Beranda blog Halaman 81

Tafsir Surah Alhujurat Ayat 11: Bentuk Penjagaan Lisan

0
Tafsir Surah Alhujurat Ayat 11_Bentuk Penjagaan Lisan
Tafsir Surah Alhujurat Ayat 11

“Mulutmu harimaumu” peribahasa yang populer sebagai pengingat untuk menjaga lisan dari ucapan yang tidak baik dan menyakitkan. Hati-hati dalam memberi julukan terhadap seseorang juga merupakan salah satu bentuk penjagaan lisan.

Begitu esensialnya lisan, sehingga sekali salah bicara akan bisa menyebabkan sesal di waktu yang lama. Rasulullah saw. pernah bersabda dalam hadis riwayat Abu Hurairah dalam Shahih al-Bukhari, nomor 6478:

Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan satu kalimat tentang sesuatu yang diridhai Allah yang tidak ia sadari, sehingga Allah mengangkat beberapa derajat. Dan sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan satu kalimat tentang suatu yang dimurkai Allah, yang tidak ia sadari, ternyata menghempaskan dirinya ke dalam neraka Jahannam.

Salah satu bentuk penjagaan lisan adalah dengan berhati-hati dalam berbicara, berargumen, mengklaim, menyebut atau memberi julukan seseorang dengan panggilan yang tidak baik. Tidak hanya itu, di era digital ini bentuk menjaga lisan bisa bergeser ke menjaga jari-jemari dengan tidak menyebar fitnah, isu-isu hoaks dan berita-berita yang belum jelas sumbernya.

Bagaimana dengan menyebut atau menjuluki orang lain dengan Fir’aun? Dalam sejarah Islam, Fir’aun itu dikenal sebagai seorang raja yang zalim, tidak beriman kepada Allah dan mengingkari kerasulan Musa a.s.

Mengingat jejak Fir’aun yang demikian, bisa jadi dapat dikatakan bahwa menjuluki orang lain dengan sebutan tersebut merupakan satu bentuk ucapan yang tidak baik.

Kewaspadaan Alquran terhadap hal-hal seperti yang disinggung sebelumnya (menjuluki orang lain dengan Fir’aun) disinggung dalam surah Alhujurat [49] ayat 11,

….يٰۤاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا لَا يَسۡخَرۡ قَوۡمٌ مِّنۡ قَوۡمٍ عَسٰٓى اَنۡ يَّكُوۡنُوۡا خَيۡرًا مِّنۡهُمۡ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum lainya (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih dari mereka (yang mengolok-olok)….”

Baca Juga: Julukan Buruk Yang Dilarang Alquran

Tafsir Surah Alhujurat Ayat 11

Dalam Tafsir Jalalain, Jalalluddin Al-Mahalli mengatakan bahwa ayat ini turun ketika salah satu kaum bani Tamim mengolok-olok orang-orang fakir dari umat Islam, meremehkan mereka dan merendahkan mereka. (Al-Mahalli, Tafsir Jalalain, hal. 687).

Ibn Katsir dalam tafsirnya menukil hadis Rasulullah saw. yang berkaitan dengan laku orang menjuluki orang lain dengan sebutan tertentu dengan tujuan meremehkan. Ucapan yang mengarah pada hal tersebut, menurit hadis dikaregorikan sebagai sikap sombong. “Sombong adalah tidak mau menerima kebenaran dan meremehkan orang lain.” (Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Juz 7 hal. 376).  

Dengan demikian, larangan meremehkan dan merendahkan orang lain menjadi inti pesan dari ayat tersebut. Menurut kebiasaan, orang yang meremehkan dan merendahkan orang lain itu secara bersamaan berarti menganggap dirinya lebih baik dari orang lain. Padahal dalam ayat tersebut disinggung bahwa ‘boleh jadi orang yang diremehkan itu lebih baik dari yang meremehkan’.

Bagaimana dengan seseorang yang mengibaratkan orang lain dengan Fir’aun? Sungguh pemisalan Fir’aun adalah seburuk-buruk pengibaratan, karena figurnya yang dikenal sangat zalim. Seseorang menyebut orang lain dengan julukan Fir’aun seakan-akan seseorang tersebut menyamakan orang lain tersebut dengan Fir’aun. Kiranya tidak ada yang mau seorang muslim di klaim dirinya sebagai Fir’aun. Lantas bagaimana hukum pengibaratan tersebut menurut fikih?

Baca Juga: Body Shaming, Repetisi Histori al-Hujurat Ayat 11 Sebagai Budaya Jahiliyah Modern

Hukum Menyebut Fir’aun Terhadap Saudara Muslim

Dalam aspek fikih memberi label Fir’aun pada seseorang diharamkan karena perkataan tersebut mengandung unsur dapat menyakiti orang lain. Didalam kitab Is’ad Ar-Rafiq dijelaskan

فَفِي الزَّوَاجِرِ اَنَّ اِيْذَاءِ الْمُسْلِمِ مُطْلَقًا كَبِيْرَةٌ

Dalam kitab Az-Zawajir disebutkan bahwa menyakiti sesama muslim secara mutlak diharamkan. (Habib Abdullah bin Husain Ba’alawiy, Is’ad Ar-Rafiq, Juz 2 hal. 119).

Namun pemberian label Fir’aun tersebut tidak selamanya diharamkan. Menurut Habib Abdullah bin Husain Ba’alawiy barometer apakah sebuah ucapan tersebut mengandung unsur menyakiti orang lain atau tidak dikembalikan pada urf (kebiasaan) yang berlaku. Jika urf (kebiasaan) mengatakan hal terebut menyakiti maka haram, sebaliknya jika kebiasaannya penyebutan tersebut tidak bertendensi pada menyakiti maka tidaklah sampai pada taraf keharaman.

Namun bagaimana pun penyebutan Fir’aun tidak pantas diucapkan seseorang terhadap orang lain. Menurut Syekh Zainul Abidin, seorang muslim yang mengatakan Fir’aun terhadap saudaranya layak mendapat takzir sebagai bentuk hukuman perilaku maksiat sebab menyakiti hati orang lain.

لَوْ قَالَ لِغَيْرِهِ اَنْتَ اِبْلِيْسُ اَوْ اَنْتَ فِرْعَوْن يَنْبَغِيْ اَنْ يُعَزَّرَ اِذَا اَذَاهُ

Jika ada seseorang berkata pada orang lain “engaku iblis” atau engkau Fir’aun” maka sepatutnya ia mendapatkan takzir jika ucapanya dapat menyakiti orang lain. (Ghamz Uyun al-Bashair Syarh Kitab al-Asybah wa an-Nadhoir, Juz 2, Hal. 182).

Misal bahwa pengibaratan Fir’aun tersebut didasari tujuan untuk mengkritisi bukan meremehkan, akan lebih baik jika kritisi tersebut disampaikan dengan cara yang lebih baik. Terlebih misalnya kritik tersebut bukannya mendatangkan manfaat, malah membawa mudorot yang lebih besar.

Bukankah ketika menghadapi Fir’aun sekali pun, Nabi Musa tetap diperintah oleh Allah untuk menggunakan perkataan yang lembut? Demikian Alquran mengajarkan tentang penjagaan lisan. Wallah a’lam

Air: Anugerah Ilahi dan Etika Manusia Terhadapnya

0
pouring fresh stream water out of a clay jug representing servanthood and christian service

Air adalah anugerah Ilahi yang diturunkan ke muka bumi, kekayaan yang berharga dan warisan penting bagi generasi mendatang. Maka sejatinya kita harus mensyukuri segala kenikmatan yang telah dikaruniakan-Nya, khususnya dengan anugerah alam, air, dan sumber daya bumi lain yang kita bisa memanfaatkannya secara cuma-cuma.

Rasa syukur kita dapat ditunjukkan dengan cara menjaga kelestarian anugerah tersebut. Terlebih bagi seorang muslim, karena bertauhid bukan sesuatu yang pasif dan deklaratif (sekadar simbol pengakuan semata), namun menuntut konsekuensi atau tanggung jawab, salah satunya yaitu ikut andil dalam merawat kelestarian air yang menjadi roda kehidupan.

Allah menjadikan air sebagai sumber bagi seluruh kehidupan di bumi, sebagaimana dalam surah Alanbiya’ ayat 30:

أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا ۖ وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ ۖ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ

“Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan bumi, keduanya dahulu menyatu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya, dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air, maka mengapa mereka tidak beriman?”.

Baca Juga: Ketahui Fungsi-Fungsi Air dalam Al-Quran, Inilah Penjelasannya

Tafsir Surah Alanbiya’ Ayat 30: Air adalah Anugerah Ilahi

Ayat di atas menunjukkan bahwa air adalah suatu hal yang sangat penting, yang dianggap oleh para ulama sebagai perkara yang besar. Yaitu  hakikat bahwa air itu benih kehidupan. Sebuah hakikat yang benar-benar menggugah hati. ( Sayyid Qutb, Tafsir Fi Dzilal al-Qur’an, Jilid 17, 44)

Ayat ini juga lebih lanjut menyinggung soal proses yang ada pada bumi dan langit. Lafal رَتْقًا dalam ayat di atas bermakna padat dan keras. Sedangkan lafal فَفَتَقْنَاهُمَا dalam ayat ini bermakna “Kami lembutkan atau belah langit dan bumi”. Hal ini mengutip Ibnu Abbas dalam tafsirnya, bahwa ayat ini bercerita, “Dahulu langit dibuat oleh Allah dengan bentuk yang padat dan keras sehingga tak ada sedikitpun air hujan yang turun darinya.

Begitu juga bumi yang dijadikan tandus dan tak ada sedikitpun benih yang tumbuh. Tak ada tanda kehidupan, hingga Allah swt. lembutkan langit sehingga keluar darinya air hujan dan Allah swt. membelah muka bumi sehingga keluar darinya tumbuh-tumbuhan.” (Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 8, 448)

Penjelasan M. Quraish Shihab pada ayat, “Kami jadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air”, telah dibuktikan melalui penemuan lebih dari satu cabang ilmu pengetahuan sitologi, yang menyatakan bahwa air adalah komponen terpenting dalam pembentukan sel yang merupakan satuan bangunan pada setiap makhluk hidup, baik hewan maupun tumbuhan.

Sedang pada ilmu biokimia menyatakan bahwa air adalah unsur yang sangat penting pada setiap interaksi dan perubahan yang terjadi di dalam tubuh makhluk hidup. Air dapat berfungsi sebagai media, faktor pembantu, bagian dari proses interaksi, atau bahkan hasil dari sebuah proses interaksi itu sendiri. (Tafsir Al-Mishbah, 442)

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Hukum Air Hujan itu Suci Menyucikan, Kecuali Jika…

Menjaga Air itu Kewajiban Bersama

Dari air, Allah mengajarkan kita agar bersyukur karena dengan adanya air inilah kita mampu menjalankan roda kehidupan. Dengan demikian menjaga air sebagai sumber kehidupan adalah kewajiban kita semua. Sebaliknya, merusak air sebagai sumber kehidupan adalah suatu yang terlarang.

Syekh Yusuf al-Qaradhawi dalam al-Biah fi al-Islam memaparkan bahwa Allah swt. telah memberikan nikmat air itu secara gratis, sayangnya oleh manusia nikmat itu dipergunakan dan dimanfaatkan tidak dengan cara yang baik dan proporsional. Seringkali pendayagunaan air tidak optimal dan bahkan cenderung eksploitatif.

Lebih lanjut al-Qaradhawi menegaskan, jika pemakaian yang tidak tepat guna dan konsumsi berlebihan tetap terjadi, maka tak mustahil krisis air pun akan terjadi. Allah berfirman, “Dan, Kami turunkan air dari langit menurut suatu ukuran, lalu Kami jadikan air itu menetap di Bumi, dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa menghilangkannya.” (Surah Almu’minun ayat 18).

Etika Rasulullah saw. dalam Menghemat Air, Bahkan Saat Berwudu

Beberapa riwayat Hadis menyatakan bahwa Rasulullah saw. mengajarkan para sahabatnya untuk menghemat air dalam berwudu. Salah satu di antaranya yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amr.

Rasulullah saw. melewati Sa’ad pada saat dia melakukan wudu. Nabi saw. lalu berkata, “Pemborosan apa ini?”

Sa’ad berkata, “Apakah ada pemborosan dengan air dalam hal berwudu?”

Nabi saw. menjawab, “Ya, bahkan jika engkau berwudu di sungai yang mengalir. (H.R. Sunan Ibnu Majah)

Hadis Nabi saw. di atas memperingatkan kita tentang larangan untuk mubazir terhadap penggunaan air, bukan hanya dalam wudu tetapi juga saat aktivitas lain. Meskipun, menggunakan air mengalir dari sungai, kita harus seefisien mungkin memanfaatkannya, karena fungsi air mengalir itu ialah untuk kepentingan publik, agar kita tidak menghalangi akses orang lain untuk mendapatkan kebermanfaatannya juga.

Sebagai upaya untuk menjaga kelangsungan air bersih, tentunya usaha penghijauan adalah hal yang sangat penting. Rasullullah saw. dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari sahabat Muadz bin Anas .r.a, “Siapa saja yang mendirikan bangunan atau menanam pohon tanpa kezaliman dan melewati batas, niscaya itu akan bernilai pahala yang mengalir selama bermanfaat bagi makhluk Allah yang bersifat rahman”. (H.R. Ahmad).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Hukum Berwudhu dengan Air Milik Non Muslim

Beliau menganjurkan umat muslim untuk menanam pohon sebagai tabungan amal baik agar bumi kita tetap ramah untuk dihuni oleh segenap makhluk hidup serta menjadi warisan bagi kehidupan keturunan kita kelak. Agar kemanfaatannya tidak hanya berhenti pada generasi saat ini saja, tapi juga untuk generasi di masa yang akan datang. Kita yang hidup di masa ini mendapat amanah untuk menjaganya supaya kita bisa mewariskan kepada mereka, anak-cucu kita.

Wallahu a’lam.

Tradisi Membaca Awal Alquran saat Khataman

0
Tradisi khataman Alquran
Tradisi khataman Alquran

Salah satu kebiasaan yang berkembang di masyarakat saat melakukan khataman Alquran adalah membaca Surah Alfatihah dan beberapa ayat di awal Surah Albaqarah, seusai membaca Surah Annas dan sebelum doa. Sehingga, seakan-akan prosesi khataman Alquran tidak diakhiri dengan membaca Surah Annas sebagai surah paling belakang, melainkan dengan awal Surah Albaqarah. Lalu, apakah ada keterangan dari ulama yang membenarkan tindakan ini? Berikut keterangan selengkapnya.

Memulai dari awal setelah khatam

Menutup khataman Alquran dengan membaca Alfatihah serta beberapa ayat di awal Surah Albaqarah, merupakan salah satu hal yang dianjurkan. Hal ini bertujuan agar seakan-akan si pembaca dianggap masuk pada sesi khataman yang baru setelah selesai mengkhatamkan Alquran. Hal ini ditandai dengan membaca awal Alquran berupa Surah Alfatihah dan awal Surah Albaqarah.

Baca juga: Tradisi Pembacaan Takbir Ketika Khataman Alquran

Imam al-Suyuthi di dalam kitab al-Itqan fi Ulum al-Qur’an menerangkan, disunahkan ketika selesai mengkhatamkan Alquran, untuk kemudian beranjak pada proses mengkhatamkan yang lainnya. Imam al-Nawawi di dalam al-Tibyan juga menyatakan hal demikian. Beliau juga menambahkan, bahwa tindakan ini adalah sesuatu yang disukai oleh para ulama salaf (al-Itqan/131 dan al-Tibyan/162)

Imam al-Zarkasyi menerangkan lebih detail di dalam al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, bahwa saat mengkhatamkan Alquran dianjurkan setelah membaca Surah Annas untuk membaca Alfatihah dan 5 ayat pertama Surah Albaqarah. Yaitu sampai ayat:

اُولٰۤىِٕكَ عَلٰى هُدًى مِّنْ رَّبِّهِمْ ۙ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

“Merekalah yang mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”(QS. Albaqarah/5) (al-Burhan/1/474).

Kesunahan ini menurut para ulama seperti al-Suyuthi dan al-Zarkasyi berdasar hadis yang diriwayatkan dari Ibn Abbas:

قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ « الْحَالُّ الْمُرْتَحِلُ ». قَالَ وَمَا الْحَالُّ الْمُرْتَحِلُ قَالَ « الَّذِى يَضْرِبُ مِنْ أَوَّلِ الْقُرْآنِ إِلَى آخِرِهِ كُلَّمَا حَلَّ ارْتَحَلَ »

“Seorang lelaki bertanya: “Ya Rasulullah, amal mana yang paling disukai Allah?” Nabi menjawab: “Yang sampai di akhir kemudian berangkat kembali”. “Apa maksud sampai di akhir kemudian berangkat kembali?” tanya si lelaki. Nabi bersabda: “Yaitu orang yang membaca Alquran mulai awal sampai akhir. Setiap selesai, dia memulai kembali.” (HR. Al-Tirmidzi).

