Beranda blog Halaman 223

Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 11-12

0
tafsir surah al-furqan
tafsir surah al-furqan

Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 11-12 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai kelakukan orang-orang yang kafir yang selalu ingkar terhadap segala yang berbau Islam. Kedua mengenai keadaan orang kafir kelak di akhirat.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 9-10


Ayat 11

Pada ayat ini Allah menegaskan lagi bahwa orang-orang kafir itu telah jauh tersesat dari jalan yang benar, bahkan mereka mendustakan pula datangnya hari Kiamat, hari pembalasan di mana semua amal perbuatan manusia dibalas dengan adil.

Perbuatan baik dibalas dengan pahala yang berlipat ganda, perbuatan jahat dibalas dengan azab yang pedih. Mereka mendustakan hari Kiamat itu agar mereka berbuat sewenang-wenang terhadap kaum yang lemah, bersimaharajalah melakukan kezaliman, oleh sebab itu Allah mengancam mereka dengan api neraka yang menyala-nyala akibat keingkaran dan kedurhakaan mereka, akibat perbuatan jahat mereka di dunia.


Baca juga: Anjuran Menolak Kejahatan dengan Cara Terbaik dalam Surah Fussilat Ayat 34


Ayat 12

Apabila orang-orang kafir itu telah digiring ke neraka, seakan-akan neraka melihat mereka dari jauh, terdengarlah suaranya yang gemuruh karena kemarahan melihat orang-orang kafir itu, seakan-akan neraka itu seekor singa yang lapar melihat mangsanya mendekatinya.

Ibnu Munzir dan Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Ubaid bin Umair berkata, “Sesungguhnya Jahanam itu bergemuruh suaranya sehingga para malaikat dan nabi-nabi gemetar persendiannya mendengar suara itu, sehingga Nabi Ibrahim jatuh berlutut dan berkata, “Ya Tuhanku tidak ada yang aku mohonkan hari ini kecuali keselamatan diriku.” Dapatlah dibayangkan bagaimana seramnya keadaan di waktu itu dan bagaimana dahsyatnya siksa yang akan diterima oleh mereka dan bagaimana beratnya penderitaan yang akan mereka rasakan pada waktu itu.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 13-16


(Tafsir Kemenag)

Fath al-Allam; Kitab Tafsir Ahkam yang Unik

0
Kitab Fath al-Allam
Kitab Fath al-Allam

Dalam kajian al-Qur’an, tafsir ahkām juga dikenal dengan sebutan tafsir fiqhī. Ia menjadi satu dari sekian corak yang dimiliki kitab-kitab tafsir. Ragamnya tergantung pada banyaknya mazhab fikih yang ada (Ushūl al-Tafsīr wa Manāhijuhū, 94). Mengenai penyajiannya, Ālī Iyāzī menemukannya dalam dua metode; tahlīlī dan maudlū’ī.

Cara pertama adalah dengan menafsirkan al-Qur’an secara berurutan dari awal surat al-Fātihah hingga akhir surat al-Nās dengan memberikan penjelasan yang lengkap dan mendalam saat bertemu dengan ayat-ayat ahkām. Adapun cara kedua yakni dengan mengelompokkan ayat-ayat ahkām yang setema demi diperolehnya kesimpulan yang komprehensif. Model pertama banyak diikuti oleh mufassir yang berhaluan ahlus sunnah. Sementara yang kedua, banyak digunakan oleh ulama Syi’ah (90-91). 

Baca Juga: Mengenal Corak Tafsir Fiqhi dan Kitab-kitabnya

Kitab Fath al-Allam fī Tartīb Āyāt al-Ahkām

Sesuai namanya, kitab yang terdiri dari satu jilid ini berisi ayat-ayat ahkām. Kitab ini ditulis oleh Shabāh Abdul Karīm al-‘Anzī. Dalam pengantarnya, mu’allif menegaskan bahwa kebanyakan tafsir ahkām disajikan dalam bentuk tahlīlī. Semisal Ahkām al-Qur`ān karya al-Jashshāsh (3 jilid), Ahkām al-Qur`ān milik Ibn ‘Arabī (3 jilid), dan alJāmi’ li Ahkām al-Qur’ān yang ditulis oleh al-Qurthūbī. Kesemuanya ditulis berdasarkan tartib Mushhaf ‘Utsmānī.

Kitab-kitab ini cukup menyulitkan pembaca yang hendak mencari tahu hukum suatu masalah. Pasalnya, terlebih dahulu mereka harus mencari tahu ayatnya. Kalaupun sudah mendapatkannya, masih sangat mungkin ada ayat lain yang memiliki keterkaitan. Sehingga untuk memperoleh informasi yang komplit terhadap sebuah kasus butuh usaha yang cukup keras dan waktu yang relatif lama.

Dari realita ini, disusunlah Kitab Fath al-Allam fī Tartīb Āyāt al-Ahkām dengan metode tematik. Kitab setebal 198 halaman ini memuat 30 tema yang ada dalam kitab fikih. Dimulai dari pembahasan mengenai bersuci dan berakhir dengan ikrar. Dalam topik mengenai bersuci, mu`allif menyajikan sekian ayat yang berbicara mengenai air, wadah, istinjā` (bersuci dari buang hajat), bersiwak, wudu, mengusap khuff (sepatu kulit yang tinggi dan biasa digunakan untuk perjalanan jauh), mandi, tayammum, menghilangkan najis dan haid. Beberapa hal yang lazim di bahas dalam kitab-kitab fikih.

Baca Juga: Tafsir Ahkam; Definisi dan Pernak-Perniknya

Sistematika Penulisan

Konsekuensi dari penyajian menggunakan model tematik, seseorang harus menentukan tema besar yang bisa mencakup beberapa hal yang memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini telah dicontohkan oleh para fuqohā` dalam kitab fikih karya mereka. Saat membuka kitab Fath al-Allam ini kita akan menemukan tema besar atau utama yang diistilahkan dengan kitāb. Jumlahnya mencapai 30 tema. Di bawah kitāb ada tema kecil yang diberi judul bāb.

Dalam perjalanannya, kitāb atau tema utama ini ada yang langsung diikuti bāb, ayat, atau definisi daripada tema tersebut. Untuk model yang pertama misalnya pada kitāb thahārah atau bersuci. Kemudian yang langsung menuliskan ayat-ayat terkait, diantaranya bisa kita jumpai dalam pembahasan tema 4 rukun Islam, janā`iz, jihād, dan lainnya. Adapun model ketiga terlihat misalnya saat mu`allif membahas wasiat (washāyā), waris (farā`idl), īlā`, dan lainnya. Dalam kitāb īlā`, sebelum mengutip QS. al-Baqarah [2]: 226-227, mu’allif mendefinisikan īlā` dengan

الْإِيْلاَءُ هُوَ الْاِمْتِنَاعُ بِالْيَمِيْنِ مِنْ وَطْءِ الزَّوْجَةِ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ

Artinya “Īlā` adalah sumpah tidak menggauli istri selama lebih dari empat bulan” (135).

Kemudian pada bagian bāb yang menjadi tema kecil dari kitāb, mu`allif menukil ayat-ayat yang memiliki keterkaitan dengan tema utama (kitāb) namun tidak langsung. Jadi ayat tersebut berbicara seputar tema kecil yang masuk dalam kategori tema besar. Untuk ayat-ayat yang berbicara langsung mengenai tema besar, maka akan dikategorikan dengan fashl jika jumlahnya banyak dan bisa dibagi-bagi. Jika jumlahnya sedikti dan tidak bisa dibagi-bagi, maka ayat-ayat tersebut akan dimasukkan langsung di bawah tema besar (kitāb). Hal inilah yang membuat kita tidak menemukan bāb dan fashl dalam pembahasan tema utama seperti dalam kitāb raj’ah, īlā`, zhihār, dan radlā’.

Sebagaimana kita ketahui dari kitab fikih, bāb memiliki cakupan yang lebih besar dibanding fashl. Oleh karenanya, urutan kitāb – bāb – fashl mendominasi sitematika penulisan dalam karya ini. Namun hal itu tidak berlaku secara umum. Contohnya kitāb nikah (111), mu`allif mendahulukan fashl dari pada bāb. Sebelum membahas tema kecil tentang wanita yang haram dinikahi dan nikah beda agama, terlebih dahulu mu`allif menuliskan fashl rukun nikah dan wali.

Kemudian untuk melengkapi ayat-ayat yang dinukil, mu`allif menambahkan penjelasan hukum yang terkandung di dalamnya ataupun kosa kata kunci yang berkaitan dengan tema. Penjelasan kosa kata penting yang memiliki keterkaitan dengan tema misalnya pada fashl fī makrūhāt al-shalāt (sesuatu yang dimakruhkan dalam salat). Setelah menyebutkan QS. al-Mu`minūn [23}: 1-2 yang diantaranya mengandung kata khāsyi’ūn, dijelaskan bahwa “khusyu berkaitan dengan hati, penglihatan yang fokus dan suara yang hening. Adapun khudlū’ berkaitan dengan ketenangan badan. Harus menghadirkan kekhusyu’an agar mendapatkan pahala” (28).

Baca Juga: Abi Laits al-Samarqandi; Mufasir Bergelar Faqih, Penulis Tafsir Bahr al-‘Ulum

Keunggulan dan Kelemahan

Sebuah karya pasti memiliki kelebihan dan tidak akan pernah lepas dari kekurangan. Kelebihan kitab ini dibanding tafsir ahkām yang lain adalah 1) model penyajiannya yang tematik. Ia memudahkan pembaca untuk melacak ayat-ayat yang berbicara mengenai permasalahan yang dicarinya. 2) Ulasan singkat mengenai hukum yang dikandung sebuah ayat. 3) Penggabungan antara qur’an dan hadis dalam mengkaji sebuah kasus. Sehingga bertemulah antara āyāt ahkām dengan ahādīts ahkām. āyāt ahkām sebagai sumber utama dalam memproduksi hukum dan ahādīts ahkām (hadis-hadis hukum) sebagai sumber kduanya. Untuk keunggulan yang ketiga ini bisa kita temukan dalam fashl cara mengetahui arah kiblat. Di sana mu`allif menukil hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas setelah menulis QS. al-Nahl [16]: 16. (24).

Namun demikian, di balik keunggulan yang ada, terdapat celah yang membuat penikmat karya ini harus membuka kembali referensi terkait demi memperoleh pemahaman yang lebih mendalam. Mengenai keunggulan kedua, ulasan singkat yang disajikan bisa dibilang sangat singkat sekali. tidak ada perdebatan para ulama fikih yang ditulisakan di sana. Kemudian dibalik keunggulan yang ketiga, mu`allif tidak men-takhrīj sebagian hadis yang dinukilnya. Hadis Ibnu ‘Abbas tadi misalnya, di sana tidak ada penjelasan hadis riwayat imam A atau B. Berbeda dengan hadis yang dinukilnya saat menjelaskan bāb kewajiban wudu (14), informasi Nabi tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Tumūdzī. wallāhu a’lam.

Surah Al-Fajr Ayat 27: Bagaimana Manusia Mencapai Ketenangan Jiwa?

0
Surah Al-Fajr Ayat 27: Bagaimana Manusia Mencapai Ketenangan Jiwa?
Surah Al-Fajr Ayat 27: Bagaimana Manusia Mencapai Ketenangan Jiwa?

Kita semua tentu pernah merasakan kegelisahan, sebuah suasana yang begitu mengguncang ketenangan jiwa. Keadaan dimana pikiran negatif dan merasa jauh dari kasih sayang Tuhan.  Padahal kasih sayang Allah Swt nyata adanya. Dalam Firman-Nya, Allah Swt menyapa jiwa-jiwa yang tenang dengan istilah nafs al-muthmainnah. Term ini dapat kita temukan dalam surah Al-Fajr ayat 27.

 يٰٓاَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَىِٕنَّةُۙ ٢٧

“Wahai jiwa yang tenang”

Ayat ini secara umum, ditafsirkan sebagai panggilan Tuhan kepada manusia yang akhir hayatnya dalam keadaan tenang. Ketenangan ini diukur berdasarkan iman dan amal saleh yang telah dikerjakan hamba kepada Tuhannya. Lantas jiwa-jiwa yang tenang itu diminta kembali dengan perasaan puas dan senang karena telah memenuhi perintah Tuhan kala di dunia. Setidaknya penafsiran ini yang tercantum dalam Tafsir Kementerian Agama Republik Indonesia tahun 1972.

Muhammad Abduh, salah satu mufassir modernis Mesir menafsirkan kata nafs muthmainnah dalam salah satu tafsir Juz Amma-nya dengan permisalan yang menarik. Ia menyebutkan bahwa nafs muthmainnah ada dalam jiwa seorang hartawan yang senantiasa bersyukur, tidak mengambil apapun kecuali haknya, dan memberikan sesuatu kepada yang berhak. Selain itu, hartawan itu juga memberikan perhatian lebih kepada anak yatim, serta mengajak orang lain agar mengikutinya, dan menebar manfaat untuk masyarakat sekitar.

Baca juga: Perempuan dalam Al-Quran: Antara Pernyataan Allah Sendiri dan Kutipan atas Ucapan Orang Lain

Selain untuk hartawan, orang miskin juga dapat mencapai ketenangan jiwa (nafs muthmainnah). Abduh menyebut ragam contohnya seperti bersabar, tidak meminta-minta, tidak melakukan hal yang rendah, dan saling tolong-menolong. Dari penafsiran ini, terlihat pendekatan sosial digunakan oleh Muhammad Abduh, untuk menggerakkan orang-orang yang membaca tafsirnya.

Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menafsirkan nafs muthmainnah sebagai tingkatan kepribadian yang telah melalui gemblengan pengalaman dan penderitaan hingga berhasil mencapai ketenangan. Kepribadian ini bersinggungan dengan spiritual karena sukses melalui berbagai liku percobaan. Orang dengan nafs muthmainnah tersebut tidak mengeluh dan berhasil menyeimbangkan antara iman dan perasaan.

Keseimbangan ini juga dimisalkan layaknya dua sayap yang kuat. Sayap pertama yakni sikap syukur, sementara sayap kedua yakni sabar. Syukur ketika mendapatkan kenikmatan, kekayaan dan lainnya, dan sabar saat mendapati kekurangan dan cobaan. Dari uraian ini, terlihat bahwa penafsiran Abduh dan Buya Hamka terhadap nafs muthmainnah memiliki persamaan yang signifikan, yakni konsep syukur dan sabar. Jika Buya Hamka menjelaskan syukur dan sabar dalam tataran konsep, maka Abduh melengkapinya dengan permisalan yang solutif di lingkungan sosial.

Selain itu, Buya Hamka juga menyebutkan beberapa nafs sebagai tingkatan pengolahan jiwa. Adapun ragam nafs itu terdiri dari, nafs ammarah, nafs lawwamah, dan  nafs muthmainnah.

Baca juga: Surah An-Nahl [16]: 125: Pentingnya Kontra Narasi di Media Sosial

Terkait tiga tingkatan nafs ini, perlu diuraikan lebih lanjut sebagai berikut.

