Beranda blog Halaman 178

Tafsir Ahkam: Hukum Menggunakan Benda Berhiaskan Emas dan Perak

0
Emas dan Perak
Emas dan Perak

Mayoritas ulama’ menetapkan bahwa menggunakan wadah yang terbuat dari emas dan perak untuk tujuan seperti makan dan minum dihukumi terlarang. Dan ternyata ini tidak berlaku pada wadah yang terbuat dari keduanya saja, tapi juga berlaku pada wadah yang hanya sekedar berhiaskan emas atau perak saja. Lebih lengkapnya, simak penjelasan para pakar tafsir dan fikih berikut ini:

Komentar Dalam Kitab Tafsir

Allah berfirman:

يُطَافُ عَلَيْهِمْ بِصِحَافٍ مِّنْ ذَهَبٍ وَّاَكْوَابٍ ۚوَفِيْهَا مَا تَشْتَهِيْهِ الْاَنْفُسُ وَتَلَذُّ الْاَعْيُنُ ۚوَاَنْتُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَۚ

Kepada mereka diedarkan piring-piring dan gelas-gelas dari emas dan di dalamnya (surga) terdapat apa yang diingini oleh hati dan dipandang sedap oleh mata serta kamu kekal di dalamnya (QS. Az-Zukhruf [43] :71)

Tatkala mengulas ayat di atas Imam Al-Qurthubi menjelaskan tentang keharaman memakai wadah dari emas atau perak berdasar beberapa hadis. Ia juga mengutip pernyataan Imam Malik yang menunjukkan ketidak sukaan beliau pada prilaku minum dari wadah yang ditambal dengan emas, serta berkaca pada cermin yang memiliki semacam tali dari emas. Hal serupa juga diungkapkan oleh Ibnul Arabi dalam Ahkamul Qur’annya (Tafsir Al-Qurthubi/16/113 dan Ahkamul Qur’an/7/117).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Hukum Makan Dan Minum dari Wadah Emas atau Perak

Sedang Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir Munir menegaskan, bahwa tindakan minum dari wadah yang bertambalkan emas atau perak atau bercermin pada cermin yang memiliki semacam tali dari keduanya, adalah sesuatu yang terlarang (Tafsir Munir/25/191).

Beberapa pengikut Imam Malik memahami bahwa ketidak sukaan Imam Malik pada wadah bertambalkan emas atau perak serta cermin berhiaskan emas, menunjukkan larangan. Dan meski larangan tersebut bisa berarti hukum haram dan makruh, beberapa ulama’ mazhab malikiyah lebih mengarahkan bahwa larangan ini menunjukkan hukum makruh (Mawahibul Jalil/1/425).

Makna Bertambalkan Emas Atau Perak

Wadah bertambalkan emas atau perak tidaklah selalu bermakna wadah yang pecah dan kemudian ditambal emas atau perak. Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa para ahli fikih juga memaksudkan istilahkan bertambalkan emas atau perak pada wadah yang sebenarnya tidak pecah, tapi ada lapisan dari emas dan perak yang diletakkan pada wadah tersebut untuk tujuan hiasan (Al-Majmu’/1/255).

Mengenai hukum pemakaian wadah tersebut, cukup banyak perbedaan pendapat serta rincian hukum di antara para ulama’ terkait permasalahan ini. Penulis mencoba akan membatasi penjelasan pada mazhab syafiiyah saja. Dimana ulama’ mazhab syafiiyah ada yang mencoba membedakan wadah antara bertambalkan emas serta perak, dan ada juga yang menyamakan keduanya.

Imam An-Nawawi meyakini bahwa hukum tambalan emas berbeda dengan perak. Dan ia mensahihkan pendapat yang menyatakan bahwa tambalan emas hukumnya haram. Entah bobot tambalan itu sedikit atau banyak, untuk tujuan kebutuhan atau sekedar hiasan. Imam An-Nawawi beralasan bahwa tambalan perak memiliki banyak dasar yang menoleransi pemakaiannya, sedangkan emas tidak. Contohnya pada hadis yang menerangkan bolehnya memakai cincin dari perak (Sahih Bukhari/5/2202).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Hukum Makruh Berwudhu Dengan Air Musyammas

Hukum pemakaian wadah bertambalkan perak sendiri memiliki perincian sebagai berikut: tidak makruh bila ukuran tambalan tersebut sedikit dan dengan tujuan kebutuhan; makruh bila ukuran tambalan tersebut sedikit dan dengan tujuan hiasan atau banyak untuk tujuan kebutuhan; haram bila ukurannya banyak dan untuk tujuan hiasan. Ukuran banyak atau sedikitnya tambalan dapat dinilai lewat perbandingan antara ukuran tambalan serta wadah yang ditambal  (Al-Majmu’/1/258).

Mengenai adanya pernyatakaan bahwa ulama’ sepakat bahwa memakai wadah bertambalkan emas atau perak hukumnya diperbolehkan, bisa dipastikan bahwa itu hanya klaim belaka. Pada kenyataannya ulama’ dari empat mazhab memiliki banyak pro kontra terkait permasalahan ini (Mausu’atul Ijma’/1/141). Wallahu a’lam.

Tugas Khalifah dan Krisis Ekologi: Tafsir Kiai Sahal Mahfudh [Bagian 1]

0
Krisis Ekologi
Krisis Ekologi

Memasuki dekade kedua abad ke-21 ini, planet bumi benar-benar telah mengalami krisis ekologi. Utamanya krisis iklim, yang kemudian memicu terjadinya pemanasan global, naiknya permukaan laut, hujan ekstrem, berikut banjir, tanah longsor, kekeringan, dan kebakaran. Berbagai macam bencana ekologis ini, satu atau lebih di antaranya bisa mendera kita sepanjang tahun dengan intensitas yang beragam.

Krisis ekologi ini, akibat dari sepak terjang mahluk bernama manusia, yang oleh Tuhan sendiri justru didamba-damba menjadi khalifah-Nya di muka bumi ini. Sebagaimana dialog Tuhan dengan para malaikat-Nya, dalam Surat Al-Baqarah ayat 30 berikut.

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ  

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.'” Mereka berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau!” Tuhan berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 30).

Aktivitas yang merusak bumi inilah yang dikhawatirkan para malaikat. Walaupun begitu, tentu Allah subhanahu wa ta’ala lebih mengetahui tujuan dijadikannya manusia sebagai khalifah. Menurut Abu Hayyan Al-Andalusy dalam al-Bahr al-Muhith fi al-Tafsir Jilid 1 (1420 H), ada dua tugas yang emban khalifah. Pertama, memutuskan hukum di muka bumi ini berdasarkan pada kebenaran dan keadilan. Kedua, mengelola bumi (‘imaratul ardli), dengan menanam di atasnya dan memetik hasilnya, serta melakukan pembangunan.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 107: Memaknai Rahmatan Lil Alamin Menuju Alam yang Lestari

Jika dalam proses pembangunan lalu menimbukan krisis lingkungan, maka  manusia belum bisa merepresentasikan khalifah yang ekologis sebagaimana diidealkan Alquran. Maka dari itu, Kiai Sahal Mahfudh dalam bukunya Nuansa Fiqih Sosial (1994) tepatnya di bab Kontekstualisasi Al-Qur’an, menegaskan kembali bahwa khalifah memang diberi wewenang, tapi sekaligus menjadi beban (taklif) yang niscaya diembannya, yakni ‘ibadatullah dan ‘imaratul ardli.

Di mana manusia sebagai hamba (‘abdu) mendapat keharusan untuk beribadah dan menghambakan diri semata kepada Tuhan. Sebagaimana diserukan dalam Alquran yang berbunyi “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (terjemahan QS. Adz-Dzariyat [51]: 56). Menurut penafsiran Kiai Sahal, aktivitas ibadah ini menjadi tugas pertama yang kudu dilaksanakan, namun butuh sarana yang mendasar untuk mencapai kualitas ibadah, yakni berupa ‘imaratul ardli.

Di mana konsepsinya berangkat dari Surat Hud ayat 61 berikut.

وَإِلَى ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الأرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَاسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ إِنَّ رَبِّي قَرِيبٌ مُجِيبٌ

Dan kepada Samud (Kami utus) saudara mereka. Saleh. Saleh berkata, “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagi kalian Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kalian dari bumi (tanah) dan menjadikan kalian pemakmurnya. Karena itu, mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya).” (QS. Hud [11]: 61)

Dalam Tafsir al-Maraghi Jilid 12 (Al-Maraghi, 1365 H), memotret kisah Nabi Shalih ini sebagai nasehat dan pelajaran bersama. Di mana Allah telah menjadikan kaum Tsamud sebagai pemakmur bumi dengan pertanian dan pembangunan yang maju. Atas karunia kenikmatan di bumi ini, maka sudah sepantasnya mereka bersyukur dengan menyembah Allah.

Menurut pandangan Kiai Sahal, dari ayat di atas ini kemudian mewujud paradigma ‘imaratul ardli, yakni mengelola dan memelihara bumi. Dalam arti, sebuah proses yang terus menerus diupayakan sepanjang hidup. Justru upaya merawat bumi ini menjadi sarana mendasar untuk menjalankan tugas pertama, berupa ‘ibadatullah. Lebih jauh lagi, menjadi sarana untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat (sa’adatud darain).

