Beranda blog Halaman 80

Makna-Makna Simbolis dalam Redaksi Surah Alfatihah

0
Makna-Makna Simbolis dalam Redaksi Surah Alfatihah
Surah Alfatihah

Surah Alfatihah mempunyai banyak keutamaan. Salah satu keutamaan yang dimilikinya adalah menjadi surah yang sering diulang-ulang di setiap salat. Alfatihah, menurut sebagian besar imam madzhab, merupakan rukun salat, sehingga tidak boleh ditinggalkan.

Keutamaan Alfatihah juga dapat diketahui apabila ditelaah lebih dalam makna dari redaksi kalimat-kalimat yang merangkainya. Surah Alfatihah ternyata memiliki banyak rahasia-rahasia yang terpendam di dalamnya (lathaif). Di antaranya, Alfatihah mengajarkan umat Islam bagaimana cara bermunajat kepada Allah.

Awali setiap kegiatan dengan basmalah

Surah Alfatihah diawali oleh ayat “Bismillah ar-rahman ar-rahim”. Menurut Syeikh Ali ash-Shabuni, ada sebuah isyarat perihal diawalinya Alquran dengan basmalah, yaitu mengajarkan seorang muslim untuk mengawali segala perbuatan dan ucapannya dengan membaca basmalah (Tafsir Ayat al-Ahkam, 1/27).

Nabi Muhammad bersabda dalam sebuah hadis yang sangat masyhur:

 كل أمر ذي بال لا يبدأ فيه ببسم الله الرحمن الرحيم فهو أبتر ” أي : قليل البركة ، أو معدومها

Setiap perkara penting yang tidak dimulai dengan ‘bismillah’, maka amalan tersebut terputus (kurang) keberkahannya.” (H.R. al-Khatib).

Hikmah dari peralihan kata ganti

Berikutnya, rahasia Alfatihah dalam ayat kelima. Bila diperhatikan, ayat-ayat sebelumnya memakai kata ganti orang ketiga (dlamir ghaib). Kemudian pada ayat kelima, kata ganti itu berubah (iltifat) menjadi kata ganti orang kedua (mukhatab). Pada ayat inilah seorang muslim seakan-akan tengah berdialog secara langsung dengan Allah dengan mengucapkan:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Hanya kepadamulah kami menyembah, dan hanya kepadmulah kami memohon pertolongan.” (Q.S. Alfatihah [1]: 5).

Iltifat (perubahan kata ganti) adalah bagian dari ilmu balaghah atau sastra Arab. Dengan menggunakan itu, kalam menjadi beragam dan tidak monoton, dan makna yang terkandung dalam ayat lebih dapat memengaruhi jiwa dan menarik hati.

Menurut Abu Hayyan, iltifat yang terdapat dalam Alfatihah tersebut dapat diibaratkan seseorang yang tengah memuji temannya secara tidak langsung: pujian-pujian itu diucapkan seolah-olah tidak ditujukan kepada temannya, sehingga temannya tidak merasa sedang dipuji. Kemudian pada akhirnya ia mengucapkan bahwa pujian-pujian itu hanya untuk temannya tersebut.

Baca juga: Serba-serbi Seputar Surah Alfatihah

Perubahan kata ganti ini, beliau melanjutkan, adalah bagian dari laku sopan (seorang hamba) untuk mencapai kepada tujuan (Allah). Sudah sepatutnya seorang muslim terlebih dahulu memuji-muji Allah sebelum meminta hajat kepada-Nya supaya dikabulkan.

Dari sini juga dapat diambil pelajaran bahwa dalam memuji-muji seseorang, sebaiknya dilakukan di belakang orang tersebut. Setidaknya ada dua alasan: supaya tidak dicap sebagai “penjilat” dan menyelamatkan orang yang dipuji agar tidak merasa sombong.

Masih pada ayat yang sama, bentuk kalimat (shighat) pada ayat kelima adalah lafaz plural (jamak), yaitu  نعبد(kami menyembah) dan نستعين (kami meminta pertolongan), tidak menggunakan lafaz tunggal, seperti أعبد  (aku menyembah) dan أستعين (aku meminta pertolongan).

Syeikh Ali ash-Shabuni menjelaskan, penggunaan bentuk jamak menunjukkan arti pengakuan seorang hamba bahwa dirinya memiliki keterbatasan untuk sendirian berdiri dan meminta pertolongan serta hidayah di hadapan Allah. Karena ketidakmampuan itulah, seorang hamba kemudian bergabung kepada ahli tauhid (jamaah) dan berdoa bersama mereka, “…Kami semua menyembah kepadamu dan meminta pertolanganmu.” (Tafsir Ayat al-Ahkam, 1/30).

Baca juga: Habib Luthfi bin Yahya: Surah Alfatihah Ajarkan Persatuan dan Kerukunan

Seorang hamba yang menyadari segala dosa dan khilafnya bakal merasa tidak pantas berdoa kepada tuhannya. Ia sadar bahwa nikmat yang diberikan Allah tidak dimaksimalkan untuk melakukan pekerjaan yang diridai-Nya, sehingga ia merasa tidak mampu mengetuk pintu pengabulan doa sendiri. Atas kesadaran inilah seorang hamba  kemudian berdoa secara berjamaah dengan harapan Allah mengabulkan doa yang dipanjatkan.

Ini dapat dijadikan dalil keutamaan berdoa secara berjamaah. Selain karena sering dilakukan oleh para ulama, berdoa secara berjamaah juga dapat mengantarkan doa supaya cepat terkabul. Sebab, barangkali di antara orang yang berdoa terdapat seseorang yang cepat diijabah doanya oleh Allah; atau paling tidak, berjamaah dapat menjadi sebuah bukti ketidakmampuan dan kelemahan seorang hamba menghadap dan meminta kepada Tuhannya.

Adab berdoa kepada Allah

Kemudian, pelajaran dari surah Alfatihah dapat dipetik juga dari ayat ketujuh.

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ

Yaitu jalan orang yang Engkau beri nikmat, bukan jalan orang dimurkai dan orang-orang yang sesat.” (Q.S. Alfatihah [1]: 7).

Di dalam ayat tersebut, nikmat disandarkan kepada Allah, أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ (engkau beri nikmat atas mereka), sedangkan murka dan kesesatan tidak disandarkan secara langsung kepada Allah, kendati Allah merupakan subyek dari laku tersebut.

Allah berfirmanغَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ ,, (bukan jalan orang dimurkai dan orang-orang yang sesat). Seharusnya, agar sesuai dengan sebelumnya, أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ, firman berikutnya berbunyi: غَضِبْتَ عَلَيْهِمْ وَ أَضْلَلْتَهُمْ (engkau memurkai mereka dan menyesatkannya). Namun, Allah tidak melakukan itu karena bermaksud mengajarkan umat Islam tentang satu hal, yaitu adab.

Baca juga: Simbolisasi Kekayaan dalam Surah Alkahfi ayat 34

Ini merupakan adab dalam berdoa. Melalui ayat tersebut, Allah mengajarkan etika bagaimana berdoa yang baik. Sifat-sifat yang buruk hendaknya tidak disandarkan kepada Allah, sekalipun Allah yang melakukannya. Akan tetapi, dalam hal kebaikan, hendaknya disandarkan sepenuhnya kepada Allah. Hal ini sebagaimana perkataan sebagian ulama, “Kebaikan semuanya dari Allah, sedangkan keburukan bukan berasal dari-Nya.”

Adab semacam ini juga dapat ditemukan di dalam ayat Alquran yang lain. Salah satunya di dalam surah Asysyu’ara saat Allah menghikayatkan perkataan Sayyidina Ibrahim. Allah berfirman:

الَّذِي خَلَقَنِي فَهُوَ يَهْدِينِ (78) وَالَّذِي هُوَ يُطْعِمُنِي وَيَسْقِينِ (79) وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ (80)

(Allah) yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang memberiku petunjuk; Dia yang memberi makan dan minum kepadaku; dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku.” (Q.S. Asysyu’ara [62]: 78-80).

Baca juga: Surah At-Tin dan Simbol Ketersinambungan Antaragama

Ayat ke 80, supaya konsisten dengan ayat sebelumnya, seharusnya berbunyi,وَإِذَا أَمْرَضَنِي (dan jika Dia membuatku sakit), tetapi hal itu tidak dilakukan lantaran adab kepada Allah. Meskipun pada hakikatnya Allah yang membuat seseorang mengalami sakit dan sebagainya, tetapi hendaknya sifat-sifat buruk tersebut tidak disandarkan langsung kepada-Nya.

Demikianlah pelajaran-pelajaran yang dapat diambil dalam hal bermunajat kepada Allah. Apabila nilai-nilai etis ini diperhatikan ketika bermunajat kepada Allah, insyaallah apa yang disampaikan dalam doa akan lebih mudah dikabulkan. Wallahu’alam.

Surah Ala‘raf (189): Berpasangan dan Memiliki Keturunan adalah Fitrah

0

Fitrah merupakan bentuk serta sistem yang diwujudkan dan diciptakan Allah pada setiap makhluk, baik itu pada segi jasmani dan akalnya (ruhnya). (M. Quraish Shihab, Wawasan Alquran, Tafsir Maudlui atas Pelbagai Persoalan Ummat, Tt, 282). Termasuk di dalamnya keinginan memiliki pasangan dalam bingkai pernikahan hingga mempunyai keturunan. Sebagaimana yang tersebut dalam surah Ala’raf ayat 189.

