Beranda blog Halaman 157

Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 38-45

0
Tafsir Surah Ar-Rahman
Tafsir Surah Ar-Rahman

Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 38-45 mengingatkan pada nikmat-nikmat yang telah Allah turunkan serta mengingatkan kita terhadap balasan atas perbuatan jahat.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 37


Ayat 38

Ayat ini Allah menantang jin dan manusia apakah mereka masih mendustakan nikmat-Nya. Allah mengabarkan segala sesuatu yang dapat mengakibatkan manusia menghindari segala kejahatan, sehingga akhirnya ia selamat dari ancaman, itulah nikmat Tuhan.

Ayat 39

Ayat ini menerangkan bahwa pada saat hari kebangkitan mereka tidak ditanyai tentang dosa, sebab mereka yang berdosa dapat terlihat besar kecil dosanya oleh ciri tertentu, tatkala keluar dari kuburnya dan digiring ke Padang Mahsyar. Firman Allah:

هٰذَا يَوْمُ لَا يَنْطِقُوْنَۙ  ٣٥  وَلَا يُؤْذَنُ لَهُمْ فَيَعْتَذِرُوْنَ   ٣٦

Inilah hari, saat mereka tidak dapat berbicara, dan tidak diizinkan kepada mereka mengemukakan alasan agar mereka dimaafkan. (al-Mursalat/77: 35- 36)

Kemudian mereka akan ditanyai tentang perbuatan-perbuatan mereka dengan firman-Nya:

فَوَرَبِّكَ لَنَسْـَٔلَنَّهُمْ اَجْمَعِيْنَۙ  ٩٢  عَمَّا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ   ٩٣

Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu. (al-Hijr/15: 92-93)

Ayat 40

Ayat ini menerangkan bahwa pada saat itu Allah bertanya tentang nikmat mana lagi yang kamu dustakan, terutama nikmat yang telah Allah berikan pada hari ini. Allah juga mengingatkan tentang kabar derita dan peringatan pedih yang telah disampaikan-Nya, yaitu agar manusia me-ninggalkan dan menjauhi perbuatan dosa.

Ayat 41

Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang yang berdosa dapat dikenal dari tanda-tanda yang membedakan mereka dengan orang yang lain yaitu: wajahnya hitam pekat, matanya membelalak karena takut. Pada hari hisab tidak akan didengar alasan-alasan dan keterangan yang mereka kemukakan. Ubun-ubun dan kaki mereka dipegang sebagai penghinaan, lalu diseret, dimasukkan ke dalam api neraka Jahanam.

Ayat 42

Ayat ini menerangkan bahwa pada saat itu Allah bertanya mengenai nikmat mana lagi yang kamu dustakan, terutama nikmat yang telah Allah berikan pada hari ini. Allah juga mengingatkan tentang kabar derita dan peringatan pedih yang telah disampaikan-Nya, yaitu agar manusia meninggalkan dan menjauhi perbuatan dosa.


Baca Juga: Tafsir Surah Al-Isra Ayat 72: Balasan di Akhirat bagi Orang yang Buta Hatinya


Ayat 43-44

Allah membuktikan janji-janji-Nya kepada mereka yang berbuat jahat bahwa sekarang telah mereka saksikan dan telah mereka lihat dengan mata mereka sendiri azab Tuhan yang mereka tunggu-tunggu; agar mereka merasakan siksaan api neraka Jahanam dan meminum air yang mendidih, yang dapat menghancurkan usus dan isi perut siapa yang meminumnya. Mereka berkeliling di antara api dan air mendidih yang sangat panas. Tegasnya, apabila mereka minta tolong agar dikeluarkan dari api neraka, maka mereka dipindahkan ke suatu tempat minuman air yang lebih tinggi suhu panasnya. Seperti diungkapkan dalam firman Allah sebagai berikut:

اِذِ الْاَغْلٰلُ فِيْٓ اَعْنَاقِهِمْ وَالسَّلٰسِلُۗ يُسْحَبُوْنَۙ  ٧١  فِى الْحَمِيْمِ ەۙ ثُمَّ فِى النَّارِ يُسْجَرُوْنَۚ  ٧٢

Ketika belenggu dan rantai dipasang di leher mereka, seraya mereka diseret, ke dalam air yang sangat panas, kemudian mereka dibakar dalam api (Gafir/40: 71-72)

Ayat 45

Ayat ini menerangkan bahwa pada saat itu Allah bertanya mengenai nikmat mana lagi yang kamu dustakan, terutama nikmat yang telah Allah berikan pada hari ini. Allah juga mengingatkan tentang kabar derita dan peringatan pedih yang telah disampaikan-Nya, yaitu agar manusia me-ninggalkan dan menjauhi perbuatan dosa.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 46-52


Memahami Kata Islam dalam QS. Ali Imran: 19 Perspektif Semiotika Roland Barthes

0
Memahami Kata Islam dalam QS. Ali Imran: 19 Perspektif Semiotika Roland Barthes
Kata al-Islam

Kata Islam dalam Al-Quran, khususnya pada QS. Ali Imran [3]: 19 dan 85, memang menimbulkan banyak perdebatan dan penafsiran yang beragam. Beberapa mufassir menempatkannya sebagai ayat yang mengesankan eksklusivisme dan superioritas agama Islam, sementara beberapa lainnya sepakat menjadikannya dasar inklusifisme Islam, yang dapat menampung agama-agama lainnya, selain agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad.

Perdebatan ini tak hanya populer dikalangan akademisi, melainkan, kaum “awam” pun turut serta membahas hal ini. Barangkali, akan dapat kita lihat contoh-contohnya secara gamblang dalam ruang media sosial, masalah ini bergulir bagaikan bola api yang tak segan saling “membakar” lawan debatnya masing-masing. Mereka mencoba mengklaim bahwa opininya adalah yang paling benar.

Pada artikel kali ini, penulis ingin menyuguhkan sebuah diskusi yang mencoba melerai kedua kutub yang berlawanan tersebut dari perspektif semiotika Roland Barthes. Dalam hal ini, penulis ingin lebih memfokuskan pada QS. Ali Imran [3]: 19.

Semiotika Roland Barthes

Sumbangan yang menjadi paling penting dalam semiotika Roland Barthes adalah konsep tentang denotasi, konotasi, dan mitos. Dalam konsep ini terdapat dua tingkat pemaknaan.

Tingkatan pertama adalah denotasi, yaitu tingkat yang menjelaskan hubungan petanda dan penanda pada realitas yang menghasilkan makna eksplisit, langsung, pasti, dan apa adanya sesuai dengan rangkaian teks. Tingkat kedua adalah konotasi, yaitu tingkatan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda yang menghasilkan makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti. Dengan kata lain, untuk memahaminya membutuhkan sesuatu di luar teks.

Dalam tingkat kedua ini ada juga yang disebut dengan mitos, yang dapat dikatakan sebagai konotasi yang digiring dan diseragamkan lalu diyakini sebagai konotasi yang paling benar. Di sini, mitos menjalankan fungsi naturalisasi, yakni menjadikan nilai-nilai yang bersifat historis dan kultural, seakan-akan menjadi tampak alamiah (Roland Barthes, Elemen-Elemen Semiologi, 8-9).

