Beranda blog Halaman 160

Pemikiran Arthur Jeffery Tentang Ragam Qira’at dan Kritik Autentisitas Al-Quran

0
Pemikiran Arthur Jeffery Tentang Ragam Qira’at dan Kritik Autentisitas Al-Quran
Arthur Jeffery

Kajian mengenai Al-Qur’an tidak hanya diminati oleh para sarjana muslim pun sarjana Barat yang biasa kita sebut dengan istilah orientalis. Salah satu topik yang menjadi perdebatan satu di antaranya munculnya ragam qira’at. Melalui topik kajian qira’at inilah hadir sosok Arthur Jeffery yang melakukan pengkajian mendalam tentang qira’at dan kaitannya dengan kritik terhadap autentisitas Al-Quran. Lantas bagaimanakah Arthur Jeffery menggugat autentitas Al-Quran melalui pemikirannya terhadap ragam qira’at Al-Quran? Mari simak penjelasan berikut ini.

Analisis Terhadap Ragam Qira’at

Secara etimologi (bahasa), qira’at adalah masdar dari fi’il madhi qara’ah yang berarti bacaan. Sedangkan secara istilah, Muhammad ‘Abd al-‘Azim al-Zarqani dalam kitab Manahil al-‘Irfan fi Ulum al-Quran mengartikan qira’at sebagai bentuk pengucapan yang dipilih salah seorang imam qurra’ sebagai suatu mazhab tertentu dan memiliki perbedaan dengan mazhab lainnya. Menurut Ibnu Khalawayh, di antara syarat suatu qira’at dapat disebut shahih ialah: a) memiliki kesesuaian dengan rasm ustmani, b) sesuai dengan kaidah bahasa arab, dan c) memiliki sanad yang bersambung.

Muhammad Ali al-Shabuny dalam al-Tibyan fi ‘Ulum al-Quran membahas mengenai jumlah ragam qira’at al-Quran yang tergolong shahih, yang dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan berjumlah 7 (tujuh), 10 (sepuluh), bahkan 14 (empat belas). Akan tetapi dari kesemua pendapat tersebut , qira’at al-sab’ah lah yang memiliki kedudukan paling kuat.

Adapun 7 (tujuh) imam qira’at tersebut ialah: Ibnu Amir al-Dimasyqi (w. 188 H), Ibnu Khatir al-Makki (w. 120 H), ‘Asim al-Kufi (w. 127 H), Abu ‘Amr bin al’A’la al-Basri (w. 154 H), Hamzah Ibnu Habib al-Zayyat al-Kufi (w. 156 H), Nafi’ Ibnu ‘Abd al-Rahman al-Madani (w. 169 H), ‘Ali Ibnu Hamzah al-Kisa’I (w. 189 H). Adapun qari yang 10 (sepuluh) ialah tujuh qari tersebut ditambah dengan: Abu Ja’far al-Madani (w. 130 H), Ya’qub al-Hadhrami (w. 205 H), dan Khalaf  bin Hisham al-Bazzar (w. 299 H).

Kemudian qari yang empat belas ialah 10 qari yang telah disebutkan ditambah dengan Muhammad bin ‘Abd al-Rahman al-Sahmi (w. 123 H), Yahya bin Mubarak (w. 202 H), dan al-a’masy (w. 148 H), (Muchotob Hamzah, Studi al-Quran Komprehensif, hal 121-122). Selain bacaan daripada imam-imam di atas, maka status dari qira’at tertentu adalah syazah atau cacat (tertolak). Demikian pula Imam Nawawi menuturkan, apabila seseorang membaca al-Quran dan tidak merujuk kepada empat belas imam diatas, maka ia berdosa dan wajib bertaubat.

Baca juga: Al-Fatihah dalam Pandangan Arthur Jeffery, Orientalis Asal Australia

Siapakah Arthur Jeffery?

Merujuk pada buku Historical Data the Union Theological Summary: Alumni Directory 1836- 1958, menyebutkan bahwa Arthur Jeffery lahir pada tanggal 18 Oktober 1892 di Melbroune (Australia) dan wafat pada tanggal 2 Agustus 1959 di South Milford (Nova Scotia, Canada). Perjalanan akademis yang telah ia tempuh yakni, S1 (1918) di University of Melbourne, S2 (1920) di Melbourne College of Divinity dan S3 di University of Edinburgh. Studi akademisnya ini pernah tertunda karena perang dunia pertama. Lalu ia pergi ke India dan mengajar di Mardras Christian College sembari belajar beberapa bahasa India. Di sana ia mengembangkan beasiswa Alquran. Menurut Kenneth Cragg dalam International Bulletin of Missionary Research, bahwa kelihaian yang dimiliki Arthur dalam berkomunikasi bahasa Arab dan kelincahannya dalam berkhotbah, hampir tidak ada yang sebanding dengannya.

Kemudian pada tahun 1921 Charles R. Watson direktur Universitas Amerika di Kairo (Mesir) merekrut Arthur untuk bergabung di School of Oriental Studies (SOS). Di lembaga ini banyak berkumpul para misionaris bertaraf internasional seperti Earl E. Elder, William Henry Temple Graidner dan Samuel Marinus Zwemer, pendiri Konferensi Umum Misionaris Kristen sekaligus pendiri jurnal The Muslim World. Selanjutnya, dia menjadi seorang professor (guru besar) bahasa semit di Universitas Columbia sejak 1938 hingga wafatnya.

Studi Kritis Pemikiran Arthur Jeffery Terhadap Ragam Qira’at (Bacaan) Al-Quran

Arthur Jeffery dalam buku Materials for the History of the Text of the Quran berargumen bahwasanya qira’at dari teks Al-Quran yang berbeda-beda sejatinya merefleksikan satu titik orientasi bahwa adanya keteledoran (kekeliruan) penyalin teks naskah itu sendiri. Kemudian Abdul Djalal dalam buku Ulumul Qur’an hal 338 mengatakan penyebab lain dari adanya perbedaan qira’at al-Quran adalah karena ketiadaannya titik الشكل) ) dan tanda baca ( النقط )  pada mushaf Utsmani. Sementara tanda baca dan titik di dalam al-Quran baru muncul beberapa saat setelah itu. Ketiadaan titik ini berimbas kepada kesulitan dalam aktivitas resitasi al-Quran, khususnya umat Islam di luar komunitas Arab. Keadaan ini memberi peluang bebas bagi pembaca untuk memberi tanda sendiri sesuai dengan konteks ayat yang dipahami.

Arthur juga memberi contoh jika seseorang menemukan kata tanpa tanda titik seperti kata (ىعلمه) maka boleh saja ia membaca (بعلمه- يعلمه- نعلمه atau تعلمه) dengan demikian jelaslah bahwa si pembaca mengalami kekeliruan dalam memahami Al-Quran (A. Jeffery, The Qur’an as Scripture, (New York: r. F. Moore Co., 1952). Dari argumennya tersebut seolah-olah Arthur memposisikan Al-Quran sama halnya dengan manuskrip, dan qira’at harus tunduk dengan manuskrip tersebut. Lanjutnya, kesalahan di atas berimplikasi pada keautentikan al-Quran, dimana pembaca harus menafsirkan tanda baca dan jumlah titik yang tepat untuk sebuah paleografi yang “mati”.

Arthur Jeffery dan sebagian tokoh orientalis lain menganggap al-Quran sebagai sebuah dokumen tertulis (reading the text) sebagaimana pendekatannya terhadap Bibel. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan tradisi umat Islam yang dalam proses transmisi al-Quran menggunakan tradisi oral (lisan). Lebih lanjut al-A’zami dalam The History of the Quranic Text from Revelation to the Compilation: A Comparative Stuy with the Old and New Testaments, mengatakan bahwa Arthur Jeffery dalam menggugat keautentikan Al-Quran benar-benar melupakan tradisi pengajaran secara lisan.

Mengutip pendapat Kristina Nelson, bahwa transmisi al-Quran dan keberadaan sosialnya ialah sungguh bersifat oral, ritme al-Quran dan prononisasinya mengkonfirmasi untuk di dengar (M. Mabrur Barizi, Implikasi Sejarah Transmisi Al-Quran). Selain itu, Angelika Newrith dalam Structural, Linguistic and Literary Features,” turut mengomentari bahwa untuk melihat hal tersebut (tanda titik dan baca), seseorang harus memahami bahwa sebagian dari Al-Quran merefleksikan linguistik Arab. Maka tidak heran jika Amin al-Khulli menyatakan bahwa Al-Quran adalah kitab sastra terbesar. Lanjutnya, dalam Al-Quran terdapat sajak yang merupakan karakteristik dari linguistik Arab. Bahkan secara khusus, lafaz-lafaz yang diulang-ulang dalam Al-Quran tidak hanya sekedar sarat akan nilai sastrawi, lebih dari itu sebagai sistem kerja linguistik Arab guna memberikan pemaknaan yang lebih mendalam terhadap suatu ayat. Dengan begitu, respons terhadap Al-Quran lebih kuat untuk didengarkan daripada hanya sekedar sebuah teks.