Begitulah Kiai Sahal dala mengkonsepsikan, bahwa menjadi khalifah itu mengemban tugas ganda berupa‘ibadatullah dan ‘imaratul ardli. Bahkan ia menyebut sampai enam kali dalam bukunya, setiap kali menyinggung tugas kekhalifahan manusia di muka bumi. Karena menurutnya, antara aktivitas ibadah dan merawat bumi, keduanya saling menopang satu sama lain.

Baca Juga: Tafsir Surat An-Nisa Ayat 1: Benarkah Hawa Tercipta dari Tulang Rusuk Nabi Adam?

Kita misalkan saja, ibadah sholat memerlukan ruang hidup yang bersih sebagai tapak sujud. Lalu dalam berwudhu sebelum sholat, juga membutuhkan air yang suci. Dari sini konkret sekali, bahwa aktivitas ibadah kita sehari-hari selalu berkaitan erat dengan sumber-sumber agraria. Sehingga dari interaksi yang sudah cukup panjang, ibadah kita telah menjadi bagian dari ekosistem, antara manusia dan lingkungan hidup.

Makanya, timbulnya krisis ekologi ini menjadi tantangan dalam keberagamaan kita. Bila bencana itu datang mendera kita, tentu saja aktivitas ibadah sedikit banyak akan terganggu. Pada akhirnya, konsepsi Kiai Sahal yang berangkat dari penafsiran  Alquran, yakni mewujudkan masyarakat ibadah dan masyarakat  ‘imarah, semakin relevan sekaligus mendesak untuk diperjuangkan.

Jadi, dari kesibukan ibadah kita, semakin menumbuhkan semangat juang untuk melestarikan lingkungan. Bersama-sama menjaga lanskap hutan dan pegunungan dari ekspansi tambang dan perkebunan yang dirasa eksplotatif, juga menjaga sungai, lahan dan ruang-ruang hidup di sekitar kita dari perampasan, pencemaran serta kerusakan. Dan kesemuanya ini dalam rangka menjalankan tugas khalifah yang mulia dan ekologis. Semoga.

Mengenal Lima Hukum Taklifi dan Contohnya dalam Al-Quran

0
Mengenal Lima Hukum Taklifi dan Contohnya dalam Al-Quran
Mengenal Lima Hukum Taklifi dan Contohnya dalam Al-Quran

Hukum Islam sebagai aturan yang ditetapkan oleh Allah Swt untuk hambanya secara garis besar terbagi menjadi dua bagian, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i. Hukum taklifi dimaknai sebagai perintah Allah Swt yang berhubungan dengan amalan atau kegiatan bagi hamba yang mukallaf. Dalam penjelasan lanjutnya, hukum taklifi dibagi atas lima kategori; wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Berikut penjabarannya:

  1. Wajib

Wajib artinya seorang muslim yang mukallaf (akil baligh) diharuskan melaksanakan sesuatu karena adanya tuntutan untuk melaksanakannnya. Apabila tidak melaksanakannya, maka ia akan berdosa. Sebagai contoh, perintah Allah Swt dalam Al-Quran surah al-Baqarah ayat 43 tentang kewajiban melaksanakan salat dan zakat:

وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرْكَعُوا۟ مَعَ ٱلرَّٰكِعِينَ

Artinya: Dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukulah beserta orang-orang yang rukuk.

Wahbah al-Zuhaili menafsirkan ayat di atas sebagai berikut; Tegakkanlah salat yang diwajibkan atas orang-orang muslim, tuniakanlah zakat yang wajib (diberikan) kepada mereka yang berhak menerimanya, tunduklah kepada perintah-perintah Allah, salatlah dengan berjamaah bersama orang-orang yang salat, dan sempurnakanlah ruku’ kalian bersama mereka karena orang-orang Yahudi tidak memiliki ruku’ di dalam salat mereka (Tafsir Al-Wajiz, 43).

  1. Sunnah

Sunnah disebut juga nadab, tathawwu’, nafilah serta sebutan-sebutan lain yang maknanya adalah segala perbuatan yang dianjurkan dan diberi ganjaran pahala oleh Allah Swt. Adapun apabila perbuatan sunnah tidak dilaksanakan, maka tidak mendapat dosa. Contohya dalam Al-Quran surah Al-Isra ayat 79:

وَمِنَ ٱلَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِۦ نَافِلَةً لَّكَ عَسَىٰٓ أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُودًا

Artinya: Dan pada sebahagian malam hari salat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.

  1. Mubah

Mubah maksudnya adalah sesuatu yang ada padanya pilihan dari Allah Swt untuk boleh dilakukan atau tinggalkan, seperti makan, minum, tidur, serta lainnya (Mahmud Muhammad al-Thanthawi, Ushul al-Fiqh al-Islami, 47).

Ada beberapa firman Allah Swt yang menunjukkan hukum mubah. Salah satunya terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 187:

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ ۗ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۖ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

Artinya: Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.

Redaksi ayat di atas menunjukkan kebolehan melakukan sesuatu dengan redaksi “dihalalkan” di atas. Berdasarkan hal tersebut, maka seseorang boleh (mubah) menggauli istrinya di malam bulan Ramadhan (Badruddin Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, 134).

Baca juga: Mengenal Corak Tafsir Fiqhi dan Kitab-kitabnya

  1. Makruh

Makruh yakni apa yang dituntut oleh Allah Swt untuk ditinggalkan, tetapi bukan termasuk kewajiban. Bisa juga diartikan sebagai segala sesuatu yang lebih utama ditinggalkan daripada dilakukan (Mahmud Muhammad al-Thanthawi, Ushul al-Fiqh al-Islami, 75).

Dalam Al-Quran maupun kitan-kitab tafsir, penulis belum menemukan secara rinci mengenai ayat yang mengandung hukum makruh, hanya saja pembahasan makruh lebih banyak dijelaskan dalam kajian-kajian fikih dan ushul fikih.

  1. Haram

Haram yaitu apa saja yang diperintahkan oleh Allah Swt untuk ditinggalkan. Perintah untuk meninggalan ini bersifat wajib (Mahmud Muhammad al-Thanthawi, Ushul al-Fiqh al-Islami, 72).

Dalam Al-Quran terdapat beberapa ayat yang membahas tentang apa saja yang diharamkan bagi umat Islam. Salah satunya adalah keharaman meminum khamr, berjudi, dan mengundi nasib. Perintah untuk meninggalkan perbuatan tersebut terdapat dalam Al-Quran surah Al-Maidah ayat 83:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّمَا ٱلْخَمْرُ وَٱلْمَيْسِرُ وَٱلْأَنصَابُ وَٱلْأَزْلَٰمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ ٱلشَّيْطَٰنِ فَٱجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.

Ayat di atas memberikan penjelasan tentang salah satu perbuatan yang disukai oleh setan, yaitu meminum khamr.

Ayat ini turun karena Sa’d bin Abi Waqash dan seorang laki-laki lain sedang meminum khamr dan mereka saling bertengkar. Berkat pengaruh khamr, Sa’d mengucapkan kata-kata tak pantas. Ia mengatakan; “Orang-orang Muhajirin lebih baik daripada orang Anshar,” Sekatika temannya memukulnya menggunakan kulit kepala unta dan menyakiti hidungnya, kemudian turunlah ayat ini membawa kepastian hukum haramnya khamr (Tafsir al-Wajiz, 124).

Demikian penjelasan singkat mengenai lima macam hukum taklifi dan beberapa contoh ayat Al-Quran yang mengandung kelima hukum tersebut.

Baca juga: Al-Baqarah Ayat 286: Allah Swt Tidak Akan Membebani Seseorang Melebihi Kemampuannya

Praktisi Poligami Ceraikan Istri yang Menopause, Ini Hakikat Poligami Sebenarnya

0
Praktisi Poligami Ceraikan Istri yang Menopause, Ini Hakikat Poligami Sebenarnya
Hakikat Poligami Sebenarnya

Baru-baru ini terdengar kabar melalui media sosial tentang seseorang yang melakukan poligami, sekaligus juga menjadi mentor dalam sebuah kelas bimbingan poligami. Sebagai seorang mentor, ia bertugas memperkenalkan dunia poligami dan tentunya mengajak agar orang lain dapat mempraktikkan poligami, sebagaimana yang telah ia lakukan. Ketika diwawancarai, ia mengucapkan pengakuan kontroversial, yakni ada istri yang ia ceraikan hanya karena telah memasuki masa menopause (Youtube: Narasi Newsroom, “Menguak Sisi Lain Mentoring Poligami Berbayar”).

Sontak banyak pihak yang mempertanyakan sikap praktisi dan mentor poligami tersebut. Apakah pantas ia menceraikan istrinya hanya karena sudah menopause? Apakah semudah itu menikahi banyak perempuan dan melepasnya begitu saja ketika sudah menopause? Benarkah pernikahan poligami hanya untuk keperluan seksual semata?

Poligami selalu menjadi isu yang ramai diperbincangkan sepanjang zaman. Baik di kalangan masyarakat secara umum, maupun di kalangan para ulama. Islam sendiri memang memperbolehkan adanya praktik poligami dengan syarat-syarat yang sangat ketat.

Baca juga: Tafsir Ayat Poligami yang Tidak Pernah Usai dan Kisah Imam Abu Hanifah Membela Perempuan

Bagaimana hakikat sebenarnya poligami?

Sebagai salah satu jajaran feminis Islam, Riffat Hassan memiliki pandangan tersendiri tentang poligami. Pandangannya tentang poligami dapat kita lihat ketika ia menjelaskan QS. An-Nisa: 3 sebagai berikut:

وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ – ٣

Artinya: “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim”. (QS. al-Nisa: 3).

Ayat di atas menurut Riffat Hassan turun ketika sedang terjadi maraknya peperangan yang mengakibatkan banyak laki-laki meninggal dunia karena gugur di medan perang. Oleh karena itu, banyak pula munculnya janda-janda dan anak-anak yatim. Maka bagi Riffat Hassan, ayat di atas sebenarnya bukan menekankan kepada anjuran berpoligami, tetapi lebih kepada masalah penyantunan anak yatim.

Adapun pernikahan yang dimaksud pada ayat tersebut adalah tentang menikahi ibu dari anak yatim yang ditinggal mati oleh ayahnya yang ikut berperang. Sebagaimana pula pernah diungkapkan oleh Muhammad Shahrur, pemikir kontemporer dari Syiria. Ia mengatakan, “Poligami itu sesungguhnya berkaitan dengan konteks yang sangat darurat dan pada dasarnya Islam itu menganut prinsip monogami”.

Meskipun poligami diperbolehkan dalam Islam, tetapi yang perlu digaris bawahi adalah perihal keadilan dan kebajikan. Bahkan tujuan dari poligami yang diidealkan Islam sesungguhnya adalah untuk membantu anak-anak yatim dan janda. (Muhammad Shahrur, al-Qur’an wa al-Kitab: Qira’ah Mu’asirah).

Perihal poligami yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad saw, sesungguhnya dimaksudkan untuk menyantuni anak-anak yatim dan janda. Beliau sesungguhnya lebih menekankan atau mengajarkan kepada praktik monogami sebagaimana pernikahan pertama beliau dengan Sayyidah Siti Khadijah pada saat usia beliau 25 tahun. Sejak saat itu, beliau tidak menikah lagi hingga berusia 50 tahun.

Poligami Nabi saw juga bukan untuk menyalurkan nafsu seksual semata sebagaimana mungkin yang sebagian orang “salah memahaminya”. Karena jika hanya untuk menyalurkan hawa nafsu, tentu yang dinikahi adalah wanita-wanita yang masih muda, tetapi kenyataannya beliau tidak begitu. Sebagian besar istri yang Nabi nikahi adalah para janda yang sudah cukup berusia.

Adapun praktik salah seorang mentor poligami di atas yang “salah paham” sehingga mengakui bahwa ia menceraikan salah satu istrinya karena alasan menopause. Hal ini berarti bahwa perempuan hanya dianggap sebagai “alat reproduksi” dan “pemuasan nafsu” semata. Na’udzu billahi min dzalik. Padahal Islam sangat menghargai wanita dan tidak mungkin mengajarkan hal rendah seperti itu.

Terlihat miris jika praktik poligami disalahartikan dan perempuan sering menjadi korban. Jadi dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya kandungan ayat al-Qur’an mengenai poligami adalah; pertama, sebagai salah satu cara agar anak yatim dipelihara dan disantuni, dan kedua, bahwa praktik poligami diperbolehkan dalam kondisi sulit atau darurat.

Melalui penjelasan singkat di atas, diharapkan agar praktik poligami ini dapat dipertimbangkan lebih matang dan bukan untuk “pelampiasan nafsu” semata. Wallahhu a’lam.

Baca juga: Surah An-Nisa Ayat 3, Praktik Poligami Menurut Mufasir Indonesia

Mengenal Lataif Al-Isyarat, Tafsir Bernuansa Isyari (Sufi) Karya al-Qusyairi

0
Mengenal Lataif Al-Isyarat, Tafsir Bernuansa Isyari (Sufi) Karya al-Qusyairi
Tafsir Lataif Al-Isyarat

Lataif al-Isyarat merupakan salah satu kitab tafsir Al-Qur’an yang menggunakan pendekatan isyari. Tidak seperti kitab tafsir pada umumnya yang lebih banyak berkutat pada makna lahiriyah ayat, tafsir Lataif al-Isyarat lebih banyak membahas makna implisit atau yang tersirat dari ayat-ayat Al-Qur’an kemudian dihubungkan dengan narasi-narasi sufistik. Kitab tafsir ini ditulis oleh sufi terkenal di masanya bernama Imam al-Qusyairi.

Profil singkat al-Qursyairi

Nama lengkap al-Qusyairi adalah Abdul Karim ibn Hawazin ibn Abdul Malik ibn Thalhah ibn Muhammad al-Qusyairi al-Naisaburi al-Syafi’i. Laqab (julukan)-nya adalah Zain al-Islam, namun lebih dikenal dengan nama al-Qusyairi. Beliau dilahirkan di Ustuwa pada Rabi’ul Awwal tahun 376 H atau Juli 986 M dan wafat pada hari Ahad, 16 Rabiul Akhir tahun 465 H.

Dalam al-Risalah alQusyairiyah fi Ilm alTasawuf tertulis beberapa gelar yang disandang oleh al-Qusyairi. Gelar pertama yaitu An-Naisaburi yang dinisbatkan pada nama kota Naisabur, salah satu ibu kota terbesar negara Islam abad pertengahan, di samping kota Balkh-Harrat dan Marw.

Gelar kedua, al-Qusyairi yang merupakan sebutan marga Sa’ad al-Asyirah al-Qahthaniyah (sekelompok orang yang tinggal di pesisir Hadramaut). Gelar ketiga, al-Istiwa yang berarti orang-orang yang datang dari bangsa Arab dan memasuki daerah Khurasan dari Ustawa. Gelar keempat, al-Syafi’i yang dinisbatkan pada mazhab yang diikutinya, yaitu mazhab Syafi’i.

Gelar kelima, yaitu gelar kehormatan yang dinisbatkan kepadanya. Antara lain; al-Imam, al-Ustadz, al-Syaikh, Zainul Islam, al-Jami’ baina al-Syari’ah wa al-Haqiqah. Gelar-gelar ini diberikan sebagai wujud penghormatan atas kedudukan tingginya dalam bidang tasawuf dan ilmu pengetahuan di dunia Islam (Mani’ Abd Halim Mahmud: 2006).

Baca juga: Dua Dimensi Makna Wali Menurut Imam Al-Qusyairiy

Kitab Tafsir Lataif Al-Isyarat

Kitab tafsir ini tergolong tafsir isyari. M. Quraish Shihab dalam bukunya, Kaidah Tafsir (2013) mendefinisikan tafsir isyary dengan tafsir yang mencoba menarik makna-makna ayat Al-Qur’an yang tidak diperoleh dari bunyi lafaz ayat, tetapi dari kesan yang ditimbulkan oleh lafaz itu dalam benak penafsirnya. Kesan-kesan tersebut didapat melalui kecerahan hati dan pikiran, tanpa membatalkan makna lafaznya.

Sejalan dengan track record al-Qusyairi yang merupakan salah satu tokoh sufi dengan pengaruh yang sangat besar di dunia Islam, tafsir Lataif al-Isyarat ini termasuk ke dalam kategori tafsir bercorak sufi. Hal tersebut dikarenakan pembahasan dalam tafsirnya banyak diwarnai oleh nuansa sufistik.

Penafsiran Al-Qusyairi dalam kitab tersebut cenderung bertumpu pada makna isyarah (implisit) di balik makna literal ayatnya, tentunya dengan tetap memerhatikan makna literal ayat itu sendiri. al-Qusyairi berusaha mengompromikan makna isyarah dan makna lahir yang dimaksud ayat dan terkadang memperkuat penafsirannya dengan riwayat. Hal ini misalnya dapat dilihat dalam penafsirannya mengenai QS. Al-Baqarah ayat 219 berikut:

يَسۡ‍َٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡخَمۡرِ وَٱلۡمَيۡسِرِۖ قُلۡ فِيهِمَآ إِثۡمٞ كَبِيرٞ وَمَنَٰفِعُ لِلنَّاسِ وَإِثۡمُهُمَآ أَكۡبَرُ مِن نَّفۡعِهِمَاۗ

Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah; “pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”.

Berikut terjemah dari penafsiran Al-Qusyairi mengenai ayat tersebut;

“Khamr (secara bahasa) adalah sesuatu yang dapat menutupi fungsi akal. Sebagaimana khamr itu haram karena hakikatnya (memabukkan), maka mabuk juga haram. Sebagaimana sabda Rasulullah saw bahwa khamr itu diharamkan karena hakikat khamr itu sendiri, yaitu dapat memabukkan setiap orang yang meminumnya. Maka barangsiapa yang mabuk, kehilangan kesadaran spiritual, disebabkan karena meminum kelalaian dari mengingat Allah, maka ia memiliki hak yang sama dengan orang yang mabuk karena meminum khamr. Hal ini dari segi makna isyarah. Oleh karena itu, Sebagaimana orang yang mabuk karena meminum khamr itu dilarang mengerjakan shalat, demikian juga orang yang mabuk (kehilangan kesadaran spiritual) lupa mengingat Allah akan terhalang untuk berkomunikasi dengan Allah.”

