Beranda blog Halaman 76

Tafsir Surah Qaf ayat 6-11

0
Tafsir Surah Qaf

Tafsir Surah Qaf ayat 6-11 diawali dengan perintah Allah kepada orang kafir untuk memandang langit dan berpikir tentang kekuasaan Allah yang terhampar di atas langit.

Tafsir Surah Qaf ayat 6-11 terbagi menjadi dua pembahasan, pertama penjelasan mengenai kekuasaan Allah yang ada di langit dan juga bumi. Meliputi penciptaan bintang hingga keindahan bumi. Kedua, membahas cara Allah menumbuhkan tumbuh-tumbuhan yang ada di bumi. Begitu besar kekuasaan Allah, semoga dengan membaca tafsir singkat kemenag ini dapat menambah keimanan dan ketaqwaan kita.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Qaf Ayat 1-5


Ayat 6

Allah memerintahkan kepada orang kafir yang mengingkari hari kebangkitan agar mereka memandang ke langit yang ada di atas mereka untuk dijadikan bahan pemikiran, bagaimana Allah telah meninggikan langit itu tanpa tiang dan menghiasnya dengan berbagai bintang yang gemerlapan, sedangkan langit itu tidak retak sedikit pun. Dari segi ilmu pengetahuan, menurut penemuan terakhir dinyatakan bahwa langit itu merupakan benda kolosal yang homogen yang tidak dilapisi dengan benda-benda yang retak dan kosong, akan tetapi padat diisi dengan sejenis benda halus yang bernama ether (al-asir) dan benda yang halus ini diketahui karena menjadi tempat lalu lintasnya nur atau cahaya.

Di antara bintang-bintang itu, ada yang jauhnya dari bumi dengan jarak kecepatan cahaya dalam masa lebih dari satu juta setengah tahun, sedangkan matahari kita sendiri jauhnya dari bumi hanya dengan jarak kecepatan cahaya selama delapan menit dan delapan belas detik. Silakan membayangkan betapa jauhnya sebagian bintang yang ada di angkasa itu. Cahaya yang dipancarkan oleh bintang itu ke bumi melalui ether itu dan seandainya benda halus itu tidak ada, tentu cahayanya akan terputus. Oleh karena itu, dalam ayat ini dinyatakan bahwa langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikit pun.

Ayat 7

Allah menerangkan bahwa Dia telah menghamparkan bumi bagi kediaman manusia dan meletakkan beberapa gunung yang berfungsi sebagai pasak bumi agar bumi tidak goyah, kukuh dan stabil, dan pada lereng-lerengnya ditumbuhkan berbagai tumbuh-tumbuhan yang indah permai sangat mengagumkan karena pemandangannya yang cantik itu.

Ayat 8

Pada ayat ini dijelaskan bahwa sengaja dibuat pemandangan-pemandangan yang indah itu agar manusia ingat kepada Penciptanya, taat dan bertobat kepada-Nya. Langit yang begitu tinggi yang dihias dengan bintang-bintang agar dijadikan bahan renungan dan pemikiran, alangkah agungnya dan alangkah kuasanya Allah. Bumi yang dihamparkan untuk kediaman manusia dihiasi dengan berbagai tumbuhan yang buahnya dimanfaatkan oleh manusia dan binatang ternak, semuanya itu harus dijadikan pelajaran dan peringatan bagi tiap-tiap hamba Allah yang kembali mengingat-Nya.


Baca Juga: Kuffar dalam Al-Quran Tidak Selalu Bermakna Orang-Orang Kafir, Lalu…


Ayat 9

Pada ayat ini Allah menerangkan bagaimana cara menumbuhkan tumbuh-tumbuhan itu, yaitu menurunkan dari langit air hujan yang banyak manfaatnya untuk menumbuhkan tanaman dan pohon-pohon yang berbuah, terutama tumbuh-tumbuhan dan biji tanamannya dapat dituai seperti padi, gandum, jagung, dan sebagainya.

Ayat 10-11

Allah menumbuhkan pohon kurma yang tinggi-tinggi yang mempunyai mayang yang bersusun-susun sebagai rezeki bagi hamba-hamba-Nya.

Dalam ayat ini Allah tidak menyebutkan bahwa rezeki itu bagi hamba-hamba-Nya yang suka mengingat Allah seperti diuraikan-Nya pada ayat kedelapan, sebab rezeki itu lebih umum. Seorang yang kembali mengingat Allah memakan rezeki itu sambil mensyukuri nikmat Allah, sedangkan yang lain memakannya seperti binatang saja, tidak ingat kepada pemberi nikmat tersebut. Allah menghidupkan bumi yang kering dan tandus setelah turun hujan dengan berbagai tanaman yang beraneka ragam. Dan seperti itu pula terjadinya kebangkitan pada hari Kiamat. Setiap petani yang selalu mengolah ladang dan sawahnya harus selalu ingat dan bersiap-siap untuk menghadapi hari kebangkitan dengan ketakwaan dan amal kebajikan.


Baca Juga: Tafsir Ayat-ayat Tumbuhan Kemenag RI: dari Ragam Tanaman hingga Etika Lingkungan


Tafsir Surah Qaf ayat 6-11, khususnya 9-11 merupakan suatu kesatuan yang menyatakan manfaat air. Banyaknya manfaat air dapat dirasakan langsung oleh manusia, mulai dari kebutuhan pokok sebagai air minum, memasak, mencuci, pertanian, pemanfatannya untuk industri dan pengolahan bahan-bahan, sampai pada sarana transportasi. Pada ayat tersebut di atas dinyatakan bahwa dengan kehendak Allah lah air turun ke permukaan bumi dalam bentuk hujan. Contoh manfaat ditekankan pada peran air pada pertumbuhan tanaman. Semua tumbuhan, termasuk sumber pangan manusia, baik tumbuhan rendah seperti biji-bijian (bisa dimasukkan ke dalamnya perdu, rerumputan, jamur, lumut, ganggang dan bahkan bakteri) maupun pohon-pohonan yang besar seperti halnya kurma, memerlukan air untuk pertumbuhannya. Ayat-ayat tersebut di atas seolah mengatakan bahwa melalui daur air, Allah memberikan rezeki bagi makhluk ciptaan-Nya. Hanya dengan keberadaan air, tanah akan dapat menjadi media tumbuh bagi tanaman di atasnya. Maka tanah yang tandus pun apabila diberikan air akan dapat ditumbuhi. Proses pertumbuhan tanaman pada tanah tandus yang mendapatkan air sering dipakai untuk menggambarkan kejadian kebangkitan manusia di alam akhirat (lihat: Yunus/10: 24, Fussilat/41: 39, az-Zukhruf/43: 11)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Qaf ayat 12-15


Tafsir Surah Qaf Ayat 1-5

0
Tafsir Surah Qaf

Permulaan Tafsir Surah Qaf Ayat 1-5 diawali dengan penjelasan huruf muqatha’ah “Qaaf”, biasanya sebagai ungkapan mengenai pentingnya pembahasan yang ada di dalamnya. Selain itu, dalam Tafsir Surah Qaf Ayat 1-5 Allah bersumpah dengan kitab-Nya Alquran bahwasanya Nabi Muhammad adalah utusannya.

Secara ringkas Tafsir Surah Qaf Ayat 1-5 menceritakan orang-orang di zaman Jahiliah yang mengingkari Rasulullah. Padahal Nabi Muhammad telah datang dengan membawa kebenaran dan peringatan.


Baca Juga: Bagaimana Tafsir atas Huruf Muqattaah?