Pengkajian al-Quran dengan pendekatan studi kritik teks sebagaimana terhadap Bibel, yang dilakukan oleh Arthur Jeffery berimplikasi terhadap kesalahannya dalam berargumen dan membuat kesimpulan. Pasalnya, pada periode awal Islam terdapat banyak cara baca Al-Quran dan tidaklah berbasis pada kesalahan seorang muslim dalam membaca mushaf Ustmani, melainkan hal ini sudah terjadi dan diajarkan langsung oleh Nabi kepada umat terdahulu. Lagi pula tradisi tulis sangat sedikit sekali dalam proses transmisi Al-Quran di masa awal Islam. Sehingga “pemaksaan” dengan menggunakan studi kritik teks yang dilakukan Arthur Jeffery menghasilkan argument dan kesimpulan yang sangat mudah dipatahkan.

Baca juga: Inilah Beberapa Argumentasi Orientalis dalam Mematahkan Autentisitas Al-Quran

Pro-Kontra Syair Jahili sebagai Hujah dalam Menafsirkan Al-Quran

0
Pro-Kontra Syair Jahili sebagai Hujah Penafsiran al-Quran
Pro-Kontra Syair Jahili sebagai Hujah Penafsiran al-Quran

Melanjutkan artikel sebelumnya berjudul Syair Jahili dalam Penafsiran al-Quran, tulisan kali ini akan menyajikan perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang keabsahan syair jahili dalam menafsirkan al-Quran.

Muhammad Husein Muhammad dalam penelitiannya berjudul Atsar al-Syi’r al-Jahili fi Tafsir al-Quran al-Karim (2018) menyebutkan, setidaknya ada dua golongan mengenai syair sebagai syawahid (referensi) dalam penafsiran al-Quran; yaitu golongan yang pro dan golongan yang kontra. Dimulai dari kelompok kontra terlebih dulu.

Kontra-Syair

Para ulama yang menolak syair sebagai syawahid (referensi) penafsiran al-Quran mengatakan, “Jika kami menjadikan syair sebagai asal (sumber) bagi al-Quran, tentu ini mustahil. Karena, jika ditafsirkan memakai syair, bisa jadi makna al-Quran sama sekali berbeda dengan makna yang dikehendaki Allah sebenarnya. Sebab itulah kami menolak syair sebagai sumber rujukan tafsir al-Quran.”

Kelompok ini juga mengutip QS. Al-Syu’ara [26]: 224;

وَالشُّعَرَاۤءُ يَتَّبِعُهُمُ الْغَاوٗنَ ۗ

Para penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat.

Selain ayat di atas, mereka juga berhujah pada hadits Nabi berikut;

لِأَنْ يَمْتَلِئَ جَوْفُ أَحَدِكُمْ قَيْحًا حَتَّى يُرِيَهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمْتَلِئَ شِعْرًا

Sesungguhnya perut seseorang di antara kalian yang dipenuhi muntah itu lebih baik daripada perut yang dipenuhi dengan syair.

Kemudian kita juga membaca dalam Images of Muhammad (2021), Tarif Khalidi mengutip riwayat Nabi yang menafikan seorang penyair besar pra-Islam, Imri’ al-Qais. Ketika nama Imri’ al-Qais disebut di hadapan Nabi, beliau saw bersabda, “Ia seorang pria yang dielu-elukan dan bermartabat di dunia ini. Tetapi sama sekali tidak berarti apa-apa di akhirat kelak. Saat Hari Kebangkitan tiba, ia akan mengibarkan panji para penyair dan akan memimpin mereka masuk ke dalam jurang api neraka.”

Baca juga: Tafsir Surah Yasin ayat 69-70: Al-Quran Bukan Syair, Ini Penjelasannya

Pro-Syair

Kelompok ini adalah mayoritas di antara para sahabat, tabiin dan generasi setelahnya. Banyak riwayat yang menunjukkan hal itu. Misalnya seperti Amirul Mukminin Umar bin Khaththab dan Tarjuman al-Quran, Ibn Abbas seperti dikisahkan dalam artikel terdahulu.

Guna menjawab dalil penolakan kelompok yang kontra, kelompok ini menjelaskan bahwa ada pengecualian pada ayat selanjutnya yang dengan sendirinya dapat dipahami bahwa syair dan para penyair itu tidak semua dicela, yaitu al-Syu’ara [26]: 227.

اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَذَكَرُوا اللّٰهَ كَثِيْرًا وَّانْتَصَرُوْا مِنْۢ بَعْدِ مَا ظُلِمُوْا ۗوَسَيَعْلَمُ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْٓا اَيَّ مُنْقَلَبٍ يَّنْقَلِبُوْنَ ࣖ

Kecuali (para penyair) yang beriman, beramal saleh, banyak mengingat Allah, dan bangkit membela (kebenaran) setelah terzalimi. Orang-orang yang zalim kelak akan mengetahui ke mana mereka akan kembali.

Lalu terkait hadis yang mencela para penyair, hadis itu juga hanya ditujukan kepada para penyair yang melulu berkutat dalam syair hingga hati mereka lupa dengan al-Quran dan Allah Swt.

Jika benar semua syair itu buruk, lalu bagaimana dengan Hassan bin Tsabit, seorang penyair beken pada masanya yang didapuk sebagai penyair pribadi Nabi, serta hadis Nabi Saw yang menegaskan bahwa ada hikmah di balik syair?

إن من الشعر حكمة

Sedangkan ketidaksukaan atau penolakan kelompok pertama (kontra), yaitu jika makna al-Quran disalahpahami, ini hanya jika makna ayat disimpangkan dari zahirnya dengan mendasarkannya pada syair Arab.

Kita juga mendapati keterangan al-Suyuthi dalam al-Itqan fi Ulum al-Quran, bahwa “Adanya ‘karahah’ atau penolakan itu jika suatu ayat dipahami secara menyimpang dari semestinya, kepada makna yang telah keluar (dari makna populer) dan sedikit sekali syair Arab yang menjadi dalil penafsiran tersebut. Maka segeralah menyelisihinya.”

Abu Hilal al-‘Askari dalam Kitab al-Shana’atain; al-Kitabah wa al-Syi’r (1952) menyebutkan beberapa keutamaan syair. Di antaranya diksi yang digunakan adalah yang paling fasih, asing, bermakna kompleks, dan sastrawi. Syair yang tidak mengandung unsur-unsur tersebut belum cukup disebut sebagai syair (hal. 138).

Baca juga: Benarkah Syair Itu Haram? Simak Penafsiran Surat Yasin Ayat 69

Syair sebagai Hujah Gharib al-Quran

Dalam al-Shahabiy fi Fiqh al-Lughah al-Arabiyyah (1993) karya linguis Abu al-Husain al-Razi, kita membaca keterangan yang menegaskan bahwa syair merupakan diwan al-‘arab (catatan historis Arab), yang dengannya nasab-nasab para kabilah terjaga, sebagaimana ditegaskan dalam al-Hujurat [49]: 13.

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.

Selain itu kita juga dapat mengetahui rekam jejak masa terdahulu serta mempelajari ragam bahasa melalui diwan al-arab. Syair, tambah al-Razi, merupakan hujah atau petunjuk bagi kata-kata dalam al-Quran ataupun hadis yang sukar diurai-dipahami maknanya (al-Shahabiy, hal. 73).

Para ulama tidak menyebut seluruh syair itu buruk. Syair Arab yang dikutip, khususnya syair jahili adalah kalimat-kalimat yang bijak dan ungkapan-ungkapan indah yang terkandung di dalamnya. Bukan yang berisi sindiran, ejekan, apalagi makian. Bukan. Syair yang begitu, tak perlu dipakai sebagai syawahid.

Ketika dihadapkan pernyataan seseorang kepadanya, “Syairnya si Fulan itu bohong, loh,” al-‘Askariy (1952) menimpali, “Yang dikehendaki dari penyair adalah keindahan kalimatnya. Jika kebenaran, maka hanya para nabi yang mestinya dikehendaki.”

“Jika ada kekurangan dalam syair,” tambah al-‘Askariy, “maka seseorang tidak harus menolak dan menjauhinya. Pengecualian Allah terhadap para penyair (dalam al-Syu’ara [26]: 224) itu menunjukkan, yang dicela dari syair adalah penyimpangan penafsiran dari yang benar ke yang salah. Jika sifat-sifat (penyimpangan) tersebut tidak ditemukan, hilanglah celaan terhadap syair,” (al-Shana’atain, hal. 138).

Alhasil, penggunaan syair jahili sebagai alat untuk menafsirkan al-Quran umumnya hanya sebatas untuk mengetahui maksud dari diksi al-Quran yang asing (gharib) seperti yang dilakukan para linguis. Para linguis ini mendasarkannya pada al-Zukhruf [43]: 3 dan al-Syu’ara [26]: 195.

Hal ini juga senada dengan pernyataan Ibn Abbas yang dinukil Abu Bakar al-‘Anbariy dalam Idhah al-Waqf wa al-Ibtida (1971) , “Syair merupakan diwan al-‘arab. Apabila ada sekata-dua kata dalam al-Quran—kitab suci yang diturunkan Allah menggunakan bahasa Arab—yang sukar dipahami, maka kembalilah pada diwan al-‘arab, dan ambilah pengetahuan darinya (hal. 100-111).” Wallahu a’lam.

