Beranda blog Halaman 159

At-Taubah Ayat 122: Pentingnya Tafaqquh fiddin bagi Generasi Muda

0
Generasi Muda
Pentingnya Tafaqquh Fiddin Bagi Generasi Muda

Generasi muda adalah harapan bangsa. Di tangan mereka estafet kepemimpinan sebuah bangsa ditentukan. Tidak salah jika Bapak Proklamator, Bung Karno, pernah berkata “Berikan aku 10 pemuda maka akan aku goncangkan dunia”. Ungkapan Bung Karno tersebut bukanlah omong kosong belaka.

Dalam sejarah, kita dapat melihat para generasi muda memainkan peran penting. Nabi Muhammad saw, misalnya, di usia 17 tahun sudah mendapat gelar Al-Amin. Muhammad Al-Fatih ketika berusia 25 tahun mampu menaklukkan Konstantinopel di Romawi Timur. Tentu saja masih banyak lagi pemuda/i yang memiliki kiprah penting dalam sejarah Islam.

Sejalan dengan hal di atas, untuk mempersiapkan generasi muda yang berkualitas dan berintegritas, diperlukan bekal pemahaman (tafaqquh) yang memadai. Termasuk pemahaman agama (tafaqquh fiddin). Di dalam Al-Qur’an, secara ekplisit tafaqquh fiddin terdapat dalam QS. At-Taubah [9]: 122.

۞ وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَاۤفَّةًۗ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَاۤىِٕفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْٓا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ ࣖ

Tidak sepatutnya orang-orang mukmin pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi (tinggal bersama Rasulullah) untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya?

Tafsir ayat

Syaikh Mutawwali Sya’rawi dalam kitab Tafsir asy-Sya’rawi mendefenisikan yang dimaksud dengan al-fiqh adalah al-fahm. Akan tetapi al-Fiqh menjadi disiplin tersendiri yang lebih spesifik yang tertuju pada pemahaman akan hukum-hukum Allah (Tafsir as-Sya’rawi, jilid 9, hlm. 5579)

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Isra Ayat 32: Kekejian Kekerasan dan Pelecehan Seksual

Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah berpendapat bahwa kata liyatafaqqahu terambil dari kata fiqh, yang berarti pengetahuan yang mendalam akan hal-hal yang sulit dan tersembunyi. Sedangkan penambahan huruf ta pada frasa liyatafaqqahu mengandung makna kesungguhan upaya, yang dengan keberhasilan upaya itu para pelaku menjadi pakar-pakar dalam bidangnya. (al-Misbah, Vol. 5, Juz 15, hlm. 289)

Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menjelaskan bahwa golongan-golongan itu (muda ataupun tua) keluar jika panggilan (berperang) telah datang. Sehingga mereka berbondong-bondong mendatangi Rasulullah untuk mendaftarkan diri. Akan tetapi, dalam konteks ayat di atas, menurutnya, hendaklah dari golongan-golangan yang banyak itu, ada sebagian golongan (thaifatun) yang bersungguh-sungguh memperdalam pengetahuannya dalam agama (tafaqquh fiddin) (al-Azhar, Vol. 4, hlm. 3167).

Tafsir Kementerian Agama menyebutkan bahwa dalam ayat ini Allah Swt menerangkan bahwa tidak semua orang mukmin harus berangkat ke medan perang, bila peperangan itu dapat dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin saja. Tetapi harus ada pembagian tugas dalam masyarakat, sebagian berangkat ke medan perang, dan sebagian lagi harus menuntut ilmu dan mendalami agama Islam, supaya ajaran-ajaran agama itu dapat diajarkan secara merata, dan dakwah dapat dilakukan dengan cara yang lebih efektif dan bermanfaat sehingga kecerdasan umat Islam dapat ditingkatkan.

Refleksi Ayat

Dengan demikian, ayat ini mempunyai hubungan yang cukup relevan jika dikaitkan dengan generasi muda hari ini. Sebab pemuda adalah simbol dari masa depan sebuah bangsa. Juga merupakan fase terbaik dalam fase kehidupan seseorang. Dalam suatu kesempatan, Rasulullah pernah memberi peringatan terhadap masa muda dalam sebuah haditsnya:

“Gunakanlah (oleh kalian) lima perkara sebelum datang lima lainnya: masa mudamu sebelum datang masa tuamu, masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu, kekayaanmu sebelum jatuh miskinmu, waktu luangmu sebelum waktu sibukmu, dan hidupmu sebelum datang kematian” (Riwayat al-Baihaqi dari Ibn Abbas) dikutip dari kitab Mukhtar al-Hadits hlm. 25.

Di dalam Al-Qur’an, banyak kisah terkait pemuda yang patut kita teladani seperti Ismail ketika menyerahkan kepada ayahnya untuk disembelih (QS. As-Shaffat [37]: 102). Dan masih banyak pemuda yang dapat di jadikan role model  di dalam Al-Qur’an.

Baca Juga: Empat Rupa I’jaz Al-Quran Menurut Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar

Di tengah bonus demografi dan derasnya informasi dimedia sosial, sudah seharusnya generasi muda tidak hanya berbekal mbah google dalam mempelajari agama. Internet sebagai informasi tentu boleh-boleh saja, tetapi tidak untuk mempelajari agama. Sebab, mempelajari agama tanpa melalui guru bisa sesat dan menyesatkan. Inilah pentingngnya belajar agama dengan sanad yang jelas bagi generasi muda.

Karenanya, penting bagi generasi muda untuk tafaqquh fiddin, sebagai fungsi ilmu adalah, selain mencerdaskan diri sendiri, untuk mencerdaskan umat. Ini adalah amanah yang merupakan bagian dari untuk melanjutkan estafet kepemimpinan dakwah dan mempertahankan kelanggengannya. Apalagi hari-hari ini, selogan kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah sering kali dimakanai sangat tekstual dan serampangan. Disinilah pemuda menemukan momentum tersebut untuk mengembalikan dan mengedukasi pemahaman Islam yang sesungguhnya. Wallahu’alam bish-showab.

Urgensi Ucapan Selamat atas Kelahiran Anak Perspektif Al-Qur`an

0
Kelahiran Anak
Ucapan Selamat atas Kelahiran Anak

Kelahiran anak merupakan salah satu buah cinta yang diharapkan sepasang suami-istri dari ikatan suci pernikahan. Anak adalah karunia, keberadaannya adalah nikmat dan amanat. Oleh karena itu, kelahiran sang buah hati bermakna sebagai bentuk “kepercayaan” Allah SWT kepada manusia yang patut disyukuri.

Terlepas dari paradigma pasutri yang menghendaki tidak “mau” punya anak (childfree), Islam memandang bahwa melahirkan dan memiliki keturunan adalah hal yang sangat dianjurkan. Misalnya firman Allah SWT:

 فَالْـٰٔنَ بَاشِرُوْهُنَّ وَابْتَغُوْا مَا كَتَبَ اللّٰهُ لَكُمْ ۗ…   ١٨٧

“… Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu…” (Q. S. Al-Baqarah [2]: 187)

Ayat tersebut menurut Ibnu Katsir mengindikasikan anjuran untuk memiliki keturunan, yakni terdapat pada frasa “ma kataba Allahu”. Frasa tersebut secara gramatikal menurut Ibnu Katsir bermakna “anak” atau keturunan. Syahdan, penggalan ayat tersebut secara implisit berupa anjuran melahirkan anak melalui jalur pernikahan yang sah.

Selain itu, Islam juga memandang bahwa kelahiran anak merupakan rizki yang Allah SWT berikan kepada manusia (Q. S. 6: 151; 11: 6; 17: 31). Dalam kehidupan rumah tangga, anak (keturunan) ibarat tali pengikat yang dapat semakin menguatkan ikatan psikologis suami-istri. Dari sana lah kemudian semakin terang cahaya cinta dan keharmonisan dalam rumah tangga.

Memberikan Kabar Gembira

Dalam budaya Islam dan budaya bangsa Indonesia, kelahiran seorang anak adalah kebahagiaan bagi orang tuanya, keluarga, tetangga, hingga sanak saudara. Sehingga memberikan kabar gembira dan ucapan selamat atas kelahiran seorang anak adalah keniscayaan yang bahkan dianjurkan dalam Islam. Berkaitan dengan hal ini, Allah SWT berfirman:

 وَلَقَدْ جَاۤءَتْ رُسُلُنَآ اِبْرٰهِيْمَ بِالْبُشْرٰى قَالُوْا سَلٰمًا ۖ قَالَ سَلٰمٌ فَمَا لَبِثَ اَنْ جَاۤءَ بِعِجْلٍ حَنِيْذٍ ٦٩ فَلَمَّا رَآٰ اَيْدِيَهُمْ لَا تَصِلُ اِلَيْهِ نَكِرَهُمْ وَاَوْجَسَ مِنْهُمْ خِيْفَةً ۗقَالُوْا لَا تَخَفْ اِنَّآ اُرْسِلْنَآ اِلٰى قَوْمِ لُوْطٍۗ ٧٠ وَامْرَاَتُهٗ قَاۤىِٕمَةٌ فَضَحِكَتْ فَبَشَّرْنٰهَا بِاِسْحٰقَۙ وَمِنْ وَّرَاۤءِ اِسْحٰقَ يَعْقُوْبَ ٧١

 “[69] Dan para utusan Kami (para malaikat) telah datang kepada Ibrahim dengan membawa kabar gembira, mereka mengucapkan, “Selamat.” Dia (Ibrahim) menjawab, “Selamat (atas kamu).” Maka tidak lama kemudian Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang. [70] Maka ketika dilihatnya tangan mereka tidak menjamahnya, dia (Ibrahim) mencurigai mereka, dan merasa takut kepada mereka. Mereka (malaikat) berkata, “Jangan takut, sesungguhnya kami diutus kepada kaum Luth. [71] Dan istrinya berdiri lalu dia tersenyum. Maka Kami sampaikan kepadanya kabar gembira tentang (kelahiran) Ishak dan setelah Ishak (akan lahir) Yakub.” (Q. S. Hud [11]: 69-71)

Menurut Al-Zuhaili, ayat tersebut mendeskripsikan tentang kabar gembira (busyra) yang Allah SWT berikan kepada Nabi Ibrahim AS karena dua hal, yakni: 1) atas dibinasakannya kaum Luth, dan 2) atas kelahiran anak (Nabi Ishaq As) setelah masa menopause Siti Hajar yang terindikasi pada frasa “fabassyarnaha bi ishaq” dalam ayat 71 .