Dalam penafsiran di atas, dapat kita lihat bahwa Al-Qusyairi mengungkapkan makna isyarah yang tersirat dengan berusaha menjelaskan makna lahirnya terlebih dahulu. Al-Qusyairi menjelaskan makna khamr secara bahasa, hukum meminumnya, akibat-akibat hukum bagi peminumnya serta memperkuat penafsirannya dengan hadits Nabi. Kemudian ia menjelaskan makna isyarah ayat tersebut.

Makna isyarah yang diungkapkan Al-Qusyairi dalam ayat tersebut terdapat pada penjelasan bahwasanya orang yang mabuk karena meminum khamr, dilarang untuk menunaikan salat. Begitu juga sama halnya dengan orang yang mabuk lupa (tidak memiliki kesadaran spiritual) untuk mengingat Allah, ia juga terhalang komunikasinya dengan Allah Swt. Wallahu a’lam.

Baca juga: Memaknai Ayat Haji Ala Sufi

Tafsir Tarbawi: Empat Kompetensi Yang Harus Dimiliki oleh Pendidik

0
Kompetensi Yang Harus Dimiliki oleh Pendidik
Kriteria Menjadi Seorang Guru

Dewasa ini, fenomena disrupsi telah merambah berbagai sendi kehidupan, tak terkecuali pendidikan Islam. Jika dahulu pendidik dapat leluasa mengajar dengan pola-pola pembelajaran konvensional, maka dewasa ini yang harus dimiliki oleh pendidik adalah harus meng-upgrade kompetensi guna memenuhi kebutuhan dan tantangan zaman. Peserta didik yang notabene masuk generasi milenial dan zilenial, tentu sangat memerlukan bentuk kegiatan pembelajaran yang menyenangkan, menarik dan tidak membosankan.

Dalam konteks ini, kompetensi-kompetensi baru seperti literasi digital, pengajaran digital, strategi dan metode pembelajaran yang terus mengikuti zaman, mutlak diperlukan dan harus dimiliki oleh pendidik. Tulisan ini hendak menguraikan beberapa kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang pendidik dengan mengkaji pada Q.S. al-Nahl [16]: 43-44.

Baca juga: Pemaknaan Jilbab Menurut Riffat Hassan, Seorang Mufassir Kontemporer

Tafsir Surat An-Nahl Ayat 43-44

وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ اِلَّا رِجَالًا نُّوْحِيْٓ اِلَيْهِمْ فَسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَۙ بِالْبَيِّنٰتِ وَالزُّبُرِۗ وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ

Kami tidak mengutus sebelum engkau (Nabi Muhammad), melainkan laki-laki yang Kami beri wahyu kepadanya. Maka, bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (Kami mengutus mereka) dengan (membawa) bukti-bukti yang jelas (mukjizat) dan kitab-kitab. Kami turunkan aż-Żikr (Al-Qur’an) kepadamu agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan. (Q.S. an-Nahl [16]: 43-44)

Dalam penafsiran ini akan difokuskan pada redaksi fas-alu ahla dzikri in kuntum la ta’lamuna, bil bayyinati wa zubur dan ayat ke-44. Al-Qurtubi dalam Jami’ li Ahkam al-Quran menjelaskan asbabun nuzul ayat ini ialah dilatarbelakangi oleh pengingkaran kaum musyrikin Makkah terhadap kerasulan Nabi saw dengan mengatakan, “Apakah betul engkau (Muhammad) utusan Allah?, Allah yang sedemikian besar justru malah mengutus seorang manusia, mengapa tidak malaikat?, kemudian turunlah ayat ini.

Selanjutnya, redaksi fas-alu ahla dzikri in kuntum la ta’lamuna oleh Ibn Abbas dan Mujahid sebagaimana dinukil al-Qurtubi ditafsiri dengan orang yang ahlul ilmu dan berpengetahuan luas. Sementara itu, al-Baidhawi dalam Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil menafsiri ahl al-dzikri dengan ahlul kitab dan ulama-ulama yang paham betul tentang suatu informasi yang mana mereka dapat mengajari dan memberi informasi dengan jelas (ahl al-kitab au ‘ulama al-akhbar li yua’llimukum).

Baca juga: Kenali Tiga Macam Tingkatan Nafs Menurut Al-Quran

Lebih jauh, Mujahid, seperti yang dinukil al-Tabari dalam Jami’ al-Bayan menafsiri kata ahlu dzikri dengan ahl al-taurat, ahl al-kitab. Sedangkan Ibn Zaid menafsirkannya dengan ahlul quran. Selain itu, Al-Zamakhsyari dalam Tafsir al-Kasyaf memaknainya dengan ahlul kitab.

Kemudian, Al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib, menafsiri redaksi fas-alu ahla dzikri in kuntum la ta’lamuna dengan,

فاسألوا أهل الكتب الذين يعرفون معاني كتب الله تعالى، فإنهم يعرفون أن الأنبياء كلهم بشر، والثالث: أهل الذكر أهل العلم بأخبار الماضين، إذ العالم بالشيء يكون ذاكراً له

“Maka bertanyalah kepada ahl al-kitab yang mengetahui makna kitab-kitab Allah SWT, karena mereka mengetahui bahwa semua nabi adalah manusia, dan yang ketiga: ahli dzikir adalah orang yang mengetahui berita-berita masa lalu”.

Sedangkan makna bil bayyinati wa al-zubur, menurut al-Razi adalah lafdzatan jami’atan likulli ma takamulu bihi al-risalah (sebuah pernyataan yang mencakup segala sesuatu yang melengkapi risalah tersebut). Selain itu, al-Razi juga menjelaskan bahwa makna zubur di sini adalah hujjah-hujjah yang disampaikan oleh Rasul Allah swt kepada hamba-Nya itulah makna zubur (wa hiya al-bayyinat wa ‘ala al-takalifi allati yuballighuha al-rasul minallahi ta’ala ilal ‘ibad wahiya al-zubur).

Senada dengan al-Razi, al-Qurtubi juga memaknai al-bayyinat dengan al-hujjaj dan al-barahin (hujjah-hujjah dan bukti empirik), serta al-zubur adalah al-kitab. Kemudian, Al-Qurtubi juga memaknai wa anzalna ilaika al-dzikri dengan Al-Quran. Maka, berdasarkan tafsir al-Qurtubi, makna litubayyina linnasi ma nuzzila ilaihim adalah di dalam kitab ini berisi hukum-hukum (ahkam), janji (al-wa’du) dan ancaman (al-wa’id) dalam ucapan dan perbuatan manusia. Artinya, Rasulullah saw dalam hal ini berkewajiban menerangkan atau “menerjemahkan” risalah Allah swt sesuai dengan kehidupan manusia seperti bab shalat, zakat dan hal-hal lain yang Allah tidak detailkan atau operasionalkan dalam kitab-Nya.

Baca juga: Tiga Fungsi Pohon dan Eksistensinya Menurut Al-Qur’an

Tidak jauh berbeda dengan al-Qurtubi, al-Baghawi dalam Ma’alim al-Tanzil menafsiri ayat ke-44 ini ialah sesungguhnya Allah swt hendak menurunkan wahyu (al-dzikr) yang kemudian memberikan keberkahan dan kedamaian bagi manusia. Untuk dapat bernilai berkah dan mendatangkan kedamaian, maka wahyu ini, demikian kata al-Baghawi, memerlukan bayan (penjelas) dari al-sunnah. Dalam hal ini, Nabi saw adalah sunnah daripada al-dzikr itu sendiri.

Hampir senafas dengan al-Baghawi, Mujahid sebagaimana yang dinukil Ibn Atiyyah dalam al-Muharrar al-Wajiz, menafsirkan ayat ke-44 ini ialah diutusnya Rasul saw adalah untuk memberi penjelasan (litubayyina) terhadap nash Al-Quran dengan sunnah-sunnah-nya. Kita tahu bahwa sunnah nabi secara umum terbagi menjadi tiga, yakni sunnah qauliyah, fi’liyah dan taqririyah. Di samping itu, Nabi saw “diminta” untuk mensyarahi apa-apa yang masih belum jelas (samar) di dalam Al-Quran sehingga kemudian syarah Nabi saw itu menjadi bagian integral syariat Islam itu sendiri.

Empat Kompetensi Yang Harus Dimiliki Pendidik

Merujuk pada penafsiran di atas, setidaknya ada empat kompetensi, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yakni kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.

Pertama, kompetensi pedagogik ialah kemampuan seorang pendidik untuk dapat mendesain dan melaksankan pembelajaran dengan baik yang meliputi proses pembelajaran, evaluasi hasil belajar dan pengembangan peserta didik guna mengaktualisasi dan mengekspresikan berbagai potensi yang dimilikinya.

Dalam ayat di atas, kompetensi ini terkandung pada redaksi ayat ke-44, litubayyina linnasi ma nuzzila ilaihim. Rasul saw telah meneladankan kepada kita bahwa beliau berhasil menerjemahkan risalah Allah swt dengan bahasa hamba-Nya sehingga umatnya tidak merasa kesulitan dalam memahami risalah Allah swt (baca: Al-Quran). Untuk itu, pendidik harus piawai menerjemahkan materi pembelajaran dengan mudah dan gampang dicerna oleh peserta didik tanpa harus mensimplifikasikan (baca: mereduksi) substansi atau esensi pembelajaran itu sendiri.

