Beranda blog Halaman 84

Tafsir Surah Ad-Duha Ayat 11 dan Surah Yusuf Ayat 5

0
tafsir surah ad-Duha ayat 11 dan surah Yusuf ayat 5
tafsir surah ad-Duha ayat 11 dan surah Yusuf ayat 5

Tahadduts bi an-ni’mah (menceritakan nikmat yang Allah berikan) sepertinya sudah dianggap sebagai anjuran dalam bersosial yang berlaku umum di masyarakat. Menariknya, dalam Alquran ada perintah lain berkaitan dengan nikmat yang secara sekilas bertentangan dengan anjuran tersebut. Di surah Ad-Duha ayat 11, Alquran memerintahkan tahadduts bi an-ni’mah. Di sisi lain, surah Yusuf ayat 5, Alquran seakan melarang untuk menceritakan nikmat.

Perintah menceritakan nikmat

Perintah menceritakan nikmat atau lebih masyhur dengan sebutan tahadduts bi an-ni’mah terdapat dalam surah ad-Duha ayat 11:

وأمّا بِنِعْمَةِ رَبّكَ فَحَدّثْ

“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu sebutkan”. (QS. ad-Dhuha: 11)

Al-Qurthubi menjelaskan, pihak yang menjadi obyek pembicaraan (mukhathab) dalam ayat ini adalah Nabi Muhammad, namun hukumnya menyasar manusia secara umum. (Tafsir al-Qurthubi, 20/102)

Kisah tentang Abu Firas Abdullah bin Ghalib menegaskan tentang contoh tahadduts bin ni’mah ini. Syahdan di suatu pagi, dia berkata, “Semalam Allah telah memberikan karunia-Nya kepadaku. Aku membaca (al-Qur’an), Shalat sekian rakaat, berdzikir kepada Allah sekian waktu, dan aku melakukan ini itu.”

Mendengar itu, seorang sahabatnya mengatakan, “Wahai Abu Firas, orang seperti Anda seharusnya tidak mengatakan itu.” Abu Firas menjawab, “Allah memerintahkan agar manusia ber-tahadduts bin-ni’mah, sedangkan kamu melarangnya.” (Tafsir al-Qurthubi, 20/102).

Akan tetapi, Syaikh Wahbah az-Zuhaily dalam at-Tafsir al-Munir saat menafsirkan surah ad-Dhuha ayat 11, beliau menyampaikan kekhawatirannya tentang fitnah dan ‘ujub (memuji diri sendiri sendiri) yang akan timbul dari tahadduts bi an-ni’mah. Oleh karena itu, menurutnya nikmat yang diperoleh oleh seseorang itu lebih baik tidak perlu diceritakan ke orang lain.

Mufasir yang lain, sebut saja Syaikh Abdurrahman As-Sa’di. Dalam tafsirnya beliau menulis, “Pujilah Allah atas kenikmatan agama dan kenikmatan dunia. Sebutlah jenis kenikmatan itu jika di dalamnya terdapat maslahat. Jika tidak, maka sebutlah nikmat-nikmat Allah secara umum.”

Baca Juga: Tahadduts bi al-Ni’mah sebagai Ekspresi Rasa Syukur

Perintah untu tidak menceritakan nikmat

Adapun perintah untuk tidak menceritakan nikmat terdapat dalam surah Yusuf ayat 5,

قَالَ يٰبُنَيَّ لَا تَقْصُصْ رُءْيَاكَ عَلٰٓى اِخْوَتِكَ فَيَكِيْدُوْا لَكَ كَيْدًا ۗاِنَّ الشَّيْطٰنَ لِلْاِنْسَانِ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

“Dia (ayahnya) berkata, “Wahai anakku! Janganlah engkau ceritakan mimpimu kepada saudara-saudaramu, mereka akan membuat tipu daya (untuk membinasakan)mu. Sungguh, setan itu musuh yang jelas bagi manusia.” (Q.S. Yusuf ayat 5)

Imam al-Razi dalam tafsirnya menjelaskan, sebelum Nabi Yusuf menceritakan perihal mimpi tersebut, Nabi Ya’qub sudah mengetahui adanya gelagat rasa iri dari anak-anaknya yang lain terhadap Nabi Yusuf. Oleh karena itu Nabi Ya’qub mengetahui, hal terbaik yang bisa beliau sarankan kepada Nabi Yusuf adalah dengan menyembunyikan mimpi tersebut.

Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa firman Allah di atas mengisyaratkan kebolehan menyembunyikan nikmat. Hal ini dikhawatirkan memicu dengki dan kebencian seseorang. Cara paling aman agar terhindar dari kedengkian seseorang adalah menyembunyikan nikmat yang diperolehnya. (Fatawa Ibnu Taimiyah: 18/15).

Penjelasan

Tahadduts bi an-ni’mah (menceritakan nikmat) dalam kitab Firdaus an-Na’im harus memenuhi tiga syarat, yaitu (1) apabila bertujuan untuk bersyukur, (2) apabila bertujuan agar ditiru oleh orang lain, dan (3) apabila selamat dari rasa sombong.

Dalam Tafsir Mujahid, yang dimaksud tahadduts bi an-ni’mah yaitu sebuah amal yang dilakukan seseorang kemudian dia menceritakannya terhadap saudara yang dipercaya dengan tujuan dia mampu meniru dan melakukan hal serupa.

Tentunya, tahadduts bi an-ni’mah ini memiliki batasan. Ia tidak sama dengan riya’. Apabila ingin dipuji manusia, maka termasuk riya’, kalau ingin bersyukur pada Allah dan ingin ditambah nikmatnya, maka termasuk tahaduts bi an-ni’mah.

Artinya, inti dari menceritakan nikmat di sini adalah manifestasi dari rasa syukur. Menurut Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulum ad-Din, tujuan menceritakan nikmat tidak lain adalah untuk menunjukan rasa syukur dan memotivasi orang lain untuk melakukan hal yang sama.

Lantas apa hubungannya tahadduts bin ni’mah dalam surah adh-Dhuha dengan surah Yusuf ayat 5? Surah Yusuf ayat 5 mengingatkan bahaya hasad (dengki), yang faktornya dilatarbelakangi oleh menampakan nikmat dan menceritakannya yang dikhawatirkan menumbuhkan hasad.

Satu hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy dan Abu Nu’aim juga berkaitan dengan kehati-hatian dalam menceritakan pencapaian seseorang. Hadis ini juga dikutip oleh Ibn Katsir dalam tafsirnya.

اِسْتَعِيْنُوْا عَلَى قَضَاءِ الْحَوَائِجِ بِكِتْمَانِهَا، فَإِنَّ كُلَّ ذِيْ نِعْمَةٍ مَحْسُوْدٌ

“Berusahalah memperoleh kebutuhanmu dengan cara menyembunyikannya. Sesungguhnya setiap nikmat memiliki pendengkinya tersendiri.” (HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir No. 183)

Membaca dua pendapat dan argumen yang berbeda seperti disinggung di awal, barangkali tidak ada pertentangan antara pesan keduanya. Yang pertama, perintah menceritakan nikmat tentu sebagai wujud syukur dengan syarat tanpa ada rasa kesombongan. Artinya, menampakan nikmat tentu dibolehkan, selama niatnya benar dalam rangka bersyukur dan memotivasi orang lain.

Kedua, menyembunyikan nikmat sebagai cara aman dari efek buruk menampakkannya. Beberapa ulama mengingatkan kita agar berhati-hati dari dampak buruk menampakkan nikmat, sehingga beberapa dari mereka lebih menyarankan untuk menyembunyikan nikmat, sebagaimana hikmah dari kisah Nabi Yusuf dan sudara-saudaranya.

Baca Juga: Penegasan Alquran Terkait Perbedaan antara Pamer dan Tahadduts bin Ni’mah

Kesimpulan dari diskusi tahadduts bi an-ni’mah adalah kembali pada niat. Hal itu boleh dilkakukan dengan segala batasan-batasan yang telah disebutkan. Batasan dan aturan ini diperlukan untuk terhindar dari riya’ dan ujub, dan hal lain yang tidak dinginkan, misal iri dan dengki dari orang lain.