Imam al-Mubarakfuri di dalam Tuhfat al-Ahwadzi menjelaskan, sebenarnya ulama masih berbeda pendapat mengenai maksud redaksi hadis “Yang sampai di akhir kemudian berangkat kembali.” Sebagian ulama berpendapat bahwa redaksi tersebut bermakna, orang yang sampai pada batas akhir Alquran kemudian membacanya kembali mulai awal. Al-Mubarakfuri juga menerangkan bahwa tradisi yang berkembang di antara ahli Alquran kota Mekah terkait hadis ini, saat selesai khatam Alquran atau selesai membaca Surah Annas, mereka akan membaca Alfatihah kemudian 5 ayat awal Surah Albaqarah, baru kemudian berhenti membaca (Tuhfat al-Ahwadzi /7/264).

Baca juga: Inilah Lima Fadilah Membaca Al-Qur’an Menurut Hadis-Hadis Sahih

Imam al-Jazari menjelaskan, ada sebuah riwayat yang menerangkan bahwa saat sahabat Ubay ibn Ka’b membaca Surah Annas di hadapan Nabi, maka beliau kemudian membaca Alfatihah, lalu 5 ayat pertama Surah Albaqarah, baru kemudian berdoa dan undur diri. Riwayat ini kemudian diamalkan oleh banyak ulama. Sehingga, tidak ada orang yang mengkhatamkan Alquran kecuali dia lanjut membaca Alquran mulai awal kembali. Entah kemudian mengkhatamkannya kembali atau tidak, atau berniat mengkhatamkannya atau tidak (al-Nasyr fi al-Qiraat al-Asyr/2/488).

Sayangnya, riwayat yang disinggung al-Jazari sepertinya dinilai sebagian kalangan tidak bisa dibuat pegangan. Sehingga, sebagian malah melarang menambah bacaan Alfatihah dan 5 ayat pertama Surah Albaqarah, saat mengkhatamkan Alquran (al-Adab al-Syariah/2/428).

Kesimpulan

Dari berbagai keterangan di atas kita bisa mengambil kesimpulan, kebiasaan menutup khataman Alquran dengan membaca Alfatihah serta beberapa ayat di awal Surah Albaqarah, sebenarnya adalah bentuk mengamalkan anjuran dari para ulama tatkala mengkhatamkan Alquran. Sayangnya, pada praktiknya kadang yang dibaca tidak hanya 5 ayat pertama Surah Albaqarah, tapi lebih. Mungkin dikarenakan ketidaktahuan masyarakat awam tentang detail anjuran tersebut. Wallahu a’lam.

Dua Macam Ujian Hidup

0
Dua macam ujian hidup
Dua macam ujian hidup

Dalam kehidupan di dunia, sebagian dari kita kerap kali mengeluh dengan kekurangan, kemiskinan, prestasi, dan lain sebagainya.  Lebih jauh, terkadang sebagian dari kita bahkan iri dengan keadaan kecukupan, kekayaan, dan prestasi orang lain atau bahkan menginginkan semua nikmat itu hilang dari mereka. Lantas, bagaimana pandangan Alquran mengenai hal ini?

Tafsir QS. Alan’am (6): 164

Dalam perspektif Alquran, kekayaan dan kemiskinan, kecukupan dan kekurangan, prestasi dan tanpa prestasi, serta ketampanan/kecantikan dan keburukan merupakan ujian. Ujian tidak semata terjadi pada keadaan kekurangan atau negatif saja seperti kemiskinan, tetapi keadaan positif dalam kacamata duniawi juga merupakan ujian.

Kita mendapati dalam lintas sejarah bahwa banyak orang yang memiliki kelebihan duniawi, namun tidak lulus ujian dan dimurkai oleh Allah Swt. Sebut saja misalnya Firaun. Firaun diberi kekuasaan sebagai raja dengan segala harta, fasilitas, dan pengikut yang banyak, namun dia justru menjadi sombong dan bahkan mengaku sebagai Tuhan. (Alqashash (28): 38)

Di dalam ayat terakhir dari surah Alan’am, Allah menjelaskan bahwa Dia meninggikan derajat sebagian manusia atas sebagian manusia yang lain untuk mengujinya.

هُوَ الَّذِيْ جَعَلَكُمْ خَلَائِفَ الْأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَبْلُوَكُمْ فِيْ مَا آتَاكُمْ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيْعُ الْعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُوْرٌ رَّحَيْمٌ

“Dan Dia menjadikan kamu khalifah-khalifah di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) untuk menguji kamu melalui apa yang Dia berikan kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu cepat siksa-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Titik pokok pembahasan ada pada potongan ayat dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) untuk menguji kamu melalui apa yang Dia berikan kepadamu”, namun ada baiknya kita sedikit mengulas tafsiran dari potongan ayat sebelumnya.

Baca juga: Surat Ali Imran Ayat 186: Keniscayaan Ujian Hidup

Maksud dari “Dan Dia menjadikan kamu khalifah-khalifah di bumi,” bukan seperti yang dimaksud oleh para pejuang khilafah yang berarti pemimpin politik dari sistem kekhilafahan (negara Islam supranasional), melainkan maksudnya adalah pengganti umat-umat sebelumnya di bumi. Maksudnya adalah bahwa umat-umat yang telah lalu digantikan oleh umat yang baru. Demikian tafsiran yang dijelaskan oleh al-Mahalli dalam Tafsir al-Jalalain (107) dan Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah (3: 768).

Kembali ke pembahasan pokok, Allah Swt. meninggikan sebagian manusia atas sebagian yang lain bertujuan untuk menguji mereka melalui apa yang diberikan oleh-Nya. Peninggian derajat ini menurut al-Mahalli melalui harta, pangkat, dan lain sebagainya. Adanya hal ini menurutnya bertujuan agar menjadi jelas mana orang yang yang taat (al-muthii’) kepada Allah dan mana yang orang yang durhaka (al-‘ashi) kepada-Nya. Allah akan menyiksa dengan cepat orang yang durhaka dan mengampuni orang-orang mukmin.

Secara spesifik, Syekh Ahmad al-Shawi dalam Hasyiyah al-Shawi ‘ala Tafsir al-Jalalain (2:61) menjelaskan bahwa Allah menjadikan manusia kaya dan miskin, cantik/tampan dan jelek, pintar dan bodoh, serta kuat dan lemah untuk menguji manusia melalui apa yang telah Dia berikan. Menjadikan manusia dalam dua sisi yang berbeda ini agar jelas mana orang yang bersabar dan bersyukur.

Dua macam ujian hidup menurut Alquran

Berdasarkan penjelasan tafsir dari beberapa tokoh di atas dapat disimpulkan bahwa sebenarnya segala keadaan memiliki ujian sendiri-sendiri. Terkadang, seorang hamba mendapatkan ujian berupa kemegahan dalam kenikmatan berupa harta, kepintaran, kekuatan, dan ketampanan. Ujian kenikmatan ini bertujuan untuk menilai apakah seorang hamba mampu bersyukur, bersedekah, membantu sesama, tidak sombong, dan tidak terbuai dengan kemegahan hidup yang dimiliki atau tidak.

Kadang pula, seorang hamba mendapatkan ujian hidup berupa kekurangan yang jauh dari kenikmatan. Ujian dari golongan ini adalah untuk menguji apakah mereka mampu bersabar, berusaha, tidak jatuh pada kekufuran, dan tetap semangat atau tidak.

Penutup

Fenomena ini menunjukan bahwa jalan manusia untuk mendapat rida Allah berbeda-beda. Ada yang mendapatkan rida-Nya dengan jalan bersyukur, bersedekah, rendah hati, dan lain-lain. Ada pula yang mendapatkan rida-Nya dengan jalan bersabar, memiliki etos kerja dan lain-lain.

Jalan yang berbeda ini merupakan ujian yang Allah kehendaki dari kita agar kita mampu mempersembahkan amal terbaik untuk-Nya sebagaimana firman Allah, “Dialah yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” (QS. Almulk (67): 2). Semoga kita senantiasi bisa menjalani ujian kita masing-masing dan dapat mempersembahkan amal terbaik untuk-Nya. Amin.

Tafsir Kebangsaan dan Etika terhadap Kitab Suci Agama Lain

0
Tafsir Kebangsaan dan Etika terhadap Kitab Suci Agama Lain
Alquran

Pembakaran Alquran menjadi topik yang mencuat di berbagai pemberitaan media daring (website dan media sosial) akhir-akhir ini. Hal ini terkait dengan aksi membakar Alquran oleh salah satu politisi sayap kanan, hard line Denmark di depan kantor kedutaan Turki, Swedia.

Peristiwa ini pada akhirnya menyisakan problem etis di kalangan umat beragama, terutama umat Islam. Walaupun tindakan tersebut memiliki landasan politik yang diartikan sebagai “kebebasan berekspresi”, pada kenyataannya malah menampilkan sikap seorang politisi dengan logika dan nalar politik yang sempit.

Terlepas dari kitab suci agama manapun, setiap umat beragama memiliki hubungan mendalam dengan ajaran-ajaran kitab sucinya di kehidupan sehari-hari (Filsafat Agama, 3-4).

