Beranda blog Halaman 163

Tafsir Surah Asy-Syura Ayat 19-20

0
tafsir surah asy-syura
tafsir surah asy-syura

Tafsir Surah Asy-Syura Ayat 19-20 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai kasih sayang Allah kepada hambanya. Kedua mengenai pahala bagi orang-orang yang beramal saleh.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Asy-Syura Ayat 18


Ayat 19

Allah menerangkan bahwa Dia sendiri selalu berbuat baik kepada hamba-Nya. Dia memberi mereka hal-hal yang bermanfaat, menjauhkan mereka dari bencana yang mengancam, menganugerahkan rezeki kepada hamba-Nya yang mukmin dan yang kafir tanpa perbedaan di antara mereka.

Allah juga melapangkan dan menyempitkan rezeki kepada hamba-Nya yang dikehendaki-Nya sebagai ujian bagi orang kaya dalam sikapnya terhadap orang fakir dan ujian bagi orang fakir dalam hubungannya dengan orang kaya, agar hubungan antara seseorang dengan yang lain menjadi baik karena mereka saling membutuhkan. Allah berfirman:

اَهُمْ يَقْسِمُوْنَ رَحْمَتَ رَبِّكَۗ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَّعِيْشَتَهُمْ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۙ وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجٰتٍ لِّيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا ۗوَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُوْنَ   ٣٢

Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kamilah yang menentukan penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat memanfaatkan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. (az-Zukhruf/43: 32)

Selanjutnya dijelaskan bahwa Allah Mahakuasa dan Mahaperkasa, Dia berbuat menurut kehendak-Nya, tidak seorang pun yang dapat mencegah dan menghalangi apa yang Dia kehendaki.


Baca juga: Tafsir Ahkam: Kesunnahan Memotong Kumis


Ayat 20

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa barang siapa menghendaki pahala dengan amal dan usahanya, Allah akan memudahkan baginya untuk beramal saleh, kemudian Dia mengganjar amalnya itu, satu kebaikan dengan sepuluh kebaikan sampai berlipatganda menurut kehendak Allah.

Begitu pula sebaliknya, barang siapa mengharapkan dari amal usahanya kemewahan dunia dengan segala bentuknya dan tidak sedikit pun mengharapkan amalan dan pahala akhirat, maka Allah akan memberikan sebanyak apa yang telah ditentukan baginya, tetapi ia tidak akan memperoleh sedikit pun pahala akhirat karena amal itu sesuai dengan niatnya, dan bagi setiap orang balasan amalnya sesuai dengan niatnya, sebagaimana sabda Nabi saw:

ِﺇنَّمَا اْلاَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَي. (رواه البخاري ومسلم)

Bahwasanya amal itu menurut niatnya, dan bahwasanya bagi setiap orang mendapat balasan sesuai dengan apa yang diniatkannya. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Qatādah berkata, “Sesungguhnya Allah memberikan pahala kepada orang-orang yang amalnya diniatkan untuk akhirat selain untuk kesenangan dunia menurut kehendaknya. Allah tidak memberikan pahala di akhirat kepada orang yang beramal dengan niat memperoleh kenikmatan dunia saja.” Hal ini sejalan dengan firman Allah:

مَنْ كَانَ يُرِيْدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهٗ فِيْهَا مَا نَشَاۤءُ لِمَنْ نُّرِيْدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهٗ جَهَنَّمَۚ يَصْلٰىهَا مَذْمُوْمًا مَّدْحُوْرًا  ١٨  وَمَنْ اَرَادَ الْاٰخِرَةَ وَسَعٰى لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَاُولٰۤىِٕكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَّشْكُوْرًا  ١٩

Barang siapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di (dunia) ini apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki. Kemudian Kami sediakan baginya (di akhirat) neraka Jahanam; dia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.Dan barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh, sedangkan dia beriman, maka mereka itulah orang yang usahanya dibalas dengan baik. (al-Isra’/17: 18-19)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Asy-Syura Ayat 21-22


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Asy-Syura Ayat 18

0
tafsir surah asy-syura
tafsir surah asy-syura

Tafsir Surah Asy-Syura Ayat 18 berbicara mengenai perbedaan antara orang mukmin dan orang musyrik ketika dikabarkan mengenai adanya hari kiamat.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Asy-Syura Ayat 16-17


Ayat 18

Diriwayatkan bahwa pernah di dalam suatu kesempatan Nabi Muhammad saw menyebut-nyebut hari Kiamat dan pada waktu itu ada orang-orang musyrik. Mereka bertanya dengan nada mengejek dan mendustakan kedatangan hari Kiamat itu, “Kapankah hari Kiamat itu?” Maka turunlah ayat ini.

Riwayat di atas menceritakan bahwa orang-orang yang tidak percaya akan terjadinya hari Kiamat itu mengejek nabi dan ingkar kepadanya. Mereka menginginkan agar hari Kiamat itu segera datang untuk membuktikan siapakah yang benar, mereka atau Muhammad dan sahabatnya.

Berbeda halnya dengan orang-orang mukmin. Orang-orang mukmin merasa takut dan cemas akan kedatangan hari Kiamat. Mereka belum tahu bagaimana nasibnya pada hari itu nanti. Mereka harus mem-pertanggungjawabkan perbuatan mereka di dunia dan menerima balasan baik dan buruk dari perbuatan mereka. Sejalan dengan ayat ini Allah berfirman:

وَالَّذِيْنَ يُؤْتُوْنَ مَآ اٰتَوْا وَّقُلُوْبُهُمْ وَجِلَةٌ اَنَّهُمْ اِلٰى رَبِّهِمْ رٰجِعُوْنَ ۙ  ٦٠

Dan mereka yang memberikan apa yang mereka berikan (sedekah) dengan hati penuh rasa takut (karena mereka tahu) bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhannya. (al-Mu’minµn/23: 60)

Ayat ini ditutup dengan suatu ketegasan bahwa orang-orang yang membantah dan menolak akan adanya hari Kiamat adalah orang-orang yang sesat, salah jalan, dan jauh dari kebenaran.

Karena percaya pada hari Kiamat merupakan salah satu rukun iman, maka menafikan hari Kiamat berarti menafikan kebenaran Allah, sebab keadilan yang hak hanya diperoleh manusia pada hari Kiamat. Banyak sekali terjadi ketidakadilan di muka bumi ini, di mana lagi mereka yang terzalimi akan memperoleh hak-haknya kalau bukan di pengadilan Allah?

Orang yang menginginkan hari akhirat dalam arti mempercayainya dan bersiap-siap menghadapinya adalah orang-orang yang memiliki visi jauh ke depan, sedangkan orang-orang yang mengingkari hari Kiamat yang menganggap kehidupannya berakhir dengan kematiannya adalah orang-orang yang visi hidupnya sempit. Mereka tidak akan pernah merasakan kepuasan rohani, karena sibuk mengejar kenikmatan duniawi.