  1. Nafs Ammarah

Nafs Ammarah berarti jiwa yang memerintah. Kepribadian ini merupakan tabiat alami dari diri manusia. Maka kepribadian ini memiliki kecenderungan badaniyah yang berkeinginan untuk mendapatkan kesenangan (syahwat). Adapun contoh kepribadian ini seperti ambisius, hasrat biologis, marah, dan sifat lainnya. Terkait nafs ini, Allah Swt memperingatkan agar manusia tidak mudah menurutinya, sebab nafs ini berpotensi menyesatkan dan menjerumuskan kepada hal-hal yang buruk.

  1. Nafs lawwamah

Nafs ini merupakan tingkat kepribadian jiwa seseorang yang kedua. Sesungguhnya level jiwa yang kedua ini mampu menerima pencerahan hati, namun sesekali ia masih melakukan hal yang buruk, dan terkadang menyesalinya. Tentu, jiwa yang ada dalam level lawwamah ini memiliki potensi besar untuk bertaubat dan insyaf.

Dalam disiplin ilmu tasawuf, nafs lawwamah ini menyukai perbuatan-perbuatan baik, namun tidak dapat melakukan secara istiqamah. Di antara penyebab sulitnya istiqamah itu karena dalam hati masih dihinggapi maksiat batin, seperti ujub dan riya’. Meski demikian, orang yang masih dominan nafs lawwamah-nya dianjurkan untuk memperbanyak zikir kepada Allah agar mampu mengendalikannya dan mencapai ketenangan jiwa (nafs muthmainnah).

Baca juga: Balasan Kebaikan Adalah Ridha Allah Swt Bagi Hamba-Nya

  1. Nafs Muthmainnah

Nafs yang ketiga ini merupakan puncak dari jiwa-jiwa yang sebelumnya. Manusia secara alami memang tidak bisa lepas dari ammarah dan lawwamah. Namun bukan berarti manusia tidak dapat mengendalikan jiwa dan mencapai ketenangan yang purna. Tentu, cara yang ditempuh agar mampu mencapai level ini, sudah dijelaskan di awal bahwa iman dan amal saleh yang diliputi istiqamah zikir dapat menggapai ketenangan yang sejati.

Bergandengan dengan surah Al-Fajr ayat ke-27, Allah memanggil manusia yang telah mencapai ketenangan jiwa untuk kembali di sisi-Nya dengan hati ridha dan diridhai. Lantas manusia tersebut masuk golongan baik yang akan dimasukkan ke surga.

 ارْجِعِيْٓ اِلٰى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ۚ ٢٨ فَادْخُلِيْ فِيْ عِبٰدِيْۙ ٢٩ وَادْخُلِيْ جَنَّتِيْ ࣖ ٣٠

  1. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai-Nya.
  2. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku,
  3. dan masuklah ke dalam surga-Ku.

Baca juga: Nasaruddin Umar: Al-Qur’an Bedakan antara Gender dan Jenis Kelamin

Dari lanjutan ayat tersebut, penafsiran yang umum menunjukkan keadaan hari akhir seseorang yang condong terhadap nafs muthmainnah. Namun, Abduh dan Hamka tidak hanya membatasinya dalam konteks tersebut, mereka menunjukkan bahwa ketenangan jiwa bisa juga digapai dengan kepekaan sosial dan kekuatan iman, khususnya melalui rasa syukur dan sabar.

Semoga kita semua mampu menggapai ketenangan jiwa.

Wallahu a’lam[]

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 115-118

0
Tafsir Surah Al Mu'minun
Tafsir Surah Al Mu'minun

Adapun Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 115-118 adalah series terakhir dari tafsir kali ini yang akan menjelaskan tentang keesaan Allah Swt., bahwa Dia tidaklah menciptakan sesuatu dengan sia-sia, termasuk manusia. Dan bagi manusia pula, ada kebaikan dan keburukan, ada dosa dan pahala, serta surga dan neraka. Mereka yang beriman dan melakukan kebajikan tentu akan mendapatkan pahala dan surga, sementara mereka yang menyekutukannya dan melakukan keburukan, maka balasannya adalah neraka. Simak penjelasan berikut ini.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 111-114


Ayat 115

Ayat ini menerangkan bahwa keingkaran para penghuni neraka tentang adanya hari kebangkitan berkaitan dengan keyakinan mereka bahwa kehidupan berakhir dengan kematian, sehingga Allah perlu mengingatkan mereka dengan pertanyaan, “Apakah mereka menyangka bahwa mereka Kami ciptakan dengan main-main, dibiarkan begitu saja seperti halnya binatang, tidak diberi pahala dan tidak diazab?Ataukah mereka mengira bahwa mereka itu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” Tidak, sekali lagi tidak.

Mereka diciptakan sebagai hamba Allah dan diberi kewajiban. Siapa yang melaksanakan kewajiban, mereka diberi pahala, dan bagi yang menyia-nyiakan kewajiban, mereka akan diazab dan dikembalikan kepada Allah untuk mempertanggungjawabkan segala per-buatan mereka di dunia, sesuai firman Allah:

اَيَحْسَبُ الْاِنْسَانُ اَنْ يُّتْرَكَ سُدًىۗ

Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja? (Tanpa pertanggungjawaban?) (al-Qìyāmah/75: 36)

Ayat 116

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah Mahasuci dari apa yang dituduhkan orang-orang musyrik kepada-Nya, begitu pula sangkaan bahwa Dia menciptakan manusia secara sia-sia, karena Dia adalah Tuhan yang sebenarnya.

Tiada tuhan melainkan Dia, Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang mulia. Dialah yang mengatur alam raya ini, baik yang di atas maupun yang di bawah, begitu pula semua makhluk ciptaan-Nya. Firman Allah:

وَمَا خَلَقْنَا السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا لٰعِبِيْنَ  ٣٨  مَا خَلَقْنٰهُمَآ اِلَّا بِالْحَقِّ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ  ٣٩

Dan tidaklah Kami bermain-main menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya.  Tidaklah Kami ciptakan keduanya melainkan dengan haq (benar), tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (ad-Dukhān/44:38-39)


Baca Juga: Perbedaan Rasm Al-Daniy dan Al-Suyuthiy, Berikut Penjelasannya


Ayat 117

Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang yang menyembah Allah dan menyekutukan-Nya dengan tuhan yang lain, padahal tidak ada yang pantas disembah melainkan Allah, pada hakikatnya tidak ada alasan sama sekali yang dapat membenarkan perbuatan mereka itu.

Mereka akan diajukan ke hadapan Allah, untuk memperhitungkan dan mempertanggung-jawabkan segala perbuatan mereka. Allah yang akan menyempurnakan ganjaran atas perbuatan mereka. Sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak akan beruntung selama-lamanya, dan tidak akan luput dari azab yang menyiksanya.

Ayat 118

Ayat ini menerangkan bahwa setelah menjelaskan keadaan orang-orang kafir, kebodohan mereka di dunia dan siksaan yang disediakan bagi mereka di akhirat, Allah memerintahkan Rasul-Nya supaya memohon kepada-Nya agar dimaafkan semua kesalahan yang diperbuatnya, diberi rahmat dengan diterima tobatnya, dan dibebaskan dari azab atas kelalaian dan kekeliruan yang telah diperbuatnya, karena Dialah Pemberi rahmat yang paling baik.

Perintah Allah kepada Rasul-Nya seperti tersebut di atas, adalah untuk menjadi contoh yang baik bagi umatnya.