Ayat dan Sabab Nuzulnya

هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفۡس وَٰحِدَة وَجَعَلَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا لِيَسۡكُنَ إِلَيۡهَاۖ فَلَمَّا تَغَشَّىٰهَا حَمَلَتۡ حَمۡلًا خَفِيفا فَمَرَّتۡ بِهِۦۖ فَلَمَّآ أَثۡقَلَت دَّعَوَا ٱللَّهَ رَبَّهُمَا لَئِنۡ ءَاتَيۡتَنَا صَٰلِحا لَّنَكُونَنَّ مِنَ ٱلشَّٰكِرِينَ

Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, istrinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-istri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur”. 

Baca Juga: Tafsir Surah Al A’raf ayat 188-191

Sedangkan sabab nuzulnya, sebagaimana yang disebutkan oleh Jalal al-Din al-Suyuti dalam al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur (Jilid 6, 702-704) ada banyak riwayat sabab nuzul yang berkaitan dengan ayat di atas, yang kesemuanya menyinggung soal kehamilan, salah satunya yaitu:

وأخرج ابن جرير و ابن أبى حاتم عن ابن عباس في قوله: (فَمَرَّتۡ بِهِۦ) . قال: فشكت أحملت أم لا؟

Dari Ibnu Jarir dan Abi Hatim dari Ibnu ‘Abbas  tentang ayat فَمَرَّتۡ بِهِۦ  dia berkata, “Hawa ragu telah hamil atau tidak?”.

وأخرج عبد بن حميد و ابن جرير و ابن أبى حاتم و أبو الشيخ عن أبى صالح في قوله : (لَئِنۡ ءَاتَيۡتَنَا صَٰلِحا). قال أشفقا أن يكون بهيمة فقالا: لئن اتينا بشيرا سويا

Dari ‘Abd bin Humaid dan Ibnu Jarir dan Abi Hatim dan Abu al-Shaikhi dari Abi Salih tentang لَئِنۡ ءَاتَيۡتَنَا صَٰلِحا  dia berkata, mereka khawatir anaknya tidak berbudi. Maka dari itu mereka berdoa, “Anugerahkan pada kami, manusia seperti pada umumnya”.

Tafsiran Ayat

Dalam Tafsir al-Azhar (Jilid 9, 2645-2646), Hamka menguraikan bahwa ayat ini mengingatkan manusia tentang persoalan kehidupannya sendiri, atau lebih tepatnya tentang sebuah dasar kehidupan. Menurutnya, ayat ini menjelaskan bahwa laki-laki maupun perempuan pada dasarnya adalah satu, yakni satu jiwa, satu insan, yang bernama jiwa insan. Asal kejadian dari keduanya adalah satu, yang membedakan hanya jenis kelaminnya saja.

Makna dari jiwa yang satu (مِّن نَّفۡس وَٰحِدَة), sebagaimana yang ditafsirkan oleh M. Quraish Shihab (Tafsir al-Misbah, Jilid 5, 339-341)., merujuk pada proses penciptaan Nabi Adam a.s dan Hawa. Menurutnya, ayat ini bertujuan memberikan kesan bahwa pasangan suami istri hendaknya menyatu menjadi satu jiwa, satu tujuan dan satu arah, agar keduanya benar-benar sehidup dan semati bersama.

Jiwa suami ada pada jiwa istri, begitupun sebaliknya. Dengan demikian, antara keduanya timbul suatu kecenderung, yakni kecenderungan hati yang bisa menciptakan ketenangan. Dari ketenangan dan kecenderungan hati inilah yang kemudian melahirkan berahi antar keduanya, sehingga pada akhirnya menghadirkan seorang buah hati, dengan izin Allah Swt.

Baca Juga: Kenali Tiga Fitrah Manusia dalam Al-Quran, Jalan Menuju Kedamaian

Maka di saat seorang istri hamil, timbullah rasa khawatir, apakah ia benar-benar mengandung, apakah bayi yang dikandungnya sempurna atau tidak. Pada saat itulah, pasangan suami istri tersebut memunajatkan doa dan harapan kepada Allah Swt. agar dikarunia anak yang saleh dan sempurna tanpa cacat.

Dengan hadirnya seorang anak, maka hendaknya pasangan suami istri mensyukuri atas anugerah yang Allah Swt. berikan kepadanya. Cara mensyukuri kehadiran anak, menurut M. Quraish Shihab, adalah dengan mendidiknya serta mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya, sehingga anak tersebut mengenal Allah Swt., Tuhan Yang Maha Esa dan berguna untuk masyarakat.

Baca Juga: Tafsir Surat Yasin ayat 36: Hikmah Besar Dari Berpasang-pasangan

Manusia dan Fitrahnya

Ayat ini menerangkan tentang fitrah pada setiap diri manusia. Bahwa setiap manusia pasti ingin mempunyai pasangan. Sebab, manusia akan merasa tenang jika sudah memiliki pasangan dalam hidupnya. Istri diciptakan oleh Allah untuk suami, agar suami dapat hidup tentram membina keluarga, begitupun sebaliknya.

Ketentraman seorang suami dalam membina istri dapat tercapai apabila di antara keduanya terdapat kerjasama timbal balik yang serasi, selaras dan seimbang. Kedua pihak bisa saling mengasihi dan menyayangi, saling mengerti antara satu dengan lainnya dengan kedudukannya masing-masing demi tercapainya keluarga yang sakinah.

Dengan demikian, untuk membangun keluarga yang sakinah, pasangan laki-laki dan perempuan haruslah melangsungkan pernikahan. Pernikahan adalah cara dalam ajaran Islam untuk mengikat cinta suci antara dua insan. Setiap insan pasti memiliki cinta, sebab cinta adalah fitrah pada setiap diri manusia.

Baca Juga: Pahami Lima Posisi Anak dalam Al-Quran

Selain fitrah berpasangan, manusia juga memiliki fitrah untuk mempunyai keturunan, yakni anak yang saleh. Keberadaan seorang anak adalah amanah dan anugerah yang diberikan Allah Swt. kepada setiap pasangan. Maka sepatutnya, pasangan suami istri harus bisa menjaga amanah tersebut sesuai dengan tuntunan ajaran Islam.

Wallaahu a’lam.

Kontekstualitas Alquran

0
Kontekstualitas Alquran
Kontekstualitas Alquran

Hingga hari ini, mengungkap pesan dan sinyal Allah yang termaktub dalam Alquran, selalu menjadi bahan kajian yang menarik dan unik. Semakin berkembang zaman dan pengetahuan, semakin berkembang juga teknik dan pendekatan untuk menganalisa pesan-pesan Allah dalam Alquran.

Meskipun bersifat qawliyyah, Alquran diyakini oleh umat Islam sebagai perkataan (kalâm) Allah, yang kemudian ditransformasikan dalam bentuk tekstual sesuai prosedur dari Allah (tawqîfiy). Alquran memuat beragam pesan dengan beragam redaksi. Terlalu dini untuk mengklaim sudah memahami Alquran jika hanya bermodalkan terjemahan atau pengetahuan bahasa Arab yang dangkal. Dengan keragaman pesan linguistik tersebut, menangkap dan mengurai kode-kode tekstual yang disampaikan Allah, dibutuhkan pendekatan konteks, atau dalam bahasa Arab disebut dengan siyâq (kontekstualitas Alquran).

Baca Juga: Kriteria-kriteria Tafsir Kontekstual Menurut Ali Mustafa Yaqub

Definisi Siyâq Alquran

Berdasarkan penjelasan Sa’îd Muhammad Sa’ad Al-Syahrâniy dalam al-Siyâq al-Qur’âniy fî Tafsîr al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah: Dirâsah Nazhariyyah Tathbiqiyyah, siyâq, berasal dari pola verbal sâqa yang terdiri dari huruf sîn, wâw, dan qof, artinya adalah mengikuti atau menuruti sesuatu. Sâqa juga bisa diartikan dengan mengarahkan atau menyetir kendaraan, baik bermotor atau binatang. Al-Zamakhsyariy mengatakan bahwa (slaah satu) unsur majas adalah mengarahkan perkataan sebaik/setepat mungkin.

Dalam Al-Mu’jam Al-Wasîth disebutkan bahwa siyâq al-kalâm (konteks perkataan) adalah keberlanjutan (pemahaman perkataan) dan prosedur linguistik yang terdapat di dalamnya. Dipahami sebagai konteks (dalam bahasa Indonesia) atau context (dalam bahasa Inggris), karena konteks dalam situasi kebahasaan adalah bagian suatu uraian kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna.

Siyâq, pada umumnya terdiri dari dua unsur utama, internal (dâkhilîy) dan ekternal (khârijîy). Pertama, konteks internal. Unsur internal siyâq terdiri dari dua pilar; sibâq (perkataan sebelumnya) dan lihâq (perkataan sesudahnya). Siyâq internal adalah pemahaman (kontekstual) terhadap teks berdasarkan unsur-unsur kebahasaan dan komunikasi yang ada dalam teks tersebut.