Ayat 1

Telah diungkapkan sebelum ini bahwa huruf-huruf abjad yang ada pada permulaan surah biasanya memperingatkan betapa pentingnya perkara yang disebut kemudian, dan sering sekali yang disebut itu ialah sifat Al-Qur’an seperti yang disebutkan di sini.

Dalam ayat ini, Allah bersumpah dengan kitab-Nya, yang mengandung banyak berkah dan kebajikan (Al-Qur’an) yang sangat mulia bahwa Nabi Muhammad benar-benar seorang utusan-Nya yang memberi peringatan kepada kaumnya tentang adanya hari kebangkitan. Senada dengan pernyataan ini, dalam permulaan Surah Yasin juga telah diterangkan bahwa Nabi Muhammad sungguh-sungguh adalah salah seorang rasul yang diutus agar memberi peringatan kepada kaum yang bapak-bapak mereka belum pernah diberi peringatan. Oleh karena itu, mereka lalai dan disebut zaman Jahiliah.

Ayat 2

Mereka mengingkari kerasulan Nabi Muhammad, bahkan mereka itu bukan saja ragu-ragu dan mengingkari kerasulannya, malahan mereka tercengang karena telah datang kepada mereka seorang manusia yang memberi peringatan dari kalangan mereka sendiri. Mereka memandang sungguh aneh bahwa Allah mengutus seorang manusia seperti mereka sendiri, yang biasa makan-minum dan berkeluarga, yang biasa tidur dan kadang-kadang kena penyakit.

Mereka membayangkan bahwa seorang utusan Allah itu mesti malaikat seperti diterangkan dalam firman Allah:

اَبَشَرًا مِّنَّا وَاحِدًا نَّتَّبِعُهٗٓ

Bagaimana kita akan mengikuti seorang manusia (biasa) di antara kita? (al-Qamar/54: 24)

Dan firman Allah:

قَالُوْٓا اِنْ اَنْتُمْ اِلَّا بَشَرٌ مِّثْلُنَا

Mereka berkata, “Kamu hanyalah manusia seperti kami juga.” (Ibrahim/14: 10)

Ayat 3

Setelah mereka memperlihatkan rasa terkejutnya tentang kerasulan Muhammad saw itu, mereka dengan penuh rasa keingkaran dan cemoohan berkata, “Apakah kami setelah mati dan setelah tulang-belulang kami menjadi tanah dan berserakan di dalam bumi, akan kembali hidup lagi?” Mereka memandang bahwa bangkit dari kubur itu suatu hal yang mustahil, yang tidak mungkin terjadi dan sama sekali tidak masuk akal, karena mereka mengukur kekuasaan Allah sama dengan kekuasaan mereka.


Baca Juga: Tafsir Surah Yasin ayat 51-52: Penyesalan di Hari Kebangkitan


Ayat 4

Allah mengemukakan dalil atas kebangkitan dari kubur karena Allah sungguh mengetahui apa yang telah dimakan dan dihancurkan oleh bumi dari tubuh-tubuh mereka, ke mana dari bagian-bagian tubuh manusia itu berpindah atau bergeser dan kemudian menjadi apa, sebab semua kejadian itu perinciannya ada di sisi Allah. Seluruhnya tercatat dan terpelihara dalam kitab yang menggambarkan bahwa tidak sulit bagi Allah untuk menghidupkan mereka kembali pada hari Kiamat, hari yang pasti akan datang.

Ayat 5

Sesungguhnya mereka telah mendustakan kerasulan Muhammad saw, Rasul yang diperkuat dengan mukjizat. Bila mereka mendustakan berita-berita yang dibawa oleh Rasulullah saw hal itu lebih meng-akibatkan celaka karena telah memutuskan hubungan antara Allah dengan rasul-Nya yang paling terhormat dan dicintai sebagai Sayyidul-Mur-salin.

Karena itu mereka terus-menerus berada dalam keadaan kacau-balau. Mereka mengingkari kerasulan dari kalangan manusia dan mereka ber-anggapan bahwa yang patut menjadi utusan Allah itu hanyalah mereka yang mempunyai kedudukan dan keturunan yang tinggi. Ucapan mereka itu disebut oleh Allah dalam firman-Nya:

لَوْلَا نُزِّلَ هٰذَا الْقُرْاٰنُ عَلٰى رَجُلٍ مِّنَ الْقَرْيَتَيْنِ عَظِيْمٍ

Mengapa Al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada orang besar (kaya dan berpengaruh) dari salah satu dua negeri ini (Mekah dan Taif)?” (az-Zukhruf/43: 31)

Lebih celaka lagi karena mereka memandang Nabi itu sebagai seorang tukang sihir, dukun atau orang gila. Ucapan dan pandangan mereka itu menunjukkan bahwa mereka tidak tetap dalam pendirian, tidak tahu apa yang mereka ucapkan dan pikiran mereka selalu kacau-balau.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Qaf ayat 6-11


Perbedaan Riwayat dalam Sabab Nuzul Ayat Bersedekah (Bagian 1)

0
Perbedaan riwayat sabab nuzul dalam ayat sedekah
Perbedaan riwayat sabab nuzul dalam ayat sedekah

Dialektika yang terjadi antara Alquran dan pembacanya di era awal tak jarang menjadi ‘pembentuk’ narasi Alquran itu sendiri. Literatur ilmu Alquran menyebut hal tersebut sebagai sabab nuzul atau sebab turunnya ayat Alquran.

Di antara sekian banyak ayat yang memiliki sabab nuzul, ada setidaknya dua himpunan ayat yang cukup populer di kalangan pegiat kajian Alquran, ayat khamr dan riba. Kejelasan dinamika yang terjadi agaknya menjadi alasan yang cukup kuat bagi popularitas keduanya, terutama berkaitan dengan masalah tasyri‘ yang memiliki persinggungan yang cukup erat.

Baca juga: Konsep Taaddud As-Sabab Wa An-Nazil Wahid di Dalam Ulumul Al-Quran (Bagian 2)

Di luar ‘dominasi’ dua tema tersebut, penulis mendapati sebuah riwayat dalam teks kitab al-‘Ushfuriyyah yang berisi penjelasan urutan turunnya ayat pahala bersedekah. Menjadi menarik karena teks kitab tersebut merupakan teks yang berasal dari ‘luar’ tradisi kajian Alquran. Seberapa menariknya riwayat tersebut? Mari kita simak ulasannya.

al-‘Ushfuriyyah

al-‘Ushfuriyyah atau al-Mawa‘idz al-‘Ushfuriyyah adalah teks kitab yang berisi petuah-petuah (al-mawa‘idz) bijak yang disajikan dengan metode riwayah, entah itu berasal dari hadis, atsar, atau bahkan kisah para ulama di masa lalu. Kitab tersebut ditulis oleh Syekh Muhammad bin Abu Bakr al-‘Ushfuriy.

Ukuran kitabnya yang cukup tipis agaknya memiliki relevansi terhadap nama yang disematkan, yang merupakan nisbat dari kata ‘ushfur, yang secara literal berarti burung kecil. Mungkin juga ‘ushfur yang dimaksud merupakan nisbat kepada penulisnya, wallahu a‘lam, penulis belum mendapati alasannya secara pasti.

Kitab ini sejatinya merupakan syarah dari kompilasi hadis yang teramat masyhur yang disebut dengan al-Arba‘in, atau kompilasi berisi 40 hadis. Namun demikian, penulis juga belum mendapati Arba‘in versi siapa yang dipilih sebagai teks primer. Hal ini mengingat terdapat banyak versi kitab Arba‘in.