Kedua, kompetensi kepribadian adalah kompetensi personalitas yang mencerminkan kepribadian yang baik, bijaksana, dewasa, berwibawa, kharismatik, berakhlak karimah dan menjadi teladan bagi peserta didik. Di dalam ayat di atas, Nabi saw tidak cukup hanya bermodal cerdas dan piawai dalam menggunakan metode pembelajaran ketika menyampaikan risalah-Nya kepada umatnya. Lebih dari itu, Nabi Muhammad saw memberikan teladan yang baik dan pribadi yang mantap semisal lemah lembut, penyabar, tidak mudah emosi, dan selalu mencari titik temu ketika dihadapkan persoalan yang pelik. Oleh karena itu, mafhum kita dengar, “lisanul hal afshahu min lisanil maqal” (keteladanan itu lebih shahih, lebih utama dan lebih memberi arti (makna) ketimbang sekadar ucapan).

Ketiga, kompetensi profesional adalah penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam. Hal ini ditunjukkan pada redaksi fas-alu ahla al-dzikri in kuntum la ta’lamun. Jika engkau tidak tahu, maka bertanyalah kepada mereka yang berpengetahuan luas atau ahlul ‘ilmi. Nabi saw dalam hal ini, adalah seorang pendidik yang amat luas dan mendalam cakrawala berpikirnya, sehingga Nabi saw tidak mudah mengafirkan umatnya dan berusaha mengajak dengan berbasis ilmu dan ilmu. Umatnya, oleh Rasul saw, diajak untuk berpikir, menganalisis sehingga tak heran Islam tersebar tanpa ekspansi militer melainkan berbasis peradaban ilmu pengetahuan. Penting kiranya, bagi seorang pendidik untuk memiliki kompetensi profesional ini.

Baca juga: Telaah Makna Kata Nafs dalam Al-Quran Menurut Para Ulama

Keempat, kompetensi sosial ialah kemampuan pendidik untuk dapat berkomunkasi dan bergaul secara efektif dan luwes terhadap elemen pendidikan (peserta didik, rekan sejawat, orang tua/ wali, dan stakeholders yang ada). Semua kandungan ayat di atas (ayat 43 dan 44) memerlukan kompetensi sosial yang cakap. Selain bermodal intelektual, manajerial, dan profesional, Rasul saw juga memiliki modal sosial yang baik.

Begitu luwesnya Nabi saw ketika berinteraksi dan berdialektika dengan masyarakat sekitar yang notabene di awal dakwahnya masih didominasi oleh orang-orang kafir, sehingga masyarakat mudah menerima dakwahnya. Misalnya, sebelum kerasulan Nabi saw, Nabi saw telah digelari al-Amin (orang yang dapat dipercaya), menjalin hubungan bisnis dengan non-muslim, dan seringkali diminta menjadi penengah persoalan atau konflik. Ini membuktikan bahwa Nabi saw pandai bergaul dan berinteraksi sehingga masyarakat merasa nyaman dengannya. Begitupun bagi pendidik haruslah pandai berinteraksi sosial sehingga peserta didik merasa nyaman, jika sudah nyaman, maka mereka mudah untuk menerima materi yang hendak kita sampaikan. Wallahu A’lam.

Pemaknaan Jilbab Menurut Riffat Hassan, Seorang Mufassir Kontemporer

0
Pemaknaan Jilbab Menurut Riffat Hassan
Pemaknaan Jilbab Menurut Riffat Hassan

Al-Qur’an dapat diibaratkan sebagai samudera karena memiliki kandungan yang sangat luas. Hal tersebut memungkinkan terjadinya berbagai ragam penafsiran. Kajian terhadap Al-Qur’an dengan berbagai metodologi mengalami perkembangan seiring dengan berjalannya zaman. Latar belakang dan sudut pandang mufassir juga memengaruhi perkembangan metodologi kajian terhadap Al-Qur’an. Salah satu yang menjadi headline hari ini adalah mengenai isu gender di kalangan ulama tafsir kontemporer. Yakni memaknai ayat dari kacamata gender terkait pemaknaan jilbab.

Riffat Hassan memasuki salah satu jajaran feminis Islam yang berasal dari Pakistan di samping Fatimah Mernisi, Amina Wadud Muhsin dan sebagainya. Adapun beberapa faktor yang melatarbelakangi pemikiran Riffat Hassan, dimulai dari faktor keluarga yang mana Ibu beliau sendiri merupakan feminis “radikal” yang keras menentang praktik-praktik patriarkhi. Di sisi lain, terdapat faktor pendidikan, sosio-kultural dan faktor politik.

Riffat Hassan memulai perjuangannya sebagai aktivis gender sejak menginjak usia remaja. Beliau menempuh pendidikan di sekolah berbahasa Inggris dan seringkali menuangkan pikiran-pikiran serta kritik-kritiknya tentang kondisi sosio-kultural masyarakat patriarkhi di lingkungan sekitarnya melalui karya puisi dan soneta.

Baca juga: Kenali Tiga Macam Tingkatan Nafs Menurut Al-Quran

Mempelajari teks-teks Al-Qur’an dan melakukan penafsiran ulang secara serius dilakukan Riffat Hassan sejak tahun 1974. Beliau banyak mengkaji tentang isu perempuan sebagaimana yang sedang ramai diperbincangkan saat itu. Di perjalanan kariernya, beliau cukup banyak menulis artikel dan buku tentang feminisme.

Metodologi Tafsir Kacamata Gender

Ayat-ayat Al-Qur’an memiliki beberapa sifat, yakni ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat. Ayat-ayat muhkamat ialah ayat-ayat yang jelas dan dapat langsung dijadikan sebagai pedoman hukum. Ayat-ayat mutasyabihat merupakan lawan dari ayat-ayat muhkamat yakni ayat-ayat yang masih bersifat simbolik dan belum jelas.

Hasil penafsiran ditentukan oleh masing-masing cara pandang mufassir. Riffat Hassan menawarkan metode penafsiran baru yakni metode historis krisis-kontekstual. Adapun beberapa langkahnya yakni:

  1. Mencari makna kata yang sebenarnya berdasar pada akar katanya. Kemudian, meletakkannya sesuai dengan konteks masyarakat yang ada pada saat itu;
  2. Mengasumsikan bahwa antara ayat al-Qur’an yang satu dengan ayat yang lainnya saling menguatkan, bukan saling bertentangan (Abdu al-Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, hal. 28)
  3. Penafsiran baru dipandang benar, sah dan dapat diterima jika memenuhi prinsip-prinsip dan nilai-nilai keadilan.

Pemaknaan Sistem Jilbab

Meskipun jilbab telah mengalami evolusi secara bertahap, tetapi jilbab merupakan salah satu bagian yang melekat pada kaum muslim. Bahkan secara lahiriah, ia dianggap sebagai identitas yang menandakan eksistensi seorang muslim dan juga bagian dari kebudayaan kaum muslim abad pertengahan.

Baca juga: Kritik Ignaz Goldzhiher Terhadap al-Tafsir bi al-Ma’tsur

Adapun istilah purdah, niqab dan sebagainya yang merupakan bagian dari jilbab yang berbeda-beda bentuknya. Purdah dan niqab seperti jilbab yang menutupi rambut kepala hingga leher, tetapi purdah dan niqab juga menutup bagian hidung dan mulut dengan kain yang sama. Adapun ayat Al-Qur’an:

يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِّاَزْوَاجِكَ وَبَنٰتِكَ وَنِسَاۤءِ الْمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيْبِهِنَّۗ ذٰلِكَ اَدْنٰىٓ اَنْ يُّعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَۗ وَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا – ٥٩

Artinya: “Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”. (Q.S al-Ahzab: 59)

Ayat di atas berbicara tentang perintah kepada istri Nabi Saw dan muslimah untuk mengenakan purdah agar tidak diganggu dan dikenal sebagai perempuan yang shalihah. Hal ini bukan berarti para perempuan muslim dilarang untuk keluar rumah atau bekerja keluar rumah. Tetapi jika memang perempuan tersebut terdapat keperluan, bekerja keluar rumah, maka Al-Qur’an memerintahkan untuk mengenakan pakaian yang pantas agar tidak diganggu dan terhindar dari fitnah.

Baca juga: Tiga Fungsi Pohon dan Eksistensinya Menurut Al-Qur’an

Purdah secara bahasa berarti memisahkan (KH. Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap). Yang dimaksudkan adalah agar perempuan terhindarkan dari pandangan yang menjurus kepada objek seks. Maka bagi Riffat Hassan, pakaian perempuan yang dikenakan ialah pakaian yang pantas bagi setempat dan menjadikan perempuan dihormati dan dimuliakan. (Riffat Hassan, Feminisme dan Al-Qur’an)

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa bagaimana perempuan mengenakan jilbab atau pakaian yang baik adalah tergantung kepada tradisi atau budaya setempat yang dianggap “pantas” dikenakan perempuan sehingga ia dihormati. Karena ukuran pantas adalah relatif, sehingga bisa jadi suatu daerah menganggap niqab adalah ukuran pantas bagi perempuan muslim sedangkan daerah lain belum tentu begitu. Wallahhu a’lam.

