Beranda blog Halaman 79

Ayat-Ayat Keramat dalam Kitab Sanjata Mu’min Karya K.H. Husin Qadri

0
Ayat-Ayat Keramat dalam Kitab Sanjata Mu’min Karya K.H. Husin Qadri
Kitab Sanjata Mu’min karya K.H. Husin Qadri Martapura.

Di masa silam, sebelum ajaran Islam merangsek masuk, dihayati lantas ditunaikan oleh masyarakat Nusantara, kepercayaan lokal menjadi pedoman yang ditaati secara turun-temurun. Kepercayaan ini di kemudian hari dilebur dalam rupa diksi yang bisa dibilang mereduksi; animisme dan dinamisme. Termasuk halnya masyarakat Banjar sebelum memeluk ajaran Islam seperti sekarang ini.

Misalnya upacara Mayanggar Banua yang ditunaikan agar keberadaan roh-roh jahat tidak mengganggu kehidupan sehari-hari. Begitu juga upacara Mambuang Pasilih, upacara dengan sesaji dengan harapan saudara gaib dari keluarganya tidak mengganggu. Dua upacara ini lantas peroleh kritik dari ulama kenamaan Banjar, Syaikh Arsyad al-Banjari. Kritik ini juga menjadi penanda mulai masuknya ajaran Islam di tanah Banjar.

Baca juga: Ahli Qiraat dan Lukis: Sisi Lain Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dari Manuskrip Alquran Peninggalannya

Laku ini diteruskan oleh keturunan kelima Syaikh Arsyad, Husin Qadri dari jalur ibunya Hj. Sannah putri Niangah putri Hamidah, putri Mufti H. Jamaluddin bin Muhammad Arsyad al-Banjari. Husin Qadri, ulama kelahiran Tunggul Irang, Martapura pada 17 Ramadhan 1327 H/1906 M ini mengarang kitab Sanjata Mu’min (Senjata Mukmin). Kitab yang berisi sekian ayat di kitab suci Alquran yang dinilai oleh Husin Qadri memiliki sisi keramat ketika dibaca-amalkan.

Kemunculan kitab Sanjata Mu’min ini dilatarbelakangi oleh konteks masyarakat Banjar saat itu yang dapat dikategorikan ke dalam tiga kelompok. Pertama, kepercayaan masyarakat Islam yang termaktub dalam runtutan di rukun Iman. Hanya saja yang membedakan dengan rukun iman pada umumnya, masyarakat Banjar memasukkan unsur jin dengan pembagian Jin Islam dan Jin Kapir.

Baca juga: Ayat Alquran Disisipkan ke dalam Mantra: Fenomena Unik Masyarakat Banjar

Selanjutnya, ada kepercayaan yang dianut oleh keluarga kesultanan pada masa silam yang dikenal dengan sistem Bubuhan. Sistem ini bersandar pada kekerabatan ambilineal. Dari sini, masyarakat Banjar bisa menarik garis keturunan ke atas pada tokoh atau figur masa lampau yang bertalian erat dengan naga, macan, dan atau buaya. Ada juga yang menganggap memiliki garis keturunan dari seorang ulama yang semasa hidupnya dibantu oleh muwakkal. Kepercayaan ini akhirnya memproduksi bentuk upacara tertentu di setiap tahunnya. Tentu saja dengan regulasi dan ketentuan yang telah dirawat secara turun-temurun.

Terakhir, kepercayaan yang berhubungan dengan interpretasi masyarakat terhadap alam lingkungannya. Kepercayaan ini masih berkaitan dengan sistem Bubuhan. Lantaran siapa saja yang wafat dari kerabat dalam sistem tersebut, dimitoskan akan menjadi tokoh gaib yang memelihara keseimbangan kosmos sekaligus tradisi di tanah Banjar.

Sketsa Kitab Sanjata Mu’min

Adapun kitab Sanjata Mu’min ditulis dengan bahasa Indonesia menggunakan huruf Arab-Melayu. Lazimnya di dalam kitab-kitab seperti ini juga disertai keterangan kapan dan berapa kali ayat-ayat dan atau amalan yang mesti dibaca. Keterangan di dalamnya terbilang ringkas dan lugas. Hal ini secara tidak langsung, juga memudahkan bagi orang awam untuk mengamalkannya.

Di bagian mukadimahnya, Husin Qadri menulis ajakan: “Risalah ini bernama Sanjata Mu’min, yang termuat di dalamnya ayat-ayat yang besar fadilahnya, amalan-amalan yang penting diamalkan, doa-doa dan kalimat-kalimat yang mujarabat, dan asma-asma yang mengandung khasiat yang besar dan penting diamalkan di zaman sekarang oleh kaum muslimin dan muslimat.” Ajakan mengamalkan ajaran Islam dari ayat-ayat di kitab suci yang dinilai memiliki kekeramatan layaknya upacara tertentu di masa sebelum kedatangan ajaran Islam.

Baca juga: Dialektika Alquran dan Budaya dalam Kerangka Pikir Ingrid Mattson

Di dalam artikel Kitab Sanjata Mu’min: Sebuah Bentuk Tafsir Awam di Tanah Banjar (2018) yang ditulis Wardatun Nadhiroh, ada dua sikap berbeda dari orang-orang Banjar bila dihadapkan dengan kitab tersebut.

Pertama, mereka yang menilai kitab ini memiliki nilai guna sebagai bentuk perlindungan dan penjagaan diri. kitab tersebut teramalkan kendati mereka tidak lagi mukim di tanah Banjar. Pun khasiatnya juga dinilai tidak hanya dalam bentuk kenyamanan personal, tetapi juga kesejahteraan pangan dan sosial kepada anak-cucunya.

Baca juga: Keistimewaan Doa Nabi Yunus yang Dibaca Masyarakat Banjar pada Arba Musta’mir

Selanjutnya, mereka yang memilih mengamalkan bagian tertentu dari kitab ini dengan tujuan tertentu. Misalnya mengamalkan Ayat Seribu Dinar agar memperoleh kemapanan ekonomi di keluarga. Ayat tersebut sebenarnya diambil Husin Qadri dari Q.S. at-Talaq (65): 2-3 yang dibaca masing-masing sebanyak tiga kali setiap harinya. Ada juga Tasbih Nabi Yunus yang dibaca saat malam Nisfu Sya’ban dari bacaan ayat di Q.S. al-Anbiya’ (21): 87 sebanyak 2735 kali.

Dari sini bisa dilihat bentuk resepsi terhadap beberapa ayat-ayat di kitab suci Alquran sebagai bentuk perlindungan diri. Bahkan lebih dari itu, ayat-ayat yang termaktub dalam kitab Sanjata Mu’min ini juga turut menggeser paradigma masyarakat Banjar menjadi lebih qur’ani. Begitu.

Syakban, Bulannya Pembaca Alquran

0
Syakban, Bulannya Pembaca Alquran
Syakban, Bulannya Pembaca Alquran

Bulan Syakban adalah salah satu bulan mulia yang terkenal akan keberkahan dan limpahan karunia di dalamnya. Nama Syakban berasal dari kata “sya’b” yang artinya “cabang”. Dinamakan demikian, karena kebaikan tumbuh bercabang-cabang pada bulan ini. (Ar-Ra’id Mu’jam Lughawi ‘Ashriy, 474)

Bertaubat pada bulan ini merupakan salah satu ghanimah terbesar, dan berbuat taat di dalamnya adalah salah satu tijarah (perniagaan) yang paling menguntungkan. Siapa saja yang mampu membiasakan diri untuk sungguh-sungguh beramal di dalamnya, maka akan memenangkan gaya hidup yang saleh di bulan Ramadan.

Al-Hasan bin Sahl menceritakan bahwa suatu ketika bulan Syakban pernah mengadu kepada Allah Swt.. Ia merasa minder dan iri pada dua bulan mulia yang mengapitnya, yaitu Rajab dan Ramadan. Lalu, ia memohon agar diberikan sesuatu yang spesial juga.

Akhirnya, Allah Swt. mengabulkan permohonannya. Syakban dianugerahi gelar kemuliaan sebagai bulan qira’atul qur’an, yakni bulan untuk membaca Alquran. Tetapi, Allah Swt. menjelaskan bahwa akan banyak manusia yang rugi karena lalai pada bulan ini. (Latha’iful Ma’arif, 135)

Baca Juga: Beberapa Amalan Sunah di bulan Syakban

Perlu untuk diketahui, orang-orang saleh terdahulu selalu antusias mengaji ketika Syakban tiba. Kepedulian mereka terhadap bulan ini bahkan membuat pekerjaan mereka, seperti perdagangan, dan semua perhatian mereka di bulan ini tertuju pada Alquran.

