Beranda blog Halaman 77

Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 5-8

0
Tafsir Surah Al-Hujurat
Tafsir Surah Al-Hujurat

Melanjutkan kisah Bani Tamim pada tafsiran sebelumnya, pada Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 5-8 ini menerangkan bahwa sikap mereka yang berteriak-teriak memanggil Rasulullah merupakan bentuk dari kurangnya tata krama mereka. Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 5-8 menyesali perbuatan mereka yang seperti itu, akan tetapi meskipun demikian Allah Maha Pengampun dan mengampuni mereka. Kelak mereka tidak akan di azab karena perbuatan yang memalukan itu.

Selain membahas tentang etika sopan santun, Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 5-8 juga mengingatkan umat Islam untuk senantiasa berhati-hati dalam menerima informasi terutama jika itu berasal dari orang yang fasik.

Sebagai penutup, tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 5-8 menerangkan bahwa sikap iman yang sempurna itu terdiri dari pengakuan dengan lisan, membenarkan dengan hati, dan beramal saleh dengan anggota tubuh.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 3-4


Ayat 5

Seandainya tamu-tamu delegasi itu tidak berteriak-teriak memanggil Nabi Muhammad dan mereka sabar menunggu sampai beliau sendiri keluar kamar peristirahatannya, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka. Karena sikap demikian itu menunjukkan adanya takzim dan penghormatan kepada Nabi Muhammad. Allah Maha Pengampun kepada mereka yang memanggil Nabi Muhammad dari belakang kamar-kamarnya bila mereka bertobat dan mengganti kecerobohan mereka dengan kesopanan tata krama. Allah Maha Penyayang kepada mereka, tidak mengazab mereka nanti pada hari Kiamat karena mereka telah menyesali perbuatan mereka yang memalukan itu.

Ayat 6

Dalam ayat ini, Allah memberitakan peringatan kepada kaum mukminin, jika datang kepada mereka seorang fasik membawa berita tentang apa saja, agar tidak tergesa-gesa menerima berita itu sebelum diperiksa dan diteliti dahulu kebenarannya. Sebelum diadakan penelitian yang seksama, jangan cepat percaya kepada berita dari orang fasik, karena seorang yang tidak mempedulikan kefasikannya, tentu juga tidak akan mempedulikan kedustaan berita yang disampaikannya. Perlunya berhati-hati dalam menerima berita adalah untuk menghindarkan penyesalan akibat berita yang tidak diteliti atau berita bohong itu. Penyesalan yang akan timbul sebenarnya dapat dihindari jika bersikap lebih hati-hati.

Ayat ini memberikan pedoman bagi sekalian kaum mukminin supaya berhati-hati dalam menerima berita, terutama jika bersumber dari seorang yang fasik. Maksud yang terkandung dalam ayat ini adalah agar diadakan penelitian dahulu mengenai kebenarannya. Mempercayai suatu berita tanpa diselidiki kebenarannya, besar kemungkinan akan membawa korban jiwa dan harta yang sia-sia, yang hanya menimbulkan penyesalan belaka.


Baca Juga: Tabayyun, Tuntunan Al-Quran dalam Klarifikasi Berita


Ayat 7

Allah menjelaskan bahwa Rasulullah saw ketika berada di tengah-tengah kaum mukminin, sepatutnya dihormati dan diikuti semua petunjuknya karena lebih mengetahui kemaslahatan umatnya. Nabi lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri, sebagaimana dicantumkan dalam firman Allah:

اَلنَّبِيُّ اَوْلٰى بِالْمُؤْمِنِيْنَ مِنْ اَنْفُسِهِمْ

Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dibandingkan diri mereka sendiri (al-Ahzab/33: 6)

Karena Nabi Muhammad selalu berada dalam bimbingan wahyu Ilahi, maka beliau yang berada di tengah-tengah para sahabat itu sepatutnya dijadikan teladan dalam segala aspek kehidupan dan aspek kemasyarakat-an. Seandainya beliau menuruti kemauan para sahabat dalam memecahkan persoalan hidup, niscaya mereka akan menemui berbagai kesulitan dan kemudaratan seperti dalam peristiwa al-Walid bin ‘Uqbah. Seandainya Nabi saw menerima berita bohong tentang Bani al-Mustaliq, lalu mengirimkan pasukan untuk menggempur mereka yang disangka murtad dan menolak membayar zakat, niscaya yang demikian itu hanya akan menimbulkan penyesalan dan bencana. Akan tetapi, sebaliknya dengan kebijaksanaan dan bimbingan Rasulullah saw yang berada di tengah-tengah para sahabat, mereka dijadikan oleh Allah mencintai keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hati mereka, dan menjadikan mereka benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan.

Karena iman yang sempurna itu terdiri dari pengakuan dengan lisan, membenarkan dengan hati, dan beramal saleh dengan anggota tubuh, maka kebencian terhadap kekafiran berlawanan dengan kecintaan kepada keimanan. Menjadikan iman itu indah dalam hati adalah paralel dengan membenarkan (tasdiq) dalam hati, dan benci kepada kedurhakaan itu paralel dengan mengadakan amal saleh. Orang-orang yang demikian itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk dan mengikuti jalan yang lurus, yang langsung menuju kepada keridaan Allah.

Ayat 8

Karunia dan anugerah itu semata-mata kemurahan dari Allah dan merupakan nikmat dari-Nya. Allah Maha Mengetahui siapa yang berhak menerima petunjuk dan siapa yang terkena kesesatan, dan Mahabijaksana dalam mengatur segala urusan makhluk-Nya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 9-10


Tafsir Surah Al-Hujurat ayat 3-4

0
Tafsir Surah Al-Hujurat
Tafsir Surah Al-Hujurat

Melanjuti tentang tata cara bersikap sopan pada tafsir sebelumnya, Tafsir Surah Al-Hujurat ayat 3-4 ini menegaskan bahwa bagi mereka yang telah berusaha untuk melatih diri untuk merendahkan suaranya di sisi Rasulullah akan mendapat ampunan dan pahala yang sangat besar.

Selain itu Tafsir Surah Al-Hujurat ayat 3-4 menerangkan tentang asbab an-nuzul dari turunnya ayat 4 surah Al-Hujurat yang disebabkan datangnya Bani Tamim sebanyak 70 orang untuk menemui Rasulullah.

Selengkapnya mengenai tata krama yang dianjurkan Allah swt tertulis lengkap dalam Tafsir Surah Al-Hujurat ayat 3-4 di bawah ini…


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 1-2


Ayat 3

Sesungguhnya orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah saw setelah melatih diri dengan berbagai latihan yang ketat lagi berat, mereka itulah orang yang telah diuji hatinya oleh Allah untuk bertakwa. Mereka telah berhasil menyucikan diri mereka dengan berbagai usaha dan kesadaran serta bagi mereka ampunan dan pahala yang sangat besar.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Mujahid bahwa ada sebuah pertanyaan tertulis yang disampaikan kepada Umar, “Wahai Amirul Muk-minin, ada seorang laki-laki yang tidak suka akan kemaksiatan dan tidak mengerjakannya, dan seorang laki-laki lagi yang hatinya cenderung kepada kemaksiatan, tetapi ia tidak mengerjakannya. Manakah di antara kedua orang itu yang paling baik?”

Umar menjawab dengan tulisan pula, “Sesungguhnya orang yang hatinya cenderung kepada kemaksiatan, akan tetapi tidak mengerjakannya, mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.”


Baca Juga: Akhlak Nabi saw yang Mempersatukan Umat dan Tafsir Surat At-Taubah Ayat 107-109


Ayat 4

Dalam ayat ini, Allah memberikan pelajaran kesopanan dan tata krama dalam menghadapi Rasulullah saw, terutama dalam mengadakan percakapan dengan beliau. Rasulullah saw selama di Medinah tinggal di sebuah rumah di samping masjid Medinah. Di dalam rumah itu terdapat kamar-kamar untuk istri-istri nabi. Bangunan tersebut dibuat sangat sederhana, atapnya rendah sekali sehingga mudah disentuh oleh tangan dan pintu-pintunya terdiri dari gantungan kulit binatang yang berbulu.

