Beranda blog Halaman 158

Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 17 (1)

0
Tafsir Surah Ar-Rahman
Tafsir Surah Ar-Rahman

Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 17 (1) ini membahas tentang peredaran matahari dan bulan serta kaitannya dengan bentuk bumi yang selama ini diperdebatkan antara bulat dan datar.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 14-16


Ayat 17

Ayat ini menjelaskan tentang peredaran matahari dan bulan, Bahwa Dialah yang menciptakan keduanya dan yang mengatur peredaran menurut perhitungan yang tepat.

Tuhan memelihara dua tempat terbit, dua tempat terbenam matahari dan musim panas dan musim dingin. Atas perubahan-perubahan itu timbullah musim panas, musim dingin, musim semi dan musim gugur dan me-nimbulkan pula perubahan udara yang mengakibatkan perubahan pada curah hujan, perubahan pada pohon-pohonan dan tumbuh-tumbuhan serta sungai-sungai.

Menurut kajian ilmiah “Dua Timur” dan “Dua Barat” yang tersurat dalam ayat di atas berkaitan dengan bulatnya bentuk bumi. Karena, hanya pada benda yang berbentuk seperti bola dapat terjadi hal yang demikian (dua timur dan dua barat). Secara kenyataan, memang bumi mempunyai dua titik tempat terbitnya matahari dan dua titik tempat terbenamnya matahari. Ternyata, ayat Allah dan ilmu pengetahuan ada kesesuaian. Penjelasannya demikian:

“Ketika matahari terbit di satu titik di bagian sebelah bumi, maka pada waktu yang sama matahari akan terbenam di bagian sebelah bumi lainnya. Saat matahari terbenam di sebelah bagian bumi, kembali, pada waktu yang sama, di belahan bumi yang lain, matahari sedang terbit. Dengan demikian, pada kenyataannya, memang betul bahwa ada dua titik dimana matahari terbit, dan pada waktu yang sama, terdapat dua titik dimana matahari terbenam.”

Keadaan demikian ini dilaporkan oleh para antariksawan pada saat mereka memandang bumi dari ruang angkasa. Al-Qur’an menguraikan hal ini sedemikian rupa, seolah-olah konsep bumi yang seperti bola memang sudah dikenal manusia saat itu. Sedangkan sebenarnya tidaklah demikian.

Bentuk bumi yang seperti bola juga dapat dilihat pada beberapa ayat lainnya, seperti dua ayat di bawah ini:

اَلَمْ تَرَ اَنَّ اللّٰهَ يُوْلِجُ الَّيْلَ فِى النَّهَارِ وَيُوْلِجُ النَّهَارَ فِى الَّيْلِ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَۖ  كُلٌّ يَّجْرِيْٓ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى وَّاَنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ  ٢٩

Tidakkah engkau memperhatikan, bahwa Allah memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan Dia menundukkan matahari dan bulan, masing-masing beredar sampai kepada waktu yang ditentukan. Sungguh, Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan. (Luqman/31: 29)


Baca Juga: Tafsir Surat Yasin Ayat 38: Kuasa Allah Swt dalam Pergerakan Matahari


خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ بِالْحَقِّۚ يُكَوِّرُ الَّيْلَ عَلَى النَّهَارِ وَيُكَوِّرُ النَّهَارَ عَلَى الَّيْلِ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَۗ كُلٌّ يَّجْرِيْ لِاَجَلٍ مُّسَمًّىۗ  اَلَا هُوَ الْعَزِيْزُ الْغَفَّارُ  ٥

Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar; Dia memasukkan malam atas siang dan memasukkan siang atas malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Ingatlah! Dialah Yang Mahamulia, Maha Pengampun. (az-Zumar/39: 5)

Saat ini, kita dapat melihat pada bola dunia (globe) gambaran tentang bumi yang mempunyai bentuk seperti bola. Sebenarnya, pada 1400 tahun yang lalu, Al-Qur’an telah memberikan indikasi yang demikian. Dua ayat di atas, dengan menggunakan perumpamaan, telah menjelaskan tentang bentuk bumi. Pada saat masyarakat di Eropa masih mempercayai bahwa bumi itu datar, maka para pelajar di universitas di dunia Islam sudah mempelajari bumi dengan menggunakan bola dunia.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 17 (2)


Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 14-16

0
Tafsir Surah Ar-Rahman
Tafsir Surah Ar-Rahman

Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 14-16 membahas tentang penciptaan manusia yang terbuat dari tanah serta penciptakan iblis yang terbuat dari api yang menyala. Selain itu, Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 14-16 juga membahas tentang nikmat-nikmat yang telah Allah berikan baik kepada manusia maupun kepada jin.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 10-13


Ayat 14

Ayat ini menerangkan bahwa Allah menciptakan manusia pertama Nabi Adam dari tanah kering seperti tembikar, dan keras seperti tanah yang telah dipanggang.

Di dalam Al-Qur’an banyak ayat yang menyebutkan bahwa manusia diciptakan dari tanah dan yang lain menyebutkan bahwa ia diciptakan dari tanah liat serta di sini disebutkan tanah kering seperti tembikar. Tanah liat yang dipanggang dengan bara yang panas untuk menjaga ia tetap bersatu, tidak bercerai berai.

Demikian pula manusia mempunyai nafsu makan dan minum, mempunyai nafsu kawin agar badannya dapat terpelihara dan dapat melanjutkan hidupnya, serta mempunyai keturunan. Ia mempunyai nafsu marah yang menjadikannya berani dan kuat untuk menjaga kelangsungan hidupnya dan mempertahankan dirinya dari bahaya yang mengancamnya serta serbuan musuh-musuh yang berada di sekitarnya.

Kekuatan manusia ini seolah-olah sama dengan tanah liat yang telah masak agar menjadi tanah kering yang bagian-bagiannya melekat dengan kuat. Apabila tidak ada hal-hal itu tentu dia tidak akan dapat mempertahankan dirinya dari bahaya dan musuh-musuhnya, dari manusia lain atau binatang-binatang buas, maka ia akan hancur berkeping-keping menjadi santapan burung-burung dan binatang-binatang, sebagaimana tanah yang belum dimasak bertaburan diterbangkan angin.

Penciptaan manusia dari tanah telah banyak dibicarakan pada ayat-ayat sebelumnya, antara lain pada ayat-ayat: al-Hijr/15: 26 (dari lumpur hitam), al- Hijr/15: 28 (tanah liat kering), ar-Rum/30: 20 (dari tanah), Fathir/35: 11 (dari tanah), Shad/38: 71 (tanah liat), Gafir/40 (dari tanah), sedangkan pada Surah al-Furqan/25: ayat 54 dinyatakan bahwa manusia diciptakan dari air. Dari berbagai pernyataan ayat-ayat di atas tentang bahan penciptaan manusia, maka terdapat dua bahan yaitu air dan tanah. Sedangkan macam tanah yang sering dijelaskan adalah tanah liat, suatu jenis tanah yang tersusun oleh partikel yang sangat halus, dengan ukuran diameter partikel kurang dari 2 mikron. Jenis tanah ini memiliki sifat-sifat fisik yang plastis bila mengandung air. Secara kimia, larutan tanah liat dalam air memiliki kapasitas tukar kation, yaitu dapat mengikat ion atau senyawa kimia lainnya yang bermuatan listrik, tetapi dengan ikatan yang tidak terlalu kuat sehingga ion yang terikat bisa berganti-ganti dengan mudah. Tanah jenis ini pulalah yang biasa dipakai sebagai bahan untuk membuat tembikar. Sementara proses penciptaannya amat sedikit diketahui (lihat Tafsir al-Hijr/15: 26 dan 28).


