Beranda blog Halaman 176

Kajian Kata Mukjizat dalam Al-Quran dan Aspek Kemukjizatan Al-Quran

0
Mukjizat
Kata Mukjizat dalam al-Quran

Kata mukjizat terambil dari bahasa Arab, mu’jizah (معجزة), yang berarti sesuatu yang dapat membuat lemah atau tak mampu. Kamus Besar Bahasa Indonesia V kita mengartikan mukjizat sebagai; kejadian (peristiwa) ajaib yang sukar dijangkau oleh kemampuan akal manusia. Daripada arti mukjizat dalam bahasa Indonesia, arti kata mukjizat dalam bahasa Arab ini lebih pas dan cocok, serta sesuai dengan kegunaan mukjizat itu sendiri, yaitu melemahkan.

Karamah, kata yang kerap disebut-sebut selain mukjizat untuk menyebut sesuatu yang luar biasa, oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia V diartikan sebagai; kemuliaan berupa sesuatu di luar logika manusia yang Allah berikan kepada para wali Allah. Ada kesamaan antara takrif mukjizat dan karamah, yaitu sesuatu yang di luar jangkauan akal atau logika manusia. Bedanya, mukjizat diartikan umum, sementara karamah dikhususkan kepada para wali Allah.

Mukjizat dalam Al-Quran

Definisi kata mukjizat sebagai kejadian ajaib irasional agaknya belum memadai. Ada takrif lain yang lebih spesifik, yaitu kejadian ajaib di luar jangkauan logika manusia yang diberikan kepada para nabi Allah untuk menguatkan kenabiannya. Takrif tersebut terbaca dalam al-Mu’jam al-Wasith yang diterbitkan Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah, Mesir (cet. IV, 2004).

Kita akrab dengan berbagai mukjizat yang dikisahkan di dalam al-Quran. Ada Nabi Musa dengan tongkatnya yang dapat mewujud seekor ular raksasa (Thaha [20]: 19-20).

قَالَ اَلْقِهَا يٰمُوْسٰى فَاَلْقٰىهَا فَاِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعٰى

(Allah) berfirman, “Lemparkanlah (tongkat) itu, wahai Musa!”

Maka, dia (Musa) melemparkannya. Tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat.

Ada Nabi Isa yang dapat menghidupkan orang mati serta mukjizat lainnya yang terbaca dalam Ali ‘Imran [3]: 49 berikut.

وَرَسُوْلًا اِلٰى بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ ەۙ اَنِّيْ قَدْ جِئْتُكُمْ بِاٰيَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ ۙاَنِّيْٓ اَخْلُقُ لَكُمْ مِّنَ الطِّيْنِ كَهَيْـَٔةِ الطَّيْرِ فَاَنْفُخُ فِيْهِ فَيَكُوْنُ طَيْرًاۢ بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚوَاُبْرِئُ الْاَكْمَهَ وَالْاَبْرَصَ وَاُحْيِ الْمَوْتٰى بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚوَاُنَبِّئُكُمْ بِمَا تَأْكُلُوْنَ وَمَا تَدَّخِرُوْنَ ۙفِيْ بُيُوْتِكُمْ ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيَةً لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَۚ

(Allah akan menjadikannya) sebagai seorang rasul kepada Bani Israil. (Isa berkata,) “Sesungguhnya aku telah datang kepadamu dengan tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, sesungguhnya aku membuatkan bagimu (sesuatu) dari tanah yang berbentuk seperti burung. Lalu, aku meniupnya sehingga menjadi seekor burung dengan izin Allah. Aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahir dan orang yang berpenyakit buras (belang) serta menghidupkan orang-orang mati dengan izin Allah. Aku beri tahukan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kerasulanku) bagimu jika kamu orang-orang mukmin.

Baca Juga: Etika Bergaul dengan Non muslim dalam Pandangan Al-Qur’an

Ada Nabi Sulaiman yang menguasai seluruh makhluk di bumi sebagaimana terbaca dalam al-Naml [21]: 16 dan 39, Saba’ [34]: 12, dan Shad [38]: 36-38. Itu semua adalah mukjizat. Logika manusia tak sanggup menjangkau peristiwa-peristiwa lampau itu.

Peristiwa-peristiwa itu telah selesai pada masanya. Meski demikian, peristiwa demi peristiwa supranatural itu akan terkisah di dalam al-Quran, mukjizat Nabi Muhammad Saw terkekal yang akan tetap eksis sampai Allah berkehendak merampungi dunia ini.

Kemukjizatan Al-Quran

Allah telah menegaskan sendiri dalam banyak ayat al-Quran, bahwa tak seorang pun yang mampu menyamai, apalagi menandingi, kitab suci al-Quran. Misalnya dalam al-Isra’ [17]: 88.

قُلْ لَّىِٕنِ اجْتَمَعَتِ الْاِنْسُ وَالْجِنُّ عَلٰٓى اَنْ يَّأْتُوْا بِمِثْلِ هٰذَا الْقُرْاٰنِ لَا يَأْتُوْنَ بِمِثْلِهٖ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيْرًا

Katakanlah, “Sungguh, jika manusia dan jin berkumpul untuk mendatangkan yang serupa dengan Al-Qur’an ini, mereka tidak akan dapat mendatangkan yang serupa dengannya, sekalipun mereka membantu satu sama lainnya.”

Pernyataan senada—tak seorang pun yang mampu mendatangkan yang serupa dengan al-Quran—ini terulang dalam beberapa ayat lain seperti al-Thur [52]: 33-35, Hud [11]: 13-14, al-Baqarah [2]: 23-24 dan Yunus [10]: 38.

Al-Quran adalah bukti kebenaran risalah Nabi Muhamad. Kita membaca uraian al-Imam Abu Bakr al-Baqilani (w. 403 H) dalam karya monumentalnya, I’jaz al-Quran (2009) berikut;

Al-Quran adalah kitab yang menunjukkan kebenaran ucapan pembawanya (baca: Nabi Muhammad Saw) dan argumentasi yang menjadi saksi dari argumentasi-argumentasi pada nabi pendahulu. Jika orang mengira al-Quran adalah perkataan biasa yang dapat dipahami sampai tuntas, maka ia salah. Orang akan sadar ketidakmampuannya memahami al-Quran seperti halnya kaum Nabi Isa yang menyadari ketidakmampuannya mempelajari tuntas ilmu medis, yang kemudian datanglah Nabi Isa dengan kemampuan menghidupkan orang mati dan menyembuhkan penyakit baras dan kusta.

Seperti juga halnya Nabi Musa yang menaklukkan ilmu sihir (yang waktu itu lagi matang-matangnya) dengan tongkatnya sekali lempar. Lantas para penyihir sadar bahwa apa yang dilakukan Nabi Musa adalah sesuatu yang lebih dari sekadar ilmu sihir. Kesadaran mereka akan ketidakmampuan mengantarkan mereka murtad dari Fir’aun dan meyakini Tuhan Musa.