Baca juga: Surat Ali Imran [3] Ayat 19: Makna Agama Islam dalam Al-Quran

Penggalian Makna Denotasi

Untuk menemukan makna denotasi, penulis akan melakukan pembacaan berdasarkan konvensi bahasa yang menekankan analisis pada aspek linguistik. Allah berfirman:

…إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإسْلامُ

Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam. (QS. Ali Imran [3]: 19).

Dari ayat tersebut, kata al-Islam akan menjadi fokus yang dibahas. Dalam “Mu’jam al-Maqayis fiy al-Lughah” disebutkan bahwa Islam berasal dari kata aslama-yuslimu-islaman yang berarti tunduk. Sementara itu dalam kamus “al-Munjid”, Islam bermakna tunduk, patuh, dan menyerahkan diri.

Di sisi lain Rasyid Ridha menegaskan bahwa Islam lebih spesifik bermakna ketundukan dan penyerahan diri. Selanjutnya, kedua makna tersebut dianggap sebagai ruh dari agama (Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, 3/257). Pernyataan yang serupa juga disampaikan oleh Buya Hamka, dengan mengatakan bahwa ketundukan dan penyerahan diri adalah hakikat agama yang berada di sisi Allah (Hamka, Tafsir Al-Azhar, 2/827).

Pemaknaan Islam sebagai berserah diri dan ketundukan tersebut pada dasarnya disepakati oleh banyak mufassir, sehingga dari sini dapat dipahami makna denotasi dari kata Islam dalam QS. Ali Imran [3]: 19 adalah agama yang berhakikatkan penyerahan diri dan ketundukan kepada Allah.

Penggalian Makna Konotasi

Pembacaan pada tingkat kedua ini meliputi pada hubungan internal teks Al-Quran, intertekstualitas, Asbabun Nuzul, maupun perangkat Ulumul Quran lainnya. Karena sebagaimana telah disebutkan di atas, makna konotasi hanya dapat ditemukan melalui aspek di luar teks.

Berkaitan dengan makna ini, kebanyakan penafsir mencoba mengaitkan ayat ini dengan menghubungkan secara internal dengan teks al-Quran lainnya.

Misalnya, ungkapan yang disampaikan oleh Hamka, dengan menyetujui pemaknaan kata al-Islam sebagai penyerahan diri dan ketundukan, berarti membuka pemaknaan secara inklusif, yang tidak hanya dikhususkan pada ajaran yang dibawa Nabi Muhammad, melainkan juga mencakup ajaran-ajaran Nabi sebelumnya, tanpa memandang perubahan zaman dan tempat (Hamka, Tafsir Al-Azhar, 2/827).

Hal ini pada dasarnya disandarkan pada penggunaan derivasi kata Islam yang tidak hanya ditujukan pada ajaran Nabi Muhammad saja, melainkan pada nabi-nabi sebelumnya, bahwa mereka adalah muslim, seperti yang tertulis pada QS. Yunus [10]: 72, 84; QS. Ali Imran [3]: 52, 67, 84; dan QS. Al-Baqarah [2]: 132-133, 136.

Baca juga: Mengenal Paradigma Ma’na Cum Maghza sebagai Pendekatan Tafsir ala Sahiron Syamsuddin

Mengenai argumen tersebut, pihak yang menyatakan bahwa bahwa Islam dalam ayat tersebut dikhususkan pada Islam Nabi Muhammad saja, mendasarkan pada fakta bahwa pada ajaran para Nabi yang lalu, istilah Islam hanya berupa sifat, namun pada ajaran Nabi Muhammad Islam dijadikan sebagai tanda dan nama baginya. Pendapat tersebut dikutip oleh Quraish Shihab dari Asy-Sya’rawi, yang kemudian ditambahi dengan fakta lain bahwa dalam Al-Quran tidak ditemukan kata Islam sebagai nama agama kecuali setelah agama ini sempurna dengan kedatangan Nabi Muhammad. Dengannya, tidak keliru kiranya jika menyatakan bahwa Islam pada ayat ini dipahami sebagai ajaran Nabi Muhammad (Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, 2/41)

Dari pembahasan di atas, ditemukan dua makna konotasi, yang ditemukan melalui penghubungan secara internal dengan ayat Al-Quran. Yaitu, Islam dalam ayat ini mencakup ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi sebelumnya, yang dengan demikian ajaran-ajaran tersebutpun diridhai dan tidak memandang zaman dan tempat. Sebaliknya, konotasi lainnya menyatakan bahwa Islam dimaknai sebagai ajaran Nabi Muhammad saja, sebab setelah Nabi Muhammad hadir, maka jalan menuju Allah telah ditutup dan tidak diridhai.

Penggalian Makna Mitos

Mitos dapat dikatakan sebagai konotasi yang digiring dan diseragamkan lalu diyakini sebagai konotasi yang paling benar. Di sini, mitos menjalankan fungsi naturalisasi, yakni menjadikan nilai-nilai yang bersifat historis dan kultural, seakan-akan menjadi tampak alamiah (Roland Barthes, Elemen-Elemen Semiologi, hal. 9).

Dalam konteks ayat ini, mitos dapat dilihat dari pernyataan-pernyataan yang seakan-akan menjadikan salah satu konotasi di atas, sebagai paling benar. Pemitosan paling sering dilakukan terhadap makna bahwa Islam hanya sebagai ajaran Nabi Muhammad sehingga menegasikan adanya pemaknaan lainnya, bahkan menganggap pemahaman lain terhadap ayat tersebut sebagai sesat. Hal ini dikatakan sebagai mitos karena masuk dalam satu kriteria mitos, yaitu reduksi identifikasi, bahwa sebenarnya terdapat pemaknaan lain, terkait kata Islam dalam ayat ini, namun direduksi menjadi hanya satu pemaknaan tersebut.

Hanya saja, makna bahwa Islam sebagai ajaran berserah diri yang mencakup syariat-syariat yang dibawa oleh Nabi sebelumnya, dapat juga menjadi mitos tatkala pemaknaan tersebut menegasikan adanya pemaknaan lain.

Hal ini disebabkan karena pada dasarnya Barthes meyakini, setelah tulisan terlahir, maka teks tersebut independen dan bergantung pada pembacanya. Oleh karenanya, Barthes secara eksplisit juga menghendaki keberagaman makna. Dan dalam konteks Al-Quran, penafsiran dianggapnya lebih pada kemauan penafsir terhadap teks, sebab kita tidak akan pernah benar-benar tahu apa yang Allah kehendaki terhadap terks tersebut. Pembacaan yang demikian, oleh Sahiron Syamsuddin dimasukkan pada tipologi aliran subyektifis. (Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran, 47).