Berdasarkan unsurnya, siyâq juga dipahami sebagai aktivitas mengungkap makna sebuah teks dengan melihatnya secara keseluruhan, sebelumnya, sesudahnya, atau keduanya secara simultan. Salah satu contoh aplikatif siyâq internal dalam Alquran adalah term al-kitâb.

Secara etimologis umum, kitab artinya buku, namun penyebutannya dalam Alquran mangandung variasi terminologis. Ada kalanya maksudnya Taurat (QS. Al-Baqarah: 78), ada kalanya dipahami dengan hukum Allah (QS. Al-Nisâ’: 24), ada kalanya dipahami dengan qadar Allah (QS.Al-Hijr: 4), ada kalanya catatan amal manusia (QS. Al-Muthaffifîn: 18), dan ada kalanya dipahami dengan masa ‘iddah wanita (QS. Al-Baqarah: 235). Dalam kajian ilmu Alquran dan Tafsir, pembahasan siyâq internal disebut juga dengan ilmu Al-Wujûh wa Al-Nazhâ’ir.

Kedua, konteks eksternal. Siyâq eksternal (khârijiy) menurut Abdul Fattâh Al-Barkâwiy dipahami dengan pemahaman yang dihasilkan dari unsur-unsur linguistik yang meyertai teks. Selain itu, konteks ekternal bisa juga dipahami sebagai faktor-faktor ekternal yang melingkupi teks, yang mempengaruhi pemahaman terhadap teks baik dari aspek pembicara (mukhâthib) ataupun lawan bicara (mukhâthab) pada teks, maksud yang dituju pada teks, dan situasi lahirnya teks.

Dalam hal ini, konteks Alquran (al-siyâq al-qur’âniy) dapat dipahami dengan faktor- faktor internal dan eksternal yang melingkupi teks Alquran, mempengaruhi pemahaman terhadapnya; baik dengan unsur sâbiq maupun hiq; posisi mukhâthib (Allah) dan mukhâthab, maksud yang dituju, dan situasi sebab turunnya ayat.

Pengetahuan tentang konteks setiap kali memahami teks Alquran adalah kebutuhan primer. Menurut Al-Zarkasyi, pengetahuan konteks penting agar sudut pandang seorang Mufassir selalu memperhatikan alur pembicaraan yang dituju meskipun terlihat menyelisihi makna literer. Begitu juga Al-Suyûthiy dalam Al-Itqân menjelaskan bahwa pengetahuan konteks Alquran adalah bentuk perhatian serius seorang Mufassir terhadap teks dan pesan yang terkandung di dalamnya.

Baca Juga: Memahami Surah Ali Imran Ayat 118-120 dalam Konteks Keindonesiaan

Sejarah Implementasi Siyâq Alquran

Pemahaman ayat-ayat Alquran berdasarkan konteks-nya sebenarnya beriringan dengan turunnya Alquran, baik konteks internal maupun eksternal. Dalam praktek teori-teori ‘Ulûm al-Qur’ân dan Tafsir, kejelian dalam menangkap pesan dalam teks biasanya terdapat dalam implementasi Ilmu Munâsabah, Manthûq dan Mafhûm, Mujmal dan Mubayyan, Wujûh dan Nazhâ’ir, dan lain sebagainya. Selain itu, ilmu-ilmu alat khususnya ilmu linguistik Arab seperti Nahwu, Sharaf, Balâghah, dan lainnya, juga memiliki peran vital dalam meng-capture Maqâshid Al-Qur’an yang termaktub dalam nash.

Pada masa Nabi, seperti yang diraiwayatkan Al-Tirmidzi dalam Sunan-nya, Aisyah pernah bertanya kepada Nabi Muhammad perihal orang-orang yang takut sedekahnya tidak diterima Allah (…wa qulûbuhum wajilat…) pada Q.S. Al-Mu’minûn ayat 60. Aisyah bertanya apakah mereka yang takut tidak diterima amalan sedekahnya adalah para pemabuk dan pencuri. Lalu Nabi Muhammad menjawab, “bukan (mereka) wahai putri (Abu Bakar) Al-Shiddîq, tetapi mereka adalah orangorang yang berpuasa, dan shalat, dan bersedekah, mereka takut amalannya tidak diterima (Allah)”, lalu Nabi Muhammad membaca lanjutan ayatnya, ayat 61. Dalam Hadis ini terlihat dengan jelas, bahkan sekelas Aisyah pun mengkonfirmasi maksud suatu ayat. Lantas Nabi Muhammad menjelaskan konteks atau maksud sebenarnya dari ayat tersebut.

Al-Thabariy dalam Tafsirnya Al-Jâmi’ Al-Bayân, menceritakan tentang seseorang dari Bani ‘Amr bin Sadûs berdebat dengan Abu Mijlaz tentang maksud trilogi Al-Mâ’idah, yaitu tentang potongan ujung ayat-ayat tersebut, “…siapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka adalah orang kafir (44)…, …mereka adalah orang zhâlim (45)…, ….mereka adalah orang fasik (46)”.

Para penanya menghendaki jawaban tekstual, yakni siapapun yang berhukum dengan selain hukum Allah maka mereka divonis kafir, zhâlim, dan fasik. Namun Abu Mijlaz menyangkalnya bahwa ayat tersebut turun di tengah orang-orang Yahudi, Nashrani, dan para pelaku kemusyrikan. Dalam kasus ini, seseorang dari Bani ‘Amr bin Sadûs yang memahami ayat sekedar tekstual, dikoreksi oleh Abu Mijlaz dengan pendekatan kontekstual (siyâq).

Baca Juga: Kontekstualisasi Nas ala Abu Yusuf: Pembebasan Nas dari Budaya Arab

Demikian, pendekatan kontekstual dalam memahami teks ayat-ayat Alquran adalah salah satu primary approach. Selain memang untuk menangkap pesan ayat yang setepat mungkin, juga penting untuk meluruskan kesalahpahaman pemahaman ayat-ayat Alquran yang hanya mengandalkan pendekatan tekstual. Wallah a’lam

Cara Agar Berkumpul Bersama Keluarga di Surga

0
Cara Agar Berkumpul Bersama Keluarga di Surga
Cara Agar Berkumpul Bersama Keluarga di Surga

Satu keluarga bisa berkumpul di surga merupakan suatu kenikmatan dan puncak kebahagiaan. Dalam surah Arra’du ayat 23, Allah taala berfirman:

جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ

“(Yaitu) surga ‘Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama orang-orang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya.”

Berdasarkan ayat inilah, Ibnu Katsir mengatakan bahwa seseorang akan berkumpul bersama keluarganya di surga, yakni dengan orang tua, istri, dan anak cucunya. Oleh karena itulah, ayat di atas sebagai dalil bahwa satu keluarga bisa masuk surga bersama.

Tak hanya masuk surga bersama, bahkan Allah mengumpulkan satu keluarga tersebut pada tempat dan kedudukan yang sama. Diceritakan bahwa Said bin Jubair mengatakan, “Ketika seorang mukmin memasuki surga, lalu dia akan menanyakan tentang bapaknya, anak-anaknya, dan saudara-saudaranya, “di manakah mereka?” Maka, dikatakan kepadanya bahwa mereka semua tidak sampai pada derajatmu di surga. Lalu, orang mukmin tersebut menjawab, ‘Sesungguhnya pahala amal kebaikanku ini untukku dan untuk mereka, sehingga, mereka (keluarganya) dipertemukan pada satu kedudukan dengannya.” (Tafsir Ibn Katsir, 4/73).

Baca juga: Bidadari Surga dan Esensi Ganjaran Ukhrawi

Berdasarkan riwayat di atas, ketika seorang anak berada di surga tingkat bawah, dan orang tuanya berada di atas, maka sebagai bentuk pemuliaan dan penghormatan Allah pada orang tua tersebut, Allah setarakan kedudukan mereka, sehingga berada di derajat surga yang sama. Derajat anak mereka dinaikkan tanpa mengurangi pahala orang tua mereka sedikit pun.

Orang Tua Menaikkan Derajat Anak

Pengaruh kesalehan orang tua tidak hanya berlaku di dunia, melainkan juga di akhirat. Allah taala berfirman:

وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِاِيْمَانٍ اَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَآ اَلَتْنٰهُمْ مِّنْ عَمَلِهِمْ مِّنْ شَيْءٍۗ كُلُّ امْرِئٍ ۢبِمَا كَسَبَ رَهِيْنٌ

“Dan orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan mereka dengan anak cucu mereka (di dalam surga), dan Kami tidak mengurangi sedikit pun pahala amal (kebajikan) mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. Aththur ayat 21).

Bila di dunia, kesalehannya dapat menjadi wasilah yang menjaga dan mensalehkan anak keturunannya sebagaimana firman Allah dalam surah Alkahfi:

وَ كَانَ اَبُوْهُمَا صَالِحًا

“Dan keadaan ayahnya adalah seorang yang saleh.” (QS. Alkahfi ayat 82).

Menurut Ibnu Katsir, ayat ini merupakan dalil bahwasanya orang tua yang saleh akan dijaga keturunannya. Bahkan menurut al-Qurthubi, bisa jadi kesalehan seseorang berkat kesalihan kakek buyutnya. Itulah mengapa Ibnu al-Musayyib berkata kepada anaknya, “Sungguh aku akan menambah panjang shalatku demi dirimu, dengan harapan aku dijaga, begitu juga dirimu.” (Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, 2/554).