Hal ini mereka kerjakan dalam rangka mengikuti sunah dan mengejar fadilat Syakban. Sehingga, pada akhirnya Syakban disebut juga sebagai syahrul qurra’ (bulannya pembaca Alquran), yang menjadikannya spesial dari pada bulan-bulan lainnya.

Anas bin Malik r.a. menceritakan bahwa ada dua amalan yang digemari para sahabat ketika memasuki bulan Syakban, yaitu membaca Alquran dan segera menunaikan zakat harta. (Fathul Bari, Juz 13, 310-311)

Tidak hanya dengan hafalan, mereka juga mengeluarkan alat-alat mengaji yang mereka simpan. Berupa pelepah kurma, potongan tulang dan kulit binatang yang bertuliskan ayat-ayat suci. Sebagai persiapan untuk menyibukkan diri dengan bacaan Alquran.

Adapun di generasi tabiin, terdapat Hubaib bin Abi Tsabit yang merupakan salah satu guru dari tokoh tasawuf Sufyan ats-Tsauri. Beliau terkenal memiliki kebiasaan menyambut masuknya Syakban dengan berkata, “Hadza syahrul qurra’!” “Ini adalah bulannya pembaca Alquran!”

Lain lagi dengan Amr bin Qays al-Mula’i, tabiin super zuhud yang sehari-hari bekerja sebagai pedagang bumbu rempah. Begitu Syakban datang, tokonya libur panjang dan pemiliknya sibuk dengan tilawah Alquran. (Latha’iful Ma’arif, 135)

Baca Juga: Perintah dan Keutamaan Membaca dalam Alquran

Syakban merupakan muqaddimah bulan Ramadan. Syakban adalah momentum untuk mempersiapkan diri dan hati demi menyongsong datangnya Ramadan yang dikenal sebagai syahrul qur’an (bulan Alquran). Maka sudah sepatutnya bulan ini diisi dengan memperbanyak mengaji seperti halnya juga memperbanyak puasa, agar ketika Ramadan tiba kita sudah terbiasa.

Ahli hikmah terdahulu berkata, “Satu tahun itu ibaratkan pohon. Pada bulan Rajab dedaunannya tumbuh, pada bulan Syakban ranting cabangnya menyebar, dan pada bulan Ramadan buahnya siap dipanen. Dan pemanennya ialah orang-orang yang beriman”. (Latha’iful Ma’arif, 121)

Nasihat itu hendaknya menjadi renungan bersama. Sekarang, bulan Syakban 1444 H sudah hampir usai. Sampai manakah usaha dan kesungguhan dalam membaca Alquran sebagai persiapan membuka pintu bulan suci Ramadan? Jangan heran sendiri jika nanti puasa dan tarawih terasa berat, kalau bulan Syakban saja tidak dapat dimanfaatkan dengan baik.

Mari bersihkan debu-debu yang menutupi mushaf Alquran, membuka dan membacanya kembali dengan penuh peresapan dan pengharapan. Luangkan waktu barang beberapa menit saja, untuk mengulang kembali hafalan-hafalan yang memudar terlalaikan.

Baca Juga: Tradisi Membaca Awal Alquran saat Khataman

Mari membacanya dengan lantunan-lantunan damai di qiyamul lail dan nikmati kembali masa-masa indah bersama Alquran. Sehingga, mencapai kedudukan maqamam mahmuda. Allahumma bariklana fi Rajab wa Sya’ban, wa ballighna Ramadhan, wa amitna ‘alash shiyam wal qiyam wa tilawatil Qur’an.

Wallahu a’lam bishshawab.

Menegaskan Perbedaan Istilah ‘Mutasyabih’ dan ‘Mutasyabihat’

0
mutasyabih dan mutasyabihat
mutasyabih dan mutasyabihat

Apa yang terlintas di benak Anda ketika mendengar istilah mutasyabih? Jika jawabannya ialah ayat-ayat yang samar maknanya, maka saatnya Anda menjawab pertanyaan selanjutnya, apa bedanya dengan istilah mutasyabihat? Kalau jawaban Anda sama, mungkin tulisan ini cocok untuk Anda baca hingga akhir.

Mutasyabih dan mutasyabihat adalah istilah yang populer dalam kalam kajian Ulum Al-Qur’an. Biasanya kedua istilah ini digunakan dalam pembahasan ayat-ayat yang samar maknanya. Namun ada pula pembahasan lain yang cukup sering juga menggunakan kedua istilah ini, yaitu pada pembahasan kemiripan redaksi ayat-ayat Alquran.

Baca Juga: M. Abid al-Jabiri dan Konsep Muhkam-Mutasyabih

Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Manzhur dalam Lisanul ‘Arab, juz 13, 503 kedua istilah tersebut berasal dari satu akar kata, yaitu syabiha yang berarti “samar” atau “serupa”.

Dari kedua makna ini, istilah mutasyabih dan mutasyabihat seharusnya dapat diposisikan sebagai dua entitas berbeda dalam Ulumul Qur’an. Mutasyabih untuk membahas kesamaran makna, dan mutasyabihat untuk keserupaan kata.

Secara gramatikal memang tidak ada kesalahan jika menggunakan istilah mutasyabihat dalam membahas tentang ayat yang maknanya samar. Hal ini disebabkan karena istilah tersebut biasa disandingkan dengan kata “ayat” sehingga disebut “ayat mutasyabihat” dalam konstruksi na’at wal man’ut (sifat dan sesuatu yang disifati).

Meski demikian jika dilihat melalui sudut pandang leksikal, istilah ayat mutasyabihat tersebut tetap akan membawa kepada ruang kesalahpahaman, apakah yang dimaksud adalah ayat-ayat yang ber-tasyabuh (samar) dari segi makna, yang menjadi lawan dari ayat muhkamat, atau yang dimaksud istilah tersebut adalah ayat-ayat yang tasyabuh (mirip) secara teks?

Menurut penulis, istilah mutasyabih lebih tepat untuk membicarakan ayat-ayat Alquran yang samar maknanya, karena dalam pembahasan tersebut istilah mutasyabih sudah memiliki pasangan yang menyandinginya, yaitu muhkam.

Sedangkan istilah mutasyabihat lebih tepat untuk menyebut ayat yang memiliki kemiripan redaksi sesuai bentuknya yang jamak, karena ayat-ayat tersebut sangat banyak jumlahnya. Bahkan menurut al-Kirmani sebagaimana dikutip oleh Nashruddin Baidan bahwa 90% ayat Alquran adalah mutasyabihat (beredaksi mirip).

Argumentasi ini bukannya dibangun tanpa dasar, as-Suyuthi dalam karyanya, al-Itqan fi Ulumil Qur’an menggunakan kata mutasyabih dalam bab al-muhkam wal mutasyabih dan istilah al-mutasyabihat dalam bab tersendiri tentang ayat-ayat yang mirip. Klasifikasi ini menunjukkan bahwa penggunaan istilah mutasyabih dan mutasyabihat memang dibedakan, setidaknya oleh ulama setingkat As-Suyuthi.

Baca Juga: Penggunaan Takwil Terhadap Ayat-Ayat Mutasyabihat, Berikut Penjelasannya

Menanggapi kesalahkaprahan penggunaan istilah-istilah keagamaan, menurut Siswanto Masruri dalam artikelnya, Paradigma Liberal dalam Pendidikan Global hal tersebut salah satunya disebabkan terlalu beragamnya terminologi kegamaan. Hal seperti ini akhirnya membuat masyarakat bingung, padahal menurutnya, berbagai istilah tersebut mempunyai substansi yang sama.

Kesimpulan Siswanto Masruri tersebut tidak sepenuhnya benar, istilah mutasyabih dan mutasyabihat meski memiliki kemiripan, tapi tidak seratus persen sama maksudnya. Dalam penggunaan istilah mustasyabih dan mutasyabihat, yang terjadi adalah pemahaman yang terkunci terhadap satu makna, sehingga mengira istilah lain yang teksnya mirip sebagai sesuatu yang sama.

Baik di kalangan masyarakat umum maupun pelajar seringkali mengartikan kedua istilah tersebut sebagai ayat Alquran yang maknanya samar, lalu berdebat mengenai hukum penakwilannya. Terkadang mereka bahkan tidak mengetahui bahwa terdapat kajian mengenai kemiripan redaksi ayat Alquran yang juga diistilahkan sebagai mutasyabihat.