Baca juga: Pesan Kinasih Shalawat Fadhailul Qur’an, Syair Anggitan Kyai Ahsin Sakho Muhammad

Keutamaan Malam Hari dalam Al-Quran

0
Malam dan Keutamaannya
Malam dan Keutamaannya

Kata malam dalam bahasa Arab, bahasa Al-Qur’an dan bahasa hadis disebut “layl” (ليل). Jamaknya adalah “layal” (ليال). Malam hari adalah suatu realitas kehidupan, yang dapat disaksikan oleh seluruh makhluk Allah yang ada di bumi ini, baik manusia maupun makhluk Allah yang lain. Di dalam al-Qur’an, ada keutamaan malam sebagaimana terdapat keutamaan siang. Maoam

Demikian pula sebaliknya, ketika siang datang malam pun pergi. Demikian seterusnya ia berputar dan beredar sesuai dengan ketentuan-Nya. Tidak dapat dibayangkan, kalau malam terus-terus menerus berjalan tanpa ada penggantian dengan siang. Sebaliknya, kita tidak dapat membayangkan, kalau hanya siang hari yang berjalan terus tanpa ada pergantian dengan malam. Malam harus bergantian dan siang harus berganti malam. Ini adalah takdir yang sudah ditentukan oleh Allah.

Semua makhluk menerima perputarannya itu dan pergantiannya dengan penuh penerimaan. Perputaran dan pergantiannya merupakan salah satu tanda kebesaran Allah swt. Hal ini dinyatakan oleh Allah di dalam beberapa ayat Al-Qur’an. Di antaranya di dalam S. al-Baqarah/2: 164:

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.”

Baca Juga: Kedudukan Manusia Sebagai Khalifah Allah Swt di Muka Bumi

Di dalam ayat ini Allah menggambarkan tentang kekuasaannya dalam menciptakan berbagai makhluk-Nya di alam ini untuk kehidupan manusia. Di antara makhluknya itu adalah langit dan bumi, pergantian malam dan siang, laut yang disiapkan untuk tempat berlayar bagi kendaraan laut manusia, air yang diturunkannya dari langit yang mensumber sumber utama kehidupan manusia dan alam ini. Allah menciptakan berbagai macam hewan dengan jenisnya yang beraneka ragam. Di dalam ayat ini Allah menunjukkan tanda-tanda kekuasannya dalam menciptakan segala sesuatu.

Allah telah memberikan segalanya untuk manusia di alam ini. Allah telah memberikan malam, siang, matahari, bulan dan bintang-bintang. Allah telah menundukkan malam itu bagi manusia sehingga dapat menikmatinya. Hal ini seperti yang dijelaskan di dalam beberapa ayat Al-Qur’an, di antaranya QS. al-Nahl [16]: 12:

وَسَخَّرَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومُ مُسَخَّرَاتٌ بِأَمْرِهِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ

“Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami(nya).”

Allah memberikan malam, siang, matahari dan bulan sebagai nikmat bagi kehidupan manusia. Nikmat ini tidak pernah lepas atau hilang dari kehidupan manusia. Bisa Anda bayangkan, kalau malam tidak ada, kalau siang tidak ada, kalau matahari tidak ada, dan kalau bulan tidak ada. Bisa juga Anda bayangkan, bagaimana kalau malam tidak pernah berganti siang dan siang tidak berganti malam. Bisa Anda bayangkan, bagaimana kalau siang tidak ada matahari, dan malam tidak ada bulan. Bintang-bintang yang ada di langit ditundukkan oleh Allah untuk manusia.

Jadi, semua yang diciptakan oleh Allah di atas dunia adalah untuk manusia dan untuk kehidupannya. Tanpa malam, manusia tidak bisa hidup. Tanpa siang manusia tidak bisa hidup. Tanpa matahari, manusia tidak bisa hidup. Tanpa bulan, manusia tidak bisa hidup.

Baca Juga: Memanfaatkan Nikmat Umur di Dunia dengan Banyak Beristighfar

Di dalam QS. al-Qashash [28]: 72 Allah menggambarkan, bagaimana kalau siang berjalan terus hingga hari kiamat tanpa ada pergantian dengan malam. Allah menyatakan: “Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku, jika Allah menjadikan untukmu siang itu terus menerus sampai hari kiamat, siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan malam kepadamu yang kamu beristirahat padanya? Maka apakah kamu tidak memperhatikan?”

Allah tidak menetapkan siang berjalan terus tanpa ada pergantiannya dengan malam. Allah tidak menetapkan malam berjalan terus tanpa ada pergantiannya dengan siang. Allah menetapkan untuk manusia pergantian malam dan siang. Ketika malam datang, siang pergi dan ketika siang pergi datang pula malam. Demikianlah perjalanan malam dan siang selalu bergantian. Semua itu diberikan oleh Allah untuk kemaslahatan manusia dan kehidupannya. Kalau hanya malam yang ada, kalau siang saja yang ada, maka manusia tidak mungkin dapat hidup.

Mendudukkan Ayat Jihad dan Kebebasan Beragama dalam al-Quran (2)

0
Ayat Jihad
Ayat Jihad dan Kebebasan Beragama

Jamak diketahui, teori naskh adalah salah satu metode yang digunakan untuk mengatasi pertentangan atau kontradiksi antarayat dalam al-Quran. Namun sebelum menggunakan teori naskh, tak sedikit para ulama yang mencoba mengurai dengan mendedahnya dari segi korelasi ayat atau konteks ayat. Berikut adalah dua pandangan besar terkait perintah pada dakwah dan jihad di satu sisi, dan kebebasan memilih agama di sisi yang lain.

Dua Pandangan; yang Lemah dan yang Kuat

Dr. al-Buthi, dalam buku al-Jihad fi al-Islam (1993), menyebutkan setidaknya dua pandangan terkait dakwah Islam yang didasarkan pada al-Quran dan hadis sebagaimana dikutip di atas.

Pertama, di awal-awal masa Islam, sebelum disyariatkannya jihad dengan cara perang, mengajak manusia memeluk Islam (dakwah) didasarkan pada kesukarelaan, bukan keharusan. Kemudian setelah syairat jihad datang, hukum “beragama tanpa paksaan” tersebut dihapus (mansukh) dengan ayat saif (pedang) al-Taubah [9]: 5 atau 73 dan dengan hadis di atas.

Baca Juga: Mendudukkan Ayat Jihad dan Kebebasan Beragama dalam al-Quran (1)

Aksin Wijaya dalam Dari Membela Tuhan ke Membela Manusia (2018) menyebutkan, dengan teori nasakh ini, jihad dalam takrif berperang di jalan Allah melawan orang musyrik dan munafik dianggap manasakh kebebasan dalam memilih agama. Sederhananya, orang beragama tidak bebas. Orang harus dipaksa untuk memilih agama Islam, malahan kalau perlu dengan jalan agresi. Namun, menurut Dr. al-Buthi (1993), pandangan ini merupakan pandangan yang lemah.

Kedua, bahwa hukum dakwah Islam secara sukarela tetap berlaku, dan ayat-ayat yang menunjukkan dakwah Islam tanpa paksaan juga tidak dihapus (mansukh). Pandangan ini merupakan yang diamini oleh kebanyakan ahli fikih dan para mufasir. Mereka juga mengatakan bahwa hadis yang diriwayatkan Ibn Umar sama sekali tidak bertentangan dengan ayat-ayat kebebasan beragama ini (al-Jihad fi al-Islam, hal. 53).

Lalu para ulama juga membagi padangan kedua ini ke dalam dua kelompok lagi. Yang pertama ialah mereka yang mengatakan bahwa kata al-nas dalam hadis Ibn Umar tersebut adalah para penyembah berhala sebagaimana disebut di atas.

Sementara kelompok kedua adalah mereka yang mengatakan bahwa dakwah Islam tak boleh dibarengi dengan paksaan apapun, tidak pada mereka ahli kitab atau pun yang lain. Perintah membunuh musyrikin dalam al-Taubah [9] ayat 5 atau 73 adalah tersebab penyerangan mereka terhadap kaum muslim, bukan sebab kekufuran mereka. Pandangan ini merupakan ijtihad yang paling masyhur dalam mengurai masalah ini (al-Jihad fi al-Islam, hal. 54).

Di sini, istilah jihad kemudian berkembang lagi menjadi berperang melawan musuh dengan tujuan membela diri, terutama pihak yang terzalimi, sebagaimana ungkap Aksin Wijaya dalam buku Dari Membela Tuhan ke Membela Manusia (2018) (hal.100).

Jika kekufuran menjadi musabab diperanginya orang-orang musyrik, maka akan bertentangan dengan ayat selanjutnya yang menegaskan bolehnya kaum muslim memberi ruang bagi orang-orang musyrik yang meminta perlindungan kepada mereka.

وَاِنْ اَحَدٌ مِّنَ الْمُشْرِكِيْنَ اسْتَجَارَكَ فَاَجِرْهُ حَتّٰى يَسْمَعَ كَلٰمَ اللّٰهِ ثُمَّ اَبْلِغْهُ مَأْمَنَهٗ ۗذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَوْمٌ لَّا يَعْلَمُوْنَ ࣖ

“Jika seseorang di antara orang-orang musyrik ada yang meminta pelindungan kepada engkau (Nabi Muhammad), lindungilah dia supaya dapat mendengar firman Allah kemudian antarkanlah dia ke tempat yang aman baginya. (Demikian) itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengetahui.”

