Beranda blog Halaman 82

Kisah Khuzaimah bin Tsabit dalam Penulisan Surah Alahzab Ayat 23

0
Kisah Khuzaimah bin Tsabit dalam Penulisan Surah Alahzab Ayat 23
Kisah Khuzaimah bin Tsabit dalam Penulisan Surah Alahzab Ayat 23

Tidak ada satu ayat Alquran pun di masa Rasulullah saw. yang terlewatkan dari tulisan dan hafalan para sahabat, meski tulisan tersebut belum terkumpulkan dalam satu mushaf. Pembukuan (kodifikasi) Alquran dalam satu mushaf baru dimulai pada saat Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq atas usulan Umar bin Khattab.

Paling tidak, sebagai langkah ihtiyath (kehati-hatian), dalam proses Jam’ al-Qur’an (kodifikasi Alquran) ini, pencatat wahyu di zaman Rasulullah saw. menetapkan bahwa selain berdasarkan pada bukti tulisan, juga harus ada dua penghafal ayat yang bersaksi bahwa ayat tersebut telah ditulis di hadapan Rasulullah saw.

Baca juga: Hikmah dalam Polemik Rumah Tangga Zayd bin Haritsah dan Zainab binti Jahsyi

Sikap kehati-hatian ini juga dikisahkan oleh al-Suyuti dalam al-Itqan. Dia meriwayatkan bahwa Zaid bin Tsabit, salah satu pencatat wahyu dalam menghimpun Alquran tidak cukup hanya berdasarkan dengan apa yang ditemuinya secara tertulis, melainkan harus benar-benar disaksikan oleh orang yang menerima dan mendengarkannya secara langsung dari Rasulullah saw.  Meskipun, sebenarnya Zaid sendiri hafal ayat tersebut.

Keharusan terdapat dua sahabat yang hafal sebagai saksi ini tidak berlaku pada Surah Alahzab ayat 23 berikut ini:

مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ رِجَالٌ صَدَقُوْا مَا عَاهَدُوا اللّٰهَ عَلَيْهِ ۚ فَمِنْهُمْ مَّنْ قَضٰى نَحْبَهٗۙ وَمِنْهُمْ مَّنْ يَّنْتَظِرُ ۖوَمَا بَدَّلُوْا تَبْدِيْلًاۙ

“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Di antara mereka ada yang gugur dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu (menang atau mati syahid). Mereka sedikit pun tidak mengubah (janjinya).”

Pasalnya, ayat di atas hanya ditemukan pada hafalan seorang sahabat yang bernama Khuzaimah bin Tsabit. Zaid sebagai salah satu tim pencatat wahyu yang juga diberi tugas untuk menulis ulang dan mengumpulkan Alquran mengisahkan bahwa ketika para sahabat sedang menyalin mushaf ada satu ayat dari surat Alahzab yang hilang. Padahal, dia yakin pernah mendengar Rasulullah saw. membaca ayat itu. Kami berusaha mencarinya, lalu kami menemukannya pada Khuzaimah bin Tsabit, yaitu Surah Alahzab ayat 23. Lalu, ayat tersebut kami masukkan ke dalam Mushaf. (al-Itqan, hlm. 133)

Baca juga: Tafsir Surat Yasin ayat 63-65: Ketika Seluruh Tubuh Bersaksi di hadapan Allah Swt

Uniknya, jauh-jauh hari, Rasulullah saw. telah menegaskan bahwa kesaksian Khuzaimah sudah mencukupi. Rasulullah saw. memberikan keistimewaan ini kepada Khuzaimah lantaran suatu ketika Rasulullah saw. membeli seekor kuda dari seorang Badui. Setelah melangsungkan jual beli, Nabi saw. segera berjalan. Tetapi orang Badui itu memperlambat jalannya. Hingga datang beberapa orang yang tidak mengerti kalau kuda itu telah dibeli oleh Nabi saw., menemui si Badui dan menawar kudanya.

Si Badui tadi berteriak memanggil Nabi saw.:“Hai Muhammad jika memang kamu serius membeli kudaku ini bayarlah segera, kalau tidak akan aku jual kepada orang lain!”

Rasulullah saw. menjawab: “Bukankah aku telah membelinya darimu?”

Si Badui membantah: “Tidak, Demi Tuhan aku belum menjual kepadamu.”

Nabi saw. menegaskannya kembali: “Sungguh, aku telah membelinya darimu!”

Badui itu menimpali:“Kalau begitu datangkanlah seorang saksi!”

Lalu, khuzaimah bin Tsabit maju memberikan kesaksiannya dengan mengatakan “Sungguh aku menyaksikan bahwa engkau telah membelinya Ya Rasulullah.”

Setelah kerumunan itu bubar, Rasulullah saw. bertanya kepada Khuzaimah, “Atas dasar apa kamu bersaksi, sedangkan kamu tidak hadir ketika berlangsungnya transaksi antara aku dan si badui itu?” Khuzaimah menjawab “Atas dasar keyakinanku akan kebenaranmu, Ya Rasulullah. Mungkinkah aku mempercayaimu terkait segala berita dari langit yang engkau bawa lalu aku mendustakanmu dalam masalah ini?”

Baca juga: Mengenal Tiga Istilah Manusia dalam Alquran: Nas, Insan, dan Basyar

Setelah kejadian ini, Rasulullah saw. menetapkan bahwa kesaksian Khuzaimah sebanding dengan kesaksian dua orang laki-laki. Sejak itulah, Khuzaimah mendapat julukan Dzu Syahadatain (orang yang memiliki dua kesaksian). Kisah ini bisa dibaca dalam buku Kedudukan Muhammad saw. karya Mutawalli al-Sya’rawi.

Dengan demikian, ketika pembukaan Surah Alahzab ayat 23 hanya ditemukan dalam hafalan Khuzaimah bin Tsabit, para sahabat langsung menerimanya karena kesaksian Khuzaimah sama dengan kesaksian dua orang laki-laki berdasarkan penetapan dari Nabi Muhammad saw. Itulah satu-satunya ayat yang menyimpang dari kaidah keharusan adanya minimal dua orang saksi yang menghafal ayat, yang akan ditulis ulang dan dikumpulkan dalam satu mushaf.

Wallahu a’lam.

Polemik Short Selling dalam Perspektif Legal Islam

0
Polemik Short Selling dalam Perspektif Legal Islam
Photo by Marga Santoso on Unsplash

Short selling sebagai salah satu transaksi jual beli di zaman modern menuai polemik di kalangan umat Islam. Hal ini lantaran konsep yang dibawanya dinilai baru dan berbeda dengan konsep transaksi yang sudah pernah dibahas para ulama sebelumnya. Namun, sebagai fenomena umum masa kini, keabsahan short selling mesti dikaji dan diputuskan hukumnya.

Short selling sendiri adalah transaksi yang dilakukan di bursa saham dengan cara investor akan menjual saham kepada pihak lain, di mana investor akan meminjam aset. Dalam artian, investor tidak memiliki aset tersebut. Kemudian, investor akan menunggu harga saham itu menurun, kemudian ia akan membelinya kembali.

Gambarannya adalah, seorang investor menjual saham dari perusahaan X—dengan cara dia meminjam, dengan memberikan jaminan sebesar 200 juta. Ketika aset atau saham tadi menurun, dia akan membelinya kembali, dengan catatan, yang dia terima adalah selisih dari harga jual dan beli. Misal, dia menjual saham yang perlembarnya adalah 12.000 Rupiah. Kemudian ketika menurun di harga 10.000 Rupiah, ia akan untung 2000 Rupiah per-lembarnya.

Dalil tentang Jual beli dan yang Berkenaan dengan Short Selling

Dengan melihat fenomena di atas, bagaimana Islam merespon fenomena semacam itu? Mari bahas firman Allah dalam Q.S. An-Nisa ayat 29,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ

Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu”.