Terakhir, penulis berpikir bahwa penetapan perbedaan kedua istilah tersebut perlu diwacanakan. Sudah sepantasnya keduanya digunakan berdasarkan pembahasannya dalam Ulum Al-Qur’an. Ini juga akan lebih mempermudah langkah pengkaji ilmu Alquran dalam memahami keduanya.

Wallahu a’lam.

Mengenal Tafsir al-Iklil fi Istinbath al-Tanzil

0
al-Iklil fi Istinbath al-Tanzil
al-Iklil fi Istinbath al-Tanzil

Adalah al-Suyuthi, salah seorang ulama masyhur dalam bidang ilmu tafsir. Tak hanya itu, kajian keislaman lain pun dikuasai olehnya, seperti hadis, ilmu hadis, usul fikih, fikih, dan tarikh. Tercatat ratusan kitab yang ditulis baik yang besar (majlad) maupun kecil (risalah). Produknya menyebar dalam ragam kajian keislaman di dunia. Ulama kelahiran 3 Oktober 1445 M atau 1 Rajab 849 H, juga ahli dalam Bahasa Arab. Menurut catatan, beliau wafat pada 18 October 1505 M. Usianya sekitar 60 tahun dengan ratusan kitab yang ditulis.

Salah satu kitab dalam bidang tafsir adalah al-Iklil fi Istinbath al-Tanzil (Mutiara untuk Menggali Hukum dari Alquran). Kitab ini berbeda dengan kitab Tafsir al-Jalalain dan al-Durr al-Mantsur yang ditulisnya. Dua kitab ini menyajikan penafsiran Alquran secara analisis sesuai urutan ayat dalam mushaf. Tafsir al-Jalalain ditulis dengan metode ijmali (ringkas). al-Durr al-Mantsur ditulis dengan metode tahlili dan bercorak bi al-ma’tsur yaitu penafsiran Alquran dengan Alquran dan hadis. Sementara al-Iklil bercorak tafsir untuk ayat hukum.

Karakteristik Kitab

Kitab al-Iklil pernah diterbitkan oleh Dar al-Tsaqafah al-Islamiyyah, Beirut.  Kitabnya cukup tebal berisi 240 halaman, termasuk di dalamnya pengantar dan daftar isi.  Tidak semua ayat dijelaskan olehnya. Yang dijelaskan hanya ayat yang diduga kuat berhubungan dengan hukum. Sebuah kepantasan yang bersesuaian dengan kalimat istinbath yang ada pada judulnya. Seperti yang dipahami, kata istinbath menjadi salah satu istilah yang muncul dalam kajian usul fikih, yaitu penggalian hukum.

al-Suyuthi dalam kitab ini menegaskan beberapa ayat yang bertalian dengan hukum. Hal ini diawali dengan pandangan bahwa Alquran adalah pedoman hidup juga sumber hukum Islam pertama. Sebab, hukum Islam yang diidentikkan dengan syariat berasal dari Allah Swt sebagai al-syari’ (pembuat hukum), bukan hasil pemikiran manusia.

Pijakan asumsi ini tentu ada bedanya dengan beberapa orientalis. Sebut saja misalnya Abraham Geiger (1810-1874). Geiger meragukan otentisitas Alquran dengan analisis yang dia sebut sebagai teori pengaruh. Muzayyin (2015) dalam salah satu kajiannya, Alquran Menurut Pandangan Orientalis, mengemukakan bahwa Geiger telah memberi pengaruh yang sangat luar biasa bagi perkembangan studi Islam di Barat, mengenai polemis tentang studi Alquran, khususnya “teori pengaruh“ yang dimunculkannya pada abad ke-19. Geiger menyebut bahwa Alquran tidak lepas dari pengaruh Yahudi. Tentu, teori ini mengundang kontroversi.

Baca juga: Metode Penafsiran Alquran Kiai Ihsan Jampes

al-Suyuthi seperti ulama lainnya cenderung menguatkan secara ilmiah dan keyakinan, bahwa Alquran mutlak dari Allah Swt. Isinya pun pasti benar, begitu pun dengan ayat yang berisi aturan hukum bagi manusia. Pernyataan ini, meskipun terpisah ratusan tahun rentang waktunya, memiliki perbedaan signifikan tentang hakikat otentisitas Alquran. al-Suyuthi tetap pada pandangan bahwa ayat hukum berasal dari Allah Swt. Sementara Geiger dengan analisis historisnya pada ayat yang berisi hukum dipengaruhi oleh Yahudi.

Kitab al-Iklil didasarkan pada substansi hukum berasal dari Allah Swt bukan dari yang lainnya. Nabi Muhammad saw. pun menerima hukum dari Allah Swt.

Dalam penelaahan terhadap kitab ini, akan ditemukan ciri yang berbeda. Pertama, al-Suyuthi memilih ayat-ayat yang mengandung hukum kemudian dijelaskan makna dan implikasi hukumnya. Tidak semua ayat yang dijelaskan maknanya. Kedua, hampir setiap surah dalam Alquran menurutnya berisi pernyataan yang langsung menyentuh hukum juga berkaitan dengan istilah yang berada pada ruang kajian hukum. Spektrum pemaknaan ini cukup rinci. al-Suyuthi tidak hanya menjelaskan maksud ayat. Dia menjelaskan pula beberapa istilah yang diduga kuat berkaitan dengan hukum tertentu. Ketiga, al-Suyuthi menguatkan beberapa jumlah ayat hukum dalam Alquran. Ragam pendapat ulama sebelumnya terkait hal ini kemudian dielaborasi, ditelaah, dan dihasilkan satu pendekatan yang cukup berbeda dengan pendapat ulama sebelumnya.

Latar Belakang Penulisan

al-Suyuthi pertama kali memerhatikan pendapat ulama tentang jumlah ayat hukum dalam Alquran. Imam al-Ghazali dan yang lainnya berpendapat bahwa ayat hukum berjumlah 500 ayat. Pendapat lainnya 250 ayat.  Perhitungan ayat ini menurut al-Suyuthi bermaksud untuk memasukkan kisah dan contoh (al-amtsal) yang dapat dijadikan objek penggalian hukum. Kedua hal ini dikuatkan oleh Izzudin bin Abdussalam bahwa ayat amtsal mengandung peringatan dan nasihat, begitu pun di dalamnya memuat pahala atau penghapusan amal, atau pujian dan celaan, yang kesemuanya itu menunjukan pada hukum.

Baca juga: Proyek Tafsir Al-Mishbah: Menggapai Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an ala M. Quraish Shihab

Dalam pengantar kitab ini, al-Suyuthi banyak menyinggung pendapat Izzudin bin Abdussalam. Masih menurut Izzudin bin Abdussalam, sebagian besar ayat Alquran tidak kosong dari pembahasan hukum yang di dalamnya terdapat etika baik. Begitu pula yang langsung secara tegas berkaitan dengan hukum.

Dengan memerhatikan ragam kitab sebelumnya, al-Suyuthi melalui kitab ini ingin mengarahkan maksud, menjelaskan cara penggalian hukum, juga memaparkan ayat yang dapat digali hukumnya. Tak hanya itu, dia menjelaskan pengambilan dalil berupa masalah fikih dan keimanan. Penjelasannya disertai dengan tafsir ayat yang sesuai dengan penggalian hukum yang dirujuk pada pendapat sahabat dan tabiin. Cara yang digunakan tentu tidak keluar dari kitab-kitab yang muktabar yang dikutip.

Keistimewaan Surah Ala’la: Surah Favorit Rasulullah

0
Surah favorit Rasulullah
Surah favorit Rasulullah

Di antara surah favorit baginda Rasulullah saw. ialah Surah Ala’la. Diriwayatkan dalam Sahih Muslim dalam Bab Kitab al-Jumu’ah dan diriwayatkan pula oleh Ashabus Sunan dari Nu’man bin Basyir bahwa Rasul saw. hampir selalu membaca dua surah ini (Surah Alan’am dan Surah al-Ghasiyah) pada salat Idulfitri dan Iduladha serta salat Jumat.

Kesukaan Rasul saw. atas surah ini, sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Mujahid, dikarenakan surah ini menyucikan dan mengagungkan Allah Swt. sebagai Dzat Yang Maha Mulia serta Dzat Yang Maha Mengatur Segalanya. Bahkan, surah ini dimulai dengan redaksi sanjungan yang teramat santun, sabbihis ma rabbikal a’la (wahai manusia, sucikanlah dan agungkanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi. Dan berbagai ungkapan sastra lainnya yang tertata secara apik dan elegan.