Baca Juga: Tafsir Surat Ar-Rahman Ayat 14-16: Asal Mula Penciptaan Manusia dan Jin


Ayat 15

Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa bila manusia pertama dijadikan dari tanah, maka jin yang pertama atau iblis berbeda, ia dijadikan dari api (dari nyala api), dari nyala api yang bergabung dengan yang lain; dari nyala api yang berwarna kuning-merah dan kehijau-hijauan. Sebagaimana manusia dijadikan dari tanah yang bermacam-macam. Ayat-ayat tersebut mengingatkan bahwa Adam diciptakan melalui proses yang pertama dari tanah, kemudian lumpur yang dibentuk selanjutnya dari tanah kering seperti tembikar.

Ayat 16

Ayat ini menunjukkan nikmat yang berlimpah-limpah yang diberikan Allah kepada makhluk-Nya baik itu dari kalangan jin maupun manusia, tetapi mengapa mereka mendustakan. Dalam hubungan ayat ini Ibnu Umar berkata:

إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ سُوْرَةَ الرَّحْمٰنِ أَوْ قُرِئَتْ عِنْدَهُ فَقَالَ مَالِيْ أَسمَْعُ الجِنَّ أَحْسَنُ جَوَابًا لِرَبِّهَا مِنْكُمْ؟ قَالُوْا: وَمَا ذَلِكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ: مَا أَتَيْتُ عَلَى قَوْلِ اللهِ (فبَِأَيِّ آلاَءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ) إِلاَّ قَالَتْ الجِنُّ: لاَ بِشَيْءٍ مِنْ نِعْمَةِ رَبِّنَا نُكَذِّبُ. (رواه ابن جرير عن ابن عمر)

Rasulullah saw membaca Surah ar-Rahman atau surah itu dibacakan kepadanya, lalu beliau bersabda, “Mengapa saya mendengar jin lebih baik jawabannya kepada Tuhannya dari kalian?” Mereka bertanya, “Apakah itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjelaskan tentang jawaban mereka (jin) apabila saya membaca firman Allah, “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” Maka mereka berkata, “Tidak ada sesuatu pun dari nikmat Tuhan yang kami dustakan.” (Riwayat Ibnu Jarir dari Ibnu ‘Umar)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 17 (1)


Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 10-13

0
Tafsir Surah Ar-Rahman
Tafsir Surah Ar-Rahman

Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 10-13 ini menjelaskan tentang nikmat-nikmat yang telah Allah sediakan di muka bumi ini. Kemudian, dalam Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 10-13 ini juga Allah mengingatkan bahwa semua nikmat itu sudah seharusnya untuk disyukuri.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 9


Ayat 10

Allah menerangkan bahwa Dia mendatarkan bumi untuk tempat tinggal binatang, dan semua jenis yang mempunyai roh dan di bumi itu tempat kehidupan untuk dapat mengambil manfaat dari benda-benda di permukaan bumi dan yang berada di dalam perutnya, untuk semua keperluan hidup yang tidak terhingga banyaknya.

Ayat 11

Allah memberitahukan bahwa di bumi ini terdapat bermacam-macam bahan yang dapat dijadikan makanan dari aneka ragam buah-buahan, baik yang dimakan setelah masak dari pohonnya atau setelah dimasak dengan rapi, baik dari buah-buahan setelah dikeringkan maupun dalam keadaan masih basah.

Seterusnya Allah menyatakan, pohon-pohon kurma yang mempunyai selodang pembungkus buahnya ketika ia keluar. Dikhususkan sebutan kurma ini karena ditanam di tanah Arab dan sangat banyak faedahnya. Buahnya baik dimakan di waktu masih muda maupun setelah ia matang, baik keadaan basah maupun setelah ia dikeringkan. Dari seluruh pohonnya dapat juga diambil faedah seperti daunnya untuk keranjang dan tikar, sabutnya untuk tali, pelepahnya untuk atap rumah, dan batangnya untuk tiang. Dari beberapa faedah yang disebutkan, jenis kurma dikhususkan dalam menyebutnya di antara buah-buahan yang lain.

Ayat 12

Pada ayat ini Allah menyatakan bahwa semua biji-bijian yang dijadikan sebagai bahan makanan, seperti gandum, padi dan jelai mem-punyai daun yang menutupi tandan-tandannya, begitu pula semua yang berbau harum dari tumbuh-tumbuhan.

Ayat 13

Allah menantang manusia dan jin; nikmat manakah dari nikmat-nikmat yang telah mereka rasakan itu yang mereka dustakan. Yang dimaksud dengan pendustaan nikmat-nikmat tersebut adalah kekafiran mereka terhadap Tuhan mereka, karena mempersekutukan tuhan-tuhan mereka dengan Allah. Dalam peribadatan adalah bukti tentang kekafiran mereka terhadap tuhan mereka, karena nikmat-nikmat itu harus disyukuri, sedangkan syukur artinya menyembah yang memberi nikmat-nikmat kepada mereka.


Baca Juga: Tafsir Surat An-Nahl ayat 15-16: Nikmat Allah Bagi Penduduk Bumi


Ayat tersebut diulang-ulang dalam surah ini tiga puluh satu kali banyaknya untuk memperkuat tentang adanya nikmat dan untuk memperingatkannya. Dari itu, sambil Allah menyebut satu persatu dari nikmat-nikmat tersebut Dia memisahkannya dengan kata-kata memperingati dan memperkuat tentang adanya nikmat-nikmat tersebut.

Susunan kata serupa ini banyak terdapat dalam bahasa Arab, dari itu telah menjadi kebiasaan bahwa seorang mengatakan kepada temannya yang telah menerima kebaikannya, tetapi ia mengingkarinya. “Bukankah engkau dahulu miskin, lalu aku menolongmu sehingga berkecukupan? Apakah engkau mengingkarinya? Bukankah engkau dahulu tidak berpakaian, maka aku memberi pakaian; apakah engkau mengingkarinya? Bukankah engkau dahulu tidak dikenal, maka aku mengangkat derajatmu, lalu engkau menjadi dikenal apakah engkau mengingkarinya?”

Seakan-akan Allah swt berkata, “Bukankah Aku menciptakan manusia, mengajarnya pandai berbicara, Aku jadikan matahari dan bulan beredar menurut perhitungan. Aku jadikan bermacam-macam kayu-kayuan. Aku jadikan aneka ragam buah-buahan, baik di dusun-dusun maupun di bandar-bandar untuk mereka yang beriman dan kafir kepada-Ku, terkadang Aku menyiraminya dengan air hujan, adakalanya dengan air sungai dan alur-alur; apakah kamu hai manusia dan jin mengingkari yang demikian itu?”

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 14-16


Surah Al-Baqarah Ayat 216: Belajar Mencintai dan Membenci Sewajarnya

0
Belajar Mencintai dan Membenci Sewajarnya
Belajar Mencintai dan Membenci Sewajarnya

Berurusan dengan cinta tidak ada habisnya. Apalagi bagi kalangan muda yang notabenenya masih dalam fase pencarian. Tidak jarang cinta membuat orang mengalami “mabuk” atau bahkan sampai “gila”. Makanya, tak heran jika ada anak muda yang tiba-tiba jadi budayawan dadakan dengan membuat puisi, sajak, ataupun syair-syair cinta. Rasa mencintai dan membenci memang sifat yang dimiliki manusia, akan tetapi sebenarnya Al-Qur’an sudah mencatat perihal tersebut.

Di sisi lain, kita juga harus mengendalikan rasa cinta yang menyelimuti agar tidak kebablasan. Ketika seseorang mencintai begitu dalam, utamanya pada lawan jenis, maka konsekuensi yang harus diterima adalah siap dengan patah hati. Atau bahkan sampai pada tahap membenci orang yang pernah kita cintai. Sampai pada tataran ini kita harus aware menyikapinya.

Dalam Al-Qur’an, perihal mencintai dan membenci secara ekplesit disebutkan pada QS. Al-Baqarah [2]: 216:

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ ࣖ

“Diwajibkan atasmu berperang, padahal itu kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui”.

