Beranda blog Halaman 77

Hermeneutika Filosofis-Dekonstruktif dalam Menalar Tafsir Gender

0
Hermeneutika Filosofis-Dekonstruktif dalam Menalar Tafsir Gender
Hermeneutika Filosofis-Dekonstruktif dalam Menalar Tafsir Gender

Setelah Aksin Wijaya mengulas tentang wacana mufasir dengan nalar normatif dan rasional yang sudah tertulis dalam tulisan sebelumnya Normatif dan Rasionalis: Dua Tipologi Nalar Tafsir Gender. Selanjutnya, dibahas tentang hermeneutika filosofis-dekonstruksi dalam menalar tafsir gender. Hermeneutika yang digunakan Aksin ini merupakan kritik lebih lanjut terhadap kelompok normatif dan rasionalis.

Langkah awal yang dilakukan Aksin adalah memahami kembali konsep wahyu Tuhan. Hal ini, ia lakukan bukan untuk meragukan, apalagi menolak keberadaan wahyu Tuhan, melainkan untuk menggali autentisitas pesan Tuhan. Pemahaman kembali yang ia lakukan terhadap wahyu Tuhan untuk membongkar selubung budaya yang ada dalam mushaf yang kini diterima umat muslim.

Memahami konsep wahyu Tuhan, bagi Aksin adalah memilah definisi term wahyu Tuhan, Alquran, dan mushaf Usmani dengan nalar dekonstruktif Muhammad Arkoun. Dalam terminologi meanstream, antara wahyu Tuhan, Alquran, dan mushaf Utsmani dipahami dengan makna yang saling tumpang tindih. Aksin mencontohkan definisi Alquran menurut Ali al-Shabuni terlebih dahulu. Menurut al-Shabuni, dalam al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an-nya, Alquran adalah kalam Allah yang melemahkan yang diturunkan kepada Nabi dan Rasul terakhir, Muhammad Saw., melalui perantara malaikat Jibril yang tertulis di dalam mushaf-mushaf, yang ditransfer kepada umatnya secara mutawatir, membacanya bernilai ibadah, dimulai dari surah Alfatihah dan ditutup dengan surah Alnas.

Baca Juga: Dua Tipologi Nalar Tafsir Gender

Pemilahan dan kategorisasi ini Aksin lakukan untuk mengetahui mana wahyu sebagai kalam Tuhan yang transendental dan tak terbatas, mana wahyu yang bersifat historis yang diturunkan dengan bahasa Arab kepada para Nabi, dan mana wahyu yang diwujudkan dalam bentuk tulisan. Bagi Aksin, wahyu adalah kalam Tuhan tanpa lafaz. Alquran adalah wahyu Tuhan yang terucap menggunakan bahasa Arab, dan mushaf Utsmani adalah korpus resmi tertutup.

Aksin mengatakan, pada masa Utsman bin Affan sepakat bahwa mushaf Utsmani adalah Alquran korpus resmi yang tertutup. Sebagai korpus resmi tertutup, mushaf Utsmani menjadi kitab tertulis dalam Islam yang dianggap otoritatif dan tidak ada perubahan sama sekali hingga kini. Sebagai pesan Tuhan yang ditulis dengan bahasa Arab, maka dia memastikan mushaf Utsmani juga mengandung pesan budaya masyarakat Arab.

Atas pemahaman tersebut, Aksin menilai hermeneutika filosofis-dekosntruktif tepat digunakan untuk melepaskan pesan Tuhan dari selubung budaya Arab klasik. Pembacaan ini juga berguna untuk mengembalikan budaya Arab ke habitat sosialnya sendiri, dan mengembalikan pembaca pada habitat sosialnya sendiri. Dengan hermeneutika ini, antara teks, subjek budaya Arab, dan pembaca saling berdialog mencari solusi produktif di tengah realitas kekinian. Pembacaan ini sebenarnya juga masih bertumpu pada teks, tetapi teks itu dibaca secara filosofis, kritis, dekonstruktif dan dalam konteks pembaca.

Selanjutnya, yang dilakukan oleh Aksin adalah mengomentari pendapat dua nalar tafsir gender dalam lanskap intelektual Islam klasik dan modern, yakni kalangan normatif dan rasional.

Baca Juga: Husein Muhammad dan Pembacaan Al-Quran Berperspektif Gender

Kritikan terhadap kelompok normatif

Menurut Aksin, pembacaan kelompok normatif terhadap surah Alnisa’ [4]: 1 sebenarnya agak rancu dan ambigu. Alasannya, karena dibolehkannya pengalihan makna lafaz dari bentuk mudzakkar ke muannas atau sebaliknya. Dan hal itu biasanya terletak pada kebiasaan masyarakat Arab yakni bersifat sama’i. Padahal, lafaz nafsun wahidah ini terikat dengan dilalah lafdziyah atau secara linguistik lafaz tersebut adalah feminim “perempuan”. Kemudian, kalangan normatif juga mengatakan lafaz zaujun yang dimakna sebagai pasangan laki-laki. Seharusnya, lafaz zaujun terikat dengan dilalah lafdziyah menjadi zaujatun yang artinya perempuan. Dengan demikian, dalam konteks ayat itu menafsiri zaujatun sebagai “Siti Hawa”, layak dipertanyakan.

Kritikan terhadap kelompok rasional

Aksin mengatakan, pola pemikiran kalangan rasional juga terbuka untuk diperdebatkan, khususnya dalam melakukan pembacaan surah Alnisa’ [4]: 1. Karena mereka juga ternyata mengacu pada lafaz nafsun wahidah seperti halnya dengan kelompok normatif. Namun perbedaannya, kelompok rasionalis hanya mengalihkan makna kata. Sehingga, berbeda dengan kalangan normatif, tanpa melihat konteks gramatikal ayat dalam konteks sosio-historisnya. Tepat pada lafaz “ nafsun wahidah” kelompok rasionalis memaknai “jenis yang sama”.

Filosofis-Dekonstruktif dalam menalar surah Alnisa’ [4]: 1

Hal yang perlu dikritisi dari dua pola pembacaan di atas berkisar pada dua aspek. Pertama, mereka terlalu menekankan pemahaman atau pembacaan Alnisa’ [4]: 1, tepatnya pada lafaz “nafsun wahidah” tanpa melihat realitas historisnya. Kedua, mereka telah menggunakan ayat tersebut sebagai sentral yang menentukan posisi kesetaraan atau diskriminasi gender, tanpa melihat konteks gramatikal ayat dan konteks sosial-historisnya. Padahal, menurut Aksin ayat tersebut memiliki kenyataan linguistik dan kenyataan sosio-historisnya.

Baca Juga: Dua Faktor Pemicu Bias Penafsiran Ayat Relasi Gender

Surah Alnisa’ [4]: 1 disebut dalam berbagai pendapat sebagai ayat madaniyah, yakni ayat yang turun pasca hijrah. Namun, pembuka ayat tersebut justru menggunakan ciri-ciri surat makkiyah, yakni ya ayyuhan nas. Bagi Aksin, sebagai bagian dari ayat madaniyah, maka secara realitas historis yang menjadi titik pembahasan seharusnya adalah perintah untuk bertakwa (ittaqullah). Seperti yang maklum diketahui, rata-rata ayat madaniyah menggunakan seruan ya ayyuhal ladzina amanuu (wahai orang-orang yang beriman).

Artinya, ayat tersebut bagi Aksin dengan pembacaan filosofis-dekonstruktif tidak mutlak berbicara mengenai gender. Justru ayat tersebut lebih condong pada penempatan manusia, baik laki-laki maupun perempuan dalam konteks profesional, moral, khususnya ketakwaan. Siapapun yang memenuhi kriteria tersebut, maka dialah yang mulia di sisi Allah Swt.

Wallahu a’lam.

Penolakan atas Timnas Israel dan Refleksi Surah Al-Maidah Ayat 2 dan 8

0
penolakan atas timnas Israel dan refleksi surah Al-Maidah ayat 2
penolakan atas timnas Israel dan refleksi surah Al-Maidah ayat 2

Beberapa waktu lalu, FIFA (Federation Internationale de Football Association) memutuskan untuk membatalkan pelaksanaan Piala Dunia U-20 digelar di Indonesia. Keputusan yang diambil FIFA sebagai federasi tertinggi sepak bola dunia ini disampaikan tidak lama setelah ramai penolakan atas timnas Israel oleh beberapa tokoh publik di Indonesia, sehingga disinyalir keputusan FIFA ini erat kaitannya dengan isu tersebut.

Bisa dimaklumi, pandangan beberapa tokoh publik Indonesia tersebut adalah bagian dari respons terhadap tindakan brutal Israel yang melanggar asas kemanusiaan dengan tetap meneror dan menjarah tanah Palestina yang telah merdeka sekian tahun lamanya. Indonesia sebagai pihak yang pro kemerdekaan Palestina, apalagi didasari rasa persaudaraan seagama atau kemanusiaan, tentu Indonesia tak akan tinggal diam. Oleh karenanya, tindakan menolak kedatangan timnas Israel berlaga di Piala Dunia U-20 dianggap sebagai bentuk komitmen Indonesia memperjuangkan kemerdekaan Palestina.

Apakah tindakan demikian dibenarkan dalam Islam? Penulis merasa tertarik untuk mencoba mengkaji bagaimana sikap yang sepantasnya kita lakukan sebagai seorang muslim. Kali ini, penulis, mencoba mengutip sebuah ayat dalam Alquran, yakni Surah al-Maidah (5): 2.

Baca Juga: Surah Al-Maidah Ayat 2: Perintah Berbuat Adil dan Saling Tolong Menolong

Tafsir Surah Al-Maidah Ayat 2

 …. وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ اَنْ صَدُّوْكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اَنْ تَعْتَدُوْاۘ وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ

…Janganlah sekali-kali kebencian(-mu) kepada suatu kaum, karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksaan-Nya. (Q.S. Al-Maidah [5] 2).

Jika ditelisik lebih lanjut, surah Al-Maidah ayat 2 ini turun berkenaan dengan rombongan Rasulullah saw. yang hendak pergi menuju Baitullah pada tahun 8 H. Namun, di tengah perjalanan mereka dicegat oleh kaum kafir Quraisy untuk memasuki kota Makkah. Padahal, sebelumnya mereka telah melakukan gencatan senjata dalam perjanjian Hudaibiyah dua tahun sebelumnya.

Singkatnya, pemblokadean tersebut memicu kebencian dan rasa dendam di sebagian pihak kaum muslimin. Mereka ingin membalas dengan perbuatan yang sepadan dengan yang apa yang telah mereka terima di masa silam. Jika mereka —kaum kafir Quraisy— datang maka akan dihalangi serupa dengan yang pernah mereka alami. Mengenai hal tersebut, maka turunlah ayat tersebut.

وَلَا یجۡرِمَنَّكُمۡ شَنَـَٔانُ قَوۡمٍ أَن صَدُّوكُمۡ عَنِ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ أَن تَعۡتَدُواۘ

Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya, ketika mengomentari penggalan ayat ini memberi penjelasan bahwa janganlah karena faktor kebencian karena perlakuan mereka terhadap kaum muslimin yang dihalang masuk ke Masjidil Haram sewaktu perjanjian Hudaibiyah mendorong mereka melanggar ketentuan Allah terhadap mereka. (Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Juz 3, hal 12)

Lebih lanjut, Ibnu Katsir menambahkan kemudian sebab perbuatan itu memancing rasa balas dendam terhadap mereka dengan berbuat aniaya dan permusuhan. Akan tetapi, berlakulah adil sebagaimana yang telah Allah perintahkan. Sebagian ulama salaf mengatakan “Selama engkau memperlakukan orang yang zalim terhadap dirimu sesuai dengan ketentuan Allah dan engkau berlaku adil terhadapnya, maka tegaklah langit dan bumi ini. (Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Juz 3, hal 12)

Kita bisa melihat bagaimana menakjubkannya pesan Ilahi ayat tersebut. Kaum muslimin tetap disuruh untuk berbuat adil kepada mereka yang pernah menghalangi jalan mereka menuju Baitullah. Keadilan memerintahkan kaum muslimin untuk membiarkan mereka masuk tanpa ada halangan dan hambatan. Kendatipun ketentuan membolehkan kaum Musyrikin memasuki Baitullah itu kemudian di naskh pada tahun 9 H saat turun At-Taubah ayat 28: “Jangan mereka (orang Musyrik) mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini”, tapi pesan keadilan terus berlaku sepanjang zaman.

Ar-Razi memberikan penjelasan bahwa tidak sepatutnya bagi seorang muslim untuk membalas perbuatan buruk yang mereka terima dengan perbuatan buruk pula. Seseorang pun tak layak untuk saling bahu membahu dalam menimbulkan permusuhan karena mereka yang menjadi sasaran pasti akan berbuat demikian pula terhadap mereka. Namun, yang dikehendaki dari ayat ini agar tiap orang saling tolong menolong dalam kebaikan dan takwa. (Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, Juz 11, hal.133)

Yang tak kalah menarik dari ayat tersebut, Allah menggunakan redaksi شَنَـَٔانُ yang berarti “kebencian yang telah mencapai puncaknya”. Musuh yang sudah kita benci sampai ke ubun-ubun lantaran menghalangi kita melaksanakan perintah agama pun harus tetap diberlakukan secara adil. Kita dilarang bertindak kejam dan zalim kepada mereka. (Nadirsyah Hosen, Tafsir Al-Qur’an di Medsos, hal. 181)

Baca Juga: 3 Keutamaan Sikap Adil Menurut Al-Quran Yang Penting Diketahui

Tafsir Surah Al-Maidah Ayat 8

Di dalam ayat yang ke-8 Surah Al-Maidah juga menggunakan redaksi yang hampir serupa.

وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ

Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena (adil) itu lebih dekat pada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Al-Maidah [5] 8).

Begitulah pesan keadilan tersebut diulang. Kebencian tak bisa menjadi alasan pembenar untuk bisa menzalimi pihak lain. Kita tak boleh main hakim dan membuat peraturan sendiri di luar batas-batas keadilan dan hukum.

Wahbah Az-Zuhaili dalam tafsirnya Al-Munir, mengemukakan bahwa kekufuran orang kafir itu tidak menghalangi kita untuk berbuat adil dalam berinteraksi dengan mereka. Dalam ayat tersebut, terkandung batasan dan petunjuk yang perlu dibuat dalam pertempuran. Misalnya, mereka membunuh para wanita dan anak-anak kita, maka kita tidak dibenarkan melakukan pembunuhan yang serupa. (Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, Juz 3, hal. 470)

Dua ayat tersebut setidaknya menegaskan bahwa Islam adalah agama yang sangat memerhatikan prinsip keadilan dalam segala hal. Kendati pun umat Islam merasa dirugikan, teraniaya, dan dizalimi sehingga membuat kita sangat benci kepada orang tersebut – baik muslim atau non-muslim– umat Islam tidak boleh membalas mereka dengan kezaliman baik kepada orang tersebut ataupun pihak ketiga.

Begitu halnya dengan peristiwa yang baru saja terjadi. Jangan sampai kebencian kita terhadap mereka yang telah merusak dan menghancurkan saudara kita sesama muslim membuat kita bertindak sewenang-wenang. Bahkan mereka, timnas Israel barangkali tidak ada sangkut paut keterlibatan mereka dengan tindakan kesewenang-wenangan tersebut. Kita wajib berlaku adil dan bijak karena memang mereka memiliki hak tersebut untuk ikut berpartisipasi dalam gelaran Piala Dunia U-20, bukan malah menghalangi mereka. Di sinilah kita perlu untuk merenungkan kembali bagaimana pesan keadilan bisa merasuk dalam diri kita sebagai muslim kemudian menerapkannya dengan menebar rahmat ke alam semesta. Wallah a’lam.

Artikel ini merupakan hasil kerja sama antara tafsiralquran.id dan prodi Pendidikan Agama Islam (PAI) UNU Purwokerto dalam Workshop dan Seleksi Penulis Media Online

Orang-Orang yang Diberi Rukhsah untuk Tidak Berpuasa Ramadan

0
rukhsah untuk tidak berpuasa Ramadan
rukhsah untuk tidak berpuasa Ramadan

Surah Albaqarah ayat 183-184 tidak hanya membahas tentang kewajiban berpuasa Ramadan, tapi juga menjelaskan tentang orang-orang yang mendapatkan rukhsah untuk tidak berpuasa di bulan tersebut. Allah Swt. sebagai Pembuat Hukum sangat menyayangi hamba-Nya. Tidak semua manusia mampu melaksanakan puasa, ada kondisi-kondisi tertentu yang sedang dialami oleh seseorang, sehingga membuatnya sulit atau bahkan tidak sanggup berpuasa.

Baca Juga: Kewajiban Niat Puasa Ramadan di Malam Hari

Rukhsah bagi Orang yang Tidak Sanggup Berpuasa

Keringanan dalam melaksanakan kewajiban disebut dengan rukhsah. Kata ini berarti al-yusr (kemudahan) dan al-suhulah (keringanan). Suatu hal yang menjadi keringanan dalam sebuah hukum, disebut dengan rukhsah. Rukhsah adalah hukum yang menyalahi penetapan hukum awal karena ada uzur.

Rukhsah adalah salah satu karakteristik hukum Islam. Dalam rukhsah terdapat makna menghilangkan kesulitan (‘adam al-kharaj). Artinya, seseorang yang sulit melaksanakan kewajiban, baginya dapat mengambil keringanan.

Kemudian, apa rukhsah bagi orang yang puasa Ramadan? Informasi ini dapat ditemukan pada surah Albaqarah ayat 184,

اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗوَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗ ۗوَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

“(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka, siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, itu lebih baik baginya dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (terjemah dari Quran Kemenag)

Kata rukhsah atau bentuk lainnya tidak ditemukan secara jelas pada ayat ini. Namun, pada ayat ini dijelaskan kondisi-kondisi yang mengandung rukhsah untuk tidak berpuasa, yaitu sakit ( مريض), melakukan perjalanan (سفر), dan orang yang tidak sanggup berpuasa (على الذين يطيقونه).

