Beranda blog Halaman 85

Tafsir Surah At-Tur ayat 5-10

0
Tafsir Surah At-Tur ayat 48-49
Tafsir Surah At-Tur ayat 48-49

Diawali dengan sumpah Allah dengan langit yang terletak disana ‘Arsy dan kursi-Nya, Tafsir Surah At-Tur ayat 5-10 menegaskan bawa malikat-malaikat senantiasa patuh dan tidak pernah menolak perintah Allah.

Kemudian Tafsir Surah At-Tur ayat 5-10 juga mengisahkan tentang sumpah Allah dengan al-Bahrul-Masjur, laut yang di dalamnya terdapat api. Oleh para ulama, menafsirkan al-Bahrul-Masjur dengan kondisi bumi yang dibawahnya merupakan sebuah lautan api dan ditutupi dengan kulit bumi.

Di akhir penafsiran, Tafsir Surah At-Tur ayat 5-10 ini menerangkan akan azab Allah kepada orang-orang yang menodai dirinya dengan dusta dan dosa. Lalu, digambarkan pula peristiwa kiamat yang akan menenggelamkan alam semesta.


Baca Juga: Apa Makna “Kiamat Sudah Dekat” dalam Al-Quran? Ini Penjelasannya.


Ayat 5

Dalam ayat ini Allah swt bersumpah dengan atap yang ditinggikan (langit) yaitu alam tinggi yang mempunyai beberapa matahari, beberapa bulan, bintang-bintang tetap, dan bintang-bintang beredar. Di sana juga terletak ‘Arasy dan kursi-Nya; demikian juga malaikat-malaikat-Nya (yang tidak pernah menolak perintah Allah swt dan selalu patuh terhadap apa yang Allah perintahkan kepada mereka). Di sana juga ada benda-benda alam yang tak terhitung banyaknya hanya Allah swt yang mengetahuinya, dan balatentara Allah swt yang kita juga tak mengetahui hakikatnya kecuali Dia yang menciptakannya. Dalam firman Allah swt dijelaskan:

وَمَا يَعْلَمُ جُنُوْدَ رَبِّكَ اِلَّا هُوَ

Dan tidak ada yang mengetahui bala tentara Tuhanmu kecuali Dia sendiri. (al-Muddasir/74: 31)

Sufyan ath-Tsaury, Syu’bah dan Abdul Ahwas meriwayatkan dari Simak dari Harb dari Khalid bin Ar’arah dari Ali bahwa As-Saqful Marfu’ artinya ‘langit’. Sufyan membaca firman Allah sebagai berikut:

وَجَعَلْنَا السَّمَاۤءَ سَقْفًا مَّحْفُوْظًا

Dan Kami menjadikan langit sebagai atap yang terpelihara. (al-Anbiya’/21: 32)

Maksudnya ialah bahwa langit itu sebagai atap dan yang dimaksud dengan “terpelihara” ialah segala yang berada di langit itu dijaga oleh Allah swt dengan peraturan dan hukum-hukum yang menyebabkan semuanya berjalan dengan teratur dan tertib, sesuai sistem dan hukumnya.

Ayat 6

Dalam ayat ini Allah bersumpah, Demi al-Bahrul-Masjur (laut yang di dalamnya ada api) yakni laut yang tertahan dari banjir karena kalau laut itu dilepaskan, ia akan menenggelamkan semua yang ada di atas bumi sehingga hewan dan tumbuh-tumbuhan semuanya akan habis musnah. Maka rusaklah aturan alam dan tidaklah ada hikmah alam ini dijadikan.

Sebagian ulama berpendapat dan menetapkan bahwa lapisan bumi itu seluruhnya seperti semangka, dan kulitnya seperti kulit semangka, artinya bahwa perbandingan kulit bumi dan api yang ada di dalam kulitnya itu seperti kulit semangka dengan isinya. Sebab itu, sekarang kita sebenarnya berada di atas api yang besar, yakni di atas laut yang di bawahnya penuh dengan api dan laut itu tertutup dengan kulit bumi dari segala penjurunya. Dari waktu ke waktu api itu naik ke atas laut yang tampak pada waktu gempa dan pada waktu gunung berapi meletus; seperti gunung berapi Visofius yang meletus di Italia pada tahun 1909 M yang telah menelan kota Mozaina, dan gempa  yang telah terjadi di Jepang pada tahun 1952 M yang memusnahkan kota-kotanya sekaligus.

Menurut Jumhur bahwa yang dimaksud dalam ayat ini ialah laut bumi. Akan tetapi mereka berbeda pendapat dalam kata “masjur” di antara pendapatnya ialah berarti: dinyalakan api di hari Kiamat seperti dalam Al-Qur’an:

وَاِذَا الْبِحَارُ فُجِّرَتْۙ  ٣

Dan apabila lautan dijadikan meluap. (al-Infitar/82: 3)

Firman-Nya yang lain:

وَاِذَا الْبِحَارُ سُجِّرَتْۖ  ٦

Dan apabila lautan dipanaskan. (at-Takwir/81: 6)

Ayat 7

Kemudian Allah swt menyebutkan isi sumpah bahwa azab-azab hari Kiamat diperuntunkkan bagi semua yang mendustakan para rasul. Azab tersebut pasti akan terjadi, tanpa ragu sedikitpun.

Penegasan tentang kepastian datangnya azab sangat penting untuk menghilangkan keraguan di kalangan manusia yang meragukan peristiwa terjadinya azab itu.


Baca Juga: Tafsir Surah Yasin ayat 39-40: Semua Makhluk Langit Adalah Ciptaan Allah Swt


Ayat 8-9

Allah menerangkan bahwa azab tersebut tak seorang pun yang dapat menolaknya. Dan tidak pula ada jalan untuk keluar dari azab itu yang merupakan balasan bagi orang-orang yang telah menodai dirinya dengan perbuatan syirik dan dosa, dan yang telah menodai jiwanya dengan dusta terhadap para rasul dan hari kebangkitan.

Kemudian diterangkan pula dalam ayat ini bahwa azab yang tidak dapat dihindarkan itu terjadi pada suatu hari tatkala langit berguncang di tempatnya.

Ayat 10

Dalam ayat ini Allah menambahkan penjelasannya bahwa pada hari Kiamat itu gunung-gunung berpindah dari tempatnya, berjalan seperti jalannya awan, dan terbang ke udara lalu jatuh ke bumi terpecah-pecah, kemudian hancur menjadi debu laksana bulu yang diterbangkan angin.

Berguncangnya langit dan beterbangannya gunung-gunung ialah sebagai pemberitahuan dan peringatan kepada manusia bahwa mereka tidak akan dapat kembali ke dunia, karena ia telah musnah dan telah terjadi alam baru yaitu alam akhirat.

Ayat di atas berkaitan dengan gambaran saat terjadinya kiamat, yang banyak pula disebut di ayat-ayat lainnya. Gunung yang mengekspresikan daratan atau kerak bumi, digambarkan berpindah tempat atau dengan kata lain gunung-gunung itu bergerak. Pergerakan gunung-gunung ini adalah manifestasi pergerakan lempeng bumi (lihat an-Naml/27: 88) dan dapat menimbulkan gempa bumi. Dalam Surah az-Zalzalah/99: 1-4 kejadian kiamat digambarkan dengan datangnya gempa yang dahsyat. Gempa dahsyat ini dapat menimbulkan retakan yang panjang dan dalam yang bukan mustahil memicu terjadinya letusan gunung api. Sebagai contoh adalah ketika terjadi gempa Nias pada tahun 2005 yang berkekuatan Mw=8,7, setelah gempa Aceh 2004, beberapa gunung api di Pulau Sumatra memperlihatkan kegiatan yang meningkat.

Fakta ilmiah memang menunjukkan bahwa gunung-gunung itu bergerak. Data Global Positioning Systems (GPS) merekam gerakan-gerakan tersebut dalam ukuran milimeter. Sebagai contoh adalah pulau-pulau terluar di sebelah barat Sumatra yang bergerak ke arah timurlaut sebesar 50-60 mm/tahun.

(Tafsir Kemenag)


Baca Juga: Gempa Bumi: Isyarat Alquran


 

Tafsir Surah At-Tur ayat 1-4

0
Tafsir Surah At-Tur ayat 48-49
Tafsir Surah At-Tur ayat 48-49

At-Tur bermakna bukit Tursina, sebuah bukit yang menjadi tempat Nabi Musa mendengarkan kalamullah, penjelasan secara singkat terkait pemaknaan surat At-Tur ini berada dalam Tafsir Surah At-Tur ayat 1-4.

Selain itu, Tafsir Surah At-Tur ayat 1-4 juga mengisahkan tentang Baitul Makmur, yang menjadi rumah Thawaf-nya 70.000 malaikat setiap harinya.


Baca Juga: Nabi Musa as yang Ringan Tangan dan Doa Ketika Lapar


Ayat 1

Ayat ini mengutarakan bahwa Allah swt bersumpah dengan at-Tur yang tinggi kedudukannya karena di atas at-Tur itu Allah telah berbicara dengan Nabi Musa dan menurunkan kitab Taurat kepadanya yang berisikan hukum-hukum, hikmat, dan budi pekerti dan mudah dibaca manusia.