Baca juga: Tidak Benar Bahwa Al-Quran itu Misoginis, Simak Penjelasannya

Tafsir Ayat

Ibn Kastir dalam Tafsir al-Qur’an al-Adzim mengatakan bahwa wajib bagi setiap muslim untuk berjihad demi mempertahankan Islam dari musuh-musuhnya. Frasa boleh jadi kalian membenci sesuatu, pada ia sangat baik bagi kalian karena berperang itu biasanya dibarengi dengan datangnya pertolongan dan kemenangan atas musuh-musuh. Sedangkan frasa boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu  adalah bersifat umum untuk semua perkara. Boleh jadi seseorang mencintai sesuatu, sedangkan di dalamnya tidak ada kebaikan ataupun masalahah baginya. (Ibn Kastir, Juz 2, hlm. 284)

  1. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menyebutkan bahwa ayat di atas secara spesifik berbicara tentang keengganan para sahabat untuk berperang. Sebab, peperangan dapat mengakibatkan hilangnya nyawa, terjadinya cedera, jatuhnya korban serta harta benda, dan sebagainya. (Al-Misbah, Vol. 1, Juz. 18, hlm. 557).

Frasa ‘asa, lanjut Shihab, yang berarti bisa jadi dan mengandung ketidakpastian, tetapi bukan dari sisi pengetahuan Allah. Sebab, tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya. Ketidakpastian yang dimaksud adalah dari sisi manusia dalam arti bila seseorang menghadapi perintah Ilahi yang harus ia indahkan atau ketetapan-Nya yang tidak dapat ia elakkan, sedang hal-hal tersebut tidak menyenangkannya, ketika itu manusia hendaknya menanamkan rasa optimisme dalam jiwanya dan berkata bisa jadi di balik ketetapan yang tidak berkenan di hati itu ada sesuatu yang baik

Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menyebutkan bahwa ayat di atas adalah perintah untuk berperang. Walaupun pada prinsipnya perang tidak disukai oleh siapapun. Sebab, menurut Hamka, perang hanya ada dua pilihan; dibunuh atau membunuh. Akan tetapi ketidksuakaanmu terhadap sesuatu boleh jadi ia membawa kebaikan kepadamu. Hamka juga memberi contoh orang yang sakit meminum obat yang pahit, walaupun seleranya tidak menyukai untuk meminum obat tetapi untuk kesembuhan, ia juga menelannya. (Al-Azhar, Juz 1, hlm. 507)

Baca juga: Zakat untuk Korban Kekerasan Perempuan, Tinjauan Tafsir Al-Qur’an

Mencintai dan Membenci Sewajarnya

Walaupun ayat di atas secara ekplisit menunjuk perang sebagai sesuatu yang tidak kita sukai dan boleh jadi itu baik bagimu. Sebaliknya, apapun yang kamu sukai belum tentu itu baik bagimu. Dalam hal mencintai dan membencipun begitu. Dalam kitab mukhtar al-hadis (hlm. 7) riwayat At-Tirmidzi menyebutkan bahwa “Cintailah kekasihmu sesederhana mungkin, boleh jadi suatu hari apa yang engkau cintai akan menjadi kebencianmu. Dan bencilah sesederhana mungkin, boleh jadi suatu hari apa yang kamu benci kelak akan menjadi kecintaanmu”.

Kalau kita tarik kepada hal yang lebih luas, maka benang merahnya adalah jangan pernah berlebihan dalam hal mencintai dan membenci. Kalau boleh memberikan contoh, mecintai dan membenci berlebihan adalah seperti kita memegang kawat berduri. Semakin kuat kita memegang kawat berduri tersebut maka akan semakin sakit kita untuk melepasnya. Maka sederhanakanlah dalam mencintai dan membenci.

Karena sejatinya tidak ada cinta yang paling tulus untuk kita persembahkan kecuali kepada Sang Khaliq. Karena-Nya kita dapat menghirup, bernafas, melihat, dan nikmat-nikmat lainnya tanpa sedikitpun ia meminta bayaran. Maka cintailah Allah karena kebesaran-Nya dan kasih sayang-Nya. Sebab, mencintai-Nya kita tidak akan pernah dikecewakan. Wallahu’alam bish-showab[].

Baca juga: At-Taubah Ayat 122: Pentingnya Tafaqquh fiddin bagi Generasi Muda

Tidak Benar Bahwa Al-Quran itu Misoginis, Simak Penjelasannya

0
Tidak benar bahwa Al-Quran itu misoginis
Tidak benar bahwa Al-Quran itu misoginis

Salah satu esensi ajaran Islam adalah keadilan dan kesetaraan, oleh karena itu tidak ada ajaran Islam yang menjadikan satu kaum berada di bawah kaum yang lain, utamanya dalam hal gender. Gender sendiri dalam Sarifa Suhra, “Kesetaraan Gender Dalam Perspektif Al-Qur’an Dan Implikasinya Terhadap Hukum Islam,” adalah jenis kelamin bentukan yang dikonstruksi oleh budaya dan adat istiadat.

Banyak tuduhan yang ditujukan kepada agama Islam dengan berdalil pada Al-Quran dan hadis bahwa Islam merupakan agama yang memposisikan perempuan di bawah laki-laki. Narasi ini menurut Siti Zubaidah dalam Pemikiran Fatima Mernissi Tentang Kedudukan Wanita Dalam Islam muncul karena sering berubah-ubahnya kesimpulan para ulama dalam mengkaji fungsi dan kedudukan perempuan.

Baca Juga: Mengapa Al-Quran Memperhatikan Perempuan? Inilah Alasannya

Penciptaan perempuan yang masih terus dipersoalkan

Termasuk kesimpulan yang berbau misoginis yaitu, Ketika ada beberapa mufasir yang menafsirkan surah An-Nisa’ ayat 1 sebagai dasar teologis penciptaan perempuan dari bagian tubuh laki-laki.

…..يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا

Ibnu Jarir At-Tabari dalam Tafsir At-Thabari memaknai frasa nafs al-wahidah (jiwa yang satu) merupakan Nabi Adam. Lalu pada frasa selanjutnya wa khalaqa minha zaujaha (yang telah menciptakan darinya istrinya), yang telah menciptakan pasangannya, Hawa (perempuan pertama) dari jiwa yang satu, yakni Adam (laki-laki pertama).

Berangkat dari penafsiran ini, posisi perempuan seakan dianggap hanya sebagai pelengkap laki-laki, ‘gara-gara’ penafsiran ini akhirnya lahir kegelisahan dan muncul pertanyaan “Apakah benar adat istiadat yang mengarahkan pada perlakuan tidak adil kepada perempuan berasal dari ajaran Islam, berasal dari ayat Al-Quran tersebut?”

Rasulullah SAW. selaku suri tauladan bagi umat Islam yang selalu bersikap lembut dan penuh kasih sayang pada perempuan, bertolak belakang dengan kegelisahan yang dirasakan kaum perempuan di atas. Terbukti bagaimana Rasulullah memperlakukan istri-istrinya, bahkan memperbolehkan Aisyah R.A untuk berperan aktif dalam berjuang menyebarkan agama Islam. (Marwah Daud Ibrahim, Teknologi, Emansipasi, Dan Transendensi). Perilaku Rasulullah tersebut cukup menunjukkan bahwa Islam tidak menganggap perempuan sebagai kaum yang lemah.

Selain itu, apabila merujuk pada basis nilai-nilai Universalitas Islam, tidak akan pernah sekalipun kita temukan hal-hal yang membenarkan misoginis. Basis nilai agama Islam, sebagaimana dalam penjelasan Mahmud Arif, “Pendidikan Agama Islam Inklusif-Multikultural” antara lain.

  1. Islam adalah agama yang berpijak pada konsep Fitrah.
  2. Keadilan, yaitu apa yang sebanding dan semestinya.
  3. Mengutamakan kemaslahatan dan menghindari kemadharatan.

