Beranda blog Halaman 177

Tafsir Ahkam: Hukum Menggunakan Emas Sebagai Gigi Palsu dan Selainnya

0
Hukum Menggunakan Emas Sebagai Gigi Palsu
Hukum Menggunakan Emas Sebagai Gigi Palsu

Sebagian masyarakat yang kehilangan bagian tubuhnya kadang ingin menggantikan bagian tubuh dengan sebuah benda. Karena beberapa alasan mereka memilih bahan dari emas. Hal ini kadang menimbulkan pertanyaan, apa hukum membuat gigi palsu, hidung palsu, jari palsu atau bahkan tangan serta kaki palsu dari emas? Bukankah itu sama saja dengan menggunakan emas? Namun bagaimana bila medis lebih menyarankan emas demi alasan kesehatan? maka, seperti apa jawaban mufassir terkait hukum menggunakan emas sebagai gigi palsu?

Menggantikan bagian tubuh dari emas adalah salah satu kajian yang sering diulas oleh para ulama’, sebab memang ada hadis yang menyinggung secara khusus tentang hal ini. Nabi pernah mengizinkan sahabat membuat hidung palsu dari emas. Lalu dapatkah hal ini dilakukan pada anggota tubuh lain? Lalu apakah ada ketetuan-ketentuan khusus terkait pembolehannya? Lebih lengkapnya, simak penjelasan para pakar tafsir dan fikih berikut ini:

Sebuah Pengecualian

Imam Al-Qurthubi di dalam Tafsir Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an tatkala mengomentari surat Az-Zukhruf ayat 71 menjelaskan, penggunaan emas dan perak untuk makan dan minum hukumnya terlarang menurut para ulama’. Hal ini ditunjukkan secara jelas salah satunya oleh hadis yang diriwayatkan Sahabat Khudzaifah (Tafsir Al-Qurthubi/6/551):

لاَ تَشْرَبُوا فِى آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ ، وَلاَ تَأْكُلُوا فِى صِحَافِهَا ، فَإِنَّهَا لَهُمْ فِى الدُّنْيَا وَلَنَا فِى الآخِرَةِ

Janganlah kalian minum dari wadah emas dan perak, juga jangan makan dari piring yang terbuat dari keduanya. Sesungguhnya kesemuanya milik mereka di dunia dan milik kita di akhirat (HR. Imam Bukhari).

Baca juga: Mengenal Kariman Hamzah, Jurnalis dan Mufassir Perempuan Asal Mesir

Imam Al-Qurthubi juga mengutip pernyataan Ibnul Arabi bahwa menurut pendapat yang sahih, larangan tersebut bagi laki-laki tidak terbatas pada makan dan minum. Namun juga berbagai model pemanfaatan lain. Hal ini dikuatkan oleh sebuah hadis yang diriwayatkan dari Ali ibn Abi Thalib:

إِنَّ هَذَيْنِ حَرَامٌ عَلَى ذُكُورِ أُمَّتِى حِلٌّ لإِنَاثِهِمْ

Sesungguhnya dua hal ini (sutra dan emas) diharamkan pada para lelaki dari umatku dan halal bagi perempuan mereka (HR. Ibn Majah).

Namun hukum ini sebenarnya tidak berlaku secara mutlak. Imam An-Nawawi menyatakan bahwa ulama’ sepakat penggunaan emas dalam keadaan terpaksa diperbolehkan. Oleh karena itu boleh membuat hidung palsu, gigi palsu serta mengikat gigi yang sakit dengan emas. Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan dari Abdurrahman ibn Tharfah (Al-Majmu’/1/256):

أَنَّ جَدَّهُ عَرْفَجَةَ بْنَ أَسْعَدَ قُطِعَ أَنْفُهُ يَوْمَ الْكُلاَبِ فَاتَّخَذَ أَنْفًا مِنْ وَرِقٍ فَأَنْتَنَ عَلَيْهِ فَأَمَرَهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- فَاتَّخَذَ أَنْفًا مِنْ ذَهَبٍ.

Sesungguhnya kakeknya yang Bernama ‘Arfajah ibn ‘As’ad terpotong hidungnya di hari perang Kulab. Ia lalu memakai hidung palsu dari perak. Namun kemudian muncul pembusukan. Nabi lalu memberi perintah padanya, kemudian ia memakai hidung dari emas (HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud dan An-Nasa’i).

Hadis di atas menunjukkan bahwa mengambil hidung palsu dari emas diperbolehkan. Ulama’ kemudian menganalogikan gigi palsu, pengikat gigi serta ujung jari palsu pada hidung palsu. Untuk ujung jari palsu, dalam pembolehannya ulama’ memberi catatan selama jari tersebut masih bisa digunakan. Apabila tidak, maka tidak diperbolehkan. Sebab ujung jari palsu tersebut akan masuk kategori hiasan semata, bukan kebutuhan (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah/2/3881).

Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukum Mengoleksi Perabot dari Emas dan Perak

Sebagian ulama’ memang menetapkan bahwa pembolehan semacam hidung palsu adalah untuk kebutuhan semacam melindungi tubuh atau melindungi kemanfaatan tubuh. Bukan sekedar hiasan semata. Oleh karena itu, memakai tangan palsu dan jari palsu hukumnya masih diperselisihkan. Sebab tangan serta jari palsu dianggap tidak lagi punya kemanfaatan selain sebagai hiasan. Beda dengan hidung palsu untuk melindungi lubang hidung atau gigi palsu untuk keperluan mengunyah makanan (Al-Majmu’/1/256).

Dari berbagai uraian di atas kita dapat mengetahui bahwa mengambil hidung palsu, gigi palsu atau mengikat gigi dari bahan emas hukumnya diperbolehkan dalam keadaan terpaksa. Ini berkaitan dengan kebutuhan medis seseorang. Sehingga semuanya perlu dikembalikan dengan pernyataan para ahli medis. Wallahu a’lam bish showab [].

Tafsir Tarbawi: Keharusan Berpikir Kritis Bagi Pendidik dan Peserta Didik

0
keharusan berpikir kritis bagi pendidik dan peserta didik
keharusan berpikir kritis bagi pendidik dan peserta didik

Dalam rangka memperingati hari guru di era yang serba disrupsi, ada baiknya pendidikan Islam, khususnya pendidik dan peserta didik mengarusutamakan kembali penalaran kritis dalam setiap pembelajarannya. Berpikir kritis menempati peran sentral dalam Kurikulum 2013. Sebab, hanya dengan berpikir kritis, seseorang tidak terjebak, atau bahkan terbuai dan termakan narasi-narasi dan konten-konten yang dapat menjerumuskan ke dalam hal-hal yang kontraproduktif. Keharusan bersikap kritis, selalu mempertanyakan sesuatu dan tidak asal bantah-membantah tanpa dibarengi fakta ilmiah telah dilukiskan oleh-Nya dalam Q.S. Ali Imran [3]: 66. Berikut ulasannya di bawah ini.

Baca Juga: Tafsir Tarbawi: Empat Kompetensi Yang Harus Dimiliki oleh Pendidik

Tafsir Surat Ali Imran Ayat 66

هٰٓاَنْتُمْ هٰٓؤُلَاۤءِ حَاجَجْتُمْ فِيْمَا لَكُمْ بِهٖ عِلْمٌ فَلِمَ تُحَاۤجُّوْنَ فِيْمَا لَيْسَ لَكُمْ بِهٖ عِلْمٌ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ

Begitulah kamu. Kamu berbantah-bantahan tentang apa yang kamu ketahui, tetapi mengapa kamu berbantah-bantahan (juga) tentang apa yang tidak kamu ketahui? Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui. (Q.S. Ali Imran [3]: 66)

Ibn Katsir dalam Tafsir Al-Quran menjelaskan asbabun nuzul ayat di atas ialah bahwa masing-masing pihak Yahudi dan Nasrani saling mengklaim bahwa Nabi Ibrahim adalah bagian dari golongannya. Hal ini kemudian dibantah dan dieliminir oleh Allah swt bahwa Ibrahim ialah kekasih-Nya, ia bukan dari golongan Yahudi dan Nasrani, melainkan seorang muslim yang hanif (hanifan musliman) sebagaimana ayat selanjutnya (Surat Ali Imran ayat 67).

Kemudian Ibn Katsir menukil riwayat dari Muhammad bin Ishaq Ibn Yasar, ia mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Abu Muhammad Maula Zaid bin Sabit, Sa’id bin Jubair dari Ibn Abbas yang bercerita bahwa sekelompok orang Nasrani Najran dan Pendeta Yahudi berkumpul di hadapan Rasulullah saw, lalu mereka saling bantah-membantah, tuduh-menuduh dan mengklaim bahwa Nabi Ibrahim adalah golongannya.

Hal senada juga disampaikan Al-Mawardi dalam al-Nukat wa al-‘Uyun terkait asbabun nuzul ayat ini,

وسبب نزول هذه الآية أن اليهود والنصارى اجتمعوا عند رسول الله صلى الله عليه وسلم، فتنازعوا في أمره فقالت اليهود: ما كان إلا يهودياً، وقالت النصارى: ما إلا نصرانياً، فنزلت هذه الآية تكذيباً للفريقين بما بيَّنه من نزول التوراة والإنجيل من بعده

“Asbabun nuzul ayat ini ialah karena orang-orang Yahudi dan Nasrani berkumpul dengan Rasulullah saw., mereka berselisih tentang dia (Nabi Ibrahim), dan golongan Yahudi berkata: Dia seorang Yahudi, dan orang-orang Nasrani berkata: Dia seorang Nasrani. Maka ayat ini diturunkan sebagai penyangkalan dari dua kelompok dalam apa yang mereka jelaskan tentang wahyu Taurat dan Injil setelah dia.

Lalu Allah berfirman, “Ya Ahlal kitabi lima tuhajjuna fi ibrahim” (Hai Ahli Kitab, mengapa kalian berbantah-bantahan tentang Ibrahim) (Q.S. Ali Imran [3]: 65) hingga akhir ayat dipungkasi dengan redaksi afala ta’qilun (apakah kalian tidak berpikir).

Baca Juga: Belajar Menjadi Pendidik Profesional Melalui Kisah Dakwah Nabi Yunus

Tidak jauh berbeda, Tafsir Kemenag menafsiri kalimat fima lakum bihi ‘ilmun adalah perkara yang diketahui oleh Ahlul kitab adalah perihal Nabi Musa, Nabi Isa sebagaimana dijelaskan dalam kitabnya. Sementara itu, perkara yang tidak mereka ketahui adalah perihal Nabi Ibrahim sebab namanya tidak ditemukan dalam kitab mereka.

Mufassir klasik kenamaan, Al-Tabari dalam Jami’ al-Bayan, menekankan bahwa janganlah kalian berdebat dan bertengkar tentang apa yang tidak kalian ketahui, sebab hanya menguras waktu dan energi yang sebetulnya bisa dimanfaatkan untuk mengerjakan sesuatu yang lebih produktif.

فلـم تـجادلون وتـخاصمون فـيـما لـيس لكم به علـم، يعنـي الذي لا علـم لكم به من أمر إبراهيـم ودينه، ولـم تـجدوه فـي كتب الله، ولا أتتكم به أنبـياؤكم، ولا شاهدتـموه فتعلـموه

“Jadi mengapa kamu berdebat dan bertengkar tentang apa yang tidak kamu ketahui, yaitu  kamu tidak memiliki pengetahuan (ilmu) tentang urusan dan agama Ibrahim, sedang kamu juga tidak mendapatinya dalam kitab-kitab Allah, juga tidak dibawakan oleh para nabimu kepadamu, engkau juga tidak menyaksikannya dan terlebih mempelajarinya”. (al-Tabari dalam Jami’ al-Bayan).

Qatadah sebagaimanan dinukil al-Tabari, mengatakan ‘ilm yang dimaksud ayat tersebut ialah fima syahadtum wa ra-aitum wa ‘ayantum (di dalam kesaksianmu, pengetahuanmu, dan penglihatanmu). Kemduian, Al-Zamakhsyari dalam al-Kasyaf dan al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib, sepakat memaknai redaksi ha-antum ha-ulai hajajjtum adalah merujuk pada ayat sebelumnya (ayat 65),

جملة مستأنفة مبينة للجملة الأولى، يعني أنتم هؤلاء الأشخاص الحمقى وبيان حماقتكم وقلة عقولكم أنكم جادلتم

“Kalimat lanjutan yang menunjukkan kalimat pertama, maksud saya, kalian (orang Nasrani dan Yahudi) adalah orang-orang bodoh ini, dan pernyataan kebodohan tersebut ditunjukkan dengan miskinnya penggunaan akal kalian yang mana berdebat tentang sesuatu yang tidak kalian ketahui”.

Tidak cukup itu, al-Zamakhsyari menafsiri redaksi fi ma lakum bihi ‘ilmun, dengan kitab Taurat dan Injil. Dan makna falima tuhajjuna fima laisa lakum bihi ‘ilmun, oleh al-Zamakhsyari dimaknai dengan tidak ada penyebutan dia (nabi Ibrahim) dalam kitab agama kalian masing-masing tentang Ibrahim. Lanjut al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib, memaknai hajjajtum fi ma lakum bihi ‘ilm dengan,

هو أنهم زعموا أن شريعة التوراة والإنجيل مخالفة لشريعة القرآن فكيف تحاجون فيما لا علم لكم به وهو ادعاؤكم أن شريعة إبراهيم كانت مخالفة لشريعة محمد عليه السلام

“Mereka mengklaim bahwa hukum Taurat dan Injil bertentangan dengan hukum Alquran. Lantas, bagaimana kalian dapat berdebat tentang apa yang tidak kalian ketahui, sedang kalian sendiri mengklaim bahwa syariat Nabi Ibrahim bertentangan dengan syariat Nabi Muhammad, saw?”

Baca Juga: Tafsir Tarbawi: Pentingnya Nalar Induktif bagi Kemajuan Pendidikan Islam

Keharusan Berpikir Kritis bagi Pendidik dan Peserta Didik

Dalam konteks pendidikan, bersikap kritis dan mempertanyakan segala sesuatu merupakan hal yang penting untuk terus dipupuk dan ditanamkan sejak dini dalam peserta didik. Hal ini nantinya juga menyangkut pada kemampuan literasi digital pendidik dan peserta didik. Namun, bukan berarti bersikap kritis kemudian menskepstiskan segala sesuatu, tidak. Melainkan dalam rangka agar penggunaan akal dalam mencerna segala bentuk informasi menjadi terasah dan tajam.

Kata ‘kriti’k sendiri, sebagaimana dijelaskan dalam Kamus Merriam-Webster, adalah tindakan yang mengekspresikan ketidaksetujuan (the act of expressing disapproval) terhadap sesuatu atau informasi dan atau membuat penilaian (menelaah, mempertanyakan) yang cermat tentang kualitas sesuatu tersebut (the activity of making careful judgments about the good and bad qualities). Jadi, berpikir kritis dalam Islam merupakan sebuah keharusan. Salah satu faktor kejayaan Peradaban Islam di masa lampau adalah hadirnya penalaran kritis dalam setiap fan keilmuan.

Sesungguhnya berpikir kritis telah dicontohkan oleh al-Ghazali. Kita tahu bahwa al-Ghazali sebelum “menekuni” tasawuf dan loyalis tasawuf, ia selalu gelisah ketika segala sesuatu yang ia pelajari tidak menemukan apa yang dia cari selama ini. Perasaan gelisah ini kemudian ia lukiskan dalam al-Munqidz min al-Dhalal. Di dalam kitab ini, ia berkeluh kesah tentang pencarian jawaban dari se-abreg pertanyaan dalam benaknya. Bahkan, beliau tidak mudah percaya dan taqlid buta kepada suatu pendpaat yang dianut oleh mayoritas orang sebelum ia betul-betul meneliti keabsahan dan kevalidan pendapat tersebut.