Pada masa Khalifah al-Walid bin ‘Abd al-Malik, kamar-kamar itu dibongkar dan dijadikan halaman masjid. Hal itu sangat menyedihkan kaum mukminin di Medinah. Sa’id bin al-Musayyab merespon dan berkata, “Saya suka sekali jika kamar-kamar istri Nabi itu tetap berdiri dan tidak dirombak, agar generasi mendatang dari penduduk Medinah dan orang-orang yang datang dapat meneladani kesederhanaan Nabi Muhammad dalam mengatur rumah tangganya.”

Ibnu Ishaq menerangkan dalam kitab Sirah-nya bahwa tahun kesembilan Hijrah itu merupakan tahun mengalirnya para delegasi dari seluruh Jazirah Arab. Setelah Pembebasan Mekah, seusai Perang Tabuk, dan Kabilah Tsaqif dari Taif masuk Islam dan ikut membaiat Rasulullah saw, maka datanglah dengan berduyun-duyun berbagai delegasi ke Medinah untuk menemui Rasulullah saw.

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Zaid bin Arqam bahwa sekumpulan orang-orang Badui berkata kepada kawan-kawannya, “Marilah kita menemui laki-laki (Muhammad) itu, apabila ia benar-benar seorang nabi, maka kitalah yang paling bahagia beserta dia, dan jika ia seorang raja maka kita pun akan beruntung dapat hidup di sampingnya.” Maka datanglah Zaid bin Arqam kepada Rasulullah saw menyampaikan berita itu lalu mereka datang beramai-ramai menemui beliau yang kebetulan sedang berada di kamar salah seorang istrinya. Mereka memanggil dengan suara yang lantang sekali, “Ya Muhammad, ya Muhammad, keluarlah dari kamarmu untuk berjumpa dengan kami karena pujian kami sangat indah dan celaan kami sangat menusuk perasaan.” Nabi Muhammad saw keluar dari kamar istrinya untuk menemui mereka, dan turunlah ayat ini.


Baca Juga: Ngaji Gus Baha: Etika Bertamu Saat Berkunjung ke Rumah Orang Lain


Menurut Qatadah, rombongan sebanyak tujuh puluh orang itu adalah dari kabilah Bani Tamim. Mereka berkata, “Kami ini dari Bani Tamim, kami datang ke sini membawa pujangga-pujangga kami dalam bidang syair dan pidato untuk bertanding dengan penyair-penyair kamu.” Nabi menjawab, “Kami tidak diutus untuk mengemukakan syair dan kami tidak diutus untuk memperlihatkan kesombongan, tetapi bila kamu mau mencoba, boleh kemukakan syairmu itu.” Maka tampillah salah seorang pemuda di antara mereka membangga-banggakan kaumnya dengan berbagai keutamaan. Nabi Muhammad menampilkan Hassan bin Tsabit untuk menjawab syair mereka dan ternyata Hassan dapat menundukkan mereka semuanya. Setelah mereka mengakui keunggulan Hassan, mereka lalu mendekati Rasulullah saw dan mengucapkan dua kalimat syahadat sekaligus masuk Islam.

Kebijaksanaan Nabi Muhammad dalam menghadapi delegasi dari Bani Tamim yang tidak sopan itu akhirnya berkesudahan dengan baik. Sebelum pulang, mereka lebih dahulu telah mendapat petunjuk tentang jalan yang benar dan kesopanan dalam pergaulan. Dengan tegas sekali Allah menerangkan bahwa orang-orang yang memanggil Nabi supaya keluar kamar istrinya yang ada di samping masjid Medinah, kebanyakan mereka itu bodoh, tidak mengetahui kesopanan dan tata krama dalam mengadakan kunjungan kehormatan kepada seorang kepala negara apalagi seorang nabi. Tata cara yang dikemukakan ayat ini sekarang dikenal sebagai protokoler dan security (keamanan). Dari ayat ini dapat pula dipahami bahwa agama Islam sejak dahulu sudah mengatur kode etik dengan maksud memberikan penghormatan yang pantas kepada pembesar yang dikunjungi.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 5-8


Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 1-2

0
Tafsir Surah Al-Hujurat
Tafsir Surah Al-Hujurat

Awal dari tafsir surah Al-Hujurat, khususnya dalam Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 1-2 ini merupakan panduan bagi kaum Muslimin agar bersikap sopan kepada Rasulullah. Sebagaimana contohnya adalah jangan mendahului Allah dan Rasul dalam menentukan suatu hukum atau pendapat.

Adapun sahabat yang menjadi contoh dalam Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 1-2 ini dalam hal memutuskan pendapat adalah Mu’adz bin Jabal. Sedangkan contoh untuk merendahkan suara saat berbicara dengan Nabi Muhammad adalah sahabat Abu Bakar dan Tsabit bin Qais.

Demikianlah gambaran akhlaq al karimah yang dicontohkan dalam Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 1-2.


Baca Juga: Kriteria Akhlak Mulia dalam Islam dan Empat Sifat Sebagai Pilarnya


Ayat 1

Pada ayat ini, Allah mengajarkan kesopanan kepada kaum Muslimin ketika berhadapan dengan Rasulullah saw dalam hal perbuatan dan percakapan. Allah memperingatkan kaum mukminin supaya jangan mendahului Allah dan rasul-Nya dalam menentukan suatu hukum atau pendapat.

Mereka dilarang memutuskan suatu perkara sebelum membahas dan meneliti lebih dahulu hukum Allah dan (atau) ketentuan dari rasul-Nya terhadap masalah itu. Hal ini bertujuan agar keputusan mereka tidak menyalahi apalagi bertentangan dengan syariat Islam, sehingga dapat menimbulkan kemurkaan Allah.

Yang demikian ini sejalan dengan yang dialami oleh sahabat Nabi Muhammad yaitu Mu’adz bin Jabal ketika akan diutus ke negeri Yaman. Rasulullah saw bertanya, “Kamu akan memberi keputusan dengan apa?” Dijawab oleh Mu’adz, “Dengan kitab Allah.” Nabi bertanya lagi, “Jika tidak kamu jumpai dalam kitab Allah, bagaimana?” Mu’adz menjawab, “Dengan Sunah Rasulullah.” Nabi Muhammad bertanya lagi, “Jika dalam Sunah Rasulullah tidak kamu jumpai, bagaimana?” Mu’adz menjawab, “Aku akan ijtihad dengan pikiranku.” Lalu Nabi Muhammad saw menepuk dada Mu’adz seraya berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan rasul-Nya tentang apa yang diridai Allah dan rasul-Nya.” (Riwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Mu’adz bin Jabal).

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kepada kaum mukminin supaya melaksanakan perintah Allah, menjauhi larangan-Nya, dan tidak tergesa-gesa melakukan perbuatan atau mengemukakan pendapat dengan mendahului Al-Qur’an dan hadis Nabi yang ada hubungannya dengan sebab turunnya ayat ini. Tersebut dalam kitab al-Iklil bahwa mereka dilarang menyembelih kurban pada hari Raya Idul Adha sebelum Nabi me-nyembelih, dan dilarang berpuasa pada hari yang diragukan, seperti apakah telah datang awal Ramadan atau belum, sebelum jelas hasil ijtihad untuk penetapannya. Kemudian Allah memerintahkan supaya mereka tetap bertakwa kepada-Nya karena Allah Maha Mendengar segala percakapan dan Maha Mengetahui segala yang terkandung dalam hati hamba-hamba-Nya.


Baca Juga: Tafsir Surat An-Nisa Ayat 36: Allah Tidak Menyukai Sifat Sombong dan Angkuh


Ayat 2

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Ibnu Abi Mulaikah bahwa ‘Abdullah bin Zubair memberitahukan kepadanya bahwa telah datang satu rombongan dari Kabilah Bani Tamim kepada Rasulullah saw. Abu Bakar berkata, “Rombongan ini hendaknya diketuai oleh al-Qa’qa’ bin Ma’bad.” ‘Umar bin Khattab berkata, “Hendaknya diketuai oleh al-Aqra’ bin Habis.” Abu Bakar membantah, “Kamu tidak bermaksud lain kecuali menentang aku.” ‘Umar menjawab, “Saya tidak bermaksud menentangmu.” Maka timbullah perbedaan pendapat antara Abu Bakar dan ‘Umar sehingga suara mereka kedengarannya bertambah keras, maka turunlah ayat ini. Sejak itu, bila Abu Bakar berbicara dengan Nabi Muhammad, suaranya direndahkan sekali seperti bisikan saja, demikian pula ‘Umar. Oleh karena sangat halus suaranya, hampir-hampir tak terdengar, sehingga sering ditanyakan lagi apa yang diucapkannya itu.