Sabab Nuzul Ayat Sedekah

Riwayat yang penulis temukan dalam teks kitab tersebut, yang menjadi inti pembahasan tulisan ini merupakan riwayat yang diberikan oleh Abdullah bin ‘Umar. Riwayat ini berada di bawah hadis pokok Arba‘in ke 11, dari Ja‘far bin Muhammad tentang sedekah yang dilakukan oleh Sayyidina ‘Ali ra. Secara lengkap, riwayat tersebut berbunyi:

وَرُوِيَ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا لَمَّا نَزَلَتْ هذِهِ الآيَةُ فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ قُلْتُ يَارَبِّ هذَا قَلِيْلٌ فِي حَقِّ أمَّتِي قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِنْ قَلَّلْتَ هذَا فَلْتَكُنْ الحَسَنَةُ الوَاحِدَةُ بِحَسَنَتَيْنِ قَوْلُهُ تَعَالى اولئِكَ يُؤْتَوْنَ أَجْرَهُمْ مَرَّتَيْنِ بِمَا صَبَرُوْا قُلْتُ يَارَبِّ هذَا قَلِيْلٌ فِي حَقِّ أمَّتِي قَالَ فَلْيَكُنْ بِحَسَنَةٍ وَاحِدَةٍ عَشْرُ أَمْثَالِهَا قَوْلُهُ تَعالى مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا قُلْتُ يَارَبِّ هذَا أَيْضًا قَلِيْلٌ فِي حَقِّ أمَّتِي قَالَ الله فَلْيَكُنْ بِحَسَنَةٍ وَاحِدَةٍ سَبْعُمِاَئةٍ قَوْلُهُ تَعَالى مَثَلُ الذِيْنَ بُنْفِقُوْنَ أَمْوَالَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِيْ كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَارَبِّ زِدْ لِأُمَّتِي فَنَزَلَتْ هذه الآية مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفُهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيْرَةً قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يارب زِدْ لِأُمَّتِي فَنَزَلَتْ هذه الآية إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرِيْنَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ.

“Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar r.a., ketika ayat 7 dari surah Al-Zalzalah [99] turun, Saya (Rasulullah) berkata, “(Pahala) ini (terlalu) sedikit untuk umatku.” Allah bersabda, “Jika engkau menganggap sedikit hal ini maka satu kebaikan akan bernilai dua kebaikan (surah Al-Qashash [28]: 54)”. Saya (Rasulullah) berkata, “(Pahala) ini (terlalu) sedikit untuk umatku.” Allah bersabda, “Maka satu kebaikan akan bernilai sepuluh kebaikan (surah Al-An‘am [6]: 160)”. Saya (Rasulullah) berkata, “(Pahala) ini juga (terlalu) sedikit untuk umatku.” Allah bersabda, “Maka satu kebaikan akan bernilai 700 kebaikan (surah Al-Baqarah [2]: 261)”. Rasulullah saw. berkata, “Ya Tuhanku, tambahkanlah untuk umatku”, maka turun ayat 245 dari surah Al-Baqarah [2]. Rasulullah saw. berkata, “Ya Tuhanku, tambahkanlah untuk umatku”, maka turun ayat 10 dari surah Az-Zumar [39].”

Dari riwayat tersebut diketahui bahwa pahala bersedekah setidaknya terangkum dalam kandungan enam ayat Alquran. Keenam ayat tersebut secara berturut-turut sesuai dengan riwayat yang ada adalah surah Azzalzalah [99]: 7, surah Alqashash [28]: 54, surah Alan‘am [6]: 160, surah Albaqarah [2]: 261, surah Albaqarah [2]: 245, dan surah Azzumar [39]: 10.

Baca juga: Tafsir Surah Albaqarah Ayat 215: Skala Prioritas dalam Sedekah

Menarik jika urutan ini diperbandingkan dengan literatur mainstream dalam kajian Alquran, misalnya seperti al-Tafsir al-Hadits: Tartib al-Suwar Hasb al-Nuzul karya Muhammad ‘Izzah Darwazah. Dalam tafsirnya tersebut, ‘Izzah menyebutkan bahwa enam ayat tersebut turun dengan urutan sebagai berikut: surah Alqashash [28]: 54, surah Alan‘am [6]: 160, surah Azzumar [39]: 10, surah Azzalzalah [99]: 7, dan dua ayat dari surah Albaqarah [2].

Selain itu, riwayat tersebut juga memiliki ‘latar belakang cerita’ yang cukup berbeda dari literatur mainstream kajian Alquran. Riwayat tersebut dengan jelas menceritakan perbincangan ‘tawar-menawar’ Rasulullah dengan Allah. Terlepas dari setting waktu yang sebenarnya terjadi memiliki interval yang cukup panjang, atau memang sekejap, sesuai perbincangan yang ada.

Baca juga: Semangat Filantropi dalam Al-Quran dan Keadilan Ekonomi

Sementara dalam literatur mainstream seperti milik Wahbah al-Zuhailiy, al-Tafsir al-Munir, dijelaskan bahwa penurunan surah Azzalzalah [99] ayat 7 dilatarbelakangi oleh pertentangan antara amal kebaikan yang sedikit dengan perbuatan dosa kecil. Allah lebih menyukai amal kebaikan walaupun itu kecil, sebagaimana dinukil dari Muqatil bin Sulaiman.

Kemudian pada surah Alqashash [28] ayat 54, turunnya ayat tersebut dilatarbelakangi oleh sekelompok sahabat ahli kitab yang berada dalam kebenaran di masa Jahiliyah, lantas beriman ketika Rasulullah diutus. Mereka mendapatkan dua pahala, pahala sebelum beriman dan pahala setelah beriman. Begitu pula dengan empat ayat sisanya.

Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 15-18

0
Tafsir Surah Al-Hujurat
Tafsir Surah Al-Hujurat

Sebagai penutupan ayat, dalam Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 15-18 menerangkan hakikat iman yang sebenarnya. Bahwasanya orang-orang yang diakui mempunyai keimanan yang sungguh-sungguh hanyalah mereka yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya tanpa keragu-raguan. Di akhir ayat, Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 15-18 menegaskan kembali bahwa Allah Maha Mengetahui.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 13-14


Ayat 15

Dalam ayat ini, Allah menerangkan hakikat iman yang sebenarnya, yaitu bahwa orang-orang yang diakui mempunyai iman yang sungguh-sungguh hanyalah mereka yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, tanpa keragu-raguan sedikit pun dan tidak goyah pendiriannya apa pun yang dihadapi. Mereka menyerahkan harta dan jiwa dalam berjihad di jalan Allah semata-mata untuk mencapai keridaan-Nya.

اَلْمُؤْمِنُوْنَ فِى الدُّنْيَا عَلَى ثَلاَثَةِ أَجْزَاءٍ، اَلَّذِيْنَ اٰمَنُوا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوْا وَجَاهَدُوْا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِىْ سَبِيْلِ اللهِ. وَالَّذِيْ يَأْمَنُهُ النَّاسُ عَلَى أَمْوَالِهِمْ بِأَنْفُسِهِمْ وَالَّذِيْ إِذَا أَشْرَفَ عَلَى طَمَعٍ تَرَكَهُ ِللهِ عَزَّ وَجَلَّ. (رواه أحمد عن أبي سعيد الخدري)

Orang mukmin di dunia ada tiga golongan: pertama, orang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu dan berjihad fi sabilillah dengan harta dan dirinya. Kedua, orang yang tidak mengganggu harta dan diri orang lain. Ketiga, orang yang mendapatkan kemuliaan ambisi, ia meninggalkannya karena Allah. (Riwayat Ahmad dari Abu Sa’id al-Khudri)

Mereka itulah orang-orang yang imannya diakui oleh Allah. Tidak seperti orang-orang Arab Badui itu yang hanya mengucapkan beriman dengan lidah belaka, sedangkan hati mereka kosong karena mereka masuk Islam itu hanya karena takut akan tebasan pedang, hanya sekadar untuk mengamankan jiwa dan harta bendanya.