Walhasil, tidak ada pertentangan antara al-Taubah [9]: 5 dengan ayat kebebasan beragama seperti dinyatakan dalam al-Baqarah [2]; 256 dan al-Mumthanah [60]: 8, dan ayat-ayat lainnya.

Redefinisi Qital

Lalu bagaimana dengan hadis riwayat Ibn Umar di atas? Tidakkah bertentangan? Kita simak uraian Dr. al-Buthi terhadap redaksi hadis Ibn Umar tersebut.

Terbaca jelas redaksi hadis tersebut menggunakan kata kerja uqaatila (أقاتل—fiil mudhari’ dari قاتل—fiil madhi) dan bukan aqtula (أقتل). Masdar atau kata benda dari fiil qaatala (قاتل) adalah qital. Kata ini banyak ditemui di dalam al-Quran, setidaknya ada 96 kata dengan berbagai derivasinya (lih. Fath al-Rahman, al-Hasani). Namun, kata tersebut, terutama kata qital kerap timpang tindih dengan kata jihad.

Baca Juga: Kajian Kata Mukjizat dalam Al-Quran dan Aspek Kemukjizatan Al-Quran

Senada dengan Dr. al-Buthi, Dr. Muhammad Syahur dalam Tajfif Manabi’ al-Irhab (2008) mendefisikan qital suatu aktivitas yang melibatkan dua kubu (musyarakah) dengan posisi yang sama. Kalau salah satu tidak menyerang, maka ia tak disebut qital. Dan pihak yang menyerang disebut qatil, bukan muqatil. Syahrur juga menyebut qital sebagai suatu taklif yang paling berat bagi manusia karena ada yang tidak disukai di dalamnya, yaitu pembunuhan (qatl) (hal. 92).

Akhiran, kita juga telah membaca esai Caner K. Dagli dalam The Study Quran-nya Seyyed Hossein Nasr tentang syarat-syarat kebolehan perang dalam Islam yang diringkas Haidar Bagir dalam Islam Tuhan, Islam Manusia (2017) sebagai berikut; pertama, untuk melindungi dan menegakkan agama. kedua, tidak terbatas melindungi agama Islam saja, tapi juga Kristen, Yahudi, Shabiin dan lainnya. Ketiga, perang hanya boleh untuk membela diri dari agresi musuh (hal. 277). Wallahu A’am.

Sanggahan Al-Quran Terhadap Ketuhanan Nabi Isa as. dengan Qowadih al-Illat: Tafsir Surah Ali Imran Ayat 59

0
sanggahan Al-Quran tentang ketuhanan Nabi Isa
sanggahan Al-Quran tentang ketuhanan Nabi Isa

Kaum Yahudi salah di dalam memahami hakikat kedudukan Nabi Isa as. Mereka tidak menerima kerasulan Nabi Isa dan bahkan mengklaim Siti Maryam, ibunda Nabi Isa telah berbuat zina. Kesalahan mereka dipengaruhi oleh sifat materialistik dan kecenderungan mereka memahami segala sesuatu terjadi melalui proses sebab-akibat.  Akibatnya mereka buta bahwa Allah di samping menurunkan hal-hal yang rasional dan irasional, juga menurunkan hal yang suprarasional. Hal itu Allah tunjukkan dengan lahirnya Nabi Isa yang tanpa ayah yang menyalahi hukum alam. (Quraish Shihab, Tafsir Misbah, juz 2 hal 126)

Ironisnya, bukan hanya kaum Yahudi yang salah memahami hakikat kedudukan Nabi Isa, orang-orang yang mengaku pengikut Isa pun salah juga dalam memahaminya. Orang-orang dengan pemahaman demikian muncul setelah 200 tahun setelah pengikut setia Isa melaksanakan ajaran nabinya secara sembunyi-sembunyi karena takut kepada siksaan penguasa Bani Israil kala itu. Dan biang munculnya pemahaman keliru ini adalah akibat dari sikap yang terlalu  fanatik.

Bahwa Nabi Isa yang lahir tanpa ayah mereka pahami akan sebuah keajaiban dan sebuah keistimewaan. Anak yang lahir tanpa ayah berarti tuhanlah ayahnya. Rasa bangga dan pemujaan yang tinggi menyebabkan mereka meyakini bahwa Nabi Isa adalah Tuhan itu sendiri. Nabi Isa adalah transformasi dari kalam tuhan yang berwujud manusia.

Baca Juga: Kisah Nabi Isa, Lahir Tanpa Ayah Hingga Diangkat ke Langit

Sebab Turun dan Penjelasan Ayat

إِنَّ مَثَلَ عِيسَى عِنْدَ اللَّهِ كَمَثَلِ آدَمَ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah” (seorang manusia), maka jadilah dia.

Ayat ini adalah salah satu dari ayat yang berisi sanggahan terhadap klaim pengikut Nabi Isa atau kaum Nasrani. Ayat di atas turun saat utusan kaum Nasrani Najran datang menemui dan berdialog  dengan Nabi Muhammad. Mereka berkata kepada Nabi, “Apa yang membuatmu mencela tuan kami?” Nabi Muhammad balik bertanya, “Apa yang telah aku katakan?” Mereka berkata, “Katamu tuan kami adalah seorang hamba.” Nabi menjawab, “Benar, dia seorang hamba, seorang rasul dan kalam Allah yang dititipkan dalam perut seorang gadis perawan yang belum menikah.” Mendengar jawaban Nabi, mereka menjadi marah, kemudian berkata, “Apakah kamu pernah melihat seorang manusia saja tanpa ada seorang ayah?” Kemudian turunlah ayat di atas sebagai jawaban dari pertanyaan ini.

Dalam mentafsirkan ayat di atas, Imam Muhammad al-Tahrir ibn Asyur berkata,

وَهَذَا شُرُوعٌ فِي إِبْطَالِ عَقِيدَةِ النَّصَارَى مِنْ تَأْلِيهِ عِيسَى، وَرَدِّ مَطَاعِنِهِمْ فِي الْإِسْلَامِ وَهُوَ أَقْطَعُ دَلِيلٍ بِطَرِيقِ الْإِلْزَامِ لِأَنَّهُمْ قَالُوا بِإِلَهِيَّةِ عِيسَى مِنْ أَجْلِ أَنَّهُ خُلِقَ بِكَلِمَةٍ مِنَ اللَّهِ وَلَيْسَ لَهُ أَبٌ، فَقَالُوا: هُوَ ابْنُ اللَّهِ، فَأَرَاهُمُ اللَّهُ أَنَّ آدَمَ أَوْلَى بِأَنْ يُدَّعَى لَهُ ذَلِكَ، فَإِذَا لَمْ يكن آدم إلاها مَعَ أَنَّهُ خُلِقَ بِدُونِ أَبَوَيْنِ فَعِيسَى أَوْلَى بِالْمَخْلُوقِيَّةِ مِنْ آدَم

Ini merupakan permulaan di dalam membatalkan akidah kaum Nasrani yang berupa menuhankan Nabi Isa, dan menolak cercaan mereka kepada Islam. Ini adalah dalil yang paling akurat menggunakan jalan keniscayaan. Karena mereka memberi alasan tentang ketuhanan Nabi Isa bahwa karena ia diciptakan dengan kalimat Allah dan tanpa Ayah, dan berkata, ‘Isa anak Allah.’  kemudian Allah memperlihatkan bahwa sesungguhnya Adam lebih berhak diklaim demikian (bahwa dia adalah anak Allah). Dengan demikian apabila adam bukanlah tuhan padahal dicipta tanpa ayah dan ibu, maka Nabi Isa lebih berhak sebagai seorang manusia daripada Adam (sebab dia lahir tanpa ayah saja). (Muhammad al-Tahrir ibn Asyur, at-Tanwir wa Tahrir, juz 3 hal 263)

Sebagai tambahan, Syekh Wahbah Zuhaily berkata, bila memang boleh mengklaim Nabi Isa sebagai anak Tuhan karena diciptakan tanpa ayah maka seharusnya kebolehan itu memiliki nilai lebih pada Adam, sebab Adam diciptakan tanpa ayah sekaligus ibu. Sementara tidak ada seorangpun yang menyakini Adam merupakan anak Tuhan. Dengan demikian mengangggap Nabi Isa sebagai anak tuhan dengan alasan di atas tidaklah benar. (Wahbah Zuhaily, at-Tafsir al-Munir, juz 3 hal 246).

Baca Juga: Pandangan Para Mufasir Tentang Peristiwa Pengangkatan Nabi Isa

Menyanggah Dengan Qowadih al-Illat

Yang menjadi Unik menurut penulis, sanggahan pada ayat ini juga menggunakan apa yang namanya Qowadih, di dalam Ushul Fikih.

Qowadih itu sendiri adalah sesuatu yang dapat membuat illat (alasan atau yang menjadi pijakan hukum) menjadi cacat. Qowadih termasuk dalam rangkaian pembahasan tentang qiyas (analogi) di dalam ushul fikih. Sebab Qowadih inilah yang digunakan untuk menguji keabsahan analogi, dan tentu saja juga digunakan untuk menolak analogi lawan di dalam perdebatan. Analogi menjadi absah apabila illat yang diajukan seorang mujtahid juga absah. Illat hukum menjadi absah bila tidak memiliki cacat. Cacat itulah yang dinamakan Qowadihal-illat, bila hal ini terjadi proses analogi tidak akan dapat dilakukan.