 Salah satu ciri yang membedakan antara ajaran agama dan pemikiran manusia yang pernah diterapkan manusia di dunia ini adalah adanya kepercayaan pada hari akhirat atau hari Kiamat, karena bisa dikatakan inti dari iman kepada Allah adalah iman kepada hari akhirat, tempat dan waktu di mana manusia harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya di dunia.


Baca juga: Mengenal 5 Prinsip Pendekatan Tafsir Ma’na Cum Maghza


Berita tentang hari Kiamat dan dibangkitkannya kembali orang-orang yang sudah mati itu pasti menjadi kenyataan.

Allah pencipta langit dan bumi, Dia mampu dan kuasa pula menghancurkannya serta menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, sebagaimana firman Allah:

وَهُوَ الَّذِيْ يَبْدَؤُا الْخَلْقَ ثُمَّ يُعِيْدُهٗ وَهُوَ اَهْوَنُ عَلَيْهِ

Dan Dialah yang memulai penciptaan, kemudian mengulanginya kembali, dan itu lebih mudah bagi-Nya. (ar-Rum/30: 27)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Asy-Syura Ayat 19-20


(Tafsir Kemenag)

Rahasia Sapi Di Balik Penamaan Surah Al-Baqarah

0
sapi di balik penamaan surah Al-Baqarah
sapi di balik penamaan surah Al-Baqarah

Hewan menjadi salah satu tanda yang dipilih oleh Al-Quran ketika menyampaikan pesan-pesannya. Dalam David Burnie (ed), Ensiklopedia Dunia Hewan, hewan juga disebut hewan atau fauna adalah makhluk hidup paling beragam di planet. Namun, tidak semua hewan ditunjuk oleh Al-Quran, hanya beberapa saja.

Terhitung ada sekitar dua puluh empat nama hewan menghiasi ayat-ayat Al-Quran, mulai dari hewan yang hidup di darat, laut dan amfibi; hewan buas, jinak; vertebrata dan invertebrata; dan yang lainnya. Hewan yang dimaksud yaitu: keledai, singa, gajah, ikan, kuda, bigal, anjing, unta, kambing, sapi, burung, belalang, kutu, katak, rayap, lebah, semut, laba-laba, ular, serigala, babi, kera, nyamuk dan lalat. (Dani Hidayat, Hewan dalam al-Qur’an (Kajian Tafsir Maudhu’iy)).

Dani Hidayat dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa Al-Quran tidak saja menyebutkan nama hewan tanpa memberitahu manfaatnya. Selain itu, penyebutan hewan dalam Al-Quran juga memberikan isyarat bagi manusia bahwa hewan itu juga penting bagi manusia, dengan begitu manusia tidak memperlakukan hewan sesukanya, manusia senantiasa menyayangi hewan, dan dalam ilmu pengetahuan, hewan juga telah banyak menginspirasi ilmuwan sehingga tidak jarang ada penemuan-penemuan modern yang berawal dari arsitektur tubuhnya atau bagian hewan yang lainnya.

Beberapa hewan tersebut ada yang istimewa, sehingga Al-Quran mengambilnya sebagai nama surah dalam Al-Quran. Sebut saja sapi, hewan yang menjadi nama dari surah Al-Baqarah. Kira-kira apa yang melatarbelakangi pemilihan hewan sapi dalam penamaan surah Al-Baqarah?

Baca Juga: Mengenal Surah Al-Baqarah (Bag. 1): Karakteristik dan Nama Lainnya

Cerita sapi di balik penamaan surah Al-Baqarah

Dalam Ensiklopedia Dunia Hewan dikatakan bahwa sapi merupakan salah satu hewan pemamah biak, spesies yang membentuk famili ini disebut juga dengan Bovida. Anggotanya mencakup sapi liar dan peliharaan. Ciri-cirinya yaitu kaki panjang ramping, bertanduk tapi tidak bercabang seperti rusa. Sapi memiliki arti penting dalam perekonomian manusia, sehingga ia merupakan hewan yang paling banyak diternakkan.

Sapi dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 18 kali. Sembilan kali disebutkan dengan menggunakan kata baqar yang terdapat dalam QS. al-An’am [6]: 144 dan 146; QS. Yusuf [12]: 43 dan 46; QS. al-Baqarah [2]: 67-71. Dan sembilan kali disebutkan dengan menggunakan kata ‘ijl, lebih tepatnya yaitu anak sapi, terdapat pada QS. al-A’raf [7]: 148 dan 152; QS. Taha [20]: 88; QS. Hud [11]: 69; QS. al-Baqarah [2]: 51, 54, 92, dan 93; QS. al-Nisa’ [4]: 153.

Dari beberapa ayat tersebut, penyebutan sapi dalam rangka menginformasikan banyak hal, antara lain: sapi itu termasuk hewan yang halal dimakan, sapi yang ada dalam mimpi Nabi Yusuf, sapi yang diperintahkan pada kaum Nabi Musa untuk disembelih, kasus patung anak sapi yang disembah oleh kaum Nabi Musa dan kisah daging anak sapi yang dijadikan suguhan pada tamunya oleh Nabi Ibrahim.

Al-Razi, seorang mufassir yang terkenal dengan model tafsirnya yang dialogis memahami semua kata sapi yang ada dalam ayat-ayat di atas dengan makna denotatif, yaitu sapi dengan makna yang sebenarnya, sapi sebagai hewan. begitu juga dengan tafsir al-Tabari. Meskipun demikian, tampak sebuah isyarat yang tidak biasa ditunjukkan oleh al-Qur’an tentang sapi melalui ayat-ayat di atas.

Kelompok ayat yang menggunakan redaksi baqar mengarah pada petunjuk tentang manfaat sapi bagi manusia, mulai dari hewan yang dapat dimakan, hewan yang dapat disembelih untuk memberikan solusi sebuah kasus (dalam cerita ini adalah pembunuhan) dan hewan yang dijadikan isyarat akan sebuah kejadian besar.

Baca Juga: Mengenal Penamaan Surat dalam Al-Quran, Begini Penjelasannya

Lantas, kenapa hewan yang dipilih untuk menyampaikan pesan dalam ayat ini adalah sapi? Az-Zarkasyi dalam Al-Burhan fi Ulumil Quran lebih menyoroti kasus yang berakhir dengan perintah penyembelihan sapi dalam penamaan surah Al-Baqarah. Menurutnya, oleh karena kisah tentang perintah penyembelihan sapi ini memiliki hikmah atau pelajaran yang sangat tinggi nilainya, maka kemudian nama surah yang memuat cerita ini diambil dari ‘tanda’ utamanya yaitu al-baqarah.

Beberapa hikmah tersebut antara lain adalah dari sisi teologis dan dari sisi ekonomis. Dalam tafsir surah Al-Quran yang lain, yaitu surah al-An’am [6]: 144, Tafsir Al-Qurtubi menyampaikan bahwa–khususnya- pada kaum Yahudi, tepatnya Malik bin Auf dan para pengikutnya bahwa sapi itu halal, karena mereka sebelumnya telah mengharamkannya.

