Niat dan keimanan menjadi prasyarat bagi kebermaknaan suatu amalan. Dalam sebuah hadis Nabi Muhammad yang masyhur di telinga umat Islam, Nabi bersabda:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكٌلِّ امْرِىءٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَ رَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِِ فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى الدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ إِلَى اِمْرَأَةٍ يُنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Artinya: “Sesungguhnya nilai setiap amalan atau bentuk kerja seseorang itu tergantung pada niat-niat yang dimiliki oleh pelakunya, jika tujuannya “tinggi” yakni meraih ridho Tuhan dan Nabi-Nya maka ia pun meraih nilai yang tinggi disisi Tuhan dan Nabi-Nya, dan jika tujuannya “rendah” yakni hanya meraih dunia ataupun wanita yang ingin dinikahinya maka ia nilai yang “rendah” itulah yang ia peroleh”. (Al-Mundziri, 1388: 97).
Apa yang disabdakan Nabi Muhammad memberikan penegasan bahwa dalam setiap hal yang dikerjakan oleh manusia, terdapat niat atau komitmen yang menjadikannya itu memiliki nilai baik rendah maupun tinggi. Adapun niat atau komitmen itu merupakan pilihan personal masing-masing pelaku amalan, sehingga signifikansinya berjalan lurus dengan pilihan yang dipilih.
Niat dan keimanan dapat menjadi atau berfungsi sebagai dorongan khusus bagi seseorang untuk memilih untuk mengerjakan sesuatu atau tidak dan menentukan level amalannya sesuai niat yang telah diikrarkan. Sebab semakin tulus niat dan tingginya nilai yang ingin dicapai maka turut akan mendorong seseorang untuk mengerjakan suatu amalan dengan tingkat kesungguhan yang tinggi.
Salah satu yang perlu dipahami dalam hadis di atas adalah bahwa nilai tertinggi dari sebuah niat tatkala ditujukan untuk memperoleh ridha Tuhan dan rasul-Nya. Dalam Islam, kesungguhan niat yang tidak didasari dengan tujuan teologis berimplikasi pada penilaian yang kurang maksimal dalam sebuah pekerjaan. Sebaik apapun amalan yang nampak dari luar tanpa diiringi niat yang mencari ridha Tuhan akan berimplikasi pada hilangnya nilai kebaikan dalam amalan, sehingga amalan itu menjadi tidak bermakna.
Ketidakbermaknaan inilah yang menyebabkan sebuah amalan/ pekerjaan “gagal” memberikan signifikansi bagi kehidupan (Al-Sa’di, 1999: 101). Salah satu contohnya diungkapkan dalam al-Qur’an:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لَا يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”. Q.S al-Baqarah [2]: 264.
Dalam ayat al-Qur’an lainnya digambarkan bahwa seseorang yang melakukan amalan tanpa didasari niat dan keimanan yang luhur yakni untuk meraih ridha Tuhan, bagaikan amalan seorang yang ingkar yang amal perbuatannya diibaratkan sebagai fatamorgana.
وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّى إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا وَوَجَدَ اللَّهَ عِنْدَهُ فَوَفَّاهُ حِسَابَهُ وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya”. Q.S al-Nur [24]: 39.
Apa yang telah disampaikan dalam al-Qur’an dalam dua ayat di atas mengindikasikan bahwa suatu pekerjaan yang didasarkan atas niat dan keimanan akan menghantarkan pada kebermaknaan dalam suatu pekerjaan.
Baca Juga: Pentingnya Menata Niat Bagi Pengajar dan Pelajar Al-Quran
Bahkan dalam Q.S al-A’raf [7]: 96, Tuhan telah mengikrarkan janjinya kepada orang yang beriman keberlimpahan berkah yang datang dari langit dan bumi. Maka sudah semestinya suatu pekerjaan yang dilakukan didasarkan pada niat dan keimanan, sebab tanpanya sebuah pekerjaan tidak akan bernilai dan mengalami kemuspraan serta tidak bermakna.
Ihsan dalam Melaksanakan Amalan
Seperti yang telah disinggung di atas bahwa niat dan keinginan meraih nilai yang tinggi dalam suatu amalan mendorong seseorang untuk mengerjakan suatu pekerjaan dengan tingkat kesungguhan yang tinggi. Maka perlu adanya elaborasi lebih lanjut mengenai signifikansi niat bagi kualitas suatu amalan.
Niat dan keimanan yang didasarkan atas keluhuran demi meraih ridha Tuhan, mengantarkan pelakunya untuk tidak melakukan amalan dengan “seenaknya”. Untuk meraih yang Maha Sempurna, maka manusia harus berusaha sesempurna mungkin. Sebab tanpa itu, manusia dapat dikatakan telah ingkar dari apa yang diikrarkannya. Dalam al-Qur’an, perilaku yang demikian itu dianggap sebagai perilaku yang paling dibenci oleh Tuhan (kabura maqtan/ Q.S al-Shaffat(61): 3) .
Upaya mengoptimalkan amalan sangat berkaitan dengan ajaran Islam tenang ihsan. Dalam suatu hadis Nabi Muhammad, Tuhan telah menekankan kepada segenap manusia untuk berlaku ihsan atas segala sesuatu yang diperbuat (Al-Mundziri, 1388: 98).
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَه
Artinya: “Sesungguhnya Allah mewajibkan perilaku ihsan atas segala sesuatu (yang diamalkan/ dikerjakan). Maka tatkala kalian berperang, berperanglah dengan ihsan (mematuhi etika-etika berperang dalam syara’), kemudian tatkala kalian menyembelih hewan, sembelihlah dengan ihsan (mengikuti ketentuan penyembelihan hewan dalam syara’), (yang salah satunya) hendaklah salah seorang di antara kalian menajamkan mata pisau yang akan digunakan dan menenangkan hewan yang akan disembelih”.
Dalam pandangan Nurcholish Madjid, hadis ini memberikan beberapa isyarat bagi manusia dalam kaitannya dengan mencapai kesempurnaan dalam suatu amalan, diantara: 1) hadis ini mengisyaratkan kewajiban kepada manusia untuk berlaku ihsan dalam setiap pekerjaan; 2) dalam hadis dikatakan bahwa sebelum melakukan penyembelihan, diwajibkan menajamkan atau mengasah pisau, ini merupakan isyarat untuk memaksimalkan daya guna instrumen penunjang sebuah amalan sehingga berimplikasi pada efisiensi sebuah amalan; 3) konten hadis yang menganjurkan menenangkan sesembelihan, merupakan sebuah isyarat untuk menunjukkan rasa kasih sayang (kecintaan) dalam setiap yang diamalkan (Madjid, 2005: 408).
Baca Juga: Unsur-Unsur dan Dimensi-Dimensi Perbuatan Ihsan
Pensyarahan hadis yang dilakukan oleh Madjid memberikan setidaknya sebuah kesimpulan bahwa keseimbangan antara aspek material dan spiritual merupakan jalan menuju kebermaknaan sebuah amalan bagi individu yang beragama. Baik amalan yang dilakukan berupa ibadah yang merupakan wujud dari hablum min Allah maupun berupa kerja-kerja sosial yang mewakili aspek hablum min an-nas.
Keduanya harus diiringi aspek material dan spiritual. Sebab ibadah tanpa aspek material (hanya niat) tentu hanya sebuah ilusi, begitu juga kerja-kerja sosial yang dilakukan tanpa aspek spiritual (niat mendapat ridha dan rahmat serta kemudahan Tuhan) tentu hanya menjadi sebuah fatamorgana (terlihat bermanfaat di mata manusia namun nyatanya kosong tak bernilai di mata Tuhan). Wallahu a’lam.