Salah satu macam dari Qowadih adalah takhalluf al-hukmi, yaitu cacat yang terdapat pada sifat dasar illat sebagai sesuatu yang keberadaanya meniscayakan keberadaan yang lain, dalam hal ini adalah hukum. Maksudnya, bila ada illat mestinya hukum juga harus ada, dimanapun itu. Inilah yang dinamakan dengan muthoridl (berlaku secara umum). Kebalikan dari muthoridl adalah mun’akis, yakni manakala illat tidak ada maka hukum pasti tidak ada.

Nah, apabila di dalam proses analogi illat tidak berlaku umum (muthoridl) maka bisa dipastikan terdapat cacat dalam illat tersebut. Misalnya, gandum merupakan barang ribawi (barang yang terdapat unsur riba di dalamnya), transaksi gandum yang tidak sama takarannya di antara dua orang yang bertransaksi hukumnya riba, tentu haram. Alasan haram atau illatnya adalah karena ia, adalah makanan. Sementara garam juga makanan meskipun bukan barang riba, sehingga tidak haram. Dengan demikian illat makanan pada contoh ini tidaklah berlaku secara umum, dengan bukti: meskipun garam adalah makanan tetapi tidak ada hukum haram riba padanya. Inilah yang dinamakan dengan takhalluf al-hukmi.

Baca Juga: Kisah Masa Kecil Nabi Isa as dan Awal Mula Wahyu Turun Kepadanya

Alasan kaum Nasrani terhadap pernyataan ketuhanan Nabi Isa juga tidak berlaku secara umum. Bila alasan ketuhanan Nabi Isa adalah karena Nabi isa lahir tanpa ayah, lalu mengapa Nabi Adam yang justru bukan hanya tanpa ayah tapi juga sekaligus tanpa ibu bukanlah anak Tuhan? Seharusnya, bila illat itu benar, maka Nabi Adam juga seorang Tuhan, akan tetapi mereka tidak pernah menyakini hal tersebut, itu berarti illat atau alasan kaum Nasrani telah cacat, dan kasus seperti ini masuk dalam Qawadih dengan jenis Takhalluf al-Hukmi. Apapun alasan tentang ketuhanan Nabi Isa tidak diterima oleh kita sebagai umat muslim, bahkan pernyataan ketuhanan Nabi Isa pun tidak akan pernah diterima. Sebab, Isa adalah seorang Rasul, bukan Tuhan. Wallah a’lam.

Khazanah Tafsir Tarbawi di Indonesia (2): Background Keilmuan Mufassir

0
Khazanah Tafsir Tarbawi di Indonesia (2): Background Keilmuan Mufassir
Tafsir Tarbawi karya Suteja

Kehadiran karya-karya Tafsir Tarbawi dalam konteks Indonesia tentu tidak bisa dilepaskan begitu saja dari latar bekalang penulis atau mufasirnya. Sebagai sebuah tafsir yang bernuansa pendidikan, umumnya para mufasir Tafsir Tarbawi adalah seorang akademisi dan dosen di perguruan tinggi Islam. Rata-rata dari mereka sudah menyelesaikan studi pada program doktoral. Bahkan beberapa di antaranya telah menyabet gelar profesor atau guru besar.

Disiplin keilmuan yang digeluti oleh para penulis Tafsir Tarbawi di sini cukup beragam. Ada yang berlatar belakang studi tafsir Al-Quran, ilmu pendidikan, bahasa Arab, perbandingan madzhab hingga ekonomi Islam. Walau secara umum mereka semua masih tetap dalam ranah dan mendalami kajian keislaman.

Masih satu paket dengan tulisan sebelumnya, Khazanah Tafsir Tarbawi Di Indonesia (1): Embriologi dan Perkembangannya, kali ini saya akan mencoba mengulas lebih jauh bagaimana background keilmuan dari para mufasir Tafsir Tarbawi tersebut.

Dari Bermacam Disiplin Keilmuan

Surahman dalam kajiannya, Tafsir Tarbawi di Indonesia mencatat setidaknya ada enam penulis Tafsir Tarbawi yang akrab dengan ilmu Al-Quran dan tafsir karena mereka sendiri pernah mengenyam pendidikan di bidang tafsir atau ulum al-Qur’an, baik pada tingkat sarjana, magister atau doktor. Mereka antara lain adalah Nurwajdah Ahmad E.Q, Ahmad Munir, Ahmad Izzan, Salman Harun, Nanang Gojali, dan Kadar M. Yusuf.

Walau begitu, bukan berarti mufasir-mufasir yang tidak memiliki latar belakang ilmu Al-Quran dan tafsir lantas awam terhadap kajian ilmu Al-Quran maupun tafsir. Sebut saja seperti Abuddin Nata, meski belum pernah mengambil konsentrasi ilmu tafsir Al-Quran pada pendidikan formalnya, tapi kapasitasnya di bidang kajian Al-Quran patut diperhitungkan. Ini dibuktikan dengan satu karyanya yang berkaitan dengan ulum al-Qur’an berjudul Al-Quran dan Hadits (Dirasah Islamiyah I). Bagaimanapun, ini menunjukkan bahwa Nata memahami seluk beluk ilmu tafsir Al-Quran serta bagaimana cara menafsirkan Al-Quran.

Begitu pula dengan Rosidin, Dedeng Rosidin dan Aam Abdussalam. Ketiganya secara formal konsen di bidang pendidikan Islam, tetapi mereka juga melalukan tinjauan terhadap perspektif Al-Quran. Belum lagi mereka kuat dalam penguasaan bahasa Arab, sebagai modal utama untuk menafsirkan Al-Quran. Sangat ganjil kalau seumpama mereka dikatakan tabu dan tidak menguasai ulum al-Qur’an. Asumsi ini diperkuat dengan karya dan aktifitas mereka. Misalnya Aam Abdussalam, selain aktif mengajar mata kuliah tafsir Al-Quran di kampus, ia juga seringkali ditunjuk menjadi salah satu dewan juri ajang Musabaqah Sharhil Qur’an (MSQ) tingkat Jawa Barat.

Selain dari yang sudah disebutkan di atas, mufasir-mufasir Tafsir Tarbawi secara formal tidak menempuh pendidikan formal di bidang tafsir dan tidak pula menekuni kajian tafsir. Tampaknya kemampuan dan keilmuan mereka ditopang oleh penguasaan bahasa Arab yang kuat seperti Akhmad Alim, Syukri, dan Mahyudin. Selain itu, mungkin juga mereka menyusun Tafsir Tarbawi atau tafsir terkait pendidikan lantaran sempat terlibat langsung dalam pengajaran mata kuliah Tafsir Tarbawi. Sedikit banyak mereka pasti mempelajari, mendalami, dan mengerti seputar tafsir Al-Quran.

Dalam data Surahman, mayoritas dari mufasir-mufasir Tafsir Tarbawi adalah dosen Pegawai Negeri Sipil (PNS), baik di lingkungan kementerian Agama ataupun kementerian pendidikan (Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi/Ristek Dikti). Sisanya adalah para pengajar di kampus-kampus swasta. Seperti Muh. Anis yang berstatus sebagai pengajar di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Akhmad Alim pengajar di Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor, dan Arief Hidayat Afendi pengajar di Universitas Muhammadiyah Cirebon

Baca juga: Dinamika Perkembangan Tafsir Indonesia: Dari Masuknya Islam hingga Era Kolonialisme

Mufasir Tafsir Tarbawi dan Latar Belakang Pendidikannya

Untuk mengetahui peta background keilmuan para mufasir Tafsir Tarbawi di Indonesia bisa dilihat dari tabel berikut ini:

No Nama Mufasir Pendidikan
1 Abuddin Nata S1 Pendidikan Islam IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

S2 Pendidikan Islam IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

S3 Pendidikan Islam IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

2 Nurwajdah Ahmad E.Q S1 Pendidikan Agama Islam IAIN Bandung

S2 Tafsir Al-Quran IAIN Jakarta

S3 Tafsir Al-Quran IAIN Jakarta

3 Ahmad Munir S1 Syariah/Tafsir Hadis IAIN Ar-Raniry Aceh

S2 Tafsir Hadis IAIN Ar-Raniry Aceh

S3 Pengkajian Islam UIN Jakarta

4 Ahmad Izzan S1 Perbandingan Agama ISID Gontor

S2 Studi Al-Quran UIN Bandung

S3 Studi Tafsir UIN Jakarta

Saehuddin S1 Tafsir Hadis UIN Bandung
5 Suteja (tidak terlacak)
6 Muh. Anis (tidak terlacak)
7 Salman Harun S1 Bahasa Arab Tadris IAIN Jakarta