Bila tahadduts bi an-ni’mah dirasa bisa mendatangkan maslahat, maka silakan dilakukan. Namun jika malah menghadirkan mafsadat, maka lebih baik berhati-hati, tidak tahadduts bi an-ni’mah sepertinya menjadi pilihan yang lebih aman. Wallah a’lam

Nasihat Memberikah Upah Pekerja dalam Al-Quran

0
Upah Pekerja
Upah Pekerja

Memperoleh upah ialah tujuan dari seseorang melakukan pekerjaan. Upah menjadi peran yang penting dalam hubungan tersebut, pentingnya mekanisme pengupahan tersebut yang kemudian membuat pemerintah turut memberikan berbagai kebijakan yang dituankan dalam perundang-undangan. Teknis upah pekerja sudah diatur dalam PP. No 78  Tahun 2015, yang dalam pasal 18 ayat 1 menyebutkan, pengusahan wajib membayar upah pada waktu yang telah diperjanjikan antara pengusaha dengan pekerja.

Dalam perjalanannya upah mempunyai yang sangat sensitif terhadap pendorong bagi pekerja untuk lebih produktif dalam bekerja. Tidak hanya itu keberadaan juga bisa menjadi problematika apabila yang didapat oleh pekerja tidak sesuai.

Upah dalam Perspektif Agama Islam merupakan imbalan (compensation) yang diperoleh seseorang melalui pekerjaan yang ada nilai manfaat didalamnya, bentuk imbalan bisa berbentuk maeteri didunia dan juga dalam bentuk imbalan pahala di akhirat kelak. Islam memaknai upah lebih luas tidak hanya mencakup duniawi dan ukhrawi.

Menjelaskan Jenis Pekerjaan Sebelum Memberikan Upah

Jika pada kajian muamalah proses terjadinya transaksi diantara barang dan alat pembayaran (uang) dikenal dengan istilah saman/harga. Sedangkan jika yang terjadi antara jasa atau tenaga manusia dan uang dikenal dengan istilah ujrah/upah. Mereka yang telah melakukan suatu pekerjaan atau profesi tertentu sejatinya telah melakukan transaksi jasa yang diberikan yang megharapkan ujrah didalamnya.

Baca Juga: Ketika Allah Mengajarkan Nabi Daud tentang Kepemimpinan

Pada perjalannya banyak sekali fenomena yang terkadang pekerja/buruh merasa dirugikan dikarenakan pemberian upah pekerja yang kurang sesuai dengan apa yang telah diusahakan. Pada kasus seperti ini yang dapat memperburuk kondisi hubungan antara pengusaha dan pekerjanya. Alangkah lebih baiknya jika jenis pekerjaan dan ringan atau tidaknya pekerjaan tersebut dan ketentuan-ketentuan lain dapat disampaikan diawal agar tidak terjadi gesekan dan perselisihan dikemudian hari

Salah satu nasihat sebelum mempekerjakan seseorang dan memberikan upah Alquran dalam Surah Al-Qashash ayat 26 menjelaskan bahwasannya, Allah Swt berfirman;

قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَاأَبَتِ اسْتَأْجِرْهُۖ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ  (٢٦)

“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”

Ayat diatas mengandung cerita tentang nabi Musa didalamnya, dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwasannya ketika anak perempuan memberikan usul kepada ayahnya agar memekerjakan ia (nabi Musa) untuk menggembalakan ternak kambing mereka.

Kemudian, wanita tersebut juga mengatakan “sesungguhnya orang yang paling yang kamu ambil untuk berkerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dipercaya”. Setelah itu muncul pertanyaan dari ayahnya bahwasannya “Apakah yang mendorongmu menilainya seperti itu?”. Wanita tersebut menjawab “sesungguhnya ia dapat mengangkat batu besar yang tidak dapat diangkat kecuali oleh 10 orang laki-laki”. ( Tafsir Ibnu Katsir Jilid 6). Dari hal tersebut terlihat bahwasannya tedapat anjuran agar memberikan penjelasan terkait jenis pekerjaan terlebih dahulu sebelum mempekerjakan orang lain, dengan adanya kejelasan kerja dan nilai manfaatnya maka akan diketahui nilai ujrah yang diberikan.

Mekanisme Pengupahan Dalam QS. Al-Qashash Ayat 27

Agama Islam dalam mekanisme pemberian upah pekerja, tidak memperkenankan diskriminasi, upah yang diperoleh harus sesuai dengan usaha dan nilai manfaat didalamnya juga benar tidak bertentangan dengan ketentuan syariah.

Salah satu nasihat mekanisme upah, Allah jelaskan dalam QS. Al-Qashash ayat 27,

قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَىٰ أَن تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍۖ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِندِكَۖ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَۚ سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِينَ  (٢٧)

“Berkatalah dia (Syu’aib), sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.”

Dalam buku Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi, Azhari Akmal Tarigan menggambarkan bahwasannya kata ta’jurani dapat dimaknai sebagai “engkau mengmbil upah”. Ketika bekerja nabi Syuaib mengisyaratkan memberikan kontrak kepada Musa bisa 8 tahun atau bisa juga 10 Tahun. Kemudian kata wa ma uridu an asyuqqa ‘alaika menandakan tidak ada paksaan dalam bekerja, maksudnya ialah bentuk pekerjaan dan upah tidak boleh memberatkan bagi pekerja, serta harus ada kerelaan atas apa yang diperjanjikan.

Atas dasar hal diatas terlihat bahwasannya tidak hanya pekerjaan yang disoroti ketidakbolehan memberatkannya tetapi juga upah, hal ini berarti mekanisme pengupahan harus proposional sesuai dengan nilai jasa dan manfaat atas pekerjaan yang dilakukan. Selain itu juga dianjurkan agar rela.

Baca Juga: Beberapa Makna ‘Kufr’ dalam Alquran

Penelitian dari Armansyah Waliam tentang Upah Berkeadilan ditinjau dari Hukum Islam bahwasannya menjelaskan kegiatan muamamalah dalam agama Islam harus jelas disetiap transaksinya, termasuk dalam konteks kerja dan upah. Mulai dari pekerjaan yang diberikan, waktu atau durasi pekerjaan, serta jumlah upah yang diterima pekerja (QS. Al-Qashash; 26-27).

Kesesuaian pengupahan pada dasarnya ialah upah akan diperoleh berdasarkan jenis dan tanggungjawab pekerjaannya. Disatu sisi para pekerja perlu melihat keadaan perusahaan, sebab menjadi tidak baik ketika menuntut sesuatu ke pihak lain yang melebihi kemampuannya

Yusuf Qardhawi pun mengatakan, sesungguhnya pekerja hanya punya hak upah jikalau telah menyelesaikan pekerjaan sesuai yang ada pada kesepakatan, karena setiap yang menjalani perikatan akan terikat dengan syarat-syarat yang ada antar mereka, terkecuali syarat yang mengaramkan yang halal dan sebaliknya. Oleh karena itu pekerja dengan profesi apapun berhak atas upah setalah melakukan pekerjaan, dan sebaliknya pengusaha atau perusahaan berkewajiban membayarnya. Wallahu A’lam.

Mengenal Hasyiah al-Shawi, Kitab Penjelas Tafsir al-Jalalain

0
Mengenal Hasyiah al-Shawi, Kitab Penjelas Tafsir al-Jalalain
Kitab Hasyiah al-Shawi.

Tafsir al-Jalalain ditulis oleh dua orang Jalal al-Din, yaitu al-Mahalli dan al-Suyuthi. Keduanya memiliki hubungan guru dan murid. Al-Mahalli adalah gurunya dan al-Suyuthi adalah muridnya. Al-Mahalli memulai penafsiran pada Al-Kahfi sampai dengan An-Nas ditambah dengan Al-Fatihah. Sementara al-Suyuthi memulai dari Al-Baqarah sampai dengan Al-Isra. Dalam menulisnya, al-Suyuthi mengikuti metode yang diterapkan oleh al-Mahalli dengan corak yang ringkas, padat, juga dengan beberapa penjelasan kebahasaan. Kitab tafsir ini banyak digunakan di pesantren dan perguruan tinggi keislaman dan dipandang sebagai tafsir dengan corak ijazi (singkat) dan menjadi tafsir pendahuluan sebelum mempelajari tafsir yang lain.  

Tafsir ini telah banyak diberi syarah atau hasyiah oleh beberapa ulama setelahnya. Penjelasan tafsir ditulis oleh al-Karkhi al-Bakri, (w. 1006 H) dalam Majma’ al-Bahrain wa Mathla’ al-Badrainala Tafsir al-Jalalain, al-Azhary al-Jamal (w. 1204 H) dalam Al-Futuhat al-Ilahiyah bi Taudhih al-Jalalain li al-Daqaiq al-Khafiyah, Ahmad bin Muhammad as-Shawi (w. 1241 H) dalam Hasyiah al-Shawi ala al-Jalalain, Usman Jalaluddin al-Kalantani (1880-1952) dalam Anwar al-Huda wa Amthar al-Nada, dan Muhammad Ahmad Kan’an al-Qadhi dalam Qurrah al-Ainain ala Tafsir al-Jalalain. Dari beberapa kitab ini, yang cukup populer di Indonesia adalah karya al-Shawi. Namun, kalau ditelusuri lebih lanjut, akan muncul kitab-kitab lain atau hasil penelitian terhadap kitab ini.  