Baca juga: Tips Menentukan Tema Penelitian Terkait Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 37

0
Tafsir Surah Ar-Rahman
Tafsir Surah Ar-Rahman

Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 37 membahas tentang perumpamaan dahsyatnya hari kiamat. Selain itu, Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 37 membahas juga tentang pembentukan alam semesta berdasarkan ilmu sains.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 29-36


Ayat 37

Ayat ini menerangkan bahwa apabila datang hari Kiamat, terbelahlah langit dan warnanya menjadi merah mawar seperti kilapan minyak. Maka rusaklah peraturan-peraturan alam dan bertebaranlah bintang-bintang serta segala apa-apa yang ada di langit, pindah dari tempatnya karena dahsyatnya hari itu. Dalam ayat-ayat lain Allah berfirman:

اِذَا السَّمَاۤءُ انْفَطَرَتْۙ  ١  وَاِذَا الْكَوَاكِبُ انْتَثَرَتْۙ  ٢

Apabila langit terbelah, dan apabila bintang-bintang jatuh berserakan. (al-Infitar/82: 1-2)

اِذَا السَّمَاۤءُ انْشَقَّتْۙ   ١  وَاَذِنَتْ لِرَبِّهَا وَحُقَّتْۙ   ٢

Apabila langit terbelah, dan patuh kepada Tuhannya, dan sudah semestinya patuh. (al-Insyiqaq/84: 1-2).

وَانْشَقَّتِ السَّمَاۤءُ فَهِيَ يَوْمَىِٕذٍ وَّاهِيَةٌۙ  ١٦

Dan terbelahlah langit, karena pada hari itu langit menjadi rapuh. (al-Haqqah/69: 16)

Ayat di atas berbicara mengenai alam semesta. Alam semesta diperkirakan berumur antara 15 sampai 18 miliar tahun. Batu tertua yang pernah ditemukan di bumi berumur sekitar 4,6 miliar tahun. Kehidupan tertua di bumi ditemukan berumur 3,8 juta tahun yang lalu. Sedangkan manusia mulai menghuni bumi baru sekitar 100.000 tahun yang lalu.

Apapun yang mengakibatkan terbentuknya alam semesta, yang pasti, ia sangat besar dan hebat, dan tidak mungkin tercipta secara kebetulan. Apa yang diungkap oleh Al-Qur’an tersebut, nampaknya mustahil dikemukakan oleh seseorang yang hidup 1400 tahun yang lalu. Teori mengenai “lahirnya” alam semesta ini, hanya dapat dijelaskan oleh seseorang yang paham sekali dengan ilmu “fisika nuklir” (nuclear physics). Suatu bidang keilmuan yang baru berkembang dalam beberapa dekade terakhir. Bagaimana mungkin seorang Muhammad pada saat itu dapat menyatakan bahwa asal bumi dan seluruh isi langit dari materi “asap” yang sama. Sangat mustahil.

Ayat 37 Surah ar-Rahman di atas menggambarkan ledakan sebuah bintang. Gambaran mengenai ledakan bintang tersebut dikonfirmasi oleh ilmu pengetahuan modern. Ledakan bintang yang demikian ini tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Fenomena alam ini juga tidak dapat ditangkap dengan menggunakan teropong bintang biasa. Diperlukan teropong bintang super canggih sekaliber “Huble Space Super Telescope” yang dimiliki oleh NASA, suatu lembaga antariksa Amerika Serikat. Namun hal ini sudah digambarkan dalam Al-Quran secara sangat jelas pada 1400 tahun yang lalu. Dengan kemajuan teknologi, ternyata apa yang diuraikan dalam Al-Qur’an, terbukti secara detail. Ledakan yang terjadi memang sangat mirip dengan bunga mawar merah yang sedang berkembang.

Ledakan bintang atau disebut dengan istilah supernova, adalah sebuah bintang raksasa yang “menghancurkan diri sendiri” dalam ledakan dahsyat. Materi intinya akan bertebaran ke seluruh penjuru. Cahaya yang dihasilkan dalam peristiwa ini ribuan kali lebih terang daripada keadaan normal.


Baca Juga: Alam Semesta Juga Menyatakan Patuh Pada Allah: Tafsir Surat Fushilat Ayat 11


Para ilmuwan masa kini menganggap bahwa supernova memainkan peran penting dalam penciptaan alam semesta. Ledakan ini menyebabkan unsur atau materi yang berbeda-benda berpencar dan berpindah ke bagian lain alam semesta. Diasumsikan bahwa materi yang dilontarkan ledakan ini kemudian bergabung untuk membentuk galaksi atau bintang baru di bagian lain alam semesta. Menurut hipotesis ini, tata surya kita, matahari dan planetnya termasuk bumi, merupakan produk supernova yang terjadi dahulu kala.

Meskipun supernova tampak seperti ledakan biasa, pada kenyataannya, ledakan tersebut sangat terstruktur dalam setiap detailnya. Jarak antar supernova, dan bahkan antar semua bintang, sangat penting untuk alasan yang lain. Jarak antar bintang dalam galaksi kita adalah sekitar 30 juta tahun cahaya. Jika jarak ini lebih dekat, orbit planet-planet akan tidak stabil. Jika lebih jauh, maka debu hasil supernova akan tersebar begitu acak sehingga sistem planet seperti tata surya kita tidak mungkin pernah terbentuk. Jika alam semesta menjadi rumah bagi kehidupan, maka kedipan supernova harus terjadi pada laju yang sangat tepat dan jarak rata-rata di antaranya harus sangat dekat dengan jarak yang teramati sekarang.

Perbandingan antara supernova dan jarak antar bintang hanyalah dua rincian yang sangat selaras pada alam semesta yang penuh keajaiban. Mengamati lebih teliti alam semesta, maka pengaturannya akan terlihat begitu indah, baik dalam rancangan maupun susunannya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 38-45


Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 29-36

0
Tafsir Surah Ar-Rahman
Tafsir Surah Ar-Rahman

Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 29-36 mengingatkan kita pada nikmat-nikmat yang telah Allah berikan baik kepada manusia maupun jin. Selain itu, Allah menantang jin dan manusia untuk mengungkapkan nikmat-nikmat yang didustakan.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 21-28


Ayat 29

Allah senantiasa menghidupkan dan mematikan, serta memberi rezeki, memuliakan dan menghinakan, memberi sakit dan menyembuhkan, menyuruh dan melarang, mengampuni dan menghukum, mengasihi dan memarahi terhadap makhluk-Nya. Dan Dia pula memberikan apa-apa yang diminta oleh semua yang ada di langit dan di bumi, seperti yang diungkapkan dalam hadis ini

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مُنِيْبٍ قَالَ: تَلاَ عَلَيْنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمِ هٰذِهِ الآيَةَ فَقُلْنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَا ذَلِكَ الشَّأْنُ؟ قَالَ: أَنْ يَغْفِرَ ذَنْبًا وَيُفَرِّجَ كَرْبًا وَيَرْفَعَ قَوْمًا وَيَضَعَ آخَرِيْنَ (رواه البزار وابن جرير والطبرانى وابن عساكر)

Dari ‘Abdullah bin Munib, ia berkata, “Rasulullah membacakan kepada kami ayat ini, lalu kami berkata, Ya Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan urusan? Rasulullah bersabda, Mengampuni dosa, melapangkan kesusahan, meninggikan satu golongan dan merendahkan golongan yang lain.” (Riwayat al-Bazzar, Ibnu Jarir, ath-Thabrani dan Ibnu ‘Asakir)

Ayat 30

Dalam ayat ini, Allah menantang jin dan manusia agar mengungkapkan nikmat-Nya yang mereka dustakan. Berapa banyak permohonan yang telah dikabulkan-Nya. Berapa banyak hal-hal yang baru diciptakan-Nya. Dan berapa banyak orang yang lemah ditolong-Nya.