Musyawarah

Setiap kitab suci agama-agama boleh jadi memuat ajaran moral spiritual individu terhadap Tuhan dan sosial hingga urusan politik. Dalam konteks ini terdapat ayat Alquran yang menjelaskan pandangan berpolitik Islam, yaitu Q.S. Ali Imran (3): 159.

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلْقَلْبِ لَٱنفَضُّوا۟ مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَٱعْفُ عَنْهُمْ وَٱسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى ٱلْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَوَكِّلِينَ

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.

Baca juga: Viral Aksi Meludahi Alquran, Ini Cara Pilih Sikap menurut Alquran!

Di dalam Tafsir Al-Kasysyaf (Juz 4, 202) dijelaskan keutamaan musyawarah dalam memutuskan suatu perkara yang tidak ada wahyu terkait turun guna menyelesaikan masalah tersebut. Dalam konteks ini penjelasan ayat di atas dapat dikaitkan dengan watak elegan seorang politisi dalam berpolitik. Kebebasan berekspresi dan berpendapat menjadi nilai utama apabila dilakukan dalam forum yang bertanggung jawab, bukan secara sporadis dan egois.

Menghormati kitab suci

Realitas di dunia ini begitu kompleks. Itulah mengapa Indonesia memiliki slogan khusus yang merepresentasikan pluralitas kebudayaan masyarakatnya, yaitu “Bhineka Tungal Ika”. Dari slogan tersebut dapat ditarik hikmah penting bahwa menyikapi perbedaan yang ada membutuhkan pandangan yang melahirkan persatuan, serta menghormati pihak yang berbeda dan sesuatu yang dianggap penting oleh kelompok tertentu.

Salah satu ayat Alquran yang menjadi landasan utama dalam menghormati lian yaitu Q.S. Al-An’am (6): 108.

وَلَا تَسُبُّوا۟ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ فَيَسُبُّوا۟ ٱللَّهَ عَدْوًۢا بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ كَذَٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ

“Janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setip umat menganggap baik perbuatan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah tempat kembali mereka, lalu Dia memberitahukan kepada mereka apa yang dulu mereka kerjakan.”

Al-Qurtubi (Tafsir Al-Qurtubi, juz 4, 491) menjelaskan bahwa Allah melarang orang-orang beriman memaki berhala orang-orang musyrik dikarenakan apabila berhala tersebut menjadi objek makian orang beriman, malah justru akan menambah kekufuran dalam diri mereka.

Baca juga: Ayat-Ayat Konflik yang Dipahami Keliru dan Kemunculan Kafirphobia di Kalangan Umat

Lebih lanjut dijelaskan bahwa larangan ini bersifat abadi dalam segala situasi dan kondisi umat Islam. Makna sembahan dalam tafsir ini mencakup salib (simbol), ajaran agama, dan gereja (tempat ibadah) umat agama lain.

Sementara itu diterangkan dalam Tafsir Al-Azhar (jilid 3, 2134-2136) bahwa perbuatan memaki, menghina, dan mencerca unsur-unsur agama lain termasuk dalam kategori dosa besar. Kandungan ayat di atas memuat larangan keras yang apabila dilakukan oleh umat beragama terhadap umat lain akan melahirkan pertengkaran dan perselisihan yang tidak kunjung usai. Hamka menengarai sebaiknya dakwah Islam dilakukan dengan menunjukkan keburukan menyembah berhala dengan alasan yang masuk akal.

Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah (vol. 4, 242) juga menjelaskan perincian maksud khusus yang terkandung dalam ayat ini. Menurutnya, perbuatan mencaci tuhan-tuhan orang-orang musyrik dikhususkan kepada pengikut Nabi Muhammad. Dengan demikian, redaksi ayat ini menyatakan kemuliaan akhlak Nabi sebagai rahmat, bukan pemaki dan pencerca. Tugas utamanya tidak lain adalah menyampaikan risalah Allah kepada umat manusia, bukan memaksa hingga memaki keyakinan yang berbeda dengan risalah yang diserukannya.

Penutup

Dari penjelasan di atas dapat ditarik benang merah bahwa agama Islam melalui kitab suci Alquran menghendaki manusia, terutama umat Islam berpolitik dengan baik; bijak dan bertanggung jawab. Kebebasan berekspresi dalam bentuk apapun lebih utama diutarakan dalam musyawarah dengan saling menghormati satu sama lain.

Dalam konteks menghormati kitab suci agama-agama, Alquran secara eksplisit melarang seorang muslim mencaci agama lain. Hal ini juga dijelaskan oleh beberapa ulama tafsir ketika menjelaskan Q.S. Al-An’am (6): 108.

Baca juga: Muhammad Nabi Cinta; Nabi Muhammad di Mata Seorang Penganut Katolik

Aksi kontroversial pembakaran Alquran dalam hal ini terkategori dalam perbuatan mencaci salah satu unsur fundamental agama Islam. Namun demikian, upaya alternatif umat Islam supaya tidak terjerembab dalam emosi adalah dengan mendalami keterangan-keterangan para ulama dari masa ke masa, sehingga umat Islam dapat mendalami tuntunan Alquran secara mendalam dan mengkhidmati pesan kenabian sebagai teladan utama sepanjang hayat.

Empat Kitab Tafsir yang Tak Terselesaikan oleh Penulisnya

0

Melimpahnya literatur tafsir di abad ini tak lepas dari keseriusan para mufasir terdahulu dalam menyusun karya tafsir. Mereka rela mengorbankan waktu, tenaga dan pikiran untuk menyelesaikan tafsir 30 juz. Beberapa mufasir bahkan lebih dulu wafat sebelum merampungkan karya tafsirnya, sehingga karyanya tak pernah terselesaikan oleh penulis aslinya, di antaranya; Ar-Razi dalam menulis Mafatih al-Ghaib, Rasyid Ridha dalam menulis Tafsir al-Manar, Jalaluddin al-Mahaly dalam menulis Tafsir Jalalain dan Abu Zahrah dalam menulis Zahrat al-Tafasir.

Mafatih al-Ghaib (Tafsir al-Kabir)

            Tafsir karya Imam Fakhruddin Ar-Razi (w. 606 H/ 1210 M) ini terdiri dari 32 jilid dengan model penafsiran ensiklopedis/muthawwalat. Tafsir ini pernah menjadi sandaran utama kitab-kitab tafsir lain pada masanya. (Walid Saleh, Preliminary Remarks on the Historiography of tafsir in Arabic: A History of the Book Approach, 20). Namun, Ar-Razi ternyata tak sempat untuk menyelesaikan penulisan Mafatih al-Ghaib.

            Ar-Razi menulisnya hanya sampai Surah Al-Anbiya’ [21] sebagaimana dikutip Sayyid Murtadha dalam Syarah Asy-Syifa li Syihab. Akan tetapi, klaim tersebut ditampik oleh Adz-Dzahabi yang mendasarkan argumennya pada teks Tafsir Mafatih al-Ghaib, tepatnya saat menjelaskan Surah Al-Waqi’ah [56] ayat 24 yang bertuliskan:

المَسْأَلَةُ الأُوْلَى: أُصُوْلِيَّةٌ ذَكَرَهَا الإِمَامُ فَخْرُ الدِّيْن رَحِمَهُ اللهُ فِيْ مَوْضِعٍ كَثِيْرَةٍ وَنَحْنُ نَذْكُرُ بَعْضَهَا

“Persoalan pertama: persoalan pokok, sebagaimana disebutkan oleh Imam Fakhruddin -semoga Allah merahmatinya- pada banyak kesempatan. Kami (penulis) hanya menyebutkannya sebagian (Fakhruddin Ar-Razi, Mafaatih al-Ghaib, Juz 29, 398).

            Penggunaan sudut pandang orang ketiga dalam pernyataan di atas diduga kuat mengindikasikan bahwa bukan Ar-Razi sendiri yang menulisnya, melainkan penulis lain. Mengenai hal ini, Ibnu Hajar Al-Asqalani menilai pernyataan itu adalah dari Syihabuddin al-Khubi (w. 639 H). Sedangkan Haji Khalifah (pengarang kitab Kasy al-Dzunun), mengklaim bahwa tulisan tersebut berasal dari Najmuddin Al-Makhzumi Al-Qamuli (w. 727 H).

            Adz-Dzahabi menyimpulkan, penulisan Mafatih al-Ghaib dilanjutkan oleh dua tokoh; Al-Khubi (w. 639 H) dan disempurnakan oleh Al-Qamuly (w. 727 H). Sayangnya, seberapa porsi penulisan dari kedua tokoh ini sukar terlacak. Sebab, tak ditemuinya riwayat atau petunjuk yang secara tegas menjelaskan hal ini. (Husain Adz-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz 1, 207-208).