Ayat di atas berbicara mengenai prinsip dalam melakukan jual beli, yakni saling ridla atau rela satu sama lain. Jika dalam sebuah transaksi tidak ada kebatilan dan  kezaliman, bahkan dilakukan dengan sikap adil, jujur, maka transaksi tersebut dinilai sah. Sementara, dalam sebuah hadis disebutkan bagaimana Nabi merespons salah satu sahabat mengenai transaksinya,

“Dari Hakim bin Hizam; ia berkata, ‘Aku datang menemui Rasulullah, lalu aku katakan; ada seorang laki-laki yang datang kepadaku dan memintaku untuk menjual sesuatu yang tidak ada padaku, bolehkah aku membeli untuknya dari pasar kemudian aku menjual kepadanya?’ Beliau bersabda, ‘Jangan kamu menjual sesuatu yang tidak ada padamu” (H.R. At-Tirmidzi no. 1232).

Baca juga: Tafsir Surah An-Nisa’ ayat 29: Prinsip Jual Beli dalam Islam

Mayoritas ulama memahami ‘laa tabi’ maa laisa indak’ (Jangan kamu menjual sesuatu yang tidak ada padamu) dengan lafaz ‘’inda’ dipahami sebagai ‘milik’. Maka, konsekuensinya ada pada larangan di dalamnya, yakni pada ‘larangan menjual sesuatu yang bukan milikmu (sang penjual)’.

Sementara, Luqman Hakim memahami kata ‘’indazaraf, yakni ‘di saat’. Menurutnya, jika lafaz tersebut dipahami sebagai ‘di sisi’—sebagai zaraf, maka ada celah kebolehan melakukan transaksi model short selling (Pendekatan Ma’na-Cum-Maghza atas Al-Qur’an dan Hadis, hal. 125). Ini dipahami bahwa ‘selama barang atau aset tersebut ada di sisi penjual—walau tidak atau belum nampak’.

Polemik Short Selling dan Prinsip-prinsip Jual beli dalam Islam

Imam Syafi’I berpendapat jika dalam transaksi jual beli barang tidak nampak oleh pembeli atau barang belum ada, maka transaksi tersebut tertolak atau tidak sah. Hal ini disebabkan adanya kemungkinan unsur gharar (penipuan). Wahbah az-Zuhaili menguraikan, bahwa model transaksi semacam itu mengandung gharar yang besar (Az-Zuhaili 2011: 130).

Sementara Imam Syafii juga berpendapat, jika jual beli dengan barang yang masih ghaib atau belum ada adalah batal, begitu juga dengan barang yang belum ada walau dirinci jenis atau bentuk barang itu, misal: “aku jual gandum 1Kg kepadamu”, maka itu tetap batal. Namun, jika barang nampak, dan belum dirinci, maka tetap sah, kecuali misal, adanya tanah tidak rata yang memungkinkan barang yang dilihat tidak sesuai dengan kenyataannya.

Baca juga: Kandungan Alquran Perspektif Ilmu Fikih

Imam Malik memahami, bahwa menjual barang ghaib (belum nampak) ada beberapa kemungkinan: Pertama, jika barang belum nampak atau tidak bisa dilihat pembeli, semisal gula dalam karung, jual beli itu akan menjadi sah jika pembeli melihat gula tersebut. Kedua, jika barang ada di luar daerah atau tempat yang tidak terjangkau—pembeli tidak dapat melihatnya secara langsung—maka transaksi itu batal atau tidak sah.

Sementara menurut Ibn Taimiyyah dan Ibn Qayyim, menjual barang yang tidak dimiliki selain salam (akad pemesanan) adalah sah. Berbeda dengan mayoritas fuqaha’ (ahli fikih) yang cenderung melarangnya, karena menganggap adanya indikasi gharar (penipuan) di dalamnya.

Sementara, dalam perbincangan ‘short selling’, Muhammad As-Sulaiman memahami jika model transaksi semacam ini sah. Hal ini berkaitan dengan adanya apek pinjam-meminjam di dalamnya. Di mana, dalam short selling sendiri terdapat dua akad, yakni akad pinjam-meminjam dan akad jual beli. Dalam perihal saham, saham dapat menjadi subjek akad pinjaman. Barang ada yang dapat dipinjam atau dipertukarkan (misli) dan ada yang tidak (qimi).

Baca juga: Tafsir Ahkam: Jual Beli dengan Label Harga, Sah kah?

Namun, menurut jumhur fuqaha’ baik yang misli maupun qimi dapat dipertukarkan, begitu juga dengan short selling. Di mana, akadnya adalah investor yang meminjam akan mengembalikan asetnya, dan keuntungan bersihnya ada pada selisih harga jual dan belinya.

Lantas, bagaimana dengan short selling yang dia tidak ada barangnya? Hal ini dianggap oleh Luqman Hakim adalah hal yang sama dengan kasus salam (pemesanan). Di mana, pemesan barang—di mana saat pesan barang belum nampak atau belum jadi—dianggap sah. Hal inilah yang mendasari ia membukakkan celah kebolehan short selling dengan menyamakannya dengan akad pemesanan.

Positioning Hadis dalam Konteks Kekinian (al-Maghza al-Mutaharrik)

Luqman Hakim menguraikan, bahwa hadis di atas berbicara perihal batasan atau jaminan hukum yang diberikan kepada baik investor atau pemilik saham yang dipinjam. Hal ini dilandaskan pada pengamatan dari sisi sejarah mikro dan makro. Hadis di atas muncul ketika ada pembeli yang mendatangi Hakim Ibn Hizam. Pembeli tersebut membeli barang yang langka. Dengan maksud menerima itu, Hakim ibn Hizam ragu dan bertanya kepada Nabi saw. Kemudian Nabi saw. Mengatakan bahwa hal itu dilarang.

Ibn Qayyim menguraikan, bahwa hal ini ada pada dua asumsi, yakni ketiadaan barang dan ketidakmampuan penjual untuk menyerahkan barangnya atau benar-benar tidak ada. Sementara, dalam model Forex, investor mendapatkan barang itu—langsung diterima pembeli. Di mana, penekanan yang dilakukan Luqman ada pada kata ‘’inda’ yang tidak diartikan sebagai milik, tetapi ketidaktersediaan penjual menyerahkan barang. Sementara dalam kasus short selling dalam bursa saham, barang dapat diterima atau diserahkan.

Dalam konteks makro, Luqman menguraikan keadaan atau kondisi sosio-psikologis masyarakat Arab masa itu. Penjual ataupun pembeli yang terzalimi kala itu kerap kali tidak mendapatkan haknya atau tidak mendapat keadilan. Misalnya adalah kasus yang dialami oleh kabilah Zabid dari Yaman, yang menjual dagangannya ke Al-Ash bin Wa’il al-Sahmi yang enggan membayarnya. Tidak ada pedagang atau tokoh-tokoh Quraisy yang membantu masalah tersebut hingga terjadi perjanjian Hilf al-Fudul. Melalui perjanjian itu akhirnya penjual mendapatkan haknya kembali dengan dagangannya dibayarkan.

Baca juga: Larangan Menimbun Barang dalam Surah Hud Ayat 85

Nah, dari uraian yang coba penulis paparkan, kita akan dapati prinsip utama atau ideal moral yang coba Luqman Hakim sampaikan: pertama, short selling bukan ‘titip membeli barang’ yang tidak bisa atau ada kemungkinan penjual tidak menemukannya, maka larangan Nabi ada pada aspek ini. Hal ini tentu untuk menjaga atau melindungi pembeli dari gharar atau penipuan yang disebabkan penjual. Saham dan forex sistemnya dibayar kontan, tidak menunggu atau bahkan seperti salam atau akad pemesanan. Tentu, ideal moralnya untuk melindungi hak pembeli.

Kedua, adalah untuk melindungi penjual dari mendapatkan kerugian. Sebagai contoh kasus penjual membelikan barang A, ternyata barang tersebut lebih mahal, tentu penjual mengalami kerugian. Sementara dalam sistem saham dan Forex, fluktuasi harga adalah real-time yang dapat dilihat langsung oleh penjual dan pembeli.

Banyak Tertawa Dapat Mematikan Hati?

0

Segala sesuatu yang berlebihan memang tidak baik. Bahkan dalam syariat Islam mengenai perkara yang semula baik bahkan fitrah, berubah maknanya menjadi lain. Pun dalam hal mengenai persoalan tertawa. Pada dasarnya tertawa adalah fitrah. Allah Swt. berfirman:

 وَاَنَّهٗ هُوَ اَضْحَكَ وَاَبْكٰى

 “Dialah (Allah) yang telah menjadikan orang tertawa dan menangis.” (QS. An-Najm ayat 43).

Betapa ayat ini menunjukan bahwa Allah yang menciptakan tawa, dan tertawa adalah fitrah setiap manusia. Tidak sepantasnya mencela tawa, karena tidak mungkin kita mencela sesuatu yang menjadi ciptaan-Nya.

Baca Juga: Tafsir Surah An-Najm Ayat 40-46

Bila tertawa pada tempatnya tidaklah mengapa. Rasulullah dan para sahabat pun tertawa. Bahkan ada beberapa hadits yang menggambarkan tawa mereka. Diceritakan bahwa usai salat subuh, Nabi Saw. berzikir sampai terbitnya matahari. Sementara para sahabat berbincang tentang masa jahiliyah mereka sambil tertawa, dan ketika Nabi Saw.  Lewat, beliau hanya tersenyum dan tidak menegur. (HR. Muslim no. 670).

Tertawa yang Dilarang

Memang pada hakikatnya tidak ada larangan tertawa. Lantas, mengapa Rasul Saw. bersabda, tertawa dapat mematikan hati? Sabda Rasulullah Saw. dari Abu Hurairah r.a: “Dan janganlah terlalu banyak tertawa. Sesungguhnya terlalu banyak tertawa dapat mematikan hati.” (HR. Ibnu Majah).

Kata kunci dari hadis di atas yang perlu kita pahami adalah bahwa tertawa yang dimaksud adalah tertawa secara berlebihan. Efek daripada tawa yang berlebihan tersebut menjadi pemicu hati yang keras.

Para ulama yang mengemukakan adanya keterkaitan antara berlebihan tertawa dengan kerasnya hati. Di antaranya yaitu Ibnu Rajab. Beliau mengatakan bahwa penyebab kerasnya hati antara lain banyak berbicara tanpa dzikrullah, melanggar perjanjian dengan Allah, banyak tertawa, banyak makan, banyak dosa. (Majmu’ ar-Rasail, 260).

Baca Juga: Etika Humor dalam Alquran

Jelas sekali di sini bahwa tertawa berlebihan itu terdapat efek melalaikan. Sama seperti penyebab kerasnya hati yang lain, seperti banyak makan, banyak bicara, dan banyak dosa yang kesemuanya itu berpotensi mematikan hati.

Syaikh as-Sa’di menerangkan bahwa ciri orang yang berhati keras itu adalah tidak lagi merespon larangan dan peringatan, tidak mau memahami apa maksud Allah dan rasul-Nya karena saking kerasnya hati.

Bayangkan, faktor banyak tertawa digandengkan dengan banyak dosa sebagai penyebab hati yang keras, itu artinya, banyak tertawa itu benar-benar dilarang dalam agama Islam.

Tertawa bisa mengakibatkan hati keras, menyibukkan hati, sehingga lupa kepada Allah dan lupa memikirkan urusan agama yang penting. Ia berpotensi menyakiti orang lain dan menyebabkan kedengkian serta menghilangkan kewibawaan. (Al-Adzkar an-Nawawiyah, 326)

Suatu ketika Ibnu Umar pernah ditanya tentang apakah para sahabat Nabi Saw. tertawa? “Ya, akan tetapi iman mereka,  demi Allah, lebih tegar dari pada gunung-gunung yang kokoh.” (Tafsir al-Qurthubi, 17/116). Semua itu menunjukan bahwa ada tawa yang berbahaya, yaitu tawa yang dilakukan berlebihan hingga berimbas pada kelalaian kepada Allah, hingga matinya hati.

Dengan demikian, tertawa itu adalah fitrah, agama kita tidak melarangnya. Rasulullah dan para sahabat pun dalam beberapa hadits digambarkan tengah tertawa. Namun, tertawa ada batasnya. Bila dilakukan secara berlebihan, maka ini menjadi hal yang berbahaya, karena dapat mematikan hati.

Baca Juga: Tertawa dalam Salat Menurut Abu Hanifah Dapat Membatalkan Wudu

Faktor banyak tertawa digandengkan dengan faktor lainnya seperti banyak makan, banyak tidur, banyak bicara, dan banyak dosa. Padahal makan dan tidur pun adalah hal yang wajar, namun menjadi kesalahan saat dilakukan berlebihan. Artinya, perbuatan yang berlebihan memang tidak baik bahkan bisa berakibat fatal, termasuk dalam hal ini mematikan hati.

Tertawalah pada tempatnya dan tertawalah sewajarnya. Sebab, berlebihan dalam tertawa memberi celah dosa yang dapat berakibat pada matinya hati.

Wallaahu a’lam

Hukum Memotong Bacaan di Pertengahan Ayat Alquran

0
hukum memotong bacaan di pertengahan ayat
hukum memotong bacaan di pertengahan ayat

Memotong bacaan di pertengahan ayat (Qat’u) tidaklah sama dengan berhenti di tengah ayat (Waqaf). Memotong artinya berhenti secara tiba-tiba tanpa ada persiapan meneruskan bacaan setelahnya. Seperti berhenti karena bersin, batuk, atau selainnya. Orang yang memotong bacaan di tengah ayat seakan-akan tidak peduli terhadap kesempurnaan bacaan Alquran. Ini disebabkan akan berpengaruh pada makna ayat Alquran yang sedang dibaca. Lalu bagaimana para ulama memandang hukum memotong bacaan di tengah ayat? Apakah hal itu termasuk tidak menjaga adab dalam membaca Alquran? Berikut keterangan selengkapnya:

Antara memotong dan berhenti di tengah ayat

Di dalam literatur tentang etika membaca Alquran, memotong bacaan di pertengahan ayat biasanya terjadi secara tiba-tiba, karena pembaca Alquran dalam kondisi seperti bersin, batuk atau lainnya, yakni keadaan yang terjadi secara tiba-tiba, tidak ada persiapan.

Orang yang berlaku demikian (memotong bacaan ayat Alquran) statusnya tidak sama dengan orang yang membaca Alquran dengan waqaf (sengaja jeda dalam pertengahan membaca ayat karena ada tanda waqaf atau kehabisan nafas, kemudian mengulangi bacaannya dari kata sebelumnya untuk menyempurnakan bacaan).

Syaikh Abdul Fattah di dalam Hidayatul Qari menjelaskan, orang yang memotong bacaan tidaklah sama dengan orang yang waqaf atau berhenti membaca. Orang yang memotong bacaan Alquran seakan-akan telah selesai (membaca Alquran), tidak akan meneruskan bacaan, dan beralih ke kegiatan lain (Hidayatul Qari/1/1).

Orang yang memotong bacaan di pertengahan ayat biasanya akan berhenti tanpa menggunakan tata cara yang baik seperti aturan dalam waqaf. Seperti berhenti di tengah kalimat. Berbeda dengan orang yang waqaf, yang akan memilih bagian ayat yang mana yang pantas sebagai tempat berhenti tanpa mengacaukan makna, serta memperhatikan aturan tajwid yang berlaku seperti mengubah ta’ Marbuthah menjadi ha’ serta mempraktikkan Mad Arid Lissukun.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Seputar Aturan Waqaf dalam Surah Al-Fatihah Ketika Salat

Memotong bacaan di pertengahan ayat

Memotong bacaan di tengah ayat apabila disebabkan suatu uzur atau keadaan terpaksa, maka hukumnya boleh-boleh saja. Dasar yang digunakan ulama adalah hadis yang diriwayatkan dari Abdullah ibn Saib:

صَلَّى لَنَا النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- الصُّبْحَ بِمَكَّةَ فَاسْتَفْتَحَ سُورَةَ الْمُؤْمِنِينَ حَتَّى جَاءَ ذِكْرُ مُوسَى وَهَارُونَ أَخَذَتِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- سَعْلَةٌ فَحَذَفَ فَرَكَعَ

Nabi melaksanakan salat subuh bersama kami di Makkah. Beliau lalu mulai membaca surat al-Mu’minin. Saat sampai ayat yang menyebutkan Nabi Musa serta Harun, beliau lantas batuk. Beliau lalu meninggalkan bacaannya dan melakukan ruku’ (HR. Bukhari Muslim).

Ibn Hajar menjelaskan, memotong bacaan Alquran hukumnya boleh. Baik itu tepat di akhir ayat atau di tengah ayat. Hadis ini menjadi dasar mengenai kebolehannya. Dan tidak ada hukum makruh di dalamnya apabila disebabkan suatu uzur atau keadaan yang memaksa. Bahkan memotong bacaan lebih utama daripada terus membaca disertai batuk atau berdehem (Fathul Bari/3/150).

Termasuk yang diperbolehkan dalam memotong bacaan adalah memotong bacaan sebab orang yang mendengarkannya sedang mengalami batuk atau disibukkan oleh sesuatu. Hal ini sebagaimana Ibn Mas’ud memotong bacaannya saat Nabi yang mendengarkan bacaannya, memintanya berhenti membaca sebab merasakan kesedihan tatkala meresapi ayat yang dibaca Ibn Mas’ud (Syarah Ibn Baththal/19/365).

Lalu bagaimana apabila memotong bacaan tanpa adanya uzur? Misalnya diajak bicara oleh orang lain tatkala sedang membaca Alquran, lalu kita memotong bacaan demi membalas ucapannya. Apakah hal itu diharamkan sebab seakan-akan mengacuhkan pentingnya berkonsentrasi atas bacaan Alquran?

Imam al-Nawawi menjelaskan, memotong bacaan sebab adanya uzur hukumnya boleh dan tidak makruh. Ini adalah kesepakatan para ulama. Dan apabila tanpa uzur, maka menurut mayoritas ulama hukumnya tidak sampai makruh melainkan hanya khilaful aula (menyalahi hal yang lebih utama). Artinya jangan sampai memotong bacaan apabila tanpa ada uzur semisal batuk dan selainnya. Imam Malik bahkan menyatakan bahwa memotong bacaan tanpa uzur hukumnya makruh (Syarah Sahih Muslim/2/208).

Baca Juga: Mengenal Empat Waqaf dalam Membaca Al-Quran

Kesimpulan

Dari berbagai keterangan di atas kita dapat mengambil kesimpulan, tatkala membaca Alquran hendaknya kita fokus membaca dan meresapi maknannya. Jangan sampai kita memotong bacaan dengan alasan yang tak penting sehingga terkesan mengabaikan ayat Alquran yang dibaca. Wallahu a’lam.

Popularitas Tafsir al-Baghawi di Masa Lalu

0
Popularitas Tafsir al-Baghawi di Masa Lalu
Kutipan teks Tafsir al-Baghawi dalam naskah Tafsir Jalalain.

Popularitas sebuah teks dalam perspektif filologi dapat dilihat dari seberapa sering ia disalin. Dalam konteks tafsir misalnya, Jalalain menjadi salah satu teks yang cukup populer. Hal ini dapat dibuktikan dengan temuan teks Jalalain bertarikh 1000 hijriah atau kurang lebih setara dengan 1600-an masehi. Popularitas teks ini bahkan dapat dirasakan hingga kini melalui berbagai lembaga yang aktif mengkajinya, baik di lingkungan pesantren maupun kampus oleh mahasiswa.

Berpijak pada tesis tersebut, penulis mendapati hal yang menarik berkaitan dengan Tafsir al-Baghawi, bahwa keberadaan teks tersebut di masa lalu boleh dikatakan cukup populer meskipun tidak sepopuler teks Jalalain. Bagaimana ulasannya? Mari kita simak bersama.

Deskripsi Teks Tafsir al-Baghawi

Tafsir al-Baghawi atau bernama asli Ma‘alim al-Tanzil merupakan tafsir yang ditulis oleh Abu Muhammad al-Husain bin Mahmud al-Baghawi (436-510 H.). Secara umum tafsir ini ditulis dengan menganut mazhab bi al-ma’tsur, yakni penjelasan di dalamnya lebih banyak mengacu nash Alquran dan hadis serta atsar-atsar sahabat. Adapun pendekatan yang digunakan adalah fikih secara dominan.

Sementara teks Tafsir al-Baghawi sebagaimana dimaksud dalam tulisan ini adalah teks yang termuat dalam bundel naskah Tafsir Jalalain yang menjadi koleksi Museum Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT). Pembaca dapat membaca deskripsi lengkap bundel naskah tersebut pada Naskah Tafsir Jalalain di Museum Masjid Agung Jawa Tengah.

Baca juga: Naskah Tafsir Jalalain di Museum Masjid Agung Jawa Tengah

Lebih detailnya, teks Tafsir al-Baghawi tersebut terletak di antara teks kitab Fath al-Mu‘in dan teks tafsir Jalalain. Teks tersebut berisi tafsir dari surah An-Nisa’ [4] ayat 43 yang menjelaskan ibadah salat dan bersuci sebelum mendirikannya serta tafsir surah Al-Hujurat [49] ayat 9 yang menjelaskan perselisihan di antara mukmin berikut solusi pemecahannya.

Kutipan kedua teks Tafsir al-Baghawi pada naskah Tafsir Jalalain di museum MAJT.

Besar kemungkinan teks tersebut merupakan kutipan yang diberikan sebagai syarah atau pembanding atas teks primer yang tengah dijelaskan. Artinya bahwa teks tersebut bukan menjadi teks primer dalam bundel naskah tersebut. Hal ini didasarkan pada penggunaan pola ta‘liq dengan menyematkan simbol tertentu sebagai tanda rujukan terhadap teks primer serta penambahan huruf ha’ (هـ) diikuti penyebutan kata al-Baghawiy dan surah yang dikutip di setiap akhir kutipan.

Sebagai informasi, huruf ha’ di akhir sebuah kutipan merupakan akronim dari kata intaha dalam bahasa Arab yang berarti akhir dari kutipan (secara literal berarti selesai). Terkadang, huruf yang ditambahkan adalah alif dan ha’ (اهـ) yang merupakan akronim dari kata yang sama. Santri-santri di pesantren terkadang membaca simbol tersebut dengan nada sarkastis, “ah”.

Baca juga: Al-Raghib al-Asfahani dan Kontribusinya di Bidang Kajian Alquran

Apabila diamati isi kutipan teks yang diberikan serta terlihat eksistensi Tafsir al-Baghawi sebagai tafsir yang dominan menggunakan pendekatan fikih, agaknya teks dalam bundel naskah tersebut cenderung menjadi bagian dari teks kitab Fath al-Mu‘in, bukan teks Jalalain. Hal ini sebagaimana jamak diketahui bahwa Fath al-Mu‘in merupakan teks kitab fikih.

Jika dugaan penulis benar, bahwa teks Tafsir al-Baghawi tersebut merupakan bagian dari teks kitab Fath al-Mu‘in, maka menjadi sangat menarik dikarenakan setidaknya tiga hal. Pertama, teks Tafsir al-Baghawi tergolong teks yang cukup populer di masa itu, yakni sekitar abad 19. Hal ini didukung dengan catatan yang diberikan Pak Anasom terkait penemuan naskah Tafsir al-Baghawi yang lain dalam koleksi yang sama (Museum MAJT). Sebuah naskah milik salah seorang sultan Surakarta yang berisi Tafsir al-Baghawi juz 2.

Baca juga: Mengenal Corak Tafsir Fiqhi dan Kitab-kitabnya

Kedua, kajian tafsir menjadi kajian yang cukup berkembang dan diminati. Ketiga, kajian fikih yang dikomparasikan dengan tafsir dapat dijadikan bukti adanya pendekatan interdisipliner atau multidisipliner di masa lalu. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Tafsir Al Quran dan Keteladanan Nabi

0

Tafsir Alquran dan Keteladanan Nabi adalah dua hal yang sangat dekat. Teladan Nabi dalam kesehariannya dapat dikatakan sebagai tafsir pertama terhadap Alquran.

Dikisahkan bahwa seorang sahabat bernama Adi bin Hatim sedang memperhatikan dua benang, yang satu berwarna hitam dan satu lagi putih. Ia terus memperhatikan dengan seksama, seraya berharap ada perubahan atau suatu peristiwa akan terjadi terhadap benang itu. Hingga menjelang tidur, disimpanlah kedua benang tadi di bawah bantalnya. Sampai fajar menyingsing dan Adi bangun dari tidur, ternyata tetap saja tidak ada perubahan.