Baca juga: Tafsir Jalalain dan Sederet Fakta Penting Tentangnya

Latar Belakang Penulisan 

Al-Shawi memiliki nama lengkap Ahmad bin Muhammad al-Shawi al-Misri al-Khalwati, lahir pada 1175 H/1761 M di pinggiran Mesir (Sa’ al-Hijr) dan wafat pada tahun 1241 H/1852 M). Beliau adalah pemimpin ulama al-Azhar yang bermazhab Maliki juga penganut tarekat al-Khalwatiyah. Al-Shawi merupakan ulama yang memiliki banyak karya di bidang fikih, akidah, tafsir, hadis, dan tasawuf.  

Tafsir al-Jalalain dijelaskan oleh beberapa ulama, termasuk salah satunya adalah al-Shawi. Nuansa penafsiran al-Shawi ada yang sama penjelasannya dengan penulis lain dan ada pula yang berbeda. Struktur kebahasaan dibahas oleh al-Shawi berikut dengan beberapa makna istilah yang terkandung di dalamnya. Kitab penjelasan yang ditulisnya tidak bisa dilepaskan dari Syaikh Sulaiman al-Jamal, penyusun penjelasan tafsir al-Jalalain, yang dikenal kitabnya dengan sebutan Hasyiyah al-Jamal. 

Menurutnya, Tafsir al-Jalalain merupakan produk tafsir yang agung dan tinggi derajatnya. Di dalamnya terkumpul beragam makna yang dapat dipelajari dan dianalisis oleh para ahli ilmu. Suatu saat, al-Shawi merasakan adanya dorongan Ilahi untuk menyibukkan diri dalam mempelajarinya sesuai dengan daya kemampuannya. Begitu pun, ia menulis secara ringkas penjelasan dari gurunya, Syaikh Sulaiman al-Jamal, dengan tambahan penjelasan.  

Dalam menulis kitabnya, al-Shawi juga merujuk pada ragam kitab tafsir, yang ia sebut sekitar 20 kitab, seperti al-Baidhawi, hasyiyah al-Baidhawi, al-Khazin, al-Khathib, al-Samin, Abu al-Su’ud, al-Kawayi, al-Bahr, al-Nahr, al-Saqiyah, al-Qurthubi, al-Kasysyaf, Ibn Athiyah, al-Tahbir, dan al-Itqan. Dalam penulisannya, al-Shawi secara umum tidak menghubungkan dengan pemahaman-pemahaman lain dari penyusunnya melainkan sesuai dengan yang dijelaskan oleh penulis yang disebutkan tadi.  

Dalam penulisannya, al-Shawi cukup teliti. Al-Shawi melakukan verifikasi isi kitabnya dari awal sampai akhir sebanyak dua kali. Verifikasi dilakukan terhadap Syaikh Sulaiman al-Jamal, Syaikh Ahmad al-Dardiri, dan Syaikh al-Amir. Beberapa ulama ini dihubungkan dengan keilmuannya dengan al-Hafnawi dan Syaikh al-Sha’idi al-‘Adawi. Syaikh al-Hafnawi dihubungkan dengan Syaikh al-Budairi al-Dimyathi, dari Syaikh ‘Ali al-Syibramalisi, dari Syaikh al-Halabi, dari Syaikh ‘Ali al-Ajhuri, dari Syaikh al-Burhan al-‘Alqami, dari saudaranya yaitu Syaikh Muhammad al-‘Alqami, dari al-Imam al-Suyuthi.  

Rangkaian garis keilmuan ini menunjukkan kredibilitas dan ketelitian al-Shawi dalam menyusun kitab tafsir yang memiliki sanad ilmu sampai pada penulis awal, yaitu al-Imam al-Suyuthi.  

Baca juga: Alasan Tafsir Jalalain Jadi Tafsir Favorit di Pesantren

Corak Penafsiran al-Shawi 

Dalam menjelaskan maksud ayat, al-Shawi menerapkan beragam disiplin ilmu. Dalam kitabnya, dapat ditemukan usul fikih, fikih, nahu, saraf, dan qiraat. Selain itu, penjelasan dengan pendekatan sufistik juga tampak, berhubungan al-Shawi sebagai sufi dan penganut tarekat al-Khalwatiyah. Beragam pendekatan disiplin ilmu yang digunakan menunjukan bahwa al-Shawi termasuk ulama yang menguasai banyak disiplin ilmu.  

Memperhatikan beragam pendekatan ini, al-Shawi cenderung menggunakan metode tahlili. Beliau menjelaskan makna Alquran dengan berbagai aspek yang berkaitan dengannya dan juga dengan penggunaan ragam ilmu yang dikuasainya. Namun, ia tetap merujuk pada urutan mushaf Utsmani.  

Penjelasan terhadap teks Alquran, al-Shawi memulainya dengan uraian kebahasaan terutama dari aspek nahu, saraf, dan maknanya. Contohnya dalam menjelaskan teks tentang penunjukkan tempat, misalnya hadzihi al-qaryah, al-Shawi turut menjelaskan posisi geografis dengan mengutip ragam pendapat dari Mujahid dan Ibnu ‘Abbas. Begitu pula, ia merujuk pada Tafsir al-Khazin 

Dalam menyebutkan ulama yang pemikirannya dikutip, al-Shawi sering tidak menyebutkan nama aslinya. Yang disebutkan adalah gelar seperti al-‘arif, al-mufassir, dan sebagainya. 

Penjelasannya tidak semata-mata hasil pemikirannya. Al-Shawi menyandarkan pada hadis, pendapat sahabat, dan tabiin. Penjelasannya dapat dipandang pula bersentuhan dengan tafsir bi al-ra’y, karena al-Shawi menjelaskan ayat sesuai dengan keilmuan dan pemahamannya meskipun tetap memperhatikan pendapat yang dianggap paling sahih pada ilmu nahu, sharaf, i’rab, dan perbedaan bacaan Alquran. Wallahu a’lam. 

Baca juga: Menelusuri Jejak Tafsir ‘Faidl al-Rahman’ Kiai Sholeh Darat

Tafsir Ahkam: Sumber Dana Perawatan Jenazah

0
Biaya perawatan jenazah
Sumber dana perawatan jenazah

Dalam proses pemakaman seorang muslim, pemerintah hanya memfalitasi warga negaranya dengan petugas pendamping atau biasa dikenal modin. Pemerintah tidak memfalitasi penyediaan kafan serta keperluan perawatan jenazah lainnya yang cukup menyedot banyak biaya. Lalu, sebenarnya siapa yang bertanggung jawab atas segala keperluan perawatan jenazah? Apakah pemerintah yang harus menanggung semua biaya perawatan jenazah, kerabat yang merawat jenazah, atau malah diri jenazah sendiri? Berikut keterangan selengkapnya.

Sumber dana perawatan jenazah

Saat menguraikan tafsir surah Ali Imran ayat 185, Imam al-Qurthubi menjelaskan ulama sepakat bahwa mengafani jenazah hukumnya wajib. al-Qurthubi juga menerangan skema orang yang bertanggung jawab atas pembiayaan perawatan seorang jenazah.

Pertama, apabila si jenazah memiliki harta, maka biaya jenazah diambilkan dari hartanya sendiri. Kedua, apabila si jenazah tidak memiliki harta, maka yang menanggung biaya adalah orang yang berkewajiban menafkahinya, semisal orang tua bila anaknya meninggal, atau anak si jenazah apabila si jenazah adalah manula yang tidak sanggup bekerja. Ketiga, apabila si jenazah tidak memiliki harta atau orang yang menafkahi, maka biaya dibebankan pada kas umat muslim (baitul mal). Keempat, bila tidak tersedia, maka menjadi kewajiban umat muslim secara umum (Tafsir al-Qurthubi/4/299).