Karena itu, artikel ini mengulas beberapa keistimewaan surah Ala’la dengan mengetengahkan pendapat ulama tafsir. Selengkapnya di bawah ini.

Baca juga: Keistimewaan Surah Albaqarah [2]: 285-286

Dalam urutan surah Alquran, surah Ala’la menempati surah yang ke-87 dalam Alquran. Surah ini tergolong surah Makkiyah terdiri atas 19 ayat. Dinamakan Ala’la berarti Yang Maha Tinggi, ketinggian nama Allah Swt. melebihi ketinggian seluruh ciptaan-Nya di seluruh alam semesta raya. Menurut Quraish Shihab, kata Ala’la menunjukkan betapa Allah Swt. merupakan Maha Penakluk, Maha Pengatur dan Maha mengalahkan sebab Ia berkedudukan lebih tinggi dari yang ditaklukkan dan yang dikalahkan. Maka tak heran jika Imam Malik melarang seorang Muslim meragukan kemahatinggian Allah Swt. dalam memenuhi segala urusan, semisal mudah-mudahan Allah memberimu rezeki, dan lain sebagainya.

Dalam sahih Muslim, seperti yang dikutip Abad Badruzaman dalam Mengkaji Historisitas Al-Quran melalui Studi Ayat-Ayat Makki dan Madani, disebutkan bahwa beliau membaca surah ini dan surah Alghasiyah dalam Salat Idulfitri, Iduladha, dan salat Jumat. Senada dengan Imam Muslim, Imam Ahmad juga meriwayatkan bahwa Rasul saw. menyukai surah ini. Pantas jika Rasulullah saw. menyukai surah ini, karena beliau menyatakan bahwa semesta bertasbih dan mengagungkan Tuhan Yang Maha mulia. Gelombang tasbih dan tahmid begitu besar dalam surah ini.

Selain itu, surah ini juga menyampaikan kabar yang amat agung lagi menggembirakan hati Nabi saw. karena Allah menjamin bahwa hati Nabi saw. akan selalu menjaga (hafal) keseluruhan Alquran dan betapa agungnya risalah Nabi saw. serta Allah akan memberi kemudahan kepadanya dalam segala hal, termasuk menyebarkan risalahNya.

Baca juga: Nama dan Penamaan Surah dalam Alquran

Muhammad Sayyid Thantawi dalam mukadimah al-Tafsir al-Wasith, mencatat sekurangnya ada empat keistimewaan surah ini. Pertama, surah Ala’la dinamai juga surah sabbih ism rabbik Ala’la. Dalam sebuah riwayat, sebagaimana dinukil Abad Badruzaman, Guru Besar Tafsir di UIN Tulungagung, disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda kepada Mu’adz tatkala sampai kepada beliau kabar bahwa Mu’adz memanjangkan salatnya sewaktu dia mengimami salat jamaah, “Apakah kamu ini pembuat fitnah (onar), wahai Mu’adz? Mengapa kamu tidak mengimami salat dengan membaca surah sabbih ism rabbik Ala’la dan wa al-syamsi wa dhuhaha dan wa al-lail idza yaghsya?” (H.R. Ibn Khuzaimah, Ibn Hibban, al-Baihaqi, Ahmad dan lainnya).

Keistimewaan yang kedua dari surah ini yakni bahwa surah Ala’la merupakan surah favorit Rasulullah saw. sebab ia menyucikan nama Allah serta banyak menunjukkan nikmat dan karunia-Nya. Ali bin Abi Talib menjelaskan bahwa Rasulullah saw. menyukai surah ini. Nu’man bin Basyir, sebagaimana dikutip Abad Badruzaman dalam Mengkaji Historisitas Al-Quran, menginformasikan bahwa Nabi saw. membaca surah ini dan surah Alghasyiah dalam Idulfitri dan Iduladha.

Di samping kedua perayaan agung umat Islam tersebut, Nabi saw. juga membaca dua surah ini pada hari Jumat bertepatan dengan Idulfitri dan Iduladha. Aisyah ra. mengatakan bahwa Nabi saw. membaca surah ini dan surah Alkafirun, dan surah Alikhlas dalam salat witir.

Keistimewaan yang ketiga adalah surah ini terdiri dari 19 ayat, seluruhnya Makkiyah. Menurut Abad Badruzaman, di antara yang menguatkan ke-makkiyah-an surah ini ialah bahwa ia termasuk surah yang turun di awal-awal masa penurunan Alquran, yaitu surah yang ke delapan dari segi tartib nuzul. Ia turun setelah surah Attakwir sebelum surah Allail. Bahkan, lanjut Abad, ada yang mengatakan bahwa Ala’la merupakan surah ketujuh di mana enam surah sebelumnya adalah Al’alaq, Almuddatsir, Almuzammil, Alqalam, Allahab, dan Attakwir.

Baca juga: Kisah Rasulullah Saw. Bermuka Masam dalam Surah ‘Abasa

Keistimewaan keempat adalah tujuan terpenting dari surah ini, sebagaimana penafsiran Thantawi, ialah menegakkan dalil atas keesaan Allah Swt. bahwa Dia Mahasuci dari segala kekurangan serta menunjukkan banyak dari nikmat-Nya yang tak terhingga serta karunia-Nya atas Nabi saw. berupa agama yang ramah dan Alquran yang mulia.

Senada dengan Thantawi di atas, ‘Izzat Darwazah dalam al-Tafsir al-Hadits mencatat tiga keistimewaan penting dari surat ini. Pertama, perintah untuk menyucikan nama Tuhan Yang Mahatinggi, karena Dialah Dzat yang menciptakan segala sesuatu sekaligus mengatur serta menata sedemikian rupa atas segala urusan ciptaan-Nya.

Kedua, lanjut ‘Izzat Darwazah, peringatan bagi Nabi saw. bahwa Allah akan mewahyukan dan mengajarkan Alquran kepada beliau. Dalam riwayat yang dihimpun Abad Badruzaman, disebutkan bahwa Rasul saw. tidak akan pernah lupa sedikitpun apa yang diajarkan dan diwahyukan kepadanya kecuali apa yang dikehendaki-Nya. Allah juga akan mengarahkan dan membimbing Nabi saw. ke jalan yang termudah dan ringan. Pada sisi yang lain, surah ini juga mem-warning manusia pada umumnya dengan harapan peringatan itu dapat memberi manfaat kepada mereka.

Ketiga, penegasan bahwa manusia terbagi menjadi dua kelompok terhadap seruan Rasul saw.; kelompok takwa-salih (taqi-salih) dan kelompok pembangkang-durhaka (syaqi-atsim). Untuk kelompok pertama, sebagaimana penafsiran ‘Izzat Darwazah yang dikutip Abad Badruzaman, mereka takut akan disiksa dan menerima dakwah Rasul saw. Sementara kelompok kedua tidak takut, justru mereka makar dan mengabaikan dakwah Rasul saw. Lebih dari itu, bahkan mereka memusuhi Rasul saw. beserta ajaran yang dibawa-Nya.

Sebagaimana yang terlihat, surah ini tidak menunjukkan secara spesifik sikap para penolak dan pembangkang peringatan yang dibawa Nabi saw. Ia hanya secara umum, lanjut ‘Izzat Darwazah,  menampilkan dakwah dan tugas yang diemban Rasul saw. dengan redaksi yang tajam namun tetap elegan (rashin-hadi). Wallahu a’lam.

Makna Khalifah dalam Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 30

0
Makna khalifah dalam Al-Quran
Makna khalifah dalam Al-Quran/ Foto: le.calligraphe.com

Kata khalifah mungkin sudah tidak asing bagi kita akhir-akhir ini. Pemaknaannya seringkali disangkut pautkan dengan politik dan kekuasaan. Terutama ketika kelompok yang mengusung paham Islam transnasional semakin banyak bersuara di ruang publik. Sebenarnya apa makna khalifah dalam Al-Quran? Tulisan ini akan menguraikannya berdasarkan Tafsir Surat Al-Baqarah ayat 30.

Dalam Surat Al-Baqarah Ayat 30, Allah Swt berfirman:

  وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُون

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan dara di sana, sedangkan kami bertasbih, memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”

Imam At-Thabari dalam tafsirnya Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Quran cenderung memaknai kata  khalifah pada ayat di atas dengan arti pengganti (badala). Pemaknaan ini didasarkan pada redaksi kata khalaif yang terdapat dalam QS. Yunus Ayat 14.