Dalam Tafsir al-Shawi, disebutkan bahwa sakit, dalam perjalanan, dan orang yang berat melaksanakan puasa merupakan kondisi yang menyebabkan adanya rukhsah untuk tidak berpuasa. Allah menghendaki mereka yang dalam beberapa kondisi tersebut dengan kemudahan. Namun demikian, khusus untuk orang yang sakit dan yang dalam perjalanan, memutuskan untuk tetap berpuasa masih menjadi pilihan yang lebih utama.

Berdasarkan tafsir ayat tersebut, diketahui bahwa secara umum ada tiga kondisi seseorang yang diberi rukhsah untuk tidak berpuasa Ramadan, yaitu sakit, sedang dalam perjalanan, dan orang yang sulit untuk berpuasa.

Pernyataan mengenai tiga kondisi ini menyiratkan bahwa Allah Swt menghendaki kemudahan bagi hamba-Nya. Ibadah yang awalnya harus dilaksanakan sesuai aturan, apabila ada kondisi yang menyebabkan tidak bisa dilakukan, kewajiban dialihkan pada hari lain atau dalam bentuk lain.

Baca Juga: Mengulik Makna Shaum, Istilah Puasa Ramadan dalam Al-Quran

Pengganti Puasa Akibat Rukhsah

Rukhsah tidak melaksanakan puasa bukan berarti menggugurkan kewajiban. Rukhsah berfungsi sebagai keringanan apabila tidak sanggup melaksanakan. Akibat hukumnya adalah penggantian kewajiban tersebut dengan bentuk lain.

Ketentuan untuk penggantian kewajiban tersebut beragam, disesuaikan dengan kondisinya. Berdasarkan pemahaman terhadap surah Albaqarah ayat 184, al-Khazin dalam Lubab al-Ta’wil menafsirkan bahwa orang yang tidak berpuasa karena sakit dan melakukan perjalanan, cara mengganti kewajiban puasa yang ditinggalkan adalah dengan berpuasa pada hari lain, yakni ketika sudah sembuh dan tidak dalam perjalanan. Sementara bagi orang yang berat melaksanakannya karena sudah tua renta misalnya, mereka dapat mengganti dengan fidyah.

Untuk kondisi yang ketiga (orang yang berat melaksanakan puasa), selain tua renta, sebagian ulama juga juga memasukkan kondisi orang sakit yang menurut keterangan ahli sakitnya sulit untuk sembuh. Bagi seseorang yang dalam kondisi seperti ini, cara mengganti puasa yang ditinggalkannya adalah dengan membayar fidyah.

Fidyah ini berupa makanan pokok di suatu daerah. Jadi membayar fidyah berarti memberi makanan pokok dalam ukuran tertentu pada orang fakir dan miskin sebagai tebusan karena telah meninggalkan puasa Ramadan. Untuk ukurannya, para ulama berbeda pendapat. Sebagian fukaha Irak, ukuran fidyah adalah setengah sha’ untuk satu hari. Sementara Ibnu ‘Abbas ra. menegaskan bahwa setiap orang miskin diberi fidyah untuk malam dan sahurnya. (al-Khazin, Lubab al-Ta’wil). Sebagian ulama yang lain mengatakan satu mud (675 gram) untuk satu hari.

Bagaimana dengan orang yang hamil, menyusui, haid dan nifas? Mereka masuk kategori yang mana? Jika melihat pada cara mengqada puasanya, ulama fikih menggolongkan perempuan yang haid dan nifas sama dengan orang yang mendapat rukhsah karena sakit atau dalam perjalanan.

Adapun untuk orang yang hamil dan menyusui, ada dua penjelasan tentang mereka. Jika keduanya tidak berpuasa karena kawatir terhadap kesehatan dirinya, maka bisa dikategorikan sama dengan orang yang sakit, yaitu mengqada puasanya di lain hari. Sedang apabila keduanya tidak berpuasa karena kawatir keselamatan anaknya, maka cara mengganti puasanya dengan mengqada puasa dan membayar fidyah. (Sulaiman al-Bujairimi, al-Bujairimi ‘ala al-Khatib, Juz III, 142.) Wallahu a’lam.

Dua Tipologi Nalar Tafsir Gender

0
Dua tipologi nalar tafsir gender
Dua tipologi nalar tafsir gender

Tafsir gender merupakan tafsir yang berupaya membaca ayat-ayat relasi laki-laki dan perempuan secara umum. Tafsir gender yang dimaksud adalah potret lebih luas dari produk tafsir oleh siapapun mufassirnya.  Definisi ini tentu berbeda dengan tafsir feminis, suatu genre tafsir yang mengedepankan nalar keperempuanan. Berpijak dari definisi tersebut, artikel ini membahas dua tipologi nalar tafsir gender yang meliputi nalar normatif dan rasionalis.

Dua tipologi di atas adalah hasil penelitian Aksin Wijaya, Guru Besar Tafsir IAIN Ponorogo sebelum menerapkan nalar filosofis-dekonstruktif terhadap term Al-Qur’an, wahyu Tuhan, dan Mushaf Utsmani. Nalar filosofis-dekonstruktif tersebut, dia uraikan dalam Menalar Autentisitas Wahyu Tuhan: Kritik Atas Nalar Tafsir Gender.

Baca Juga: Alasan Pentingnya Perspektif Kesetaraan Gender dalam Tafsir

Pembacaan Corak Normatif

Pembacaan normatif pada umumnya dipahami sebagai bentuk penalaran yang menjadikan Alquran sebagai sumber utama Islam. Alquran yang ada di tangan umat muslim saat ini dianggap sebuah kitab wahyu asli yang telah terwujud dalam bentuk resmi yang diputuskan berdasarkan kebijakan Utsman sebagai Khalifah dengan menggunakan bahasa Arab. Konsekuensinya, kalangan pembaca normatif cenderung berpandangan Alquran harus dipahami secara normatif pula.

Pandangan normatif ini berguna untuk menemukan makna yang dikehendaki oleh Tuhan yang wajib bagi manusia untuk menjadikannya sebagai pegangan utama dalam melihat setiap persoalan. Penafsiran normatif umumnya dikreasikan oleh mufasir klasik yang masih hidup di tengah horizon patriarki. Oleh karena itu, mereka menafsirkan ayat-ayat relasi laki-laki dan perempuan dipahami sebagai corak yang masih berpihak atau mendominasi laki-laki.

Contoh penafsiran kalangan normatif ini bisa dipahami, salah satunya ketika membaca Surah an-Nisa ayat 1, yaitu tentang hubungan laki-laki dan perempuan.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِى خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَٰحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَآءً ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ٱلَّذِى تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.

Aksin Wijaya dalam penelitiannya mengambil contoh  dua mufasir yang bercorak normatif. Meskipun dua mufasir ini tidak mewakili kalangan normatif secara murni, tetapi menurutnya hampir mengalami kesamaan. Dua mufasir tersebut adalah Imam Baidhawi dan Muhammad Ali As-Sais.

Imam Baidhowi dalam Hasyiyah tafsirnya, berpendapat bahwa frasa “nafsun wahidah” pada surah An-Nisa ayat 1 membahas tentang penciptaan Adam sebagai manusia yang diciptakan dari tanah, sedangkan Siti Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam sebelah kiri yang bengkok dan dari keduanya lahirlah manusia.

Dua mufasir tersebut mengklaim bahwa pendapat mereka  ini sudah disepakati oleh para ulama, baik kalangan fuqaha maupun muhaddits. Nafsun wahidah merujuk pada Adam dan Zaujaha merujuk pada Siti Hawa. Dengan pemahaman seperti ini, konsekuensi pemahaman yang muncul dari pemahaman keduanya adalah status dan posisi Adam dan Hawa. Adam disebut bapak manusia, sedangkan Siti Hawa disebut dengan ibu manusia.

Baca Juga: Argumen Kesetaraan Gender, Referensi Pengantar Tafsir Feminis

Pembacaan Corak Rasional

Para mufasir yang cenderung rasional masih menganggap bahwa yang ada di tangan kita saat ini adalah asli wahyu Tuhan, akan tetapi wahyu Tuhan terletak ada pada tujuannya “ maqashid syari’ah”. Oleh Imam Syatibi, maqashid syari’ah disebut dengan kemaslahatan manusia. Jika ditarik pada relasi laki-laki dan perempuan, maksud dari kemaslahatan manusia di sini adalah laki-laki dan perempuan harus diletakkan secara sama dalam berbagai bidang apapun.

Mufasir corak rasional ini dimotori oleh pemikir modern yang hidup dalam dunia modern. Kondisi realitas dan sosial budaya masyarakat muslim telah mengalami perubahan, hubungan laki-laki dan perempuan sudah mulai memberikan tanda harmonis dan emansipatoris.

Menurut kelompok yang cenderung rasional, antara lain seperti; Muhammad Abduh, Ali Syariati, Murthadho Muthahari, Zaituna Subhan, Fatima Mernissi, Riffat Hasan, Husein Muhammad, Masdar, Asghar Ali Engineer dan lainnya, menyebutkan bahwa pembacaan normatif terhadap surah an-Nisa ayat satu masih memosisikan perempuan sebagai setengah manusia atau makhluk nomor dua, karena diciptakan dari tulang rusuk bengkok Adam.