Pagi harinya, Adi bin Hatim menemui Nabi Muhammad saw diceritakanlah apa yang dialaminya itu. Nabi kemudian merespon, “Wahai Adi, apa yang kamu lakukan itu tidak tepat, yang dimaksud dengan benang hitam dan benang putih adalah siang dan malam (innama dzalika al-lail wa al-nahar).”

Riwayat di atas dapat kita temui dalam kitab-kitab tafsir ketika sampai pada Q.S al-Baqarah ayat 187 yang penggalan ayatnya berbunyi

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْر

… Dan makanlah dan minumlah hingga jelas bagimu antara benang putih dan benang hitam dari fajar…

Melalui cerita di atas tergambar bagaimana Nabi Muhammad memberikan penjelasan kepada Adi bin Hatim tatkala ia kurang tepat memahami ayat al-Quran. Inilah salah satu contoh penafsiran Nabi Muhammad terhadap al-Quran.

Contoh lain yang cukup masyhur adalah ketika para sahabat bertanya kepada Nabi mengenai Q.S al-An’am ayat 82, “siapakah di antara kita yang tidak zalim kepada dirinya sendiri?” Nabi saw menjawab, “penjelasan ayat itu bukan seperti yang kalian sangkakan, penafsirannya adalah sama seperti ketika Luqman menasihati putranya: wahai putraku janganlah engkau menyekutukan Allah, sesungguhnya syirik adalah perbuatan dzalim yang amat besar.”

Contoh-contoh lain mengenai penafsiran Nabi atas ayat Alquran dapat kita temukan dalam riwayat hadis yang banyak bertebaran dalam kitab tafsir maupun kitab hadis.

Namun, perlu diketahui pula bahwa tidak seluruh ayat Alquran mendapat penjelasan dari Nabi Muhammad saw. Hal ini dikarenakan banyak ayat Alquran yang dapat dipahami secara langsung, tanpa perlu mendapatkan penjelasan dari Nabi Saw.

Pertanyaannya kemudian bagaimana semestinya kita memahami Alquran? Jawabannya adalah dengan melihat keagungan akhlak Nabi Muhammad saw. Ummul Mukminin Aisyah R.A pernah berkata: “akhlak Nabi Muhammad adalah cerminan dari Alquran (Kana Khuluquhu al-Quran).” Tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa esensi al-Quran adalah akhlak Nabi.

Kita ambil contoh bagaimana akhlak Nabi harus menjadi naungan ketika memahami Alquran. Dalam kasus rumah tangga misalnya, bagi sebagian laki-laki Q.S al-Nisa ayat 34 yang di dalamnya terdapat kalimat pukullah (wadhribuhunna), seolah menjadi legitimasi kebolehan suami memukul istri. Padahal jika kita memahami Alquran dalam naungan akhlak Nabi, Aisyah R.A mengatakan bahwa Nabi tidak pernah sekali pun memukul istri maupun pembantunya.

Bukankah Nabi saw sebagai penerima wahyu mempunyai hak untuk mengamalkan ayat tersebut tetapi tidak ia lakukan? Disinilah kita harus senantiasa meneladani akhlak Nabi Muhammad saw. Wallahu A’lam.

Perilaku Konsumtif Masyarakat Jahiliah

0

Masyarakat Arab jahiliah pra-Islam di kota Makkah kerap melakukan perbuatan menyimpang, di antaranya yaitu perjudian, meminum khamar, suka bermewah-mewahan, berfoya-foya dan pemborosan. Sikap bermewah-mewahan, foya-foya dan pemboros sejatinya merupakan perilaku konsumtif.  

Perilaku konsumtif merupakan suatu perilaku atau kecenderungan seseorang berperilaku berlebihan dalam membeli sesuatu atau membeli secara tidak berencana. Sebagai akibatnya, mereka membelanjakan uangnya secara membabi buta dan tidak rasional, sekedar untuk mendapatkan barang-barang yang menurut anggapan mereka dapat menjadi simbol keistimewaan. Perilaku konsumtif memiliki dua indikator, yaitu: pola konsumtif yang berlebihan dan pemborosan. Pola konsumtif yang berlebihan adalah suatu kecenderungan individu untuk menghabiskan uang tanpa batas (berfoya-foya) dan lebih mementingkan keinginan daripada kebutuhan.

Mereka kerap kali berfoya-foya ketika meminum khamar yang terbuat dari gandum halus, gandum kasar, kurma, anggur, dan madu. Mereka menganggap bahwa minum khamar merupakan cara untuk menunjukkan kedermawanan dan cara paling mudah menunjukkan pemborosan. Hal tersebut diabadikan dalam syair-syair yang mereka buat.

Seperti syair dari ‘Antarah bin Shaddad al-Absi yang berbunyi:

Telah kuminum regukan-regukan arak setelah terlewati siang hari yang terik di dalam gelas kaca berwarna kuning kemilau bertabur bunga-bunga indah yang memukau. Kehormatanku juga tak terhirau. Kurelakan harta kan musnah jika minum arak. Kehormatanku yang tinggi tiada kusimak jika tak mabuk tiada kusia-siakan undangan karena kutahu sifatku yang dermawan”.

Masyarakat Arab di masa jahiliah ini gemar meminum khamar dan berkumpul untuk membanggakan diri karena khamar adalah minuman yang paling mahal. Kebiasaan ini dilakukan oleh orang-orang kaya di kota, para pembesar, bangsawan, para sastrawan, dan para penyair. Semakin banyak meminum khamar maka semakin menunjukkan kekayaannya.

Orang-orang kaya Arab jahiliah menghabiskan semua simpanan minuman kerasnya untuk menjamu tamunya agar dia dikagumi, dimuliakan, dan dianggap dermawan. Jadi, kedermawanan mereka berpijak pada dasar bermegah-megah diri untuk memperoleh nama dan kemasyhuran.

Baca juga: Marak e-commerce, Antara Kemudahan dan Keborosan: Refleksi Surah Al-Furqan Ayat 67

Perilaku Konsumtif dalam Surah Alisra’ Ayat 26-27

Alquran menyebutkan perilaku konsumtif dengan kata melampaui batas, menghambur-hamburkan, dan boros. Hal ini ditunjukkan dengan beberapa lafal yakni tabdzir, israf, i‘tada, tagha, dan bagha. Dalam hal ini, penulis fokus mengkaji pada lafal tabdzir (boros) yang terdapat dalam surah Alisra’ ayat 26-27, yang berbunyi:

وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا  ۲٦ إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا ۲۷

Artinya: “Dan berikanlah haknya kepada kerabat yang dekat, juga kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.”.

Baca juga: Self Reward Berujung Pemborosan, Begini Manajemen Harta ala Al-Qur’an

Asababun Nuzul Surah Alisra’ Ayat 26-27

Sebagian ulama mengatakan bahwa ayat ini diturunkan untuk menjelaskan kebiasaan orang Arab yang mengumpulkan hartanya dari cara merampok dan merampas, kemudian mempergunakannya untuk membanggakan diri. Begitu juga, orang musyrik Quraish mempergunakan hartanya untuk mencegah masyarakat masuk agama Islam, memperlemah keluarganya, dan mendukung musuh Islam. Maka, turunlah ayat ini sebagai peringatan atas buruknya perilaku mereka dalam konteks ini.( Tafsir al-Maraghi,Jilid 15, 37)

Selain itu, asbabun nuzulnya juga menjelaskan tentang perilaku tabdzir masyarakat jahiliah yang menyembelih unta dan menghambur-hamburkan hartanya hanya untuk mencari kebanggaan, ketenaran dan kemasyhuran atas dirinya. (Zad al-Masir fi ‘Ilm al-Tafsir, Jilid 3, 20)

Perilaku Konsumtif dalam Tafsir Zad al-Masir fi ‘Ilm al-Tafsir karya Ibn al-Jawzi

Secara etimologis, kata tabdzir berasal dari badzdzara-yubadzdziru-tabdziran yang artinya membuang-buang, mubazir. Dalam tafsir ini, ada dua pendapat terkait pengertian tabdzir (boros), yaitu:

Pertama, tabdzir (boros) adalah membelanjakan harta untuk sesuatu yang tidak benar, hal ini berdasarkan pendapat Ibn Mas’ud dan Ibn ‘Abbas. Sedangkan Mujahid mengatakan bahwa jika seseorang membelanjakan seluruh hartanya untuk kebenaran, maka dia bukan orang yang mubazir, akan tetapi jika membelanjakan satu mud saja dari hartanya untuk ketidakbenaran, maka dia adalah orang yang mubazir.