Setiap kali mereka berbuat kesalahan, supaya mereka beristigfar, dan setiap mereka berbuat maksiat, supaya cepat-cepat bertobat, jangan sampai kesalahan dan maksiat itu bertumpuk-tumpuk, karena yang demikian itu akan menjadi beban yang berat nanti di hari akhirat.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 103-105

0
Tafsir Surah Al Mu'minun
Tafsir Surah Al Mu'minun

Diperadilan Allah Swt. akan diperlihatkan timbangan amal manusia selama di dunia, ada yang berat dan ringan, maka beruntunglah mereka yang memiliki timbangan berat itu. Adapun Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 103-105 menerangkan betapa sialnya mereka yang timbangannya rendah, sebab mereka akan dijerumuskan kedalam neraka sebagai balasan atas amal yang dilakukan selama di dunia. Lalu bagaimanakah ciri manusia yang memiliki amal yang ringan tersebut? Berikut penjelasannya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 101-102


Ayat 103

Pada ayat ini Allah menerangkan kerugian orang yang ringan timbangan kebaikannya. Mereka itu ketika masih berada di dunia banyak berbuat maksiat menuruti kehendak hawa nafsunya. Mereka mengingkari ayat-ayat Allah yang menyebabkan amal-amal mereka tidak bernilai di hari kemudian, sebagaimana firman Allah:

اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِاٰيٰتِ رَبِّهِمْ وَلِقَاۤىِٕهٖ فَحَبِطَتْ اَعْمَالُهُمْ فَلَا نُقِيْمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ وَزْنًا

Mereka itu adalah orang yang mengingkari ayat-ayat Tuhan mereka dan (tidak percaya) terhadap pertemuan dengan-Nya. Maka sia-sia amal mereka, dan Kami tidak memberikan penimbangan terhadap (amal) mereka pada hari Kiamat.  (al-Kahf/18: 105).

Mereka itu akan kekal di dalam neraka Jahanam. Sejalan dengan ayat 103 ini firman Allah:

وَاَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِيْنُهٗۙ  ٨  فَاُمُّهٗ هَاوِيَةٌ  ۗ  ٩

Dan adapun orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. (al-Qāri`ah/101: 8-9)

بَلٰى مَنْ كَسَبَ سَيِّئَةً وَّاَحَاطَتْ بِهٖ خَطِيْۤـَٔتُهٗ فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ

Bukan demikian! Barang siapa berbuat keburukan, dan dosanya telah menenggelamkannya, maka mereka itu penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya. (al-Baqarah/2: 81)


Baca Juga: Surah Ibrahim Ayat 28: Larangan Memanipulasi Nikmat Allah Swt dalam Konteks Berbangsa


Ayat 104

Pada ayat ini Allah menerangkan kerugian orang yang ringan timbangan kebaikannya. Mereka itu ketika masih berada di dunia banyak berbuat maksiat menuruti kehendak hawa nafsunya. Mereka mengingkari ayat-ayat Allah yang menyebabkan amal-amal mereka tidak bernilai di hari kemudian, sebagaimana firman Allah:

اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِاٰيٰتِ رَبِّهِمْ وَلِقَاۤىِٕهٖ فَحَبِطَتْ اَعْمَالُهُمْ فَلَا نُقِيْمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ وَزْنًا

Mereka itu adalah orang yang mengingkari ayat-ayat Tuhan mereka dan (tidak percaya) terhadap pertemuan dengan-Nya. Maka sia-sia amal mereka, dan Kami tidak memberikan penimbangan terhadap (amal) mereka pada hari Kiamat.  (al-Kahf/18: 105).

Mereka itu akan kekal di dalam neraka Jahanam. Sejalan dengan ayat 103 ini firman Allah:

وَاَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِيْنُهٗۙ  ٨  فَاُمُّهٗ هَاوِيَةٌ  ۗ  ٩

Dan adapun orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. (al-Qāri`ah/101: 8-9)

بَلٰى مَنْ كَسَبَ سَيِّئَةً وَّاَحَاطَتْ بِهٖ خَطِيْۤـَٔتُهٗ فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ

Bukan demikian! Barang siapa berbuat keburukan, dan dosanya telah menenggelamkannya, maka mereka itu penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya. (al-Baqarah/2: 81)

Ayat 105

Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa berbagai pertanyaan yang sifatnya mengejek diajukan kepada para penghuni neraka. Hal itu mengingatkan mereka kembali bahwa telah diutus para rasul untuk membimbing mereka, dan diturunkan kitab-kitab samawi untuk menjadi pedoman mereka, supaya tidak ada lagi alasan bagi mereka untuk tidak taat dan patuh kepada ajaran-ajaran yang dibawa para rasul itu, sebagaimana firman Allah:

لِئَلَّا يَكُوْنَ لِلنَّاسِ عَلَى اللّٰهِ حُجَّةٌ ۢ بَعْدَ الرُّسُلِ ۗ

Agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah setelah rasul-rasul itu diutus.  (an-Nisā`/4: 165).

Dan firman-Nya:

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِيْنَ حَتّٰى نَبْعَثَ رَسُوْلًا

Tetapi Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul. (al- Isrā`/17: 15)

Tetapi mereka itu mendustakan ayat-ayat Allah dan tidak mempercayainya sedikit pun, bahkan rasul-rasul yang diutus kepada mereka disiksa dan dianiayanya. Sejalan dengan ayat 105 ayat ini, firman Allah:

تَكَادُ تَمَيَّزُ مِنَ الْغَيْظِۗ كُلَّمَآ اُلْقِيَ فِيْهَا فَوْجٌ سَاَلَهُمْ خَزَنَتُهَآ اَلَمْ يَأْتِكُمْ نَذِيْرٌۙ  ٨  قَالُوْا بَلٰى قَدْ جَاۤءَنَا نَذِيْرٌ ەۙ فَكَذَّبْنَا وَقُلْنَا مَا نَزَّلَ اللّٰهُ مِنْ شَيْءٍۖ اِنْ اَنْتُمْ اِلَّا فِيْ ضَلٰلٍ كَبِيْرٍ  ٩

Hampir meledak karena marah. Setiap kali ada sekumpulan (orang-orang kafir) dilemparkan ke dalamnya, penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka, ”Apakah belum pernah ada orang yang datang memberi peringatan kepadamu (di dunia)?” Mereka menjawab, ”Benar, sungguh, seorang pemberi peringatan telah datang kepada kami, tetapi kami mendustakan(nya) dan kami katakan, ”Allah tidak menurunkan sesuatu apa pun, kamu sebenarnya didalam kesesatan yang besar.” (al-Mulk/67: 8-9)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Mu’minun 106-110


Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 111-114

0
Tafsir Surah Al Mu'minun
Tafsir Surah Al Mu'minun

Sebelumnya telah dijelaskan bagaimana kondisi penghuni nereka, sementara Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 111-114 akan berbicara tentang balasan Allah kepada mereka yang beriman sebagai bentuk apresiasi atas kesabaran mereka dalam ketaatan dan ketakwaan kepada Allah Swt.

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 111-114 juga mengingatkan manusia bahwa dunia adalah tempat persinggahan semata, adapun kehidupan yang abadi dan kekal ada di akhirat. Maka, manusia wajib mencari bekal sebanyak-banyaknya untuk menjalani kehidupan di akhirat kelak.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 106-110


Ayat 111

Ayat ini menegaskan bahwa Allah akan memberi balasan kepada orang-orang mukmin pada hari Kiamat nanti, karena kesabaran dan ketabahan mereka menghadapi ejekan dan tertawaan orang-orang kafir, serta ketaatan dan kepatuhan mereka kepada perintah-Nya.

Sesungguhnya orang-orang mukmin, itulah orang-orang yang menang dan beruntung.