Selain itu, dalam ayat ini juga dijelaskan bagaimana para Malaikat mengucapkan “salam” kepada Nabi Ibrahim AS atas kabar gembira tersebut, begitu pula Nabi Ibrahim AS menjawab kembali salam tersebut lalu kemudian menghadirkan jamuan yang terbaik bagi para tamunya (Malaikat). Syahdan, ayat ini juga menurut Al-Zuhaili mengajarkan kepada kita untuk senantiasa memberikan ucapan selamat atas kebahagiaan saudara kita.

Urgensi Mengucapkan Selamat

Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dalam “Tuhfatu al-Maudud bi Ahkami al-Maulud”, ucapan selamat dan menyebarkan kabar gembira atas kelahiran seorang anak setidaknya berdampak pada dua hal, yakni: 1) rasa syukur atas nikmat dan rizki yang diberikan Allah SWT melalui keturunan, dan 2) memperkuat kohesi sosial antar sesama muslim.

Bahkan dalam ayat lain, Allah SWT mengabadikan dalam Al-Qur`an bagaimana Nabi Isa AS mengucapkan tanda syukur atas kelahirannya dengan ucapan “selamat”. Allah SWT berfirman:

 وَالسَّلٰمُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُّ وَيَوْمَ اَمُوْتُ وَيَوْمَ اُبْعَثُ حَيًّا ٣٣

“Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari kelahiranku, pada hari wafatku, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.” (Q. S. Maryam [19]: 33)

Diluar konteks ke-khasan ayat ini yang seringkali menjadi dalil kebolehan mengucapkan “selamat natal” kepada saudara non-muslim (Kristen), tentu ayat ini mengandung makna bahwa ungkapan “salam” memiliki makna yang mendalam. Imam al-Razi dalam “Mafatih Al-Ghaib” mencatat bahwa ungkapan salam Nabi Isa AS atas dirinya pada ayat tersebut seperti halnya salam sejahtera yang diberikan Allah SWT terhadap pribadinya (Isa AS). Hal ini berarti bahwa ucapan salam atau selamat juga berarti do’a yang tersemat.

Oleh karena itu, Islam menganjurkan kepada umatnya untuk senantiasa mengucapkan selamat atas kebahagiaan yang didapatkan oleh saudara kita. Dalam konteks ini, kebahagiaan memperoleh keturunan tentunya mendapatkan porsi yang cukup layak untuk digembirakan.

Memberikan ucapan selamat terhadap seseorang atas kelahiran buah hatinya lebih jauh lagi berarti memberikan surplus kebutuhan yang pada dasarnya sangat dibutuhkan oleh manusia, yakni kebutuhan sosial dan afiliasi serta penghargaan atas segala usaha yang dilakukan sejak mengandung, melahirkan, hingga pada saatnya mendidik dan membesarkan keturunannya. Syahdan, ucapan selamat dan do’a yang terkesan sederhana ternyata menyimpan banyak manfaat luar biasa, baik secara internal (orang tua anak) maupun eksternal (solidaritas sosial). Wallahu a’lam.

Kaidah Taqdim dan Ta’khir pun Terkena Pengaruh Tradisi Patriarki

0
Kaidah Taqdim dan Ta’khir pun Terkena Pengaruh Tradisi Patriarki
Kaidah Taqdim dan Ta’khir pun Terkena Pengaruh Tradisi Patriarki

Dalam Al-Fawz Al-Kabir fi Ushul At-Tafsir, Syah Waliyullah Ad-Dihlawi menge-list beberapa hal yang menyebabkan sulit dalam memahami maksud Al-Quran, antara lain yaitu adanya taqdim dan ta’khir dalam Al-Quran, karena susunan kata dalam satu ayat, atau bahkan susunan ayat dalam satu surah itu tidak seperti susunan kalimat yang normal sebagaimana dalam ketentuan kaidah kebahasaan. Kata atau kalimat yang semestinya ada di bagian awal, di ayat tersebut diletakkan di akhir, atau sebaliknya. Untuk itu, agar mengetahui susunan kalimat yang mengalami proses taqdim dan ta’khir ini, Ad-Dihlawi menyarankan para pengkaji Al-Quran dan tafsir untuk mempelajari kaidah taqdim dan ta’khir.

Sebagaimana historisitas Al-Quran yang disimpulkan oleh Taufik Adnan Amal dalam Rekonstruksi Sejarah Al-Quran bahwa Al-Quran itu erat dan identik sekali dengan kondisi sosial masyarakat Islam awal di Arab pada masa turunnya, memunculkan banyak teori bahwa untuk memahami Al-Quran, pengkaji harus memperhatikan kejadian dan kondisi di sekitar Al-Quran pada masa itu.

Keterkaitan yang sangat erat itu, dapat kita temui dalam beberapa ayat Al-Quran yang menyinggung tentang tradisi sosial pada saat itu, sebut saja tradisi patriarki dalam beberapa ayat Al-Quran, misal penguburan anak perempuan hidup-hidup karena dianggap menjadi aib keluarga (QS. Al-An’am: 15; QS. Al-Isra’: 31), laki-laki sebagai pemimpin perempuan (QS. An-Nisa’: 34), anggapan masyarakat laki-laki pada saat itu bahwa perempuan itu makhluk yang bodoh, yang bisanya hanya pandai berhias (QS. Az-Zukhruf: 18) dan seterusnya.

Uniknya, tidak hanya redaksi Al-Quran yang memperlihatkan adanya tradisi patriarki pada saat itu, tetapi ilmu untuk mempelajari Al-Quran pun (Ulumul Quran) juga menampilkan hal tersebut, kali ini konteksnya tentang kaidah taqdim dan ta’khir.

Keterpengaruhan tradisi patriarki pada kaidah taqdim dan ta’khir

Tidak hanya membahas dari segi kaidah gramatikal Bahasa Arab (nahwu dan sharraf), Imam As-Suyuthi dalam Al-Itqan fi Ulumil Quran juga mengutip penjelasan Ibnu as-Sha’igh dalam kitab Al-Muqaddimah fi Sirr Alfadz Al-Muqaddimah tentang rahasia dan petunjuk dari mengawalkan (taqdim) suatu kata dan mengakhirkan (ta’khir) suatu kata. Di situ disebutkan bahwa ada 10 rahasia yang membuat suatu kata itu didahulukan dan diakhirkan (taqdim dan ta’khir).

Sepuluh rahasia itu antara lain, at-tabarruk (mendapat berkah dan kebaikan) seperti dalam ayat yang mendahulukan penyebutan Allah dari hal-hal lainnya. Setelah itu ada at-ta’dhim (mengagungkan), ini berlaku sama pada ayat-ayat seperti contoh yang pertama. Rahasia berikutnya adalah at-tasyrif (memuliakan), contoh dalam hal ini yaitu ketika mendahulukan penyebutan laki-laki daripada perempuan seperti ayat inna al-muslimin wa al-muslimat….. juga mengawalkan penyebutan orang merdeka daripada budak, menyebut terlebih dahulu kehidupan (al-hayy) daripada kematian (al-mayyit) dan seterusnya hingga rahasia yang kesepuluh.

Sampai pada rahasia yang ketiga ini kita dapat melihat ada pengaruh dari tradisi patriarki yang ikut masuk dalam paradigma pemikiran seorang tokoh pengkaji Al-Quran. Di situ disampaikan bahwa laki-laki disebut lebih dulu daripada perempuan karena lebih mulia. Alasannya adalah lebih mulia, tidak ada yang lain. Terlihat jelas bahwa ide atau gagasan tersebut lahir mengikuti keadaan ketika Al-Quran diturunkan, yaitu laki-laki lebih dimuliakan di tatanan sosial daripada perempuan.

Baca juga: Hikmah Taqdim dan Ta’khir dalam Al-Quran

Tidak menyalahkan, tapi mengkritisi

Sebagaimana disampaikan di awal, taqdim dan ta’khir merupakan salah satu kaidah dalam menafsirkan dan memahami Al-Quran, Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki dalam Al-Qawa’id Al-Asasiyah fi Ulumil Quran mengiyakan hal ini. Tentu peran kaidah ini sangat penting dalam menafsirkan Al-Quran. Oleh karena perannya yang begitu penting, maka sangat disayangkan ketika mengetahui adanya keterpengaruhan patriarki di dalamnya. Jika alat atau ketentuan yang digunakan dalam menafsirkan Al-Quran saja demikian, bernuansa patriarki, maka bisa ditebak hasil atau produk dari penafsirannya.