At-Tur berarti bukit yaitu Bukit Tursina yakni sebuah bukit di Madyan tempat Nabi Musa mendengarkan kalam Allah swt. At-Tur dalam bahasa Suryani berarti juga bukit yang banyak pohon-pohonnya, tempat di mana Tuhan berbicara langsung dengan Nabi Musa dan di tempat itu pula diangkat menjadi rasul. Dinamakan at-Tur karena banyak pohonnya, bila tidak ada pohonnya, maka tidaklah dinamakan at-Tur, akan tetapi Jabal (gunung).

Allah menggunakan gunung sebagai sumpah-Nya, karena mempunyai peranan penting dalam terjadinya kehidupan di bumi ini. Mengenai gunung dan peranannya, antara lain dapat dilihat pada bahasan beberapa ayat berikut, Luqman/31: 10 dan an-Naml/27: 88.

Bahasan selanjutnya juga dapat dilihat pada an-Naba’/78: 6-7 dan an-Nazi’at/79: 30-32.


Baca Juga: Tugas dan Kedudukan Manusia di Muka Bumi Menurut Al-Qur`an


Ayat 2

Kemudian Allah swt bersumpah dengan sebuah kitab yang tertulis (bertulisan indah) dengan susunan huruf-hurufnya yang rapih. Ada yang berpendapat bahwa maksudnya ialah Lauh Mahfudz, dan ada pula yang berpendapat bahwa arti kitab yang tertulis indah, ialah yang diturunkan dan dibacakan kepada manusia dengan terang-terangan.

Ayat 3

Selanjutnya Allah swt menerangkan dalam ayat ini bahwa kitab-kitab itu mudah bagi setiap orang mempelajari isinya. Kitab-kitab itu berisi hikmah-hikmah, hukum, kebudayaan dan budi pekerti (akhlak); karena itu ditulis pada lembaran-lembaran terbuka yang dapat dibaca.

Ayat 4

Tafsir Surah at-Tur ayat 1-4 khususnya dalam ayat ini Allah swt bersumpah dengan al-Baitul-Ma’mur yaitu sebuah rumah di langit yang ketujuh yang setiap harinya dimasuki oleh 70 ribu malaikat untuk tawaf atau salat. Mereka telah masuk ke sana tidak akan kembali untuk selamanya. Hal ini ditegaskan dalam hadis Isra’ yaitu:

ثَبَتَ فِى الصَّحِيْحَيْنِ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِى حَدِيْثِ اْﻹسْرَاءِ بَعْدَ مُجَاوَزَتِهِ إِلَى السَّمَاءِ السَّابِعَةِ: ثُمَّ رُفِعَ بِى إلَى البَيْتِ الْمَعْمُوْرِ وَاِذَا هُوَ يَدْخُلُهُ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعُوْنَ اَلْفَ مَلَكٍ لاَ يَعُوْدُوْنَ اِلَيْهِ ﺁخِرَ مَا عَلَيْهِمْ. (رواه البخاري ومسلم)

“Terdapat dalam Sahih Bukhari dan Sahih Muslim bahwa Rasulullah saw bersabda dalam hadis tentang Isra’ sesudah melampaui langit ketujuh, kemudian aku diangkat ke Baitul Makmur, tiba-tiba di sana kulihat 70.000 malaikat masuk setiap hari dan mereka tidak akan kembali lagi setelah itu. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Maksud hadis di atas bahwa para malaikat itu beribadat dan melakukan tawaf di sana (Baitul Makmur) seperti halnya manusia di bumi, melakukan tawaf di Ka’bah Mekah. Begitulah keadaan para malaikat itu.

Kemudian Qatadah, Rabi’ bin Anas dan As-Suddi berkata, bahwa Rasulullah saw pada suatu hari berkata kepada para sahabat:

هَلْ تَدْرُوْنَ مَاالْبَيْتُ الْمَعْمُوْرُ؟ قَالُوْا: اَللهُ وُرَسُوْلُهُ اَعْلَمُ قَالَ: فَاِنَّهُ مَسْجِدٌ فِى السَّمَاءِ بِحِيَالِ الْكَعْبَةِ لَوْ خَرَّ لَخَرَّ عَلَيْهَا يُصَلِّى فِيْهِ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعُوْنَ اَلْفَ مَلَكٍ اِذَا خَرَجُوْا مِنْهُ لَمْ يَعُوْدُوْا ﺁخِرَمَا عَلَيْهِمْ .(أخرجه ابن جرير)

“Tahukah kamu apakah Baitul Makmur itu? Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui” Rasulullah berkata, “Baitul Makmur ialah sebuah masjid di langit yang searah dengan Ka’bah dan apabila (seseorang dari sana) jatuh, maka akan jatuh di atas Ka’bah, di sana salat 70.000 malaikat setiap hari; apabila mereka keluar dari sana, tidak akan kembali lagi.” (Riwayat Ibnu Jarir)

(Tafsir Kemenag)


Baca Juga: Hubungan Manusia dan Lingkungan Hidup dalam Surah Albaqarah Ayat 30


 

Tawaran Baru Studi Tafsir di Indonesia ala Fadhli Lukman

0
Tawaran Baru Studi Tafsir di Indonesia ala Fadhli Lukman
Tawaran Baru Studi Tafsir di Indonesia ala Fadhli Lukman

Kerancuan dalam diskursus studi Alquran dan tafsir luput dari pandangan kesarjanaan Muslim belakangan. Beberapa peneliti khususnya di Indonesia -untuk tidak mengatakan keseluruhan- cenderung kurang memperhatikan celah ini. Apakah kajian penelitian yang ditempuh mengarah ke dalam payung studi Alquran ataukah studi tafsir, yang tentu dengan konsekuensi metodologi yang tidak sama.

Diskursus kajian studi Alquran dan tafsir dibedakan dalam hal objek kajian. Studi Alquran menempatkan Alquran sebagai objek utama dalam riset yang dilakukan. Sedangkan studi tafsir membincang produk-produk penafsiran dalam kurun periode waktu tertentu.

Di antara dua diskursus kajian tersebut, Indonesia menempati posisi yang dapat dibilang berandil dalam mewarnai pemikiran keduanya. Lahirnya sejumlah produk penafsiran di Indonesia dari masa pra kemerdekaan hingga sekarang, cukup menjadi bukti bahwa minat kajian keislaman khususnya dalam ranah studi Alquran sangat subur.

Baca juga: Kritik Angelika Neuwirth atas Pendekatan Revisionisme Wansbrough dalam Studi Al-Quran

Namun berkembang pesatnya studi Alquran dalam pengertian di awal, agaknya belum selaras dengan perkembangan studi tafsir di sisi lain. Menurut Fadhli Lukman, perlu diadakan rekonstruksi dalam studi tafsir Indonesia yang selama ini tak terjamah dan cenderung bercampur dengan studi Alquran, yang sejatinya memiliki ranah berbeda.

Berkaitan dengan hal itu, terminologi “tafsir Indonesia” yang populer dipakai para akademisi maupun para pengkaji tafsir di Indonesia, selama ini memiliki kecenderungan problematis. Sebab menurut Fadhli bahwa terminologi tersebut tidak memuat konotasi metodologis. (Lihat Muhammad Arif dkk, Dialektika Keilmuan Ushuluddin: Epistemologi, Diskursus dan Praksis, halaman 70)

Konsekuensinya adalah ketidakjelasan wilayah area riset yang selama ini dipakai oleh banyak akademisi. Terminologi tafsir Indonesia sudah selayaknya lebih ditegaskan dalam wilayah antara kedua disiplin tersebut; apakah studi tafsir atau studi Alquran. Problematika tersebut yang berhasil mencuri perhatian Fadhli Lukman untuk memberikan penegasan teoritis serta tawaran metodologis dalam memberikan arah baru kajian dalam disiplin ini. (Lihat https://studitafsir.com/2021/08/29/fadhli-lukman-mengurai-benang-kusut-kajian-tafsir-nusantara/ )

Tawaran Teoritis

Fadhli Lukman melihat bagaimana arah riset diskursus Alquran dan Tafsir Indonesia belum terlalu jelas, dan masih tarik ulur di antara keduanya. Dalam upaya mengurai kerancuan tersebut, perlu bangunan asumsi yang dikembangkan sebagai pondasi ke depan untuk para pengkaji maupun akademisi. Mendudukkan terminologi tafsir Indonesia ke dalam payung studi tafsir menjadi tawaran konkret yang diajukan. (Lihat Muhammad Arif dkk, Dialektika Keilmuan Ushuluddin: Epistemologi, Diskursus dan Praksis, halaman 71).

Setidaknya ada empat komponen kunci buah tawaran Fadhli. (Lihat Muhammad Arif dkk, Dialektika Keilmuan Ushuluddin: Epistemologi, Diskursus dan Praksis, halaman 64, 71, 77 dan 84). Pertama penekanan pada medan riset antara studi Alquran dan tafsir. Penegasan antara studi Alquran dan tafsir dapat mengklasifikasikan sejauh mana arah riset studi tafsir tersebut. Di samping itu, sebagai sebuah evaluasi untuk menentukan arah baru yang lebih jelas karena perbedaan teoritis di antara kedua disiplin tersebut.

Asumsi kedua, yaitu objek material. Objek material berbicara mengenai sasaran riset daripada tafsir itu sendiri. Sebelum membangun metodologi yang tepat, kedudukan tafsir pada penjelasan umum, yaitu sebagai upaya dalam mengulik makna di balik bahasa dan seluruh aspek pesan yang terkandung dalam Alquran menjadi pengertian paling mendasar.