Baca juga: Cara Jamuan Disuguhkan untuk Ahli Surga dalam Surah Al-Insan Ayat 5

Tidak hanya di dunia, keberkahan ibadah orang tua juga sampai pada akhirat anaknya. Di akhirat kelak, kesalehan orang tua dapat menaikkan derajat surga anak mereka.

Akan tetapi, kesalehan orang tua tidak serta merta langsung menjadi jaminan bagi kebahagiaan anaknya dengan tanpa sarat. Jika seorang anak melakukan dosa, dia juga bisa saja masuk ke neraka terlebih dahulu.

Di dalam al-Tahrir wa al-Tanwir karya Ibnu ‘Asyur disebutkan, pemilihan lafaz أَلْحَقْنَا yang berarti “kami pertemukan mereka”, adalah untuk menunjukkan pemahaman bahwa bisa jadi anak-anaknya dimasukan terlebih dahulu ke neraka untuk membersihkan dosa-dosanya, kemudian barulah dimasukan ke surga yang sederajat dengan orang tuanya. Inilah karunia Allah bagi orang-orang yang beriman. (al-Tahrir wa al-Tanwir, 27/48).

Anak Menaikan Derajat Orang Tua

Dalam surah Aththur ayat 21 di atas, di samping orang tua bisa menaikan derajat anaknya, seorang anak pun bisa menaikan derajat orang tuanya. Para ulama mendasarkan pendapat tersebut pada makna dzurriyyah, yang tidak hanya diartikan anak-anak, melainkan bisa juga diartikan orang tua, seperti yang terdapat dalam surah Yasin ayat 41.

وَآيَةٌ لَهُمْ أَنَّا حَمَلْنَا ذُرِّيَّتَهُمْ فِي الْفُلْكِ الْمَشْحُونِ

“Dan suatu tanda (kebesaran Allah) bagi mereka adalah bahwa Kami angkut nenek moyang mereka (Nabi Nuh) dalam kapal yang penuh muatan.”

Oleh karena itulah, dzurriyyah juga bisa diartikan orang tua. (Tafsir al-Qurthubi, 17/67). Dengan kata lain, orang tua pun bisa dinaikkan derajatnya oleh anak mereka. Hal tersebut diperkuat dengan sebuah hadis riwayat Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya, ada seseorang yang diangkat derajatnya di surga, kemudian dia bertanya, “Bagaimana aku bisa mendapatkan ini?”. Maka dikatakan kepadanya, “Berkat istighfar dari anakmu untukmu.” (H.R. Ibnu Majah, 3650).

Oleh karena itulah, diantara berkah dari kesalehan adalah dapat saling memberi syafaat dan menaikkan derajat surga di akhirat kelak. Bahkan pada puncaknya, satu keluarga dengan izin Allah dapat Allah kumpulkan di surga yang sama.

Wallah a’lam.

Landasan Hukum Musyarakah dalam Alquran

0
Landasan hukum musyarakah dalam Alquran
Landasan hukum musyarakah dalam Alquran

Dalam kajian fikih muamalah, ada istilah syirkah (harta yang dimiliki dan dikelola bersama-sama). Sedangkan skema akad dalam kegiatan perekonomian yang menggunakan syirkah itu biasanya dikenal dengan musyarakah. Secara umum, musyarakah merupakan akad kerja sama yang dilakukan oleh dua orang terhadap suatu harta (modal) untuk dikembangkan bersama dengan sistem bagi hasil sesuai kesepakatan bersama. Akad ini kemudian banyak digunakan dalam kegiatan perekonomian kontemporer, seperti transaksi di bank, saham atau investasi. Terkait tentang landasan hukum musyarakah, ada beberapa ayat Alquran yang menurut para ulama menyiratkan kebolehan akad tersebut, tentu dengan beberapa syarat.

Dalam Alquran, terdapat beberapa ayat yang menjadi legalitas musyarakah. Di antaranya adalah Q.S. Shad [38]: 24, Q.S. Al-Nisa [4]: 12 dan Q.S. Al-Anfal [8]: 41.

Baca Juga: Dalil Al-Quran Tentang Akad Ijarah

Landasan hukum musyarakah

Ayat pertama yang menjadi landasan hukum musyarakah yaitu surah Shad [38]: 24

…..قَالَ لَقَدْ ظَلَمَكَ بِسُؤَالِ نَعْجَتِكَ إِلَى نِعَاجِهِ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْخُلَطَاءِ لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَا هُمْ

Dia (Daud as.) berkata, “Sungguh, dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk (ditambahkan) kepada kambingnya. Memang banyak di antara orang-orang yang bersekutu itu berbuat zalim kepada yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan; dan hanya sedikitlah mereka yang begitu.”, Q.S. Shad [38]: 24.

Ayat di atas mengisahkan kejadian dua orang yang sedang berperkara di masa Nabi Daud a.s.Salah satu di antara mereka memiliki 99 ekor kambing, sedangkan orang yang satunya hanya memiliki seekor kambing. Pemilik seekor kambing ini mengadu kepada Nabi Daud a.s. bahwa kawannya yang memiliki 99 ekor kambing tadi ingin mengambil kambing yang dia miliki. Dengan spontan Nabi Daud a.s. menyalahkan pemilik 99 ekor kambing karena ingin mengambil hak orang lain. Kemudian beliau memberi nasihat bahwa jika tidak dilandasi dngan iman dan amal saleh, orang-orang yang berserikat kerap kali saling menzalimi satu sama lain. [Tafsir al-Maraghi, jilid 23, hlm. 109-110]

Menurut Syaikh Wahbah al-Zuhaili, ayat di atas menjadi salah satu dalil disyariatkannya syirkah dalam Islam [Tafsir al-Munir, jilid 23, hlm. 190]. Lebih tepatnya lagi, syirkah sebagai akad (musyarakah). Dari ayat tersebut, dapat dipahami bahwa praktik menggabungkan harta untuk kemudian dikembangkan bersama sudah terjadi di zaman Nabi Daud a.s. Walaupun pada saat itu, Nabi Daud a.s. sendiri mengakui bahwa kerap kali terjadi tindakan zalim di antara mereka yang bekerja sama manakala mereka ia tidak memiliki latar belakang keimanan yang kuat.

Dalam kitab tafsirnya, Imam al-Qurthubi menyebutkan dua tawaran makna dari ulama untuk kata khulatha’ (dalam ayat 24 surah Shad), yaitu ashhab (teman) dan syuraka’ (sekutu). Selanjutnya, beliau memaparkan perbedaan pandangan ulama terkait kriteria seorang khalith (sekutu). Menurut mayoritas ulama, perserikatan akan terjadi ketika misalnya masing-masing dari dua orang menggabungkan hewan ternak miliknya kemudian digembala oleh seseorang di kandang dan ladang yang sama. Artinya, pemilik modal dan pekerja bisa beda orang.

Sedangkan menurut Imam Thawus dan Imam Atha’, serikat dalam harta hanya dapat terjadi manakala keduanya menggabungkan harta kemudian merawat dan mengembangkannya bersama-sama [Tafsir al-Qurthubi, jilid 15, hlm. 179].

Baca Juga: Polemik Short Selling dalam Perspektif Legal Islam

Landasan hukum musyarakah yang kedua yaitu surah Al-Nisa’ [4]: 12

….فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُث…..

…Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu,… Q.S. Al-Nisa’ [4]: 12.

Penggalan ayat di atas dan ayat sebelumnya menjelaskan secara gamblang tantang ketentuan pembagian harta waris. Dalam Tafsir al-Maraghi dijelaskan bahwa dalam kasus kalalah (orang meninggal yang tidak memiliki anak laki-laki, cucu dan seterusnya; juga sudah tidak memiliki ayah, kakek dan seterusnya), saudara laki-laki atau perempuan seibu akan memperoleh bagian seperenam dari harta warisan yang ada. Namun, jika jumlah mereka (saudara laki-laki atau perempuan seibu) lebih dari satu orang, maka mereka berbagi dalam bagian sepertiga [Tafsir al-Maraghi, jilid 4, hlm. 201].

Prinsip syirkah dalam ayat di atas dapat diperoleh dari kata فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ. Syirkah yang diapresiasi oleh Allah Swt. dalam ayat diatas berupa syirkah al-amlak atau syirkah ‘ain yakni ketika beberapa orang saudara berkongsi dalam bagian sepertiga dalam harta warisan [Al-Bahr al-Rai’q Syarah Kanz al-Daqaiq, jilid 5, hlm. 179].

Ayat di atas memang kerap kali dikutip dalam kitab-kitab fikih untuk menjustifikasi legalitas syirkah. Dalam Kitab al-Fiqh al-Manhaji, disebutkan bahwa ayat tersebut menjadi salah satu ayat yang cukup jelas mengindikasikan tentang disyariatkannya syirkah [Al-Fiqh al-Manhaji, jilid 7, hlm. 58].

Baca Juga: Tafsir Surah An-Nisa’ ayat 29: Prinsip Jual Beli dalam Islam

Landasan hukum musyarakah berikutnya yaitu surah Al-Anfal [8]: 41

وَاعْلَمُوا أَنَّما غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبى وَالْيَتامى وَالْمَساكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ إِنْ كُنْتُمْ آمَنْتُمْ بِاللَّهِ وَما أَنْزَلْنا عَلى عَبْدِنا يَوْمَ الْفُرْقانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعانِ وَاللَّهُ عَلى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Dan ketahuilah, sesungguhnya segala yang kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak yatim, orang miskin dan ibnu sabil, (demikian) jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqan, yaitu pada hari bertemunya dua pasukan. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Q.S. Al-Anfal [8]: 41

Ghanimah merupakan harta rampasan dari orang-orang kafir yang diperoleh melalui peperangan. Menurut Imam al-Mawardi, ayat di atas menjadi salah satu dalil dilegalkannya praktek syirkah, lebih tepatnya syirkah kepemilikan. Dalam ayat tersebut, Allah swt. menjadikan seperlima dari harta ghanimah dimiliki bersama oleh golongan yang disebutkan dalam ayat (Allah swt., RasulNya, kerabat Rasullullah saw., anak yatim, orang miskin dan ibnu sabil). Sedangkan empat bagian sisanya dimiliki bersama oleh pasukan yang ikut andil dalm pertempuran tersebut [Al-Hawi al-Kabir, jilid 6, hlm. 469].

Kesimpulan

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa ayat Alquran, baik secara eksplisit maupun implisit mengakui legalitas musyarakah. surah Shad ayat 24 menunjukkan bahwa musyarakah sebagai sebuah kesepakatan kerjasama memang telah terjadi bahkan sejak masa Nabi Daud a.s. Menurut pembagian syirkah, harta yang dikelola dengan akad demikian disebut dengan syirkah al-‘uqud.

Sedangkan dua ayat berikutnya menjelaskan tentang adanya pengakuan syariat terhadap harta hak milik bersama dikarenakan ada sebab seperti pembagian warisan dan harta rampasan perang. Bagian ini yang disebut oleh Wahbah Az-Zuhaili dengan syirkah al-amlak. Wallahu a’lam.

Dhalla Tidak Hanya Bermakna ‘Sesat’, Simak Penjelasannya

0

Makna dhalla dalam Alquran tidak selalu diartikan sesat, tersesat atau menyimpang dari jalan yang benar. (Ar-Raghib al-Asfahani, Kamus al-Qur’an, Jilid 2, ,545). Ia selalu mempunyai makna tersendiri dalam setiap konteks ayatnya. Dalam Alquran, kata dhalla terulang tidak kurang dari 190 kali dalam berbagai derivasinya.  (M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, 2002, 77).

Makna Dasar Dhalla

Makna dasar berarti makna yang akan selalu melekat pada kata tersebut dimana pun kata itu berada. (Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik Terhadap Alquran, 1997, 16). Kata dhalla sendiri (ضلال – يضل- ضل) memiliki arti menyimpang, sesat, musnah, kabur dan tergelincir, antonimnya adalah al-huda dan al-rasyad. (Ibnu mandur, Lisan Al-Lisan; Tahdib Lisan Al-Arab, 1993, 69).

Bintu Syati’ juga turut serta memberikan definisi dasar kata dhalla. Menurutnya, dhalla memiliki arti kehilangan arah atau kehilangan jalan. Sedangkan bangsa Arab pra-Islam menggunakan kata ini untuk mendeskripsikan batu besar di dalam air yang di yakini di dalamnya ada kejelekan-kejelekan atau barang kotor, sesuatu yang menutupi jalan. (Aisyah Abdurrahman binti Syati’, At-Tafsir Al-Bayani Li Alquran Alkarim, Tt, 44).

Berikut beberapa makna dhalla dalam Alquran. Pertama, kekhilafan atau kelalain sebab ketidaktahuan, sebagaimana pada kisah Nabi Musa a.s yang membunuh salah seorang dari Qibti, sebab wahyu atas hukum tersebut belum diturunkan. (asy-Syu’ara [26]: 19-20).

Kedua, bermakna lupa, sebagaimana dalam lafaz in tadhilla ihdahuma (Albaqarah [2]: 282). Ketiga, bermakna lenyap atau hancurnya jasad di bumi (as-Sajadah [32]: 10). Keempat, bisa juga bermakna sia-sia yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang yang telah mengingkari ayat-ayat Allah (Alkahfi [18]: 104), doa-doa orang kafir kepada berhalanya (Alra’du [13]: 14) dan Ghafir [40]: 50), serta tipu daya orang kafir (Ghafir [40]: 25).

Sedangkan kata dhalla dalah surah adh-Dhuha memiliki beragam makna. Sebagaimana penjelasan Binti Syati’ yang mengutip dari pendapat ar-Razi, bahwa (1) salah dalam menentukan arah kiblat, (2) ragu-ragu dalam berhijrah karena khawatir terhadap kafir Quraisy dan saat itu juga Nabi Muhammad Saw. dalam proses menunggu perintah dari Allah untuk hijrah, (3) gelisah -bingung- terhadap perkara keduniaan dan perekonomian. Kemudian Allah memberi petunjuk jalan keluarnya. (Aisyah Abdurrahman binti Syati’, At-Tafsir Al-Bayani Li Alquran Alkarim, Tt, 45).

Baca Juga: Siapakah Orang-Orang yang Sesat dalam Surat Al-Fatihah Ayat 7?

Makna Batin Dhalla

Keberadaan makna batin atau deep structure ini dapat diketahui dengan menelaah ayat-ayat yang di dalamnya menyertakan kata dhalla. Dalam Alquran, dhalla dikaitkan dengan beberapa keadaan, yakni qasiyatul qulub (hati yang keras), kurf (kafir), musyrik (menyekutukan tuhan), ittiba’ an-nafs (mengikuti hawa nafsu), hubbu ad-dunya (mencintai dunia), al-kibr (sombong), dan al-kidzbu (bohong).

Makna batin ini juga bisa ditilik dari sisi historisitas sabab nuzulnya, sebagaimana dalam surah Alnisa’ [4]: 44, dhalla ditendensikan kepada seseorang yang mencela, menghina dan mengolok-olok Islam. Peristiwa ini berkaitan dengan kisah Rifa’ah binZait bin at-Tabut seorang tokoh Yahudi. Ketika ia berbicara dengan Nabi Saw., ia menjulurkan lidahnya, kemudian mulai menghina, mencela dan memperolok-olok Islam.

Dan juga, dalam sabab nuzul surah Luqman [31]; 6 yang berkaitan dengan an-Nadlr bin Haris yang menyuruh seorang biduanita untuk merayu dan menggoda seseorang yang tertarik dengan ajaran Islam. (Q. Shaleh, Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Alquran, 2011, 141).

Dari konteks ayat di atas, dijelaskan bahwa kesesatan itu muncul karena ada seseorang yang memang dengan sengaja mencegah atau menghalangi yang lain untuk mendapatkan petunjuk. Dengan demikian, orang yang menghalang-halangi dari sebuah petunjuk sebenarnya ia ada dalam kesesatan.

Baca Juga: Penjelasan Al-Quran tentang Orang yang Tidak Bisa Disesatkan Iblis, Siapa Dia?

Padanan Kata Dhalla

Setidaknya ada tiga kata dalam Alquran yang mempunyai arti hampir sama dengan dhalla, pertama, pertama, zagha adalah keadaan hati seseorang yang condong pada kesesatan atau penyimpangan dari jalan yang benar, sebagaiman dalam surat Al‘imran [3]: 7-8.

Kedua, ‘amiha yang bermakna bergelimang dalam kesesatan dengan membabi-buta atau orang yang bingung jalan mana yang akan ditempuhnya. Keadaan ini sangat jelas digambarkan dalam surat Ala‘raf [7]: 186. Kata dhalla, hidayah dan ‘amiha berdampingan. Setelah Allah memberikan mereka petunjuk, mereka menolak. Oleh sebab itu, mereka menjadi sesat dan mengakibatkan mereka terombang-ambing hidupnya.

Ketiga, ghaflah yakni kelengahan, kecerobohan atau pun lalai. Kelalaian ini terjadi ketika seseorang tidak memedulikan atau pun mendustai ayat-ayat Allah. Kata dhalla muncul dalam Alquran beriringan kata ghaflah yakni mereka yang memilliki hati, mata dan telinga tapi tidak digunakan untuk memahami, melihat dan mendengar ayat-ayat Allah (Yusuf [12]: 13).

Dari penjelasan di atas, pemaknaan dhalla selalu dinamis, tergantung pada konteksnya. Setidaknya ada tiga poin penting yang bisa dijadikan kesimpulan terkait dinamisasi pemaknaan dhalla. Pertama, Alquran memberikan ruang dan sekat saat melabeli atau mengatakan bahwa seseorang telah sesat. Hanya ada tujuh unsur yang apabila salah satu dari unsur tersebut ada pada diri seseorang, amka sebenarnya ia telah berada dalam kesesatan. Yakni, orang yang hatinya keras, kafir, musyrik, menuruti hawa nafsu, terlalu cinta pada dunia, sombong dan bohong.

Baca Juga: Tafsir Surah Al Araf Ayat 179: Makhluk yang Lebih Sesat dari Binatang Ternak

Kedua, pemaknaan dhalla tidak selalu berada dalam ranah religius. Karena ditemukan unsur-unsur non-religius dalam konteks tertentu, seperti orang yang sombong, bohong, dan yang mengolok-olok terkait kebenaran. Dan, yang ketiga adalah ditemukannya kata kafir dan musyrik sebagai salah satu dari unsur dhalla. Kedua kata ini tidak bisa hanya dimaknai secara tekstual, namun juga harus kontekstual. Seperti yang diuraikan oleh Izutsu, semisal kafir, tidak bisa hanya diartikan sebagai lawan kata dari iman. Kafir juga bisa berarti kufur, yakni sikap ketidakberterimakasihan atas kenimakatan yang telah Allah berikan. (Toshihiko Izutsu, Etika Beragama dam Qur’an, 1993, 188).

Wallaahu a’lam.

Tujuh Kitab Populer untuk Referensi Asbabunnuzul

0
Tujuh Kitab Populer untuk Referensi Asbabunnuzul
Kitab Asbab al-Nuzul karya Al-Wahidi (w. 468 H), salah satu karangan paling awal yang membahas asbabunnuzul.

Asbabunnuzul atau latar belakang turunnya ayat penting diketahui supaya ayat terkait dapat lebih mudah dipahami konteksnya. Seringkali ketidaktahuan terhadap asbabunnuzul mengakibatkan seseorang-terutama yang hanya berbekal terjemahan saja-akan salah paham dengan maksud ayat. Oleh karena itu, banyak ulama yang mengarang kitab yang khusus membahas disiplin satu ini.

Di antara kitab-kitab bertemakan asbabunnuzul yang ada, di sini akan dipilihkan tujuh kitab populer yang bisa dijadikan sebagai referensi asbabunnuzul berikut deskripsi singkat dan tautan untuk mengunduhnya.

  1. Asbab al-Nuzul karya Al-Wahidi (w. 468 H)

Bisa dibilang kitab ini merupakan referensi asbabunnuzul yang paling terkenal saat ini. Bisa jadi karena ia termasuk kitab yang ditulis paling awal yang masih bisa dibaca sampai sekarang. Karangan yang hanya berjumlah satu jilid ini menjadi pondasi untuk kitab-kitab yang mengangkat tema serupa setelahnya.

Kitab ini dimulai dengan penjelasan ayat-ayat yang pertama dan yang terakhir turun kepada Nabi Muhammad. Adapun ciri khas kitab ini ada pada penyebutan sanad secara lengkap untuk setiap riwayat asbabunnuzul ayat yang dikutip.

  1. al-‘Ujab fi Bayan al-Asbab karya Ibn Hajar Al-‘Asqalani (w. 852 H)

Kitab ini sebenarnya cukup lengkap dengan banyak riwayat yang dikutip ketika menjelaskan latar belakang turunnya ayat. Namun, pembahasannya tidak sampai usai, karena pengarangnya wafat sebelum sempat menyelesaikan karyanya. Jadilah kitab ini hanya berjumlah dua jilid dan pembahasan terakhirnya adalah Q.S. Annisa: 78.

Baca juga: Memahami Definisi dan Pertanyaan-Pertanyaan Lain Soal Asbabun Nuzul

al-‘Asqalani memulai kitab al-‘Ujab ini dengan uraian tentang definisi, urgensi, dan kaidah-kaidah yang terkait dengan asbabunnuzul. Kemudian beliau lanjut menerangkan dan menyebutkan secara berurutan asbabunnuzul ayat mulai dari surah Alfatihah.

  1. Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul karya Jalaluddin Al-Suyuthi (w. 911 H)

Kitab ini isinya cukup ringkas karena hanya memasukkan riwayat-riwayat yang sahih dan yang dapat diterima (maqbul) saja. Riwayat-riwayat tersebut oleh al-Suyuthi disandarkan kepada pengarang kitab-kitab hadis mu’tabarah seperti kutubus sittah (enam kitab hadis induk) dan kitab-kitab tafsir populer seperti Tafsir al-Tabari. Penyandaran riwayat ini tidak ditemukan sebelumnya di karya al-Wahidi.

Al-Suyuthi juga mempersempit definisi asbabunnuzul dengan mensyaratkannya hanya pada kejadian yang terjadi di hari ketika ayat terkait turun. Dengan ini, beliau mengkritik al-Wahidi yang menyebutkan peristiwa kedatangan pasukan gajah Habasyah sebagai latar belakang turunnya surah Alfil, sebab kejadian tersebut terjadi jauh sebelum surah tersebut turun.

  1. Tashil al-Wushul ila Ma’rifah Asbab al-Nuzul karya Khalid Abdurrahman al-‘Ikk (1419 H)

Di kitab ini, Khalid al-‘Ikk mengumpulkan riwayat-riwayat asbabunnuzul populer dari berbagai kitab asbabunnuzul dan tafsir. Kitab-kitab tersebut di antaranya adalah karya al-Tabari, al-Naisaburi, Ibn al-Jauzi, al-Qurthubi, Ibn Katsir, al-Suyuthi, dan al-Syaukani. Penulis melalui karyanya ini hendak mengaitkan riwayat-riwayat asbabunnuzul-sebagai salah satu komponen dasar dalam penafsiran Alquran-dengan kitab-kitab tafsir itu sendiri. Sebab, kitab-kitab asbabunnuzul sebelumnya tampak seperti disiplin tersendiri yang terpisah dengan tafsir dan kitab-kitabnya.

  1. al-Sahih al-Musnad min Asbab al-Nuzul karya Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i (1422 H)

Sebagaimana nampak jelas di judul, al-Wadi’i di sini hanya merangkum riwayat-riwayat asbabunnuzul yang dianggapnya berstatus sahih saja. Beliau juga menampilkan sanad lengkap yang sampai kepada para muhaddis penyusun kitab-kitab hadis yang diakui kesahihannya, seperti al-Bukhari, Muslim, dan Abu Daud.

Baca juga: Asbabunnuzul dalam Perbincangan Inteletual Muslim yang Tak Pernah Usai

Di mukadimah kitab, al-Wadi’i menyinggung beberapa hal seputar urgensi asbabunnuzul, bahaya mengabaikan ilmu sanad, dan kaidah-kaidah pokok yang berkaitan dengan asbabunnuzul.

  1. Al-Isti’ab fi Bayan al-Asbab karya Salim bin I’d Al Hilali dan Muhammad bin Musa Alu Nashr (1425 H)

Dibanding lima kitab sebelumnya, kitab Al-Isti’ab ini yang paling lengkap. Ia dilengkapi dengan beragam riwayat yang terkait dengan pembahasan ayat sampai riwayat-riwayat yang dihukumi daif dan palsu. Setiap riwayat yang dikutip selalu diterangkan statusnya, sehingga menjadikan kitab ini cocok digunakan untuk mengecek keabsahan dan validitas suatu riwayat.

  1. Mengerti Asbabun Nuzul karya Muhammad Chirzin (2015 M)

Buku berbahasa Indonesia ini dapat menjadi salah satu pilihan bagi yang hendak mempelajari asbabunnuzul tetapi terkendala dengan kemampuan bahasa Arab dan tidak punya akses terhadap buku-buku terjemahan.

Buku ini punya format tematik, yakni tidak menjelaskan latar belakang turunnya ayat sesuai urutan ayat, melainkan berdasarkan tema tertentu. Kelebihannya, di sini penulis berusaha menarik pesan moral dari peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat, lalu mengkontekstualisasikannya pada masa kini.

Baca juga: Sababun Nuzul Mikro dan Makro: Pengertian dan Aplikasinya

Demikian rekomendasi kitab-kitab yang dapat dijadikan referensi asbabunnuzul yang diurutkan berdasarkan tahun wafat pengarang dan tahun cetak kitabnya. Sebagai catatan, ketujuh kitab di atas masih terbatas pada yang disebut akademisi kontemporer sebagai asbabunnuzul mikro, yakni peristiwa spesifik yang melatarbelakangi sebuah ayat turun. Adapun asbabunnuzul makro ialah realitas sosio-historis pada waktu ayat turun yang sifatnya lebih kompleks. Asbabunnuzul jenis ini dapat ditelusuri melalui kitab-kitab sirah, tarikh, dan sebagainya.

Syekh Husin Fallugah dan Museum Manuskrip Kajian Keislaman Terbesar di Kalimantan Barat

0
Syekh Abdurrahman Husein Fallugah
Syekh Abdurrahman Husein Fallugah

Di tengah gempuran arus modernisasi, masih ada seseorang yang tertarik dengan manuskrip dan memahami ilmu serta menyibak rahasia yang terkandung di dalamnya. Sebut saja Syekh Abdurrahman Husin Fallugah, salah satu kolektor manuskrip kajian keislaman terkemuka. Beliau adalah dai keturunan Arab yang berada di Kalimantan Barat. Demi mengungkap makna dan melestarikannya, Syekh Husin Fallugah bahwan rela menempuh perjalanan yang jauh bahkan sampai rela membelinya dengan harga mahal.

Biografi Syekh Abdurrahman Husin Fallugah

Berdasarkan penelitian Faizal Amin dalam jurnalnya “Religion And Harritage: The Islamic Manuscript Of The Quran By Abdurrahman Husin Fallugah (W.2010)”, Syekh Abdurrahman Husin Fallugah lahir pada 5 Februari 1966 M / 14 Syawal 1385 H. Beliau, merupakan keturunan Arab dari wilayah Hadramaut, Yaman. Ayahnya bernama Husin bin Salim bin Ahmad, sementara ibunya bernama Jamilah binti Ahmad bin Ali Saewad.

Syekh Husin Fallugah memiliki 5 saudara, satu diantaranya meninggal saat peristiwa invasi di Yaman. Kemudian ia menikah dengan Anita Ahmad Ali Attamimy dan dikaruniai lima anak yang bernama: Sirkafi, Fizraivi, Devwirvi, Laza Delvi dan Zad Syarafi. Abdurrahman Husin Fallugah meninggal di usia 46 tahun pada 2010 lalu, dia dikebumikan di Kampung Arab, tepatnya di area Pesantren Mambausshafa yang dia bangun (Religion and harritage, Amin, 2014: 252-253).

Ayah Syekh Husin Fallugah meninggal saat usianya masih 9 tahun, berdasarkan dari wasiat sang ayah, Husin Fallugah kecil melanjutkan pendidikannya ke Jawa Timur untuk belajar di pondok pesantren Yayasan Pesantren Islam (YAPI) di Bangil, Pasuruan. Setelah 6 tahun menimba ilmu disana, Syekh Husin Fallugah mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di Syiria pada tahun 1983. Namun, keberangkatannya terhambat akibat adanya kerusuhan di perbatasan negara. Hingga akhirnya, Syekh Husin Fallugah memutuskan untuk kembali ke Pontianak dan belajar kepada berbagai guru seperti Habib Ibnu Saalih al-Haddad, Syekh Abdurrani Mahmud Al-Yamani, dan Ustadz Thoyyib Saman. Pendidikan dan kedekatannya dengan ulama besar di Kalimantan Barat menjadikan keilmuan Husin Fallugah berkembang dengan pesat. Dia juga berkesempatan untuk belajar kepada Syekh Ramadhan. Dari koneksi tersebut, mereka kemudian membangun pondok pesantren Khulafaurrasyidin.

Baca juga: Iluminasi Terengganu dalam Mushaf Kuno Indonesia

Sejak kecil, Syekh Abdurrahman Husin Fallugah sudah menaruh perhatian dan kecintaan pada naskah klasik. Berdasarkan penuturan istrinya (2012), dia sudah menghabiskan banyak uang untuk mendapatkan manuskrip klasik yang menarik. Abdurrahman Husin Fallugah juga menelusuri wilayah Aceh, Lombok, Sumatra dan Jawa untuk berburu manuskrip klasik. Melalui cara yang sama, dia juga menelusuri setiap kabupaten di Kalimantan Barat, seperti Kabupaten Kapuas Hulu, Sambas, Sanggau, Ketapang, Kubu Raya, dan Mempawah (Potensi Naskah Kuno di Kalimantan Barat, Amin, 2012: 59).

Dengan privilese sosok dai karismatik, Husin Fallugah juga memiliki kedekatan sosial dengan masyarakat.  Sebab itu, beliau mendapat kepercayaan dari komunitas dan para jemaah majelis taklim untuk mengumpulkan dan merawat naskah klasik dari para jemaah, yang secara sukarela mereka berikan sebagai hadiah kepada Syekh Abdurrahman Husin Fallugah. Hal ini didasari juga pada kebiasaan generasi muda yang sudah tidak mampu membaca tulisan Arab dan huruf Jawi dalam naskah kuno. Mereka juga percaya bahwa jika manuskrip itu tidak dijaga dan masyarakat telantarkan, maka akan membawa nasib buruk, bencana dan ketidakberuntungan bagi mereka sendiri. Inilah alasan mengapa Syekh Abdurrahman Husin Fallugah memiliki koleksi manuskrip yang besar di kediamannya.

Museum Manuskrip Kajian Keislaman Terbesar di Kalimantan Barat

Bagian ini merupakan hasil kunjungan penulis ketika mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir IAIN Pontianak melakukan kunjungan mata kuliah Filologi. Kunjungan ini dipandu oleh Fitrah Aulia Rahman (keponakan dari Syekh Abdurrahman Husin Fallugah), selaku pengurus koleksi manuskrip pribadi ini.

Rumah yang ditinggali oleh keluarga Syekh Fallugah menyimpan 203 naskah manuskrip berupa kitab dan kajian keislaman dengan bahasa yang beragam seperti bahasa Arab, Melayu, Bugis, Jawa dan Sunda dengan aksara Arab, huruf Jawi, Pegon dan Lontara’. Sementara itu, terdapat naskah mushaf kuno yang berjumlah 21 buah, dengan usia paling tua 344 tahun (1067 H /1656 M), dan yang terbaru berkisar pada usia 193 tahun (11243 H/ 1827 M). Dengan jumlah dan keunikan berbagai manuskrip tersebut, museum pribadi ini menjadi daya tarik bagi berbagai ahli filologi baik Nasional maupun Internasional, seperti dari negara Jerman, Inggris, dan Belanda.

Baca juga: Jejak Manuskrip Qiraat Al-Quran di Kalimantan Selatan

Secara fisik, kondisi manuskrip-manuskrip di tempat ini terbilang masih terawat dan dikondisikan dengan baik. Akan tetapi, wawasan literatur dan perhatian masyarakat maupun lembaga terkait kondisi manuskrip sangat memprihatinkan. Penulis berpendapat, bahwa status manuskrip-manuskrip yang berada disini akan lebih baik jika tetap dijaga oleh pihak keluarga dan para ahli yang memahami betul bagaimana preservasi naskah dan proses mengkaji manuskrip. Sebab, apablia sudah berpindah tanggung jawab kepada lembaga atau instansi, belum tentu naskah-naskah ini akan dijaga dengan baik, kecuali jika pihak lembaga juga mengetahui secara utuh ilmu pernaskahan. Terlebih, akses untuk manuskrip sebanyak ini akan sulit ditempuh bila tanggung jawab sudah berpindah dan masuk dalam inventaris instansi atau lembaga tersebut.

Sebagai bentuk kepedulian dan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan, tentunya kita berharap bahwa masyarakat Indonesia dapat menghormati warisan para leluhur yang mengandung nilai historis dan budaya tersendiri dalam peninggalannya. Keberadaan naskah kuno atau manuskrip di luar negeri sangat dihargai karena nilai estetika dan material yang langka, lalu bagaimana dengan masyarakat Indonesia? Adapun mempelajari bahasa Arab dan huruf-huruf Jawi kiranya penting bagi kita untuk melestarikan ilmu ini agar dapat merasakan ruh tulisan dari para leluhur masa lampau dan agar kelak ilmu ini tidak mengalami kepunahan.

Wallahu ‘alam bisshawab.

Mengenal Diksi Tanya Jawab dalam Alquran

0
Mengenal Diksi Tanya Jawab dalam Alquran
Mengenal Diksi Tanya Jawab dalam Alquran

Salah satu diksi yang sering digunakan Alquran untuk menyampaikan informasi adalah diksi tanya jawab. Dalam kajian asbabunnuzul, disebutkan bahwa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Muhammad termasuk alasan diturunkannya Alquran (Al-Qawaid Al-Asasiyyah, 20). Kemudian sebagian tanya jawab tersebut dinarasikan di dalam Alquran.

Diksi yang digunakan untuk menarasikan tanya jawab dalam Alquran biasanya adalah kata yasalunaka (mereka bertanya kepadamu (Muhammad) lalu dilanjutkan dengan jawaban sesuai dengan porsinya. Ada yang dijawab secara singkat, ada yang mendetail, ada juga yang sedang. Bahkan, ada pula pertanyaan yang tidak diberi jawaban, karena hanya diketahui oleh Allah dan dirahasiakan oleh-Nya.

Kata yasalunaka sendiri dalam Alquran disebutkan beberapa kali, di antaranya di ayat-ayat berikut.

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ ۖ قُلْ

Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah … (Q.S. Al-Baqarah: 189)

يَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ ۖ قُلْ

Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah … (Q.S. Al-Baqarah: 215)

Baca juga: Ilmu Gramatika Alquran: Definisi dan Perkembangannya

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ ۖ قُلْ

Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada Bulan Haram. Katakanlah … (Q.S. Al-Baqarah: 217)

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ ۖ قُلْ

Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah … (Q.S. Al-Baqarah: 219)

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَىٰ ۖ قُلْ

Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim. Katakalah… (Q.S. Al-Baqarah: 220)

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ

Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah … (Q.S. Al-Baqarah: 222)

يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ ۖ قُلْ

Mereka menanyakan kepadamu, “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah … (Q.S. Al-Maidah: 4)

يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا ۖ قُلْ

Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: “Kapan terjadi?” Katakanlah … (Q.S. Al-A’raf: 187)

Baca juga: Balaghah Alquran: Seni Tata Krama dalam Bahasa Alquran

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَنفَالِ ۖ قُلِ

Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah … (Q.S. Al-Anfal: 1)

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ ۖ قُلِ

Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah … (Q.S. Al-Isra’: 85)

وَيَسْأَلُونَكَ عَن ذِي الْقَرْنَيْنِ ۖ قُلْ

Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulkarnain. Katakanlah … (Q.S. Al-Kahfi: 83)

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْجِبَالِ فَقُلْ

Mereka bertanya kepadamu tentang gunung-gunung, maka katakanlah … (Q.S. Taha: 105)

Dua model diksi tanya jawab

Diksi tanya jawab dalam Alquran setidaknya ada dua model. Pertama, jawaban disebutkan sebagai respon atas pertanyaan yang telah diajukan kepada Nabi. Kedua, pertanyaan dan jawabannya sudah dibocorkan kepada Nabi sebelum ditanyakan. Seolah Allah memberi “kisi-kisi soal” dan “kunci jawaban” kepada Nabi-Nya. Ini sekaligus sebagai bukti atas ilmu Allah yang tidak terbatas, karena mengetahui apa yang akan ditanyakan oleh orang-orang sebelum mereka bertanya.

