Beranda blog Halaman 162

Terminologi Al-Basyar dalam Al-Qur’an: Manusia Sebagai Makhluk Biologis

0
Al-Basyar dalam Al-Qur'an: Manusia Sebagai Makhluk Biologis
Al-Basyar dalam Al-Qur'an: Manusia Sebagai Makhluk Biologis

Al-Quran adalah risalah langit yang diturunkan ke bumi sebagai hudan linnas, pedoman hidup bagi manusia. Karena itu, Al-Quran tidak luput untuk membicarakan eksistensi makhluk ahsan taqwim yang satu ini. Ada beberapa istilah yang digunakan Al-Quran untuk menyebut manusia. Selain ins, insan, naas, anam dan bani adam, juga ditemukan istilah al-basyar dalam Al-Qur’an.

Penyebutan manusia dengan bermacam-macam istilah ini tentu bukan tanpa maksud. Sepintas semua istilah tersebut menunjuk pada arti tunggal yakni ‘manusia’. Tetapi, kalau didalami lebih jauh, masing-masing istilah ini ternyata memiliki perbedaan unsur dan dimensi yang dicakupnya. Tulisan ini akan mencoba mengulik makna terminologi al-basyar sebagai salah satu istilah yang digunakan oleh Al-Quran untuk menunjuk manusia.

Baca juga: Tafsir Surah Al-Maidah Ayat 35: Menikah dapat Menjadi Wasilah Menuju Keberkahan Allah

Inventarisir Kata Al-Basyar

Abdul Baqi dalam kitabnya al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fadz al-Qur’an al-Karim dan al-Muqaddisi dalam kitabnya Fathur Rahman li Thalibi Ayati Al-Qur’an mencatat penyebutan kata al-Basyar (dengan berbagai bentuk derivasinya) dalam Al-Quran terulang sebanyak 37 kali yang tersebar di berbagai surah. Beberapa di antaranya adalah QS. Ali Imran [3]: 21, 39, 45, 47 & 79, QS. Al-Shaffat [37]: 101 & 112, QS. Hud [11]: 71, QS. Al-Zariyat [51]: 28, QS. Maryam [19]: 97.

Lalu dalam QS. Al-Isra’ [17]: 9, QS. Al-Kahfi [18]: 2, QS. Al-Syu’ara [26]: 23, QS. Al-Taubah [9]: 3, 21, 34 & 112, QS. Al-Baqarah [2]: 25, 155 & 223, QS. Al-Nisa’ [4]: 138, QS. Yunus [10]: 2 & 87, QS. Al-Hajj [22]: 34 & 37, QS. Al-Ahzab [33]: 47, QS. Al-Zumar [39]: 17, QS. Al-Shaff [61]: 13, QS. Lukman [31]: 7, QS. Yasin [36]: 11, QS. Al-Jasiyah [45]: 8, QS. Al-Insyiqaq [84]: 34, QS. Al-Nahl [16]: 58 & 59, QS. Al-Zukhruf [43]: 17, dan QS. Al-Anbiya’ [21]: 3 & 34.

Al-Basyar: Manusia Sebagai Makhluk Biologis

Ibnu Faris dalam kitabnya Mu’jam al-Maqayis fi al-Lughah mengatakan bahwa kata al-basyar memiliki arti ظهور الشيئ مع حسن وجمال (penampakan sesuatu dengan baik dan indah). Menurut Qusaish Shihab, kata ini digunakan untuk menunjuk kepada manusia mengingat bahwa manusia dapat terlihat dengan jelas dan nyata (Shihab, Wawasan al-Qur’an, Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat).

Dari akar kata yang sama, lahir kata basyarah yang berarti kulit kepala, wajah, dan tubuh yang menjadi tempat tumbuhnya rambut. Dari sini menunjukkan bahwa kata ini digunakan untuk merujuk pada aspek lahir atau fisik manusia. Kata basyar juga diartikan mulasamah (persentuhan kulit antara perempuan dan laki-laki) (Kementerian Agama RI, Tafsir Al-Qur’an Tematik).

Pemakaian kata al-basyar dalam Al-Quran seluruhnya memberi pengertian bahwa yang dimaksud dengan kata tersebut adalah anak Adam yang biasa makan, minum dan berinteraksi satu sama lain atas dasar persamaan. Dengan demikian, kata basyar selalu mengacu kepada manusia dari aspek biologis seperti mempunyai bentuk tubuh, makan dan minum, kebutuhan seks, mengalami penuaan dan mati (Al-Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islam: Membangun Kerangka Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Praktik Pendidikan)

Kata al-basyar juga ditunjukkan kepada seluruh manusia tanpa terkecuali. Hal ini megisyaratkan bahwa nabi dan rasul pun memiliki dimensi basyariyah atau kemanusiaan. Di sisi lain, tidak sedikit dari ayat Al-Quran menggunakan kata basyar yang mengisyaratkan proses kejadian manusia melalui tahap-tahap sehingga mencapai fase kedewasaan (Shihab, Wawasan al-Qur’an, Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat). Manusia dalam pengertian al-basyar tergantung sepenuhnya pada alam, pertumbuhan dan perkembangan fisiknya tergantung pada apa yang dimakan.

Baca juga: 4 Fungsi Pakaian menurut Al-Quran dalam tinjauan Maqhasid Al-Syariah

Walhasil, penggunaan kata al-basyar digunakan oleh Al-Quran untuk menunjuk pada dimensi alamiah manusia yang menjadi ciri pokok manusia pada umurnya seperti makan, minum, tidur, sakit, mati dan sebagainya. Sebagai al-basyar manusia hanyalah kumpulan dari organ-organ tubuh yang memiliki fungsi biologis-fisiologis semata dan memiliki kaitan dengan tindakan-tindakan yang memerlukan topangan organ-organ fisik.

Wallahu a’lam []

Tafsir Surah Al-Maidah Ayat 35: Menikah dapat Menjadi Wasilah Menuju Keberkahan Allah

0
Menikah dapat Menjadi Wasilah Menuju Keberkahan Allah
Menikah dapat Menjadi Wasilah Menuju Keberkahan Allah

Tujuan menikah disyariatkan antara lain untuk mendapatkan ketentraman, dan juga mencakup kebahagiaan (sakinah), yang dilandasi dengan mawaddah dan rahmah. Sudah tentu, ketentraman yang diperoleh tidak hanya di dunia melainkan sampai kelak di akhirat, karena syariat Islam menekankan keduanya. Karena kebahagiaan dan ketentraman yang diperjuangkan mencakup pada kehidupan akhirat, maka kebahagiaan itu bisa memperoleh keridaan sang Pencipta. Jika dalam bahasa Al-Quran, pasangan pernikahan itu mampu menjadi wasilah menuju keberkahan Allah, media ataupun jalan yang bisa mengantarkan kepada kehadirat Allah Swt. Dengan cara mensuport untuk senantiasa melakukan kebaikan.

Baca juga: Tafsir Surah Al-Maidah Ayat 35: Menikah Sebagai Wasilah Menuju Keberkahan Allah

Arti Wasilah dalam Al-Quran

Allah swt dalam surah Al-Maidah ayat 35 berfirman;

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (35)

“wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah menuju-Nya dan berjihadlah di jalan Allah, barangkali kalian beruntung” [QS. Al-Maidah:35]

Dalam ayat di atas Allah Swt. memerintahkan kepada orang-orang mukmin untuk bertakwa serta mencari wasilah yang menjadi tangga untuk sampai kepada Allah swt. Yang menjadi pertanyaan, “siapa dan apa yang dimaksud dengan wasilah dalam ayat itu?

Allah juga menyebutkan kata wasilah yaitu pada surah Al-Isra ayat 57;

أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ…

Imam Mahalli dan Imam Suyuti dalam tafsir Jalalain [142] mengatakan bahwa yang dimaksud dengan wasilah adalah sesuatu yang dapat mendekatkan diri kepada Tuhan sang Pencipta berupa perbuatan taat, baik bersifat wajib maupun sunah.

Sementara itu, Syeh Al-Shawi sebagai interpetator kitab tafsir Jalalain mengatakan dalam kitabnya Hasyiah Al-Shawi [197], bahwa yang dimaksud dengan wasilah itu adalah segala sesuatu yang bisa mendekatkan diri kepada tuhan secara mutlak. Oleh karena itu, bisa mencakup mencintai para Nabi, kekasih Allah, sedekah, ziarah kepada orang-orang saleh, banyak doa, sillaturahim dan lain sebagainya. Pandangan Syeh Al-Shawi ini pada dasarnya berangkat dari definisi wasilah itu sendiri, yaitu sesuatu yang mendekatkan diri, sebagaimana juga ditegaskan oleh Wahbah Al-Zuhayli dalam kitab Tafsir Al-Munir [170/6].

Baca juga: Urgensi Mengetahui Ilmu Nasakh untuk Memahami Al-Quran

Pasangan Sebagai Wasilatul Wasilah

Pada dasarnya, pasangan juga bisa menjadi wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Meskipun di dalam ayat itu tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa pasangan menjadi wasilah, namun lafal wasilah di atas bersifat umum/’AM. Karena lafal wasilah tersebut kemasukan AL (alif dan Lam). Karena termasuk lafal umum maka mencakup seluruh refren-refrennya.