Kenali Tiga Macam Tingkatan Nafs Menurut Al-Quran

0
Tiga Macam Tingkatan Nafs
Tiga Macam Tingkatan Nafs

Jiwa atau nafs sangat dibutuhkan oleh manusia. Tanpanya, manusia tidak akan bisa hidup. Quraish Shihab mengatakan, keberadaan nafsu menjadi unsur penting dalam kehidupan manusia. Nafsu tidak dapat dimatikan, akan tetapi dapat dikendalikan oleh manusia. Sebab, nafsu adalah pemberian Allah swt kepada manusia. Oleh karenanya, mujahadah al-nafs (pengendalian diri) menemukan titik relevansinya di sini. Hal ini ditegaskan oleh baginda Rasul saw, “raja’na minal jihadil asghar ila al-jihadil akbar” (Kita telah kembali dari jihad kecil menuju jihad yang lebih besar). Artikel ini hendak mengulas tiga macam tingkatan nafs dalam diri manusia.

Tiga Tingkatan Nafs

Al-Quran menyebut tiga tingkatan nafs dalam diri manusia, yaitu al-nafs al-muthmainnah, al-nafs al-lawwamah, dan al-nafs al-ammarah bi al-su’ sebagaimana disampaikan al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin.

Al-Nafs al-Muthmainnah (jiwa yang tenang)

Nafs ini termaktub dalam Q.S. al-Farj [89]: 27-30,

يٰٓاَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَىِٕنَّةُۙ ارْجِعِيْٓ اِلٰى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ۚ فَادْخُلِيْ فِيْ عِبٰدِيْۙ وَادْخُلِيْ جَنَّتِيْ ࣖࣖ

Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rida dan diridai. Lalu, masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku (Q.S. al-Fajr [89]: 27-30)

Al-Raghib al-Asfahani dalam Mu’jam Mufradat Alfadz Al-Quran menjelaskan bahwa nafs al-muthmainnah merupakan jiwa yang tenang, jiwa yang mantap dan kuat (al-istiqrar wa al-tsubut) di mana selalu bersandar kepada Allah swt setelah mengalami kegelisahan dan kegundahan yang luar biasa. Muthmainnah bermakna tenang, damai, tentram. Sedangkan al-Ghazali memaknai al-nafs al-muthmainnah adalah nafsu yang berorientasi kepada kebenaran serta dipenuhi oleh ketenangan-Nya (al-sakinat al-ilahiyyah), sehingga kemurahan-Nya mengalir kepadanya secara deras. Begitupun al-Tustari dalam Tafsir al-Tustari, ia menyebut nafs al-muthmainnah dengan nafs al-ma’rifat.

Baca juga: Kritik Ignaz Goldzhiher Terhadap al-Tafsir bi al-Ma’tsur

Lebih jauh, al-Qusyairi dalam Lathaif al-Isyarat memaknai nafs al-muthmainnah dengan al-ruh al-sakinah (jiwa yang damai dan tenang) dan al-muthmainnah bi dzikrillahi (jiwa yang tenang yang selalu berdzikir kepada Allah). Senada dengan al-Qusyairi, Ismail Haqqi dalam Ruh al-Bayan menafsirkan al-nafs al-muthmainnah adalah jiwa yang mendapat ketenangan setelah adanya kegelisahan dan kegundahan.

Tidak hanya itu, Ibn Arabi dalam Tafsir al-Quran menafsirkan al-nafs al-muthmainnah dengan corak sufistik. Menurutnya, al-muthmainnah adalah jiwa yang tersinari oleh cahaya-Nya sehingga jiwa tersebut mendapat ketenangan dari-Nya dan kembali dalam keadaan lapang dada. Kemudian, ada beberapa ciri-ciri al-nafs al-muthmainnah sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran di antaranya (1) memiliki keyakinan atau keimanan yang kokoh terhadap kebenaran sebagaimana termaklumatkan dalam Q.S. al-Nahl [16]: 106, “qalbuhu muthmainnun bil iman” (sedangkan hatinya tetap tenang dengan keimanannya).

(2) memiliki rasa aman, terbebas dari belenggu takut dan gelisah di dunia sebagaimana tersebut dalam Q.S. al-Nisa’ [4]: 103, “faidza ithma’nantum fa aqimu al-shalah” (apabila kamu telah merasa aman, laksanakanlah salat itu (dengan sempurna), dan (3) hatinya tentram karena selalu ingat kepada Allah sebagaimana dilukiskan dalam Q.S. al-Ra’du [13]: 28,

الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَتَطْمَىِٕنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللّٰهِ ۗ اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُ ۗ

(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram. (Q.S. al-Ra’du [13]: 28).

Baca juga: Tiga Fungsi Pohon dan Eksistensinya Menurut Al-Qur’an

Seseorang yang jiwanya tenang atau memiliki kematangan emosional ia tidak merasa cemas dan gundah gulana berlebihan sebab ia bersandar dan selalu ingat bahwa Allah swt akan senantiasa menolong hamba-hamba-Nya. Jika seorang muslim telah mencapai nafsu ini, – mengutip istilah Abdullah Yusuf Ali dalam THE QURAN: The Meaning of the Glorious Quran Text, Translation & Commentry – maka ia telah mencapai puncak kebahagiaan (the final stage of bless) sebagai seorang mukmin.

Al-Nafs al-Lawwamah (Jiwa yang disesali atau dipersalahkan)

Jenis nafs ini merupakan antonim dari al-nafs al-muthmainnah. Jenis nafs ini termaktub dalam Q.S. al-Qiyamah [75]: 1-2,

لَآ اُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيٰمَةِۙ وَلَآ اُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ

Aku bersumpah demi hari Kiamat. Aku bersumpah demi jiwa yang sangat menyesali (dirinya sendiri). (Q.S. al-Qiyamah [75]: 1-2).

Ismail Haqqi dalam Ruh al-Bayan memaknai al-nafs al-lawwamah dengan,

لاسبابها لانها تلوم نفسها أبدا فى التقصير والتقاعد عن الخيرات

“Nafsu yang menyalahkan dirinya sendiri karena selalu mengalami kelengahan atau kelalaian, dan meninggalkan diri atau pensiun dari beberapa perbuatan baik”.

Sementara hal senada juga dikemukakan Ibn Ajibah dalam al-Bahr al-Madid,

أقسم بالنفس المتقية، التي تلوم صاحبها على التقصير، وإن اجتهدت في الطاعة

“Aku bersumpah demi jiwa yang shalih yang menyalahkan pemiliknya atas kekurangannya, meskipun ia berusaha dalam ketaatan”

Baca juga: Telaah Makna Kata Nafs dalam Al-Quran Menurut Para Ulama

Tidak cukup itu, al-Ghazali dalam Ihya’-nya menjelaskan bahwa nafs ini belum memiliki established. Artinya, nafs ini rentan dengan goncangan, satu saat ia berbuat kebaikan namun pada saat yang lain ia turun level menjadi rendahan (nafsu kebinatangan) sebagaimana disampaikan Syekh Ahmad Farid dalam Tazkiyatun Nufus. Dengan demikian, nafs al-lawwamah ialah nafsu yang masih labil, tidak menentu, dan berpotensi untuk taat maupun maksiat. Sehingga seseorang yang masih berada dalam derajat nafs ini hendaknya senantiasa membersihkan dirinya dengan rajib beribadah, mengaji, dan terus belajar sehingga dapat meng-upgrade status nafs-nya menjadi nafs al-muthmainnah.

Nafs al-Ammarah bi al-Su’ (Jiwa yang mendorong kepada kejahatan)

Nafsu ini selalu condong kepada hal-hal yang dilarang oleh Allah swt dan bermaksiat. Al-Quran telah menyebutkannya dalam Q.S. Yusuf [12]: 53,

وَمَآ اُبَرِّئُ نَفْسِيْۚ اِنَّ النَّفْسَ لَاَمَّارَةٌ ۢ بِالسُّوْۤءِ اِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّيْۗ

Aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan) karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku. (Q.S. Yusuf [12]: 53)

Al-Jilani dalam Tafsir al-Jilani menafsirkan kalimat “la-ammarah bi al-su’” adalah nafs yang selalu condong kepada kejahatan dan berbuat kerusakan (fasad). Sedangkan al-Tustari dalam Tafsir al-Quran bahwa nafs al-ammarah ialah nafsu syahwat yang selalu mengajak manusia kepada hubbud dunya (cinta dunia) dan kerusakan. Dalam hal ini, Ibn Atha’illah dalam al-Hikam berpendapat, “Pangkal dari maksiat, kelalaian dan syahwat ialah ridha, tunduk dan patuh terhadao nafsu. Sedangkan sumber dari segala ketataan, kesadaran dan moral adalah karena adanya pengendalian terhadap hawa nafsu”.