Sementara menurut mufasir kalangan rasional, pemahaman tersebut (corak normatif) merupakan bentuk pemahaman yang diskriminatif. Oleh karenanya, agar tidak melahirkan pemahaman yang diskriminatif, kalangan mufasir ini mengajukan perubahan pembacaan terhadap surah An-Nisa ayat 1.

Nafsun wahidah di kalangan rasionalis melahirkan penafsiran yang bermacam-macam, meskipun demikian pemahaman yang beragamn tersebut mengarah pada satu hal yang sama, yaitu kesetaraan laki-laki dan perempuan. Asghar Ali Engineer mengutip pendapat Maulana Asad yang memahami frasa nafsun wahidah dengan  (satu makhluk hidup), bukan mengarah pada ayah atau laki-laki saja, akan tetapi satu makhluk hidup yakni manusia, baik berjenis laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian, laki-laki dan perempuan tidak ada yang lebih unggul, semua sama di hadapan Allah Swt.

Kemudian Husein Muhammad menafsiri nafsun wahidah bukan dengan laki-laki, dan menafsiri zauj (pasangan) bukan dengan perempuan. Dalam pandangannya, frasa tersebut memang sengaja tidak diperjelas maksudnya, agar tetap terjadi kebersamaan dan keberpasangan antarmereka.

Demikian dua tipologi nalar tafsir gender dalam lanskap intelektual Islam klasik dan modern menurut Aksin Wijaya. Pembacaan kalangan rasional terhadap ayat-ayat gender merupakan kritik terhadap kelompok mufassir yang bercorak normatif. Meski demikian, dia kemudian juga mengkritik kalangan rasional dengan nalar filosofis-dekonstruktif yang akan diulas dalam artikel lainnya. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Alnur [24]: 35; Allah Adalah “Cahaya di Atas Cahaya”

0
Tafsir Surah Alnur [24]: 35; Cahaya Sebagai Esensi Ilahi
Tafsir Surah Alnur [24]: 35; Allah Adalah “Cahaya di Atas Cahaya”

Artikel sebelumnya sudah dibahas mengenai pengertian “nur” atau cahaya menurut para mufasir. Cahaya bagi mereka adalah esensi Ilahi atau perwujudan Allah Ta’ala. Sebagaimana Nabi Ibrahim as. saat mencari Tuhan, ia melihat matahari dan menganggapnya sebagai Tuhan. Tapi, setelah matahari itu terbenam, Nabi Ibrahim as. menolak keyakinannya sendiri sebab, Tuhan tidak akan pernah tenggelam atau redup cahayanya.

Namun, penting dicatat bahwa meskipun para mufasir menyebut “nur” sebagai penyifatan Allah, akan tetapi, selamanya zat Allah tidak sama dengan cahaya itu sendiri. Sebagai peringatan, Abdul Qadir Syaibah mengatakan bahwa tidak dapat diserupakannya Allah dengan apapun adalah suatu keniscayaan. Cahaya, dalam sains, adalah yang dilihat mata, sinar yang ditangkap mata. Ini juga berkaitan dengan kata مَثَلُ نُورِهِ setelahnya.

Baca Juga: Tafsir Surah Alnur [24]: 35; Cahaya Sebagai Esensi Ilahi (Bagian 1)

Pendapat Mufasir

 مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ (Cahaya Petunjuk)

Kata “matsal” bukan berarti Allah menyerupai sesuatu, tapi hal itu hanya sebuah perumpamaan dari perwujudan kekudusan-Nya. Pada dhamir (kata ganti) “ha’” dalam kata di atas, Ibnu Abbas berpendapat bahwa dhamir itu kembali kepada Allah. Maksudnya, Allah adalah petunjuk bagi orang mukmin. Di sisi lain, Ubay bin Ka’ab berpendapat bahwa dhamir itu kembali kepada orang mukmin. Maksudnya, seperti cahaya orang mukmin yang dalam hatinya seperti lubang tembus yang di dalamnya pelita besar. (Abdul Qadir, Tafsir Ayat al-Ahkam, 271)

Sedangkan kata “مِشْكَاةٍ” dan “مِصْبَاحٌ” di atas ada beberapa perbedaan dalam mengartikannya, sebagaimana berikut: pertama, Abi Bakar Jabir al-Jazairi; misykat adalah lubang kecil di dinding (tempat lampu). Kedua, al-Zamakhsyari; lubang kecil di dinding sebagai tempat lampu yang besar dan luas dan benderang cahayanya.

Ketiga, Abdul Qadir Syaibah; misykat dalam bahasa arab berarti lubang kecil tanpa jendela di dinding, dalam perihal ratapan (rasa sakit) berarti doa seorang yang mengharap susu dan air. Keempat, Imam Jalalain; Misykat adalah lubang atau cerobong kecil pada sebuah lampu. Kelima, al-Maraghi; adalah sebuah tanda kebesaran Allah yang telah menciptakan gemintang (yang cahayanya) bertebaran di angkasa raya. Tanda yang menjadi petunjuk akan kekuasaan Allah Swt.

Perbedaan penafsiran di atas sebenarnya tidak menafikan tujuan ayat, yaitu petunjuk dan pertolongan Allah bagi mereka yang beriman. Petunjuk tersebut diibaratkan dengan obor, misalnya, yang dibawa oleh seseorang pejalan kaki di malam hari. Cahaya dari obor tersebut menjadi petunjuk atau penerang terhadap jalan yang ada di depannya.

Dalam ayat tersebut, lampu yang dimaksud diumpakan dengan seindah mungkin;  الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌ, artinya, Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara. Ayat ini adalah ungkapan bahwa betapa agungnya cahaya Tuhan itu. Lampu yang ibarat mutiara dan mutiara yang diibaratkan gemintang di angkasa. Sebuah pemilihan kata yang tepat, begitu menyentak kalbu. Dalam hal ini, para mufasir juga menunjukkan perbedaan penafsiran mereka dalam tafsirnya, di antaranya yakni Abi Bakar Jabir, yang berpendapat bahwa lampu dalam zujaj itu adalah bak mutiara di lautan dan zujaj itu perwujudan bintang, maka cahanya keduanya (lampu dan zujaj) menyatu bagai permata yang jernih dan murni.

Kemudian, al-Zamakhsyari dan al-Maraghi berpendapat, cahaya yang berada dalam sebuah lampu yang bersih dan berwarna hijau. Adapun lampu itu sinarnya seperti bintang zahrah. Dan, Imam Jalalain berpendapat bahwa pada kata “دُرِّيٌّ”, jika dal dibaca kasrah atau dlammah maknanya adalah menolak kegelapan. Jika dal di-dhammah-kan dan ra di-tasydid maka dinisbatkan kepada mutiara.

Baca Juga: Misykat Al-Anwar: Tafsir Ayat Cahaya dalam Perspektif Al-Ghazali

يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ (Pelita Berbahan Bakar Zaitun)

Zaitun adalah sebuah pohon yang sangat bermanfaat bagi kehidupan, baik kayu, daun, buah minyak yang dikandungnya bahkan sampai abunya pun bisa berguna. ((Abdul Qadir, Tafsir Ayat al-Ahkam, 272)

Pohon ini diberkati oleh 70 Nabi, di antaranya Nabi Ibrahim dan Muhammad Saw. Karena minyaknya yang dapat menyembuhkan penyakit basir. Pohon zaitun tumbuh di tempat yang baik, yaitu di tanah lapang dengan cahaya matahari yang menyinarinya sepanjang hari. Tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin. (Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin, al-Suyuthi, Tafsir al-Jalalain al-Muyassar)

Hal itu disebabkan karena letaknya yang tidak di daerah timur, yang tertutup dari matahari saat terbenam. Dan juga tidak terletak di daerah barat, yang tertutup dari matahari yang baru terbit. Letaknya berada di tengah-tengah, dimungkinkan berada di atas gunung di padang luas. Jadi, tak akan ada gunung yang menghalangi matahari. Atau, bisa jadi di tengah kebun yang luas dengan sinar matahari yang bagus, menyinarinya sepanjang hari. Dengan cahaya matahari yang sempurna, jelas itu sangat berpengaruh besar bagi kualitas pohon zaitun. Minyak yang dihasilkannya pun, bersih dan murni, bahkan tidak dinyalakan dengan api pun, ia sudah sudah berkilau karena kejernihannya.