Mengetahui hal ini, sudah semestinya untuk tidak menerima ide atau gagasan tersebut mentah-mentah, kesadaran akan hal-hal di belakangnya harus ditunjukkan dari awal. Khusus untuk konteks ke-perempuan-an, memunculkan dan melatih pikiran untuk terbiasa dengan hal-hal yang sensitif perempuan dan mengetahui historisitas ilmu Al-Quran menjadi hal yang dapat membantu dalam mengkritisi sebuah gagasan.

Mengapa hal ini menjadi penting? Akibat dan pengaruh yang sering tidak disadari oleh banyak orang dari ide atau gagasan yang bernilai patriarki, baik secara langsung maupun tidak akan sangat berbahaya. Inilah salah satu contoh dari hal kecil yang dianggap remeh, tapi akibatnya akan sangat besar dan berkelanjutan dalam waktu yang sangat lama.

Misal saja, ketika dikatakan bahwa gagasan di salah satu kaidah tafsir tadi mengafirmasi bahwa laki-laki lebih mulia daripada perempuan, bagi laki-laki yang langsung bangga dengan hal tersebut akan menuntut perempuan untuk selalu mematuhinya, mengikuti kemauannya, karena jika tidak, maka perempuan itu berarti tidak memuliakannya dan berdosa karena melanggar perkataan ulama. Begitupun dengan perempuan yang langsung menerima ide ini apa adanya, ia akan merasa wajib patuh, taat pada makhluk yang lebih mulia darinya, dan tidak berani melawannya. Dari pikiran yang seperti ini kemudian tidak jarang lahir praktik-praktik kekerasan terhadap perempuan.

Sebagai penutup, jika Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia meminta kita untuk berlaku adil sejak dalam pikiran, maka dalam konteks bahasan ini, kita hendaklah berlaku sensitif ke-perempuan-an sejak dalam pikiran. Wallahu a’lam.

Baca juga: Tujuh Kaidah Penting Dalam Proses Penafsiran Ayat Al-Quran

Maksud Al-Qur’an Penyembuh Bagi Mukmin dan Penambah Kerugian Bagi Kafir

0
Maksud Al-Qur’an Sebagai Penyembuh Bagi Mukmin dan Penambah Kerugian Bagi Kafir
Al-Qur’an Sebagai Penyembuh Bagi Mukmin dan Penambah Kerugian Bagi Kafir

Al-Qur’an selain sebagai pedoman beragama umat Islam juga diyakini berfungsi sebagai penyembuh. Fungsi penyembuhan Al-Qur’an ini ditafsirkan dalam beragam makna dan melahirkan beragam praktik keagamaan pula yang unik lagi menarik.

Keyakinan Al-Qur’an sebagai media penyembuh berasal dari klaim Al-Qur’an sendiri maupun hadis Nabi bahwa Al-Qur’an berkhasiat menyembuhkan penyakit. Usamah Nazih Sunduq dalam al-Syifa’ ’ala Dau al-Sunan al-Ilahiyyah fi Al-Qur’an wa al-Sunnah menyebutkan dalil-dalilnya, antara lain QS. Al-Isra: 82, QS. Yunus: 57, QS. Fussilat: 44. Begitu pula ajaran dari beberapa hadis Nabi semisal HR. al-Daraquthni no. 3018.

Mari kita bahas salah satu dalil tersebut, yaitu QS. Al-Isra: 82 yang berbunyi sebagai berikut:

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ ۙ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا

Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian (QS. Al-Isra: 82).

Baca juga: Ayat-Ayat Syifa’, Penjelasan dan Pengalaman Para Mufasir Tentangnya

Tafsir QS. Al-Isra: 82

Ibn Asyur dalam tafsirnya menjelaskan bahwa keseluruhan Al-Qur’an adalah penyembuh dan rahmat bagi orang mukmin, sebab setiap ayat dari Al-Qur’an mencakup petunjuk dan kemaslahatan bagi mereka. Baik itu ayat perintah, larangan, nasihat, kisah, permisalan, anjuran, maupun ancaman. Semuanya itu mengarahkan orang-orang mukmin menjadi pribadi yang baik.

Sebaliknya, Al-Qur’an hanya akan menambah kerugian kepada orang-orang musyrik yang disebut di dalam ayat ini sebagai orang-orang yang zalim. Hal ini dikarenakan petunjuk-petunjuk Al-Quran tidak mereka indahkan, sehingga menjadi penyebab bertambahnya dosa mereka, memburuknya perilaku mereka, dan semakin menjauhkan mereka dari cahaya keimanan.

Ibn asyur juga menyatakan bahwa ayat ini menunjukkan adanya bagian dari Al-Qur’an yang dapat dibuat sebagai penyembuh dari segala macam penyakit dan kepedihan. Praktik tersebut telah dijumpai di dalam banyak hadis, antara lain hadis yang termaktub dalam kitab Sunan al-Daruqutni berikut:

حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ , أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ سَرِيَّةً عَلَيْهَا أَبُو سَعِيدٍ فَمَرَّ بِقَرْيَةٍ فَإِذَا مَلِكُ الْقَرْيَةِ لَدِيغٌ , فَسَأَلْنَاهُمْ طَعَامًا فَلَمْ يُطْعِمُونَا وَلَمْ يُنْزِلُونَا , فَمَرَّ بِنَا رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْقَرْيَةِ , فَقَالَ: يَا مَعْشَرَ الْعَرَبِ هَلْ مِنْكُمْ أَحَدٌ يُحْسِنُ أَنْ يَرْقِيَ؟ إِنَّ الْمَلِكَ يَمُوتُ , قَالَ أَبُو سَعِيدٍ: فَأَتَيْتُهُ فَقَرَأْتُ عَلَيْهِ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ فَأَفَاقَ وَبَرَأَ , فَبَعَثَ إِلَيْنَا بِالنُّزُلِ وَبَعَثَ إِلَيْنَا بِالشَّاءِ , فَأَكَلْنَا الطَّعَامَ أَنَا وَأَصْحَابِي وَأَبَوْا أَنْ يَأْكُلُوا مِنَ الْغَنَمِ حَتَّى أَتَيْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرْتُهُ الْخَبَرَ , فَقَالَ: «وَمَا يُدْرِيكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ؟» قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ شَيْءٌ أُلْقِيَ فِي رَوْعِي , قَالَ: «فَكُلُوا وَأَطْعِمُونَا مِنَ الْغَنَمِ»

Abu Sa’id Al Khudri ra telah menceritakan kami bahwa Rasulullah saw pernah mengutus sebuah pasukan dan Abu Sa’id berada bersama mereka. Pasukan itu kemudian melewati sebuah perkampungan. Ketika itu pemimpin kampung itu digigit hewan melata. Kami lalu meminta makanan kepada mereka, namun mereka enggan memberinya dan tidak menyuruh kami singgah. Tak lama kemudian salah seorang penduduk kampung tersebut melewati kami dan berkata, “Wahai sekalian orang Arab, apakah di antara kalian ada yang pandai me-ruqyah? karena pemimpin kami hampir mati.” Abu Sa’id berkata, “Aku lalu mendatanginya dan membacakan surah Al-Fatihah kepadanya. Akhirnya, ia siuman dan sembuh. Ia lalu memberi kami persinggahan dan beberapa ekor domba. Setelah itu kami menyantap makanannya, namun mereka enggan memakan domba tersebut. Ketika kami sampai kepada Rasulullah saw, aku menceritakan hal tersebut kepadanya. Mendengar itu, beliau berkata, “Apa yang membuatmu tahu bahwa ia adalah ruqyah?’ Aku berkata, “Wahai Rasulullah, ada sesuatu (ilham) yang dibesitkan di hatiku.” Beliau bersabda, “Kalau begitu makanlah dan berilah kami makan dari domba tersebut.” (HR. al-Daraquthni no. 3018).

Ruqyah dengan membaca surah Al-Fatihah yang dilakukan oleh Abu Sa’id al-Khudri kepada pemimpin kampung yang sedang di ambang kematian itu berhasil membuatnya siuman dan sembuh. Kemudian Nabi yang diberitahu peristiwa tersebut mendiamkannya, alias tidak memberi komentar. Secara hukum fikih, hal ini mengisyaratkan keabsahan praktik ruqyah dengan ayat Al-Qur’an sebagaimana yang telah dilakukan oleh Abu Said al-Khudri ra di atas.

Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa fungsi syifa Al-Qur’an dapat bermakna ganda. Di satu sisi bermakna secara hakikatnya, yakni menyembuhkan penyakit jasmani yang terlihat di tubuh pembaca maupun yang dibacakan ayat padanya.

Di sisi lain, fungsi syifa’ Al-Qur’an juga bermakna metafora atau majaz, di mana ini berkaitan dengan aspek rohaniyah seseorang. Misalnya bahwa Al-Qur’an berkhasiat menyembuhkan penyakit kesesatan, kemunafikan, dan karakter-karakter buruk lainnya yang terdapat dalam diri manusia. Semoga kita senantiasa mendapatkan keberkahan dari Al-Qur’an. amin ya rabbal ‘alamin.