Objek material di sini akan mampu ditentukan dalam mengarahkan dua disiplin ini, dengan bertolak pada komponen pertama yakni konsekuensi dari medan riset itu sendiri. Sebab titik tekan dari objek studi tafsir dan studi Alquran berbeda, maka medan riset haruslah ditentukan terlebih dahulu.

Asumsi ketiga memposisikan tafsir sebagai tradisi. Tradisi sebagai sebuah istilah yang mengakumulasi langkah historis dalam kajian tafsir. Istilah tradisi tafsir disini, melihat bahwa upaya dalam penafsiran tidak bisa terjadi tanpa mengulik rentetan historis dalam kurun waktu tertentu.

Termasuk di dalamnya karya-karya penafsiran yang telah ada dengan tidak memisahkan karya lain sebagai bahan referensi dalam melihat realitas sosio-kultural yang berkembang di Indonesia. Hubungan yang melekat antara “tradisi” dan penafsiran tidak bisa dilepaskan begitu saja.

Baca juga: Kaidah ‘an-Nadhar asy-Syumuli’ (Pandangan Holistik) dalam Memahami Alquran

Asumsi keempat bahwa dalam menghubungkan antara kedua realitas, baik di dalam maupun yang ada di luar penafsiran perlu dipertegas dalam kategori tertentu. Fadhli menyebutnya sebagai “konteks tafsir dan non tafsir.”

Yang dimaksud dengan konteks non tafsir adalah sejumlah komponen yang secara luas dapat digunakan dalam membantu upaya penafsiran. Dalam kategori ini pengaruh latar sosial, budaya, politik dan intelektual sangat berperan dalam membentuk mufasir menelurkan produk tafsirnya.

Sedang yang dimaksud dengan konteks tafsir yaitu unsur luar dari sebuah produk tafsir namun masih dalam cangkupan tradisi tafsir. Dengan memperhatikan konteks tafsir dalam artian tersebut, berarti peneliti memposisikan produk-produk tafsir lainnya dalam tingkatan posisi yang penting, baik masa sebelum, sesudah atau bahkan semasa dengannya.

Baca juga: Pro Kontra Teori Peminjaman dan Keterpengaruhan Al-Quran Terhadap Yahudi dan Nasrani

Poin ini yang mampu menempatkan produk tafsir dan tafsir tradisi pada proposisi tertentu. Produk tafsir tidak akan berjalan sendiri tanpa melihat dan menimbang rentan historis dengan produk-produk tafsir lainnya.

Sehingga, tujuan dalam sebuah upaya mengkaji produk penafsiran akan dapat tercapai. Yaitu memahami dan mendudukan produk penafsiran sebagai sebuah proses interaksi individu dengan Alquran. Dengan kesadaran ini, bahwa studi tafsir Indonesia dapat secara tegas memberikan batas diskursusnya, sehingga tidak kabur arah riset yang ingin dikembangkan, lebih-lebih bercampur dengan diskursus studi Alquran dengan arah yang berbeda. ( Lihat Fadhli Lukman, Telaah Historiografi Tafsir Indonesia, Analisis Makna Konseptual Terminologi Tafsir Nusantara, halaman 72-73 ).

Prinsip-Prinsip Produksi dalam Alquran

0
prinsip-prinsip produksi dalam Alquran
prinsip-prinsip produksi dalam Alquran

Istilah produksi dalam kajian ekonomi islam disebut dengan injatiyah. Kegiatan produksi dapat diartikan sebagai upaya untuk menambah nilai guna suatu benda atau menciptakan benda baru, sehingga lebih bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan [Teori Fikih Ekonomi, hlm. 68].

Salah satu faktor pendorong kemajuan perekonomian adalah adanya keseimbangan antara produksi dan konsumsi. Kegiatan produksi sangat penting dilakukan mengingat manusia sangat membutuhkan hasil-hasil produksi tersebut untuk dimanfaatkan dalam kehidupan. Oleh karenanya, Imam al-Ghazali berpendapat bahwa kegiatan produksi itu hukumya fardu kifayah, artinya kalau tidak ada satupun yang melakukannya maka semuanya akan menanggung dosa [Ihya al-Ulum al-Din, juz 1, hlm. 16]

Pandangan al-Ghazali tersebut tidaklah aneh mengingat kebutuhan umat tidak akan terpenuhi jika tidak ada seorangpun di antara merka yang melakukan produksi.

Baca Juga: Etika Produksi dalam Alquran

Prinsip-prinsip produksi dalam tafsir

Berbeda dengan produksi dalam ekonomi konvensional, kegiatan produksi dalam Islam tidak boleh melanggar aturan-aturan hukum dan etika yang telah ditetapkan dalam Islam, karena kegiatan produksi dalam Islam bukan hanya bertujuan untuk meraup keuntungan, tetapi juga untuk menciptakan kemanfaatan baik bagi diri sendiri maupun orang lain.

Alquran telah memberikan kita pelajaran terkait tata cara bermuamalah, termasuk di dalamnya yaitu kegiatan produksi. Jika ditelusuri lebih dalam, maka akan didapati banyak ayat Alquran yang memberikan pelajaran penting terkait prinsip-prinsip produksi. Salah satunya adalah Q.S. Al-Nahl ayat 68-69.

وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ (68) ثُمَّ كُلِي مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ فَاسْلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلًا يَخْرُجُ مِنْ بُطُونِهَا شَرَابٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ فِيهِ شِفَاءٌ لِلنَّاسِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (69)

Dan Tuhanmu mengilhamkan kepada lebah, “Buatlah sarang di gunung-gunung, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia. Kemudian makanlah dari segala (macam) buah-buahan lalu tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu).” Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berpikir.

Ayat ini menyinggung tentang lebah, serangga penghasil madu yang bermanfaat bagi manusia. Lebah menghasilkan madu beraneka macam warna yang kaya akan khasiat. Senyawa propolis yang terkandung dalam madu memiliki segudang manfaat terutama untuk teraapi pengobataan berbagai macam penyakit [Propolis; Madu Multikhasiat, hlm. 5]

Baca Juga: Tafsir Surat An-Nahl Ayat 68-69: Keistimewaan Lebah dalam Al-Quran

Filosofi lebah sebagai isyarat prinsip-prinsip produksi

Terdapat beberapa prinsip-prinsip produksi yang dapat diambil dari filosofi lebah dalam ayat di atas.

Pertama, input yang baik. Dalam melakukan tindakan produksi, manusia harus berusaha semaksimal mungkin mencari bahan baku yang baik-baik dan halal, sebagaimana lebah bisa memproduksi madu dari sari pati bunga. Imam al-Razi menyebutkan bahwa Allah telah menciptakan materi-materi bermanfaat di udara yang kemudian menyatu dengan berbagai jenis bunga, buah-buahan dan pepohonan. Lantas Allah memberi ilham kepada lebah untuk menghisap materi-materi tersebut [Tafsir al-Razi, juz 20, hlm. 239].

Kedua, proses yang baik. Lebah mengajarkan manusia untuk melakukan kegiatan produksi dengan cara yang baik, yaitu dengan tidak tidak memberi dampak buruk kepada pihak lain, seperti pencemaran lingkungan akibat limbah produksi yang belum disaring. Meski setiap tindakan produksi (terlebih dalam bidang industri) pasti menimbulkan dampak negatif, paling tidak dampak tersebut dapat diminimalisasi dan ditekan sedemikian rupa [Tafsir al-Sya’rawi, juz 13, hlm. 8057].

Ketiga, output yang dihasilkan harus mempunyai nilai kemanfaatan. Melalui filosofi lebah, Allah telah mengajarkan kepada manusia (terutama pelaku produksi) agar segala sesuatu yang dihasilkan harus memiliki nilai guna. Artinya, selain untuk mencari keeuntungan pribadi, produk yang dihasilkan juga harus memiliki manfaat kepada orang lain. Oleh karenanya, dalam Islam, tidak diperkenankan memproduksi barang-barang yang menimbulkan bahaya dan mudarat.

Baca Juga: Lebah, Semut dan Laba-Laba dalam Alquran

Terkait dengan filosofi lebah, Nabi Muhammad saw. dalam sebuah hadis juga mengumpamakan orang beriman yang baik dengan lebah madu,

إِنَّ مَثَلَ الْمُؤْمِنِ ‏ ‏لَكَمَثَلِ النَّحْلَةِ أَكَلَتْ طَيِّبًا وَوَضَعَتْ طَيِّبًا وَوَقَعَتْ فَلَمْ تَكْسِر ولم تُفْسِد (رواه أحمد والحاكم والبيهقي)

Mu’min (orang yang beriman) adalah laksana lebah madu. Jika dia makan, hanya memakan makanan yang baik, jika mengeluarkan sesuatu adalah sesuatu yang baik pula dan bila hinggap diatas ranting pohon tidak mematahkannya dan merusaknya. (HR. Ahmad, al-Hakim al-Baihaqi).

Dari keterangan diatas, dapat disimpulkan bahwa prinsip produksi dalam Islam selain untuk meraup kuntungan, juga harus diproyeksikan untuk menciptakan nilai kemanfaatan. Selain itu, harus mempertimbangkan norma-norma agama sebagaimana telah disinggung di penjelasan sebelumnya.