Bila kata khalifah diartikan pengganti, pertanyaannya Adam As sebagai manusia pertama menggantikan siapa? Untuk menjawab pertanyaan ini, Imam At-Thabari menguraikan beberapa penjelasan. Pertama, berdasarkan riwayat dari Ad-Dhahhak dari Ibnu Abbas dijelaskan bahwa penghuni pertama bumi adalah bangsa Jin. Ketika di bumi mereka melakukan kerusakan dan pertumpahan darah. Kemudian diutuslah Iblis yang ketika itu bersama Malaikat untuk membasmi Jin dari pengrusakan bumi. Adam As kemudian diciptakan untuk menggantikan jin di muka bumi.


Baca Juga: Nabi Adam dalam Al-Quran: Manusia Pertama dan Tugasnya di Dunia 


Kedua, berdasarkan riwayat dari Imam Hasan al-Bashri bahwa kata khalifah yang disematkan kepada Nabi Adam dimaksudkan sebagai anak keturunan Adam. Sehingga makna pengganti berlaku bagi anak cucu Adam yang akan silih berganti menggantikan tugas bapak moyangnya.

Menurut Imam At-Thabari, kata khalifah di atas juga bisa dipahami bahwa Nabi Adam As beserta anak cucunya memiliki tugas sebagai pengganti Allah Swt di bumi. Artinya, manusia bertugas untuk menerapkan dan menjaga segala titah dan larangan Allah Swt dibandingkan dengan makhluk selain manusia.

Sejalan dengan pandangan ini, Fakhruddin Ar-Razi dalam Mafatih al-Ghayb menekankan bahwa Surat Al-Baqarah ayat 30 ini adalah bukti bahwa Allah Swt menciptakan Nabi Adam dalam kemuliaan. Kemuliaan ini juga merupakan kemuliaan bagi seluruh anak keturunan Adam. Dalam pandangan Ar-Razi, hal ini merupakan salah satu nikmat paling besar yang dimiliki umat manusia.


Baca Juga: Ini Dua Potensi yang Dimiliki Manusia dalam Al-Quran


Terkait makna khalifah dalam Al-Quran, khususnya dalam Surat Al-Baqarah ayat 30 ini, M. Quraish Shihab juga menjelaskan bahwa maknanya adalah tanggung jawab. Nabi Adam dan juga seluruh manusia diciptakan untuk menjadi khalifah. Artinya mereka bertanggung jawab untuk memelihara dan mengantar segala yang wujud di bumi ini kepada tujuan penciptaannya.

Sebagai contoh adalah laut. Laut diciptakan untuk apa? Quraish mengatakan bahwa manusia bertanggung jawab untuk memastikan bahwa laut menjadi tempat yang nyaman untuk berlayar kapal-kapal, mencari ikan, mutiara dan sebagainya.  


Baca Juga: Mensyukuri Eksistensi Laut Bagi Umat Manusia         


Demikian adalah dua makna khalifah dalam Al-Quran, khususnya kata khalifah yang terdapat dalam Q.S Al-Baqarah ayat 30. Pertama bermakna pengganti sebagaimana dijelaskan oleh Imam At-Thabari dan Imam Ar-Razi. Kedua bermakna tanggung jawab seperti penjelasan dari Quraish Shihab.

Kata khalifah dalam Al-Quran memang tidak hanya di satu tempat, namun penjelasan makna khalifah dalam Al-Quran, utamanya di surat Al-Baqarah ayat 30 seperti yang telah diulas di atas menjadi salah satu bukti bahwa kata khalifah tidak selalu bermakna pemimpin.

Wallahu A’lam.

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dan Alquran

0
Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani dan Alquran
Syekh Fadhil Al-Jailani, keturunan Syekh Abdul Qadir penemu Tafsir al-Jailani.

Dalam dunia tarekat-tasawuf, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani tak ayal lagi merupakan sosok yang masyhur. Tarekat yang dinisbatkan kepada beliau—Qadiriyah, serta berbagai variannya seperti Qadiriyah wa Naqsyabandiyah—diikuti oleh banyak umat Islam Indonesia.

Acara pembacaan hagiografi atau manakib Syekh Abdul Qadir telah menjadi bagian dari tradisi kebudayaan masyarakat tertentu di Indonesia—misalnya di Banten, yang dikenal dengan tradisi mamaca syekh. Tradisi tersebut bahkan dianggap penting dan keramat oleh mereka yang bukan pengikut tarekat.

Umumnya, sosok Syekh Abdul Qadir dilekatkan dengan sejumlah karamah; karena memang karamahlah yang dianggap menjadi salah satu penanda seorang wali. Lebih-lebih, Syekh Abdul Qadir digelari shulthonul auliya—yang secara sederhana dapat diartikan sebagai sultannya para wali—sudah barang tentu diyakini memiliki karamah-karamah yang luar biasa.

Baca juga: Puasa Jasmani dan Rohani menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani

Karena lebih sering diasosiasikan dengan karamah, pembicaraan mengenai fondasi kewalian Syekh Abdul Qadir tampaknya belum menjadi sesuatu yang umum. Padahal, dalam manakib-manakib yang ada, di antaranya diceritakan tentang berbagai ilmu dan amal Syekh Abdul Qadir, yang tidak kalah mengagumkan dari karamah-karamahnya yang dianggap ajaib.

Sebagai contoh, dalam kitab Lujainuddani—salah satu kitab manakib Syekh Abdul Qadir, karangan Syekh Ja’far Al-Barzanji, yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Achmad Sunarto dan diterbitkan oleh Al-Miftah Surabaya—termaktub sejumlah ilmu dan amal Syekh Abdul Qadir. Di antaranya, ada yang berkaitan dengan Alquran.

Pertama, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengajarkan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Alquran. Dalam manakibnya, tertulis bahwa semasa hidupnya Syekh Abdul Qadir mengajarkan 13 macam ilmu; yaitu ilmu tafsir, hadis, khilaf, usul fikih, nahu, qiraah, saraf, arudh, ma’ani, badi’, bayan, mantik, dan tasawuf.

Baca juga: Ketika Kaum Sufi Berinteraksi dengan Alquran

Tampak bahwa ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Alquran yang diajarkan oleh Syekh Abdul Qadir contohnya yaitu ilmu tafsir dan ilmu qiraah. Ilmu tafsir secara umum merupakan ilmu yang mempelajari cara-cara memahami—atau menafsirkan—Alquran, sementara ilmu qiraah adalah ilmu tentang cara-cara membaca Alquran.

Kedua, salah satu kebiasaan Syekh Abdul Qadir adalah membaca Alquran untuk menghabiskan sepertiga malam kedua. Dalam kitab Lujainuddani, diceritakan bahwa seluruh waktu Syekh Abdul Qadir hanya dipersembahkan untuk Allah semata.

Kesaksian dari Syekh Muhammad bin Abdul Fattah Al-Harawi—salah satu pembantu Syekh Abdul Qadir yang mengabdi selama 40 tahun—mengemukakan bahwa di antara amalan beliau ketika malam yaitu melakukan salat, berzikir, dan membaca Alquran. Dikemukakan bahwa Syekh Abdul Qadir melakukan itu semua hingga tiba waktu fajar.

Baca juga: Menelisik Epistemologi Tafsir Susfistik Abu Hamid al-Ghazali

Ketiga, salah satu petuah Syekh Abdul Qadir yaitu tentang keharusan menjadikan Alquran dan as-sunnah sebagai timbangan dalam menghadapi orang lain—dalam mencintai atau membenci mereka; sembari mengingatkan agar tidak menilai perilaku manusia berdasarkan hawa nafsu.

Keempat, Syekh Abdul Qadir menulis kitab Tafsir Al-Jailani. Informasi tentang kitab tafsir tersebut tidak tertulis dalam kitab Lujainiddani, karena merupakan perkembangan yang mutakhir. Kitab tafsir itu “ditemukan” oleh Syekh Fadhil Al-Jailani—salah satu keturunan Syekh Abdul Qadir yang berkewarganegaraan Turki.

Sebagai sebuah kitab yang ditulis oleh seorang sufi, corak tafsir yang disajikan dalam kitab tersebut dinilai bernuansa sufistik. Hal tersebut sangat wajar, mengingat salah satu motivasi penulisan kitab tersebut yaitu kesadaran Syekh Abdul Qadir akan pentingnya menjelaskan dimensi batin dari agama.

Baca juga: Makna Puasa dan Tiga Tingkatannya menurut Tafsir Sufistik

Uraian di atas telah memaparkan fakta yang menunjukkan bahwa Syekh Abdul Qadir merupakan sosok yang berilmu dan beramal saleh. Namun, itu hanya sebagian saja; keluasan ilmu dan kesungguhan beramal beliau tentu saja lebih daripada yang diuraikan dalam tulisan ini.