Baca juga: Menyoal Makna Syifa dalam Al-Quran

Tafsir Surah An-Nahl ayat 66: Keajaiban Penciptaan Susu pada Hewan Ternak

0
Tafsir Surah An-Nahl ayat 66: Keajaiban Penciptaan Susu pada Hewan Ternak
Susu Hewan Ternak

Susu merupakan cairan yang dihasilkan dari sekresi kelenjar mammae hewan mamalia yang memiliki manfaat memenuhi kebutuhan gizi. Susu salah satu produk dari hewan ternak yang kaya akan kandungan gizinya, antara lain protein, lemak, laktosa, mineral, dan vitamin. Zat-zat gizi tersebut memiliki sifat mudah dicerna dan diserap sempurna oleh tubuh.

Selain merupakan bagian dari 4 sehat 5 sempurna, susu juga memiliki manfaat yang cukup banyak bagi kesehatan tubuh. Salah satunya adalah manfaat susu pada tulang. Dengan mengkonsumsi susu, tulang kita dapat terlindungi dari pengeroposan tulang atau osteoporosis. Susu juga dapat membantu dalam proses pembentukan otot dan menjaganya dari terkena cidera.

Keajaiban penciptaan susu menurut Al-Qur’an

Beberapa keistimewaan susu itu tidak lain adalah tanda–tanda yang ditunjukkan oleh Allah Swt. kepada manusia agar mereka berpikir dan merenungkan akan keesaan Allah Swt. Begitu pula dengan susu yang berasal dari hewan ternak seperti sapi dan kambing yang sering dikonsumsi oleh manusia sebagaimana termaktub dalam QS. An-Nahl: 66:

وَ إِنَّ لَكُمْ فِيْ الأَنْعَامِ لَعِبْرَةً نُسْقِيْكُمْ مِمَّا فِيْ بُطُوْنِهِ مِنْ بَيْنِ فَرْثٍ وَ دَمٍ لّبنًا خَالِصًا سَآئِغًا لِّلشَّارِبِيْنَ

Dan sungguh, pada hewan ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minuman dari apa yang ada dalam perutnya (berupa) susu murni antara kotoran dan darah, yang mudah ditelan bagi orang yang meminumnya.

Ayat di atas menjelaskan bagaimana Allah Swt. menciptakan sesuatu yang sangat menakjubkan, yaitu susu murni yang keluar di antara kotoran dan darah dalam tubuh hewan ternak yang kini sering kali menjadi olahan makanan dan minuman kita sehari-hari.

Menurut al-Jazairy dalam Aysar al-Tafasir (jilid 3, 101-102), yang dimaksud dengan susu murni adalah susu yang di dalamnya tidak terdapat kotoran maupun darah, tidak pula terkandung warna, bau, dan rasa dari kotoran maupun darah. Adapun letaknya menurut al-Jazairy berada di antara kotoran dan darah, sebagaimana disinggung dalam ayat.

Al-Jazairy menjelaskan pula bagaimana cara kerja pembuatan susu, yaitu darah yang awalnya bergerak ke jantung dan mengalir dalam urat agar hewan tersebut tetap hidup. Susu diangkut menuju kantung kelenjar susu, sedangkan kotoran tetap berada di bawah perut. Susu keluar dalam keadaan suci dari noda darah maupun kotoran, dan tidak terdapat pula pada rasanya tanda jika diminum dapat menyedakkan.

Sayyid Quthb dalam Fi Zilal al-Qur’an (Jilid 7, 193) juga menjelaskan bahwa susu berasal dari antara tahi dan darah. Tahi adalah sisa makanan dalam perut sesudah dikunyah dan saripatinya terhisap oleh usus-usus yang kemudian berubah menjadi darah. Darah inilah yang kemudian bergerak mengalir ke seluruh sel-sel tubuh. Lalu, ketika telah menjadi butiran-butiran susu di dalam payudara, maka berubahlah ia menjadi air susu yang penuh akan keajaiban produk buatan ilahi, yang tak seorang pun tahu bagaimana hal itu bisa terjadi.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Dalil Kehalalan Susu Hewan dalam Al-Quran

Pemanfaatan susu menurut al-Qur’an

Al-Qur’an pun juga menjelaskan bahwa susu adalah makanan yang bermanfaat bagi manusia, sebagaimana yang termaktub pada QS. Al-Mu’minun [23]: 21 sebagai berikut:

 وَ إِنَّ لَكُمْ فِيْ الأَنْعَامِ لَعِبْرَةً نُسْقِيْكُمْ مِمَّا فِيْ بُطُوْنِهِ وَ لَكُمْ فِيْهَا مَنَافِعَ كَثِيْرَةٌ وَ مِنْهَا تَأْكُلُوْنَ

Dan sungguh pada hewan–hewan ternak terdapat suatu pelajaran bagimu. Kami memberi minum kamu dari (air susu) yang ada dalam perutnya. Dan padanya juga terdapat banyak manfaat untukmu, dan sebagian darinya kamu makan.

Ahmad Mustafa Al-Maraghy dalam Tafsir Al-Maraghy menafsirkan ayat di atas. Ia mengatakan bahwa dari dalam perut hewan–hewan ternak kita dapat memanfaatkan susunya dengan berbagai cara, seperti mengolahnya menjadi krim, mentega, dan keju. Kita juga dapat mengambil bulu dan rambutnya untuk dimanfaatkan sebagai bahan membuat baju, dan dimanfaatkan sebagai kasur untuk kehangatan, dan rumah di padang pasir, dan lain semisalnya. Dan hewannya sendiri kemudian dapat kita manfaatkan untuk dimakan setelah melalui proses penyembelihan.

Adapun menurut al-Jazairy dalam Aysar al-Tafasir (3, 406) menjelaskan manfaat susu yang termaktub dalam QS. Al-Mu’minun [23]: 21 adalah dapat memanfaatkan bulu, susu, dan mengkonsumsi dagingnya serta dapat dijadikan sebagai tunggangan. Maka dapat kita ketahui bahwa mengkonsumsi susu sangat bermanfaat, baik dari pandangan kesehatan, maupun dalam pandangan al-Qur’an.

Penutup

Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat kita ketahui bahwa susu merupakan minuman yang bermanfaat bagi tubuh, baik dalam pandangan dunia kesehatan maupun dalam pandangan Al-Qur’an. Selain susu dikonsumsi sebagai minuman instan, dapat kita ketahui pula beberapa olahan dari susu seperti krim, mentega, dan keju yang dapat dikonsumsi berdasarakan penjelasan di atas. Alangkah istimewanya kandungan gizi susu sebagai minuman murni, meski di dalam tubuh hewan ia berada di antara darah dan kotoran.

Baca juga: Tafsir Ayat Syifa: Inilah Khasiat Madu bagi Kesehatan Manusia

Tafsir Surah At-Taubah Ayat 28: Benarkah Non-Muslim Dilarang Masuk Masjid?

0
Tafsir Surah At-Taubah Ayat 28: Benarkah Non-Muslim Dilarang Masuk Masjid?
Seorang non muslim memasuki masjid

Pada surah at-Taubah ayat 28, Allah Swt dengan sarih (jelas) melarang kaum musyrik mendekati Tanah Haram. Melalui pesan wahyu ini kemudian muncul pelbagai opini yang perlu diklarifikasi kebenarannya.

Kerapkali umat muslim melarang seorang penganut agama sebelah memasuki masjid. Dengan dalih, masjid itu suci sekaligus rumah Tuhan, membiarkan non muslim memasukinya hanya akan menodai kesakralannya. Mereka menganalogikan asumsinya dengan kandungan surah At-Taubah khususnya pada ayat ke 28. Pertanyaannya, benarkah logika qiyas tersebut? Seperti apa tanggapan para mufassir terhadap larangan itu?

Pada surah at-Taubah ayat 28 Allah Swt berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْمُشْرِكُوْنَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هٰذَا ۚوَاِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيْكُمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖٓ اِنْ شَاۤءَۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ

Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis (kotor jiwa), karena itu janganlah mereka mendekati Masjidil Haram setelah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin (karena orang kafir tidak datang), maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.

Pada tulisan sebelumnya penulis telah menguraikan arti dari kata musyrik pada ayat tersebut. Ulama berbeda pendapat, ada yang mengkhususkan kepada penyembah berhala saja; ada yang mengeneralisir terhadap seluruh bentuk kekufuran.

Baca juga: Tafsir Surah at-Taubah Ayat 28: Benarkah Orang Musyrik Itu Najis?

Maksud tidak boleh mendekati Masjidil Haram

Pada ayat di atas Allah Swt nampak sekali melarang kaum musyrik untuk mendekati Masjidil Haram. Menurut Syaikh Muhamammad Sayyid Thantawi, maksud larangan tersebut ialah memasuki Masjidil Haram, bukan mendekatinya. Hanya saja, Allah Swt meredaksikan firmannya dengan kata “mendekati” agar memberikan pemahaman yang mendalam tentang larangan keras tersebut. Logikanya, kalau saja mendekati dilarang apalagi memasukinya (Al-Tafsir al-Wasid li al-Qur’an al-Karim, 6/244).

Selain itu, mantan Grand Master al-Azhar tersebut memberikan alasan yang cukup rasional mengapa umat musyrik dilarang memasuki Masjidil Haram. Menurut beliau, musyrik yang notabenenya menafikan dan mengingkari Sang Pencipta tidak berhak menginjakkan kaki di rumah Allah terlebih memeriahkannya. Syakh Tantawi melanjutkan, bagaimana bisa dia yang memusuhi Allah hendak memasuki halaman-Nya? (Al-Tafsir al-Wasid li al-Qur’an al-Karim, 5/717).