Oleh sebab itu, tidak heran jika Syeh Al-Shawi memperluas dari lafal wasilah tersebut. Hal ini, selaras dengan pendapat yang mengatakan bahwa ayat tersebut merupakan dalil bahwa seseorang harus memiliki guru dan mursid yang dapat menunjukkan jalan kepada Tuhan. Sebagaimana dikutip oleh Imam Al-Razi dalam kitab Mafatihul Al-Ghaib [349/11]. Jika seorang mursyid memiliki fungsi untuk memberikan arah atau jalan menuju tuhan maka pasangan sesungguhnya bisa menjadi penggerak untuk melakukan perbuatan yang baik, baik yang berisfat sosial maupun ritual.

Kita bisa melihat fakta, dengan pasangan seseorang bisa terhindar dari dosa semisal zina. Karena pasangan seseorang bisa bersedekah dengan nafkah yang diberikan kepada keluarganya. Karena pasangan pula seseorang menjalin silaturahim. Tidak hanya itu, terkadang pasutri menjadi pengingat satu sama lain untuk menjalani ibadah ritual semisal sholat malam dan lain sebagainya. Dengan demikian, maka pasangan menjadi wasilah untuk menuju kerelaan Tuhan. Wallahu A’lam[].

Mengenal Asy-Syarbini dan Kitab Tafsir Sirajul Munir

0
Kitab Tafsir Sirajul Munir
Kitab Tafsir Sirajul Munir

A-Imam Al-‘Allamah Syamsuddin, Muhammad bin Muhammad Asy-Syarbini, Al-Qahiri Al-Syafi’i Al-Khatib adalah seorang ulama pengarang kitab Tafsir Sirajul Munir. Beliau seorang ahli fikih madzhab Syafi’i dan mufassir yang berpengetahuan luas tentang tata bahasa Arab. Beliau menimba ilmu dari banyak guru, di antaranya adalah Syekh Ahmad al-Burullusi, al-Nur al-Mahali, al-Badr al-Masyhadi dan al-Syihab al-Ramli (Muhammad Husain adz-Dzahabi: Tafsir wal Mufassirun, jilid 1 hal 241).

Beliau lahir di Kairo pada tahun 1509 M/916 H dan wafat pada tahun 1570 M/977 H. Muhammad Khatib asy-Syarbini mengawali pendidikan dasarnya dengan belajar Al-Qur’an, nahwu dan shorof, fiqih, tauhid, akhlak, serta tarikh Islam. Dalam kehidupan sehari-harinya, beliau masyhur sebagai orang yang wara’, zuhud dan banyak beribadah. Dalam kitab Tafsir wal Mufassirun karangan Muhammad Husein Adz-Dzahabi dijelaskan bahwasanya salah satu kebiasaan beliau ialah melakukan iktikaf di dalam masjid selama bulan ramadhan. Apabila menunaikan ibadah haji, beliau lebih banyak berjalan kaki daripada mengendarai binatang kendaraannya dan baru menaikinya setelah sangat letih berjalan.

Beliau mencurahkan pengetahuannya melalui buku. Sehingga beliau memiliki banyak karya, di antara karyanya yaitu Al-Iqna’ fi Hall Alfaz Abi Syuja’, Syarh at-Tanbih sebagai syarah atas karya Ibrahim bin Ali Yusuf bin Abdullah Abu Ishaq Asy-Syirazi, Al-Mugni al-Muhtaj ila Ma’rifah al-Ma’ani Alfaz al-Minhaj, As-Siraj al-Munir, Fath al-Khaliq fi Hall Alfaz Kitab Alfiyah Ibn Malik, Syu’ab al-Iman Syarh Minhaj ad-Din. Dari beberapa karya Asy-Syarbini di atas, dapat kita lihat bahwa asy-Syarbini lebih banyak memberi syarah atas karya-karya sebelumnya sebagai upaya untuk mencurahkan pemikirannya.

Baca juga: 4 Fungsi Pakaian menurut Al-Quran dalam tinjauan Maqhasid Al-Syariah

Tafsir Siraj Al-Munir Fi al-I’anah ‘Ala Ma’rifah Ba’dh Ma’ani Kalam Rabbina al-Hakim al-Khabir

Kitab tafsir ini terdiri atas 4 jilid dengan perincian jilid 1 memuat surah al-Fatihah sampai At-Taubah yang berjumlan 660 halaman, jilid 2 memuat surah Yunus sampai al-Furqon dengan jumlah 679 halaman, jilid 3 memuat surah asy-Syu’ara sampai al-Jatsiyah dengan jumlah 604 halaman dan jilid 4 memuat surah al-Ahqaf sampai an-Naas dengan jumlah 621 halaman (Asy-Syarbini: Sirojul Munir Fi al-I’anah ‘Ala Ma’rifah Ba’dh Ma’ani Kalam Rabbina al-Hakim al-Khabir).

Tafsir bermetode tahlili ini ditulis dengan diawali muqodimah pada jilid 1 lalu dilanjutkan dengan menafsirkan surah al-Fatihah. Sistematika penafsiran kitab ini adalah dengan pemenggalan perkata yang diikuti dengan tafsirnya. Begitu seterusnya hingga penafsiran surah An-Naas. Dalam menafsirkan Al-Qur’an, beliau juga menjelaskan dari aspek bahasanya serta menukil pendapat para ulama. Contohnya seperti penafsiran beliau terhadap surah al-Fath ayat 29.

مُحَمَّدُ رَّسُوْلُ اللهِ وَالَّذِيْنَ مَعَهُ اَشِدَّآءُ عَلَى الكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَهُمْ رُكَّعًاسُجَّدًا يَبْتَغًوْنَ فَضْلآً مِّنَ اللهِ وَرِضْوَانًا سِيْمَاهُمْ فِيْ وُجُوْهِهِمْ مِّنْ اَثَرِ السُّجُوْد…

Artinya : “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tanda-tanda mereka nampak pada muka mereka dari bekas sujud “

Berikut terjemah dari kutipan tafsir beliau mengenai سِيْمَاهُمْ فِيْ وُجُوْهِهِمْ مِّنْ اَثَرِ السُّجُوْد. (سِيْمَاهُمْ) tanda yang tidak terpisahkan dari mereka (فِيْ وُجُوْهِهِمْ) kemudian Allah Ta’ala menjelaskan tanda tersebut dengan firman-Nya (مِّنْ اَثَرِ السُّجُوْد) yaitu cahaya putih di wajah mereka pada hari kiamat, seperti yang telah dijelaskan dalam firman-Nya “Yauma Tabyaddu wujuhun wa taswaddu wujuhun”.

Diriwayatkan dari Athiyah Al-Awfi dari Ibnu Abbas dari Anas Hal tersebut merupakan penerang wajah mereka dari banyaknya sholat mereka. Syahr bin Hawsyab berkata tempat-tempat sujud di wajah mereka seperti bulan di malam bulan purnama. Mujahid berpendapat bahwasanya hal tersebut merupakan sebuah tanda yang indah, ketawadhuan dan kekhusyuan, artinya bahwa sebenarnya sujud mewariskan pada mereka kekhusyuan dan tanda yang indah yang mana mereka dapat dikenal karenanya. Adh-Dhahak berpendapat bahwa hal tersebut adalah kekuning-kuningan pada wajah.

Baca juga: Mendudukkan Ayat Jihad dan Kebebasan Beragama dalam al-Quran (1)

Al-Hasan berkata bahwa apabila kamu melihat mereka, kamu akan mengira mereka sakit, padahal tidak. Ikrimah berpendapat bahwasanya itu adalah efek bekas debu yang ada pada dahi. Abu Al-‘Aliyah berpendapat bahwasanya hal tersebut terjadi dikarenakan mereka bersujud di atas tanah, bukan di atas pakaian. Al-Athaa berpendapat bahwa wajah mereka dicerahkan dengan lamanya shalat mereka karena siapapun yang memperbanyak sholatnya di malam hari, maka Allah akan memperindah wajahnya di siang hari. Sebagian ulama memasukkan setiap orang yang menjaga sholat lima waktu kedalam ayat ini.

Al-Biqa’i berkata “Jangan menyangka sesungguhnya dari tanda-tanda yang dilakukan sebagian orang-orang yang riya’(murooin) itu termasuk tanda bekas saat sujud di dahi, karena sesungguhnya hal itu merupakan bagian dari tanda-tanda khowarij”. Didalam kitab Nihayah karangan Ibnu Al-Atsir dalam tafsir orang-orang tsiqah dan termasuk didalamnya hadis Abi Darda’ bahwa ia melihat seorang laki-laki yang di antara kedua matanya terdapat garis unta. Maka dia berkata kalau di dalam ini tidak ada kebaikan, yaitu pada bekas sujud di dahinya tetapi dia tidak menyukainya karena takut riya’ atasnya.