Hal tersebut juga terjadi di hadapan al-Quran. Kita membaca kisah-kisah islamnya para penyair beken Jahiliyah seperti Utbah, Labid bin Rabiah al-‘Amiriy, Ka’b bin Zuhair, Hassan bin Tsabit, al-Thufail bin ‘Amr al-Dawsiy dan banyak lainnya. Satu kisah nama terakhir bakal kita simak. Kisah ini terekam dalam Abu Hurairah Rawiyat al-Islam (1982) karya Dr. Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib.

Kisah Islamnya al-Thufail

Adalah al-Thufail bin Amr al-Dausiy, seorang lelaki penyair beroleh nama di hati kaumnya. Keharuman namanya dikenal oleh kabilah Quraisy di Makkah. Kala al-Thufail ingin bertolak ke Makkah, orang-orang rewel mewanti-wantinya supaya tak mengindahkan seorang lelaki pembuat onar jika ia telah sampai di Makkah nanti. Yang dimaksud lelaki pembuat onar itu tak lain dan tak bukan adalah Nabi Muhammad Saw.

Setibanya di Makkah, dalam sebuah riwayat, al-Thufail diingatkan lagi oleh orang-orang Makkah soal lelaki itu. Al-Thufail juga diminta untuk membuktikannya sendiri dengan bertemu lelaki yang membuat para pembesar Makkah senewen.

Bertemulah al-Thufail dengan lelaki yang dimaksud. Lalu ia melontarkan syair-syair olokan kepada si lelaki. Lelaki itu membalasnya, bukan dengan syair atau retorika apalah-apalah, tapi dengan membacakan tiga ayat al-Quran masing-masing al-Ikhlas, al-Falaq dan al-Nas.

Baca Juga: Citra Nabi Muhammad dalam Al-Quran Perspektif Tarif Khalidi (1)

Al-Thufail terperangah, lidahnya kelu, masih terngiang jelas di kupingnya ayat-ayat al-Quran yang aduhai indahnya dibacakan oleh seorang lelaki di hadapannya. Sebuah untaian kalimat yang takpernah sekali pun keluar dari mulut seseorang kecuali dari Nabi Muhammad Saw.

اَمْ يَقُوْلُوْنَ افْتَرٰىهُ ۗ قُلْ فَأْتُوْا بِسُوْرَةٍ مِّثْلِهٖ وَادْعُوْا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ

Bahkan, apakah (pantas) mereka mengatakan, “Dia (Nabi Muhammad) telah membuat-buat (Al-Qur’an) itu.”? Katakanlah (Nabi Muhammad), “(Kalau demikian,) buatlah satu surah yang semisal dengannya dan ajaklah siapa yang dapat kamu (ajak) selain Allah (untuk menolongmu), jika kamu orang-orang yang benar.”

Jelas sudah, al-Quran bukanlah buatan manusia. Ia adalah benar-benar mukjizat yang diberikan kepada Nabi Muhammad Saw, yang akan tetap ada hingga hari akhir kelak. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah An-Najm Ayat 1-2

0
Tafsir Surah An-Najm
Tafsir Surah An-Najm

Pada Tafsir Surah An-Najm Ayat 1-2 ini menceritakan tentang sumpah Allah terhadap bintang dan kebenaran tentang Nabi Muhammad saw.  Dijelaskan dalam Tafsir Surah An-Najm Ayat 1-2 ini bagaimana manfaat bintang yang beredar pada porosnya dari sisi ilmu sains modern. Selain itu, dijelaskan juga pada Tafsir Surah An-Najm Ayat 1-2 ini bagaimana Nabi Muhammad sebagai seorang Rasul.

Ayat 1

Allah swt menerangkan bahwa Ia bersumpah dengan makhluk-Nya yang besar yakni bintang yang beredar pada porosnya, sehingga tidak saling berbenturan satu dengan yang lainnya. Bintang-bintang itu merupakan petunjuk bagi manusia dalam hutan dan di padang pasir, di tempat kediaman dan dalam perjalanan, di kampung dan di kota, dan juga di lautan, bintang-bintang itu besar sekali faedahnya bagi kehidupan manusia.

Allah swt mengarahkan sumpah-Nya kepada kaum musyrikin agar mengetahui betapa banyak manfaatnya bintang-bintang bagi mereka. Antara lain untuk mengetahui perubahan musim agar mereka bersiap-siap untuk menggembalakan ternak mereka, kemudian setelah turun hujan mereka dapat menanam tanaman yang sesuai dengan musimnya.

Sumpah Allah tersebut mengingatkan manusia bahwa di sana ada benda-benda yang perkasa di ruang angkasa yang harus mereka ketahui, agar mereka dapat meyakini besarnya sumber kekuasaan Allah dan indahnya ciptaan-Nya.

Ilmu pengetahuan modern telah menerangkan bahwa di angkasa raya ada keajaiban yang dapat dilihat dari cepatnya peredaran dan bentuknya yang besar.

Alam matahari terdiri dari matahari dan 9 buah planet yang kebanyakan dikelilingi oleh beberapa buah bulan. Matahari itu dalam alamnya adalah sebagian daripada alam angkasa. Di alam angkasa ada sekitar 30.000.000.000 (tigapuluh miliar) bintang. Setiap bintang adalah sebagai matahari seperti mataharinya manusia di bumi ini. Ada yang lebih besar dan ada pula yang lebih kecil daripadanya. Umur matahari adalah sekitar lima milyar tahun, umur bumi sekitar 2.000 juta tahun. Umur air di atas bumi sekitar 300 juta tahun. Dan umur manusia sekitar 300.000 tahun.


Baca Juga : Wa An-Najm Idha Hawa: Demi Bintang, Demi Muhammad, Demi Al-Quran


Dan alam semesta itu mempunyai penjaga (hanya Allah-lah yang mengetahuinya). Dan tidak seorang pun yang mengetahui bala tentara Tuhan kecuali Dia.

 Al-‘Amasy dari Mujahid mengatakan bahwa ayat ini merujuk pada Al-Qur’an ketika diturunkan seperti dalam firman-Nya:

فَلَآ اُقْسِمُ بِمَوٰقِعِ النُّجُوْمِ   ٧٥  وَاِنَّهٗ لَقَسَمٌ لَّوْ تَعْلَمُوْنَ عَظِيْمٌۙ    ٧٦  اِنَّهٗ لَقُرْاٰنٌ كَرِيْمٌۙ    ٧٧  فِيْ كِتٰبٍ مَّكْنُوْنٍۙ   ٧٨  لَّا يَمَسُّهٗٓ اِلَّا الْمُطَهَّرُوْنَۙ    ٧٩  تَنْزِيْلٌ مِّنْ رَّبِّ الْعٰلَمِيْنَ   ٨٠ 

Lalu Aku bersumpah dengan tempat beredarnya bintang-bintang. Dan sesungguhnya itu benar-benar sumpah yang besar sekiranya kamu mengetahui, dan (ini) sesungguhnya Al-Qur’an yang sangat mulia, dalam Kitab yang terpelihara (Lauh Mahfudz), tidak ada yang menyentuhnya selain hamba-hamba yang disucikan. Diturunkan dari Tuhan seluruh alam. (al-Waqi’ah/56: 75-80)

Ayat 2

Allah menerangkan bahwa kawan mereka itu (Muhammad) adalah benar-benar seorang Nabi. Dia tidak pernah menyimpang dari jalan yang benar dan juga tidak pernah melakukan kebatilan.