Mempertimbangkan ke-4 basis nilai di atas, dapat kita pahami bahwa konstruksi gender di mana perempuan selalu berada pada posisi yang rendah bukanlah ajaran Islam. Namun, hal ini terjadi karena ada pengaruh bias gender dalam proses berpikirnya sang mufasir yang kebetulan laki-laki. Hal ini yang kemudian menimbulkan anggapan di tengah masyarakat bahwa Al-Quran menyatakan kedudukan perempuan itu di bawah posisi laki-laki.

Baca Juga: Perempuan dalam Al-Quran: Antara Pernyataan Allah Sendiri dan Kutipan atas Ucapan Orang Lain

Dengan model yang lebih tegas, Fatima Mernissi menyalahkan ‘oknum’ laki-laki atas meluasnya anggapan miring tentang perempuan tersebut. Dalam bukunya, The Veil and The Male Elite, ia mengatakan apabila hak-hak wanita merupakan masalah bagi sebagian kaum lelaki Muslim Modern, hal itu bukanlah karena al-Qur’an ataupun Nabi, bukan pula karena tradisi Islam, melainkan semata-mata karena hak tersebut bertentangan dengan kepentingan kaum elit laki-laki.

Dasar normatif yang dapat menguatkan hal ini antara lain adalah Q.S al-Hujurat [49]: 13. Pada ayat ini, dinyatakan bahwa Allah menciptakan laki-laki dan perempuan, bukan laki-laki kemudian perempuan. Dalam ayat ini juga, Allah menegaskan bahwa derajat yang lebih tinggi bukan ditentukan karena jenis kelamin, melainkan karena ketakwaan. Bukan hanya itu, ayat-ayat lain seperti Q.S al-Ahzab [33]: 35, dan Q.S Ali Imran[3]: 195 juga menyebutkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Berangkat dari pemikiran ini, tidak mungkin Al-Quran mendiskriminasi perempuan, sekalipun sama-sama menggunakan dalil ayat Al-Quran.

Faktor-faktor pendukung anggapan yang keliru

Konstruksi gender di masyarakat terkait anggapan perempuan sebagai makhluk yang lemah, kurang pandai, dikuasai, dan dipingit juga bukan berasal dari ajaran Islam. Kembali menurut Siti Zubaidah dalam Pemikiran Fatima Mernissi Tentang Kedudukan Wanita Dalam Islam anggapan itu muncul diakibatkan oleh beberapa faktor sebagai berikut.

  1. Sikap para Penguasa

Dalam Philip K. Hitti, History of The Arabs: From the Earliest Time to the Present disebutkan bahwa tindakan para penguasa pada masa kekhalifahan Bani Umayyah yang menganut sistem pemerintahan monarki, dan kekuasaan khalifahnya bersifat absolut, melegalkan perbudakan, pergundikan, dan sejenisnya, dan juga sikap mereka yang senang mengurung wanita, menyebabkan buruknya pandangan masyarakat kepada wanita di dunia Islam.

  1. Berkembangnya hadis-hadis yang terlihat membenci perempuan (misoginis)

Setelah Rasul wafat, hanya hadis yang diingat oleh para sahabatlah yang menjadi tuntunan masyarakat pada saat itu, akan tetapi ada beberapa sahabat yang mempelajari hadis-hadis itu dengan penafsirannya sendiri, dan terkadang dengan pemikiran laki-laki, hadis tersebut berubah pemaknaannya sehingga isinya mendiskreditkan perempuan. Akibatnya, perempuan seolah tidak memiliki nilai yang selayaknya.

  1. Penetrasi Budaya Barat yang Negatif

Gencarnya serangan orientalis terhadap perempuan, hal ini membuat laki-laki mengambil keuntungan di dalamnya yang menyebabkan kemunduran bagi perempuan dalam Islam.

Baca Juga: Husein Muhammad dan Pembacaan Al-Quran Berperspektif Gender

Kaum perempuan banyak yang tidak menyadari akan konstruksi masyarakat yang merugikan mereka, sehingga banyak kaum perempuan yang hanya pasif menyikapi masalah tersebut. Padahal, perempuan bisa berperan untuk menghentikan anggapan-anggapan masyarakat yang sering merendahkan kaumnya sendiri, dengan cara berperan aktif menghidupkan hak-hak mereka, antara lain.

  1. Hak untuk berpartisipasi aktif dalam membentuk budaya.
  2. Hak untuk menjadi seorang mufasir atau ahli agama.
  3. Hak dalam mengambil keputusan politik dan pembentukan hukum.

Wallahu a’lam

Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 9

0
Tafsir Surah Ar-Rahman
Tafsir Surah Ar-Rahman

Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 9 menjelaskan tentang bagaimana perputaran matahari dan bulan dapat dijadikan sebagai patokan untuk menghitung waktu di dunia berdasarkan ilmu sains. Dengan penjelasan tersebut, dalam Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 9 mengingatkan kita untuk bersikap secara adil dalam segala perbuatan.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 5-8


Ayat 9

Allah memerintahkan manusia untuk menegakkan timbangan dengan adil dan jangan berlaku curang. Ini menunjukkan bahwa manusia harus memperhatikan timbangan yang adil dalam semua amal perbuatan dan ucapan-ucapannya.

Dalam Al-Qur’an Allah tidak saja memberitahu manusia mengenai ciptaan-Nya, namun juga memberikan indikasi-indikasi untuk memanfaatkan semua ciptaan untuk kesejahteraan manusia. Dalam kaitan dengan matahari dan bulan, Allah memberikan petunjuk yang sangat jelas bahwa kedua benda langit tersebut akan sangat berguna untuk dijadikan patokan. Diberitahukan bahwa peredaran kedua benda langit itu mempunyai perhitungan. Ilmu pengetahuan kemudian menggunakan keteraturan itu untuk dijadikan penanda waktu atau kalender. Petunjuk itu juga ada pada dua ayat berikut:

وَسَخَّرَ لَكُمُ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ دَاۤىِٕبَيْنِۚ وَسَخَّرَ لَكُمُ الَّيْلَ وَالنَّهَارَ ۚ    ٣٣

Dan Dia telah menundukkan matahari dan bulan bagimu yang terus-menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan malam dan siang bagimu. (Ibrahim/14: 33)

اِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللّٰهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتٰبِ اللّٰهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ مِنْهَآ اَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ ەۙ فَلَا تَظْلِمُوْا فِيْهِنَّ اَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِيْنَ كَاۤفَّةً كَمَا يُقَاتِلُوْنَكُمْ كَاۤفَّةً ۗوَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ مَعَ الْمُتَّقِيْنَ  ٣٦

Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu, dan perangilah kaum musyrikin semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya. Dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang takwa. (at-Taubah/9: 36)

Manusia telah diberikan petunjuk untuk membagi waktu dan penanggalan dengan jelas. Dalam astronomi modern, maka yang disebut satu tahun dalam perhitungan Kalender Matahari (solar calendar) adalah periode waktu yang diperlukan oleh bumi untuk melakukan satu putaran dalam orbitnya mengelilingi matahari. Waktu yang diperlukan adalah 365 hari, 5 jam, 48 menit, 46 detik. Atau sekitar 365,25 hari kurang 1 menit 14 detik. Apabila satu bulan Solar adalah sekitar 30 hari.

Sedangkan satu tahun dalam perhitungan Kalender Bulan (lunar calendar) adalah satu periode dari 12 bulan Lunar. Jika satu bulan Lunar (periode yang diperlukan bulan untuk mengelilingi bumi) adalah 29,5 hari, maka satu tahun Lunar adalah 354 hari.

Sejarah peradaban umat manusia dalam membuat kalender menunjukkan angka yang berbeda-beda. Bangsa Romawi kuno membagi satu tahun dalam 10 bulan. Pada masa Pra-Julius Caesar, dilakukan koreksi dan menjadi 12 bulan. Kemudian disempurnakan lagi oleh Paus Gregorius XIII (Gregorian Calendar) dan digunakan sebagai kalender modern yang digunakan saat ini.

