Beranda blog Halaman 161

Khazanah Tafsir Tarbawi di Indonesia (1): Embriologi dan Perkembangannya

0
khazanah tafsir tarbawi di Indonesia
khazanah tafsir tarbawi di Indonesia

Dalam ranah kajian Al-Quran dan tafsir, istilah Tafsir Tarbawi (al-Tafsir al-Tarbawi) bisa dikatakan cukup baru. Kalau merujuk pada karya-karya berbahasa Arab, penamaan Tafsir Tarbawi untuk pertamakalinya digunakan oleh Anwar al-Baz dalam karyanya al-Tafsir al-Tarbawi li al-Qur’an al-Karim yang terbit tahun 2007. Diskursus Tafsir Tarbawi sebagai bagian dari studi Al-Quran telah menjadi trend tersendiri lebih-lebih bagi mereka yang menggeluti dunia pendidikan Islam.

Tanpa terkecuali di Indonesia, sejarah dan perkembangan Tafsir Tarbawi tampak belum mendapat perhatian lebih. Tulisan ringan ini mencoba memberikan rekaman historis bagaimana dinamika kajian tafsir Al-Quran serial Tafsir Tarbawi ‘menemukan tempatnya’ dalam ruang khazanah tafsir Al-Quran Indonesia. Dua sub bahasan yang akan dihadirkan adalah seputar embriologi perkembangan Tafsir Tarbawi dan beberapa karya tentangnya.

Baca Juga: Mengenal Al-Tafsir Al-Tarbawi li Al-Qur’an Al-Karim: Tafsir Tarbawi Pertama Lengkap 30 Juz

Awal Kemunculan

Tidak diketahui persis sejak kapan terminologi Tafsir Tarbawi ini muncul di Indonesia. Namun diduga kuat istilah Tafsir Tarbawi ini mulai terdengar di tengah-tengah publik sejak menjadi salah satu nama mata kuliah pada program studi atau jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) di berbagai perguruan tinggi Islam di Indonesia seperti Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), Institus Agama Islam Negeri (IAIN) dan Universitas Islam Negeri (UIN). Mata kuliah Tafsir Tarbawi ini juga bisa ditemukan pada beberapa sekolah tinggi swasta.

Cucu Surahman dalam bukunya, Tafsir Tarbawi di Indonesia menyebutkan bahwa karya pertama yang berjudul atau menggunakan istilah ‘Tafsir Tarbawi’—walaupun sebagai sub judul—adalah buku milik Abuddin Nata, seorang pakar pendidikan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Buku tersebut berjudul Tafsir Ayat-ayat Pendidikan (Tafsir al-Ayat al-Tarbawiy) diterbitkan tahun 2002. Buku ini merupakan bahan ajar untuk mata kuliah Tafsir Tarbawi.

Cucu Surahman juga menjelaskan bahwa kemunculan Tafsir Tarbawi di Indonesia tentu tidak bisa dilepaskan dari pengaruh pemikiran khususnya dalam konteks pendidikan Islam yang berkembang di Timur Tengah dan negara-negara muslim lain. Mengingat karya-karya tentang pendidikan Islam berbahasa Arab sudah ada sebelum karya-karya Tafsir Tarbawi mulai populer. Selain itu, rekomendasi konferensi pendidikan di dunia Islam yang diselenggarakan di Makkah tahun 1977 terkait pengembangan konsep pendidikan Islam berdasarkan Al-Quran sangat mungkin telah mendorong kemunculan Tafsir Tarbawi ini.

Setelah karya milik Nata tersebut belakangan muncul buku-buku yang terkait—atau dengan jelas—menggunakan istilah Tafsir Tarbawi atau Tafsir Pendidikan. Dari kisaran tahun 2002 itulah kajian-kajian seputar Tafsir Tarbawi di Indonesia mulai digandrungi dan peminatnya silih berganti berdatangan. Hingga saat ini, kajian-kajian atau tulisan tentang Tafsir Tarbawi terus bermunculan, baik dalam bentuk buku terbitan atau artikel-artikel ilmiah dan sebagainya.

Baca Juga: Tafsir Tarbawi: Keharusan Berpikir Kritis Bagi Pendidik dan Peserta Didik

Beberapa Literatur Tafsir Tarbawi di Indonesia

Dalam rentang kurun waktu antara tahun 2002-sekarang, telah lahir karya-karya Tafsir Tarbawi dari tangan-tangan intelektual muslim Indonesia. Karya-karya tersebut antara lain Tafsir Ayat-ayat Pendidikan (Tafsir al-Ayat al-Tarbawiy) karya Abuddin Nata (2002), Tafsir Ayat-ayat Pendidikan: Hati yang Selamat hingga Kisah Luqman karya Nurwajdah Ahmad E.Q (2007), Tafsir Tarbawi: Mengungkap Pesan Al-Qur’an tentang Pendidikan karya Ahmad Munir (2008), Epistemologi Pendidikan Islam: Integrasi al-Tarbiyyah dan al-Ta’lim dalam Al-Qur’an karya Rosidin (2010), Tafsir Tarbawi: Pengantar ke Tafsir Tarbawi karya Suteja (2012).

Kemudian Tafsir Pendidikan karya Ahmad Izzan dan Saehuddin (2012), Tafsir Ayat-ayat Pendidikan: Meretas Konsep Pendidikan dalam Al-Qur’an karya Muh. Anis (2012), Tafsir Tarbawi: Nilai-nilai Pendidikan dalam Al-Qur’an karya Salman Harun (2013), Tafsir & Hadits tentang Pendidikan karya Nanang Gojali (2013), Konsep Andragogi dalam Al-Qur’an: Sentuhan Islami pada Teori dan Praktek Pendidikan Orang Dewasa karya Rosidin (2013), Tafsir Tarbawi: Pesan-pesan Al-Qur’an tentang Pendidikan karya Kadar M. Yusuf (2013)

Disusul Tafsir Pendidikan Islam karya Mahmud Arif (2015), Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an karya Abuddin Nata (2016), Tafsir Ayat-ayat Pembelajaran dalam Al-Qur’an karya Syukri (2016), Al-Islam Studi Al-Qur’an (Kajian Tafsir Tarbawi) karya Arief Hidayat Afendi (2016), Tafsir Ayat-ayat Pendidikan karya Listiawati (2017), Pembelajaran dalam Islam (Konsep Ta’lim dalam Al-Qur’an) karya Aam Abdussalam (2017), Tafsir Tarbawi (Kajian Ayat-ayat Al-Qur’an dengan Tafsir Pendidikan karya Mahyudin (2018).

Selain karya-karya di atas, masih ada beberapa karya lain dalam bentuk karya bersama (kolektif), seperti Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an karya kolektif yang dieditori oleh Asikin Nor dan Sahriansyah (2012), dan Tafsir Tarbawi yang dieditori oleh Asnil Aidah Ritonga dan Irwan (2013). Meski begitu penting dicatat bahwa tidak menutup kemungkinan ditemukannya karya-karya lain yang belum penulis sebutkan sebagaimana di atas. Wallahu a’lam

Tafsir Surah at-Taubah Ayat 28: Benarkah Orang Musyrik Itu Najis?

0
tafsir surah at-Taubah ayat 28
tafsir surah at-Taubah ayat 28

Beberapa dari kita (kaum muslim) masih banyak yang memandang sebelah mata, jijik, bahkan najis para penganut agama sebelah. Bukan hanya itu, setiap sesuatu yang sumbernya dari non-muslim dianggap tidak benar dan salah. Lebih ektrem lagi, para oknum pemilik doktrin tersebut tidak segan mencomot salah satu ayat yang terdapat pada surah at-Taubah tentang firman Allah Swt. yang menjelaskan bahwa orang musyrik itu najis. Pertanyaannya, apakah ayat tersebut bisa langsung dipahami begitu saja? Selain itu, apakah berarti umat muslim harus membersihkan diri setiap kali bersentuhan dengan orang non-muslim?

Dalam surah at-Taubah ayat 28, Allah swt berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْمُشْرِكُوْنَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هٰذَا ۚوَاِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيْكُمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖٓ اِنْ شَاۤءَۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ

Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis (kotor jiwa), karena itu janganlah mereka mendekati Masjidilharam setelah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin (karena orang kafir tidak datang), maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.

Mengenai term “musyrik” pada ayat di atas ulama berbeda pendapat. Pertama, mayoritas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan musyrik pada diksi di atas ialah para penyembah patung dan berhala. Alasanya karena kata musyrik hanya layak disematkan kepada orang yang menjadikan tuhan lain selain Allah. Dengan demikian, menurut pendapat yang pertama, ahl kitab tidak termasuk dalam cakupan lafad tersebut.