Pada kenyataannya Rasulullah saw adalah seorang rasul yang diberi petunjuk oleh Allah, dia mengikuti kebenaran. Dia bukan seorang yang menyesatkan (dan ia tidak berjalan pada jalan yang ia sendiri tidak mengetahuinya). Dia bukan seorang yang sesat yang berpaling dari kebenaran dengan suatu tujuan tertentu. Keadaan beliau yang seperti itu, bukan saja setelah beliau diangkat menjadi rasul, tetapi juga sebelumnya. Oleh sebab itulah Allah memberikan kepadanya petunjuk dan syariat untuk memberikan sinar terang kepada orang-orang yang sesat baik Yahudi maupun Nasrani yang sebenarnya mereka mengetahui kebenaran itu, tetapi tidak mengamalkannya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelanya : Tafsir Surah An-Najm Ayat 3-5


Kajian Makna Kata Sarab (Fatamorgana) dalam Al-Quran dan Hikmahnya

0
Fatamorgana
Fatamorgana

Dalam KBBI, fatamorgana memiliki dua pengertian. Pertama, gejala optis pada objek yang panas sehingga nampak seperti genangan air. Kedua, hal yang besifat khayalan dan tidak mungkin dicapai.(KBBI) Kedua pengertian tersebut memiliki kesamaan, hal yang nampak nyata tetapi sejatinya tidak.

Dalam bahasa Inggis, fatamorgana disebut mirage. Yakni efek dari udara panas di padang gurun ataupun jalan sehingga memunculkan ilusi optik beupa air. Mirage memiliki sinonim illusion (ilusi) yang memiliki pengertian dasar sama (tidak nyata). (Oxford Dictinory)

Meski fatamorgana sering digunakan dalam fenomena Alam, kata tersebut juga sering digunakan dalam berbagai konteks. Seperti ketika menggambarkan sebuah kepalsuan yang dibalut dalam kehidupan realita.

Dalam bahasa Arab, fatamorgana diterjemahkan dengan lafadz سراب(sara>bu). Didalam Al-Quran, kata سراب yang menunjukkan arti fatamorgana terdapat pada dua surah yakni An-Nur ayat 24 dan An-Naba ayat 20. Jika mengacu pada definisi pertama, fenomena fatamorgana dijelaskan pada surah An-Nur (24): 39 yang berbunyi:

وَالَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍۢ بِقِيْعَةٍ يَّحْسَبُهُ الظَّمْاٰنُ مَاۤءًۗ حَتّٰٓى اِذَا جَاۤءَهٗ لَمْ يَجِدْهُ شَيْـًٔا وَّوَجَدَ اللّٰهَ عِنْدَهٗ فَوَفّٰىهُ حِسَابَهٗ ۗ وَاللّٰهُ سَرِيْعُ الْحِسَابِ ۙ

Dan orang-orang yang kafir, amal perbuatan mereka seperti fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi apabila (air) itu didatangi tidak ada apa pun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah baginya. Lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan (amal-amal) dengan sempurna dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya.

Baca Juga: Surah Al-Mumtahanah Ayat 8-9 dan Pesan Relasi Muslim-Non Muslim dalam Tafsir Al-Ibriz

Dalam tafsir al-Ma’tsur yang ditulis Jalaludin As-Suyuthi mengutip hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas, ayat ini gambaran segala amal perbuatan baik orang-orang kafir di dunia tidak akan memberikan pertolongan di hari kiamat.

Anggapan tersebut diibaratkan Al-Quran seperti fenomena fatamorgana di padang pasir. Ketika orang-orang yang sedang kehausan melihat air di gurun, mereka mendekatinya. Namun setelah sampai, apa yang dilihatnya bukanlah sesuatu yang nyata.(ad-Durru al-Mantsur fi at-Tafsiri al-Ma’tsur, Jilid 11, Hal. 88)

Sementara itu dalam tafsir An-Nur dijelaskan bahwa keimanan  merupakan syarat utama diterimanya amal kebaikan semasa di dunia.(Tafsir An-Nur, Jilid 6, Hal. 174) Orang yang enggan beriman kepada Allah, segala perbuatan dan amal kebaikan diibaratkan seperti fatamorgana di padang gurun.

Di ayat yang lain juga dijelaskan fatamorgana dalam konteks yang berbeda. Dalam surah An-Naba(78): 20 Allah berfirman:

وَّسُيِّرَتِ الْجِبَالُ فَكَانَتْ سَرَابًاۗ

Dan gunung-gunung pun dijalankan sehingga menjadi fatamorgana

An-Naba ayat 17-20 merupakan rangkaian ayat yang menceritakan kejadian pada hari akhir. Dalam Tafsir Kemenag dijelaskan bahwa hasil dari letusan gunung-gunung di hari kiamat sebabkan gunung tersebut tidak utuh lagi. Akibat dari guncangan yang dahsyat menimbulkan kabut yang pekat sehingga jika dilihat dari jauh nampak seperti bayangan air (fatamorgana).

Ibnu katsir memberikan tambahan An-Naba ayat 20 dijelaskan lebih lanjut pada surah An-Naml(27):88. Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa manusia menyangka gunung-gunung diam pada tempatnya. Padahal pada hakikatnya gunung-gunung tersebut bergerak.

Kata سَرَابًا dijelaskan manusia menyangka pada hari kiamat gunung-gunung baik baik saja (tidak berubah bentuk). Padahal akibat dari letusan tersebut, gunung-gunung kehilangan bentuknya seperti tak berbekas.  Gunung dengan segala kemegahannya bukanlah apa-apa dari kekuasaan Allah SWT.(Tafsir Al-Quran Al-Adzim. Jilid 8, hal. 205)

Dalam dua contoh tersebut juga memiliki kesamaan. سراب digunakan untuk menggambarkan keterbatasan manusia dibanding kekuasaan Allah pada masing-masing ayat. Fatamorgana dilihat dari dua contoh dalam Al-Quran tersebut menjelaskan dua hal. Pertama, apa yang nampak secara lahir terlihat benar. Kedua, jawaban dari hal yang bertama dan merupakan kebenaran akhir.

Di dalam kehidupan nyata, kebenaran secara panca indra banyak ditemukan, meski tidak benar sepenuhnya dari segi ilmu pengetahuan. Selain fatamorgana yang digambarkan pada gurun pasir, dapat juga ditemukan pada  sebuah pensil yang terlihat patah ketika dimasukkan kedalam air sebagian.