“Cahaya di Atas Cahaya”

Nur ala nur” secara harfiyah bermakna “cahaya di atas cahaya”. Namun, al-Jazairi menafsirkannya dengan cahaya yang pertama dari api dan cahaya yang kedua dari minyak zaitun. Jika dirunut dari awal, mulai misbah, zujajah, kaukab, hingga zaitun, maka dapat diketahui bahwa tingkatan dari berbagai cahaya itu berbeda, namun menyatu dalam cahaya yang sinarnya tak berhingga. (Abi Bakar Jabir al-Jazairi, Aysar al-Tafasir Li Kalam al-‘Aliy al-Kabir, 572)

Baca Juga: Tafsir Surat An-Nur Ayat 35: Allah Sang Maha Cahaya

Abdul Qadir mengatakannya sebagai perumpamaan akan kemurnian syariat Islam, dengan mengutip hadis Nabi Saw. yang berbunyi, “Aku tinggalkan kalian pada titik tengah yang putih bersih, saat malam seakan tak jauh beda dengan siang”. Imam Jalalain menafsirkan berbeda dengan mengatakan bahwa “nur ala nur” adalah cahaya/petunjuk dari Allah kepada hamba-Nya yang beriman.

Terakhir, secara keseluruhan ayat Alnur [24]: 35 dapat diambil kesimpulan, bahwa di dalamnya terdapat penjelasan luas mengenai bagaiman manusia dapat memperbaiki kehidupan, hukum, norma dan etikanya. Dengan ayat ini pula, menjadi jelas bahwa Allah adalah cahaya bagi semesta. Dalam artian, Dia adalah petunjuk bagi hamba yang bersungguh-sungguh dalam ibadah, takwa dan iman. Pun, dengan ayat ini, Allah ingin menunjukkan tanda-tanda kebesaran-Nya dan keluasan sifat-sifat-Nya.

Wallahu a’lam.

Karya-Karya Tafsir Bercorak Sosial di Era Modern

0
Karya-Karya Tafsir Bercorak Sosial di Era Modern
Karya-Karya Tafsir Bercorak Sosial di Era Modern.

Dalam sebuah kajian, ada yang mengatakan bahwa para peneliti tafsir modern itu tidak mampu menghasilkan karya tafsir secara utuh. Memang harus diakui, beberapa mufasir modern tidak selesai dalam menafsirkan Alquran. Bahkan, Abduh sebagai bapak tafsir modern pun tidak selesai dalam menyampaikan pelajaran tafsir di Masjid Al-Azhar yang kemudian ditulis oleh Rashid Ridla menjadi Tafsir Al-Manar.

Abduh hanya menyampaikan pelajaran tafsir tersebut sampai surah An-Nisa: 126. Selanjutnya, Tafsir al-Manar dilengkapi oleh Rashid Ridla sampai surah Yusuf. Namun demikian, pengaruh Tafsir Al-Manar terhadap perkembangan tafsir modern sangatlah kuat.

Muhammad Husein al-Dhahabi menyebut Abduh sebagai bapak tafsir modern. Abdul Mustaqim menjadikan Abduh sebagai titik awal permulaan munculnya tafsir modern-kontemporer. Kebaruan tafsir yang ditawarkan oleh Abduh adalah corak sosial yang tidak dimunculkan oleh tafsir pada era sebelumnya. Corak sosial ini lahir dari paradigma “Al-Ihtida’ bi Al-Qur’an” atau “Alquran itu kitab hidayah” yang sering diulang-ulang dalam Tafsir Al-Manar.

Baca juga: Alquran dan Problem Sosial Kemanusiaan Perspektif Cendekiawan Muslim Kontemporer

Deskripsi paradigma ini dapat dilihat dari apa yang disebut oleh Abduh dengan istilah Al-Maqshid Al-A’la (tujuan tertinggi dari sebuah penafsiran). Dia berpendapat bahwa tujuan penafsiran itu untuk memunculkan pemahaman terhadap sebuah ajaran yang menunjuki manusia kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Inilah inti dari corak sosial yang ditawarkan Abduh. Corak ini disebut oleh al-Dhahabi dengan istilah al-adab al-ijtima’i, dan disebut oleh Fadel Abbas dengan istilah al-aql al-ijtimā’i.

Cara pandang ini berkembang sehingga memunculkan beragam karya tafsir bercorak sosial dengan berbagai pola yang berbeda. Ada karya tafsir yang ditulis dengan urutan mushafi, nuzuli, atau mawdhu’i. Ada karya yang ditulis oleh individu atau lembaga. Ada juga karya tafsir dari kalangan Arab, begitu pula dari kalangan Indonesia. Di bawah ini, kami menampilkan beberapa contoh karya tafsir modern bercorak sosial dengan sedikit memberikan deskripsi terhadap karya tersebut.

Beberapa contoh tafsir era modern bercorak sosial

Contoh pertama adalah Tafsir Al-Marāghi karya Ahmad ibn Mustafa Al-Maraghi dan Tafsīr Al-Qur’ān Al-Karīm karya Mahmud Shaltut. Kedua karya tafsir ini ditulis berdasarkan urutan mushafi. Mufasir mengelompokkan beberapa ayat kemudian diijtihadi untuk menentukan tema kelompok ayat tersebut. Tiap tema kelompok ayat biasanya dihubungkan dengan tema kelompok ayat sesudah atau sebelumnya. Hal ini menegaskan bahwa setiap ayat memiliki munāsabah antara yang satu dengan yang lainnya.

Contoh kedua adalah Nahwa Al-Tafsīr Al-Mawḍū‘ī karya Muhammad Al-Ghazali dan Ilā Al-Qur’ān Al-Karīm karya Mahmud Shaltut. Kedua karya tafsir ini merupakan karya tafsir mawḍū’i li al-sūrah. Urutannya tetap urutan mushafi seperti pada contoh pertama. Mufasir fokus pada tema pokok dari surah yang ditafsirkan. Tema pokok tersebut mengandung tema-tema turunan pada setiap kelompok ayat dalam surah tersebut. Deskripsi ini menunjukkan bahwa karya tafsir ini lebih ringkas dibandingkan karya sebelumnya.

Contoh selanjutnya adalah Fahm Al-Qur’ān Al-Hakīm karya Muhammad Abid Al-Jabiri dan Al-Tafsir Al-Hadīth: Tartīb Al-Suwar Hasba Al-Nuzūl karangan Muhammad Izzah Darwazzah. Karya tafsir ini unik dibandingkan karya-karya tafsir sebelumnya. Penulisannya didasarkan pada urutan nuzūlī. Penafsiran dengan urutan nuzūlī erat dengan penggunaan pendekatan historis dalam pemahaman ayat-ayatnya. Pemahaman ini juga tidak mungkin lepas dari pengetahuan terhadap sirah Nabi Muhammad saw.

Baca juga: Uraian Singkat Beberapa Mufasir Indonesia Modern dari A. Hassan hingga Quraish Shihab

Contoh keempat adalah Al-Tafsīr Al-Mawḍū‘ī karya tim dari Universitas Madinah Internasional (MEDIU), Al-Tafsīr Al-Mawḍū‘ī li Suwar Al-Qur’ān Al-Karīm karya Mustafa Muslim bersama Tim Universitas Sarjah, dan Al-Tafsīr Al-Mawḍū‘ī lī Al-Qur’ān Al-Karīm karya Hasan Hanafi. Jika karya-karya tafsir sebelumnya menggunakan urutan mushafī dan nuzūlī, pembahasan karya tafsir ini menggunakan urutan mawḍū’i. Mufasir mengurutkan tema-tema berdasarkan ijtihad mereka, mana yang layak dituliskan di awal dan mana yang dituliskan pada bagian-bagian selanjutnya.

Karya tafsir seperti ini memiliki keunggulan rinci dalam membahas sebuah tema, sehingga dapat mengarahkan pada pemahaman yang holistik terkait tema tersebut. Kekurangannya adalah pembahasan tema tersebut akan sangat subjektif jika data ayat-ayat, hadis-hadis, dan aqwal (pernyataan-pernyataan) ulama yang dibutuhkan tidak komprehensif.

Contoh kelima adalah Tafsir Al-Qur’an Tematik yang disusun oleh Tim Departemen Agama RI, Wawasan Alquran Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat yang ditulis oleh M. Quraish Shihab, serta Ensiklopedia Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci karya Muhammad Dawam Rahardjo. Contoh ini serupa dengan contoh keempat, namun berbeda dalam penulisnya. Apabila contoh keempat ditulis oleh orang-orang Arab, maka contoh-contoh tafsir ini ditulis oleh orang atau lembaga yang berada di Indonesia.

Baca juga: Tafsir Alquran Bersifat Multivokal, Ini Tiga Alasannya

Selanjutnya, terdapat contoh keenam yaitu Tafsir Al-Tanwir yang disusun oleh Tim Persyarikatan Muhammadiyah. Contoh ini memiliki kesamaan dengan contoh pertama yang menggunakan pola tahlīlī-mawdū’ī. Akan tetapi, perbedaannya terletak pada asal penulisnya, yaitu para mufasir yang berasal dari lembaga Persyarikatan Muhammadiyah di Indonesia.

Demikian berbagai macam contoh tafsir pada era modern. Kami menguraikan sedikit deskripsi dari contoh-contoh di atas. Karya-karya di atas adalah contoh tafsir modern bercorak sosial di luar karya-karya tafsir bercorak ilmī, maẓhabī dan ilhādi yang juga muncul di era modern sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad Husein al-Dhahabi. Semoga bisa menambah wawasan dan pengetahuan pembaca terhadap berbagai macam karya tafsir di era ini.