Baca juga: Pemeliharaan Al-Quran dari Zaman Nabi Hingga Masa Kini

Dalam konteks demikian, tepat kiranya pernyataan al-Ghazali bahwa manusia yang terjerembab dalam kubangan nafs ini maka sesungguhnya ia telah jatuh pada jurang yang amat rendah, yakni derajat kebinatangan. Ia lebih hina dan rendah daripada binatang. Namun sebaliknya, jika manusia dapat mengendalikan hawa nafsunya maka derajatnya lebih mulia dan lebih tinggi ketimbang malaikat.

Oleh karenanya, pengendalian diri terhadap nafsu (mujahadah al-nafs) menjadi penting dan krusial di era modern sekarang serta serba banjir arus informasi. Pengendalian diri untuk tidak berkomentar yang tidak sesuai dengan bidangnya, pengendalian diri untuk tidak bermaksiat dan menahan pandangan mata dari kemaksiatan, dan segala hal dalam hidup manusia menuntut adanya pengendalian diri atau kontrol diri agar derajat nafs al-muthmainnah dapat kita raih sehingga jiwa menjadi tenang, damai, tentram dan selalu ingat kepada-Nya. Wallahu A’lam.

Kritik Ignaz Goldzhiher Terhadap al-Tafsir bi al-Ma’tsur

0
al-Tafsir bi al-Ma’tsur
al-Tafsir bi al-Ma’tsur

Al-Tafsir bi al-Ma’tsur merupakan manhaj (metode) penafsiran yang menitikberatkan riwayat sebagai sumbernya. Model penafsiran ini banyak melahirkan tokoh besar, seperti Ibn Jarir al-Thabari (w. 310 H), al-Baghawi (w. 516 H), Ibn Katsir (w. 774 H), Jalaluddin al-Suyuthi (w. 911 H) dan lain-lain. Penafsiran ini merujuk kepada riwayat-riwayat yang bersumber dari nabi Muhammad, perkataan para sahabat dan generasi setelahnya (baca : tabi’in). Lebih dari itu, ada juga yang berpendapat bahwa sumber penafsiran dengan model ini terkadang merujuk kepada riwayat-riwayat yang bersumber dari cerita bani Israil yang kemudian dikenal sebagai Israilliyyat (lihat, Muhammad Abu Syahbah, al-Israilliyyat wa al-Mawdhu’at fi Kutub al-Tafsir, 2008).

Salah satu sarjana Barat yang bernama Ignaz Goldziher adalah salah satu tokoh yang bisa dibilang sebagai tokoh yang mempunyai konsentrasi di bidang keislaman, terutama kajian terhadap sumber primer ajaran Islam, yakni al-Qur’an dan al-Sunnah. Ia merupakan seorang sarjana Barat yang lahir di Hongaria pada tahun 1850. Pendidikannya dimulai dari Universitas Budapest yang kemudian dilanjutkannya di kota Berlin, Jerman pada tahun 1869. Setelah menempuh pendidikannya di Berlin, ia kemudian melanjutkan karir intelektualnya di Rusia, tepatnya di universitas Lipetsk. Di universitas Lipetsk inilah, Goldziher kemudian diangkat menjadi dosen tetap dan mengampu mata kuliah kajian keislaman (lihat, Abdurrahman Badawy, Mausu’ah al-Mustasyriqin, 1993).

Baca juga: Pemeliharaan Al-Quran dari Zaman Nabi Hingga Masa Kini

Kritik Goldziher Terhadap al-Tafsir bi al-Ma’tsur

Menjadi dosen yang mengampu kajian keislaman, menjadikannya semakin nyaman dengan kajian yang ia tekuni. Akhirnya, ia membuat sebuah karya yang akhirnya diterjemahkan kedalam bahasa Arab yang kemudian beralih nama menjadi Madzahib al-Tafsir al-Islami. Buku ini boleh dikata sebagai magnum opus nya. Sebab, buku ini banyak dijadikan sebagai bahan rujukan, utamanya bagi para sarjana yang mempunyai konsentrasi dalam bidang ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Tafsirnya.

Dalam bukunya itu, Goldziher berbicara panjang lebar mengenai model-model penafsiran al-Qur’an yang berkembang dikalangan para cendekiawan Muslim. Salah satu yang menjadi sorotannya adalah al-Tafsir bi al-Ma’tsur yang dinilai sebagai tafsir yang mempunyai beberapa permasalahan : Pertama, Goldziher menyatakan, bahwa al-Tafsir bi al-Ma’tsur merupakan tafsir yang tidak mempunyai cantholan (sumber) epistemologis yang jelas.

Bagaimana tidak, menurut Goldziher tafsir model ini lebih gemar mencantumkan dongeng daripada pendekatan kajian keislaman seperti fikih dan beberapa masalah keagamaan lainnya. Meski demikian, Goldziher menilai langkah ini sebagai langkah yang bisa dimaklumi. Lantaran, Al-Qur’an tidak menjelaskan kisah-kisah kenabian secara detail dan rinci sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab sebelumnya, seperti Taurat dan Injil.

Baca juga: Citra Nabi Muhammad dalam Al-Quran Perspektif Tarif Khalidi (1)

Kedua, para mufassir yang menafsirkan Al-Qur’an dengan model ini, dinilai Goldziher banyak meriwayatkan kisah-kisah dari kelompok yang terlalu berlebihan dan gemar mengkhayal manakala sedang mengisahkan suatu riwayat. Goldziher kemudian menguatkan pendapat ini dengan sebuah tafsiran yang dinukil dari Muqatil ibn Sulaiman (w. 150 H).

وَاِنْ مِّنْ قَرْيَةٍ اِلَّا نَحْنُ مُهْلِكُوْهَا قَبْلَ يَوْمِ الْقِيٰمَةِ اَوْ مُعَذِّبُوْهَا عَذَابًا شَدِيْدًاۗ كَانَ ذٰلِكَ فىِ الْكِتٰبِ مَسْطُوْرًا

Artinya :

Tidak ada suatu negeri pun (yang durhaka penduduknya), kecuali Kami membinasakannya sebelum hari Kiamat atau Kami siksa (penduduk)-nya dengan siksa yang sangat keras. Yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Lauh Mahfuz) (QS. Al-Isra’ : 58).

Mengutip dari Muqatil ibn Sulaiman, Goldziher mengatakan bahwa kata قَرْيَةٍ yang bermakna (negeri) ini merujuk kepada suatu daerah yang bernama Konstantinopel. Pernyataan ini semakin menguatkan temuan Goldziher yang menduga bahwa para mufassir yang menggunakan cara bi al-ma’tsur ini gemar melakukan kutipan riwayat yang terkesan mengkhayal (lihat, Ignaz Goldziher, Madzahib al-Tafsir al-Islami, 1944).

Kritik Terhadap Pandangan Goldziher

Adapun pandangan yang diajukan oleh Goldziher juga mempunyai kelemahan yang akan penulis uraikan dalam sesi ini. Argumen pertama yang menyatakan bahwa al-Tafsir bi al-Ma’tsur tidak memiliki cantholan epistemologis yang jelas, tidaklah benar. Sebab, para sarjana al-Qur’an seperti Muhammad Abu Syahbah menyatakan, sumber epistemologis al-Tafsir bi al-Ma’tsur ada 4, yakni al-Qur’an, al-Sunnah, ijtihad sahabat dan ijtihad tabi’in (lihat, Muhammad Abu Syahbah, al-Israilliyyat wa al-Mawdhu’at fi Kutub al-Tafsir, 2008).

Sedangkan, argumen kedua yang mengutip penafsiran Muqatil ibn Sulaiman ternyata tidak kompatibel sebagaimana yang ada di dalam kitab tafsir karya Muqatil ibn Sulaiman yang dikenal dengan Tafsir Muqatil ibn Sulaiman. Setelah membuka kitab tafsir tersebut, penulis justru menemukan penafsiran Muqatil yang sama sekali berbeda dengan apa yang dikutip oleh Goldziher. Muqatil tidak menyebut secara jelas nama Konstantinopel ketika menafsirkan kata قَرْيَةٍ. Bahkan, Muqatil mencampakkan penafsiran mengenai kata قَرْيَةٍ dan hanya menyebutkan negeri yang buruk dan negeri yang baik dengan tanpa menyebutkan nama Konstantinopel didalamnya (lihat, Muqatil ibn Sulaiman, Tafsir Muqatil ibn Sulaiman, 2002).

Baca juga: Hukum Iqlab dalam Nun Mati dan Tanwin Beserta Contohnya

Tidak bisa dipungkiri, bahwa model penafsiran dengan menggunakan riwayat (al-Tafsir bi al-Ma’tsur) telah mencetak tokoh-tokoh besar, seperti al-Thabari, Ibn Katsir, Jalaluddin al-Suyuthi dan lain-lain. Meski demikian, model penafsiran ini ternyata juga memiliki kelemahan, sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Goldziher. Pun dengan Goldziher. Sebagai seorang sarjana yang mempunyai konsentrasi dalam bidang al-Qur’an dan al-Sunnah. Ternyata kritik-kritiknya juga terkadang lemah dan perlu dilakukan telaah yang lebih mendalam guna mendapatkan hasil yang lebih presisi. Wallahu a’lam[].          