Berbeda halnya dengan penafsiran yang disampaikan oleh Abu Hanifah. Menurutnya, arti dari “laa taqrabuu al-masjida al-haram”, kaum musyrik tidak diperkenankan melaksanakan ibadah haji dan umrah. Jadi yang dimaksud dari larangan tersebut bukan makna hakikatnya, melainkan hanya sebatas majas, yakni menyebutkan kata Masjidil Haram namun yang dikehendaki adalah bagian tertentu; haji dan umrah. Pendapat kedua ini disampaikan oleh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya yang berjudul al-Tafsir al-Munir (al-Tafsir al-Munir, 10/165).

Baca juga: Mengapa Empat Bulan Ini Disebut Bulan Haram? Simak Penjelasannya

Apa yang dimaksud dengan Masjidil Haram di sini?

Mengenai makna dari Masjidil Haram pada surah at-Taubah ayat ke 28 ulama berbeda pendapat. Pertama, disampaikan oleh mazhab Syafi’I. Menurut mereka yang dimaksud dari Masjidil Haram adalah makna aslinya. Artinya larangan ini hanya terbatas kepada Masjidil Haram tidak tempat-tempat  sakral lainnya seperti masjid selain Masjidil Haram.

Kedua, menurut mazhab Hanbali dan imam Atha’, yang dikehendaki dari lafaz Masjidil Haram meliputi Makkah dan daerah-daerah sekitarnya. Menurut pendapat ini kaum musyrik tidak boleh memasuki Makkah dan kota Madinah karena keduanya termasuk daerah Tanah Haram.

Terakhir, pendapat yang dikemukakan mazhab Maliki. Menurut mereka pantangan memasuki Masjidil Haram bagi kaum musyrik berlaku pula pada tempat peribadatan lainnya, yaitu Masjid-masjid yang lain. Para pengikut mazhab maliki menganalogikan Masjidil Haram terhadap setiap masjid yang ada, alasannya karena pada ayat tersebut Allah Swt memberi keterangan bahwa kaum musyrik itu Najis. Tentu kata najis sangat relevan dengan larangan memasuki tempat-tempat suci guna melestarikan kesakralannya (Rawa’I’ al-Bayan, 1/484-485).

Kesimpulan

Dari beberapa pendapat di atas dapat ditarik benang merah bahwa beberapa ulama ada yang meng-qiyas-kan Masjidil Haram kepada tempat sakral lainnya. Opini bahkan aksi masyarakat muslim yang melarang masuk kamu non muslim ke tempat peribadatan dapatlah dibenarkan.

Meski demikian, untuk mengamalkan pendapat yang dikemukakan oleh mazhab Maliki, perlu membaca konteks dan situasi setempat. Mengingat pendapat tidak hanya satu wajah, banyak opsi lain yang disampaikan para cendekiawan, jadi selama niat mereka (baca: non muslim) baik dan tidak mengganggu pelaksanaan ibadah di tempat itu tidak ada salahnya bila kita tetap bersikap toleran dengan mengambil pendapat yang lebih longgar.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukum Berwudhu dengan Air Milik Non Muslim

Zakat untuk Korban Kekerasan Perempuan, Tinjauan Tafsir Al-Qur’an

0
Korban Kekerasan Perempuan
Korban Kekerasan Perempuan

Yulianti Muthmainnah, penulis buku Zakat Untuk Korban Kekerasan Perempuan dan Anak, pada acara diskusi media keislaman yang diselenggarakan secara online, pada tanggal 9 desember 2021 pukul 09.00 WIB, oleh el-Bukhari Institute yang bertemakan “Dukungan Filantropi untuk Korban Kekerasan Seksual“, menyebutkan bahwa korban pemerkosaan seharusnya dapat memperoleh zakat, mengapa demikian? Karena zakat merupakan perintah Allah yang beriringan dengan perintah sholat yang tertera dalam Al-Qur’an. Selain itu, dengan tegas Yulianti juga mengatakan bahwa zakat itu untuk keadilan sosial, bukan hanya sekedar mengentaskan kemiskinan.

Membayar zakat  merupakan rukun Islam selain membaca dua kalimat syahadat, salat, puasa, dan melaksanankan ibadah haji bagi yang mampu. Ada delapan golongan yang berhak untuk mendapatkan zakat. Allah berfirman dalam surat At-Taubah ayat 60 yang menerangkan tentang beberapa pihak yang berhak memperoleh zakat.

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan AllahMaha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (RI, 2011, p. 197) (QS. At-Taubah ayat 60).

Pada Tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab menyebutkan bahwa, Zakat yang diwajibkan itu hanya akan diberikan kepada orang fakir yakni orang yang tidak mendapatkan sesuatu yang dapat mencukupi kebutuhan hidupnya, orang sakit yang tidak dapat bekerja dan tidak memiliki harta, orang yang bertugas mengumpulkan dan mendistribusikan zakat, mualaf–karena diharapkan keislamannya dan manfaatnya untuk membantu dan membela agama Allah–orang yang berdakwah kepada Islam. Selain itu, zakat juga digunakan untuk membebaskan budak dan tawanan, melunasi utang orang-orang yang berutang dan tidak mampu membayar–kalau utang itu bukan karena perbuatan dosa, aniaya atau kebodohan. Zakat juga digunakan untuk memasok perbekalan para mujahidin yang berjihad di jalan Allah serta berbagai jalan kebaikan dan ketaatan yang berhubungan dengan jihad. Membantu para musafir yang terputus dari kemungkinan melanjutkan perjalanan dan terasingkan dari keluarganya.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Maidah 87-88: Sikap Seseorang sebagai Konsumen

Lalu, apakah perempuan korban kekerasan termasuk bagian dari 8 golongan tersebut?

Riqab Modern dapat Memperoleh Zakat

Lafadz riqab dalam Al-Qur’an menurut al-Ragib al-Asfahani memiliki makna budak mukattab yang dibebaskan melalui harta zakat. Yulianti menyebutkan, bahwa pada ayat di atas disebutkan golongan yang dapat memperoleh zakat salah satunya adalah adanya riqab (perbudakan), akan tetapi perbudakan ini bukan hanya berlaku untuk membebaskan budak, namun juga perbudakan modern yaitu korban pemerkosaan. Maka, di sini sangat jelas, bahwa korban kekerasan, pemerkosaan juga dapat memperoleh zakat.

Sebelum pada pembahasan zakat, kita perlu mengetahui apa itu pelecehan dan kekerasan seksual dan bentuk apa saja yang merupakan kekerasan seksual pada perempuan. Jika disimpulkan atas apa yang disampaikan Yulianti, pelecehan seksual adalah perilaku yang berhubungan dengan seks yang sama sekali tidak diinginkan korban, maka tentu ini berbeda dengan zina. Bahkan Islam saja sangat detail dalam menghukumi kasus zina, baik itu wajibnya minimal ada empat saksi, kemudian akan ada hukum cambuk.

Berikut beberapa yang termasuk pelecehan seksual: pemerkosaan, percobaan, pemerkosaan, pemaksaan keinginan seksual yang tidak diinginkan, memegang,menyudutkan, bersender kepada seseorang yang tidak diinginkan, be rcandaan, ejekan, komentar, pertanyaan, pernyataan seksual yang tidak diinginkan, berkomentar terhadap bentuk tubuh, pemaksaan penggunaan kontrasepsi, pemaksaan melakukan aborsi dan lainnya.

Kemudian Yulianti juga menyebutkan perbedaan pemerkosaan dengan zina. Pemerkosaan yaitu hirabah atau muharib (perampasan), tidak antarodin (tidak suka sama suka), kesaksian korban adalah yang utama, tidak dibutuhkan yang lainnya. Sedangkan zina, itu ditandai dengan suka sama suka (antarodin), dan relasi setara,  maksudnya ialah dilakukan secara sadar, balig, berakal, ghairu majnun.

Baca juga: Mendudukkan Ayat Jihad dan Kebebasan Beragama dalam al-Quran (2)

Efek perempuan korban kekerasan seksual salah satunya adalah mengalami titik paling rendah dalam mentalnya, sulit menemukan pertolongan, baikdari keluarga, masyarakat, bahkan tokoh agama. Dengan begitu sangat jelas riqab itu adalah bagian dari 8 golongan yang memperoleh zakat, dan riqab yakni melepaskan seseorang dari perbudakan untuk konteks sekarang perbudakan dalam bentuk lain seperti pemerkosaan, eksploitasi seks promosi eksploitasi seksual pada perempuan, dan inilah merupakan salah satu bentuk perbudakan modern yang perlu memperoleh zakat. wallahualam[]

Mengenal Paradigma Ma’na Cum Maghza sebagai Pendekatan Tafsir ala Sahiron Syamsuddin

0
Paradigma Ma'na Cum Maghza sebagai Pendekatan Tafsir
Paradigma Ma'na Cum Maghza sebagai Pendekatan Tafsir

Dalam setiap keilmuan tentu kita akan mengenal yang namanya paradigma, pun demikian dalam keilmuan penafsiran Al-Qur’an. Setiap pendekatan tafsir yang ditawarkan mufassir tentu akan memiliki paradigma atau cara pandang tersendiri terhadap Al-Qur’an sebagai kitab suci yang hendak ditafsirkan. Sehingga hal ini dapat mempengaruhi terhadap cara berfikir sang mufassir yang mana nantinya dapat menghasilkan pemikiran baru atau pandangan baru dalam pendekatan penafsiran, yang mana pendekatan penafsiran ini seyogyanya tetap relevan dengan perkembangan zaman Dengan begitu, motto Al-Qur’an sebagai kitab suci yang shalih li kulli zaman wa makan dapat terimplementasikan dalam kehidupan. Hal ini sebagaimana pendekatan tafsir Ma’na Cum Maghza yang ditawarkan Sahiron Syamsuddin. Dimana pendekatan tafsir ini memiliki paradigma penting yang harus diperhatikan mufassir ketika hendak menggunakan pendekatan Ma’na Cum Maghza ini.