Diriwayatkan dari Anas dari Nabi Saw bahwa Nabi berkata”Sesungguhnya aku membenci laki-laki dan aku tidak menyukainya apabila aku melihat di antara kedua matanya ada bekas sujud”. Menurut sebagian ulama mutaqaddimin: kami biasa melakukan shalat dan tidak terlihat sesuatu di antara kedua mata kami. Dan kami melihat salah satu dari kami sekarang sedang shalat dan melihat lutut unta di antara kedua matanya, maka kami tidak tahu seberapa berat kepalanya ataukah tanahnya yang kasar. Sebagian orang menginginkan hal-hal tersebut hanya bermaksud untuk kemunafikan (Asy-Syarbini: Sirojul Munir Fi al-I’anah ‘Ala Ma’rifah Ba’dh Ma’ani Kalam Rabbina al-Hakim al-Khabir, jilid 4, hal. 57).

Baca juga: R.A Kartini Sosok Penggerak Lahirnya Kitab Tafsir Faid ar-Rahman Karya Kyai Soleh Darat

Dalam contoh kutipan dari penafsirannya tersebut, terlihat bahwasanya Asy-Syarbini banyak sekali menukil pendapat ulama serta mencantumkan hadis yang terkait dengannya. Asy-Syarbini pun menafsirkan keseluruhan ayat ini dengan cukup panjang. Dalam versi lengkap mengenai penafsiran QS. Al-Fath ayat 29 tersebut, As-Syarbini juga mencantumkan syair serta penjelasannya dari segi bahasa. Hal tersebut dilatar belakangi oleh keluasan ilmu dan keahlian bahasa dari penulisnya.

Mengenal Tafsir Al-Azhar, Tafsir Bahasa Indonesia Karya Ulama Minangkabau

0
Download Tafsir Al-Azhar, Tafsir Berbahasa Indonesia Karya Ulama Kelahiran Minangkabau
Tafsir Al-Azhar

Tafsir Al-Azhar merupakan salah satu tafsir Al-Quran yang ditulis dengan bahasa Indonesia, karena kebetulan penulisnya berkebangsaan Indonesia. Penulisnya adalah ulama sekaligus sastrawan Tanah Air bernama Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah, atau yang lebih dikenal dengan nama singkatnya, yaitu Buya Hamka.

Buya Hamka lahir di Desa Molek, Maninjau, Sumatera Barat pada 16 Februari 1908 dan wafat di Jakarta pada tanggal 24 Juli 1981 di umur 73 tahun. Beliau merupakan ketua MUI yang pertama menjabat. Sepanjang hidupnya, ia aktif di partai Masyumi dan ormas Muhammadiyah. Ketokohannya diakui dunia setelah dianugerahi gelar doktor kehormatan (H.C.) oleh Universitas Al-Azhar dan Universitas Kebangsaan Malaysia.

Tafsir Al-Quran tidak semuanya dan memang tidak harus berbahasa Arab, meski Al-Quran berbahasa Arab. Memang untuk menafsirkan Al-Qur’an secara langsung, atau menjadi mufassir harus memiliki kemampuan pemahaman bahasa Arab yang mumpuni. Kriteria ini misalnya dapat kita lihat dalam al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an karya al-Suyuti, tapi mufassir tidak diharuskan untuk menjelaskan penafsirannya dalam bahasa Arab.

Oleh karena itu, untuk bisa memahami Al-Quran tidak perlu sampai menunggu bisa memahami bahasa Arab. Bisa dengan membaca kitab tafsir yang ditulis para ulama dengan menggunakan bahasa lokal. Tentu dengan tetap selektif memilih tafsir-tafsir yang otoritatif dan kredibel. Tafsir yang dikarang oleh Buya Hamka ini adalah salah satunya.

Ini juga yang menjadi salah satu masalah yang disadari Buya Hamka sendiri sekaligus yang memicu beliau untuk menulis Tafsir Al-Azhar ini dengan bahasa Indonesia. Dalam pengantarnya, beliau mengatakan:

“… Tetapi, sebagai kita katakan tadi ada soal lain yang mendesak, sehingga pekerjaan ini wajib diteruskan. Yaitu sangat bangkitnya minat angkatan muda Islam di tanah air Indonesia dan di daerah-daerah yang berbahasa Melayu hendak mengetahui isi al-Quran di zaman sekarang, padahal mereka tidak mempunyai kemampuan mempelajari bahasa Arab. Beribu bahkan berjuta sekarang angkatan muda Islam mencurahkan minat kepada agamanya, karena menghadapi rangsangan dan tantangan dari luar dan dari dalam. Semangat mereka terhadap agama telah tumbuh, tetapi “rumah telah kelihatan, jalan ke sana tidak tahu”, untuk mereka inilah khusus yang pertama “Tafsir” ini saya susun.”

Baca juga: Kenali Syarat Menjadi Mufassir

Tafsir Al-Azhar bisa menjadi alternatif bagi masyarakat awam atau pemula yang ingin memahami Al-Quran, namun terkendala kemampuan bahasa Arab. Selain itu, tafsir ini pembahasannya cukup akrab dengan dengan pembaca dari tanah air. Buya Hamka sering menghubungkan penafsirannya dengan kultur, budaya, dan momen sejarah yang terjadi di Indonesia.

Misalnya ketika beliau menjelaskan bahwa kebudayaan Islam adalah kebudayaan takwa dengan merujuk pada kesimpulan dari Konferensi Kebudayaan Islam pada tahun 1962 di Jakarta (hal. 115).

Begitu pula ketika beliau menjelaskan keragaman penyebutan Allah atau Tuhan di Nusantara. Suku Jawa misalnya menyebut-Nya Gusti Allah. Orang Sunda dengan sebutan Pangeran. Orang Bugis dengan gelar Poang. Dan orang Hindu-Bali menyebut Tuhannya dengan Sang Hyang Widhi. Buya Hamka menerangkan bahwa penyebutan Tuhan bisa saja berbeda-beda di tiap daerah atau bahasa, namun Dia tetap Zat Yang Maha Esa, tak berbilang (hal. 69).

Tafsir Al-Azhar ini konon berasal dari materi pengajian tafsir yang disampaikan Buya Hamka secara rutin di Masjid Agung Al-Azhar di Kemayoran, Jakarta. Ketika beliau berselisih dengan pemerintah dan dipenjarakan, beliau mendapatkan ilham untuk menuliskan materi pengajian tersebut di balik jeruji besi. Hingga kemudian beliau berhasil menyelesaikan penulisan Tafsir Al-Azhar selama dua tahun berada di penjara.

Baca juga: Uraian Singkat Beberapa Mufasir Indonesia Modern dari A. Hassan hingga Quraish Shihab

Hermeneutika Friedrich Schleiermacher dan Relevansinya dengan Tafsir Al-Qur’an

0
Hermeneutika Friedrich Schleiermacher dan Relevansinya dengan Tafsir Al-Qur’an
Friedrich Schleiermacher

Banyak pemikiran hermeneutika yang digagas para sarjana Barat yang diadopsi sarjana muslim masa kini dalam mengembangkan kajian keislaman. Meski tidak jarang hal ini mendapatkan pertentangan dari sebagian kalangan. Salah satunya pemikiran hermenutika Friedrich Schleiermacher yang dinilai memiliki relevansi dengan kajian tafsir Al-Qur’an.

Profil singkat Friedrich Schleiermacher

Friedrich Schleiermacher merupakan keturunan Kristen Protestan. Ia dilahirkan di Jerman pada 21 November 1768 dan meninggal pada 6 Februari 1834. (Zakirman, 2020: 53). Pendidikannya dimulai di institusi Morovian Brethren, kemudian pindah ke University of Halle pada tahun 1787. Friedrich lulus ujian bidang teologi Kristen pada tahun 1790, kemudian bertugas sebagai pengajar hingga tahun 1793. Beberapa tahun kemudian, Schleiermacher sibuk mempelajari dan mengkritisi teori pemikiran tokoh-tokoh besar, seperti Immanuel Khan dan Spinoza. Dari kritikan tersebut, ia kemudian melahirkan karya-karyanya seperti On what Gives Values to Life dan On freedom.

Ketika belajar di Berlin, ia bertemu dengan pemikir yang beraliran romantisis (obyektivis), seperti August Wilhelm. Bersama pemikir tersebut, dia terlibat dalam gerakan romantisis dan dapat menerbitkan jurnal Athanaeum pada tahun 1798 sampai 1800. Aliran obyektif inilah yang kemudian mempengaruhi pemikiran-pemikiran hermeneutiknya. (Syamsudin, 2017: 60).

Pemikiran Friedrich Schleiermacher

Pemikiran hermeneutika Schleiermacher banyak dipengaruhi oleh pemikiran Plato dan Friedrich Von Schlegel, selain itu juga dipengaruhi ahli filologi Friedrich Ast dan Friedrich August Wolf. (Poespoprodjo, 2014: 18). Pemikiran maupun teori yang digagas oleh Friedrich ialah teori hermeneutika. Friedrich Schleiermacher memposisikan hermeneutika secara lebih luas tidak terbatas pada teks-teks suci tertentu. ia memposisikan hermeneutika sebagai problem of human understanding. problem pemahaman manusia. Tujuannya ialah menempatkan hermeneutika dalam konteks theories of knowledge atau teori-teori ilmu pengetahuan.