Baca juga: Pandangan al-Qurthubi tentang Hukum Memandikan Jenazah

Bagaimana bisa sumber dana pertama justru harta si jenazah sendiri dan bukan pemerintah atau kerabat yang mungkin kelak menjadi ahli waris? Ulama menentukan dana perawatan si jenazah pada harta pribadi si jenazah sendiri, berdasarkan hadis yang diriwayatkan Ibn Abbas:

بَيْنَمَا رَجُلٌ وَاقِفٌ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَفَةَ إذْ وَقَعَ عَنْ رَاحِلَتِهِ فَوَقَصَتْهُ ، فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَكَفِّنُوهُ فِي ثَوْبَيْهِ

“Ada seorang lelaki yang melakukan wukuf bersamaan Nabi melakukan wukuf di Arafah. Lelaki itu tiba-tiba jatuh dari tunggangannya dan meninggal. Hal itu dikabarkan pada Nabi. Lalu Nabi bersabda: “mandikanlah dia dengan air dan daun bidara. Dan kafani dia dengan dua bajunya” (HR. Bukhari, Muslim, dan selainnya).” (al-Bayan/3/39)

Dalam Nailul Authar, Imam al-Syaukani mengutip penjelasan Ibn Mundzir, bahwa hadis ini menunjukkan sumber pertama dalam dana perawatan jenazah adalah harta milik si jenazah itu sendiri. Yaitu harta yang masih utuh dan belum dikurangi hutang yang mungkin ditanggung atau terbagi atas pembagian warisan yang ada. Dalam hadis di atas, harta tersebut berupa 2 baju yang dikenakan jenazah. Sebab, andai sumber dana pertama bukan murni milik si jenazah dan membutuhkan persetujuan pemiliknya, pasti sebelum Nabi memerintahkan agar menjadikan 2 baju orang tersebut menjadi kafan, tentu terlebih dahulu akan menanyakan si jenazah punya hutang atau tidak. (Nail al-Authar/6/157)

Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukum Mengumumkan Berita Kematian

Imam al-Nawawi menjelaskan, penggunakan harta peninggalan jenazah untuk kebutuhan perawatan jenazahnya, harus didahulukan dari kebutuhan menutup hutang si jenazah. Entah apakah dia orang miskin atau kaya. Hal ini mencakup kebutuhan mebeli kain kafan, biaya mengubur, dan lain sebagainya.

Selain itu, andai sebagian ahli waris meminta agar biaya di tanggung oleh harta pribadinya, dan sebagian lain meminta agar biaya diambilkan dari tirkah atau harta peninggalan jenazah, maka hendaknya tetap diambilkan dari harta tirkah. Tujuannya agar tidak menjadi pemicu masalah di antara para ahli waris di kemudian hari (al-Majmu’/5/189)

Kesimpulan

Dari berbagai keterangan di atas dapat diambil pemahaman, bahwa sebenarnya biaya perawatan jenazah tetaplah menjadi tanggung jawab jenazah sendiri. Pada praktiknya, biaya tersebut diambilkan dari harta yang ditinggalka, meskipun sebenarnya jenazah tidak patut disebut bertanggung jawab sebab tidak lagi bernyawa.

Hal ini mengajarkan pada kita untuk tidak menjadi beban hidup orang lain meski sudah meninggal. Selama dirinya masih bisa berusaha untuk merawat dirinya sendiri, maka hendaknya dia mengurus dirinya sendiri. Bahkan kalau bisa, meninggalkan jasa-jasa yang menguntungkan orang lain meski dirinya sudah meninggal. Wallahu a’lam.

Ilmu Qiraah dan Tahfiz Alquran di Pesantren At-Thohiriyah Pelamunan 

0
Ilmu Qiraah dan Tahfiz Alquran di Pesantren At-Thohiriyah Pelamunan 
Pesantren At-Thohiriyah Pelamunan (Sumber: Kobong Pesantren)

Sanad merupakan hal yang vital dalam transmisi ilmu di pesantren. Sanusi dalam tulisannya yang berjudul “Transfer Ilmu di Pesantren”—dimuat dalam Jurnal Ta’lim 11 (1) tahun 2013—mengemukakan bahwa sanad adalah bentuk pertanggungjawaban dan kewenangan transfer ilmu yang valid, yang memberikan kejelasan tentang silsilah suatu ilmu. 

Setiap ilmu yang diajarkan di pesantren, khususnya pesantren berbasis salafiyah atau tradisional, memerlukan sanad yang jelas dan tepercaya. Termasuk dalam ilmu-ilmu tersebut yaitu ilmu qiraah—ilmu baca Alquran—dan tahfiz Alquran. 

Di Desa Pelamunan, Kabupaten Serang, Banten, terdapat Pondok Pesantren Moderat At-Thohiriyah; sebuah pondok pesantren yang melahirkan ahli-ahli qiraah serta memiliki pengkhususan dalam tahfiz Alquran. Pesantren tersebut didirikan oleh K.H. Muhammad Thohir sekitar tahun 1929; dan termasuk salah satu pesantren tertua di Banten. 

Sebenarnya, At-Thohiriyah bukanlah satu-satunya pesantren di wilayah Pelamunan yang mewarisi keilmuan dan meneruskan perjuangan K.H. Muhammad Thohir. Masih ada sekitar 12-an pesantren lain. Salah satunya yaitu Pondok Pesantren Madaarijul ‘Ulum. Namun, karena keterbatasan ruang, tulisan ini hanya berfokus pada At-Thohiriyah. 

KH Muhammad Thohir merupakan murid dari Syekh Tubagus Ma’mun. Nama yang disebut belakangan adalah seorang ulama Alquran asal Serang, Banten, yang lahir pada tahun 1872 dan wafat pada tahun 1928. Syekh Ma’mun dilahirkan di Serang, Banten, tetapi sejak bayi dibawa ayahnya—yaitu Tubagus Rafiuddin—untuk tinggal di Makkah. 

Selama tinggal di Makkah, Syekh Ma’mun belajar berbagai cabang ilmu agama Islam, termasuk ilmu-ilmu Alquran. Beliau merupakan orang yang cerdas, sehingga mampu menghafalkan 30 juz Alquran beserta qiraat sab’ah-nya pada usia kira-kira 19 tahun. Seiring berjalannya waktu, kealiman Syekh Ma’mun diakui oleh para ulama dan masyarakat Makkah pada waktu itu. 

Pengakuan akan keilmuan Syekh Ma’mun ketika berada di Makkah dibuktikan di antaranya dengan penunjukkan beliau sebagai imam salat tarawih di Masjidil Haram serta keberadaan majelis pengajian di Qusyaisyiyyah yang beliau isi dengan materi khusus Alquran dan qiraahnya. 

Setelah kembali ke Nusantara pada tahun 1914, Syekh Ma’mun menjadi tujuan bagi para pencari ilmu. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya para murid yang berasal dari luar Banten; dari Jakarta, Bogor, Garut, Bandung, Sukabumi, Cirebon, Brebes, Semarang, Pasuruan, Palembang, bahkan dari Makkah. 

Baca juga: Tradisi Santri Pesantren Zainul Hasan Menyambut Nuzul Al Quran

Program dan skema pembelajaran  

KH Muhammad Thohir—sebagai murid dari Syekh Ma’mun—dikenal sebagai ahli ilmu qiraah. Di pesantren yang didirikannya, diajarkan ilmu tajwid, Alquran binnadhar—membaca Alquran di hadapan guru, dan beberapa kitab tafsir seperti Tafsir Jalalain dan Tafsir Marah Labid; di samping ilmu-ilmu nahu saraf dan fikih. 

Program pengkhususan tahfiz Alquran di At-Thohiriyah dimulai pada era 1990-an. Pada masa itu, program tersebut ditujukan bagi santri putri saja. Dalam perkembangannya, serta dalam rangka menjawab tantang zaman, At-Thohiriyah mendirikan SMP Plus 30 Juz pada tahun 2019 serta SMK Plus 30 Juz pada tahun 2021; yang ditujukan bagi santri putri maupun putra. 

Santri-santri yang belajar di At-Thohiriyah dapat mengikuti program pengkhususan tahfiz Alquran jika yang bersangkutan memiliki keinginan yang kuat untuk menghafal Alquran. Skema lainnya yaitu jalur para santri yang menjadi siswa-siswi SMP dan SMK yang dikelola At-Thohiriyah. 

Setelah satu tahun mereka belajar di SMP atau SMK tersebut, para santri itu akan mendapatkan asesmen dalam hal kemampuan mereka untuk menghafal Alquran. Mereka yang dianggap mampu untuk menghafal Alquran sambil belajar di sekolah formalnya, maka akan dimasukkan ke dalam program pengkhususan Alquran. 