Baca Juga: Mengenal Lebih Dekat Tafsir Juz ‘Amma Karya Kh. Masruhan Ihsan

Dari pengelihatan mata, semua orang setuju bahwa pensil tersebut terlihat patah. Tetapi fakta pengetahuan mengatakan bahwa hakikat dari pensil tersebut tidak patah, melainkan akibat dari pembiasan cahaya.

Berdasarkan penjelasan fatamorgana diatas, mengajarkan kita untuk tidak menjadikan pandangan inderawi sebagai kebenaran mutlak. Melainkan pijakan awal untuk terus berpikir dan terus menjadi kebenaran hakiki. Adapun yang dijelaskan pada surah An-Nur ayat 20 bukan sebagai legitimasi menyalahkan agama ataupun kepercayaan lain. tetapi untuk muhasabah diri supaya terus beribadah dan memohon ampunan kepada Allah.

Demikianlah kata sarab (fatamorgana) dalam al-Quran beserta hikmah yang bisa diambil. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.

Mengenal Hukum Wadh’i dan Contohnya dalam Al-Qur’an

0
Hukum Wadh’i dan Contohnya
Hukum Wadh’i dan Contohnya

Hukum Islam secara terminologi disebut sebagai syariat atau hukum syar’i yang memuat  ketentuan Allah Ta’ala bagi hambanya. Sedangkan syariat sendiri bersumber dari kitabullah dan sunnah Rasulullah serta apa saja perbuatan yang diamalakan oleh generasi salaf. Dalam pandangan para ulama hukum syar’i terbagi menjadi dua yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i, tulisan ini bermaksud menjelaskan tentang hukum wadh’i dan contohnya dalam Al-Qur’an. Hukum wadh’i bermakna khitob dari Allah Ta’ala yang berhubungan dengan penetapan sesuatu sebagai sebab, syarat, dan pengahalang atas sesuatu yang lain.

Dari pengertian di atas maka hukum wadh’i terbagi atas tiga kategori:

  1. Sebab, maksudnya keberadaannya mengharuskan adanya suatu hukum, dan sebaliknya jika keberadaannya tidak dijumpai maka tidak ada hukum karena ketidakadaannya. (Ahamd Idris al-Qarafi, syarh tanqihul fushul)

Contohnya adalah tentang  pergerakan matahari yang digunakan sebagai acuan masuk waktu dalam melaksanakan kewajiban ibadah  sholat yang terdapat dalam Al-Qur’an Surah Al- Isra ayat 78:

أَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ لِدُلُوكِ ٱلشَّمْسِ إِلَىٰ غَسَقِ ٱلَّيْلِ وَقُرْءَانَ ٱلْفَجْرِ ۖ إِنَّ قُرْءَانَ ٱلْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا

Artinya: Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).

Wahbah Zuhaili menafsirkan ayat diatas sebagai berikut: Dirikanlah shalat (shalat zhuhur) sesudah tergelincirnya matahari dan sesudah condong dari tengah-tengah langit menuju arah barat. Lalu dirikanlah dua shalat, yaitu maghrib dan isya’ ketika telah datang kegelapaan malam. Lalu dirikanlah shalat fajar (subuh). Sesungguhnya shalat fajar dan membaca Al-Qur’an di dalamnya merupakan ibadah yang disaksikan oleh para malaikat malam dan malaikat siang (Tafsir Al-Wajiz 291).

Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukum Mengoleksi Perabot dari Emas dan Perak

2. Syarat, artinya ketiadaannya mengharuskan tidak adanya hukum, akan tetapi keberadaannya tidak mengharuskan ada atau tidaknya sebuah hukum, dan ia berasal dari luar substansi yang disyaratkan itu. ( Mahmud Muhammad al Thanthawi, Ushul Fiqh al Islami 91)

Dalam hal ini dicontohkan seperti melakukan wudlu sebelum sholat. hakikatnya wudlu merupakan salah satu syarat sah sholat, tetapi adanya wudlu belum tentu adanya sholat, bisa jadi wudlu digunakan untuk mensucikan diri sebelum membaca Al-Qur’an, thawaf, atau ibadah lain yang mensyaratkan wudlu.

Mengenai wudlu sebagai syarat sholat sebagaimana firman Allah Ta’ala  dalam Al Qur’an Surah Al Maidah ayat 6:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغْسِلُوا۟ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى ٱلْمَرَافِقِ وَٱمْسَحُوا۟ بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى ٱلْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَٱطَّهَّرُوا۟ ۚ وَإِن كُنتُم مَّرْضَىٰٓ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ ٱلْغَآئِطِ أَوْ لَٰمَسْتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا۟ مَآءً فَتَيَمَّمُوا۟ صَعِيدًا طَيِّبًا فَٱمْسَحُوا۟ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ ۚ مَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُۥ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.

3. Mani’ berarti sesuatu yang keberadaannya menyebabkan pula ketiadaan hukum atau sebab dalam artian menjadikan hukum atau sebab itu menjadi batal. (Abdul Karim Zaidan al-wajiz fi ushul fiqh 63). Dalam hal ini mani’ diartikan sebagai  segala sesuatu yang menjadi pencegah suatu hukum seperti orang mabuk tercegah untuk melakukan sholat, orang junub tercegah untuk i’tikaf di masjid dan wanita haid yang tercegah melakukan sholat. Contoh ayat yang menerangkan tentang mani’ seperti terdapat dalam Al-Qur’an surah An-Nisa’ ayat 43:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.

Baca juga: Tanggapan Fred Donner atas Kajian Otentisitas Al-Quran Para Revisionis

Dari keterangan diatas dapat difahami bahwa Mani’ adalah sesuatu yang ketika adanya sesuatu itu berakibat meniadakan hukum. Demikian penjelasan singkat mengenai  tiga macam hukum wadh’i dan beberapa contoh ayat Al-Quran yang mengandung hukum tersebut. (Wallahu A’lam).

Tafsir Surah Fussilat Ayat 29-30

0
Tafsir Surah Fussilat
Tafsir Surah Fussilat

Tafsir Surah Fussilat Ayat 29-30 berbiacara mengenai dua hal. Pertama mengenai ketidak terimaan orang-orang kafir karena telah terpengaruh oleh setan yang menjerumuskannya keneraka. Kedua berbicara mengenai orang-orang yang beruntung karena taat terhadap perintah agama.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 26-28


Ayat 29

Pada ayat ini diterangkan bahwa tatkala orang-orang kafir itu merasakan azab neraka, mereka minta kepada Allah agar setan-setan yang menyesatkan mereka dihadapkan kepada mereka.

Permintaan itu diajukan agar mereka dapat melampiaskan dendam mereka. Mereka berkata, “Wahai Tuhan kami, hadapkanlah kepada kami setan-setan yang menyesatkan kami itu, agar kami dapat melampiaskan sakit hati kami kepada mereka dengan menginjak-injak tubuh mereka.”