Baca Juga: Simpang Siur Penyempurna Tafsir Mafatih al-Ghaib Setelah al-Razi 

Tafsir Jalalain

            Penyusunan Tafsir Jalalain diinisiasi oleh Jalaluddin Al-Mahali (w. 864 H/1495 M) yang mengawali penulisannya dengan paruh akhir dari Alquran, yakni dari Surah Alkahfi [18] sampai Surah Annas [114]. Kemudian melanjutkannya dengan bagian paruh awal. Sayangnya, ajal lebih dulu menjemputnya seusai menafsirkan Surah Alfatihah [1].

            Penafsiran kemudian dilanjutkan oleh muridnya, Jalaluddin As-Suyuti (w. 911 H/1505 M). As-Suyuthi melengkapi penafsiran Al-Mahali dengan menafsirkan Surah Albaqarah [2] hingga Surah Alisra’[17]. Sehingga, penamaan karya tafsir ini menjadi Jalalain (dua Jalal), terambil dari kesamaan nama penyusunnya, yakni Jalaluddin. Di sisi lain, As-Suyuthi secara mandiri juga memiliki karya tafsir, diantaranya Durr al-Mantsur fi Tafsir al-Ma’tsur dan Al-Iklil fi Istinbath al-Tanzil. (Husain Adz-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz 1, 238).

Baca Juga: Tafsir Jalalain dan Sederet Fakta Penting Tentangnya

Tafsir Al-Manar

            Tafsir al-Manar ditulis oleh Rasyid Ridha (w. 1354 H/1935 M) yang merupakan hasil pembukuannya dari ceramah Muhammad Abduh (w. 1323 H/1905 M) saat memberikan kuliah tafsir di Universitas Al-Azhar (Kairo, Mesir). Abduh sendiri adalah tokoh pembaru Islam, murid dari Jamaluddin Al-Afghani (w. 1314 H/1897 M). Abduh juga aktif mengisi halaqah dan kajian tafsir di berbagai tempat, seperti di Beirut dan Masjid Basyurah (Masjid Agung Aljazair).

            Perjumpaan pertama Ridha dengan Abduh terjadi di Mesir, delapan tahun sebelum wafatnya Abduh (tahun 1315 H). Ridha memutuskan untuk berguru padanya dan mendorongnya agar menulis tafsir 30 juz dengan format penulisan sebagaimana dalam majalah al-‘Urwat al-Wutsqa yang pernah ditulis Abduh bersama Jamaluddin Al-Afghani.

            Awalnya, Abduh menolak dengan alasan bahwa Alquran tak perlu ditafsirkan seluruhnya secara sempurna dari segala sisinya, sebab penafsirannya bisa sangat luas sedang umur manusia terbatas. Prinsip ini juga mendasari Abduh dalam menulis Tafsir Juz ‘Amma (1321 H) yang relatif singkat. Namun, akhirnya Abduh memenuhi usulan Ridha dengan mulai menyampaikan penafsiran-penafsiran ayat dalam perkuliahan di Universitas Al-Azhar. Sayangnya, perkuliahan hanya berjalan enam tahun dan penafsirannya sampai pada Surah Alnisa’[4] ayat 126 karena Abduh lebih dulu tutup usia.

            Penafsiran Abduh kemudian dihimpun, dilanjutkan dan diterbitkan Rasyid Ridha di majalah al-Manar yang didirikannya sendiri. Namun, Ridha meninggal dunia saat penafsirannya sampai pada Surah Yusuf [12] ayat 101. Tafsir Al-Manar akhirnya terbit sebanyak 12 jilid dan hanya sampai pada Surah Yusuf [12] ayat ke 51. Adapun 50 ayat sisanya terbit secara terpisah dalam kitab berjudul Tafsir Surah Yusuf. (Rasyid Ridha dan Bahjat al-Biythar, Tafsir Surah Yusuf, 6).  

            Selanjutnya, karya tafsirnya disempurnakan oleh Bahjat al-Biythar (w. 1396 H/1976 M) dengan menambah penafsiran 10 ayat terakhir Surah Yusuf (dari ayat 102 hingga ayat 111). Hasil penyempurnaan ini secara terpisah tertuang dalam Tafsir Surah Yusuf karya Bahjat Al-Biythar yang tetap dinisbatkan pada Rasyid Ridha. Selain menulis Tafsir Al-Manar, Rasyid Ridha juga menulis tafsir singkat Surah Al-Kautsar, Al-Kafirun, Ikhlas, Al-Falaq dan An-Nas. (Husain Adz-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz 2, 423).

Baca Juga: Muhammad Abduh: Mufasir Pelopor Pembaharuan Pemikiran di Dunia Islam

Zahrat at-Tafasir

            Tafsir ini ditulis oleh Muhammad Abu Zahrah (w. 1394 H/1974 M), seorang ahli fiqih dari Mesir yang terinspirasi dari tawaran yang pernah ia terima untuk mengisi rubrik dalam majalah Liwa’ al-Islam. Kemudian, ia menulis tafsir, namun hanya sampai pada Surah Alnaml [27] ayat 73. Pada Hari Jum’at, 12 April 1974 M, Abu Zahrah wafat dalam kondisi tersungkur di atas lembaran naskah (draft) tafsirnya yang masih terbuka. Tafsir ini belum ada yang melanjutkannya hingga sekarang. (Fadhal Hasan Abbas, al-Tafsir wa al-Mufassirun fi ‘Ashr al-Hadis, Juz 3, 373).

            Uraian di atas paling tidak menjadi pelajaran betapa berartinya sebuah karya tulis sebagai media dokumentasi pemikiran penulisnya. Andai praktik tulis menulis tak jadi bagian dari jalan hidup para mufasir tersebut, sanad penafsiran tak akan sampai pada generasi sekarang. Para mufasir mutaqaddimin (terdahulu) sudah sepatutnya menjadi role model (teladan) dalam berliterasi.

Analisis Makna Pegon pada Naskah Tafsir Jalalain

0
Analisis Makna Pegon pada Naskah Jalalain
Analisis Makna Pegon pada Naskah Jalalain

Tak hanya melalui kolofon dan kertas yang digunakan, usia sebuah naskah kuno juga dapat diketahui dengan melakukan analisis terhadap isi teks yang tertulis di dalamnya. Analisis yang cukup sederhana seperti yang telah penulis lakukan beberapa waktu yang lalu terhadap naskah tafsir Jalalain koleksi museum Masjid Agung Jawa Tengah. Dari analisis  (MAJT)tersebut, penulis memperkirakan usia naskah berdasar pada catatan konversi tahun hijrah Nabi saw. yang menunjuk pada rentang waktu 1230 sampai 1270 hijriah atau setara 1865-an masehi.

Dalam tulisan kali ini, penulis hendak melakukan analisis yang lebih kompleks pada naskah yang sama. Analisis yang didasarkan pada teori linguistik, yang secara spesifik merupakan hasil kajian terhadap perkembangan makna pegon dalam naskah-naskah kuno Nusantara. Tujuannya adalah untuk mendapatkan validitas klaim usia yang sebelumnya telah disebutkan.

Teori Perkembangan Pegon

Merujuk pada penjelasan yang diberikan Saiful Umam, Ph.D pada acara Dreamsea Colloquium 2022 bertajuk Manuskrip & Keragaman Tradisi Nusantara, model pemaknaan gandhul dengan pegon dapat diklasifikasikan karakternya berdasar usianya. Klasifiksi tersebut terbagi berdasar pada abad penulisannya yang secara umum meliputi abad 17, 18, 19, dan 20 (Selengkapnya lihat pada klik di sini.

Penjelasan yang sama sebenarnya juga pernah diberikan Nur Ahmad pada tahun 2018 melalui tulisannya yang berjudul Sejarah Makna Kitab Gandul dalam Tradisi Pesantren. Di sana, Ahmad bahkan memberikan penjelasan yang lebih lengkap, mencakup abad 18 yang tidak disebutkan oleh Saiful.

Pegon abad 17 memiliki bentuknya yang paling dasar, dimana ia hanya difungsikan sebagai alat bantu penerjemahan teks kata per kata. Pegon di masa ini juga belum disertai dengan unsur-unsur yang menjelaskan kedudukan kata (tarkib) dalam gramatika Arab. Pada kalimat al-hamd lillah misalnya, kata al-hamd cukup diterjemahkan dengan sekehing puji tanpa menambahkan atribut tarkib.

Baca juga: Mengenal Tafsir Anom, Tafsir Al-Quran Bahasa Jawa Aksara Arab Pegon Karya Mohammad Adnan

Perkembangan yang lebih kompleks terjadi pada abad 18 dan 19 ketika pegon yang diberikan telah dilengkapi dengan tarkib. Di dua abad ini, kata al-hamd pada contoh sebelumnya selain diberikan terjemah literalnya juga ditambahkan atribut tarkib, yakni kata utawi yang merupakan simbol literal dari mubtada. Demikian juga pada kata lillah, terdapat kata iku sebagai simbol literal dari khabar.