Kedua, pendapat lain mengatakan yang dimaksud musyrik pada surah at-Taubah ayat 28 adalah mencakup setiap bentuk kekufuran, baik penyembah berhala, api, matahari, termasuk ahl kitab pun masuk dalam kandungan ayat di atas. Pendapat ini diperkuat oleh kandungan surah an-Nisa’ ayat 48 yang memutlakkan kata musyrik pada setiap bentuk kekufuran tanpa mengklasifikasi kelompok tertentu (al-Tafsir al-Munir, 10/166).

Baca Juga: Benarkah Ahli Kitab Selalu Ingin Memurtadkan Orang Islam?

Bagaimana maksud status ‘najis’?

Sementara maksud dari kaum musyrik itu najis menurut kitab Tafsir al-Baidawi karya Nashiruddin Al-Baidhawi yang merupakan salah satu intelektual muslim abad ke-7,  adalah najis akidah bukan najis sebagaimana yang dibahas dalam khazanah ilmu fikih. Pasalnya, orang musyrik telah menyekutukan dan berhianat pada Dzat Pencipta yang sebenarnya. Selain itu ulama asal Persia tersebut memberikan opsi penafsiran lain. Kata najis yang terdapat pada ayat ke-28 surah at-Taubah memberikan pengertian bahwa pada umumnya kaum musyrik lah yang sering rentan dan mengabaikan benda-benda najis . Artinya konsep atau teori taharah (bersuci) yang dijelaskan panjang lebar dalam  Islam, oleh mereka tidak diamalkan. Misalnya, tidak mandi besar tatkala junub, abai pada benda-benda najis, tidak menyucikan diri ketika hadas maupun terkena kotoran (Tafsir al-Baidawi, 2/432).

Muhammad Ali Ash-Shabuni yang merupakan mufassir dan ulama asal Suriah, sekaligus salah satu Guru Besar ilmu tafsir di Umm Al-Qura University, Saudi Arabia dalam kitabnya yang berjudul Rowaiul Bayan, Tafsir ayaat al-Ahkam mengurai secara lengkap komentar para ulama mengenai maksud dari pernyataan bahwa “orang musyrik najis”. Menurut beliau ada banyak tenggapan para ulama mengenai tafsir dari ayat tersebut. Pertama, maksud dari kata najis ialah najis maknawi. Artinya pada ayat di atas, Allah Swt. Menyamakan orang musyrik sebagaimana halnya benda najis yang harus dihindari dan dijahui. Kedua, najis di sini berarti orang musyrik seperti halnya najis karena mereka tidak bersuci saat hadas serta abai pada benda-benda najis yang ada di sekitarnya.

Ketiga, pendapat yang terkesan lebih ekstrim yang menyatakan bahwa ayat itu berlaku sebagaimana dohiriyah teks. Maksud dari kata najis, memberikan indikasi bahwa orang musyrik sebagaimana halnya anjing, babi, dan benda najis lainnya. Konon, pendapat ini dinukil dari pernyataan Ibn Abbas langsung. Selain itu, ada pendapat lain yang hanya menganjurkan umat muslim untuk berwudu’ setiap kali usai bersalaman dengan orang musyrik. Komentar ini diriwayatkan oleh Ibn Jarir dari Hasan Basri.

Meski demikian, pendapat ketiga ini rupa-rupanya berseberangan langsung dengan pemahaman para ulama fikih. Para pakar fikih tidak mengkategorikan orang kafir sebagai salah satu benda najis. Terbukti setiap kali orang musyrik telah mendapat hidayah dari Tuhan dan mau berafiliasi dengan umat muslim, secara otomatis mereka dianggap suci tanpa harus membersihkan diri terlebih dahulu. Dengan demikian, maksud dari najis adalah najis batin dan akidah bukan secara fisik dan lahiriyahnya (Tafsir Ayat al-Ahkam, 02/484).

Baca Juga: Benarkah Umat Islam Harus Bersikap Tegas Kepada Non-Muslim?

Ala kulli hal, maksud dari ‘musyrik itu najis’ yang terdapat pada salah satu ayat di surah at-Taubah adalah bukan makna lahiriyahnya. Najis yang dimaksud adalah najis secara batin atau akidahnya. Sekali pun segelintir dari mufasir (ahli tafsir) ada yang memahami ayat tersebut secara gamblang, tetapi pendapat ini menuai kritik dan penolakan dari beberapa ulama terutama para ahli fikih. Dengan demikian sudah seyogiyanya kita umat Islam senantiasa tetap bersikap dan meperlakukan teman beda akidah seperti halnya biasa, tanpa membeda-bedakan, apalagi menggangapnya najis. Wallah a’lam

Kategorisasi Nasakh dan Contohnya dalam Al-Quran

0
Nasakh
Kategorisasi Nasakh

Pada artikel sebelumnya telah dijelaskan tentang urgensi dan definisi Ilmu Nasakh. Artikel ini akan mengulas lebih lanjut kategorisasi nasakh dalam al-Quran. Menurut al-Zarkasyi dalam al-Burhan fi ‘Ulum al-Quran dan juga al-Zarqani dalam Manahil al-‘Irfan, terdapat tiga jenis nasakh dalam kaitannya dengan hukum dan bacaan.

  1. Wahyu al-Quran yang hanya dinasakh hukumnya, tetapi ayatnya tetap tercantum.

Jenis nasakh yang pertama merupakan nasakh yang menjadi bahasan utama dalam ilmu al-Quran. Bahkan jika disebutkan nasakh dalam al-Quran, maka yang dimaksud adalah nasakh hukum. Dalam penelusuran al-Zarkasyi, sedikitnya ayat-ayat yang dinasakh terdapat dalam enam puluh tiga surat.

Contoh-contoh dari nasakh tersebut secara lengkap dapat dilihat dalam kitab al-Nasikh wa al-Mansukh karya Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam. Selain al-Nasikh wa al-Mansukh karya Abu ‘Ubaid, adapula kitab karangan karya al-Zuhri yang ditulis lebih dahulu dengan nama yang sama. Berikut beberapa riwayat yang menjelaskan mengenai nasakh dalam al-Quran yang disarikan dari dua kitab karya al-Zuhri dan Abu ‘Ubaid.

Baca Juga: Mengenal Qiyas Sebagai Sumber Hukum Islam Perspektif Al Quran

Ayat pertama yang dinasakh dalam al-Quran merupakan ayat yang berbicara tentnag kiblat. Diriwayatkan dari Hajjaj dari Ibnu Juraij dan Utsman bin ‘Atha dari ‘Atha al-Khurasany dari ibnu ‘Abbas, katanya, “Ayat pertama yang dinasakh dari al-Quran ialah yang berkaitan dengan kiblat. Allah swt berfirman:

و لله المشرق و المغرب فأينما تولوا فثم وجه الله .

 Lalu setelah turun ayat ini, Rasulullah memindahkan kiblat solat ke Baitul Maqdis, kemudian Allah swt memindahkan kembali arah kiblat ke Masjid al-Haram melalui ayat:

… و ما جعلنا القبلة التي كنت عليها إلا لنعلم من يتبع الرسول ممن ينقلب على عقبيه …

Lebih lanjut diriwayatkan dari Abi Ishak dari al-Barra bahwasanya Rasulullah saw solat menghadap ke Baitu al-Muqaddas selama enam belas bulan, kemudian Allah memerintahkan untuk menghadap kea rah Masjid al-Haram dengan ayat:

قد نرى تقلب وجهك في السماء فلنولينك فبلة ترضاها فول وجهك شطر المسجد الحرام …

Contoh yang kedua adalah tentang puasa. Pada mulanya ketika ayat yang memerintahkan puasa turun:

كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون

Kewajiban puasa adalah sepanjang hari dan malam, kecuali pada waktu berbuka yaitu dari waktu magrib hingga isya. Lalu sebagian sahabat lupa, termasuk Umar bin Khattab, setelah isya berkumpul dengan istrinya. Turunlah ayat yang memaafkan mereka dan mengganti syariat puasa hanya sepanjang siang saja, dengan ayat:

علم الله أنكم كنتم تختانون أنفسكم فتاب عليكم و عفا عنكم فالئن بشروهن وابتغوا ما كتب الله لكم و كلو واشربوا حتى يتبين لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسود من الفجر ثم أتموا الصيام إلى اليل …

  1. Wahyu al-Quran yang hukum dan ayatnya dinasakh.

Mengenai ayat dan hukum yang dinasakh terdapat satu contoh dari sepanjang pembacaan penulis yang diambil dari literatur-literatur yang digunakan, yaitu tentang mahram anak yang disusukan oleh perempuan. Diriwayatkan dari Aisyah, bahwasanya telah diturunkan wahyu sepuluh kali susuan yang dimaklumkan, dapat menjadikan mahram anak kepada ibu susuannya. Kemudian hal tersebut dinasakh hingga tinggal menjadi lima kali saja.