Di akhirat kelak, mereka duduk di atas dipan-dipan sambil memandang santai, menertawakan orang-orang kafir yang menertawakan mereka dahulu di dunia. Inilah ganjaran bagi orang-orang kafir atas apa yang telah dikerjakannya di dunia, sebagaimana firman Allah:

فَالْيَوْمَ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنَ الْكُفَّارِ يَضْحَكُوْنَۙ  ٣٤  عَلَى الْاَرَاۤىِٕكِ يَنْظُرُوْنَۗ  ٣٥  هَلْ ثُوِّبَ الْكُفَّارُ مَا كَانُوْا يَفْعَلُوْنَ ࣖ  ٣٦

Maka pada hari ini, orang-orang yang beriman yang menertawakan orang-orang kafir, mereka (duduk) di atas dipan-dipan melepas pandangan. Apakah orang-orang kafir itu diberi balasan (hukuman) terhadap apa yang telah mereka perbuat?  (al-Muthaffifin/83: 34-36)

Ayat 112

Setelah permintaan penghuni neraka untuk dikembalikan ke dunia ditolak Allah dengan penegasan bahwa mereka akan tetap meringkuk di neraka dan supaya tidak meminta-minta kepada-Nya, mereka ditanya lagi berapa lama mereka hidup di bumi, sejak dilahirkan sampai meninggalkan dunia fana itu ke alam baka.

Ayat 113

Oleh karena besarnya pengaruh bencana yang menimpa penghuni neraka dan hebatnya siksaan dan azab yang dideritanya, maka mereka yang malang itu tidak lagi bisa mengingat berapa lama mereka tinggal di dunia.

Mereka merasa sebentar sekali, bahkan mereka menyangka bahwa mereka tinggal di dunia hanya sehari atau tidak sampai satu hari jika dibandingkan dengan kehidupan akhirat. Pada ayat ini Allah menganjurkan kepada mereka untuk menanyakan berapa lama mereka tinggal di dunia.


Baca Juga: Tafsir Surah Yasin ayat 58-59: Ucapan Salam Untuk Para Penghuni Surga


Ayat 114

Ayat ini menerangkan bahwa mereka memang tinggal di dunia hanya sebentar. Andaikata mereka menyadari hal itu ketika mereka tinggal di dunia, sedang kehidupan yang dihadapinya di akhirat adalah kehidupan yang tiada batasnya, tentu mereka akan berbuat hal-hal yang bermanfaat dan sesuai dengan yang diperintahkan Allah.

Akan tetapi, mereka lalai menyadarinya, sehingga mereka layak mendapat azab dari Allah. Rasulullah bersabda:

رَوَى اِبْنُ اَبِيْ حَاتِمٍ عَنْ اَيْقَعَ بْنِ عَبْدِ اْلكَلاَعِى. قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِنَّ اللهَ اِذَا دَخَلَ اَهْلُ الْجَنَّةِ اَلْجَنَّةَ. وَاَهْلُ النَّارِ اَلنَّارَ. قَالَ يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ، كَمْ لَبِثْتُمْ فِى اْلاَرْضِ عَدَدَ سِنِيْنَ؟ قَالُوْا لَبِثْنَا يَوْمًا اَوْبَعْضَ يَوْمٍ. قَالَ: لَنِعْمَ مَا اِتَّجَرْتُمْ فِى يَوْمٍ اَوْ بَعْضَ يَوْمٍ رَحْمَتِى وَرِضْوَانِى وَجَنَّتِى اُمْكِثُوْا فِيْهَا خَالِدِيْنَ مُخَلَّدِيْنَ، ثُمَّ قَالَ يَا أَهْلَ النَّارِ كَمْ لَبِثْتُمْ فِى اْلاَرْضِ عَدَدَ سِنِيْنَ؟ قَالُوْا لَبِثْنَا يَوْمًا اَوْبَعْضَ يَوْمٍ فَيَقُوْلُ بِئْسَ مَا اِتَّجَرْتُمْ فِى يَوْمٍ اَوْبَعْضَ يَوْمٍ نَارِي وَسُخْطِى اُمْكِثُوْا فِيْهَا خَالِدِيْنَ مُخَلَّدِيْنَ.

Ketika Ibnu Abi Hātim meriwayatkan  dari Aiqa’  bin Abd al-Kala’i, Rasulullah bersabda bahwa apabila penghuni surga telah masuk ke dalam surga dan penghuni neraka ke dalam neraka; Allah berfirman, “Wahai penghuni surga! Berapa lama engkau hidup di dunia?” Mereka menjawab, “Kami tinggal di dunia hanya sehari atau tidak sampai satu hari.” Allah berfirman, “Alangkah baiknya engkau sekalian menginvestasikan waktu yang sehari itu, atau tidak sampai satu hari itu. Engkau sekalian memperoleh rahmat-Ku, rida-Ku dan surga-Ku. Tinggallah kamu sekalian di dalam surga  untuk selama-lamanya.” Sesudah itu Allah berfirman, “Wahai penghuni neraka! Berapa lamakah kamu tinggal hidup di dunia?” Mereka menjawab, “Kami tinggal di dunia hanya sehari atau tidak sampai satu hari.” Allah berfirman, “Alangkah buruknya kamu sekalian menginvestasikan waktu yang sehari atau tidak sampai satu hari itu. Kamu sekalian menerima murka-Ku dan memasuki neraka-Ku. Tinggallah di dalam neraka untuk selama-lamanya.”

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 115-118


Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 106-110

0
Tafsir Surah Al Mu'minun
Tafsir Surah Al Mu'minun

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 106-110 berbicara tentang kondisi penghuni neraka, selain mengakui atas kesesatan yang pernah dilakukan sewaktu di dunia, mereka juga memohon agar diberi kesempatan untuk kembali kedunia agar bisa melakukan kebaikan sebagai penebus kesalahan. Namun, Allah menolak, tidak ada kesempatan lagi, terlebih kesalahan mereka begitu banyak, tidak hanya kepada Allah semata, namun juga terhadap sesama manusia.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 103-105


Ayat 106

Pada ayat ini Allah menerangkan pengakuan penghuni neraka atas kesesatan mereka, sekalipun telah diutus kepada mereka rasul-rasul untuk membimbing mereka, dan diturunkan kitab-kitab samawi untuk menjadi pedoman mereka.

Akan tetapi, mereka telah dikalahkan oleh kejahatan mereka, dan dikendalikan oleh hawa nafsu, maka tidak ada jalan bagi mereka untuk berbuat kebaikan dan menghindarkan diri dari jalan kesesatan. Sejalan dengan ayat ini firman Allah:

فَاعْتَرَفْنَا بِذُنُوْبِنَا فَهَلْ اِلٰى خُرُوْجٍ مِّنْ سَبِيْلٍ

Lalu kami mengakui dosa-dosa kami. Maka adakah suatu jalan (bagi kami) untuk keluar (dari neraka)? (al-Mu`min/40: 11)

Ayat 107

Ayat ini menerangkan permohonan penghuni neraka kepada Allah, yaitu agar mereka dikeluarkan dari neraka dan dikembalikan ke dunia. Mereka berjanji bahwa kalau permohonan mereka dikabulkan, mereka akan mengubah kekafiran mereka kepada keimanan dan taat kepada segala apa yang diperintahkan Allah kepada mereka.

Jika mereka masih tetap saja berbuat maksiat sebagaimana halnya dahulu, maka mereka benar-benar orang yang aniaya dan mereka layak menerima azab dan siksa yang amat pedih.

Ayat 108

Ayat ini menerangkan jawaban Allah terhadap permintaan penghuni neraka untuk dapat dikembalikan ke dunia menebus kesalahan dan dosa-dosa yang telah diperbuatnya.