 

Mereka sama-sama memahami bahwa ayat-ayat tersebut sengaja diturunkan untuk memelihara kehormatan Nabi Muhammad. Setelah ayat ini turun, Tsabit bin Qais tidak pernah datang lagi menghadiri majelis Rasulullah saw. Ketika ditanya oleh Nabi tentang sebabnya, Tsabit menjawab, “Ya Rasulullah, telah diturunkan ayat ini dan saya adalah seorang yang selalu berbicara keras dan nyaring. Saya merasa khawatir kalau-kalau pahala saya akan dihapus sebagai akibat kebiasaan saya itu.” Nabi Muhammad menjawab, “Engkau lain sekali, engkau hidup dalam kebaikan dan insya Allah akan mati dalam kebaikan pula, engkau termasuk ahli surga.” Tsabit menjawab, “Saya sangat senang karena berita yang menggembirakan itu, dan saya tidak akan mengeraskan suara saya terhadap Nabi untuk selama-lamanya.” (Riwayat al-Bukhari dari Ibnu Abi Mulaikah). Maka turunlah ayat berikutnya, yaitu ayat ke-3 dari Surah al-Hujurat.

 

Dari paparan di atas, dapat dipahami bagaimana Allah mengajarkan kepada kaum mukminin kesopanan dalam percakapan ketika berhadapan dengan Nabi Muhammad. Allah melarang kaum mukminin meninggikan suara mereka lebih dari suara Nabi. Mereka dilarang untuk berkata-kata kepada Nabi dengan suara keras karena perbuatan seperti itu tidak layak menurut kesopanan dan dapat menyinggung perasaan Nabi. Terutama jika dalam ucapan-ucapan yang tidak sopan itu tersimpan unsur-unsur cemoohan atau penghinaan yang menyakitkan hati Nabi dan dapat menyeret serta menjerumuskan orangnya kepada kekafiran, sehingga mengakibatkan hilang dan gugurnya segala pahala kebaikan mereka itu di masa lampau, padahal semuanya itu terjadi tanpa disadarinya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 3-4


Belajar Memperbaiki Kesalahan dari Kisah Nabi Adam

0
Belajar Memperbaiki Kesalahan dari Kisah Nabi Adam
Belajar dari kesalahan

Salah satu episode pembuka kehidupan manusia bermula dari kisah tentang kesalahan. Sebagaimana diketahui Nabi Adam dan Ibu Hawa diturunkan ke muka bumi karena gagal mengelakkan diri dari tipu muslihat Iblis. Mereka mendekati pohon dan mencicipi buah yang Allah telah melarangnya yang menyebabkan segala nikmat yang dianugerahkan-Nya kepada keduanya sewaktu bertempat tinggal di surga dicabut seketika.

Nabi Adam mengakui, menyesali kesalahan, dan menerima serta menjalankan apa yang ditetapkan oleh Allah pada dirinya. Ia tidak menyalahkan Iblis yang telah menggelincirkannya. Manusia pertama di dunia ini juga tidak meratapi nasibnya. Sebaliknya, dia memohon ampun kepada Allah dan terus menerus memperbaiki diri. Caranya dalam memperbaiki kesalahannya ini memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi umat manusia.

Kisah Nabi Adam dan Ibu Hawa dalam Alquran

Diceritakan dalam Q.S. Ala’raf: 22, ketika Nabi Adam dan istrinya mencicipi buah terlarang tersebut, Allah berseru kepada keduanya sebagai bentuk peringatan dan teguran, “Bukankah Aku telah melarang kamu dari pohon itu dan Aku telah mengatakan bahwa sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?”

Dinarasikan lebih lanjut dalam kitab Tafsir al-Qurthubi (juz VII, h. 180) bahwa Allah berfirman, “Bukankah telah dibebaskan bagimu memilih seluruh dedaunan di dalam surga ini daripada hanya satu pohon tersebut?” Nabi Adam menjawab, “Demi kemuliaan Engkau, benar. Akan tetapi, aku sama sekali tidak menyangka akan ada makhluk Engkau yang bersumpah atas nama-Mu padahal dia berbohong.” Lalu Allah berfirman lagi, “Maka demi kemuliaan-Ku, Aku benar-benar akan menurunkanmu ke bumi kemudian kamu tidak akan hidup kecuali dengan bekerja keras.”

Baca juga: Makna Tersirat dari Pelanggaran Nabi Adam dan Hawa Makan Buah Khuldi di Surga

Ada yang menarik dari kisah di atas, bahwa alasan Nabi Adam mau mengikuti bujuk rayu Iblis dikatakan Iblis bersumpah atas nama Allah. Sebab sikap hormat dan patuh Nabi Adam kepada Tuhannya, ketika dirinya mendengar asma-Nya itu terucap, ia akhirnya tertipu dan menuruti perintah Iblis yang sebenaranya telah berbohong. Ini sebagaimana penjelasan dalam kitab Tafsir Jami’ al-Bayan (juz XII, h. 351).

Selain menggunakan Nama Allah, Iblis menguatkan lagi sumpahnya dengan perkataannya, “Sesungguhnya aku diciptakan sebelum kalian berdua dan aku lebih tahu daripada kalian berdua. Ikutilah nasihatku, maka kalian akan mendapat petunjuk.” Karena bisikan disertai sumpah yang mengatasnamakan Allah itulah, Iblis berhasil melakukan tipu daya terhadap Nabi Adam dan Hawa.

Hukuman yang Allah berikan kepada Nabi Adam dan istrinya, tidak menjadikan beliau memilih jalan pembangkangan ataupun pengingkaran. Akan tetapi, justru pada momen itulah beliau semakin menyandarkan diri kepada Tuhannya dan meminta ampunan atas kesalahannya. Doa yang beliau panjatkan ini kemudian menjadi doa yang sangat sering kita baca sehari-hari, yang tercantum dalam Q.S. Ala’raf: 23.

Baca juga: Ibrah Kisah Nabi Adam Memakan Buah dan Bencana dari Kerusakan Alam

Buya Hamka menguraikan doa pada ayat tersebut dengan apik: “Keduanya menjawab, ‘Wahai Tuhan kami! Kami telah menganiaya diri kami.’ Inilah doa dan munajat kepada Ilahi yang telah menyatakan pengakuan kesalahan. Kami telah melanggar larangan. Sekarang, tahulah kami bahwa kami telah menganiaya diri, terasa oleh kami sekarang penderitaan batin kami sendiri. Oleh karena itu ampunan Engkaulah yang kami harapkan lagi.”

“Dan jika tidaklah Engkau ampuni kami dan Engkau nahmati kami, sesungguhnya jadilah kami dari orang-orang yang rugi.” Kami telah menganiaya diri kami sendiri. Telah nyata kelemahan kami. Maka kalau tidaklah Engkau ampuni dosa kami yang telah telanjur itu dan kalau tidaklah Engkau beri rahmat bagi kami dengan petunjuk dan hidayah sehingga buat selanjutnya kami hati-hati, niscaya rugilah kami, jiwa kami takut akan kerugian itu tetapi jalan lain untuk membangkitkan jiwa kembali kepada kebahagiaan dan kemenangan, tidak ada. Jalan hanya satu, yaitu kembali ke dalam perlindungan Engkau, berjalan di atas jalan Engkau.” (Tafsir al-Azhar, juz VIII, h. 193).

Menggali Ibrah: Manusia di antara Salah dan Ampunan

Sudah menjadi sunnatullah bahwa watak dasar manusia ialah sering berbuat kesalahan dan kelalaian. Manusia menyadari bahwa kehidupan dunia ini bukanlah hal yang mudah untuk dijalani. Ada banyak rintangan, tantangan, bahkan jebakan yang seringkali membuatnya terlena dengan apa yang sebenarnya menjadi tujuan dalam hidupnya. Banyak aspek dari diri manusia yang selalu ingin keluar dari rambu-rambu yang sudah Allah tetapkan. Ketidakmampuan menjaga diri ketika berhadapan dengan aturan Allah adalah realitas yang menimpa pada kebanyakan mereka.