Hal tersebut penting untuk dipahami oleh banyak orang; agar sosok Syekh Abdul Qadir tidak melulu dilekatkan dengan keajaiban-keajaiban karamah beliau, tetapi juga dengan kesungguhan beliau dalam mencari dan mengamalkan ilmu serta beramal saleh.

Mengenal Ma’alim al-Tanzil: Kitab Tafsir Corak Fikih Karya Al-Baghawi

0
Mengenal Ma’alim al-Tanzil: Kitab Tafsir Corak Fikih Karya Al-Baghawi
Ma’alim al-Tanzil: Kitab Tafsir Corak Fikih Karya Al-Baghawi

Ma’alim al-Tanzil atau yang dikenal juga dengan nama Tafsir al-Baghawi, merupakan salah satu kitab tafsir populer yang bercorak fikih. Bagi orang yang hendak mengkaji aspek hukum Islam dari ayat-ayat Alquran, tafsir ini biasanya menjadi salah satu rujukan pentingnya.

Tafsir Ma’alim al-Tanzil ditulis oleh Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’ud Al-Baghawi. Beliau adalah seorang ulama bergelar Muhyi al-Sunnah atau Sang Penghidup Sunah yang sangat pakar dalam bidang fikih, tafsir, dan hadis. Selain kitab Ma’alim al-Tanzil, karangan beliau yang lain adalah al-Mashabih, al-‘Arba’in Hadisan, al-Majmu’ah min al-Fatawa, al-Tahdzib fi Fiqh al-Syafi’i, dan masih banyak lagi.

Terkait model penafsiran dalam kitab Ma’alim al-Tanzil, banyak kalangan yang mengkategorikan tafsir ini sebagi tafsir bi al-ma’tsur, yaitu kitab tafsir yang rujukannya bersumber dari Alquran, hadis Nabi saw., dan pendapat sahabat dan tabiin (Manâhil al-‘Irfân fi al-‘Ulûm al-Qur’an, juz 2, hlm. 12)

Baca juga: Popularitas Tafsir al-Baghawi di Masa Lalu

Namun, ada juga sebagian kalangan yang menggolongkan Tafsir al-Baghawi tersebut ke dalam kategori kitab tafsir bi al-iqtirân; model penafsiran yang mengkomparasikan metode al-ma’tsur (berdasarkan riwayat) dan metode al-ra’yi (berdasarkan akal/nalar) (Israiliyât wa al-Maudhu’ât fi Kutub al-Tafsîr, hlm. 127).

Secara historis, kitab ini ditulis pada abad pertengahan pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Belum diketahui waktu spesifik penulisan kitab tersebut, tetapi yang pasti kitab tersebut ditulis dalam rentang waktu masa hidup Imam al-Baghawi sendiri, sekitar tahun 433 H-516 H. (al-Mufassirûn: Hayâtuhum wa Manhajuhum, hlm. 645).

Berdasarkan pengakuan dari Imam al-Baghawi sendiri, beliau menulis kitab tersebut berdasarkan permintaan beberapa sahabat dan murid beliau. Selain permintaan tersebut, tanggung jawab keilmuan yang beliau emban turut berkontribusi dalam memotivasi beliau untuk menulis kitab tersebut (Tafsir al-Baghawi, juz 1, hlm. 46).

Metode Penafsiran

Dalam penulisan kitab Ma’alim al-Tanzil, Imam al-Baghawi berusaha menjauhi penjelasan panjang lebar yang bertele-tele. Beliau lebih mengedepankan penjelasan to the point dengan menghindarkan perdebatan dan penjelasan yang berpotensi mengaburkan poin-poin penting.

Secara umum, langkah-langkah yang dilakukan Imam al-Baghawi dalam kitab Ma’alim al-Tanzil ketika menafsiri Alquran adalah sebagi berikut (al-Baghawi wa Manhajuhu fi al-Tafsir, hlm. 60).

Pertama, menyebutkan nama surah dan jumlah ayatnya.

Kedua, menyebutkan apakah itu surah makkiyah atau madaniyah. Terkadang beliau melakukan perincian berapa ayat atau ayat-ayat apa saja dalam suatu surah yang diklasifikasikan sebagai madaniyyah dan yang termasuk makkiyah.

Ketiga, menyebutkan sebab turunnya ayat jika ada.

Baca juga: Mengenal Corak Tafsir Fiqhi dan Kitab-kitabnya

Keempat, menjelaskan makna lafaz atau kalimat tertentu dengan cara mencari makna asli dan makna kontekstual sembari merujuk kepada ayat-ayat Alquran, hadis-hadis Nabi saw., atau pendapat salaf salih.

Kelima, menyebutkan beberapa i’rab dari kalimat tersebut dan pengaruhnya terhadap makna.

Keenam, ketika ada ayat yang berhubungan dengan akidah dan tauhid, beliau menjelaskan kandungannya berdasarkan pendapat Ahlussunnah dan melakukan penolakan atas pemahaman aliran lain.

Ketujuh, ketika ada ayat yang berhubungan dengan hukum, beliau menyebutkan pendapat-pendapat ahli fikih seperti Imam Syafi’i, Abu Hanifah, dan lain-lain.

Kedelapan, untuk periwayatan, Imam Al-Baghawi menyebutkan semua sanad periwayatannya di awal kitab, sehingga ketika menafsirkan ayat ia tidak perlu lagi menyebutkan sanadnya.

Baca juga: Al-Raghib al-Asfahani dan Kontribusinya di Bidang Kajian Alquran

Secara umum, dapat dikatakan bahwa metode penafsiran yang digunakan Imam al-Baghawi dalam kitab Ma’alim al-Tanzil adalah analitis-linguistik. Beliau berusaha mengurai makna kebahasaan dari suatu ayat, sambil lalu menjelaskan kata-kata yang sukar dipahami.

Tak jarang pula beliau memaparkan kajian fikih serta perbedaan pandangan ulma terkait hukum yang terkandung dalam sebuah ayat. Hal ini tentu wajar mengingat latar belakang keilmuan beliau yang merupakan seorang ahli fikih terkemuka dari mazhab Syafi’i. Oleh karena adanya kajian fikih di beberapa tempat inilah kemudian kitab Ma’alim al-Tanzil diklaim sebagai kitab tafsir bercorak fikih.

Testimoni Ulama tentang Kitab Ma’alim Al-Tanzil

Banyak ulama yang mengakui kepakaran Imam al-Baghawi dalam bidang fikih, tafsir, dan hadis. Di antaranya Imam al-Subki, Imam al-Suyuthi, Imam Ibnu Taimiyah, dan ulama lainnya.

Salah satu komentar ulama mengenai kitab Ma’alim al-Tanzil adalah pernyataan dari Imam al-Khazin, pengarang kitab Lubab al-Ta’wil. Beliau mengatakan bahwa kitab Ma’alim al-Tanzil merupakan karangan yang agung dalam ilmu tafsir. Ia mengumpulkan pendapat-pendapat yang benar, bebas dari pengaburan, pelencengan, dan pemalsuan. Kitab ini juga dihiasi hadis-hadis Nabi, diberi tambahan berupa penjelasan hukum-hukum syar’i, diberi bordiran berupa kisah-kisah yang unik dan kabar-kabar orang dahulu yang menakjubkan, dirangkai dengan isyarat yang paling bagus, diungkapkan dengan ungkapan yang paling jelas, dan dituangkan dalam keindahan dengan redaksi yang fasih (Lubab al-Ta’wil, juz 1, hlm. 3-4).

Baca juga: Sejarah dan Faktor Masuknya Isrāīliyyāt ke dalam Tafsir Alquran

Namun, tak ada gading yang tak retak. Di samping memperoleh guyuran pujian, kitab Ma’alim al-Tanzil juga tak luput dari kritikan. Salah satunya sebagaimana yang disampaikan oleh al-Dzahabi. Beliau mengatakan bahwa di beberapa tempat, dijumpai beberapa kutipan pendapat yang telah diklaim lemah oleh para ulama. Terkadang juga, Imam al-Baghawi menyebutkan beberapa kisah israiliyaat dalam kitab tafsirnya.

Walau bagaimanapun, Imam al-Dzahabi mengakui bahwa secara umum kitab Ma’alim al-Tanzil ini merupakan karya monumental dalam bidang tafsir yang masyhur di kalangan ahli ilmu. Menurutnya, kitab tersebut jauh lebih murni daripada kitab tafsir lain yang banyak diisi oleh riwayat-riwayat israiliyat (al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz 1, hlm. 170).

