Beranda blog Halaman 78

Keistimewaan Surah Albaqarah [2]: 285-286

0
Penutup Surah Albaqarah, Doa yang Mustajab

Penutup surah Albaqarah ayat 285-286 memiliki keistimewaan, yakni terletak pada ayatnya yang mengandung redaksi doa yang mustajab. Dalam beberapa riwayat hadis, dijelaskan bahwa ketika berdoa menggunakan ayat tersebut Allah Swt. langsung memberikan respon. Berikut penjelasannya.

آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ ۚ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ ۚ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۖ غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ ۖ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا ۚ أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

Sabab Nuzul Ayat

Terkait dengan sabab nuzulnya, sebagaimana yang jelaskan oleh Imam al-Suyuti (Asbabun Nuzul, 2014, 89-90), ayat ini berkenaan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Muslim dan yang lainnya meriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata, “Ketika turun firman Allah Swt. “… وَإِنْ تُبْدُوا مَا فِي أَنْفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللَّهُ … (Albaqarah [2]: 284)”. Para sahabat merasa sedih. Lalu, mereka mendatangi Nabi Saw. dan berlutut dihadapan beliau.

Para sahabat itu berkata, “Telah turun kepada engkau ayat ini, sedangkan kami tidak mampu menanggungnya”.

Nabi Saw. pun berkata, “Apakah kalian ingin mengatakan seperti apa yang dikatakan kedua Ahli Kitab sebelum kalian, ‘Kami mendengar, tetapi kamu tidak mau menurutinya?’. Maka katakanlah, ‘Kami dengar dan kami taat. Ampunilah kami ya Tuhan kami, dan kepada Engkaulah tempat kembali’”.

Ketika mereka dapat mengucapkan kata-kata tersebut dengan mudah, Allah Swt. menurunkan firman-Nya, yakni surah Albaqarah ayat 286.

Baca Juga: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 285

Tafsiran Ayat

Sebagaimana yang ditulis oleh M. Quraish Shihab (Tafsir al-Misbah, Jilid 1, 624) bahwa kedua ayat ini berisi tentang permohonan orang-orang mukmin sambil menyeru nama Allah dengan menyebut rabbana, tanpa menggunakan awalan يا (wahai), yang biasanya digunakan untuk menyeru yang jauh. Hal ini menandakan bahwa adanya kedekatan antara orang mukmin dengan Allah Swt., dan kedekatan itu diakui oleh Allah Swt. sehingga diabadikan dalam kitab suci-Nya.

Menurut Hasbi ash-Shiddieqy, آمَنَ الرَّسُولُ bukan bermaksud menjelaskan bahwa Nabi Saw. telah beriman sebagaimana lafaz lahiriahnya, akan tetapi ayat ini menjelaskan adanya penyanjungan kepada para mukmin yang telah beriman, sebagaimana Nabi Saw. telah beriman.(Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur’anul Majid an-Nuur, Jilid 1, 510)

Orang-orang yang beriman secara tulus akan selalu mempertimbangkan sisi kekurangan dari dirinya, lalu senantiasa menyempurnakannya. Maka dari itu, dalam ayat 285 tersebut, mereka selalu berdoa agar Allah Swt. mengampuni segala kesalahan yang menghalangi mereka untuk mencapai kesempurnaan.

Kemudian dalam ayat 286, Allah Swt. menegaskan bahwa Dia tidak akan memberatkan beban hambanya melebihi kesanggupannya. Ini menunjukkan sifat kelembutan Allah Swt kepada para hamba-Nya. (Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur’anul Majid an-Nuur, Jilid 1, 512)

Salah satu keistimewaan dalam ayat ini adalah penggunakan kata كسبت (kasabat) dan اكتسبت (iktasabat). Diksi kasabat menunjukkan tentang usaha yang baik, sedang iktasabat menggambarkan tentang dosa. Menurut Shihab (Tafsir al-Misbah, Jilid 1, 621), sekalipun kedua kata tersebut dari akar kata yang sama, namun keduanya mengandung makna yang berbeda.

Iktasabat memiliki makna adanya kesungguhan dan usaha yang ekstra. Sedangkan kasaba bermakna sesuatu yang mudah dan tidak disertai dengan usaha yang sungguh-sungguh atau juga menunjukkan usaha yang positif/baik.

Maka, hal tersebut mengisyaratkan bahwa kebaikan, sekalipun baru dalam bentuk niat dan belum terlaksana, sudah mendapatkan imbalan dari Allah Swt. Berbeda dengan perbuatan yang tidak baik. Tindakan itu akan dinilai dosa apabila telah dilaksanakan dengan kesungguhan dalam kenyataan.

Kemudian, Allah Swt. menutup ayat ini dengan doa, yakni permohonan ampun agar Allah tidak menghitung kehilafan atau kesalahan yang diperbuat manusia. Sebaliknya, Allah meringankan beban, memberi maaf dan ampun, rahmat serta pertolongan dalam menghadapi orang-orang kafir. (Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur’anul Majid an-Nuur, Jilid 1, 513)

Baca Juga: Surat Al-A‘raf [7] Ayat 55: Etika Berdoa Menurut Al-Qur’an 

Keistimewaan: Termasuk Doa yang Mustajab

Selain memiliki keistimewaan dari segi tata bahasanya, penutup surah Albaqarah ini diberikan atau diwahyukan kepada Nabi Saw. ketika beliau diperjalankan ke Sidratul Muntaha. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abdullah. Bahwa pada saat itu, Nabi Saw. diberikan tiga hal, yakni perintah salat lima waktu, ayat-ayat penutup surah Albaqarah, serta ampunan bagi umatnya yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun. (Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 3, 578).

Keistimewaan berikutnya adalah ayat di atas mengandung doa, terlebih doa yang mustajab. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Sa’id bin Jabir dari Ibnu ‘Abbas r.a, Ketika berdoa غُفْرَانَكَ رَبَّنَا, maka Allah Swt. menjawab “Aku telah mengampunimu”.

Kemudian, dilanjut dengan  لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا, lalu Allah Swt. menjawab, “Aku tidak akan menghukummu”.

Dan, ketika membaca رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا, Allah berkata, “Aku tidak akan memberimu beban”.

Lalu diteruskan dengan  وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ, Allah menjawab, “Aku tidak akan memberatkanmu”.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Hasyr Ayat 10: Intisari Doa Kasih Sayang dan Pengampunan

Dan وَاعْفُ عَنَّا hingga akhir, Allah menjawab, “Aku telah memaafkan mu, mengampuni mu, merahmatimu, dan telah menolongmu dari kaum kafir. (Al-Baghawi, Tafsir al-Baghawi, Jilid 1, 358)

Ibnu Katsir juga memaparkan yang senada dalam tafsirnya (Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 3, 580-581), bahwa dalam Riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah, ketika berdoa رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا, Nabi Saw. bersabda bahwa Allah Swt. langsung menjawab doa tersebut dengan berkata, “Ya”.

Kemudian dilanjut dengan رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا hingga akhir ayat, maka Allah Swt. pun menjawab dengan, “Ya”.

Wallahu a’lam.

Tafsir Surah At-Tur ayat 21

0
Tafsir Surah At-Tur ayat 48-49
Tafsir Surah At-Tur ayat 48-49

Tafsir Surah At-Tur Ayat 21 menerangkan tentang keadaan orang-orang beriman saat berada di syurga, disebutkan dalam Tafsir Surah At-Tur Ayat 21 bahwa kelak orang-orang yang beriman akan dikumpulkan kembali dengan keluarga mereka, dengan orangtua, istri dan juga anak.

Selain itu, Tafsir Surah At-Tur Ayat 21 ini juga menjelaskan tentang pentingnya mempunyai anak yang shaleh dan shalehah, karena kelak salah satu hal yang menolong orang mukmin di alam kubur adalah doa dari ank-anaknya.


Baca Juga: Berbagai Alasan Memilih Childfree dan Pertimbangannya Menurut Tafsir


Ayat 21

Dalam ayat ini, Allah swt menerangkan bahwa orang-orang yang beriman yang diikuti oleh anak cucu mereka dalam keimanan, akan dipertemukan Allah dalam satu tingkatan dan kedudukan yang sama sebagai karunia Allah kepada mereka meskipun para keturunan itu ternyata belum mencapai derajat tersebut dalam amal mereka. Sehingga orang tua mereka menjadi senang, maka sempurnalah kegembiraan mereka karena dapat berkumpul semua bersama-sama.

Ketika membaca Tafsir Surah At-Tur Ayat 21 ini Ibnu ‘Abbās berkata, bahwa keturunan anak cucu orang-orang beriman akan ditingkatkan oleh Allah swt derajatnya bila ternyata tingkatan mereka lebih rendah dari derajat orang tua mereka.

Kemudian Allah swt memberikan gambaran tentang situasi surga penuh kenikmatan seperti tersedianya makanan mereka di dalam surga. Setiap buah-buahan atau makanan yang mereka inginkan pasti mereka peroleh sesuai dengan selera mereka.

Kemudian digambarkan bagaimana mereka hidup senang di sana. Mereka saling berebutan minum, minum tetap dalam kesopanan, berbicara tentang hal lucu, di sana mereka dilayani oleh pelayan-pelayan yang sangat ramah dan cantik. Mereka juga membicarakan hal ihwal mereka di dunia dahulu sebelum mereka berada di dalam kesenangan dan kemewahan surgawi.

Diriwayatkan bahwasanya Rasulullah bersabda:

اِذَا دَخَلَ الرَّجُلُ الْجَنَّةَ سَأَلَ عَنْ أَبَوَيْهِ وَزَوْجَتِهِ وَوَلَدِهِ. فَيُقَالُ لَهُ إِنَّهُمْ لَمْ يَبْلُغُوْا دَرَجَتَكَ وَعَمَلَكَ. فَيَقُوْلُ رَبِّ قَدْ عَمِلْتُ لِي وَلَهُمْ فَيُؤْمَرُ بِإِلْحَاقِهِمْ بِهِ. (رواه ابن مردويه والطبراني عن ابن عباس)

Apabila seseorang memasuki surga, ia menanyakan kedua orang tuanya, istrinya, dan anaknya, maka dikatakan kepadanya: “Mereka belum sampai pada derajat dan amalanmu.” Maka ia berkata: “Ya Tuhanku, aku telah beramal untukku dan untuk mereka”. Maka (per-mohonannya dikabulkan Tuhan) disuruhlah mereka (orang tua, istri, anak) untuk bergabung dengan dia.” (Riwayat Ibnu Mardawaih dan at-Tabrani dari Ibnu ‘Abbas)

Ini merupakan karunia Allah swt terhadap anak cucu yang beriman dan berkat amal bapak-bapak mereka sebab bapak pun memperoleh karunia Allah swt dengan berkat anak cucu mereka sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw:

اِنَّ اللهَ لَيَرْفَعُ الْعَبْدَ الدَّرَجَةَ فَيَقُوْلُ رَبِّ أَنَّى لِيْ هٰذِهِ الدَّرَجَةُ فَيَقُوْلُ بِدُعَاءِ وَلَدِكَ لَكَ. (رواه أحمد والبيهقي عن أبي هريرة)

Sesungguhnya Allah swt niscaya mengangkat derajat seorang hamba, lalu ia bertanya, “Ya Tuhanku, bagaimana aku memperoleh derajat ini?” Allah menjawab, “Kamu memperolehnya sebab doa anakmu.” (Riwayat Ahmad dan al-Bihaqi dari Abu Hurairah)

Hadis ini sejalan dengan hadis Nabi sebagai berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْه وَسَلَّمَ إِذَا مَاتَ ابْنُ ﺁدَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِﻻّﹶ مِنْ ثَلاَثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ. (رواه مسلم عن أبي هريرة)

Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “Apabila meninggal seorang anak Adam, maka terputuslah amalnya kecuali tiga: amal jariah, atau ilmu yang bermanfaat atau anak yang saleh yang mendoakannya.”(Riwayat Muslim dari Abu Hurairah)


Baca Juga:


Kemudian pada ayat ini Allah menjelaskan lagi, bahwa pahala amal saleh para bapak yang saleh tidak dikurangi, meskipun kedudukan anak dan isteri mereka yang beriman diangkat derajat mereka menjadi sama dengan suami/bapak mereka sebagai karunia Allah swt. Pada akhir ayat ini Allah menegaskan, bahwa setiap orang memang hanya bertanggung-jawab terhadap amal dan perbuatan masing-masing. Perbuatan dosa istri atau anak tidak menjadi tanggung jawab ayah/suami, demikian pula perbuatan dosa ayah/suami tidak dibebankan pada anak atau istrinya.

Hal ini perlu ditegaskan bahwa hal itu merupakan prinsip dasar. Tetapi Allah memberi karunia banyak kepada orang tua yang beriman dan beramal saleh dengan menambah kebahagiaan orang tua untuk memenuhi keinginan orang tua berkumpul di surga bersama anak, istri dan cucu-cucunya, selama mereka beriman, meskipun derajat mereka lebih rendah, tetapi Allah mengangkat mereka menjadi sama dengan bapak yang mukmin dan saleh tadi. Apabila si anak berbahagia masuk surga dan merindukan bersama orang tuanya, maka Allah melimpahkan karunia-Nya, mengangkat bapak ibunya yang beriman untuk mendapat kebahagiaan bersama anak mereka di surga.

Karunia Allah yang demikian tidak mengubah prinsip setiap orang, hanya bertanggung jawab atas perbuatan masing-masing, meskipun tetap ada pengecualian yang lain seperti firman Allah swt:

كُلُّ نَفْسٍۢ بِمَا كَسَبَتْ رَهِيْنَةٌۙ  ٣٨  اِلَّآ اَصْحٰبَ الْيَمِيْنِ ۛ   ٣٩

Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya, kecuali golongan kanan. (al-Muddaththir/74: 38-39)

Setiap orang akan diminta pertanggungjawaban atas perbuatannya di hadapan Allah swt. Tanggung jawab itu tidak akan terlepas dari mereka kecuali golongan kanan yaitu orang-orang yang berbuat baik. Mereka inilah yang akan terlepas dari tanggung jawab disebabkan oleh ketaatan mereka beribadah kepada Allah swt.

(Tafsir Kemenag)


Baca Juga: Cara Agar Berkumpul Bersama Keluarga di Surga


Tafsir Surah At-Tur ayat 18-20

0
Tafsir Surah At-Tur ayat 48-49
Tafsir Surah At-Tur ayat 48-49

Dalam Tafsir Surah At-Tur ayat 18-20 ini dibuka dengan penggambaran rasa suka cita balasan Allah kepada mereka yang selama di dunia takut akan murka Allah dan menjalankan ibadah kepada Allah.

Tafsir Surah At-Tur ayat 18-20 menjelaskan bahwa mereka akan diberi nikmat berada hidup di akhirat sebagai buah amal shaleh selama hidup di dunia. Kelak, di akhirat Allah akan memberikan pasangan yang bermata jeli dan indah, serta menghilangkan segala macam kecemasan, kelelahan ataupun kekhawatiran.


Baca Juga: Benarkah Musibah adalah Adzab dari Allah? Gus Baha: Bukan Hak Kita Menjudge!


Ayat 18

Dalam ayat ini digambarkan bahwa mereka merasakan suka cita dan kebahagiaan yang penuh karena anugrah dan hadiah-hadiah yang dilimpah-kan Allah kepadanya. Mereka tidak pernah terganggu oleh segala macam was-was atau dihinggapi oleh perasaan lelah. Mereka betul-betul berada dalam kesenangan dan kenikmatan serta kelezatan luar biasa, muka mereka berseri-seri, ceria, dan riang gembira. Mereka telah diselamatkan oleh Tuhannya dari azab. Mereka kini merasakan segala kenikmatan dan jauh dari kesengsaraan. Itulah kesenangan yang benar dan nikmat yang abadi.

Ayat 19

Dalam ayat ini Allah membolehkan mereka memakan dan meminum apa yang telah tersedia berupa segala makanan dan minuman yang lezat-lezat. Mereka tidak lagi khawatir bahaya yang akan menimpa seperti halnya apa yang mereka saksikan di dunia tentang adanya bahaya makanan dan minuman. Semua itu sebagai balasan terhadap segala amal baik mereka dan sebagai balasan atas kesungguhan mereka di dunia dalam berbakti kepada Allah swt. Mereka betul-betul merasa nikmat di akhirat itu.

Diriwayatkan bahwa Rabi’ bin Hisyam melakukan salat sepanjang malam. Lalu seorang bertanya kepadanya mengapa ia melelahkan dirinya seperti itu. Maka jawabannya bahwa ia memerlukan istirahat di akhirat nanti. Dalam ayat yang lain yang sama artinya Allah berfirman:

كُلُوْا وَاشْرَبُوْا هَنِيْۤـًٔا ۢبِمَآ اَسْلَفْتُمْ فِى الْاَيَّامِ الْخَالِيَةِ   ٢٤

(Kepada mereka dikatakan),“Makan dan minumlah dengan nikmat karena amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu.” (al-Haqqah 69: 24)

Perkataan hani’an dalam ayat ini berarti kenikmatan makanan dan minuman dan terhindar dari segala apa yang membahayakan.

Orang yang makan di dunia kadang-kadang mendatangkan penyakit dan lain-lain, sehingga ia kurang tenang dan kurang enak makan. Atau ia takut akan segera habisnya makanan itu sehingga ia harus mencarinya lagi. Atau karena habis, lalu kemudian harus memasak lagi hingga matang dan dapat dimakan. Hal-hal seperti ini tidak akan ditemui di surga.