Rasulullah saw. telah menyampaikannya dalam sebuah hadis.

 كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ

“Setiap manusia pasti berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah orang yang bertobat.” (H.R. Tirmidzi).

Bahwa sebaik-baik manusia adalah yang memperbaiki dirinya dari kesalahan yang telah ia lakukan. Hal ini relevan dengan kisah Nabi Adam dan istrinya. Kisah tentang kesalahan yang telah Nabi Adam dan istrinya lakukan menuju sebuah kisah ketaatan yang heroic; mereka bergerak melakukan perbaikan atas kelalaian yang mereka perbuat.

Baca juga: Nilai Kesetaraan hingga Evaluasi Diri; Qiraah Maqashidiyah Kisah Nabi Adam

Nabi Adam mengajarkan dengan baik persoalan tersebut. Hukuman yang Allah berikan kepada keduanya tidak menjadikan beliau memilih jalan pembangkangan ataupun pengingkaran, bahkan beliau tidak menyalahkan setan yang telah menjerumuskan; tak mencaci maki, menggerutu, dan menyalahkan pihak lain atas tipu dayanya. Namun, justru momen tersebut yang menjadikan Nabi Adam lebih berpasrah menyandarkan diri dan meminta ampunan atas kesalahannya.

Dapat dipahami bahwa kelalaian dalam hal ini berkonotasi negatif. Justru pada titik itulah hubungan ketergantungan seseorang dengan Allah seharusnya mulai dibangun dengan erat, seperti halnya Nabi Adam dan Ibu Hawa. Posisinya sebagai hamba yang penuh dengan kelalaian, kealpaan, dan dosa, sangat membutuhkan dan harus terus bergantung kepada Allah sebagai Tuhan yang Maha Memaafkan dan Mengampuni dosa.

Baca juga: Benarkah Nabi Adam a.s. Penghuni Pertama Bumi?

Toh, seluruh bagian dari hidup manusia sepenuhnya bersandar pada “pemberian” Allah selaku Tuhan yang menciptakan. Yang memberi kita rezeki tidak lain Allah; yang memberi solusi atas setiap masalah pun Allah. Adakah yang mampu menggantikan posisi tersebut? Tidak ada.

Karena itulah, Nabi Adam sungguh telah memberi teladan bahwa bagi siapa saja yang sedang jatuh dalam jurang kelalaian, tidak boleh ada kata menyerah untuk memohon ampunan dan rahmat-Nya. Berusaha untuk tidak mengulangi kesalahan, dan bersabar terhadapnya, juga tidak pernah putus asa untuk menyandarkan diri dan berharap kepada-Nya. Sebab, hubungan dengan Allah adalah prioritas utama manusia selaku makhluk-Nya. Bayangkan betapa sengsaranya apabila Allah tidak lagi melihat seseorang sebagai hamba-Nya. []

Tafsir Surah At-Tur Ayat 48-49

0
Tafsir Surah At-Tur ayat 48-49
Tafsir Surah At-Tur ayat 48-49

Setelah berbicara tentang prang-orang kafir dan musyrik yang sangat membangkang dan membuat Rasulullah bersedih hati, Tafsir Surah At-Tur Ayat 48-49 ini menerangkan tentang perintah Allah yang tetap senantiasa menyampaikan wahyu Allah dan memperingati larangan-Nya.

Dan dalam Tafsir Surah At-Tur Ayat 48-49, disebutkan tiga waktu yang baik untuk bertasbih dan memuji Allah yakni: bangun dari tidur duduk dan ketika akan shalat.

Sebagai penutup Tafsir Surah At-Tur Ayat 48-49, terdapat anjuran untuk melaksanakan shalat malam dan bertasbih kepada Allah, karena di waktu tersebut berat untuk dilakukan dan dapat menjauhkan diri dari sifat ria’.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah At-tur Ayat 42-47


Ayat 48

Setelah menjelaskan berbagai situasi yang besar, menyedihkan hati rasul, akibat tindakan membangkang dan keras kepala orang-orang kafir dan musyrik yang menolak beriman kepada Allah dan rasulnya. Maka dalam hal ini, Allah memerintahkan kepada Muhamamad saw supaya bersabar terhadap gangguan kaumnya dan tidak lagi menghiraukan mereka, serta tetap menyampaikan perintah-Nya dan memperingatkan larangan-Nya, dan menyampaikan apa yang telah diwahyukan kepadanya, sebab Allah selalu melihat dan memperhatikan pekerjaannya serta menjaga dan melindungi dari gangguan dan rintangan musuhnya.

Perihal bertasbih dan memuji Tuhan ketika bangun dan berdiri, meliputi tiga keadaan, yaitu:

  1. Ketika bangun dari tidur
  2. Ketika bangun dari duduk
  3. Ketika bangun akan salat

Hal ini mengandung hikmah supaya orang mukmin selalu bertasbih setiap saat, dalam situasi dan kondisi bagaimanapun, terutama perubahan dari suatu keadaan ke keadaan yang lain.


Baca Juga: Tafsir Tarbawi: Tiga Zikir yang Harus Diamalkan oleh Pelajar


Ata’, Sa’id, Sufyan Ath-Tsaury, dan Abul Ahwas berkata: bahwa Nabi Muhammad saw bertasbih tatkala ia bangkit dari tempat duduknya. Disebutkan dalam hadis:

عَنْ أَبِيْ بَرْزَةَ اْلأَسْلَمِيِّ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِآخِرِ عُمْرِهِ، إِذَا قَامَ مِنَ اْلمَجْلِسِ يَقُوْلُ: سُبْحَانَكَ اَللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ اَنْ ﻻَإِلٰهَ اِﻻَّ اَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَاَتُوْبُ إِلَيْكَ. فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّكَ لَتَقُوْلُ قَوْﻻً مَا كُنْتَ تَقُوْلُ فِيْمَا مَضٰى. قَالَ كَفَّارَةٌ لِمَا يَكُوْنُ فِى اْلمَجْلِسِ. (رواه أبو داود والنسائي)

Dari Abu Barzah al-Aslami berkata, Rasulullah saw pada akhir hayatnya, apabila beliau bangun dari tempat duduknya beliau mengucapkan, “Subhanaka Allahumma wabihamdika asyahadu an la ilaha illa anta astagfiruka wa atubu ilaika! Engkau mengucapkan suatu ucapan yang belum pernah engkau ucapkan sebelumnya. Rasulullah saw bersabda, “Ucapan ini penghapus dosa dari kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi di majlis.” (Riwayat Abu Dawud dan an-Nasa’i)

Diriwayatkan bahwasanya Jibril telah mengajarkan kepada Nabi Muhammad saw agar ucapan tersebut dibaca ketika hendak bangkit dan duduk dalam satu majlis yaitu:

سُبْحَانَكَ الَلَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ اَشْهَدُ اَنْﻻَ اِلٰهَ اِﻻَّاَنْتَ اَسْتَغْفِرُكَ وَاَتُوْبُ اِلَيْكَ. (رواه ابوداود والنسائي)

“Mahasuci engkau, wahai Allah, dengan memuji-Mu, aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Engkau, aku mohon pengampunan-Mu dan aku bertobat kepada-Mu.” (Riwayat Abu Dawud dan an-Nasā’i)

Ayat 49

Kemudian Allah dalam ayat ini memerintahkan kepada Muhammad saw supaya ia bertasbih kepada Allah dengan salat malam. Karena ibadah pada waktu itu berat melaksanakannya, dan jauh dari ria, dan supaya ia salat tatkala terbenamnya bintang-bintang pada waktu subuh. Dalam ayat yang sama artinya Allah berfirman:

وَمِنَ الَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهٖ نَافِلَةً لَّكَۖ عَسٰٓى اَنْ يَّبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُوْدًا  ٧٩

Dan pada sebagian malam, lakukanlah salat tahajud (sebagai suatu ibadah) tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji. (al-Isra’/17: 79).