Friedrich Schleiermacher mendefinisikan hermeneutika dengan ‘seni memahami’ yang terbagi dalam tiga tingkatan, yaitu pemahaman mekanik dalam hal kehidupan keseharian, pemahaman yang didasarkan atas pengalaman, dan pemahaman arsitik terhadap ungkapan dan tulisan yang sulit dipahami.

Teori untuk menghindari kesalahpahaman bagi penafsir

Hermeneutika yang dibangun olehnya ialah hermeneutika gramatikal dan psikologis. Hermeneutika gramatikal mempelajari tentang bahasa dan sejarah (aliran obyektif). Sedangkan hermeneutika psikologis mempelajari bahasa sebagai ungkapan hidup seseorang (aliran subyektif). Oleh karena itu, munculah teori Friedrich bahwa untuk menghindari kesalahpahaman, seorang penafsir harus melakukan kajian dan analisis, di antaranya:

  • Objectively historical analysis (analisis historis yang bernuansa obyektif)
  • Objectively divinatory analysis (analisis divinatory yang bernuansa obyektif)
  • Subjectively historicl analysis (analisis historis subyektif)
  • Subjectively divinatory analysis (analisis divinatory subyektif)

Baca juga: Inilah Tiga Model Pendekatan Hermeneutika dalam Menafsirkan Al-Quran

Relevansi pemikiran Friedrich Schleiermacher dalam kajian Al-Qur’an

Pemikiran Friedrich Schleiermacher termasuk dalam aliran obyektivis. Aliran obyektivis merupakan aliran yang lebih menekankan terhadap pencarian makna asalnya suatu teks. Dalam hal ini, maka penafsiran adalah upaya membangun kembali apa yang dimaksudkan oleh pencipta teks aslinya (Syamsudin, 2017:72)

Hermeneutika gramatikal dengan teorinya Friedrich Schleiermacher sangat relevan jika dikaitkan dengan Al-Qur’an. Beberapa relevansinya, di antaranya dapat dilihat sebagai berikut:

Pertama, seorang mufasir harus mengerti bahasa yang digunakan oleh author atau audiens historisnya. Ini artinya, mufasir Al-Qur’an harus memahami dengan baik bahasa Arab yang mana merupakan bahasa Al-Qur’an.

Pemahaman yang dikuasai harus mencakup makna kosakatanya, maupun struktur bahasanya ketika ayat Al-Qur’an diturunkan. Karena struktur bahasa yang ada dalam Al-Qur’an menyimpan banyak kandungan makna, tidak terbatas hanya pada tekstualnya. Sebagai contoh, prinsip pertama Schleiermacher dalam kajian Al-Qur’an ialah adanya diakroni (makna yang mengalami perubahan) dan sinkroni (aspek bahasa yang selalu tetap). Ketika membaca ayat berikut misalnya.

وَجَاءَتْ سَيَّارَةٌ فَأَرْسَلُوا وَارِدَهُمْ فَأَدْلَىٰ دَلْوَهُ ۖ قَالَ يَا بُشْرَىٰ هَٰذَا غُلَامٌ ۚ وَأَسَرُّوهُ بِضَاعَةً ۚ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِمَا يَعْمَلُونَ

“Kemudian datanglah kelompok orang-orang musafir, lalu mereka menyuruh seorang pengambil air, Maka Dia menurunkan timbanya,…..” (QS. Yusuf [12]: 19).

Pada saat ini, yakni era kontemporer, lafadz sayyarah dimaknai dengan mobil. Padahal lafadz sayyarah pada saat Nabi Muhammad menerima wahyu tersebut maknanya ialah orang yang berjalan kaki atau musafir. Oleh sebab pergeseran makna itu, maka seorang penafsir harus betul-betul memahami arti dari suatu lafadz yang dikehendaki oleh penciptanya. Disamping itu, kedekatan waktu dan kesamaan bahasa adalah jaminan dari otentisitas.

Kedua, seorang mufasir harus melakukan analisis sintagmatis. Jika dikaitkan dengan penafsiran Al-Qur’an, maka dapat dipahami ketika mufasir akan menafsirkan satu kalimat dalam ayat Al-Qur’an, ia juga harus melihat kalimat-kalimat yang berada di sekelilingnya, baik yang ada sebelumnya maupun setelahnya. Jadi, mufasir juga harus memperhatikan konteks kalimat dan ayat atau yang biasa disebut dengan siyaqul kalam.

Penerapan ini bisa disebut juga dengan polisemi. Polisemi menurut ahli lingusitik ialah satu kata yang memiliki lebih dari satu makna (Arifin, 2018: 441). Prinsip kedua Schleiermacher ini jika dalam Al-Qur’an relevan dengan lafadz musytarak. Sebagai contoh, perhatikan dua ayat berikut.

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

“Peliharalah semua salat(mu), dan (peliharalah) salat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” (QS. Al-Baqarah [2]: 238).

وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُم بِبَعْضٍ لَّهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللَّهِ كَثِيرًا ۗ وَلَيَنصُرَنَّ اللَّهُ مَن يَنصُرُهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ

Sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa (QS. Al-Hajj [22]: 40).

Lafadz الصلوات dalam QS. Al-Baqarah ayat 238 bermakna salat sebagai ritual ibadah seorang Muslim. Ini berbeda dengan makna صلوات dalam QS. Al-Hajj ayat 40 yang bermakna rumah ibadah orang Yahudi (Zakirman, 2020: 65).

Baca juga: Tafsir Al-Qur’an Bersifat Multivokal, Ini Tiga Alasannya

Ketiga, seorang mufasir harus memperhatikan hubungan antara bagian-bagian dan keseluruhan. Dalam Al-Qur’an, teknik inipun juga sangat banyak dilakukan oleh mufasir Al-Qur’an sendiri. Suatu kalimat dapat dipahami melalui keseluruhan ayat, serta sebaliknya suatu ayat juga dapat dipahami jika dilihat dari bagian setiap lafadz yang menyusunnya (Bary, 2020: 67). Hemat penulis, prinsip ketiga Schleiermacher dapat dicontohkan pada ulumul quran yakni munasabah ayat bil ayat, munasabah surah bil surah,

Sedangkan hermeneutika psikologis Friedrich sebenarnya tidak bisa serta merta direlevasikan dengan Al-Qur’an. Sebab, seorang penafsir tidak mungkin meneliti atau mengkaji bagaimana kondisi psikologis pengarang teks, yang mana pengarang Al-Qur’an ialah Allah Swt. Namun, ketidakbisaan mengadopsi tersebut, masih bisa direlevansikan dengan psikologis dalam artian latar belakang atau konteks historis turunya  suatu ayat.

Konteks historis inilah yang biasa disebut dalam ulumul quran sebagai asbabun nuzul (Syamsudin, 2017). Asbabun nuzul yakni peristiwa yang terjadi pada masa turunnya ayat, di mana kandungan ayat tersebut berkaitan dengan peristiwa itu. (Shihab, 2013: 235).

Penutup

Dari pemaparan di atas, dapat ditarik benang merah bahwa prinsip hermeneutika Schleiermacher tidak bertentangan dengan kajian Al-Qur’an. Di lain sisi, prinsip Schleiermacher juga tidak mereduksi makna teks Al-Qur’an serta tidak dapat menghilangkan nilai suci kesakralan Al-Qur’an. Menurutnya juga, Sebuah teks harus disesuaikan dengan maksud dan pemahaman author. Dengan demikian, konsep heremeneutika Schleiermacher, baik gramatikal maupun psikologis memiliki relevansi dalam perkembangan kajian tafsir Al-Qur’an.

Baca juga: Hermeneutika Kritis Jurgen Habermas dan Posisinya dalam Studi Al-Quran

Perbedaan Pendapat Ulama Tentang Jumlah dan Pembagian Makhraj Huruf

0
Perbedaan Pendapat Para Ulama Tentang Jumlah dan Pembagian Makhraj Huruf
Jumlah dan Pembagian Makhraj Huruf

Allah menurunkan Al-Qur’an sebagai “bacaan yang mulia” yang dengannya manusia dapat membedakan antara yang haq dan yang batil, antara yang halal dan yang haram. Selain itu, Al-Qur’an juga memberikan peringatan bagi para pembacanya agar tidak asal dalam membacanya. Hal ini sebagaimana yang Allah tegaskan dalam firmannya surah Al-Muzammil [73] ayat 4:

وَرَتِّلِ الْقُرْءَانَ تَرْتِيْلاً

“Bacalah al-Qur’an dengan tartil”

Bacaan tartil ditafsirkan oleh Ali bin Abi Talib dengan ungkapan “Tajwid al-huruf wa ma’rifat al-wuquf.” Artinya, “Membaguskan huruf dan mengetahui waqaf (berhenti ketika membaca)”. Dalam perkembangan selanjutnya, seni baca Al-Qur’an ini dikenal dengan istilah ilmu tajwid (Metode Maisura, hal. 5).

