Beranda blog Halaman 79

Tafsir Surah Alhujurat Ayat 13: Merawat Kerukunan, Memberantas Rasisme

0
Tafsir Surah Alhujurat Ayat 13: Merawat Kerukunan, Memberantas Rasisme
Tafsir Surah Alhujurat Ayat 13: Merawat Kerukunan, Memberantas Rasisme

Indonesia merupakan negara multikultural yang dihuni oleh penduduk dari berbagai etnis, suku, bahasa, dan agama. Jika tidak memiliki jiwa nasionalisme yang mengakar, kondisi seperti ini sangat rentan menimbulkan perpecahan dan ketidakharmonisan di tengah-tengah masyarakat heterogen tersebut. Hal yang dikhawatirkan ketika persatuan di masyarakat tidak terjaga adalah goyahnya persatuan dan kesatuan bangsa.

Agar keutuhan dan persatuan tetap terjaga, masing-masing pribadi perlu menyikapi perbedaan-perbedan tersebut secara proporsional. Islam sangat mencela sikap rasis dalam berinteraksi dengan sesama manusia. Dalam hal ini, Alquran, telah memberikan rambu-rambu terkait sikap muslim saat berinteraksi dengan sesama warga negara di tengah-tengah keragaman tersebut.

Dalam Q.S. Alhujurat ayat 13, Allah Swt. berfirman:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Baca juga: Isyarat Larangan Rasisme dalam Alquran, Tafsir Surah Ar-Rum Ayat 22

Menurut sahabat Ibnu Abbas r.a., ayat ini turun merespons sikap rasis sebagian orang Quraish terhadap sahabat Bilal bin Rabah. Kisahnya, ketika penaklukkan Kota Makkah, Nabi saw. memerintahkan sahabat Bilal r.a. naik ke atas Ka’bah guna mengumandangkan azan. Orang-orang Quraish yang menyaksikan kejadiaan tersebut kemudian berkata, “Apakah Muhammad tidak menemukan orang lain untuk mengumandangkaan azan selain budak hitam ini?” Kemudian turunlah ayat ini sebagai teguran atas sikap rasis mereka terhadap sahabat Bilal r.a. [Tanwir al-Miqbas min Tafsir ibn Abbas, juz 1, hlm. 437].

Kandungan Hikmah Surah Alhujurat Ayat 13

Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari ayat di atas, terutama kaitannya dengan konteks negara Indonesia yang multikultural. Menurut Syaikh Wahbah al-Zuhaili, ayat di atas menjelaskan tiga hal penting yang dapat dijadikan pedoman dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Tiga hal tersebut adalah al-musawah (kesetaraan), al-ta’aruf (saling mengenal), dan al-taqwa (ketakwaan) [Tafsir al-Munir, juz 26, hlm. 259].

Allah Swt. menciptakan manusia dari asal yang sama, yaitu Nabi Adam a.s. sehingga semua manusia memiliki derajat yang sama dari aspek kemanusiaaan. Maka secara fitrah, manusia memiliki kedudukan serta hak dan kewajiban yang sama, baik di hadapan syariat maupun dalam kehidupan sosial. Nilai inilah yang dinilai menjadi dasar ideologi demokrasi oleh Syaikh Wahbah al-Zuhaili.

Baca juga: Lima Pedoman Hidup Bermasyarakat: Refleksi Surah Al-Hujurat Ayat 11-13

Menurut Ibnu Asyur, salah satu karakteristik syariat Islam yang merupakan konsekuensi dari universalitas Islam itu sendiri adalah al-musawah (kesetaraan). Semua orang beriman memiliki hak dan kewajiban yang sama di hadapan syariat tanpa memandang latar belakang suku, ras warna kulit, dan lain sebagainya [Maqashid al-Syariah al-Islamiyah, hlm. 106].

Nilai-nilai al-musawah (kesetaraan) ini juga telah disinggung oleh Nabi Muhammad saw. dalam sabda beliau yang berbunyi:

النَّاسُ كَأَسْنَانِ الْمُشْطِ

Manusia itu bagaikan gigi-gigi sisir (H.R. Al-Qadha’i).

Atau dalam redaksi lain

الناس مستوون كأسنان المشط ليس لأحد على أحد فضل إلا بتقوى الله

Manusia itu bagaikan gigi sisir; tidak ada keutamaan satu orang atas orang lain melainkan dengan ketakwaan (H.R. al-Dailami).

Selain itu, Allah menciptakan manusia dengan latar belakang suku dan ras yang berbeda-beda agar manusia bisa saling mengenal dan bersilaturahmi satu sama lain. Di Indonesia saja, masyarakatnya terdiri dari banyak suku, ras, dan etnis. Ada suku Jawa, Sunda, Madura, Sasak, Dayak, dan masih banyak lagi. Dengan adanya perbedaan tersebut, masyarakat dituntut untuk saling mengenal dan memperluas jaringan komunikasi. Jangan sampai perbedan tersebut lantas menyebabkan timbulnya rasisme antargolongan atau bahkan perpecahan.

Menurut Imam al-Zamakhsyari, hikmah yang dapat diambil dari keragaman latar belakang manusia adalah agar manusia bisa saling mengenal satu sama lain. Seseorang akan mudah dikenal dan dibedakan dari orang lain ketika diketahui nasab atau etnisnya. Namun, perbedaan tersebut tidak ditujukan agar manusia berbangga-bangga dengan nasab dan keturunannya [al-Kasysyaf ‘an Haqaiq Ghawamid al-Tanzil, juz 4, hlm. 375].

Baca juga: Inilah Tiga Sikap Kerukunan Umat Beragama Menurut Quraish Shihab

Seorang muslim tidak boleh menganggap ras atau golongannya lebih baik daripada dan atau golongan yang lain. Karena penilaian baik dan buruk itu tidak bisa diukur berdasarkan ras atau golongan.

Maka dari itu, pelajaran ketiga yang dapat dipetik dari ayat di atas adalah takwa dan amal saleh sebagai tolok ukur baik dan buruknya seseorang. Takwa lah yang menjadi neraca untuk mengukur kemuliaan seseorang di sisi Tuhan. Maka dari itu, orang yang paling mulia disisi Allah Swt. tidak diukur dari golongan, ras, atau kasta seseorang, melainkan dari tingkat ketakwaannya kepada Allah Swt. [Tafsir Ibn al-Katsir, juz 7, hlm. 386].

Dalam Islam, yang menjadi barometer kemuliaan seseorang bukanlah paras wajah, warna kulit ataupun ras-golongan, melainkan tingkat keimanan dan amal saleh yang dilakukan. Hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah saw.:

إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ، وَلَا إِلَى أَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

Sesungguhnya Allah tidak melihat paras dan harta kalian, melainkan Allah melihat hati dan amal kalian (H.R. Muslim).

Ala kulli hal, Q.S. Alhujurat ayat 13 ini mengajak umat Islam untuk menumbuhkan nilai-nilai persatuan, saling menghargai satu sama lain, serta mengupayakan keharmonisan antaragama, budaya, etnis, dan ras demi menjaga keutuhan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sekian.

Wahyu Al-Quran dan Keteladanan Nabi Muhammad Saw Sebagai Pejuang Kemanusiaan

0
Nabi Muhammad saw sebagai pejuang kemanusiaan
Nabi Muhammad saw sebagai pejuang kemanusiaan

Selain akhlak mulia, hal yang mungkin luput kita sadari dalam rangka meneladani Nabi saw di bulan maulid ini adalah sosoknya sebagai pejuang kemanusiaan. Nabi Muhammad saw merupakan figur yang berperan penting dalam rangka menghilangkan diskriminasi ras dan ikut andil dalam melakukan transformasi sosial termasuk menghilangkan perbudakan.

Ajaran yang dibawa Rasulullah Saw mendorong para sahabat untuk membebaskan budak. Terobosan yang di abad ke-7 M terbilang sangat maju. Di saat masyarakat lain seperti di Byzantium dan Romawi justru melegalkan perbudakan dan menganggap budak adalah kebutuhan.

Sebagai pejuang kemanusiaan, Nabi Muhammad saw juga sangat dekat dan mencintai orang-orang lemah dan miskin. Bahkan, dalam sebuah riwayat dari Abu Sa’id al-Khudri Rasulullah saw berdoa:

اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مِسْكِينًا، وَأَمِتْنِي مِسْكِينًا، وَاحْشُرْنِي فِي زُمْرَةِ الْمَسَاكِينِ

“Ya Allah, hidupkanlah aku sebagai orang miskin, matikanlah aku sebagai orang miskin, dan kumpulkan aku bersama orang-orang miskin.” (HR. Ibnu Majah, At-Tirmidzi, dan Al-Baihaqi)

Menurut Syekh Ahmad Thayyib sebagaimana dijelaskan dalam situs dar-alifta.org, doa ini tidak tepat diartikan sebagai dorongan umat Islam untuk hidup miskin. Doa ini adalah bentuk kecintaan dan kepedulian Nabi saw kepada mereka. Kecintaan ini membuktikan bahwa Nabi saw adalah pribadi yang sederhana dan berada di pihak orang-orang tertindas.

Baca Juga: Tafsir Surat An-Naml Ayat 34: Penjajahan Menyalahi Fitrah Kemerdekaan Manusia

Sebagai pejuang kemanusiaan dan pembebasan, sejak awal Rasulullah saw telah merangkul orang-orang lemah (mustadh’afin) dan duduk sejajar dengan mereka. Wahyu Al-Quran menyindir perilaku orang-orang Quraisy Makkah yang berbangga-bangga dengan nasab dan harta benda. Sebagaimana misalnya tercantum dalam Surat At-Takatsur (102): 1-8 dan Al-Humazah (104): 1 – 9.

Al-Quran sebagai pedoman Nabi Saw, selalu mendorong kesetaraan sosial dengan tidak membeda-bedakan status sosial. Semua manusia sama dan sejajar di hadapan Allah Swt.