Makna membaca tasbih dalam ayat ini dapat berarti membaca tasbih seperti pada hadis di atas, juga dapat diartikan melaksanakan salat, baik salat isya, salat malam maupun salat subuh.

(Tafsir Kemenag)


Baca Juga: Inilah Amalan Agar Mudah Bangun Untuk Ibadah Shalat Malam

Tafsir Surah At-Tur Ayat 42-47

0
Tafsir Surah At-Tur ayat 48-49
Tafsir Surah At-Tur ayat 48-49

Masih membicarakan orang-orang kafir, dalam Tafsir Surah At-Tur Ayat 42-47 dijelaskan bahwa watak dari orang-orang musyrik adalah sombong dan keras kepala. Meskipun mereka telah diperlihatkan kebenaran, tetapi mereka tetap mengikuti pendirian mereka yang keras kepala.

Dengan demikian, dalam Tafsir Surah At-Tur Ayat 42-47 Allah memerintahkan Rasulullah untuk membiarkan mereka dalam keadaan seperti itu hingga kelak balasan Allah akan sangat nyata dan mereka tidak akan dapat menghindarinya lagi. Selengkapnya, Tafsir Surah At-Tur Ayat 42-47 di bawah ini…


Baca Juga: Tiga Kondisi Kaget Manusia pada Hari Kiamat


Tafsir Surah At-Tur Ayat 42-47


Ayat 42

Kemudian dalam ayat ini Allah swt berkata kepada mereka apakah mereka (orang-orang musyrik) hendak menipu manusia dan Rasul dengan perkataan mereka tentang rasul dan agama? Kalau memang ini yang mereka kehendaki, maka tipu daya mereka akan kembali kepada mereka sendiri.

Ayat 43

Selanjutnya, pada ayat ini Allah berkata kepada mereka, apakah mereka mempunyai Tuhan selain Allah yang membantu dan menghindarkan mereka dari siksa Allah swt. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan dan dari yang mereka sembah selain Dia.

Pertanyaan-pertanyaan ini adalah menyinggung orang-orang kafir untuk menemukan jawaban yang benar yang didasarkan pada akal sehat.

Ini merupakan kecaman keras kepada orang-orang musyrik penyembah berhala yang dipersekutukan terhadap Allah.

Ayat 44

Dalam ayat ini digambarkan bahwa orang-orang musyrik itu adalah kaum yang berwatak sombong dan keras kepala. Walaupun kepada mereka diperlihatkan tanda-tanda azab yang akan menimpa mereka dengan datangnya sekumpulan awan yang akan membawa bencana bagi mereka. Tetapi mereka menganggap ringan dan hanya memandang sebagai gumpalan awan yang sedang bermain-main dan saling bertumpuk. Hal ini disebabkan hati mereka sudah tertutup dan bersikap menyepelekan persoalan penting telah membutakan pandangan mereka. Mereka tetap mengingkari apa yang mereka lihat dengan mata kepala mereka sendiri. Dalam ayat yang lain yang sama artinya, Allah berfirman:

وَلَوْ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَابًا مِّنَ السَّمَاۤءِ فَظَلُّوْا فِيْهِ يَعْرُجُوْنَۙ  ١٤  لَقَالُوْٓا اِنَّمَا سُكِّرَتْ اَبْصَارُنَا بَلْ نَحْنُ قَوْمٌ مَّسْحُوْرُوْنَ ࣖ   ١٥

Dan kalau Kami bukakan kepada mereka salah satu pintu langit, lalu mereka terus menerus naik ke atasnya, tentulah mereka berkata, “Sesung-guhnya pandangan kamilah yang dikaburkan, bahkan kami adalah orang yang terkena sihir.” (al-Hijr/15: 14-15)

Ayat 45

Kemudian Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk membiarkan mereka dalam keadaan keras kepala seperti itu, dan tidak mengacuhkan mereka hingga datangnya suatu hari dimana mereka akan dibalas dengan kehancuran disebabkan oleh kejahatan mereka, yaitu pada Perang Badar seperti yang dikatakan oleh Biqā’i menurut dzahir ayat ini, atau sampai datang hari kebangkitan manusia di akhirat, sebagaimana firman Allah:

وَنُفِخَ فِى الصُّوْرِ فَصَعِقَ مَنْ فِى السَّمٰوٰتِ وَمَنْ فِى الْاَرْضِ اِلَّا مَنْ شَاۤءَ اللّٰهُ ۗ ثُمَّ نُفِخَ فِيْهِ اُخْرٰى فَاِذَا هُمْ قِيَامٌ يَّنْظُرُوْنَ  ٦٨

Dan sangkakala pun ditiup, maka matilah semua (makhluk) yang di langit dan di bumi kecuali mereka yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sekali lagi (sangkakala itu) maka seketika itu mereka bangun (dari kuburnya) menunggu (keputusan Allah). (az-Zumar/39: 68)


Baca Juga: 


Ayat 46

Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa pada hari itu tidaklah berguna bagi mereka tipu daya yang telah mereka atur terhadap Muhammad saw untuk membangkitkan api permusuhan kepadanya. Dan mereka tidak akan mendapat bantuan atau pertolongan yang dapat menghalangi azab Allah yang menimpa mereka.

Ayat 47

Allah swt menjelaskan bahwa orang-orang kafir yang menganiaya diri mereka sendiri dengan kekufuran dan kemaksiatan mereka, akan mendapatkan azab yang pedih di akhirat. Di samping itu di dunia pun mereka memperoleh azab berupa kelaparan selama tujuh tahun sebelum terjadinya Perang Badar, dan kekalahan besar pada perang tersebut.

Namun, kebanyakan mereka tidak mengetahui bahwasanya Allah akan menimpakan azab-Nya kepada mereka baik di dunia maupun di akhirat. Dalam ayat yang lain yang sama artinya, Allah berfirman:

وَلَنُذِيْقَنَّهُمْ مِّنَ الْعَذَابِ الْاَدْنٰى دُوْنَ الْعَذَابِ الْاَكْبَرِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ  ٢١ 

Dan pasti Kami timpakan kepada mereka sebagian siksa yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat); agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (as-Sajdah/32: 21)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah At-Tur Ayat 48-49


Tafsir Surah At-Tur Ayat 36-41

0
Tafsir Surah At-Tur ayat 48-49
Tafsir Surah At-Tur ayat 48-49

Dalam Tafsir Surah At-Tur Ayat 36-41 ini mengisahkan tentang masuk Islamnya ayah dari Muhammad bin Jubair bin Mut’im yang mendengar Nabi Muhammad saw membaca surah at-Tur, ketika bacaan Rasulullah sampai pada ayat ke 35-36 jantungnya terasa melayang. Itulah salah satu mukjizat Alquran.

Kemudian selain itu, Tafsir Surah At-Tur Ayat 36-41 ini berupa pertanyaan-pertanyaan Allah kepada orang-orang kafir yang sombong dan merasa mengetahui semua hal yang ada di alam semesta ini. Oleh sebab itu ditegaskan dalam Tafsir Surah At-Tur Ayat 36-41 tentang mereka yang tidak memiliki pengetahuan akan hal ghaib sehingga mereka tidak mengetahui apakah Nabi Muhammad akan lebih dahulu wafat sebelum mereka.


Baca Juga: Penjelasan Al-Quran tentang Fenomena Alam Semesta Bertasbih kepada Allah


Ayat 36

Kemudian dalam ayat ini Allah menegaskan pula dengan menyatakan kalau mereka itu menciptakan diri mereka sendiri, apakah juga mereka berani berkata bahwa mereka menciptakan alam semesta ini (langit dan bumi), sedangkan pada keduanya terdapat segala penyebab kehidupan mereka?

 Mereka pasti tidak dapat meyakinkan diri sendiri dan tidak konsekuen terhadap apa yang mereka katakan, karena bila ditanya siapa yang menjadikannya dan yang menjadikan langit dan bumi, pasti mereka akan berkata, “Allahlah yang menjadikan itu.” Sesungguhnya bila mereka meyakini, mereka tidak akan mengingkari keesaan Allah.