Riwayat Aisyah di atas merupakan riwayat sahih yang dapat mudah ditemukan dalam sumber-sumber primer kitab Hadis. Seperti di dalam Sahih Muslim yang diletakkan pada bab al-tahrim bikhamsi rada’at. Kemudian dalam kitab al-Muwaththa Imam Malik, Sunan al-Tirmidzi, Sunan al-Nasai dan Musnad Imam Syafi’i.

  1. Wahyu al-Quran yang hanya dinasakh ayatnya, tetapi hukumnya tetap berlaku.

Pernah diriwayatkan dari Umar bin Khattab bahwasanya di dalam surat al-Nur terdapat ayat:

الشيخ و الشيخة إذا زنيا فارجموهما البتة نكالا من الله

Umar berkata, “seandainya orang-orang tidak akan mengatakan bahwa Umar telah menambah-nambah kitab Allah, maka aku akan menuliskannya.”

Riwayat lain menceritakan bahwa Ibn Hibban dari Ubay bin Ka’ab berkata, “dulu surat al-Ahzab lebih panjang dibandingkan dengan surat al-Baqarah.”

Baca Juga: Mengenal Hukum Wadh’i dan Contohnya dalam Al-Qur’an

Menurut pandangan Quraish Shihab, nasakh model yang terakhir ini merupakan nasakh yang seyogyanya ditolak. Karena riwayat Umar bin Khattab dan juga riwayat Ubay bin Ka’ab merupakan riwayat yang dha’if yang tidak memiliki landasan kuat. Pasalnya, kedua riwayat tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadis  mu’tabar.

Penulis telah berusaha mentakhrij riwayat-riwayat tersebut dan tidak menemukannya baik dalam kutub al-tis’ah maupun kitab-kitab hadis yang lainnya. Sebagaimana dijelaskan di awal bahwa salah satu syarat nasakh adalah dalil hukum syar’i yang kuat, oleh karenanya untuk nasakh jenis yang ketiga ini penulis sependapat dengan Quraish Shihab. Wallahu A’lam.

Walid Saleh: “Tradisi Tafsir Bersifat Genealogis”

0
Walid Saleh
Walid Saleh

Sebagaimana judulnya, tulisan ini berangkat dari pembacaan penulis pada salah satu artikel Walid Saleh, salah seorang sarjanawan Muslim sekaligus pengajar dari Universitas Toronto yang memfokuskan kajian-kajiannya pada bidang islamic studies. Menariknya, Saleh juga banyak menulis terkait dengan genre tafsir, utamanya pada tafsir-tafsir era klasik-pertengahan.

Dalam salah satu artikelnya berjudul Preliminary Remarks on the Historiography of Tafsir in Arabic: A History of the Book Approach,Saleh mengulas tentang hisitoriografi tafsir, dimana ia mengulas beberapa kitab tentang sejarah penulisan tafsir. Di antaranya adalah 1) tafsir wa al-mufassirun karya adz-Dzahabi, 2) al-tafsir: ma’alim hayatihi, manhajuhu al-yaum karya Amin al-Khulli, 3) al-nahw wa kutub al-tafsir karya Ibrahim Rufayda, 4) tafsir wa rijaluhu karya Ibnu ‘Ashur, dan 5) al-fihris al-syamil li al-turats al-‘arabi al-islami al-makhthut, ‘ulum al-Qur’an, makhtuhtat al-tafsir.

Sekilas Pandangan Walid Saleh Terhadap Kitab Historiografi Tafasir

Saleh mengulas kelimanya dengan porsi pembahasan berbeda, tentu dengan alasan yang logis dan ilmiah. Misalnya, ketika ia memberi perhatian besar pada kitab ad-Dzahabi, yang menurutnya cenderung subyektif dan mengedepankan ideologinya. Ini bisa dilihat ketika ad-Dzahabi mengkategorikan beberapa kitab dalam karyanya itu dengan tafsir bi al-ma’thur dan bi al-ra’y, dan dalam al-ra’y dia membaginya dengan yang Jaiz (dapat diterima) dan mazmum (tidak dapat diterima).

Kategori yang diterima, cenderung pada Mufassir yang berjalan diatas pemahaman Sunni. Sementara yang tidak diterima, adalah kalangan Syi’ah dan Mu’tazilah. Lagi-lagi disinilah letak ketidak subyektifan adz-Dzahabi menurut Saleh, belum lagi ada banyak kitab-kitab tafsir yang tidak diliput olehnya,  sehingga kitab adz-Dzahabi, tidak bisa secara keseluruhan disebut dengan historiografi tafsir.

Ini berbeda, dengan kitab terkahir yang disebutkan, yaitu al-Fihris. Kitab ini memuat begitu banyak kitab-kitab tafsir sejak abad pertama hijrah hingga memasuki abad modern. Bahkan, didalamnya memuat tempat penerbitan, tahun, dan sudah berapa kali diterbitkan. Kitab ini mendapat pujian tersendiri dari Saleh, dengan adanya al-Fihris, sangat memudahkan peneliti untuk melakukan pembacan tafsir secara genealogis.

Terlepas dari kritikan dan pujian Saleh atas kitab-kitab tersebut, tetap saja itu berdampak besar dalam pembentukan paradigma Saleh selanjutnya, dimana ia mencentuskan klasifikasi tafsir menjadi tiga model, yaitu; ensiklopedis, madrasah, dan hasyiyah, yang sebelumnya pernah diulas oleh Muhammad Rafi.

Pembacaan Tafsir Secara Genealogis

Lalu bagaimana pembacaan tafsir secara genealogis menurut Walid Saleh? Kenapa ia begitu penting untuk dilakukan?

Sebenarnya ini terwujud dari penyataan Saleh bahwa tafsir adalah ‘tradisi yang bersifat genealogis’, ia diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Korpus yang diwariskan ini adalah ‘inti’ yang akan selalu dikutip secara terus menerus, baik sebagai sandaran legitimasi, atau terkadang; ditambahi, dikritik, atau ditolak begitu saja oleh generasi setelahnya. (Saleh, 2010: 18)

Artinya, tafsir secara inheren akan berdialektika dengan tafsir-tafsir sebelum dan sesudahnya. Seorang Mufasir dalam proses penafsiran akan berdialog dengan materi-materi tafsir yang telah bertahan dan diwariskan. Karena itu, tafsir merupakan ‘memori historis’, karena ia adalah bagian dari perjumpaan Muslim dengan makna al-Qur’an. (Fadhli, 2021: 65)

Fungsi pembacaan tafsir secara genealogis, selain untuk melihat perkembangan sejarah tafsir juga untuk memudahkan kita dalam menentukan manakah karya-karya tafsir yang penting  dan berpengaruh, terlebih dari sekian banyak tafsir yang tersedia selama beradab-abad.  (Saleh, 2010: 19)

Saleh menawarkan cara yang cukup simple untuk melihat seberapa besar karya tersebut berpengaruh, yaitu dengan  mengecek kutipan. Jika kutipannya bisa terus intens dilakukan, maka bisa diasumsikan bahwa tafsir tersebut pengaruhnya besar. Ia akan membentuk jejaring antar tafsir, berlanjut mejadi sebuah kesatuan yang utuh. Sehingga, tidak perlu khawatir jika ada terjangan dari pihak lain.

Menjadi lebih penting lagi, dengan pembacaan tersebut, kita bisa melihat bagaimana tafsir itu di transmisikan dan dari sisi mana ia mengalami tranformasi. Dengan demikian, asumsi bahwa kajian-kajian atas tafsir-tafsir klasik-pertengahan mengalami pengulangan, akan sirna. Dan tentu saja kajiannya akan menjadi lebih menarik dan tidak membosankan.

Ini terbukti dengan banyaknya penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh sarjana Barat, yang masih banyak berminat mengkaji kitab-kitab tafsir masa klasik-pertengahan. Termasuk yang dilakukan oleh Saleh sendiri, seperti tulisannya tentang; Tsa’labi w.427H (2003), al-Wahidi w. 468H (2006), Ibnu Taymiyah w. 728H (2010), dan Hasyiyah al-Kasyyaf Zamakshyari w. 538H (2013).

Gebarakan Saleh ini pun banyak memicu sarjana lain untuk melihat tafsir dari sudut pandang yang berbeda, dimana tafsir adalah khazanah yang luas, ia tidak hanya berputar dari segi pemaknaan ayat semata, namun lebih jauh, ia juga akan memperlihatkan bagaimana promblema yang dihadapi seorang Mufasir dalam proses penafsirannya.

Kiranya, artikel Walid Saleh serta sarjana Barat lain, sudah seharusnya menjadi bacaan para peminat tafsir maupun islamic studies. Supaya ikatan antara kajian Timur dan Barat tetap terjalin dengan baik, dan mendapat tempat yang sama sebagai penikmat kajian tersebut. Wallahu a’lam.