Perkataan “bima kuntum tamalun” dalam ayat ini, berarti sebagai balasan yang telah kamu perbuat di dunia, hal ini sebagai isyarat bahwa Allah telah memenuhi apa yang telah dijanjikan oleh-Nya di dunia, sebab tidak ada nikmat di dunia yang bisa diperoleh tanpa adanya susah payah dahulu. Berlainan halnya dengan nikmat di akhirat. Nikmat di akhirat sebagai balasan atas iman dan amal saleh di dunia sebagaimana dijelaskan oleh Allah di dalam firman-Nya:

يَمُنُّوْنَ عَلَيْكَ اَنْ اَسْلَمُوْا ۗ قُلْ لَّا تَمُنُّوْا عَلَيَّ اِسْلَامَكُمْ ۚبَلِ اللّٰهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ اَنْ هَدٰىكُمْ لِلْاِيْمَانِ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ   ١٧

Mereka merasa berjasa kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah, “Janganlah kamu merasa berjasa kepadaku dengan ke-islamanmu, sebenarnya Allah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuk-kan kamu kepada keimanan, jika kamu orang yang benar.” (al-Hujurat/49: 17)

Ayat 20

Kemudian Allah menyebutkan apa yang mereka nikmati misalnya kasur-kasurnya (dipan-dipannya). Mereka duduk di sofa yang berjajar dengan santai tanpa suatu apapun yang membebani hati mereka. Tidak ada satu masalah pun yang mesti mereka hadapi waktu itu, sebab barang siapa yang duduk, sedangkan ia menghadapi suatu masalah atau di bebani pikiran oleh suatu masalah berarti pikiran dan hatinya tidak tenteram. Pada ayat ini dipergunakan kata-kata yajlis (duduk) bukan kata-kata yattaki’u (duduk santai). Dengan maksud untuk menjelaskan keadaan duduk seseorang yang diliputi kepuasan dan ketenteraman. Maka keadaan di surga itu menunjukkan suatu keadaan yang tenang, tanpa kesusahan, tanpa beban dan tanpa masalah. Dalam ayat yang lain yang sama artinya dikatakan:

عَلٰى سُرُرٍ مُّتَقٰبِلِيْنَ

Duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan. (al-Hijr/15: 47)

Duduk santai sekadar ungkapan, sebagai salah satu contoh tentang kebebasan yang sebenarnya di dalam surga sebagaimana disabdakan oleh Nabi Muhammad saw:

إِنََّ الرَّجُلَ لَيَتَّكِئُ المُتَّكَأَ مِقْدَارَ أَرْبَعِيْنَ سَنَةً مَا يَتَحَوَّلُ عَنْهُ وَﻻَيَمَلُّهُ يَأْتِيْهِ مَا اشْتَهَتْ نَفْسُهُ وَلَذَّتْ عَيْنُهُ. (رواه ابن أبي حاتم)

“Seseorang di dalam surga duduk santai selama 40 (empat puluh) tahun tidak berpindah dan tidak membosankannya, datang kepadanya (tanpa diusahakan) apa-apa yang diingini oleh hatinya dan disenangi oleh matanya.” (Riwayat Ibnu Abi Hatim)

Kemudian diterangkan bahwa mereka di sana menikmati pasangan-pasangan mereka. Allah telah memberi mereka istri-istri yang cantik yang bermata jeli.

(Tafsir Kemenag)


Baca Juga: Bidadari Surga dan Esensi Ganjaran Ukhrawi


Tafsir Surah At-Tur ayat 11-17

0
Tafsir Surah At-Tur ayat 48-49
Tafsir Surah At-Tur ayat 48-49

Melanjuti tafsiran sebelumnya, Tafsir Surah At-Tur ayat 11-17 menyebutkan bahwa bagi orang-orang yang melakukan kejahatan maka di hari kiamat kelak akan dihardik dan di dorong ke dalam neraka Jahannam.

Dalam Tafsir Surah At-Tur ayat 11-17 ini menjelaskan bahwa balasan neraka akan diperuntukkan bagi mereka yang selama hidupnya tidak mempercayai Rasulullah dan mengingkari Islam.


Baca Juga: Perintah Menjaga Diri dan Keluarga dari Api Neraka


Ayat 11-12

Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa azab itu ditimpakan (setelah terjadinya guncangan langit dan beterbangan gunung-gunung) kepada orang-orang pendusta yang bergelimang dengan kebatilan dan selalu menolak kebenaran serta tidak ingat akan adanya hari perhitungan dan tidak pernah takut akan adanya siksaan Tuhan.

Ayat 13

Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa orang-orang yang berbuat kejahatan tersebut, pada hari itu mereka dihardik dan didorong dengan paksa ke dalam neraka Jahannam, yang apinya selalu membakar dan menyala-nyala.

Ayat 14

Setelah mereka dekat dengan neraka, para penjaga menegaskan dengan ejekan, “Inilah neraka, yang dahulu kamu dustakan di dunia.” Pendustaan mereka terhadap neraka berarti dusta mereka terhadap rasul yang telah membawa berita tentang neraka itu, dengan wahyu yang telah diturunkan kepadanya.

Ayat 15

Karena itu dalam ayat ini Allah mengejek mereka, yaitu orang-orang musyrik yang ketika di dunia menganggap Muhammad saw tukang sihir yang menyihir akal dan menutup mata mereka. Allah swt mengejek mereka ketika mereka diazab di akhirat. “Apakah yang mereka lihat dengan mata kepala mereka sekarang ini, seperti azab yang diberitahukan kepada mereka di dunia itu, ataukah mereka masih terlena oleh sihir seperti dahulu mereka menganggap Muhammad saw menyihir mereka di dunia, ataukah mata mereka tidak melihat apa-apa?” Sungguh azab itu telah menjadi kenyataan, mata mereka tidak kena sihir dan tidak pula ditutupi.

Jelasnya apakah dalam penglihatan mereka ada keraguan ataukah mata mereka sedang sakit? Tidak, kedua-duanya tidak, yang mereka lihat itu adalah kenyataan yang sebenarnya.


Baca Juga: Sihir itu Nyata ataukah Hayalan? Inilah Tafsir Ayat tentang Sihir


Ayat 16

Ketika mereka tidak dapat mengingkari kenyataan dan mengakui bahwa itu bukan sihir dan bukan pula akibat salah melihat, Allah swt memerintahkan kepada mereka supaya masuk ke dalam api neraka untuk merasakan panasnya api neraka. Kemudian Allah swt menjelaskan bahwa bersabar atau tidak, keadaannya serupa bagi mereka. Karena seorang yang tidak sabar akan sesuatu, maka ia berusaha untuk menolaknya baik dengan menjauhinya atau pun dengan mengatasinya. Namun, lain halnya dengan hari kebangkitan sebab azab di akhirat tidak sama dengan azab di dunia karena orang yang diazab di dunia, bila ia bersabar ia akan mendapat manfaat dari kesabarannya, baik manfaat yang berupa balasan di akhirat nanti maupun pujian di dunia berkenaan dengan kesabaran dan ke-tabahannya.

Dan kalau dia tidak sabar dengan pengertian berkeluh-kesah tentulah ia dicela dan dianggap kekanak-kanakan. Akan tetapi kesabaran di akhirat tidak ada manfaatnya karena akhirat bukan tempat beramal tetapi untuk mendapat ganjaran dan pembalasan.

Pada akhir ayat ini Allah swt menegaskan bahwa manusia itu akan menerima pembalasan dari Allah. Jika perbuatan mereka di dunia baik, mereka akan menerima balasan yang baik pula di akhirat. Dan jika perbuatan mereka di dunia jahat, mereka di akhirat akan menerima balasan setimpal dengan kejahatannya. Allah berfirman:

وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ اَحَدًا

Dan Tuhanmu tidak menzalimi seorang jua pun. (al-Kahf/18: 49)

Tegasnya Allah akan membalas setiap orang sesuai dengan perbuatannya. Balasan itu akan diterima apakah bersabar atau tidak, pasti terlaksana.

Ayat 17

Dalam Tafsir Surah At-Tur ayat 11-17 khususnya dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa orang-orang yang takut akan murka Tuhannya, mereka melaksanakan ibadat kepada-Nya baik dengan terang-terangan atau tidak, memenuhi kewajiban-kewajibannya terhadap Tuhan, dan menjalankan peraturan-peraturan agama, tidak meng-erjakan suatu perbuatan maksiat yakni tidak menodai dirinya dengan dosa dan tidak menodai jiwanya dengan kemunafikan.

Kepada mereka Tuhan memberikan balasan surga, di dalamnya mereka bersenang-senang. Mereka mendapat apa yang belum pernah mereka lihat, belum pernah mereka dengar, dan belum pernah diterangkan oleh seorang manusia pun. Semuanya itu sebagai balasan atas perbuatan baik mereka selama hidup di dunia. Mereka menjauhi kemewahan duniawi yang membuat lalai pada ibadah serta bersabar atas cobaan-cobaan yang menimpa mereka dengan harapan agar mendapat rida Allah.

(Tafsir Kemenag)


Baca Juga: Tafsir Surah Attahrim Ayat 8: Perintah Tobat tidak Hanya untuk Ahli Maksiat


Tafsir Surah At-Tur ayat 5-10

0
Tafsir Surah At-Tur ayat 48-49
Tafsir Surah At-Tur ayat 48-49

Diawali dengan sumpah Allah dengan langit yang terletak disana ‘Arsy dan kursi-Nya, Tafsir Surah At-Tur ayat 5-10 menegaskan bawa malikat-malaikat senantiasa patuh dan tidak pernah menolak perintah Allah.