Pada ayat-ayat yang lain diterangkan bahwa setan-setan itu ada yang jenis jin dan ada yang dari jenis manusia, seperti firman Allah:

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيٰطِيْنَ الْاِنْسِ وَالْجِنِّ

Dan demikianlah untuk setiap nabi Kami menjadikan musuh yang terdiri dari setan-setan manusia dan jin… (al-An’am/6: 112)

Dan firman Allah:

الَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِيْ صُدُوْرِ النَّاسِۙ  ٥  مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ ࣖ   ٦

Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia. (an-Nas/114: 5-6);


Baca juga: Mengenal Lebih Dekat Tafsir Juz ‘Amma Karya Kh. Masruhan Ihsan


Ayat 30

Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang yang mengatakan dan mengakui bahwa Tuhan Yang Menciptakan, Memelihara, dan Menjaga kelangsungan hidup, Memberi rezeki, dan yang berhak disembah, hanyalah Tuhan Yang Maha Esa, kemudian mereka tetap teguh dalam pendiriannya itu, maka para malaikat akan turun untuk mendampingi mereka pada saat-saat diperlukan.

Di antaranya pada saat mereka meninggal dunia, di dalam kubur, dan dihisab di akhirat nanti, sehingga segala kesulitan yang mereka hadapi terasa menjadi ringan.

Dalam hadis Nabi saw diterangkan bahwa teguh dalam pendirian itu merupakan hal yang sangat diperlukan oleh seorang mukmin:

عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عَبْدِ اللهِ الثَّقَفِيّ: إِنَّ رَجُلاً قَالَ: يَارَسُوْلَ اللهِ مُرْنِيْ بِأَمْرٍ فِى اْلإِسْلاَمِ لاَ اَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا بَعْدَكَ قَالَ: قُلْ اٰمَنْتُ بِاللهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ. قُلْتُ: فَمَا أَتَّقِيْ؟ فَأَوَي إِلَى لِسَانِهِ. (رواه مسلم)

Sufyan bin ‘Abdullah as-Saqafi meriwayatkan bahwa seseorang berkata, “Ya Rasulullah, perintahkan kepadaku tentang Islam suatu perintah yang aku tidak menanyakan lagi kepada orang selain engkau.” Rasulullah menjawab, “Katakanlah: Aku beriman kepada Allah, kemudian teguhkanlah pendirianmu.” Aku berkata, “Apa yang harus aku jaga?” Maka Rasulullah mengisyaratkan kepada lidahnya sendiri. (Riwayat Muslim)

Menurut Abu Bakar, yang dimaksud dengan perkataan “istiqamah” ialah tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apa pun.

Kepada orang yang beriman dan berpendirian teguh dengan tidak mempersekutukan-Nya, Allah menurunkan malaikat yang menyampaikan kabar menggembirakan, memberikan segala yang bermanfaat, menolak kemudaratan, dan menghilangkan duka cita yang mungkin ada padanya dalam seluruh urusan duniawi maupun urusan ukhrawi.

Dengan demikian, dadanya menjadi lapang dan tenteram, tidak ada kekhawatiran pada diri mereka. Sedangkan kepada orang-orang kafir, datang setan yang selalu menggoda mereka, sehingga menjadikan perbuatan buruk indah menurut pandangan mereka.

Waki’ dan Ibnu Zaid berpendapat bahwa para malaikat memberikan berita gembira kepada orang-orang yang beriman pada tiga keadaan yaitu, ketika mati, di dalam kubur, dan di waktu kebangkitan.

Kepada orang-orang yang beriman itu para malaikat mengatakan agar mereka tidak usah khawatir menghadapi hari kebangkitan dan hari perhitungan nanti. Mereka juga tidak usah bersedih hati terhadap urusan dunia yang luput dari mereka seperti yang berhubungan dengan keluarga, anak, harta, dan sebagainya.

Menurut ‘Ata’, yang dimaksud dengan “alla takhafµ wa la tahzanµ” ialah: janganlah kamu khawatir bahwa Allah tidak memberi pahala amalmu, sesungguhnya kamu itu diterima Allah, dan janganlah kamu bersedih hati atas perbuatan dosa yang telah kamu perbuat, maka sesungguhnya Allah mengampuninya.

Ayat ini selanjutnya menjelaskan bahwa para malaikat mengatakan kepada orang-orang beriman agar bergembira dengan surga yang telah dijanjikan para rasul. Mereka pasti masuk surga, dan kekal di dalamnya.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 31-33


(Tafsir Kemenag)

Tanggapan Fred Donner atas Kajian Otentisitas Al-Quran Para Revisionis

0
Tanggapan Fred Donner atas kajian otentisitas Al-Quran para revisionis
Tanggapan Fred Donner atas kajian otentisitas Al-Quran para revisionis

Kaum revisionis merupakan kesarjanaan baru yang muncul sekitar pada tahun 1970-an. Kesarjanaan ini merupakan salah satu kelompok yang menentang untuk menerima penjelasan tradisional misalnya tentang sejarah awal Islam untuk diterima begitu saja. Dengan kata lain, kelahiran kaum revisionis berhasil mencari celah untuk melemahkan narasi tradisional tentang Islam yang sudah melekat dan mengakar kuat dalam umat Muslim.

Diantara tokoh revisionis yakni John Wansbrough dengan dua karya fenomenalnya Quranic Studies dan The Sectarian Milieu, Michael Cook dan Patricia Crone dengan karyanya Hargarism, dan John Burton dengan karyanya The Collection of the Qur’an.  Dalam buku Kontroversi Islam Awal karya Mun’im Sirry dijelaskan bahwa meski ditulis oleh orang yang berbeda, namun keempat karya tersebut sebenarnya berisi tentang penjelasan kemunculan atau sejarah awal Islam yang sangat berbeda dengan penjelasan tradisionalis yang dipahami oleh umat Muslim.

Tak berhenti sampai di situ, kajian kaum revisionis juga berusaha membahas mengenai ontetisitas Al-Quran. Berbagai teori pro dan kontra lahir sebagai respon atas penelitian terhadap Al-Quran tersebut.  Mulai dari pendapat bahwa Al-Quran hanyalah ‘karangan’ yang dibuat oleh orang-orang yang hidup setelah Muhammad sampai berbagai argumen yang diajukan oleh sarjana muslim dan beberapa orientalis untuk menyanggah tuduhan kaum revisionis terkait otentitas Al-Quran. Salah satunya disampaikan oleh Fred Donner.

Baca Juga: Sanggahan Terhadap Pandangan Orientalis Christoph Luxenberg: Problematika Pembacaan Ulang Al-Qur’an Menggunakan Bahasa Syiriak-Aramaik

Sekilas tentang Kaum Revisionis

Pada asalnya, istilah revisionis merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut sebuah pendekatan yang menganggap sumber-sumber tradisional tidak dapat dipakai untuk merekonstruksi sejarah awal Islam. Sebagai gantinya, pendekatan ini menawarkan pendekatan metodologis atas sumber-sumber tradisional sejarah awal Islam.