Atas dasar ajaran inilah Allah Swt menegur Nabi Saw ketika tidak menghiraukan Abdullah Ibnu Ummi Maktum yang datang ke hadapannya, sedang Nabi bersama para pembesar Quraisy. Hal ini tentu saja perlu kita pahami sebagai bagian dari sifat manusiawi Nabi Saw. Karena kemakshumannya, Allah Swt yang langsung mengingatkan baginda Nabi saw. Allah Swt berfirman:

عَبَسَ وَتَوَلَّى (1) أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَى (2) وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّى (3) أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَى (4) أَمَّا مَنِ اسْتَغْنَى (5) فَأَنْتَ لَهُ تَصَدَّى

“Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling. Karena seoran buta telah datang kepadanya (Abdullah bin Ummi Maktum). Dan tahukah engkau (Muhammad) barangkali dia ingin menyucikan dirinya (dari dosa). Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, yang memberi manfaat kepadanya. Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup (pembesar-pembesar Quraisy). Maka engkau (Muhammad) memberi perhatian kepadanya. …”

Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Quran al-‘Adzim menerangkan bahwa suatu ketika Rasulullah Saw sedang bercakap-cakap dengan para pembesar Quraisy. Rasul Saw sangat berharap agar mereka dapat memeluk Islam. Seketika datanglah Abdullah Ibn Ummi Maktum, yang telah masuk Islam lebih dulu, hendak menanyakan sesuatu. Akan tetapi Rasul Saw agaknya kurang menghendaki pertanyaan dari Abdullah Ibn Ummi Maktum. Lalu turunlah ayat ini.

Baca Juga: Tafsir Surat at-Takatsur: Kritik Al Quran Kepada Mereka yang Bermegah-Megahan

Dari kasus Surat ‘Abasa ini, kita bisa mengambil contoh bahwa Al-Quran menghendaki Rasulullah Saw selalu menjunjung tinggi nilai keadilan dan kesetaraan. Karena memang inilah inti dari ajaran Islam dan risalah kenabian.

Ajaran kemanusiaan, pembebasan, kesetaraan, dan perjuangan melawan diskriminasi ini wajib menjadi panduan umat Muslim hingga saat ini. Salah satu tokoh yang bisa dikatakan cukup berhasil mengimplementasikan ajaran Al-Quran ini adalah Farid Esack. Ia menggunakan spirit pembebasan Al-Quran untuk menjadi basis teologi dalam meruntuhkan rezim apartheid di Afrika Selatan.

Apartheid adalah kebijakan yang diberlakukan pemerintah Afrika Selatan untuk melakukan segregasi politik dan ekonomi antara kulit putih dan kulit berwarna. Kebijakan ini mendapatkan dukungan dari sebagian komunitas dan lembaga Muslim dengan dalih menghindari fitnah dan melarang pemberontakan.

Baca Juga: Farid Esack: Mufassir Pejuang Keadilan di Afrika Selatan

Dengan menggunakan spirit pembebasan Al-Quran dan keteladanan Nabi Muhammad saw Farid Esack membuat narasi tandingan. Esack menegaskan bahwa sejatinya ajaran Al-Quran dan Sunnah Nabi Saw memiliki agenda pembebasan dan tidak menganut teologi diam. Cerita tentang perjuangan Farid Esack dan konsepnya soal teologi pembebasan al-Quran ini dapat kita temukan dalam bukunya yang berjudul Quran, Liberation, and Pluralism: An Islamic Perpsective of Interreligious Solidarity Against Oppression.

Selain Farid Esack, tentu masih banyak lagi tokoh yang menjadikan ajaran pembebasan Al-Quran dan keteladanan Nabi Muhammad Saw sebagai dasar perjuangan mereka.

Melalui momentum bulan maulid Nabi ini, kita patut berupaya untuk mengimplementasikan ajaran dan keteladan Nabi sebagai pejuang kemanusiaan. Wallahu A’lam.

Pertemuan Unik Najmuddin al-Nasafi dengan al-Zamakhsyari

0
Pertemuan al-Nasafi dan al-Zamakhsyari
Pertemuan al-Nasafi dan al-Zamakhsyari

Sebagaimana telah penulis catat dalam tulisan sebelumnya “Mengenal Tiga Mufasir dari Nasaf Uzbekistan,” tersebutlah Najmuddin ‘Umar al-Nasafi, sosok mufasir paling awal dari Nasaf, hidup pada abad kelima hingga keenam hijriyah, yang semasa dan pernah bertemu dengan pengarang tafsir terkenal al-Kasysyaf, al-Zamakhsyari. Najmuddin al-Nasafi saat itu tengah dalam pengembaraan menuntut ilmu ke berbagai negeri. Dia tercatat belajar kepada banyak guru, salah satunya di Baghdad, pusat peradaban Islam saat itu. Saat dia menuju ke Mekah sekaligus menunaikan ibadah haji, dia mengunjungi al-Zamakhsyari yang telah menetap cukup lama di sana sehingga dijuluki Jarullah(tetangga Allah).

Baca juga: Biografi Al-Zamakhsyari: Sang Kreator Kitab Tafsir Al-Kasysyaf

Momen itu diceritakan dalam beberapa kitab biografi para ulama secara singkat dan unik. Hanya berisi dialog yang kering, tanpa basa-basi, dan tanpa narasi tambahan. Namun begitulah, kemasyhurannya tidak lepas dari kemasyhuran sosok al-Zamakhsyari, mufasir besar yang sangat dikenal oleh pengkaji tafsir hingga dewasa ini. Seakan momen itu ikut menegaskan martabat keulamaan Najmuddin al-Nasafi. Riwayat kisah itu salah satunya dituturkan oleh Muhammad al-Qarasyi, penyusun kitab al-Jawahir al-Madliyyah fi Thabaqat al-Hanafiyah. Lengkapnya sebagai berikut:

Dikisahkan suatu ketika Najmuddin al-Nasafi hendak mengunjungi al-Zamakhsyari di Mekkah. Setibanya di kediaman tokoh itu, dia lalu mengetuk pintu, memohon izin untuk masuk. Lalu al-Zamakhsyari menyahut dari dalam:

“Siapa itu yang mengetuk pintu?”

“’Umar.”

“Pergilah!”

“Wahai Tuanku, ‘Umar tidak akan pergi.”

“Jika ditolak, dia akan pergi.”

(al-Jawahir al-Madliyyah, 2/675)

Selesai. Tidak ada kelanjutannya. Sekilas, kisah ini mengesankan bahwa Najmuddin al-Nasafi tidak sampai masuk ke kediaman al-Zamakhsyari, bahkan diusir. Namun demikian, Maher Adib Habbusy, pen-tahqiq al-Taysir fi al-Tafsir salah satu karya Najmuddin al-Nasafi yang telah bergelut selama kurang lebih 15 tahun mempelajari kehidupan dan karyanya itu, memberikan komentar menarik tentang kisah tersebut.

Dia mengkonfirmasi bahwa begitulah kisah itu diriwayatkan dalam beberapa literatur, tidak kurang tidak lebih. Tak dapat dipastikan bahwa pertemuan itu berhenti di situ saja ataukah hanya potongan kisah belaka. Namun poinnya, pertemuan kedua ulama besar itu terjadi. Tidak masuk akal bahwa Najmuddin al-Nasafi sudah tiba di depan pintu tapi langsung diusir begitu saja. Itu sama sekali tidak mencerminkan pribadi al-Zamakhsyari.

Baca juga: Kisah Khuzaimah bin Tsabit dalam Penulisan Surah Alahzab Ayat 23

Di samping itu, jawaban spontan al-Zamakhsyari “Pergilah!” ketika Najmuddin al-Nasafi mengatakan dirinya “’Umar” menunjukkan bahwa dia telah mengenal tamunya itu. Tak ada pertanyaan lanjutan, “Siapa itu ‘Umar?” dan lain sebagainya. Kemungkinan bahwa keduanya telah bertemu atau meskipun tidak bertemu pernah berkomunikasi, misalnya lewat surat.al-Zamakhsyari tahu bahwa dia bakal mendapat tamu. Percakapan itu alih-alih bermakna permusuhan, justru menunjukkan keakraban antara keduanya. Seakan keduanya telah begitu dekat sehingga percakapan yang terjadi begitu ringkas dan bernuansa guyon. (Muqaddimah al-Taysir fi al-Tafsir, 1/6)

Penjelasan Adib Habbusy di atas nampaknya lebih dapat diterima daripada hanya membaca potongan kisah itu lalu langsung mengambil kesimpulan mutlak. Pasalnya, kisah itu dimuat dalam beberapa kitab biografi ulama ketika menuliskan sosok Najmuddin al-Nasafi. Biasanya, informasi seputar biografi ulama berisi hal-hal yang sekiranya menjadi atribut penting dan istimewa bagi seorang tokoh. Juga tidak disebutkan keterangan apa-apa menyangkut kisah unik itu. Jadi sah-sah saja diinterpretasi seperti demikian. Namun, yang perlu dikedepankan dalam hal ini yaitu berbaik sangka (husnudzan).

‘Ala kulli hal, sejarah mencatat kedua mufasir tersebut adalah ulama besar di zamannya yang diakui luas oleh banyak orang hingga kini. Masing-masing memiliki keistimewaan dan peran penting dalam perkembangan keilmuan Islam, khususnya dalam bidang tafsir Alquran. Wallahua’lam.

Mengenal Tiga Mufasir Terkenal dari Kota Nasaf, Uzbekistan

0
Mengenal Tiga Mufasir Terkenal dari Kota Nasaf, Uzbekistan
Image by LoggaWiggler from Pixabay

Ada sebuah kota di bagian selatan Uzbekistan bernama Qarshi. Dulu, saat berada di bawah imperium Persia bernama Nakhsh ab. Orang Arab menyebutnya Nasaf. Perubahan nama barulah terjadi pasca dikuasai Mongol menjadi Khars, yang berarti benteng, sebab di kota itulah Mongol banyak membangun benteng besar bagi istana baru mereka. Masjid Odina yang kini terkenal sebagai simbol kota itu pun dibangun di atas bekas salah satu istana Mongol.