Di antara hal-hal yang harus dipelajari ketika belajar ilmu tajwid adalah mengetahui makharij al-huruf. Athiyyah Qabil Nasr dalam kitabnya menuturkan bahwa kata makharij adalah bentuk plural dari makhraj yang secara etimologi adalah tempat keluarnya huruf. Sedangkan secara terminologi, makhraj bisa diartikan sebagai tempat lahirnya sebuah huruf sehingga bisa dibedakan antara satu huruf dengan huruf yang lain (Ghayat al-Murid, hal. 124).

Perbedaan pendapat ulama tentang jumlah makhraj huruf

Abdul Fattah al-Marshafi dalam kitabnya menyebutkan bahwa para ulama ahli qira’at dan bahasa berbeda pendapat dalam jumlah makharijul huruf dalam Al-Qur’an. Perbedaan dalam jumlah makhraj itu terbagi dalam tiga mazhab (Hidayat al-Qari’, hal 65).

Pertama, mazhab Sibawaih dan orang yang sependapat dengannya, seperti Imam Jalalain fi al-Qiraat (Asy-Syatibi dan Ibnu Barri). Menurut mereka, ada 16 tempat keluar huruf (makhraj). Mereka membuang makhraj jauf (rongga mulut) yang menjadi makhrajnya huruf mad (alif, waw, dan ya’).

Sebagai gantinya, mereka meletakkan huruf-huruf tersebut pada tiga makhraj, yakni alif pada aqsa al-halqi (pangkal tenggorokan) bersama hamzah, ya’ sebagai huruf mad pada wastu al-lisan (lidah bagian tengah), beserta ya’ yang berharakat atau sukun setelah huruf yang berharakat fathah, dan waw huruf mad pada asy-syafatain (dua bibir) beserta waw yang berharakat atau sukun setelah huruf yang berharakat fathah.

Baca juga: Kategorisasi Makharij al-Huruf Menurut As-Syathibi

Kedua, mazhab al-Farra’, Al-Jurmi, Al-Quthrub, Ibnu Kaisan, dan yang sependapat dengan mereka. Mazhab ini berpendapat bahwa jumlah makharij al-huruf itu ada 14. Hal ini dikarenakan mereka membuang makhraj jauf (rongga mulut) sebagaimana pendapat pertama. Namun mereka juga menjadikan makhrajnya huruf lam, nun dan ra pada satu makhra,j yakni tarfu al-lisan (ujung lidah) dan yang sejajar dengannya.

Makharij al-huruf dari dua mazhab ini berlaku secara umum pada empat tempat, yaitu halq (tenggorokan), lisan (lidah), syafatain (dua bibir), dan khaisyum (rongga hidung). Makhraj al-halq (tenggorokan) terbagi menjadi tiga makhraj, lisan ada sepuluh menurut mazhab pertama dan delapan menurut mazhab kedua, syafatain (dua bibir) ada dua, sedangkan khaisyum (rongga hidung) ada satu.

Ketiga, mazhab Khalil bin Ahmad (guru dari Sibawaih) dan yang sependapat dengannya seperti Ibnu al-Jazari. Menurut mazhab ini, jumlah makhraj ada 17. Mereka menjadikan jauf sebagai makhraj sendiri dan memasukkan huruf mad kedalamnya tidak seperti dua mazhab sebelumnya. Selain itu, huruf lam, nun dan ra juga memiliki makhraj masing-masing.

Sementara itu, Mahmud Muhammad Abdul Mun’im menambahkan satu mazhab lagi, yakni yang beranggapan jumlah makhraj itu ada 29 sesuai dengan jumlah huruf hijaiyyah (masing-masing huruf memiliki makhraj khusus). Madzab ini berargumen bahwa kalau seandainya satu huruf itu sama makhrajnya dengan huruf yang lain, pasti huruf-huruf tersebut akan bercampur dan sulit dibedakan.

Namun, pendapat ini dianggap lemah dan tak berdasar oleh para ahli qira’at. Hal ini karena setiap huruf selain memiliki makhraj juga mempunyai sifat masing-masing, sehingga meskipun berada dalam satu makhraj pasti dapat dibedakan dengan adanya sifat dari huruf-huruf tersebut (Raudah an-Nadiyyah: Syarh Muqaddimah al-Jazariah, hal. 15).

Dari uraian di atas, mazhab ketigalah yang dipilih oleh jumhur (mayoritas) ulama. Ibnu al-Jazari sendiri mendukung pendapat ini sebagaimana yang ia sebutkan dalam kitabnya, Muqaddimah al-Jazariah:

مَخَارِجُ الْحُرُوْفِ سَبْعَةَ عَشَرَ # عَلَى الَّذِي يَخْتَاَرُهُ مَنِ اخْتَبَرَ

“Tempat-tempat keluar huruf hijaiyah itu berjumlah tujuh belas # berdasarkan pendapat yang terpilih dari para Ulama Ahli Qiraah”.

Adapun cara yang bisa kita lakukan untuk mengetahui makhraj dari suatu huruf yakni dengan melafalkan hamzah wasal atau huruf apapun yang berharakat, lalu menyebutkan huruf tersebut setelahnya, baik berharakat ataupun sukun. Tatkala suara yang dihasilkan itu telah berhenti/terputus maka di situlah makhraj huruf tersebut (Raudah an-Nadiyyah: Syarh Muqaddimah al-Jazariah, hal. 19).

Baca juga: Pengertian Makharijul Huruf dalam Ilmu Tajwid dan Pembagiannya Menurut Ulama

Urgensi Mengetahui Ilmu Nasakh untuk Memahami Al-Quran

0
Ilmu Nasakh
Ilmu Nasakh

Salah satu ilmu dalam kajian ulum al-Quran adalah ilmu nasakh. Jumhur ulama al-Quran, sebagaimana diungkap dalam al-Burhan fi ‘Ulum al-Quran, bersepakat bahwa mengetahui ilmu nasakh merupakan suatu keharusan bagi orang-orang yang hendak menafsirkan al-Quran.

Menurut Al-Zarqani dalam kitabnya Manahil al-‘Irfan, ada dua alasan yang dapat dikemukakan terkait urgensi mengetahui ilmu tentang nasakh. Pertama, dengan paham ilmu nasakh akan membuka tabir perjalanan mengenai syariat Islam dan menjadi penegasan bahwa al-Quran diturunkan semata-mata oleh Allah swt, bukan buatan nabi Muhammad saw.

Kedua, mengetahui tentang nasakh merupakan bagian dari rukun dalam memahami Islam, khususnya tatkala menemui beberapa dalil yang bertentangan. Dengan kata lain bahwa orang yang tidak mengetahui tentang nasakh kurang diakui atau diragukan kapasitas keilmuannya ketika berbicara tentang al-Quran dan tafsirnya.

Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat riwayat yang dikutip oleh al-Zuhri yaitu terdapat sebuah atsar dari ‘Ali k.w diriwayatkan oleh Ibn Habib al-Silmi bahwasanya pernah suatu ketika ada seorang laki-laki yang dilewati oleh ‘Ali sedang pidato dihadapan orang-orang. Kemudian ditanya oleh ‘Ali, “tahukah kamu mengenai ilmu nasikh dan mansukh?” laki-laki itu menjawab, “tidak.” Lalu ‘Ali berkata, “Celakalah kamu dan mencelakakan.”

Baca Juga: Mengenal Qiyas Sebagai Sumber Hukum Islam Perspektif Al Quran

Artikel ini akan menguraikan tentang ilmu nasakh secara ringkas yang disarikan dari berbagai referensi seperti: Al-Burhan fi ‘Ulum al-Quran karya al-Zarkasyi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Quran karya al-Suyuthi dan al-Nasikh wa al-Mansukh karya al-Qasim bin Salam.

Definisi Nasakh

Nasakh dalam pengertian bahasa diambil dari wazan na-sa-kha yang berarti menyalin tulisan dari sebuah tulisan kata-perkata (iktitabuka kitaban ‘an kitabin harfan bi harfin) (Ibn Mandzur, Lisan al-Arab). Apabila dihimpun dari beberapa literatur kitab ‘ulum al-Quran, maka sedikitnya definisi nasakh menurut kebahasaan adalah sebagai berikut (al-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Quran):

  1. Berarti menghilangkan (al-izalah) sebagaimana contoh dalam Q.S al-Hajj: 52:

…فينسخ الله ما يلقي الشيطان ثم يحكم الله ءايته….

…Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayatnya…

  1. Bermakna memindahkan (al-tahwil) seperti contoh kalimat:

تناسخ المواريث اي تحويل الميراث من واحد الى واحد

  1. Memiliki arti kata menyalin (al-naqal) seperti dalam contoh:

نسخت الكتاب إذا نقلت ما فيه حاكيا للفظه و خطه

Dari hasil penelusuaran penulis, dalam al-Quran kata nasakh beserta derivasinya digunakan sebanyak empat kali yaitu pertama dalam Q.S al-Baqarah [02]: 106.

