia selaku makhluk-Nya. Bayangkan betapa sengsaranya apabila Allah tidak lagi melihat seseorang sebagai hamba-Nya. []