Baca juga: Tafsir Alquran Aksara Pegon yang Dikenal dalam Tradisi Tafsir Pesantren

Sanad keilmuan   

Sanad ilmu qiraah di At-Thohiriyah terutama memang dari Syekh Ma’mun melalui jalur K.H. Muhammad Thohir. Selain itu, sanad dari Syekh Ma’mun di At-Thohiriyah juga mengalir melalui Hj. Ratu Rodhatul Farihah, cicit Syekh Ma’mun yang dinikahi K.H. Ahmad Ulfi Zaini Thohir—cucu K.H. Muhammad Thohir. 

Di samping itu, ada sanad tahfiz dari K.H. Mufid Pandanaran, Yogyakarta, melalui beberapa pengajar Alquran di At-Thohiriyah; yaitu jalur Hj. Ratu Rodhatul Farihah, Hj. Farhiyyahadik K.H. Ahmad Ulfi Zaini Thohir, dan Alm. K.H. Muhtadi Zaini Thohiradik K.H. Ahmad Ulfi Zaini Thohir. 

Ada juga sanad tahfiz dari K.H. Abu Bakar Cirebon melalui Hj. Nukhbatul Maula, istri K.H. Drs. Munifi Zaini Thohir—cucu K.H. Muhammad Thohir. Terakhir, ada sanad dari Syekh Abbad Rajab Salim Bakhomis, Yaman, melalui H. Muhammad Imaduddin, Lc., cicit K.H. Muhammad Thohir, seorang hafiz yang menjabat Kepala Madrasah Alquran santri putra At-Thohiriyah. 

Demikianlah gambaran eksistensi ilmu qiraah dan tahfiz Alquran di Pondok Pesantren Moderat At-Thohiriyah Pelamunan beserta sanad-sanadnya. Tampak bahwa At-Thohiriyah mewarisi beberapa sanad yang jelas dan tepercaya; dan di antaranya merupakan salah satu sanad ilmu qiraah Alquran yang sangat tua, yaitu yang berasal dari Syekh Ma’mun. 

Baca juga: Alasan Tafsir Jalalain Jadi Tafsir Favorit di Pesantren

Belajar Kepada Abu Bakar tentang Ikhlas Memaafkan

0
Tafsir Abu Bakar
Belajar Kepada Abu Bakar

Abdullah bin Abu Quhafah atau yang lebih sering dipanggil dengan nama Abu Bakar ash-Shiddiq, salah seorang sahabat Nabi yang dikenal kedermawanannya. Ia begitu mencintai Islam, rela berjuang demi agamanya dengan jiwa dan raganya, serta gemar menyedekahkan harta bendanya untuk menjaga keluhuran kalimat Allah.

Adalah Misthah bin Atsatsah, salah satu orang yang selalu mendapatkan bantuan dari Abu Bakar ash-Shiddiq. Ia merupakan anak dari bibi Abu Bakar, sedarah dan senasab dengan beliau. Ia disebut sebagai orang miskin dan salah satu rombongan Muhajirin yang hijrah bersama Rasulullah ke Madinah. Namun karena suatu kejadian, Abu Bakar ash-Shiddiq bersumpah tidak lagi mau menyedekahkan hartanya kepada Mishthah. Karena hal itu Allah langsung menegurnya sebagaimana telah terekam dalam QS. an-Nur [24]: 22.

Asbabun Nuzul

Dijelaskan dalam Tafsir Ibnu Katsir, ayat di atas diturunkan karena sumpah yang diucapkan Abu Bakar ash-Shiddiq. Ketika itu, ia bersumpah untuk menghentikan bantuan nafkah kepada seorang kerabatnya karena terlibat menyebarkan haditsul ifki tentang puterinya ‘Aisyah.  Abu Bakr dikenal sebagai orang mulia dan dermawan terhadap para kerabatnya dan orang lain yang bukan kerabatnya. Ketika ayat ini turun sampai kalimat “Allâ tuhibbûna an yaghfirallahu lakum” Apakah kalian tidak ingin bahwa Allah mengampuni kalian? (QS. An-Nur: 22).

Baca Juga: Abu Bakar RA dan Penafsiran Sufistik Terhadap Surah Ar-Rum Ayat 41

Seketika itu juga Abu Bakar ash-Shiddiq berkata: “Benar. Demi Allah, sungguh kami suka, wahai Tuhan kami, bila Engkau mengampuni kami.” Kemudian ia kembali memberi bantuan nafkah kapada Misthah (seperti dulu) sembari berujar: “Demi Allah, aku tidak akan mencabut (bantuanku lagi) selama-lamanya,” sebagai pengimbang perkataannya yang lalu, (yaitu ucapan): “Demi Allah, aku tidak akan memberinya bantuan lagi selama-lamanya.” Karena itulah Abu Bakr adalah ash-Shiddiq,yang artinya orang yang sangat terpercaya.

Penjelasan serupa dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib Fakhruddin ar-Razi juga menuturkan bahwa ketika Abu Bakr mendengar Rasulullah membaca penggalan ayat “Alâ tuhibbûna an yaghfirallahu lakum”, Abu Bakar pun mengakui kesalahannya. Seraya berkata, “Ya, wahai Tuhanku. Aku sangat senang bahwa Engkau mengampuniku, dan aku telah melewati batas yang Engkau tentukan.” Peristiwa di balik ayat tersebut menjadi titik berangkat untuk memahami tafsir surat An-Nur ayat 22.

Kemuliaan yang Dianugerahkan Allah Kepada Abu Bakr Ash-Shiddiq

Allah berfirman dalam surat an-Nur ayat 22, bahwa Dia mengaruniakan berbagai kenikmatan kepada hamba terkasihnya, yang dalam konteks ayat ini Abu Bakr ash-Siddiq, ia adalah sahabat yang paling dekat dengan Rasulullah. Jelas tidak diragukan lagi perihal agamanya, akhlaqnya, begitu pula dengan ketaqwaannya kepada Tuhannya, selain itu dalam hal urusan dunia Abu Bakr terkenal menjadi saudagar yang kaya raya. Sebagai halnya dalam ayat ini menjelaskan bahwa “ulul fadhli” dan “as-sa’ah” yang dimaksudkan adalah Abu Bakr ash-Siddiq. Karena ada orang yang mendapatkan hanya “ulul fadhli” namun tidak dalam “as-sa’ah”, seperti sahabat ‘Ali bin Abi Thalib, Abu Dzar al-Ghiffari, dan Abdurrahman bin ‘Auf, atau sebaliknya hanya mendapatkan “as-sa’ah” saja. Namun Abu Bakr-lah yang mendapatkan dua keutamaan tersebut.

Wahbah Zuhaili, dan ar-Razi menjelaskan bahwa makna “ulul fadhli” maksudnya adalah “ulul fadhli fii ad-din” atau keutamaan dalam hal agama, dan menurut Ibnu ‘Asyur maknanya keutamaan perihal akhlaqnya. Sementara “as-sa’ah” menurut mereka adalah “al-ghina” yaitu keluasan yang bersifat material.

Sebagaimana dimengerti juga bahwa Abu Bakr itu disebut sebagai orang yang paling utama setelah Rasulullah. Melalui turunya ayat ini Allah langsung menegur Abu Bakr, karena tidak mungkin Allah membiarkan orang-orang yang dekat kepadanya untuk bermaksiat. Sebab kepatuhannya itu juga Abu Bakr langsung tunduk akan perintahNya dengan kelapangan hatinya ia mencabut sumpahnya dan kembali memberi bantuan nafkah untuk kerabatnya. Padahal jelas kesalahan yang dilakukan Misthah itu bukan kesalahan biasa, ia ikut menyebarkan fitnah tentang ‘Aisyah puteri kesayangannya.

Ibrah Yang Dapat Diambil dari Kisah Abu Bakar

Pelajaran bahwa sebesar apa pun kesalahan seseorang, memaafkan jauh lebih baik daripada menjadi pendendam. Kekecewaan Abu Bakar ash-Shiddiq tentu dapat dipahami, karena orang yang selama ini dibantunya ikut terlibat dalam penyebaran fitnah keji atas puterinya, apalagi Misthah adalah kerabatnya sendiri. Meski demikian, karena ketaatan kepada Allah yang memerintahkannya untuk berlapang dada memaafkan kesalahan Misthah. Inilah yang kemudian ditampilkan Abu Bakr ash-Shiddiq hingga ia berjanji tidak akan menghentikan bantuannya lagi selama-lamanya.