Kejadian serupa juga dialami Ulil Abshar Abdalla, intelektual muda NU yang sekarang telah “taubat” dari pemikiran “Islam Liberal” dan saat ini menjadi “penerus” Ghazalian dengan ngaji Ihya di laman facebooknya. Sebagaimana penuturan Gus Ulil dalam Alif.ID, ia tumbuh dalam lingkungan Islam tradisional (NU) dan menghirup oksigen kultural bernama tawadlu’ (ethics of humility), sehingga tidak suka menghakimi pihak lain yang berbeda, minimal mengkritisinya. Sebab hal itu ditabukan dalam kultur di mana ia tumbuh, kecuali jika “diprovokasi” secara tidak proporsional.

Kita tidak akan membahas bagaimana perjalanan keilmuan al-Ghazali dan Gus Ulil, namun yang dapat diteladani dari beliau berdua adalah sejak muda, mereka sudah terlatih untuk berpikir dan bersikap kritis, sehingga tidak mudah percaya terhadap suatu informasi, narasi-narasi dakwah yang acapkali mengafirkan sesama maupun konten-konten pembelajaran yang mengarah ke sana. Penting kiranya, bagi pendidik dan peserta didik, sekali lagi, untuk membudayakan berpikir dan bersikap kritis.

Dengan demikian, pendidik dan peserta didik serta praktisi dan penggiat pendidikan, hendaknya selalu menjadi pembaca aktif, bukan pembaca pasif. Artinya, bacaan yang dibaca atau informasi yang dibaca dan materi yang diajarkan oleh seseorang selalu ditelaah terlebih dahulu. Sebab, di tengah derasnya arus informasi saat ini yang mana media sosial selalu merangsek setiap saat, maka diperlukan kejelian dan ketelitian di dalam menelan informasi tersebut. Maka, dalam konteks ini, berpikir kritis menemukan titik signifikansinya di sini. Selamat Hari Guru. Wallahu A’lam.

Mengenal Kariman Hamzah, Jurnalis dan Mufassir Perempuan Asal Mesir

0
Kariman Hamzah
Kariman Hamzah

Satu lagi mufassir perempuan datang dari bumi Mesir, yaitu Kariman Hamzah. Perempuan berkebangsaan Mesir ini merupakan sosok jurnalis atau wartawan terkemuka di Mesir, yang mempersembahkan karya monumental yakni kitab tafsir sebanyak tiga jilid. Kebiasaan berfikir Kariman Hamzah yang kritis dalam dunia jurnalistik ia bawa dalam melakukan penafsirannya, Ia Menyusun sebuah karya tafsir yang akhirnya diizinkan terbit oleh majma’ buhuts Mesir. Nama kitabnya yaitu Al-Lu’lu’ wa al-Marjan fi Tafsir Al-Quran.

Baca Juga: Mengenal Hind Shalabi, Pakar Tafsir Sekaligus Aktivis Perempuan Asal Tunisia

Jurnalis perempuan yang sangat terkenal di Mesir

Fatimah Kariman Abdul Latif Mahmud Hamzah yang biasa dikenal dengan Kariman Hamzah lahir pada tahun 1948 M. bertepatan dengan 1367 Hijriyah. (Muhammad Afifuddin Dimyathi, Jami’ Al-’Abir Fi Kutubi at-Tafsir, Juz 2). Ia seorang putri dari pasangan Umm Darman dan ‘Abd al-Latif Hamzah. Bapaknya seorang profesor jurnalis di Fakultas Informasi dan Konseling Universitas Kairo Mesir. Kariman Hamzah mengawali karirnya dari pers (wartawan) atau jurnalis setelah lulus dari Fakultas Sastra di Universitas Cairo pada tahun 1969, kemudian ia melanjutkan studi magisternya pada tahun 1970. Ia juga merupakan pendiri majalah al-tsaqafah yang baru, yang sebelumnya bernama al-shagirah. (Muhammed Liyaudheen K. P., “Women Writers in Modern Islamic Literature in Arabic A Performance Evaluation”.219)

Kariman Hamzah merupakan seorang jurnalis terkemuka di Mesir. Dalam satu wawancara di salah satu stasiun televisi, ia mengungkapkan bahwa “tidak ada seorang penyiar pertama yang menyajikan perogram keagamaan kecuali saya”. Diantara pakar hukum paling terkemuka yang pernah hadir dalam programnya adalah Dr. Abd Halim Mahmoud (mantan syekh al-Azhar) selama 13 episode, Syekh Muhammad al-Ghazali, Syekh al-Khosary, Dr. Kamal Abu al-Majid, Syekh Abd al-Basit Abd al-Somad dan syekh Mah}moud al-Banna, dan masih banyak lainnya. (Soha Saeed, “Penyiar Terselubung Pertama Di Televisi Mesir,” EGYNEWS, 2020) Ia aktif mulai berdakwah di dunia televisi mulai dari tahun 1970 sampai dengan 1999. (Muhammed Liyaudheen K. P., “Women Writers in Modern Islamic Literature in Arabic A Performance Evaluation”. 223)

Berkaitan dengan penyiaran, pada tahun 1996 program tafsir Alquran disiarkan secara khusus dengan nama siaran Wamdah Tafsiriyyah yang salah satu narasumbernya adalah syeikh Muhammad Mutawalli al-Sha’rawi. (Ulya Fikriyati, “Evolusi Madrasah Tafsir Al-Qur’an Di Mesir: Penelusuran Dan Tipologi Media,” 133)

Statusnya sebagai jurnalis perempuan berhijab yang melakukan broadcast di televisi membuat namanya menjadi perbincangan dan ia pun menjadi sosok yang terkenal. Kariman Hamzah juga merupakan pelopor studi Islam di media pemerintah Mesir. Pada tahun 2008 dan 2010, Kariman dan salah satu sahabatnya Fauqiya Sherbini mendapat apresiasi dari Universitas al-Azhar, karena mereka mempunyai kontribusi terhadap interpretasi Alquran. (Nafiah Sulfa, “The Interpretation of Double Burden of Women: A Compersion between Al-Mishbah and Al-Lu’lu’ Wa Al-Marjan Fi Tafsir Al-Quran,” 94)

Baca Juga: Mengenal Sachiko Murata dan Pendekatannya dalam Membaca Ayat Relasi Gender

Karya-karya Kariman Hamzah

Dalam tulisan Liyaudheen, Kariman Hamzah terkenal dengan sosok perempuan yang sangat produktif, Di antara karya-karyanya sebagai berikut:

  1. Al-Lu’lu’ wa al-Marjan fi Tafsir Al-Quran
  2. Rihlati min al-Sufur li al-Hijab
  3. Rifqan bi al-Qawarir
  4. Tazawwajtu Mujriman
  5. Al-Islam wa al-Tifl
  6. Khomsuna halla li khomsina Mushkilah
  7. Adam wa Hawa
  8. ‘Ali ibn Abu Talib: al-Faris al-Faqih al-‘Abid,
  9. Qabil wa Habil,
  10. Abu Dzarr al-Ghifari “Habib al-Fuqara”
  11. Ahl al-Kahf
  12. Li Allah Ya Zamri
  13. Khamsuna Hill li Khamsina Mushkilah
  14. Mausu’ah Anaqah wa Hashmah

Baca Juga: Pemikiran Tafsir Asghar Ali Engineer Tentang Perempuan dalam Al-Qur’an

Mengenal Al-Lu’lu’ wa al-Marjan fi Tafsir Al-Quran

Kariman Hamzah merupakan penulis kitab tafsir Al-Lu’lu’ wa al-Marjan fi Tafsir Al-Quran, yang bisa dikatakan bahwa tafsir ini sangat ringkas, pun menggunakan bahasa yang sangat sederhana dan mudah dipahami, mencakup seluruh Alquran dan diterbitkan menjadi tiga jilid. Tafsir ini mengkobinasi metode bil Ma’tsur dan bil ma’qul, artinya Kariman Hamzah memperhatikan riwayat-riwayat yang terkait dengan ayat yang ditafsirkan, masalah-masalah ijtima’iyah (sosial), makna-makna pribahasa, dan bentuk gaya bahasa  yang sekiranya mudah di pahami. (Muhammad Afifuddin Dimyathi, Jami’ Al-’Abir Fi Kutubi at-Tafsir, Jilid 2. 604)

Dalam menulis karya tafsirnya Kariman Hamzah tidak lupa akan karya-karya ulama terdahulu sebagai rujukan dalam menafsirkan Alquran, (Al-Lu’lu’ wa al-Marjan fi Tafsir Al-Quran, Volume 1, 9-10) baik dari kitab-kitab tafsir seperti tafsir al-Kashshaf karaya Abu al-Qasim Muhmud ibn ‘Umar al-Zamakshari, Mafatih al-Ghayb karya Fakhruddin al-Razi, Ruh al-Ma’ani karya Muhammad al-Alusi, tafsir al-Maraghi karya Ahmad Mustafa al-Maraghi.