Post Graduate Program Universiteit Leiden Belanda

S3 Tafsir Al-Quran IAIN Jakarta

8 Nanang Gojali S1 Pendidikan Agama Islam IAIN Bandung

S2 Tafsir dan Ulumul Qur’an IAIN Alaludin Makasar

S3 Hukum Islam UIN Bandung

9 Rosidin S1 Pendidikan Agama Islam STAIMA al-Hikam Malang

S2 Pendidikan Islam STAIMA al-Hikam Malang

S3 Dirasah Islamiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya

10 Kadar M. Yusuf S1 Bahasa Arab IAIN Pekanbaru

S2 Tafsir Al-Quran IAIN Pekanbaru

S3 Univercity Kebangsaan Malaysia

11 Akhmad Alim S1 LIPIA Jakarta

S2 UM Surakarta

S3 Pendidikan Islam UIKA Bogor

12 Dedeng Rosidin S1 Bahasa Arab IKIP Bandung

S2 Pendidikan Islam IAIN Sunan Gunung Djati Bandung

S3 Pendidikan Islam IAIN Sunan Gunung Djati Bandung

13 Mahmud Arif S1 Pendidikan Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

S2 Pendidikan Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

S3 Pendidikan Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

14 Syukri S1 Bahasa Arab IAIN Sunan Ampel Surabaya

S2 UIN Malik Malang

S3 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

15 Arief Hidayat Afendi S1 Perbandingan Madzhab Hukum UIN Bandung

S2 Studi Islam UIN Bandung

16 Listiawati S1 Syariah IAIN Yogyakarta

S2 Ekonomi Islam IAIN Palembang

S3 Ekonomi Islam UIN Jakarta

17 Aam Abdussalam S1 Bahasa Arab IKIP Bandung

S2 Pendidikan Umum IKIP Bandung

S3 Pendidikan Islam UIN Bandung

18 Mahyudin S1 Pendidikan Agama Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya

S2 UNISMA Malang

S3 UIN Sunan Ampel Surabaya

Wallahu a’lam []

Baca juga: Mengenal Kitab Tafsir Indonesia yang Lahir dari Ruang Akademik

Tafsir Surah Al-Isra Ayat 32: Kekejian Kekerasan dan Pelecehan Seksual

0
kekerasan dan pelecehan seksual
Ilustrasi pelecehan seksual.

Akhir-akhir ini, dunia maya dihebohkan dengan aksi tidak beradab yakni kekerasan seksual. Mulai dari Novia Widyasari yang sempat trending di twitter dengan tagar #SaveNoviaWidyasari menembus angka 146 ribu retweet. Selain Novia, sebagaimana dilansir merdeka.com pada 6 Desember 2021, seorang mahasiswi berinisial DR mengalami pelecehan seksual oleh oknum dosen berinisial A (34) dari Universitas Sriwijaya (Unsri) Palembang.

Laporan Komnas Perempuan, melalui news.detik.com 6 Desember 2021, melansir bahwa sejak Januari-Oktober 2021 menerima 4.500 aduan kekerasan seksual. Baru-baru ini, 8 Desember 2021, news.detik.com melaporkan bahwa seorang guru pesantren di Bandung telah memerkosa 12 santriwatinya. Berita di atas tentu menyayat hati kita semua. Problematika kekerasan dan pelecehan seksual di atas tidak boleh dipandang sebelah mata. Ini semua persoalan serius.

Sejalan dengan di atas, walaupun tidak secara spestifik, Al-Quran menyebut kekerasan atau pelecehan seksual, setidaknya mewanti-wanti bahkan melarang keras terhadap kekerasan dan pelecehan seksual. Larangan tersebut terdapat dalam surah Al-Isra ayat 32

وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلزِّنَىٰٓ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰاحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلًا

Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya (zina) itu adalah perbuatan fahisyah (keji) dan jalan terburuk”.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Larangan atas Kekerasan Seksual dalam Surah An-Nur Ayat 33

Semua sepakat bahwa zina dan hal-hal yang mendekati zina adalah perbuatan keji

Ahmad Mustafa Al-Maraghi dalam Tafsir al-Maraghi memaknai fahisyah dengan perbuatan yang nyata keburukannya serta berdampak banyak membuat kerusakan. Kerusakan ini dirasakan oleh dua pihak yang terlibat, baik itu laki-laki maupun perempuan. Al-Maraghi menyimpulkan bahwa zina adalah kekejian yang melampaui batas. Sebab, menurutnya, ia telah membuat kekacauan, dan tak jarang saling membunuh karena mempertahankan kehormatan. (al-Maraghi, Juz 15, hlm. 42).

Ibn Kastir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim menafsirkan ayat di atas dengan mengatakan bahwa sesungguhnya janganlah mendekati zina karena di dalamnya mengandung perbuatan fahisyah yaitu dosa yang sangat besar dan perbuatan zina adalah suatu jalan yang paling buruk (Ibn Kastir, Juz 9, hlm. 5)

Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah mengatakan bahwa dalam amatan sejumlah ulama Al-Quran, ayat-ayat yang menggunakan kata “jangan mendekati” seperti ayat di atas, biasanya merupakan larangan mendekati sesuatu yang dapat merangsang jiwa/nafsu untuk melakukannya. Dengan demikian, larangan mendekati mengandung makna larangan untuk tidak terjerumus dalam rayuan sesuatu yang berpotensi mengantar kepada langkah melakukannya. Hubungan seks seperti perzinaan maupun ketika istri sedang haid, demikian pula perolehan harta secara batil, memiliki rangsangan yang sangat kuat, karena itu, al-Qur’an melarang mendekatinya (Al-Misbah, Vol. 7, Juz. 3, hlm. 80)

Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar memberikan definisi zina yaitu segala persetubuhan yang tidak disahkan dengan nikah atau yang tidak sah nikahnya. Dalam ayat ini, Allah swt melarang para hamba-Nya mendekati perbuatan zina. Disebutkan oleh Buya Hamka  beberapa hal yang dapat mendekatkan kepada zina seperti 1) pergaulan bebas tanpa kontrol antara laki-laki dan perempuan, 2) membaca bacaan yang merangsang, 3) menonton tayangan sinetron dan film yang mengumbar sensualitas perempuan, dan 4) merebaknya pornografi dan pornoaksi. (Al-Azhar Vol. 6, hlm. 4047-4052)

Baca Juga: Empat Macam Larangan Seksualitas dalam Al-Quran

Refleksi Ayat

Dari berbagai tafsiran yang disuguhkan oleh para mufasir di atas, tidak ragu lagi bahwa zina, begitupun dengan hal-hal yang mendekati zina adalah perbuatan keji dan seburuk-buruknya jalan. Dalam konteks yang lebih luas, sebagaimana di defenisikan oleh KBBI (online), keji juga bisa berarti menghinakan dan merendahkan martabat diri seseorang. Juga berarti menistakan ataupun memburukkan. Dalam konteks inilah kekerasan seksual juga dilarang sebagaimana larangan terhadap mendekati zina.

Karenanya, perlakuan kekerasan dan pelecehan seksual juga merupakan perbuatan keji dan seburuk-buruknya jalan. Ini cukup beralasan sebab tidak hanya menghinakan dan merendahkan martabat perempuan, lebih dari itu, yakni korban kekerasan seksual mengalami trauma seumur hidup, baik secara fisik maupun mental, stres berat, ketakutan yang akut dan tidak jarang yang berakhir dengan kematian. Masih kurang keji kah yang demikian ini?

Oleh sebab itu, siapapun kita harus turut andil dalam mencegah kekerasan dan pelecehan seksual ini. Tentu saja upaya pencegahan tersebut penting agar setiap warga negara, khususnya para kaum hawa, merasa aman dan nyaman ketika berkegiatan di ruang publik. Pencegahan tersebut dapat kita upayakan dengan bergotong royong. Pertama, dari sektor pemerintah dengan segera membuat payung hukum terkait dengan hal ini sebagai bentuk pencegahan dan penanganan tentunya, seperti segera mengesahkan RUU PKS atau kebijakan lain yang melindungi korban kekerasan seksual.

Kedua, dari sektor keluarga, orang tua memberikan pemahaman kepada anak-anaknya sejak dini, tentang keimanan, ketakwaan, tentang hubungan laki-laki dan perempuan, batasan wajar dan berlebihan dari hubungan keduanya. Ciptakan lingkungan keluarga yang aman untuk semua anggota keluarga. Terakhir, ketiga, dari diri sendiri, sekiranya mampu mengendalikan hawa nafsu yang mengarah pada hal-hal yang mendekati zina.  Wallahu’alam bish-showab.

Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 5-8

0
Tafsir Surah Ar-Rahman
Tafsir Surah Ar-Rahman

Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 5-8 ini menjelaskan tentang matahari dan bulan serta benda-benda langit dari sisi ilmu sains. Selain itu, dalam Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 5-8 juga membahas tentang hikmah diciptakannya segala sesuatu secara seimbang.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 1-4


Ayat 5

Allah menyebutkan bahwa matahari dan bulan yang termasuk di antara benda-benda angkasa yang terbesar, beredar dalam orbitnya masing-masing matahari dan bulan yang sangat pasti, karena adanya itu maka terjadilah perubahan musim. Dengan memperhitungkan perubahan-perubahan tersebut manusia dapat mengatur pertanian, perdagangan, pendidikan dan sebagainya.

Banyak ayat dalam Al-Qur’an menyebut dan menjelaskan tentang pasangan matahari dan bulan. Matahari sebagai sumber cahaya yang terang membara (wahhaj) akibat reaksi nuklir di dalamnya. Sementara bulan hanya sebagai pemantul cahaya yang diterimanya dari matahari memiliki permukaan yang cerah berbinar-binar (munir).