Mengenal Mushaf Surah Yasin Kementerian Agama

0
Surah Yasin Terbitan Kementerian Agama
Surah Yasin Terbitan Kementerian Agama

Budaya pembacaan Surah Yasin [36] yang termotivasi dari fadhilah atau keutamaannya agaknya telah membawa perubahan dalam tren penerbitan mushaf Alquran. Mushaf berisi hanya Surah Yasin, atau kadang disertai surah dan bacaan lain yang terkait, lantas membanjiri pasar. Momen ini yang kiranya mengundang Kementerian Agama (selanjutnya disingkat Kemenag) untuk turut berpartisipasi dengan ‘misi khusus’ di dalamnya. Pada tahun 2019 silam, untuk pertama kalinya, Kemenag menerbitkan produk mushaf berjudul Surah Yasin: Beberapa Surah dan Tahlil.

Sebagaimana disampaikan Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Agama pada waktu itu, penerbitan mushaf Surah Yasin perdana ini guna memenuhi kebutuhan umat Islam yang terus meningkat. Lebih lanjut, beliau menyebutkan bahwa penerbitan Surah Yasin ke dalam mushaf tersendiri secara khusus didasarkan pada intensitas praktik amaliahnya yang cukup tinggi, terutama dalam berbagai acara keagamaan.

Baca Juga: Tradisi Wirid Yasin di Gogodalem, Semarang

Deskripsi Surah Yasin

Mushaf Surah Yasin ini diterbitkan Kemenag melalui Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan dicetak oleh Unit Percetakan Al-Qur’an (UPQ) pada tahun 2019. Bentuk yang diadopsi adalah bentuk ukuran saku, mengikuti bentuk mushaf yang sama yang telah lebih dahulu populer. Bentuk ini pula yang agaknya sesuai dengan peruntukannya.

Dari segi isi, mushaf ini memuat 11 judul bacaan. Kesebelas judul tersebut secara berurutan adalah: 1) Surah Yasin, disertai keutamaan dan doa setelah membacanya; 2) Surah Al-Kahfi; 3) Surah As-Sajdah; dan 4) Surah Al-Fath, yang ketiganya hanya disertai keutamaannya; 5) Surah Ar-Rahman; 6) Surah Al-Waqi‘ah; 7) Surah Al-Mulk; dan 8) Surah Nuh, yang kelima-limanya tanpa disertai keutamaannya; 9) bacaan tahlil dan doa setelahnya; 10) wirid pendek setelah salat fardu; serta 11) doa selamat.

Mushaf ini ditulis menggunakan font bergaya Isep Misbah sebagaimana mushaf Kemenag lain pasca tahun 2019. Yang membedakan hanya ukuran font dan tentunya pada bagian layout, menyesuaikan ukuran produk yang ada.

Bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Indonesia dengan aksara Arab atau Pegon, kecuali pada bagian sambutan Menteri Agama. Penggunaan bahasa pengantar semacam ini juga banyak dijumpai pada mushaf Surah Yasin lain. Meskipun bagi beberapa konsumen, hal ini akan menimbulkan sedikit kesulitan ketimbang jika menggunakan aksara Latin.

Sayangnya dalam pencarian singkat secara daring, penulis belum menjumpai versi online dari mushaf Surah Yasin ini. Mungkin dengan isi yang relatif sama, Kemenag menganggap cukup akses bacaan tersebut melalui aplikasi Qur’an Kemenag.

Baca Juga: Keutamaan Surat Yasin Dalam Tradisi Masyarakat Muslim Indonesia

Nomenklatur Majmu‘ Syarif

Yang cukup menarik dari mushaf Kemenag ini adalah kendati pada bagian sampul tertulis judul Surah Yasin, tetapi pada bagian dalam, pembaca akan menjumpai tulisan Majmu‘ Syarif: yahtawi ‘ala suwar qur’aniyyah wa ad‘iyyah wa (i)stighfarat wa tawajjuhat ila Allah ‘azz wa jall, yang kira-kira dimaksudkan bahwa mushaf ini berisi kompilasi surah, zikir , dan doa.

Menarik karena pembubuhan frasa majmu‘ syarif agaknya memiliki arti tersendiri. Seperti yang telah diketahui, produk kompilasi surah, zikir, dan doa yang lebih dahulu populer lazim disebut dengan majmu‘ syarif. Sehingga, pembubuhan frasa ini oleh Kemenag dapat berarti setidaknya dua hal.

Pertama, mushaf Surah Yasin Kemenag ini ‘murni’ mengadopsi produk majmu’ syarif yang telah lebih dahulu ramai di pasaran. Kedua, pembubuhan frasa ini di samping pemberian judul resmi di bagian sampul dapat berarti bahwa istilah majmu‘ syarif telah menjadi nomenklatur tersendiri dalam industri permushafan.

Jika mengikuti kemungkinan yang pertama, maka tidak ada salahnya jika mushaf Surah Yasin ini disebut sebagai majmu‘ syarif ‘mini’. Hal ini karena dari segi isi, mushaf Surah Yasin ini hanya menyebutkan sebagian dari isi majmu‘ syarif. Merujuk pada beberapa produk Majmu‘ Syarif, baik dengan pengantar aksara Latin maupun aksara Pegon, disebutkan juga Surah Al-Muzzammil, Surah An-Naba’, doa-doa tahunan, dan bahkan bacaan ratib.

Baca Juga: Mengenal Profil Lembaga Pentashihan Mushaf Al-Quran Kementerian Agama

Akan tetapi jika mengikuti kemungkinan kedua, maka mushaf Surah Yasin ini masuk dalam kategori nomenklatur majmu‘ syarif. Kategori nomenklatur yang mungkin didefinisikan sebagai kumpulan surah Alquran, bacaan zikir, dan doa dengan ukuran, paten isi, dan fungsi utama yang ditonjolkan sebagaimana dapat dipahami dari produk majmu‘ syarif di pasaran.

Namun demikian, terlepas dari masalah frasa majmu‘ syarif, upaya Kemenag yang turut serta dalam kancah penerbitan Surah Yasin ini sangat patut diapresiasi. Sebagaimana juga penulis sebutkan pada ulasan tentang mushaf Juz ‘Amma (baca: Mengenal Mushaf Juz ‘Amma Kementerian Agama), Kemenag telah memberi perhatian secara khusus pada segmen mushaf Surah Yasin melalui penerbitan mushaf terstandarisasi Pemerintah.

Wallahu a‘lam bi al-shawab.

Kerancuan Nama Khuzaimah al-Ansary dalam Sejarah Kodifikasi Alquran

0
Menelusuri Kerancuan Nama Khuzaimah al-Ansary dalam Sejarah Kodifikasi Alquran
Menelusuri Kerancuan Nama Khuzaimah al-Ansary dalam Sejarah Kodifikasi Alquran

Kisah Khuzaimah al-Ansary Dzu-syahadatain, atau Khuzaimah Sang Pemilik Dua Kesaksian lumayan terkenal ketika membicarakan sejarah kodifikasi Alquran. Ia adalah penemu ayat terakhir dalam pengumpulan Alquran di masa Utsman bin Affan r.a. Ketika itu, Zaid bin Tsabit yang sedang dalam proses review master mushaf lagi galau-galaunya. Zaid menyadari ada satu ayat yang ia hafal, tetapi ia tidak memiliki salinannya, yaitu Q.S. Al-Ahzab/33: 23. Kisah ini dikisahkan dalam hadis no. 4988 di Shahih Bukhari serta disebutkan dalam berbagai kitab tafsir.

Terkait dengan penemuan penggalan ayat tersebut, Khuzaimah Dzu-syahadatain juga menjadi bukti nyata mukjizat kebenaran Rasulullah saw. dalam “ramalan” beliau tentang masa depan. Detail peristiwa tersebut telah dikisahkan saudara Muhammad Hisyam Wahid di situs ini pula.

Menurut hemat penulis, kemasyhuran Khuzaimah Dzu-syahadatain disebabkan karena dalam pengalamannya tersebut terpercik i’jaz dari Baginda Nabi Muhammad saw., yang narasinya notabene mengandung unsur supranatural, ajaib, aneh bin nyata. Hal-hal yang spektakuler dalam pandangan masyarakat.

