Pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika masing-masing pihak laki-laki dan perempuan telah berusia 19 dan 16 tahun. Aturan ini kemudian diubah melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 yang menyamakan usia laki-laki dan perempuan menjadi 19 tahun.
Perubahan ini dilakukan untuk menghindari adanya diskriminasi antara laki-laki dan perempuan dalam masalah yang berdampak pada menghalangi pemenuhan hak-hak dasar atau hak konstitusional warga negara sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22IPUU-XV/2017.
Penetapan 19 tahun sebagai ambang batas usia perkawinan juga didasarkan pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Di sini, anak didefinisikan sebagai seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih berada dalam kandungan.
Baca juga: Polemik Batas Usia Perkawinan Anak (Bagian 1)
Dalam aturan-aturan ini, agaknya memang tidak ditemukan batasan khusus mengenai usia perkawinan. Penentuan angka-angka tersebut dilakukan bertujuan menjaga kelanggengan perkawinan dan pembentukan generasi berkualitas di masa mendatang. Hal ini sejalan dengan apa yang tertuang dalam Pasal 15 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyebut kemaslahatan keluarga dan rumah tangga sebagai dasar penentuan usia perkawinan.
Jika demikian, maka pertimbangan kemampuan reproduksi dalam usia baligh-sebagaimana disebutkan Nimatul Maula pada bagian 1 yang lalu-yang ditandai dengan mimpi basah, menstruasi, atau umur 15 tahun boleh jadi dianggap tidak cukup. Karena dalam perkawinan, reproduksi bukan satu-satunya tujuan yang diharapkan, tetapi juga tentang kualitas reproduksinya serta harmonisasi hubungannya (mawaddah dan rahmah).
Dan karenanya, memahami ayat ke-6 dari surah An-Nisa’ [4] sebagaimana juga telah disebutkan pada bagian 1 sebelumnya, adalah dengan menggabungkan pemahaman ayat ke-9 berikutnya dari surah yang sama,
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعافاً خافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً
“Hendaklah merasa takut orang-orang yang seandainya (mati) meninggalkan setelah mereka, keturunan yang lemah (yang) mereka khawatir terhadapnya. Maka, bertakwalah kepada Allah dan berbicaralah dengan tutur kata yang benar (dalam hal menjaga hak-hak keturunannya).”
Baca juga: Pemikiran Musdah Mulia tentang Pernikahan Anak
Konteks rangkaian ayat ini, kendati membicarakan pengelolaan harta anak yatim bagi para wali, tetapi mengajarkan satu nilai universal tentang bagaimana mencetak generasi masa depan yang unggul. Bagi para wali hendaknya dapat membayangkan masa depan anak-anak yatim yang berada dalam perwalian mereka ketika tidak diberikan perlakuan yang baik sebagaimana diri mereka sendiri ingin diperlakukan.
Urgensi mencetak generasi masa depan yang unggul juga sebagaimana telah dijelaskan oleh Muhammad Bachrul Ulum dalam tulisannya berjudul Perintah Mencetak Generasi Tangguh: Tafsir Surah An-Nisa’ Ayat 9 dan Abdullah Rafi dalam Merencanakan Generasi Terbaik dengan Membatasi Kelahiran Anak. Salah satu implementasinya misalkan dengan menerapkan program Keluarga Berencana (KB).
Namun demikian, penggunaan “usia anak” (18 tahun) sebagai parameter penentu usia perkawinan ternyata bukanlah satu-satunya. Dalam aturan yang lain ditemukan penggunaan “usia remaja” sebagai parameter lain dalam menentukan usia perkawinan. Tujuannya sama, yakni mencegah perceraian dan mempersiapkan generasi berkualitas.
Baca juga: Adakah Masa Iddah Perempuan yang Bercerai dalam Pernikahan Dini?
Usia remaja sendiri merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Kategorisasi usia remaja berbeda-beda antara satu lembaga dengan yang lainnya. WHO (World Health Organization), misalnya, menyebut batas usia remaja antara 10-19 tahun. Berbeda dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 25 Tahun 2014 yang menyebutkan angka 10-18 tahun dan BKKBN yang menyebut 10-24 tahun.
Dari range usia tersebut, usia 21 tahun dipilih sebagai batas usia perkawinan bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki. Hal ini sebagaimana disebutkan buku saku Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) terbitan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Provinsi Jawa Tengah.
Pilihan ini didukung dengan hasil analisis fisiologis dan psikologis yang menunjukkan bahwa di usia 21 tahun seseorang telah sampai pada puncak pertumbuhan fisik, perkembangan kognitif, maupun stabilitas emosional dan identitas sosial.
Baca juga: Digiseksual dan Kecaman Alquran bagi Pelakunya
Hal ini berarti bahwa tidak ditemukan satu kesepakatan terkait dengan batas minimal usia perkawinan. Terlebih jika unsur pertimbangan yang digunakan berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Belum lagi jika melihat fakta bahwa setiap individu manusia diciptakan secara unik, tidak ada persamaan dengan yang lain.
Mungkin ini yang menyebabkan Alquran tidak menyebutkan satu angka tertentu berkaitan dengan usia perkawinan. Alquran hanya memberikan satu kriteria yang berlaku secara universal, seperti menyebutkan diksi al-nikah dalam surah An-Nisa’ [4] ayat 6 dan bulugh al-asyadd dalam surah Al-An‘am [6] ayat 152. Dalam pembacaan tematis (maudlu’iy) Wahbah al-Zuhailiy, kedua ayat tersebut berarti bahwa seseorang dianggap layak untuk menikah adalah ketika telah mencapai kematangan fisik dan mental (quwwah al-badan) serta pengetahuan (quwwah al-ma‘rifah).
Dan bukan berarti bahwa seluruh aturan dan kajian kelembagaan yang telah disebutkan menjadi tidak berguna. Paling tidak diketahui bahwa untuk mendapat reward perkawinan yang dijanjikan, berupa sakinah, mawaddah, dan rahmah, butuh pemenuhan berbagai macam unsur, seperti fisik, mental, psikologi, finansial, intelektual, dan lain sebagainya, sehingga tidak menimbulkan prahara di kemudian hari. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []