Beranda blog Halaman 223

Membincang Kebahagiaan dalam Al-Qur’an: Hakikat, Bentuk, dan Cara Menggapainya

0
Membincang Kebahagiaan dalam Al-Qur’an: Hakikat, Bentuk, dan Cara Menggapainya
Kebahagiaan dalam Al-Qur’an

Pada dasarnya kebahagiaan sering didefinisikan sebagai suatu kesenangan dan ketenteraman hidup, keberuntungan, dan kemujuran yang bersifat lahir dan batin. Titik tekan yang hendak menjadi acuan dalam kebahagiaan adalah ketenteraman. Adapun tenteram berarti perasaan aman, damai, dan sentosa lahir dan batin, bebas dari segala yang menyusahkan. Kata lain yang menggambarkan kebahagiaan adalah kenikmatan, kepuasan, dan kesenangan.

Kenikmatan diartikan sebagai keadaan yang nikmat, yang antara lain berkonotasi pada kecukupan dalam hal makanan dan tempat tinggal. Sedangkan kepuasan diartikan perihal atau perasaan puas, lega, gembira karena telah terpenuhi hasrat hatinya, yang dapat saja berkonotasi negatif, misalnya hasrat mencelakakan orang lain. Adapun kesenangan diartikan sebagai kondisi senang karena mendapatkan keenakan dan kepuasan.

Namun ada beberapa prinsip dasar yang membedakan antara kebahagiaan, kenikmatan, kepuasan dan kesenangan. Kebahagiaan merupakan kondisi kejiwaan yang meliputi ketenteraman yaitu perpaduan antara rasa aman, damai, dan tenang. Sedangkan kenikmatan, kesenangan, maupun kepuasan walaupun bisa menjadi barometer kebahagiaan, namun tidak dapat disangkal bahwa ketiganya juga dapat mendatangkan kesengsaraan atau lawan dari kebahagiaan.

Baca juga: Berikut Ini Adalah Cara Meraih Kebahagiaan Menurut Al-Quran

Kebahagiaan dalam Al-Qur’an

Kata kebahagiaan apabila dicarikan padanan katanya di dalam al-Qur‘an memiliki beberapa padanan seperti kata sa‘adah, ḥasanah, ṭuba, mata‘, surur, falaḥ, fawz, dan faraḥ. (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, hal 82).

Al-Isfahani mengartikan kata sa‘adah atau sa‘id dengan pertolongan kepada manusia terhadap perkara ketuhanan untuk memeroleh kebaikan. Kata sa‘id sering dihubungkan dengan kata syaqawah (kesengsaraan) sebagai lawan katanya. Kedua terma ini tersirat dalam QS. Hud [11]: 105:

 يَوْمَ يَأْتِ لَا تَكَلَّمُ نَفْسٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ ۚ فَمِنْهُمْ شَقِيٌّ وَسَعِيد

“Di kala datang hari itu, tidak ada seorang pun yang berbicara melainkan dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia.”

Term kebahagiaan (sa‘adah) pada ayat di atas dapat dipahami dalam konteks dualitas, yaitu merupakan lawan dari kata sengsara. Kesadaran manusia pada dasarnya selalu bersifat dualistis. Artinya kehidupannya di setiap tempat dan waktu merupakan polarisasi yang tajam antara sakit dan lezat, bahagia dan derita. Ia akan selalu berhadapan dengan kesusahan atau kesenangan, bahagia atau sengsara.

Manusia akan selalu berhadapan dengan dua realitas ini, yaitu kesenangan atau kesusahan, termasuk ekspresinya, yaitu tertawa atau menangis. Tangisan adalah tanda kesedihan atau sesuatu yang menyakitkan, sedangkan tertawa adalah bukti kebahagiaan, kegembiraan, atau kesenangan (Muskinul Fuad, Psikologi Kebahagiaan dalam al-Qur‘an, hal 41).

Orang yang berbahagia biasanya menampakkan wajah yang penuh senyuman atau berseri-seri. Sebaliknya, orang yang sedih biasanya menunjukkan wajah yang muram atau penuh tangisan. Orang yang sengsara adalah orang yang sesat, tidak tau jalan hidup yang harus ditempuh, tidak sadar apakah ia berbuat benar atau salah, atau tidak dapat membedakan mana yang hak dan yang batil.

Sementara orang yang bahagia adalah kebalikan dari itu. Jiwanya tenang, hatinya tenteram, tenang menghadapi persoalan, hatinya disinari cahaya iman kepada Allah, dan di dalam jiwanya tertanam akidah yang kuat dan sadar bahwa segala sesuatu telah diatur oleh Allah Swt. Orang berbahagia adalah orang yang merasa aman, tenang, dan punya kekuatan untuk menjalani kehidupan. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Ṭaha [20]: 123:

 قَالَ اهۡبِطَا مِنۡهَا جَمِيۡعًا‌ بَعۡضُكُمۡ لِبَعۡضٍ عَدُوٌّ‌ فَاِمَّا يَاۡتِيَنَّكُمۡ مِّنِّىۡ هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَاىَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشۡقٰى

“Dia (Allah) berfirman, “Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, maka (ketahuilah) barang siapa mengikuti petunjuk-Ku, dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka”.

Baca juga: Tafsir Surah Yunus Ayat 12: Bersabar Saat Bahaya dan Bersyukur Kala Bahagia

Selain kata sa‘adah, term lain dalam al-Qur‘an yang menunjukkan pengertian kebahagiaan adalah falah. Menurut Ibn Manẓur, arti kata falaḥ adalah beruntung, selamat, abadi dalam kenikmatan dan kebaikan. Sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. al-Mu‘minun [23]: 1:

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman”.

Al-Isfahani mengatakan, bahwa sesungguhnya dikatakan kepada ahli surga adalah orang-orang yang beruntung karena keberuntungan mereka yang tetap abadi di surga (al-Isfahani, Mufradat Alfaẓ al-Qur’an, hal 644).

Al-Isfahani menyebutkan bahwa kata falaḥ adalah al-ẓafr wa idrak al-bughyah, memeroleh apa yang dikehendaki. Kata ini seringkali diterjemahkan dengan beruntung, berbahagia, atau memeroleh kemenangan. Selain itu, al-Isfahani membagi kata falaḥ dalam arti kebahagiaan menjadi dua bagian, yaitu duniawi dan ukhrawi. Kebahagiaan duniawi mencakup usia panjang, kekayaan, dan kemuliaan. Sedangkan kebahagiaan ukhrawi mencakup kekekalan tanpa kepunahan, kekayaan tanpa kebutuhan, kemuliaan tanpa kehinaan, dan pengetahuan tanpa kebodohan.

Menurut M.Quraish Shihab, kata falaḥ mempunyai derivasi berupa kata aflaḥa yang berarti “memeroleh yang dikehendaki” (M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, hal 430). Kata aflaḥ ditemukan dalam al-Qur‘an sebanyak empat kali, salah satunya adalah QS. Ṭaha [20]: 64:

فَاَجۡمِعُوۡا كَيۡدَكُمۡ ثُمَّ ائۡتُوۡا صَفًّا‌ وَقَدۡ اَفۡلَحَ الۡيَوۡمَ مَنِ اسۡتَعۡلٰى

“Maka kumpulkanlah segala tipu daya (sihir) kamu, kemudian datanglah dengan berbaris. Sungguh beruntung orang yang menang pada hari ini”.

Selain itu, menurut Quraish Shihab, kata aflaḥa merupakan penegasan Allah Swt. yang ditemukan pada surah al-Ala‘ [87] ayat 14, al-Syams [91] ayat 9, dan al-Mu‘minun [23] ayat 1. Dalam al-Mu‘minun [23] ayat 1-9, dikemukakan sifat-sifat orang mukmin yang akan meraih kemenangan (falaḥ). Sifat-sifat tersebut mencerminkan pula usaha-usaha mereka (orang-orang yang beriman) yang pada akhirnya dapat dinilai sebagai upaya penyucian diri (tazakka), sebagaimana terdapat dalam surah al-Ala’ [87] ayat 14:

قَدۡ اَفۡلَحَ مَنۡ تَزَكّٰ

“Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri (dengan beriman)”.

Upaya-upaya itu meliputi khusyu’ dalam salat, menunaikan zakat, menjauhkan diri dari perbuatan sia-sia, menjaga kemaluan kecuali pada pasangan yang sah, memelihara amanat dan janji, dan memelihara waktu salat.

Baca juga: Tafsir Surah An Nahl Ayat 97: Tips Meraih Hidup Bahagia

Penutup

Wawasan al-Qur‘an tentang arti kebahagiaan sebagaimana dikemukakan di atas, dapat disimplifikasikan ke dalam dua aspek. Pertama, bahwa kebahagiaan di dalam al-Qur‘an merujuk pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Setiap individu sangat ditekankan untuk memeroleh kedua kebahagiaan ini. Kebahagiaan dunia dikatakan dalam al-Qur‘an bersifat temporar dan sesaat, sedangkan kebahagiaan akhirat bersifat abadi dan selamanya.

Kedua, bahwa kebahagaiaan juga mencakup kebahagiaan fisik dan non-fisik. Namun banyak di dalam al-Qur‘an yang mengindikasikan bahwa kebahagiaan hakikat adalah kebahagiaan non-fisik (al-Isfahani, Mufradat Alfaẓ al-Qur’an, hal 644). Semoga kita senantiasa mendapatkan keberkahan dari al-Qur’an dan dikaruniai kebahagiaan, baik di dunia terlebih di akhirat kelak. Amin ya rabbal ‘alamin.

Baca juga: Tafsir Surat Hud Ayat 3: Raih Kebahagiaan dengan Beristighfar

Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 75-77

0
tafsir surah al-furqan
tafsir surah al-furqan

Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 75-77 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai ganjaran dan karunia dari Allah SWT. Kedua mengenai perintah kepada Nabi Muhammad untuk menyampaikan ketidak pedulian Allah kepada orang-orang kafir.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 74


Ayat 75-76

Pada dua ayat ini, Allah menerangkan ganjaran dan karunia yang akan diberikan kepada “hamba-hamba Allah Yang Maha Penyayang itu”, hamba-hamba Allah yang mempunyai sifat-sifat yang sempurna dan akhlak yang mulia berkat kesabaran dan keuletan mereka dalam mematuhi segala perintah Allah, berkat kesabaran dan keuletan mereka melawan hawa nafsu dalam menjauhi segala larangan-Nya.

Mereka ditempatkan di tempat yang paling mulia dan tinggi dalam surga. Mereka disambut oleh para malaikat dengan salam sebagai penghormatan kepada mereka. Hal ini tergambar dalam firman Allah:

وَالْمَلٰۤىِٕكَةُ يَدْخُلُوْنَ عَلَيْهِمْ مِّنْ كُلِّ بَابٍۚ ٢٣ سَلٰمٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِۗ     ٢٤

“Sedang para malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan), ‘Selamat sejahtera atasmu karena kesabaranmu. Maka alangkah nikmatnya tempat kesudahan itu.”  (ar-Ra’d/13: 23-24)

Kemudian Allah menerangkan bahwa karunia dan nikmat yang mereka terima itu adalah karunia dan nikmat yang kekal abadi yang tiada putus-putusnya. Tidak diragukan lagi bahwa tempat itu adalah sebaik-baik tempat menetap dan sebaik-baik tempat kediaman.


Baca juga: Surah Ibrahim Ayat 28: Larangan Memanipulasi Nikmat Allah Swt dalam Konteks Berbangsa


Ayat 77

Pada ayat ini, Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad agar mengatakan kepada orang-orang kafir bahwa karena kekufuran, kesombongan, dan keangkuhannya, Allah tidak akan mempedulikan mereka sedikit pun.

Mereka sekali-kali tidak akan mendapat karunia yang diberikan kepada orang-orang yang beriman bahkan mereka akan mendapat balasan yang setimpal yaitu neraka Jahanam. Mereka akan dilemparkan ke dalamnya dan mendapat siksaan yang tidak dapat digambarkan bagaimana pedihnya dan akan kekal abadi dalam neraka itu.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 1-4


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 74

0
tafsir surah al-furqan
tafsir surah al-furqan

Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 74 berbicara mengenai sifat kesembilan yang dimmiliki oleh orang-oranng mukmin, yaitu selalu berdoa agar dikaruniai anak yang salih.


Baca sebeumnya: Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 72-73


Ayat 74

Kesembilan: Di antara sifat-sifat hamba Allah ialah mereka selalu bermunajat dan memohon kepada-Nya agar dianugerahi keturunan yang saleh dan baik. Istri dan anak-anaknya benar-benar menyenangkan hati dan menyejukkan perasaan karena keluarga mereka terdiri dari orang-orang yang saleh dan bertakwa kepada Tuhan.

Dengan demikian, akan bertambah banyaklah di muka bumi ini hamba-hamba Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Di samping itu, mereka bermunajat kepada Allah agar keturunannya menjadi orang-orang yang bertakwa seluruhnya, menjadi penyeru manusia untuk bertakwa, dan menjadi pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.

Ini adalah cahaya iman yang telah memenuhi hati mereka dan meneranginya dengan petunjuk dan hidayah sehingga mereka ingin sekali supaya orang-orang yang bertakwa yang mendapat petunjuk kian lama kian bertambah juga.

Keinginan mereka agar anak cucu dan keturunannya menjadi pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa bukanlah karena ingin kedudukan yang tinggi atau kekuasaan mutlak, tetapi  semata-mata karena keinginan yang tulus ikhlas agar penduduk dunia ini dipenuhi oleh orang-orang yang beriman dan bertakwa.


Baca juga: Doa Al-Quran: Doa Agar Memiliki Keturunan dari Nabi Zakaria


Juga bertujuan agar anak cucu mereka melanjutkan perjuangannya menegakkan keadilan dan kebenaran. Dengan demikian, walaupun mereka sendiri telah mati, tetapi mereka tetap menerima pahala perjuangan anak cucu mereka sesuai dengan sabda Rasulullah:

اِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ. (رواه مسلم عن ابى هريرة)

“Apabila seseorang mati, maka putuslah segala amalnya kecuali dari tiga macam: sedekah yang dapat dimanfaatkan orang, ilmu pengetahuan yang ditinggalkannya yang dapat diambil manfaatnya oleh orang lain sesudah matinya, anak yang saleh yang selalu mendoakannya.” (Riwayat Muslim dari Abµ Hurairah)

Demikianlah sembilan sifat baik yang dimiliki oleh hamba-hamba Allah Yang Maha Penyayang. Bila sifat-sifat itu telah dimiliki oleh seseorang, maka mereka berhak mendapat julukan demikian itu. Orang-orang yang mendapat julukan pasti akan disayang Allah dan di akhirat nanti akan mendapat karunia dan rahmat yang sangat mulia dan besar.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 75-77


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 72-73

0
tafsir surah al-furqan
tafsir surah al-furqan

Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 72-73 berbicara mengenai sifat ketujuh dan kedelapan yang dimiliki oleh orang-orang mukmin.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 70-71


Ayat 72

Ketujuh: Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa di antara sifat hamba Allah Yang Maha Pengasih adalah tidak mau dan tidak pernah melakukan sumpah palsu.

Apabila lewat di hadapan orang-orang yang suka mengucapkan kata-kata yang tidak karuan dan tidak ada faedahnya sama sekali, dia berlalu tanpa ikut bergabung dengan mereka.

Dia menyadari bahwa seorang mukmin tidak layak melayani orang-orang yang menyia-nyiakan waktunya yang sangat berharga dengan omong kosong, apalagi bila waktu itu dipergunakan untuk membicarakan hal-hal yang membawa kepada perbuatan dosa seperti mempergunjingkan orang atau menuduh orang-orang yang tidak bersalah dan lain-lain sebagainya.

Bersumpah palsu sangat dilarang dalam agama Islam, karena ketika bersumpah itu, seseorang telah berdusta dan tidak menyatakan yang sebenarnya.

Banyak sekali orang yang melakukan sumpah palsu untuk membela orang-orang yang tidak benar agar orang itu dapat merampas atau memiliki hak orang lain dan melakukan kezaliman. Padahal, kalau ia tidak ikut bersumpah, tentulah yang hak itu akan nyata dan jelas, serta tidak akan terjadi kezaliman atau perampasan hak.

Sebagai seorang mukmin, dia harus berdiri di pihak yang benar dan harus merasa bertanggung jawab untuk menegakkan keadilan dan memberantas kezaliman.

Umar bin Khattab sangat marah kepada orang yang melakukan sumpah palsu dan dia pernah mendera orang yang bersumpah palsu 40 kali dera, mencorengi mukanya dengan warna hitam, mencukur semua rambut kepalanya, dan kemudian mengaraknya di tengah pasar.

Sifat dan sikap hamba-hamba Allah yang terpuji ini digambarkan Allah dalam firman-Nya:

وَاِذَا سَمِعُوا اللَّغْوَ اَعْرَضُوْا عَنْهُ وَقَالُوْا لَنَآ اَعْمَالُنَا وَلَكُمْ اَعْمَالُكُمْ ۖسَلٰمٌ عَلَيْكُمْ ۖ لَا نَبْتَغِى الْجٰهِلِيْنَ

Dan apabila mereka mendengar perkataan yang buruk, mereka berpaling darinya dan berkata, “Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amal kamu, semoga selamatlah kamu, kami tidak ingin (bergaul) dengan orang-orang bodoh.” (al-Qasas/28: 55).


Baca juga: Termasuk Kebaikan Yaitu Kesalehan Sosial, Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 177


Ayat 73

Kedelapan: Pada ayat ini, Allah menerangkan sifat para hamba-Nya, yaitu mereka dapat menanggapi peringatan yang diberikan Allah bila mereka mendengar peringatan itu. Hati mereka selalu terbuka untuk menerima nasihat dan pelajaran, pikiran mereka pun selalu merenungkan ayat-ayat Allah untuk dipahami dan diamalkan, sehingga bertambahlah keimanan dan keyakinan mereka bahwa ajaran-ajaran yang diberikan Allah kepada mereka benar-benar ajaran yang tinggi nilai dan mutunya, ajaran yang benar yang tidak dapat dibantah lagi.

Tidaklah mengherankan apabila mereka sangat fanatik kepada ajaran itu, karena mereka sangat meyakini kebaikannya.

Sangat jauh perbedaan antara mereka dengan kaum musyrikin yang juga fanatik kepada sembahan-sembahannya. Kefanatikan mereka adalah fanatik buta karena tidak mau menerima kebenaran walaupun telah jelas dan nyata bahwa akidah yang mereka anut itu salah dan bertentangan dengan akal yang sehat.

Bagaimana pun kuat dan jelasnya alasan-alasan yang dikemukakan kepada mereka tentang ketidakbenaran faham yang dianut mereka tidak akan mau menerimanya karena hatinya telah tertutup dan matanya telah buta untuk memikirkan mana yang benar dan mana yang salah.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 74


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 70-71

0
tafsir surah al-furqan
tafsir surah al-furqan

Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 70-71 berbicara mengenai penerimaan taubah yang begitu luas bagi orang-orang yang bersungguh-sungguh ingin bertaubat.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 68-69


Ayat 70-71

Pada ayat-ayat ini, Allah menerangkan bahwa orang-orang yang mengerjakan perbuatan dosa seperti tersebut pada ayat di atas, lalu bertobat dengan sebenar-benar tobat, kembali beriman, serta selalu berbuat amal saleh, perbuatan mereka yang jahat itu akan diganti dengan kebaikan dan pahala yang berlipat ganda karena Allah adalah Maha Pengampun, Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Menurut sebagian mufasir, penggantian dosa kejahatan dengan pahala kebaikan itu ialah dengan menghapuskan segala dosa yang telah dikerjakan di masa yang lalu karena tobat yang benar, kemudian amal kebaikan yang dikerjakannya sesudah bertobat dilipatgandakan pahalanya sehingga bisa menghapus dosa yang telah dilakukan dahulu.

Mufasir-mufasir lain mengatakan bahwa Allah memberikan kepada orang yang bertobat itu pahala yang seimbang banyaknya dengan dosa yang telah dikerjakan. Kemudian dia bertobat dan mengerjakan amal yang baik, maka amal yang baik itu akan diberi pahala yang berlipat ganda pula.

Jadi orang yang bertobat itu mendapat dua kebaikan yaitu dosa-dosanya yang terdahulu dihapuskan dan kemudian diberi pula pahala yang sama banyaknya dengan dosa yang telah dikerjakannya itu.

Dalam sebuah hadis, diriwayatkan bahwa:

عَنْ أَبِي طَوِيْل شَطَب الْمَمْدُوْد، اَنَّهُ أَتَى رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: أَرَأَيْتَ رَجُلاً عَمِلَ الذُّنُوْبَ كُلَّهَا فَلَمْ يَتْرُكْ مِنْهَا شَيْئاً وَهُوَ فِى ذَلِكَ،لَمْ يَتْرُكْ حَاجَةً اِلاَّ أَتَاهَا: فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ؟ قَالَ: فَهَلْ أَسْلَمْتَ؟ قَالَ: اَمَّا اَنَا فَأَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلٰهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَاِنَّكَ رَسُوْلُ اللهِ. قَالَ : نَعَمْ. تَفْعَلُ الْخَيْرَاتِ وَتَتْرُكُ السَّيِّئَاتِ .فَيَجْعَلُ اللهُ لَكَ خَيْرَاتٍ كُلِّهِنَّ. قَالَ: وَغَدَرَاتِى وَفَجَرَاتِى؟ قَالَ: نَعَمْ. فَقَالَ: اَللهُ اَكْبَرُ فَمَازَالَ يُكَبِّرُ حَتَّى تَوَارَى (رواه الطبرانى)

Dari Abu Tawil Syatab al-Mamdµd, ia menghadap Nabi saw dan bertanya, “Apakah pendapat anda tentang seseorang yang mengerjakan segala dosa, tidak ada perbuatan dosa kecuali ia lakukan. Apakah tobatnya diterima? Nabi saw menjawab, “Apakah kamu sudah masuk Islam?”

Dia menjawab, “Saya sendiri bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah Yang Maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan engkau adalah utusan Allah.” Nabi saw berkata, “Ya, benar. Kamu mengerjakan kebajikan dan meninggalkan keburukan. Maka Allah akan menjadikan untukmu kebaikan semuanya.”


Baca juga: Surah Al-Anbiya Ayat 107: Misi Nabi Muhammad saw Menebar Rahmat


Dia bertanya lagi, “Semua kesalahanku diampuni?” “Ya,” jawab Nabi saw. “Allahu Akbar,” kata orang tadi, dan dia terus bertakbir sampai pergi tidak kelihatan. (Riwayat al-Tabrani)

Kemudian Allah menyatakan bahwa tobat yang diterima itu haruslah diiringi dengan perbuatan baik. Tobat dimulai dengan penyesalan atas perbuatan jahat yang telah dilaksanakan, dan berhenti dari berbuat maksiat, diiringi dengan perbuatan baik untuk menjadi bukti bahwa tobat itu adalah tobat yang sebenarnya dan dilakukan dengan sungguh-sungguh (nasuha).


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 72-73


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 68-69

0
tafsir surah al-furqan
tafsir surah al-furqan

Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 68-69 masih melanjutkan pembicaraan sebelumnya. Kali ini membahas tentang pengakuan tentang  ke-Esaan Allah SWT.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 67


Ayat 68-69

Keenam: Pada ayat ini, Allah menerangkan lagi sifat-sifat hamba Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang yaitu dia tidak menyembah selain Allah, dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.

Dia benar-benar menganut tauhid yang murni. Bila dia beribadah, maka ibadahnya itu hanya semata-mata karena Allah, dan bila dia berbuat kebajikan, perbuatannya itu karena Allah bukan karena dia atau ingin dipuji orang.

Bila dia berdoa, benar-benar doanya langsung dipanjatkan ke hadirat Allah tidak melalui perantara. Dia yakin sepenuhnya bahwa yang sanggup mengabulkan doanya hanya Allah semata.

Mereka tidak melakukan pembunuhan terhadap siapa pun karena menyadari bahwa jiwa seseorang menjadi hak atas dirinya. Ia tidak boleh dibunuh kecuali dengan hak yang telah ditetapkan oleh Allah seperti murtad atau membunuh orang tanpa hak.

Mereka tidak akan melakukan perbuatan zina karena menyadari bahwa berzina itu termasuk dosa besar, suatu perbuatan yang sangat terkutuk dan dimurkai Allah. Dengan memelihara kemurnian tauhid yang menjadi dasar bagi akidah, seseorang akan bersih jiwanya, jernih pikirannya, dan tidak dapat diombang-ambingkan oleh kepercayaan-kepercayaan yang menyesatkan.

Dengan menjauhi pembunuhan tanpa hak, akan bersihlah dirinya dari perbuatan zalim dan bersihlah masyarakat dari kekacauan. Hak setiap warga masyarakat akan terpelihara dengan baik sehingga mereka benar-benar dapat menikmati keamanan dan ketenteraman.


Baca juga: Nasaruddin Umar: Al-Qur’an Bedakan antara Gender dan Jenis Kelamin


Dengan memelihara dirinya dari perbuatan zina akan bersihlah dirinya dari kekotoran dan bersih pula masyarakat dari keonaran dan kekacauan nasab yang menimbulkan berbagai kesulitan dan ketidakstabilan.

Sehubungan dengan hal ini, dalam sebuah hadis Nabi saw dijelaskan:

عَنْ عَبْدِ اللهِ قَالَ: قُلتُ يَارَسُولَ الله أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ؟ قَالَ أَنْ تَجْعَلَ ِللهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ. قُلْتُ: ثُمَّ أَيٌّ ؟ قَالَ: اَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ خَشْيَةَ أَنْ يَأْكُلَ مَعَكَ. قَالَ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: أَنْ تُزَانِيَ حَلِيْلَةَ جَارِكَ. وَأَنْزَلَ اللهُ تَصْدِيْقَ قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ((وَالَّذِيْنَ لاَ يَدْعُوْنَ مَعَ اللهِ اِلٰهًا اَخَرَ)) (رواه البخاري ومسلم)

‘Abdullah bin Mas’µd berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah, Dosa apakah yang paling besar? Rasulullah menjawab, Engkau menjadikan tandingan bagi Allah padahal Dia yang menciptakan kamu. Aku bertanya pula, Dosa apakah lagi? Rasulullah menjawab, Dosa membunuh anakmu karena takut (miskin) karena dia akan makan bersamamu. Kemudian aku bertanya lagi, Dosa apakah lagi? Rasulullah menjawab, Dosa berzina dengan istri tetanggamu. Allah menurunkan ayat ini untuk membenarkan sabda Nabi Muhammad.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Kemudian Allah mengancam orang-orang yang melakukan perbuatan dosa itu dengan ancaman yang amat keras, yaitu neraka di hari Kiamat sebagai balasan atas semua dosa yang telah mereka perbuat di dunia. Bahkan Allah akan melipatgandakan azab bagi mereka karena dosa besar yang mereka lakukan itu. Mereka akan dilemparkan ke neraka dan akan tetap di sana.

Di samping menderita siksaan jasmani seperti minuman yang sangat panas yang membakar kerongkongan dan usus mereka, mereka juga mendapat siksaan batin atau rohani, karena selalu mendapat penghinaan dan selalu menyesali kesalahan mereka sewaktu di dunia dahulu.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 70-71


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 67

0
tafsir surah al-furqan
tafsir surah al-furqan

Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 67 masih berbicara mengenai sifat-sifat orang mukmin. Kali ini merupakan sifat kelima, yakni tidak boros dan tidak kikir.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 65-66


Ayat 67

Kelima: Sifat baik lainnya dari orang-orang mukmin adalah mereka dalam menafkahkan harta tidak boros dan tidak pula kikir, tetapi tetap memelihara keseimbangan antara kedua sifat yang buruk itu. Sifat boros pasti akan membawa kemusnahan harta benda dan kerusakan masyarakat.

Seseorang yang boros walaupun kebutuhan pribadi dan keluarganya telah terpenuhi dengan hidup secara mewah, tetap akan menghambur-hamburkan kekayaannya pada kesenangan lain, seperti main judi, main perempuan, minum-minuman keras, dan lain sebagainya.

Dengan demikian, dia merusak diri sendiri dan masyarakat sekelilingnya. Padahal, kekayaan yang dititipkan Allah kepadanya harus dipelihara sebaik-baiknya sehingga dapat bermanfaat untuk dirinya, keluarga, dan masyarakat.

Sifat kikir dan bakhil pun akan membawa kepada kerugian dan kerusakan. Orang yang bakhil selalu berusaha menumpuk kekayaan walaupun dia sendiri hidup sebagai seorang miskin dan dia tidak mau mengeluarkan uangnya untuk kepentingan masyarakat.

Kalau untuk kepentingan dirinya dan keluarganya saja, dia merasa segan mengeluarkan uang, apalagi untuk kepentingan orang lain. Dengan demikian, akan tertumpuklah kekayaan itu pada diri seorang atau beberapa gelintir manusia yang serakah dan tamak. Orang yang sifatnya seperti ini diancam Allah dengan api neraka sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

وَيْلٌ لِّكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍۙ  ١   ۨالَّذِيْ جَمَعَ مَالًا وَّعَدَّدَهٗۙ  ٢  يَحْسَبُ اَنَّ مَالَهٗٓ اَخْلَدَهٗۚ  ٣  كَلَّا لَيُنْۢبَذَنَّ فِى الْحُطَمَةِۖ  ٤

Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya, dia (manusia) mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Pasti dia akan dilemparkan ke dalam (neraka) Hutamah. (al-Humazah/104: 1-4)


Baca juga: Nasaruddin Umar: Al-Qur’an Bedakan antara Gender dan Jenis Kelamin


Demikianlah sifat orang mukmin dalam menafkahkan hartanya. Dia tidak bersifat boros sehingga tidak memikirkan hari esok dan tidak pula bersifat kikir sehingga menyiksa dirinya sendiri karena hendak mengumpulkan kekayaan.

Keseimbangan antara kedua macam sifat yang tercela itulah yang selalu dipelihara dan dijaga. Kalau kaya, dia dapat membantu masyarakatnya sesuai dengan kekayaannya, dan kalau miskin, dia dapat menguasai hawa nafsu dirinya dengan hidup secara sederhana.

Yazid bin Abi Habib berkata, “Demikianlah sifat para sahabat Nabi Muhammad saw. Mereka bukan makan untuk bermewah-mewah dan menikmati makanan yang enak-enak, mereka berpakaian bukan untuk bermegah-megah dengan keindahan. Akan tetapi, mereka makan sekadar untuk menutup rasa lapar dan untuk menguatkan jasmani karena hendak beribadah melaksanakan perintah Allah. Mereka berpakaian sekadar untuk menutup aurat dan memelihara tubuh mereka terhadap angin dan panas.

‘Abdul Malik bin Marwan, pada waktu mengawinkan Fatimah (putrinya) dengan Umar bin Abdul Aziz, bertanya kepada calon menantunya, “Bagaimana engkau memberi nafkah kepada anakku?” Umar menjawab, “Aku memilih yang baik di antara dua sifat yang buruk” (maksudnya sifat yang baik di antara dua sifat yang buruk yaitu boros dan kikir). Kemudian dia membacakan ayat ini.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 68-69


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 114: Ancaman Bagi Mereka yang Merusak Rumah Ibadah

0
Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 114: Ancaman Bagi Mereka yang Merusak Rumah Ibadah
Ancaman Bagi Mereka yang Merusak Rumah Ibadah

Peristiwa perusakan rumah ibadah yang baru saja menimpa umat Ahmadiyah di Sintang, Kalimantan Barat menuai kecaman. Sebab, sekelompok orang telah main hakim sendiri dengan cara merusak rumah ibadah orang lain. Kecaman itu datang dari berbagai pihak seperti Gus Yaqut (Menteri Agama), Mahfud MD (Menko Polhukam), Alisa Wahid (Koordinator Gusdurian), dan para tokoh agama lainnya. Mereka mendesak agar pihak yang berwajib segera menindak para pelaku.

Di Indonesia, peristiwa perusakan rumah ibadah seperti di atas bukanlah yang pertama kali terjadi. Ini menunjukkan bahwa rasa toleransi terhadap perbedaan masih rendah. Kalau kita mau jujur dan jernih melihat sejarah bagaimana Nabi hidup berdampingan, berinteraksi, dan berhubungan sosial dengan non-muslim tentu jauh dari perilaku-perilaku semacam semacam itu. Bukankah panutan tertinggi kita selaku umat Islam adalah Kanjeng Nabi?

Sejalan dengan hal di atas, Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam telah melarang perusakan terhadap rumah ibadah. Apapun bentuk dan nama rumah ibadah tersebut. Larang tersebut terkonfirmasi dalam QS. Al-Baqarah [2]: 114.

وَمَنْ اَظْلَمُ مِمَّنْ مَّنَعَ مَسٰجِدَ اللّٰهِ اَنْ يُّذْكَرَ فِيْهَا اسْمُهٗ وَسَعٰى فِيْ خَرَابِهَاۗ اُولٰۤىِٕكَ مَا كَانَ لَهُمْ اَنْ يَّدْخُلُوْهَآ اِلَّا خَاۤىِٕفِيْنَ ەۗ لَهُمْ فِى الدُّنْيَا خِزْيٌ وَّلَهُمْ فِى الْاٰخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ

Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang melarang masjid-masjid Allah digunakan sebagai tempat berzikir di dalamnya dan berusaha merobohkannya? Mereka itu tidak pantas memasukinya, kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka mendapat kehinaan di dunia dan azab yang berat di akhirat. (Terjemah Kemenag 2019).

Baca juga: Larangan Memaki Sesembahan Non-Muslim: Salah Satu Ajaran Toleransi Dalam al-Quran

Tafsir QS. Al-Baqarah [2]: 114

Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam Tafsir al-Wajiz menafsirkan ayat di atas bahwa tidak ada seorangpun yang lebih zalim (durhaka) dari orang yang menghalang-halangi orang lain beribadah di dalam masjid, lalu merobohkannya. Mereka itulah orang-orang yang berdosa serta tidak layak masuk ke dalam masjid. Bagi mereka di dunia mendapat kehinaan yang paling rendah dan di akhirat mereka mendapat siksa yang pedih di dalam neraka. (Tafsir al-Wajiz, juz 1, hlm. 19)

Sejalan dengan penafsiran di atas, al-Thabari dalam Jami’ al-Bayan menafsirkan ayat di atas dengan mengajukan sebuah pertanyaan. Bahwa adakah orang yang lebih zalim (ingkar) melampaui batas terhadap Allah selain dari orang-orang yang menghalangi disebutnya nama-Nya di tempat-tempat peribadatan lalu merobohkannya? (Jami’ al-Bayan, vol.2, hlm. 441).

Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah mengutip sebuah riwayat dari Ibn Abbas yang menyatakan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan upaya kaum musyrik Mekkah menghalangi orang-orang muslim memasuki kota Mekkah dan bertawaf di Masjid al-Haram. Riwayat ini, menurut Shihab, cukup berlasan dan dengan demikian dapat dikatakan bahwa setelah ayat-ayat lalu menyelesaikan kecamannya terhadap orang-orang Yahudi, kini kecaman beralih kepada kaum musyrik Mekkah. (Tafsir al-Misbah, vol.1, hlm. 350)

Tafsir Kementrian Agama menafsirkan ayat di atas dengan dua tindakan orang yang paling zalim yakni; pertama, menghalang-halangi orang menyebut nama Allah di dalam masjid-masjid-Nya. Termasuk di dalamnya menghalang-halangi segala perbuatan yang berhubungan dengan urusan agama, seperti mempelajari dan mengamalkan agama, iktikaf, salat, zikir dan sebagainya. Kedua, Merobohkan masjid-masjid Allah (rumah ibadah). Termasuk di dalamnya perbuatan, usaha, atau tindakan yang bertujuan untuk merusak, merobohkan, serta menghalang-halangi pendirian masjid dan sebagainya. Kedua macam perbuatan itu merupakan perbuatan zalim, karena mengakibatkan hilangnya syiar agama Allah.

Baca juga: Konsep Lita’arofu dalam QS. Al-Hujurat Ayat 13 dalam Menyikapi Keberagaman

Refleksi Ayat

Melalui tafsir QS. Al-Baqarah [2]: 114 di atas, jelas bahwa salah satu kategori orang-orang yang tidak menghargai tempat peribadatan sebagai orang yang paling zalim dan ingkar terhadap eksistensi Allah. Apalagi seorang muslim justru merusak rumah ibadahnya sendiri. Tentu ini tindakan naif dan tidak dapat dibenarkan. Aksi-aksi yang dilakukan oleh sebagian kelompok terhadap perusakan rumah ibadah Ahmadiyah di atas tentu tidak dibenarkan.

Penjelasan tafsir di atas juga melarang tindakan tidak bermoral dan tidak beradab terhadap rumah peribadatan. Sebab, ia jelas melanggar perintah Allah dan tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw. Rasulullah telah mencontohkan keramahan, lantas kenapa kita selalu bertindak dengan penuh kemarahan? Oleh karena itu, yuk tebarkan Islam ramah yang penuh dengan kedamain, kesantunan, dan kasih sayang.

Di akhir tulisan ini, saya ingin mengutip quote dari Gus Dur yang biasa kita dengar; “Tuhan tidak perlu dibela, karena dia sudah Maha Segalanya. Belalah mereka yang diperlakukan tidak adil.” Dalam kesempatan lain Gus Dur juga pernah berujar, “esensi Islam tidak terletak pada pakaian yang dikenakan, melainkan pada akhlak yang dilaksanakan.” Wallahu’alam bish-shawab.

Baca juga: Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 207: Ajaran Bom Bunuh Diri?

Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 65-66

0
tafsir surah al-furqan
tafsir surah al-furqan

Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 65-66 masih berbicara mengenai sifat-sifat orang mukmin. Sifat selanjutnya adalah selalu mengingat-ingat tentang hari kebangkitan.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 64


Ayat 65-66

Keempat: Mereka selalu mengingat hari akhirat dan hari perhitungan. Mereka yakin bahwa semua amal perbuatan manusia akan dipertanggungjawabkan di hari itu, yang baik diberi ganjaran berlipat ganda, dan yang jahat akan dibalas dengan balasan yang setimpal.

Di kala mereka bermunajat dengan Tuhan di malam hari tergambarlah dalam pikiran mereka bagaimana dahsyatnya suasana di waktu itu seakan-akan mereka benar-benar melihat bagaimana ganasnya api neraka yang selalu menanti para hamba Allah yang durhaka untuk menjadi mangsa dan santapannya.

Di kala itu meneteslah air mata mereka dan mereka memohon dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan agar dibebaskan dari siksaan api neraka yang pedih itu.

Orang-orang yang demikian kuat keyakinannya kepada hari akhirat tentu akan mempergunakan kesempatan hidup di dunia ini untuk berbuat amal kebajikan sebanyak-banyaknya dan tidak akan melakukan perbuatan jahat karena yakin perbuatannya itu akan dibalas dengan siksaan yang pedih.

Betapa pun baiknya suatu peraturan yang dibuat manusia dan betapa ketatnya pengawasan dalam pelaksanaannya, tetapi manusia yang tidak sadar akan pengawasan Allah dapat saja meloloskan diri dari ikatan peraturan dan undang-undang itu. Akan tetapi, manusia yang beriman, andaikata tidak ada peraturan dan undang-undang, tidak akan melakukan satu kejahatan pun, karena dia sadar walaupun dapat bebas dari hukuman di dunia, namun tidak akan dapat melepaskan diri dari azab di akhirat.

Kesadaran dan keinsyafan inilah yang tertanam dengan kuat di dalam hati setiap muslim yang mendapat julukan “hamba Allah Yang Maha Penyayang.”


Baca juga: Surah Al-Anbiya Ayat 107: Misi Nabi Muhammad saw Menebar Rahmat


Ayat ini menjelaskan bagaimana seorang mukmin benar-benar takut jatuh ke dalam siksaan neraka karena siksaannya amat pedih dan dahsyat. Neraka itu merupakan seburuk-buruk tempat yang disediakan bagi hamba Allah yang ingkar dan durhaka.

Orang-orang kafir kekal di dalamnya selama-lamanya, menderita berbagai macam siksaan. Meskipun kulit mereka telah hangus terbakar dan panasnya api neraka telah menembus ke dalam daging dan tulang belulang, namun mereka tetap hidup untuk merasakan siksaan itu sebagai tersebut dalam firman-Nya:

اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِاٰيٰتِنَا سَوْفَ نُصْلِيْهِمْ نَارًاۗ كُلَّمَا نَضِجَتْ جُلُوْدُهُمْ بَدَّلْنٰهُمْ جُلُوْدًا غَيْرَهَا لِيَذُوْقُوا الْعَذَابَۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَزِيْزًا حَكِيْمًا

Sungguh, orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti dengan kulit yang lain, agar mereka merasakan azab. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana. (an-Nisa’/4: 56).


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 67


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 64

0
tafsir surah al-furqan
tafsir surah al-furqan

Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 64 berbicara mengenai sikap dan sifat manusia dalam berhubungan dengan Allah SWT. Di saat orang terlelap mereka beribadah.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 63


Ayat 64

Ketiga: Kemudian Allah menjelaskan pula sikap dan sifat mereka ketika berhubungan dengan Tuhan Pencipta alam pada malam hari. Apabila malam telah sunyi sepi, manusia lelap dibuai oleh tidur nyenyak, mereka mengerjakan salat Tahajud dan berdiri menghadap Tuhan Yang Maha Esa.

Mereka tinggalkan kesenangan dan kenyamanan tidur, mereka resapkan dengan sepenuh jiwa dan raga bagaimana nikmat dan tenteramnya bermunajat dengan Tuhan. Mereka mengerjakan salat malam salat Tahajud seperti yang dilakukan Rasulullah karena dengan salat di malam hari itu jiwa mereka menjadi suci dan bersih.

Iman mereka bertambah, keyakinan menjadi mantap bahwa tiada Tuhan selain Dia, rahmat dan kasih sayang-Nya Maha Luas meliputi semua makhluk-Nya.

Di sanalah mereka memohon dan berdoa dengan penuh khusyuk dan tawaduk agar diampuni dosa dan kesalahan mereka dan dilimpahkan rahmat dan keridaan-Nya. Setelah melakukan salat malam itu, barulah mereka tidur dengan perasaan bahagia penuh tawakal dan takwa.

Ibnu Abbas berkata, “Barang siapa yang melakukan salat dua rakaat atau lebih sesudah salat Isya berarti dia telah salat sepanjang malam.”


Baca juga: Surah Al-Anbiya Ayat 107: Misi Nabi Muhammad saw Menebar Rahmat


Dalam ayat lain, Allah menjelaskan pula sifat-sifat orang-orang mukmin yang mengerjakan salat malam ini:

تَتَجَافٰى جُنُوْبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَّطَمَعًاۖ وَّمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ

Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan penuh harap, dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. (as-Sajdah/32: 16)

Dan firman-Nya:

اَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ اٰنَاۤءَ الَّيْلِ سَاجِدًا وَّقَاۤىِٕمًا يَّحْذَرُ الْاٰخِرَةَ وَيَرْجُوْا رَحْمَةَ رَبِّهٖۗ

(Apakah kamu orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah pada waktu malam dengan sujud dan berdiri, karena takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? (az-Zumar/39: 9)

Dan firman-Nya:

كَانُوْا قَلِيْلًا مِّنَ الَّيْلِ مَا يَهْجَعُوْنَ ١٧  وَبِالْاَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُوْنَ   ١٨;

“Mereka sedikit sekali tidur pada waktu malam; dan pada akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” (az-Zariyat/51: 17–18)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 65-66


(Tafsir Kemenag)