Ayat 37

Selanjutnya dinyatakan pada ayat ini dalam bentuk pertanyaan, apakah mereka bertindak selaku penguasa dan di tangan mereka perbendaharaan Tuhan. Kemudian mereka menganugerahkan jabatan ke-nabian kepada siapa yang mereka kehendaki dan memilih orang-orang yang mereka senangi? Ataukah mereka itu orang-orang yang berkuasa, sehingga mereka mengatur urusan alam semesta, kemudian mereka menjadikan sesuatu atas kehendak dan kemauan mereka? Kenyataannya tidak demikian. Akan tetapi Allah-lah Yang Mahakuasa, yang mengatur dan menjadikan semuanya yang dikehendaki-Nya.

Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari az-Zuhry, dari Muhammad bin Jubair bin Mut’im bapaknya berkata, “Saya mendengar Nabi Muhamamd saw membaca Surah at-Tur ketika salat magrib. Ketika telah sampai pada ayat 35-37 ini, jantungku hampir terasa melayang. Dan Jubair bin Mut’im telah datang kepada Nabi Muhammad saw setelah Perang Badar dalam Tahanan. Saat itu dia masih seorang musyrik. Kemudian dia mendengarkan ayat ini yang akhirnya ia masuk Islam.”

Ayat 38

Dalam ayat ini Allah swt menyatakan dengan nada pertanyaan, apakah mereka mempunyai tangga untuk naik ke langit, kemudian mereka dapat mendengarkan perkataan malaikat tentang masalah-masalah gaib yang diwahyukan Allah.

Sebenarnya mereka hanya berpegang kepada hawa nafsu saja. Mereka mengakui hal itu, maka cobalah mereka mengemukakan suatu bukti yang nyata, yang menerangkan kebenaran pengakuan mereka itu yang menolak risalah seperti pembuktian yang dibawa oleh Muhammad saw dari Tuhannya.


Baca Juga: Nasib Tragis Perempuan di Masa Arab Jahiliah


Ayat 39

Dalam ayat ini Allah swt bertanya kepada mereka dengan mengatakan apakah menurut mereka Tuhan mempunyai anak-anak perempuan yang dinamakan malaikat, sedangkan mereka mempunyai anak laki-laki, padahal mereka tahu anak laki-laki lebih diinginkan dari pada anak perempuan. Dalam ayat ini Allah berfirman:

تِلْكَ اِذًا قِسْمَةٌ ضِيْزٰى   ٢٢

Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil. (an-Najm/53:22)

Ini merupakan kelengkapan penjelasan bahwa barang siapa yang berpendapat seperti itu, jelaslah bahwa dia tidak termasuk orang-orang yang mempunyai pikiran yang sehat.

Ayat 40

Pada ayat ini Allah swt bertanya kepada mereka, perlukah Muhammad saw meminta upah kepada orang-orang musyrik, sedangkan dia diutus Allah swt kepada mereka untuk mengajak, mengesakan Tuhan dan taat kepada-Nya? Andaikata demikian, tidaklah upah yang diminta Muhammad saw itu memberatkan beban mereka sehingga mereka tidak dapat memenuhi seruan Muhammad? Pertanyaan ini mematahkan tuduhan mereka, apalagi jika Nabi Muhammad meminta upah kepada mereka.

Ayat 41

Selanjutnya dalam ayat ini Allah bertanya kepada mereka apakah mereka mempunyai ilmu gaib yang tidak diketahui manusia, yang mereka tulis untuk keperluan manusia? Kemudian mereka memberitahukannya kepada manusia semau mereka? Tidaklah mungkin mereka mempunyai ilmu gaib, karena tidak ada yang mengetahui kegaiban langit dan bumi kecuali Allah.

Qatādah berkata, ayat ini merupakan jawaban terhadap perkataan mereka bahwa mereka menunggu perputaran masa (kematian Muhammad sebelum mereka). Maka Allah menegaskan, apakah ada pada mereka pengetahuan tentang yang gaib sehingga mereka mengetahui bahwa Muhammad saw akan wafat sebelum mereka.

(Tafsir Kemenag)


Baca Juga: Privilese bagi yang Tidak Dikaruniai Anak


Tafsir Surah At-Tur Ayat 31-35

0
Tafsir Surah At-Tur ayat 48-49
Tafsir Surah At-Tur ayat 48-49

Menjawab tuduhan orang-orang kafir kepada Rasulullah, maka dalam Tafsir Surah At-Tur Ayat 31-35 ini menegaskan bahwa Allah mengancam datangnya kehancuran didunia dan di akhirat bagi orang-orang kafir yang sombong.

Selain itu, untuk menjawab kesombongan mereka Tafsir Surah At-Tur Ayat 31-35 menantang orang-orang kafir tersebut untuk bersatu menyusun surah yang mirip dengan Alquran. Selengkapnya baca Tafsir Surah At-Tur Ayat 31-35 di bawah ini.


Baca Juga: Tafsir Surah al-An’am Ayat 68 : Bagaimana Menyikapi Orang Yang Melecehkan Al-Qur’an ?


Ayat 31

Dalam ayat ini Allah swt menegaskan kepada Muhammad saw supaya ia mengancam mereka dengan mengajak menunggu hari kehancuran mereka. Muhammad saw juga menyatakan bahwa ia juga menunggu seperti mereka mengenai akan datangnya ketentuan dari Tuhan, supaya mereka mengetahui siapa yang berakhir dengan kebaikan dan siapa pula yang mendapat kemenangan di dunia dan di akhirat.

Sikap orang-orang kafir yang sombong memang kadang-kadang perlu dihadapi dengan tegas. Apalagi tuduhan mereka memang sudah keterlaluan dengan menyatakan Nabi sebagai tukang tenung, sebagai orang gila dan sebagainya, padahal pendapat-pendapat mereka hanya didasarkan pada prasangka yang tidak berdasar sama sekali. Maka perlu ditegaskan bahwa risalah Nabi adalah dari Allah yang Mahakuasa, oleh karena itu Nabi tidak perlu takut membuktikan semuanya sampai di hari akhirat nanti.

Ayat 32

Kemudian pada ayat ini Allah swt mempertanyakan apakah orang-orang kafir itu mempergunakan akal sehat mereka atau hanya mempertaruhkan hawa nafsu dan angan-angan belaka dalam melemparkan tuduhan-tuduhan mereka yang aneh dan tidak ada dasarnya sama sekali. Nabi memang bukan penyair, juga bukan tukang tenung dan bukan orang gila.

Tuduhan-tuduhan mereka semata-mata didasarkan pada rasa benci yang berlebih-lebihan, sehingga tidak memperhatikan akal sehat sama sekali.

Ayat 33

Pada ayat ini dengan menggunakan bentuk kalimat pertanyaan, Allah menerangkan tuduhan orang-orang kafir bahwa Nabi dianggap mengada-ada, menyatakan sesuatu yang dikarang-karang sendiri oleh Nabi Muhammad saw. Bentuk pertanyaan ini, merupakan suatu dorongan agar mereka berpikir untuk mencari jawaban dengan menggunakan akal sehat.

Ayat-ayat Al-Qur’an memang memesona mereka, baik rangkaian bahasa-nya maupun isi kandungannya, sehingga mereka mengatakan Muhammad adalah penyair atau tukang tenung bahkan mereka anggap sebagai orang gila, sebetulnya mereka terkagum-kagum pada ayat Al-Qur’an, tetapi karena mereka tidak beriman, mereka menolak dan mengingkari firman-firman Allah dan kenabian Nabi Muhammad maka mereka asal tuduh saja. Memang mereka menghadapi dilema dengan kehebatan Al-Qur’an tetapi juga benci kepada Nabi Muhammad saw.

Demikianlah jika seseorang tidak mendapat hidayah dari Allah swt, menderita batin di dunia, dan menderita lahir batin di akhirat nanti.