Tiga Fungsi Pohon dan Eksistensinya Menurut Al-Qur’an

0
Fungsi Pohon dan Eksistensinya Menurut Al-Qur'an
Fungsi Pohon dan Eksistensinya Menurut Al-Qur'an

Aktualisasi konsep “saleh ritual saleh sosial” rasanya cukup sulit terwujud andaikata kita melihat fakta kemanusiaan saat ini. Selain makin menjamurnya manusia yang tak beradil dan tak beradab, manusia juga semakin disudutkan pada kondisi tak beralam. Ini baru dua ranah, yakni ritus keilahian (hablumminallah) dan sosial kemasyarakatan (hablumminannas), namun spirit manusia dalam mengimplementasikannya masih jauh dari kata “ya” apalagi sempurna. Andai ditambah satu lagi tanggung jawab manusia, yakni hablumminal`alam atau menjaga lingkungan, apa kita mampu?. Apalagi tak sedikit yang mengabaikan fungsi pohon dan eksistensinya, sehingga tak heran, jika alam kita semakin lama semakin terkikis.

Barangkali, hanya hujan yang peduli dengan hutan. Manusia-manusia di tanah air beta sudah lupa, mungkin cenderung buta, kehilangan nuraga, dan mati rasa terhadap nasib pohon dan hutan kita. Adagium yang mafhum di telinga kita bahwa hutan adalah paru-paru dunia sepertinya sudah tinggal nama, lenyap dalam jiwa raga, dan yang tersisa hanya ada pada pamflet-pamflet di social media, di papan iklan jalanan, dan di buku-buku panduan yang matang di ranah konseptual namun busuk di ranah aktual.

Baca juga: Telaah Makna Kata Nafs dalam Al-Quran Menurut Para Ulama

Maret 2021 lalu, dengan bersahaja dan bangga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengumumkan bahwa Indonesia berhasil meminimalisir angka deforestasi hutan tahun 2018-2020  seluas 570.000 hektar. Oke, menurun. Tapi kehilangan hutan hampir seluas ibu kota dalam waktu tiga tahun, apa yang patut dibanggakan? 76 tahun Indonesia merdeka, namun kini giliran hutan yang dijajah membabibuta, pohon dibasmi tanpa henti.

Fakta tersebut semakin ironis melihat bahwa Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Apakah agama sudah kehilangan fungsinya atau manusia yang hanya menjadikan agama sebagai label saja. Padahal Islam adalah agama yang secara konseptual sangat ramah lingkungan. Al-Qur`an mengecam manusia yang berbuat kerusakan (Qs. 5: 5; 7: 56; 28: 77), dan sebaliknya Al-Qur’an memerintahkan manusia berbuat kebaikan kepada siapa saja (Qs. 6: 54) termasuk kepada alam.

Padahal eksploitasi yang dilakukan manusia terhadap alam  menurut Rumi sama saja sebagai tindakan bunuh diri, karena alam adalah bagian yang tak terpisahkan dari manusia. Khususnya perilaku manusia terhadap hutan dan pepohonan yang kini semakin memprihatinkan, sementara kita sama-sama mengerti dan merasakan bagaimana hutan dan rimbunnya pepohonan sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia. Islam sendiri melalui Al-Qur`an banyak menegaskan betapa pentingnya pepohonan (tumbuhan) bagi manusia (Qs. 6: 99; 16: 10-11), bahkan secara eksplisit memerintahkan manusia untuk menjaganya dengan tetap melakukan penghijauan.

Baca juga: Surah Al-Mumtahanah Ayat 8-9 dan Pesan Relasi Muslim-Non Muslim dalam Tafsir Al-Ibriz

Penghijauan adalah sebuah langkah konkret yang dapat dilakukan oleh siapa saja sebagai upaya relisiensi mengatasi problematika krisis lingkungan yang mengancam manusia. Oleh karena itu, Islam jauh-jauh hari telah mengingatkan manusia untuk menanam tumbuh-tumbuhan demi kepentingannya sendiri. Dalam Al-Qur’an,  setidaknya ada tiga fungsi atau pertimbangan dalam penghijauan yakni:

Fungsi Materiil

Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya Islam Agama Ramah Lingkungan mengatakan bahwa penghijauan berfungsi sebagai sumber materiil bagi manusia. Hal ini sebagaimana firman Allah:

 فَلْيَنْظُرِ الْاِنْسَانُ اِلٰى طَعَامِهٖٓ ۙ ٢٤ اَنَّا صَبَبْنَا الْمَاۤءَ صَبًّاۙ ٢٥ ثُمَّ شَقَقْنَا الْاَرْضَ شَقًّاۙ ٢٦ فَاَنْۢبَتْنَا فِيْهَا حَبًّاۙ ٢٧ وَّعِنَبًا وَّقَضْبًاۙ ٢٨ وَّزَيْتُوْنًا وَّنَخْلًاۙ ٢٩ وَّحَدَاۤئِقَ غُلْبًا ٣٠ وَفَاكِهَةً وَّاَبًّا ٣١ مَتَاعًا لَّكُمْ وَلِاَنْعَامِكُمْۗ ٣٢

”Maka, hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya. Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan ari (dari langit), kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya, lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu, anggur dan sayur-sayuran, zaitun dan pohon kurma, kebun-kebun lebat, dan buah-buahan serta rumput-rumputan, untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu.” (QS. Abasa [80]: 24-32).

Al-Qardhawi menjelaskan bahwa salah satu manfaat dari tanaman (penghijauan) adalah makanan yang secara realistis sangat dibutuhkan oleh manusia untuk kelangsungan hidupnya. Makanan yang dihasilkan dari penghijauan tersebut merupakan wujud materiil dari kenikmatan yang diberikan Allah. Al-Zuhaili juga dalam Tafsir Al-Munir memberikan komentar, bahwa ayat tersebut merupakan manifestasi dari kasih sayang Allah terhadap makhluknya agar manusia dapat memanfaatkan tanaman dan segala sesuatu yang dihasilkan olehnya untuk kehidupannya.

Fungsi Moril

Fungsi kedua dari penghijauan mencapai ranah moril atau psikologis. Hal ini sebagaimana firman Allah:

 اَمَّنْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ وَاَنْزَلَ لَكُمْ مِّنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءً فَاَنْۢبَتْنَا بِهٖ حَدَاۤىِٕقَ ذَاتَ بَهْجَةٍۚ مَا كَانَ لَكُمْ اَنْ تُنْۢبِتُوْا شَجَرَهَاۗ ءَاِلٰهٌ مَّعَ اللّٰهِ ۗبَلْ هُمْ قَوْمٌ يَّعْدِلُوْنَ ۗ ٦٠

“Bukankah Dia (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dan yang menurunkan air dari langit untukmu, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu kebun-kebun yang berpemandangan indah? Kamu tidak akan mampu menumbuhkan pohon-pohonnya. Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Sebenarnya mereka adalah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran).” (QS. An-Naml [27]: 60).

Menurut Al-Zuhaili, ayat tersebut merupakan jawaban Allah terhadap kaum musyrik yang menyembah berhala dan mendiskreditkan-Nya. Allah melalui ayat ini menunjukkan kekuasaannya dengan menciptakan kehidupan yang bermanfaat sekaligus dapat menjadi penenang bagi manusia lewat turunnya air hujan yang kemudian tumbuh dari tanah berbagai macam tumbuhan yang indah nan elok (bahjah). Dengan kata lain, keindahan kebun (hadaiq) yang hijau tersebut merupakan nikmat moril bagi manusia.

Oleh karena itu, Al-Qardhawi mengatakan bahwa melakukan penghijauan lingkungan mencapai derajat hukum fardhu kifayah. Dengan demikian, penghijauan tersebut pada dasarnya tugas kita bersama sebagai manusia. Bahkan lebih dari itu, gerakan-gerakan penghijauan ini seharusnya menjadi tugas pemerintah untuk melestarikan dan menganjurkannya kepada masyarakat.

Baca juga: Mengenal Lebih Dekat Tafsir Juz ‘Amma Karya Kh. Masruhan Ihsan

Sebagai Simbol Kekuatan

Fungsi ketiga dari penghijauan adalah sebagai simbol kekuatan, persatuan, dan kesatuan. Fungsi ini dapat diindikasi dalam firman Allah:

 اَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ اَصْلُهَا ثَابِتٌ وَّفَرْعُهَا فِى السَّمَاۤءِۙ ٢٤ تُؤْتِيْٓ اُكُلَهَا كُلَّ حِيْنٍ ۢبِاِذْنِ رَبِّهَاۗ وَيَضْرِبُ اللّٰهُ الْاَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ ٢٥

“[24]  Tidakkah kamu memperhatikan bagai-mana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit. [25]  (pohon) itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizin Tuhannya. Dan Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat.” (QS. Ibrahim [14]: 24-25)

Menurut Ibnu Katsir ayat tersebut pada dasarnya adalah sebuah “mitsil” bagi ketauhidan seorang mukmim sejati, yakni keyakinannya kokoh dan tinggi. Namun selain perihal ketauhidan, ayat tersebut juga menurut Quraish Shihab dapat dipahami sebagai simbol kekuatan umat Islam yang digambarkan seperti pepohonan yang akarnya kuat dan cabangnya menggapai langit. Dengan kata lain, pepohonan dalam konteks ini bermakna cukup besar bagi manusia sehingga Allah menjadikannya perumpamaan bagi ranah ketauhidan seseorang. wallahu a’lam.