Allah menegaskan kepada mereka supaya tetap berada di dalam neraka, meringkuk dalam keadaan hina dan tidak mempunyai harga diri sedikit pun. Mereka harus diam dan tidak melanjutkan pembicaraannya dengan Allah serta tidak mengulangi lagi perbuatannya karena mereka tak mungkin lagi dapat dikembalikan ke dunia.


Baca Juga: Tafsir Surat Al-Waqiah Ayat 7-12: Merenungi Tiga Macam Kondisi Manusia


Ayat 109-110

Pada ayat ini Allah menerangkan sebab musabab mereka disiksa dan diazab, serta jawaban yang menghina atas permintaan mereka kembali ke dunia.

Hinaan itu muncul karena mereka menghina hamba-hamba Allah yang telah beriman, seperti Bilal, Khabbāb, Shuhaib dan orang-orang mukmin yang lemah lainnya, selalu mendekatkan diri kepada Allah, menegaskan ikrar dan pengakuan keimanan mereka kepada-Nya, membenar-kan para rasul yang telah diutus-Nya, senantiasa meminta ampunan dan memohon rahmat kepada-Nya karena Dialah pemberi rahmat yang sebaik-baiknya.

Orang-orang kafir menghadapi orang-orang mukmin itu dengan sikap mengejek, menertawakan, dan menghina. Ayat ini juga menerangkan bahwa kesibukan orang-orang kafir itu mereka mengejek dan menertawakan orang-orang mukmin, membuat mereka lupa mengingat Allah. Sejalan dengan ayat ini, Allah berfirman:

اِنَّ الَّذِيْنَ اَجْرَمُوْا كَانُوْا مِنَ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا يَضْحَكُوْنَۖ  ٢٩  وَاِذَا مَرُّوْا بِهِمْ يَتَغَامَزُوْنَۖ  ٣٠  وَاِذَا انْقَلَبُوْٓا اِلٰٓى اَهْلِهِمُ انْقَلَبُوْا فَكِهِيْنَۖ  ٣١  وَاِذَا رَاَوْهُمْ قَالُوْٓا اِنَّ هٰٓؤُلَاۤءِ لَضَاۤلُّوْنَۙ  ٣٢  وَمَآ اُرْسِلُوْا عَلَيْهِمْ حٰفِظِيْنَۗ  ٣٣

Sesungguhnya orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang dahulu menertawakan orang-orang yang beriman. Dan apabila mereka (orang-orang yang beriman) melintas di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya, dan apabila kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira ria. Dan apabila mereka melihat (orang-orang mukmin), mereka mengatakan, ”Sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang sesat,” padahal (orang-orang yang berdosa itu), mereka tidak diutus sebagai penjaga (orang-orang mukmin). (al-Muthaffifin/83: 29-33)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Mu’minun 111-114


Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 101-102

0
Tafsir Surah Al Mu'minun
Tafsir Surah Al Mu'minun

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 101-102 menegaskan bahwa ketika hari Kiamat sudah terjadi, maka tidak ada kesempatan kedua bagi manusia untuk melakukan kebaikan. Pun, tidak ada yang bisa menyelamatkan mereka dari peradilan Allah, kecuali amal kebaikan yang mereka lakukan selama hidup di dunia, dan Allah adalah Hakim yang Maha Adil, tidak ada yang luput dari pantauan-Nya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 97-100


Ayat 101

Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa apabila sangkakala ditiup untuk kedua kalinya dan arwah dikembalikan kepada tubuhnya masing-masing pada hari kebangkitan nanti, maka pada waktu itu tidak ada lagi manfaat pertalian nasab.

Seseorang tidak dapat lagi membanggakan nasabnya, bahwa dia berasal dari keturunan bangsawan sebagaimana halnya pada waktu ia masih berada di dunia. Tidak ada perbedaan antara seseorang dengan yang lain, semua terpengaruh suasana yang meliputinya.

Mereka kebingungan dan diliputi perasaan takut karena kedahsyatan hari itu, sehingga hilanglah rasa cinta dan kasih sayang. Masing-masing memikirkan dirinya sendiri dan tidak mau tahu orang lain, sebagaimana yang dilukiskan di dalam firman Allah:

فَاِذَا جَاۤءَتِ الصَّاۤخَّةُ ۖ  ٣٣  يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ اَخِيْهِۙ  ٣٤  وَاُمِّهٖ وَاَبِيْهِۙ  ٣٥  وَصَاحِبَتِهٖ وَبَنِيْهِۗ  ٣٦  لِكُلِّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ يَوْمَىِٕذٍ شَأْنٌ يُّغْنِيْهِۗ  ٣٧

Maka apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkakala yang kedua), pada hari itu manusia lari dari saudaranya, dan dari ibu dan bapaknya, dan dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang menyibukkannya. (‘Abasa/80: 33-37).

Mereka tidak lagi saling tegur dan bertanya. Tidak seorang pun di antara mereka yang menanyakan keadaan keluarga dan keturunannya, sebagaimana halnya di dunia. Mereka seolah-olah tidak saling mengenal lagi. Firman Allah:

وَلَا يَسْـَٔلُ حَمِيْمٌ حَمِيْمًاۚ

Dan tidak ada seorang teman akrab pun menanyakan temannya. (al- Ma‘ārij/70: 10).

Mereka kebingungan seperti orang-orang yang sedang mabuk, padahal mereka tidak mabuk. Firman Allah:

يَوْمَ تَرَوْنَهَا تَذْهَلُ كُلُّ مُرْضِعَةٍ عَمَّآ اَرْضَعَتْ وَتَضَعُ كُلُّ ذَاتِ حَمْلٍ حَمْلَهَا وَتَرَى النَّاسَ سُكٰرٰى وَمَا هُمْ بِسُكٰرٰى وَلٰكِنَّ عَذَابَ اللّٰهِ شَدِيْدٌ

(Ingatlah) pada hari ketika kamu melihatnya (goncangan itu), semua perempuan yang menyusui anaknya akan lalai terhadap anak yang disusuinya, dan setiap perempuan yang hamil akan keguguran kandungannya, dan kamu melihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, tetapi azab Allah itu sangat keras. (al-Hajj/22: 2)


Baca Juga: Tafsir Surah Yasin Ayat 48-50: Hari Kiamat Datang dengan Tiba-Tiba


Ayat 102

Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang yang berat timbangan amal kebaikannya yaitu orang-orang yang beriman dan banyak beramal saleh di dunia, adalah orang-orang yang beruntung dan berbahagia.

Pada hari Kiamat nanti, seseorang sebelum ditetapkan nasibnya, apakah ia dimasukkan ke dalam surga atau ke dalam neraka, lebih dahulu ia akan diajukan ke pengadilan yang akan memberi keputusan yang seadil-adilnya.

Tidak akan terjadi kecurangan dalam proses pengadilan itu karena yang menjadi hakimnya ialah Allah sendiri. Berbeda halnya dengan pengadilan di dunia ini, orang yang bersalah adakalanya diputuskan tidak bersalah, karena pintarnya bersilat lidah, memutarbalikkan keadaan atau karena kelicikan pembelanya, sehingga hakim menjadi terkecoh.

Begitu pula sebaliknya, orang yang tidak bersalah ada kemungkinan diputuskan bersalah karena tidak mampu membayar pembela yang pintar dan sebagainya. Setiap keputusan di dunia yang tidak adil akan dimentahkan kembali dan akan diputuskan sekali lagi di akhirat dengan seadil-adilnya.