Kemudian Tafsir Surah At-Tur ayat 5-10 juga mengisahkan tentang sumpah Allah dengan al-Bahrul-Masjur, laut yang di dalamnya terdapat api. Oleh para ulama, menafsirkan al-Bahrul-Masjur dengan kondisi bumi yang dibawahnya merupakan sebuah lautan api dan ditutupi dengan kulit bumi.

Di akhir penafsiran, Tafsir Surah At-Tur ayat 5-10 ini menerangkan akan azab Allah kepada orang-orang yang menodai dirinya dengan dusta dan dosa. Lalu, digambarkan pula peristiwa kiamat yang akan menenggelamkan alam semesta.


Baca Juga: Apa Makna “Kiamat Sudah Dekat” dalam Al-Quran? Ini Penjelasannya.


Ayat 5

Dalam ayat ini Allah swt bersumpah dengan atap yang ditinggikan (langit) yaitu alam tinggi yang mempunyai beberapa matahari, beberapa bulan, bintang-bintang tetap, dan bintang-bintang beredar. Di sana juga terletak ‘Arasy dan kursi-Nya; demikian juga malaikat-malaikat-Nya (yang tidak pernah menolak perintah Allah swt dan selalu patuh terhadap apa yang Allah perintahkan kepada mereka). Di sana juga ada benda-benda alam yang tak terhitung banyaknya hanya Allah swt yang mengetahuinya, dan balatentara Allah swt yang kita juga tak mengetahui hakikatnya kecuali Dia yang menciptakannya. Dalam firman Allah swt dijelaskan:

وَمَا يَعْلَمُ جُنُوْدَ رَبِّكَ اِلَّا هُوَ

Dan tidak ada yang mengetahui bala tentara Tuhanmu kecuali Dia sendiri. (al-Muddasir/74: 31)

Sufyan ath-Tsaury, Syu’bah dan Abdul Ahwas meriwayatkan dari Simak dari Harb dari Khalid bin Ar’arah dari Ali bahwa As-Saqful Marfu’ artinya ‘langit’. Sufyan membaca firman Allah sebagai berikut:

وَجَعَلْنَا السَّمَاۤءَ سَقْفًا مَّحْفُوْظًا

Dan Kami menjadikan langit sebagai atap yang terpelihara. (al-Anbiya’/21: 32)

Maksudnya ialah bahwa langit itu sebagai atap dan yang dimaksud dengan “terpelihara” ialah segala yang berada di langit itu dijaga oleh Allah swt dengan peraturan dan hukum-hukum yang menyebabkan semuanya berjalan dengan teratur dan tertib, sesuai sistem dan hukumnya.

Ayat 6

Dalam ayat ini Allah bersumpah, Demi al-Bahrul-Masjur (laut yang di dalamnya ada api) yakni laut yang tertahan dari banjir karena kalau laut itu dilepaskan, ia akan menenggelamkan semua yang ada di atas bumi sehingga hewan dan tumbuh-tumbuhan semuanya akan habis musnah. Maka rusaklah aturan alam dan tidaklah ada hikmah alam ini dijadikan.

Sebagian ulama berpendapat dan menetapkan bahwa lapisan bumi itu seluruhnya seperti semangka, dan kulitnya seperti kulit semangka, artinya bahwa perbandingan kulit bumi dan api yang ada di dalam kulitnya itu seperti kulit semangka dengan isinya. Sebab itu, sekarang kita sebenarnya berada di atas api yang besar, yakni di atas laut yang di bawahnya penuh dengan api dan laut itu tertutup dengan kulit bumi dari segala penjurunya. Dari waktu ke waktu api itu naik ke atas laut yang tampak pada waktu gempa dan pada waktu gunung berapi meletus; seperti gunung berapi Visofius yang meletus di Italia pada tahun 1909 M yang telah menelan kota Mozaina, dan gempa  yang telah terjadi di Jepang pada tahun 1952 M yang memusnahkan kota-kotanya sekaligus.

Menurut Jumhur bahwa yang dimaksud dalam ayat ini ialah laut bumi. Akan tetapi mereka berbeda pendapat dalam kata “masjur” di antara pendapatnya ialah berarti: dinyalakan api di hari Kiamat seperti dalam Al-Qur’an:

وَاِذَا الْبِحَارُ فُجِّرَتْۙ  ٣

Dan apabila lautan dijadikan meluap. (al-Infitar/82: 3)

Firman-Nya yang lain:

وَاِذَا الْبِحَارُ سُجِّرَتْۖ  ٦

Dan apabila lautan dipanaskan. (at-Takwir/81: 6)

Ayat 7

Kemudian Allah swt menyebutkan isi sumpah bahwa azab-azab hari Kiamat diperuntunkkan bagi semua yang mendustakan para rasul. Azab tersebut pasti akan terjadi, tanpa ragu sedikitpun.

Penegasan tentang kepastian datangnya azab sangat penting untuk menghilangkan keraguan di kalangan manusia yang meragukan peristiwa terjadinya azab itu.


Baca Juga: Tafsir Surah Yasin ayat 39-40: Semua Makhluk Langit Adalah Ciptaan Allah Swt


Ayat 8-9

Allah menerangkan bahwa azab tersebut tak seorang pun yang dapat menolaknya. Dan tidak pula ada jalan untuk keluar dari azab itu yang merupakan balasan bagi orang-orang yang telah menodai dirinya dengan perbuatan syirik dan dosa, dan yang telah menodai jiwanya dengan dusta terhadap para rasul dan hari kebangkitan.

Kemudian diterangkan pula dalam ayat ini bahwa azab yang tidak dapat dihindarkan itu terjadi pada suatu hari tatkala langit berguncang di tempatnya.

Ayat 10

Dalam ayat ini Allah menambahkan penjelasannya bahwa pada hari Kiamat itu gunung-gunung berpindah dari tempatnya, berjalan seperti jalannya awan, dan terbang ke udara lalu jatuh ke bumi terpecah-pecah, kemudian hancur menjadi debu laksana bulu yang diterbangkan angin.

Berguncangnya langit dan beterbangannya gunung-gunung ialah sebagai pemberitahuan dan peringatan kepada manusia bahwa mereka tidak akan dapat kembali ke dunia, karena ia telah musnah dan telah terjadi alam baru yaitu alam akhirat.

Ayat di atas berkaitan dengan gambaran saat terjadinya kiamat, yang banyak pula disebut di ayat-ayat lainnya. Gunung yang mengekspresikan daratan atau kerak bumi, digambarkan berpindah tempat atau dengan kata lain gunung-gunung itu bergerak. Pergerakan gunung-gunung ini adalah manifestasi pergerakan lempeng bumi (lihat an-Naml/27: 88) dan dapat menimbulkan gempa bumi. Dalam Surah az-Zalzalah/99: 1-4 kejadian kiamat digambarkan dengan datangnya gempa yang dahsyat. Gempa dahsyat ini dapat menimbulkan retakan yang panjang dan dalam yang bukan mustahil memicu terjadinya letusan gunung api. Sebagai contoh adalah ketika terjadi gempa Nias pada tahun 2005 yang berkekuatan Mw=8,7, setelah gempa Aceh 2004, beberapa gunung api di Pulau Sumatra memperlihatkan kegiatan yang meningkat.

Fakta ilmiah memang menunjukkan bahwa gunung-gunung itu bergerak. Data Global Positioning Systems (GPS) merekam gerakan-gerakan tersebut dalam ukuran milimeter. Sebagai contoh adalah pulau-pulau terluar di sebelah barat Sumatra yang bergerak ke arah timurlaut sebesar 50-60 mm/tahun.

(Tafsir Kemenag)


Baca Juga: Gempa Bumi: Isyarat Alquran


 

Tafsir Surah At-Tur ayat 1-4

0
Tafsir Surah At-Tur ayat 48-49
Tafsir Surah At-Tur ayat 48-49

At-Tur bermakna bukit Tursina, sebuah bukit yang menjadi tempat Nabi Musa mendengarkan kalamullah, penjelasan secara singkat terkait pemaknaan surat At-Tur ini berada dalam Tafsir Surah At-Tur ayat 1-4.

Selain itu, Tafsir Surah At-Tur ayat 1-4 juga mengisahkan tentang Baitul Makmur, yang menjadi rumah Thawaf-nya 70.000 malaikat setiap harinya.


Baca Juga: Nabi Musa as yang Ringan Tangan dan Doa Ketika Lapar


Ayat 1

Ayat ini mengutarakan bahwa Allah swt bersumpah dengan at-Tur yang tinggi kedudukannya karena di atas at-Tur itu Allah telah berbicara dengan Nabi Musa dan menurunkan kitab Taurat kepadanya yang berisikan hukum-hukum, hikmat, dan budi pekerti dan mudah dibaca manusia.

At-Tur berarti bukit yaitu Bukit Tursina yakni sebuah bukit di Madyan tempat Nabi Musa mendengarkan kalam Allah swt. At-Tur dalam bahasa Suryani berarti juga bukit yang banyak pohon-pohonnya, tempat di mana Tuhan berbicara langsung dengan Nabi Musa dan di tempat itu pula diangkat menjadi rasul. Dinamakan at-Tur karena banyak pohonnya, bila tidak ada pohonnya, maka tidaklah dinamakan at-Tur, akan tetapi Jabal (gunung).