Selain dari kitab tafsir terdahulu, Kariman Hamzah juga mengambil referensi dari kitab-kitab Tarikh (sejarah) seperti Sirah Nabawiyah karya Muhammad ibn Ishaq (w. 151 H), Sirah Nabawiyah karya Muhammad Ibn ‘Abd al-Malik bin Hisam (w. 213 H) dan Fiqh Sirah karya Muhammad al-Ghozali (w. 1416 H).

Juga mengambil referensi dari kitab-kitab hadits seperti Mausu’ah Atraf al-Hadith karya Muhammad Sa’id Zaghlul, Musnad Ahmad karya Abu ‘Abdillah bin Muhammad bin Hanbal al-Marwazy (w. 241 H),  Sunan Nas’i karya Abu ‘Abdirrahman Ahmad bin Shu’aib bin Bahr (w. 303 H) dan al-Isbah fi Tamyiz as-Sahabah karya Ahmad bin ‘Ali. dan kitab-kitab fiqh seperti Bidayatu al-Mujathid karya Muhammad bin Rusd al-Qurtubi al-Andalusi (w. 595 H), I’lamul Mauq’ini karya Muhammad bin Abi Bakr bin Qaym al-Jauziyah.

Memang benar bahwa ia mengikuti para mufasir klasik namun tidak menerima secara mentah, ia tambahi dengan argumennya sendiri. Misal penafsiran tentang masalah persaksian, ayat mengenai persaksian dua berbanding satu itu hanya terbatas pada situasi di mana seorang perempuan belum banyak terlibat ke ranah publik. Namun seiring dengan perkembangan zaman dan keterlibatan perempuan di ranah publik semakin banyak. Dalam hal ini, menurut Kariman Hamzah bahwa satu orang saksi perempuan setara dengan satu orang saksi laki-laki.

Kariman Hamzah menyelesaikan tafsirnya lengkap 30 juz kurang lebih 3 tahun lamanya, dengan selalu memohon pertolongan kepada Allah SWT. Sebagaimana yang termaktub dalam muqaddimah kitab tafsirnya Al-Lu’lu’ wa al-Marjan fi Tafsir Al-Quran. Di samping itu, sebelum melakukan penerbitan, Kariman Hamzah terlebih dahulu melakukan persentasi kepada masyayikh-masyayikh Al-Azhar guna menguatkan bahwa karyanya tersebut sudah mengikuti manhaj yang benar. termasuk ia telah mempersentasikan ke institusi al-Azhar Asy-Syarif. Setelah itu, tafsirnya tersebut baru bisa diterbitkan. (Muhammad Afifuddin Dimyathi, Jami’ Al-’Abir Fi Kutubi at-Tafsir, Jilid 2. 605)

Demikian sedikit perkenalan dengan Kariman Hamzah dan tafsirnya, Al-Lu’lu’ wa al-Marjan fi Tafsir Al-Quran. Sosok perempuan yang inspiratif yang tentu perlu kita kenal dan perkenalkan kepada dunia. Wallahu a’lam

Tafsir Surah Fussilat Ayat 21

0
Tafsir Surah Fussilat
Tafsir Surah Fussilat

Tafsir Surah Fussilat Ayat 21 berbicara mengenai dialog yang terjadi antara orang kafir dengan organ tubuhnya sendiri ketika di akhirat.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 17-20


Ayat 21

Tatkala mendengar dan melihat bahwa kulitnya sendiri menjadi saksi atas perbuatan-perbuatannya, orang-orang kafir mencela kulit mereka itu dengan mengatakan, “Mengapa kamu menjadi saksi atas diri kami, padahal kamulah yang membantu dan mendorong kami berbuat maksiat selama  hidup di dunia?”

Kulit-kulit mereka menjawab, “Allah Yang Mahakuasa telah menjadikan kami pandai berbicara, sehingga kami dapat menerangkan dengan jelas dan lengkap segala yang pernah kamu perintahkan kepada kami untuk mengerjakannya.” Firman Allah:

اَلْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلٰٓى اَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَآ اَيْدِيْهِمْ وَتَشْهَدُ اَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ

Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; tangan mereka akan berkata kepada Kami dan kaki mereka akan memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. (Yasin/36: 65)

Mengenai pertanyaan dan persaksian di akhirat ini diterangkan dalam hadis Nabi saw yang diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata:

كُنّاَ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَضَحِكَ فَقَالَ: هَلْ تَدْرُوْنَ مِمَّ أَضْحَكُ؟ قُلْنَا: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قَالَ مِنْ مُخَاطَبَةِ الْعَبْدِ رَبَّهُ يَقُوْلُ أَلَمْ تُجِرْنِيْ مِنَ الظُّلْمِ قَالَ يَقُوْلُ بَلٰى. قَالَ فَيَقُوْلُ فَإِنِّيْ لاَ أُجِيْزُ عَلَى نَفْسِيْ إِلاَّ شَاهِدًا مِنِّيْ، قَالَ يَقُوْلُ: كَفٰى بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ شَهِيْدًا وَبِالْكِرَامِ الْكَاتِبِيْنَ شُهُوْدًا قَالَ فَيُخْتَمُ عَلَى فِيْهِ فَيُقَالُ لِأَرْكَانِهِ: اَنْطِقِيْ، فَتُنْطِقُ بِأَعْمَالِهِ. قَالَ ثُمَّ يُخَلَّى بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَلاَمِ قَالَ فَيَقُوْلُ: بُعْدًا لَكُنَّ وَسُحْقًا فَعَنْكُنَّ كُنْتُ أُنَاضِلُ.(رواه مسلم وابن حبان)

Ketika kami bersama Rasulullah saw, beliau tertawa lalu berkata, “Apakah kamu mengetahui kenapa aku tertawa?” Kami menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau berkata, “Aku tertawa karena pembicaraan seorang hamba dengan Tuhan (di hari Kiamat).

Hamba berkata, ”Hai Tuhanku Apakah Engkau tidak melindungi aku dari kezaliman?” Rasulullah berkata, “Tuhan berkata, ‘Benar’.” Rasulullah berkata, “Hamba itu mengatakan, ‘Maka saya tidak mengizinkan diriku kecuali saksi dari diriku sendiri’.” Rasulullah saw berkata, “Allah berfirman, ‘Cukuplah diri engkau menjadi saksi atas perbuatanmu sendiri pada hari ini, dan persaksian malaikat yang mencatat’.”

Rasulullah berkata, “Kemudian ditutuplah mulut orang itu dan dikatakan kepada anggota-anggota badannya, ‘Berbicaralah’, maka anggota-anggota badan itu menerangkan perbuatannya.” Rasulullah berkata, “Kemudian dibiarkan orang itu berbicara terhadap anggota badan mereka.” Nabi berkata, “Maka hamba itu berkata (kepada anggota badannya), ‘Celaka dan hancurlah kamu semua. Aku ini berjuang untuk membela kamu’.”(Riwayat Muslim dan Ibnu Hibban)


Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukum Menggunakan Benda Berhiaskan Emas dan Perak


Allah menerangkan bahwa Dialah Yang menciptakan manusia pada kali yang pertama, dari tidak ada kepada ada, dan Dia pula yang menjadikan untuk mereka dalil-dalil yang nyata.

Jika Allah sanggup menciptakan manusia pada kali yang pertama, tentu Dia sanggup pula mengulangi penciptaan itu pada kali yang kedua, dengan membangkitkan manusia sesudah matinya, kemudian Dia membalas semua perbuatan manusia dengan adil.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 22


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Fussilat Ayat 17-20

0
Tafsir Surah Fussilat
Tafsir Surah Fussilat

Tafsir Surah Fussilat Ayat 17-20 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai kedatangan Nabi Saleh sebagai utusan kepada kaum Samud. Kedua keingkaran kaum Samud. Ketiga berbicara mengenai perintah kepada Nabi Muuhammad SAW agar menyampaikan kisah tersebut sebagai peringatan.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 15-16


Ayat 17

Kepada kaum Samud, Allah telah menyampaikan agama-Nya dengan perantaraan Nabi Saleh. Allah telah menunjukkan kepada mereka jalan keselamatan dan jalan yang lurus, dengan memperlihatkan tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan-Nya yang ada di cakrawala luas ini.

Allah juga mengajarkan kepada mereka hukum-hukum yang dapat membahagiakan mereka di dunia dan akhirat. Akan tetapi, mereka mengutamakan kekafiran dari keimanan yang berarti pula mereka lebih mengutamakan kehinaan dan kesengsaraan daripada kemuliaan dan kebahagiaan.

Karena sikap dan perbuatan mereka itu, maka Allah menurunkan kepada mereka azab berupa suara keras yang mengguntur dari langit.

Pada ayat yang lain, Allah menerangkan azab yang ditimpakan kepada kaum Samud. Allah berfirman:

وَاَخَذَ الَّذِيْنَ ظَلَمُوا الصَّيْحَةُ فَاَصْبَحُوْا فِيْ دِيَارِهِمْ جٰثِمِيْنَۙ    ٦٧  كَاَنْ لَّمْ يَغْنَوْا فِيْهَا ۗ اَلَآ اِنَّ ثَمُوْدَا۠ كَفَرُوْا رَبَّهُمْ ۗ اَلَا بُعْدًا لِّثَمُوْدَ ࣖ   ٦٨

Kemudian suara yang mengguntur menimpa orang-orang zalim itu, sehingga mereka mati bergelimpangan di rumahnya. Seolah-olah mereka belum pernah tinggal di tempat itu. Ingatlah, kaum Samud mengingkari Tuhan mereka. Ingatlah, binasalah kaum Samud. (Hµd/11: 67-68)

Ayat 18

Nabi Saleh dan orang-orang yang beriman diselamatkan Allah dari azab itu. Mereka tidak ditimpa malapetaka dan bencana yang dahsyat itu karena keimanan dan ketakwaan mereka kepada-Nya.

Ayat 19

Ayat ini menerangkan perintah Allah kepada Nabi Muhammad agar menyampaikan kepada orang-orang yang ingkar itu keadaan mereka pada hari Kiamat nanti. Pada hari itu, semua musuh-musuh Allah dan orang-orang yang ingkar kepada-Nya akan dikumpulkan dalam neraka.

Mereka dihalau ke dalamnya seperti orang menggiring dan menghalau binatang ternak. Tidak ada satu pun yang luput dan tertinggal di antara mereka.


Baca juga: Surah Al-Nisa’ Ayat 3: Poligami Perspektif Quraish Shihab dan Amina Wadud


Ayat 20

Tatkala mereka sampai di pinggir neraka, mereka ditanya tentang perbuatan-perbuatan yang telah mereka lakukan selama hidup di dunia. Sebagai saksi atas perbuatan yang telah mereka lakukan itu ialah seluruh anggota badan mereka yang langsung melakukan perbuatan-perbuatan dosa itu, seperti telinga, mata, dan anggota-anggota tubuh mereka.

Tiap-tiap makhluk ditanya sesuai dengan keadaan dan sifatnya. Apa yang ditanya dan bagaimana jawaban makhluk-makhluk itu, termasuk ilmu yang gaib, hanya Allah sendiri yang mengetahuinya. Mungkin ada soal yang berhubungan dengan niat dan isi hatinya, atau mengenai perbuatan-perbuatannya.

Jika pertanyaan itu tentang ketaatan beribadah, sopan-santun, hubungan silaturrahim, amal saleh, dan yang serupa dengan itu dihadapkan kepada orang yang suka mengerjakan perbuatan itu selama hidup di dunia, tentu orang-orang itu akan menjawabnya dengan gembira kepada Allah.

Jika budi pekerti yang buruk, memutuskan hubungan silaturrahim, perbuatan jahat, dan perbuatan lain yang serupa dengan itu, dihadapkan kepada orang yang mengerjakannya, tentulah mereka menjawab dengan gemetar dan penuh ketakutan. Allah Maha Mengetahui tentang itu.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 21


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Fussilat Ayat 15-16

0
Tafsir Surah Fussilat
Tafsir Surah Fussilat

Tafsir Surah Fussilat Ayat 15-16 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai keadaan kaum ‘Ad yang diazab oleh Allah karena kedurhakaan mereka. Kedua berbicara mengenai bentuk azab yang diturunkan kepada mereka.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Fussilat ayat 13-14


Ayat 15

Pada ayat ini, Allah menerangkan keadaan kaum ‘Ad yang telah ditimpa azab Allah dan sikapnya terhadap seruan rasul yang diutus kepadanya. Diterangkan bahwa kaum ‘Ad itu menyombongkan diri, merasa diri mereka tidak ada yang menandingi, dan semua tunduk kepadanya.

Oleh karena itu, mereka durhaka kepada Tuhan yang telah menciptakan dan memberikan karunia kepada mereka, dan tidak menerima seruan rasul Allah yang diutus kepada mereka. Mereka menantang siapa yang sanggup menandingi mereka.

Allah mengancam dan memperingatkan mereka dengan mengatakan apakah mereka telah memikirkan betul-betul yang mereka ucapkan, dan apakah mereka tidak mengetahui siapa yang mereka tentang itu?

Yang mereka tentang itu adalah Allah Yang Mahakuasa, yang menciptakan segala sesuatu termasuk diri mereka sendiri, Yang Mahaperkasa, yang lebih kuat dari mereka. Jika Allah menghendaki, maka Dia dapat menimpakan bencana apa pun terhadap mereka dan sedikit pun mereka tidak akan dapat menghindarkan diri dari bencana itu.

Mereka sebenarnya telah mengetahui dan meyakini bukti-bukti kebesaran dan kekuasaan Kami, yang disampaikan oleh para rasul yang diutus kepada mereka. Akan tetapi, mereka mengingkarinya dan mendurhakai para rasul itu.


Baca juga: Kunci Ketigabelas Menggapai Kebahagiaan: Bertaubat dari Segala Dosa


Ayat 16

Pada ayat ini Allah menerangkan bentuk azab yang ditimpakan kepada kaum ‘Ad. Dia menghembuskan angin kencang yang sangat dingin diiringi dengan suara gemuruh yang memusnahkan mereka.

Angin kencang yang sangat dingin itu terus-menerus melanda mereka dalam tujuh malam dan delapan hari, yang merupakan hari yang sial bagi mereka, sebagaimana diterangkan dalam firman Allah:

;وَاَمَّا عَادٌ فَاُهْلِكُوْا بِرِيْحٍ صَرْصَرٍ عَاتِيَةٍۙ  ٦  سَخَّرَهَا عَلَيْهِمْ سَبْعَ لَيَالٍ وَّثَمٰنِيَةَ اَيَّامٍۙ حُسُوْمًا فَتَرَى الْقَوْمَ فِيْهَا صَرْعٰىۙ  كَاَنَّهُمْ اَعْجَازُ نَخْلٍ خَاوِيَةٍۚ  ٧

Sedangkan kaum ‘Ad, mereka telah dibinasakan dengan angin topan yang sangat dingin, Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam delapan hari terus-menerus; maka kamu melihat kaum ‘Ad pada waktu itu mati bergelimpangan seperti batang-batang pohon kurma yang telah kosong (lapuk). (al-Haqqah/69: 6-7)

Diterangkan pada ayat ini bahwa tujuan Allah menimpakan azab yang dahsyat itu kepada kaum ‘Ad agar mereka merasakan akibat dari menyombongkan diri dan takabur terhadap Allah dan para rasul yang diutus kepada mereka, yaitu kehinaan, kerendahan, dan malapetaka yang menimpa mereka dalam kehidupan duniawi.