Ayat 16

Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya agar bertanya kepada orang-orang Arab Badui itu, apakah mereka akan memberitahukan kepada Allah tentang keyakinannya yang telah tersimpan di dalam hatinya, padahal Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, termasuk apa yang terkandung di dalam hati mereka karena Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.


Baca Juga: Surat al-Anfal [8] Ayat 2: Ciri-Ciri Orang Yang Beriman Menurut Al-Qur’an


Ayat 17

Allah menjelaskan bahwa orang-orang Arab Badui itu merasa telah memberi nikmat kepada Rasulullah saw. Mereka menganggap bahwa keislaman dan ketundukan mereka kepada Nabi Muhammad itu harus dipandang suatu nikmat yang harus disyukuri oleh Nabi. Kemudian Allah memerintahkan kepada rasul-Nya supaya membantah ucapan mereka yang selalu menonjol-nonjolkan pemberian nikmat karena sesungguhnya hanya Allah yang melimpahkan nikmat kepada mereka dengan menunjuki mereka keimanan, jika mereka sungguh-sungguh menjadi orang-orang yang benar imannya.

Ayat 18

Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Mengetahui apa-apa yang gaib di langit dan di bumi. Dia-lah yang melihat apa yang tersembunyi di dalam hati, dan apa yang diucapkan oleh lidah karena Allah Maha Melihat apa yang dikerjakan oleh seluruh hamba-hamba-Nya.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 13-14

0
Tafsir Surah Al-Hujurat
Tafsir Surah Al-Hujurat

Dijelaskan dalam Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 13-14 bahwasanya maksud dan tujuan Allah menciptakan manusia berbeda-beda warna kulit, berbangsa dan bersuku-suku adalah agar manusia dapat saling mengenal dan menolong, bukan saling mengejek dan menjatuhkan.

Allah tidak menyukai orang-orang sombong karena memiliki harta yang banyak, pangkat yang tinggi dan berasal dari keturunan terpandang. Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 13-14 mengingatkan bahwa derajat seorang manusia di sisi Allah dinilai dari ketakwaannya.

Kemudian, dalam Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 13-14 ini dikisahkan pula tentang makna keimanan bagi orang mukmin, hal ini dicontohkan dari kisah orang Badui.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 12


Ayat 13

Dalam ayat ini, dijelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dari seorang laki-laki (Adam) dan seorang perempuan (Hawa) dan menjadikannya berbangsa-bangsa, bersuku-suku, dan berbeda-beda warna kulit bukan untuk saling mencemoohkan, tetapi supaya saling mengenal dan menolong. Allah tidak menyukai orang-orang yang memperlihatkan kesombongan dengan keturunan, kepangkatan, atau kekayaannya karena yang paling mulia di antara manusia pada sisi Allah hanyalah orang yang paling bertakwa kepada-Nya.

Kebiasaan manusia memandang kemuliaan itu selalu ada sangkut-pautnya dengan kebangsaan dan kekayaan. Padahal menurut pandangan Allah, orang yang paling mulia itu adalah orang yang paling takwa kepada-Nya.

Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan at-Tirmidzi dari Ibnu ‘Umar bahwa ia berkata:

طَافَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى رَاحِلَتِهِ الْقَصْوَاءِ يَوْمَ الْفَتْحِ وَاسْتَلَمَ الرُّكْنُ بِمِحْجَنِهِ وَمَا وَجَدَ لَهَا مُنَاخًا فِى الْمَسْجِدِ حَتَّى أُخْرِجَتْ إِلَى بَطْنِ الْوَادِيِّ فَأُنِيْخَتْ ثُمَّ حَمِدَ اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ: أَمَّا بَعْدُ أَيُّهَا النَّاسُ فَإِنَّ اللهَ قَدْ أَذْهَبَ عَنْكُمْ عُبِيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ  يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا النَّاسُ رَجُلاَنِ: بِرٌّ تَقِيٌّ كَرِيْمٌ عَلَى رَبِّهِ وَفَاجِرٌ شَقِيٌّ هَيِّنٌ عَلَى رَبِّهِ ثُمَّ تَلاَ (يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوْبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوْا) حَتىَّ قَرَأَ الآيَةَ ثُمَّ قَالَ: أَقُوْلُ قَوْلِى هَذَا وَاَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ) (رواه ابن حبان والترمذي عن ابن عمر)

Rasulullah saw melakukan tawaf di atas untanya yang telinganya tidak sempurna (terputus sebagian) pada hari Fath Makkah (Pembebasan Mekah). Lalu beliau menyentuh tiang Ka’bah dengan tongkat yang bengkok ujungnya. Beliau tidak mendapatkan tempat untuk menderumkan untanya di masjid sehingga unta itu dibawa keluar menuju lembah lalu menderumkannya di sana. Kemudian Rasulullah memuji Allah dan mengagungkan-Nya, kemudian berkata, “Wahai manusia, sesungguhnya Allah telah menghilangkan pada kalian kesombongan dan keangkuhan Jahiliah. Wahai manusia, sesungguhnya manusia itu ada dua macam: orang yang berbuat kebajikan, bertakwa, dan mulia di sisi Tuhannya. Dan orang yang durhaka, celaka, dan hina di sisi Tuhannya. Kemudian Rasulullah membaca ayat: ya ayyuhan-nas inna khalaqnakum min dzakarin wa untha… Beliau membaca sampai akhir ayat, lalu berkata, “Inilah yang aku katakan, dan aku memohon ampun kepada Allah untukku dan untuk kalian. (Riwayat Ibnu Hibban dan at-Tirmidzi dari Ibnu ‘Umar).

Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Mengetahui ten-tang apa yang tersembunyi dalam jiwa dan pikiran manusia. Pada akhir ayat, Allah menyatakan bahwa Dia Maha Mengetahui tentang segala yang tersembunyi di dalam hati manusia dan mengetahui segala perbuatan mereka.


Baca Juga: Mengulik Kembali Nilai Pluralisme dalam Surah Al-Hujurat Ayat 13


Ayat 14

Allah menjelaskan bahwa orang-orang Arab Badui mengaku bahwa diri mereka telah beriman. Ucapan mereka itu dibantah oleh Allah. Sepantasnya mereka itu tidak mengatakan telah beriman, karena iman yang sungguh-sungguh ialah membenarkan dengan hati yang tulus dan percaya kepada Allah dengan seutuhnya. Hal itu belum terbukti karena mereka memperlihatkan bahwa mereka telah memberikan kenikmatan kepada Rasulullah saw dengan keislaman mereka dan dengan tidak memerangi Rasulullah saw.

Mereka dilarang oleh Allah mengucapkan kata beriman itu dan sepantasnya mereka hanya mengucapkan ‘kami telah tunduk’ masuk Islam, karena iman yang sungguh-sungguh itu belum pernah masuk ke dalam hati mereka. Apa yang mereka ucapkan tidak sesuai dengan isi hati mereka.

Az-Zajjaj berkata, “Islam itu ialah memperlihatkan kepatuhan dan menerima apa-apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Dengan memperlihatkan patuh itu terpeliharalah darah dan jiwa, dan jika ikrar tentang keislaman itu disertai dengan tasdiq (dibenarkan hati), maka barulah yang demikian itu yang dinamakan iman yang sungguh-sungguh. Jika mereka benar-benar telah taat kepada Allah dan rasul-Nya, ikhlas berbuat amal, dan meninggalkan kemunafikan, maka Allah tidak akan mengurangi sedikit pun pahala amal mereka, bahkan akan memperbaiki balasannya dengan berlipat ganda.”