Kota Nasaf atau Qarshi pada masa kejayaan Islam sejak ditaklukkan pada abad ke-8 M menjelma sebagai salah satu mercusuar kemajuan peradaban Islam sekaligus tercatat sebagai daerah kantong ulama-ulama besar, di samping Bukhara, Samarkand, Termez, Fergana, dan sekitarnya. Di antara para mufasir terkenal yang memiliki karya tafsir asal kepingan bumi “ma wara’a al-nahr” (Transoxiana) itu dan secara formal menggunakan gelar “al-Nasafi” setidaknya ada tiga orang:

  1. Najmuddin al-Nasafi (w. 537 H)

Nama lengkapnya Najmuddin Abu Hafs ‘Umar ibn Muhammad al-Nasafi, lahir pada 461 H. Biasanya, para penulis biografi ulama akan menambahkan “tsumma al-Samarqandi” di belakang namanya sebab dia wafat di Samarkand. Tidak banyak terekam masa hidupnya kecuali bahwa dia adalah sosok pencari ilmu yang mengembara ke beberapa negeri termasuk Hijaz dan Baghdad. Di Hijaz itulah, dia pernah mengunjungi al-Zamakhsyari, pemilik tafsir al-Kasysyaf, yang saat itu menetap cukup lama di sana. Kepada putranya, Abu al-Laits, dia pernah mengungkapkan, “Aku telah berguru dan mendengar hadis dari 550 ulama”.

Di samping mufasir, kepakaran ulama pengikut Hanafi-Maturidi ini tercatat dalam bidang fikih, akidah, hadis, adab, dan sejarah sehingga dia mendapat julukan “Najmuddin—Bintangnya Agama”. Pada semua bidang tersebut karyanya bertebaran, meskipun beberapa kini tidak terlacak, tapi pernah dikutip oleh ulama setelahnya. Karyanya yang paling masyhur yaitu al-‘Aqidah al-Nasafiyah perihal ilmu kalam. Faktor lain mengapa kedudukannya sangat tinggi karena dia bukan hanya pernah berguru kepada beberapa ulama besar saat itu, tetapi juga dari tangannya lahir ulama-ulama mumpuni kemudian.

Baca juga: Farid Esack: Mufasir Pejuang Keadilan di Afrika Selatan

Najmuddin al-Nasafi punya dua karya tafsir, yaitu al-Akmal al-Athwal fi Tafsir al-Qur’an yang terdiri dari empat jilid dan al-Taysir fi al-Tafsir dalam lima belas jilid. Secara umum, di samping banyak memuat diskursus kalam, fikih, dan ulasan aspek kebahasaan dan istilah, ciri khas penafsirannya mendorong kepada penguatan rohani berbasis iman dan takwa. Terbukti, banyak sekali dia mengutip kalam para ulama dan hikmah sufi dalam rangka mendukung penjelasan ayat. Uniknya, beberapa elaborasinya pada hal tersebut terkadang sangat berbeda dari mufasir lain pada umumnya.

Tercatat tafsir karya Najmuddin al-Nasafi ini pernah dinukil oleh beberapa mufasir setelahnya, seperti al-Baidlawi dan al-Alusi. Ciri lain menunjukkan betapa Najmuddin al-Nasafi sangat getol mengkritik pemikiran lain yang menurutnya menyimpang, baik dalam hal akidah maupun penyelewengan praktik sufi (al-Taysir fi al-Tafsir, 1/6).

  1. Burhanuddin al-Nasafi (w. 687H)

Masyhur dengan sebutan Burhanuddin al-Nasafi, nama lengkapnya Abu al-Fadhail Muhammad ibn Muhammad, lahir pada 600 H. Dia hidup pada masa kondisi politik tidak menentu disertai bayang-bayang perang sekaligus menguatnya gerakan pemikiran yang bertumpu pada akidah dan mazhab fikih. Setelah belajar kepada para ulama besar hingga ke Baghdad dan Damaskus, dia meniti jalan keulamaannya dengan menghasilkan banyak karya dan menerima para murid dari berbagai daerah.

Karya-karya Burhanuddin al-Nasafi meliputi ilmu kalam dan perbandingan mazhab, mantik, teknik debat, nahu, fikih, hikmah, serta akhlak. Dia tepatnya lebih sering disebut sebagai teolog daripada seorang mufasir. Beberapa muridnya merupakan ulama besar dalam genealogi Hanafi-Maturidi, seperti Kamaluddin ibn al-Fuwathi, al-Hafidz al-Birzali, dan Jalaluddin al-Hanafi (al-Jawahir al-Madliyyah fi Thabaqat al-Hanafiyyah, 2/172).

Baca juga: Sa’id Hawwa: Penulis Kitab al-Asas fi al-Tafsir yang Bercorak Sufistik

Satu-satu kitab tafsir karya Burhanuddin al-Nasafi yang dicatat dalam kitab-kitab biografi ulama adalah Kasyf al-Haqaiq wa Saryh al-Daqaiq min Tafsir Kalami Rabb al-‘Aziz. Kitab ini merupakan ringkasan dari Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al- Razi. Tidak hanya merangkum kitab tersebut, al-Nasafi juga berusaha memilah bagian mana saja yang kiranya perlu disorot. Kemudian, meskipun tidak terlalu banyak, ditemukan tambahan yang berdasarkan komentarnya sendiri terhadap beberapa hal yang dikemukakan al-Razi.

  1. Abu al-Barakat al-Nasafi (w. 710 H)

Di antara tiga tokoh mufasir terkenal yang disebut dalam tulisan ini, Abu al-Barakat kiranya merupakan yang paling populer. Lahir pada 623 H, Hafidzuddin ‘Abdullah ibn Ahmad al-Nasafi dikenal luas sebagai salah satu ulama penting Hanafiyah. Beberapa tokoh besar menempatkannya pada posisi mujtahid, bahkan diakui lintas mazhab sebagai “’Alamat al-Dunya” serta penjaga teologi Ahlusunnah wal Jama’ah. Penilaian ini berdasarkan pengaruhnya yang kuat di masanya dan pada generasi setelahnya sekaligus karya-karyanya yang secara umum konsentrasi dalam hal akidah dan usul fikih.

Karya tafsir Abu al-Barakat, yaitu Madarik al-Tanzil wa Haqaiq al-Tanzil, sering disebut-sebut sebagai ringkasan al-Kasysyaf dan Tafsir al-Baidlawi. Menurut pengakuannya, kelahiran karya ini atas permintaan beberapa orang supaya dia menulis kitab tafsir yang tidak terlalu panjang dan tidak pula terlalu pendek yang memuat penjelasan padat seputar takwil, qiraat, dan aspek kebahasaan, didukung pandangan-pandangan penting Ahlusunnah wal Jama’ah, serta penolakan terhadap pemikiran batil yang menyimpang.

Maka dari itu, Abu al-Barakat mengambil penafsiran al-Baidlawi dari segi penjelasannya yang detail, pemahamannya yang luas, dan narasinya yang padat serta mudah dicerna. Sementara dari al-Zamakhsyari lebih banyak dalam penjabarannya soal aspek kebahasaan serta diskusinya tentang banyak pemikiran. Dia memilih pandangan al-Zamakhsyari mana yang dapat diambil dan mana yang perlu ditanggapi, bahkan ditolak. Sekali lagi, di antara ketiga tokoh dalam tulisan ini, karya tafsir Abu al-Barakat al-Nasafi merupakan yang paling populer dan sering diteliti di lingkungan akademik dewasa ini (Manahij al-Mufassirin, 215).

Baca juga: Sejarah Perkembangan Tafsir di Afrika Barat

Itulah ketiga mufasir terkenal dari kota Nasaf atau Qarshi, Uzbekistan. Semuanya merupakan penganut mazhab Hanafi dan berakidah Maturidi sebagaimana umumnya penduduk Uzbekistan saat ini. Kedekatan negeri yang dulunya bernama Transoksiana itu dengan Baghdad menjadi faktor utama tumbuh suburnya keilmuan Islam yang berpijak pada pendekatan rasional. Hal tersebut tercermin dalam karya tiga mufasir terkenal dalam tulisan ini yang semuanya merupakan tafsir bi al-ra’yi.

Ketiganya menjadi ikon penting dalam kemajuan peradaban Islam di sana yang kini tinggalannya dapat ditemui dari beberapa masjid dan madrasah yang masih bertahan. Sekarang warisan tersebut mulai dikembangkan lebih serius lagi, meskipun sempat ditekan habis-habisan di bawah pemerintahan Uni Soviet yang anti agama. Wallahua’lam.

Surah Alnisa’ [4]: 59: Beragam Pendapat Ulama Tentang Makna Ulil Amri

0
Boss or leader stands in the middle with a drawn suit.

Beberapa kata di dalam Alquran memiliki lebih dari satu pemaknaan atau penafsiran, salah satunya yaitu kata ulil amri dalam surah Alnisa’ ayat 59. Lumrahnya, kata ini kerap kali dimaknai sebagai pemimpin negara yang kemudian dijadikan argumen untuk patuh kepada seorang pemimpin. Hal ini tidak salah. Namun, jika dilacak dalam kitab-kitab tafsir yang ada, terdapat beberapa tawaran makna dari beberapa ulama yang menjelaskan siapa sebenarnya ulil amri dalam ayat tersebut.

Tafsir Surah Alnisa’ [4]: 59

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di akhirat).

Ayat ini mengandung perintah untuk menaati Allah Swt., Rasul Saw., dan ulil amri. Namun, ketaatan kepada ulil amri bersifat kondisional. Artinya, kita wajib patuh kepada ulil amri selama ia patuh kepada Allah dan rasul-Nya. Karena itulah, dalam ayat tersebut, kata ulil amri tidak diawali dengan perintah tegas athi’u sebagaimana perintah taat kepada Allah dan Rasul. Karena kepatuhan kepada ulil amri disyaratkan patuh kepada Allah dan Rasul. (al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, Jilid 3, 63)

Berbeda dengan penafsiran diatas, Imam al-Razi dan diikuti oleh Syaikh Nawawi al-Bantani justru menjadikan ayat ini sebagai dalil kehujahan ijmak. Beliau memaknai perintah untuk taat kpada uli al-amri sebagai kehujahan ijmak menjadi salah satu sumber syariat selain Alquran dan hadis. (Tafsir Marah Labid, jilid 1, 204 dan al-Razi, Tafsir al-Razi, Jilid 10, 112)

Baca Juga: Surah An-Nisa [4]: 59: Larangan Melakukan Kudeta terhadap Pemerintah yang Sah

Menurut Imam al-Razi, ketaatan kepada ulil amri yang diperintahkan dalam ayat tersebut haruslah totalitas. Sementara itu, Allah Swt. tidak mungkin memerintahkan hambanya untuk taat secara total kepada makluk kecuali makhluk tersebut maksum. [Tafsir al-Razi, Jilid 10, 113)

Jika demikian, maka ulil amri tidak mungkin dimaknai sebagai pemimpin atau ulama secara individual. Sebab, mereka tidak dijamin selalu berada dalam kebenaran. oleh karena itulah, Imam al-Razi memaknai ulil amri sebagai ijmak ulama, karena selain Alquran dan hadis, pendapat kolektif/ijmak ulama lah yang diastikan benar. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Saw. yang  berbunyi:

إِذَا رَأَيْتُمُ الِاخْتِلَافَ فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ فَإِنَّهُ لَا تَجْتَمِعُ أُمَّتِي عَلَى ضَلَالَةٍ

Apabila kalian menjumpai perselisihan, maka berpeganglah kalian kepada suara mayoritas. Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan. (H.R. Al-Daulabi)

Baca Juga: Inilah Cara Memberikan Nasihat Kepada Pemimpin Menurut Al-Quran

Beragam Penjelasan Ulama Tentang Makna Ulil Amri

Terkait makna ulil amri, ulama berbeda pendapat. Menurut Imam al-Thabari, setidaknya ada empat penafsiran yang ditawarkan oleh para ulama terkait makna kata uli al-amri. Empat makna tersebut adalah pemimpin negara, ulama, para sahabat Nabi dan sahabat Abu Bakar dan Umar secara khusus. (Tafsir al-Thabari, Jilid 8, 497-502)

Dalam Tafsir al-Manar, Syaikh Rasyid Ridha menjelaskan bahwa setidaknya ada empat pandangan yang populer dikalangan ulama tafsir terkait makna ulil amri, yaitu khulafa al-rasyidin, para komandan perang, ulama dan imam maksum (yang terakhir ini menurut kaum Syiah). (Tafsir al-Manar, Jilid 5, 149)

Ahmad bin Mustafa al-Maraghi menawarkan makna yang lebih umum untuk ulil amri. Menurutnya, ulil amri adalah para pemimpin negara beserta seluruh jajarannya, ulama, para komandan perang dan setiap pemimpin atau orang ahli yang menjadi rujukan manusia terkait permasalahan hidupnya. Ketika mereka sepakat dan memutuskan suatu perkara, maka manusia wajib mematuhinya selama keputusan tersebut tidak melanggar syariat. (Tafsir al-Maraghi, jilid 5, 72)

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 32: Yang Lebih Penting dari Pemimpin Adalah Kebijakan yang Berpihak kepada Rakyat

Menurut Imam Muqatil bin Sulaiman, yang dimaksud dengan ulil amri dalam ayat tersebut adalah komandan perang. Pandangan ini didasarkan pada sebab turunnya ayat tersebut yang mengisahkan perselisihan antara Khalid bin Walid sebagai komandan perang dengan Amar bin Yasar. Lantas ayat ini turun menjustifikasi Khalid bin Walid sebagai komandan perang yang harus dipatuhi. (Tafsir Muqatil bin Sulaiman, Jilid 1, 382)

Sedangkan menurut K.H. Afifuddin Muhajir, wakil ‘am Syuriah PBNU, ulil amri adalah mereka yang kompeten di bidangnya, semisal dalam urusan kenegaraan, presiden dengan segenap jajarannya adalah ulil amri. Dalam masalah ilmu agama, ulama dan cendikiawan muslim adalah ulil amri. Sedangkan dalam dunia kesehatan, dokter dan petugas kesehatanlah yang menjadi ulil amri.

Dari penjelasan di atas, jelas bahwa ulama tidak satu suara dalam menafsirkan siapa sebenarnaya ulil amri tersebut. Akan tetapi, beberapa penafsiran tersebut sejatinya tidaklah bertentangan. Oleh karenanya, perintah untuk taat kepada ulil amri bisa dilaksanakan meskipun dengan menggabungkan seluruh penafsiran ulil amri yang ditawarkan oleh ulama.

Wallaahu a’lam.

Hubungan Manusia dan Lingkungan Hidup dalam Surah Albaqarah Ayat 30

0
Manusia dan lingkungan hidup dalam surah Albaqarah ayat 30
Manusia dan lingkungan hidup dalam surah Albaqarah ayat 30

Ada dua paradigma umum dalam hubungan manusia dan lingkungan hidup, antroposentrisme dan ekosentrisme. Paradigma antroposentrisme biasa ditengarai dengan posisi manusia yang cenderung ingin menguasai alam hingga mengeksploitasinya, dan memandang bahwa alam dapat menyediakan semua kebutuhan manusia. Sementara paradigma ekosentrisme menengahkan alam baik makhluk hidup maupun tak hidup harus dilindungi dan dilestarikan (Dharmika, Paradigma Ekosentrisme vs Antroposentrisme Dalam Pengelolaan Hutan, 2018).

Perilaku pihak yang menganggap bahwa manusia mampu menguasai alam ini menjadikan sikap yang semakin berani dan menyebabkan krisis ekologi. Nasr menyebutkan bahwa sains dan modernisme yang berlebihan menyebabkan manusia krisis moral, jauh dari Tuhan dan tamak mengeksploitasi alam (Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man, 1968).

Namun, sains dan modernisme secara umum bukanlah penyebab krisis ekologi secara mutlak. Kajian di Inggris tahun 2014 menyebut bahwa umat beragama dan masyarakat sekuler pun memiliki kesadaran tentang perubahan iklim dan pentingnya melindungi alam. Umat beragama yang dijadikan sampel dalam penelitian tersebut adalah umat Muslim dan Kristen, mereka tetap memiliki kesadaran atas lingkungan hidup karena alam juga makhluk Tuhan dan tindakan merusak lingkungan akan dipertanggungjawabkan di akhirat.

Dalam konteks global, tahun 2016 ratusan pemuka agama menandatangani Interfaith Climate Change Statement To World Leaders yang mendesak para pemimpin global untuk mengatasi kenaikan panas bumi (Smith, Connecting Global and Local Indonesian Religious Environmental Movements, 2018). Hal ini bisa dilihat dalam website United Nation Environment Programme yang menyebut bahwa semua agama berkomitmen untuk menjaga lingkungan, program ini juga dikenal dengan istilah Faith for Earth (unep.org).

Sebelumnya, di Indonesia pada tahun 2007 saat pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi UN Climate Summit juga memiliki komitmen dari pemuka agama Indonesia untuk terlibat dalam mengatasi perubahan iklim. Ini juga menunjukkan adanya kesadaran dari pemuka agama Indonesia jauh sebelum adanya Interfaith Climate Change Statement To World Leaders secara global (Smith, 2019).

Jika melihat dari rentang waktu lamanya komitmen untuk mengatasi perubahan iklim (sejak tahun 2007), seharusnya masyarakat Indonesia sebagai masyarakat beragama mampu menunjukkan hasil yang semakin baik atas kelestarian lingkungan hidup. Namun, menurut Statistik Lingkungan Hidup tahun 2019 dari Badan Pusat Statistik masih menunjukkan hasil yang rendah.

Misalnya, kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2019 per bulan September mencapai 328.722 ha (BPS, 2019). Selain itu, tahun 2018 Badan Pusat Statistik juga meluncurkan Indeks Perilaku Ketidakpedulian Lingkungan Hidup (IPKLH) di Indonesia yang masih tinggi. IPKLH yang dihitung selama tahun 2017 ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia masih rendah dalam pengelolaan sampah dan terlalu banyak menggunakan transportasi pribadi (BPS, 2018).

Jika dilihat dari laporan tersebut, baik kebakaran hutan, minimnya pengelolaan sampah, dan tingginya jumlah transportasi pribadi merupakan faktor yang semakin mempercepat perubahan iklim. Secara tidak langsung, hasil ini menguatkan penelitian yang cukup menyedihkan, bahwa di Indonesia isu lingkungan hidup masih minim dalam kurikulum pendidikan, sehingga kesadaran akan lingkungan hidup masih jauh dari anak muda Indonesia (Parker & Prabawa-Sear, 2019). Tentu, penilaian ini menjadi tanggung jawab bersama baik pemerintah maupun masyarakat secara umum.

Meski demikian jika merujuk pada peran agama secara khusus terhadap lingkungan hidup, berbagai riset berbasis agama dan budaya lokal sebenarnya sudah dilakukan (Ichwan, 2012; Maliki, 2011; Safrilsyah, 2014). Riset itu kembali membuktikan adanya kesadaran lingkungan hidup dari masyarakat beragama hingga penganut kepercayaan (Ichwan, 2012).

Baca Juga: Spirit Peduli Lingkungan dalam Penafsiran Alquran

Adi Fauzanto menyebut bahwa NU dan Muhammadiyah memiliki peran dalam problematika pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup (Fauzanto, 2020). Smith menyebut bahwa gerakan-gerakan yang sifatnya lokal tersebut, secara tidak langsung terhubung dengan gerakan mengatasi perubahan iklim secara global (Smith, 2018).