Segala sangkut paut yang belum selesai di dunia ini akan diselesaikan nanti di akhirat dengan seadil-adilnya. Setelah melalui proses pengadilan dan sangkut paut masing-masing telah diselesaikan maka untuk mengetahui kadar kebaikan dan kejahatan masing-masing diadakan timbangan, sebagaimana dijelaskan di dalam firman Allah:

وَنَضَعُ الْمَوَازِيْنَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيٰمَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْـًٔاۗ

Dan Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari Kiamat, maka tidak seorang pun dirugikan walau sedikit. (al- Anbiyā`/21: 47).

Barangsiapa yang berat timbangan amal kebaikannya, berbahagialah ia. Sejalan dengan ayat 102 ini firman Allah:

فَاَمَّا مَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهٗۙ  ٦  فَهُوَ فِيْ عِيْشَةٍ رَّاضِيَةٍۗ  ٧

Maka adapun orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan (senang). (al-Qāri`ah/101: 6-7)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Mu’minun 103-105


Menggali Hikmah dari Munasabah Surah Muawwidzatain

0
munasabah dan hikmah surah muawwidzatain
munasabah dan hikmah surah muawwidzatain

Satu dari keistimewaan Al-Qur’an adalah keterkaitan ayatnya satu sama lain. Keterkaitan ini serupa anyaman benang yang saling mengikat dan tak terpisahkan. Dalam kajian ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, tema ini dikenal dengan “al-munāsabah”.

Kajian munāsabah ini membahas bagaimana keserasian antar ayat atau surah di dalam Al-Qur’an. Satu dari sekian mufasir yang mengkaji tema ini adalah M. Quraish Shihab. Hal ini bisa dilihat dari judul kecil kitabnya, yaitu “Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an.”

Keserasian dalam Al-Qur’an mengabarkan kepada kita dua hal penting. Pertama, keutuhan Al-Qur’an. artinya, Al-Qur’an merupakan satu kesatuan, antar ayat saling menjelaskan dan tidak berdiri sendiri-sendiri. Sehingga, memahaminya tidak boleh secara parsial, namun harus melihat rangkaian ayat secara komprehensif. Dengan begitu, pemahaman yang diperoleh dari Al-Qur’an menjadi “komplit” dan tidak sepotong.

Adapun yang kedua, keagungannya sebaga wahyu yang datang dari Allah tanpa perubahan (tahrīf). Dengan kata lain, Al-Qur’an merupakan jelmaan dari ilmu Allah Yang Maha Benar. Oleh sebab itu, tidak ada pertentangan sedikit pun di dalam Al-Qur’an.

Baca Juga: Inilah 3 Keutamaan Surah Al-Muawwidzatain (Al-Falaq dan An-Nas)

Surah Muawwidzatain

Nah, artikel ini akan membahas keterkaitan antar dua surah; surah Al-Falaq dan surah An-Nās. Mengapa? Karena, kedua surah ini memiliki keterkaitan dari sisi kalimat pembukanya dan dari sisi kandungannya.

Dari sisi kalimat pembukanya, kedua surah ini di awali dengan perintah untuk memohon perlindungan. Redaksi itu berbunyi qul a’ūdzu, yang artinya “katakanlah aku berlindung”. Oleh karena itu, kedua surah ini sering disebut dengan surah muawwidzatain. Yakni, dua surah yang menuntun pembacanya kepada tempat perlindungan. (Tafsir Al-Misbah)

Sebagian ulama menyebut surah Al-Falaq dengan surah al-Mu’awwidzah al-Ulā (yang pertama), sedangkan surah An-Nās sebagai surah al-Mu’awwidzah ath-Thāniyah (yang kedua). Adapun menurut Al-Qurthubi, kedua surah ini juga disebut sebagai al-Muqasyqisyatain, yaitu dua surah yang membebaskan manusia dari kemunafikan. (Tafsir Al-Qurthūbī)

Adapun dari sisi kandungan, kedua surah ini mengajarkan kita untuk berlindung hanya kepada Allah dari segala bentuk kejahatan. Jika demikian, lalu apa perbedaan keduanya? Mari lanjut membaca!

Baca Juga: Agar Terhindar dari Kejahatan? Baca Surah Muawwidzatain

Berlindung Kepada Allah

Kedua surah ini sama-sama mengajarkan kita untuk berlindung kepada Allah. Namun, apabila kita perhatikan, maka penyebutan Allah sebagai Tuhan (yang dimintai perlindungan) di kedua surah ini berbeda dalam jumlahnya.

Perhatikan kedua redaksi surah berikut ini:

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ

Artinya: “Katakanlah, Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai Subuh.”

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ مَلِكِ النَّاسِ إِلٰهِ النَّاسِ

Artinya: “Katakanlah, “Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja dan penguasa manusia. Sembahan manusia.”

Pada surah Al-Falaq, kita hanya berlindung kepada satu Tuhan. Yaitu, Tuhan yang menguasai subuh (rabb al-Falaq). Sementara, di dalam surah An-Nās, ada tiga nama Tuhan yang dimintai perlindungan. Pertama, Tuhan (Pemelihara) manusia. Kedua, Raja dan penguasa manusia, dan yang ketiga, sesembahan manusia. (Tafsir Al-Kabīr)

Perbedaan penyebutan jumlah sebutan Tuhan dalam kedua surah ini akan menjadi menarik apabila kita kaitkan dengan redaksi selanjutnya. Yaitu yang berkaitan dengan keburukan yang kita mintai untuk dihindarkan.

Baca Juga: Sihir itu Nyata ataukah Hayalan? Inilah Tafsir Ayat tentang Sihir

Dua Macam Keburukan

Redaksi selanjutnya berkaitan dengan ragam keburukan. Setelah mengamati perbedaan dalam penyebutan Tuhan, selanjutnya ada perbedaan dalam ragam keburukan. Dua ragam keburukan itu adalah keburukan dari luar dan keburukan dari dalam diri manusia.

Dalam surah Al-Falaq keburukan yang disebutkan adalah keburukan yang berasal dari luar diri manusia. Seperti, keburukan yang diciptakan, keburukan wanita yang menyihir dan keburukan orang yang mendengki. Artinya, model keburukan ini berasal dari luar diri dan sifatnya lebih nyata.

Sementara dalam surah An-Nās, kita meminta untuk dihindarkan dari segala keburukan yang berasal dari dalam diri manusia. Yaitu, keburukan bisikkan setan yang tersembunyi dan keburukan bisikkan ke dalam dada manusia. Artinya, keburukan ini lebih halus, lembut dan sangat dekat dengan diri manusia. (Tafsir Asy-Sya’rawī)

Dua model keburukan inilah yang membedakan kedua surah ini. Selain memiliki kesesuaian, kedua surah ini juga memiliki perbedaan yang memberikan pelajaran berharga bagi kita semua. Selanjutnya akan kita uraikan hikmah tersebut.

Hikmah Surah Muawwidzatain

Setelah memahami kesesuain dan perbedaan kedua surah ini, ada beberapa hikmah dan pelajaran berharga yang dapat kita ambil. Hikmah dari kedua surah ini dapat diraih dengan memperhatikan keserasian dan perbedaan dari kandungan keduanya. Hikmah yang menarik adalah bahwa perlindungan diri hanya kepada Allah adalah keniscayaan bagi kita yang lemah. Segala keburukan, baik yang lembut dan nyata harus dimohonkan kepada Allah Yang Maha Melindungi hamba-Nya.