Ayat 31

Allah menerangkan bahwa Dia akan memperhatikan dan membalas segala amal perbuatan manusia dan jin, ayat ini merupakan ancaman yang sangat menakutkan, bagi seluruh hamba-Nya agar ingat pada hari pembalasan.

Ayat 32

Allah swt menantang jin dan manusia, agar mengungkapkan nikmat yang manakah yang mereka dustakan. Adakah yang mereka dustakan itu balasan-balasan yang akan mereka terima pada hari Kiamat nanti baik berupa pahala maupun berupa siksaan pada hari itu tidak ada kedustaan.

Ayat 33

Ayat ini menyeru jin dan manusia jika mereka sanggup menembus, melintasi penjuru langit dan bumi karena takut akan siksaan dan hukuman Allah, mereka boleh mencoba melakukannya, mereka tidak akan dapat berbuat demikian. Mereka tidak mempunyai kekuatan sedikit pun dalam menghadapi kekuatan Allah swt.

Menurut sebagian ahli tafsir, pengertian sultan pada ayat ini adalah ilmu pengetahuan. Hal ini menunjukkan bahwa dengan ilmu manusia dapat menembus ruang angkasa.


Baca Juga: Jawaban Jin Ketika Mendengar Kalimat ‘Fabiayyi Alaa-i Robbikuma Tukadzdziban’ dalam Surah Ar-Rahman


Ayat 34

Dalam ayat ini Allah bertanya kepada jin dan manusia yang berbuat jahat kemudian bertobat, lalu diterima oleh Allah tobatnya, bukankah itu merupakan nikmat? Sebelum itu Allah mengancam orang-orang yang berbuat jahat. Karenanya nikmat Allah yang mana lagi yang kamu dustakan.

Ayat 35

Ayat ini menerangkan bahwa kepada jin dan manusia akan ditimpakan bermacam-macam bentuk azab yaitu sambaran nyala api atau cairan yang bercampur dengan tembaga. Mereka tidak dapat melarikan diri daripadanya.

Ayat 36

Allah swt menantang jin dan manusia, apakah mereka tetap mendustakan nikmat Tuhan. Di antara nikmat itu tentang ancaman siksa yang tercantum pada ayat 35 di atas telah diberitakan di dunia ini. Jika kamu di dunia ini berkesempatan berbuat baik dan terhindar dari siksa itu, itulah merupakan kenikmatan.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 37


Benarkah Islam Melarang Kepemimpinan Perempuan? Mari Telisik Lagi Dalilnya

0
Benarkah Islam Melarang Kepemimpinan Perempuan? Mari Telisik Lagi Dalilnya
Hasna Ben Slimane, perempuan yang menjadi di Tunisia

Islam datang membawa pesan moral kemanusiaan yang pada masa itu sedang mengalami krisis. Islam tidak hanya berusaha agar manusia lepas dari belenggu tirani kekuasaan yang tidak manusiawi, tetapi Islam juga hendak menyetarakan hak masing-masing kaum laki-laki dan perempuan yang ketika itu tidak berimbang.

Pada masa Rasulullah saw telah dibuktikan sejarah di mana perempuan tidak hanya dipandang sebagai seorang istri (pendamping atau bawahan laki-laki), tetapi perempuan juga dipandang sebagai manusia yang mempunyai kedudukan yang sama dalam menjalankan kewajiban di hadapan Allah Swt.

Hanya saja pada saat itu hak perempuan masih dibatasi pada hal-hal tertentu seperti dalam kepemimpinan di ruang publik yang sampai saat ini masih menjadi perdebatan. Lalu bagaimana sebenarnya al-Qur’an dan hadis menjawab persoalan ini? Benarkah Islam melarang perempuan menjadi pemimpin?

Sebenarnya akar dari permasalahan ini adalah penafsiran Al-Qur’an surah An-Nisa’ (4): 34 yang berbunyi sebagai berikut;

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ…

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan…”

Pembahasan ayat kepemimpinan perempuan

Latar belakang turunnya An-Nisa’ (4): 34 ini bercerita tentang seorang perempuan yang datang kepada Nabi saw. Ia mengadukan suaminya telah menamparnya, lalu Nabi saw bersabda; “balaslah ia sebagai qishasnya.” Kemudian Allah menurunkan ayat ini. Perempuan itu pun kembali ke rumahnya tanpa melakukan qishas atau balasan setimpal kepada suaminya (Asbabun Nuzul, hal. 162-163).

Menurut Syaikh Jawad Mughniyah dalam Tafsir al-Kasyif (2/134) bahwa maksud dari ayat ini adalah bukan untuk menciptakan perbedaan yang menganggap perempuan itu lebih rendah dari laki-laki, tetapi keduanya adalah sama. Ayat ini menunjukkan suatu relasi suami istri dalam menjalankan peran rumah tangga yang tidak bisa hidup satu sama lain dan saling melengkapi.

Jadi, kepemimpinan dalam ayat ini tidak mencakup lingkup publik. Bercermin dari pandangan tersebut, ayat ini sebenarnya tidak bisa dijadikan sebagai larangan perempuan untuk menjadi pemimpin.  QS. At-Taubah [9]: 71 bisa menjadi penjelas dalam hal ini:

وَٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٖۚ

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi pemimpin bagi sebagian yang lain.”

Kata auliya’ yang bermakna pemimpin dalam ayat ini tidak hanya ditujukan kepada kaum laki-laki saja, tapi juga ditujukan kepada kaum perempuan secara bersamaan dengan syarat mampu memenuhi kriteria sebagai seorang pemimpin (Kepemimpinan Perempuan Perspektif Hukum Islam, hal. 5).

Makna auliya’ menurut Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar (11/626) bermakna penolong, memiliki rasa solidaritas, dan kasih sayang. Sifat-sifat ini tentu dapat dimiliki baik oleh laki-laki maupun perempuan, tidak dimonopoli oleh laki-laki saja.

Dalam ayat ini pun terdapat indikasi bahwa Al-Qur’an tidak melarang perempuan menjalankan berbagai macam profesi sesuai keahliannya, seperti menjadi seorang guru, pejabat, dokter, menteri, hakim, bahkan kepala negara. Tentu dalam tugasnya harus tetap mengikuti rambu-rambu agama, sebagaimana yang juga dituntut kepada pihak laki-laki.

Al-Qur’an di ayat lain (QS. Saba’ [34]: 15) juga telah mencontohkan kisah kesuksesan Ratu Balqis sebagai seorang perempuan yang sukses memimpin negeri Saba’.