Al-Zajjaj juga berpendapat bahwa tabdzir adalah membelanjakan harta untuk hal ketidaktaatan kepada Allah swt., seperti halnya masyarakat jahiliah yang menyembelih unta dan menghambur-hamburkan hartanya hanya untuk mencari kebanggaan, ketenaran dan kemasyhuran atas dirinya. Kemudian, Allah swt., memerintahkan agar harta itu dibelanjakan hanya semata-mata untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah swt.

Kedua, tabdzir (boros) adalah perbuatan israf atau berlebih-lebihan yang sampai merugikan atau merusak harta, pendapat ini dikemukakan oleh al-Mawardi. Begitu juga, Abu ‘Ubaidah berpendapat bahwa mubazir adalah perbuatan israf yang cenderung kepada merusak sesuatu. Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya para mubazir adalah saudara-saudara setan karena mereka mempunyai kesamaan dengan setan yaitu mengajak kepada perbuatan boros (tabdzir) dan mempunyai kesamaan dalam hal bermaksiat kepada Allah swt.”. (Zad al-Masir fi ‘Ilm al-Tafsir, Jilid 3, 20)

Baca juga: Tafsir Surah Al Isra Ayat 29: Etika Menggunakan Harta

Perilaku Konsumtif dalam Tafsir al-Kasysyaf  Karya al-Zamakhshari

Sedangkan menurut tafsir al-Kashshaf karya al-Zamakhshari, tabdzir adalah membelanjakan harta pada sesuatu yang tidak seharusnya dan membelanjakannya secara berlebih-lebihan (israf). Orang-orang jahiliah menyembelih untanya dan berjudi dengan untanya, serta membagi-bagikan hartanya secara berlebih-lebihan untuk suatu kehormatan dan popularitas. Perilaku-perilaku tersebut disebutkan dalam syair-syair mereka. Maka, Allah swt. memerintahkan membelanjakan hartanya di jalan ketaatan untuk mendekatkan diri kepada-Nya.

Abdullah mengatakan bahwa tabdzir adalah membelanjakan harta pada sesuatu yang tidak benar. Mujahid juga berkata, barangsiapa yang membelanjakan satu mud hartanya dalam hal kebatilan maka itu dikatakan perbuatan tabdzir.

Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amru, dia berkata, “Suatu ketika Rasulullah saw. dalam perjalanan bersama Sa‘d. Kemudian Sa‘d berwudu, kemudian Rasulullah saw. berkata, “Apa ini perilaku berlebih-lebihan wahai Sa‘d?”, Sa‘d menjawab, “Apakah dalam wudu itu terdapat wahai Rasul?”, Rasulullah saw. menjawab, “Iya, sekalipun engkau wudu di sungai yang mengalir”. (Tafsir al-Kashshaf, Jilid 2, 661)

Wallah a’lam

Teladan Nabi Ibrahim dan Ismail tentang Etika ketika Berdoa

0
Teladan Nabi Ibrahim dan Ismail tentang Etika ketika Berdoa
Image by iqbal nuril anwar from Pixabay

Doa menjadi permintaan seorang hamba pada Allah Swt. Doa berada dalam nuansa dialogis antara hamba dengan dengan-Nya. Lantunan di dalamnya mengisyaratkan keinginan hamba agar sesuatu yang diharapkan dikabulkan oleh-Nya. Sebab, Allah Swt. yang telah menciptakannya. Dia yang mengatur segalanya. Hanya kepada-Nya setiap insan memohon, bukan pada yang lainnya. Seperti halnya ia tunduk dan patuh pada-Nya, begitu pun permohonan hanya ditujukan kepada-Nya.

Setiap hamba ingin doanya diterima dan dipenuhi oleh-Nya. Hampir setiap lantunan doa pasti dalam relung hati yang paling dalam tidak terlepas dari harapan pemenuhan oleh-Nya terhadap permintaan. Terkait hal ini, telah banyak informasi keagamaan yang mengajarkan etika ketika berdoa agar doa dipenuhi oleh-Nya. Lalu, bagaimana Alquran mengisyaratkan hal ini?

Salah satu ayat yang berhubungan dengan hal ini adalah Q.S. Albaqarah ayat 127. Ayat ini berkaitan dengan usaha Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Ismail a.s. ketika meninggikan fondasi Ka’bah.

وَاِذْ يَرْفَعُ اِبْرٰهٖمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَاِسْمٰعِيْلُۗ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۗ اِنَّكَ اَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ

“(Ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan fondasi Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa), ‘Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Baca juga: Alasan Doa Belum Dikabulkan Menurut Fakhruddin al-Razi

Informasi doa terdapat pada redaksi رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۗ اِنَّكَ اَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْم (Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui). Doa ini dilantunkan pada oleh keduanya setelah menyelesaikan peninggian fondasi Baitullah. Keduanya berharap agar seluruh perbuatan untuk ketundukan kepada-Nya diterima oleh-Nya.

Baitullah menurut satu riwayat, misalnya dalam Tafsir al-Shawi, sudah ada sejak Nabi Adam a.s. Bahkan, Adam a.s. melakukan tawaf di sekitarnya atau berhaji. Bangunannya hancur setelah peristiwa banjir bandang ketika zaman Nabi Nuh a.s. Dasar bangunannya tetap ada. Namun, tembok dan dindingnya hancur. Letaknya pun masih di sana. Meskipun bangunannya sudah tidak ada, Nabi Ibrahim a.s. mengetahui letaknya tetap sama seperti sebelumnya berkat informasi dari Jibril a.s. Peristiwa ini terjadi ketika Nabi Ibrahim a.s. menempatkan Nabi Ismail a.s. (kecil) dengan Hajar di sebuah lembah yang tandus; tidak ada pepohonan sama sekali di hadapan Baitullah (‘inda baitik al-muharram).

Kisah tentang peninggian fondasi menjadi penting dikenang. Prosesnya memerlukan upaya yang kuat dan penuh kesungguhan. Meskipun tidak seperti teknik sipil modern, tentunya meninggikan itu perlu pengukuran, pengaturan bahan, teknik menempelkan, dan merapikan bangunan. Proses ini tentu menunjukkan kesungguhan dalam melakukan sesuatu. Keduanya, Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Ismail a.s., bersama-sama dalam proses ini. Hal ini diwakili pemaknaan dari redaksi وَاِذْ يَرْفَعُ اِبْرٰهٖمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَاِسْمٰعِيْلُۗ.

Baca juga: Nabi Musa a.s. yang Ringan Tangan dan Doa ketika Lapar

Redaksi ini mengisahkan kedua hamba Allah Swt. yang melaksanakan perintah-Nya untuk membangun kembali Baitullah. Bahkan, menurut riwayat yang dikutip dalam Tafsir al-Shawi, ukuran batu yang diletakkan di atas fondasinya berukuran seperti besarnya unta (qadr al-ba’ir). Batu seukuran itu sungguh berat dan memerlukan landasan yang kokoh dan tenaga angkut yang kuat. Ukuran dan beratnya batu harus sebanding dengan kesungguhan pelaksanaannya.

Setelah pelaksanaan selesai dengan penuh upaya, keduanya berdoa: “Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami.” Frase ini menunjukkan bahwa apa yang diusahakan diterima oleh Allah Swt. Sebab, Allah Swt. telah memberikan perintah dan keduanya melaksanakan dengan sepenuh hati dan perjuangan yang keras. Keduanya meyakini bahwa apa yang dikatakan dan diperbuat didengar dan diketahui oleh-Nya, sebagaimana maksud dari frase “Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Tiga etika ketika berdoa supaya diterima

Kisah dua orang hamba Allah yang ingin diterima amalnya melalui berdoa kepada-Nya memberikan isyarat penting bagi pembaca Alquran. Dari kisah ini setidaknya terdapat beberapa makna yang dapat dipetik ketika doa ingin diterima oleh Allah Swt.