Dalam Sejarah Sosial dalam Studi Islam karya Akh. Minhaji terdapat beberapa prinsip yang dimiliki pendekatan ini, pertama, sumber tertulis tidak dapat menjelaskan apa yang benar-benar terjadi. Kedua, saksi mata adalah orang yang mengetahui apa yang ditulis yakni terkait penggambaran suatu peristiwa, namun hal ini masih memungkinkan adanya perbedaan pemahaman dan penafsiran dengan peristiwa yang sebenarnya disebabkan oleh pengalaman dan pengetahuan orang tersebut. Ketiga, tak jarang terjadinya reduksi kata-kata dalam proses penggambaran suatu peristiwa. Keempat, sebuah karya tulis sebenarnya hanya menyajikan suatu fakta atau peristiwa yang terjadi berdasarkan sudut pandang penulis. Kelima, berbagai problem terdapat dalam bukti atau sumber tertulis seperti terpisah-pisah atau tersisa serpihan-serpihan yang tidak lengkap. Keenam, selain bukti-bukti internal, bukti eksternal merupakan hal yang perlu dibaca ketika melakukan penelitian. Singkatnya, pendekatan revisionis bertumpu pada kritik teks atas Al-Quran dan literatur Islam lainnya, pembuktian literatur Islam dengan data yang semasa, serta pengambilan kesimpulan berdasarkan data semasa yang ditemukan.

Baca Juga: Mengenal Kesarjanaan Revisionis dalam Studi Al-Quran

Sekilas tentang Fred Donner

Fred McGraw Donner atau Fred Donner dilahirkan di Washington D.C. Ia merupakan seorang sarjana yang berasal dari Amerika. Adapun riwayat pendidikannya yakni dimulai dengan studi oriental studies di Universitas Princeton, kemudian ia juga sempat mengambil kajian Arab di MECAS atau Middle East Centre for Arab Studies, studi filologi oriental di Universitas Friedrich-Alexander, dan kembali ke Universitas Princeton untuk melanjutkan studi doktoralnya.

Donner dikenal sebagai seorang orientalis yang mendalami kajian Islam. Hal ini dibuktikan dengan semangatnya yang mengkaji literatur yang ditulis ilmuwan Muslim klasik untuk kemudian diterjemahkan agar dapat dibaca lebih banyak orang lagi. Diantara karya-karya Donner yakni Narratives of Islamic Origins, Muhammad and the Believers: At the origins of Islam, dan The Early Islamic Conquest, dan The History of al-Tabari.

Baca Juga: Mengenal Tokoh Revisionis John Wansbrough, yang Mempertanyakan Kemurnian Al-Qur’an

Problem otentitas Al-Quran dan tanggapan Fred Donner

John Wansbrough terkenal sebagai salah satu tokoh yang meragukan otentisitas Al-Quran. Salah satu tesisnya yang terkenal adalah ia mengatakan bahwa Al-Quran tidak muncul di masa awal Islam dan disahkan oleh Nabi Muhammad melainkan berasal dari kaum Muslim yang hidup setelah wafatnya Rasulullah saw. Narasi dalam kitab-kitab sejarah maupun ulumul Quran yang memuat bagaimana proses diturunkannya Al-Quran kepada Rasulullah saw. dengan tegas ditolak oleh Wansbrough dan tidak dapat dijadikan sebagai bukti sejarah, sebab menurutya proses dokumentasi Al-Quran secara sempurna baru terjadi dua abad setelah Muhammad meninggal dan berasal dari luar Arab yakni Irak atau Syiria.

Menanggapi hal tersebut, Donner dalam karyanya Narratives of Islamic Origin menuliskan bahwa berbagai hipotesis Wansbrough terkait Al-Quran hanya membuat masalah di kalangan sejarawan yang berasal dari komunitas awal yang percaya. Sebab Wansbrough mengganggap Al-Quran serta literatur Islam lainnya sebagai hasil dari polemik konflik dan politis antar-konfesional yang biasanya mungkin terjadi di negara Kristen, Yahudi, dan Zoroaster. Namun, sebenarnya ia tidak dapat benar-benar menjelaskan tesisnya itu dengan lebih jelas dan tepat misalnya terkait siapa yang membuat Al-Quran tersebut, kapan, dan dimana tempat hal tersebut terjadi.

Pendapat lain dari Wansbrough yakni terkait varian bacaan atau qiraat dalam Al-Quran yang selama ini telah dipahami oleh orang-orang Muslim. Ia mengatakan bahwa qiraat merupakan proses pengeditan tekstual atau residu parafrasa atas gagasan-gagasan dalam Al-Quran. Donner mengatakan bahwa pendapat Wansbrough ini sangatlah lemah. Sebab lagi-lagi ia hanya mengatakan bahwa proses dalam pembuatan Al-Quran maupun hal yang berkaitan dengannya dilakukan oleh ilmuwan atau komunitas tertentu. Hal ini tentu sangat mencurigakan sebab dua pelaku yang disebut Wansbrough terlalu samar sehingga tidak dapat diketahui, apakah dilakukan oleh inidvidu, atau kelompok mana yang terlibat dalam peristiwa yang disebutkan oleh Wansbrough.

Selain itu, dalam Kontroversi Islam Awal karya Mun’im Sirry dijelaskan bahwa Donner menentang lima argumen Wansbrough yakni: Pertama, sejak dulu Al-Quran merupakan kitab suci berdasarkan ditemukannya ayat Al-Quran di masa awal Islam. Kedua, perbedaan bacaan atau qiraat tidak terkait dalam proses kanonisasai Al-Quran. Ketiga, kelemahan pendapat Wansbrough terkait Al-Quran terlihat pada saat ia tidak menjelaskan mengenai siapa pemilik wewenang dalam mnetapkan standar pada teks Al-Quran. Keempat, terdapat perbedaan yang jelas baik dari segi bahasa maupun konten antara Al-Quran dan hadis, yang menjadi petunjuk bahwa Al-Quran datang lebih awal dibanding hadis.

Simpulan

Menurut Fred Donner, tuduhan Wansbrough tentang otentisitas Al-Quran tak dapat dibuktikan. Sebab, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dengan membandingkan Al-Quran dan hadis, diketahui bahwa Al-Quran telah fixed menjadi sebuah korpus di masa Nabi Muhammad saw dan ini berarti Al-Quran dapat dijadikan sebagai bukti sejarah awal Islam. Selain itu, metode komparasi yang digunakan Donner secara implisit menunjukkan bahwa hadis merupakan sesuatu yang baru muncul setelah Rasulullah wafat, dikarenakan pembahasan di dalamnya mengenai permasalahan yang muncul setelah Nabi Muhammad meninggal dunia. Wallahua’lam.