Baca juga: Kisah Al-Quran: Ratu Balqis, Pemimpin Perempuan nan Demokratis dan Diplomatis

Pembahasan hadis kepemimpinan perempuan

Sedangkan hadis tentang kepemimpinan perempuan yang sering dirujuk antara lain hadis riwayat Abu Bakrah sebagai berikut;

عَنْ أَبِى بَكْرَةَ قَالَ لَقَدْ نَفَعَنِى اللَّهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَيَّامَ الْجَمَلِ ، بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ « لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً »

“Dari Abu Bakrah, ia berkata: ‘Allah memberikan manfaat kepadaku dengan sebuah kalimat yang kudengar langsung dari Rasulullah saw pada hari menjelang Perang Jamal, setelah aku hampir membenarkan mereka (Ashabul Jamal) dan berperang bersama mereka. Ketika sampai kabar kepada Rasulullah saw bahwa bangsa Persia mengangkat putri Kisra sebagai pemimpin, beliau bersabda ‘Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita.” (HR. al-Bukhari, al-Tirmidzi, al-Nasa’I, dan al-Hakim).

Dilihat dari segi riwayah, hadis ini jelas keshahihannya, namun dari segi dirayah (pemahaman teks) perlu dikaji kembali, karena memahami hadis tidak hanya cukup secara tekstual tetapi juga harus didukung dengan pemahaman kontekstual. Secara tekstual, hadis ini dapat menunjukkan larangan perempuan penjadi pemimpin, akan tetapi secara kontekstual, hadis tersebut dapat dipahami sebaliknya dengan memperhatikan konteks asbabul wurud dan menggunakan pendekatan historis (Kepemimpinan Wanita dalam Perspektif Hadis, hal. 174).

Ternyata hadis tersebut diucapkan oleh Nabi saw saat mendengar laporan mengenai suksesi kepemimpinan di negeri Persia pada tahun 9 H. Menurut tradisi yang berlaku di Persia sebelum itu, yang diangkat sebagai kepala negara adalah seorang laki-laki. Namun pada saat itu yang diangkat adalah seorang perempuan yang masih kecil bernama Buwaran binti Syairawaihi binti Kisra bin Barwaiz. Dia diangkat menjadi ratu Persia karena saudara laki-lakinya terbunuh saat melakukan perebutan kekuasaa (Fath al-Bari, 8/558).

Maka kondisi kerajaan saat itu sangat tidak memungkinkan untuk menjalankan roda pemerintahan karena dipimpin oleh pemimpin yang masih belia dan belum mampu memimpin bangsanya. Dengan demikian, ketidaksuksesan hanya berlaku pada kasus tersebut.

Baca juga: Bolehkah Perempuan Menjadi Pemimpin Publik? Qiraah Maqashidiyah atas Kisah Nabi Sulaiman dan Ratu Balqis

Penutup

Dari uraian di atas sesungguhnya dalil-dalil tersebut memberi peluang, baik laki-laki maupun perempuan untuk dapat bersaing mempertanggungjawabkan segala sesuatu yang diembannya. Ini sebagai upaya kritis bagaimana memahami dalil-dalil agama agar tidak dipandang sempit dan mampu dikorelasikan dengan perkembangan zaman.

Dahulu perempuan dianggap kurang intelektual, egois, emosional, lemah lembut, namun pada masa modern-kontemporer ini banyak perempuan yang cerdas, berprestasi, kreatif dan pemberani. Perlunya perempuan memimpin hal-hal tertentu yang tidak semua hal dikuasai laki-laki, sehingga perempuan yang memiliki keahlian dan kemampuan memimpin boleh menjadi pemimpin (organisasi, perusahaan bahkan kepala negara) dalam konteks masyarakat modern.

Larangan perempuan menjadi pemimpin memang banyak digaungkan para ulama klasik, karena melihat konteks kepemimpinan saat itu adalah sistem monarki klasik, di mana kepala negara harus mengendalikan semua urusan negaranya sendiri secara mutlak.

Berbeda dengan ulama kontemporer yang sebagian besar berpendapat bolehnya perempuan menjadi seorang pemimpin, karena konteks yang dipahami adalah sistem demokrasi modern di mana tugas kepemimpinan kepala negara dibantu oleh para menteri (tidak mutlak memutuskan perkara sendiri). Perempuan, sebagaimana laki-laki, bisa berada pada posisi tersebut asalkan mampu dan memenuhi kriteria sebagai pemimpin. Wallahu a’alam

Baca juga: Haul Gus Dur: Penafsiran Kontekstual Terhadap Surat Al-Nisa Ayat 34

Tafsir Ahkam: Kesunnahan Membersihkan Bulu Ketiak

0
Membersihkan Bulu Ketiak
Membersihkan Bulu Ketiak

Membiarkan bulu ketiak tumbuh panjang adalah sesuatu tindakan yang dianggap banyak orang kurang elok. Islam juga berpandangan demikian. Oleh karena itu ulama’ baik dari kalangan ahli tafsir, fikih, juga hadis mengulas anjuran membersihkan bulu ketiak dalam karya mereka. Sampai-sampai mereka membedakan antara mencabut dan mencukur bulu ketiak sebab hadis Nabi berbunyi “mencabut”, buka mencukur bulu ketiak. Lebih lengkapnya, simak penjelasan para pakar tafsir dan fikih berikut ini:

Anjuran Membersihkan Bulu Ketiak

Allah berfirman:

۞ وَاِذِ ابْتَلٰٓى اِبْرٰهٖمَ رَبُّهٗ بِكَلِمٰتٍ فَاَتَمَّهُنَّ ۗ قَالَ اِنِّيْ جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ اِمَامًا ۗ قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِيْ ۗ قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِى الظّٰلِمِيْنَ

 (Ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.” Dia (Ibrahim) berkata, “(Aku mohon juga) dari sebagian keturunanku.” Allah berfirman, “(Doamu Aku kabulkan, tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim.” (QS. Al-Baqarah [2] 124).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Kesunnahan Memotong Kumis

Imam Al-Qurthubi menjelaskan bahwa salah satu kesunnahan yang disinggung oleh surat Al-Baqarah ayat 124 di atas, yaitu lewat kalimat yang Allah sampaikan pada Nabi Ibrahim, adalah mencabut bulu ketiak. Ia juga menjelaskan bahwa sebenarnya kesunnahan pada bulu ketiak adalah mencabut, bukan mencukur. Namun apabila mencukur, maka tidak apa-apa. Sebab tujuan membersihkan diri sudah tercapai. Hanya saja yang lebih utama tetap saja mencabut (Tafsir Al-Qurthubi/2/105).

Imam An-Nawawi dalam Kitab Al-Majmu’ syarah Muhadzdzab menyatakan, ulama’ sepakat bahwa mencabut bulu ketiak merupakan suatu kesunnahan. Kitab Mausu’atul Ijma’ membenarkan pernyataan tersebut. Kitab tersebut mendokumentasikan, bahwa ulama’ yang menyatakan bahwa mencabut bulu ketiak merupakan kesunnahan yang disepakati para ulama’ antara lain adalah Ibn Hazm, As-Syaukani dan Ibn Qasim. Tidak ditemukan ulama’ yang menyatakan hukum yang berbeda. Sehingga bisa dikatakan bahwa kesepakatan ulama’ tersebut benar adanya. Dasar yang dipakai antara lain (Mausu’atul Ijma’/1/205):

الْفِطْرَةُ خَمْسٌ الْخِتَانُ ، وَالاِسْتِحْدَادُ ، وَقَصُّ الشَّارِبِ ، وَتَقْلِيمُ الأَظْفَارِ ، وَنَتْفُ الآبَاطِ

Termasuk fitrah adalah khitan, mencukur rambut kemaluan, mencukur kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak (HR. Bukhari)

Imam An-Nawawi juga menjelaskan bahwa waktu kesunnahan mencabut bulu ketiak adalah sama dalam permasalahan memotong kuku dan mencukur bulu kemaluan. Yakni melihat Panjang pendeknya bulu tersebut. Sehingga waktu yang baik untuk mencabut bulu ketiak bisa berbeda-beda bergantung pemiliknya dan keadaannya (Al-Majmu’/1/286).

Antara Mencabut dan Mencukur

Redaksi hadis tentang kesunnahan membersihkan bulu ketiak yang berbuyi “mencabut bulu ketiak”, menimbulkan perbincangan di antara para ulama’. Yakni bagaimana bila membersihkan bulu tersebut dengan cara dicukur? Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa boleh-boleh saja membersihkan bulu ketiak dengan cara mencukur. Ia kemudian mengutip Riwayat bahwa Imam Syafi’i mencukur bulu ketiaknya, tidak mencabutnya. Imam Syafi’i juga berkata bahwa ia tahu bahwa kesunnahannya adalah mencabut, tapi ia tidak tahan terhadap rasa sakit.

Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa yang disunnahkan adalah mencabut. Dan itu mudah bagi orang yang sudah terbiasa. Kesunnahan lainnya adalah mendahulukan ketiak tangan kanan daripada tangan kiri. Dari komentar di atas kita bisa mengetahui bahwa meski mencabut dan mencukur sama-sama dipandang baik dan termasuk tindakan membersihkan, tapi tetap saja yang lebih utama adalah mencabut (Al-Majmu’/1/286).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Serba-Serbi Kesunnahan Memotong Kuku dalam Islam

Ibn Daqiq menyatakan bahwa ulama’ yang melihat sebatas redaksi hadis, maka pandangannya akan terbatas pada tindakan mencabut. Dan bila melihat makna, maka pandangannya akan mencakup segala tindakan membersihkan bulu ketiak (‘Aunul Ma’bud/1/67).

Lalu apa hikmah dibalik dianjurkannya mencabut, bukan mencukur? Sebab mencabut dapat menghilangkan rambut sekaligus gumpalan kotoran-kotoran sebab keringat yang menjadi sumber dari bau tak sedap. Sedang mencukur hanya malah menguatkan pertumbuhan rambut dan memicu bentuk baru dari gumpalan kotoran (Tuhfatul Ahwadzi/7/65).

Dari berbagai uraian di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa membersihkan bulu ketiak adalah sesuatu yang dianjurkan oleh Islam. Selain itu, yang baik adalah membersihkan dengan cara mencabut, bukan mencukur. Wallahu a’lam bish showab.

Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 21-28

0
Tafsir Surah Ar-Rahman
Tafsir Surah Ar-Rahman

Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 21-28 menjelaskan tentang hikmah tidak bersatunya dua laut yang Allah sebutkan pada ayat 19-20. Selain itu, Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 21-28 menguraikan nikmat-nikmat yang telah Allah sediakan di lautan.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 18-20


Ayat 21

Pada ayat ini Allah swt menantang jin dan manusia agar mengemukakan suatu nikmat yang tidak berasal daripada-Nya. Cobalah mereka bayangkan seandainya air yang asin mempengaruhi yang tawar sehingga menjadi asin pula, maka tentu tidak akan ada air yang dapat diminum manusia dan binatang, tidak ada air untuk menyirami tumbuh-tumbuhan sehingga tumbuh-tumbuhan itu mati, manusia dan binatang pun mati kehausan dan kelaparan.

Ayat 22

Ayat ini menerangkan bahwa di dalam laut itu terdapat barang-barang yang sangat berharga, misalnya mutiara dan marjan dari laut yang asin dan tawar. Keduanya dapat dijadikan sebagai perhiasan yang tinggi nilainya dan mahal harganya.

Ayat 23

Allah swt menantang jin dan manusia jika ada nikmat yang bukan berasal dari Dia yang berada di laut, tentu jin dan manusia tidak akan mendustakannya, terutama nikmat yang berupa mutiara dan marjan.

Ayat 24

Ayat ini menerangkan bahwa Allah-lah yang menguasai bahtera-bahtera yang tinggi layarnya laksana gunung-gunung di lautan, ia berlayar di lautan dan memberikan manfaat kepada manusia guna mengangkut barang-barang dagangan dari suatu negeri ke negeri lain, makanan-makanan yang banyak terdapat pada suatu tempat dan tempat yang lain kekurangan bahan-bahan tersebut, dan lain sebagainya. Dengan demikian, terlaksana pertukaran barang-barang dagangan dan terpenuhi keperluan-keperluan manusia tentang makanan dan minuman.

Ayat 25

Ayat ini menantang jin dan mansuia agar menerangkan nikmat yang mereka dustakan sebagai berikut: Siapakah yang menciptakan bahan-bahan pembuatan bahtera itu? Atau bagaimanakah membuatnya? Apakah mereka kira bahwa iman kepada Allah sudah cukup dengan hanya bersyukur atas nikmat-nikmat yang telah diberikan-Nya kepada mereka? Apakah matahari, bulan dan bintang, pohon-pohonan, tumbuh-tumbuhan, dan biji-bijian, sungai-sungai dan lautan-lautan, mutiara dan marjan dijadikan-Nya untuk orang-orang yang tidak berakal? Atau dijadikan-Nya bagi orang-orang yang pandai bersyukur kepada-Nya atas nikmat-nikmat yang diberikan-Nya? Dan bagaimanakah mereka akan bersyukur kepada-Nya bila mereka tidak mengetahuinya?

Ayat 26-27

Ayat-ayat ini menerangkan bahwa semua yang ada di bumi dan di langit akan rusak binasa dan yang kekal hanyalah Zat Allah yang Mahabesar dan Mahamulia. Dialah yang tetap hidup selamanya dan tidak akan mati.

Oleh karena itu manusia jangan terpesona dengan kenikmatan-kenikmatan yang ada di dunia, sebab semuanya akan punah dan lenyap, manusia akan dimintakan pertanggungjawaban atas segala nikmat yang telah diperolehnya.


Baca Juga: Mensyukuri Eksistensi Laut Bagi Umat Manusia


Firman Allah:

وَلَا تَدْعُ مَعَ اللّٰهِ اِلٰهًا اٰخَرَۘ  لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۗ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ اِلَّا وَجْهَهٗ ۗ لَهُ الْحُكْمُ وَاِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ ࣖ   ٨٨

Dan jangan (pula) engkau sembah tuhan yang lain selain Allah. Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Segala sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Segala keputusan menjadi wewenang-Nya, dan hanya kepada-Nya kamu dikembalikan. (al-Qasas/28: 88)

Ayat 28

Dalam ayat ini Allah menantang jin dan manusia agar mengungkapkan nikmat-Nya yang mereka dustakan. Cobalah mereka bayangkan, tidaklah kebinasaan itu melainkan merupakan pintu bagi kehidupan yang kekal. Apabila tidak ada yang mati, maka akan terhalanglah kehidupan di akhirat. Lihatlah kehidupan manusia, apabila mereka beranak terus sepanjang masa, tidak ada yang mati, maka akan penuhlah bumi ini dengan manusia sehingga binatang, tumbuh-tumbuhan, dan makanan tidak akan mencukupi keperluannya lagi dan akhirnya tidak ada jalan lagi bagi mereka kecuali saling membunuh sesamaanya yang akhirnya dunia ini akan penuh dengan bangkai-bangkai manusia.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 29-36


Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 18-20

0
Tafsir Surah Ar-Rahman
Tafsir Surah Ar-Rahman

Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 18-20 ini menjelaskan tentang dua laut yang mengalir, tetapi memiliki batas yang tidak dapat dilampaui oleh masing-masing. Hal tersebut dijelaskan dengan kajian ilmiah.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 17 (2)


Ayat 18

Dalam ayat ini Allah menantang manusia dan jin, nikmat Tuhan yang manakah yang mereka dustakan. Apakah mereka mengingkari hujan dan faedah-faedahnya? Ataukah mereka mengingkari manfaat adanya perubahan musim yang di dalamnya terdapat perubahan tanaman-tanaman yang harus ditanam pada musim panas atau musim dingin? Ataukah mereka mengingkari tentang keistimewaan yang terdapat pada perubahan udara yang mengatur perasaan manusia dan binatang.

Ayat 19-20

Ayat-ayat ini menerangkan bahwa Allah mengalirkan air yang asin dari air yang tawar berdekatan yang kemudian berkumpul menjadi satu, masing-masing tidak mempengaruhi yang lain, yang asin tidak mempengaruhi yang tawar sehingga yang tawar menjadi asin dan yang asin menjadi tawar. Allah telah membatasi di antara keduanya dengan batas yang telah diciptakan dengan kekuasaan-Nya atau dibatasinya dengan batas yang berupa tanah. Firman Allah:

وَهُوَ الَّذِيْ مَرَجَ الْبَحْرَيْنِ هٰذَا عَذْبٌ فُرَاتٌ وَّهٰذَا مِلْحٌ  اُجَاجٌۚ وَجَعَلَ بَيْنَهُمَا بَرْزَخًا وَّحِجْرًا مَّحْجُوْرًا   ٥٣

Dan Dialah yang membiarkan dua laut mengalir (berdampingan); yang ini tawar dan segar dan yang lain sangat asin lagi pahit; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang tidak tembus. (al-Furqan/25: 53) ;Peristiwa di atas dapat dilihat seperti sungai-sungai yang mengalir dari gunung-gunung yang akhirnya masuk ke dalam laut dan rasanya menjadi asin sedang air sungainya tetap tawar.

Menurut kajian ilmiah, laut mempunyai sifat fisika dan kimia yang tidak homogen. Ketidakhomogenan ini yang menyebabkan laut bergerak dinamis. Proses yang memicu pergerakan ini sangat kompleks dan melibatkan tenaga dari luar seperti angin, rotasi bumi, topografi dasar laut maupun hubungan satu sama lain antar laut. Distribusi rapat massa yang tergantung pada tingkat kegaraman, temperatur dan tekanan udara juga mempunyai peranan penting. Aliran arus permukaan yang hangat dari kawasan tropis mengalir melintasi katulistiwa menuju Lautan Atlantik Utara dan Laut Norwegia, untuk kemudian mengalami pendinginan. Akibat pendinginan ini terjadi peningkatan rapat massa dan laut bergerak ke bawah sebagai aliran arus bawah dan bergerak menuju Lautan Atlantik Selatan, Lautan Hindia dan menuju Lautan Pasifik. Gerakan aliran arus bawah ini dikenal sebagai pola sirkulasi thermohalin yang gerakannya sering diidentikan dengan conveyor belt yang menggerakan air, temperatur dan sifat-sifat lainnya dan materi-materi di lautan.


Baca Juga: Tafsir Surat Ar-Rahman Ayat 19-21: Fenomena Pertemuan Dua Lautan


Apa yang digambarkan di atas adalah gambaran global mengenai pergerakan arus laut. Dalam kenyataannya pergerakan arus laut adalah lebih kompleks. Sebagai contoh adalah apa yang digambarkan oleh Djamil (2004) yang menyebutkan bahwa di bawah garis khatulistiwa di Lautan Pasifik, Atlantik dan Lautan Hindia terdapat arus yang bergerak melawan arus permukaannya dan dikenal sebagai Pacific Equatorial Undercurrent atau disebut juga sebagai Cromwell Current. Arus ini bergerak ke timur, yang menentang arus Pacific South Equatorial Current yang bergerak ke barat. Arus yang mempunyai ketebalan 150 m dan panjang 402 km, dan batas atasnya antara 42-91 m, selalu bergerak di bawah khatulistiwa. Air laut yang bergerak dalam aliran arus Cromwell ini yang bergerak ke timur menentang aliran arus ke barat dan antar keduanya terdapat batas. Batas antara dua lautan ini tidak hanya sebatas wilayah yang disebutkan di atas tetapi juga di temui di Selat Gibraltar, maupun di sebelah timur Jepang.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 21-28


Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 17 (2)

0
Tafsir Surah Ar-Rahman
Tafsir Surah Ar-Rahman

Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 17 (2) ini masih berkaitan dengan sebelumnya yaitu membahas tentang bentuk bumi datar atau bulat. Pada Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 17 (2) ini dijelaskan secara rinci bagaimana bentuk bumi berdasarkan isyarat-isyarat yang ada dalam Alquran dan berdasarkan kajian dari ilmu sains.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 17 (1)


Ayat 17

Karena Al-Quran diturunkan bukan sebagai ilmu pengetahuan (science), maka di dalamnya tidak ada pernyataan secara khusus bahwa bentuk bumi adalah bulat seperti bola. Akan tetapi, dari beberapa ayat, manusia mulai berpikir bahwa bentuk bumi seperti bola. Contohnya pada Surah Luqman/31 ayat 29. Ayat lainnya, Surah az-Zumar/39 ayat 5 menunjukkan bagaimana Allah “menggulung” siang dengan malam. Kata “menggulung” pada ayat di atas adalah terjemahan dari kata Arab “kawwara”, yang digunakan untuk menggambarkan seorang sedang menggulungkan sorban di sekeliling kepalanya.

Untuk dapat mengerti lebih jelas mengenai kedua ayat di atas, lakukanlah suatu percobaan di rumah. Alat yang diperlukan adalah bola dunia dan lampu senter. Bawa kedua alat ini ke kamar yang gelap. Sinari bola dunia dengan lampu senter dari salah satu sisinya. Sinar dari lampu senter ini akan berperan seperti sinar matahari. Maka akan tampak bahwa sebagian belahan dunia akan terang, dan belahan lainnya gelap. Lalu putarkan bola dunia secara perlahan, sebagaimana halnya bumi melakukan putaran pada sumbunya. Perhatikan saat bola dunia berputar, maka sinar matahari akan secara menerus mulai menerangi bagian bumi yang semula gelap. Demikian pula halnya gelap. Ia akan secara perlahan menggantikan terang di bagian bumi yang lain.

Ayat di bawah ini juga berbicara mengenai bentuk bumi:

رَبُّ الْمَشْرِقَيْنِ وَرَبُّ الْمَغْرِبَيْنِۚ   ١٧  فَبِاَيِّ اٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ   ١٨

Tuhan (yang memelihara) dua timur dan Tuhan (yang memelihara) dua barat. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? (ar-Rahman/55: 17-18)

Pada saat manusia mempercayai bahwa bumi datar dan menetap (tidak bergerak), Al-Qur’an sudah mengungkapkan, secara eksplisit maupun implisit, bahwa bumi itu bulat. Tidak hanya bulat, akan tetapi lebih rinci, yaitu bentuknya lebih seperti telur daripada bulat.

Mengenai pemeliharaan tempat terbit dan tenggelamnya matahari. Ketika manusia memercayai bahwa bumi datar dan diam/tidak bergerak, maka Al-Qur’an mengungkapkan bahwa bumi itu bulat, melalui firman-Nya dalam ayat tersebut di atas. Karena hanya pada benda berbentuk seperti bola peristiwa tersebut dapat terjadi, dua timur dan dua barat ?


Baca Juga: Tafsir Surat Ar-Rahman Ayat 17: Peredaran Bumi, Bulan, dan Matahari serta Empat Musim dan Iklim Bumi


Sayyid Quthb berpendapat mungkin itu tempat terbitnya matahari dan bulan serta tempat terbenamnya matahari dan bulan. Tapi bisa juga maksudnya dua tempat terbit matahari yang berbeda posisinya pada musim panas dan musim dingin. Demikian pula dua tempat terbenamnya.

Sementara Ilmu Pengetahuan berpendapat bahwa manakala matahari terbit di satu titik di belahan bumi, maka pada saat yang sama justru matahari tersebut akan terbenam dilihat dari titik belahan lainnya yang letaknya jauh ke arah timur. Begitu pula tatkala matahari terlihat terbenam di suatu titik di belahan bumi, maka pada saat yang bersamaan dari belahan bumi yang letaknya jauh ke sebelah barat, matahari tersebut dilihat sedang terbit.

Fenomena ini yang diartikan dengan (seolah) ada dua titik di mana matahari terbit dan pada waktu yang sama ada dua titik tempat matahari terbenam.

Apapun makna dari pesan tersebut, sesuatu yang penting untuk disyukuri adalah pemeliharaan Allah atas dua timur dan dua barat merupakan bagian dari nikmat-Nya di alam semesta ini?

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 18-20


Mengenal Syar’u Man Qablana dalam Al Qur’an

0
Syar’u  Man Qoblana
Syar’u  Man Qoblana

Nabi Muhammad ﷺ adalah sebagai utusan Allah Ta’ala yang membawa risalah wahyu terakhir dan menjadi penutup bagi wahyu yang datang dari utusan terdahulu sebelum beliau diutus. Setiap risalah wahyu utusan Allah Ta’ala beberapa masih berlaku  kepada umat nabi Muhammad ﷺ dan diadopsi, pun juga ada beberapa syariat sebelum beliau di utus yang tidak lagi  dilaksanakan. Risalah sebelum nabi Muhammad ﷺ diutus sebagai Rasul disebut dengan Syar’u Man Qoblana yang coba penulis uraikan dalam tulisan singkat ini.

Secara terminologi Syar’u Man Qoblana berarti hukum-hukum Allah yang dibawa oleh para Nabi/Rasul sebelum Nabi Muhammad ﷺ dan berlaku untuk umat mereka pada zaman itu (Imam Yazid dalam Analisis Teori Syar’u Man Qablana hlm 370). Setiap rasul atau utusan Allah Ta’ala mempunyai tanggungjawab menyampaikan risalah atau syariat yang   wajib disampaikan kepada para umatnya  sebagaimana firman Allah Ta’ala dalm Qur’an Surah Al Maidah ayat 48:

وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ بِٱلْحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ ٱلْكِتَٰبِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ ۖ فَٱحْكُم بَيْنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَآءَهُمْ عَمَّا جَآءَكَ مِنَ ٱلْحَقِّ ۚ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا ۚ وَلَوْ شَآءَ ٱللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَٰحِدَةً وَلَٰكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِى مَآ ءَاتَىٰكُمْ ۖ فَٱسْتَبِقُوا۟ ٱلْخَيْرَٰتِ ۚ إِلَى ٱللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ

“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.”

Baca Juga: Mengenal Ijma’ Sebagai Sumber Hukum Islam Perspektif Para Mufasir

Dari  ayat diatas dapat difahami setiap rasul atau  utusan Allah Taala  membawa masing-masing  syariat yang berbeda kepada umatnya. Maka dapat berarti bahwa apa yang harus dijalankan umat setiap rasul diantaranya ada yang beda dengan syariat umat sebelumnya dan ada ketentuan syariat yang hampir sama. Sebagaimana pensyariatan puasa bagi umat Nabi Muhammad ﷺ yang termaktub dalam Quran Surah Al Baqarah ayat 183:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Menurut Muhammad Sulaiman Al Asyqar dalam kitab Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir menjelaskan bahwa yang dimaksud dari عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ (atas orang-orang sebelum kamu) Yakni mereka adalah umat Nabi Musa dan Isa.( Muhammad Sulaiman Al Asyqar Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir hlm 28).

Sedangkan syariat nabi terdahulu (sebelum nabi Muhammad  ﷺ) yang berbeda adalah seperti cara bertaubatnya umat nabi  musa alaihis salam yang dijelasakan dalam Qur’an Surah Al Baqarah ayat 54:

 وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ لِقَوْمِهِۦ يَٰقَوْمِ إِنَّكُمْ ظَلَمْتُمْ أَنفُسَكُم بِٱتِّخَاذِكُمُ ٱلْعِجْلَ فَتُوبُوٓا۟ إِلَىٰ بَارِئِكُمْ فَٱقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ عِندَ بَارِئِكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ

“Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, sesungguhnya kamu telah menganiaya dirimu sendiri karena kamu telah menjadikan anak lembu (sembahanmu), maka bertaubatlah kepada Tuhan yang menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu. Hal itu adalah lebih baik bagimu pada sisi Tuhan yang menjadikan kamu; maka Allah akan menerima taubatmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”

Baca Juga: Mengenal Hukum Wadh’i dan Contohnya dalam Al-Qur’an

Dapat difahami betapa berat nya umat nabi musa dalam bertaubat sedangkan apabila dibandingkan dengan umat nabi muhammad ﷺ. Allah memberikan kemudahan apabila hendak bertaubat atas dosa yang telah diperbuat, sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam Qur’an Surah An Nisa ayat 110:

وَمَن يَعْمَلْ سُوٓءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُۥ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ ٱللَّهَ يَجِدِ ٱللَّهَ غَفُورًا رَّحِيمًا

“Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Demikian penjelasan singkat mengenai Syariat  yang berlaku bagi umat nabi terdahulu  yang terdapat dalam Al Quran. Wallahu a’lam.