Dengan demikian, kemungkinan besar produk yang dihasilkan dari kegiatan produksi itu akan mempunyai nilai guna sekaligus halalan, thayyiban, mubarakan fih. Wallah a’lam.

Pemahaman Malam Isra Mikraj Secara Semiotik

0
pemahaman malam isra mikraj secara semiotika
pemahaman malam isra mikraj secara semiotika

Barangkali umat Islam telah mengerti tentang kisah perjalanan malam Nabi Muhammad saw. ke Baitul Maqdis dan ke sidrat muntaha. Apalagi kalau bukan Isra Mikraj. Malam Isra Mikraj ini jika dipahami secara semiotik, mungkin akan sedikit berbeda dengan yang biasa didengar dari para dai.

سُبْحانَ الَّذِي أَسْرى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بارَكْنا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آياتِنا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Maha Suci Yang telah memperjalankan hamba-Nya pada malam hari dari Masjid al-Haram menuju Masjid al-Aqsha yang diberkahi sekitarnya untuk kami perlihatkan sebagian ayat-ayat kami, sesungguhnya Dia Maha Mendengar Maha Melihat.

Baca Juga: Peringatan Isra-Mikraj: Refleksi Sufistik Kualitas Salat Kita

Perbedaan pandangan mufasir

Surah al-Isra’ ayat 1 menjadi salah satu ayat dalam Alquran yang menimbulkan perdebatan di kalangan ulama hingga dewasa ini. Perdebatan tersebut berkisar pada pertanyaan apakah Nabi Muhammad saw diperjalankan dari Masjid al-Haram menuju Masjid al-Aqsha secara lahir ataukah secara batin.

Mayoritas mufasir berpendapat bahwa perjalanan beliau melibatkan fisik secara keseluruhan, tidak hanya ruh. Sementara pendapat lain yang menyebut perjalanan beliau secara ruh atau mimpi dalam Tafsir al-Tabari dari riwayat Hudzaifah dikuatkan oleh pernyataan Aisyah dan Muawiyah.

Imam al-Razi berpendapat mengenai surah al-Isra’ ayat 1 ini bahwa secara akal dimungkinkan perjalanan Nabi Muhammad saw. secara lahir berdasarkan ayat 40 surah al-Naml yang menyebutkan perihal seorang di zaman Nabi Sulaiman yang mampu menghadirkan singgasana Bilqis dalam sekejap mata. Beliau juga menguatkan pendapat ini dengan berbagai penjelasan aqliyah, seperti pergerakan angin dan tata surya yang menjadi contoh bahwa pergerakan fisik yang demikian cepat dimungkinkan terjadi. Oleh karenanya Isra Mikraj tidak dapat dikatakan sebagai hal yang tidak logis.

Al-Razi juga mengungkapkan pendapat perihal diksi bi abdihi yang menjadi menjadi isyarat bahwa perjalanan beliau bukan hanya ruh melainkan juga fisik. Ta’birnya adalah ayat 10 surah al-Alaq dan ayat 19 surah Jin di mana pada dua surah tersebut diksi abd digunakan untuk menggambarkan kombinasi fisik dan ruh.

Demikian pula al-Qurtubi yang menyebut bahwa riwayat tentang ingkarnya suku Quraisy terhadap perjalanan Nabi Muhammad saw menuju Masjid al-Aqsha menandakan bahwa peristiwa tersebut terjadi secara fisik. Jika sekedar mimpi atau ruh maka menurut al-Qurtubi tidak mungkin sampai terjadi pengingkaran hingga demikian keras dari suku Quraisy.

Pendapat dari Aisyah menurut al-Qurtubi berdasarkan pada ayat

وَما جَعَلْنَا الرُّؤْيَا الَّتِي أَرَيْناكَ إِلَّا فِتْنَةً لِلنَّاسِ

Dan tidak kami jadikan ru’ya yang kami perlihatkan padamu kecuali sebagai ujian bagi manusia.

Kata ru’ya dimaknai dengan mimpi (dalam tidur) oleh Aisyah. Sebaliknya menurut al-Qurtubi dalam tidur seorang tidak mungkin disebut asra, sementara ru’yat al-ain (melihat dengan kasat mata) menurutnya juga bisa disebut dengan ru’ya. Jadi kata ru’ya dalam ayat ini tidak dapat disebut mimpi karena terdapat kata asra di dalamnya yang menegasikan kemungkinan tersebut.  Di samping tidak sepakat dengan pendapat Aisyah, Al-Qurtubi juga mengasikan pendapat dari Muawiyah yang disebutnya masih belum Muslim pada saat isra’ Nabi Muhammad saw.

Seperti halnya al-Razi dan Al-Qurtubi, Ibn Katsir juga memaknai ayat satu surah al-Isra’ ini dengan perhatian pada riwayat perjalanan Nabi Muhammad saw. Ibn Katsir bahkan secara detail mengutip riwayat dari al-Bukhari yang menceritakan perjalanan Nabi Muhammad saw. dari langit pertama hingga sidrat al-muntaha dengan berbagai kejadian pada setiapnya yang telah masyhur dan tidak dapat kami tuliskan di sini.

Baca Juga: Apa Hanya Ruh Nabi Saw yang Melakukan Isra Mikraj? Ini Penjelasan Ulama

Narasi indah keseluruhan kandungan surah

Terlepas dari perdebatan terkait bagaimana cara Nabi Muhammad saw. diperjalankan menuju Masjid al-Aqsha, ayat pertama surah al-Isra’ ini menjadi pembuka narasi keseluruhan surah dengan indah jika dimaknai secara semiotik. Diksi dan narasi perjalanan Nabi dalam ayat ini dapat menjadi simbol yang terkait dengan rangakian ayat yang ada dalam surah al-Isra.

Kata lail atau malam disebut sebanyak lima kali dalam surah ini, sekali pada ayat 1, yaitu malam Isra Mikraj; dua kali pada ayat 12; sekali pada ayat 78; dan sekali pada ayat 79.

Pada ayat 12 kata ini digunakan untuk menerangkan tentang pertanda dari Allah SWT dalam bentuk siang dan malam. Ketika malam dihilangkan dan siang dijadikan pertanda untuk dapat melihat sehingga kita dapat mencari anugerah Allah dan mengetahui tahun dan segenap perhitungannya. Ayat 12 ini ditutup dengan kalimat “dan setiap hal kami terangkan seterang-terangnya”.

Ayat 12 ini terkait erat dengan ayat 13 yang menyebutkan bahwa setiap manusia dikalungkan kepada mereka setiap amalnya dan pada hari kiamat akan dibukakan dan akan dikeluarkan baginya kitab yang terbuka. Kaitan ayat 12 dan 13 akan terlihat jika kita baca ayat 22 surah Qaf yang menyebutkan bahwa setiap orang yang berada dalam kelalaian akan hari kiamat akan disingkapkan penutup matanya maka penglihatannya pada hari itu menjadi sangat tajam.

Malam menjadi simbol perjalanan manusia di dunia untuk kemudian kelak pada hari akhir jelas baginya segenap kasih dan cahaya yang diberikan Allah kepadanya. Hal ini dipertegas dengan tujuan perjalanan dari Masjid al-Haram menuju Masjid al-Aqsha adalah li nuriyahu min ayatina untuk diperlihatkan kepada hamba tersebut berbagai pertanda dari Allah SWT melalui ciptaan dan kuasa-Nya.

Kembali pada ayat 1 para mufasir sepakat bahwa Masjid al-Aqsha dalam ayat tersebut merupakan Bait al-Maqdis. Penyebutan al-Aqsha dalam ayat ini membuka pintu pemaknaan alegoris bahwa hamba tersebut tetap diperintahkan bersujud meski ia dalam posisi aqsha atau terjauh. Telah jamak kita ketahui bahwa perintah salat turun pada saat Rasulullah saw diperjalankan. Telah jamak pula kita ketahui bahwa secara eksistensial dalam wujud ruh kita pernah bersujud kepada-Nya sebelum berani menghadapi ujian yakni turun di dunia.

Al-Razi menyebut penggunaan bentuk nakirah dari kata lail pada ayat 1 menunjukkan bahwa peristiwa tersebut hanya terjadi pada sebagian waktu di malam hari, bukan sepanjang malam. Singkatnya waktu perjalanan dan begitu banyak ayat yang didapatkan oleh Rasulullah saw identik dengan sabda beliau ketika menyifati dunia dalam riwayat yang masyhur dari Abdullah bin Umar yang dikeluarkan oleh Abu Dawud, Ibn Majah, dan al-Tirmidzi.

Baca Juga: Makna Dibalik Panggilan Hamba di Cerita Isra Nabi Muhammad dalam Alquran

Suatu ketika beliau mendapati Nabi Muhammad saw. yang sedang tidur beralaskan pelepah kurma yang menjadikan bekas pada wajah beliau. Para sahabat pun meminta izin untuk menyediakan kasur tidur dan beliau bersabda;

مَالِي وَلِلدُّنْيَا مَا أَنَا وَالدُّنْيَا إِنَّمَا أَنَا وَالدُّنْيَا كَرَاكِبٍ ‌اسْتَظَلَّ ‌تَحْتَ ‌شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرْكَهَا

Bukan untukku bukan untuk dunia, bukanlah aku dan dunia, aku dan dunia hanyalah seperti penunggang yang berteduh di bawah pohon untuk beristirahat dan kemudian meninggalkannya.