Kalender juga sudah digunakan pada peradaban yang lebih tua. Bangsa-bangsa Akkadia, Sumeria, Babilonia, Assiria, Yahudi, India dan Cina memberikan angka 12 bulan dalam setahunnya. Sedangkan Yunani menghitung 10 bulan dalam setahun. Bangsa Aztec, Maya dan Inca di Amerika Selatan, membagi satu tahun menjadi 13 bulan, dengan jumlah hari per bulannya sebanyak 20 hari.


Baca Juga: Matahari dan Bulan Sebagai Penunjuk Waktu Ibadah dalam Al Quran


Pada salah satu ayat di atas ada kata “menundukkan”. Ini mengisyaratkan agar manusia menggunakan akal dalam memanfaatkan kedua benda langit tersebut. Di sini dikandung perintah untuk mengembangkan teknologi. Salah satunya adalah menggunakan keteraturan orbit matahari dan bulan untuk pembuatan penanggalan dan pengaturan waktu.

هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاۤءً وَّالْقَمَرَ نُوْرًا وَّقَدَّرَهٗ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوْا عَدَدَ السِّنِيْنَ وَالْحِسَابَۗ مَا خَلَقَ اللّٰهُ ذٰلِكَ اِلَّا بِالْحَقِّۗ يُفَصِّلُ الْاٰيٰتِ لِقَوْمٍ يَّعْلَمُوْنَ   ٥

Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan demikian itu melainkan dengan benar. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. (Yunus/10: 5)

Lintasan-lintasan orbit matahari, bulan dan bumi sudah sangat diketahui. Namun bahwa matahari juga memiliki lintasan orbitnya sendiri baru diketahui para ahli astronomi dan astrofisika modern pada paruh abad ke-20 yang lalu. Matahari mengorbit pusat galaksi di pinggiran piringan galaksi bimasakti. Adapun garis tengah piringan galaksi ini adalah 3 x 107 km. Waktu yang diperlukan matahari untuk mengelilingi pusat galaksi adalah 250 juta tahun.

Khusus untuk Surah at-Taubah/9 ayat 36 di atas, diingatkan akan empat bulan yang disucikan (bulan-bulan Muharam, Rajab, Zulkaidah, dan Zulhijah). Keempat bulan itu sudah disucikan masyarakat Timur Tengah sejak zaman Nabi Ibrahim.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 10-13


Pentingnya Heforshe Campaign di Lingkungan Muslim, Upaya Membersamai Perempuan Korban Kekerasan

0
Heforshe Campaign
Heforshe Campaign

Masih pada suara tegas Yulianti Muthmainnah ketua dari lembaga Pusat Studi Islam Perempuan dan Pembangunan (PSIPP) ITB Ahmad Dahlan, pada tulisan sebelumnya Zakat untuk Korban Kekerasan Perempuan, Tinjauan Tafsir Al-Qur’an dia mengatakan bahwa zakat itu untuk keadilan sosial, bukan hanya sekedar mengentaskan kemiskinan. Maka zakat sebagai upaya mencegah terjadinya kekerasan seksual yang merupakan kejahatan terhadap hak asasi manusia. Apalagi Indonesia merupakan Islam agama mayoritas dengan tingkat filantropi yang besar, dengan begitu memiliki potensi zakat yang besar. Selain itu, ternyata ada hal menarik lainnya yang disampaikan oleh Yulianti, yaitu pentingnya heforshe campaign di lingkungan muslim, sebagai upaya membersamai korban kekerasan.

Makna kampanye HeforShe sendiri pada website He for She memiliki misi untuk menyadarkan orang di seluruh dunia mengenai isu persamaan gender. Selain itu, kampanye ini juga berusaha untuk mendapatkan dukungan dari seluruh orang, baik laki-laki maupun perempuan untuk mendukung persamaan gender. Persamaan gender bukan lagi isu yang harus ditangani oleh perempuan saja, namun isu tentang hak asasi manusia. Besarnya dukungan dari laki-laki dan perempuan di dunia akan menjadi suara yang kuat yang dapat mengubah dunia.

Baca juga: Zakat untuk Korban Kekerasan Perempuan, Tinjauan Tafsir Al-Qur’an

Beberapa Upaya yang Dilakukan Kampanye HeForShe

Dengan adanya HeforShe Campaign dalam upayanya meningkatkan kesetaraan gender mengimplementasikan beberapa strategi untuk mengubah pola pikir perempuan dan laki-laki dalam menyikapi kekerasan seksual.

Kemudian dalam tulisan Ida Fitriani Noor yang berjudul Implementasi Kampanye HeForShe dalam Menyikapi Kekerasan Seksual dan Dampaknya Terhadap Perubahan Pola Pikir Perempuan dan Laki-laki Meksiko, menyebutkan ada teori posfeminisme dari Ann Brooks. Posfeminisme ini adalah mengajak perempuan untuk berani menyuarakan pendapat mereka, memilih kehidupan yang akan mereka jalani, dan mengajak laki-laki untuk bergabung dalam aksinya.

Posfeminisme juga menekankan bahwa patriarki belum teratasi karena masih ada, penggunaan permainan media. Media digunakan sebagai sarana untuk memasukkan makna berbeda dan baru kepada masyarakat yang secara perlahan dapat mengubah pola pikir masyarakat. Oleh sebab itu, Yulianti juga menyebutkan upaya atau cara apa saja yang mampu merealisasikan Kampanye HeForShe, diantaranya adalah dengan membangun narasi-narasi kesetaraan gender pada media atau jurnalis. Tujuan dari program ini adalah untuk mengajak beberapa media baik yang berupa cetak, online dan sosial untuk berpartisipasi langsung terhadap isu kesetaraan gender dan hak asasi perempuan. Apalagi di zaman sekarang media sosial tidak hanya sebagai alat informasi namun juga sebagai alat mengambilan keputusan.

Baca juga: Kaidah Taqdim dan Ta’khir pun Terkena Pengaruh Tradisi Patriarki

Selanjutnya, media keislaman yang fokus pada perspektif fiqih, tafsir Al-Quran dan Hadis juga merupakan bagian dari kampanye HeForShe untuk mencapai kesetaraan gender yang sesuai dengan Islam.

Kemudian strategi lain dari kampanye HeForShe bisa memalui lirik dari lagu-lagu yang berisikan nilai-nilai yang terkandung secara langsung mengajak perempuan dan laki-laki untuk mencapai kesetaraan gender. Yulianti dalam forumnya, dia tidak lupa untuk menayangkan lagu yang mengandung nilai-nilai keseteraan gender maupun sebaliknya.

Terkait opini dan pengetahuan tentang zakat untuk korban kekerasan seksual perempuan, sudah dituangkan Yulianti ke dalam bukunya yang berjudul Zakat Untuk Korban Kekerasan Perempuan dan Anak, kemudian pengenalan tentang Heforshe Campaign pada tulisan ini masih sangat terbatas, untuk lebih lengkapnya perihal Heforshe Campaign untuk korban kekerasan, bisa akses langsung pada karya-karya Yulianti Muthmainnah. Semoga niat baik, ide besar dan perjuangan Yulianti Muthmainnah dalam menyuarakan kesetaraan gender dapat diterima oleh semua kalangan masyarakat, serta dapat menegakkan keadilan untuk korban kekerasan seksual perempuan di Indonesia.

Tanya Jawab Antara Nafi’ bin al-Azraq dan Ibn Abbas: Asal Usul Penafsiran Al-Quran dengan Syair

0
Masail Nafi bin al-Azraq_tanya jawab antara Nafi' bin al-Azraq dan Ibn Abbas
Masail Nafi bin al-Azraq_tanya jawab antara Nafi' bin al-Azraq dan Ibn Abbas

Barangkali satu topik ulumul Quran yang tidak banyak dibincangkan adalah tanya jawab antara Nafi’ bin al-Azraq dan Ibn Abbas, yaitu pertanyaan-pertanyaan Nafi’ bin al-Azraq yang dilontarkannya kepada Abdullah bin ‘Abbas sekaligus jawabannya seputar penafsiran kata-kata gharib (asing) dalam Al-Quran yang ditafsiri dengan syair. Topik ini maklum disebut Masa’il Nafi’ bin al-Azraq, sebuah topik yang sarat dengan pengetahuan dan sejarah.