Talaqqi Sebagai Metode Pembelajaran Al-Quran

0
Talaqqi
Ilustrasi Metode Talaqqi

Dewasa ini banyak berkembang metode pembelajaran Al-Quran. baik itu dalam bentuk buku ajaran maupun pertemuan yang biasa disebut Halaqah. Beberapa metode yang berkembang luas di Indonesia seperti metode iqra’, baghdadi, ummi dan lain lain.  Di kalangan pondok pesantren yang berbasis Al-Quran biasa menggunakan metode Talaqqi.

Berbeda dengan metode pengajaran Al-Quran lain, metode Talaqqi tidak menggunakan buku acuan. Talaqqi adalah sebuah pengajaran dimana murid belajar secara langsung berhadapan dengan gurunya, murid membaca Al-Quran dan didengarkan oleh gurunya. Apabila ada kekeliruan, akan langsung dikoreksi.

Pondok Pesantren Al-Munawwir Komplek L merupakan salah satu contoh yang menggunakan metode tersebut. Umumnya, Talaqqi dilakukan pada waktu pagi setelah para santri melaksanakan shalat subuh berjamaah dan setelah salat Manghrib.

Dalam praktiknya, waktu subuh diisi oleh pengajar –dalam hal ini sosok kiai yang mengajar langsung- membaca ayat Al-Quran dengan jelas kemudian ditirukan para santri. Tak jarang setelah Talaqqi berlangsung, pengajar menjelaskan intisari ayat Al-Quran  baik itu Sababun Nuzul maupun pesan yang dimaksud pada ayat Al-Quran tersebut.

Hal ini penting dilakukan, sebab dampaknya selain para murid dapat melafalkan ayat Al-Quran dengan baik (secara zahir) juga memahamkan tentang isi kandungan ayat Al-Quran.

Baca Juga: Mengenal Lebih Dekat Tafsir Juz ‘Amma Karya Kh. Masruhan Ihsan

Adapun saat maghrib, yang bertugas sebagai pengajar merupakan santri senior yang telah menyelesaikan ngaji sima’an kepada kiai. Biasanya santri senior merupakan santri yang sedang atau telah menghafalkan Al-Quran. Namun tak jarang juga diisi oleh santri senior yang tidak menghafal Al-Quran, namun memiliki kompetensi mengajar dan kefasihan.

Berbeda dengan Talaqqi di waktu Subuh, setelah maghrib merupakan Talaqqi setoran hafalan Al-Fatihah dan juz 30. Meski berbeda, Talaqqi di waktu ini memiliki kualifikasi yang lebih ketat. Sebab guru dan murid berhadap-hadapan satu persatu.

Dalam ber Talaqqi, pengajar bukan semata membaca ayat, melainkan mengoreksi bacaan murid-murid yang kurang pas. Satu ayat akan diulangi beberapa kali sampai bacaan murid sesuai dengan standar yang dipatenkan oleh guru. Murid diwajibkan menirukan tiap makhorijul huruf sebagaimana yang diajarkan gurunya.

Dikarenakan metode ini tidak menggunakan buku acuan sebagaimana Iqra maupun baghdadi, Talaqqi bisa dikatakan menggunakan tradisi oral. Pada masa lampau, tradisi oral memiliki kualifikasi yang sama ketatnya seperti tradisi tulis menulis. Sebut saja dalam hadis, kualitas hadis ditentukan pada kualitas rawinya yang bersambung kepada Rasulullah.

Talaqqi juga memiliki sanad keilmuan yang bersambung pada guru-guru sebelumnya sampai kepada nabi Muhammad. Metode talaqqi telah dilestarikan sejak zaman Rasulullah, sahabat maupun tabiin dan terus diwariskan kepada murid-murid generasi berikutnya.

Apa yang diajarkan di Komplek L, merupakan turunan dari silsilah keilmuan diatasnya. Secara general, kiai Munawwir Krapyak merupakan pionir dari metode Talaqqi di pesantren ini. Beliau membawa ilmu Al-Quran setelah menempa pendidikan sepanjang 16 tahun di Makkah dan telah mendapatkan lisensi mengajar Tahfidz Al-Quran.

Metode Talaqqi mengacu pada Q.S Al-Qiyamah[75]: 16-18 yang berbunyi:

Q.S 75:16

لَا تُحَرِّكْ بِهٖ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهٖۗ, اِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهٗ وَقُرْاٰنَهٗ ۚ, فَاِذَا قَرَأْنٰهُ فَاتَّبِعْ قُرْاٰنَهٗ ۚ

Jangan engkau (Muhammad) gerakkan lidahmu (untuk membaca Al-Qur’an) karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya Kami yang akan mengumpulkannya (di dadamu) dan membacakannya.Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.

Dalam tafsirnya, Imam Qurtubi  mengutip sunan tirmidzi, Ibnu Abbas mengatakan bahwa ketika Jibril menurunkan ayat, Nabi Muhammad mengikuti apa yang dibacakan Jibril karena ingin segera menghafalkannya. Maka turunlah ayat ini sebagai teguran kepada nabi untuk tidak tergesa-gesa. (al-Jami’ al-Quran, Jilid 21, Hal. 425)

Setelah teguran tersebut, tiap turunnya wahyu nabi selalu mendengarkan sampai selesai kemudian baru menghafalkannya.

Abdul Jalil, salah seorang dosen di UIN Sunan Kalijaga pernah mengatakan bahwa hal yang penting diperhatikan sebelum menghafal Al-Quran adalah tahsin Al-Quran. maksudnya memperbaiki membaca Al-Quran.

Tolak ukur baik membaca Al-Quran bukan hanya dari kelancarannya. Melainkan juga pelafalan tiap huruf yang dibaca. Oleh sebab itu pentingnya peran guru dalam mengoreksi cara membaca tersebut. Sebab guru memiliki kemampuan analisa bacaan Al-Quran yang baik dan benar.

Baca Juga: Surah Al-Mumtahanah Ayat 8-9 dan Pesan Relasi Muslim-Non Muslim dalam Tafsir Al-Ibriz

Talaqqi menjadi salah satu solusi memperbaiki atau belajar membaca Al-Quran dengan baik. Alangkah lebih baiknya jika dimulai sejak dini. Sebab di usia tersebut, seseorang mudah menerima informasi dan pengajaran.

Akhir kata, Talaqqi menekankan kefasihan ketepatan cara membaca lafal Al-Quran. Pengajar sangat berhati-hati dalam menyimak bacaan muridnya. Sehingga untuk menuntaskan belajar dengan metode ini dibutuhkan waktu yang cukup lama. Untuk itu dibutuhkan keikhlasan hati dan niat yang tulus dalam belajar.

Ketatnya standar yang digunakan bukan untuk menyulitkan murid. Melainkan guna melatih murid supaya dapat membaca Al-Quran dengan fasih, baik dan benar, Bukan sekedar lancar.

Mengenal Al-Tafsir Al-Tarbawi li Al-Qur’an Al-Karim: Tafsir Tarbawi Pertama Lengkap 30 Juz

0
Tafsir Tarbawi
Tafsir Tarbawi karya Anwar al-Baz

Al-Quran begitu kaya keilmuan. Di dalamnya ada banyak rumpun keilmuan yang sampai detik ini tak pernah habis untuk dibicarakan. Mulai dari fiqih, tasawuf, bahasa, sains, sosial, filsafat dan sebagainya. Dari sekian banyak dimensi keilmuan itu, barangkali dimensi pendidikan adalah yang paling sedikit mendapat perhatian. Sulit rasanya menemukan satu karya tafsir yang secara serius mengulas nilai dan konsep pendidikan dalam Al-Quran atau dikenal dengan Tafsir Tarbawi. Berbanding terbalik dengan karya-karya tafsir seperti tafsir sufistik, tafsir falsafi, tafsir lughawi, tafsir ilmi, tafsir adabi ijtima’i dan tafsir fiqhi, yang akan lebih mudah kita dapatkan.

Seputar Tafsir Tarbawi

Pandangan bahwa Al-Quran adalah sumber pendidikan ternyata bukan berkembang di kalangan pakar pendidikan saja, tetapi juga di lingkungan pemerhati tafsir. Quraish Shihab dalam bukunya Menabur Pesan Ilahi: Al-Qur’an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat tegas mengatakan, banyak sekali ayat-ayat Al-Quran baik secara implisit atau eksplisit berbicara hampir seluruh unsur pendidikan.

Istilah Tafsir Tarbawi berasal dari dua kata, tafsir dan tarbawi. Dua kata ini merupakan kata serapan dari bahasa Arab yaitu tafsir (penjelasan Al-Quran) dan tarbawi (pendidikan). Dari makna etimologis ini, sederhananya bisa dipahami bahwa Tafsir Tarbawi adalah penjelasan atas ayat-ayat Al-Quran berkaitan dengan semua hal tentang pendidikan.