Sejarah Perkembangan Makki-Madani di Masa Awal Islam

0
Perkembangan makki-madani di masa awal Islam
Perkembangan makki-madani di masa awal Islam

Penurunan Alquran secara berangsur-angsur selama lebih dari  22 tahun, memicu timbulnya disiplin ilmu tertentu yang secara khusus menguraikan sesuatu di balik peristiwa panjang tersebut, seperti ilmu asbâb al-nuzûl, makki-madani, nâsikh-mansûkh, dan yang lainnya. Dalam hal ini, ilmu makki dan madani menjadi landasan pengetahuan dalam memahami ilmu lain, seperti ilmu nâsikh-mansûkh. Bahkan, dalam sistematika penulisan kitab al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, al-Suyûthi menempatkan ilmu makki dan madani di awal pembahasan kitabnya.

Di era sekarang, eksistensi makkimadani sebagai salah satu bagian ulûm al-Qur’ân bukannya sepi dari kajian, bahkan semakin ramai. Pemikir-pemikir kontemporer, misalnya Nashr Hamid Abu Zaid dan Theodor Noeldeke untuk menyebut beberapa di antaranya, mengkritik lalu merekonstruksi konsep-konsep makki dan madani dari ulama-ulama klasik sebelumnya.

Kajian makkimadani akan lebih mudah dipahami secara komprehensif jika kita mundur sedikit ke belakang untuk melihat bagaimana sejarah dan posisi makki dan madani di masa awal Islam, masa ketika Rasulullah saw. dan para sahabat hidup.

Baca juga: Sababun Nuzul Mikro dan Makro: Pengertian dan Aplikasinya

Menurut al-Baqilânî (950-1013 M), diskursus mengenai makki dan madani belum ada di era Rasulullah saw. Argumentasi ini terbukti dengan tidak ditemukannya satu riwayat pun yang disandarkan kepada Rasulullah saw. yang berhubungan dengan makki dan madani. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa kemunculan konsep makki dan madani ini tidak beriringan dengan turunnya Alquran.

Apa yang dikatakan oleh al-Baqilânî kemudian direspons oleh al-Zarqanî. Ia menyatakan bahwa ketiadaan riwayat mengenai makki dan madani karena pada saat itu Sahabat ra. sudah merasa cukup dengan apa yang mereka saksikan, baik mengenai waktu ataupun tempat penurunan ayat Alquran. Pada saat itu memang tidak ada pembicaraan tentang makki dan madani di antara kedua belah pihak, baik Sahabat ra. maupun Nabi saw. Para Sahabat tidak merasa perlu menanyakan mengenai hal tersebut karena sudah merasa cukup dengan apa yang merasa saksikan, sedangkan Nabi saw. sendiri pun juga tidak menyampaikannya.

Baca juga: Ketika Al-Quran Menceritakan Proses Nuzulul Quran

Jika konsep makki dan madani tidak ada di zaman Rasulullah saw., lalu sejak kapan timbul istilah, konsep, dan diskursus makki dan madani?

Berdasarkan keterangan dari kitab Thabaqât karya Ibn Sa’d yang dikutip oleh al-Suyûthi, ditemukan sebuah riwayat yang bisa diklaim sebagai permulaan yang berpengaruh kuat terhadap timbulnya terminologi makki dan madani. Riwayat tersebut merupakan dialog antara Ibn Abbâs yang menanyakan kepada Ubay bin Ka’ab mengenai jumlah surah yang turun di Madinah (sa’altu Ubay bin Ka’ab ‘ammâ nazala min al-Qur’ân bi al-Madînah?) Ubay bin Ka’ab kemudian menjawab jumlahnya sebanyak 27 surat, dan sisanya diturunkan di Makkah (nazala bihâ sab’un wa ‘isyrûna suratan, wa sâ’iruhâ bi Makkah).

Menurut pemahaman penulis, barangkali bermula dari situlah timbul bibit-bibit diskursus mengenai makki dan madani. Dialog tersebut memperlihatkan sudah mulai terjadi perkembangan penggunaan istilah Mekkah dan Madinah. Semula dua kata tersebut digunakan hanya untuk menyebut nama dua kota yang menjadi pusat dakwah umat Islam, lalu penggunaannya berkembang untuk menyatakan tempat turunnya suatu ayat.

Bertolak dari itu, makki dan madani kemudian berkembang dari masa ke masa hingga membentuk tiga pendapat  mengenai definisi dan konsepnya:

  1. Berdasarkan tempat penurunan ayat (makân al-nuzûl)

Makki adalah ayat atau surat yang turun di Mekah, sedangkan Madani adalah ayat atau surat yang diturunkan di Madinah. Ayat turun di sekitar kota Mekah, seperti Minâ, ‘Arafah, dan Hudaibiyah, masih termasuk dalam ruang lingkup ayat-ayat Makkiyah. Begitu pun dengan daerah Uhud, Badr, dan Sal’ yang masih termasuk wilayah ayat-ayat Madaniyah karena letak kota-kota tersebut tidak jauh dari Madinah.

Definisi ini masih terbilang problematik sebab masih menyisakan pertanyaan bagi sebagian pihak, bagaimana dengan ayat yang turun di Baitul Maqdis?

Menjawab persoalan itu, sebagian ulama kemudian memunculkan satu kategori baru, yakni ayat yang tidak termasuk dalam kelompok makki dan madani. Bahkan ada juga yang menggenapkannya menjadi empat kategori, yaitu makki, madani, sebagian makki sebagian madani, dan bukan keduanya.

  1. Berdasarkan waktu (zamân al-nuzûl)

Berbeda dengan definisi yang pertama yang menekankan waktu penurunan ayat, definisi ini menjadikan peristiwa hijrah sebagai titik tolak perbedaan makki dan madani. Ayat atau surat yang diturunkan ketika Rasulullah saw. belum berhijrah dikategorikan sebagai makki. Sebaliknya, ayat yang diturunkan sesudah hijrah dianggap sebagai ayat madani. Pendapat ini dinilai oleh al-Suyûthi dan al-Zarkasyî sebagai pendapat yang paling masyhur. Dalam prioritas penempatannya, al-Suyûthi meletakkan pendapat ini sebagai pendapat yang pertama.

  1. Berdasarkan khitab ayat (khithâb al-nuzûl)

Makki adalah ayat yang ditujukan kepada penduduk Mekah. Jika ditujukan kepada penduduk Madinah, maka dikelompokkan dalam ayat-ayat madani. Definisi ini bertolak dari pemahaman Ibn Mas’ud bahwa khitab yang digunakan untuk masyarakat Mekah adalah yâ ayuuha al-nâs karena mayoritas penduduknya belum beriman. Adapun ayat yang menggunakan redaksi yâ ayuuha alladzîna âmanû merupakan ayat-ayat Madaniyah karena penduduk Madinah sudah banyak yang beriman.

Pendapat ini dikritik oleh sebagian pihak karena redaksi ayat yang menjadi patokan tidak konsisten dengan ayat-ayat Alquran. Tidak sedikit ditemukan ayat yang keluar dari patokan redaksi tersebut seperti QS. Albaqarah [2]: 21 dan 168 yang menggunakan redaksi ya ayuuha al-nâs padahal ayat tersebut merupakan Madaniyah.

Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, yang pasti saat ini tidak ditemukan penjelasan secara kronologis terkait kemunculan ketiga pendapat di atas. Namun, melihat dari pertanyaan dan jawaban dari dialog Ibn ‘Abbâs dan Ubay bin Ka’ab yang mengarah kepada tempat, maka tak menutup kemungkinan bahwa dari situ juga timbul definisi Makki dan Madani berdasarkan tempat. Sehingga bisa dikatakan bahwa pendapat yang pertama kali timbul adalah makki dan madani berdasarkan tempat turunnya ayat (makân al-nuzûl).

Dialek Alquran Kedaerahan dalam Perspektif Linguistik

0
Dialek Alquran Kedaerahan dalam Perspektif Linguistik
Dialek Alquran Kedaerahan dalam Perspektif Linguistik.

Pak Ahmad Fathoni dalam bukunya, Metode Maisura, menulis satu bab yang menarik berjudul Pengaruh Dialek Ke-Daerahan di dalam Pengucapan Huruf Hijaiyyah. Dalam bab tersebut, Pak Fathoni memberikan hasil analisisnya terhadap pengucapan huruf hijaiah menggunakan lahjah atau dialek kedaerahan yang dinilainya kurang tepat.

Analisis dilakukan dengan membandingkan shifat (sifat) dan makhraj (tempat keluar) huruf antara dialek kedaerahan dengan teori pengucapan yang seharusnya. Turut disertakan pula di dalamnya contoh dialek beberapa daerah yang berpotensi mengalami kesalahan pengucapan, seperti huruf zay (ز) yang diucapkan dengan j (ج) pada kata zakat (jakat) dan huruf cha’ (ح) yang diucapkan dengan h (هـ) atau k (ك) dalam kata alchamdulillah.