Dari surah al-Isra’ ayat 1 secara semiotik dapat dimaknai bahwa di dunia yang cukup singkat seperti halnya malam, kita menyusuri hidup untuk menjemput cahaya Allah yang terang laksana siang. Di akhirat kelak kita akan mengetahui hakikat waktu yang ternyata hanya sekejap saja laksana malam Isra Mikraj. Dalil bahwa kita hidup di dunia hanya sehari disebutkan dalam Alquran surah al-Mu’minun ayat 112 sampai 114.

قالَ كَمْ لَبِثْتُمْ فِي الْأَرْضِ عَدَدَ سِنِينَ (112) قالُوا لَبِثْنا يَوْماً أَوْ ‌بَعْضَ ‌يَوْمٍ فَسْئَلِ الْعادِّينَ (113(قالَ إِنْ لَبِثْتُمْ إِلَاّ قَلِيلاً لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (114)

Dia berkata berapa tahun lamanya kalian tinggal di bumi? Mereka menjawab kami tinggal sehari atau setengah hari, maka tanyakan pada para penghitung. Dia berkata tidaklah kalian tinggal kecuali hanya sebentar sekiranya diri kalian mengetahui.

Wallahu a’lam

Makna “al-Abtar” dalam Surah Alkautsar [108]: 3

0

Pada surah Alkautsar ayat ke-3 terdapat kata al-abtar, yang dalam sabab nuzulnya kata itu digunakan untuk menghina Nabi Saw., sebab Nabi Saw. tidak memiliki keturunan laki-laki. Hinaan tersebut dilontarkan oleh orang-orang kafir Quraish yang membenci Nabi Saw.

Dikisahkan bahwa ayat ini turun ketika Nabi Saw. sedang tidur sejenak, kemudian beliau sontak menengadahkan kepala lalu tersenyum. Sahabat penasaran dan bertanya, “Apa yang membuatmu tersenyum, wahai utusan Allah?” Nabi Saw. menjawab, “Telah diturunkan kepadaku satu surah,” lalu beliau membacanya: Sesungguhnya kami telah berikan kepadamu nikmat yang banyak (1) Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah (2) Sesungguhnya orang-orang yang membencimu dialah yang terputus (kebaikannya) (3).

Beliau kemudian menjelaskan bahwa kautsar itu adalah sebuah danau atau telaga yang dipenuhi kenikmatan surgawi khusus kepada umat Islam yang iman dan taat. (Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Jilid 22, 519)

Beranjak dari respon Nabi Saw. yang tersenyum bahagia saat menerima surat ini, boleh jadi surah Alkautsar turun untuk menghibur Nabi Saw. yang saat itu tengah menjadi bahan gunjingan orang kafir Quraisy, sebagaimana termaktub dalam ayat ke-3:

إنَّ شَانِئَكَ هُوَ اْلأَبْتَر

Baca Juga: Surat Al-Kautsar: Asbabun Nuzul dan Riwayat Kematian Putra Nabi Saw

Sabab Nuzul

Mayoritas mufasir klasik menghubungkan ayat ini dengan kisah seorang bernama Ash ibn Wail as-Sahmi. Alkisah saat Rasulullah Saw. hendak keluar dari masjid, beliau berpapasan dengannya lalu keduanya berbicara. Selesai berbicara Wail masuk ke dalam menemui para pembesar Quraisy, ia pun ditanya, “Siapa yang kau ajak bicara?” Wail menjawab, “Itu yang tak punya keturunan (abtar).” (Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an, Jilid 24, 697)

Ar-Razi menambahkan bahwa ada enam pendapat yang menjadi sabab nuzul ayat ini. Pertama, kisah Ash ibn Wail tadi dengan sedikit tambahan saat ia menjawab pertanyaan kaum Quraisy, yaitu “Muhammad yang terputus, tidak punya anak yang bakal menjadi penggantinya. Ketika meninggal dilupakanlah dia,” dan putra beliau dari Khadijah memang baru meninggal kala itu, yakni Abdullah.

Kedua, kisah Ka’ab ibn Asyraf yang mendatangi sekelompok kafir Quraisy, mereka berkata, “Kami keluarga Siqayah dan Sadanah dan kau tuan penduduk Madinah. Kami lebih mulia, sedang Abtar ini (Muhammad Saw.) mengaku lebih mulia dari kita?”, Ka’ab menjawab, “Bahkan kalian yang lebih mulia darinya.”

Ketiga, Ikrimah dan Syahr ibn Hausyab berkata bahwa setelah Nabi Saw. menerima wahyu dan kaum Quraisy diajak masuk Islam, mereka malah memutus hubungan dan membangkang. Sebab itulah Mereka dijuluki mubtarun (orang-orang yang diputus kebaikannya).

Keempat, ayat ini diturunkan kepada Abu Jahal yang selepas meninggalnya putra Nabi Saw., ia membencinya dan mengumpatinya dengan julukan abtar. Untuk kelima dan keenam juga beranjak dari pernyataan paman Nabi Saw. sendiri, Abu Lahab dan Uqbah ibn Abi Muith. (Ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, Jilid 32, 132)

Memang dalam tradisi Arab, seseorang yang tidak mempunyai keturunan laki-laki atau tidak sama sekali, diistilahkan dengan abtar. Secara bahasa kata abtar merupakan sinonim dari kata al-qath’u yang berarti putus.

Dalam konteks pasangan suami istri, yang dimaksud putus adalah keturunanya, baik itu karena mandul atau anaknya meniggal. Penyandingan julukan abtar tentu tiada lain hanya sebagai hinaan dan celaan terhadap pasangan yang mendapat musibah tersebut.

Baca Juga: Hubungan Unik Surat Al-Maun dan Al-Kautsar

Tafsiran Ayat

Secara umum, semua mufasir sepakat mengartikan kata syaniun adalah musuh atau pembenci. Sedangkan kata abtar masih terjadi beberapa perbedaan pemaknaan. Secara lebih rinci, al-Thabari memaparkan beberapa kutipan ulama-ulama besar lainnya yang menunjukkan perbedaan tersebut. Di antaranya beliau mengutip dari Ibnu Hamid, bahwa Said ibn Jabir mengartikan ayat tersebut dengan musuhmu, Ash ibn Wail yang terputus (hubungan) dengan kaumnya.

Atau mengutip dari Abdul Ali, yang mengatakan bahwa Qatadah mengartikan kata abtar dengan sesuatu yang tidak memiliki akhir (tujuan); atau sesuatu yang rendah, hina, kotor dan tercela. Dari pada itu, al-Thabari kemudian mengambil sebuah kesimpulan yang lebih benar -hal ini memang gaya penafsiran al-Thabari- bahwa seorang yang membenci Rasulullah Saw. pasti hina dan tercela, dan sifat ini memang disandingkan kepada mereka yang suka membenci orang lain. (Ibnu Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an, Jilid 24, 800-801)

Lain hal dengan penafsiran yang dilakukan ar-Razi, menurutnya, ayat yang terakhir bermakna hinanya orang-orang kafir yang membenci, mencela serta menyifati Nabi Saw. dengan bermacam sifat buruk, adalah sebagai pujian kepada Nabi Saw. tentang berbagai keutamaan dan kenikmatan yang telah dianugerahkannya, sebagaimana jelas dalam ayat pertama.

Dengan al-kaustar yang kenikmatannya tidak dapat digambarkan dengan sesuatu, yang menampung semua kebaikan dunia dan akhirat, Allah kemudian memerintahkan sebuah ketaatan. Ketaatan yang dimaksud adalah ketaatan badan, yakni salat dan zakat (kurban), serta ketaatan hati berupa tujuan ibadah yang lillah (karena Allah semata). (Ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, Jilid 32, 135)

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Hukum Mengumumkan Berita Kematian

Hikmah Ayat

Dalam Islam, siapa pun yang menghina orang lain, sesungguhnya ia menghina dirinya sendiri. Setidaknya begitulah maksud dari ayat ke-3 dari surah Alkautsar. Dengan ayat tersebut, Allah Ta’ala ingin menjelaskan bahwa setelah orang-orang kafir Quraisy menyifati Nabi Saw. dengan sifat buruk,  yakni abtar, seyogianya merekalah yang menyandang sifat itu, layaknya bumerang.

Sebab pemaknaan kata abtar dalam Alquran tidak berhenti sebagaimana dalam istilah yang dipakai orang Arab dahulu. Abtar secara lebih luas diinterpretasikan sebagai putusnya kebaikan, pertolongan, kekuatan dan semacamnya. Maka, hal tersebut sungguh terbukti, ketika kafir Quraisy mengklaim bahwa Nabi Saw. tidak mempunyai kekuatan dan penolong, sejarah berkata lain, Islam justru semakin meluas hingga ke berbagai penjuru dunia.

Wallaahu a’lam.

Tafsir Surah Alhujurat Ayat 13: Merawat Kerukunan, Memberantas Rasisme

0
Tafsir Surah Alhujurat Ayat 13: Merawat Kerukunan, Memberantas Rasisme
Tafsir Surah Alhujurat Ayat 13: Merawat Kerukunan, Memberantas Rasisme

Indonesia merupakan negara multikultural yang dihuni oleh penduduk dari berbagai etnis, suku, bahasa, dan agama. Jika tidak memiliki jiwa nasionalisme yang mengakar, kondisi seperti ini sangat rentan menimbulkan perpecahan dan ketidakharmonisan di tengah-tengah masyarakat heterogen tersebut. Hal yang dikhawatirkan ketika persatuan di masyarakat tidak terjaga adalah goyahnya persatuan dan kesatuan bangsa.

Agar keutuhan dan persatuan tetap terjaga, masing-masing pribadi perlu menyikapi perbedaan-perbedan tersebut secara proporsional. Islam sangat mencela sikap rasis dalam berinteraksi dengan sesama manusia. Dalam hal ini, Alquran, telah memberikan rambu-rambu terkait sikap muslim saat berinteraksi dengan sesama warga negara di tengah-tengah keragaman tersebut.

Dalam Q.S. Alhujurat ayat 13, Allah Swt. berfirman:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Baca juga: Isyarat Larangan Rasisme dalam Alquran, Tafsir Surah Ar-Rum Ayat 22

Menurut sahabat Ibnu Abbas r.a., ayat ini turun merespons sikap rasis sebagian orang Quraish terhadap sahabat Bilal bin Rabah. Kisahnya, ketika penaklukkan Kota Makkah, Nabi saw. memerintahkan sahabat Bilal r.a. naik ke atas Ka’bah guna mengumandangkan azan. Orang-orang Quraish yang menyaksikan kejadiaan tersebut kemudian berkata, “Apakah Muhammad tidak menemukan orang lain untuk mengumandangkaan azan selain budak hitam ini?” Kemudian turunlah ayat ini sebagai teguran atas sikap rasis mereka terhadap sahabat Bilal r.a. [Tanwir al-Miqbas min Tafsir ibn Abbas, juz 1, hlm. 437].

Kandungan Hikmah Surah Alhujurat Ayat 13

Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari ayat di atas, terutama kaitannya dengan konteks negara Indonesia yang multikultural. Menurut Syaikh Wahbah al-Zuhaili, ayat di atas menjelaskan tiga hal penting yang dapat dijadikan pedoman dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Tiga hal tersebut adalah al-musawah (kesetaraan), al-ta’aruf (saling mengenal), dan al-taqwa (ketakwaan) [Tafsir al-Munir, juz 26, hlm. 259].

Allah Swt. menciptakan manusia dari asal yang sama, yaitu Nabi Adam a.s. sehingga semua manusia memiliki derajat yang sama dari aspek kemanusiaaan. Maka secara fitrah, manusia memiliki kedudukan serta hak dan kewajiban yang sama, baik di hadapan syariat maupun dalam kehidupan sosial. Nilai inilah yang dinilai menjadi dasar ideologi demokrasi oleh Syaikh Wahbah al-Zuhaili.

Baca juga: Lima Pedoman Hidup Bermasyarakat: Refleksi Surah Al-Hujurat Ayat 11-13

Menurut Ibnu Asyur, salah satu karakteristik syariat Islam yang merupakan konsekuensi dari universalitas Islam itu sendiri adalah al-musawah (kesetaraan). Semua orang beriman memiliki hak dan kewajiban yang sama di hadapan syariat tanpa memandang latar belakang suku, ras warna kulit, dan lain sebagainya [Maqashid al-Syariah al-Islamiyah, hlm. 106].

Nilai-nilai al-musawah (kesetaraan) ini juga telah disinggung oleh Nabi Muhammad saw. dalam sabda beliau yang berbunyi:

النَّاسُ كَأَسْنَانِ الْمُشْطِ

Manusia itu bagaikan gigi-gigi sisir (H.R. Al-Qadha’i).

Atau dalam redaksi lain

الناس مستوون كأسنان المشط ليس لأحد على أحد فضل إلا بتقوى الله

Manusia itu bagaikan gigi sisir; tidak ada keutamaan satu orang atas orang lain melainkan dengan ketakwaan (H.R. al-Dailami).

Selain itu, Allah menciptakan manusia dengan latar belakang suku dan ras yang berbeda-beda agar manusia bisa saling mengenal dan bersilaturahmi satu sama lain. Di Indonesia saja, masyarakatnya terdiri dari banyak suku, ras, dan etnis. Ada suku Jawa, Sunda, Madura, Sasak, Dayak, dan masih banyak lagi. Dengan adanya perbedaan tersebut, masyarakat dituntut untuk saling mengenal dan memperluas jaringan komunikasi. Jangan sampai perbedan tersebut lantas menyebabkan timbulnya rasisme antargolongan atau bahkan perpecahan.

Menurut Imam al-Zamakhsyari, hikmah yang dapat diambil dari keragaman latar belakang manusia adalah agar manusia bisa saling mengenal satu sama lain. Seseorang akan mudah dikenal dan dibedakan dari orang lain ketika diketahui nasab atau etnisnya. Namun, perbedaan tersebut tidak ditujukan agar manusia berbangga-bangga dengan nasab dan keturunannya [al-Kasysyaf ‘an Haqaiq Ghawamid al-Tanzil, juz 4, hlm. 375].

Baca juga: Inilah Tiga Sikap Kerukunan Umat Beragama Menurut Quraish Shihab

Seorang muslim tidak boleh menganggap ras atau golongannya lebih baik daripada dan atau golongan yang lain. Karena penilaian baik dan buruk itu tidak bisa diukur berdasarkan ras atau golongan.

Maka dari itu, pelajaran ketiga yang dapat dipetik dari ayat di atas adalah takwa dan amal saleh sebagai tolok ukur baik dan buruknya seseorang. Takwa lah yang menjadi neraca untuk mengukur kemuliaan seseorang di sisi Tuhan. Maka dari itu, orang yang paling mulia disisi Allah Swt. tidak diukur dari golongan, ras, atau kasta seseorang, melainkan dari tingkat ketakwaannya kepada Allah Swt. [Tafsir Ibn al-Katsir, juz 7, hlm. 386].

Dalam Islam, yang menjadi barometer kemuliaan seseorang bukanlah paras wajah, warna kulit ataupun ras-golongan, melainkan tingkat keimanan dan amal saleh yang dilakukan. Hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah saw.:

إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ، وَلَا إِلَى أَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

Sesungguhnya Allah tidak melihat paras dan harta kalian, melainkan Allah melihat hati dan amal kalian (H.R. Muslim).

Ala kulli hal, Q.S. Alhujurat ayat 13 ini mengajak umat Islam untuk menumbuhkan nilai-nilai persatuan, saling menghargai satu sama lain, serta mengupayakan keharmonisan antaragama, budaya, etnis, dan ras demi menjaga keutuhan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sekian.

Wahyu Al-Quran dan Keteladanan Nabi Muhammad Saw Sebagai Pejuang Kemanusiaan

0
Nabi Muhammad saw sebagai pejuang kemanusiaan
Nabi Muhammad saw sebagai pejuang kemanusiaan

Selain akhlak mulia, hal yang mungkin luput kita sadari dalam rangka meneladani Nabi saw di bulan maulid ini adalah sosoknya sebagai pejuang kemanusiaan. Nabi Muhammad saw merupakan figur yang berperan penting dalam rangka menghilangkan diskriminasi ras dan ikut andil dalam melakukan transformasi sosial termasuk menghilangkan perbudakan.

Ajaran yang dibawa Rasulullah Saw mendorong para sahabat untuk membebaskan budak. Terobosan yang di abad ke-7 M terbilang sangat maju. Di saat masyarakat lain seperti di Byzantium dan Romawi justru melegalkan perbudakan dan menganggap budak adalah kebutuhan.

Sebagai pejuang kemanusiaan, Nabi Muhammad saw juga sangat dekat dan mencintai orang-orang lemah dan miskin. Bahkan, dalam sebuah riwayat dari Abu Sa’id al-Khudri Rasulullah saw berdoa:

اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مِسْكِينًا، وَأَمِتْنِي مِسْكِينًا، وَاحْشُرْنِي فِي زُمْرَةِ الْمَسَاكِينِ

“Ya Allah, hidupkanlah aku sebagai orang miskin, matikanlah aku sebagai orang miskin, dan kumpulkan aku bersama orang-orang miskin.” (HR. Ibnu Majah, At-Tirmidzi, dan Al-Baihaqi)

Menurut Syekh Ahmad Thayyib sebagaimana dijelaskan dalam situs dar-alifta.org, doa ini tidak tepat diartikan sebagai dorongan umat Islam untuk hidup miskin. Doa ini adalah bentuk kecintaan dan kepedulian Nabi saw kepada mereka. Kecintaan ini membuktikan bahwa Nabi saw adalah pribadi yang sederhana dan berada di pihak orang-orang tertindas.

Baca Juga: Tafsir Surat An-Naml Ayat 34: Penjajahan Menyalahi Fitrah Kemerdekaan Manusia

Sebagai pejuang kemanusiaan dan pembebasan, sejak awal Rasulullah saw telah merangkul orang-orang lemah (mustadh’afin) dan duduk sejajar dengan mereka. Wahyu Al-Quran menyindir perilaku orang-orang Quraisy Makkah yang berbangga-bangga dengan nasab dan harta benda. Sebagaimana misalnya tercantum dalam Surat At-Takatsur (102): 1-8 dan Al-Humazah (104): 1 – 9.

Al-Quran sebagai pedoman Nabi Saw, selalu mendorong kesetaraan sosial dengan tidak membeda-bedakan status sosial. Semua manusia sama dan sejajar di hadapan Allah Swt.

Atas dasar ajaran inilah Allah Swt menegur Nabi Saw ketika tidak menghiraukan Abdullah Ibnu Ummi Maktum yang datang ke hadapannya, sedang Nabi bersama para pembesar Quraisy. Hal ini tentu saja perlu kita pahami sebagai bagian dari sifat manusiawi Nabi Saw. Karena kemakshumannya, Allah Swt yang langsung mengingatkan baginda Nabi saw. Allah Swt berfirman:

عَبَسَ وَتَوَلَّى (1) أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَى (2) وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّى (3) أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَى (4) أَمَّا مَنِ اسْتَغْنَى (5) فَأَنْتَ لَهُ تَصَدَّى

“Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling. Karena seoran buta telah datang kepadanya (Abdullah bin Ummi Maktum). Dan tahukah engkau (Muhammad) barangkali dia ingin menyucikan dirinya (dari dosa). Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, yang memberi manfaat kepadanya. Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup (pembesar-pembesar Quraisy). Maka engkau (Muhammad) memberi perhatian kepadanya. …”

Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Quran al-‘Adzim menerangkan bahwa suatu ketika Rasulullah Saw sedang bercakap-cakap dengan para pembesar Quraisy. Rasul Saw sangat berharap agar mereka dapat memeluk Islam. Seketika datanglah Abdullah Ibn Ummi Maktum, yang telah masuk Islam lebih dulu, hendak menanyakan sesuatu. Akan tetapi Rasul Saw agaknya kurang menghendaki pertanyaan dari Abdullah Ibn Ummi Maktum. Lalu turunlah ayat ini.

Baca Juga: Tafsir Surat at-Takatsur: Kritik Al Quran Kepada Mereka yang Bermegah-Megahan

Dari kasus Surat ‘Abasa ini, kita bisa mengambil contoh bahwa Al-Quran menghendaki Rasulullah Saw selalu menjunjung tinggi nilai keadilan dan kesetaraan. Karena memang inilah inti dari ajaran Islam dan risalah kenabian.

Ajaran kemanusiaan, pembebasan, kesetaraan, dan perjuangan melawan diskriminasi ini wajib menjadi panduan umat Muslim hingga saat ini. Salah satu tokoh yang bisa dikatakan cukup berhasil mengimplementasikan ajaran Al-Quran ini adalah Farid Esack. Ia menggunakan spirit pembebasan Al-Quran untuk menjadi basis teologi dalam meruntuhkan rezim apartheid di Afrika Selatan.

Apartheid adalah kebijakan yang diberlakukan pemerintah Afrika Selatan untuk melakukan segregasi politik dan ekonomi antara kulit putih dan kulit berwarna. Kebijakan ini mendapatkan dukungan dari sebagian komunitas dan lembaga Muslim dengan dalih menghindari fitnah dan melarang pemberontakan.

Baca Juga: Farid Esack: Mufassir Pejuang Keadilan di Afrika Selatan

Dengan menggunakan spirit pembebasan Al-Quran dan keteladanan Nabi Muhammad saw Farid Esack membuat narasi tandingan. Esack menegaskan bahwa sejatinya ajaran Al-Quran dan Sunnah Nabi Saw memiliki agenda pembebasan dan tidak menganut teologi diam. Cerita tentang perjuangan Farid Esack dan konsepnya soal teologi pembebasan al-Quran ini dapat kita temukan dalam bukunya yang berjudul Quran, Liberation, and Pluralism: An Islamic Perpsective of Interreligious Solidarity Against Oppression.

Selain Farid Esack, tentu masih banyak lagi tokoh yang menjadikan ajaran pembebasan Al-Quran dan keteladanan Nabi Muhammad Saw sebagai dasar perjuangan mereka.

Melalui momentum bulan maulid Nabi ini, kita patut berupaya untuk mengimplementasikan ajaran dan keteladan Nabi sebagai pejuang kemanusiaan. Wallahu A’lam.

Pertemuan Unik Najmuddin al-Nasafi dengan al-Zamakhsyari

0
Pertemuan al-Nasafi dan al-Zamakhsyari
Pertemuan al-Nasafi dan al-Zamakhsyari

Sebagaimana telah penulis catat dalam tulisan sebelumnya “Mengenal Tiga Mufasir dari Nasaf Uzbekistan,” tersebutlah Najmuddin ‘Umar al-Nasafi, sosok mufasir paling awal dari Nasaf, hidup pada abad kelima hingga keenam hijriyah, yang semasa dan pernah bertemu dengan pengarang tafsir terkenal al-Kasysyaf, al-Zamakhsyari. Najmuddin al-Nasafi saat itu tengah dalam pengembaraan menuntut ilmu ke berbagai negeri. Dia tercatat belajar kepada banyak guru, salah satunya di Baghdad, pusat peradaban Islam saat itu. Saat dia menuju ke Mekah sekaligus menunaikan ibadah haji, dia mengunjungi al-Zamakhsyari yang telah menetap cukup lama di sana sehingga dijuluki Jarullah(tetangga Allah).

Baca juga: Biografi Al-Zamakhsyari: Sang Kreator Kitab Tafsir Al-Kasysyaf

Momen itu diceritakan dalam beberapa kitab biografi para ulama secara singkat dan unik. Hanya berisi dialog yang kering, tanpa basa-basi, dan tanpa narasi tambahan. Namun begitulah, kemasyhurannya tidak lepas dari kemasyhuran sosok al-Zamakhsyari, mufasir besar yang sangat dikenal oleh pengkaji tafsir hingga dewasa ini. Seakan momen itu ikut menegaskan martabat keulamaan Najmuddin al-Nasafi. Riwayat kisah itu salah satunya dituturkan oleh Muhammad al-Qarasyi, penyusun kitab al-Jawahir al-Madliyyah fi Thabaqat al-Hanafiyah. Lengkapnya sebagai berikut:

Dikisahkan suatu ketika Najmuddin al-Nasafi hendak mengunjungi al-Zamakhsyari di Mekkah. Setibanya di kediaman tokoh itu, dia lalu mengetuk pintu, memohon izin untuk masuk. Lalu al-Zamakhsyari menyahut dari dalam:

“Siapa itu yang mengetuk pintu?”

“’Umar.”

“Pergilah!”

“Wahai Tuanku, ‘Umar tidak akan pergi.”

“Jika ditolak, dia akan pergi.”

(al-Jawahir al-Madliyyah, 2/675)

Selesai. Tidak ada kelanjutannya. Sekilas, kisah ini mengesankan bahwa Najmuddin al-Nasafi tidak sampai masuk ke kediaman al-Zamakhsyari, bahkan diusir. Namun demikian, Maher Adib Habbusy, pen-tahqiq al-Taysir fi al-Tafsir salah satu karya Najmuddin al-Nasafi yang telah bergelut selama kurang lebih 15 tahun mempelajari kehidupan dan karyanya itu, memberikan komentar menarik tentang kisah tersebut.

Dia mengkonfirmasi bahwa begitulah kisah itu diriwayatkan dalam beberapa literatur, tidak kurang tidak lebih. Tak dapat dipastikan bahwa pertemuan itu berhenti di situ saja ataukah hanya potongan kisah belaka. Namun poinnya, pertemuan kedua ulama besar itu terjadi. Tidak masuk akal bahwa Najmuddin al-Nasafi sudah tiba di depan pintu tapi langsung diusir begitu saja. Itu sama sekali tidak mencerminkan pribadi al-Zamakhsyari.

Baca juga: Kisah Khuzaimah bin Tsabit dalam Penulisan Surah Alahzab Ayat 23

Di samping itu, jawaban spontan al-Zamakhsyari “Pergilah!” ketika Najmuddin al-Nasafi mengatakan dirinya “’Umar” menunjukkan bahwa dia telah mengenal tamunya itu. Tak ada pertanyaan lanjutan, “Siapa itu ‘Umar?” dan lain sebagainya. Kemungkinan bahwa keduanya telah bertemu atau meskipun tidak bertemu pernah berkomunikasi, misalnya lewat surat.al-Zamakhsyari tahu bahwa dia bakal mendapat tamu. Percakapan itu alih-alih bermakna permusuhan, justru menunjukkan keakraban antara keduanya. Seakan keduanya telah begitu dekat sehingga percakapan yang terjadi begitu ringkas dan bernuansa guyon. (Muqaddimah al-Taysir fi al-Tafsir, 1/6)

Penjelasan Adib Habbusy di atas nampaknya lebih dapat diterima daripada hanya membaca potongan kisah itu lalu langsung mengambil kesimpulan mutlak. Pasalnya, kisah itu dimuat dalam beberapa kitab biografi ulama ketika menuliskan sosok Najmuddin al-Nasafi. Biasanya, informasi seputar biografi ulama berisi hal-hal yang sekiranya menjadi atribut penting dan istimewa bagi seorang tokoh. Juga tidak disebutkan keterangan apa-apa menyangkut kisah unik itu. Jadi sah-sah saja diinterpretasi seperti demikian. Namun, yang perlu dikedepankan dalam hal ini yaitu berbaik sangka (husnudzan).

‘Ala kulli hal, sejarah mencatat kedua mufasir tersebut adalah ulama besar di zamannya yang diakui luas oleh banyak orang hingga kini. Masing-masing memiliki keistimewaan dan peran penting dalam perkembangan keilmuan Islam, khususnya dalam bidang tafsir Alquran. Wallahua’lam.

Mengenal Tiga Mufasir Terkenal dari Kota Nasaf, Uzbekistan

0
Mengenal Tiga Mufasir Terkenal dari Kota Nasaf, Uzbekistan
Image by LoggaWiggler from Pixabay

Ada sebuah kota di bagian selatan Uzbekistan bernama Qarshi. Dulu, saat berada di bawah imperium Persia bernama Nakhsh ab. Orang Arab menyebutnya Nasaf. Perubahan nama barulah terjadi pasca dikuasai Mongol menjadi Khars, yang berarti benteng, sebab di kota itulah Mongol banyak membangun benteng besar bagi istana baru mereka. Masjid Odina yang kini terkenal sebagai simbol kota itu pun dibangun di atas bekas salah satu istana Mongol.

Kota Nasaf atau Qarshi pada masa kejayaan Islam sejak ditaklukkan pada abad ke-8 M menjelma sebagai salah satu mercusuar kemajuan peradaban Islam sekaligus tercatat sebagai daerah kantong ulama-ulama besar, di samping Bukhara, Samarkand, Termez, Fergana, dan sekitarnya. Di antara para mufasir terkenal yang memiliki karya tafsir asal kepingan bumi “ma wara’a al-nahr” (Transoxiana) itu dan secara formal menggunakan gelar “al-Nasafi” setidaknya ada tiga orang:

  1. Najmuddin al-Nasafi (w. 537 H)

Nama lengkapnya Najmuddin Abu Hafs ‘Umar ibn Muhammad al-Nasafi, lahir pada 461 H. Biasanya, para penulis biografi ulama akan menambahkan “tsumma al-Samarqandi” di belakang namanya sebab dia wafat di Samarkand. Tidak banyak terekam masa hidupnya kecuali bahwa dia adalah sosok pencari ilmu yang mengembara ke beberapa negeri termasuk Hijaz dan Baghdad. Di Hijaz itulah, dia pernah mengunjungi al-Zamakhsyari, pemilik tafsir al-Kasysyaf, yang saat itu menetap cukup lama di sana. Kepada putranya, Abu al-Laits, dia pernah mengungkapkan, “Aku telah berguru dan mendengar hadis dari 550 ulama”.

Di samping mufasir, kepakaran ulama pengikut Hanafi-Maturidi ini tercatat dalam bidang fikih, akidah, hadis, adab, dan sejarah sehingga dia mendapat julukan “Najmuddin—Bintangnya Agama”. Pada semua bidang tersebut karyanya bertebaran, meskipun beberapa kini tidak terlacak, tapi pernah dikutip oleh ulama setelahnya. Karyanya yang paling masyhur yaitu al-‘Aqidah al-Nasafiyah perihal ilmu kalam. Faktor lain mengapa kedudukannya sangat tinggi karena dia bukan hanya pernah berguru kepada beberapa ulama besar saat itu, tetapi juga dari tangannya lahir ulama-ulama mumpuni kemudian.

Baca juga: Farid Esack: Mufasir Pejuang Keadilan di Afrika Selatan

Najmuddin al-Nasafi punya dua karya tafsir, yaitu al-Akmal al-Athwal fi Tafsir al-Qur’an yang terdiri dari empat jilid dan al-Taysir fi al-Tafsir dalam lima belas jilid. Secara umum, di samping banyak memuat diskursus kalam, fikih, dan ulasan aspek kebahasaan dan istilah, ciri khas penafsirannya mendorong kepada penguatan rohani berbasis iman dan takwa. Terbukti, banyak sekali dia mengutip kalam para ulama dan hikmah sufi dalam rangka mendukung penjelasan ayat. Uniknya, beberapa elaborasinya pada hal tersebut terkadang sangat berbeda dari mufasir lain pada umumnya.

Tercatat tafsir karya Najmuddin al-Nasafi ini pernah dinukil oleh beberapa mufasir setelahnya, seperti al-Baidlawi dan al-Alusi. Ciri lain menunjukkan betapa Najmuddin al-Nasafi sangat getol mengkritik pemikiran lain yang menurutnya menyimpang, baik dalam hal akidah maupun penyelewengan praktik sufi (al-Taysir fi al-Tafsir, 1/6).

  1. Burhanuddin al-Nasafi (w. 687H)

Masyhur dengan sebutan Burhanuddin al-Nasafi, nama lengkapnya Abu al-Fadhail Muhammad ibn Muhammad, lahir pada 600 H. Dia hidup pada masa kondisi politik tidak menentu disertai bayang-bayang perang sekaligus menguatnya gerakan pemikiran yang bertumpu pada akidah dan mazhab fikih. Setelah belajar kepada para ulama besar hingga ke Baghdad dan Damaskus, dia meniti jalan keulamaannya dengan menghasilkan banyak karya dan menerima para murid dari berbagai daerah.

Karya-karya Burhanuddin al-Nasafi meliputi ilmu kalam dan perbandingan mazhab, mantik, teknik debat, nahu, fikih, hikmah, serta akhlak. Dia tepatnya lebih sering disebut sebagai teolog daripada seorang mufasir. Beberapa muridnya merupakan ulama besar dalam genealogi Hanafi-Maturidi, seperti Kamaluddin ibn al-Fuwathi, al-Hafidz al-Birzali, dan Jalaluddin al-Hanafi (al-Jawahir al-Madliyyah fi Thabaqat al-Hanafiyyah, 2/172).

Baca juga: Sa’id Hawwa: Penulis Kitab al-Asas fi al-Tafsir yang Bercorak Sufistik

Satu-satu kitab tafsir karya Burhanuddin al-Nasafi yang dicatat dalam kitab-kitab biografi ulama adalah Kasyf al-Haqaiq wa Saryh al-Daqaiq min Tafsir Kalami Rabb al-‘Aziz. Kitab ini merupakan ringkasan dari Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al- Razi. Tidak hanya merangkum kitab tersebut, al-Nasafi juga berusaha memilah bagian mana saja yang kiranya perlu disorot. Kemudian, meskipun tidak terlalu banyak, ditemukan tambahan yang berdasarkan komentarnya sendiri terhadap beberapa hal yang dikemukakan al-Razi.

  1. Abu al-Barakat al-Nasafi (w. 710 H)

Di antara tiga tokoh mufasir terkenal yang disebut dalam tulisan ini, Abu al-Barakat kiranya merupakan yang paling populer. Lahir pada 623 H, Hafidzuddin ‘Abdullah ibn Ahmad al-Nasafi dikenal luas sebagai salah satu ulama penting Hanafiyah. Beberapa tokoh besar menempatkannya pada posisi mujtahid, bahkan diakui lintas mazhab sebagai “’Alamat al-Dunya” serta penjaga teologi Ahlusunnah wal Jama’ah. Penilaian ini berdasarkan pengaruhnya yang kuat di masanya dan pada generasi setelahnya sekaligus karya-karyanya yang secara umum konsentrasi dalam hal akidah dan usul fikih.

Karya tafsir Abu al-Barakat, yaitu Madarik al-Tanzil wa Haqaiq al-Tanzil, sering disebut-sebut sebagai ringkasan al-Kasysyaf dan Tafsir al-Baidlawi. Menurut pengakuannya, kelahiran karya ini atas permintaan beberapa orang supaya dia menulis kitab tafsir yang tidak terlalu panjang dan tidak pula terlalu pendek yang memuat penjelasan padat seputar takwil, qiraat, dan aspek kebahasaan, didukung pandangan-pandangan penting Ahlusunnah wal Jama’ah, serta penolakan terhadap pemikiran batil yang menyimpang.

Maka dari itu, Abu al-Barakat mengambil penafsiran al-Baidlawi dari segi penjelasannya yang detail, pemahamannya yang luas, dan narasinya yang padat serta mudah dicerna. Sementara dari al-Zamakhsyari lebih banyak dalam penjabarannya soal aspek kebahasaan serta diskusinya tentang banyak pemikiran. Dia memilih pandangan al-Zamakhsyari mana yang dapat diambil dan mana yang perlu ditanggapi, bahkan ditolak. Sekali lagi, di antara ketiga tokoh dalam tulisan ini, karya tafsir Abu al-Barakat al-Nasafi merupakan yang paling populer dan sering diteliti di lingkungan akademik dewasa ini (Manahij al-Mufassirin, 215).

Baca juga: Sejarah Perkembangan Tafsir di Afrika Barat

Itulah ketiga mufasir terkenal dari kota Nasaf atau Qarshi, Uzbekistan. Semuanya merupakan penganut mazhab Hanafi dan berakidah Maturidi sebagaimana umumnya penduduk Uzbekistan saat ini. Kedekatan negeri yang dulunya bernama Transoksiana itu dengan Baghdad menjadi faktor utama tumbuh suburnya keilmuan Islam yang berpijak pada pendekatan rasional. Hal tersebut tercermin dalam karya tiga mufasir terkenal dalam tulisan ini yang semuanya merupakan tafsir bi al-ra’yi.

Ketiganya menjadi ikon penting dalam kemajuan peradaban Islam di sana yang kini tinggalannya dapat ditemui dari beberapa masjid dan madrasah yang masih bertahan. Sekarang warisan tersebut mulai dikembangkan lebih serius lagi, meskipun sempat ditekan habis-habisan di bawah pemerintahan Uni Soviet yang anti agama. Wallahua’lam.