Tafsir Surah Fussilat Ayat 26-28

0
Tafsir Surah Fussilat
Tafsir Surah Fussilat

Tafsir Surah Fussilat Ayat 26-28 berbicara mengenai keingkaran orang-orang kafir terhadap firman Allah dan kerasulan Nabi Muhammad SAW. Salah satunya dengan cara mengganggu awal-awal proses dakwah Nabi Muhammad SAW.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 24-25


Ayat 26

Orang-orang yang kafir dan ingkar kepada Allah dan rasul-Nya berkata kepada kaum mereka, “Jangan sekali-kali kamu mendengar ayat-ayat Al-Qur’an yang dibacakan oleh Muhammad, jangan kamu memperhatikan dan merenungkan isinya.

Hendaklah kamu berusaha mengganggu pendengaran orang-orang yang mendengarnya, seperti dengan bernyanyi-nyanyi, bersorak-sorai. Dengan sikap kamu yang demikian, mudah-mudahan orang-orang yang mendengarnya, tidak mengetahui dengan jelas bacaan Al-Qur’an yang didengarnya itu.”

Dahulu waktu Rasulullah masih di Mekah, sebelum hijrah ke Medinah, apabila beliau membaca ayat-ayat Al-Qur’an, beliau mengeraskan suaranya agar didengar orang-orang banyak.

Apabila pemuda-pemuda musyrik Mekah mendengar beliau membaca Al-Qur’an, mereka mengusir orang-orang yang mendengar bacaan Nabi saw itu dengan mengatakan, “Ganggulah suara Muhammad itu dengan menangis, bersiul, bernyanyi, atau dengan bertepuk tangan.”

Ibnu ‘Abbas berkata bahwa Abµ Jahal berkata kepada kaumnya, “Apabila Muhammad membaca ayat-ayat Al-Qur’an, berteriaklah dengan keras di mukanya, sehingga tidak terdengar apa yang diucapkannya.” Padahal, Allah memerintahkan untuk mendengarkan jika Al-Qur’an dibacakan. Firman-Nya:

وَاِذَا قُرِئَ الْقُرْاٰنُ فَاسْتَمِعُوْا لَهٗ وَاَنْصِتُوْا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ

Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah dan diamlah, agar kamu mendapat rahmat. (al-A’raf/7: 204)


Baca juga: Tafsir Tarbawi: Empat Kompetensi Yang Harus Dimiliki oleh Pendidik


Ayat 27

Pada ayat ini, Allah mengancam orang-orang kafir dengan azab yang pedih dengan mengatakan, “Kami benar-benar akan merasakan kepada orang-orang kafir itu azab yang tidak dapat digambarkan kedahsyatannya dan Kami akan membalas semua perbuatan dosa dan larangan yang telah mereka lakukan.

Kami tidak akan memberi pahala semua perbuatan baik yang telah mereka kerjakan, karena semua perbuatan baik seperti menghubungkan silaturrahim, menolong orang sengsara, mengerjakan perbuatan baik dan sebagainya, telah dihapus oleh kekafiran mereka. Tidak ada satu pun yang dapat mereka harapkan dari perbuatan baik itu selain dari amal yang buruk.”

Ayat 28

Balasan bagi orang-orang yang memperolok-olokkan ayat-ayat Allah dan bagi musuh-musuhnya ialah api neraka. Mereka kekal di dalamnya dan azab itu mereka rasakan terus-menerus. Mereka tidak dapat menghindarinya lagi.

Kemudian Allah menerangkan bahwa mereka berada di neraka Jahanam kekal selama-lamanya, sebagai balasan terhadap perbuatan mereka mengingkari ayat-ayat Allah sewaktu di dunia.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 29-30


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Fussilat Ayat 24-25

0
Tafsir Surah Fussilat
Tafsir Surah Fussilat

Tafsir Surah Fussilat Ayat 24-25 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai keadaan orang yang berburuk sangkat terhadap Allah. Balasan mereka adalah neraka. kedua berbicara mengenai sindiran Allah kepada orang-orang kafir.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 23


Ayat 24

Pada ayat ini, Allah menerangkan keadaan orang-orang yang berburuk sangka terhadap Allah, yaitu mereka akan dimasukkan ke dalam neraka. Semuanya dimasukkan ke dalam neraka tidak ada kecualinya dan neraka inilah tempat kembali mereka.

Seandainya di antara mereka ada yang minta ditangguhkan azab atau minta ampun kepada Allah dan bersedia kembali ke dunia seandainya Allah memberi mereka kesempatan, maka semuanya tidak akan dikabulkan.

Permohonan mereka tidak mungkin dikabulkan karena mereka telah meninggalkan dunia. Tempat beramal dan dunia itu pun telah hancur, sedang akhirat bukanlah tempat beramal, tetapi tempat menerima hasil amal seseorang semasa hidup di dunia.


Baca juga: Tafsir Tarbawi: Keharusan Berpikir Kritis Bagi Pendidik dan Peserta Didik


Ayat 25

Allah menerangkan bahwa Dia telah menyediakan bagi orang kafir itu teman dan penolong berupa setan-setan dari golongan jin dan manusia.

Mereka menganggap perbuatan-perbuatan duniawi yang membawa kepada kesesatan dan kekafiran itu baik, seperti memperturutkan hawa nafsu, suka mengumpulkan harta semata-mata untuk kepentingan diri sendiri, gila kekuasaan, mengerjakan perbuatan-perbuatan maksiat dan terlarang dan sebagainya.

Demikian halnya dengan urusan-urusan akhirat, setan-setan itu telah menanamkan kepercayaan kepada hati manusia bahwa tidak ada surga atau neraka, tidak ada hidup sesudah mati, tidak ada kebangkitan dan hisab, tidak ada Tuhan yang wajib disembah, dan sebagainya. Oleh karena itu, mudah bagi mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang mereka inginkan dan melakukan perbuatan-perbuatan terlarang. Firman Allah:

وَمَنْ يَّعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَّحْمٰنِ نُقَيِّضْ لَهٗ شَيْطٰنًا فَهُوَ لَهٗ قَرِيْنٌ  ٣٦  وَاِنَّهُمْ لَيَصُدُّوْنَهُمْ عَنِ السَّبِيْلِ وَيَحْسَبُوْنَ اَنَّهُمْ مُّهْتَدُوْنَ   ٣٧

Dan barangsiapa berpaling dari pengajaran Allah Yang Maha Pengasih   (Al-Qur’an), Kami biarkan setan (menyesatkannya) dan menjadi teman karibnya. Dan sungguh, mereka (setan-setan itu) benar-benar menghalang-halangi mereka dari jalan yang benar, sedang mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk. (az-Zukhruf/43: 36-37)

Karena sikap dan perbuatan mereka itu, maka ditetapkanlah azab bagi mereka, seperti azab yang pernah ditimpakan kepada umat-umat dahulu, yang telah mengikuti tipu daya setan. Semua mereka itu, yaitu setan-setan beserta pengikut-pengikutnya, sama-sama menderita kerugian dan kehancuran. Mereka sama-sama mendapat azab yang pedih di akhirat nanti karena mereka sama-sama orang yang merugikan diri sendiri.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 26-28


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Fussilat Ayat 23

0
Tafsir Surah Fussilat
Tafsir Surah Fussilat

Tafsir Surah Fussilat Ayat 23 berbicara mengenai perangka sesat yang anut oleh orang-orang kafir. Mereka menyangka bahwa mereka akan luput dari pantauan Allah SWT. Padahal prasangka itu sama sekali salah dan merugikan  mereka sendiri.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 22


Ayat 23

Dugaan orang-orang kafir bahwa Allah tidak mengetahui dan tidak melihat perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukannya adalah persangkaan yang tidak baik. Persangkaan yang demikian akan menimbulkan keberanian untuk melakukan perbuatan-perbuatan terlarang, sehingga berakibat kerugian pada diri sendiri.