Terhadap manusia yang banyak berbuat kesalahan, di mana pun ia berada, Allah akan mengampuninya karena Dia Maha Pengampun terhadap orang yang bertobat dan yang beramal penuh keikhlasan.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 15-18


Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 12 Part 2  

0
Tafsir Surah Al-Hujurat
Tafsir Surah Al-Hujurat

Sebagai lanjutannya, dalam Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 12 Part 2 menjelaskan tentang larangan bergunjing atau membicarakan aib seseorang.

Terdapat banyak banyak Riwayat larangan berbuat demikian di dalam Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 12 Part 2 bahkan Allah swt mengumpakan orang yang bergunjing, ghibah, ifk, dan buhtan laksana orang yang memakan daging bangkai saudaranya sendiri.

Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 12 Part 2 ditutup dengan enam perkara yang menjadi pengecualian untuk bergunjing. Selengkapnya baca Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 12 Part 2 di bawah ini, dan semoga kita senantiasa terjaga dari sifat tercela dan suka bergunjing.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 11


Ayat 12 Part 2

Diriwayatkan pula oleh Ahmad dari Abu Barzah al-Aslami, Rasulullah saw bersabda:

يَا مَعْشَرَ مَنْ اٰمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ اْﻹِيْمَانُ قَلْبَهُ لاَ تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِيْنَ وَلاَ تَتَّبِعُوْا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنْ يَّتَّبِعْ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِيْ بَيْتِهِ. (رواه أحمد عن أبي برزه اﻷسلمى)

Wahai orang-orang yang beriman dengan lidahnya, tetapi iman itu belum masuk ke dalam hatinya, jangan sekali-kali kamu bergunjing terhadap kaum Muslimin, dan jangan sekali-kali mencari-cari aib-aib mereka. Karena siapa yang mencari-cari aib kaum Muslimin, maka Allah akan membalas pula dengan membuka aib-aibnya. Dan siapa yang dibongkar aibnya oleh Allah, niscaya Dia akan menodai kehormatannya dalam rumahnya sendiri.” (Riwayat Ahmad dari Abu Barzah al-Aslami).

Imam at-Tabrani meriwayatkan sebuah hadis dari Harithah bin an-Nu’man:

ثَلاَثٌ لاَزِمَاتٌ ِﻷُمَّتِى الطَّيْرَةُ وْالحَسَدُ وَسُوْءُ الظَّنِّ فَقَالَ رَجُلٌ مَا يُذْهِبُهُنَّ يَا رَسُوْلَ اللهِ مِمَّنْ هُنَّ فِيْهِ؟ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذَا حَسَدْتَ فَاسْتَغْفِرِ الله َوَاِذَا ظَنَنْتَ فَلاَ تُحَقِّقْ وَاِذَا تَطَيَّرْتَ فَامْضِ. (رواه الطبرانى عن حارثة بن النعمان)

Ada tiga perkara yang tidak terlepas dari umatku, yaitu anggapan sial karena sesuatu ramalan, dengki, dan buruk sangka. Maka bertanya seorang sahabat, “Ya Rasulullah, apa yang dapat menghilangkan tiga perkara yang buruk itu dari seseorang?” Nabi menjawab, “Apabila engkau hasad (dengki), maka hendaklah engkau memohon ampun kepada Allah. Dan jika engkau mempunyai buruk sangka, jangan dinyatakan, dan bilamana engkau memandang sial karena sesuatu ramalan maka lanjutkanlah tujuanmu.” (Riwayat at-Tabrani dari Harithah bin an-Nu’man).


Baca Juga: Jangan Berprasangka Buruk! Renungkanlah Pesan Surat Al-Hujurat Ayat 12


Abu Qilabah meriwayatkan bahwa telah sampai berita kepada ‘Umar bin Khattab, bahwa Abu Mihjan as-Shaqafi minum arak bersama-sama dengan kawan-kawannya di rumahnya. Maka pergilah ‘Umar ke rumahnya dan kemudian masuk ke dalam, tetapi tidak ada seorang pun di rumah kecuali seorang Abu Mihjan sendiri. Maka Abu Mihjan berkata, “Sesungguhnya perbuatanmu ini tidak halal bagimu karena Allah telah melarangmu untuk mencari-cari kesalahan orang lain.” Kemudian ‘Umar keluar dari rumahnya.

Allah melarang pula bergunjing atau mengumpat orang lain. Yang dinamakan gibah atau bergunjing itu ialah menyebut-nyebut suatu keburukan orang lain yang tidak disukainya sedang ia tidak berada di tempat itu, baik dengan ucapan atau isyarat, karena yang demikian itu menyakiti orang yang diumpat. Umpatan yang menyakitkan itu ada yang terkait dengan cacat tubuh, budi pekerti, harta, anak, istri, saudaranya, atau apa pun yang ada hubungannya dengan dirinya.

Hasan, cucu Nabi, berkata bahwa bergunjing itu ada tiga macam, ke-tiga-nya disebutkan dalam Al-Qur’an, yaitu gibah, ifk, dan buhtan. Gibah atau bergunjing, yaitu menyebut-nyebut keburukan yang ada pada orang lain. Adapun ifki adalah menyebut-nyebut seseorang mengenai berita-berita yang sampai kepada kita, dan buhtan atau tuduhan yang palsu ialah bahwa menyebut-nyebut kejelekan seseorang yang tidak ada padanya. Tidak ada perbedaan pendapat antara para ulama bahwa ber-gunjing ini termasuk dosa besar, dan diwajibkan kepada orang yang bergunjing supaya segera bertobat kepada Allah dan meminta maaf kepada orang yang bersangkutan.

Mu’awiyah bin Qurrah berkata kepada Syu’bah, “Jika seandainya ada orang yang putus tangannya lewat di hadapanmu, kemudian kamu berkata ‘Itu si buntung,” maka ucapan itu sudah termasuk bergunjing.”


Baca Juga: Pentingnya Berprasangka Baik Dalam Rangka Toleransi Beragama dalam Al-Quran


Allah mengemukakan sebuah perumpamaan supaya terhindar dari bergunjing, yaitu dengan suatu peringatan yang berbentuk pertanyaan, “Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging bangkai saudaranya? Tentu saja kita akan merasa jijik memakannya. Oleh karena itu, jangan menyebut-nyebut keburukan seseorang ketika ia masih hidup atau sudah mati, sebagaimana kita tidak menyukai yang demikian itu, dalam syariat hal itu juga dilarang.”

‘Ali bin al-Husain mendengar seorang laki-laki sedang mengumpat orang lain, lalu ia berkata, “Awas kamu jangan bergunjing karena bergunjing itu sebagai lauk-pauk manusia.”

Nabi dalam khutbahnya pada haji wada’ (haji perpisahan) bersabda:

اِنَّ دِمَاءَكُمْ وَاَمْوَالَكُمْ وَاَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هٰذَا فِيْ شَهْرِكُمْ هٰذَا فِيْ بَلَدِكُمْ هٰذَا. (رواه البخاري ومسلم عن ابن عباس)

Sesungguhnya darahmu, hartamu, dan kehormatanmu haram bagimu seperti haramnya hari ini dalam bulan ini dan di negerimu ini. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Abbas);Allah menyuruh kaum mukminin supaya tetap bertakwa kepada-Nya karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun terhadap orang yang ber-tobat dan mengakui kesalahan-kesalahannya. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang, dan tidak akan mengazab seseorang setelah ia bertobat.