Adapun paradigma penting pendekatan tafsir ini setidaknya terangkum dalam paparan berikut, yaitu:

Pertama, Al-Qur’an adalah kitab suci yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw. yang berfungsi sebagai rahmatan lil’aalamiin, bahwa Al-Qur’an merupakan bentuk kasih sayang Allah Swt. untuk umat manusia dalam bentuk kitab suci. Adapun yang menjadi dasar hal ini yaitu Q.S al-Anbiya: 107,

وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِين

“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (Q.S Al-Anbiya’ [21] : 107)

Sahiron menjelaskan bahwa pada ayat tersebut terdapat makna kerasulan, yang mana di sebalik makna kerasulan itu terdapat misi atau ajaran yang dibawa oleh Rasulullah itu sendiri, dan yang dibawa oleh Rasulullah Saw. adalah Al-Qur’an, yakni kitab suci yang diwahyukan Allah yang berfungsi sebagai rahmat bagi umat manusia dan seluruh alam semesta. Oleh karena ayat diatas, jelaslah sudah bahwa Al-Qur’an adalah rahmat, kasih sayang Allah terhadap makhuknya.  hal ini dibuktikan oleh Al-Qur’an yang berisi sebagai pedoman hidup agar manusia bisa menjalani kehidupan berdasar akhlak qur’ani dan menjalankan amanahnya sebagai khalifah di muka bumi.

Di dalam Al-Qur’an, jika kita teliti lebih dalam tidak ditemukan satu pun ayat Al-Qur’an yang mengandung kesengsaraan, karena sudah jelas sekali bahwa sejatinya seluruh ayat Al-Qur’an merupakan bentuk kebahagiaan, bentuk kasih sayang Allah Swt. terhadap makhluknya. Dengan demikian, Sahiron menjelaskan bahwa ketika ada seorang penafsir yang hasil penafsirannya mengandung kesengsaraan dan berpotensi mengundang kekacauan dan keributan, sejatinya hal tersebut bukanlah Al-Qur’an yang bicara, melainkan kepentingan seseorang atau kelompok tertentu yang penafsirannya tidak mengandung nilai rahmat.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Maidah 87-88: Sikap Seseorang sebagai Konsumen

Hal tersebut sebagaimana dijelaskan Sahiron, bahwa ketika ada seorang penafsir yang menafsirkan Al-Qur’an tidak mencerminkan rahmatan lil ‘alamiin, bisa jadi disebabkan oleh dua kemungkinan: Pertama, seorang penafsir tersebut tidak bisa memahami Al-Qur’an dengan baik, baik dari segi makna literalnya maupun maghza-nya. Kedua, kemungkinan ada kesengajaan dalam rangka kepentingan tertentu, baik itu kepentingan politik, pribadi, atau kepentingan lainnya.

Dua hal tersebut tentu berbeda dan bertolak belakang dengan prinsip teori penafsiran Ma’na Cum Maghza, karena Ma’na Cum Maghza merupakan teori penafsiran yang meyakini bahwa Al-Qur’an adalah rahmatan lil ‘aalamiin. Dengan demikian hasil penafsirannya tentu berisi penjabaran mengenai rahmatan lil ‘aalamiin. Hal ini tidak lain agar motto mulia Al-Qur’an shalih li kulli zaman wa makan dapat terimplementasikan dengan baik guna kemaslahatan manusia dan alam semesta.

Kedua, Al-Qur’an adalah universal atau menyeluruh. Sebagaimana yang kita tahu, bahwa meskipun Al-Qur’an hadir pada abad ke-7 M yang lalu, tetapi semangat dan spirit dari makna Al-Qur’an tetap shalih li kulli zaman wa makan. Dengan demikian, dari paradigma kedua, kita harus meyakini bahwa Al-Qur’an bukan hanya bermanfaat untuk umat Islam saja, melainkan ajaran dan makna Al-Qur’an yang sifatnya universal, yang tentu saja untuk seluruh alam semesta, yang mana ajaran Al-Qur’an itu sendiri akan terus relevan disepanjang zaman dan disetiap tempat, shalih li kulli zaman wa makan.

Ketiga, sebagaimana paradigma kedua yang menjelaskan keuniversalan Al-Qur’an, maka pada paradigma ketiga ini dijelaskan bahwa universalitasnya itu perlu penafsiran, perlu reaktualisasi, dalam arti perlu pengembangan. Dalam hal ini, maka muncul pertanyaan, universalitas Al-Qur’an itu terletak dalam makna literalnya atau dalam maghza-nya?. Dalam hal ini, Sahiron menjelaskan bahwa pada prinsip Ma’na Cum Maghza universalitasnya adalah terletak pada makna maqashid-nya atau maghza-nya, yakni pesan utama ayat Al-Qur’an. Tetapi perlu digarisbawahi, bahwa universalitas Al-Qur’an yang terletak pada maghza-nya tidak lantas untuk melupakan makna literalnya. Sebagai contoh, mengenai ayat Al-Qur’an yang menjelaskan bahwa tujuan utama shalat adalah untuk mengingat Allah, اَقِمِ الصَّلٰوةَ لِذِكْرِيْ

Pesan utama atau maghza dari ayat ini adalah bahwa shalat sejatinya untuk mengingat Allah Swt. Tujuan dan makna dari ayat ini sudah terlihat dari segi makna literalnya atau secara eksplisit. Lantas bagaimana ketika ada yang mengatakan, “Saya sudah mengingat Allah, bolehkah saya meninggalkan shalat?”. Maka jawabannya adalah, mengingat Allah sejatinya haruslah setiap saat, setiap hembusan nafas yang keluar harusnya berisi Dzikrullaah.

Lantas, kita balik bertanya, mampukah kita mengingat Allah setiap detik, setiap waktu, sekalipun tidak pernah lupa?. Tentu jawabannya adalah tidaklah mampu, buktinya kita sebagai manusia membutuhkan istirahat, membutuhkn waktu tidur, dan ketika tidur sama sekali kita tidak bisa mengingat Allah. Maka dalam hal ini Allah Swt. memberikan rukhsah (keringanan), bahwa untuk mengingat Allah solusinya adalah dengan mendirikan shalat lima waktu guna mengingat Allah minimal lima sekali dalam sehari semalam, yakni dalam shalat, karena lagi-lagi kita tidak akan mampu untuk mengingat Allah setiap saat.

Dengan demikian, tidaklah dibenarkan ketika shalat ditinggalkan, karena shalat adalah dalam rangka mengingat Allah Swt. (Dzikrullah). Contoh inilah yang kemudian disebut oleh Sahiron sebagai contoh Maghza, yang mana makna literal dan pesan utama (maghza) menjadi satu, yakni perintah shalat. Beliau juga menjelaskan bahwa ketika Dzikrullah dan shalat sudah mendarah daging dengan diri kita, maka perilaku kita pun akan menjadi baik. Jadi, dari paradigma ketiga ini dapat disimpulkan bahwa universalitas Al-Qur’an itu sejatinya perlu penafsiran, perlu reaktualisasi atau pengembangan. Mengapa demikian? Karena lagi-lagi pada dasarnya universalitas Al-Qur’an terletak pada maqashid-nya atau maghzanya, akan tetapi bisa saja maghza dan makna literal menjadi satu, sebagaimana contoh perintah shalat shalat diatas. Atau bisa juga makna literal dan maghza-nya terpisah, sebagai contoh ayat-ayat tentang perang dan hukum pidana.

Kemudian, paradigma Keempat adalah, bahwa menurut Sahiron di dalam Al-Qur’an itu tidak ada naskh-mansukh. Beliau berpandangan bahwa sejatinya setiap ayat Al-Qur’an memiliki konteksnya masing-masingi. Dan konteksnya tersebut harus dipahami dengan benar, baik dalam segi konteks tekstual maupun konteks historisnya. Dalam pandangan ini, Sahiron mengikuti pendapatnya Al-Asfahani yang mengatakan bahwa dalam Al-Qur’an tidak ada ayat yang naskh-mansukh. Sebagai contoh, ayat khamr. Menurut Sahiron dalam ayat ini tidak ada naskh-mansukh, karena setiap ayat khamr itu memiliki konteksnya tersendiri, pun demikian ketika diterapkan dalam konteks kekinian. Sebagai contoh, ketika berdakwah di hadapan para pecandu minuman keras, maka sebaiknya kita tidak serta merta menggunakan Q.S al-Maidah: 90, melainkan menggunakan Q.S al-Baqarah: 219 terlebih dahulu, yakni kita memberikan edukasi dengan pendekatan-pendekatan yang baik yang mudah dipahami si pecandu, bahwa khamr itu hanya akan mengantarkan pada dosa besar, karena lebih banyak mafsadatnya daripada manfaatnya.