Baca Juga: Tantangan Alquran kepada Penentang Risalah Nabi Muhammad


Ayat 34

Kemudian dalam ayat ini, Allah menjawab berbagi tuduhan mereka terhadap Nabi Muhammad saw dengan tantangan untuk mencoba membuat seperti apa yang telah disampikan oleh Nabi. Kalau Muhammad saw itu dituduh penyair, maka di tengah-tengah mereka itu banyak penyair yang fasih. Kalau Nabi dituduh tukang tenung, bukankah di tengah-tengah mereka juga banyak tukang tenung yang ahli. Atau kalau ia dituduh mengada-adakan, bukankah di tengah-tengah mereka itu juga banyak ahli pidato, lancar berbicara dengan keindahan tutur katanya, dan sebagainya.

Maka mengapakah mereka, tidak sanggup membuat suatu ungkapan seperti Al-Qur’an bila mereka memang orang-orang yang benar dalam tuduhan mereka. Bahkan mereka mempunyai tokoh-tokoh ahli yang punya kemampuan besar dalam berpidato, bersyair, dan telah banyak pengalaman menyusun kalimat dengan menggunakan gaya bahasa puisi atau prosa. Mereka mengetahui benar sejarah bangsa Arab lebih dari pengetahuan Muhammad saw? Walaupun demikian, nyatanya mereka masih tidak mampu membuat suatu surah pun seperti Al-Qur’an, meskipun mereka semua bekerja sama secara kelompok.

Ayat 35

Dalam ayat ini Allah menegaskan apakah orang-orang kafir itu mengingkari Allah sebagai Pencipta yang menjadikan semesta alam ini, atau mereka menganggap bahwa mereka itu diciptakan sebagus itu tanpa adanya pencipta. Namun, akal menetapkan bahwa setiap yang ada berasal dari tiada. Ini menunjukkan suatu bukti bahwa ada sesuatu yang mengadakannya pasti ada yang menciptakannya.

Ataukah mereka menganggap bahwa diri mereka sendiri yang menciptakan mereka. Anggapan mereka seperti ini tentulah bertentangan dengan akal yang sehat, sebab setiap sesuatu itu harus ada yang menyebabkan adanya dan yang mengadakannya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Juga: Tafsir Surah Alhujurat Ayat 11: Bentuk Penjagaan Lisan


Tafsir Surah At-Tur Ayat 26-30

0
Tafsir Surah At-Tur ayat 48-49
Tafsir Surah At-Tur ayat 48-49

Selain merinci tentang apa yang dilakukan para penghuni syurga selama hidup di dunia sehingga mereka mendapatkan balasan kenikmatan yang luar biasa, Tafsir Surah At-Tur Ayat 26-30 ini juga mengisahkan tentang siksaan bagi orang-orang yang selama di dunia terbuai dengan kemewahannya, balasan tersebut adalah neraka Jahannam.

Kemudian, dalam dua ayat terakhir Tafsir Surah At-Tur Ayat 26-30 ini menceritakan tentang orang-orang kafir yang memfitnah Rasulullah sebagai tukang tenung dan memiliki penyakit epilepsy atau ayan.


Baca Juga: Perintah Menjaga Diri dan Keluarga dari Api Neraka


Ayat 26-27

Kemudian dalam ayat ini Allah swt merinci tanya jawab atas berbagai kesenangan yang mereka nikmati. Mereka berkata bahwa sesungguhnya mereka sewaktu di dunia, pada waktu itu di tengah-tengah keluarga mereka timbul rasa takut akan azab Allah dan siksanya. Kemudian Allah menghilangkan rasa takut itu dengan mengaruniakan nikmat-Nya kepada mereka yaitu mereka terpelihara dari api neraka yang disebut as-samum.

Perasaan takut mereka di dunia akan azab Allah mendorong mereka mengerjakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya meskipun ketika itu berada di tengah-tengah keluarga, mereka memperoleh ketenangan. Diriwayatkan bahwasanya ‘Aisyah berkata, “Andaikata Allah membukakan neraka di bumi ini seujung jari saja, maka akan terbakarlah bumi dan seluruh isinya.”

Ayat 28

Dalam ayat ini Allah swt menerangkan bahwa penghuni-penghuni surga itu telah memenuhi persyaratan seruan Allah dan Rasul-Nya sehingga mereka mendapat kemuliaan itu. Mereka berkata bahwa mereka dahulu menyembah Allah dan memohon kepada-Nya. Maka Allah memperkenan-kan dan mengabulkan permintaan mereka dan menerima ibadah mereka, karena Allah yang melimpahkan kebaikan, dan pemberi karunia, lagi Maha Penyayang.

Setiap orang yang beriman dan setiap orang kafir tidak akan pernah lupa terhadap apa yang telah mereka perbuat di dunia, kenikmatan orang-orang yang beriman akan bertambah bila mereka melihat bahwa mereka telah berpindah dari penjara dunia ke alam kesenangan akhirat, dan dari kesempitan kepada kelapangan. Sebaliknya bertambahlah siksa orang kafir bilamana ia melihat bahwa dirinya telah berpindah dari kemewahan dunia ke alam penderitaan, dan kesengsaraan neraka Jahannam di akhirat.


Baca Juga: Kajian Semantik Kata Surga dan Neraka dalam Al-Quran


Ayat 29-30

Pada Tafsir Surah At-Tur Ayat 26-30 khususnya dalam ayat 29 Allah swt memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw untuk tetap memberikan peringatan kepada kaumnya, dengan mengajarkan kepada mereka ayat-ayat Allah tanpa menghiraukan perbuatan-perbuatan mereka yang tidak mengandung kebenaran. Allah menegaskan bahwa hamba-Nya yang bernama Muhammad saw bukanlah tukang tenung dan bukan orang gila.

Adapun orang-orang kafir menuduh Nabi Muhammad saw sebagai tukang tenung, karena beliau banyak memberikan berita-berita gaib tentang masa lalu. Umat-umat yang diperjuangkan nabi-nabi sebelumnya juga memberikan berita hal-hal yang akan datang seperti hari Kiamat, hari Kebangkitan dan hari Pengadilan (yaumul-Hisab) dan tentang surga serta neraka. Berita-berita gaib ini merupakan sebuah kebenaran yang diterima dari Allah. Jadi jelaslah bahwa Nabi bukan tukang tenung yang menyampaikan hal-hal yang tidak benar.

Orang kafir juga menuduh Rasulullah sebagai orang gila, karena beliau menyatakan dan mengajarkan bahwa Tuhan itu hanya satu, sedangkan mereka menganggap Tuhan mereka yang berjumlah empat saja banyak persoalan dunia yang tidak selesai. Jika Tuhan hanya satu maka dunia tidak terpelihara lagi, kata mereka. Beberapa orientalis Barat menyatakan Nabi punya penyakit epilepsi (ayan) seperti ketika beliau menerima wahyu tiba-tiba diam dan tidak menghiraukan keadaan sekeliling seperti orang terjangkit penyakit ayan. Tetapi pada ayat 29 ini Allah menegaskan bahwa Muhammad saw tidaklah gila sebagaimana dituduhkan orang-orang kafir. Nabi Muhammad saw adalah hamba Allah yang diangkat jadi rasul, memiliki akal yang sehat, cita-cita yang tinggi, akhlak dan perilaku yang mulia.

Sedangkan Tafsir Surah At-Tur Ayat 26-30 khususnya pada ayat 30 menceritakan tentang orang-orang kafir yang masih menuduh Nabi sebagai penyair karena ayat-ayat Al-Qur’an sangat indah bahasanya, susunan kalimat dan pilihan katanya sangat luar biasa. Para penyair biasa memiliki kemampuan bahasa yang indah dan biasa menyusun kalimat dan memilih kata-katanya tidak seperti manusia biasa. Menurut mereka para penyair sering menemui kematian karena kecelakaan. Oleh karena itu mereka selalu menunggu-nunggu kecelakaan yang akan menimpa Muhammad saw.