Pengharaman sapi oleh kaum Yahudi ini dimungkinkan pada masa itu sapi atau anak sapi dianggap sebagai hewan yang mulia dan menjadi sesembahan mereka, sebagaimana dinyatakan dalam ayat-ayat yang menyebut ‘ijl. Dalam rangka memberi jawaban kepada mereka, maka Allah memberitahu melalui ayat-ayatNya yang lain bahwa sapi itu boleh disembelih untuk dimakan (al-An’am [6]: 144 dan 146;  QS. Hud [11]: 69) maupun tidak untuk dimakan, asal tetap dimanfaatkan dengan baik (QS. al-Baqarah [2]: 67-71).

Selain itu, pada ayat-ayat Al-Quran yang menyebut sapi juga diisyaratkan tentang manfaat ekonomisnya. sapi menyimpan potensi yang sangat besar dalam membantu perekonomian manusia asal dimanfaatkan dengan benar sesuai dengan tuntunan Islam.

Tidak ada satu kata bahkan satu huruf pun yang tidak mempunyai makna dalam Al-Quran, termasuk dalam penyebutan nama-nama hewan dan pemilihannya sebagai nama surah dalam Al-Quran. Semua itu karena bahasa Al-Quran mempunyai nilai dan makna yang misterius. Wallahu a’lam

Tafsir Surah Asy-Syura Ayat 16-17

0
tafsir surah asy-syura
tafsir surah asy-syura

Tafsir Surah Asy-Syura Ayat 16-17 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai usaha keras orang-orang yang ingkar yang mengalami jalan buntu. Kedua mengenai kebenaran kitab-kitab yang telah diturunkan kepada para rasul.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Asy-Syura Ayat 15


Ayat 16

Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa orang-orang yang masih membantah kebenaran agama Allah, sekalipun agama itu telah diterima baik oleh masyarakat, akan sia-sia usaha dan bantahan mereka.

Mereka itu dimurkai Allah karena keberanian mereka mengingkari kebenaran agama Islam, mereka akan diazab di hari kemudian karena keangkuhan mereka meninggalkan agama yang hak yang dapat dibuktikan kebenarannya.

Diriwayatkan bahwa orang-orang Yahudi berkata kepada orang-orang mukmin, “Wahai orang-orang mukmin! Kamu sekalian telah mengatakan bahwa mengambil dan menerima yang sudah disepakati, lebih baik daripada mengambil dan menerima yang sudah diperselisihkan.

Kenabian Musa dan kitab Taurat-nya telah diterima dan disepakati kebenarannya sedangkan kenabian Muhammad masih diperselisihkan dan dipersengketakan. Jadi agama Yahudilah yang pantas dan layak diambil dan diterima.”

Untuk melumpuhkan alasan mereka itu, Allah mengemukakan hujjah bahwa kewajiban beriman dan mempercayai kebenaran Musa adalah karena adanya mukjizat yang diberikan Allah kepadanya yang menunjukkan dan membuktikan kebenarannya.

Beberapa mukjizat yang diberikan kepada Nabi Muhammad saw bisa disaksikan sendiri oleh orang-orang Yahudi. Maka wajiblah atas kita semua mengakui dan mempercayai kenabian Muhammad saw itu.


Baca juga: Arti Lafaz Insya Allah dan Pemaknaannya dalam Al-Quran


Ayat 17

Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa Dia telah menurunkan kitab-kitab-Nya kepada para nabi-Nya, yang memuat kebenaran yang tak diragukan, jauh dari kebatilan, dan semuanya mengandung kebaikan.

Dia memberikan perintah untuk berbuat adil dan menjadi acuan menentukan hukuman dalam mengadili orang-orang yang dituduh bersalah dan menghukum mereka dengan hukuman yang telah ditetapkan di dalam Kitab-Nya. Firman Allah:

لَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنٰتِ وَاَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتٰبَ وَالْمِيْزَانَ لِيَقُوْمَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ

Sungguh, Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang nyata dan Kami turunkan bersama mereka kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat berlaku adil. (al-Hadid/57: 25)

Penutup ayat ini mendorong kita berbuat baik dan adil untuk kebahagiaan ukhrawi dan menjauhi godaan duniawi.

Karena tidak diketahui kapan dunia ini kiamat, tentunya kita harus patuh dan taat mengikuti petunjuk Al-Qur’an, selalu berbuat adil di antara sesama manusia, mengamalkan apa-apa yang diperintahkan, selalu waspada terhadap kemungkinan panggilan Allah yang datang dengan tiba-tiba, dan tidak ada lagi kesempatan untuk berbuat baik.

Jika hal itu terjadi, merugilah dia, dan di hari Kiamat nanti dia akan menyesal karena menyia-nyiakan kesempatan yang ada untuk beramal baik. Sabda Nabi saw:

;قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ أَحَدٍ يَمُوْتُ اِلاََّ نَدِمَ قَالُوْا وَمَا نَدَا مَتُهُ يَارَسُوْلَ اللهِ قَالَ اِنْ كَانَ مُحْسِنًا نَدِمَ أَنْ لاَ يَكُوْنَ ازْدَادَ وَاِنْ كَانَ مُسِيْئاً نَدِمَ أَنْ لاَ يَكُوْنَ نَزَعَ. (رواه الترمذي)

Rasulullah saw bersabda,“Tidak seorang pun yang meninggal dunia melainkan ia menyesal.”Para sahabat bertanya, “Apakah penyesalan mereka wahai Rasulullah?” Nabi menjawab,”Jika ia seorang yang berbuat baik maka ia menyesal karena kebaikannya tidak bertambah lagi. Jika ia seorang yang tidak baik maka ia menyesal karena tidak sempat melepaskan dirinya dari kejahatan itu.” (Riwayat at-Tirmizi)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Asy-Syura Ayat 18


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Asy-Syura Ayat 15

0
tafsir surah asy-syura
tafsir surah asy-syura

Tafsir Surah Asy-Syura Ayat 15 berbicara mengenai perintah kepada Nabi Muhammad SAW untuk menyeru kepada kaumnya agar mereka tidak terpecah-pecah seperti kaum Ahli Kitab.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Asy-Syura Ayat 14


Ayat 15

Pada ayat ini Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw agar menyeru kaumnya untuk tidak berpecah-belah seperti Ahli Kitab, agar bersatu memeluk agama tauhid yang telah dirintis oleh para nabi, yaitu agama Islam yang dibawanya dan agar beliau tetap tabah menghadapi mereka, dan tidak sekali-kali terpengaruh oleh keraguan mereka terhadap agama yang benar yang telah disyariatkan kepadanya.

Ia harus selalu menandaskan pendiriannya bahwa dia tetap percaya kepada semua yang telah diturunkan Allah dari langit seperti Kitab Taurat, Injil dan Zabur, dan tidak didustakannya sedikit pun.

Nabi Muhammad juga diperintahkan berlaku adil di antara mereka di dalam menetapkan hukum dan sebagainya, dengan tidak akan mengurangi dan menambah apa yang telah disyariatkan Allah kepadanya, serta akan menyampaikan apa yang telah diperintahkan kepadanya untuk disampaikan.