ما ننسخ من آية أو ننسها نأت بخير منها أو مثلها ألم تعلم أن الله على كل شيء قدير

Artinya: Ayat yang kami batalkan atau kami hilangkan dari ingatan, pasti Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu tahu bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.

Kedua dalam Q.S al-A’raf [07]: 154 yang berbunyi:

    و لما سكت عن موسى الغضب أخذا الألواح و في نسختها هدى و رحمة للذين هم لربهم يرهبون

Artinya: Dan setelah amarah Musa mereda, diambilnya (kembali) lauh-lauh (Taurat) itu, di dalam tulisannya terdapat petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang takut kepada Tuhannya.

Ketiga dalam Q.S al-Hajj [22]: 52 sebagaimana tertera di bagian arti kata secara bahasa yang bermakna menghilangkan. Terakhir yang keempat dalam Q.S al-Jatsiah [45]: 29 yaitu:

هذا كتابنا ينطق عليكم بالحق إنا كنا نستنسخ ما كنتم تعملون

Artinya: (Allah berfirman), “Inilah kitab Kami yang menuturkan kepadamu dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan.

Adapun nasakh dalam pengertian istilah ilmu al-Quran adalah mengganti hukum syari’at (al-hukm al-syar’i) dengan dalil hukum syariat (bi khitab al-syar’i) (Manna’ Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Quran). Dari pengertian tersebut dapat dijelaskan lagi bahwa nasakh mengecualikan penggantian hukum dengan selain khitab syar’i seperti qiyas dan ijma’. Kemudian masih dari pengertian istilah dapat diketahui bahwa nasakh hanya ada di seputar hukum, tidak dengan masalah akidah. Lebih spesifik al-Zarqani menilai bahwa nasakh dikhususkan untuk masalah hukum yang bersifat cabang (furu’ al-hukm) tidak dengan yang pokok (usul al-hukm).

Baca Juga: Kontekstualisasi Penggunaan Term Tijarah (Perniagaan) dalam Al-Qur’an

Masih dalam konteks definisi nasakh bahwa dari istilah nasakh yang berupa masdar, dapat diturunkan menjadi dua bagian. Pertama adalah nasikh yakni hukum yang mengganti. Kedua yaitu mansukh atau hukum yang diganti. Dikatakan oleh Manna’ Qattan bahwa nasikh atau yang mengganti hukum adalah hak prerogatif Allah swt, artinya hanya Allah yang berhak untuk mengganti hukum. Sedangkan untuk mansukh, ada tiga hal syarat yang harus dipenuhi. Pertama, hukumnya jelas-jelas merupakan hukum syari’at. Kedua, dalil hukum pengganti tertera dalam nash syar’i. Ketiga, redaksi kalimat yang diganti tidak memiliki spesifikasi waktu.  Untuk syarat yang ketiga, dapat diambil contoh dalam Q.S al-Baqarah [2]: 109:

فاعفوا واصفحوا حتى يأتي الله بأمره

Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa pada masa awal Nabi di Madinah, dari kalangan Yahudi terutama tokoh yang bernama Ka’ab al-Asyraf merasa iri dan menginginkan orang-orang Madinah yang telah masuk Islam untuk murtad. Allah memerintahkan Nabi agar memaafkan dan membiarkan mereka hingga waktu yang ditentukan.

Dari definisi, syarat dan ketentuan nasakh di atas, timbul pertanyaan, kemudian bagaimana cara yang paling mendasar untuk mengetahui nasikh dan mansukh? Ada tiga sumber utama untuk mengetahuinya. Pertama adalah riwayat Nabi yang jelas-jelas menerangkan tentang ayat nasakh. Kedua konsensus para sahabat bahwa ayat tertentu merupakan ayat nasakh. Ketiga dengan mengetahui waktu turunnya ayat (tartib nuzul).

Demikian penjelasan ringkat tentang urgensi, definisi, syarat, dan sedikit contoh terkait dengan ilmu nasakh. Para artikel selanjutnya akan dijelaskan terkait jenis-jenis nasakh beserta contohnya. Wallahu A’lam.

4 Fungsi Pakaian menurut Al-Quran dalam tinjauan Maqhasid Al-Syariah

0
Fungsi Pakaian
Fungsi Pakaian

Salah satu kebutuhan pokok manusia adalah sandang atau pakaian. pakaian menjadi sarana untuk mewujudkan kemaslahatan hidup seorang insan. Akan tetapi, seiring dengan perubahan sosial yang semakin modern, tidak jarang pakaian hanya menjadi ajang trendy dan melampaui batas-batas fungsi pakaian itu sendiri, sebagaimana ajaran Islam. Hal ini, tidak terlepas dengan budaya masyarakat yang konsumerisme dan menjadi korban dari sistem kapitalistik yang hanya mementingkan keuntungan.

Oleh karena itu, menjadi penting untuk menelaah fungsi pakaian menurut al-Quran dan tujuan syari’at pakaian di tengah masyarakat modern yang konsumtif. Setidaknya, M. Quraish Shihab menyebutkan empat fungsi dari pakaian. hal ini sebagaimana diisyarahkan dalam beberapa ayat al-Quran. Pertama, berfungsi menutup aurat. Kedua, sebagai pelindung tubuh. Ketiga, hiasan tubuh. Keempat, indentitas diri (Wawasan Al-Quran: 159).

Pakaian sebagai penutup Aurat

Fungsi yang pertama dari pakaian adalah menutup aurat. Fungsi dari pakaian ini tidak lain hanya untuk mengimplementasikan perintah Tuhan yang mewajibkan untuk menutup aurat. Allah berfirman dalam surah Al-A’araf ayat 26;

يَابَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ (26)

“Wahai puta-putri Adam, sesungguhnya kami telah menurunkan pakaian yang bisa menutup auratmu, dan juag (pakaian) bulu (untuk menjadi perhiasan) dan pakaian takwa itulah yang lebih baik. Semua itu termsuk tanda-tanda Allah barangkali kalian mengingat” [QS. Al-‘Araf:26]

Imam Al-Razi dalam kitab Mafatih Al-Ghaib [14/221] saat menafsirkan ayat tersebut menyatakan bahwa ada dua hal yang menjadi makna ayat tersebut. Pertama, ketika Allah swt. Menjelaskan bahwa Nabi Adam dan Siti Hawa diturunkan ke dunia Allah swt juga memberikan fasilitas yang akan dibutuhkan Adam dan Hawa serta anak keturunannya di dunia maupun akhirat. Diantaranya adalah pakaian. kedua, ketika Tuhan menyebutkan terbukanya aurat Adam dan Hawa, lalu Allah swt. menciptakan pakaian untuk anak cucunya supaya menutupi aurat mereka. Demikianlah Tuhan memberi peringatan atas manusia terhadap nikmat-nikmat tuhan yang diberikan melalui pakaian.

Dengan demikian, fungsi pakaian yang pertama, yaitu menutup aurat merupakan kebutuhan yang bersifat primer atau dharurah. Kenapa termasuk kebutuhan dharurah/primer? Karena dengan pakaian manusia bisa menutup aurat. Sementara menutup aurat merupakan ajaran Agama dan menjaga Agama (hifzduddin) merupakan tujuan syariat yang pokok atau primer.

Baca Juga: Tafsir Sosiologis Surah An-Nisa Ayat 34: Makna Alternatif Kata Rijal dan Nisa

Oleh karen itu, pakaian dengan fungsi menutup aurat termasuk tujuan syariat yang primer karena menjadi sarana yang berorentasi menjaga Agama, sebagaimana dikatakan oleh Imam Al-Syatibi dalam Al-Muwafaqhat-nya [2/4]. Tidak hanya itu, Imam Al-Syathibi dalam Al-Muwafaqat-nya [2/5] mengatakan pakaian merupakan kebutuhan primer manusia untuk menunjang keberlangsungan hidupnya yang berorientasi menjaga jiwa.

Pakaian sebagai hiasan Tubuh

Pada ayat di atas, Allah juga menyinggung bahwa pakaian juga sebagai perhiasan. Mayoritas mufassir lebih cenderung menafsirkan kata “Riisya” di atas dengan makna hiasan. Dengan demikian, fungsi kedua dari pakaian adalah untuk hiasan tubuh. Sudah barang tentu, berhias merupakan fitrah manusia supaya tampil perfek. Syekh Wahbah Zuhayli dalam kitab Tafsir Al-Munir [8/169] mengatakan bahwa berhiasa dalam Islam diperbolehkan sebab sesuai dengan fitrah manusi yang suka berhias dan tempil perfek dihadapan publik. Tentu, kebolehan berhias jika tujuannya tidak menyombongkan diri, melainkan ekspresi syukur atau menjaga wibawa demi hal-hal yang berorientasi baik.