Bergunjing itu tidak diharamkan jika disertai dengan maksud-maksud yang baik, yang tidak bisa tercapai kecuali dengan gibah itu, dan soal-soal yang dikecualikan dan tidak diharamkan dalam bergunjing itu ada enam perkara:

  1. Dalam rangka kezaliman agar dapat dibela oleh orang yang mampu menghilangkan kezaliman itu.
  2. Jika dijadikan bahan untuk mengubah suatu kemungkaran dengan menyebut-nyebut kejelekan seseorang kepada seorang penguasa yang mampu mengadakan tindakan perbaikan.
  3. Di dalam mahkamah, orang yang mengajukan perkara boleh melapor-kan kepada mufti atau hakim bahwa ia telah dianiaya oleh seorang penguasa yang (sebenarnya) mampu mengadakan tindakan perbaikan.
  4. Memberi peringatan kepada kaum Muslimin tentang suatu kejahatan atau bahaya yang mungkin akan mengenai seseorang; misalnya menu-duh saksi-saksi tidak adil, atau memperingatkan seseorang yang akan melangsungkan pernikahan bahwa calon pengantinnya adalah orang yang mempunyai cacat budi pekerti, atau mempunyai penyakit yang menular.
  5. Bila orang yang digunjingkan itu terang-terangan melakukan dosa di muka umum, seperti minum minuman keras di hadapan khalayak ramai.
  6. Mengenalkan seorang dengan sebutan yang kurang baik, seperti ‘awar (orang yang matanya buta sebelah) jika tidak mungkin memperkenalkannya kecuali dengan nama itu.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 13-14


Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 12 Part 1

0
Tafsir Surah Al-Hujurat
Tafsir Surah Al-Hujurat

Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 12 Part 1 mengingatkan orang-orang beriman agar senantiasa menjauhkan diri dari segala prasangka yang belum tentu benar dan sebagian prasangka itu mengandung dosa.

Selain itu, Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 12 Part 1 memaparkan hadis dari Imam al-Baihaqi dalam kitabnya Syu’abul Iman tentang petunjuk-petunjuk kehidupan oleh Rasulullah yang bersumber dari saudaranya di antara para Sahabat.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 11


Ayat 12

Dalam Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 12 Part 1 Allah memberi peringatan kepada orang-orang yang beriman supaya mereka menjauhkan diri dari prasangka terhadap orang-orang yang beriman. Jika mereka mendengar sebuah ucapan yang keluar dari mulut saudaranya yang mukmin, maka ucapan itu harus mendapat tanggapan yang baik, dengan ungkapan yang baik, sehingga tidak menimbulkan salah paham, apalagi menyelewengkannya sehingga me-nimbulkan fitnah dan prasangka. ‘Umar r.a. berkata, “Jangan sekali-kali kamu menerima ucapan yang keluar dari mulut saudaramu, melainkan dengan maksud dan pengertian yang baik, sedangkan kamu sendiri menemukan arah pengertian yang baik itu.”

Diriwayatkan dari Rasulullah saw bahwa sesungguhnya Allah mengharamkan dari orang mukmin darah dan kehormatannya sehingga dilarang berburuk sangka di antara mereka. Adapun orang yang secara terang-terangan berbuat maksiat, atau sering dijumpai berada di tempat orang yang biasa minum minuman keras hingga mabuk, maka buruk sangka terhadap mereka itu tidak dilarang.

Imam al-Baihaqi dalam kitabnya Syu’abul Iman meriwayatkan sebuah athar dari Sa’id bin al-Musayyab sebagai berikut:

كَتَبَ اِلَيَّ بَعْضُ اِخْوَانِى مِنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ صَنِّعْ أَمْرَ أَخِيْكَ عَلَى أَحْسَنِهِ مَا لَمْ يَأْتِكَ مَا يَغْلِبُكَ وَلاَ تَظُنَّنَّ بِكَلِمَةٍ خَرَجَتْ مِنِ امْرِئٍ مُسْلِمٍ شَرًّا وَأَنْتَ تَجِدُ لَهُ فِى الْخَيْرِ مَحْمَلاً وَمَنْ عَرَضَ نَفْسَهُ لِلتُّهَمِ فَلاَ يَلُوْمَنَّ اِلاَّ نَفْسَهُ وَمَنْ كَتَمَ سِرَّهُ كَانَتِ الْخِيْرَةُ فِى يَدِهِ وَمَا كَافَأْتَ مَنْ عَصَى الله تَعَالَى فِيْكَ بِمِثْلِ أَنْ تُطِيْعَ اللهَ فِيْهِ وَعَلَيْكَ بِاِخْوَانِ الصِّدْقِ فَكُنْ فِى اكْتِسَابِهِمْ فَاِنَّهُمْ زِيْنَةٌ فِى الرَّخَاءِ وَعُدَّةٌ عِنْدَ عَظِيْمِ اْلبَلاَءِ وَلاَ تَتَهَاوَنْ بِالْحَلْفِ فَيُهِيْنَكَ اللهُ تَعَالَى وَلاَ تَسْأَلَنَّ عَمَّا لَمْ يَكُنْ حَتَّى يَكُوْنُ وَلاَ تَضَعْ حَدِيْثَكَ اِلاَّ عِنْدَ مَنْ يَشْتَهِيْهِ وَعَلَيْكَ بِالصِّدْقِ وَاِنْ قَتَلَكَ وَاعْتَزِلْ عَدُوَّكَ وَاحْذَرْ صَدِيْقَكَ اِلاَّ الاَمِيْنَ وَلاَ اَمِيْنَ اِلاَّ مَنْ خَشِيَ اللهَ وَشَاوِرْ فِى اَمْرِكَ الَّذِيْنَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ. (رواه البيهقي)

Beberapa saudaraku di antara sahabat Rasulullah saw telah menyampaikan sebuah tulisan kepadaku yang berisi beberapa petunjuk, di antaranya, “Kerjakanlah urusan saudaramu dengan sebaik-baiknya selagi tidak datang kepadamu urusan yang mengalahkanmu dan jangan sekali-kali engkau memandang buruk perkataan yang pernah diucapkan oleh seorang Muslim, jika engkau menemukan tafsiran yang baik pada ucapannya itu. Siapa yang menempatkan dirinya di tempat tuduhan buruk, maka janganlah ia mencela, kecuali kepada dirinya sendiri. Dan siapa yang menyembunyikan rahasianya, maka pilihan itu berada di tangannya, dan kemaksiatan seseorang kepada Allah pada diri kamu, tidak akan mengimbangi ketaatanmu kepada Allah pada orang tersebut. Hendaklah engkau selalu bersahabat dengan orang-orang yang benar sehingga engkau berada di dalam lingkup budi pekerti yang mereka upayakan, karena mereka itu menjadi perhiasan dalam kekayaan dan menjadi perisai ketika menghadapi bahaya yang besar. Dan jangan sekali-kali meremehkan sumpah agar kamu tidak dihinakan oleh Allah. Dan jangan sekali-kali bertanya tentang sesuatu yang belum ada sehingga berwujud terlebih dahulu dan jangan engkau sampaikan pembicaraan kecuali kepada orang yang mencintainya. Dan tetaplah berpegang kepada kebenaran walaupun kamu akan terbunuh olehnya. Hindarilah musuhmu dan tetaplah menaruh curiga kepada kawanmu, kecuali orang yang benar-benar sudah dapat dipercaya, dan tidak ada yang dapat dipercaya kecuali orang yang takut kepada Allah. Dan bermusyawarahlah dalam urusanmu dengan orang-orang yang takut kepada Tuhan mereka dalam keadaan gaib.” (Riwayat al-Baihaqi)


Baca Juga:Jangan Berprasangka Buruk! Renungkanlah Pesan Surat Al-Hujurat Ayat 12


Kemudian Allah menerangkan bahwa orang-orang mukmin wajib menjauhkan diri dari prasangka karena sebagian prasangka itu mengandung dosa. Berburuk sangka terhadap orang mukmin adalah suatu dosa besar karena Allah nyata-nyata telah melarangnya. Selanjutnya Allah melarang kaum mukminin mencari-cari kesalahan, kejelekan, noda, dan dosa orang lain.

Abu Hurairah meriwayatkan sebuah hadis sahih sebagai berikut:

اِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَاِنَّ الظَّنَّ اَكْذَبُ الْحَدِيْثِ وَلاَ تَجَسَّسُوْا وَلاَ تَحَسَّسُوْا وَلاَ تَنَاجَشُوْا وَلاَ تَبَاغَضُوْا وَلاَ تَحَاسَدُوْا وَلاَ تَدَابَرُوْا وَكُونُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا. (رواه البخاري عن أبي هريرة)

Jauhilah olehmu berburuk sangka, karena berburuk sangka itu termasuk perkataan yang paling dusta. Dan jangan mencari-cari kesa-lahan orang lain, jangan buruk sangka, jangan membuat rangsangan dalam penawaran barang, jangan benci-membenci, jangan dengki-mendengki jangan belakang-membelakangi, dan jadilah kamu hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (Riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 12


Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 11

0
Tafsir Surah Al-Hujurat
Tafsir Surah Al-Hujurat

Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 11 menjelaskan tentang sikap seorang mukmin kepada mukmin yang lainnya, yaitu dengan tidak mengolok-ngolok kaum dan juga memanggil dengan sebutan yang buruk.

Kemudian Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 11 juga mengingatkan agar selaku mukmin kita senantiasa saling menjaga dan menyayangi, karena diibaratkan satu tubuh jika sakit maka anggota tubuh yang lain akan turut merasakan sakit.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 9-10


Ayat 11

Dalam Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 11 ini, Allah mengingatkan kaum mukminin supaya jangan ada suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain karena boleh jadi, mereka yang diolok-olok itu pada sisi Allah jauh lebih mulia dan terhor-mat dari mereka yang mengolok-olokkan. Demikian pula di kalangan perempuan, jangan ada segolongan perempuan yang mengolok-olok perempuan yang lain karena boleh jadi, mereka yang diolok-olok itu pada sisi Allah lebih baik dan lebih terhormat daripada perempuan-perempuan yang mengolok-olok.

Allah melarang kaum mukminin mencela kaum mereka sendiri karena kaum mukminin semuanya harus dipandang satu tubuh yang diikat dengan kesatuan dan persatuan. Allah melarang pula memanggil dengan panggilan yang buruk seperti panggilan kepada seseorang yang sudah beriman dengan kata-kata: hai fasik, hai kafir, dan sebagainya. Tersebut dalam sebuah hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim dari an-Nu’man bin Basyir:

مَثلُ اْلمُؤْمِنِيْنَ فِيْ تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ اِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالْحُمَّى وَالسَّهَرِ. (رواه مسلم وأحمد عن النعمان بن بشير)

Perumpamaan orang-orang mukmin dalam kasih mengasihi dan sayang-menyayangi antara mereka seperti tubuh yang satu; bila salah satu anggota badannya sakit demam, maka badan yang lain merasa demam dan terganggu pula.

(Riwayat Muslim dan Ahmad dari an-Nu’man bin Basyir)

اِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ اِلٰى صُوَرِكُمْ وَاَمْوَالِكُمْ وَلٰكِنْ يَنْظُرُ اِلٰى قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ. (رواه مسلم عن ابي هريرة)

Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupamu dan harta kekayaanmu, akan tetapi Ia memandang kepada hatimu dan perbua-tanmu. (Riwayat Muslim dari Abu Hurairah).

Hadis ini mengandung isyarat bahwa seorang hamba Allah jangan memastikan kebaikan atau keburukan seseorang semata-mata karena melihat kepada perbuatannya saja, sebab ada kemungkinan seseorang tampak mengerjakan kebajikan, padahal Allah melihat di dalam hatinya ada sifat yang tercela. Sebaliknya pula mungkin ada orang yang kelihatan melakukan suatu yang tampak buruk, akan tetapi Allah melihat dalam hatinya ada rasa penyesalan yang besar yang mendorongnya bertobat dari dosanya. Maka perbuatan yang tampak di luar itu, hanya merupakan tanda-tanda saja yang menimbulkan sangkaan yang kuat, tetapi belum sampai ke tingkat meyakinkan. Allah melarang kaum mukminin memanggil orang dengan panggilan-panggilan yang buruk setelah mereka beriman.


Baca Juga: Julukan Buruk Yang Dilarang Alquran


Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Ibnu ‘Abbas dalam menafsirkan ayat ini, menerangkan bahwa ada seorang laki-laki yang pernah pada masa mudanya mengerjakan suatu perbuatan yang buruk, lalu ia bertobat dari dosanya, maka Allah melarang siapa saja yang menyebut-nyebut lagi keburukannya di masa yang lalu, karena hal itu dapat membangkitkan perasaan yang tidak baik. Itu sebabnya Allah melarang memanggil dengan panggilan dan gelar yang buruk.

Adapun panggilan yang mengandung penghormatan tidak dilarang, seperti sebutan kepada Abu Bakar dengan as-Shiddiq, kepada ‘Umar dengan al-Faruq, kepada ‘Uthman dengan sebutan Zu an-Nurain, kepada ‘Ali dengan Abu Turab, dan kepada Khalid bin al-Walid dengan sebutan Saifullah (pedang Allah).

Kemudian Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 11 menerangkan tentang Panggilan yang buruk dilarang untuk diucapkan setelah orangnya beriman karena gelar-gelar untuk itu mengingatkan kepada kedurhakaan yang sudah lewat, dan sudah tidak pantas lagi dilontarkan. Barang siapa tidak bertobat, bahkan terus pula memanggil-manggil dengan gelar-gelar yang buruk itu, maka mereka dicap oleh Allah sebagai orang-orang yang zalim terhadap diri sediri dan pasti akan menerima konsekuensinya berupa azab dari Allah pada hari Kiamat.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 12


Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 9-10

0
Tafsir Surah Al-Hujurat
Tafsir Surah Al-Hujurat

Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 9-10 menerangkan tentang upaya agar berdamai untuk menghindari peperangan bagi dua golongan yang berseteru. Sesungguhnya umat Islam saling bersaudara karena menganut keimanan yang sama dan kelak akan kekal di syurga bersama.

Dijelaskan pula di akhir Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 9-10 bahwasanya Allah sangat menyukai kedamaian.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 5-8


Ayat 9

Allah menerangkan bahwa jika ada dua golongan orang mukmin berperang, maka harus diusahakan perdamaian antara kedua pihak yang bermusuhan itu dengan jalan berdamai sesuai ketentuan hukum Allah berdasarkan keadilan untuk kemaslahatan mereka yang bersangkutan. Jika setelah diusahakan perdamaian itu masih ada yang membangkang dan tetap juga berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka golongan yang agresif yang berbuat aniaya itu harus diperangi sehingga mereka kembali untuk menerima hukum Allah.

Jika golongan yang membangkang itu telah tunduk dan kembali kepada perintah Allah, maka kedua golongan yang tadinya bermusuhan itu harus diperlakukan dengan adil dan bijaksana, penuh kesadaran sehingga tidak terulang lagi permusuhan seperti itu di masa yang akan datang. Allah memerintahkan supaya mereka tetap melakukan keadilan dalam segala urusan mereka, karena Allah menyukainya dan akan memberi pahala kepada orang-orang yang berlaku adil dalam segala urusan.