Sebab Abu Bakr ash-Shiddiq yang memiliki kecerdasan hati, ia langsung paham maksud ayat tersebut turun untuk menegurnya. Setelah Allah dengan kasih sayangnya menurunkan hujan kenikmatan, seperti yang disebutkan diatas “ulul fadli” dan “as-sa’ah”, baru kemudian Allah meminta sesuatu yang sedikit yaitu “wal ya’fû wal yasfahû” hendaklah memaafkan dan berlapang dada. Kita seharusnya bisa menyadari bahwa Allah yang telah menganugerahkan berbagai karuniaNya, mengapa kita tidak mau mengikuti sarannya untuk berlapang dada dan memaafkan mereka yang berbuat salah kepada kita?

Melalui Abu Bakr as-Shiddiq kita diajarkan untuk menjadi pemaaf kepada orang yang berbuat salah kepada kita, sekalipun kesalahan itu sungguh berat. Sebab dalam ayat ini pula dinyatakan bahwa orang yang memaafkan, akan mendapatkan peluang dimaafkan lebih besar ketika ia berbuat salah. Lantaran itu Allah mengajukan pertanyaan (QS. an-Nur: 22): “Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu?”

Kita bisa melihat kesinambungan pada ayat ini, dijelaskan secara berkait dalam Tafsir Ibnu Katsir, yaitu: “Kau mengampuni dosa orang yang bersalah kepadamu, maka Allah pun mengampuni dosa-dosamu; sebagaimana kau memaafkan (kesalahan orang lain), maka Allah pun memaafkan (kesalahan)mu juga.”

Baca Juga: Kisah Kesetiaan Abu Bakar As-Shiddiq dibalik Surah At-Taubah Ayat 40

Tentu, tidak ada seorang pun yang tidak menginginkan maghfirah dari Allah. Semua orang pasti mengharapkan ampunanNya. Telah jelas disebutkan dalam banyak ayat, bahwa bisa jadi batu ujian dalam kehidupan, penyakit, dan kesempitan hidup, atau mendapatkan perilaku dzalim dari orang lain namun dengan lapang hati kita memaafkannya, akan menjadi sebab turunnya ampunan dan rahmat Allah kepada kita.

Mari kita bersama-sama mengintropeksi diri, jika ada orang yang menyakiti hati kita meskipun sangat berat kesalahan yang mereka perbuat, kita bisa sungguh-sungguh memaafkan dan berlapang dada kalau motivasi kita hanya karena Allah dan ingin mendapatkan maghfirahNya. Sebagaimana Abu Bakr ash-Siddiq yang mau memberi maaf Misthah, bukan karena ia kerabatnya, bukan sebab Misthah adalah orang miskin dan muhajirin. Namun yang menjadi satu-satunya motivasi Abu Bakr mengampuni orang yang bersalah kepadanya, yaitu karena panggilan ayat al-Quran, “Alâ tuhibbûna an yaghfirallahu lakum.”

Dengan berkaca kepada figur Abu Bakr as-Shiddiq, semoga Allah menjadikan diri kita Abu Bakr-Abu Bakr lain, yang diberikan keutamaan dan keluasan, sehingga kita bisa berkontribusi dalam kehidupan sosial dan memiliki hati yang lembut karena mudah memaafkan orang lain.[]

Pandangan al-Qurthubi tentang Hukum Memandikan Jenazah

0
Hukum memandikan jenazah menurut al-Qurthubi
Hukum memandikan jenazah menurut al-Qurthubi

Dalam tafsir al-Jami li Ahkam al-Qur’an, Imam al-Qurthubi memberikan pernyataan yang terkesan agak berbeda dengan pandangan umum umat muslim terkait hukum memandikan jenazah. Dia menyatakan bahwa memandikan jenazah, selain jenazah yang berstatus syahid, berstatus hukum sunah. Pernyataan ini kemudian memunculkan pemahaman pada sebagian ulama, bahwa sebenarnya hukum memandikan jenazah masih diperselisihkan. Berikut keterangan lengkapnya.

Pandangan al-Qurthubi tentang hukum memandikan jenazah

Saat menguraikan tafsir surah Ali Imran ayat 185, Imam al-Qurthubi menyatakan bahwa hukum memandikan jenazah adalah sunah. Namun dia juga menyatakan bahwa adapula ulama yang meyakini hukum wajib. Sumber perbedaan pendapat tersebut menurut al-Qurthubi bermuara pada salah satu hadis yang diriwayatkan dari Ummi Athiyah:

دَخَلَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – حِينَ تُوُفِّيَتِ ابْنَتُهُ فَقَالَ « اغْسِلْنَهَا ثَلاَثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ أَكْثَرَ مَنْ ذَلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ

“Rasulullah menemui kami ketika putri beliau wafat. Beliau kemudian bersabda: “Mandikan dia tiga atau lima atau lebih banyak lagi apabila kalian memandang itu perlu, dengan menggunakan air dan daun bidara.” (HR. Bukhari)

al-Qurthubi menjelaskan, dalam memahami hadis tersebut, ulama berbeda pendapat mengenai keterkaitan redaksi perintah dalam hadis dengan hukum asal memandikan jenazah atau bilangan memandikan jenazah. Yang jelas, memandikan jenazah adalah tindakan yang disyariatkan di dalam Islam. (Tafsir al-Qurthubi/4/299)

Imam al-Qurthubi dalam karya syarah hadisnya yang berjudul al-Mufhim lima Usykila min Talkhisi Muslim, menyatakan bahwa pro kontra hukum memandikan jenazah berada di antara hukum wajib dan sunah muakadah. Dia juga menyinggung hadis di atas dan menyatakan, perintah dalam hadis tersebut adalah sekedar perintah dalam rangka “mendidik”, bukan menjelaskan hukum asal memandikan jenazah. Sehingga, lebih utama bila difahami bahwa hukum memandikan jenazah adalah sunah. (al-Mufhim/2/592)

Baca juga: Beberapa Kesunahan dalam Merawat Jenazah

Imam Ibn Hajar di dalam Fath al-Bari menyinggung pandangan al-Qurthubi ini. Ibn Hajar menyatakan, keterangan Imam al-Nawawi yang menyatakan bahwa ulama sepakat bahwa memandikan jenazah berstatus hukum fardu kifayah, adalah sebuah klaim yang ceroboh. Sebab, pro kontra dalam hukum memandikan jenazah sudah cukup masyhur dalam Mazhab Malikiyah. Sampai-sampai, Imam al-Qurthubi mengunggulkan pendapat bahwa hukum memandikan jenazah adalah sunah. Hanya saja, mayoritas ulama menyatakan hukumnya wajib. (Fath al-Bari/4/279)

Pernyataan Ibn Hajar ini disanggah oleh rival sezamannya; Imam al-Aini. Al-Aini menyatakan bahwa kesimpulan Ibn Hajar tidak kalah cerobohnya dengan tuduhannya pada Imam al-Nawawi. Sebab, hukum sunah yang dimaksud Imam al-Qurthubi adalah sunah muakadah. Sementara sunah muakadah yang beliau maksud sama kuatnya dengan hukum wajib. (Umdah al-Qari/12/196)

Kesimpulan

Yang jelas, dari berbagai keterangan di atas kita akan memperoleh kesimpulan bahwa memandikan jenazah adalah sesuatu yang disyariatkan dalam Islam. Sedang hukumnya, ada yang menyatakan bahwa ulama sepakat untuk mewajibkan, ada yang menyatakan masih diperselisihkan.

Menurut pandangan pribadi penulis, pernyataan Imam al-Qurthubi memanglah perlu dikaji ulang. Apakah memang benar yang beliau maksud dengan redaksi “sunah” berarti tidak berdosa apabila ditinggalkan, atau sebenarnya juga berdosa bila ditinggalkan tapi memiliki kreteria yang berbeda dengan redaksi “wajib”? Ini bisa jadi persoalan perbedaan pemahaman dalam penggunaan istilah usul fikih, yang jamak ditemui dalam persoalan fikih lintas mazhab.

Baca juga: Hukum Menuntun Bacaan Tahlil kepada Orang yang Mendekati Ajal

Atau mungkin saja kesimpulan al-Qurthubi hanya terbatas berdasar hadis dari Ummi Athiyah di atas saja. Sebab, hanya hadis itulah yang disinggung Imam al-Qurthubi dalam Tafsir al-Jami’-nya serta kitab al-Mufhim terkait kesimpulannya tersebut. Bisa jadi, Imam al-Qurthubi sebenarnya juga menyatakan wajib tapi tidak berdasar hadis di atas, mengingat sebenarnya hadis tentang memandikan jenazah cukup banyak. Wallahu a’lam.