Allah menggunakan gunung sebagai sumpah-Nya, karena mempunyai peranan penting dalam terjadinya kehidupan di bumi ini. Mengenai gunung dan peranannya, antara lain dapat dilihat pada bahasan beberapa ayat berikut, Luqman/31: 10 dan an-Naml/27: 88.

Bahasan selanjutnya juga dapat dilihat pada an-Naba’/78: 6-7 dan an-Nazi’at/79: 30-32.


Baca Juga: Tugas dan Kedudukan Manusia di Muka Bumi Menurut Al-Qur`an


Ayat 2

Kemudian Allah swt bersumpah dengan sebuah kitab yang tertulis (bertulisan indah) dengan susunan huruf-hurufnya yang rapih. Ada yang berpendapat bahwa maksudnya ialah Lauh Mahfudz, dan ada pula yang berpendapat bahwa arti kitab yang tertulis indah, ialah yang diturunkan dan dibacakan kepada manusia dengan terang-terangan.

Ayat 3

Selanjutnya Allah swt menerangkan dalam ayat ini bahwa kitab-kitab itu mudah bagi setiap orang mempelajari isinya. Kitab-kitab itu berisi hikmah-hikmah, hukum, kebudayaan dan budi pekerti (akhlak); karena itu ditulis pada lembaran-lembaran terbuka yang dapat dibaca.

Ayat 4

Tafsir Surah at-Tur ayat 1-4 khususnya dalam ayat ini Allah swt bersumpah dengan al-Baitul-Ma’mur yaitu sebuah rumah di langit yang ketujuh yang setiap harinya dimasuki oleh 70 ribu malaikat untuk tawaf atau salat. Mereka telah masuk ke sana tidak akan kembali untuk selamanya. Hal ini ditegaskan dalam hadis Isra’ yaitu:

ثَبَتَ فِى الصَّحِيْحَيْنِ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِى حَدِيْثِ اْﻹسْرَاءِ بَعْدَ مُجَاوَزَتِهِ إِلَى السَّمَاءِ السَّابِعَةِ: ثُمَّ رُفِعَ بِى إلَى البَيْتِ الْمَعْمُوْرِ وَاِذَا هُوَ يَدْخُلُهُ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعُوْنَ اَلْفَ مَلَكٍ لاَ يَعُوْدُوْنَ اِلَيْهِ ﺁخِرَ مَا عَلَيْهِمْ. (رواه البخاري ومسلم)

“Terdapat dalam Sahih Bukhari dan Sahih Muslim bahwa Rasulullah saw bersabda dalam hadis tentang Isra’ sesudah melampaui langit ketujuh, kemudian aku diangkat ke Baitul Makmur, tiba-tiba di sana kulihat 70.000 malaikat masuk setiap hari dan mereka tidak akan kembali lagi setelah itu. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Maksud hadis di atas bahwa para malaikat itu beribadat dan melakukan tawaf di sana (Baitul Makmur) seperti halnya manusia di bumi, melakukan tawaf di Ka’bah Mekah. Begitulah keadaan para malaikat itu.

Kemudian Qatadah, Rabi’ bin Anas dan As-Suddi berkata, bahwa Rasulullah saw pada suatu hari berkata kepada para sahabat:

هَلْ تَدْرُوْنَ مَاالْبَيْتُ الْمَعْمُوْرُ؟ قَالُوْا: اَللهُ وُرَسُوْلُهُ اَعْلَمُ قَالَ: فَاِنَّهُ مَسْجِدٌ فِى السَّمَاءِ بِحِيَالِ الْكَعْبَةِ لَوْ خَرَّ لَخَرَّ عَلَيْهَا يُصَلِّى فِيْهِ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعُوْنَ اَلْفَ مَلَكٍ اِذَا خَرَجُوْا مِنْهُ لَمْ يَعُوْدُوْا ﺁخِرَمَا عَلَيْهِمْ .(أخرجه ابن جرير)

“Tahukah kamu apakah Baitul Makmur itu? Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui” Rasulullah berkata, “Baitul Makmur ialah sebuah masjid di langit yang searah dengan Ka’bah dan apabila (seseorang dari sana) jatuh, maka akan jatuh di atas Ka’bah, di sana salat 70.000 malaikat setiap hari; apabila mereka keluar dari sana, tidak akan kembali lagi.” (Riwayat Ibnu Jarir)

(Tafsir Kemenag)


Baca Juga: Hubungan Manusia dan Lingkungan Hidup dalam Surah Albaqarah Ayat 30


 

Tawaran Baru Studi Tafsir di Indonesia ala Fadhli Lukman

0
Tawaran Baru Studi Tafsir di Indonesia ala Fadhli Lukman
Tawaran Baru Studi Tafsir di Indonesia ala Fadhli Lukman

Kerancuan dalam diskursus studi Alquran dan tafsir luput dari pandangan kesarjanaan Muslim belakangan. Beberapa peneliti khususnya di Indonesia -untuk tidak mengatakan keseluruhan- cenderung kurang memperhatikan celah ini. Apakah kajian penelitian yang ditempuh mengarah ke dalam payung studi Alquran ataukah studi tafsir, yang tentu dengan konsekuensi metodologi yang tidak sama.

Diskursus kajian studi Alquran dan tafsir dibedakan dalam hal objek kajian. Studi Alquran menempatkan Alquran sebagai objek utama dalam riset yang dilakukan. Sedangkan studi tafsir membincang produk-produk penafsiran dalam kurun periode waktu tertentu.

Di antara dua diskursus kajian tersebut, Indonesia menempati posisi yang dapat dibilang berandil dalam mewarnai pemikiran keduanya. Lahirnya sejumlah produk penafsiran di Indonesia dari masa pra kemerdekaan hingga sekarang, cukup menjadi bukti bahwa minat kajian keislaman khususnya dalam ranah studi Alquran sangat subur.

Baca juga: Kritik Angelika Neuwirth atas Pendekatan Revisionisme Wansbrough dalam Studi Al-Quran

Namun berkembang pesatnya studi Alquran dalam pengertian di awal, agaknya belum selaras dengan perkembangan studi tafsir di sisi lain. Menurut Fadhli Lukman, perlu diadakan rekonstruksi dalam studi tafsir Indonesia yang selama ini tak terjamah dan cenderung bercampur dengan studi Alquran, yang sejatinya memiliki ranah berbeda.

Berkaitan dengan hal itu, terminologi “tafsir Indonesia” yang populer dipakai para akademisi maupun para pengkaji tafsir di Indonesia, selama ini memiliki kecenderungan problematis. Sebab menurut Fadhli bahwa terminologi tersebut tidak memuat konotasi metodologis. (Lihat Muhammad Arif dkk, Dialektika Keilmuan Ushuluddin: Epistemologi, Diskursus dan Praksis, halaman 70)

Konsekuensinya adalah ketidakjelasan wilayah area riset yang selama ini dipakai oleh banyak akademisi. Terminologi tafsir Indonesia sudah selayaknya lebih ditegaskan dalam wilayah antara kedua disiplin tersebut; apakah studi tafsir atau studi Alquran. Problematika tersebut yang berhasil mencuri perhatian Fadhli Lukman untuk memberikan penegasan teoritis serta tawaran metodologis dalam memberikan arah baru kajian dalam disiplin ini. (Lihat https://studitafsir.com/2021/08/29/fadhli-lukman-mengurai-benang-kusut-kajian-tafsir-nusantara/ )

Tawaran Teoritis

Fadhli Lukman melihat bagaimana arah riset diskursus Alquran dan Tafsir Indonesia belum terlalu jelas, dan masih tarik ulur di antara keduanya. Dalam upaya mengurai kerancuan tersebut, perlu bangunan asumsi yang dikembangkan sebagai pondasi ke depan untuk para pengkaji maupun akademisi. Mendudukkan terminologi tafsir Indonesia ke dalam payung studi tafsir menjadi tawaran konkret yang diajukan. (Lihat Muhammad Arif dkk, Dialektika Keilmuan Ushuluddin: Epistemologi, Diskursus dan Praksis, halaman 71).

Setidaknya ada empat komponen kunci buah tawaran Fadhli. (Lihat Muhammad Arif dkk, Dialektika Keilmuan Ushuluddin: Epistemologi, Diskursus dan Praksis, halaman 64, 71, 77 dan 84). Pertama penekanan pada medan riset antara studi Alquran dan tafsir. Penegasan antara studi Alquran dan tafsir dapat mengklasifikasikan sejauh mana arah riset studi tafsir tersebut. Di samping itu, sebagai sebuah evaluasi untuk menentukan arah baru yang lebih jelas karena perbedaan teoritis di antara kedua disiplin tersebut.

Asumsi kedua, yaitu objek material. Objek material berbicara mengenai sasaran riset daripada tafsir itu sendiri. Sebelum membangun metodologi yang tepat, kedudukan tafsir pada penjelasan umum, yaitu sebagai upaya dalam mengulik makna di balik bahasa dan seluruh aspek pesan yang terkandung dalam Alquran menjadi pengertian paling mendasar.