Pertama, amal yang dikerjakan harus diperjuangkan dan dilaksanakan sesuai dengan perintah. Seolah, Allah Swt. hanya akan menerima amal perbuatan ketika hamba melaksanakan semua apa yang diperintahkan dengan tuntas, penuh pengabdian, dan upaya yang keras. Ikhtiar yang kuat menjadi penguat akan diterimanya doa. Antara apa yang dilantunkan melalui harapan doa dengan apa yang dikerjakan harus menunjukkan ketuntasan dan keyakinan. Pekerjaan dituntaskan dengan sempurna dan keyakinan dipupuk ketika menyerahkan hasil amal kepada-Nya.

Kedua, doa dihaturkan dengan penuh harapan diterima. Keyakinan bahwa Allah Swt. akan menerima doa menjadi landasan yang kuat dalam kalbu. Tidak sedikit pun muncul perasaan ragu atau bahkan mengingkari Allah Swt. akan menerima doa hambanya. Hal ini bisa dilihat dari frase رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا. Redaksinya tidak menunjukkan objek (maf’ul) secara eksplisit (sharih). Yang Nampak adalah “dari kami”, meskipun ulama tafsir mengaitkan pada makna yang tersimpan, yaitu amal; “terimalah (amal) dari kami”.

Baca juga: Keistimewaan Doa Nabi Yunus yang Dibaca Masyarakat Banjar pada Arba Musta’mir

Penyebutan objek tidak secara sharih bisa dimungkinkan menunjukkan bahwa Allah Swt. telah mengetahui apa mereka perbuat (amalnya), atau ketidakkuasaan diri menyebutkan amal dari subyek yang berawal dari perasaan merasa rendah di hadapan-Nya atau diri tidak ada apa-apanya di hadapan-Nya, sehingga mereka dikisahkan menggunakan redaksi jar dan majrur (مِنَّا), sehingga malu kalau disebutkan adalah amalnya, dibandingkan dengan sungguh banyaknya karunia Allah Swt. kepada keduanya.

Ketiga, apa yang diharapkan ingin diterima didasari oleh keyakinan bahwa Allah Swt. Maha Mendengar pada setiap ucapan hamba-Nya (doa), dan Dia Maha Mengetahui pada apa yang dikerjakan oleh hamba-Nya. Apa yang diucapkan pasti didengar oleh-Nya, juga dikuatkan keyakinan bahwa seluruh perbuatan akan diketahui oleh-Nya, sehingga setiap apa yang menjadi perintah-Nya harus dilaksanakan dengan tuntas.

Ayat ini memaparkan tentang kisah Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Ismail a.s. Bukan hanya kisah tentang peninggian bangunan Baitullah. Ayat ini menyimpan makna terdalam mengenai harapan agar apa yang diperbuat diterima oleh-Nya. Wallahu a’lam.

Pandangan Mahmûd Muḥammad Thahâ tentang Makiyah Dan Madaniyah

0
Mahmûd Muḥammad Thahâ
Mahmûd Muḥammad Thahâ

Kebenaran Alquran sebagai kitab yang relevan untuk semua kondisi zaman dan tempat (Shâliḥ li kulli zamân wa makân), menjadikan para ulama klasik hingga cendekiawan kontemporer senantiasa menggali kandungannya dan memunculkan pandangan yang segar untuk merespons tantangan zaman. Salah satu tokoh yang turut ambil bagian dalam hal ini adalah Mahmûd Muḥammad Thahâ, seorang pemikir muslim asal Sudan dengan pemikirannya yang mencoba merekonstruksi kategorisasi dan pemaknaan Makki dan Madani. Selama hidupnya, dia aktif dalam dunia politik, menyerukan berbagai gagasannya yang terkadang kontroversial sehingga tak jarang dia harus berseberangan dengan penguasa. Puncak karier politiknya berakhir pada tahun 1985 di tiang gantungan.

Menarik untuk dicermati, meski merupakan pemikir kontemporer, Mahmûd Muḥammad Thahâ menggunakan metodologi yang mirip dengan pemikiran kaum sufi. Hal ini tentunya agak nyeleneh, mengingat para pemikir kontemporer justru lebih banyak menekankan rasionalitas dibandingkan intuisi, bahkan cenderung mengkritiknya.

Baca juga: Delapan Tema Pokok Al-Quran menurut Fazlur Rahman (2)

Di sisi lain, keunikan metodologi pemikiran Mahmûd Muḥammad Thaha juga menjadi kelemahannya. Metodologi intuisi atau ilham kerap kali menjadi sasaran kritik beberapa pihak karena sulit untuk dipertanggungjawabkan dan diverifikasi kebenarannya. Oleh karena itu, tak mengherankan jika pemikirannya selain mendapat respons negatif, juga minim mendapat sambutan positif dari pemikir lain dan masyarakat luas. Hal ini tentunya berbeda dengan pemikiran kontemporer lain seperti Syahrur, Farid Esack, Amina Wadud, dan beberapa tokoh lainnya yang masih menerima sambutan positif meskipun juga mendapatkan kritikan tajam dari pihak lain.

Dasar Konseptual Makki dan Madani

Khâlid ‘Ustman ats-Tsabt dalam kitab Qawâ’id al-Tafsîr mendefinisikan bahwa yang dimaksud Makki adalah ayat-ayat Alquran yang turun sebelum hijrah. Sebaliknya, Madani adalah ayat-ayat Alquran yang diturunkan sesudah hijrah. Yang perlu digarisbawahi di sini adalah penentuan Makki dan Madani-nya suatu ayat bukan pada tempat, melainkan waktu, yakni sebelum atau sesudah hijrah. Jika ada ayat Alquran yang diturunkan sesudah hijrah, meskipun ayat tersebut diturunkan di Mekah, maka ayat tersebut termasuk dalam kategori ayat-ayat Madaniyah. (Qawâ’id alTafsîr: 76)

Makki dan Madani Menurut Thahâ

Berbeda dengan ulama ulûm al-Qur’ân lain, Mahmûd Muḥammad Thahâ tidak memiliki definisi yang jelas mengenai konsep Makki dan Madani. Perbedaan hanya terletak pada bagaimana dia memaknai esensi dari ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah.

Meskipun demikian, dalam hal inilah muncul perbedaan yang cukup tajam antara dia dengan ulama lain. Thahâ mengklaim memiliki pandangan yang berbeda dengan mayoritas ulama dalam memaknai apa itu ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah. Menurutnya, ayat-ayat Makiyah berisi ajaran Alquran yang esensial (ushul), yang di dalamnya terdapat nilai-nilai fundamental dan universal Islam, yakni keadilan, egaliter, toleransi, nilai dasar demokrasi, dan hak-hak asasi manusia. Adapun  ayat-ayat Madaniyah merupakan ajaran Alquran yang furu’, yang berisi ajaran yang kurang toleran, kurang menimbang keadilan, bias gender dan kurang menghormati dan bertoleransi terhadap pluralisme agama.

Baca juga: Status Makkiyah dan Madaniyah Mushaf Standar Indonesia, Apakah Berbeda dengan Mushaf Lain?

Pemaknaannya terhadap ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah ini kemudian berimplikasi pada konsep nasakh. Menurutnya, selama ini para ulama dan pemikir muslim klasik telah keliru dalam memahami bahwa ayat-ayat Makiyah telah di-nasakh oleh ayat-ayat Madaniyah. Sebaliknya, dia memiliki penilaian yang 180 derajat berbeda, bahwa ayat Madaniyah-lah yang di-nasakh oleh ayat-ayat Mekah, bukan sebaliknya. Hal ini didasarkan pada perbedaan pesan yang dibawa serta watak universalitas antara keduanya.

Berbeda dengan jumhur ulama yang mempertimbangkan waktu penutupan ayat dalam menetapkan nasakh, Mahmûd Muḥammad Thahâ lebih mengedepankan aspek kebutuhan umat menghadapi tantangan zaman sebagai pertimbangan dalam menetapkan nasakh. Bisa saja ayat yang datang lebih awal yang me-nasakh ayat-ayat yang diturunkan lebih akhir.

Mahmûd Muḥammad Thahâ menganggap ayat-ayat Madaniyah hanya bersifat sementara. Sedangkan ayat yang bersifat sepanjang zaman adalah ayat Makiyah. Ayat-ayat Madaniyah hanya dianggap sebagai ayat pengganti sementara ketika umat Islam pada saat itu belum bisa menerapkan ajaran-ajaran yang terkandung dalam ayat Makiyah.