Matahari dan bulan bersama benda-benda langit lainnya tidak diam. Mereka bergerak di angkasa pada jalan (garis edar) masing-masing sebagaimana Allah berfirman dalam Surah adz-Ddzariyat/51:7. Jalan yang dimaksud adalah garis edar dari benda-benda langit, termasuk matahari dan bulan.

Dalam fisika, garis edar benda langit disebut orbit merupakan jalan atau lintasan yang dilalui oleh suatu benda langit, di sekitar benda langit lainnya, di dalam pengaruh dari gaya-gaya tertentu. Orbit pertama kali dianalisa secara matematis oleh Johannes Kepler yang merumuskan hasil perhitungannya dalam hukum Kepler tentang gerak planet. Dia menemukan bahwa orbit dari planet dalam tata surya kita adalah berbentuk ellips dan bukan lingkaran atau episiklus seperti yang semula dipercaya.

Pada tahun 1601 Kepler berusaha mencocokkan berbagai bentuk kurva geometri pada data-data posisi Planet Mars yang ada. Hingga tahun 1606, setelah hampir setahun menghabiskan waktunya hanya untuk mencari penyelesaian perbedaan sebesar 8 menit busur (mungkin bagi kebanyakan orang hal ini akan diabaikan), Kepler mendapatkan orbit Planet Mars. Menurut Kepler, lintasan berbentuk ellips adalah gerakan yang paling sesuai untuk orbit planet yang mengitari matahari. Pada tahun 1609 dia memublikasikan Astronomia Nova yang menyatakan dua hukum gerak planet.

Pergerakan-pergerakan benda langit ini terkendali sepenuhnya dan semuanya harus bergerak dalam suatu orbit yang terhitung. Jika tidak yang akan terjadi adalah tabrakan yang berarti kehancuran yang fatal.

Perlu diketahui bahwa bulan beredar mengitari bumi dalam waktu 29.53059 hari. Waktu ini adalah waktu edar bulan relatif terhadap bumi tanpa memasukkan unsur peredaran bumi terhadap matahari. Apabila dimasukkan unsur pergerakan relatif bulan dan matahari terhadap semua bintang di alam maka lama peredaran bumi bukan 24 jam tetapi 23 jam 56 menit 4 detik dan waktu edar bulan terhadap bumi adalah 27.321661 hari atau 86164.0906 detik. Suatu angka yang fantastik, Subhanallah. Hal ini dipertegas lagi dalam firman-Nya pada Surah Yasin 36: 38, 40 dan Surah al-Anbiya’/21: 33.

Bumi dan planet-planet lain di sistem tata surya ini bergerak pada orbitnya masing-masing mengelilingi matahari. Matahari di lintasan orbitnya juga bergerak mengelilingi sistem yang lebih besar lagi yakni galaksi Bima Sakti, begitu seterusnya. Tetapi tidak satupun dari bintang, planet dan benda-benda langit lainnya di angkasa bergerak tidak terkendali atau memotong orbit lain ataupun saling berbenturan. Tampak jelas kecermatan takdir pada keserasian antara ciptaan dan gerakan. Di angkasa yang luas ini pergerakan setiap benda langit tidak ada yang melenceng sehelai rambut pun atau terlambat sedetikpun.

Al-Qur’an mengisyaratkan pergerakan benda-benda langit di alam semesta ini secara serasi, hal tersebut diungkap dalam adz-Dzariyat/51:7.


Baca Juga: Tafsir An-Nahl Ayat 12: Tanda Kekuasaan Allah dalam Pergerakan Matahari


Ayat 6

Allah menyatakan bahwa tanaman-tanaman perdu, dan pohon-pohon yang bercabang, kedua-duanya tunduk kepada kehendak-Nya secara naluri, sebagaimana tunduknya manusia menurut fitrahnya. Perbedaan antara tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan dalam bentuk dan rupa, warna dan rasa, semua itu adalah karena patuh dan tunduk kepada kekuasaan yang menciptakan-Nya.

Ayat 7

Allah menyatakan bahwa Dia menciptakan langit tempat diturunkan perintah dan larangan-Nya kepada hamba-hamba-Nya, tempat malaikat-malaikat yang turun membawa wahyu-Nya kepada nabi-nabi-Nya, di samping itu Dia menghendaki adanya keseimbangan dalam segala hal. Di antaranya adalah perimbangan akidah, yaitu mentauhidkan-Nya, karena tauhid adalah pertengahan antara mengingkari adanya Allah dengan mempersekutukan-Nya. Begitu juga, Perimbangan dalam ibadah, dalam beramal dan dalam budi pekerti, perimbangan dalam kekuatan rohani dan jasmani dan sebagainya.

Demikianlah perimbangan dan keadilan yang dikehendaki-Nya dengan tidak membiarkan sesuatu karena kecilnya dan tidak pula mementingkan yang lain karena besarnya. Perimbangan-Nya mencakup semua yang ada di alam ini.

Ayat 8

Allah menyatakan bahwa Dia melakukan yang demikian itu agar manusia tidak melampaui dan melangkahi batas-batas keadilan dan kelancaran menjalankan sesuatu menurut neraca yang telah ditetapkan bagi segala sesuatu, maka dengan demikian keadaan manusia akan bertambah baik, akhlak dan amal perbuatan akan lebih mulia dan teratur.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 9


Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 1-4

0
Tafsir Surah Ar-Rahman
Tafsir Surah Ar-Rahman

Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 1-4 ini membahas dua hal. Pertama, nikmat Allah yang paling besar yakni diajarkannya Alquran kepada manusia. Kedua, membahas tentang nikmat selanjutnya yaitu penciptaan manusia.

Ayat 1-2

Pada ayat ini Allah yang Maha Pemurah menyatakan bahwa Dia telah mengajarkan Al-Qur’an kepada Muhammad saw yang selanjutnya diajarkan ke umatnya. Ayat ini turun sebagai bantahan bagi penduduk Mekah yang mengatakan:

اِنَّمَا يُعَلِّمُهٗ بَشَرٌ

Sesungguhnya Al-Qur’an itu hanya diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad). (an-Nahl/16: 103)

Oleh karena isi ayat ini mengungkapkan beberapa nikmat Allah atas hamba-Nya, maka surah ini dimulai dengan menyebut nikmat yang paling besar faedahnya dan paling banyak manfaatnya bagi hamba-Nya, yaitu nikmat mengajarkan Al-Qur’an kepada manusia. Hal itu karena manusia dengan mengikuti ajaran Al-Qur’an akan berbahagia di dunia dan di akhirat dan dengan berpegang teguh pada petunjuk-petunjuk-Nya akan tercapai tujuan di kedua tempat tersebut. Al-Qur’an adalah induk kitab-kitab samawi yang diturunkan melalui makhluk Allah yang terbaik di bumi ini yaitu Nabi Muhammad saw.

Ayat 3-4

Pada ayat ini Allah menyebutkan nikmat-Nya yang lain yaitu penciptaan manusia. Nikmat itu merupakan landasan nikmat-nikmat yang lain. Sesudah Allah menyatakan nikmat mengajarkan Al-Qur’an pada ayat yang lalu, maka pada ayat ini Dia menciptakan jenis makhluk-Nya yang terbaik yaitu manusia dan diajari-Nya pandai mengutarakan apa yang tergores dalam hatinya dan apa yang terpikir dalam otaknya, karena kemampuan berpikir dan berbicara itulah Al-Qur’an bisa diajarkan kepada umat manusia.

Manusia adalah makhluk Allah yang paling sempurna. Ia dijadikan-Nya tegak, sehingga tangannya lepas. Dengan tangan yang lepas, otak bebas berpikir, dan tangan dapat merealisasikan apa yang dipikirkan oleh otak. Otak menghasilkan ilmu pengetahuan, dan tangan menghasilkan teknologi. Ilmu dan teknologi adalah peradaban, dengan demikian hanya manusia yang memiliki peradaban.

Lidah adalah organ yang terletak pada rongga mulut. Organ ini, yang merupakan struktur berotot yang terdiri atas tujuh belas otot yang memiliki beberapa fungsi. Fungsi pengecap rasa adalah salah satu fungsi lidah yang utama. Terdapat sekitar 10.000 titik pengecap di lidah. Lidah juga berfungsi untuk turut membantu mengatur bunyi untuk berkomunikasi.

Lidah, dalam agama, hampir selalu dikaitkan dengan hati, dan digunakan untuk mengukur baik-buruknya perilaku seseorang. Manusia akan menjadi baik apabila keduanya baik. Dan manusia akan menjadi buruk, apabila keduanya buruk. Nabi Muhammad saw menunjuk lidah sebagai faktor utama yang membawa bencana bagi manusia, dan ia merupakan tolak ukur untuk bagian tubuh lainnya. Beliau bersabda dalam hadisnya:

وَهَلْ يُكِبُّ النَّاسَ عَلَى وُجُوْهِهِمْ فِى النَّارِ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ. (رواه الترمذي وابن ماجه عن معاذ بن جبل)

Bukankah manusia dijungkirbalikkan wajah mereka di neraka karena lidah mereka? (Riwayat at-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Mu’adz bin Jabal)


Baca Juga: Cara Menghayati Kebaikan Allah Swt dan Kebesaran-Nya dalam Al-Quran


إِذَا أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ فَإِنَّ اْلأَعْضَاءَ كُلَّهَا تُكَفِّرُ اللِّسَانَ فَتَقُوْلُ اتَّقِ اللهَ فِيْنَا فَإِنَّمَا نَحْنُ بِكَ فَإِنِ اسْتَقَمْتَ اسْتَقَمْنَا وَإِنِ اعْوَجَجْتَ اعْوَجَجْنَا. (رواه الترمذي عن أبي سعيد الخدري)

Jika manusia bangun di pagi hari, maka seluruh anggota tubuhnya mengingatkan lidah dan berpesan, “Bertakwalah kepada Allah menyangkut kami, karena kami tidak lain kecuali denganmu. Jika engkau lurus, kami pun lurus, dan jika engkau bengkok, kami pun bengkok.” (Riwayat at-Tirmidzi dari Abu Sa’id al-Khudri);

Untuk dapat mengeluarkan bunyi yang berbeda-beda, atau yang disebut berbicara, lidah bekerjasama dengan beberapa organ lainnya, seperti bibir, rongga mulut, paru-paru, kerongkongan, dan pita suara. Kita dapat berkomunikasi dengan berbicara, setelah seluruh masyarakat menyepakati arti dari satu bunyi. Kemudian bunyi-bunyi yang masing-masing sudah disepakati artinya tersebut digabungkan dalam susunan yang tepat untuk menjadi kalimat. Pada tahap selanjutnya, akan tercipta suatu bahasa. Bahasa diuraikan dalam salah satu ayat Allah demikian:

وَمِنْ اٰيٰتِهٖ خَلْقُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافُ اَلْسِنَتِكُمْ وَاَلْوَانِكُمْۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّلْعٰلِمِيْنَ   ٢٢

Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui. (ar-Rum/30: 22)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 5-8


Empat Rupa I’jaz Al-Quran Menurut Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar

0
empat rupa i'jaz Al-Quran menurut Hamka
empat rupa i'jaz Al-Quran menurut Hamka

Al-Quran adalah mukjizat bagi Nabi Muhammad Saw. Al-Quran sendiri merupakan mukjizat yang masih tetap bisa diakses oleh umat Nabi Muhammad Saw. meski Nabi sendiri telah wafat, berbeda dengan mukjizat-mukjizat Nabi sebelumnya. Inilah salah satu keunggulan dan kelebihan Al-Quran dibanding mukjizat yang lain. Selain itu, dari dalam Al-Quran itu sendiri, ia juga mempunyai beberapa keistimewaan yang dapat melawan pihak yang tidak mempercayainya. Penjelasan terkait keunggulan dan keistimewaan Al-Quran ini terangkum dalam kajian kemukjizatan al-Qur’an atau yang biasa disebut dengan i’jaz Al-Quran.

Tentang kemukjizatan Al-Qur’an, Quraish Shihab dalam buku Mukjizat Al-Qur’an: Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Aspek Ilmiah dan Pemberitaan Gaib mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mukjizat Al-Quran adalah mukjizat yang terdapat di dalam Al-Qur’an, bukannya bukti kebenaran yang datang dari luar Al-Qur’an atau faktor luar (Shihab, hlm. 45). Jadi memang ada di dalam bagian Al-Quran itu sendiri yang mempunyai sifat melemahkan orang yang tidak percaya dan mengingkari kebenaran Al-Quran.

Al-Alusi dalam Ruh al-Ma’ani menambahkan bahwa sisi kemukjizatan Al-Qur’an meliputi seluruh Al-Quran, baik secara keseluruhan maupun sebagian, dan ukuran terkecil bagi kemukjizatan Al-Qur’an adalah surah quran yang terpendek. (Al-Alusi, Vol. 1 Juz 1, hlm. 57)

Baca Juga: Mengapa Al-Quran Mukjizat Terbaik? Ini Jawaban al-Suyuthi dalam al-Itqan

Empat bentuk i’jaz Al-Quran dalam Tafsir Al-Azhar

Sedangkan menurut Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, i’jaz Al-Qur’an adalah upaya pelemahan terhadap siapa saja yang meniru atau menyamai, apalagi sampai menandangi dan melebihinya. (Al-Azhar, Vol. 1, hlm. 11) Bagaimana bentuk upaya-upaya pelemahan tersebut? Berikut rupa i’jaz Al-Quran menurut Hamka.

Hamka kemudian mencoba mengemukakan empat rupa i’jaz yang terdapat dalam Al-Qur’an yaitu; pertama, aspek fashahah dan balaghah. Menurutnya, Al-Qur’an memiliki derajat amat tinggi dari segi maknanya. Keindahan fashahah dan balaghahnya membuat pendengarnya terpesona. Susunan al-Quran, menurutnya, bukanlah susunan syair, dengan susun rangkaian kata menurut suku-kata bilangan tertentu, dan bukan puisi atau pun prosa dan bukan pula sajak, tetapi Al-Qur’an berdiri sendiri melebihi syair, nashar dan nazham. Belum pernah sebelumnya turun seperti Al-Qur’an hingga membuat orang Arab terpesona. Betapa kagumnya seorang Abu Jahal, Abu Sufyan, al-Walid bin al-Mughirah dan lain-lain terhadap keindahan Al-Qur’an. (al-Azhar, Vol. 1, hlm. 15-16)

Dalam pandangan Al-Alusi, kemukjizatan Al-Qur’an sesuai dengan kecenderungan masyarakat Arab pada saat itu yang mengedepankan aspek balaghah (Al-Alusi, Jilid 3, Juz 3, hlm. 269). Sehingga Al-Qur’an mamapu menyaingi karya para sastrawan kala itu yang menonjolkan aspek seni pengungkapan. Begitulah kemukjizatan Al-Qur’an yang pertama menurut Hamka.

Kedua, Al-Qur’an menceritakan berita masa-masa yang telah lalu. Cerita yang dibawa Al-Qur’an seperti berita tentang kaum ‘Ad, Tsamud, kaum Luth, kaum Nuh, kaum Ibrahim dan lain-lain. Segala berita yang dibawanya, menurut Hamka, adalah benar adanya. Banyak kesesuaian dengan cerita ahlul-kitab, sedangkan yang membawa cerita al-Quran (Nabi Muhammad) dikenal oleh orang sezamannya dengan ummi (butahuruf), tidak pandai menulis dan tidak bisa membaca. Nabi Muhammad juga tidak pernah belajar kepada seorang guru, dan masyarakat Makkah pada waktu itu juga bukan masyarakat ahlul kitab tetapi masyarakat yang menyembah berhala. (al-Azhar, Vol. 1, hlm. 16)

Ketiga, di dalam Al-Qur’an diberitakan tentang hal-hal yang akan terjadi. Hamka memberi contoh QS. Ar-Rum pada ayat-ayat awal bahwa, menurutnya, mulanya orang Rum kalah berperang dengan persia, tetapi sesudah beberapa tahun kemudian, orang Rum pasti akan menang kembali. Ketika orang Rum itu di awal mengalami kekalahan, musyrikin Quraisy bergembira hati, sebab orang Persia yang mengalahkan mereka adalah penyembah berhala pula. Sedangkan kaum Muslimin bersedih hati, sebab orang Rum adalah pemeluk Nasrani, yang pada pokoknya bertauhid juga, artinya dekat dengan Istam. Setelah beberapa tahun kemudian, janji akan kemenangan Rum pun betul-betul terjadi. (al-Azhar, Vol. 1, hlm. 16)

Baca Juga: 3 Aspek Kemukjizatan Al-Qur’an Menurut Manna’ Khalil al-Qathan

Terakhir, keempat, terdapat beberapa pokok ilmiah yang tinggi di dalam Al-Qur’an mengenai Alam. Menurut Hamka kemukjizatan ini bisa kita lihat ketika Al-Qur’an berbicara tentang kejadian langit dan bumi, bintang-bintang, bulan dan matahari. Dari hal turunnya hujan dan hubungannya dengan kesuburan dan kehidupan. Bahkan dalam QS. Al-Anbiya [21]: 30 disebutkan bahwa pada mulanya langit dan bumi itu menyatu kemudian dipecahkan, beratus tahun kemudian perkembangan ilmu pengetahuan alam menjelaskan bahwasanya bumi ini adalah pecahan dari matahari (al-Azhar, Vol. 1, hlm. 16). Petunjuk ini menurut Hamka tidak bisa diabaikan begitu saja.

Contoh lain yaitu QS. Al-Mu’minum [23]: 12-14 juga membicarakan tentang asal usul kejadian manusia, sebuah topik yang sering dibahas dalam kajian ilmiah. Di ayat tersebut, dinyatakan bahwa proses penciptaan manusia itu dimulai dari saripati tanah lalu menjadi air mani (nuthfah), kemudian menjadi segumpal darah (alaqah) setelah itu menjadi segumpal daging (mudghah). Dari mudghah itu terbentuk menjadi tulang, lalu tulang itu diselimuti oleh daging kemudian menjadi manusia yang bernyawa. Semua hal di atas adalah bukti dari kemukjizatan Al-Qur’an yang sangat mulia.

Demikian empat rupa i’jaz Al-Quran versi Hamka. Empat keistimewaan ini pada dasarnya tidak begitu banyak berbeda dengan pendapat para pengkaji Al-Quran yang lain, hanya saja pada tatanan penerapannya dalam tafsir, mereka berbeda-beda dalam memberikan porsi penjelasan pada keempat poin tersebut. Wallahu’alam bish-showab.