Namun yang ingin digali dalam tulisan ini adalah tinjauan ulang atas praktik pelestarian lingkungan hidup berbasis agama, khususnya dari umat muslim Indonesia. Mengapa masyarakat Indonesia yang 87.2% muslim itu masih gagal dalam pelestarian lingkungan hidup? Tinjauan ulang ini penting karena selama ini, penelitian tentang gerakan umat muslim terhadap lingkungan hidup masih terpisah-pisah sebagai suatu gerakan saja.

Sebagai contoh adalah sesuatu yang sudah dilakukan oleh Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah terkait isu ini (Fauzanto, 2020). Kami kira gerakan saja tidaklah cukup, dibutuhkan adanya pendidikan pelestarian lingkungan hidup masuk dalam muatan kurikulum pendidikan karakter di Indonesia, mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini sampai Pendidikan Tinggi.

Baca Juga: Tafsir Ayat-ayat Tumbuhan Kemenag RI: dari Ragam Tanaman hingga Etika Lingkungan

Manusia dan Lingkungan Hidup Menurut Alquran

Manusia dan lingkungan hidup ternyata sudah mempunyai keterkaitan yang erat sejak awal penciptaannya. Hal ini membuat keduanya tidak bisa dipisahkan. Lingkungan hidup menjadi bagian integral dalam kehidupan manusia. Namun terkadang, manusia merasa dia adalah subjek, sedang lingkungan adalah objek yang bisa diperlakukan semaunya.

Oleh sebab itu, kompetensi ekologis dan sensitifitas seputar ekologi atau lingkungan hidup dapat ditanamkan sejak dini. Di situ akan dilatih mengembangkan kepekaan, kesadaran, pemahaman, pemikiran kritis dan pemecahan masalah yang berhubungan dengan permasalahan lingkungan hidup serta pembentukan etika terhadap lingkungan.

Menjaga lingkungan dalam persepsi Alquran merupakan salah satu tugas pokok manusia. Kelebihan manusia dibanding ciptaan Allah yang lain, misal akal budi membuat manusia wajib untuk menjaga kelestarian lingkungan. Sebagaimana dalam Q.S ِAlbaqarah [2]: 30 sebagai berikut,

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.

Baca Juga: Memperingati Earth Day: Simak Perhatian Al-Quran Terhadap Lingkungan

Di dalam ayat ini terdapat hubungan segi tiga antara Allah, alam, manusia. Menurut Ibn Asyur dalam At-Tahrir wa at-Tanwir, pertanyaan Malaikat yang ada dalam ayat tersebut “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah….” menunjukkan bahwa tugas manusia di bumi adalah menjaga dan mengatur bumi dengan baik.

Menjaga kelestarian lingkungan adalah bagian dari menjaga bumi. Memanfaatkan potensi bumi dengan efektif dan tidak eksploitatif juga bagian dari merawat lingkungan. Mengelola dan mengembangkan potensi alam dengan efektif merupakan bagian dari melestarikan bumi. Semua itu bagian dari pelaksanaan dari tugas khalifah yang disematkan kepada manusia.

Demikian pula sebaliknya, manusia diperingatkan untuk tidak sekali-kali merusak bumi, baik itu dengan pertumpahan darah maupun merusak lingkungan. Segala hal yang menimbulkan kerusakan di muka bumi, apapun yang membahayakan kelestarian lingkungan dilarang oleh Allah sejak awal penciptaan manusia.

Contoh teladan manusia ekologis adalah Rasulullah saw. Beliau melalui hadisnya melarang buang air besar di bawah pohon, apalagi pohon tersebut sedang berbuah. Apresiasi Rasulullah saw. terhadap alam sangat jelas, kiranya karakter Rasulullah dalam menjaga kelestarian lingkungan bisa diterapkan dalam konsep pendidikan lingkungan di Indonesia. Jangankan merusak lingkungan seperti mencemari alam, menebang pohon sembarangan, membuang air besar di bawah pohon saja Rasulullah tidak memperbolehkan.

Meniru Cara Dakwah Santun Nabi Ibrahim

0
Dakwah santun Nabi Ibrahim_Tafsir surah Maryam ayat 42-43

Di antara pelajaran yang dapat diambil dari kisah Nabi Ibrahim adalah komunikasi beliau dengan ayahnya tentang perbedaan akidah yang diikutinya. Kisah ini disampaikan dalam surah Maryam ayat 42-43. Beberapa penafsir memahami ayat ini tidak hanya tentang tata cara berkomunikasi anak dengan ayah, tetapi juga sebagai pedoman berdakwah, tidak hanya kepada keluarga, melainkan kepada setiap orang. Bagaimana dakwah santun Nabi Ibrahim dalam tiga ayat tersebut?

Baca Juga:Kisah Al-Quran: Biografi Nabi Ibrahim dan Perjalanan Dakwahnya

Surah Maryam Ayat 42-43: Dakwah Nabi Ibrahim a.s. Kepada Ayahnya

Jika dikatakan dakwah, maka model dakwah Nabi Ibrahim yang dipahami dari dua ayat tersebut adalah dakwah yang lembut dan santun. Diawali dengan mempertanyakan akidah ayahnya, sebagaimana disampaikan di awal ayat, “Wahai ayahku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolong kamu sedikit pun?” (Q.S. Maryam [19]: 42) “Wahai ayahku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu. Maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.” (Q.S. Maryam [19]: 43)

Apa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim saat menyampaikan dakwah kepada ayahnya? Nabi Ibrahim sangat mungkin telah mengetahui bahwa akidah yang dianut ayahnya adalah salah dan sesat, namun beliau tetap menyeru ayahnya dengan panggilan “Yaa abati” yang artinya, “Wahai ayahku sayang!”

Ungkapan “Yaa abati”, menurut Ali ash-Shabuni dalam Sofwat at-Tafasir, h. 200, menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim sangat sayang kepada ayahnya, beliau sangat berambisi untuk menyelamatkan ayahya dari siksaan, dan menuntunnya pada kebaikan. Untaian kata-kata nabi Ibrahim itu tersusun dengan maksud yang baik.

Kalimat dakwah yang biasanya bermodel kata perintah, pada tiga ayat surah Maryam ini tidak ditemukan, yang ada malah pertanyaan. Sebagaimana tertulis pada ayat 42. “Mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar….?” Hal itu dapat menjadi pelajaran bagi kita, bahwa ketika mengetahui seseorang dalam kekeliruan bukan langsung berkonklusi dan menghakimi bahwa dia salah, melainkan sebagaimana Nabi Ibrahim yang memberikan kesempatan kepada ayahnya untuk menjelaskan alasannya melakukan hal tersebut, Nabi Ibrahim jelas mengetahui bahwa menyembah berhala adalah kesesatan yang nyata namun dia tidak mau langsung menghardik ayahnya, melainkan menanyakan argumentasi dan rasionalisasinya, tetap dengan yang lembut dan santun.

Nabi Ibrahim pada ayat ini tidak secara tegas menyebut berhala sebagai sembahan orang tuanya, tetapi menyebut sifatnya, beliau ketika memberi nasehat kepada ayahnya dengan halus dan tidak mengatainya sebagai orang yang bodoh sehingga menyembah berhala. Nabi Ibrahim betindak halus dan lembut dalam perkataanya. (Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, h.196)

Untuk lebih meyakinkan ayahnya bahwa berhala tidak layak disembah, Nabi yang mempunyai gelar khalilullah ini berkata dengan santun, “wahai ayahku, sungguh telah sampai kepadaku sebagian ilmu yang tidak diberikan kepadamu, yaitu tentang tauhid atau keyakinan kepada tuhan yang layak disembah, maka ikutilah aku dengan penuh keikhlasan dan berimanlah kepada Allah yang esa, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus, yaitu jalan yang akan membawamu menuju kebenaran dan kebahagiaan.” (Tafsir Kementerian Agama RI). Barulah kemudian Nabi Ibrahim menyampaikan pendapatnya yaitu ilmu yang telah diilhamkan dari Tuhannya, petunjuk pada jalan lurus.

Baca Juga: Teladan Nabi Ibrahim dan Ismail tentang Etika ketika Berdoa

Meneladani Dakwah ٍSantun Nabi Ibrahim

Nabi Ibrahim tidak menghina dan merendahkan tindakan yang dilakukan oleh ayahnya. Kata-kata yang dikeluarkan pada saat berdakwah pun adalah kata-kata yang sopan, menarik hati, tersusun rapi, lemah lembut, serta penuh dengan hormat. Berbanding terbalik dengan kondisi saat ini, di media sosial jika ada seseorang yang tiba-tiba viral karena sebuah kesalahan, kebanyakan akan menerima respon yang tidak baik, berupa cacian, sindiran, bahkan hinaan. Tidak sedikit pula yang menghakimi salah.

Cara dakwah santun Nabi Ibrahim sangat bisa dijadikan contoh, bahwa perilaku syirik yang tidak bisa ditolerir sekali pun beliau tolak dengan cara yang ramah dan toleran serta penuh welas asih. Pertama, Orang yang mengajak orang lain, sebut saja pendakwah atau penceramah tetap harus bersikap hormat kepada objek dakwahnya, layaknya Nabi Ibrahim kepada ayahnya.

Kedua, tidak langsung menghakimi, beri kesempatan orang lain yang didakwahi kesempatan untuk mengemukakan pendapat, alasan dan argumentasi tindakan atau perbuatan yang dianggak tidak benar atau kurang baik. Kendatipun ayah Nabi Ibrahim berlaku (menyembah berhala), Nabi Ibrahim tidak menyebut ayahnya dengan kafir. hal ini sangat jelas berbeda dengan apa yang terjadi akhir-akhir ini, satu pihak dengan sangat mudah memberi label kafir kepada pihak yang berseberangan. Wallah a’lam

Keutamaan Istighfar di Waktu Sahur

0
Keutamaan istighfar di waktu sahur
Keutamaan istighfar di waktu sahur

Sahur memang identik dengan nuansa Ramadan. Sebab, saat puasa di Bulan Ramadan, kita disunahkan makan di waktu sahur. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Makan sahurlah kalian karena dalam makan sahur terdapat keberkahan .” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam anjuran Nabi untuk sahur tersebut, ternyata terdapat keutamaan lain yang juga disunahkan, meski sebenarnya tidak terkhusus pada waktu sahur. Keutamaan itu ialah beristighfar, memohon ampun kepada Allah.

Istighfar di Waktu Sahur dalam Alquran

Setidaknya ada dua dalil dalam Alquran yang menyinggung tentang keutamaan istighfar di waktu sahur.

Pertama, surah Adzdzariyat ayat 18. Allah Swt. berfirman:

وَبِالْاَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُوْنَ

“Dan pada akhir malam, mereka memohon ampunan (kepada Allah).”

Di dalam tafsir al-Sa’di, ayat diatas ditafsirkan sebagai gambaran orang bergelar muhsinin, yang berkaitan dengan ayat sebelumnya. Bahwa ciri orang muhsinin adalah mereka memperpanjang salat sampai waktu sahur. Kemudian mereka menutup salat malamnya dengan duduk beristighfar kepada Allah layaknya istighfar seorang pendosa untuk dosanya. Istighfar di waktu sahur ini memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki waktu lain.

Baca juga: Asal Muasal Amalan Baca Surah Alkausar Tujuh Kali saat Sahur

Mengapa mereka mesti beristighfar, padahal salat malam saja sudah menjadi ibadah yang sangat baik? Ternyata, menutup  istighfar menunjukkan bahwa seorang hamba merasa ibadahnya tersebut masih mengandung banyak kekurangan. (al-Tahrir wa at-Tanwir, 25360)

Bahkan di dalam tafsir al-Thabari, mengenai Surah Yusuf ayat 98 yang berisi tentang nabi Ya’qub yang mengundurkan waktu dalam tenggang waktu yang cukup lama demi memohonkan ampunan kepada anak-anaknya. Sebab, beliau memang sengaja ingin melakukannya di waktu sahur meski harus menunggu. Kisah tersebut memberi pelajaran bahwa waktu sahur adalah waktu yang tepat dan utama untuk beristighfar. (Tafsir al-Thabari, 22/413)

Kedua, surah Ali Imran ayat 17. Allah Swt. berfirman:

اَلصّٰبِرِيْنَ وَالصّٰدِقِيْنَ وَالْقٰنِتِيْنَ وَالْمُنْفِقِيْنَ وَالْمُسْتَغْفِرِيْنَ بِالْاَسْحَارِ

“(Juga) orang yang sabar, orang yang benar, orang yang taat, orang yang menginfakkan hartanya, dan orang yang memohon ampunan pada waktu sebelum fajar.”

Menurut Ibnu Katsir, ayat di atas menerangkan sifat orang bertakwa, antara lain munfiqin (orang yang berinfak), dan mustaghfirin bi al-ashar (orang yang beristighfar di waktu sahur). Ayat ini mengisyaratkan keutamaan beristighfar di waktu sahur. Adapun di dalam tafsir al-Qurthubi, bahwa yang mereka pinta adalah agar Allah menutupi aib dan kesalahannya.

Keutamaan Waktu Sahur

Ada relasi kuat antara waktu sahur dengan istighfar. Hal ini terkait dengan waktu sahur yang memiliki keistimewaan. Menurut Ibnu Hajar dalam kitab Fath al-Bari, bahwa berdoa di waktu sahur itu mustajab. Hal tersebut didasarkan sebuah hadis bahwa waktu sahur adalah waktu ketika Allah turun ke langit dunia dan membuka selebar-lebarnya pintu rahmat dan ampunan. (Lihat HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 758)

Imam Nawawi pun turut berkomentar, waktu sahur adalah waktu tersebarnya rahmat, banyak permintaan yang diberi dan dikabulkan, dan juga nikmat semakin sempurna di waktu tersebut.” (Syarh Shahih Muslim, 6/36). Di dalam tafsir al-Thabari, diceritakan kebiasaan sahabat yang patut kita teladani. Nafi’ bercerita bahwa ketika itu Ibnu Umar sedang salat malam, lalu dia berkata, “Wahai Nafi’, apakah sudah tiba akhir malam?”, Nafi’ menjawab, “belum” lalu beliau kembali berdiri melaksanakan salat. Dan ketika aku berkata, “sudah,” lalu beliau duduk beristigfar dan berdoa sampai subuh.

Baca juga: Tafsir Surah At-Taubah Ayat 36: Menanam Amalan di Bulan Rajab

Esensi yang bisa kita ambil dari pemaparan di atas bahwa diantara ciri orang bertakwa adalah bangun sebelum Subuh dan menghabiskannya dengan salat malam dan istighfar. Di samping itu, ada keutamaan pada waktu sahur yang merupakan waktu yang mustajab dan istimewa untuk beristighfar. Bukan hanya menandakan takwa, tapi juga momentum spesial. al-Syarbini dalam tafsir Siraj al-Munir menjelaskan alasan istimewanya istighfar di waktu sahur, selain karena waktu yang mustajab, serta karena di waktu itu ibadah lebih sulit, dan pada waktu itu pula jiwa lebih jernih dan akal lebih khusyuk, terutama bagi ahli tahajud. (Tafsir Siraj al-Munir, 1/202).

Demikianlah keutamaan istighfar di waktu sahur. Meski sebenarnya termasuk ibadah yang bisa dilakukan kapan saja, dengan beristighfar di waktu sahur, kita berarti telah melakukan kesunahan berlapis. Selain itu, juga berarti kita sudah melakukan tuntunan Nabi. Wallahu a’lam.

Profil Mbah Munawwir: Sang Mahaguru para Qurra’ Nusantara

0
Profil Mbah Munawwir: Sang Mahaguru para Qurra’ Nusantara
Mbah Munawwir (Sumber: Almunawwir.com).

Dalam bingkai sejarah Alquran, pasti tak akan bisa dilepaskan dari berbagai peran para guru Alquran dalam proses penyebaran dan pengajaran Alquran. Mulai sejak Alquran itu diturunkan, kemudian ditulis, dikodifikasi, dan disebarkan ke seluruh penjuru dunia, para ulama Alquran menjadi pionir penting dalam tiap proses tersebut. Proses tersebut sejatinya telah dilakukan oleh Malaikat Jibril kepada Rasulullah saw., kemudian secara berangsur ditransmisikan kepada para sahabat, lalu para tabiin dan murid-murid mereka hingga meluas ke seantero dunia sampai masa sekarang.

Ketika berbicara mengenai sejarah para qurra’ yang berjasa mendakwahkan Alquran di Nusantara, pasti akan ditemukan seorang ulama besar, yang dikenal dengan nama K.H. Munawwir. Beliau dijuluki sebagai “Mahaguru para Qurra’ Nusantara” berkat jasanya dalam mendakwahkan Alquran dan menjadi sentral dari lahirnya bibit-bibit para ulama Alquran Nusantara yang masyhur dan terkenal sampai sekarang.

K.H. M. Munawwir atau biasa disebut Mbah Munawwir memilki nama lengkap Muhammad Munawwir bin K.H. Abdullah Rosyad bin K.H. Hasan Beshari. Ia merupakan putra dari K.H. Abdullah Rosyad dan Nyai Khadijah yang lahir di Kauman, Yogyakarta pada tahun 1870 M.

Baca juga: Tradisi Hafalan Alquran di Indonesia

Dilihat silsilah nasabnya, dapat dipastikan bahwa beliau berasal dari keluarga darah biru. Kakeknya, K.H. Hasan Beshari, adalah ajudan Pangeran Diponegoro yang memiliki keinginan kuat untuk dapat menghafalkan Alquran. Namun, ia merasa sangat berat setelah berkali-kali mencobanya. Akhirnya, ia memutuskan diri untuk melakukan riyadhoh dan mujahadah selama sembilan hari. Dari mujahadahnya inilah, Allah mengilhamkan sebuah isyarat bahwa cita-citanya untuk menghafalkan Alquran itu akan dikaruniakan kepada keturunannya (LPMQ, Para Penjaga Al-Qur’an: Biografi Huffaz Al-Qur’an di Nusantara, hal. 15).

Hal yang sama juga dirasakan oleh ayahnya, K.H. Abdullah Rosyad. Selama sembilan tahun riyadhah di Tanah Haram, ia mendapatkan ilham bahwa ia akan dikaruniai dengan anak, cucu, dan keturunan yang hafal Alquran.

Masa Kecil dan Pendidikan Mbah Munawwir

Sejak kecil, bakat dan kecerdasannya sebagai ahli qiraat sudah mulai tampak. Buktinya ketika umurnya masih seusia jagung, ia memiliki daya ingat dan hafalan yang sangat kuat sewaktu ayahnya menyuruhnya untuk menghafalkan surah-surah pendek. Melihat hal itu, ayahnya, K.H. Abdullah Rosyad mulai memotivasi dan mendorongnya untuk menghafalkan Alquran.

Di usia anak-anak, Mbah Munawwir sudah dititipkan di sebuah pesantren daerah Bangkalan, asuhan K.H. Maksum. Di pesantren ini, bakat dan keahlian beliau sudah mulai kelihatan. Kefasihannya dalam membaca Alquran telah mendorong K.H. Maksum untuk menjadikannya imam tiap salat jamaah, padahal masih berusia 10 tahun.

Selain belajar Alquran kepada K.H. Maksum, Munawwir kecil juga banyak menimba ilmu keislaman lainnya kepada para kyai besar dan terkemuka saat itu, seperti Syeikh Khalil bin Abdul Latif (Bangkalan, Madura), K.H. Sholeh Darat (Semarang), K.H. Abdur Rahman (Watucongol, Magelang), dan K.H. Abdullah (Kanggotan, Bantul).

Pergi ke Makkah

Setelah belajar kepada para ulama Nusantara, tahun 1888 M. Mbah Munawwir melanjutkan studinya ke Makkah Al-Mukkaramah. Di sana ia menetap selama 16 tahun dengan mengkhususkan diri belajar Alquran dan ilmu-ilmu pendukung lainnya seperti ulumul Qur’an, tafsir, qira’ah sab’ah dan lain sebagainya. Di kota suci ini, ia berhasil menamatkan 30 juz hafalan Alqurannya dengan sanad yang muttasil (bersambung) melalui gurunya, Syeikh Abdul Karim Umar Al-Badri.

Tidak hanya itu, ia juga sukses menghafalkannya dengan qiraat sab’ah (qiraat tujuh) yang ia peroleh dari gurunya, Syeikh Yusuf Hajar. Kesuksesannya itu, menjadikannya sebagai orang pertama dari Jawa yang berhasil menguasai qiraat sab’ah. (LPMQ, Para Penjaga Al-Qur’an, hal. 22-23)

Baca juga: Belajar Alquran Harus Bersanad!

Setelah 16 tahun di sana, ia kemudian berpindah melanjutkan rihlah ilmiahnya ke kota Madinah Al-Munawwarah. Di kota suci itu, ia banyak belajar berbagai disiplin ilmu keislaman, seperti tauhid, fikih, serta cabang-cabang dan ilmu-ilmu lainnya kepada para masyaikh. Di antara masyaikh tersebut adalah Syekh Abdullah Sanqara, Syekh Syarbini, Syekh Muqri, Syekh Ibrahim Huzaimi, Syekh Manshur, Syekh Abd Syakur, dan Syekh Musthafa.

Alkisah, diceritakan pernah suatu ketika dalam perjalanan Mbah Munawwir dari Makkah menuju Madinah, ia bertemu dengan orang tua yang tak dikenalnya, lalu mengajaknya berjabat tangan. Ketika itu, ia minta doa agar menjadi seorang yang benar-benar hafiz Alquran. Lalu dijawab orang itu: ”Insya Allah”. Menurut muridnya, K.H. Arwani Amin, orang tua tersebut ialah Nabiyallah Khidir a.s. (Al-Albaa’ Anjuma, Testimoni para Penghafal Alquran, hal. 190).

Punya Metode Tersendiri

Dalam upaya supaya hafalannya tetap terjaga di Makkah, K.H. Munawwir punya mode tersendiri. Metode tersebut terdiri dari tiga tahapan sebagai berikut; 1) Pada tiga tahun pertama, ia mengkhatamkan sekali Alquran selama tujuh hari tujuh malam; 2) Tiga tahun selanjutnya, ia mengkhatamkan Alquran dalam waktu tiga hari tiga malam; 3) Tiga tahun terakhir, ia hanya butuh waktu sehari semalam untuk mengkhatamkan Alquran.

Konon, muridnya, K.H. Nur Munawir Kertosono, pernah bercerita bahwa setelah menempuh tiga tahapan tersebut, gurunya pernah mencoba mengkhatamkan Alquran tanpa henti selama 40 hari, sehingga membuat mulutnya berdarah. Dengan motede ini, hafalan K.H. Munawwir menjadi mutqin (kuat) seperti “kaset” yang bisa diputar kapanpun ia mau (LPMQ, Para Penjaga Al-Qur’an, hal. 24).

Beliau tetap mewiridkan Alquran tiap bakda asar dan bakda subuh. Kendatipun sudah hafal, K.H. Munawwir seringkali tetap menggunakan mushaf. Wirid ini tetap ia jaga meski dalam keadaan safar, baik ketika berjalan kaki maupun saat berkendara (Balqis Iskandar, Menjadi Kekasih Al-Qur’an, hal. 38).

Pulang dari Makkah dan Berdakwah dari Kauman ke Krapyak

Setelah menuntut ilmu selama 21 tahun (1909 M.) di Makkah dan Madinah, Mbah Munawwir pulang kembali ke tanah air. Ia menjejakkan kaki kembali ke tanah kelahirannya, Kauman, untuk mengajarkan apa yang selama ini telah ia dapatkan. Di Kauman, ia menyelenggarakan majelis pengajian kecil-kecilan di surau/musala di daerah tersebut. Pengajian yang diasuhnya itu mendapat antusias dan semangat yang tinggi dari masyarakat sekitar, sehingga membuat pengajiannya berkembang pesat.

Ketenaran Mbah Munawwir sampai didengar oleh K.H. Said Cirebon. Sebelumnya, K.H. Said telah mendapat kabar akan kealiman dan kecerdasan K.H. Munawwir selama belajar di Makkah. Keduanya sering berkirim salam, surat, dan hadiah. Menariknya, mereka berdua belum pernah bertatap muka.

Baca juga: Mengenal Kiai Dahlan Khalil, Ahli Alquran dari Rejoso Jombang

Setelah pulang dari Makkah, Mbah Munawwir menyempatkan dirinya untuk matur ke kediaman K.H. Said sebelum ke kampung halamannya. Hal yang sama, juga dilakukan K.H. Said ke tempatnya K.H. Munawwir. Dalam kunjungannya tersebut, K.H. Said memberi saran kepadanya untuk berpindah tempat dakwah dari Kauman ke Krapyak, karena faktor tempat yang kurang strategis dan kecil (Al-Albaa’ Anjuma, Testimoni para Penghafal Alquran, hal. 191).

Dengan penuh pertimbangan, akhirnya Mbah Munawwir pun setuju dengan saran tersebut. Ia berhijrah dari Kauman menuju Krapyak. Di sana, ia membeli sebidang tanah di sebelah selatan Keraton Yogyakarta, milik seorang penjaga gedung. Dari tanah inilah, Mbah Munawwir mulai merintis pondok yang diberi nama Pesantren Krapyak Yogyakarta di akhir tahun 1909 M. Kemudian pesantren tersebut mulai ditempati para santri pada tahun 1910 M. (LPMQ, Para Penjaga Al-Qur’an, hal. 25).

Pendidikan dan pengajaran pada masa Mbah Munawwir tetap menekankan pada bidang Alquran, sesuai dengan keahliannya. Meskipun, tetap dilakukan pengajaran lainnya seperti kitab kuning, fikih, tafsir, hadis, dan lain-lain, tapi hanya sebagai pelengkap saja.

Baca juga: Riyadhah K.H. M. Munawwir Krapyak, dari Wirid Al-Qur’an hingga Bertemu Nabi Khidir

Metode pendidikan dan pengajaran Alquran pada masa itu langsung diasuh oleh Mbah Munawwir. Materi yang disampaikan kepada santri ada dua jenis; pertama, santri yang mengaji Alquran dengan cara membaca mushaf, disebut bin-nadzar; kedua, santri yang mengaji dengan cara menghafalkan mushaf, disebut bil-gaib (LPMQ, Para Penjaga Al-Qur’an, hal. 29).

Dalam pengajarannya, Mbah Munawwir memakai metode musyāfahah, yaitu santri membaca Alquran satu persatu di hadapannya. Jika terjadi kesalahan dalam membaca, ia langsung membenarkannya, kemudian santri langsung mengikuti. Jadi, antara keduanya saling menyaksikan secara langsung. Selain itu, Mbah Munawwir sering kali menyuruh santri senior untuk membenarkan bacaan santri baru dengan cara minta petunjuk kepada temannya yang lebih pandai di luar majelis. Hal ini dapat membawa manfaat bagi santri agar lebih cepat dan lancar di dalam belajar membaca Alquran.

Mencetak para Ulama Besar

Mulai sejak berdiri hingga sekarang, Pesantren Krapyak telah mencetak banyak alim ulama, baik yang berasal dari Jawa maupun luar Jawa, bahkan ada yang dari luar negeri seperti Singapura. Murid-murid Mbah Munawwir di antaranya Arwani Amin (Kudus), Zuhdi (Kertosono), Munawir, Abu Amar (Kroya), Muhyiddin (Bantul Yogyakarta), Hisyam (Kotagede Yogyakarta), Hasbullah (Wonokromo Yogyakarta), Anshor (Pepedan Bumiayu), H. Yusuf, H. Hifni (Bawean), H. Ghozali, dan H. Husein. (Singapura). Murid-muridnya tersebut merupakan guru-guru Alquran yang melanjutkan estafet dakwah Alquran K.H. Munawwir setelah mereka kembali ke daerah masing-masing.

Tercatat selama 33 tahun Mbah Munawwir mengajar banyak di antara muridnya yang membangun pondok pesantren Alquran yang berciri khas Jawa/Madura setelahnya. Di antara mereka seperti K.H, Arwani Amin (Kudus), K.H. Badawi (Kaliwungu, Semarang), K. Zuhdi (Nganjuk, Kertosono), K.H. Umar (Mangkuyudan, Solo), K.H. Umar (Kempek, Cirebon), K.H. Suhaimi (Benda, Bumiayu), K.H. Syatibi (Kyangkong, Kutoarjo). Maka tak mengherankan jika predikat “Mahaguru para Qurra’ Nusantara” disematkan kepadanya.

Salah seorang muridnya, K.H. Arwani Amin, menjadi satu-satunya murid yang mampu menguasai qiraat sab’ah dari dirinya. Bahkan sang guru pernah berpesan, “Kalau kamu tidak mengaji qiraat sab’ah kepadaku, maka mengajilah kepada Arwani Amin Kudus.” Dari K.H. Arwani inilah penyebaran qiraat sab’ah mulai dikenal dan meluas ke seantero pesantren di Nusantara (Agus Priyatno, Transformasi Manajemen Pesantren Penghafal Alquran di Pesantren Yanbu’ul Qur’an Kudus, hal, 86).

Akhir Hayat

Mbah Munawwir wafat pada tanggal 11 Jumadil Akhir 1360 H./06 Juli 1942 M. di rumahnya dalam Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Saat itu orang-orang tengah melaksanakan ibadah salat Jumat sehingga rombongan pembaca surah Yasin belum ada yang hadir. Beliau dimakamkan di sebelah Masjid Patok Negara Dongkelan Kauman, Yogyakarta.