Baca Juga: Terminologi Al-Basyar dalam Al-Qur’an: Manusia Sebagai Makhluk Biologis

Ahmad Munir dalam bukunya Tafsir Tarbawi: Mengungkap Pesan Al-Quran tentang Pendidikan mendefinisikan Tafsir Tarbawi dengan sebuah usaha (ijtihad) dalam bidang keilmuan tafsir yang mencoba mendekati Al-Quran dari sudut pandang pendidikan. Dengan demikian, Tafsir Tarbawi merupakan sebuah kajian Al-Quran yang secara sistematis dan metodologis hendak menggali konsep pendidikan dan seluruh komponen penunjangnya. Mulai dari pengertian, tujuan, metode, media sampai pada evaluasi dan manajemennya.

Secara intrinsik, kemunculan tafsir tarbawi sendiri sangat mungkin mengingat pendidikan merupakan salah satu topik pembicaraan yang sering disebut dalam Al-Quran. Al-Quran memperkenalkan dirinya sebagai hudan (petunjuk). Suyudi dalam bukunya Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an: Integrasi Epistemologi Bayani, Burhani dan Irfani menjelaskan bahwa sebagai petunjuk, substansi ayat-ayat Al-Quran sarat akan nilai-nilai pendidikan (pedagogic values).

Secara teknis dalam wahyu yang pertama turun yaitu QS. Al-‘Alaq [96]: 1-5 Allah memerintahkan manusia untuk membaca. Hal ini jelas menunjukkan bahwa Al-Quran sangat menekankan arti pentingnya pendidikan. Lain daripada itu, istilah-istilah Al-Quran seperti huda (petunjuk), nur (cahaya), barakah (barakah), syifa (obat), dzikr (pengingat) dan furqan (pembeda) jelas sangat terkait dengan fungsi pendidikan.

Al-Tafsir Al-Tarbawi li Al-Qur’an Al-Karim Karya Al-Baz

Dalam tradisi penulisan tafsir Al-Quran, sejauh ini, satu-satunya tafsir yang digadang-gadang sebagai kitab tafsir pertama komplit 30 juz yang mencoba menampilkan secara utuh nilai-nilai pendidikan dalam Al-Quran adalah Al-Tafsir Al-Tarbawi li Al-Qur’an Al-Karim karya seorang ulama asal Mesir bernama Anwar al-Baz. Kitab ini terdiri dari 3 jilid dan masing-masingnya kurang lebih ada 600 halaman.

Walau demikian, sejauh pembacaan penulis, sama seperti kitab tafsir pada umumnya, al-Baz tidak menafsirkan Al-Quran dalam kerangka perumusan ilmu pendidikan khusunya pendidikan Islam. Karya ini hadir lebih sebagai usaha memunculkan nilai-nilai pendidikan. Di dalamnya, al-Baz berupaya menjelaskan pesan dan nilai pendidikan yang terkandung dalam setiap ayat-ayat Al-Quran.

Al-Baz sendiri berkeyakinan, selain sebagai kitab dakwah Al-Quran juga berperan sebagai kitab tarbiyyah. Seluruh ayat Al-Quran diturunkan sebagai pendidikan dan arahan untuk membina umat dan mendidik jiwa mereka dari segala aspeknya. Manusia tidak akan mendapatkan kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat jika ia tidak didik sesuai dengan nilai-nilai pendidikan yang telah diajarkan oleh Al-Quran (al-Baz, Al-Tafsir Al-Tarbawi li Al-Qur’an Al-Karim).

 Dalam tafsirnya, ada lima metode atau langkah-langkah yang digunakan al-Baz. Pertama, tetap mempertahankan sistematika mushaf Al-Quran. kedua, menjelaskan makna mufradat atau kalimat Al-Quran yang dirasa dulit dipahami. Ketiga, menyebutkan tujuan-tujuan prosedural bagi setiap maqta’ yang meliputi aspek kognitif, efektif dan psikomotorik. Keempat, menjelaskan isi kandungan ayat terkait pendidikan (tarbawi). Kelima, menjelaskan apa yang ditunjukkan ayat berkenaan dengan pendidikan.

Baca Juga: Al-Quran di Mata Kaligrafer Congaban: Sebuah Resepsi Estetik

Sementara dalam penyusunan tafsir tersebut, Anwar al-Baz merujuk pada beberapa tafsir otoritatif seperti Fi Dilal al-Qur’an milik Sayyid Qutb, al-Asas fi al-Tafsir karya Said Hawa, Maqasid al-Qur’an karya Hasan al-Banna, Zahrah al-Tafasir karya Muhammad Abu Zahrah, Tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh-Rasyid Ridha. Tidak ketinggalan, al-Baz juga merujuk pada beberapa kitab tafsir induk seperti Tafsir al-Tabari, Tafsir al-Qurthubi, dan Tafsir Ibnu Kathir.

Kehadiran Al-Tafsir Al-Tarbawi li Al-Qur’an Al-Karim milik al-Baz ini nyata telah memberikan kontribusi dalam pengayaan khazanah tafsir Al-Quran, khususnya tafsir yang secara khusus memberikan perhatian pada nilai-nilai pendidikan dalam setiap ayat Al-Quran. Tafsir ini sangat recommended baik sebagai bacaan ataupun referensi bagi para akademisi yang sedang menggeluti Tafsir Tarbawi. Wallahu a’lam []

Ayat-Ayat Konflik yang Dipahami Keliru dan Kemunculan Kafirphobia di Kalangan Umat

0
Ayat-Ayat Konflik yang Dipahami Keliru dan Kemunculan Kafirphobia di Kalangan Umat
Unjuk rasa di India

Pada masa awal-awal pandemi Covid-19, saat bersekolah dirumahkan dan ibadah di masjid ditiadakan, saya mendengar banyak komentar penolakan dari berbagai kalangan di lingkungan saya. Satu dari sekian komentar yang paling mengejutkan saya adalah ketika ada yang mengatakan bahwa Covid-19 merupakan konspirasi orang kafir yang menginginkan terhambatnya pendidikan anak-anak muslim lewat study from home (SFH) dan meredupnya syiar Islam lewat penutupan masjid.

Saya kemudian berpikir, benarkah realitanya seperti itu? sebegitu “gabut”-nya kah orang kafir melakukan hal tersebut? atau sebenci itu kah mereka terhadap orang-orang Islam? sampai akhirnya saya menyimpulkan bahwa banyak masyarakat Islam terutama di kalangan awam yang ketakutan berlebih dan tak berdasar pada non-muslim sehingga memunculkan anggapan-anggapan negatif seperti yang disebutkan di atas.

Fenomena tersebut bisa disebut dengan kafirphobia. Dalam urbandictionary.com, kafirphobia didefinisikan sebagai kebencian, ketakutan atau ketidakpercayaan muslim kepada non-muslim. Anehnya, menurut kamus daring tersebut, fobia terhadap orang kafir seringkali dibarengi dengan anggapan superioritas ajaran Islam, bahwa Islam tidak perlu dipertanyakan lagi kebenarannya, dan bahwa pada akhirnya kelak seluruh dunia akan takluk dan tunduk patuh kepada Islam.

Itu artinya orang-orang kafirphobic selain konservatif, juga membagi dunia secara simplifikatif ke dalam dua kelompok, Islam dan non-Islam, atau kafir. Kemudian mereka menempatkan Islam berhadap-hadapan dengan selain Islam sebagai dua kelompok yang saling bermusuhan. Mereka seakan-akan masih terbawa suasana politik pada masa Nabi yang ketika itu Islam benar-benar sedang berseteru dengan sebagian kelompok kafir. Namun bukankah kejadian itu sudah berlalu ribuan tahun lamanya?

Sebagaimana islamophobia yang sering terjadi di lingkungan minoritas muslim, kafirphobia juga umumnya terjadi ketika kelompok kafir menjadi minoritas. Meskipun tidak menutup kemungkinan ada kalanya minoritas yang menjadi fobia dengan mayoritas karena merasa terancam misalnya.

Kafirphobia yang awalnya sebentuk pola pikir bisa berwujud pada banyak hal yang membahayakan, apabila terus didiamkan, ke ranah aksi. Persekusi, pelarangan pelaksaan ibadah, dan penolakan berdirinya rumah ibadah agama lain, bahkan aksi terorisme bisa saja terjadi akibat dari fobia ini.

Untuk itu, perlu kiranya dilakukan suatu kajian untuk memetakan apa saja penyebab fobia berlebih terhadap orang kafir dan bagaimana cara menanganinya. Saya sendiri beranggapan bahwa kafirphobia dipicu di antaranya oleh pemahaman keliru atas teks-teks keagamaan yang problematik seperti ayat-ayat konflik dalam al-Qur’an.