Perkembangan paling kompleks terjadi pada abad 20. Pegon di masa ini dapat dikatakan telah mengalami puncak pada struktur tarkib-nya. Hal tersebut ditandai dengan kompleksitas makna yang diberikan mencakup aspek terkecil. Contohnya seperti penambahan makna yang mengisyaratkan adanya ta‘alluq dari huruf jer. Pada frasa lillah sebelumnya misalnya, isyarat tersebut muncul pada kata iku tetep keduwe. Di masa ini pula, menurut Mas Ahmad, telah diperkenalkan beberapa rumus simbolik yang menjadi penanda gramatikal Arab, seperti mim untuk mubtada yang dibaca utawi, kha’ untuk khabar dibaca iku, dan lain sebagainya.

Lantas, bagaiamana dengan pegon dalam naskah Jalalain MAJT?

Analisis Pegon Naskah Jalalain

Hasil pembacaan yang penulis lakukan mendapati setidaknya enam kata yang menjadi simbol literal tarkib. Enam kata tersebut adalah utawi yang menjadi simbol mubtada, iku yang menjadi simbol khabar, ing yang menjadi simbol maf‘ul bih, hale yang menjadi simbol hal, apane yang menjadi simbol dari tamyiz, dan kerono yang menjadi simbol dari ta‘lil atau maf‘ul li ajlih.

Keenam kata tersebut ditulis dengan mengikuti pola yang umum digunakan pada penulisan pegon, yakni tepat sebelum memberikan terjemahan literal kata. Pada kata qayyiman misalnya, makna yang diberikan adalah hale bener. Kata hale berfungsi menjelaskan tarkib dan kata bener berfungsi menjelaskan terjemahan literal.

Baca juga: Faktor Terjadinya Inkonsistensi Penggunaan Kaidah Rasm dalam Manuskrip Mushaf Al-Qur’an di Nusantara

Namun demikian, model penulisan yang juga cukup banyak ditemukan adalah penggunaan keenam kata tersebut sebagai makna tunggal, tanpa disertai terjemahan literalnya, seperti pada kata tsabitun dengan kata iku, al-kafirin (dalam bentuk jamak) dengan kata ing, kalimatan dengan kata apane, dan lain sebagainya.

Hal ini seolah menyiratkan bahwa penulis naskah hendak memberikan tekanan terhadap tarkib kata tersebut dalam gramatika Arabnya. Meskipun ada kemungkinan lain dimana penulis naskah telah mengetahui terjemahan kata yang dikehendaki karena dianggap cukup familiar sehingga tidak perlu menuliskannya kembali.

Hasil pembacaan penulis juga tidak menjumpai adanya penggunaan rumus simbolik yang menjadi penanda gramatikal Arab atau pun pemaknaan kompleks lainnya. Beberapa rumus simbolik yang penulis temukan merupakan rumus marji‘ yang lazim digunakan untuk memberikan rujukan kepada makna yang sama sebelumnya.

Baca juga: Mengenal Tafsir Anom, Tafsir Al-Quran Bahasa Jawa Aksara Arab Pegon Karya Mohammad Adnan

Oleh karenanya, berdasar teori dan temuan yang ada, pegon yang digunakan dalam naskah Jalalain MAJT ini memiliki karakter yang sama dengan pegon abad 18 atau 19. Hasil ini agaknya dapat dijadikan penguat klaim bahwa naskah tersebut berasal dari abad 19, mengacu catatan lain yang ditemukan di dalam naskah. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Larangan Memuji Berlebihan

0
larangan memuji berlebihan
larangan memuji berlebihan

Sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Oleh karena itu, Islam melarang melakukan sesuatu dengan berlebihan, makan  berlebihan, minum berlebihan, tidur berlebihan, tertawa berlebihan, cinta berlebihan, bahkan juga benci berlebihan. Dalam hal ini juga, termasuk larangan memuji berlebihan.

Dalam surah An-Najm ayat 32 Allah swt. berfirman,

فَلَا تُزَكُّوْٓا اَنْفُسَكُمْۗ

“Maka janganlah menganggap diri kalian suci.” (QS. an-Najm ayat 32).

Dalam Tafsi at-Tahrir wa at-Tanwir, Ibn Asyur menafsirkan ayat tersebut dengan dua makna, yaitu larangan menyucikan diri sendiri dan larangan menyucikan orang lain. (at-Tahrir wa at-Tanwir, 27/125). Menyucikan diri sendiri artinya merasa diri sendiri lebih baik dan merendahkan yang lain. Menyucikan orang lain berarti memujinya.

Baca Juga: Maksud Larangan Berlebihan Memuji Rasulullah SAW, Tafsir Surah an-Nisa 49

Bagaimana konteks memuji yang dimaksud oleh ayat ini?

Dalil tentang pujian

Perihal bahaya pujian, terdapat sebuah hadis dari Abu Bakrah, dia menceritakan bahwa ada seorang sahabat sedang memuji sahabat yang lain di hadapan Rasulullah saw., Mendengar hal tersebut, lantas Rasulullah saw. bersabda,

“Celaka engkau, engkau telah memotong leher temanmu (berulang kali beliau mengucapkan perkataan itu). Jika salah seorang di antara kalian terpaksa/harus memuji, maka ucapkanlah, ‘Sebatas yang saya tahu si fulan demikian kondisinya.’ Jika dia menganggap seseorang yang dipuji itu demikian adanya. Adapun yang mengetahui kondisi sebenarnya adalah Allah dan janganlah menyucikan seseorang di hadapan Allah.” (H.R. Bukhari)

Dalam hadis lain, dari Miqdad bin al-Aswad, Rasulullah saw. bersabda, “jika engkau melihat orang yang memuji, maka taburkanlah debu di wajahnya.” (HR. Muslim).

Dua hadis tersebut sering digunakan sebagai dalil larangan memuji seseorang, namun di saat yang sama bisa saja dapat dipahami sebagai pembolehan memuji orang lain dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Rasulullah saw. bukannya tidak pernah memuji para sahabatnya. Beliau memuji para sahabat yang dikaguminya, seperti dalam hadis berikut,

“Pria terbaik adalah Abu Bakr, ‘Umar, Abu ‘Ubaidah, Usaid bin Hudhair, Tsabit bin Qais bin Syammas, Mu’adz bin Amru ibnul Jamuh dan Mu’adz bin Jabal.” Kemudian beliau mengatakan, “Pria terburuk adalah fulan dan fulan.” Beliau menyebutkan tujuh nama. (Ash Shahihah, 875)

Imam Nawawi mencoba mengetengahi dua hadis sebelumnya (larangan Rasulullah dan pujian Rasulullah kepada para sahabatnya). Beliau berpendapat bahwa hadis yang melarang itu dimaksudkan untuk orang yang memuji berlebihan, atau pujian yang lebih dari sifat yang sebenarnya, atau pujian yang ditujukan kepada orang yang dikhawatirkan tertimpa fitnah berupa sifat ujub dan semacamnya ketika dia mendengar pujian.

Adapun orang yang dikhawatirkan tidak tertimpa fitnah, baik karena bagusnya ketakwaannya dan kokohnya akal dan ilmunya, maka tidak ada larangan memuji di hadapannya, itu pun jika pujian tersebut bukan pujian yang berlebihan. Bahkan, jika pujian tersebut mengandung maslahat, misalnya membuat seseorang semakin semangat dalam berbuat baik, serta ada unsur supaya orang lain pun meneladani orang yang dipuji tersebut, maka hukumnya dianjurkan.” (Syarh Shahih Muslim, 9/382)

Penjelasan Imam Nawawi tersebut setidaknya bisa dipahami bahwa pujian itu boleh, bahkan sangat dianjurkan bila sebuah pujian mengandung maslahat. Namun apabila pujian itu dilakukan dengan berlebihan, maka akan menjadi berbahaya.