Sedang azab akhirat lebih dahsyat dan sangat menghinakan mereka. Mereka tidak akan memperoleh seorang penolong pun yang dapat membebaskan dari azab itu.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 17-20


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Fussilat Ayat 13-14

0
Tafsir Surah Fussilat
Tafsir Surah Fussilat

Tafsir Surah Fussilat Ayat 13-14 berbicara mengenai perintah Allah kepada Nabi Muhammad untuk menyeru kepada orang kafir agar mereka tidak menyekutukan Allah SWT.


Baca sebelumnya:  Tafsir Surah Fussilat Ayat 12


Ayat 13-14

 Ayat ini menerangkan perintah Allah kepada Nabi Muhammad agar menyeru kepada orang-orang kafir untuk beriman kepada Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada pada keduanya.

Jika mereka tidak menerima ajakan itu dan berpaling, Rasulullah diperintahkan untuk mengingatkan mereka tentang azab yang akan ditimpakan Allah kepada setiap orang yang ingkar kepada-Nya.

Di antara azab yang pernah ditimpakan kepada orang-orang yang ingkar ialah suara keras yang mengguntur dari langit dan memusnahkan semua yang dikenainya, seperti yang pernah ditimpakan kepada kaum ‘Ad, kaum Samud, penduduk Aikah, dan sebagainya.

Malapetaka itu menimpa mereka karena mengingkari seruan rasul yang diutus kepada mereka dan mengabaikan peringatan para rasul itu.

Rasulullah menambahkan bahwa jika mereka tidak ingin ditimpa malapetaka seperti itu, maka ikutilah seruan yang disampaikannya dan agar hanya menyembah Allah, Tuhan Yang Maha Esa, tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.

Seruan Rasulullah itu ditanggapi orang-orang musyrik dengan sikap angkuh dan sombong. Mereka mengingkarinya dengan mengatakan bahwa sekiranya Allah hendak mengutus para rasul kepada manusia, tentu Dia tidak akan mengutus manusia seperti Nabi Muhammad.

Akan tetapi, Allah akan mengutus orang-orang yang mempunyai kelebihan dari manusia biasa, mempunyai kekuatan gaib, sanggup mengabulkan langsung segala yang diminta orang-orang yang diserunya, seperti malaikat, jin dan sebagainya.

Menurut mereka, rasul yang diangkat dari manusia biasa tidak akan bisa memerkenankan permintaan orang-orang yang diserunya karena tidak mempunyai kelebihan apa pun. Sementara, menurut mereka, Allah belum berkehendak mengutus rasul itu. Itulah sebabnya mereka mengingkari kerasulan Nabi Muhammad.


Baca juga: Tafsir An-Nahl Ayat 12: Tanda Kekuasaan Allah dalam Pergerakan Matahari


Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam kitab “ Ad-Dalail” dan Ibnu Asakir dari Jabir bin Abdullah. Ia mengatakan bahwa Abµ Jahal dan para pemimpin kaum Quraisy berkata, “Sesungguhnya kurang jelas bagi kita apa yang disampaikan oleh Muhammad itu, jika kamu menemukan seorang ahli sihir, tenung, dan syair, maka hendaklah ia berbicara dengannya, dan datang kepada kita untuk menerangkan maksud yang disampaikan Muhammad saw itu.”

Utbah bin Rabi‘ah berkata, “Demi Allah, aku benar-benar telah mendengar sihir, tenung, dan syair. Aku benar-benar memahami rumpun engkau hai Muhammad adalah orang yang paling baik dalam rumpun keluarga Abdul Muttalib?” Muhammad tidak menjawab.

Utbah berkata lagi, “Mengapa engkau mencela tuhan-tuhan kami dan menganggap kami sesat? Jika engkau menghendaki wanita, pilihlah olehmu sepuluh wanita yang paling cantik yang kamu kehendaki dari suku Quraisy ini. Jika engkau menghendaki harta, kami kumpulkan harta itu sesuai dengan yang kamu perlukan.”

Setelah Rasulullah mendengar ucapan Utbah, beliau membaca Surah Fussilat ini sejak permulaan ayat sampai kepada ayat ini, yang menerangkan malapetaka yang pernah ditimpakan kepada kaum ‘Ad, dan Samud. Mendengar ayat yang dibacakan Rasulullah saw, Utbah diam seribu bahasa, lalu pulang ke rumahnya, tidak langsung kepada kaumnya.

Tatkala kaumnya melihat Utbah dalam keadaan demikian, mereka mengatakan bahwa Utbah telah kena sihir Muhammad. Lalu mereka mencari Utbah dan berkata kepadanya, “Ya Utbah, engkau tidak datang kepada kami itu adalah karena engkau telah kena sihir.”

Maka Utbah marah dan bersumpah tidak akan berbicara lagi dengan Muhammad, kemudian ia berkata, “Demi Allah, aku benar-benar telah berbicara dengannya, lalu ia menjawab dengan satu jawaban yang menurut pendapatku jawaban itu bukan syair, bukan sihir, dan bukan pula tenung.

Tatkala ia sampai kepada ucapan: petir yang seperti menimpa kaum ‘Ad dan Samud, aku pun diam seribu bahasa. Aku benar-benar mengetahui bahwa Muhammad itu, apabila ia mengatakan sesuatu, ia tidak berdusta, dan  ia takut kepada azab yang akan menimpa itu.”

Sebagaimana diketahui bahwa Utbah termasuk pemuka Quraisy dan orang yang berpengetahuan luas di antara mereka. Di samping seorang sastrawan ia juga mengetahui seluk-beluk sihir dan tenung yang dipercayai orang pada waktu itu.

Kebungkaman Utbah itu menunjukkan bahwa hatinya telah beriman kepada Rasulullah, tetapi karena pengaruh nafsu dan kedudukan, maka ia mengingkari suara hatinya. Demikian pula halnya dengan kebanyakan orang-orang musyrik.

Hatinya telah beriman dan ia telah takut kepada azab yang akan ditimpakan kepadanya seandainya ia tidak beriman, tetapi mereka tetap tidak beriman karena khawatir akan dikucilkan oleh kaumnya.

Oleh karena itu, mereka mencari-cari alasan untuk menutupi hati mereka dengan mengatakan bahwa mustahil Allah mengangkat seorang rasul dari golongan manusia biasa. Jika Allah mengangkat rasul, tentu rasul itu dari golongan malaikat.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 15-16


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Fussilat Ayat 12

0
Tafsir Surah Fussilat
Tafsir Surah Fussilat

Tafsir Surah Fussilat Ayat 12 berbicara mengenai hikmah penciptaan langit. Selain itu juga dijelaskan mengenai masa penciptaannya. Langit tidak hanya dibiarkan sendiri, ia dihiasi dengan bintang-bintang dan setiap bintang mengentahui tugasnya masing-masing.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 11


Ayat 12

Ayat ini menerangkan bahwa Allah menyempurnakan kejadian langit itu dengan menjadikan tujuh langit dalam dua masa. Dengan demikian, lamanya Allah merencanakan penciptaan langit dan bumi ialah selama enam masa. Firman Allah:

اِنَّ رَبَّكُمُ اللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ فِيْ سِتَّةِ اَيَّامٍ

Sungguh, Tuhanmu (adalah) Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa. (al-A’raf/7: 54)

Diterangkan juga bahwa Allah menghiasi langit dengan bintang-bintang yang gemerlapan. Ada bintang yang bercahaya sendiri dan ada pula yang menerima pantulan cahaya dari bintang yang lain. Oleh karena itu, cahaya bintang-bintang itu terlihat tidak sama. Ketidaksamaan cahaya bintang-bintang itu menimbulkan keindahan yang tiada taranya.


Baca juga: Tafsir Surah Yasin ayat 39-40: Semua Makhluk Langit Adalah Ciptaan Allah Swt


Allah menjadikan pada tiap-tiap langit sesuatu yang diperlukan, sesuai dengan hikmah dan sunah-Nya. Seperti adanya memberi tarik pada tiap-tiap planet dan menjadikannya berjalan pada garis edarnya, sehingga planet-planet itu tidak akan jatuh dan berbenturan antara yang satu dengan yang lain.