Baca juga: Haruskah Selalu Bersikap Kasar dan Keras Terhadap Orang Kafir dan Munafik? Tafsir Surah At-Taubah Ayat 73

Pemahaman parsial dan tekstual atas ayat-ayat konflik

Beberapa ayat dalam al-Qur’an turun berkaitan dengan konflik yang terjadi antara umat Islam awal dengan lawan politiknya, baik itu kaum kafir suku Quraish, Yahudi, atau Nasrani. Di antaranya QS. Al-Baqarah: 120 berikut:

وَلَن تَرْضَىٰ عَنكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ…

Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti millah mereka…

Ayat di atas dikomenatari oleh Ibnu Abbas, sebagaimana dikutip dalam Tafsir al-Baghawi, bahwa ia turun berkaitan dengan orang Yahudi Madinah dan Nasrani Najran. Mereka awalnya mengaharapkan Nabi mengikuti kiblat mereka, yaitu Baitul Maqdis. Sampai kemudian Baitul Maqdis benar-benar menjadi kiblat umat Islam juga. Namun tidak sampai dua tahun, kiblat dikembalikan lagi ke Ka’bah. Lalu turunlah ayat tersebut yang menyiratkan mereka tidak akan berhenti berharap Nabi akan mengikuti millah (jalan) mereka.

Dari keterangan Ibnu Abbas di atas, dapat disimpulkan bahwa QS. Al-Baqarah: 120 berkaitan dengan orang kafir yang berseberangan dengan Nabi Muhammad dalam konteks pemindahan arah kiblat. Jelasnya, ayat ini tidak berlaku secara umum, universal, dan sepanjang masa. Pesannya dibatasi dengan tiga batasan, yaitu; kepada Nabi, bukan seluruh umat Islam; ahli kitab masa Nabi, bukan ahli kitab sepanjang masa; dan terkait kasus pemindahan arah kiblat, bukan dalam semua urusan.

Ayat lain yang memiliki narasi serupa dengan ayat di atas dan yang sering disalahpahami adalah Q.S. al-Baqarah: 109 yang kutipan awalnya berbunyi:

وَدَّ كَثِيرٌ مِّنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُم مِّن بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا…

Sehagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman…

Q.S. Al-Baqarah: 109 di atas meski menyebut “sebagian besar”, namun menurut sebagian mufassir itu hanya kiasan saja. Ibnu Kasir dalam tafsirnya misalnya mengutip riwayat dari Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa ayat tersebut turun hanya berkaitan dengan dua orang, yaitu Huyay bin Akhtab dan Abu Yasir bin Akhtab.

Kedua Yahudi tersebut berjuang keras menginginkan umat Islam ketika itu murtad dari agamanya. Maka turunlah ayat tersebut. Bahkan riwayat lain dari al-Zuhri mengatakan Yahudi yang dimaksud di sini hanyalah seseorang yang bernama Ka’ab bin al-Asyraf.

Ini diperkuat dengan ayat lain, QS. Ali Imran: 113-114. Dalam ayat ini Allah terang-terangan menyatakan bahwa para ahli kitab yang sering dianggap buruk oleh sebagian kita itu tidak sama semua perangai dan perilaku mereka. Di antara mereka Allah puji karena berlaku lurus, rajin beribadah, dan termasuk hamba yang saleh. Dengan begitu, bukankah mereka sama saja dengan kita yang kadang berlaku baik dan kadang berlaku buruk?

Baca juga: Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 120: Benarkah Yahudi dan Nasrani Tidak Rela Terhadap Islam?

Penutup

Ayat-ayat konflik sebagaimana yang telah disinggung sebagian di atas kebanyakan adalah ayat-ayat kontekstual yang berlaku pada kasus khusus dan di waktu khusus di masa lampau. Ayat-ayat ini dibanding untuk dipraktikkan maksud literalnya, ia lebih kepada merepresentasikan realitas sosial kala ayat tersebut turun pada masa Nabi.

Lalu apa yang bisa kita pelajari dari ayat-ayat konflik kontekstual tersebut jika tidak diamalkan secara apa adanya? Barangkali satu di antara yang bisa kita pelajari adalah bahwa ayat-ayat tersebut menunjukkan kebencian dan perlakuan buruk orang kafir pada masa lalu mengarahkan mereka pada kekalahan di medan perang, akhir yang buruk, dan murka Tuhan berupa siksa pedih di nerakanya kelak.

Adapun masalah fobia kafir di atas yang sering terjadi di negara mayoritas muslim seperti di Indonesia. Umat Islam Indonesia seharusnya tidak bermental minoritas yang sering merasa insecure, takut, cemas, dan terancam dengan kelompok di luar mereka. Sebaliknya, sebagai mayoritas, kita harusnya juga bermental mayoritas yang bersedia mengayomi minoritas yang non muslim itu. Wallahu a’lam.

Baca juga: Konsep Kafir dalam Al-Qur’an Perspektif Farid Esack

Dinamika Perkembangan Tafsir Indonesia: Dari Masuknya Islam hingga Era Kolonialisme

0
Dinamika Perkembangan Tafsir Indonesia: Dari Masuknya Islam hingga Era Kolonialisme
Tafsir Indonesia

Sejarah panjang perjalanan dinamika pembelajaran dan perkembangan tafsir Al-Qur’an di Indonesia dimulai terhitung sejak masuknya ajaran Islam di Indonesia. Informasi tentang kapan masuknya Islam di Indonesia tercatat memiliki beragam versi dari masing-masing sumber. Salah satu sumber sejarah menyebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad 1 H dan dibawa dari Arab (Rahman, 2017).

Munculnya tesis baru terkait sejarah masuknya Islam di Indonesia pada abad pertama hijriyah ini merupakan pembetulan dari pendapat yang berkembang sebelumnya. Sehingga dengan masuknya Islam di Indonesia, otomatis sejarah perjalanan dinamika tafsir di Indonesia juga telah dimulai.

Tafsir Periode Pra-Kolonialisme

Munculnya kajian Al-Qur’an di Indonesia tidak terlepas dari awal datangnya Islam di Indonesia, bahkan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Kitab suci Al-Qur’an diajarkan dan disampaikan pesan-pesannya oleh penyebar Islam awal baik dari Arab, Gujarat, maupun Persia kepada penduduk pribumi di Nusantara.

Pada tahapannya, kajian Al-Qur’an di Indonesia ini terbagi menjadi dua, yakni memberikan penjelasan tentang model-model kajian awal terhadap Al-Qur’an yang meliputi ruang-ruang sosialnya dan tata-aturan membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar. Dan selanjutnya adalah mengarah pada proses pergumulan muslim di Indonesia dengan Al-Qur’an yang lebih bersifat akademis dalam bentuk karya tulis atau produk tafsir (Gusmian, 2003).

Sistem pendidikan Islam awal di Indonesia memperlihatkan bagaimana Al-Qur’an telah diperkenalkan pada setiap muslim sejak kecil melalui kegiatan yang dinamai “pengajian Al-Qur’an” di surau, langgar, dan masjid. Pengajian tersebut diberikan kepada anak-anak didik sebelum mereka diperkenalkan dengan praktik-praktik ibadah (fiqh). Setelah menamatkan pengajian Al-Qur’an, para murid kemudian melanjutkan ke pengajian kitab dengan berbagai disiplin ilmu keislaman (Gusmian, 2003). Dalam pengajian kitab inilah, Al-Qur’an diperkenalkan dengan lebih mendalam melalui kajian kitab tafsir Al-Qur’an.

Baca juga: Empat Catatan Muchlis M. Hanafi atas Perkembangan Tafsir Tematik di Indonesia

Tafsir Periode Kolonialisme Awal

Beralih pada masa kolonialisme awal di Indonesia, dinamika kajian Al-Qur’an tidak selesai hanya pada sebatas kajian mempelajari Al-Qur’an. Berawal dari pentingnya Al-Qur’an yang disampaikan dengan gaya lokalitas, dari sini kemudian muncul para mufasir yang menulis karya tafsir untuk disampaikan kepada masyarakat setempat. Baik itu dalam wilayah lokal, pesantren, maupun dalam skala nasional.

Salah satu literatur karya tafsir yang ditemukan pada masa kolonialisme awal adalah adalah Tafsir Tarjuman al-Mustafid karya dari Abdurrauf al-Sinkili (1615-1693). Banyak sumber mengatakan bahwa bahwa tafsir tersebut merupakan tafsir pertama yang disusun lengkap 30 juz di Indonesia. Tafsir ini dicetak dan tersebar luas di daerah Malaysia, Sumatra, dan Jawa. (Riddel, 2001) Adapun corak yang mendominasi pada tafsir ini adalah penafsiran dengan corak sufistik.