Kisah Utsman bin Thalhah dan Sabab Nuzul Surah Alnisa’ Ayat 58

0
The holy Makkah Masjid Kaaba view.

Kisah Utsman bin Thalhah al-‘Abdary, nama salah satu sahabat Rasul Saw., yang disepakati oleh para mufasir menjadi salah satu orang yang terlibat dalam sabab nuzul surah Alnisa’ [4]: 58. Utsman bin Thalhah masuk Islam pada masa Fathu Makkah, dan ia merupakan seorang yang diberi amanah sebagai juru kunci Kakbah.

اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada pemiliknya. Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu tetapkan secara adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang paling baik kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Alnisa’ [4]: 58)

Tulisan ini bermaksud untuk mengulas kisah Utsman bin Thalhah yang menjadi sabab nuzul atau sebab turunnya ayat ke-58 surah Alnisa’ tersebut, serta hikmah di balik kisahnya yang juga bisa menjadi pelajaran bagi semua manusia dalam adab mengemban amanah.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 58-61

Biografi Utsman bin Thalhah

Nama aslinya adalah Utsman bin Thalhah bin Abdullah bin Abdul Uzza bin Utsman bin Abdud Dar bin Qushayy bin Kilab al-Qurasyi al-‘Abdariy. Ayahnya bernama Thalhah bin Abi Thalhah, dan pamannya bernama Utsman bin Abi Thalhah. Ia memiliki tiga saudara; Musafi’, al-Jallas, dan al-Harits. Mereka semua mati terbunuh dalam keadaan kafir pada Perang Uhud. (Abu Umar Yusuf bin Abdullah an-Namiri al-Qurthubi,al-Isti’ab fi Ma’rifatis Shahabah, Jilid 3,1034).

Ia masuk Islam pada tahun 8 Hijriah, bersama Khalid bin Walid dan Amru bin al-‘Ash. Saat bertemu Utsman di perjalanan menuju Madinah, Khalid sempat ragu untuk mengajaknya masuk Islam, lantaran ia mengerti bahwa seluruh keluarga Utsman terbunuh oleh kaum Muslim pada Perang Uhud.

Namun ternyata, setelah Khalid menawarkannya, Utsman pun setuju untuk bergabung dengannya. Bersama Amru bin al-Ash, berangkatlah mereka bertiga ke Madinah untuk bersama berbaiat kepada Rasulullah Saw. dan masuk Islam. (Abul Fida` Isma’il bin Umar bin Katsir, al-Bidayah wan-Nihayah, Jilid  6, 405).

Utsman lalu tinggal di Madinah sampai Rasulullah wafat. Sepeninggal beliau, Utsman kembali ke Makkah dan tinggal sana, sampai wafatnya pada tahun 42 H. Sepeninggalnya, kunci Kakbah diserahkan kepada Syaibah, sepupunya. (Ibnu al-Atsir, Jami’ul Ushul, Jilid 12, 597).

Baca Juga: Kisah Thalhah Bin Ubaidillah di Perang Uhud

Kisah Utsman bin Thalhah dalam Surah Alnisa’ [4]: 58

Kisahnya bermula dari peristiwa Fathu Makkah. Pembersihan Kakbah dari berhala-berhala Quraisy merupakan salah satu program Fathu Makkah. Pada waktu itu, kunci Kakbah masih dipegang oleh Utsman bin Thalhah.

Ibnu Katsir menghimpun dua riwayat masyhur mengenai kisah Utsman bin Thalhah ini. Pertama, dari jalur Muhammad bin Ishaq. Rasulullah meminta kunci Kakbah dari Utsman untuk beliau masuk ke dalam Kakbah. Beliau menemukan patung burung merpati dari kayu, dan beliau pun menyingkirkannya agar tidak menjadi penghalang bagi kiblat salat.

Setelah Kakbah dibersihkan, Rasulullah Saw. berdiri di depan pintu Kakbah, sementara orang-orang berkumpul di masjid. Kemudian Rasulullah berkhutbah:

لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ، ‌صَدَقَ ‌وَعْدَهُ، ‌وَنَصَرَ ‌عَبْدَهُ، ‌وَهَزَمَ ‌الْأَحْزَابَ ‌وَحْدَهُ، أَلَا إِنَّ كُلَّ مَأْثُرَةٍ تُعَدُّ وَتُدَّعَى، وَدَمٍ وَمَالٍ تَحْتَ قَدَمَيَّ هَاتَيْنِ إِلَّا سِدَانَةَ الْبَيْتِ، أَوْ سِقَايَةَ الْحَاجِّ…

“Tiada Tuhan selain Allah. Dia telah menepati janji-Nya, memenangkan hamba-Nya, dan menaklukkan pasukan sekutu dengan sendiri-Nya. Ketahuilah, seluruh kemuliaan yang dipersiapkan dan diklaim, darah, dan kekayaan,berada di bawah kedua kakiku ini, kecuali wewenang sidanah (perawatan Kakbah) dan siqayah (pemberi minuman kepada jamaah haji)…” (HR. Ahmad)

Setelah itu, Rasulullah duduk di dalam masjid. Datanglah Ali bin Abi Thalib ra. yang membawa kunci Kakbah di tangannya, dan berkata, “Wahai Rasulullah, serahkahlah kewenangan hijabah/sidanah dan siqayah kepada kami. Selawat Allah dilimpahkan padamu.”

Namun, Rasulullah Saw. malah bertanya, “Di mana Utsman bin Thalhah?”.

Dipanggillah Utsman bin Thalhah, kemudian Rasulullah memberikan kunci Kakbah itu sambil berkata, “Inilah kuncimu (kunci Kakbah) wahai Utsman, hari ini adalah hari kebaikan dan penepatan janji,” sembari membacakan ayat ke-58 dari surat Alnisa’ tersebut.

Kedua, yaitu riwayat dari Ibnu Mardawaih dari jalur al-Kalbiy, dari Abu Shalih, dari Ibnu Abbas. Saat peristiwa Fathu Makkah, Rasulullah Saw. memanggil Utsman bin Thalhah dan berkata kepadanya, “Berikan aku kunci Kakbah.” Utsman pun menemui Rasulullah dengan membawa kunci tersebut.

Namun begitu, Utsman menyodorkan kunci itu, Abbas bin Abdul Muthalib berdiri menghampiri Rasulullah Saw., dan berkata, “Wahai Rasulullah, demi ayahku dan ibuku, berikanlah kunci itu dan wewenang memberi minum orang haji kepadaku.” Utsman pun menarik tangannya kembali.

Rasulullah Saw. kembali berkata, “Berikan kepadaku kuncinya, wahai Utsman.” Utsman kembali menyodorkan kuncinya, tetapi Abbas mengatakan permintaannya lagi, dan Utsman pun menarik tangannya lagi.

Rasulullah Saw. kemudian bersabda, “Wahai Utsman, jika kau beriman kepada Allah Swt. dan hari akhir, berikanlah aku kuncinya.” Setelah itu, Utsman pun akhirnya bisa benar-benar memberikannya seraya berkata, “Inilah kuncinya, dengan amanah Allah Swt.”

Rasulullah Saw. menemukan patung Ibrahim as. di dalamnya, dengan obor api yang biasa disembah oleh kaum Quraisy. Singkat cerita, Rasulullah pun menyingkirkannya. Setelah itu, Rasulullah keluar dari Kakbah dan tawaf sekali atau dua kali putaran.

Saat itulah Jibril as. turun dan menyampaikan ayat ke-58 surat Alnisa’, agar kunci Kakbah dikembalikan kepada Utsman. Rasulullah Saw. pun melakukannya, mengembalikan kunci tersebut kepada Utsman sambil menyampaikan ayat tersebut.

Sepeninggalnya, Utsman bin Thalhah menyerahkan kunci Kakbah kepada sepupunya, Syaibah. (Abul Fida` Isma’il bin Umar bin Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 2, 299-300)

Baca Juga: Keistimewaan Ka’bah dalam Al-Quran dan Pahala Memandangnya

Hikmah dari Kisah Utsman bin Thalhah dalam Surah Alnisa’ [4]: 58

Secara historis, ayat tersebut mungkin berkaitan dengan Utsman bin Thalhah. Namun secara umum, ayat tersebut berlaku sebagai pengingat untuk semua manusia, bahwa amanah sebaiknya diserahkan kepada yang ahli dalam melakukannya. Boleh jadi, menjadi juru kunci Kakbah bukanlah tugas yang mudah, serta membutuhkan teknik khusus untuk melakukannya.

Sejak Qushay bin Kilab menyerahkan wewenang penjagaan Kakbah kepada Abdud Dar, putra Qushay dan nenek moyang Utsman, sejak itu pula keturunan Abdud Dar mewarisi teknik penjagaan Kakbah tersebut. Dimulai dari beliaulah penjagaan kunci Kakbah turun temurun sampai ke tangan Utsman. (http://articles.islamweb.net/Media/index.php?page=article&lang=A&id=185872/)

Hal tersebut dilakukan untuk menjaga keutuhan kunci Kakbah dari tangan pertamanya. Sebagaimana resep masakan terkenal suatu daerah perlu diserahkan turun temurun dalam garis keluarga yang menciptakannya, untuk menjaga keutuhan cita rasa masakan tersebut. Barangkali inilah hikmah di balik penyerahan kunci Kakbah tetap kepada Utsman bin Thalhah.

Baca Juga: Tafsir Tarbawi: Belajar Menjaga Amanah

Boleh jadi juga, Utsman bin Thalhah diberi amanah ini karena sikap tawadhu’ yang selalu ia terapkan. Terlepas dari statusnya yang merupakan keturunan langsung dari juru kunci Kakbah, ia tidak pernah sedikitpun meminta kepada Rasulullah Saw. untuk menetapkan kewenangan itu padanya. Ia hanya memberikan kunci itu jika diperintah oleh Rasulullah Saw., sebagai bentuk ketaatannya kepada Allah Swt. dan rasul-Nya.

Wallahu a’lam.