Untuk setiap planet itu ditetapkan tugas-tugas tertentu, sesuai dengan keadaan dan sifatnya, seperti tugas bulan tidak sama dengan tugas matahari, karena kejadian keduanya berlainan.

Semua yang diterangkan itu merupakan ciptaan Allah, Tuhan Yang Mahakuasa, dan mereka harus tunduk kepada ketetapan-Nya. Tidak ada satu pun dari ciptaan Allah yang menyimpang dari ketetapan-Nya.

Dia mengetahui keadaan makhluk yang diciptakan-Nya itu, baik yang halus maupun yang kasar, baik yang nyata maupun yang tersembunyi.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 13-14


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Ahkam: Hukum Mengoleksi Perabot dari Emas dan Perak

0
hukum mengoleksi perabot dari emas dan perak
hukum mengoleksi perabot dari emas dan perak

Ulama’ telah menetapkan keharaman memakai wadah dari emas dan perak. Bahkan ada ulama’ yang memberlakukannya pada wadah yang sekedar berhiaskan emas atau perak. Lalu bagaimana hukum bagi orang yang hanya menyimpannya sebagai sekedar koleksi perabot? Bagaimana hukum mengoleksi perabot dari emas dan perak? Apabila diharamkan, apakah menyimpan koleksi peninggalan kerajaan terdahulu berupa wadah dari emas di museum juga diharamkan? Lebih lengkapnya, simak penjelasan para pakar tafsir dan fikih berikut ini:

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Hukum Makan Dan Minum dari Wadah Emas atau Perak

Pro Kontra Hukum Mengoleksi Perabot dari Emas dan Perak

Allah berfirman:

يُطَافُ عَلَيْهِمْ بِصِحَافٍ مِّنْ ذَهَبٍ وَّاَكْوَابٍ ۚوَفِيْهَا مَا تَشْتَهِيْهِ الْاَنْفُسُ وَتَلَذُّ الْاَعْيُنُ ۚوَاَنْتُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَۚ

Kepada mereka diedarkan piring-piring dan gelas-gelas dari emas dan di dalamnya (surga) terdapat apa yang diingini oleh hati dan dipandang sedap oleh mata serta kamu kekal di dalamnya (QS. Az-Zukhruf [43] :71)

Tatkala mengulas tafsir tentang ayat di atas, Imam Al-Qurthubi menyatakan keharaman memakai wadah dari emas dan perak, juga menyimpan keduanya. Imam Al-Qurthubi beralasan, sudah seharusnya apa yang tidak boleh dipakai juga tidak boleh disimpan. Sebagaimana patung berhala. Imam Al-Qurthubi juga mengkritik pendapat yang menyatakan wajibnya memberi ganti rugi bagi orang yang memecahkan wadah emas atau perak. Sebab seharusnya hukum memecahkan wadah tersebut adalah wajib. Komentar senada tentang hukum menyimpan wadah emas dan perak juga disampaikan Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir Munir (Tafsir Al-Qurthubi/16/97 dan Tafsir Munir/25/191).

Imam An-Nawawi memberikan penjelasan, beberapa ulama’ dari kalangan mazhab syafi’i mendokumentasikan terjadinya pro kontra diantara para ulama’ mengenai hukum menyimpan wadah emas dan perak tanpa menggunakannya. Mereka memiliki penjelasan yang berbeda-beda mengenai pro kontra tersebut. Namun mereka sepakat mensahihkan pendapat yang menyatakan haramnya menyimpan wadah dari emas dan perak.

Imam An-Nawawi juga menyatakan bahwa pendapat tersebut adalah pendapat mazhab malikiyah juga mayoritas ulama’. Ia mengemukakan tiga alasan terkait hukum ini: pertama, sudah seharusnya yang tidak boleh dipakai juga tidak boleh disimpan sebagaimana patung berhala; kedua, menyimpan keduanya dapat membuka celah untuk memakai keduanya; ketiga, alasan dari larangan memakai adalah sebab adanya bentuk berlebihan dan pamer, dan itu juga muncul dalam tindakan menyimpan (Al-Majmu’/1/252).

Imam Mawardi di dalam Al-Hawi Al-Kabir juga mendokumentasikan pro kontra tersebut. Pendapat yang menyatakan bolehnya menyimpan wadah emas dan perak beralasan, bukankah keharaman dalam hadis hanya mengarah pada pemakaian saja? Sedang yang menghukumi haram menyamakan tindakan mengoleksi wadah dari emas dan perak, sebagaimana menyimpan minum-minuman keras (Al-Hawi Al-Kabir/1/113).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Hukum Menggunakan Benda Berhiaskan Emas dan Perak

Syaikh Wahbah Az-Zuhaili mengutip sebagian komentar ulama’ mazhab syafiiyah, bahwa tampaknya keharaman ini juga berlaku pada tindakan menyimpan dengan tujuan hendak diperjual belikan. Sebab keharaman penggunaan keduanya berlaku pada semua orang, beda dalam permasalahan pemakaian kain sutra (Al-Fiqhu Al-Islami/4/2633).

Kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah memetakan bahwa ulama’ yang membolehkan adalah dari mazhab hanafiyah dan Sebagian dari mazhab malikiyah dan syafiiyah. Sedang yang menyatakan haram adalah mazhab hanabilah, sebagian dari malikiyah serta pendapat paling sahih dari mazhab syafiiyah (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah/2/62)

Dari berbagai uraian di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa mayoritas ulama’ menghukumi menyimpan wadah dari emas dan perak hukumnya haram. Lalu bagaimana hukum museum mengoleksi wadah emas? Penulis belum menemukan keterangan yang jelas perihal hal ini. Namun bila melihat kecilnya kemungkinan digunakannya wadah tersebut untuk makan dan sebagainya, serta tidak adanya unsur pamer dari individu dalam penyimpanannya, maka seharusnya tidak sampai diharamkan. Wallahu a’lam bish showab

Surah Al-Nisa’ Ayat 3: Poligami Perspektif Quraish Shihab dan Amina Wadud

0
Poligami
Poligami

Akhir-akhir ini masyarakat sosial media dihebohkan dengan kegiatan pelatihan poligami. Hal itu dilakukan oleh “kiai” dengan peserta seminar mayoritas perempuan. Pada sebuah wawancara di kanal Narasi TV, ia mengaku telah menikah enam kali. Dua istrinya telah diceraikan dengan dalih menopause, sedangkan ia masih menginginkan untuk memiliki keturunan.

Yang menjadi argumentasinya adalah Q.S al-Nisa’/4:3 yang kerap juga digunakan oleh orang-orang yang melakukan poligami. Bagaimana sebenarnya ayat tersebut dimaknai oleh ulama-ulama tafsir? Artikel ini akan mengulas pemahaman dan penafsiran ayat tersebut dari perspektif mufasir terkemuka yakni M. Quraish Shihab.

Firman Allah Q.S al-Nisa’/4:3.

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَا فَانْكِحُوا مَا طَابلَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَا وَثُلَاثوَرُبَاعفَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةأَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمذَلِكَ أَدْنَا أَلَّا تَعُولُوا

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah mengatakan bahwa setelah terbit larangan untuk mengambil dan memanfaatkan harta anak yatim untuk konsumsi pribadi, kini yang dilarang adalah berlaku aniaya terhadap pribadi anak yatim itu. Karenanya, ditegaskan bahwa dan jika kamu tidak akan bisa berlaku adil terhadap perempuan yatim, dan kamu percaya diri akan berlaku adil terhadap wanita-wanita selain yatim itu, maka nikahilah apa yang kamu senangi.