Hubungan Ibnu Abbas dan Nafi’ bin al-Azraq

Ibn Abbas memiliki nama lengkap Abu al-‘Abbas Abdullah bin ‘Abbas bin ‘Abdul Mutalib al-Qurasyi al-Hasyimi. Lahir dan tumbuh dewasa di Makkah. Ia banyak meriwayatkan hadis serta memiliki umur yang panjang. Sebuah riwayat mengatakan ia masih turut berperang bersama Ali bin Abi Thalib dalam perang Jamal dan Shiffin. Ibn Abbas wafat pada tahun 68 H (Siyar A’lam al-Nubala’, juz 3/512).

Sementara Nafi’, ia adalah putra al-Azraq bin Qais al-Haruriy, seorang pemimpin kabilah al-Azariqah. Tak banyak catatan mengenai riwayat hidup Nafi’ al-Azraq ini. Di antaranya adalah momennya bersama Ibn Abbas ketika ia bertandang ke Makkah. Nafi’ bin al-Azraq wafat pada 65 H (al-A’lam, 7/351).

Munculnya Tafsir Lughawi

Kembali ke bahasan kita. Tanya-jawab antara Nafi’ bin al-Azraq dan Ibn Abbas ini kelak menjadi manhaj baru dalam belantika penafsiran al-Quran. Yaitu penafsiran atau penjelasan lafal-lafal al-Quran yang asing (gharib) dengan mendasarkannya (istidlal) pada syair-syair Arab. Dengan kata lain, dialog ini menjadi muasal penafsiran corak kebahasaan atau al-tafsir al-lughawiy (Masail Nafi’, hal. 8)

Sebelum peristiwa ini, belum ada seorang pun yang berhujah dengan syair Arab ketika menafsirkan dan menjelaskan mufradat-mufradat al-Quran sebagaimana dinyatakan Ibrahim al-Samara’i dalam Su’alat Nafi’ bin al-Azraq. Muasal dan pro-kontra penafsiran al-Quran menggunakan syair Arab sudah sedikit saya singgung dalam artikel Syair Jahili dalam Penafsiran Al-Quran dan Pro-Kontra Syair Jahili sebagai Hujjah dalam Menafsirkan Al-Quran

Dahulu, banyak di antara para linguis yang menjauhi metode Ibn Abbas ini ketika menafsirkan al-Quran dengan dalih kawatir mengatakan sesuatu yang tidak-tidak tentang al-Quran. Akan tetapi Ibn Abbas melakukannya. Siapa yang tidak kenal dengan Ibn Abbas? Ia adalah Sang Imamul Mufassirin dan Tarjumanul Quran. Sosok yang expert betul dalam dunia syair, nasab dan sejarah. Keilmuannya dalam bidang al-Quran dan bahasa tidak diragukan lagi.

Pernah dalam satu kesempatan, Umar bin Khaththab disuguhi sebuah pertanyaan yang ternyata ia kesulitan menjawabnya. Akhirnya, Umar menemui Ibn Abbas dan berkata kepadanya, “(masalah ini) beserta contoh-contohnya milikmu” (Su’alat Nafi’, hal. 5)

Sahabat yang lain, Abdullah bin Mas’ud, juga melemparkan pujian kepada Ibn Abbas dalam ungkapannya; “Tarjumanul Quran ialah Ibn Abbas. Ia juga seorang pakar syair. Ia juga pernah berkata; “syair adalah diwan al-‘Arab (catatan historis bangsa Arab). Ketika kami kesulitan memahami lafal dalam al-Quran yang diturunkan menggunakan bahasa Arab, kami kembali kepadanya (diwan al-‘arab) dan darinya kami mengambil pengetahuan,” (Su’alat Nafi’, hal. 5).

Baca Juga: Tafsir Ibnu Abbas: Mengenal Dua Kitab yang Menghimpun Penafsiran Ibnu Abbas

Karya-karya Terkait

Untuk menyimak dialog ini secara lengkap, kita dapat membacanya dalam karya-karya mutakhir berikut; Su’alat Nafi’ bin al-Azraq ila Abdillah bin ‘Abbas (1968) anggitan Ibrahim al-Samara`i, Masa`il Nafi’ bin al-Azraq (1993) garapan Muhammad Ahmad al-Dali, dan Gharib al-Quran fi Syi’r al-‘Arab yang ditahqiq oleh Muhammad ‘Abd al-Rahim dan Ahmad Nasrullah.

Ibrahim al-Samara`i dalam pengantar bukunya yang bertajuk Su`alat Nafi’ bin al-Azraq ila Abdillah bin ‘Abbas, menjelaskan bahwa sebelum bukunya ini, setidaknya ada satu karya yang menyajikan dialog Nafi’ bin al-Azraq dengan Ibn Abbas ini, yaitu al-Itqan fi Ulum al-Quran karya al-Suyuthi (hal. 6).

Namun, riwayat-riwayat dialog antara Nafi’ bin al-Azraq dengan Ibn Abbas dalam kitab al-Itqan tidak lengkap, hanya sekira 190 pertanyaan, dan cetakan yang beredar kala itu banyak ditemui kekeliruan. Dengan alasan inilah, Ibrahim al-Samara`i menghimpun kembali dialog antara Nafi’ bin al-Azraq dengan Ibn ‘Abbas tersebut berdasar naskah yang tersimpan di Dar al-Kutub al-Mishriyyah dan Majma’ al-Ilmiy al-‘Iraqiy.

Berbeda dengan Ibrahim al-Samara`i, Muhammad al-Dali, seorang pengajar kearaban di dua universitas di Damaskus dan Qatar, dengan jelas menyantumkan dua jalur riwayat dialog Nafi’ bin al-Azraq dengan Ibn Abbas di bawah judul besar bukunya, Masa`il Nafi’ bin al-Azraq ‘an Abdillah bin Abbas. Jalur yang pertama riwayat Abu Bakar Ahmad bin Ja’far bin Muhammad bin Salim al-Khuttaliy (w. 365), sedangkan jalur kedua riwayat Abu Thahir Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Yusuf bin al-‘Allaf (w. 446).

Jika Ibrahim al-Samara’i hanya menyebutkan satu karya yang memuat dialog Nafi’ bin al-Azraq dengan Ibn Abbas, Muhammad al-Dali dalam pengantar karyanya, Masa’il Nafi’ bin al-Azraq, menyebutkan 5 karya lain yang lebih dulu yang memuat dialog tersebut, yaitu al-Mu’jam al-Kabir karya al-Tabrani, Majma’ al-Zawaid karya al-Haitsami yang keduanya memuat 31 pertanyaan. Lalu Idhah al-Waqf wa al-Ibtida’ karya Ibn al-Anbari yang memuat 50 pertanyaan, al-Itqan fi ‘Ulum al-Quran sebagaimana disebut, dan al-Kamil karya al-Mubarrad yang memuat 7 pertanyaan (hal. 9).

Kemudian Muhammad al-Dali menjumlah seluruh petanyaan-pertanyaan itu dari berbagai sumber. Total yang dihasilkan berjumlah 287 pertanyaan. Namun jumlah itu belumlah yang pasti. Bisa kurang, bisa lebih. Jumlah ini berbeda dengan naskah di Dar al-Kutub al-Mishriyyah yang ditahqiq Ibrahim al-Samara’i yang totalnya 248 pertanyaan.

Selain soal jumlah, dialog Nafi’ bin al-Azraq dengan Ibn Abbas ini juga memiliki banyak sanad. Ada yang bersanad sampai ke al-Dhahhak, ke Ikrimah, ke Maimun bin Mahran dan nama-nama lainnya.