Akibat persangkaan yang demikian itu, mereka akan mendapat kerugian dan kehinaan di dunia dan azab pedih di akhirat nanti.

Dari ayat ini, dapat dipahami bahwa sangkaan yang baik ialah meyakini bahwa Allah mengetahui segala perbuatan hamba-Nya sejak dari yang halus sampai kepada yang besar, sejak dari yang nampak sampai kepada yang tersembunyi, dan Allah mengetahui segala isi hatinya.

Jika seseorang telah memercayai yang demikian, maka ia selalu meneliti segala yang akan diperbuatnya, mana yang diridai Allah dan mana yang tidak diridai-Nya. Ia akan menghentikan serta menjauhkan diri dari segala perbuatan yang tidak diridai Allah, karena ia telah yakin bahwa Allah melihat  dan mengetahui semua perbuatannya itu.

Diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, Abµ Dawud, dan Ibnu Majah dari Jabir bin ‘Abdulllah:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ يَمُوْتُنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللهِ تَعَالَى.

Rasulullah saw bersabda, “Kamu jangan sekali-kali mati kecuali berbaik sangka kepada Allah. (Riwayat Ahmad, Muslim, Abµ Dawud, dan Ibnu Majah)


Baca juga: Mengenal Lima Hukum Taklifi dan Contohnya dalam Al-Quran


Para ulama berpendapat bahwa sangkaan itu ada dua macam: pertama, sangkaan yang baik, yaitu menyangka bahwa Allah mempunyai rahmat, keutamaan, dan kebaikan yang akan dilimpahkan-Nya kepada manusia, sebagaimana tersebut dalam hadis Qudsi:

أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبِدِيْ بِيْ. (رواه مسلم عن أنس)

Allah berfirman, “Aku menuruti sangkaan hamba-Ku kepada-Ku.”(Riwayat Muslim dari Anas)

Kedua, sangkaan yang jelek, yaitu menyangka bahwa Allah tidak mengetahui segala perbuatan hamba-hamba-Nya.

Menurut Qatadah, sangkaan itu ada dua macam, yaitu: pertama, sangkaan yang menyelamatkan seperti yang diterangkan firman Allah:

اِنِّيْ ظَنَنْتُ اَنِّيْ مُلٰقٍ حِسَابِيَهْ

Sesungguhnya aku yakin, bahwa (suatu saat) aku akan menerima perhitungan terhadap diriku. (al-Haqqah/69: 20)

Dan firman Allah:

الَّذِيْنَ يَظُنُّوْنَ اَنَّهُمْ مُّلٰقُوْا رَبِّهِمْ وَاَنَّهُمْ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَ

(Yaitu) mereka yang yakin, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya. (al-Baqarah/2: 46)

Kedua, sangkaan yang merusak, seperti yang diterangkan firman Allah ini.

 Umar bin Khattab berkata tentang ayat ini, “Mereka adalah orang-orang yang terus-menerus berbuat maksiat, tidak bertobat dari perbuatan itu, dan mereka berdebat tentang ampunan Tuhan, sehingga mereka meninggalkan dunia tidak membawa apa-apa.” Kemudian Umar membaca ayat ini.

Al-Hasan al-Basri berkata, “Sesungguhnya satu kaum yang diperdaya oleh angan-angannya yang kosong sehingga mereka meninggal dunia, dan tiadalah mereka mempunyai suatu kebaikan pun. Salah seorang dari mereka berkata, ‘Sesungguhnya aku berbaik sangka terhadap Tuhanku.’ Sesungguhnya ia telah berdusta. Jika baik sangkaannya, tentu baik pula amalnya.” Kemudian Al-Hasan al-Basri membaca ayat ini.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 24-25


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Fussilat Ayat 22

0
Tafsir Surah Fussilat
Tafsir Surah Fussilat

Tafsir Surah Fussilat Ayat 22 berbicara mengenai kelemahan manusia secara mutlak, yakni manusia tidak bisa menyembunyikan segala perbuatannya. Selain itu ayat ini juga mengingatkan manusia agar selalu waspada dan berhati-hati dalam berbuat sesuatu karena kelak akan dipertanggung jawabkan.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 21


Ayat 22

Diriwayatkan dari Bukhari dan Muslim beserta imam-imam yang lain dari Ibnu Mas’ud ia berkata, “Ketika aku bersembunyi di belakang tirai Ka’bah, maka datanglah tiga orang: seorang Quraisy dan dua orang Bani Tsaqif, atau seorang Bani Tsaqif dan dua orang Quraisy, sedikit sekali ilmunya dan amat buncit perut mereka, mereka mengucapkan perkataan yang tidak pernah aku dengar. Maka salah seorang mereka berkata, ‘Apakah kamu berpendapat bahwa Allah mendengar perkataan kita ini?’

Maka yang lain menjawab, Sesungguhnya apabila kita mengeraskan suara kita, niscaya Dia mendengarnya dan apabila kita tidak mengeraskannya niscaya Dia tidak mendengarnya. Maka yang lain berkata, Jika Dia mendengar sesuatu daripadanya, pasti Dia mendengar seluruhnya.” Maka Ibnu Mas‘µd menyampaikan yang demikian pada Nabi saw, maka Allah menurunkan ayat ini sampai kepada firman-Nya: minal khasirin.


Baca juga: Mengenal Kariman Hamzah, Jurnalis dan Mufassir Perempuan Asal Mesir


Ayat ini menerangkan bahwa manusia itu tidak dapat menyembunyikan dan merahasiakan perbuatan-perbuatan kejinya, sekalipun ia berbuat kemaksiatan, kejahatan, dan kekafiran secara terang-terangan dan mengingkari hari kebangkitan dan pembalasan Allah.

Bahkan, ia mengira di saat ia menyembunyikan perbuatannya dari manusia, Allah pun tidak mengetahui apa-apa yang mereka kerjakan. Oleh karena itu, ia tidak akan dapat menghukum dan memberi pembalasan.

Ayat ini memperingatkan orang-orang yang beriman agar selalu waspada dan memikirkan benar-benar perbuatan-perbuatan yang akan mereka lakukan, karena Allah mengetahui segala yang mereka perbuat, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi-Nya.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 23


(Tafsir Kemenag)