Ayat ini juga menjelaskan bahwa Allah adalah Tuhan kamu dan Tuhan kami sekalian. Dia-lah satu-satunya yang wajib disembah, yang wajib dipercaya dengan penuh pengertian. Tiada Tuhan selain Allah.

Bagi kami amalan kami, baik buruknya adalah tanggung jawab kami, diberi pahala atau diazab, dan bagi kamu sekalian amalan kamu. Kami tidak akan berbahagia karena amal baikmu dan tidak akan celaka karena amalan burukmu. Masing-masing bertanggung jawab atas amal perbuatannya. Sejalan dengan ayat ini Allah berfirman:

وَاِنْ كَذَّبُوْكَ فَقُلْ لِّيْ عَمَلِيْ وَلَكُمْ عَمَلُكُمْۚ اَنْتُمْ بَرِيْۤـُٔوْنَ مِمَّآ اَعْمَلُ وَاَنَا۠ بَرِيْۤءٌ مِّمَّا تَعْمَلُوْنَ   ٤١

Dan jika mereka (tetap) mendustakanmu (Muhammad), maka katakanlah, “Bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. Kamu tidak bertanggung jawab terhadap apa yang aku kerjakan dan aku pun tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Yµnus/10: 41)

Dengan demikian tidak boleh lagi ada pertengkaran di antara kaum Muslimin dan orang-orang musyrik, yang hak dan yang benar telah nyata. Barang siapa yang masih saja membangkang dan tidak mau percaya berarti dia ingkar.


Baca juga: Arti Lafaz Insya Allah dan Pemaknaannya dalam Al-Quran


Pada waktunya nanti akan jelas dan tampak siapa yang benar di antara pemeluk agama, karena Allah akan mengumpulkan seluruh manusia nanti di hari kemudian, dan di sanalah Dia akan menjatuhkan keputusan yang seadil-adilnya atas apa yang dipersengketakan, sebagaimana firman Allah:

قُلْ يَجْمَعُ بَيْنَنَا رَبُّنَا ثُمَّ يَفْتَحُ بَيْنَنَا بِالْحَقِّۗ وَهُوَ الْفَتَّاحُ الْعَلِيْمُ   ٢٦

Katakanlah, “Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara kita dengan benar. Dan Dia Yang Maha Pemberi keputusan, Maha Mengetahui.” (Saba’/34: 26)

Kepada-Nyalah semua manusia akan kembali sesudah mati dan mempertanggungjawabkan semua perbuatan di dunia. Semua manusia akan menerima balasan sesuai dengan perbuatan masing-masing, sebagaimana firman Allah:

فَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَّرَهٗۚ  ٧  وَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَّرَهٗ ࣖ  ٨

Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya, dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. (az-Zalzalah/99: 7-8)

Wahbah Zuhaili dalam tafsirnya al-Munir menyimpulkan sepuluh perintah Allah dan larangan-Nya bukan hanya bagi Rasulullah, tetapi juga bagi seluruh umat Islam. Sepuluh perintah dan larangan tersebut adalah:

  1. Perintah kepada Nabi untuk terus berdakwah menyampaikan risalah-Nya.
  2. Istiqamah dalam penyampaiannya.
  3. Larangan bagi rasul untuk mengikuti keinginan orang-orang musyrik Mekah atau Ahli Kitab mengikuti ibadah mereka.
  4. Perintah untuk beriman dan menyatakan iman kepada kitab-kitab samawi yang diturunkan Allah.
  5. Perintah untuk berlaku adil di antara muhajirin dan ketika menghadapi perselisihan yang terjadi di antara mereka.
  6. Perintah berikrar bahwa hanya Allah yang pantas disembah, tidak ada Tuhan selain-Nya.
  7. Perintah untuk menyatakan kepada Ahli Kitab bahwa masing-masing bertanggung jawab terhadap amal perbuatannya dan balasan baik dan buruk dari amalan tersebut.
  8. Perintah untuk menyatakan bahwa tidak ada permusuhan di antara nabi dan Ahli Kitab, karena kebenaran Allah tampak dengan jelas.
  9. Perintah untuk menyatakan bahwa Allah kelak akan mengumpulkan umat Islam dan Ahli Kitab di Padang Masyhar untuk menghadapi pengadilan Allah.
  10. Hanya kepada Allah semua makhluk akan kembali

Baca setelahnya: Tafsir Surah Asy-Syura Ayat 16-17


(Tafsir Kemenag).

Tafsir Surah Asy-Syura Ayat 14

0
tafsir surah asy-syura
tafsir surah asy-syura

Tafsir Surah Asy-Syura Ayat 14 berbicara mengenai perpecaha yang terjadi dalam golongan umat Yahudi sendiri.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Asy-Syura Ayat 12-13


Ayat 14

Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa Ahli Kitab baik Yahudi maupun Nasrani sesudah mengetahui kebenaran rasul-rasul yang diutus kepada mereka, lalu berpecah-belah menjadi beberapa golongan, sebagaimana digambarkan Allah dalam firman-Nya:

اِنَّ الَّذِيْنَ فَرَّقُوْا دِيْنَهُمْ وَكَانُوْا شِيَعًا لَّسْتَ مِنْهُمْ فِيْ شَيْءٍ

Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka menjadi (terpecah) dalam golongan-golongan, sedikit pun bukan tanggung jawabmu (Muhammad) atas mereka. (al-An’am/6: 159)

Mereka melakukan yang demikian itu karena kedengkian dan kebencian antara mereka sehingga timbullah pertentangan antarsekte di kalangan mereka yang sukar untuk diatasi dan diselesaikan.

Mereka saling menuduh, orang-orang Yahudi meyakini kebenaran pendirian dan pegangan mereka, sedangkan orang Nasrani meyakini bahwa orang Yahudi itu tidak mempunyai pendirian dan pegangan. Begitu pula sebaliknya, orang-orang Yahudi menganggap bahwa orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai pendirian, sebagaimana firman Allah:

وَقَالَتِ الْيَهُوْدُ لَيْسَتِ النَّصٰرٰى عَلٰى شَيْءٍۖ وَّقَالَتِ النَّصٰرٰى لَيْسَتِ الْيَهُوْدُ عَلٰى شَيْءٍ

Dan orang Yahudi berkata, “Orang Nasrani itu tidak memiliki sesuatu (pegangan),” dan orang-orang Nasrani (juga) berkata, “Orang-orang Yahudi tidak memiliki sesuatu (pegangan),” (al-Baqarah/2: 113)

Sekiranya belum ada ketentuan lebih dahulu dari Allah mengenai ditangguhkannya pembalasan dan siksa bagi orang-orang yang menentang dan menyalahi perintah Allah itu sampai kepada waktu yang telah ditentukan-Nya (hari Kiamat), niscaya mereka telah dibinasakan di dunia ini dan tidak perlu lagi ditunda sampai di akhirat nanti.