Termasuk ketentuan larangan dalam memuji yaitu pujian yang tidak benar, seseorang memuji atas suatu hal yang tidak dimiliki orang yang dipuji. Sebagaimana ditulis oleh Ibnu Hajar, ‘jika memuji orang dengan hal yang benar-benar ada pada dirinya, maka seperti itu tidak terlarang. Rasulullah saw. pernah dipuji dalam hal sya’ir dan khutbah beliau, namun beliau tidak menyiram pasir di hadapan orang yang memuji.” (Fath Al-Bari, 10/477)

Baca Juga: Walid bin Mughirah, Tokoh Kafir Quraish yang Memuji Al-Quran

Cara bijak memuji dan dipuji

Seringkali kita mendengar pujian yang bisa membuat seseorang terkena ‘ain (kondisi mental yang bangga berlebihan terhadap diri sendiri). Itulah mengapa ketika memuji, kita dianjurkan oleh Rasulullah saw. untuk mengingat keagungan Allah dengan ungkapan MasyaAllah atau Barakallah. Ini juga merupakan tips agar seseorang tidak memuji berlebihan. Sahabat Abdullah bin Amir meriwayatkan hadis yang berkaitan dengan hal ini,

“Jika salah seorang di antara kalian melihat sesuatu yang menakjubkan dari saudaranya atau dirinya atau hartanya, maka hendaklah dia mendoakannya agar diberikan keberkahan kepadanya. Sebab ‘ain itu nyata adanya.” (HR. Ahmad, 15700). Adapun ucapan MasyaAllah dilandaskan pada surat Al-Kahfi ayat 39.

Anjuran sebelumnya berlaku pada orang yang memuji. Lantas, bagaimana sikap yang baik dari orang dipuji? Ada riwayat dari Aisyah dalam hal ini. Ketika istri Rasulullah saw. itu ditanya, “Kapan seseorang dikatakan buruk? beliau menjawab, “Jika dia menyangka bahwa dia adalah orang baik.” (At-Taisir bisyarh Al-Jami’ ash-Shaghir, 2/606)

Dalam riwayat lain, ada seseorang melihat ibadah Bisyr Al-Hafi yang khusyu’, lalu tokoh sufi tersebut berkomentar, “Janganlah engkau terperdaya dengan apa yang kau lihat dariku, sesungguhnya Iblis beribadah kepada Allah ribuan tahun kemudian dia menjadi kafir kepada Allah” (At-Taisir bisyarh Al-Jami’ as-Shaghir, 2/606)

Betapa dua riwayat yang luar biasa tentang sikap orang yang dipuji. Berdasarkan dua riwayat itu pula dapat dipahami bahwa pujian adalah ujian. Cara seseorang menyikapi sebuah pujian akan menentukan nasibnya. Bila pujian menjadikan seseorang sombong, maka dia telah terperangkap dalam bahaya pujian. Semoga Allah melindungi kita dari pujian yang membahayakan.

Mari meneladani doa Abu Bakr as-Siddiq r.a. ketika beliau dipuji:

اللَّهُمَّ أَنْتَ أَعْلَمُ مِنِّى بِنَفْسِى وَأَنَا أَعْلَمُ بِنَفْسِى مِنْهُمْ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِى خَيْرًا مِمَّا يَظُنُّوْنَ وَاغْفِرْ لِى مَا لاَ يَعْلَمُوْنَ وَلاَ تُؤَاخِذْنِى بِمَا يَقُوْلُوْنَ

“Ya Allah, Engkau lebih mengetahui keadaan diriku dari pada diriku sendiri dan aku lebih mengetahui keadaan diriku dari pada mereka yang memujiku. Ya Allah, jadikanlah diriku lebih baik dari yang mereka sangkakan, ampunilah aku terhadap apa yang mereka tidak ketahui dariku, dan janganlah menyiksaku dengan perkataan mereka.” (HR. Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 4/228).

Wallah a’lam

Julukan Buruk Yang Dilarang Alquran

0

Menanggapi berita viral yang beredar tentang Presiden Jokowi yang dijuluki Fir’aun, Alquran sudah terlebih dahulu mengatur tentang tradisi memberi julukan. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi memberi julukan kepada orang lain bukanlah sesuatu yang “baru” dalam Islam. Kebiasaan memberi julukan sudah ada sebelum Islam dan hukumnya diatur dalam Alquran.

Perihal memberi julukan di dalam Alquran

Persoalan menyangkut memberi julukan dibahas secara khusus oleh Allah Swt. dalam ayat:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاۤءٌ مِّنْ نِّسَاۤءٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّۚ وَلَا تَلْمِزُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوْا بِالْاَلْقَابِ

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan itu) lebih baik daripada mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olok itu) lebih baik daripada perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela dan saling memanggil dengan julukan yang buruk” (Al-Hujurat ayat 11).

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Hujurat Ayat 11: Larangan Saling Menghina Dan Merendahkan dalam Al-Quran 

Ayat ini secara umum membicarakan tentang larangan mengejek orang lain. Dan secara khusus menunjukkan bahwa salah satu bentuk tindakan mengejek yang dilarang, adalah memanggil dengan julukan yang buruk.  Imam al-Jashshash mendokumentasikan ada 3 riwayat yang menunjukkan latar belakang turunnya redaksi ayat tentang larangan memanggil dengan julukan yang buruk.

Pertama, dikisahkan Abi Dzar mendapati Nabi Saw. sedang berselisih dengan seseorang. Lalu, Abu Dzar memanggil orang tersebut dengan panggilan “Hai anak Yahudi!”. Mendengar hal itu, Nabi Saw. pun menegur Abu Dzar. Beliau juga menerangkan bahwa yang menjadi pembeda di antara mereka adalah persoalan takwa saja, bukan yang lainnya.

Kedua, ada orang Yahudi dan Nasrani yang masuk Islam. Kemudian, ada yang memanggil mereka dengan sebutan “Hai orang Yahudi!” dan “Hai orang Nasrani!”

Ketiga, berkaitan dengan kedatangan Nabi Saw. pada kelompok Bani Salamah. Pada saat itu, tidak ada anggota kelompok tersebut kecuali memiliki dua atau tiga nama (julukan). Lalu, Nabi Saw. memanggil salah seorang dari mereka dengan salah satu namanya. Seketika itu, ada orang lain yang mencegah Nabi Saw. mengucapkan panggilan tersebut. Sebab, pemiliknya tidak menyukai panggilan tersebut. Dan, turunlah ayat larangan memanggil dengan julukan yang buruk (Ahkamul Quran lil Jashshash, 8, 453).

Baca Juga: Berikut 3 Tips Al-Quran Untuk Merespon Perkataan yang Buruk

Mengapa persoalan memilih julukan dibahas secara khusus dan dibedakan dari persoalan prilaku mengejek? Jawabannya mungkin bisa kita temukan dari keterangan Syaikh Wahbah al-Zuhaili yang menjelaskan, bahwa orang lebih mudah saling memanggil dengan julukan yang buruk, daripada dengan saling mengejek sembari menyebutkan aib satu sama lain. Dengan menjuluki, orang cukup menyamakan lawan bicaranya dengan sesuatu atau sosok buruk. Sedang untuk mengejek, perlu untuk mencari bahan ejekan yang kadang perlu waktu untuk mencarinya (Tafsir al-Munir, 26, 273).

Imam al-Qurthubi menjelaskan, rata-rata orang Arab, baik di masa jahiliyah maupun setelah datangnya Islam, mereka memiliki nama julukan. Imam al-Qurthubi juga menjelaskan bahwa hukum memanggil nama julukan dapat dibagi menjadi tiga berdasarkan julukan yang dipakai:

Pertama, bila julukan yang dipakai merupakan julukan buruk dan dapat menyakiti orang lain, maka tidak boleh menggunakannya; Kedua, bila julukan yang dipakai merupakan julukan sebenarnya masuk kategori buruk, tapi pemiliknya tidak tersinggung bila dipanggil dengan julukan tersebut, sebab sudah terbiasa, atau dia tidak dapat dikenali orang lain kecuali dengan julukan tersebut, maka boleh menggunakannya; Ketiga, bila julukan yang dipakai adalah julukan yang bagus, maka boleh memakainya (Tafsir al-Qurthubi, 16, 329).

Ibnul ‘Arabi mencontohkan julukan yang sebenarnya buruk, tapi karena beberapa alasan, para ulama tetap menggunakannya untuk menunjuk pemiliknya. Dan pemiliknya dikenal sebagai ulama juga. Di antaranya al-a’raj (orang yang pincang), al-ahdab (orang bongkok), jazarah (tukang jagal), dan mutayyan (orang yang kena lumpur). (Ahkamul Qur’an, 7, 178)

Baca Juga: Lima Pedoman Hidup Bermasyarakat: Refleksi Surah Al-Hujurat Ayat 11-13

Kesimpulan

Dari berbagai keterangan di atas, kita bisa mengambil kesimpulan, inti dari larangan menjuluki seseorang dengan julukan yang buruk, adalah persoalan hal itu dapat menyakiti hati si penerima julukan. Tidak murni karena julukan tersebut berkonotasi buruk.

Maka, geger tentang Presiden yang dijuluki dengan Fir’aun perlulah disikapi dengan kepala dingin. Atas dasar apa si pemberi julukan melontarkan julukan tersebut? Dan, bagaimana sikap si penerima julukan? Jawaban-jawaban dari pertanyaan tersebut dapat menjadi pertimbangan kita untuk memberikan sikap yang bijak.