Baca juga: Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Tafsir Nuzuli Karya Quraish Shihab

Bisa dikatakan bahwa ajaran dalam ayat-ayat Makiyah dianggap terlalu maju untuk masyarakat Arab pada saat itu. Akibat ketidaksiapan mereka, Allah Swt. menunda penerapan ayat-ayat Makiyah, dan sebagai gantinya diturunkanlah ayat-ayat Madaniyah. (Muhammad Al-Fikri dan Ahamd Mustaniruddin, “Studi Kritis Terhadap Pemikiran Mahmud Muhammad Thaha tentang Konsep Nasakh Al-Qur’an”, Tajdid,  Vol. 20, No. 2, 2021, 440-453)

Sejatinya, pemikiran-pemikiran apa pun dan dari tokoh mana pun layak diberi apresiasi, bahkan perlu dipertimbangkan selama pemikiran tersebut memiliki rujukan dan metodologi yang tepat. Mengenai ini, Mahmûd Muḥammad Thahâ tidak memiliki metodologi yang cukup kuat untuk merekonstruksi bangunan klasik teori Makiyah dan Madaniyah yang dibangun oleh ulama selama ini.

Selain itu, banyak ditemukan miskonsepsi yang dilakukan Mahmûd Muḥammad Thahâ mengenai pemikiran ulama terdahulu, salah satunya tentang kategorisasi Makiyah dan Madaniyah serta definisi mengenai nâsikh dan mansûkh. Sehingga, pada tahap pra-wacana sudah ditemukan cacat dalam pemikirannya

Terlepas dari hal tersebut, Mahmûd Muḥammad Thahâ telah memberikan kontribusi terhadap khazanah pemikiran keislaman, khususnya mengenai ulûm al-Qur’an dan Tafsir. Wallâhu a’lam.

Naskah Tafsir Jalalain di Museum Masjid Agung Jawa Tengah

0
Halaman awal tafsir Jalalain museum MAJT.

Tahun lalu, penulis bergabung dengan proyek digitalisasi naskah-naskah keislaman kuno yang tersimpan di museum Masjid Agung Demak (MAD) dan Museum Perkembangan Islam Jawa Tengah, Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT). Bersama Pak Anasom, peneliti senior bidang naskah kuno dan Walisongo dari UIN Walisongo, proyek tersebut berhasil mendigitalisasi 50 naskah lebih dari berbagai genre yang berbeda.

Di antara naskah-naskah tersebut, ada dua naskah tafsir Jalalain yang menjadi koleksi masing-masing museum. Naskah koleksi MAD telah penulis berikan sedikit ulasannya pada Temuan Tafsir Jalalain Tertua di Museum Masjid Agung Demak. Kali ini giliran naskah koleksi MAJT. Ulasan ini penulis berikan mengacu hasil digitalisasi yang ada berikut dengan catatan yang ditulis Pak Anasom.

Deskripsi Bundel Naskah Jalalain

Naskah Jalalain MAJT ini bisa dikatakan sebagai sebuah bundel naskah dikarenakan isinya yang tidak hanya mencakup teks Jalalain saja. Pembacaan yang penulis lakukan mendapati keberadaan teks lain di dalamnya. Di antaranya adalah teks Fath al-Mu‘in bi Syarh Qurrah ‘Ain bi Muhimmah al-Din karya Ahmad bin ‘Abd al-‘Azin bin Zain al-Din al-Malibariy (938-1028 H.), tepatnya pada bagian Mukadimah dan Bab Sunat (Al-Khitan).

Baca juga: Tafsir Jalalain dan Sederet Fakta Penting Tentangnya

Selain itu, penulis juga mendapati kutipan catatan yang merujuk pada teks kitab Ma‘alim al-Tanzil atau Tafsir Baghawiy karya Abu Muhammad al-Husain bin Mahmud al-Baghawiy (436-510 H.) pada penafsiran surah An-Nisa’ [4] ayat 43 serta teks kitab Fath al-Wahab bi Syarh Manhaj al-Thullab karya Syaikh Zakariyya al-Anshariy (824-926 H.) pada bab hadas (Bab al-Ahdats). Kutipan catatan tersebut mengacu pada pola penulisan yang digunakan keduanya yang cukup berbeda dengan penulisan teks induknya, yakni Jalalain dan Fath al-Mu‘in.

Yang menarik adalah bahwa dalam bundel naskah Jalalain tersebut juga ditemukan catatan-catatan lain seperti perhitungan kalender abajadun, konversi perhitungan hijrah Nabi saw. terhadap tahun ha’ dan tahun dal, perhitungan panatamangsa Jawa lengkap dengan ilustrasi dan keterangannya, dan catatan lain menggunakan aksara hanacaraka.

Ilustrasi pada catatan panatamangsa.

Temuan catatan ini menguatkan tesis yang diberikan oleh Prof. Oman Fathurahman bahwa dalam kajian naskah kuno, peneliti harus memahami perbedaan naskah dan teks serta melakukan pembedaan terhadap keduanya. Hal ini karena besarnya kemungkinan adanya dua teks atau lebih dalam satu bundel naskah mengingat keterbatasan media tulis di masa lalu.

Baca juga: Alasan Tafsir Jalalain Jadi Tafsir Favorit di Pesantren

Secara keseluruhan, bundel naskah ini terdiri dari 168 halaman menggunakan kertas berbahan daluwang. Pada peralihan setiap teks atau catatan terdapat satu atau dua halaman kosong. Tinta yang digunakan adalah hitam dan merah. Tidak ditemukan penomoran halaman atau kata alihan (catchword) dan iluminasi.

Penulis tidak menjumpai adanya catatan kolofon yang memberikan penjelasan tentang penulis atau waktu kepenulisan. Namun demikian, berdasar catatan Pak Anasom, ada kemungkinan bahwa naskah tersebut berasal dari abad ke-19. Penulis sendiri agaknya setuju dengan dugaan Pak Anasom melihat catatan konversi tahun hijrah Nabi saw. sebelumnya menunjuk pada angka 1230-1270 hijriah. Bahkan ada satu angka tahun yang menunjuk pada 1865 yang diduga sebagai tahun masehi.

Deskripsi Teks Jalalain

Teks tafsir Jalalain dimulai dari surah Al-Kahfi [18] sampai dengan surah Al-Ikhlas [114]. Tinta yang digunakan adalah hitam dan merah. Tinta hitam digunakan untuk menuliskan tafsir dan tinta merah digunakan untuk Alquran-nya. Seperti telah disebutkan sebelumnya, tidak ditemukan nomor halaman, kata alihan, dan iluminasi.

Tidak juga ditemukan pembatas antara tafsir satu surah dengan yang lainnya. Namun, satu hal yang cukup menarik adalah bahwa teks Jalalain tersebut ditulis dengan mempertimbangkan fungsi Alquran sebagai teks yang bisa dibaca secara individual. Hal ini berdasar pada keberadaan tanda maqra’ (huruf ‘ain) dan penanda juz di setiap hizb-nya. Satu hal yang jarang ditemukan pada teks Jalalain saat ini jika memang tidak disiapkan untuk dualitas fungsi, fungsi tafsir dan fungsi Alquran.

Baca juga: Hizb Mushaf Alquran, Apakah Sama dengan Hizb Wirid? Begini Penjelasannya!

Hasil pembacaan sementara penulis menyimpulkan bahwa teks Jalalain tersebut dimiliki oleh santri yang mahir berbahasa Arab. Kesimpulan ini didasarkan pada catatan yang diberikan pada kolom antarbarisnya banyak yang menggunakan bahasa Arab murni sehingga lebih terkesan mirip dengan ta‘liq atau mini syarah, alih-alih makna antarbaris. Meskipun demikian, penulis juga mendapati pemaknaan dengan sistem aksara Jawi atau pegon-gandhul (interlinear translation) di beberapa kata.

Sayangnya, hasil digitalisasi naskah Jalalain ini belum dapat pembaca sekalian nikmati karena masih dalam tahap penyusunan dan penyuntingan. Semoga saja bisa segera dan mari kita tunggu bersama-sama. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []