Beranda blog Halaman 80

Kisah Rasulullah Saw. Bermuka Masam dalam Surah ‘Abasa

0
Quran in the mosque

Kisah Rasulullah bermuka masam, sepatutnya harus dipahami secara menyeluruh. Hal tersebut bertujuan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman dibalik sikap Rasulullah Saw.yang mendapat teguran dari Allah Swt. Sebab, jika dikaji lebih lanjut, kisah ini justru semakin memunculkan kemuliaan akhlak yang terpatri dalam kepribadian Rasulullah Saw. Beliau tak segan menyampaikan kisah ini kepada umatnya meski dalam keadaan beliau ditegur oleh Allah Swt.

Di sisi lain, hikmah surah ‘Abasa menunjukan sisi manusia biasa yang ada pada diri Rasulullah Saw. yang bisa keliru, namun kekeliruannya tentu tidak akan dibiarkan dan senantiasa ditegur oleh Allah Swt. Meski pada hakikatnya, Rasululllah adalah seorang yang maksum. Namun, adakalanya ijtihad beliau bisa keliru, sehingga turunlah wahyu yang meluruskan ijtihad beliau tersebut.

Baca Juga: Tafsir Surah Abasa Ayat 1-10: Kesamaan dalam Islam Menurut Wahbah Al-Zuhaili

Kronologi Rasulullah Saw. Bermuka Masam

Kisah ini tidak sepatutnya didengar secara sepintas, bahwa Rasulullah pernah bermuka masam, sama seperti manusia pada umumnya, yang menunjukan bahwa beliau adalah manusia biasa, dan setelah itu selesai. Pemahaman semacam ini perlu diberi tambahan pengetahuan, sebab baru melihat kisah dari luar dan cangkangnya, belum sampai menelusuri aspek historisnya dengan baik.

Yang menjadi alasan mengapa Rasulullah Saw. bermuka masam adalah sebagaimana dikatakan dalam surah ‘Abasa [80]: 2;

أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَى

Karena seorang buta telah datang (kepadanya)

Para mufasir sepakat bahwa kisah ini berkenaan dengan seorang yang buta bernama Abdullah bin Ummi Maktum. Di dalam Tafsir ath-Thabari diceritakan bahwa ketika itu Rasulullah Saw. sedang berdakwah kepada para pembesar Quraisy. Mengambil langkah dengan cari mendakwahi para pemuka kaum adalah sebagai bagian dari strategi dakwah, karena mereka adalah kuncinya. Bila mereka sampai masuk Islam, maka para pengikutnya pun akan melakukan hal yang sama.

Saat Rasulullah Saw. sedang fokus berdakwah itulah, Abdullah bin Ummi Maktum memotong pembicaraan seraya berkata “arsyidni”. Ia meminta agar Rasulullah Saw. memberinya petunjuk. Konsentrasi Rasulullah Saw. yang dipotong itulah yang membuat beliau bermuka masam dan berpaling. (Ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, 24/102).

Baca Juga: Haruskah Selalu Bersikap Kasar dan Keras Terhadap Orang Kafir dan Munafik? Tafsir Surah At-Taubah Ayat 73

Jika harus digambarkan, Rasulullah Saw. sedang berada di situasi momentum emas untuk mendakwahi pembesar Quraisy. Jika Langkah tersebut berhasil, maka akan berdampak pada banyaknya yang akan masuk Islam. Namun, momentum itu harus terganggu dengan kedatangan Abdullah bin Ummi Maktum, sehingga Rasulullah Saw. pun merasa kesal.

Mengajari Abdullah bin Ummi Maktum dapat dilakukan di lain waktu, sebab yang menjadi prioritas Rasulullah Saw. saat itu adalah para pembesar Quraisy. Rupanya, ijtihad beliau keliru. Kemudian, turunlah surah ‘Abasa yang menyampaikan teguran sekaligus pencerahan, bahwasanya seorang buta itulah yang justru lebih berhak mendapatkan ilmu dari pada para pembesar Quraisy yang sombong. Ekspektasi Rasul terhadap pembesar Quraisy pada akhirnya mendapat teguran dari Allah, bahwa tidaklah berdosa jika mendakwahi mereka, namun mereka tetap kafir, karena hidayah adalah urusan Allah Swt. Allah pun memberi tahu Rasulullah Saw. bahwa tidak perlu melakukan pendekatan pada kaum kafir yang sombong dan angkuh.

Justru Abdullah bin Ummi Maktum perlu dijadikan perhatian Rasul, dengan sebab wa amma man jaaka yas’a, yakni kedatangannya dengan usaha dan semangat menuntut ilmu serta wa huwa yakhsa, yakni penuh rasa takut kepada Allah. Sifat-sifat mulia ini dimiliki Abdullah bin Ummi Maktum, hingga Rasul pun diberi teguran oleh Allah karena tidak memperhatikannya.

Di sisi lain, Abdullah bin Ummi Maktum dalam keadaan buta, sehingga menjadi sebuah permakluman ketika ia tidak mengetahui bahwa Rasulullah sedang sibuk mendakwahi para pembesar Quraisy. Ia bahkan tidak mengetahui bahwa yang dilakukannya adalah memotong pembicaraan.

Baca Juga: Prinsip Humanisme dan Wacana Disabilitas dalam al-Quran

Rasulullah Saw. Memuliakan Abdullah bin Ummi Maktum

Semenjak kejadian itu, di dalam Tafsir al-Baghawi diceritakan bahwa setiap kali Rasul berjumpa dengan Abdullah bin Ummi Maktum, maka Rasul senantiasa memyambutnya seraya mengatakan:

مَرْحَبًا بِمَنْ عَاتَبَنِي فِيهِ رَبِّي

Selamat datang wahai orang yang Rabbku menegurku karenanya

Tak lupa Rasul pun senantiasa menanyakan keperluannya. (Tafsir al-Baghawi, 8/332).

Dalam konteks ketika ditegur, itu artinya memang Rasulullah keliru, sehingga Allah meluruskannya. Allah berfirman:

كَلَّا إِنَّهَا تَذْكِرَةٌ

Sekali-kali jangan (begitu)! Sungguh, (ajaran-ajaran Allah) itu suatu peringatan”

Menurut Ibnu Katsir, ayat ini untuk menyamakan antara pembesar maupun yang miskin dalam hal penyampaian ilmu.” (Tafsir Ibnu Katsir, 8/322). Dengan kata lain, hikmah dari kisah ini adalah agar tidak pandang bulu dalam hal objek dakwah.

Tersampaikannya ayat ini menunjukan betapa Rasulullah Saw. adalah seorang yang amanah. Surah ‘Abasa yang hanya turun di hadapan Rasul seorang, dan seseorang membuatnya ditegur adalah seorang yang buta sehingga tidak mengetahui jika Rasul bermuka masam, sangat mungkin bagi Rasulullah untuk menyembunyikan ini. Namun, yang dilakukan Rasul adalah tetap amanah menyampaikan wahyu, meski berisi teguran untuknya.

Sejarah mencatat betapa Rasulullah amat sangat memuliakan Abdullah bin Ummi Maktum. Di antaranya sebuah riwayat yang mengatakan bahwa Abdullah bin Ummi Maktum dipercaya Rasul menjadi kepala Madinah selama Rasulullah Saw. meninggalkan kota tersebut karena ada dua kali peperangan, padahal ia dalam keadaan buta. Sebab inilah yang menjadi salah satu bentuk penghargaan dan pemuliaan Rasul Saw. kepadanya. (Tafsir al-Baghawi, 8/332)

Itulah yang menyebabkan pentingnya memahami kisah ini secara utuh, agar tidak hanya fokus pada diksi manusia biasa yang disematkan kepada Rasul, serta memahami motif bermuka masam yang bukan karena keburukan akhlak beliau, melainkan karena ijtihadnya yang keliru. Tidak cukup sampai di situ, Rasul pun tetap amanah menyampaikan wahyu meski menyangkut teguran untuk dirinya, bahkan Rasulullah justru senantiasa memuliakan Abdullah bin Ummi Maktum dan senantiasa memperhatikannya, meski seorang buta tersebut pernah menjadi alasan Allah menegurnya.

Hal yang juga perlu dicatat adalah agar tidak pandang bulu dalam berdakwah. Sebab kisah ini bisa memberikan pelajaran, bahwa yang kaya terkadang tidak menerima dakwah karena kesombongannya, dan yang miskin justru yang semangat menerima dakwah. Sehingga, dapat menjadi perantara pahala yang mengalir karena ilmu disampaikan bermanfaat dan diamalkan.

Wallahu a’lam.

Mengenal Mushaf Juz ‘Amma Kementerian Agama

0
Mengenal Mushaf Juz 'Amma Kemenag
Mengenal Mushaf Juz 'Amma Kemenag

Belakangan ini, laman instagram Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran (LPMQ) Kementerian Agama ramai dengan post Mushaf Alquran Isyarat. Mushaf ini, sebagaimana dijelaskan pada laman resmi Kementerian Agama, merupakan salah satu produk mushaf Alquran ‘baru’ yang dihadirkan bagi mereka kalangan berkebutuhan khusus. Akses lengkap mushaf tersebut kini bahkan telah tersedia di Qur’an Kemenag, versi aplikasi maupun online.

Nah, sebelum kehadiran Mushaf Alquran Isyarat tersebut, tahukah para pembaca sekalian jika Kementerian Agama juga sebenarnya punya produk ‘mushaf lain’ selain mushaf-mushaf mainstream -Mushaf Alquran Standar Rasm Usmani, Bahriyah, dan Braille-?

Baca juga: Peran Penulis dan Penyurat Terengganu di Mushaf Nusantara

Di dalam sambutannya, Menteri Agama yang kala itu dijabat oleh Lukman Hakim Saifuddin menyampaikan bahwa selain Mushaf Alquran Standar Indonesia (MSI), tahun 2019 Kementerian Agama juga menerbitkan Juz ‘Amma Terjemah dan Transliterasi Latin dan Surah Yasin. Dua mushaf inilah yang hendak penulis bicarakan.

Namun sebelumnya, sebagai disclaimer, penyebutan dua produk ini sebagai ‘mushaf’ merujuk pada Keputusan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Agama Nomor 54 Tahun 2017. Menurut keputusan tersebut, mushaf Alquran diartikan sebagai lembaran atau media yang berisikan ayat-ayat Alquran lengkap 30 juz dan/atau bagian dari surah atau ayat-ayatnya.

Mushaf Juz ‘Amma

Mushaf ini bernama lengkap Juz ‘Amma Terjemah dan Transliterasi Latin. Mushaf ini diadakan Kementerian Agama melalui Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan dicetak oleh Unit Percetakan Al-Qur’an (UPQ).

Sebagaimana namanya, mushaf ini berisi surah-surah pada juz 30 yang lazim disebut sebagai Juz‘ ‘Amma. Dalam 69 halaman, mushaf ini juga dilengkapi dengan terjemahan dan transliterasi Arab-Latin. Selain itu, pada bagian yang dianggap penting juga dibubuhkan catatan pendek semacam tafsir menggunakan pola catatan kaki (footnote).

Mushaf ini disusun mengikuti pola tartib mushafiy (urutan surah dalam Alquran) yang terbalik. Artinya surah yang disebutkan pertama adalah surah An-Nas [114] dan diakhiri dengan surah An-Naba’ [78]. Pola semacam ini mengingatkan pada pola yang biasa digunakan dalam mushaf yang digunakan anak-anak pada tahap awal pembelajaran.

Baca juga: Mengenal Lebih Dekat Tafsir Juz ‘Amma Karya Kh. Masruhan Ihsan

Sementara metode sajiannya mengikuti sajian ayat per ayat, jika mengacu metode yang digunakan oleh aplikasi Qur’an Kemenag. Yakni metode sajian yang menempatkan ayat Alquran pada bagian kanan, terjemah pada bagian kiri, serta transliterasi Latin pada bagian bawah ayat. Metode sajian ini berbeda dengan metode halaman, sebagaimana digunakan Al-Qur’an dan Terjemahannya, yang menempatkan ayat secara utuh pada bagian tengah dan terjemahannya mengelilingi bagian tepi.

Selain isi pokok yang telah disebutkan, ditambahkan juga di dalam mushaf ini pedoman transliterasi, tanda tashih dari LPMQ, surah Al-Fatihah [1] yang ditempatkan sebelum surah An-Nas, dan asma’ al-husna pada bagian akhir mushaf.

Secara umum, gaya huruf (font style) dan model penulisan yang digunakan dalam penulisan ayat adalah sama dengan mushaf-mushaf Kementerian Agama saat ini, yakni Isep Misbah. Yang belum penulis dapatkan adalah terjemah dan catatan kaki yang diberikan, apakah sama dengan terjemah terakhir yang disusun Kementerian Agama pada waktu itu-tahun 2019-atau tidak.

Namun demikian, yang menjadi pertanyaan bagi penulis adalah pemberian transliterasi Latin pada mushaf tersebut. Sesuai dengan tujuan disusunnya mushaf tersebut, “sarana edukasi bagi anak-anak muslim untuk belajar mengaji dan menghafal surah-surah pendek,” dan asas transliterasi aksara yang merujuk pada bahasa asal, maka bukankah hal tersebut cukup menjadi problem?

Baca juga: Popularitas Mushaf Alquran Produksi Bombay di Indonesia

Diksi ‘anak-anak’ pada klausul tujuan sebelumnya, sebagaimana disebutkan dalam sambutan Menteri Agama, pada tataran praktiknya dapat saja digunakan oleh mereka yang bukan ‘anak-anak’ tapi memiliki latar belakang pendidikan Alquran seperti halnya ‘anak-anak’. Sehingga, diksi tersebut dalam masalah ini lebih tepat diartikan sebagai peserta didik dasar.

Kecakapan membaca transliterasi, dalam pandangan penulis, sangat dipengaruhi oleh kecakapan seseorang yang penguasaaan bahasa asalnya, yang dalam konteks ini adalah bahasa Arab. Jika hal tersebut tidak dipenuhi, maka terjadinya kesalahan pembacaan sangat mungkin terjadi. Dan dengan mengaitkan keragaman latar belakang pembaca mushaf Juz ‘Amma ini dalam tataran praktis, sangat mungkin kesalahan tersebut terjadi.

Namun terlepas dari kemungkinan problem yang timbul dari penyusunan mushaf Juz ‘Amma ini, apa yang dilakukan oleh Kementerian Agama sangat patut diapresiasi, terutama dalam penerbitan mushaf jenis Juz ‘Amma  yang terstandarisasi oleh Pemerintah. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Beberapa Amalan Sunah di bulan Syakban

0
Amalan Sunah bulan Sya'ban

Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki dalam kitabnya, Ma Dza fi Sya’ban menerangkan bahwa bulan Syakban merupakan bulan yang penuh kebaikan dan keberkahan. Pada bulan ini juga Allah membuka pintu rahmat seluas-luasnya dan ampunan selebar-lebarnya. Namun demikian, ternyata berbagai keutamaan yang terkandung dalam bulan ini tidak banyak dari umat Islam yang menyadarinya, bahkan cenderung lalai sebagaimana pernah disampaikan Nabi saw, “Bulan Sya’ban merupakan bulan yang biasa dilupakan orang, karena letaknya antara bulan Rajab dengan bulan Ramadan”. (H.R. Abu Dawud dan An-Nasa’i)

Berdasar hal tersebut, artikel ini mengulas beberapa amalan sunah pada menjelang akhir bulan Syakban dengan mengutip karya Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, Ma Dza fi Sya’ban yang juga banyak mengambil dalil dari Alquran dan hadis.

Baca Juga: Memasuki Bulan Rajab, Ini 5 Amalan yang Dianjurkan

Memperbanyak Salawat

Amalan pertama adalah memperbanyak bersalawat kepada kanjeng Nabi Muhammad saw. Kesunahan ini sebagaimana dijelaskan Sayyid Muhammad dalam Kitabnya, Ma Dza fi Sya’ban bahwa di bulan Sya’ban Allah menurunkan sebuah ayat yang menjadi dasar bahwa Allah beserta malaikatNya bersalawat kepada Rasulullah saw. Ayat itu berbunyi,

اِنَّ اللّٰهَ وَمَلٰۤىِٕكَتَهٗ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّۗ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya berselawat untuk Nabi.620) Wahai orang-orang yang beriman, bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya. (Q.S. Al-Ahzab [33]: 56)

Salawat dari Allah Swt. berarti memberi rahmat, dari malaikat berarti memohonkan ampunan, dan dari orang-orang mukmin berarti berdoa agar diberi rahmat, seperti dengan perkataan Allāhumma ṣalli ‘alā Muhammad. Dengan mengucapkan perkataan seperti Assalāmu ‘alaika ayyuhan-nabi yang artinya ‘semoga keselamatan terlimpah kepadamu, wahai Nabi’.

Di samping itu, Ibn Abi Shaif Al-Yamani, sebagaimana dikutip Sayyid Muhammad, pernah berkata, “Sesungguhnya bulan Sya’ban adalah bulannya kanjeng Nabi Muhammad saw sebagaimana ayat di atas tadi.

Tidak berhenti di situ, Sayyid Muhammad kembali mengutip keterangan lain dari Sulthanul Ulama, Syekh Izzuddin bin Abdissalam yang mengatakan bahwa bersalawat kepada Nabi Muhammad saw. sebagai bentuk cinta kepadanya dan juga sebagai balasan atas kebaikan Nabi kepada kita. (Sayyid Muhammad Alawi Al-Hasani, Madza fi Sya’ban, halaman 26-27)

Baca Juga: Tafsir Surah Attaubah Ayat 36: Kesunahan Puasa Rajab

Puasa Sunah

Amalan kedua yaitu memperbanyak puasa sunah. Anjuran ini bersumber dari sabda Nabi saw. yang dinukil oleh Sayyid Muhammad.

   ذاكَ شهر تغفل الناس فِيه عنه ، بين رجب ورمضان ، وهو شهر ترفع فيه الأعمال إلى رب العالمين، وأحب أن يرفع عملي وأنا صائم — حديث صحيح رواه أبو داود النسائي

Artinya: Bulan Sya’ban merupakan bulan yang biasa dilupakan orang, karena letaknya antara bulan Rajab dengan bulan Ramadan. Bulan Sya’ban adalah bulan diangkatnya amal-amal. Karenanya, aku menginginkan pada saat diangkatnya amalku, aku dalam keadaan sedang berpuasa. (HR Abu Dawud dan Nasa’i)

Senada dengan Sayyid Muhammad, Gus Baha (ulama Kenamaan Indonesia) memaparkan bahwa Rasulullah saw tidak pernah sesering berpuasa sunnah kecuali di bulan ini (Sya’ban). Dalam riwayat yang lain disebutkan, hadits riwayat Abu Bakar, misalnya, Nabi Muhammad SAW bersabda,

ينزل الله إلى السماء الدنيا ليلة النصف من شعبان فيغفر لكل شيء، إلا لرجل مشرك أو رجل في قلبه شحناء

Artinya, “(Rahmat) Allah SWT turun ke bumi pada malam nisfu Sya’ban. Dia akan mengampuni segala sesuatu kecuali dosa musyrik dan orang yang di dalam hatinya tersimpan kebencian (kemunafikan),” (HR Al-Baihaqi).

Membaca Dua Kalimat Syahadat

Amalan sunah yang ketiga adalah memperbanyak membaca dua kalimat syahadat. “Seyogyanya seorang muslim mengisi waktu yang penuh berkah dan keutamaan dengan memperbanyak membaca dua kalimat syahadat, La Ilaha Illallah Muhammad Rasululullah, khususnya bulan Sya’ban dan malam pertengahannya.” Demikian penjelasan Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki.

Membaca Alquran

Amalan sunah keempat adalah memperbanyak membaca Alquran. Sya’ban merupakan bulan Alquran, sebagaimana hadis yang dinukil oleh Sayyid Muhammad .

اقْرَؤُوا القُرْآنَ فإنَّه يَأْتي يَومَ القِيامَةِ شَفِيعًا لأَصْحابِهِ

“Bacalah Al-Qur’an, sesungguhnya ia akan datang di hari kiamat memberi syafaat kepada para sahabatnya (pembacanya, pengamalnya dan pengkaji ayat-ayatNya)” (H.R. Imam Muslim dalam Shahih Muslim).

Hadis ini diperkuat oleh hadis Nabi yang menyatakan bahwa kelak (di hari kiamat) Al-Qur’an akan datang memohon secara langsung kepada Tuhannya agar menganugerahkan kepada pembacanya sebuah mahkota kemuliaan. Kemuliaan ini tidak dapatkan oleh seseorang kecuali bagi yang gemar dan memperbanyak membaca Al-Qur’an. (H.R. Imam Turmudzi dalam Sunan Turmudzi).

Baca Juga: Keutamaan Istighfar di Waktu Sahur

Memperbanyak Istighfar

Kesediaan umat Islam mendawamkan istighfar menandakan bahwa dirinya bukanlah manusia yang suci yang bersih tanpa dosa dan khilaf. Akan tetapi, manusia yang baik adalah mereka yang segera memperbaiki kesalahannya (taubatan nasuha) dan tidak berlarut-larut dalam kemaksiatan. Karena itu, di bulan Sya’ban ini, para ulama menganjurkan umat Islam untuk memperbanyak istighfar terlebih di malam nisfu sya’ban (malam ke-15 di bulan sya’ban).

Sayyid Muhammad bin Alawi menuliskan,

الاستغفار من أعظم وأولى ما ينبغي على المسلم الحريص أن يشتغل به في الأزمنة الفاضلة التي منها: شعبان وليلة النصف، وهو من أسباب تيسير الرزق، ودلت على فضله نصوص الكتاب، وأحاديث سيد الأحباب صلى الله عليه وسلم، وفيه تكفير للذنوب وتفريج للكروب، وإذهاب للهموم ودفع للغموم

Artinya, “Istighfar merupakan amalan utama yang harus dibiasakan orang Islam, terutama pada waktu yang memiliki keutamaan, seperti Sya’ban dan malam pertengahannya. Istighfar dapat memudahkan rezeki, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an dan hadits. Pada bulan Sya’ban pula dosa diampuni, kesulitan dimudahkan, dan kesedihan dihilangkan”. (Sayyid Muhammad bin Alawi dalam Madza fi Sya’ban, hal. 57).

Demikianlah kelima amalan sunah pada bulan Sya’ban. Semoga kita mampu meraih keutamaan bulan Sya’ban dan mendapat syaafat baginda Nabi saw serta ridha Allah swt. Aamiin. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Alnisa’ [4]: 135; Prinsip Keadilan dalam Akuntansi

0
Prinsip Keadilan dalam Akuntansi
Man judge is currently advising clients on their requests for legal proceedings and legal advice.

Akuntansi adalah sistem informasi yang memberikan laporan kepada pengguna informasi akuntansi atau yang memiliki kepentingan terhadap hasil kinerja dan kondisi keuangan perusahaan. Dalam bahasa bisnis, akuntansi juga disebut sebagai informasi bisnis yang dikomunikasikan kepada stakeholders melalui laporan akuntansi. Alurnya berawal dari transaksi bisnis yang akan dianalisis, dicatat dan akhirnya dilaporkan lewat laporan akuntansi yang merupakan media komunikasi akuntansi. (Hery, Cara Mudah Memahami Akuntansi: Inti Sari Konsep Dasar Akuntansi, 7)

Syakir Jamaluddin dan Mukhlis Rahmanto menyebutkan bahwa akuntansi memiliki 3 prinsip di dalam Alquran, yaitu pertama, prinsip pertanggungjawaban, kedua, prinsip keadilan, dan ketiga, prinsip kebenaran (Tafsir Hadis Ahkam: Ekonomi dan Bisnis, 156). Dalam tulisan ini pembahasannya difokuskan pada prinsip keadilan. Salah satu ayat yang membahas mengenai prinsip tersebut adalah  surah Alnisa’ [4]: 135.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ ۚ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَىٰ بِهِمَا ۖ فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَىٰ أَنْ تَعْدِلُوا ۚ وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau pun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan“.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 133-135

Sabab Nuzul Ayat

Asbath meriwayatkan dari as-Suddiy bahwa ayat ini turun pada Nabi Saw. berkenaan dengan adanya orang kaya dan orang miskin yang adu mulut, lalu mengadukan kepada Nabi Saw. Sementara, kecenderungan Nabi Saw. pada si fakir, karena dalam pandangan Nabi Saw. tidak mungkin orang fakir menganiaya orang kaya. Namun, Allah enggan dengan sikap semacam ini, melainkan Nabi Saw. harus memberikan keputusan berdasarkan pada keadilan mengenai urusan si kaya dan si miskin. (Al-Wahidi An-Nisaburi, Asbabun Nuzul: Sebab-Sebab Turunnya Ayat-Ayat Alquran, Terj. Moh. Syamsi, 286)

Sebab Kekacauan Karena Tidak Ada Lagi Keadilan

Hamka menafsirkan kata qawwamina dalam ayat ini dengan makna berdiri tegak, sadar dan membela. Artinya, tidak mau tunduk kepada siapapun yang hendak meruntuhkan keadilan yang ditegakkan. Keadilan ini dipakai juga pada kata al-qisti yang berarti jalan tengah dan tidak berat sebelah. Dalam menjadi saksi karena Allah, artinya berani mengatakan kebenaran. Sebab, keadilan dan kebenaran adalah dua arti dari maksud yang satu. Sesuatu itu adil, sebab ia benar dan sebaliknya. Oleh karena itu, hendaklah berani menyatakan kesaksian atas keadilan itu karena Allah. Dengan pertanggungjawaban kepada Allah, sehingga tidak lagi takut ancaman sesama manusia yang berusaha memungkiri keadilan itu.

Lebih lanjut, beliau menafsirkan ketika seseorang berani menegakkan keadilan meskipun mengenai diri sendiri adalah segala puncak dari segala keberanian. Selain itu juga, diminta menegakkan keadilan mengenai ibu-bapak dan keluarga. Memang berat jika menegakkan keadilan itu akan merugikan mereka, tetapi perlu diingat bahwa yang ditegakkan adalah keridaan Allah. Sehingga, yang berat akan jadi ringan.

Menghormati dan membela mereka dalam kebenaran dan keadilan tidak lain bertujuan agar masyarakat tidak kacau balau. Dengan demikian, janganlah membantu dalam kezaliman serta merampas hak orang lain. Sebab adanya kekacauan karena tidak ada lagi keadilan, dan dampak dari bahayanya akan menimpa semua orang, tanpa terkecuali yang berbuat zalim itu sendiri. (Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2, 1466-1467)

M. Quraish Shihab mengutip Fakhruddin Ar-Razi menjelaskan bahwa penegakan keadilan serta kesaksian dapat menjadi dasar menampik mudarat yang dijatuhkan. Maka, wajar jika keadilan lebih diutamakan daripada menolak mudarat atas orang lain. Atau, karena penegakan keadilan membutuhkan kegiatan berbentuk fisik, sedangkan kesaksian hanya berupa ucapan yang disampaikan. Sehingga, tentu saja kegiatan fisik lebih berarti daripada sekadar ucapan. (Tafsir Al-Misbah, Jilid 2, 617)

Baca Juga: Islam Menyerukan Keadilan Sosial, Begini Penjelasan Para Mufassir

Keadilan Tetap Sama Dihadapan Si Kaya dan Si Miskin

Adapun keadilan dihadapan orang kaya maupun miskin adalah sama. Jadi, jangan sampai menegakkan keadilan karena terpengaruh kekayaanya ataupun kemiskinannya. Sebab, kesaksian adalah untuk Allah, bukan manusia. Keadilan adalah mizan illahi di muka bumi. Untuk membela yang lemah, jangan ada kesewenangan oleh yang kuat dan untuk mempertahankan yang jujur, jangan dicurangi oleh si pendusta. Dengan keadilanlah masyarakat diatur jadi baik. Jangan sampai hawa nafsu memalingkanmu dari kebenaran, sehingga keadilan tidak jadi ditegakkan.

Andaikata dalam pencarian kebenaran dan penegakan keadilan melibatkan hawa nafsu, dipastikan akan menambah kacau keadaan, sehingga pemeriksaan dan penyelidikan menjadi lama dan susah. Kebenaran akan tetap ada meskipun kecurangan menutupinya. Karena hakikat kecurangan itu tidak ada. Sehingga, berpaling dari keadilan karena dorongan hawa nafsu justru hanya mempersulit diri sendiri. (Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2, 1467-1468)

Menyebarkan Rahmat Butuh Keadilan

Dalam perkembangannya, akuntansi dipengaruhi banyak faktor, salah satunya adalah bentuk organisasi. Iwan menjelaskan bahwa organisasi tidak lain adalah amanah. Amanah menyebarkan rahmat (kebaikan, kesejahteraan, kemudahan) bagi seluruh alam (manusia dan makhluk lainnya). Tidak saja memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan manusia (stakeholders), tetapi juga terhadap kesejahteraan (kelestarian) alam. Meskipun begitu, manusia dalam merefleksikan misinya bukan tanpa aturan, karena penerima amanah terikat pada aturan yang dikehendaki pemberi amanah (Surah Shad [38]: 26).

Allah menghendaki organisasi yang dikelola manusia harus dilakukan dengan cara-cara yang adil. Dalam hal ini, adil sebagai penerima amanat (manusia) dapat menggunakan potensi internal yang dimilikinya secara baik dan seimbang. Potensi itu adalah akal dan hati nurani. Dengan kedua potensi ini, diharapkan manusia mampu membaca kehendak Allah, baik yang dinyatakan secara verbal maupun non-verbal. (Iwan Triyowono, Akuntansi Syari’ah: Implementasi Nilai Keadilan dalam Format Metafora Amanah,12)

Lantip Susilowati menjelaskan dalam konteks akuntansi, keadilan itu bersifat fundamental dan berpijak pada nilai-nilai etika atau syariah dan moral. Sederhananya, adil dalam akuntansi adalah pencatatan dengan benar setiap transaksi yang dilakukan oleh perusahaan. Seperti yang dijelaskan dalam Alquran surah Alsyu’ara [26]: 181-184. “Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan, (181) dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. (182) Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan; (183) dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu. (184)“. (Lantip Susilowati, Tanggungjawab, Keadilan dan Kebenaran Akuntansi Syariah, 304-305).

Baca Juga: Semangat Filantropi dalam Al-Quran dan Keadilan Ekonomi

Kesimpulan

Dari pemaparan singkat di atas, dapat dipahami bahwa prinsip keadilan dalam akuntansi adalah penting. Prinsip-prinsip tersebut tidak lain adalah bahwa kekacauan akan datang manakala tidak ada lagi keadilan, karena sesuatu itu dikatakan adil apabila benar atau sebaliknya. Prinsip lainnya adalah antara si kaya dan si miskin itu sama dihadapan keadilan. Dengan begitu, kebenaran akan tetap ada meskipun kecurangan menutupinya. Prinsip terakhir yaitu, butuh keadilan dalam menyebarkan rahmat, karena tidak hanya kesejahteraan manusia (stakeholders), tetapi juga kesejahteraan (kelestarian) alam.

Wallahu a’lam bishshawab.

Prinsip Komunikasi dalam Islam (Bag. 2): Metode Penyampaian

0
Prinsip Komunikasi dalam Islam (Bag. 2): Metode Penyampaian
Prinsip Komunikasi dalam Islam (Bag. 2)

Dalam tulisan sebelumnya, telah dibahas mengenai apa saja yang seharusnya menjadi isi pembicaraan dalam setiap komunikasi yang dilakukan dengan orang lain. Pada intinya, Alquran mengajarkan agar perkataan dan ucapan harus sesuai kenyataan; dan yang terpenting dari kegiatan komunikasi adalah memberikan kemanfaatan, atau minimal tidak merugikan pihak lain.

Selain konten pembicaraan harus baik, Alquran juga mengajarkan agar metode penyampaian informasi juga harus tepat. Berikut penjelasannya.

Metode Penyampaian

Selain konten yang disampaiakan mengandung kebenaran, hal yang menunjang keberhasilan dalam komunikasi adalah metode penyampaian yang tepat. Hal ini penting mengingat lawan bicara akan acuh terhadap apa yang ingin disampaikan-bagaimanapun pentingnya-manakala disampaikan dengan cara yang tidak tepat. Oleh karenanya, dalam berkomunikasi dengan orang lain, perlu dipahami situasi dan kondisi lawan bicara. Ali bin Abi Thalib r.a. pernah berkata:

أمرت أن أخاطب الناس على قدرعقولهم

Aku diperintah untuk berbicara dengan manusia sesua kadar pengetahuan mereka (H.R. Al-Dailamiy).

Baca juga: Prinsip Komunikasi dalam Islam (Bag. 1)

Salah satu tujuan komunikasi adalah untuk mengubah sikap, pendapat, dan tindakan orang lain. Dalam hal ini, Alquran mengajarkan bagaimana seharusnya menyampaikan gagasan dan pandangan agar orang lain bisa menerima apa yang disampaikan untuk selanjutnya dapat mengubah sikap dan pola pikir audiens. Salah satu ayat Alquran yang memberikan petunjuk tentang hal tersebut dalah Q.S. An-Nisa [4]: 63:

أُولَئِكَ الَّذِينَ يَعْلَمُ اللَّهُ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُلْ لَهُمْ فِي أَنْفُسِهِمْ قَوْلًا بَلِيغًا

Mereka itu adalah orang-orang yang (sesungguhnya) Allah mengetahui apa yang ada di dalam hatinya. Karena itu, berpalinglah kamu dari mereka, berilah mereka nasihat, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang membekas pada jiwanya. (Q.S. An-Nisa [4]: 63.

Ayat di atas menjelaskan bagaimana seharusnya sikap dan metode yang harus dilakukan Nabi dalam mendakwahkan ajaran Islam kepada orang-orang munafik. Setidaknya ada tiga cara yang disebutkan dalam ayat tersebut, yaitu berpaling dari mereka, memberi nasihat, dan menyampaikan hal-hal yang dapat menghujam hati mereka supaya mereka dapat kembali ke dalam ketaatan [Tafsir al-Wasith, juz 3, hlm. 199].

Penyampaian gagasan dalam berkomunikasi harus dilakukan dengan bahasa yang baik dan benar. Tujuannya agar apa yang ingin disampaikan dapat ditangkap secara sempurna oleh si pendengar tanpa ada distorsi makna. Selain itu, diperlukan keahlian untuk menyusun diksi kata sedemikian rupa disertai dengan mimik dan ekspresi pendukung agar apa yang disampaikan “ngena” ke hati pendengar. Inilah yang disebut dengan qawlan baligha.

Baca juga: Ajaran Alquran tentang Etika Komunikasi

Dalam kajian ilmu-ilmu keislaman, ilmu balaghah dikenal sebagai alat yang serumpun dengan nahu, saraf, manthiq (logika), dan lain-lain. Ilmu balaghah diartikan sebagai suatu disiplin ilmu yang membahas mengenai tata cara menyampaikan gagaan dengan bahasan yang jelas nan indah sehingga punya pengaruh kuat dalam lubuk hati pendengar [Jawahir al-Balaghah, hlm. 40].

Istilah qawlan baligha dalam Q.S. Al-Nisa’ di atas mengisyaratkan pentingnya memilih dan mengolah diksi kata ketika berkomunikasi dengan orang lain. Lebih-lebih bagi seorang pendakwah, orator, atau pembicara di atas podium lainnya, keterampilan seperti ini harus dimiliki agar gagasan yang ingin disampaikan tersalurkan sepenuhnya kepada pendengar. Sehingga pada akhirnya, lawan bicara akan terpengaruh dan pada tahap selanjutnya mampu mengubah sikap tindakan dan pola pikir mereka sesuai dengan yang diharapkan [Tafsir al-Washit, juz 3, hlm. 199].

Terkait hal ini, dalam ayat lain dianjurkan agar bagaimana seharusnya sebuah gagasan tersebut disampaikan, terutama kepada lawan bicara yang kurang menerima ide atau gagasan pembicara. dalam Q.S. Taha ayat 44, Allah Swt. berfirman:

فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى

Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut. Mudah-mudahan dia sadar atau takut (Q.S. Taha [20]: 44).

Baca juga: Meniru Cara Dakwah Santun Nabi Ibrahim

Dengan ayat di atas Allah swt mengajarkan Nabi Musa a.s. dan Nabi Harun a.s. (secara umum mencakup juga kepada seluruh umat muslim) agar menggunakan bahasa dan tata cara yang santun dalam menyampaikan gagasan.

Metode seperti ini penting diterapkan terutama ketika lawan bicara adalah orang-orang “keras kepala”. Sebab, jika berkomunikasi dengan mereka dengan cara kasar, memaksa, dan otoriter, maka mereka tentu akan menolak apa yang disampaikan. Dengan metode penyampaian yang lemah lembut, komunikatif, tetapi tegas, diharapkan mereka akan luluh dan menerima gagasan yang disampaikan [Tafsir al-Munir, juz 16, hlm. 215].

Kesimpulan

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Alquran mengandung banyak pelajaran terkait prinsip dan metode komunikasi yang baik dan benar. Sebenarnya, ada banyak ayat-ayat Alquran-baik secara implisit maupun eksplisit-yang mengajarkan tentang metode komunikasi yang baik dan benar. Namun, yang dapat penulis elaborasi hanya sebagian kecil saja.

Secara umum, prinsip yang dapat penulis rumuskan adalah terkait konten yang disampaikan baik dan sesuai dengan kebenaran. Kemudian metode penyampaian juga harus benar, tepat sasaran, dan diusahakan agar mempunyai pengaruh signifikan dalam diri lawan bicara.

Popularitas Mushaf Alquran Produksi Bombay di Indonesia

0
Popularitas mushaf Bombay di Indonesia
Popularitas mushaf Bombay di Indonesia

Sekira tahun 1974 hingga 1983, ulama yang tergabung dalam Lajnah Pentashih Alquran disibukkan dengan pembakuan jenis kitab suci Alquran mana yang akan dijadikan sebagai acuan resmi. Dalam rentang tahun tersebut, mereka berembug sebanyak sembilan kali. Rembug berat, melelahkan, sekaligus terbilang penting.

Hal ini mengingat Islam di negeri ini pada masa silam, kerap ditemukan bertaut sanad dan kerabat dengan muslim dari belahan dunia lain. Maka secara tidak langsung, tukar pengetahuan khususnya kitab suci Alquran baik secara fisik, cara bacanya, sampai pada tafsirnya saling mempengaruhi.

Rembug itu menghasilkan produk ketetapan yang dilegalkan oleh Keputusan Menteri Agama nomor 25 Tahun 1984. Adapun isinya: “Alquran standar Usmani, Bahriah, dan Braille hasil penelitian dan pembahasan Musyawarah Ulama Alquran I s.d. IX dijadikan Mushaf Standar Indonesia.” Definisi ‘standar’ sendiri digunakan berdasarkan indikasi pada cara penulisan, tanda baca, harakat, dan tanda waqafnya.

Baca juga: Upaya Penyusunan Kembali Mushaf Kuno Madinah

Ketetapan tersebut jika dilacak dalam kerangka historis, sebenarnya hanya mengakomodasi penggunaan mushaf yang digunakan oleh umat Islam di negeri ini selama berabad-abad silam. Misalnya saja, mushaf Usmani yang sudah digunakan sekira sebelum abad-19 atau jauh sebelum itu. Kemudian mushaf Bahriah yang dipakai untuk mereka para penghafal Alquran. Terakhir, mushaf Braille menjadi mushaf yang kerap dibaca oleh masyarakat muslim dengan berkebutuhan khusus atau difabel.

Dari ketiga standar mushaf Alquran ini, mushaf Usmani produksi cetak Bombay, India merupakan mushaf yang paling kerap digunakan oleh umat Islam di Indonesia. Kenapa demikian? Padahal dalam lacakan sejarah, ada mushaf produksi cetak Turki dan Mesir dengan dugaan tahun kemunculan serupa yang sama-sama digunakan, dibaca, dan ditelaah.

Mustopa, dkk., dalam artikelnya Jejak Mushaf Alquran Bombay di Indonesia (2019) menemukan sejumlah alasan ihwal dominasi penggunaan mushaf Alquran produksi cetak Bombay, India.

Pertama, mushaf Alquran produksi cetak Bombay, India memiliki ciri huruf yang tebal disertai tanda waqaf yang banyak. Hal ini memudahkan umat Islam di Indonesia pada masa lalu untuk membacanya, sekalipun awam yang belum paham pada arti harafiah, makna kedalaman, serta maksud dari ayat-ayat di kitab suci. Dibandingkan dengan misalnya, mushaf Mesir dan Turki yang ditulis dengan indah, tipis, tanda waqaf lebih sedikit, dan setiap halaman di akhiri dengan penghabisan ayat (dikenal dengan ‘ayat pojok’).

Baca juga: Ragam Sumber Penyalinan Mushaf Alquran

Alasan selanjutnya, pada paruh kedua abad ke-19, wilayah Bombay menjadi pusat industri percetakan yang terbilang telah maju. Bahkan Sahib al-‘Alam Qamar az-Zaman dalam kitabnya Tarikh Taba’ah al-Mushaf asy-Syarif fil-Hindi berpendapat bahwa, industri cetak dalam dunia muslim pertama kali muncul di India. Maka tidak mengherankan bila di masa-masa tersebut, ada banyak umat Islam negeri ini yang bekerja dan atau belajar produksi cetak di India, salah satunya Muhammad Azhari dari Palembang.

Terakhir, popularitas mushaf Alquran cetakan Bombay, India ini juga tidak terlepas dari peran pedagang India. Bagi pedagang, mushaf tersebut adalah barang komoditas yang bisa meraup banyak keuntungan. Sedangkan bagi muslim di negeri ini pada masa silam, mushaf itu menjadi kebutuhan mendasar dalam beragama yang mesti ada dan dimiliki. Akhirnya, terjadi transaksi yang memungkinkan antara pedagang mushaf dengan umat Islam sebagai pembeli.

Baca juga: Menanti Riset Manuskrip Al-Qur’an Nusantara Koleksi Prancis

Ketiga alasan ini semakin menguatkan bahwa ajaran Islam di negeri ini datang dan atau dipengarui dari tanah India. Kendati demikian, sanad keilmuan termasuk Alquran maupun yang lainnya tetap bertumpu pada kota Mekah dan Madinah. Kota yang menjadi embrio kemunculannya sekaligus masih populer sebagai tempat ziarah pengetahuan-keilmuan serta peribadatan.

Prinsip Komunikasi dalam Islam (Bag. 1)

0
Prinsip Komunikasi dalam Islam (Bag. 1)
Prinsip Komunikasi dalam Islam.

Sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu berinteraksi dan menjalin komunikasi dengan sesama. Dikutip oleh Jalaludin Rahmat, Watzlawcik, Beavin, dan Jackson mengatakan, “We cannot not communicate”; kita tidak dapat menghindari komunikasi [Islam Alternatif, hlm. 76].

Dengan komunikasi, manusia mengekspresikan dirinya, mengungkapkan isi hatinya, dan membentuk jaringan sosial. Banyak ahli yang menyatakan bahwa kegagalan komunikasi akan berdampak buruk, baik secara individu maupun sosial. Secara individu, kegagalan komunikasi akan menimbulkan frustasi, demoralisasi, dan penyakit-penyakit kejiwaan lainnya. Sedangkan secara sosial, dampak yang ditimbulkkan akibat kegagalan komunikasi adalah intoleransi, menghambat kerja sama dan pengertian antarsesama, serta akan terisolasi dari pergaulan sosial.

Baca juga: Ajaran Alquran tentang Etika Komunikasi

Komunikasi dianggap baik dan sukses tentunya jika tujuan dari komunikasi berupa menyampaikan isi hati dan sarana mengekspresikan diri telah terwujud. Dalam Islam, Nabi saw. mendorong umat Islam untuk hemat bicara atau bicara seperlunya. Beliau bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam. [H.R. Bukhari].

Alquran sebagai kitab pedoman umat manusia sebenarnya telah memberikan beberapa aturan dan prinsip komunikasi yang baik dan benar. Di antaranya penulis dapat merumuskanya menjadi dua bagian, yaitu konten pembicaraan dan cara penyampaian.

Konten Pembicaraan

Ketika berkomunikasi dengan orang lain, upayakan untuk membicarakan perkara-perkara yang baik dan mengandung manfaat. Islam mengajarkan umat Islam menghindari pembicaraan yang tak berfaedah, apalagi membahas hal-hal yang mengandung dosa.

Selain itu, konten informasi yang disampaikan kepada orang lain haruslah berupa kebenaran. Hindari menyampaikan berita-berita yang masih belum jelas kebenarannya, apalagi menyebarkan berita hoaks. Allah Swt. berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيداً

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kalian berkata dengan perkataan yang benar

Baca juga: Tafsir Surah Ibrahim Ayat 4: Semiotika Komunikasi Umberto Eco dan Pesan Kepada Para Mufasir

Menurut Imam al-Maraghi, yang dimaksud dengan  قَوْلًا سَدِيداً  adalah ungkapan-ungkapan kejujuran yang dimaksudkan untuk mmperoleh kebaikan. Menurut beliau, ayat ini berisi petuah agar segala tindakan dan perbuatan harus berorientasi baik, sehingga pada akhirnya akan didapatkan keberuntungan di dunia dan di akhirat [Tafsir al-Maraghi, juz 22, hlm. 44].

Lebih jauh lagi, Imam al-Razi sebenarnya telah menginventarisasi ayat-ayat Alquran apa saja yang patut disampaikan dalam berkomunikasi. Dalam kitab tafsirnya, Imam al-Razi menulis

وَأَمَّا وَظِيفَةُ اللِّسَانِ الَّتِي هِيَ القول، فكما في قوله تَعَالَى: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيداً [الْأَحْزَابِ: 70] وَفِي قَوْلِهِ تَعَالَى: وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا [فُصِّلَتْ: 33] وَقَوْلِهِ تَعَالَى: بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ [إِبْرَاهِيمَ: 27] وَأَلْزَمَهُمْ كَلِمَةَ التَّقْوى [الفتح: 26] وإِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ [فَاطِرٍ: 10] إِلَى غَيْرِ هَذِهِ مِمَّا فِي غَيْرِ هَذِهِ السُّورَةِ

Adapun tugas lisan adalah sebagaimana dalam firman Allah Swt.: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan berucaplah dengan ucapan yang jujur…”[Q.S. Al-Ahzab ayat 70], “Barang siapa yang memperbaiki ucapannya…” [Q.S. Fushilat ayat 33], “..dengan perkataan yang kokoh..” [Q.S. Ibrahim ayat 27], “Kami wajibkan kepada mereka kalimat takwa…” [Q.S. Al-Fath ayat 26], “dan kepadanya naik ucapan-ucapann yang baik…” [Q.S. Fathir ayat 10], dan lain sebagainya. [Tafsir Mafatih al-Ghaib, juz 26, hlm. 312].

Baca juga: Meniru Cara Dakwah Santun Nabi Ibrahim

Menurut Alfred Korzybski, peletak dasar teori general semantics, penyakit jiwa–baik individual maupun sosial-muncul sebagai akibat dari penggunaan bahasa yang tidak benar. Jadi, tingkat kewarasan seseorang dapat diukur dengan sejauh mana ia sering menggunakan kata-kata yang tidak benar atau memanipulasi kebenaran [Islam Alternatif, hlm 78].

Oleh karenanya, Islam melarang keras umatnya dari ucapan-ucapan dusta. Selain berdampak buruk kepada kehidupan individu dan sosial, pelakunya juga akan mendapat balasan nanti di akhirat. hal ini sebagaimana sabda Nabi saw.

إِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ ، فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِيْ إِلَى الْفُجُوْرِ ، وَإِنَّ الْفُجُوْرَ يَهْدِيْ إِلَى النَّارِ ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا

Jauhilah oleh kalian berbuat dusta, karena dusta membawa seseorang kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan seseorang ke neraka. Jika seseorang senantiasa berdusta dan memelihara kedustaan maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai pendusta (pembohong) (H.R. Bukari, Muslim, Tirmidzi, dan Ahmad ibn Hanbal).

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa prinsip komunikasi yang baik dalam Islam haruslah berorientasi kemaslahatan, baik maslahat di dunia maupun di akhirat. Seorang muslim yang baik tidak akan bicara banyak kecuali jika dirasa penting. Maka, benarlah pepatah yaang mengatakan “Apabila bicara itu perak, maka diam adalah emas”.

Apakah Dosa Syirik Diampuni Oleh Allah Swt?

0
A realistic Arabian interior miniature with window and columns. Silhouette of muslim praying on carpet near window. Festive greeting card, invitation for Muslim holy month Ramadan Kareem. Selective focus

Dalam beberapa keterangan disebutkan, bahwa syirik merupakan salah satu perbuatan dosa besar dan Allah Swt tidak akan mengampuninya. Akan tetapi, di banyak ayat Allah Swt. menjelaskan  bahwa Dia merupakan Dzat yang maha pengasih, pemurah, lagi pengampun . Dari sini kemudian muncul sebuah pertanyaan, apakah dosa syirik diampuni oleh Allah Swt?

Mengenai syirik merupakan perbuatan dosa besar, bisa disimak pada penggalan surat Alnisa’ [4]: 48 berikut ini:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”

Ada dua pesan utama yang disampaikan ayat di atas, yaitu  (1) Syirik merupakan dosa besar dan Allah Swt. tidak akan mengampuninya. (2) Pintu ampunan masih terbuka lebar bagi dosa-dosa yang levelnya di bawah dosa syirik. Dan, dalam penjelasan kitab al-Tafsir al-Wasid, kata syirik pada ayat di atas maksudnya adalah segala bentuk tindakan yang mencederai keesaan Allah, baik tidak mengimani keluhuran Allah serta mengultuskan tuhan yang lain selain diri-Nya, seperti para penyembah berhala maupun menyekutukan-Nya sembari mengimani-Nya seperti kaum Nasrani yang memercayai Allah sebagai tuhan, sebagai Nabi Isa, dan juga sebagai anak-Nya. (al-Tafsir al-Wasith, Jilid 2, 826)

Baca Juga: 3 Dosa Besar Yang Wajib Dihindari Jika Ingin Menjadi Mukmin Sejati

Muhammad bin Jarir ath-Thabari mengutip perkataannya Abu Ja’far di dalam kitabnya yang berjudul Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an, mengatakan bahwa ayat di atas dialamatkan kepada Tum’ah bin Ubairiq yang dosanya tidak diampuni oleh Allah Swt., karena ia telah meninggal dalam keadaan musyrik. Ulama yang akrab dipanggil dengan ath-Thabari tersebut menambahkan bahwa ancaman yang terdapat pada ayat itu sifatnya umum, tidak hanya berlaku kepada Tum’ah. Jadi siapa pun yang meninggal dalam kondisi syirik, dosa-osanya tidak diampuni oleh Allah Swt. (Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an, Jilid 9, 206)

Ibn Abi Hatim (nama aslinya Abu Muhammad Abdurrahman) menambahkan bahwa kandungan surah Alnisa’ [4]: 48 mirip dengan salah satu sabda Nabi Saw. berikut ini:

مِنْ نَفْسٍ تَمُوتُ لَا تُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا إِلَّا حَلَّتْ لَهَا الْمَغْفِرَةُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ عَذَّبَهَا، وَإِنْ شَاءَ اللَّهُ غَفَرَ لَهَا

Setiap jiwa yang meninggal memiliki potensi mendapat ampunan dari Allah Swt, adakalanya Allah menyiksanya dan ada kalanya dosanya diampuni oleh Allah, kecuali dosa menyukutukan-Nya. (Tafsir ibn Abi Hatim, Jilid 3, 971)

Menurut Syekh al-Naysabury, surah Alnisa’ [4]: 48 memberikan dua kontribusi di bidang akidah, yaitu kelak di akhirat seorang muslim tidak akan kekal di neraka, sebaliknya, seorang musyrik selamanya akan kekal di neraka. Selain itu, ayat tersebut merupakan janji ampunan dari Allah kepada semua dosa selain syirik. Pernyataan ini membantah pemahaman yang dikemukakan oleh kalangan al-Qadariyyah yang berpendapat, para pelaku dosa besar selamanya akan tinggal di dalam neraka. (Tafsir al-Wasith lil Wahidy, Jilid 2, 6)

Jadi, dari beberapa penjelasan ulama di atas, bisa diketahui bahwa (1) Syirik merupakan dosa besar (2) Apabila seseorang meninggal dalam keadaan syirik, dosanya tidak akan diampuni oleh Allah Swt. konsekuensinya, ia akan tinggal di neraka selamanya. Dari sini masih menyisakan pertanyaan, bagaimana kalau musyrik, lalu bertaubat sebelum ajal menjemputnya? Apakah taubatnya diterima?

Baca Juga: Fadhilah Taubat dalam Al-Quran: Menghapus Dosa dan Membuka Pintu Rezeki

Menurut Abdullah bin Ahmad, dosa syirik yang tidak diampuni adalah syirik yang diiringi dengan kematian.  Dengan kata lain, manakala pelaku syirik menyesali perbuatannya dan mau bertaubat, dosa-dosanya tetap akan dimaafkan.

Syekh Sam’any ketika menyebutkan perbedaan pendapat ulama mengenai kategori dosa-dosa yang diampuni, mengatakan bahwa sebagian ulama berpendapat, di beberapa ayat lainnya, Allah Swt. telah memerintahkan kaum musyrik untuk bertaubat (Alanfal [8]: 38) dan Allah Swt. memerintahkan pula kepada Nasrani-Yahudi untuk menyesali perbuatannya (Albaqarah [2]: 160). Hal ini mengindikasikan, semua kesalahan manusia memiliki peluang dimaafkan, selama mereka menyesali dan bertekad tidak akan mengulang perbuatannya. (Tafsir al-Sam’any, Jilid 3, 524, dan Tafsir al-Nasafy].

Baca Juga: Inilah 4 Doa Taubat Para Nabi dalam Al-Quran

Dari penjelasan  di atas dapat disimpulkan, bahwa dari kedua ayat tersebut, yakni antara surah Alnisa’ [4]: 48 tentang Allah Swt. tidak akan mengampuni dosa syirik dengan ayat-ayat yang menjelaskan tentang sifat rahmat-Nya, sama sekali tidak bertentangan. Keduanya berlaku sesuai dengan konteksnya masing-masing. Jadi, Allah Maha Pengasih dan Maha Pengampun kepada hambanya yang mau menyesali kesalahannya. Sebaliknya, ampunan Allah tidak berlaku bagi mereka yang angkuh dan tidak mau bertaubat.

Wallahu a’lam.

Perbedaan Riwayat dalam Sabab Nuzul Ayat Sedekah (Bagian 2)

0
Perbedaan qiraat dalam sabab nuzul ayat sedekah
Perbedaan qiraat dalam sabab nuzul ayat sedekah

Manna‘ Khalil dalam Mabahits-nya menjelaskan bahwa pijakan utama para ulama dalam menentukan sabab al-nuzul adalah riwayat sahih yang disandarkan kepada Nabi saw. Di sini, riwayat yang dimaksud merupakan marfu‘ yang lantas mengecualikan mauquf (Sahabat) dan maqthu‘ (Tabi‘in). Itulah mengapa riwayat sahabat dalam konteks ini memiliki kekuatan marfu‘ (fi hukm al-marfu‘).

Penjelasan Khalil ini diperkuat dengan ulasan al-Suyuthiy dalam al-Itqan yang menukil dari al-Wahidiy, salah satu ulama pemerhati sabab al-nuzul, “Tidak diperkenankan melakukan klaim asbab al-nuzul kecuali berdasar pada riwayat dan sima‘ dari mereka yang menyaksikan langsung peristiwa tanzil atau turunnya ayat.”

Berdasar pada kaidah ini, riwayat ‘Abdullah bin ‘Umar dalam kitab al-‘Ushfuriyyah, sebagaimana telah dijelaskan pada tulisan yang lalu (baca: Perbedaan Riwayat dalam Sabab Nuzul Ayat Bersedekah (Bagian 1)) agaknya cukup problematik. Pasalnya jika dilihat dari aspek sanad, riwayat tersebut masuk dalam kategori mu‘allaq. Hal ini dikarenakan adanya keterputusan sanad yang langsung menyebut ruwiy ‘an ‘Abdillah bin ‘Umar.

Baca juga: Tujuh Kitab Populer untuk Referensi Asbabunnuzul

Selain itu, dalam pencarian sederhana melalui Jami‘ al-Kutub al-Tis‘ah dan al-Mausu‘ah al-Haditsiyyah, penulis belum mendapati riwayat tersebut disebutkan dalam beberapa kitab hadis induk seperti kutub al-tis‘ah. Namun demikian, penulis mendapati alternatif lain yang mungkin dapat dijadikan frame penjelasan atas riwayat yang diberikan Syekh Muhammad al-‘Ushfuriy dalam kitabnya tersebut.

Adalah Robert Redfield dalam bukunya Peasant Society dan Culture yang melakukan klasifikasi agama menjadi tradisi besar (great tradition) dan tradisi kecil (little tradition). Sebagaimana dijelaskan Saifuddin Zuhri Qudsy, Tradisi besar merupakan bentuk ortodoksi dari ekspresi agama di pusat kebudayaan. Sedangkan tradisi kecil merupakan kebalikannya, heterodoksi dari agama periferal atau pinggiran.

Dalam kajian Alquran atau hadis di Indonesia, keberadaan dua tradisi ini sering kali digunakan peranti analisis kajian sosiologi dan antropologi agama atau biasa disebut living (Quran dan hadis). Namun aplikasinya dalam riwayat ‘Ushfuriyyah agaknya juga cukup relevan. Dalam arti bahwa penyebutan riwayat ‘Abdullah bin ‘Umar tersebut dalam ‘Ushfuriyaah boleh jadi merupakan bagian dari tradisi periferal sehingga berbeda dengan mainstream kajian Alquran ortodok.

Baca juga: Kaidah ‘an-Nadhar asy-Syumuli’ (Pandangan Holistik) dalam Memahami Alquran

Secara umum, perbedaan tersebut, meminjam istilah ilmu hadis, dapat dikelompokkan ke dalam dua aspek, riwayah dan dirayah. Aspek riwayah terletak pada isi riwayat yang berbeda dari mainstream baik dari urutan turunnya ayat maupun peristiwa yang menjadi sebab turunnya. Sedangkan aspek dirayah terletak pada ‘kekuatan’ (sahih) riwayatnya.

Perbedaan sudut pandang yang digunakan ini agaknya dipengaruhi dengan tradisi yang diikuti Syekh Muhammad dalam kitabnya. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa ‘Ushfuriyyah merupakan kitab yang berisi petuah-petuah (al-mawa‘idz). Kitab dengan teks semacam ini umumnya terafiliasi dengan tradisi tasawuf.

Ahmad Tajuddin, dalam tulisannya berjudul Interaksi Kaum Sufi dengan Ahli Hadis: Melacak Akar Persinggungan Tasawuf dan Hadis, menjelaskan bahwa kaum sufi, yang dalam tulisan ini dimaksudkan sebagai tradisi tasawuf, memiliki setidaknya dua perbedaan dalam masalah periwayatan hadis. Perbedaan yang dikehendaki merupakan perbedaan yang ‘melawan’ kelompok mainstream ortodok yang dalam konteks periwayatan hadis adalah ahli hadis atau muhaddits itu sendiri.

Dua perbedaan yang dimaksud sebelumnya adalah, pertama, kaum sufi lebih memfokuskan diri pada aspek materi atau matan dari hadis, dan tidak terlalu memperhatikan jaringan sanad. Kedua, kaum sufi memiliki kriteria dan corak tersendiri dalam mengukur kualitas dan validitas sebuah riwayat hadis. Perbedaan ini lah yang kemudian berimplikasi pada pertentangan yang ‘sangat keras’ di antara keduanya.

Baca juga: Fenomena Zakat Profesi dan Nasihat Berinfak Q.S. Albaqarah: 43

Dalam frame tradisi besar dan tradisi kecil milik Redfield sebelumnya, kaum sufi merupakan representasi dari tradisi kecil-periferal atau heterodoksi agama. Sementara ahli hadis merupakan representasi tradisi besar-mainstream atau ortodoksi agama. Maka, berdasar pada ulasan teoritis yang telah diberikan sebelumnya, agaknya diketahui bahwa riwayat yang diberikan oleh Syekh Muhammad al-‘Ushfuriy dalam konteks pembicaraan sabab al-nuzul mengikuti tradisi periferal ala kaum sufi sehingga memiliki perbedaan fokus, corak dan kriteria tersendiri.

Namun yang menjadi masalah adalah bolehkah menggunakan tradisi tasawuf -dengan perbedaan manhaj yang dimiliki- sebagai dasar pijakan sabab al-nuzul? Pertanyaan ini yang belum penulis dapatkan jawabannya. Terlepas dari itu, melihat isi matan yang diberikan agaknya dapat memberikan perspektif lain berkaitan dengan urutan dan sabab al-nuzul ayat sedekah sebagaimana telah disebutkan lalu. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Terjemahan Tafsir Jalalain Berbahasa Madura

0
terjemahan tafsir jalalain bahasa madura
terjemahan tafsir jalalain bahasa madura. Sumber: jurnal Suhuf

Barangkali Tafsir Jalalain menjadi salah satu tafsir terhadap ayat-ayat Alquran yang memperoleh apresiasi positif dan besar di kalangan umat Islam nusantara. Dalam buku Perkembangan Tafsir al-Quran di Indonesia (2003) yang ditulis Nashruddin Baidan, Tafsir Jalalain mulai dikenal oleh kalangan muslim nusantara sekira pada abad ke-16.

Di abad itu mungkin hanya segelintir muslim terpelajar yang mampu mengakses -membaca dan memahami- kitab tafsir tersebut, tetapi fakta yang ditemukan di lapangan, seperti riset yang ditunaikan Martin van Bruinessen menunjukkan antusiasme pada kitab ini sudah relatif marak di era dewasa ini.

Dalam bukunya yang populer, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia (1999), Martin menemukan ada sekian pesantren yang masih gandrung mengkaji Tafsir Jalalain, bahkan beberapa pesantren tersebut menggunakan Tafsir Jalalain sebagai salah satu bahan ajar primer.

Fakta lain terhadap kepopuleran kitab Tafsir Jalalain ini, juga bisa ditemukan pada sejumlah karya ulama lokal yang berikhtiar mengalih-bahasakannya. Salah satunya seperti terjemahan Tafsir Jalalain berbahasa Madura, yang berjudul Tarjamah Tafsir al-Jalalain bi al-Lugah al-Maduriyyah oleh Abdul Majid Tamim. Kitab tersebut mengalih-bahasakan Tafsir Jalalain ke dalam bahasa Madura dengan huruf pegon.

Kendati penerjemahan ini tidak utuh, namun nama Abdul Majid Tamim dicatat Martin sebagai salah satu figur penting. Hal ini lantaran ia dinilai menjadi salah satu penghubung mata rantai intelektual dari kitab klasik karya ulama Timur Tengah dengan masyarakat lokal Madura.

Baca Juga: Mengenal Majid Tamim, Mufasir dan Penerjemah Kitab Klasik dari Madura

Figur Abdul Majid Tamim

Ulama Madura kelahiran Pamekasan, 22 Juni 1919 ini memiliki nama lengkap Raden Abdul Majid Tamim bin Raden Haji Moh. Tamim. Ayahnya, Moh. Tamim merupakan ulama berpengaruh di Pamekasan pada masanya. Lebih lanjut, jika ditarik ke atas melalui jalur ayahnya, Abdul Majid Tamim masih keturunan Sunan Giri dari jalur Pangeran Kulon I.

Adapun sanad keilmuannya, Abdul Majid Tamim tercatat pernah menjadi santri di Pesantren Tebuireng Jombang di bawah asuhan langsung KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul ‘Ulama. Di pesantren tersebut, dia menekuni sekian keilmuan Islam sebelum akhirnya kembali ke Pamekasan.

Beberapa tahun kemudian, pernikahannya dengan Ny. Salman Nuraniyyah, Ketua Muslimat di Kecamatan Kaliwates, Jember membuatnya harus pindah domisili. Meski demikian, terkadang beberapa kali ia kembali mampir ke Pamekasan atau daerah sekitarnya sebagai pendakwah dalam acara keagamaan.

Baca Juga: Mengenal Tafsir Firdaus An-Naim, Tafsir Nusantara Asal Madura

Seputar Kitab Tarjamah Tafsir al-Jalalain bi al-Lugah al-Maduriyyah

Terkait kitabnya, Tarjamah Tafsir al-Jalalain bi al-Lugah al-Maduriyyah, Abdul Majid Tamim hanya selesai sampai di Surah al-Baqarah ayat 1-252 dengan total 181 halaman; Jilid I memuat halaman 1-86 dan, Jilid II berisi halaman 87-181. Kitab ini tidak memuat angka ihwal waktu kitab ini pertama kali ditulis, hanya saja terdapat tahun 1410 H (1989-1990) sebagai angka kitab ini naik cetak.

Jika tahun cetak ini dijadikan patokan sebagai tahun tulis juga, maka akan ditemukan bahwa aktivitas literasi yang terbilang senja. Pasalnya di tahun tersebut, usia Abdul Majid Tamim sudah menyentuh angka sekira 70-an tahun. Usia yang kerap dinilai telah renta dan emoh berbelit-belit menakar-pikir konsepsi keilmuan.

Berdasarkan temuan dari Ahmad Zaidanil Kamil dalam artikelnya, Tafsīr al-Jalalayn and Madurese Language: Locality of the Book of the Translation of Tafsīr Jalalayn in Madurese Language by Abdul Majid Tamim (2020), detail kitab ini berupa; teks Tafsir Jalalain ditulis di bagian atas, terjemah harfiah ditulis model gandul tepat di bawah teks Tafsir Jalalain dengan posisi miring, dan keterangan lokalitas Madura berada di bawah dengan pembatas garis datar.

Di bagian paling bawah ini bisa ditemukan kreatifitas Abdul Majid Tamim sebagai ulama lokal asal Madura. Dia memberi keterangan dengan mempertimbangkan pembacanya dari kalangan masyarakat Masura.

Misalnya saja menggunakan diksi carok (budaya Madura untuk meneguhkan harga diri) sebagai ilustrasi pertumpahan darah di Surah al-Baqarah ayat 30. Diksi ini memang memudahkan pembacanya yang dari Madura untuk memahami muatan di ayat tersebut. Selain itu ada juga diksi lain yang dia gunakan. Semisal beras untuk membayar fidyah bagi orang yang tidak mampu berpuasa. Hal ini sebagai kebiasaan yang sering dilakukan oleh masyarakat Madura; dia juga menulis istilah ‘pondok pesantren’ dalam tafsirnya sebagai representasi lembaga Islam. Ini juga khas Madura.

Terjemahan Tafsir Jalalain berbahasa Madura oleh Abdul Majid Tamim ini bisa menjadi alternatif bukti penting tentang produk intelektual yang orisinil dari muslim nusantara pada masa lalu. Selain memang, seperti catatan Nashruddin Baidan dan Martin van Bruinessen di muka bahwa, Tafsir Jalalain memang sangat populer.