Dua macam pola tadi dibedakan hanya dengan huruf fa’. Setelah kata yasalunaka, misalnya, langsung dijawab qul dst., tapi khusus dalam Q.S. Taha: 105 jawaban menggunakan kata faqul. Mengapa demikian?

Baca juga: Balaghah Alquran: Keindahan Penggunaan Huruf Athaf Tsumma

Syekh Ali As-Shabuni (Shafwatut Tafasir, I/113) mengutip dari kitab Al-Futuhat Al-Ilahiyyah yang menyebutkan bahwa semua jawaban dari pertanyaan dalam Alquran ada setelah pertanyaan. Sedangkan jawaban yang dalam Q.S. Taha: 105 ini sudah ada sebelum ditanyakan kepada Nabi. Sehingga kira-kiranya adalah “Jika mereka bertanya kepadamu tentang gunung-gunung, maka katakanlah “Tuhanku akan menghancurkannya (di hari kiamat) sehancur-hancurnya”.

Metode tanya jawab dalam pembelajaran

Memberikan informasi melalui pertanyaan dan jawaban semacam ini kemudian dikembangkan dalam dunia pendidikan, sehingga muncul metode tanya jawab. Metode tanya jawab sangat efektif untuk merangsang rasa ingin tahu terhadap sesuatu. Di beberapa kitab karya ulama sering ditemukan hal serupa, misalnya ungkapan فَإنْ قِيْلَ (jika dikatakan) atau فَإِنْ سَأَلْتَ (jika kamu bertanya), قُلْتُ (maka aku jawab), فَالْجَوَابُ (maka jawabannya), dsb. Bahkan ada beberapa kitab yang menggunakan judul yasalunaka.

Namun, sayangnya akhir-akhir ini untuk menumbuhkan rasa ingin tahu menurut penulis sedikit terganggu oleh ungkapan “Kamu nanya? Kamu bertanya-tanya?”. Ungkapan yang viral ini mungkin awalnya sebatas candaan, tapi bagi sebagian orang yang baperan berdampak “mematikan” keingintahuan mereka melalui pertanyaan, karena akhirnya mereka mengurungkan diri untuk bertanya kembali. Padahal, ilmu akan berkembang bila rasa ingin tahu mengenai sesuatu terus dikembangkan, termasuk melalui bertanya. wallahua’lam.

Khaleel Ur Rahman Chishti: Pegiat Nidzam al-Qur’an Era Modern

0

Nidzam al-Qur’an adalah kajian dalam penafsiran Alquran yang memfokuskan pada aspek koherensi susunan atau struktur surah. Kajian nidzam al-Qur’an atau kestrukturan dalam Alquran ini terus mendapatkan perhatian di era modern ini dari berbagai kalangan kesarjanaan, salah seorang di antaranya yakni Khaleel Ur Rahman Chishti.

Dilansir dari kanal youtube yang disampaikan oleh Muhammad Asri Yusoff dengan judul Maulana Asri: Keistimewaan Aliran Tafsir Hameeduddin Farahi, bahwa Rahman mengikuti gaya penafsiran dari Hamiduddin al-Farahi. Secara gagasan atau cikal bakalnya, kajian nidzam al-Qur’an memang sudah ada sejak dulu, semisal pada karya tafsir Ibnu Jarir at-Tabari, Fakhruddin al-Razi, dan al-Biqa’i. (Mustansr Mir, Continuity, Context, and Coherence in The Qur’an: a Brief Review of The Idea of Nadm in Tafsir Literature, 2013, 16 – 23). Namun, penggunaan secara istilah dan kekonsistensiannya dalam penyebutan “nidzam” baru dimunculkan oleh Hamiduddin al-Farahi dalam Nidzam al-Qur’an wa Ta’wil al-Furqan bil Furqan.

 Baca Juga: Mengenal Tafsir Nidzam Al-Quran karya Hamiduddin Farahi

Biografi Khaleel Ur Rahman Chishti

Tidak banyak literatur yang memaparkan terkait biografi dari Rahman. Namun, ia dikenal sebagai sarjana berkebangsaan Pakistan. Secara Pendidikan akademiknya, Rahman bukanlah sarjana di bidang studi Alquran, akan tetapi justru ia ahli di bidang holtikultura. Bahkan ia sempat bekerja di beberapa wilayah seperti Kanada, Arab Saudi, Kuwait dan Bahrain.

Di samping itu, Rahman juga aktif sebagai peneliti keislaman, penyair serta pendakwah. Ia memulai dakwahnya di Amerika Utara dengan ISNA dan ICNA pada tahun 1975. Kemudian, tahun 1994 ia mengabdikan dirinya untuk mendakwahkan Islam di Pakistan.

Selain aktif berdakwah, Rahman juga mempunyai kursus dakwah dengan tujuan dasar untuk menyampaikan ajaran Alquran, Hadis, fikih dan disiplin ilmu keislaman lainnya yang murni, otentik, tidak bias, non-sektarian, dan tidak dipalsukan.

Melalui berbagai kursus, Rahman memberikan bimbingan ideologis dan pelatihan praktis kepada kaum terpelajar modern, untuk mengatasi pemikiran sektarian dan mendakwahkan Islam yang benar, mengakhiri segala bentuk diskriminasi dan upaya untuk membangun suasana persatuan dan toleransi Islam. (Lihat di, http://www.shifastudentsociety.com/prof-khalil-ur-rahman-chishti.html)

Baca Juga: Inilah Ragam Pendapat Ulama tentang Nidzam Al-Quran

Karakteristik Karya Tafsir Khaleel Ur Rahman Chishti

Gagasan nidzam al-Qur’an versi Rahman dapat dicermati dalam karya tafsirnya yang berjudul Qurani Soorton Ka Nazm e Jali, yang diterbitkan tahun 2011 dalam bahasa Urdu. Kemudian dialihbahasakan dalam bahasa Inggris oleh Habib-ur-Rahman Qazi di tahun 2018. (Saqib Hussain, Q 63 (Sūrat al-Munāfiqūn): A Text-Critical and Structural Analysis, dalam Nicolai Sinai, Unlocking the Medinan Qur’an, 2022, 574)

Karya tafsir tersebut membahas lengkap 114 surah Alquran. Dan, pada setiap masing-masing suratnya, Rahman menyajikan konsep nidzam surah atau yang disebut Rahman sebagai macro-structure. Sebagaimana cuplikan gambar di bawah ini:                                                                                                 

Setidaknya ada tujuh poin yang dijelaskan Rahman dalam setiap tafsiran surah. Pertama, Rahman mendeskripsikan secara singkat tentang macro-structure yang meliputi nomor dan nama surah, dan jumlah ayat, termasuk dalam makkiyah atau madaniyah, jumlah paragraf, serta flow chart; bentuk melingkar yang disertai penjelasan pembagian ayat atau yang disebut dengan istilah paragraph. Dan ditengahnya tercantum tema sentral dari surah tersebut atau yang diistilahkan dengan markaziy madzmum atau central subject (theme).

Kedua, dijelaskan tentang peristiwa pewahyuannya; pada abad berapa, dimana, serta seperti apa konteksnya. Ketiga, jika surah tersebut mempunyai karakteristik tersendiri, maka dijelaskan ciri-ciri khusus atau keistimewaannya.

Keempat, fadhilah surah jika ada. Kelima, penjelasan tentang munasabah dengan surah sebelum atau sesudahnya. Keenam, penjelasan terkait kata kunci penting yang terkandung dalam surah. Penjelasan ini masuk dalam bagian micro-stucture. Dan, ketujuh, yaitu penjelasan tentang tema sentral surah.

Baca Juga: Hikmah Penyusunan Al-Qur’an dalam Bentuk Kumpulan Surah

Urgensi Nidzam al-Qur’an dalam Pandangan Khaleel Ur Rahman Chishti

Tujuan dasar dari disusunnya karya tafsir berbasis nidzam tersebut adalah untuk memperkenalkan kepada kaum terpelajar modern tentang macro-structure Alquran secara singkat dan terperinci, agar memudahkan mereka dalam memahami Alquran.

Menurut Rahman, selama ini banyak dari mereka yang memiliki keterampilan dalam Bahasa Arab, sehinga mereka bisa menerjemahkan Alquran. Namun dibalik itu, mereka tidak memerhatikan dan memahami konteks Alquran, sehingga mereka tidak tahu apa tujuan dari Alquran. Maka dari itu, urgensi disusunnya karya tafsir ini untuk memudahkan mereka dalam memahami tujuan Alquran. (Khaleel-ur Rahman Chishti, Macro Structure of Soorahs of Holy, 2018, 6)