Baca juga: Kontekstualisasi Penggunaan Term Tijarah (Perniagaan) dalam Al-Qur’an


Perpecahan di antara umat manusia berlaku umum, bukan hanya terjadi pada Ahli Kitab saja, tetapi juga ada di kalangan Muslimin sendiri. Kalau perpecahan dalam bidang akidah banyak dialami Ahli Kitab, kelompok Islam banyak mengalami perselisihan dalam bidang fiqh, muamalat, dan pernikahan, yang menyebabkan perpecahan di kalangan umat Islam.

Perintah untuk bersatu harus benar-benar disadari oleh umat Islam, karena dampak buruk perpecahan ini adalah lemahnya persatuan dan kesatuan umat sehingga posisi tawar kita dalam berbagai posisi dan bidang menjadi lemah.

Ayat 14 ini ditutup dengan satu penegasan bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani yang mewarisi Kitab Taurat dan Injil dari nenek moyang mereka, yang pada masa Rasulullah saw menyaksikan dakwah Islami, mereka itu menjadi ragu tentang kebenaran Kitab mereka dan benar-benar mengguncangkan kepercayaan mereka.

Hal ini tidak mengherankan karena di samping kepercayaan mereka kepada Kitab Samawi memang tidak mendalam, mereka memeluk agama hanya karena ikut-ikutan kepada nenek moyang mereka.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Asy-Syura Ayat 15


(Tafsir Kemenag)

Mengenal Qiyas Sebagai Sumber Hukum Islam Perspektif Al Quran

0
Mengenal Qiyas sebagai sumber hukum Islam
Mengenal Qiyas sebagai sumber hukum Islam

Secara Etimologi  qiyas diartikan sebagai ukuran atau al-taqdir, seperti apabila dikatakan “qistu al tsauba  bi al-dzira” yang bermakna  aku mengukur kain dengan ukuran hasta.  Adapun secara terminologi qiyas berarti mempertemukan sesuatu yang tidak ada  dalil hukumnya dengan perkara  lain yang ada dalil hukumnya karena ada persamaan llat hukum. (Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, terj. Saefullah Ma’shum 336-337)

Qiyas sendiri menurut mazhab Syafi’i menempati posisi ke empat sebagai sumber hukum Islam setelah Al-Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’. Imam Syafi‟i sendiri adalah pelopor mujtahid yang menggunakan qiyas sebagai satu-satunya jalan untuk menggali hukum, beliau  mengatakan bahwa yang dimaksudkan ijtihad adalah qiyas. Beliau menambahi  bahwa “ijtihad” dan “qiyas” merupakan dua kata yang memiliki makna yang sama. (Muhammad bin Idris al-Syafi’I, Al-Risalah, hal. 477)

Tak jauh beda dengan pendapat di atas Al-Thanthawi juga  mengartikan qiyas sebagai upaya mengarahkan persoalan yang tidak ada hukumnya dalam nas Al-Qur’an dan tidak pula dalam al-Sunnah kepada perkara yang telah ada persoalan hukumnya, karena keduanya tergabung dalam satu illat (sebab adanya) hukum. (Mahmud Muhammad al-Thanthawi, Ushul Fiqh Al islami, hal. 221)

Baca Juga: Mengenal Ijma’ Sebagai Sumber Hukum Islam Perspektif Para Mufasir

Dasar Hukum Keabsahan Qiyas

Dasar hukum qiyas sebagai  salah satu sumber hukum Islam terdapat dalam  Al Qur’an, Surah an-Nisa 59:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Dari penjelasan Ayat di atas  kiranya dapat menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan “kembali kepada Allah dan Rasul” (dalam masalah khilafiah), tiada lain adalah perintah supaya menyelidiki tanda-tanda kecenderungan apa sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dapat diperoleh melalui pencarian llat hukum yang merupakan tahapan dalam melakukan qiyas. (Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, terj. Saefullah Ma’shum, hal. 341)

Baca Juga: Mengenal Hukum Wadh’i dan Contohnya dalam Al-Qur’an

Rukun Qiyas

Berdasarkan dua definisi diatas tampak bahwa qiyas itu bisa dilakukan apabila memenuhi beberapa rukun ( Abdul Wahab Khallaf Ilmu Ushul Fiqih 60)

  1. Al Ashlu (pokok) yaitu perkara yang telah jelas hukumnya melalui nas (Alqur’an dan As Sunnah)
  2. Al Far’u (cabang) yaitu perkara yang hendak dicari hukumnya melalui qiyas
  3. Al Hukmu as Syar’i, yaitu sesuatu yang akan ditetapkan pada al far’u (cabang)
  4. Al illat al musytarakah baina al-ashli wa al far’i yakni alasan yang sama dan terdapat dalam asal dan cabang dan ia merupakan perkara yang karenanya cabang mengambil hukum asal.

Contoh Qiyas

Apabila kita cermati dalam Al Quran terdapat beberapa ayat yang bisa dijadikan bahan untuk memutuskan hukum melalui metode qiyas salah satunya terdapat dalam Al Qur’an Surah al-Maidah ayat 90-91:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّمَا ٱلْخَمْرُ وَٱلْمَيْسِرُ وَٱلْأَنصَابُ وَٱلْأَزْلَٰمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ ٱلشَّيْطَٰنِ فَٱجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.

إِنَّمَا يُرِيدُ ٱلشَّيْطَٰنُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ ٱلْعَدَٰوَةَ وَٱلْبَغْضَآءَ فِى ٱلْخَمْرِ وَٱلْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ ٱللَّهِ وَعَنِ ٱلصَّلَوٰةِ ۖ فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُونَ

Artinya: Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).

Wahbah Zuhaili menafsirkan Surah Al-Maidah ayat 90 sebagai berikut: Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman yang memabukkan, berbagai jenis perjudian, berhala yang dipahat untuk disembah, dan mengundi nasib dengan anak panah (tongkat untuk perjudian) adalah najis dan keburukan yang kotor seperti bangkai. khamr, perbuatan kotor seperti perjudian, dan perbuatan lain yang disebutkan setelahnya di ayat ini, maka tinggalkanlah dan jauhilah sejauh-jauhnya. Hal ini menunjukkan suatu pengharaman dan menakut-nakuti agar tidak melakukannya, seperti perintah Al-Qur’an untuk menjauhi kesyirikan, menyembah berhala, dan bersaksi palsu, supaya kalian bisa memenangkan kebahagiaan dan ketenangan di dunia, dan memenangkan surga beserta kenikmatannya di akhirat. Ayat ini turun karena Sa’d bin Abi Waqash yang meminum khamr sebelum adanya pengharaman khamr, dan bertengkar dengan seorang laki-laki karena keduanya minum (khamr), atau karena ucapannya: “Orang-orang Muhajirin lebih baik daripada orang Anshar,” lalu temannya memukulnya menggunakan kulit kepala unta dan menyakiti hidungnya, kemudian turunlah ayat ini untuk keduanya (Tafsir Al wajiz, hal. 124)

Baca Juga: Mengenal Lima Hukum Taklifi dan Contohnya dalam Al-Quran

Dalam ayat diatas Allah Ta’ala memberikan illat (sebab) meminum khamar adalah memabukkan (al iskar) yang dapat menyebabkan berbagai macam keburukan.