Lalu pertanyaannya, kapan Nafi’ bin al-Azraq ini bertemu atau bertalaqqi dengan Ibn Abbas dan menanyakan 287 pertanyaan tersebut? Berapa majelis keduanya bertemu? Pertanyaan apa saja yang diucapkan dalam satu majelis? Berapa kali pertanyaan dalam satu majelis? Yang jelas, sekitar 287 pertanyaan itu tidak ditanyakan dalam sekali waktu, dan terlepas dari itu semua, riwayat dialog ini sangat penting dalam menafsirkan kata-kata asing (gharib) dalam al-Quran.

Pola Dialog

Pola tanya jawab antara Nafi’ bin al-Azraq dengan Ibn Abbas tersebut yaitu, mula-mula Nafi’ bin al-Azraq meminta Ibn Abbas memberitahunya tentang suatu ayat, lalu Nafi’ menyebutkan satu kata yang tidak dimengertinya, lalu Ibn Abbas menjawabnya “begini”, lalu Nafi’ bertanya “apakah orang Arab mengetahui kata itu?”, lalu Ibn Abbas menjawab, “iya. Tidakkah kau mendengar syair penyair ini…” kemudian menyebutkan syair dimaksud.

Kita dapat melihatnya dalam contoh berikut;

قال (نافع بن الأزرق): أخبرني عن قول الله عز و جل: يُرْسَلُ عَلَيْكُمَا شُوَاظٌ مِّنْ نَّارٍۙ وَّنُحَاسٌ فَلَا تَنْتَصِرَانِۚ، ما الشواظ؟ قال (ابن عباس): هو اللهب الذي لا دخان له. قال (نافع بن الأزرق) و هل كانت العرب تعرف ذلك من قبل أن ينزل الكتاب على محمد صلى الله عليه و سلم؟ قال: نعم، أما سمعت قول أمية بن خلف و هو يهجو حسان بن ثابت، و هي يقول: ألا من مبلغ …( إلى أن قال) يمانيا يظل يشب كبرا * و ينفخ دائبا لهب الشواظ. قال: صدقت.

Nafi’ bin al-Azraq bertanya; “(wahai Ibn Abbas) jelaskan kepadaku firman Allah dalam al-Rahman [55] ayat 35. Apa arti al-syuwazh?” Lalu Ibn Abbas menjawab; “al-syuwazh adalah api yang tidak berasap.” Nafi’ bertanya; “adakah kata itu diketahui ornag-orang Arab sebelum al-Quran diturunkan kepada Muhammad Saw?” Lalu Ibn Abbas menjawab; “ada, tidakkah kamu pernah mendengar syair Umayyah bin Khalaf ini..” (Ibn Abbas menyebut 3 bait, salah satu baitnya berbunyi);

يَمَانِيًّا يَظَلُّ يَشُبُّ كِيْرًا * وَ يَنْفُخُ دَائِبًا لَهَبَ الشُّوَاظِ

Nafi’ menjawab; “engkau benar.” Kemudian dialog berlanjut dengan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Wallahu a’lam.

Siapakah Peserta Didik Menurut Surah An-Nahl Ayat 78?

0
siapakah peserta didik menurut surah An-Nahl ayat 78?
siapakah peserta didik menurut surah An-Nahl ayat 78?

Salah satu dari komponen dalam pendidikan adalah peserta didik. Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003, peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.

Mengacu kepada definisi tersebut, seseorang disebut peserta didik ketika ia telah terdaftar pada suatu lembaga pendidikan baik swasta maupun negeri dengan jalur, jenjang, ataupun jenis tertentu. Syarat adanya lembaga pendidikan di sini sangat bisa dimaklumi, karena pemerintah dengan undang-undangya merupakan lembaga yang di dalamnya terdapat banyak aturan, hal ini dimaksudkan agar proses pendidikan terlaksana dengan sistematis dan administrative. Namun, demikian, bagaimana dengan ia yang belajar, tapi tidak di sebuah lembaga pendidikan tertentu?

Substansi dari pendidikan dan peserta didik bisa kita temukan dalam Al-Quran, salah satunya di surah An-Nahl ayat 78. Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nahl [16]: 78 sebagai berikut.

وَٱللَّهُ أَخۡرَجَكُم مِّنۢ بُطُونِ أُمَّهَٰتِكُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ شَيۡ‍ئًا وَجَعَلَ لَكُمُ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡأَبۡصَٰرَ وَٱلۡأَفۡ‍ِٔئدَةَ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ

Terjemah: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl [16]: 78)

Baca Juga: Tafsir Tarbawi: Keharusan Berpikir Kritis Bagi Pendidik dan Peserta Didik

Tafsir QS. An-Nahl [16]: 78

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa dalam ayat tersebut Allah SWT menyebutkan berbagai anugerah yang Dia limpahkan kepada hamba-hamba-Nya ketika mereka dikeluarkan dari perut ibunya dalam keadaan tidak mengetahui apa pun. ِAllah memberikan pendengaran kepada seorang anak yang baru lahir yang dengan pendengaran tersebut mereka bisa mengenali suara, Allah juga memberi penglihatan yang dengannya mereka dapat melihat berbagai hal, dan juga memberi hati yaitu akal, yang berpusat hati. Allah juga memberinya akal yang dengannya manusia dapat membedakan berbagai hal, yang membawa mudharat dan yang membawa manfaat.

Semua indera yang diperoleh oleh manusia berkembang secara bertahap, semakin bertambah umurnya, semakin bertumbuh, bertambah juga daya pendengaran, penglihatan, dan akalnya hingga dewasa. Penganugerahan daya tersebut kepada manusia agar mereka dapat beribadah kepada Rabb-Nya yang Maha Tinggi.

Al-Qurthubi juga menjelaskan bahwa setiap manusia yang dikeluarkan dari perut ibunya tidak mempunyai pengetahuan sedikit pun sehingga Allah membekali pendengaran agar manusia dapat mendengar perintah dan larangan. Kemampuan mendengar ini juga sekaligus mendukung kemampuan berbicara, karena orang yang tidak mampu mendengar maka juga tidak mampu berbicara. Sedangkan penglihatan diciptakan agar dapat melihat ciptaan Allah. Adapun hati, ia diciptakan agar manusia dapat (ma’rifah) mengenal-Nya.

Wahbah Az-Zuhaili juga menguatkan bahwa manusia diciptakan pada fase awal penciptaan dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa. Kemudian, Allah SWT membekalinya dengan ilmu dan pengetahuan. Allah SWT pun menganugerahinya akal pikiran yang bisa memahami berbagai hal, membedakan antara yang baik dan yang buruk, mampu memilih yang bermanfaat dan yang tidak.

Allah SWT menyediakan untuknya kunci-kunci pengetahuan berupa pendengaran yang dapat mendengar dan memahami suara. Juga penglihatan yang bisa melihat berbagai hal, serta hati yang bisa memahami berbagai hal, sebagaimana firmanNya dalam ayat lain dalam QS. Al-Mulk ayat 23-24.

Baca Juga: Mengulik Makna Tarbiyah dalam Pendidikan Islam

Peserta Didik Menurut Surah An-Nahl Ayat 78

Mengacu kepada penafsiran surah An-Nahl ayat 78 di atas, Allah sedari awal telah membekali hal yang paling dasar dalam proses pendidikan. Allah menciptakan manusia sejak awal lengkap dengan segenap potensi berupa penglihatan, pendengaran, dan hati untuk dapat menempuh proses pendidikan, manusia juga dianugerahi penglihatan dan pendengaran untuk dapat mengembangkan aspek kognitif dan psikomotoriknya, sedangkan hati diberikan untuk mengembangkan aspek afektif yang mengarah kepada akhlak.