Objek material di sini akan mampu ditentukan dalam mengarahkan dua disiplin ini, dengan bertolak pada komponen pertama yakni konsekuensi dari medan riset itu sendiri. Sebab titik tekan dari objek studi tafsir dan studi Alquran berbeda, maka medan riset haruslah ditentukan terlebih dahulu.

Asumsi ketiga memposisikan tafsir sebagai tradisi. Tradisi sebagai sebuah istilah yang mengakumulasi langkah historis dalam kajian tafsir. Istilah tradisi tafsir disini, melihat bahwa upaya dalam penafsiran tidak bisa terjadi tanpa mengulik rentetan historis dalam kurun waktu tertentu.

Termasuk di dalamnya karya-karya penafsiran yang telah ada dengan tidak memisahkan karya lain sebagai bahan referensi dalam melihat realitas sosio-kultural yang berkembang di Indonesia. Hubungan yang melekat antara “tradisi” dan penafsiran tidak bisa dilepaskan begitu saja.

Baca juga: Kaidah ‘an-Nadhar asy-Syumuli’ (Pandangan Holistik) dalam Memahami Alquran

Asumsi keempat bahwa dalam menghubungkan antara kedua realitas, baik di dalam maupun yang ada di luar penafsiran perlu dipertegas dalam kategori tertentu. Fadhli menyebutnya sebagai “konteks tafsir dan non tafsir.”

Yang dimaksud dengan konteks non tafsir adalah sejumlah komponen yang secara luas dapat digunakan dalam membantu upaya penafsiran. Dalam kategori ini pengaruh latar sosial, budaya, politik dan intelektual sangat berperan dalam membentuk mufasir menelurkan produk tafsirnya.

Sedang yang dimaksud dengan konteks tafsir yaitu unsur luar dari sebuah produk tafsir namun masih dalam cangkupan tradisi tafsir. Dengan memperhatikan konteks tafsir dalam artian tersebut, berarti peneliti memposisikan produk-produk tafsir lainnya dalam tingkatan posisi yang penting, baik masa sebelum, sesudah atau bahkan semasa dengannya.

Baca juga: Pro Kontra Teori Peminjaman dan Keterpengaruhan Al-Quran Terhadap Yahudi dan Nasrani

Poin ini yang mampu menempatkan produk tafsir dan tafsir tradisi pada proposisi tertentu. Produk tafsir tidak akan berjalan sendiri tanpa melihat dan menimbang rentan historis dengan produk-produk tafsir lainnya.

Sehingga, tujuan dalam sebuah upaya mengkaji produk penafsiran akan dapat tercapai. Yaitu memahami dan mendudukan produk penafsiran sebagai sebuah proses interaksi individu dengan Alquran. Dengan kesadaran ini, bahwa studi tafsir Indonesia dapat secara tegas memberikan batas diskursusnya, sehingga tidak kabur arah riset yang ingin dikembangkan, lebih-lebih bercampur dengan diskursus studi Alquran dengan arah yang berbeda. ( Lihat Fadhli Lukman, Telaah Historiografi Tafsir Indonesia, Analisis Makna Konseptual Terminologi Tafsir Nusantara, halaman 72-73 ).

Prinsip-Prinsip Produksi dalam Alquran

0
prinsip-prinsip produksi dalam Alquran
prinsip-prinsip produksi dalam Alquran

Istilah produksi dalam kajian ekonomi islam disebut dengan injatiyah. Kegiatan produksi dapat diartikan sebagai upaya untuk menambah nilai guna suatu benda atau menciptakan benda baru, sehingga lebih bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan [Teori Fikih Ekonomi, hlm. 68].

Salah satu faktor pendorong kemajuan perekonomian adalah adanya keseimbangan antara produksi dan konsumsi. Kegiatan produksi sangat penting dilakukan mengingat manusia sangat membutuhkan hasil-hasil produksi tersebut untuk dimanfaatkan dalam kehidupan. Oleh karenanya, Imam al-Ghazali berpendapat bahwa kegiatan produksi itu hukumya fardu kifayah, artinya kalau tidak ada satupun yang melakukannya maka semuanya akan menanggung dosa [Ihya al-Ulum al-Din, juz 1, hlm. 16]

Pandangan al-Ghazali tersebut tidaklah aneh mengingat kebutuhan umat tidak akan terpenuhi jika tidak ada seorangpun di antara merka yang melakukan produksi.

Baca Juga: Etika Produksi dalam Alquran

Prinsip-prinsip produksi dalam tafsir

Berbeda dengan produksi dalam ekonomi konvensional, kegiatan produksi dalam Islam tidak boleh melanggar aturan-aturan hukum dan etika yang telah ditetapkan dalam Islam, karena kegiatan produksi dalam Islam bukan hanya bertujuan untuk meraup keuntungan, tetapi juga untuk menciptakan kemanfaatan baik bagi diri sendiri maupun orang lain.

Alquran telah memberikan kita pelajaran terkait tata cara bermuamalah, termasuk di dalamnya yaitu kegiatan produksi. Jika ditelusuri lebih dalam, maka akan didapati banyak ayat Alquran yang memberikan pelajaran penting terkait prinsip-prinsip produksi. Salah satunya adalah Q.S. Al-Nahl ayat 68-69.

وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ (68) ثُمَّ كُلِي مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ فَاسْلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلًا يَخْرُجُ مِنْ بُطُونِهَا شَرَابٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ فِيهِ شِفَاءٌ لِلنَّاسِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (69)

Dan Tuhanmu mengilhamkan kepada lebah, “Buatlah sarang di gunung-gunung, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia. Kemudian makanlah dari segala (macam) buah-buahan lalu tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu).” Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berpikir.

Ayat ini menyinggung tentang lebah, serangga penghasil madu yang bermanfaat bagi manusia. Lebah menghasilkan madu beraneka macam warna yang kaya akan khasiat. Senyawa propolis yang terkandung dalam madu memiliki segudang manfaat terutama untuk teraapi pengobataan berbagai macam penyakit [Propolis; Madu Multikhasiat, hlm. 5]

Baca Juga: Tafsir Surat An-Nahl Ayat 68-69: Keistimewaan Lebah dalam Al-Quran

Filosofi lebah sebagai isyarat prinsip-prinsip produksi

Terdapat beberapa prinsip-prinsip produksi yang dapat diambil dari filosofi lebah dalam ayat di atas.

Pertama, input yang baik. Dalam melakukan tindakan produksi, manusia harus berusaha semaksimal mungkin mencari bahan baku yang baik-baik dan halal, sebagaimana lebah bisa memproduksi madu dari sari pati bunga. Imam al-Razi menyebutkan bahwa Allah telah menciptakan materi-materi bermanfaat di udara yang kemudian menyatu dengan berbagai jenis bunga, buah-buahan dan pepohonan. Lantas Allah memberi ilham kepada lebah untuk menghisap materi-materi tersebut [Tafsir al-Razi, juz 20, hlm. 239].

Kedua, proses yang baik. Lebah mengajarkan manusia untuk melakukan kegiatan produksi dengan cara yang baik, yaitu dengan tidak tidak memberi dampak buruk kepada pihak lain, seperti pencemaran lingkungan akibat limbah produksi yang belum disaring. Meski setiap tindakan produksi (terlebih dalam bidang industri) pasti menimbulkan dampak negatif, paling tidak dampak tersebut dapat diminimalisasi dan ditekan sedemikian rupa [Tafsir al-Sya’rawi, juz 13, hlm. 8057].

Ketiga, output yang dihasilkan harus mempunyai nilai kemanfaatan. Melalui filosofi lebah, Allah telah mengajarkan kepada manusia (terutama pelaku produksi) agar segala sesuatu yang dihasilkan harus memiliki nilai guna. Artinya, selain untuk mencari keeuntungan pribadi, produk yang dihasilkan juga harus memiliki manfaat kepada orang lain. Oleh karenanya, dalam Islam, tidak diperkenankan memproduksi barang-barang yang menimbulkan bahaya dan mudarat.

Baca Juga: Lebah, Semut dan Laba-Laba dalam Alquran

Terkait dengan filosofi lebah, Nabi Muhammad saw. dalam sebuah hadis juga mengumpamakan orang beriman yang baik dengan lebah madu,

إِنَّ مَثَلَ الْمُؤْمِنِ ‏ ‏لَكَمَثَلِ النَّحْلَةِ أَكَلَتْ طَيِّبًا وَوَضَعَتْ طَيِّبًا وَوَقَعَتْ فَلَمْ تَكْسِر ولم تُفْسِد (رواه أحمد والحاكم والبيهقي)

Mu’min (orang yang beriman) adalah laksana lebah madu. Jika dia makan, hanya memakan makanan yang baik, jika mengeluarkan sesuatu adalah sesuatu yang baik pula dan bila hinggap diatas ranting pohon tidak mematahkannya dan merusaknya. (HR. Ahmad, al-Hakim al-Baihaqi).

Dari keterangan diatas, dapat disimpulkan bahwa prinsip produksi dalam Islam selain untuk meraup kuntungan, juga harus diproyeksikan untuk menciptakan nilai kemanfaatan. Selain itu, harus mempertimbangkan norma-norma agama sebagaimana telah disinggung di penjelasan sebelumnya.