Jika ini dikaitkan dengan sejarah awal masuk Islam di Nusantara, khususnya di Indonesia, penafsiran dengan corak sufistik ini memiliki keterkaitan dan kecocokan antara penyebar awal Islam di Indonesia yang notabenenya adalah para pendakwah dengan latar belakang tasawuf.

Ajaran tasawuf sendiri terbilang cukup kental di daerah Gujarat, India. Selain itu, Al-Sinkili sendiri merupakan salah seorang pendatang yang datang dari daerah Sinkil, India. Dan beliau juga merupakan salah seorang tokoh yang ahli dalam bidang tasawuf, sehingga corak yang muncul dalam karya kitab tafsirnya sangat kental dengan corak sufistik yang sesuai dengan latar belakang beliau.

Tafsir Periode Kolonialisme Akhir

Berlanjut pada masa kolonialisme akhir (abad 19 akhir), muncul sebuah karya tafsir yang berbahasa Melayu-Jawi, yakni Kitab Faraid Al-Qur’an. Tafsir ini tidak diketahui penulisnya, alias anonim. Tafsir tersebut ditulis dalam bentuk yang sederhana, tampak seperti artikel tafsir. Objek kajian pada tafsir ini adalah pembahasan mengenai harta waris (Gusmian, 2003).

Dilihat dari judul tafsirnya, sudah sangat terlihat bahwa tafsir tersebut kental dengan corak fikihnya. Umat Islam pada masa itu sudah berkembang sedemikian rupa, dan ajaran Islam yang dibutuhkan pada masa tersebut adalah persoalan praktik sosial-ubudiyah. Dalam hal ini fikih menjadi alternatif dalam pembelajaran dan memberikan jawaban masalah atas problem umat yang terjadi pada saat itu.

Selain itu ditemukan pula penulisan tafsir secara utuh, yakni al-Tafsīr al-Munīr li Ma’ālim al-Tanzīl karya Imam Muhammad Nawawi al-Bantani (1813-1879 M). Tafsir ini ditulis dengan menggunakan bahasa Arab. Meski ditulis oleh putra tanah air, tafsir ini ditulis di luar Indonesia, yakni di Makkah (Ma’arif, 2017). Tidak banyak tafsir yang ditemukan pada kurun waktu periode kolonialisme ini. Sebagaimana yang diketahui, bahwa menafsirkan dan memahami Al-Qur’an dibutuhkan waktu yang lama serta butuh ilmu yang banyak dan kompleks.

Minimnya kemunculan tafsir di periode ini boleh jadi disebabkan kondisi bangsa Indonesia saat itu yang sedang berada dalam jajahan Belanda. Di mana kondisi yang begitu intens dengan perlawanan dan peperangan untuk mengusir penjajah agar mendapatkan kemerdekaan.

Baca juga: Serial Diskusi Tafsir: Pengaruh Kesarjanaan Barat dalam kajian Tafsir di Indonesia

Pandangan W. Montgomery Watt Tentang Pengumpulan Al-Quran dan Kritik Atasnya

0
Pandangan W. Montgomery Watt Tentang Pengumpulan Al-Quran dan Kritik Atasnya
W. Montgomery Watt

Al-Quran merupakan firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sebagai salah satu mukjizatnya dan kitab suci umat Islam sepanjang zaman. Al-Quran selalu mempunyai daya tarik untuk dikaji lebih lanjut. Pengkajian terhadap al-Quran pun terus dilakukan sampai sekarang ini, baik dari kalangan sarjanawan muslim ataupun sarjanawan Barat, yang biasa dikenal dengan sebutan orientalis. Para orientalis mengkaji beragam aspek dari Al-Quran. Salah satu aspek yang dikaji adalah tentang pengumpulan teks al-Quran yang salah satunya dilakukan oleh W. Montgomery Watt.

Sekilas pandang tentang W. Montgomery Watt

Montgomery Watt lahir di Ceres, Edinburgh pada 14 Maret 1909. Ia menempuh pendidikan di Universitas Jena dan di Universitas Oxford, dan merupakan salah seorang orientalis dan sejarawan utama tentang Islam di dunia Barat. Selain itu ia juga merupakan seorang professor studi-studi Arab dan Islam pada Universitas Edinburgh sekitar tahun 1964-1979. Ia mulai mempelajari Islam untuk pertama kalinya ketika ia mempelajari bahasa Arab di bawah supervisi Richard Bell.

Montgomery Watt mempunyai banyak karya tulis yang berhubungan dengan sejarah Islam-Al-Quran, maupun yang berhubungan dengan masyarakat Islam-Kristen. Di antara beberapa karyanya yang terkenal dan digemari para tokoh orientalis adalah trilogi sejarah Nabi Muhammad dalam bukunya yang berjudul “Muhammad of Mecca, Muhammad at Madina, dan Muhammad Prophet and Statesman(Alwi, 2010: 95).

Baca juga: Inilah Beberapa Argumentasi Orientalis dalam Mematahkan Autentisitas Al-Quran

Pandangan dan kritik W. Montgomery Watt tentang pengumpulan Al-Quran

Merujuk kepada Tulisan J. Koren dan Y. D. Nevo yang berjudul Methodological Approaches to Islamic Studies dan karya-karya lain yang relevan, Akh. Minhaji menyatakan bahwa terdapat dua aliran besar yang diterapkan secara umum dalam kajian Islam (termasuk studi Al-Quran) dan umat Islam.

Aliran pertama digunakan oleh kelompok tradisionalis yang disebut dengan pendekatan tradisionalis (traditionalist approach). Pendekatan tradisionalis ini dipahami sebagai sebuah pendekatan yang dalam praktiknya membatasi diri hanya pada warisan literatur-Arab dengan pemahaman yang menggunakan premis-premis yang berkembang dalam tradisi umat Islam.

Adapun aliran kedua ialah pendekatan revisionis yang digunakan oleh kelompok revisionis. Pendekatan revisionis menurut Akh. Minhaji bertumpu pada tiga prinsip yaitu: 1) pendekatan kritik sumber terhadap al-Quran dan literatur Islam, 2) perbandingan literatur Islam dengan data di luar tradisi umat Islam terutama data yang semasa dengan peristiwa yang semasa dengan peristiwa yang diteliti, 3) pemanfaatan bukti material (arkeologi, numistik, epigrafi) yang semasa dengan peristiwa yang diteliti (Rofiq: 227).

Pengertian tradisional semacam itulah yang dipahami oleh W. Montgomery Watt ketika secara implisit menjelaskan yang telah meluas di kalangan umat Islam tersebut.

Perihal pengumpulan teks al-Quran menurut W. Montgomery Watt dalam bukunya yang merupakan revisi terhadap pengantar al-Quran karya Richar Bell yang berujudul Bell’s Instroduction to The Quran, disebutkan bahwa pengumpulan mushaf al-Quran sudah dimulai sejak masa khalifah Abu Bakar, dan kemudian dilanjutkan pada masa Ustman bin Affan.

Hal ini bermula karena banyaknya para penghafal al-Quran yang gugur pada peristiwa perang Yamamah. Melihat hal tersebut Khalifah Umar bin Khattab mengusulkan kepada abu Bakar agar segera dilakukan pengumpulan al-Quran karena kekhawatiran akan lebih banyak lagi para penghafal al-Quran yang gugur, sedangkan al-Quran belum dibukukan.

Namun, usulan Umar bin Khattab tersebut tidak diterima begitu saja oleh Abu Bakar. Ia sempat ragu karena tidak ada perintah dari Nabi. Pada akhirnya Abu bakar menyetujui usulan Umar bin Khattab dan menunjuk zaid bin Tsabit sebagai panitia penulisan al-Quran. setelah penulisan al-Quran selesai, Zaid menyerahkannya kepada Abu Bakar, ketika Abu Bakar meninggal diserahkan kepada Umar, dan ketika Umar bin Khattab meninggal diserahkan kepada Hafshah, putri Abu Bakar (Adilan: 4).

Montgomery Watt mengajukan beberapa kritik terhadap perisitiwa pengumpulan al-Quran tersebut, sebagai berikut (Thaufan, 2012: 56):

  1. Tidak ada catatan sah mengenai wahyu sampai Nabi Muhammad wafat. Kemudian ia juga menyebutkan bahwa ada beberapa versi mengenai gagasan pengumpulan al-Quran apakah dimulai sejak masa Abu Bakar ataukah Umar bin Khattab. Tentang peristiwa gugurnya para penghafal al-Quran pada perang Yamamah, W. Montgomery Watt mengutip pendapat Freidrich Schwally bahwasanya para korban yang gugur dalam perang Yamamah adalah orang baru beriman (baru masuk Islam), bukan para huffaz. Kedua,
  2. Ia juga meragukan bahwa mushaf yang berada ditangan Hafshah merupakan hasil pengumpulan Zaid. Karena jika demikian, hal ini mustahil bila mushaf tersebut berpindah ke tangan orang lain di luar kepemilikan resmi, walaupun Hafshah merupakan putri khalifah.