Jika dipandang dari sudut pandang Maqhasid Al-Syari’ah-nya, maka sesungguhnya pakaian yang berfungsi sebagai hiasan ini hanya dalam tataran tersier atau tahsiniyat. Sebab, tidak sampai pada tataran yang imergency seandainya tidak terpenuhi. Artinya, seseorang akan tetap hidup tanpa berhias dengan pakaian hanya saja tidak elok dalam pandangan publik. [Al-Muwafaqhat: 2/8]

Untuk melindung tubuh dari cuaca dan semacamnya [QS. Al-Nahl: 81]

… وَجَعَلَ لَكُمْ سَرَابِيلَ تَقِيكُمُ الْحَرَّ وَسَرَابِيلَ تَقِيكُمْ بَأْسَكُمْ …

”… dan Allah menjadikan pakaian untuk menjagamu dari sengatan panas (dan dingin), serta pakaian yang bisa menjagamu dalam peperangan…” [QS. An-Nahl:81]

Adapun fungsi ketiga dari pakaian sebagaimana telah disebutkan dalam Al-Quran yaitu melindungi anggota tubuh, baik dari sengatan matahari maupun dinginnya hujan, dan serangan musuh. Dalam kitab Tafsir Al-Bayan fi Surah An-Nahl [163] disebutkan, alasan Tuhan mendahulukan kondisi panas dari pada kondisi dingin sebab kondisi panas lebih menyakitkan, terlebih pada letak geografis panas semisal Arab yang mana kondisi panas sudah menjadi kondisi lumrah.

dapat diambil kesimpulan, dari fungsi pakaian yang ketiga ini, bahwa pakaian menjadi kebutuhan manusia yang sekunder atau hajiyat. Jadi, tujuan pakaian dengan fungsi ketiga ini adalah bersifat hajiyat sebab manusia akan tetap hidup hanya saja akan menemukan kesulitan-kesulitan dalam hidupnya. Akan tetapi, jika sekiranya akan mengantarkan pada kemusnahan berarti sudah menjadi kebutuhan primer.

Sebagai identitas

Tujuan dan fungsi pakian yang keempat adalah sebagai identitas. Hal ini disinggung pada Al-Quran Surah Al-Ahzab ayat 59;

{ … يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ

“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak perempuanmu dan perempuan mukmin, “hendaknya mereka mengulurkan jilbab mereka keseluruh tubuh mereka.” Demikian itu agar merak mudah dikenal dan tidak diganggu…” [QS. Al-Ahzab: 59]

Menurut Quraish Shihab, konteks turunnya ayat ini adalah membedakan perempuan-perempuan merdeka dari perempuan budak agar tidak diganggu oleh laki-laki yang usil. Sebab laki-laki usil seringkali mengganggu perempuan-perempuan budak namun tidak dapat membedakan anatar yang budak dan yang merdeka. Oleh karen itu, Tuhan menurunkan ayat tersebut sebagai identitas wanita-wanita merdeka dan selamat dari gangguan laki-laki yang kurang ajar. Identitas juga merupakan eksistensi sekaligus membedakan dari yang lain.

Baca Juga: Arti Lafaz Insya Allah dan Pemaknaannya dalam Al-Quran

Kalau konteks sekarang, kita bisa membedakan antara anak SD dan SMP dari pakaian yang dikenakan. Dari pakaian pula kita bisa membedakan tantara dan polisi atau ulama. Akan tetapi, menjadi fenomena yang ironis di zaman ini dimana pakaian sudah jauh dari fungsinya semisal tidak sedikit orang yang berpenampilan ulama padahal tidak memiliki kemampuan ulama. Maka tidak mengherankan jika ulam-ulam terdahulu mengharamkan seseorang yang berpakain sama dengan ulama dengan niat menipu masyarakat.

Akhiran, dari paparan tetnatng fungsi-fungsi pakaian maka kita seharusnya dapat memilah-milih mana yang menjadi kebutuhan primer, sekunder dan tersier. Tidak hanya mementingkan penampilan dan menyampingkan tujuan dan fungsi dari pakaian tersebut. Wallahu A’lam.

Mendudukkan Ayat Jihad dan Kebebasan Beragama dalam al-Quran (1)

0
Jihad
Ilustrasi Jihad di masa lalu

Belakangan ini, term dakwah dan jihad menjadi populer di kalangan masyarakat. Ajakan dan seruan untuk berdakwah dan berjihad disampaikan melalui media sosial dengan begitu mudahnya. Apalagi ajakan itu dibingkai dalam bentuk meme, tak perlu bikin takarir yang berisi retorika muluk-muluk, ajakan berdakwah dan berjihad itu tersebar dengan sekali klik. Dan, tak ada yang tahu keadaan orang yang mengunggahnya, apakah sambil makan pisang goreng, atau sambil goleran di depan televisi di ruang tamu.

Namun ada juga yang melakukan gerak nyata dengan turun ke jalanan, yang tak jarang membuat lalu lintas terhenti. Aktivitas turun ke jalanan itu dapat kita temui di media sosial yang dibagikan sendiri oleh mereka yang sedang turun di jalanan. Tak sedikit kita menemukan kata dakwah dan jihad dalam takarir mereka. Yang jelas, semangat jihad dan dakwah mereka ini dipicu oleh berbagai pemahaman terhadap sumber-sumber agama mengenai dua hal tersebut.

Hadis Jihad

Bagi kalangan pesantren, hadis yang akan saya kutip berikut ini tentu tak asing lagi, atau bahkan hapal di luar kepala. Hadis ini adalah hadis kedelapan dalam kitab al-Arbain al-Nawawiyyah karya Imam Nawawi al-Damasyqi, dan diriwayatkan oleh Ibn Umar sebagai perawi pertama. Kita simak hadis dimaksud;

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا اللهَ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَ يُقِيْمُوْا الصَّلَاةَ وَ يُؤْتُوْا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوْا ذَلِكَ عَصَمُوْا مِنِّي دِمَائَهُمْ وَ أَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَ حِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ.

Aku (Muhammad) diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mengucapkan dua kalimat syahadat, mendirikan salat, dan menunaikan zakat. Jika mereka melakukannya, maka (sama saja) telah menjaga darah dan hartanya dariku, kecuali dengan haq Islam. Dan hisab mereka (diserahkan) kepada Allah Ta’ala.

Hadis tersebut diriwayatkan oleh al-Syaikhan yang dalam ilmu hadis merujuk pada dua nama muhadis beken; Imam Bukhari dan Imam Muslim. Dr. Said Ramadhan al-Buthi—selanjutnya disebut Dr. al-Buthi—dalam al-Jihad fi al-Islam (1993) menyebutkan hadis tersebut merupakan gharib al-isnad, atau sanadnya asing. Meski gharib, Imam Bukhari dan Imam Muslim menyepakati kesahihannya.

Baca Juga: Kajian Kata Mukjizat dalam Al-Quran dan Aspek Kemukjizatan Al-Quran

Istilah jihad di sini berkembang menjadi berperang hingga yang diperangi mengucapkan dua kalimat syahadat, mendirikan salat dan menunaikan zakat. Lebih jauh, Ibn Daqiq al-Id dalam anotasinya terhadap kitab Arbain (2012) menukil al-Khattabi yang menafsirkan kata al-nas dalam hadis di atas sebagai para penyembah berhala, para musyrik Arab dan orang-orang yang tak beriman. Para mukmin dan ahli kitab tak dikenai khitab hadis tersebut. Pendapat ini juga diamini oleh Dr. Mustafa al-Bugha dan Dr. Muhyiddin M. dalam al-Wafi fi Syarh al-Arbain al-Nawawiyyah (2007).

Ayat Jihad dan Kebebasan Beragama

Selain hadis di atas, dalam sumber hukum yang lebih otoritatif dari hadis, al-Quran, kita juga membaca perintah membunuh orang-orang musyrik di mana pun ditemui, sebagaimana dinyatakan dalam al-Taubah [9] ayat 5 berikut.

فَاِذَا انْسَلَخَ الْاَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدْتُّمُوْهُمْ وَخُذُوْهُمْ وَاحْصُرُوْهُمْ وَاقْعُدُوْا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍۚ فَاِنْ تَابُوْا وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتَوُا الزَّكٰوةَ فَخَلُّوْا سَبِيْلَهُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

Apabila bulan-bulan haram telah berlalu, bunuhlah (dalam peperangan) orang-orang musyrik (yang selama ini menganiaya kamu) di mana saja kamu temui! Tangkaplah dan kepunglah mereka serta awasilah di setiap tempat pengintaian! Jika mereka bertobat dan melaksanakan salat serta menunaikan zakat, berilah mereka kebebasan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Sebagai catatan, yang dimaksud dengan asyhur al-hurum adalah masa empat bulan yang menjadi tenggat bagi kaum musyrik pada waktu itu, yaitu mulai 10 Zulhijah (hari turunnya ayat ini) sampai dengan 10 Rabiulakhir. Sementara Ibn ‘Asyur dalam tafsirnya (1984) menafsirkan asyhur al-hurum sebagai empat bulan; Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab.