Dengan demikian, kemungkinan besar produk yang dihasilkan dari kegiatan produksi itu akan mempunyai nilai guna sekaligus halalan, thayyiban, mubarakan fih. Wallah a’lam.

Pemahaman Malam Isra Mikraj Secara Semiotik

0
pemahaman malam isra mikraj secara semiotika
pemahaman malam isra mikraj secara semiotika

Barangkali umat Islam telah mengerti tentang kisah perjalanan malam Nabi Muhammad saw. ke Baitul Maqdis dan ke sidrat muntaha. Apalagi kalau bukan Isra Mikraj. Malam Isra Mikraj ini jika dipahami secara semiotik, mungkin akan sedikit berbeda dengan yang biasa didengar dari para dai.

سُبْحانَ الَّذِي أَسْرى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بارَكْنا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آياتِنا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Maha Suci Yang telah memperjalankan hamba-Nya pada malam hari dari Masjid al-Haram menuju Masjid al-Aqsha yang diberkahi sekitarnya untuk kami perlihatkan sebagian ayat-ayat kami, sesungguhnya Dia Maha Mendengar Maha Melihat.

Baca Juga: Peringatan Isra-Mikraj: Refleksi Sufistik Kualitas Salat Kita

Perbedaan pandangan mufasir

Surah al-Isra’ ayat 1 menjadi salah satu ayat dalam Alquran yang menimbulkan perdebatan di kalangan ulama hingga dewasa ini. Perdebatan tersebut berkisar pada pertanyaan apakah Nabi Muhammad saw diperjalankan dari Masjid al-Haram menuju Masjid al-Aqsha secara lahir ataukah secara batin.

Mayoritas mufasir berpendapat bahwa perjalanan beliau melibatkan fisik secara keseluruhan, tidak hanya ruh. Sementara pendapat lain yang menyebut perjalanan beliau secara ruh atau mimpi dalam Tafsir al-Tabari dari riwayat Hudzaifah dikuatkan oleh pernyataan Aisyah dan Muawiyah.

Imam al-Razi berpendapat mengenai surah al-Isra’ ayat 1 ini bahwa secara akal dimungkinkan perjalanan Nabi Muhammad saw. secara lahir berdasarkan ayat 40 surah al-Naml yang menyebutkan perihal seorang di zaman Nabi Sulaiman yang mampu menghadirkan singgasana Bilqis dalam sekejap mata. Beliau juga menguatkan pendapat ini dengan berbagai penjelasan aqliyah, seperti pergerakan angin dan tata surya yang menjadi contoh bahwa pergerakan fisik yang demikian cepat dimungkinkan terjadi. Oleh karenanya Isra Mikraj tidak dapat dikatakan sebagai hal yang tidak logis.

Al-Razi juga mengungkapkan pendapat perihal diksi bi abdihi yang menjadi menjadi isyarat bahwa perjalanan beliau bukan hanya ruh melainkan juga fisik. Ta’birnya adalah ayat 10 surah al-Alaq dan ayat 19 surah Jin di mana pada dua surah tersebut diksi abd digunakan untuk menggambarkan kombinasi fisik dan ruh.

Demikian pula al-Qurtubi yang menyebut bahwa riwayat tentang ingkarnya suku Quraisy terhadap perjalanan Nabi Muhammad saw menuju Masjid al-Aqsha menandakan bahwa peristiwa tersebut terjadi secara fisik. Jika sekedar mimpi atau ruh maka menurut al-Qurtubi tidak mungkin sampai terjadi pengingkaran hingga demikian keras dari suku Quraisy.

Pendapat dari Aisyah menurut al-Qurtubi berdasarkan pada ayat

وَما جَعَلْنَا الرُّؤْيَا الَّتِي أَرَيْناكَ إِلَّا فِتْنَةً لِلنَّاسِ

Dan tidak kami jadikan ru’ya yang kami perlihatkan padamu kecuali sebagai ujian bagi manusia.

Kata ru’ya dimaknai dengan mimpi (dalam tidur) oleh Aisyah. Sebaliknya menurut al-Qurtubi dalam tidur seorang tidak mungkin disebut asra, sementara ru’yat al-ain (melihat dengan kasat mata) menurutnya juga bisa disebut dengan ru’ya. Jadi kata ru’ya dalam ayat ini tidak dapat disebut mimpi karena terdapat kata asra di dalamnya yang menegasikan kemungkinan tersebut.  Di samping tidak sepakat dengan pendapat Aisyah, Al-Qurtubi juga mengasikan pendapat dari Muawiyah yang disebutnya masih belum Muslim pada saat isra’ Nabi Muhammad saw.

Seperti halnya al-Razi dan Al-Qurtubi, Ibn Katsir juga memaknai ayat satu surah al-Isra’ ini dengan perhatian pada riwayat perjalanan Nabi Muhammad saw. Ibn Katsir bahkan secara detail mengutip riwayat dari al-Bukhari yang menceritakan perjalanan Nabi Muhammad saw. dari langit pertama hingga sidrat al-muntaha dengan berbagai kejadian pada setiapnya yang telah masyhur dan tidak dapat kami tuliskan di sini.

Baca Juga: Apa Hanya Ruh Nabi Saw yang Melakukan Isra Mikraj? Ini Penjelasan Ulama

Narasi indah keseluruhan kandungan surah

Terlepas dari perdebatan terkait bagaimana cara Nabi Muhammad saw. diperjalankan menuju Masjid al-Aqsha, ayat pertama surah al-Isra’ ini menjadi pembuka narasi keseluruhan surah dengan indah jika dimaknai secara semiotik. Diksi dan narasi perjalanan Nabi dalam ayat ini dapat menjadi simbol yang terkait dengan rangakian ayat yang ada dalam surah al-Isra.

Kata lail atau malam disebut sebanyak lima kali dalam surah ini, sekali pada ayat 1, yaitu malam Isra Mikraj; dua kali pada ayat 12; sekali pada ayat 78; dan sekali pada ayat 79.

Pada ayat 12 kata ini digunakan untuk menerangkan tentang pertanda dari Allah SWT dalam bentuk siang dan malam. Ketika malam dihilangkan dan siang dijadikan pertanda untuk dapat melihat sehingga kita dapat mencari anugerah Allah dan mengetahui tahun dan segenap perhitungannya. Ayat 12 ini ditutup dengan kalimat “dan setiap hal kami terangkan seterang-terangnya”.

Ayat 12 ini terkait erat dengan ayat 13 yang menyebutkan bahwa setiap manusia dikalungkan kepada mereka setiap amalnya dan pada hari kiamat akan dibukakan dan akan dikeluarkan baginya kitab yang terbuka. Kaitan ayat 12 dan 13 akan terlihat jika kita baca ayat 22 surah Qaf yang menyebutkan bahwa setiap orang yang berada dalam kelalaian akan hari kiamat akan disingkapkan penutup matanya maka penglihatannya pada hari itu menjadi sangat tajam.

Malam menjadi simbol perjalanan manusia di dunia untuk kemudian kelak pada hari akhir jelas baginya segenap kasih dan cahaya yang diberikan Allah kepadanya. Hal ini dipertegas dengan tujuan perjalanan dari Masjid al-Haram menuju Masjid al-Aqsha adalah li nuriyahu min ayatina untuk diperlihatkan kepada hamba tersebut berbagai pertanda dari Allah SWT melalui ciptaan dan kuasa-Nya.

Kembali pada ayat 1 para mufasir sepakat bahwa Masjid al-Aqsha dalam ayat tersebut merupakan Bait al-Maqdis. Penyebutan al-Aqsha dalam ayat ini membuka pintu pemaknaan alegoris bahwa hamba tersebut tetap diperintahkan bersujud meski ia dalam posisi aqsha atau terjauh. Telah jamak kita ketahui bahwa perintah salat turun pada saat Rasulullah saw diperjalankan. Telah jamak pula kita ketahui bahwa secara eksistensial dalam wujud ruh kita pernah bersujud kepada-Nya sebelum berani menghadapi ujian yakni turun di dunia.

Al-Razi menyebut penggunaan bentuk nakirah dari kata lail pada ayat 1 menunjukkan bahwa peristiwa tersebut hanya terjadi pada sebagian waktu di malam hari, bukan sepanjang malam. Singkatnya waktu perjalanan dan begitu banyak ayat yang didapatkan oleh Rasulullah saw identik dengan sabda beliau ketika menyifati dunia dalam riwayat yang masyhur dari Abdullah bin Umar yang dikeluarkan oleh Abu Dawud, Ibn Majah, dan al-Tirmidzi.

Baca Juga: Makna Dibalik Panggilan Hamba di Cerita Isra Nabi Muhammad dalam Alquran

Suatu ketika beliau mendapati Nabi Muhammad saw. yang sedang tidur beralaskan pelepah kurma yang menjadikan bekas pada wajah beliau. Para sahabat pun meminta izin untuk menyediakan kasur tidur dan beliau bersabda;

مَالِي وَلِلدُّنْيَا مَا أَنَا وَالدُّنْيَا إِنَّمَا أَنَا وَالدُّنْيَا كَرَاكِبٍ ‌اسْتَظَلَّ ‌تَحْتَ ‌شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرْكَهَا

Bukan untukku bukan untuk dunia, bukanlah aku dan dunia, aku dan dunia hanyalah seperti penunggang yang berteduh di bawah pohon untuk beristirahat dan kemudian meninggalkannya.