Menelusuri Jejak Tafsir ‘Faidl al-Rahman’ Kiai Sholeh Darat

0
Halaman Sampul Faidl al-Rahman
Halaman sampul pada naskah Faidl al-Rahman museum Masjid Agung Demak

Dari beberapa tulisan yang membahas tentang Kiai Sholeh Darat, penulis belum mendapati tulisan yang secara khusus membicarakan Faid al-Rahman sebagai sebuah objek kajian. Kebanyakan tulisan yang ada cenderung menyorot pemikiran sufistik Kiai Sholeh. Kalau pun ada tulisan yang membicarakan Faidl al-Rahman, umumnya hanya pada aspek permukaan saja, tidak sampai pada tahap kritis.

Di antara tulisan yang menyorot pemikiran Kiai Sholeh seperti trilogi milik Nur Ahmad berjudul Penulis Satu-Satunya Tafsir Isyari Nusantara: Kiai Sholeh Darat Semarang, Konsep Awal Tafsir ‘Isyari’ Kiai Sholeh Darat, dan Konsep Awal Tafsir Isyari Kiai Sholeh Darat (Bag. 2). Sedangkan tulisan yang menyinggung karya Faidl al-Rahman di dalamnya seperti Mufasir-Mufasir Indonesia: Biografi Sholeh Darat As-Samarani karya Muhammad Rafi dan Jihad Nir-Kekerasan Ala Kiai Sholeh Darat karya penulis sendiri.

Signifikansi kajian kritis terhadap Faidl al-Rahman terletak pada mengetahui validitas isi tafsir yang hingga hari ini, boleh dibilang, belum menemui kejelasan. Hal ini, menurut pandangan awal penulis, disebabkan adanya kerancuan dalam rujukan yang digunakan sekaligus kesalahan pemahaman pada aktivitas perujukan yang dilakukan.

Sebagaimana disebutkan oleh Rafi dan Fais sebelumnya, Faidl al-Rahman berisi penafsiran 13 juz dari Alquran. Padahal naskah-naskah yang dijumpai saat ini belum ada satu pun yang menunjukkan demikian. Naskah yang dijumpai berjudul Faidl al-Rahman karya Kiai Sholeh hanya berisi penafsiran surah Al-Fatihah sampai surah An-Nisa’ (juz 6).

Penelusuran penulis terhadap beberapa literatur mendapati bahwa artikel yang menjadi rujukan utama dalam masalah ini adalah artikel ‘lama’ tahun 2012 yang ditulis oleh M. Masrur berjudul Kyai Soleh Darat, Tafsir Fa’id al-Rahman dan RA. Kartini. Artikel ini lah yang agaknya menjadi penyebab rancunya validitas isi Faidl al-Rahman.

Dalam artikel tersebut, Masrur menyebut setidaknya dua tafsir yang menjadi karya Kiai Sholeh. Pertama, Faidl al-Rahman fi Tarjamah Tafsir Kalam Malik al-Dayyan yang terdiri dari dua juz: juz pertama berisi surah Al-Fatihah dan surah Al-Baqarah, dan juz kedua berisi surah Ali Imran dan surah An-Nisa’. Kedua, terjemahan Alquran yang dihadiahkan kepada RA. Kartini yang berisi 13 juz dari Alquran, yang oleh Masrur disebut sebagai Faizhur Rohman fi Tafsiril Quran.

Kemiripan nama yang diberikan ini lah yang kemudian menyebabkan kerancuan dalam memahami ‘hakikat’ Faidl al-Rahman. Teks tafsir pertama yang disebutkan Masrur adalah teks yang naskahnya masih dapat ditemukan saat ini. Sedangkan teks yang kedua, penulis belum dapat menjumpai data pendukung yang menyebutkan informasi tersebut. Masrur pun tidak menyebutkan sumber yang ia kutip kecuali tulisan berjudul spirit kartini.. untuk direnungkan, yang menurut penulis ‘kurang meyakinkan’ sebagai rujukan ilmiah.

Naskah-naskah yang saat ini banyak direproduksi ulang oleh Komunitas Pecinta Kiai Sholeh Darat (Kopisoda) Semarang melalui teknik photocopy yang juga tersedia dalam versi digital, hanya mencakup pada teks pertama yang disebutkan oleh Masrur, yakni Faidl al-Rahman. Kalau pun ada naskah lain, itu adalah naskah yang berisi teks Hidayah al-Rahman, bukan Faizhur Rohman fi Tafsiril Quran.

Alasan penulis mengangkat topik ini adalah adanya temuan naskah Faidl al-Rahman pada penelitian digitalisasi yang penulis ikuti bersama Pak Anasom, salah seorang peneliti senior bidang naskah dan Walisongo dari UIN Walisongo Semarang. Naskah tersebut cenderung mendukung keberadaan teks pertama yang disebutkan oleh Masrur, Faidl al-Rahman, bukan teks kedua, Faizhur Rohman.

Saat ini, naskah Faidl al-Rahman tersebut tersimpan di Museum Masjid Agung Demak. Catatan di dalamnya menunjukkan bahwa naskah tersebut berasal dari Drs. H Masruhin asal Pilang Wetan, Dempet (sekarang Kebonagung), Kabupaten Demak, dan diserahkan kepada pihak museum pada tanggal 6 Maret 1996.

Melihat fisiknya, ada kemungkinan bahwa naskah tersebut merupakan cetakan asli litograf dari percetakan. Tertulis pada bagian kolofonnya, (percetakan) Haji Muhammad Amin Singapura. Pada bagian lain juga tertulis al-thab‘ah al-ula 1312 (H.) atau cetakan pertama 1312 (H.). Naskah tersebut memiliki dimensi 29,5 cm x 21 cm dengan tebal 5 cm serta memiliki ukuran bidang teks sebesar 25,5 cm x 15 cm.

Berdasar pada data-data yang telah penulis kemukakan, agaknya klaim yang menyebutkan bahwa Faidl al-Rahman berisi penafsiran 13 juz perlu dikaji kembali. Mengacu sejarah yang menyebutkan pemberian terjemah tersebut kepada RA. Kartini, agaknya arsip-arsip Raden Ajeng perlu dilibatkan dalam penelusuran. Wallahu a‘lam bi al-shawab.

Anjuran Untuk Segera Menguburkan Jenazah

0
Menguburkan Jenazah
Menguburkan Jenazah

Suasana yang jamak ditemui tatkala ada orang yang meninggal, adalah seakan-akan tergesa-gesa segera mengurusi jenazahnya sehingga dapat segera dimakamkan. Tradisi yang berkembang di masyarakat tersebut adalah wujud dari mengamalkan sabda Nabi terkait anjuran untuk segera menguburkan jenazah. Imam al-Qurthubi di dalam tafsirnya mengutip dua hadis terkait anjuran tersebut. Berikut ini keterangan selengkapnya.

Segera menguburkan jenazah

Allah berfirman:

كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ وَاِنَّمَا تُوَفَّوْنَ اُجُوْرَكُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ ۗ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَاُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا مَتَاعُ الْغُرُوْرِ

“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Hanya pada hari Kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Siapa yang dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh dia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya.” (QS. Ali Imran [3] 185).

Baca Juga: Pelajaran yang Dapat Dipetik dari Penyebutan Binatang dalam Al-Quran

Saat menguraikan tafsir ayat ini, Imam al-Qurthubi menyingung tentang anjuran merawat jenazah seperti memandikan dan menguburkan yang harus dilakukan dengan segera. Tujuannya adalah agar keadaan jenazah tidak terlanjur mengalami perubahan. Dia kemudian mengajukan dua hadis untuk menguatkan penjelasannya. Hadis pertama adalah sabda Nabi yang beliau ucapkan pada sekelompok orang yang tidak segera menguburkan orang di sekitar mereka yang mati:

عَجِّلُوْا بِدَفْنِ جِيْفَتِكُمْ

“Bergegaslah menguburkan orang mati diantara kalian.”

Hadis kedua adalah hadis sahih yang diriwayatkan dari Abi Hurairah:

«أَسْرِعُوا بِالْجِنَازَةِ ، فَإِنْ تَكُ صَالِحَةً فَخَيْرٌتُقَدِّمُونَهَا { إِلَيْهِ } ، وَإِنْ يَكُ سِوَى ذَلِكَ فَشَرٌّ تَضَعُونَهُ عَنْ رِقَابِكُمْ »

“Bergegaslah mengurus jenazah. Apabila dia sosok yang soleh, maka hal itu adalah kebaikan yang kalian lakukan padanya. Apabila tidak soleh, maka keburukan yang kalian letakkan pada pundak kalian.” (HR. Bukhari) (Tafsir al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an/4/298).