Baca juga: Menelisik Pengertian, Sejarah dan Macam-Macam Qira’at

Meski demikian, hasil analisis yang diberikan Pak Fathoni agaknya belum menyertakan penjelasan tentang sebab yang mendasari munculnya “kesalahan” dialek kedaerahan tersebut. Padahal mengetahui penyebab masalah tersebut cukup penting untuk mengetahui pangkal masalah yang ada. Penulis sendiri melihat adanya kemungkinan mengetahui penyebab masalah tersebut dengan menggunakan pendekatan dan perspektif linguistik atau kebahasaan.

Kemungkinan ini penulis dasarkan pada beberapa asumsi. Pertama, kajian mengenai dialek secara umum merupakan bagian dari kajian linguistik. Dialek yang didefinisikan sebagai variasi bahasa yang berbeda-beda menurut pemakai, sesuai dengan penjelasan Mahmud Fahmiy Hijaziy dalam Al-Lughah al-‘Arabiyyah ‘Abr al-Qurun. Beliau mengartikan bahasa sebagai sekumpulan sistem suara yang digunakan dalam kelompok penutur tertentu.

Baca juga: Metode Pembelajaran Alquran pada Zaman Rasulullah

Kedua, Alquran, bagaimana pun kesuciannya di mata seorang muslim, merupakan kitab yang diturunkan menggunakan bahasa Arab sebagai medianya. Ini berarti bahwa kajian terhadap Alquran mau tidak mau juga dilakukan dengan turut menyertakan pendekatan linguistik di dalamnya. Ketiga, bahkan dalam ilmu Alquran sekali pun pendekatan linguistik ini digunakan manakala membicarakan konsep sab‘ah ahruf (tujuh huruf).

Berdasarkan pada asumsi inilah penulis melakukan analisis terhadap masalah dialek kedaerahan dalam kekeliruan pengucapan huruf hijaiah. Hasilnya, didapati adanya perbedaan bahasa asal yang digunakan oleh penutur bahasa. Dalam konteks masalah dialek ini adalah bahasa Arab dan bahasa-bahasa dalam dialek kedaerahan.

Pengaruh dialek bahasa Jawa terhadap bacaan Alquran

Perbedaan dua bahasa ini dapat dilihat setidaknya dari huruf-huruf yang digunakan oleh keduanya. Bahasa Arab memiliki setidaknya 28 huruf, merujuk pada salah satu pendapat. Jumlah tersebut berbeda dengan huruf-huruf dalam bahasa Jawa, misalnya, yang hanya memiliki 20 huruf dasar (bahasa aksara hanacaraka atau carakan). Pemilihan bahasa Jawa sebagai contoh dikarenakan ia merupakan bahasa penulis sehingga dianggap dapat memberikan hasil analisis yang lebih mendalam.

Perbedaan jumlah huruf tersebut pada praktiknya memberikan pengaruh yang sangat signifikan dalam proses pengucapan. Dalam bahasa Jawa, sebagaimana disebutkan sebelumnya, tidak dijumpai misalnya huruf tsa’ (ث), cha’ (ح), dzal (ذ), zay (ز), shad (ص), dladl (ض), ‘ain (ع), dan qaf (ق), sehingga ketika penutur bahasa Jawa mengucapkan huruf-huruf tersebut akan mengalami kesulitan dan tak jarang melakukan kesalahan karena tidak mendapati hal yang sama dalam bahasa tuturnya.

Baca juga: Dialektika Alquran dan Budaya dalam Kerangka Pikir Ingrid Mattson

Pola perilaku yang kemudian lazim dijumpai oleh masyarakat penutur ini adalah asosiasi bunyi atau suara. Huruf yang tidak dijumpai dalam bahasa tuturnya akan diucapkan mengikuti tautan bunyi atau suara yang terekam dalam ingatan mereka. Dalam hal ini, isi tautan ingatan tersebut adalah bahasa Jawa sebagai bahasa tutur asli.

Contoh dari perilaku ini, sebagaimana juga telah disebutkan Pak Fathoni, adalah bacaan huruf ‘ain (ع) yang diucapkan dengan suara ngain. Pengucapan ini pernah penulis jumpai sendiri di wilayah Rawa Pening dan Wonosobo, di mana nga menjadi huruf yang cukup sering digunakan dalam lalu lintas bahasa tutur kedua wilayah tersebut.

Oleh karenanya, dengan mengetahui penyebab dari masalah kesenjangan dialek yang ada, proses pembelajaran qiraah Alquran atau secara spesifik pada aspek sifat dan tempat keluar huruf dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan dan perspektif linguistik dengan cara menginventarisasi sifat dan tempat keluar huruf mana yang tidak dijumpai dalam bahasa tutur, untuk kemudian melakukan riyadlah al-lisan (olahraga lidah) sehingga sesuai dengan pengucapan yang benar. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Tafsir Surah Alnur [24]: 35; Cahaya Sebagai Esensi Ilahi (Bagian 1)

0
Tafsir Surah Alnur [24]: 35; Cahaya Sebagai Esensi Ilahi
Tafsir Surah Alnur [24]: 35; Allah Adalah “Cahaya di Atas Cahaya”

Dalam penelitian yang dilakukan oleh para ilmuan dunia, baik barat maupun timur, telah terjadi perdebatan tentang hal ihwal alam semesta. Pertanyaan bagaimana asal muasal dunia ini ada? Apakah bumi mengorbit pada matahari atau sebaliknya? Dan seterusnya. Perdebatan itu kemudian sampai pada pembahasan tentang asal mula “cahaya”, bagaimana hakikat cahaya itu. Dan pada ratusan tahun setelahnya, di masa kejayaan Islam, muncullah ilmuwan besar Islam bernama al-Ghazali.

Dalam bukunya, Misykat al-Anwar, al-Ghazali membahas secara detail mengenai cahaya, tingkatan-tingkatannya, dan sebagainya. Hakikatnya sebenarnya bertumpu pada yang Haq, yakni Allah Swt. Dia adalah hakikat cahaya. Dari pada itu, Alquran juga membahas tentang “nur. Maka dalam artikel ini, dipaparkan beberapa pendapat mufasir terkait penafsiran surah Alnur [24]: 35.

Baca Juga: Tafsir Surah An-Nur Ayat 35 (1)

Ayat

اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لا شَرْقِيَّةٍ وَلا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الأمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

 Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Pendapat Mufasir

 اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ

Secara bacaan atau qira’at, menurut para ulama, kata “نُورُ” dengan “نَوَّرَ” menggunakan tasydid. Dalam kaidah nahwu, kata itu berbentuk  fi’il madhi yang bermakna lampau (telah terjadi). Jadi, Allah menciptakan cahaya seperti pada matahari, bulan, bintang dan lainnya sebagai penerang semesta. Sebagaimana juga cahaya dalam konteksnya adalah petunjuk Allah kepada jalan yang lurus (shirat al-mustaqim) dengan Alquran, Rasul dan agama-Nya. (Abdul Qadir, Tafsir Ayat al-Ahkam, 271)

Baca Juga: Tafsir Surah An-Nur Ayat 35 (2)

Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi, yang dikenal dengan Imam Jalalain, menafsirkan beberapa kata penting dalam ayat tersebut. Pertama, dijelaskan bahwa kata “nur” itu adalah perwujudan dari matahari dan bulan sebagai penerang bagi langit dan bumi; pada siang dan malam hari. Kedua, dikatakan juga bahwa “nur” itu adalah penyifatan dari Allah, Zat yang mempunyai cahaya itu sendiri. Namun, sifat kecahayaan Allah diumpamakan kepada yang riil, yang tampak oleh mata. (Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi, Tafsir al-Jalalain al-Muyassar, 354)

Langit dan bumi adalah bukti kekuasaan-Nya yang nyata, seperti yang tampak pada surah Albaqarah [2]: 257 yang artinya “Allah adalah Tuhan bagi mereka yang iman, Ia keluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya yang terang”. Sebagai cahaya itu sendiri, Allah akan menerangi siapa yang iman dan bertakwa. Mereka akan dilindungi dari sesatnya kegelapan (al-bathil) menuju kebenaran yang terang (al-haq).

“Nur” Juga Bermakna Cahaya Hidayah

Lalu, mengapa kata “nur” dinisbatkan pada langit dan bumi? Setidaknya az-Zamakhsyari menyebutkan ada dua alasan: Pertama, karena keduanya adalah simbol kemulyaan dan keagungan. Kedua, karena penduduknya (objek cahaya) mendapat sinar dari cahaya itu, ini seperti yang ada dalam keterangan Tafsir al-Kasysyaf. (az-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyaf, 731)

Hal itu juga sependapat dengan al-Maraghi dalam tafsirnya, namun lebih lanjut beliau menambahkan bahwa cahaya atau hidayah (petunjuk) itu berupa tanda-tanda yang ditampakkan dalam semesta alam dan Alquran yang diturunkan kepada utusan-Nya, yakni Nabi Muhammad Saw. (Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, 107)

Baca Juga: Wujud Peran Cahaya Allah dalam Penafsiran Surah An-Nur Ayat 35

Secara sederhana, cahaya bisa diartikan sebagai makna sebenarnya atau sebagai hidayah Allah Ta’ala. Keduanya sama-sama benar jika merujuk pada matahari, misalnya. Setiap detik, matahari tiada henti untuk mengalirkan manfaatnya kepada bumi. Dan Allah menciptakannya memang untuk kemaslahatan makhluk ciptaannya; manusia, hewan, tumbuhan dll. Maka untuk mensyukuri segala nikmat yang diperoleh dari matahari, seharusnya semakin meningkatkan iman dan takwa kepada Allah Ta’ala, sebagai Zat yang mencipta.