Baca juga: Relevansi Prinsip Hermeneutika Gramatikal Schleiermacher dengan Pendekatan Tafsir Ma’na Cum Maghza

Dari paparan diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa yang menjadi titik utama dari paradigma pendekatan tafsir Ma’na Cum Maghza ini adalah bahwa setiap mufassir yang hendak menggunakan pendekatan tafsir Ma’na Cum Maghza seyogyanya memiliki kesadaran penuh akan Al-Qur’an, bahwa Al-Qur’an merupakan kitab suci yang diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad yang berfungsi sebagai rahmat bagi seluruh alam, karena itulah Al-Qur’an bersifat universal (menyeluruh). Dan, Al-Qur’an merupakan bukti cinta dan kasih sayang Allah kepada setiap makhluknya, karena setiap isi dari Al-Qur’an adalah rahmat. Dengan demikian, setiap penafsiran ayat Al-Qur’an yang dihasilkan seorang mufassir haruslah mengandung nilai rahmat dan maslahat, sebagaimana fungsi dari Al-Qur’an itu sendiri. (Wallaahu A’lam Bisshawaab)

 

Relevansi Prinsip Hermeneutika Gramatikal Schleiermacher dengan Pendekatan Tafsir Ma’na Cum Maghza

0
Prinsip Hermeneutika Gramatikal Schleiermacher
Prinsip Hermeneutika Gramatikal Schleiermacher

prinsip hermeneutika gramatikal SchleiermacherPada artikel sebelumnya, penulis telah menjelaskan mengenai ‘Paradigma Ma’na Cum Maghza sebagai Pendekatan Tafsir ala Sahiron Syamsuddin’. Adapun dalam tulisan kali ini penulis akan memaparkan terkait prinsip hermeneutika gramatikal Schleiermacher ketika direlevansikan dengan pendekatan tafsir Ma’na Cum Maghza. Dalam pengembangan pendekatan tafsir Ma’na Cum Maghza ini, ternyata Sahiron tidak hanya merujuk kepada tokoh-tokoh Muslim (seperti Fazlur Rahman, Abu Zayd, dan al-Talibi), melainkan Sahiron juga mengelaborasikan pemikirannya dengan pemikiran Barat untuk kemudian direlevansikan dengan pengembangan kajian hermeneutika Al-Qur’an. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pendekatan yang ditawarkan Sahiron ini merupakan teori hermeneutika yang seimbang antara pemikiran Islam dan Barat.

Sebelum melangkah ke pembahasan, kiranya sangatlah penting untuk mengetahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan  hermeneutika gramatical Schleiermacher. Dimana yang dimaksud dengan hermeneutika gramatikal Schleiermacher adalah hermeneutika yang kaitannya dengan bahasa, yakni bahasa yang tertuang di dalam kitab yang akan ditafsirkan. Hal ini sejalan dengan dimensi penting pendekatan Ma’na Cum Maghza.

Dimana, salahsatu dimensi penting dari pendekatan Ma’na Cum Maghza ini adalah bahwa seorang mufassir sangat penting untuk memahami aspek kebahasaan atau gramatikal dari Al-Qur’an. Hal ini sebagaimana ungkapannya Schleiermacher, “The succesfull practice of the art depends on the talent of language”, artinya “Kesuksesan praktek seni menafsirkan itu tergantung pada kemampuan bahasa”. Jadi sangatlah penting bagi seorang mufassir untuk memiliki kemampuan dalam segi bahasa. Dalam dunia tafsir Al-Qur’an, tentu saja kemampuan bahasa yang harus dimiliki seorang mufassir adalah kemampuan bahasa Arab.

Baca juga: Keutamaan Malam Hari dalam Al-Quran

Tiga Prinsip Hermeneutika Schleiermacher dan Kaitannya dengan Pendekatan Tafsir Ma’na Cum Maghza

Dalam bukunya Hermeneutcs and Criticsm, Schleiermacher menyampaikan prinsip-prinsip hermeneutika gramatikal. Setidaknya ada tiga prinsip yang harus diketahui yang paling signifikan dengan analisa bahasa ketika dikembangkan dalam kajian pendekatan tafsir Ma’na Cum Maghza.

Pertama, ketika sesorang menafsirkan teks tertentu, maka yang harus kita perhatikan itu adalah bahasa yang dipakai oleh pengarang. Jadi istilahnya, kita harus mengenal area bahasa (language area), bidang bahasa yang memang dikenal dan dipakai oleh pengarang tersebut. Dan juga harus mengenal original audiens language, artinya harus mengenal bahasa yang digunakan audiens pada saat pengarang tersebut mengarang teks.

Prinsip ini juga berlaku bagi Al-Qur’an, yang mana dalam hal ini Nabi Muhammad disebut sebagai original audiens, dan bahasa yang digunakan disebut sebagai language area, yakni bahasa yang digunakan pada masa Nabi yaitu bahasa Arab abad ke-7. Jadi dalam hal ini, seorang mufassir haruslah mempunyai kesadaran penuh bahwa bahasa yang digunakan dalam Al-Qur’an adalah bahasa Arab pada masa Nabi, yakni bahasa Arab abad ke-7.

Baca juga: Mendudukkan Ayat Jihad dan Kebebasan Beragama dalam al-Quran (2)

Sebagaimana diketahui, bahwa setiap bahasa termasuk bahasa Arab tentu mengalami diakronik atau perkembangan dari masa ke masa, baik itu perkembangannya dalam makna kosakata maupun dalam struktur kalimatnya (tarkibnya). Contoh sederhana, makna ikhlas. Dalam makna kontemporer, ikhlas dimaknai sebagai untuk mendapat ridho Allah dengan melakukan ibadah hablun minannas dan hablun minallah. Hal ini tentu berbeda dengan makna ikhlas dalam bahasa Al-Qur’an, yang mana bahasa Arabnya adalah bahasa Arab abad ke-7 pada masa Nabi. Dimana, dalam Al-Qur’an ikhlas dimaknai sebagai ketauhidan. Lantas mengapa surat Al-Ikhlas tidak dinamai surat Tauhid?, karena dalam konteks zaman Nabi bahasa Tauhid itu belum digunakan dalam bahasa teologi, yang  digunakan pada waktu itu adalah al-ikhlas, yang mana maksudnya sama yaitu ketauhidan.

Dengan demikian, kata ikhlas dan tauhid itu mengalami diakronik (perkembangan). Jadi, singkatnya ketika hendak menafsirkan Al-Qur’an maka bahasa Arab yang dipakai adalah bahasa Arab yang digunakan ketika Al-Qur’an tersebut diturunkan, yakni bahasa Arab pada  abad ke-7. Hal ini dilakukan agar dapat meminimalisir kesalahan dalam menafsirkan Al-Qur’an. Hal ini sejalan dengan ungkapannya Imam Syatibi, bahwa “Seseorang tidak mungkin memahami bahasa Al-Qur’an kecuali dia memahami bahasa Arab ketika diturunkannya Al-Qur’an”.

Kedua, ketika menafsirkan atau mencoba memahami suatu kosakata, maka hendaknya memperhatikan kosakata yang berada di sekitarnya. Prinsip seperti ini juga ada dalam proses penafsiran Al-Qur’an. Sebagai contoh, ketika hendak menafsirkan ayat, “Wamaa arsalnaaka illa rahmatan lil’aalamiin”. Lantas makna rahmat disini apa? Maka ketika kita hendak menggali makna rahmat tersebut, hendaknya memperhatikan kata-kata yang berada di sekitarnya, bahkan jika perlu kita perhatikan pula ayat-ayat sebelumnya.

Hal ini dalam bahasa Arab disebut dengan “As-Siyaaq an-nafsi” atau disebut dengan tekstual-konteks atau sintagmatik (perhatian terhadap tekstual-konteks). Sebab, dalam bahasa Arab itu ada yang disebut dengan musytarak, artinya satu kata namun beragam makna. Karena sebagaimana diketahui, bahwa bahasa Arab itu amatlah sangat kompleks. Jadi, ketika hendak menafsirkan ayat Al-Qur’an hendaklah memperhatikan penggunaan kosakata yang sedang ditafsirkan, apakah berkaitan dengan kosakata yang disekitarnya atau dengan ayat-ayat sebelumnya, serta bagaimana penggunaan kosakata tersebut pada ayat-ayat lain. Atau, dalam bahasa Sahiron disebut dengan perhatian terhadap intratekstualitas, yakni mampu mengkomparasikan kata-kata Al-Qur’an.

Pentingnya analisa bahasa terhadap Al-Qur’an, disamping bertujuan untuk memahami makna denotatif sebuah lafal, analisa bahasa juga bertujuan agar seorang penafsir mampu memahami makna konotatif (makna relasional) sebuah lafal. Sebagai contoh, kata manusia. Dimana dalam Al-Qur’an ada kata basyar, yang mana kata basyar ini merupakan makna manusia dalam segi fisiknya.

Jadi, kata basyar dalam Al-Qur’an artinya menunjukkan manusia dalam sisi fisiologisnya, yang mana nantinya menjadi berbentuk fisik, seperti wajah, tangan, kaki, dan lainnya. Sebagai contoh penerapan kata basyar dalam Q.S Maryam [19] : 20. Dalam ayat ini terdapat kalimat وَّلَمْ يَمْسَسْنِيْ بَشَرٌ. Kalimat tersebut menunjukkan bahwa fisik Maryam betul-betul tidak disentuh samasekali, hal ini ditunjukkan dengan adanya kata لَم, yang berarti Lam Juhud, yaitu Lam yang membuat fi’il mudhari’ menjadi nashab dan mengandung arti untuk penyangkalan. Dengan demikian, sangatlah jelas bahwa Maryam tidaklah berzina dengan siapapun.