Dari surah al-Isra’ ayat 1 secara semiotik dapat dimaknai bahwa di dunia yang cukup singkat seperti halnya malam, kita menyusuri hidup untuk menjemput cahaya Allah yang terang laksana siang. Di akhirat kelak kita akan mengetahui hakikat waktu yang ternyata hanya sekejap saja laksana malam Isra Mikraj. Dalil bahwa kita hidup di dunia hanya sehari disebutkan dalam Alquran surah al-Mu’minun ayat 112 sampai 114.

قالَ كَمْ لَبِثْتُمْ فِي الْأَرْضِ عَدَدَ سِنِينَ (112) قالُوا لَبِثْنا يَوْماً أَوْ ‌بَعْضَ ‌يَوْمٍ فَسْئَلِ الْعادِّينَ (113(قالَ إِنْ لَبِثْتُمْ إِلَاّ قَلِيلاً لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (114)

Dia berkata berapa tahun lamanya kalian tinggal di bumi? Mereka menjawab kami tinggal sehari atau setengah hari, maka tanyakan pada para penghitung. Dia berkata tidaklah kalian tinggal kecuali hanya sebentar sekiranya diri kalian mengetahui.

Wallahu a’lam

Makna “al-Abtar” dalam Surah Alkautsar [108]: 3

0

Pada surah Alkautsar ayat ke-3 terdapat kata al-abtar, yang dalam sabab nuzulnya kata itu digunakan untuk menghina Nabi Saw., sebab Nabi Saw. tidak memiliki keturunan laki-laki. Hinaan tersebut dilontarkan oleh orang-orang kafir Quraish yang membenci Nabi Saw.

Dikisahkan bahwa ayat ini turun ketika Nabi Saw. sedang tidur sejenak, kemudian beliau sontak menengadahkan kepala lalu tersenyum. Sahabat penasaran dan bertanya, “Apa yang membuatmu tersenyum, wahai utusan Allah?” Nabi Saw. menjawab, “Telah diturunkan kepadaku satu surah,” lalu beliau membacanya: Sesungguhnya kami telah berikan kepadamu nikmat yang banyak (1) Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah (2) Sesungguhnya orang-orang yang membencimu dialah yang terputus (kebaikannya) (3).

Beliau kemudian menjelaskan bahwa kautsar itu adalah sebuah danau atau telaga yang dipenuhi kenikmatan surgawi khusus kepada umat Islam yang iman dan taat. (Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Jilid 22, 519)

Beranjak dari respon Nabi Saw. yang tersenyum bahagia saat menerima surat ini, boleh jadi surah Alkautsar turun untuk menghibur Nabi Saw. yang saat itu tengah menjadi bahan gunjingan orang kafir Quraisy, sebagaimana termaktub dalam ayat ke-3:

إنَّ شَانِئَكَ هُوَ اْلأَبْتَر

Baca Juga: Surat Al-Kautsar: Asbabun Nuzul dan Riwayat Kematian Putra Nabi Saw

Sabab Nuzul

Mayoritas mufasir klasik menghubungkan ayat ini dengan kisah seorang bernama Ash ibn Wail as-Sahmi. Alkisah saat Rasulullah Saw. hendak keluar dari masjid, beliau berpapasan dengannya lalu keduanya berbicara. Selesai berbicara Wail masuk ke dalam menemui para pembesar Quraisy, ia pun ditanya, “Siapa yang kau ajak bicara?” Wail menjawab, “Itu yang tak punya keturunan (abtar).” (Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an, Jilid 24, 697)

Ar-Razi menambahkan bahwa ada enam pendapat yang menjadi sabab nuzul ayat ini. Pertama, kisah Ash ibn Wail tadi dengan sedikit tambahan saat ia menjawab pertanyaan kaum Quraisy, yaitu “Muhammad yang terputus, tidak punya anak yang bakal menjadi penggantinya. Ketika meninggal dilupakanlah dia,” dan putra beliau dari Khadijah memang baru meninggal kala itu, yakni Abdullah.

Kedua, kisah Ka’ab ibn Asyraf yang mendatangi sekelompok kafir Quraisy, mereka berkata, “Kami keluarga Siqayah dan Sadanah dan kau tuan penduduk Madinah. Kami lebih mulia, sedang Abtar ini (Muhammad Saw.) mengaku lebih mulia dari kita?”, Ka’ab menjawab, “Bahkan kalian yang lebih mulia darinya.”

Ketiga, Ikrimah dan Syahr ibn Hausyab berkata bahwa setelah Nabi Saw. menerima wahyu dan kaum Quraisy diajak masuk Islam, mereka malah memutus hubungan dan membangkang. Sebab itulah Mereka dijuluki mubtarun (orang-orang yang diputus kebaikannya).

Keempat, ayat ini diturunkan kepada Abu Jahal yang selepas meninggalnya putra Nabi Saw., ia membencinya dan mengumpatinya dengan julukan abtar. Untuk kelima dan keenam juga beranjak dari pernyataan paman Nabi Saw. sendiri, Abu Lahab dan Uqbah ibn Abi Muith. (Ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, Jilid 32, 132)

Memang dalam tradisi Arab, seseorang yang tidak mempunyai keturunan laki-laki atau tidak sama sekali, diistilahkan dengan abtar. Secara bahasa kata abtar merupakan sinonim dari kata al-qath’u yang berarti putus.

Dalam konteks pasangan suami istri, yang dimaksud putus adalah keturunanya, baik itu karena mandul atau anaknya meniggal. Penyandingan julukan abtar tentu tiada lain hanya sebagai hinaan dan celaan terhadap pasangan yang mendapat musibah tersebut.

Baca Juga: Hubungan Unik Surat Al-Maun dan Al-Kautsar

Tafsiran Ayat

Secara umum, semua mufasir sepakat mengartikan kata syaniun adalah musuh atau pembenci. Sedangkan kata abtar masih terjadi beberapa perbedaan pemaknaan. Secara lebih rinci, al-Thabari memaparkan beberapa kutipan ulama-ulama besar lainnya yang menunjukkan perbedaan tersebut. Di antaranya beliau mengutip dari Ibnu Hamid, bahwa Said ibn Jabir mengartikan ayat tersebut dengan musuhmu, Ash ibn Wail yang terputus (hubungan) dengan kaumnya.

Atau mengutip dari Abdul Ali, yang mengatakan bahwa Qatadah mengartikan kata abtar dengan sesuatu yang tidak memiliki akhir (tujuan); atau sesuatu yang rendah, hina, kotor dan tercela. Dari pada itu, al-Thabari kemudian mengambil sebuah kesimpulan yang lebih benar -hal ini memang gaya penafsiran al-Thabari- bahwa seorang yang membenci Rasulullah Saw. pasti hina dan tercela, dan sifat ini memang disandingkan kepada mereka yang suka membenci orang lain. (Ibnu Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an, Jilid 24, 800-801)

Lain hal dengan penafsiran yang dilakukan ar-Razi, menurutnya, ayat yang terakhir bermakna hinanya orang-orang kafir yang membenci, mencela serta menyifati Nabi Saw. dengan bermacam sifat buruk, adalah sebagai pujian kepada Nabi Saw. tentang berbagai keutamaan dan kenikmatan yang telah dianugerahkannya, sebagaimana jelas dalam ayat pertama.

Dengan al-kaustar yang kenikmatannya tidak dapat digambarkan dengan sesuatu, yang menampung semua kebaikan dunia dan akhirat, Allah kemudian memerintahkan sebuah ketaatan. Ketaatan yang dimaksud adalah ketaatan badan, yakni salat dan zakat (kurban), serta ketaatan hati berupa tujuan ibadah yang lillah (karena Allah semata). (Ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, Jilid 32, 135)

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Hukum Mengumumkan Berita Kematian

Hikmah Ayat

Dalam Islam, siapa pun yang menghina orang lain, sesungguhnya ia menghina dirinya sendiri. Setidaknya begitulah maksud dari ayat ke-3 dari surah Alkautsar. Dengan ayat tersebut, Allah Ta’ala ingin menjelaskan bahwa setelah orang-orang kafir Quraisy menyifati Nabi Saw. dengan sifat buruk,  yakni abtar, seyogianya merekalah yang menyandang sifat itu, layaknya bumerang.

Sebab pemaknaan kata abtar dalam Alquran tidak berhenti sebagaimana dalam istilah yang dipakai orang Arab dahulu. Abtar secara lebih luas diinterpretasikan sebagai putusnya kebaikan, pertolongan, kekuatan dan semacamnya. Maka, hal tersebut sungguh terbukti, ketika kafir Quraisy mengklaim bahwa Nabi Saw. tidak mempunyai kekuatan dan penolong, sejarah berkata lain, Islam justru semakin meluas hingga ke berbagai penjuru dunia.

Wallaahu a’lam.