Pada ayat ini Allah swt menegaskan bahwa Nabi bukanlah penyair. Bahasa yang indah, susunan kalimat dan pilihan bahasa yang luar biasa pada ayat-ayat Al-Qur’an karena ayat-ayat itu merupakan firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw dan Allah akan selalu melindungi Nabi-Nya. Firman Allah:

يٰٓاَيُّهَا الرَّسُوْلُ بَلِّغْ مَآ اُنْزِلَ اِلَيْكَ مِنْ رَّبِّكَ ۗوَاِنْ لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسٰلَتَهٗ ۗوَاللّٰهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْكٰفِرِيْنَ  ٦٧ 

Wahai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu. Jika tidak engkau lakukan (apa yang diperintahkan itu) berarti engkau tidak menyampaikan amanat-Nya. Dan Allah memelihara engkau dari (gangguan) manusia. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir. (al-Ma’idah/5: 67)

(Tafsir Kemenag)


Baca Juga: Tantangan Alquran kepada Penentang Risalah Nabi Muhammad


Tafsir Surah At-Tur Ayat 22-25

0
Tafsir Surah At-Tur ayat 48-49
Tafsir Surah At-Tur ayat 48-49

Di dalam Tafsir Surah At-Tur Ayat 22-25 ini masih menggambarkan kebahagiaan yang diperoleh dari orang-orang yang hidup di syurga. Allah swt memberikan makanan yang lezat dan disenangi manusia selama di dunia seperti buah-buahan dan daging. Selain itu, dalam Tafsir Surah At-Tur Ayat 22-25 ini, saat di syurga manusia boleh meminum khamr yang dilarang saat hidup di dunia. Khamr di syurga tidak memabukkan seperti yang ada di dunia.

Allah juga mengizinkan para penghuni syurga untuk saling berkunjung dan bercerita tentang apa saja yang dihindari mereka saat di dunia. Bahkan sebagai ganjarannya para penghuni syurga memiliki pelayan-pelayan yang baik dan ramah. Begitulah keindahan hidup di syurga yang digambarkan dalam Tafsir QS. At-Tur Ayat 22-25.


Baca Juga: Cara Jamuan Disuguhkan untuk Ahli Surga dalam Surah Al-Insan Ayat 5


Ayat 22

Selanjutnya pada ayat ini Allah menyebutkan bahwa Dia menambah-kan kesenangan penghuni surga tersebut dari waktu ke waktu dengan apa yang mereka inginkan, seperti disediakannya berbagai macam buah-buahan dan daging yang lezat, sekalipun mereka tidak memintanya.

Mengapa Allah swt menyebutkan buah-buahan dan daging, tidak menyebutkan berbagai macam makanan yang lain karena buah-buahan dan daging merupakan makanan yang disenangi dan mengandung gizi yang diperlukan bagi tubuh dan sangat disenangi di dunia. Jadi Allah memberi semua yang menjadi kesenangan manusia.

Ayat 23

Dalam ayat ini Allah swt menggambarkan tentang kegembiraan mereka di surga yaitu mereka masing-masing mengambil gelas minuman mereka. Mereka duduk sambil bersulang dengan teman-teman mereka, bersenda-gurau seperti terjadi dalam suatu kelompok sahabat, sebagai gambaran betapa riang-gembiranya mereka.

Minuman khamar di akhirat tidak memabukkan seperti halnya dengan khamar di dunia, dan tidak pula menyebabkan orang berbicara melantur tak tentu arah atau mabuk seperti peminum di dunia. Allah swt telah menjelaskan dalam ayat lain, yakni tentang khamar di akhirat dan sedap rasa makanan yaitu ayat yang berbunyi dalam firman-Nya:

بَيْضَاۤءَ لَذَّةٍ لِّلشّٰرِبِيْنَۚ   ٤٦  لَا فِيْهَا غَوْلٌ وَّلَا هُمْ عَنْهَا يُنْزَفُوْنَ  ٤٧

(warnanya) putih bersih, sedap rasanya bagi orang-orang yang minum. Tidak ada di dalamnya (unsur) yang memabukkan dan mereka tidak mabuk karenanya. (as-Shaffat/37: 46-47)

Dan firman-Nya:

لَّا يُصَدَّعُوْنَ عَنْهَا وَلَا يُنْزِفُوْنَۙ    ١٩

Mereka tidak pening karenanya dan tidak pula mabuk. (al-Waqi’ah/56: 19)


Baca Juga: Zanjabil dan Kafur: Dua Minuman Surga yang Disebutkan dalam Al-Qur’an


Ayat 24

Ayat ini menjelaskan bahwa penghuni surga dikelilingi oleh pelayan-pelayan yang muda belia yang membawa minuman. Pelayan-pelayan itu selalu siap diperintah. Mereka tampan dan cantik seperti mutiara yang berkilauan indah dan tersimpan dalam tempat yang tersembunyi. Dalam ayat yang lain yang sama, artinya Allah menjelaskan:

يَطُوْفُ عَلَيْهِمْ وِلْدَانٌ مُّخَلَّدُوْنَۙ    ١٧  بِاَكْوَابٍ وَّاَبَارِيْقَۙ وَكَأْسٍ مِّنْ مَّعِيْنٍۙ    ١٨ 

Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda, dengan membawa gelas, cerek dan sloki (piala) berisi minuman yang diambil dari air yang mengalir. (al-Waqi’ah/56: 17-18)

Terkait dengan ayat ini Qatadah berkata, “Saya mendengar kabar Rasulullah ditanya tentang pelayan surga yang seperti mutiara, maka bagaimana dengan yang dilayani?” Rasulullah bersabda:

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّ فَضْلَ مَا بَيْنَهُمْ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَا ئِرِ الْكَوَاكِبِ. (رواه ابن جرير و ابن المنذر)

“Demi Allah bahwa perbedaan kelebihan antara mereka, seperti kelebihan malam bulan purnama atas semua bintang.” (Riwayat Ibnu Jarir dan Ibnu Mundzir)

Diriwayatkan bahwa derajat yang paling rendah di surga ialah orang yang bilamana ia memanggil pelayannya, maka datanglah seribu pelayan berdiri di pintunya, dengan menjawab. Labbaik, labbaik (ya . . . ya . . . ).”

Ayat 25

Pada ayat ini Allah swt menerangkan bahwa penghuni surga itu saling mendatangi penghuni yang lain baik antara bapak, ibu dan keluarga mereka yang seiman di dunia dan juga dengan penghuni surga yang lain, bertanya tentang keadaan mereka di dunia dahulu, yaitu meliputi ibadah atau seputar berbagai upaya nahi munkar karena takutnya mereka akan azab Allah swt ketika hidup di dunia. Kemudian mereka memuji Allah swt yang telah menghilangkan sedih, pilu, duka dan kegelisahan mereka. Mereka di surga tidak lagi merasakan kesusahan dan kesukaran mencari nafkah hidup atau mencari rezeki dan segala hal yang berkenaan dengan kehidupan. Mereka hanya tinggal menikmati berbagai kesenangan saja.

Diriwayatkan bahwa Anas berkata sebagai berikut:

قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهَ وَسَلَّمَ اِذَا دَخَلَ اَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ اشْتَاقُوْا اِلَى الاِخْوَانِ فَيَجِيْئُ سَرِيْرُ هٰذَا حَتىَّ يُحَاذِيَ سَرِيْرُ هٰذَا فَيَتَحَدَّثَانِ فَيَتَّكِئُ ذَا وَيَتَّكِئُ ذَا فَيَتَحَدَّثَانِ بِمَا كَانَا فِى الدُّنْيَا فَيَقُوْلُ أَحَدُ هُمَا لِصَاحِبِهِ يَافُلاَنُ أَتَدْرِي اَيُّ يَوْمٍ غَفَرَ اللهُ لَنَا؟ اَلْيَوْمَ الَّذِي كُنَّا فِي مَوْضِعِ كَذَا وَكَذَا فَدَعَوْنَا اللهَ فَغَفَرَلَنَا. (رواه البزار)

Rasulullah saw bersabda, “Apabila penghuni surga telah memasuki surga dan mereka rindu kepada kawan-kawan mereka, lalu datanglah sofa seseorang mendekat hingga berhadapanlah dengan sofa yang lainnya keduanya duduk santai sambil bercakap-cakap dan membicarakan amal mereka di dunia dahulu. Maka berkatalah seseorang dari mereka, “Hai fulan, tahukah engkau pada hari apa Tuhan mengampuni kita? Pada hari di tempat, di mana kita berdoa kepada Allah kemudian kita diampuni-Nya.” (Riwayat al-Bazzar)

(Tafsir Kemenag)


Baca Juga: 7 Sifat-Sifat Penghuni Surga Menurut Al-Qur’an