Baca Juga: Citra Nabi Muhammad dalam Al-Quran Perspektif Tarif Khalidi (1)

Akan tetapi, dalam tempat lain, al-Quran menegaskan bahwa tiada paksaan dalam beragama. Kita membaca penegasan tersebut, misalnya, dalam al-Baqarah [2]; 256 dan al-Mumthanah [60]: 8 sebagai berikut.

لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗوَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam). Sungguh, telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Siapa yang ingkar kepada tagut dan beriman kepada Allah sungguh telah berpegang teguh pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ

Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.

Bila kita simpulkan, maka ada dua pernyataan yang kelihatannya bertentangan yaitu perintah berdakwah secara ekstrem (hingga memerangi jika enggan), dan kebebasan memilih agama. Lalu bagaimana kita memahami hadis dan ayat-ayat di atas? Apakah dakwah Islam harus sempurna, tanpa mempertimbangkan hak memilih dan kebebasan mengambil keputusan beragama? Kita simak dalam artikel selanjutnya. Wallahu A’lam.

Epistemologi Tafsir Al-Quran Metalinguistik Syed Muhammad Naquib Al-Attas (2)

0
Naquib Al-Attas
Naquib Al-Attas

Melanjutkan artikel sebelumnya Mengenal Syed Muhammad Naquib Al-Attas: Penggagas Epistemologi Tafsir Metalinguistik (1), risalah ini mencoba merangkai hasil pembacaan Al-Attas terhadap terminologi Al-Quran yang kemudian membentuk sebuah bangunan epistemologi tafsir. Bagian-bagian dari bangunan itu dijelaskan oleh Al-Attas secara terpisah dalam tema-tema tertentu.

Seperti pembacaan makna Islam dalam Al-Quran yang dijelaskan pada bukunya Islam and Secularism, pembacaan makna Din yang diuraikan pada bukunya Islam: Faham Agama dan Asas Akhlak yang merupakan terbitan kedua oleh IBFIM pada tahun 2013, sedangkan versi Melayunya berjudul Islam: The Concept of Religion and the Foundation of Ethics and Morality, kemudian pembacaan makna Ta’dib yang dijelaskan pada bukunya berjudul Aims and the objectives of Islamic Education: Islamic Education Series, dan pembacaan makna ikhtiar dalam bukunya Prolegomena to the Metaphysics of Islam.

Pijakan Awal Epsitemologi Tafsir Metalinguistik

Syed Muhammad Naquib Al-Attas berupaya memahami teks Al-Quran dengan berbagai disiplin ilmu. Salah satu yang ia fokuskan yaitu menafsirkan teks Al-Quran dengan memahami dari segi makna bahasa serta memahami makna intuisi melalui proses iluminatif. Al-Attas membentuk konsep penafsiran dari beberapa kerangka ilmu seperti filsafat, sufistik, linguistic dan metafisika (Daud, Falsafah Dan Amalan Pendidikan Islam Syd M. Naquib Al-Attas Satu Huraian Konsep Asli Islamisasi).

Perpaduan empat disiplin ini yang disebut dengan konsep tafsir metalinguistik. Tafsir metalinguistik berangkat dari pemahaman Al-Attas mengenai falsafah (filsafat), sufi (tasawuf), dan linguistik (bahasa). Menurutnya, ada tiga ciri dalam bahasa Islam: pertama, memiliki akar kata; kedua, memiliki pola khusus dalam arti (sehingga menyebabkannya bisa difahami); ketiga, karakteristik.

Masing-masing keilmuan memiliki kedalaman materi tersendiri yang disesuaikan dengan perannya dalam kerangka keilmuan al-Attas. Keilmuan paling dalam adalah sufistik yang merupakan intelektual Islam paling inti dan menghubungkan aspek kemanusiaan dengan konsep ketuhanan (Naquib Al-Attas, Comments on the Re-Examination of Al-Raniri’s Hujjatul Siddiq: A Refutation).

Kemudian, keilmuan inti berikutnya adalah metafisika. Menurut al-Attas, seluruh nilai dan etika kemanusiaan terefleksikan dari seperangkat pemahaman metafisika atau yang disebut weltanschauung. Keilmuan ini dapat didemonstrasikan dengan mengkaji filsafat, pendidikan dan ilmu sosiologi (Daud, The Concept of Knowledge in Islam).

Berikutnya, keilmuan filsafat, di mana al-Attas membedakan filsafat dan metafsika. Filsafat merupakan luaran metafisika yang merupakan manifestasi metafisika berupa aturan-aturan umum dan khusus dalam kehidupan manusia seperti aturan logika, akal sehat, common sense, etika. Dan luaran terakhir adalah linguistik, al-Attas menekankan ilmu tafsir merupakan ilmu pertama dalam Islam karena sifat bahasa yang saintifik khususnya bahasa Arab. Linguistik Arab memiliki posisi yang sangat penting dalam keilmuan Islam dikarenakan ilmu luaran yang menghubungkan dengan keseluruhan susunan, tujuan, pengertian pandangan dan peradaban Islam (Naquib Al-Attas, The Concept of Education In Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education).

Komponen Penafsiran Metalinguistik Al-Attas

Tafsir metalinguistik terbentuk melalui empat komponen kerangka berpikir: pertama, landasan sufistik Al-Attas banyak terpengaruh dengan aliran tasawuf falsafi atau yang disebut sufi intelektual. Menurutnya tasawuf intelektual merupakan suatu disiplin yang terintegrasi untuk mengakses hakikat sesuatu dengan cara pemahaman akal dan pengamatan fenomenologi terhadap alam dengan dimensi transempirikal. Tasawuf melihat fenomena sebagai immaterial teacher (Putra, Epistemologi Tafsir Sufi Perspektif Esoterik-Fenomenologi).

Penafsiran Al-Quran menurut al-Attas merupakan manifestasi ayat Allah dalam bentuk teks dan bahasa. Pembacaan terhadap ayat Al-Quran harus dipahami melalui pembacaan iluminatif dengan berupaya mendapatkan cahaya ma’rifatullah. Agaknya, al-Attas mengkonfirmasi tasawuf al-Ghazali dengan konsep takhalli, tahalli, dan tajalli (Cibro, Semantik ‘Irfani Sebagai Model Tafsir Sufistik). Sebagaimana dalam memahami Al-Qur’an, sampainya ilmu dan pemahaman ke dalam jiwa pembacanya tergantung pada kesucian jiwa, kualitas spiritual, intelektual, dan akhlak mereka.

Kedua, metafisika. Al-Attas memposisikan metafisika sebagai induk dari worldview Islam. Tanpa metafisika, akan sulit untuk mengetahui pandangan dunia Islam yang sebenarnya. Metafisika merupakan hakikat fundamental untuk mengetahui eksistensi dan realitas sesuatu yang tergambar pada fenomena-fenomena. Selain berbicara tentang berbagai fenomena-fenomena, Al-Quran merupakan sumber utama dalam mendefinisikan kebenaran dan realitas, maka sangat penting mengungkap kandungan-kandungannya melalui kacamata metafisika.

Ketiga, filsafat. Filsafat al-Attas tidak menentukan satu aliran filsafat. Filsafat al-Attas dalam penafsirannya kembali kepada filsafat Islam klasik yang mempunyai karakteristik ensiklopedia dan tauhidic. Hal ini berbeda dengan kebanyakan sarjana muslim periode modern yang banyak dipengaruhi oleh filsafat utilitarianism.

Filsafat Al-Attas mengarahkan konsep penafsiran Al-Quran untuk menemukan makna hakikat yang sebenarnya pada isi yang terkandung dalam Al-Quran menurut kehendak Al-Quran itu sendiri. Dimana teks-teks Al-Quran memiliki hak-hak yang fundamental terhadap seluruh umat manusia khususnya umat muslim. Oleh karenanya memahami Al-Quran dengan metabahasa berfungsi agar sampai pada makna hakikat yang terkandung didalamnya.

Keempat, linguistik. Muatan Linguistik Al-Quran merupakan elemen yang penting dalam membentuk penafsiran metalinguistik menurut al-Attas (Daud, The Concept of Knowledge in Islam). Al-Quran merupakan kitab suci yang diturunkan dengan muatan Bahasa Arab dengan segala kompleksitasnya. Meskipun bahasa Arab dengan bahasa Al-Quran memiliki pola penuturan yang sama, namun makna yang terkandung dalam keduanya terdapat perbedaan. Karena Al-Quran merupakan kitab untuk seluruh umat manusia, maka segala pemahaman yang terkandung didalamnya telah mencapai nilai kebenaran yang sempurna.

Bahasa Arab yang terdapat dalam Al-Quran bukanlah bahasa Arab pada umumnya yang dipraktekkan pada peradaban Arab kontemporer. Sebab, al-Attas menyebut bahwa makna terminologi Arab kontemporer telah terkontaminasi dengan paradigma modernisme barat. Tentunya hal ini tidak terlepas bahwa tafsir dan takwil tradisional ini berpijak pada sifat ilmiah yang terdapat dalam bahasa Arab, yaitu sistem akar kata yang lengkap dengan arti dasar yang saling berkaitan, yang dapat menjaga makna kata-kata dan idenya dari perubahan sosial dan penafsiran subjektif.