Baca juga: Kisah Khuzaimah bin Tsabit dalam Penulisan Surah Alahzab Ayat 23

Dalam kejadian lain, peristiwa pencarian dokumen mushaf seperti pada Q.S. Al-Ahzab/33: 23 ini juga terjadi pada dua ayat terakhir surah Bara’ah. Ayat laqad ja’akum dianggap tidak mutawatir dan banyak diserang oleh orientalis dalam rangka pelemahan Alquran. Bersama kalangan Syi’ah, mereka berusaha memunculkan keraguan terhadap kemutawatiran Q.S. At-Taubah/9: 128-129 berdalilkan ketidaksesuaian periwayatannya dengan “pakem mutawatir” yang harusnya diterapkan betul-betul sebagai metodologi dalam kodifikasi Alquran (Kemutawatiran Alquran: Metode Periwayatan dalam Sejarah Al-Qur’an, 227).

Untuk dinyatakan sebagai qath’iyyuts tsubut (pasti sebagai wahyu Tuhan), keseluruhan bagian dari ayat Alquran, baik dalam bentuk bacaan (qira’at) maupun tulisannya (rasm) mesti diriwayatkan oleh orang banyak yang secara akal dan kebiasaan tidak mungkin bersepakat untuk berbohong. Mereka juga harus berasal dari jamaah yang sama, dalam hal ini kalangan sahabat Nabi saw. Ini berlaku untuk seluruh tingkatan periwayatannya, dari atas hingga bawah (Tarikh Tasyri’ al-Islami, 81).

Q.S. At-Taubah/9: 128-129 disinyalir tidak memenuhi kriteria mutawatir karena berdasarkan sejarah kodifikasinya ayat ini hanya ditemukan pada satu orang, yaitu (sesuai matan hadis Bukhari no. 4988) Abu Khuzaimah Al-Ansary. Zaid bin Tsabit selaku ketua tim kodifikasi tidak pernah menemukan dokumen tentang ayat ini di tangan orang lain.

Baca juga: Sejarah Kodifikasi Alquran dalam Al-Tibyan fi Ulum al-Quran

Faktanya, banyak anggapan dan justifikasi bahwa Q.S. At-Taubah/9: 128-129 juga ditemukan oleh Khuzaimah Al-Ansary Dzu-syahadatain yang sebenarnya bernama lengkap Khuzaimah bin Tsabit bin al-Fakih Al-Ansary (al-A’lam, juz 2, 305). Contohnya tulisan ini. Akibatnya, muncul asumsi cacat metodologis pada hasil kerja Zaid bin Tsabit. Ia dituduh inkonsisten dalam menerapkan “pakem mutawatir” ketika menemukan ayat ini. Langkah Zaid langsung menerima ayat ini dianggap tergesa-gesa, walau didapatkan dari Dzu-syahadatain.

Padahal para perawi hadis sendiri berpolemik mengenai nama Khuzaimah yang berperan pada pengumpulan Q.S. At-Taubah/9: 128-129. Ada yang menuliskan bahwa ayat tersebut ditemukan pada Khuzaimah, sebagian perawi lain menulis nama Abu Khuzaimah (Fathul Bari, juz 9, hal. 20).

Sehingga muncul pertanyaan: Siapa Khuzaimah al-Ansary yang dimaksud? Apakah hanya ada satu Khuzaimah ataukah mereka aslinya dua orang? Tulisan ini hadir untuk menguak Khuzaimah-Khuzaimah lain yang bersangkut paut dengan kodifikasi, sekaligus membantah pendapat yang mencoreng klaim kemutawatiran Alquran.

Khuzaimah Al-Ansary kedua

Khuzaimah kedua bernama lengkap Abu Khuzaimah bin Aus bin Zaid bin Ashram al-Ansary (Usudul Ghabah, 1311). Seperti halnya Khuzaimah Dzu-syahadatain, Abu Khuzaimah juga seorang Ansar, sehingga ber-laqab al-Ansary. Namun pembedanya, Abu Khuzaimah berdarah Khazraj. Sedangkan Dzu-syahadatain merupakan keturunan Aus.

Abu Khuzaimah adalah salah satu ahlul Badar atau sahabat yang sempat mengikuti perang Badar serta berpartisipasi dalam berbagai peperangan berikutnya. Ia wafat pada masa Utsman, setelah sebelumnya didahului oleh saudaranya bernama Mas’ud yang wafat di masa Umar (Thabaqat Kubra, juz 3, 373).

Baca juga: Ragam Sumber Penyalinan Mushaf Alquran

Kalau hadis tentang penemuan ayat Al-Ahzab yang disimpan Dzu-syahadatain berada pada no. 4988 dalam Shahih Bukhari, hadis mengenai bara’ah berada di nomor selanjutnya, yaitu pada no. 4989. Akan tetapi kronologi lengkapnya sudah diinput terdahulu, yakni pada no. 4986 (Shahih Bukhari, 1274-1276).

Memang dalam kedua riwayat Bukhari tersebut nama Abu Khuzaimah al-Ansary disebutkan secara gamblang, tetapi pemahaman kalangan ulama terhadap teks hadisnya berbeda-beda. Walaupun shohihul matn wal isnad (valid secara matan dan sanad), bisa saja pemahaman pembaca tidak shohihul ma’na (valid memahami maknanya) sebagaimana dalam perkara ini.

Khuzaimah Al-Ansary ketiga

Dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar al-Asqalani menulis bahwa ada riwayat lain dari Abu Dawud yang menyebutkan bahwa manuskrip ayat laqad ja’akum disimpan oleh al-Harits bin Khuzaimah al-Ansary. Ada pula pandangan lain bahwa nama tersebut ialah nama asli Abu Khuzaimah al-Ansary yang dimaksud oleh hadis (Fathul Bari, juz 9, 20). Sehingga, al-Harits bin Khuzaimah menjadi Khuzaimah ketiga dalam tulisan ini.

Adapun Khuzaimah yang ini bernama asli al-Harits bin Khuzaimah bin ‘Ady al-Ansary. Ketika Rasulullah saw. mempersaudarakan kaum Muhajirin yang berhijrah ke Madinah, beliau memasangkan Iyas bin Abi yang datang berhijrah dengan al-Harits sebagai saudara barunya. Al-Harits wafat dalam usia 67 tahun.

Baca juga: Pengumpulan Alquran dan Kisah Diskusi Alot Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit

Anggapan bahwa dialah yang dimaksud sebagai Abu Khuzaimah al-Ansary disebabkan karena kedua nama ini sama-sama terlibat beberapa peperangan bersama Rasulullah saw. Selain itu, keduanya juga berasal dari kabilah Khazraj. Namun, sebenarnya garis keturunan mereka berbeda; al-Harits dari Bani Abdil Asyhal sedangkan Abu Khuzaimah berdarah Bani Najjar (al-Isti’ab, 288).

Asusmi kesamaan ini langsung ditarjih oleh al-Asqalani, ia menetapkan bahwa penyimpan manuskrip yang dimaksud ialah Abu Khuzaimah bin Aus (Fathul Bari, juz 9, hal. 20). Sehingga, dapat disimpulkan bahwa ayat laqad ja’akum tidaklah divalidkan oleh Zaid berdasarkan kekuatan persaksian Khuzaimah Dzu-syahadatain, sebagaimana anggapan sebagian kalangan. Bukan pula didapatkan dari al-Harits bin Khuzaimah yang memiliki kemiripan identitas dengan sang penyimpan ayat, Abu Khuzaimah bin Aus.

Kemutawatiran ayat terakhir

Lalu berlanjutlah pertanyaan, bagaimana kriteria mutawatir terpenuhi sedangkan Zaid bin Tsabit hanya menemukannya pada Abu Khuzaimah? Jawabannya sangat sederhana jika meninjau sisi ontologis sejarah kodifikasi!

Pembantah kemutawatiran Alquran menyangka bahwa megaproyek Zaid bin Tsabit ketika itu bertujuan untuk mengumpulkan ayat-ayat Alquran secara utuh dari para sahabat. Padahal Zaid bin Tsabit beserta seluruh anggota timnya hanya mengumpulkan catatan, dokumen maupun manuskrip Alquran yang dikoleksi para sahabat. Adapun untuk hafalan, mereka sudah tentu menguasainya (The History of The Quranic Text, 84; Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, 122).

Setelah ditemukan, dokumen-dokumen tersebut juga ditinjau kembali para sahabat. Masih ada para ahli seperti Utsman, Umar, Abu Bakar, dan Ali yang terlibat dalam verifikasi dokumen tersebut. Dengan adanya dokumen-dokumen tersebut, validitas Alquran semakin kuat untuk mencapai mutawatir, bukan malah sebaliknya.

Dengan demikian, teks Alquran yang diterima sekarang dapat dipastikan sama persis dengan teks yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. kepada para sahabatnya.