Wallahu a’lam.

Penjelasan Gus Baha tentang Implikasi Wakaf pada Penafsiran Alquran

0
Implikasi wakaf pada penafsiran Alquran
Implikasi wakaf pada penafsiran Alquran

Di antara solusi dalam menyikapi berbagai persoalan terkait penafsiran Alquran adalah wakaf (penghentian sebentar di pertengahan bacaan ayat Alquran). Wakaf ini tidak hanya tentang jeda pembacaan ayat Alquran, ia juga berperan penting dalam penfasiran Alquran. Implikasi wakaf pada penafsiran Alquran juga perlu diperhatikan. Kurang lebih demikian penjelasan Gus Baha’ dalam salah satu pengajiannya.

Sebagai contoh yaitu wakaf di surah Yasin ayat 76,

فَلَا يَحْزُنْكَ قَوْلُهُمْ ۘاِنَّا نَعْلَمُ مَا يُسِرُّوْنَ وَمَا يُعْلِنُوْنَ

Maka, jangan sampai ucapan mereka membuat engkau (Nabi Muhammad) bersedih hati. Sesungguhnya Kami mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka nyatakan. (Q.S. Yasin [36]: 76)

Menurut penjelasan Gus Baha yang mengutip pendapat orang alim, pada ayat tersebut harusnya terdapat tanda wakaf, tepatnya setelah frasa fala yahzunka qauluhum. Ini karena frasa setelahnya bukan perkataan orang kafir, tidak seperti frasa sebelumnya. Untuk bisa membedakan ini, adanya tanda wakaf kemungkinan besar akan sangat membantu.

“Jika kamu (para peserta pengajian) washal-kan (melanjutkan mebaca) frasa inna na’lamu maka itu kesannya ucapan orang kafir. Padahal inna na’lamu itu sudah firman Allah”, Demikian penjelasan Gus Baha tentang penafsiran ayat tersebut.

Pemahaman tersebut sejalan dengan penafsiran Ibn Katsir dalam Tafsir Ibn Katsir. Ibn Katsir juga membedakan antara frasa fala yahzunka qauluhum (frasa pertama) dengan frasa sesudahnya. Pada frasa pertama, beliau memahami bahwa itu ungkapan atas perkataan dan sikap kelompok Kafir Quraisy yang mendustakan Nabi, sedangkan frasa selnjutnya sudah berbeda konteks.

Baca Juga: Pesan Dakwah Gus Baha’ Tentang Syarat yang Harus Dimiliki Seorang Mufassir

Pengertian Wakaf

Secara bahasa, Ibn Mandzur dalam Lisan al-‘Arab menjelaskan wakaf berasal dari kata waqafa-yaqifu-wakafan, memiliki beberapa makna, di antaranya berdiri (khilāf al-julūs), menahan (al-ḥabsu) dan diam (as-sukūt). Sedangkan menurut istilah, para ulama berbeda pendapat terutama ulama ahli qiraat yang nanti akan kami ketengahkan dalam penjelasan berikutnya.

Di dalam Al-Quran, kata wakaf dan berbagai derivasinya terulang sebanyak empat kali; Q.S. Al-An’ām [6]: 30 dan 37; Q.S. Sabaʹ [34]: 31; dan QS. Al-Ṣaffāt [37]: 24. Semua ayat tersebut, sebagaimana dijelaskan Abd al-Rasūl ‘Abaʹī, al-Wakaf wa al-Ibtidāʹ fī al-Qurʹān al-Karīm Dirāsatan wa Taṭbīqan yang dikutip Istiqomah dalam Wakaf dan Ibtidā’ dalam Mushaf Al-Qur’an, menunjuk pada makna al-ḥabs wa sukūn al-ḥarakah, yaitu menahan dan berhenti dari melakukan suatu perbuatan.

Dalam pendapat yang lain disebutkan, Al-Asymunī, misalnya, dalam Manār al-Hudā fī al-Wakaf wa al-Ibtidā beliau menjelaskan bahwa al-wakaf bermakna al-kaff, yaitu menahan. Dalam arti, menahan dari segala perbuatan maupun ucapan. Adapun secara istilah wakaf adalah

“menghentikan suara pada suatu kata (ketika membaca Al-Qur’an) sekedar untuk menarik nafas dengan niat meneruskan bacaan-langsung pada kata berikutnya atau dengan mengulang kata sebelumnya- bukan untuk menghentikannya. Hal ini boleh dilakukan pada akhir ayat dan pada pertengahannya, namun tidak boleh dilakukan di pertengahan kata dan kata yang bersambung tulisannya, juga harus disertai dengan menarik nafas.” (Ibn al-Jazarīy, an-Nashr fī al-Qirā’āt al-‘Ashr, juz I, hal 189.

Ringkasnya, Ibn al-Jazarīy menganggap wakaf sebagai salah satu aktivitas yang diperbolehkan dalam membaca Alquran, yaitu berhenti membaca –pada akhir ayat atau pertengahannya – dengan syarat dilakukan pada huruf terakhir dari suatu kata, disertai dengan menarik nafas.

Baca Juga: Tafsir Pop Gus Baha’: Fenomena Pengajian Tafsir Al-Quran di New Media

Implikasi Wakaf pada Penafsiran Alquran

Contoh lain mengenai implikasi wakaf pada penafsiran Alquran yaitu surah Yusuf ayat 24,

وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهٖۙ وَهَمَّ بِهَا ۚ لَوْلَآ اَنْ رَّاٰ بُرْهَانَ رَبِّهٖۗ كَذٰلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوْۤءَ وَالْفَحْشَاۤءَۗ اِنَّهٗ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِيْنَ

Sungguh, perempuan itu benar-benar telah berkehendak kepadanya (Yusuf). Yusuf pun berkehendak kepadanya sekiranya dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, Kami memalingkan darinya keburukan dan kekejian. Sesungguhnya dia (Yusuf) termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih. (Q.S. Yusuf [12]: 24)

Ayat ini tidak menunjukkan bahwa Nabi Yusuf a.s. mempunyai keinginan yang buruk terhadap seorang perempuan, tetapi godaan itu demikian besar sehingga sekiranya beliau tidak dikuatkan dengan keimanan kepada Allah Swt., tentu beliau bisa jatuh ke dalam kemaksiatan.

Menurut Gus Baha, ayat tersebut justru menunjukkan keduanya saling tertarik. Zulaikha sangat tertarik dengan ketampanan Nabi Yusuf sehingga menarik bajunya dari arah depan, namun karena Nabi Yusuf dikuatkan imannya oleh Allah, maka beliau tidak sampai melakukan perbuatan zina. Lalu Gus Baha mengomentari hal tersebut dengan sifat laki-laki. Laki-laki pada umumnya jika melihat perempuan cantik setengah telanjang, pasti agak “kepikiran”.

Untuk ayat yang pemahamannya masih kontroversi seperti ayat kisah Nabi Yusuf ini, Gus Baha menawarkan salah satu solusinya, yaitu wakaf. Oleh karena demikian, ulama ada yang membacanya wakaf untuk menghindari kesalahan dalam penafsiran. Tempat wakaf yang dimaksud yaitu setelah frasa walaqad hammat bihi (dan zulaikha sungguh sangat menginginkan Yusuf). Baru setelah itu lanjut membaca wa hamma biha laula an ra burhana rabbihi.

“Berarti pemahamannya adalah, Yusuf itu juga mempunyai ‘keinginan’ jika beliau tidak tahu tanda dari Allah. Berhubung beliau tahu, maka beliau tidak bersyahwat.” Namun karena seringkali orang-orang membaca ayat ini tidak mengindahkan hal tersebut, langsung diteruskan, akan sangat mungkin menyebabkan pada kesalahan penafsiran. Untuk pembaca Alquran yang seperti ini, Gus Baha berkomentar, “Aduh kacau ini!”

Terkait dengan wakaf, Ibn Abbas menjelaskan bahwa sekurangnya ada enam ayat Alquran yang apabila dibaca wakaf dengan benar, maka pembacanya akan masuk surga. Di antaranya adalah ayat tentang ketertarikan Zulaikha kepada Nabi Yusuf.

Sebagai penutup, pemilihan jeda (wakaf) yang tepat dalam membaca Alquran akan sangat memungkinkan untuk menghindar dari salah penafsiran dan salah pemahaman. Sebaliknya, jika pemilihan wakaf tidak tepat, maka akan sangat mungkin untuk menyebabkan salah pemahaman.

Oleh sebab itu, wajar al-Ashmūnīy dalam Manār al-Hudā fī al-Wakaf wa al-Ibtidā mewanti-wanti pembaca Alquran untuk selalu mempehatikan wakaf dan ibtida’ (mumulai bacaan) setiap ayat. Wallahu a’lam.