Dan yang menarik adalah keburukan yang halus, yang berasal dari dalam diri manusia lebih besar dan kuat dibandingkan dengan keburukan yang berasal dari luar diri. Oleh karena itu, surah Al-Falaq hanya menyebut satu bentuk Tuhan (rabb Al-Falaq), sementara surah An-Nās, menyebutkan tiga bentuk Tuhan. Dengan kata lain, kita perlu mewaspadai segala keburukan yang lembut. Karena keburukan ini begitu tersembunyi dan tidak disadari. Sementara, keburukan dari luar diri juga tetap perlu kita waspadai dengan sigap.

Alhasil, melalui hikmah ini semoga kita terus dapat berlindung dari segala keburukan. Khususnya keburukan yang sangat lembut dan tersembunyi. Dengan begitu, kita dapat menjadi hamba yang terus terhubung dengan perlindungan Allah dalam segala keadaan dalam hidup kita. Wallahu’alam bishawab.

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 97-100

0
Tafsir Surah Al Mu'minun
Tafsir Surah Al Mu'minun

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 97-100 diawali dengan perintah Allah kepada Muhammad dan pengikutnya agar senantiasa memohon perlindungan kepada-Nya dari godaan setan, sebab hanya Dia yang berkuasa melindungi manusia dari tipu daya setan.

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 97-100 juga membicarakan bagaimana kondisi orang kafir ketika mereka dihadapi dengan maut, bahwa mereka meminta Allah menunda kematian, supaya ada waktu untuk mereka betaubat kepada-Nya. Namun, tegas Allah menolak, karena selama di dunia kesempatan itu sudah diberikan, dan sudah ada peringatan dari para Rasul, akan tetapi mereka lalai dari seruan tersebut.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 93-96


Ayat 97-98

Pada ayat ini Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad supaya dia selalu berlindung kepada-Nya dari bisikan-bisikan setan dan dari godaan-godaannya, dan supaya setan itu selalu jauh daripadanya dan tidak dapat masuk ke dalam hatinya untuk memperdayakannya.

Demikianlah seharusnya sikap setiap pejuang untuk menegakkan kebenaran. Mereka harus benar-benar menjaga supaya tidak sekalipun dipengaruhi hawa nafsunya dan terdorong untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak benar dan tidak jujur. Setan amat mudah sekali menjerumuskan manusia ke jurang kesalahan, penghinaan dan kejahatan apabila ia dapat memasuki hawa nafsu manusia.

Karena itu hendaklah kita selalu berlindung kepada Allah dari tipu daya setan. Memang apabila seseorang benar-benar telah berserah diri kepada Tuhannya dalam segala tindakannya dan selalu memohon perlindungan-Nya dari tipu daya dan godaan setan, dirinya menjadi bersih dan hati nuraninya akan terketuk untuk selalu berbuat kebaikan dan menghindari kejahatan.

Rasulullah selalu berlindung kepada Tuhannya supaya dijauhkan daripadanya campur tangan setan dalam segala perbuatannya terutama dalam salat ketika membaca Al-Qur’an dan pada saat ajalnya akan tiba.

Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dāud dan at-Tirmìdzi dan dinilai sahih  oleh al-Baihaqi dari ‘Amr bin Syu’aib dan ayahnya dari kakeknya ia berkata, “Rasulullah saw mengajarkan kepada kami beberapa kata-kata (doa) pada waktu akan tidur.”

بِاسْمِ اللهِ اَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّةِ مِنْ غَضَبِهِ وَعِقَابِهِ وَشَرِّ عِبَادِهِ وَمِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِيْنِ وَاَنْ يَحْضُرُوْنِ. (رواه احمد وابو داود والترمذي)

Dengan menyebut nama Allah, aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari kemurkaan-Nya, dari siksa-Nya. Dari kejahatan hamba-Nya, dari bisikan-bisikan setan dan dari kahadiran setan kepadaku. (Riwayat Ahmad, Abu Dāud dan at-Tirmizi)

Ayat 99-100

Pada ayat ini Allah memberitahukan tentang kata-kata yang diucapkan oleh orang kafir ketika menghadapi maut, walaupun kata-kata itu tidak dapat didengar oleh orang-orang yang hadir ketika itu.

Orang kafir itu meminta kepada Allah supaya dia jangan dimatikan dahulu dan dibiarkan hidup seperti sediakala agar dia dapat bertobat dari kesalahan dan kedurhakaannya dan dapat beriman dan mengerjakan amal yang baik yang tidak dikerjakannya selama hidupnya.

Baca Juga:

Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu pada waktu dia masih sehat walafiat dan mempunyai kesanggupan untuk beriman dan beramal saleh, dia enggan menerima kebenaran, takabur dan sombong terhadap orang-orang yang beriman, selalu durhaka kepada Allah bahkan melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan perintah Allah dan mengucapkan kata-kata yang tidak benar terhadap-Nya.

Akan tetapi, ketika dalam keadaan sakaratul maut, mereka teringat pada dosa dan kesalahan yang telah mereka lakukan. Ketika itu juga mereka menjadi insaf dan sadar lalu meminta dengan sepenuh hati kepada Allah agar diberi umur panjang untuk berbuat baik guna menutupi semua kedurhakaan dan kejahatan yang telah mereka lakukan.

Namun demikian, saat sakaratul maut bukan waktu untuk meminta ampun dan bertobat sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ السَّيِّاٰتِۚ حَتّٰىٓ اِذَا حَضَرَ اَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ اِنِّيْ تُبْتُ الْـٰٔنَ وَلَا الَّذِيْنَ يَمُوْتُوْنَ وَهُمْ كُفَّارٌ ۗ اُولٰۤىِٕكَ اَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا اَلِيْمًا

Dan tidaklah tobat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: “Sesungguhnya saya bertobat sekarang.” Dan tidak (pula diterima tobat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam keadaan kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih. (an-Nisā`/4: 17-18).

Lalu Allah menegaskan bahwa permintaan orang-orang kafir itu hanyalah ucapan yang keluar dari mulut mereka saja dan tidak akan dikabulkan. Kalaupun benar-benar diberi umur panjang, mereka tidak juga akan kembali beriman dan tidak akan mau mengerjakan amal saleh sebagaimana ditegaskan Allah dalam firman-Nya:

وَلَوْ تَرٰٓى اِذْ وُقِفُوْا عَلَى النَّارِ فَقَالُوْا يٰلَيْتَنَا نُرَدُّ وَلَا نُكَذِّبَ بِاٰيٰتِ رَبِّنَا وَنَكُوْنَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ   ٢٧  بَلْ بَدَا لَهُمْ مَّا كَانُوْا يُخْفُوْنَ مِنْ قَبْلُ ۗوَلَوْ رُدُّوْا لَعَادُوْا لِمَا نُهُوْا عَنْهُ وَاِنَّهُمْ لَكٰذِبُوْنَ   ٢٨

Dan seandainya engkau (Muhammad) melihat ketika mereka dihadapkan ke neraka, mereka berkata, ”Seandainya kami dikembalikan (ke dunia) tentu kami tidak akan mendustakan ayat-ayat Tuhan kami, serta menjadi orang-orang yang beriman.” Tetapi (sebenarnya) bagi mereka telah nyata kejahatan yang mereka sembunyikan dahulu. Seandainya mereka dikembalikan ke dunia, tentu mereka akan mengulang kembali apa yang telah dilarang mengerjakannya. Mereka itu sungguh pendusta. (al-An’ām/6: 27-28).

Demikianlah ucapan yang mereka lontarkan sebagai penghibur hati mereka sendiri, suatu ucapan yang tidak ada nilainya sama sekali karena tidak mungkin mereka akan hidup kembali karena ajal mereka telah tiba. Di hadapan mereka terbentang dinding yang menghalangi mereka kembali ke dunia sampai hari kiamat.

(Tafsir Kemenag)

Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Mu’minun 101-102