Dari contoh diatas dapat dijabarkan sebagai berikut:

  1. Khamar disebut sebagai al ashlu (pokok)
  2. Minuman, atau suatu yang dapat memabukkan yang dampaknya sama dengan khamar dinamakan sebagai far’u (cabang)
  3. Mabuk (iskar) yang mengakibatkan keburukan ( permusuhan, perselisihan dan hal buruk lain) disebut sebagai illat
  4. Pengharaman khamar dalam ayat diatas disebut hukum asal
  5. Pengharaman minuman, atau suatu yang dapat memabukkan yang dampaknya sama dengan khamar merupakan hukum tsabit yang diperoleh melalui qiyas (Mahmud Muhammad al Thanthawi, Ushul Fiqh Al islami 222)

Demikian penjelasan singkat mengenai keabsahan qiyas  sebagai sumber hukum beserta contoh qiyas yang terdapat dalam Al Quran . Wallahu a’lam

Tafsir Surah Asy-Syura Ayat 12-13

0
tafsir surah asy-syura
tafsir surah asy-syura

Tafsir Surah Asy-Syura Ayat 12-13 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai kekuasaan Allah SWT. Kedua berbicara mengenai syariat yang diturunkan kepada manusia.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Asy-Syura Ayat 11


Ayat 12

Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa Dia-lah yang memiliki perbendaharaan langit dan bumi. Baik buruknya sesuatu ada di tangan Dia. Siapa saja yang dianugerahi rahmat, tidak ada seorang pun yang dapat menghalangi-Nya.

Sebaliknya, siapa yang tidak diberi rahmat, tidak seorang pun yang dapat mendatangkan kepadanya. Dialah yang melapangkan rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Dia pula yang membatasi rezeki kepada yang dikehendaki-Nya. Semua itu terjadi sesuai dengan kebijaksanaan-Nya berdasarkan kekuasaan-Nya yang luas dan ilmu-Nya yang meliputi segala sesuatu.

Agama Islam memerintahkan kepada para pemeluknya agar bekerja dan berusaha mencari nafkah untuk kehidupannya di dunia. Adapun hasilnya sesuai dengan kebijaksanaan Allah, ada yang berhasil memperoleh harta yang banyak sebagai ujian, tetapi ada yang memperoleh rezeki hanya sedikit sebagai cobaan bagi hidupnya. Abu Bakar al-Jazairi dalam kitab Tafsirnya Aisar at-Tafasir menyatakan:

اللهُ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ اِمْتِحَانًا وَيُضِيْقُ اِبْتِلاَءً

Allah meluaskan rezeki bagi siapa saja sebagai ujian, dan menyempitkannya sebagai cobaan.;


Baca juga: Mengenal 5 Prinsip Pendekatan Tafsir Ma’na Cum Maghza


Ayat 13

Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa Dia telah mensyariatkan agama kepada Muhammad saw dan kaumnya sebagaimana Dia telah mewasiatkan pula kepada Nuh dan nabi-nabi yang datang sesudahnya yaitu Ibrahim, Musa dan Isa.

Syariat yang diwasiatkan kepada Nabi Muhammad saw dan nabi-nabi sebelumnya memiliki kesamaan dalam pokok-pokok akidah seperti keimanan kepada Allah swt, risalah kenabian dan keyakinan adanya hari pembalasan atau hari Kiamat.

Sedangkan landasan agama yang menjadi misi utama para rasul tersebut adalah beribadah kepada Allah swt dan tidak menyekutukan-Nya. Allah berfirman:

وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا نُوْحِيْٓ اِلَيْهِ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّآ اَنَا۠ فَاعْبُدُوْنِ   ٢٥

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku. (al-Anbiya’/21: 25)

Sedangkan perbedaan yang tidak mendasar di antara risalah para nabi adalah dalam bidang syariat yang bersifat furµ‘iyyah. Beberapa bentuk ibadah dan rinciannya sesuai dengan perkembangan masa, kebutuhan, dan kemaslahatan umat manusia. Allah berfirman:

لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَّمِنْهَاجًا

Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. (al-Ma’idah/5: 48)

Hadis Nabi yang diriwayatkan Abµ Hurairah berbunyi:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا أَوْلَى النَّاسِ بِعِيْسَى ابْنِ مَرْيَمَ فِي اْلأُوْلَى وَاْلاۤخِرَةِ قَالُوا كَيْفَ يَارَسُوْلَ اللهِ قَالَ اْلأَنْبِيَاءُ إِخْوَةٌ مِنْ عَلاَّتٍ وَاُمَّهَاتُهُمْ شَتَّى وَدِينُهُمْ وَاحِدٌ فَلَيْسَ بَيْنَنَا نَبِيٌّ. (رواه أحمد ومسلم)

Rasulullah saw bersabda, “Aku adalah manusia yang lebih utama daripada Isa bin Maryam di dunia dan akhirat.” Para sahabat bertanya, “Mengapa wahai Rasulullah?”Nabi menjawab, “Para Nabi merupakan bersaudara dari berbagai keturunan. Ibu mereka banyak, namun agama mereka hanya satu. Dan tidak ada antara kami (Nabi Muhammad dan Isa) seorang nabi pun.” (Riwayat Ahmad dan Muslim)

Allah hanya menyebut nama-nama nabi tersebut di atas karena posisi mereka yang lebih tinggi dibandingkan dengan nabi-nabi lain yang tidak disebutkan, mempunyai tanggung jawab yang besar dan berat, dan karena ketabahan mereka menghadapi cobaan dan kesulitan-kesulitan yang ditimbulkan oleh kaum mereka sehingga mereka itu mendapat julukan Ulul-Azmi dari Allah.

Dengan disebutkan nama Musa dan Isa diharapkan orang-orang Yahudi dan Nasrani bisa sadar dan tertarik kepada agama yang dibawa oleh Muhammad saw, agama Samawi yang banyak persamaannya dengan agama mereka, yang tertera jelas di dalam Kitab Taurat dan Injil terutama mengenai tauhid, salat, zakat, puasa, haji dan akhlak yang baik seperti menepati janji, jujur, menghubungkan silaturahim, dan lain-lain.

Allah memerintahkan agar agama Islam yang dibawa Muhammad saw itu dipelihara dan ditegakkan sepenuhnya; pengikutnya dilarang berselisih sesamanya yang dapat mengakibatkan perpecahan dan merusak persatuan. Firman Allah:

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَ اَخَوَيْكُمْ  وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ ࣖ   ١٠

Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat. (al-Hujurat/49: 10)

Dan firman-Nya:

وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللّٰهِ جَمِيْعًا وَّلَا تَفَرَّقُوْا

Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai. (Āli Imran/3: 103)

Tampaknya berat bagi orang-orang musyrik untuk memeluk agama tauhid yaitu agama Islam yang dibawa oleh Muhammad saw dan melepaskan agama syirik dan menyembah berhala mereka yang telah diwarisi turun-temurun dari nenek moyang mereka; kekuatan mereka telah diabadikan di dalam Al-Qur’an.

اِنَّا وَجَدْنَآ اٰبَاۤءَنَا عَلٰٓى اُمَّةٍ وَّاِنَّا عَلٰٓى اٰثٰرِهِمْ مُّهْتَدُوْنَ   ٢٢

Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu agama, dan kami mendapat petunjuk untuk mengikuti jejak mereka. (az-Zukhruf/43: 22)

Memang tidak semua orang dapat memenuhi seruan untuk memeluk agama Islam yang dibawa Muhammad saw itu, tetapi Allah menentukan hamba-Nya yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada mereka sehingga mereka memeluk agama Islam.


Baca setelahnya:  Tafsir Surah Asy-Syura Ayat 14


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Ali Imran Ayat 7 dan Kisah Ali Baba dan Qasim

0
tafsir surah Ali Imran ayat 7 dan kisah Ali Baba dan Qasim
tafsir surah Ali Imran ayat 7 dan kisah Ali Baba dan Qasim

Keterkaitan  tafsir surah Ali Imran ayat 7 dengan salah satu kisah dalam Kisah Seribu Satu Malam, yaitu Ali Baba dan Qasim bisa kita dapati ketika membincang tentang motif dan tujuan seseorang dalam menafsirkan Al-Quran. Memang benar bahwa tidak ada kutipan ayat Al-Quran sama sekali dalam kisah Ali Baba dan Qasim, terleih lagi penafsirannya, namun ketika kisah ini dijadikan sebagai analogi dalam menyinggung motif dan tujuan seseorang dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran, maka hubungan keduanya akan sangat dekat sekali, sebagaimana pernah disinggung oleh Nadirsyah Hosen dalam tulisannya di buku #HIDUPKADANGBEGITU.

Baca Juga: Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 7 – 10

Surah Ali Imran ayat 7: di antara motif dan tujuan seseorang menafsirkan Al-Quran

Berikut bunyi surah Ali Imran ayat 7 dan terjemahannya,

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ

“Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab (Al-Qur’an) dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, “Kami beriman kepadanya (Al-Qur’an), semuanya dari sisi Tuhan kami.” Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal.​”

Di kalangan para pengkaji Al-Quran, sebut saja As-Suyuthi dalam Al-Itqan fi Ulum Al-Quran hal. 425 menjadikan ayat ini sebagai legitimasi klasifikasi model ayat Al-Quran. Berdasar pada bagian awal ayat ini, disimpukan bahwa ayat Al-Quran itu terbagi menjadi dua model, ayat muhkamat dan ayat mutasyabihat. Sederhananya, dua model ini didefinisikan dengan ayat-ayat yang mudah dipahami dari redaksinya (pengertian untuk ayat-ayat muhkam) dan ayat-ayat yang sulit dipahami dengan hanya melihat redaksinya saja (pengertian untuk ayat-ayat mutasyabih).

Meski demikian, untuk pengertian dari dua model ayat Al-Quran di atas, para pengkaji Al-Quran berbdeda-beda dalam memberikan indikator muhkam dan mutasyabih-nya, tidak hanya melihat dari akses mudah dan sulit-nya memahami ayat Al-Quran.

Satu lagi informasi dari ayat 7 surah Ali Imran ini yaitu tentang motif dan tujuan seseorang mengkaji Al-Quran. Informasi ini tepatnya pada bagian tengah ayat, fa amma alladzin fi qulubihim zaighun……………….hingga kata ta’wilih. At-Thabari dalam tafsirnya menukil beberapa riwayat tentang makna zaighun yang semuanya memaknai zaighun dengan kecondongan yang jauh dari kebenaran (al-mailu ‘an al-haq). Ibnu Athiyah yang juga mufasir klasik tidak berbeda dalam mengartikan kata zaighun, hanya saja ia lebih memperjelas maksud dari alladzina zaighun dalam ayat ini, yaitu setiap kelompok yang kafir, zindiq, jahil dan shohib bid’ah.

Selain mencari tahu siapa yang berstatus alladzina zaighu, hal penting berikutnya adalah kelakuan dari kelompok tersebut, yaitu fayattabi’una ma tasyabaha…….. hingga kata ta’wilih (mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya). Informasi dari bagian tengah surah Ali Imran ayat 7 ini disederhanakan oleh pak Sahiron Syamsuddin dalam salah satu seminar. Dia menjelaskan bahwa frasa pertengahan ayat tersebut menunjukkan bahwa ada masa ketika itu seseorang menafsirkan Al-Quran karena kepentingan tertentu yang tujuannya mencari dan menciptakan kekacauan, ia mengutip dan menggunakan ayat Al-Quran sebagai dalil untuk menguatkan dan mengikuti kemauannya.

Nah, seberapa besar motif dan tujuan seseorang dalam menafsirkan Al-Quran itu berpengaruh terhadap hasil dan kualitas penafsirannya? Jawabannya dapat kita temukan dalam analogi kisah Ali Baba dan Qasim yang diceritakan ulang dan diberi sudut pandang yang berbeda oleh Gus Nadir.

Baca Juga: Kepada Semua yang Ingin Mempelajari Al Quran….

Kata sakti yang sama tapi nasibnya berbeda

Ali Baba dan Qasim itu bersaudara. Singkat cerita, hidup Ali Baba yang dulunya miskin dan merana itu mendadak berubah menjadi orang yang berkecukupan, saudaranya, Qasim yang dari awal sudah bisa dibilang kaya, iri melihat perubahan nasib adiknya. Sang kakak lantas bertanya kepada adiknya, tentang penyebab perubahannya tersebut. Karena rasa sayang Ali Baba pada kakakanya, ia pun memberi tahu kronologinya.

Ali Baba bercerita bahwa ia pernah melihat sekelompok penyamun yang menuju pintu batu dengan mengucapkan kata sakti untuk membuka pintu dan memasukinya, juga keluar dengan mengucapkan kata sakti yang sama untuk menutup lagi pintu batu tersebut. Selepas penyamun pergi, Ali Baba pun menirukan apa yang dilakukan oleh penyamun. Pintu batu berhasil terbuka, Ali Baba pun kaget karena melihat banyak emas dan banyak barang-barang berharga lainnya dalam tempat tersebut. Lantas Ali Baba mengambil secukupnya dan keluar. Hal ini lah yang membuatnya menjadi kaya.

Mendengar cerita tersebut, Qasim langsung bergegas menuju tempat yang dimaksud dan mengucapkan kata sakti yang telah diajarkan Ali Baba. Pintu pun terbuka, Qasim langsung silau dan terperangah dengan emas dan barang-barang mewah lainnya. Dengan sangat bersemangat dan penuh ketamakan ia mengambil sebanyak-banyaknya kepingan emas dan barang-barang lainnya, sampai ia sadar bahwa peluh telah membasahi sekujur tubuhnya karena nafsunya ia mengumpulkan kepingan emas. Dan ketika hendak keluar, tenggorokannya merasa tercekat, dia lupa dengan kata sakti ‘password’ untuk membuka pintu batu itu.

Di saat yang sama, para penyamun sudah berdiri di luar pintu untuk masuk dengan kata saktinya. Setelah pintu terbuka, betapa terkejutnya ketika mereka mendapati Qasim ada di dalam ‘gudang  harta’ mereka. Dan bisa ditebak apa yang terjadi pada Qasim.

Baca Juga: Adab Lahiriah dan Adab Batiniah dalam Membaca Al-Qur’an

Nasib Qasim berbeda dengan Ali Baba. Padahal cara yang mereka tempuh sama, bekal ‘kata sakti’ pun langsung diajarkan oleh Ali Baba. Oleh karena itu, Gus Nadir memberi catatan pada kisah ini

‘Boleh jadi, pengetahuan yang kita miliki sama. Boleh jadi, kita sama-sama mengetahui rahasia Ilahi. Boleh jadi, di antara kita juga sama-sama hafal kata sakti atau ayat Ilahi. Namun kesucian hatilah yang membedakan kita’ (Gus Nadir & Kang Maman, #HIDUPKADANGBEGITU, hal. 55).

Sama dengan aktifitas penafsiran, boleh jadi, perangkat keilmuan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran sama, tapi substansi hasil penafsirannya berbeda, motif dan tujuan yang terselip di hati yang paling dalam lah yang membedakannya. Oleh karena demikian, tidak heran jika ada satu ayat yang ditafsirkan membawa kemaslahatan dan, kedamaian, di saat yang sama, oleh orang yang berbeda, ditafsirkan membawa kekerasan dan kekacauan.

Wallahu a’lam

Tafsir Surah Asy-Syura Ayat 11

0
tafsir surah asy-syura
tafsir surah asy-syura

Tafsir Surah Asy-Syura Ayat 11 berbicara mengenai kekuasaan Allah meliputi segala yang ada di langit dan bumi.


Baca sebelmnya: Tafsir Surah Asy-Syura Ayat 10


Ayat 11

Allah menerangkan bahwa Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi serta segala isinya, begitu juga hal-hal aneh dan ajaib yang mengherankan yang kita saksikan seperti luasnya cakrawala yang membentang luas di atas kita tanpa ada tiang yang menunjangnya; karenanya, Dia-lah yang pantas dan layak dijadikan sandaran dalam segala hal dan dimintai bantuan dan pertolongan-Nya; bukan tuhan-tuhan mereka yang tidak berdaya dan tidak dapat berbuat apa-apa.

Dia-lah yang menjadikan bagi manusia dari jenisnya sendiri jodohnya masing-masing; yang satu dijodohkan kepada yang lain sehingga lahirlah keturunan turun-temurun memakmurkan dunia ini. Demikian itu berlaku pula pada binatang ternak yang akhirnya berkembang biak memenuhi kehidupan di bumi.

Dengan demikian, kehidupan makhluk yang berada di atas bumi ini menjadi teratur dan terjamin bagi mereka. Makanan yang cukup bergizi, minuman yang menyegarkan dan nikmat-nikmat lain yang wajib disyukuri untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Semuanya itu menunjukkan kebenaran dan kekuasaan Allah. Tidak ada satu pun yang menyamai-Nya dalam segala hal.

Dia Maha Mendengar, Dia mendengar segala apa yang diucapkan setiap makhluk, Dia Maha Melihat. Tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi-Nya. Dia melihat segala amal perbuatan makhluk-Nya, yang baik maupun yang jahat. Tidak ada sesuatu pun yang menyamai kekuasaan, kebesaran, dan kebijaksanaan-Nya.


Baca juga:


Allah menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan. Ayat ini secara jelas menyatakan demikian. Demikian pula beberapa ayat berikut:

سُبْحٰنَ الَّذِيْ خَلَقَ الْاَزْوَاجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنْۢبِتُ الْاَرْضُ وَمِنْ اَنْفُسِهِمْ وَمِمَّا لَا يَعْلَمُوْنَ  ٣٦

Mahasuci (Allah) yang telah menciptakan semuanya berpasang-pasangan, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka sendiri, maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. (Yasin/36: 36)

Firman Allah:

وَهُوَ الَّذِيْ مَدَّ الْاَرْضَ وَجَعَلَ فِيْهَا رَوَاسِيَ وَاَنْهٰرًا ۗوَمِنْ كُلِّ الثَّمَرٰتِ جَعَلَ فِيْهَا زَوْجَيْنِ اثْنَيْنِ يُغْشِى الَّيْلَ النَّهَارَۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ   ٣

Dan Dia yang menghamparkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai di atasnya. Dan padanya Dia menjadikan semua buah-buahan berpasang-pasangan; Dia menutupkan malam kepada siang. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berpikir. (ar-Ra’d/13: 3)

Dan Firman-Nya:

وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ  ٤٩

Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah). (az-Dzariyat, 51: 49)

Menurut kajian ilmiah, bukan hanya makhluk hidup yang berpasang-pasangan, namun benda-benda mati juga berpasang-pasangan. Dengan menggunakan ilmu dan peralatan canggih yang ada saat ini, sudah dapat diketahui mengenai adanya pasangan-pasangan dari atom sampai ke awan.

Atom, yang tadinya diduga merupakan wujud yang terkecil dan tidak dapat dibagi, ternyata ia pun berpasangan. Atom terdiri dari elektron dan proton. Proton yang bermuatan listrik positif dikelilingi oleh beberapa partikel elektron yang bermuatan listrik negatif. Muatan listrik di kedua kelompok partikel ini sangat seimbang.

Tumbuh-tumbuhan pun memiliki pasangan-pasangan guna pertumbuhan dan perkembangannya. Sebelumnya, manusia tidak mengetahui bahwa tumbuh-tumbuhan juga memiliki perbedaan kelamin jantan dan betina. Buah adalah produk akhir dari reproduksi tumbuhan tinggi.

Tahap yang mendahului buah adalah bunga, yang memiliki organ jantan dan betina, yaitu benangsari dan putik. Bila tepungsari dihantarkan ke putik, akan menghasilkan buah, yang kemudian tumbuh, hingga akhirnya matang dan melepaskan bijinya. Oleh sebab itu, seluruh buah mencerminkan keberadaan organ-organ jantan dan betina, suatu fakta yang disebut dalam Al-Qur’an.

Ada tumbuhan yang memiliki benangsari dan putik sehingga menyatu dalam diri pasangannya, dan dalam penyerbukannya ia tidak membutuhkan pejantan dari bunga lain. Namun, ada juga yang hanya memiliki salah satunya saja sehingga untuk berproduksi ia membutuhkan pasangannya dari bunga lain. Hanya Allah yang tidak berpasangan.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Asy-Syura Ayat 12-13


(Tafsir Kemenag)