Berdasar hadis di atas, para ulama menjelaskan bahwa dianjurkan proses merawat jenazah dilakukan dengan cepat. Ulama juga menjelaskan bahwa sifat anjuran tersebut hanyalah sekedar hukum sunah saja. Imam al-Nawawi dalam al-Majmu’ menerangkan, para ulama sepakat akan hukum sunah tersebut (al-Majmu’/5/271).

Hanya saja, ulama berbeda pendapat dalam memahami bagian mana dalam prosesi merawat jenazah yang harus dipercepat. Imam al-Nawawi misalnya, meyakini bahwa yang sunah dipercepat adalah proses berjalan membawa jenazah ke pemakaman. Hal ini dibuktikan dalam hadis riwayat Abu Hurairah di atas, ada redaksi “pundak” yang menunjukkan prosesi memanggul jenazah untuk dibawa ke pemakaman (Syarah Sahih Muslim/3/362).

Ulama lainnya meyakini bahwa yang sunah dipercepat adalah keseluruhan prosesi merawat jenazah seperti memandikan, mengkafani dan mensalati. Ibnu Hajar dalam Fathul Bari mengutip menjelasan Imam al-Fakihi, bahwa bisa saja “pundak” yang disinggung dalam hadis di atas adalah sekedar kiasan saja. Seperti dalam ungkapan orang arab: “Orang itu membawa beberapa dosa di pundaknya”. Selain itu, tidak semua jenazah dibawa ke pemakaman dengan diangkat di atas pundak.

Baca Juga: Beberapa Kesunahan dalam Merawat Jenazah

Ibnu Hajar sendiri sepertinya lebih meyakini bahwa yang sunah dipercepat adalah seluruh proses merawat jenazah. Dia mengajukan 2 hadis untuk menguatkan pendapat tersebut. Salah satunya adalah hadis yang diriwayatkan Ibnu Umar:

إِذَا مَاتَ أَحَدكُمْ فَلَا تَحْبِسُوهُ وَأَسْرِعُوا بِهِ إِلَى قَبْره

Ketika salah seorang kalian meninggal, maka janganlah kalian menahan jenazahnya. Bergegaslah membawanya ke makamnya (HR. Abu Dawud) (Fathul Bari/4/371).

Kesimpulan

Dari berbagai keterangan di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa memang ada anjuran dalam bergegas memandikan, mengkafani, mensalati sampai menguburkan jenazah. Hal ini mungkin sedikit mengganggu keadaan keluarga si jenazah yang sedang berkabung. Namun syariat melihat sisi kebaikannya. Yaitu menjaga kemuliaan si jenazah sebagai manusia, dengan segera menguburkannya sebelum tubuhnya mengalami perubahan. Seperti memunculkan bau busuk dan selainnya. Wallahu a’lam.

Ketika Allah Mengajarkan Nabi Daud tentang Kepemimpinan

0
Ketika Allah Mengajarkan Nabi Daud tentang Kepemimpinan
Photo by Hansjörg Keller on Unsplash

Menjadi seorang pemimpin bukanlah perkara yang mudah bagi setiap orang. Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan untuk bisa mengayomi setiap anggotanya, tidak kalah penting dari kemampuan untuk bersikap adil yang juga sangat diperlukan. Itu semua memengaruhi berhasil atau tidaknya kepemimpinan yang dia jalankan. Adil adalah memperlakukan perkara sesuai tempat, waktu, cara, dan ukurannya secara proporsional; dan lawan dari adil adalah zalim.

Dalam Q.S. Shad [38]: 26, Alah Swt. berfirman, ”Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”

Baca juga: Ibrah Kisah Nabi Yusuf: Menjadi Pejabat di Bawah Kepemimpinan Nonmuslim

Tafsir surah Shad ayat 26: peringatan Allah kepada Nabi Daud

Nabi Daud a.s. diberikan amanah untuk menjadi penegak hukum di antara manusia. Di samping itu, beliau juga diberikan tugas sebagai penguasa yang mengelola wilayah tertentu atau dengan kata lain mempunyai kekuasaan politik. Hal ini diperolehnya berkat anugerah Ilahi yang mengajarkannya akan hikmah dan ilmu pengetahuan. Pada ayat ini Allah mengingatkan Nabi Daud a.s. untuk berlaku adil dan tidak menuruti hawa nafsunya dalam menjalankan kekhalifahannya.

Menurut Wahbah az-Zuhaili, Q.S. Shad [38]: 26 bermakna “Wahai daud, sesungguhnya Kami telah menjadikanmu sebagai khalifah di kerajaan bumi untuk menjadi hakim atas permasalahan manusia. Maka putuskanlah permasalahan manusia dengan penuh keadilan. Jangan kau ikuti hawa nafsu, yang akan menjauhkanmu dari bukti-bukti kebenaran. Sesungguhnya orang-orang yang menentang perintah Allah dan petunjuk-Nya akan mendapatkan azab yang pedih atas keacuhan dan ketidakpedulian mereka untuk beramal sebagai bekal hari perhitungan di akhirat. Dia Maha Adil dalam memutuskan.”

Lebih lanjut dijelaskan dalam Tafsir as-Sa’di bahwa berlaku adil itu tidak mungkin dapat dilakukan kecuali dengan ilmu pengetahuaan tentang yang wajib, pengetahuan tentang realita, dan kemampuan menegakkan yang hak. Sedangkan mengikuti hawa nafsu adalah seperti lebih condong kepada seseorang karena adanya hubungan keluarga, hubungan persahabatan, rasa cinta atau rasa tidak suka kepada yang lain.

Sebagai contoh, biasanya sering dijumpai dalam sebuah permasalahan relasi sosial terdapat dua orang yang berselisih. Seorang pemimpin yang zalim atau mengikuti nafsunya akan condong kepada salah seorang dari keduanya karena adanya hubungan kekerabatan atau pertemanan, atau bisa jadi karena ia berpaling darinya karena adanya permusuhan.

Menurut Quraish Shihab, larangan pemimpin mengikuti hawa nafsu ini logis, karena kekuasaan dapat memperdaya manusia menjadi cinta kepada dunia dan meninggalkan perintah Allah. Oleh karena itu, hawa nafsu dapat menyesatkan seseorang dari jalan Allah yang lurus dan orang-orang yang tersesat dari jalan Allah akan mendapatkan azab yang berat.

Baca juga: Tiga Karakter Kepemimpinan Rasulullah yang Patut Dicontoh

Ibrah ayat: pemimpin harus adil dan menjauhi hawa nafsu

Ayat ini mengandung pesan kepada ulil amri (para memimpin, siapapun mereka) agar menetapkan hukum dengan berpijak kepada kebenaran yang diturunkan oleh Allah Swt. dan tidak menyimpang darinya. Sebab, sebagaimana telah disebutkan dalam penjelasan ayat di atas, hal itu akan menyesatkan mereka dari jalan-Nya.

Islam telah mengajarkan bahwa untuk menjadi pemimpin, seseorang harus memiliki tauhid yang kuat. Dikutip dari Gus Dur, makna bertauhid tidak lantas berhenti hanya mengesakan Allah Swt., tetapi nilai ketauhidan adalah bagaimana Tuhan dimaknai sebagai sumber kehidupan dengan menjalankan amanat kekhalifahan di muka bumi serta memperkuat nilai-nilai Ilahiyah yang diwujudkan ke dalam laku kehidupan.

Jika tauhid itu telah tertanam pada diri seorang pemimpin, akan terlahir dalam dirinya konsepsi Ilahiyah, yang akan memandu setiap pemimpin dalam memimpin apa yang dipimpinnya (dalam level apapaun termasuk memimpin dirinya sendiri, keluarga, atau dalam lingkup masyarakat). Konsekuensi logisnya, akan terjadi kedekatan antara pemimpin dengan anggotanya, seperti hubungan saudara, bukan hubungan transaksional sebagaimana hubungan bos dan majikan.

Dengan demikian, seorang pemimpin akan memimpin secara adil, jika ia memiliki perhatian penuh terhadap permasalahan anggotanya dan tidak membeda-bedakan di antara mereka. Di antara bentuknya adalah dengan mengambil keputusan yang adil antara dua pihak yang berselisih, mengurusi, dan melayani semua lapisan masyarakat tanpa memandang agama, etnis, budaya, dan latar belakang.

Baca juga: Sabar dan Tekad Kuat, Kunci Sukses Menjadi Pemimpin