Baca juga: Pemikiran Arthur Jeffery Tentang Ragam Qira’at dan Kritik Autentisitas Al-Quran

Kemudian dalam Al-Qur’an ada kata insan, yang mana kata insan disini menunjukkan manusia dalam segi non-fisiknya. Hal ini berdasar pada bahwa Allah mengajarkan manusia dalam sisi yang tidak mereka ketahui, artinya dalam sisi otaknya, sisi hatinya, sisi ruhaninya dan sisi spiritualnya. Jadi ketika menyebutkan insan maka konotasinya adalah manusia dalam sisi non-fisiknya. Sebagai contoh, terkait amanah yang diberikan Allah kepada manusia, yaitu agar manusia mampu memakmurkan bumi dengan melaksanakan perintah-Nya. Jadi singkatnya, ketika seseorang menafsirkan kata basyar dengan mengkonotasikannya dengan kata insan, maka itu tidaklah benar. Karena konotasi kata basyar yaitu berkaitan dengan manusia dalam sisi fisiknya. Sedangkan kata insan, konotasinya berkaitan dengan sisi manusia dalam segi non-fisiknya yakni fungsi manusia di muka bumi.

Ketiga, bahwa dalam penafsiran harus dipahami bahwa karya seseorang merupakan bagian dari bahasa dan kehidupan pengarangnya. Hal ini dikaitkan dengan penafsiran Al-Qur’an yaitu dalam hal al-kulli al-juziyati. Sebagai contoh, kita menafsirkan Al-Qur’an dengan ayat-ayat tertentu, maka harus kita ingat kulliyat-nya Al-Qur’an itu apa? Bahwa kulliyat atau makna keseluruhan Al-Qur’an adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam. Bahwa Al-Qur’an adalah untuk membina akhlak manusia agar mampu beretika dengan baik, sebagaimana yang telah Al-Qur’an ajarkan. Jadi, singkatnya, ketika hendak menafsirkan Al-Qur’an maka hendaknya memperhatikan misi utama (kulliyat) dari Al-Qur’an agar sesuai dengan koridor tujuan diturunkannya Al-Qur’an, bahwa Al-Qur’an adalah sebagai rahmat.

Dari tulisan sederhana ini, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa pendekatan tafsir Ma’na Cum Maghza ini merupakan pendekatan tafsir dengan teori hermeneutika yang berupaya mengelaborasikan dua kutub keilmuan antara pemikiran Islam dan Barat. Dimana, dari pendekatan Ma’na Cum Maghza ini, penulis menyadari bahwa betapa pentingnya seorang mufassir untuk tidak menutup diri dari adanya ilmu pengetahuan Barat guna mendukung perkembangan pemikiran seorang mufassir itu sendiri. Hal ini sebagaimana dibuktikan Sahiron, bahwa prinsip hermeneutika Schleiermacher nyatanya bisa direlevansikan dengan pemikiran hermeneutika Al-Qur’an. Dalam hal ini, tentu saja dengan tetap menjunjung tinggi nilai maslahat dan rahmat, sebagaimana tujuan dari hadirnya Al-Qur’an itu sendiri. (Wallaahu A’lam Bisshawaab)

Tafsir Surat Al-Maidah 87-88: Sikap Seseorang sebagai Konsumen

0
Sikap Seseorang sebagai Konsumen
Sikap Seseorang sebagai Konsumen

Islam mengajarkan umatnya untuk menjalankan syariat secara keseluruhan (kaffah). Islam tidak hanya mengatur aspek ibadah mahdhah saja yang menyangkut hubungan vertikal antara manusia dengan penciptaNya, tetapi juga menyangkut semua bentuk aktivitas yang berimplikasi sosial. Konsumsi memiliki urgensi yang sangat besar dalam setiap perekonomian karena manusia tidak akan ada kehidupan tanpa adanya konsumsi. Mengabaikan konsumsi berarti mengabaikan kehidupan dan juga mengabaikan penegakan manusia terhadap tugasnya dalam kehidupan. Berangkat dari sini, penulis ingin menguraikan penafsiran ayat Al-Qur’an terkait sikap seseorang sebagai konsumen.

Dalam Islam, konsumsi tidak dapat dipisahkan dari peranan keimanan. Peranan keimanan menjadi tolak ukur penting karena keimanan memberikan cara pandang dunia yang cenderung memengaruhi kepribadian manusia. Keimanan sangat memengaruhi sifat, kuantitas, dan kualitas manusia dalam berkonsumsi. Perilaku seorang konsumen harus mencerminkan hubungan dirinya kepada Allah SWT. Hal inilah yang tidak didapati dalam ilmu perilaku konsumsi konvensional, yaitu kehadiran saluran penyeimbang dari saluran kebutuhan individual yang disebut dengan saluran konsumsi sosial. (Muhammad Muflih, Perilaku Konsumen dalam Perspektif Ilmu Ekonomi Islam, 2006, 12)

Sesungguhnya Islam dalam ajarannya di bidang konsumsi tidak mempersulit jalan hidup seorang konsumen. Jika seseorang mendapatkan penghasilan dan setelah dihitung secara cermat hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya saja, maka tidak ada keharusan baginya untuk mengeluarkan konsumsi sosial.

Tafsir Surat Al-Maidah 87-88: Sikap Seseorang sebagai Konsumen

Allah berfirman dalam alquran Surat Al  Maidah [5]: 87-88

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ (87) وَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي أَنْتُمْ بِهِ مُؤْمِنُونَ (88)

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas (87) Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya (88)

Ibnu ‘Abbas ra. menjelaskan, bahwa kedua ayat ini diturunkan berkenaan dengan sepuluh orang sahabat, yang telah bersepakat untuk menjauhi hubungan dengan istri, tidak makan daging, dan tidak makan sesuatu kecuali sekedar penguat badan. (Ibnu Abbas, Tafsir Qur’an perkata dilengkapi dengan Asbabun Nuzul, 2009, 122)

Baca juga: Keutamaan Malam Hari dalam Al-Quran

Firman Allah Ta’ala “Dan janganlah kamu melampui batas” mempersulit diri dengan mengharamkan perkara yang diperbolehkan kepadamu. Demikianlah menurut penafsiran sebagian ulama salaf. Penggalan itu dapat ditafsirkan: sebagaimana mereka tidak boleh mengharamkan yang halal, maka mereka pun tidak boleh melampui batas dalam menggunakan perkara halal dan berlebih-lebihan.

lafal “كلوا” di dalam ayat tersebut secara dhahir menunjukan maksud perintah bagi manusia untuk mengkonsumsi. Sementara pada lafal “حلالا طيبا” al-Razi menuturkan di dalam kitabnya bahwa hal tersebut berkorelasi pada perbuatan makan dan makanan yang hendak dimakan, di mana makanan yang di dunia ini ada yang haram dan ada juga yang halal. Oleh karenanya Allah sebagaimana dalam dhahir ayat di atas memerintahkan kepada manusia untuk memakan makanan halal. (Fakhrudin al Razi, Mafatih al-Ghayb, 12:418)

Al-Maraghi juga menjelaskan di dalam kitabnya bahwa kehalalan makanan tidak hanya dipandang dari segi makanan itu sendiri akan tetapi juga bagaimana memperoleh atau menghasilkan makanan itu, dengan artian tidak dari hasil riba, mencuri atau perbuatan-perbuatan lain yang dilarang oleh hukum agama. (Ahmad Ibnu Musthofa al Maraghi, Tafsir al Maraghi, 7:12)

Jadi dapat diambil kesimpulannya bahwasanya kita sebagai manusia jangan mempersulit diri dengan mengharamkan perkara yang dibolehkan (yang dihalalkan). Bukan hanya aspek halal haram saja yang menjadi batasan konsumsi dalam syariah Islam. Termasuk pula aspek yang harus diperhatikan adalah yang baik, yang cocok, yang bersih, dan yang tidak menjijikan. Karena itu, tidak semua yang diperkenankan boleh dikonsumsi untuk semua keadaan. Maka dari itu, sebagai orang muslim harus memperhatikan hal-hal tersebut dalam perilaku berkonsumsi.

Baca juga: Mendudukkan Ayat Jihad dan Kebebasan Beragama dalam al-Quran (2)

Walaupun Allah telah menyediakan dan menghalalkan barang-barang yang baik bagi hambaNya, namun haruslah diperhatikan juga bagaimana cara mendapatkannya, dan janganlah sampai melampui batas dalam menggunakan perkara yang halal tersebut. Bahwa kebutuhan hidup itu harus terpenuhi secara wajar, agar kelangsungan hidup dapat berjalan dengan baik. Apabila kebutuhan hidup dipenuhi dengan cara yang berlebih-lebihan, tentu akan menimbulkan efek buruk pada diri manusia tersebut. Banyak sekali efek buruk yang ditimbulkan karena israf (berlebihan), diantaranya adalah egoisme, serakah, dan tunduknya diri terhadap hawa nafsu sehingga uang yang dibelanjakan hanya habis untuk hal-hal yang tidak perlu dan merugikan diri.

Wallahu A’lam[]