Baca Juga: Surah An-Nisa Ayat 86: Prinsip Saling Menghormati dalam al-Qur’an

Dalam hal ini, Islam menempuh cara yang bertahap dalam menyelesaikan problem perbudakan yang terjadi pada zaman tersebut, dimana zaman ersebut terdapat banyak budak yang menggantungkan hidupnya pada tuannya untuk memenuhi kebutuhan sandang, papan dan pangannya. Apabila Islam langsung menghapuskan konsep perbudakan maka dipastikan problema sosial yang jauh lebh parah dari PHK (Pemutsan Hubungan Kerja) secara masal. Pada saat itu, jika para budak dibebaskan, maka budak tersebut harus menyiapkan sandang, papan dan pangannya secara mandiri sedangkan kondisi ekonomi pada saat itu sanga tidak memungkinkan.

Oleh karenanya, bisa dipahami mengapa al-Qur’an dan sunnah menempuh jalur yang bertahap dalam pembebasan budak. Adapun salah satu konsep yang digagas oleh al-Qur’an yakni dengan melakukan pernikahan antara laki-laki yang merdeka dengan budak perempuan, sebab jika pernikahan berlangsung antara budak laki-laki dan budak perempuan, maka anaknya akan tetap menjadi budak, siklus ini tidak akan menyebabkan terjadinya suatu perubahan karena muaranya kan tetap pada perbudakan.

Akan tetapi, dewasa ini sudah tidak ada lagi perbudakan. Pembantu rumah tangga sdah tidak lagi dikatakan sebagai budak, ini karena Islam hanya mlegalisasikan perbudakan karena adanya perang, yakni para tawanan perang. Sedangkan pembantu rumah tangga atau tenaga kerja wanita tidak diperoleh melaui peperangan dan mereka adalah orang-orang yang merdeka, kendati mereka lemah dalam hal ekonomi.

Adapun argumentasi atau penyebutan dalam al-Qur’an tentang menikahi dua, tiga, atau empat pada hakikatnya adalah dalam rangka tuntunan untuk berlaku adil kepada anak yatim. Redaksi ayat ini dapat dianalogikan seperti ucapan seseorang yang melarang orang lain makan-makanan tertentu, dan untuk menguatka larangan tersebutt ia mengatakan “Jika kamu khawatir akan sakit karena makan-makanan ini, habiskan saja makanan selainnya yang ada dihapanmu” tentu saja kata habiskan saja makanan selainnya adalah indikasi untuk mengindahkan larangan memakan makanan tertentu.

Kita tidak dapat membenarkan segala argumentasi yang mengatakan bahwa poligami adalah sebuah anjuran dengan dalih bahwa perintah di atas dimulai dengan bilangan dua, tiga atau empat, baru kemudian jika dikhawatirkan tidak adil, maka “nikahilah seorang saja”. Tidak juga dapat dikatakan bahwa Rasulullah Saw, menikah lebih dari satu kali, dan perlakuan tersebut hendaknya diteladani.

Perlu dipahami bersama bahwa, tidak segala yang dilakukan oleh Rasulullah Saw harus diteladani, sebagaimana segala sesuatu yang wajib bagi Rasuullah, wajib juga bagi umatnya. Bukankah wajib bagi Rasulullah Saw melaksanakan shalat malam dan tidak boleh menerima zakat? Bukankah tidak batal wudhu Rasulullah ketika ia tertidur? Apakah mereka benar-benar ingin meniru Rasulullah dalam hal pernikahan?

Jika benar demikian, maka perlu diberitahukan secara gamblang bahwa semua wanita yang beliau nikahi kecuali Aisyah ra., adalah janda-janda dan kesemuanya dengan tujuan menyukseskan dakwah atau membantu dan menyelamatkan para wanita yang kehilangan suami di medan perang, serta pada umumnya, wanita-wanita tersebut dikenal tidak memiliki daya tarik.

Jika dalih mengikuti sunnah Rasulullah Saw, maka dalam mempraktekkan sunnah Rasul hendaknya dilakukan secara full tanpa mengindahkan hal-hal yang lain yang Rasulullah lakukan. Agar kesan dari wacana mengikuti sunnah Rasul benar-benar murni dari apa yang Rasulullah Saw perintahkan, bukan sebagai legalitas dari keinginan syahwat yang berasaskan sunnah. Sebab untuk melakukan poligami ada aturan-aturan tertentu yang mesti dipenuhi tidak serta merta berpoligami karena hasrat dari syahwat.

Kemudian, jika ditinjau historis, bangsa Arab pra Islam maka akan kita temukan sejarah dimana orang-orang Arab terdahulu menjadikan perempuan hanya sekadar pemuas hawa nafsu dan tidak ada batasan-batasan tertentu bagi laki-laki manapun yang mau menikahi wanita sebanyak apapun yang ia kehendaki. Kemudian, Islam datang dan menekan hal tersebut dengan memberikan batasan untuk menikahi dua, tiga atau empat wanita saja dengan syarat dapat menegakkan keadilan bagi istri yang dinikahinya.

Sedangkan Amina Wadud, salah seorang mufassir di kalangan perempuan, juga pemerhati isu-isu feminis dan gender. Ia menyayangkan ayat tersebut sering ditafsirkan secara tidak tepat oleh kebanyakan orang, bahkan disalahpahami, terutama oleh mereka yang mendukung poligami, sehingga seakan-akan seseorang dibolehkan begitu saja melakukan poligami, tanpa memperhatikan bagaimana konteks ketika turunnya ayat.

Menurut Ibn Katsir, asbab al-nuzul ayat tersebut adalah berkaitan dengan seseorang yang hendak menikahi perempuan yatim, tetapi ia khawatir tidak dapat berlaku adil. Ibn Katsir mengutip hadits yang diuraikan ‘Aisyah ketika ditanya tentang sebab turunnya Q.S. an-Nisa’/4:3 :

‘Aisyah menjawab : “perempuan yatim yang berada dalam pengampuan seorang wali, kemudian ia hendak menikahinya karena terpesona dengan harta dan kecantikannya dengan memberikan mahar tidak sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, mereka dilarang untuk menikahinya kecuali mampu berbuat adil dan menyempurnakan (melengkapi) maharnya.

Menurut Amina Wadud, Q.S al-Nisa’/4:3, berbicara tentang perlakuan terhadap  anak  yatim. Terkadang, wali yang diamanahkan untuk mengelola kekayaan anak-anak  yatim perempuan, tidak mampu mencegah dirinya dari ketidakadilan dalam mengelola harta anak yatim. Dengan demikian, menurut Amina Wadud salah satu solusi untuk mengatasi salah-kelola (mismanagement) adalah dengan menikahi anak yatim tersebut. Pada satu sisi al-Qur’an membatasi jmlah istri yang dapat dinikahi. Di sisi lain, tanggung jawab ekonomi untuk menafkahi istri sejalan dengan akses ke harta perempua anak yatim melalu tanggung jawab manajemen. Namun, kebanyakan pendukung poligami jarang membicarakan poligami dalam konteks merawat anak anak yatim.

Baca Juga: Praktisi Poligami Ceraikan Istri yang Menopause, Ini Hakikat Poligami Sebenarnya

Amina Wadud juga menyoroti tentang keadilan yang dimaksud pada ayat tersebut. Menurut Amina Wadud keadilan harus didasarkan pada kualitas waktu dan kesamaan dalam hal kasih sayng, dukungan spiritual, moral dan intelektual. Menurut Amina Wadud, berbagai pengertian umum tentang keadilan sosial ini harus dipertimbangkan sebagai bagian dari perlakuan adil terhadap istri. Q.S al-Nisa’/4:3, berbicara tentang poligami dengan memberikan penekanan pada syarat keadilan, yaitu berlaku adil dalam mengelola dana, adil kepada anak-anak yatim, adil kepada istri-istri dan perilaku adil lainnya.

Terkait tentang keadilan, Amina Wadud mengutip Q,S al-Nisa’/4:129.

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Amina Wadud menganggap bahwa ayat tersebut menjadi landasan syarat keadilan untuk melakukan poligami sulit untuk tercapai, bahkan mungkin menjadi hal yang mustahil untuk bisa dilaksanakan. Karena ayat tersebut telah menegaskan dengan mengatakan bahwa manusia tidak akan mampu berbuat adil terhadap para istri, kendatipun ia memiliki keinginan yang begitu menggebu untuk berbuat adil.