Kritik Sarjana Muslim terhadap Pandangan W. Montgomery Watt

Kritik yang diajukan W. Montgomery Watt di atas tidak bisa diterima begitu saja, mengingat terdapat banyak perbedaan pendapat tentang hal tersebut. Seperti M.M. al-A’zami yang berpandangan bahwa pasca pengumpulan mushaf selesai, Abu Bakar menyimpan suhuf tersebut sebagai arsip negara di bawah pengawasannya. Ini artinya suhuf tersebut merupakan arsip negara, bukan perorangan.

Lebih lanjut, ia juga berbeda pendapat tentang pengumpulan mushaf pada masa Abu Bakar yang menjadi keraguan W. Montgomery Watt. Menurut M.M al-A’zami, Abu Bakar lah yang memberi instruksi kepada Zaid agar jika ada yang hendak mengumpulkan mushaf, maka ia harus membawa dua saksi, demi menjamin otentitas al-Quran. Maka dari sini jelaslah bahwa kegiatan pengumpulan mushaf sudah dimulai pada masa kekhalifahan Abu Bakar (Thaufan, 2012: 56).

Pandangan dan kritik yang ditawarkan W. Montgomery Watt mengenai pengumpulan al-Quran tersebut tidak terlalu menyimpang dari pendapat mayoritas sarjanawan muslim. Kritik-ktirik yang ia ajukan memberikan wawasan baru bagi para pengkaji ulum al-Quran. Bahkan karya Watt juga mendapat apresiasi oleh Fazlur Rahman, karena tulisan-tulisannya membantu dan berguna khususnya bagi para pengkaji ilmu al-Quran.

Baca juga: Kedudukan Mushaf Utsmani Perspektif Muhammad Mustafa Azami

Menyoal Slogan Kembali Kepada Al-Qur’an dan Sunnah: Memangnya Bisa?

0
Menyoal Slogan Kembali Kepada Al-Qur’an dan Sunnah: Memangnya Bisa?
Menyoal Slogan Kembali Kepada Al-Qur’an dan Sunnah

Ada sebuah adagium yang cukup menarik yang tersebar di kalangan masyarakat muslim kita hari ini, yang kurang lebihnya berbunyi: “Segala sesuatu itu harus sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah, karenanya, mari kita semua kembali ke Al-Qur’an dan Sunnah”. Adagium semacam ini sangat mudah kita jumpai di media sosial, terutama dalam beberapa tahun belakangan ini.

Sepintas, ketika pertama kali membaca dan mendengar adagium semacam ini terasa pesan yang ingin disampaikan simpel dan jelas. Akan tetapi jika direnungkan kembali, adagium tersebut pada dasarnya tidak dapat dianggap sederhana. Ia menyimpan implikasi yang, setidaknya dalam pandangan penulis, sangat “bertanggungjawab” dalam terbentuknya karakter keberagamaan masyarakat.

Di satu sisi, adagium tersebut sangatlah logis ketika dihubungkan dengan QS. Al-Baqarah [2]: 2. Ayat tersebut, jika diperhatikan, menyimpan narasi yang memperkuat adagium tersebut, bahwa tidak ada keraguan di dalam Al-Qur’an dan ia merupakan petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.

Di sisi yang lain, adagium tersebut juga memunculkan pertanyaan yang cukup serius: Apakah setiap muslim mempunyai kapasitas dan kapabilitas yang cukup untuk langsung kembali ke dua sumber utama Islam tersebut?

Hemat penulis, dengan tidak bermaksud menafikan beberapa kalangan yang memang diberikan kemampuan khusus dalam bidang ini, hal tersebut terbilang cukup minim dalam persentasenya. Sebagaimana dalam catatan para sarjana muslim, semisal al-Farmawi, memberikan catatan bagi kalangan yang ingin “kembali”, juga biasa disebut dengan kerja penafsiran kitab suci, harus menguasai beberapa disiplin keilmuan.

Beberapa disiplin keilmuan tersebut meliputi, misalnya, kemampuan berbahasa Arab yang baik, pun dengan seperangkat metode gramatikalnya, ulumul Qur’an—yang meliputi pemahaman atas asbab an-nuzul, naskh dan mansukh, dan sebagainya; dan beberapa disiplin lainnya yang mendukung kerja ini—yang diantaranya disiplin keilmuan sosial, hermeneutika, dan antropologi.

Lalu bagaimana dengan yang tidak memiliki beberapa disiplin keilmuan tersebut?

Sebagaimana catatan Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur’an, bahwa kalangan ini biasanya akan berbondong-bondong untuk mendatangi berbagai majlis pengajian. Atau yang paling mutakhir, sebagaimana kajian Hasanuddin Ali dan Lilik dalam Wajah Islam Indonesia, mereka akan berseluncur di media sosial dengan term pencarian ayat atau role model (baca: ustaz, kyai, atau ulama) tertentu sesuai dengan kebutuhan dan seleranya.

Sampai pada titik ini, persoalan tersebut pada dasarnya belum selasai. Perihal bagaimana memahami “role model” adalah persoalan lanjutan dari ini. Catatan Ignaz Goldziher dalam Madzahib al-Tafsir al-Islami memperlihatkan bahwa meskipun masing-masing dari “role model” tersebut memiliki basis prasyarat sebagai seorang yang dapat menafsirkan Al-Qur’an, namun secara keseluruhan, proses ini tidak dapat dilepaskan dari adanya kepentingan, tujuan, pun dengan tendensinya.

Karenanya, menjadi tidak mengherankan jika di antara para “role model” tersebut terdapat perbedaan terkait pemahaman atas suatu ayat tertentu. Perbedaan-perbedaan inilah yang pada akhirnya tentu akan turut serta dalam membentuk karakter keberagamaan masyarakat, entah itu “ramah” atau “marah” misalnya.

Baca juga: Mengkaji Slogan Kembali Kepada Al-Quran dan Al-Hadits

Memahami ragam penafsiran terhadap Al-Qur’an

Untuk menjelaskan persoalan ini, yakni memahami penafsiran yang disampaikan “role model” yang nantinya kita pilih, kiranya menjadi penting menggunakan kacamata yang ditawarkan Julia Kristeva dalam Desire in Language: A Semiotic Approach to Literature and Art.

Melalui semanalisis-intertekstual-nya, Julia Kristeva berusaha menawarkan sebuah pembacaan atas segala sesuatu sebagai proses penandaan. Pusat perhatiannya terletak pada subjek yang berbicara, pun dengan strategi-nya, dan sejauhmana dalam hal ini masing-masing di antara “role model” melakukan perujukan.

Ada dua aspek penting yang harus kita bedakan dalam proses semanalisis ini. Pertama, terkait genoteks. Aspek ini merupakan teks asli yang memiliki kemungkinan pemaknaan yang tidak terbatas. Dalam konteks ini, kita harus mampu menemukan teks asli (Al-Qur’an) dari apa yang dijelaskan “role model”.

Kedua, tekait fenoteks. Aspek ini merupakan pemaknaan atas teks asli—juga bisa sebagai respons atas teks asli. Dalam konteks ini, sejauh apapun penjelasan dari “role model” atas Al-Qur’an, ia tidak sama dengan Al-Qur’an itu sendiri. Ia berada di wilayah tafsir, yang sebagaimana Ignaz Goldziher, ia bersifat dinamis dan terus berkembang, yang tentu memiliki dimensi tujuan dan kepentingan tertentu.

Namun demikian, keduanya, tegas Julia Kristeva, tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya dan betapun pemaknaan yang dihadirkan oleh “role model” tersebut.

Selanjutnya, setelah memahami perbedaan antara kedua aspek ini, kita harus memahami sejauhmana “role model” tersebut melakukan perujukan-perujukan dari apa yang ia jelaskan. Wilayah ini, oleh Julia Kristeva, berada di wilayah intertekstual. Fungsinya, utamanya dalam konteks ini, untuk memahami kecenderungan dan tujuan yang mendasari munculnya sebuah penjelasan dari “role model” atas Al-Qur’an.

Walhasil, slogan “kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah” perlu dipersoalkan ulang. Apakah hal tersebut dapat dilaksanakan semua orang? Apakah akan segampang pengucapannya? Dan bukankah penafsiran yang ada beraneka ragam yang bahkan bisa saja saling bertentangan? Wallahualam.

Baca juga: Kembali kepada Al-Qur’an dengan Fitur Kontekstualis-Progresif Menurut Amin Abdullah