Ketidaktahuan manusia ketika ia dilahirkan berakibat pada ketergantungan manusia untuk memperoleh pendidikan agar ia dapat mencapai tujuan hidup yang sesungguhnya. Sebab ia telah dibekali oleh Allah berupa tiga potensi yang dibawa (penglihatan, pendengaran, dan hati) untuk mencapai tujuan tersebut.

Sehingga jika dihubungkan dengan peserta didik sebagai komponen pendidikan, maka menurut ayat di atas adalah bahwa semua manusia yang lahir ke dunia dengan sudah membawa potensi masing-masing, sejatinya adalah peserta didik yang perlu mendapatkan pendidikan. Proses pendidikan yang dilalui baik melalui tarbiyah, ta’lim, maupun ta’dib harus didapatkan ketika ia dilahirkan dan menumbuh kembangkan potensi-potensi tersebut untuk mencapai tujuan akhir dari kehidupan manusia itu sendiri, yaitu beribadah kepadaNya.

Dengan demikian, definisi peserta didik di sini berarti ia yang tidak hanya sebatas pada orang-orang yang terdaftar di sekolah atau madrasah saja, melainkan semua manusia dengan setiap potensinya masing-masing, duduk di ‘bangku sekolah’ maupun duduk lesehan di luar sekolah.

Baca Juga: Menelisik Makna Ta’lim dalam Pendidikan Islam

Penutup

Sebagai akhir dari tulisan ini, dapat disimpulkan bahwa definisi peserta didik menurut surah An-Nahl ayat 78 adalah sumber daya manusia yang membawa atau dibekali potensi (berupa penglihatan, pendengaran, dan hati) namun tidak memiliki pengetahuan sehingga memerlukan pengembangan atas potensi yang dibawanya tersebut agar lebih terarah melalui proses pendidikan. Wallahu A’lam.

Kenikmatan Malam dan Manfaatnya bagi Manusia dalam Al-Quran

0
Kenikmatan Malam
Kenikmatan Malam dan Manfaatnya dalam al-Quran

Kenikmatan malam dirasakan oleh setiap makhluk Allah, termasuk manusia. Malam menjadi kondisi yang sangat dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupan. Allah Swt menggambarkan di dalam Al-Qur’an al-Karim bahwa malam memiliki beberapa fungsi bagi kehidupan manusia. Fungsi-fuingsi malam itu dapat dilihat dari beberapa ayat berikut.

  1. Malam adalah waktu untuk tidur. Hal ini dinyatakan oleh Allah di dalam QS. al-Rum [30]: 23:

وَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦ مَنَامُكُم بِٱلَّيۡلِ وَٱلنَّهَارِ وَٱبۡتِغَآؤُكُم مِّن فَضۡلِهِۦٓۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يَسۡمَعُونَ ٢٣

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan.”

2. Malam menjadi pakaian bagi manusia. Hal ini dinyatakan oleh Allah di dalam QS. al-Furqan [25]: 47:

وَهُوَ ٱلَّذِي جَعَلَ لَكُمُ ٱلَّيۡلَ لِبَاسٗا وَٱلنَّوۡمَ سُبَاتٗا وَجَعَلَ ٱلنَّهَارَ نُشُورٗا ٤٧

“Dialah yang menjadikan untukmu malam (sebagai) pakaian, dan tidur untuk istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangun berusaha.”

3. Malam adalah untuk menenangkan diri. Hal ini dinyatakan oleh Allah di dalam QS. al-Qashash [28]: 73:

وَمِن رَّحۡمَتِهِۦ جَعَلَ لَكُمُ ٱلَّيۡلَ وَٱلنَّهَارَ لِتَسۡكُنُواْ فِيهِ وَلِتَبۡتَغُواْ مِن فَضۡلِهِۦ وَلَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ ٧٣

“Dan karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, supaya kamu beristirahat pada malam itu dan supaya kamu mencari sebahagian dari karunia-Nya (pada siang hari) dan agar kamu bersyukur kepada-Nya.”

Baca Juga: Keutamaan Malam Hari dalam Al-Quran

Kenikmatan malam hari yang telah diciptakan oleh Allah untuk makhluk di dunia ini sangat bermanfaat bagi manusia. Malam mempunyai peranan yang penting bagi manusia sebagai waktu untuk melaksanakan berbagai kegiatan ibadah. Hal tersebut digambar oleh Allah di dalam ayat-ayat berikut:

  1. Malam adalah salah satu waktu untuk berinfak, seperti yang dinyatakan di dalam Surah al-Baqarah [2]: 274: “Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”

Infak artinya membelanjakan sesuatu harta sesuai dengan tuntunan Allah swt dalam rangka jihad di jalan Allah swt. Salah satu di antara ciri-ciri orang yang bertakwa adalah orang-orang yang mau menginfakkan (membelanjakan) harta mereka di jalan Allah, baik pada malam hari maupun pada siang hari secara tersembunyi maupun terang-terangan. Tidak halangan bagi mereka untuk berinfaq pada malam maupun siang hari.

  1. Malam adalah waktu untuk membaca ayat-ayat Allah, seperti yang dinyatakan di dalam Surah Ali ‘Imran [3]: 113: “Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang).”

Malam digunakan dengan baik oleh orang-orang yang bertakwa untuk membaca ayat-ayat Allah, membaca ayat-ayat Al-Qur’an, berzikir dan berdoa serta melakukan salat.

  1. Malam adalah waktu untuk melakukan shalat tahajjud, seperti yang dinyatakan di dalam Surah al-Isra’ [17]: 79: “Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.”

Secara khusus di dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada Rasulullah untuk melakukan salat tahajud, salah satu salat yang memiliki kedudukan yang tinggi darti salat-salat sunat. Mudah-mudahan dengan shalat tahajud itu Allah mengangkat derajatnya ke derajat yang tinggi lagi terpuji.

Tahajud (تهجد) berakar dari kata hujud (هجود), yang berarti tidur. Kalau kata dipahami dalam pengertian yang berbeda. Al-Biqa’ai, seperti yang diungkap oleh M. Quraish Shihab, menyatakan bahwa tahajud berarti tinggalkan tidur untuk melakukan shalat. Ada juga yang berpendapat bahwa tahajud adalah bangun dan sadar sesudah tidur. Shalat ini dinamai shalat al-layl/Shalat malam atau qiyamul layl (bangun di waktu malam untuk melaksanakan shalat). Dari kata inilah lahir istilah shalat tahajjud, yaitu shalat yang dilakukan setelah tidur.

Baca Juga: Memanfaatkan Nikmat Umur di Dunia dengan Banyak Beristighfar

Selain fungsi dan manfaat sebagaimana telah dijelaskan di atas, Allah Swt juga menyatakan sumpah dengan menggunakan malam. Di dalam Al-Qur’an Allah Swt telah menyatakan sumpah-Nya dengan menggunakan kata “الليل” (malam). Dalam bersumpah Allah Swt tidak bersumpah atas nama diri-Nya, tetapi bersumpah dengan makhluk-Nya. Sumpah yang dinyatakan oleh Allah Swt dengan makhluk-Nya adalah untuk menyatakan bahwa makhluk-Nya itu adalah sesuatu yang sangat bermanfaat bagi manusia. Sumpah Allah dengan menggunakan malam (al-layl) itu dapat dilihat dalam ayat-ayat berikut:

1) QS. al-Takwir/81: 17: “Demi malam apabila telah hampir meninggalkan gelapnya.”

2) QS. al-Insyiqaq/84: 17: “dan demi malam dan apa yang diselubunginya.”

3) Q.S. al-Fajr/89: 4: “dan demi malam bila berlalu.”

4) QS. al-Syams/91: 4: “dan demi malam apabila menutupinya.”

5) QS. al-Lail/92: 1: “Demi malam apabila menutupi (cahaya siang).”

6) QS. al-Dhuha/93: 2: “Dan demi malam apabila telah sunyi (gelap).”

Demikianlah penjelasan tentang fungsi, manfaat, dan keutamaan malam. Wallahu A’lam.