Wallahu a’lam.

Preposisi Ba’ dalam Ayat-Ayat tentang Penghuni Surga

0
makna preposisi ba' dalam ayat tentang penghuni surga
makna preposisi ba' dalam ayat tentang penghuni surga

Salah satu mukjizat Alquran yaitu keindahan bahasa dan sastranya. Selain itu, Alquran, dari segala sisinya sarat dengan kandungan ilmu yang tidak akan habis dibahas. Jangankan surah, ayat, bahkan pada satu huruf saja sering kali bisa melahirkan kajian dan ilmu yang luas dan mendalam.

Dalam ayat-ayat tentang penghuni surga, preposisi ba’ menjadi sorotan dan objek kajian para ulama. Ayat-ayat tersebut antara lain terdapat dalam surah an-Nahl ayat 32:

الَّذِيْنَ تَتَوَفّٰىهُمُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ طَيِّبِيْنَ ۙيَقُوْلُوْنَ سَلٰمٌ عَلَيْكُمُ ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ

“(yaitu) orang yang ketika diwafatkan oleh para malaikat dalam keadaan baik, mereka (para malaikat) mengatakan (kepada mereka), “Salamun ‘alaikum, masuklah ke dalam surga karena apa yang telah kamu kerjakan.”

Juga terdapat dalam surah az-Zukhruf ayat 72:

وَتِلْكَ الْجَنَّةُ الَّتِيْٓ اُوْرِثْتُمُوْهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ

“Dan itulah surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal perbuatan yang telah kamu kerjakan.”

Serta masih banyak ayat-ayat yang setema, yang oleh ditemukan bahwa preposisi ba’ dalam lafaz bima kuntum ta’malun memiliki rahasia dan makna yang mendalam.

Baca Juga: Cara Agar Berkumpul Bersama Keluarga di Surga

Makna Ba’ dalam Ayat

Berdasarkan hasil kajian para ulama, ayat-ayat Alquran yang menunjukkan perkataan Allah kepada penghuni surga dengan penghuni neraka tidak sama. Ini terlihat dari ada dan tidak adanya preposisi ba’ dalam ayat.

Kepada penghuni surga, Allah menggunakan preposisi ba’ dalam ayat-ayat tentang penghuni surga sebagaimana contoh ayat yang telah disebutkan sebelumnya. Di antara ulama yang membahas hal ini adalah Ibnu ‘Asyur. Beliau berkomentar tentang surah ath-Thalaq ayat 16, ayat Alquran tentang perkataan Allah kepada penghuni neraka,

اِصْلَوْهَا فَاصْبِرُوْٓا اَوْ لَا تَصْبِرُوْاۚ سَوَاۤءٌ عَلَيْكُمْۗ اِنَّمَا تُجْزَوْنَ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ

“Masuklah ke dalamnya (rasakanlah panas apinya); baik kamu bersabar atau tidak, sama saja bagimu; sesungguhnya kamu hanya diberi balasan atas apa yang telah kamu kerjakan.”

Lafaz ma pada ayat di atas tidak dibarengi dengan preposisi ba’. Hal ini menunjukan bahwa balasan di neraka setimpal dengan perbuatan kejahatan seseorang. Berbeda dengan ayat setelahnya yang terdapat dalam surah ath-Thalaq ayat 19 yang membahas perkataan Allah kepada penghuni surga,

كُلُوْا وَاشْرَبُوْا هَنِيْۤـًٔا ۢبِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَۙ

“(Dikatakan kepada mereka), makan dan minumlah dengan rasa nikmat sebagai balasan dari apa yang telah kamu kerjakan.”

Bahwa penggunaan huruf ba’ dalam kalimat bima kuntum ta’malun menunjukan bahwa amalan seseorang di dunia tidak akan sebanding dengan balasan surga yang Allah berikan. Oleh karena itulah, menurut Ibnu ‘Asyur, tidak digunakannya preposisi ba’ dalam surah ath-Thalaq ayat 16 menunjukan bahwa balasan di neraka disesuaikan dengan kadar perbuatan zalim seseorang di dunia. Artinya, Allah tidak menambah siksanNya, berbeda dengan balasan Allah kepada penghuni surga.

Inilah di antara bukti bahwa masuk surga itu adalah karunia dan rahmat Allah. Tentang surga yang tidak sebanding dengan amal perbuatan manusia, misalnya terdapat hadis Rasulullah saw berikut, “dua rakaat sebelum subuh lebih baik dari pada dunia dan seisinya.” (HR. Muslim). Pengerjaan salat dua rakaat yang dalam hitungan menit lalu mendapat ganjaran yang lebih baik dari pada dunia dan seisinya. Jelaslah di sini bahwa ganjaran surga tidak ada bandingannya dengan amalan seseorang. Berbeda dengan balasan penghuni neraka yang disesuaikan dengan perbuatannya, tidak ada tambahan.

Baca Juga: Bidadari Surga dan Esensi Ganjaran Ukhrawi

Perbandingan Preposisi Ba’ dalam Ayat dan Hadis tentang Masuk Surga

Tentang masuk surga dengan rahmat dan karunia Allah, terdapat dalam sebuah hadis yang banyak pula dikaji para ulama. Ada banyak redaksi hadis yang menyinggung pembahasan ini. Diantaranya terdapat sebuah hadis dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda:

قَارِبُوا وسَدِّدُوا، واعلَمُوا أَنَّه لَن يَنجُو أَحَد مِنكُم بِعَمَلِهِ» قالوا: ولا أنت يا رسول الله؟ قال: «ولاَ أَنَا إِلاَّ أَن يَتَغَمَدَنِي الله بِرَحمَة مِنْه وَفَضل

“Biasakanlah kalian dalam mendekatkan diri kepada Allah dan berpegang teguhlah kepada keyakinan kalian. Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak seorang pun dari kalian yang selamat karena amalnya.” Mereka bertanya: “Tidak juga engkau, wahai Rasulullah? beliau menjawab: “Tidak juga aku, kecuali bila Rabbmu melimpahkan rahmat dan karunia padaku.” (HR. muslim no. 5041).

Hadis di atas hendaknya tidak dimaknai tekstual, yang seakan-akan amalan tidak memiliki nilai apa-apa. Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menyimpulkan tiga penafsiran mengenai hadis di atas: diperolehnya petunjuk untuk melakukan hal yang baik menunjukan bentuk dari rahmat Allah; seseorang yang sudah taat, berhak mendapatkan rahmat Allah; dan sebab masuk surga adalah murni karena rahmat Allah, sedangkan amal perbuatan manusia untuk menentukan kadar tingkatan surga.

Banyak para ulama yang mengkompromikan hadis di atas dengan ayat-ayat masuk surga (khususnya yang terdapat kalimat bima kuntum ta’malun) dengan mengkaji makna huruf ba’. Dalam kalimat bima kuntum ta’malun, ba’ yang digunakan adalah ba’ as-sabab, sedangkan ba’ dalam hadis la yadkhulu al jannata ahadun bi’amalihi, ba’ yang digunakan adalah ba’ al-‘iwadh. (Majmu’ al-Fatawa, 1/217).

Yang dimaksud ba’ as-sabab bermakna sebab, bahwa Allah memasukan seseorang ke dalam surga disebabkan amalnya. Sedangkan yang dimaksud ba’ al-‘iwadh bermakna balasan, bahwa seseorang tidak akan masuk surga dengan amal, maksudnya amal tidak bisa membayar surga. Surga Allah terlalu sempurna, misalnya sepert balasan dua rakaat fajar.

Kesimpulannya, penggunaan preposisi ba’ dalam ayat-ayat masuk surga menunjukan bahwa balasan amal saleh tidaklah cukup sebagai nilai tukar untuk membayar surga. Artinya, surga tidaklah sebanding dengan amalan saking terlalu sempurnanya balasan surga. Berbeda dengan ayat-ayat penghuni neraka yang tidak menggunakan preposisi ba’ dalam ayat yang menunjukan balasannya setimpal, tidak ada tambahan sebagaimana balasan surga, balasan di neraka lebih kepada prinsip adil dan setakar.

Selain itu, preposisi ba’ dalam ayat masuk surga juga dibandingkan dengan preposisi ba’ dalam hadis tentang masuk surga dengan rahmat Allah. Preposisi ba’ dalam ayat-ayat masuk surga menunjukan ba’ as-sabab, sedangkan dalam hadis menunjukan ba’ al-‘iwadh. Keduanya tidak bertentangan dan bisa dikompromikan, bahwa masuk surga adalah disebabkan rahmat Allah, dan sebab paling banyak untuk meraih rahmat Allah adalah amal saleh. Besar kecilnya rahmat Allah tergantung kualitas dan kuantitas amal saleh seseorang.

Wallah a’lam