Baca Juga: Rahasia Makna Adanya Perintah Allah dalam Al-Qur’an


Ayat 10

Dalam Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 9-10 khususnya pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa sesungguhnya orang-orang mukmin semuanya bersaudara seperti hubungan persaudaraan antara nasab, karena sama-sama menganut unsur keimanan yang sama dan kekal dalam surga. Dalam sebuah hadis sahih diriwayatkan:

اَلْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَسْلِمُهُ وَمَنْ كَانَ فِيْ حَاجَةِ أَخِيْهِ كَانَ اللهُ فِيْ حَاجَتِهِ وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. (رواه البخاري عن عبد الله بن عمر)

Muslim itu adalah saudara muslim yang lain, jangan berbuat aniaya dan jangan membiarkannya melakukan aniaya. Orang yang membantu kebutuhan saudaranya, maka Allah membantu kebutuhannya. Orang yang melonggarkan satu kesulitan dari seorang muslim, maka Allah melonggarkan satu kesulitan di antara kesulitan-kesuliannya pada hari Kiamat. Orang yang menutupi aib saudaranya, maka Allah akan menutupi kekurangannya pada hari Kiamat.

(Riwayat al-Bukhari dari ‘Abdullah bin ‘Umar)

Pada hadis sahih yang lain dinyatakan:

اِذاَ دَعَا الْمُسْلِمُ لِأَخِيْهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ قَالَ الْمَلَكُ: اٰمِيْنَ وَلَكَ بِمِثْلِهِ. (رواه مسلم عن أبي الدرداء)

Apabila seorang muslim mendoakan saudaranya yang gaib, maka malaikat berkata, “Amin, dan semoga kamu pun mendapat seperti itu.” (Riwayat Muslim dari Abu ad-Darda’)

Karena persaudaraan itu mendorong ke arah perdamaian, maka Allah menganjurkan agar terus diusahakan di antara saudara seagama seperti perdamaian di antara saudara seketurunan, supaya mereka tetap memelihara ketakwaan kepada Allah. Mudah-mudahan mereka mem-peroleh rahmat dan ampunan Allah sebagai balasan terhadap usaha-usaha perdamaian dan ketakwaan mereka. Dari ayat tersebut dapat dipahami perlu adanya kekuatan sebagai penengah untuk mendamaikan pihak-pihak yang bertikai.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 11


Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 5-8

0
Tafsir Surah Al-Hujurat
Tafsir Surah Al-Hujurat

Melanjutkan kisah Bani Tamim pada tafsiran sebelumnya, pada Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 5-8 ini menerangkan bahwa sikap mereka yang berteriak-teriak memanggil Rasulullah merupakan bentuk dari kurangnya tata krama mereka. Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 5-8 menyesali perbuatan mereka yang seperti itu, akan tetapi meskipun demikian Allah Maha Pengampun dan mengampuni mereka. Kelak mereka tidak akan di azab karena perbuatan yang memalukan itu.

Selain membahas tentang etika sopan santun, Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 5-8 juga mengingatkan umat Islam untuk senantiasa berhati-hati dalam menerima informasi terutama jika itu berasal dari orang yang fasik.

Sebagai penutup, tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 5-8 menerangkan bahwa sikap iman yang sempurna itu terdiri dari pengakuan dengan lisan, membenarkan dengan hati, dan beramal saleh dengan anggota tubuh.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 3-4


Ayat 5

Seandainya tamu-tamu delegasi itu tidak berteriak-teriak memanggil Nabi Muhammad dan mereka sabar menunggu sampai beliau sendiri keluar kamar peristirahatannya, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka. Karena sikap demikian itu menunjukkan adanya takzim dan penghormatan kepada Nabi Muhammad. Allah Maha Pengampun kepada mereka yang memanggil Nabi Muhammad dari belakang kamar-kamarnya bila mereka bertobat dan mengganti kecerobohan mereka dengan kesopanan tata krama. Allah Maha Penyayang kepada mereka, tidak mengazab mereka nanti pada hari Kiamat karena mereka telah menyesali perbuatan mereka yang memalukan itu.

Ayat 6

Dalam ayat ini, Allah memberitakan peringatan kepada kaum mukminin, jika datang kepada mereka seorang fasik membawa berita tentang apa saja, agar tidak tergesa-gesa menerima berita itu sebelum diperiksa dan diteliti dahulu kebenarannya. Sebelum diadakan penelitian yang seksama, jangan cepat percaya kepada berita dari orang fasik, karena seorang yang tidak mempedulikan kefasikannya, tentu juga tidak akan mempedulikan kedustaan berita yang disampaikannya. Perlunya berhati-hati dalam menerima berita adalah untuk menghindarkan penyesalan akibat berita yang tidak diteliti atau berita bohong itu. Penyesalan yang akan timbul sebenarnya dapat dihindari jika bersikap lebih hati-hati.

Ayat ini memberikan pedoman bagi sekalian kaum mukminin supaya berhati-hati dalam menerima berita, terutama jika bersumber dari seorang yang fasik. Maksud yang terkandung dalam ayat ini adalah agar diadakan penelitian dahulu mengenai kebenarannya. Mempercayai suatu berita tanpa diselidiki kebenarannya, besar kemungkinan akan membawa korban jiwa dan harta yang sia-sia, yang hanya menimbulkan penyesalan belaka.


Baca Juga: Tabayyun, Tuntunan Al-Quran dalam Klarifikasi Berita


Ayat 7

Allah menjelaskan bahwa Rasulullah saw ketika berada di tengah-tengah kaum mukminin, sepatutnya dihormati dan diikuti semua petunjuknya karena lebih mengetahui kemaslahatan umatnya. Nabi lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri, sebagaimana dicantumkan dalam firman Allah:

اَلنَّبِيُّ اَوْلٰى بِالْمُؤْمِنِيْنَ مِنْ اَنْفُسِهِمْ

Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dibandingkan diri mereka sendiri (al-Ahzab/33: 6)

Karena Nabi Muhammad selalu berada dalam bimbingan wahyu Ilahi, maka beliau yang berada di tengah-tengah para sahabat itu sepatutnya dijadikan teladan dalam segala aspek kehidupan dan aspek kemasyarakat-an. Seandainya beliau menuruti kemauan para sahabat dalam memecahkan persoalan hidup, niscaya mereka akan menemui berbagai kesulitan dan kemudaratan seperti dalam peristiwa al-Walid bin ‘Uqbah. Seandainya Nabi saw menerima berita bohong tentang Bani al-Mustaliq, lalu mengirimkan pasukan untuk menggempur mereka yang disangka murtad dan menolak membayar zakat, niscaya yang demikian itu hanya akan menimbulkan penyesalan dan bencana. Akan tetapi, sebaliknya dengan kebijaksanaan dan bimbingan Rasulullah saw yang berada di tengah-tengah para sahabat, mereka dijadikan oleh Allah mencintai keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hati mereka, dan menjadikan mereka benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan.

Karena iman yang sempurna itu terdiri dari pengakuan dengan lisan, membenarkan dengan hati, dan beramal saleh dengan anggota tubuh, maka kebencian terhadap kekafiran berlawanan dengan kecintaan kepada keimanan. Menjadikan iman itu indah dalam hati adalah paralel dengan membenarkan (tasdiq) dalam hati, dan benci kepada kedurhakaan itu paralel dengan mengadakan amal saleh. Orang-orang yang demikian itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk dan mengikuti jalan yang lurus, yang langsung menuju kepada keridaan Allah.

Ayat 8

Karunia dan anugerah itu semata-mata kemurahan dari Allah dan merupakan nikmat dari-Nya. Allah Maha Mengetahui siapa yang berhak menerima petunjuk dan siapa yang terkena kesesatan, dan Mahabijaksana dalam mengatur segala urusan makhluk-Nya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 9-10