Beranda blog Halaman 224

Syair Jahili dalam Penafsiran Al-Quran

0
Pro-Kontra Syair Jahili sebagai Hujah Penafsiran al-Quran
Pro-Kontra Syair Jahili sebagai Hujah Penafsiran al-Quran

Syair merupakan produk kebudayaan sangat luhur yang dicapai oleh bangsa Arab. Tidak syak lagi jika Al-Quran turun di tanah Arab, bangsa Arab, sebuah bangsa yang telah mencapai titik termatang dalam kesusastraannya. Syair Arab sendiri jika ditinjau dari masanya terbagi menjadi tujuh; Jahili, Islami, Umawi, Abbasi, Andalusi, Pertengahan (Wustha), dan Modern (Husain, 2018). Namun, tulisan kali ini hanya akan menyoal masa pertama syair Arab; Jahili, dan kaitannya dengan Al-Quran.

Syair Jahili

Dimulai dari pertanyaan kapan rentang waktu yang disebut dengan masa Jahili? Al-Jahizh dalam al-Hayawan menakrifkan masa Jahili sebagai masa yang terentang seratus lima puluh tahun sampai dua ratus tahun sebelum diutusnya Nabi Muhammad saw sebagai seorang nabi dan rasul. Lalu orang pertama yang mentradisikannya, tutur al-Jahiz, ialah Imru’ al-Qais ibn Hajar atau Muhalhal bin Rabi’ah al-Taghlibiy. Namun, Ibn Salam dalam Thabaqat Fuhul al-Syu’ara` menyebutkan nama terakhir tersebut sebagai pelopor syair Jahili.

Secara istilah, syi’r (atau syair) adalah ungkapan yang berwazan (satu metrum) dan be-qafiyah (satu rima) yang mengungkapkan keindahan imajinasi dan penggambaran yang mengesankan. Sama seperti istilah guru lagu dan guru gatra dalam tetembangan Jawa. Sehingga, jika diperhatikan menurut klasifikasi syair formal Yunani, maka syair Arab tampak sangat lyrical bila dibandingkan dengan syair Yunani yang lebih naratif dan cenderung dramatik (Fadlil, 2011).

Baca Juga: Benarkah Syair Itu Haram? Simak Penafsiran Surat Yasin Ayat 69

Penyair Mesir yang dijuluki Amir al-Syu’ara`, Ahmad Syauqi, dalam al-Syauqiyat mensyaratkan tiga hal agar suatu ungkapan tersebut disebut sebagai syair. Tidak cukup berwazan dan ber-qafiyah, tapi syair juga harus memuat al-dzikra (impresi), al-‘athifah (afeksi) dan al-hikmah (kebijaksanaan).

Dahulu, untuk mengukur tingkat intelektualitas seseorang pada zaman itu, kepiawaian dalam membuat syair adalah parameter utama. Baru kemudian pengetahuan nasab dan ilmu perbintangan (nujum) menjadi parameter yang lain, sebagaimana yang dikatakan Azis Fachrudin dalam Linguistik Arab (2021).

Lebih jauh, Ibn Rasyiq dalam al-‘Umdah (1934) menyebutkan kebiasaan bangsa Arab yang sangat bangga ketika ada seorang penyair lahir dari kabilahnya. Lantas, mereka akan mendatangi rumahnya, membikinkan aneka makanan, membawa gadis-gadis mereka untuk bermain alat musik semacam kecapi di hadapannya, peris seperti yang mereka lakukan kepada seorang pengantin baru. Dengan kata lain, seorang penyair adalah layaknya intan permata yang dimiliki oleh suatu kabilah, saking tingginya prestise seorang penyair.

Baca Juga: Ragam Qiraat Sebagai Hujah Kebahasaan, Antara Mazhab Basrah dan Kufah

Syair dan Autentisitas Bahasa

Pada bagian lain dalam al-Hayawan, al-Jahizh kemudian menuturkan bahwa keluhuran setiap bangsa itu dapat dilihat dari seberapa lamanya tradisi dan budaya umat tersebut dijaga dan berlangsung dari masa ke masa. Dan bangsa Arab, dengan tradisi Jahilinya—termasuk kebahasaannya yang adiluhung—masih terjaga dalam syair-syair bermetrum dan berima. Itulah diwan (catatan sejarah) bangsa Arab.

Hingga Allah menurunkan kalam-Nya ke dunia dalam bahasa terbaik sezamannya, bahasa Arab, dan kepada utusannya, Nabi Muhammad, seorang pemuda Quraisy, kaum yang memiliki bahasa terbaik itu. Tamam sudah!

Berkat adanya Al-Quran, bahasa mereka terwarisi hingga kini. Tak hanya sebagai perekam, bahkan Al-Quran dalam konteks ini menjadi sebuah agen budaya. Dan dengan adanya syair-syair Jahili yang banyak diriwayatkan dalam literatur klasik, kosakata dalam Al-Quran dapat ditafsirkan (Azis, 2021).

Tak mengherankan jika kemudian para ulama mensyaratkan seorang mufasir menguasai bahasa Arab, mulai seluk-beluknya, detail-detailnya hingga asrar-asrarnya. Dan seorang mufasir tak akan sampai pada tingkatan tersebut tanpa mempelajari syair-syair yang menjadi diwan-nya bangsa Arab. Sebagaimana yang dikatakan Imam Malik, “seseorang yang ingin menafsirkan Kitabullah, maka ia harus benar-benar mumpuni dalam bahasa Arab.”

Walhasil, semakin luas pengetahuan seorang mufasir tentang lisanul ‘arab—bahasa Arab, maka semakin banyak ia mencerap pengetahuan dari kandungan Al-Quran. Senada dengan itu, al-Syathibi dalam al-Muwafaqat mengatakan, “barangsiapa ingin memahami Al-Quran, maka hanya satu cara, yaitu melalui lisanul ‘arab. Tiada jalan memahaminya kecuali dengan cara tersebut.”

Baca Juga: Ayat-Ayat ‘Lucu’ Musailamah Al-Kadzdzab dalam ‘Menjawab’ Tantangan Al-Quran

Syair dan Penafsiran Al-Quran

Dalil atau hujah yang dipakai untuk menafsirkan Al-Quran dengan syair adalah riwayat Sayyidina Umar dengan seorang badui. Kala itu, Sayyidina Umar berdiri di atas mimbar. Lalu ada seseorang yang bertanya apa makna kata takhawwuf dalam al-Nahl [16]: 47

اَوْ يَأْخُذَهُمْ عَلٰى تَخَوُّفٍۗ فَاِنَّ رَبَّكُمْ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ

Kemudian berdirilah seorang badui paruh baya dari bani Huzail dan berkata; “al-takhawwuf adalah bahasa kami, yang berarti al-tanaqqush (berkurang sedikit demi sedikit).”

Kemudian Sayyidina Umar bertanya lagi, “Apakah orang Arab mengetahui itu dalam syair-syair mereka?”

“Iya,” jawab Badui, kemudian melanjutkan, “penyair kami bernama Abu Kabir menyifati untanya begini..

تَخَوَّفَ الرَّحْلُ مِنْهَا تَامِكًا قَرِدًا * كَمَا تَخَوَّفَ عُوْدُ النَّبْعَةِ السَّفِنُ

Lalu Sayyidina Umar berseru; “Wahai manusia, peganglah diwan syair-syair Jahili kalian. Karena di dalamnya ada tafsir bagi kitab kalian dan makna-makna kalam kalian.”

Kemudian di antara para mufasir, Ibn Abbas adalah seorang mufasir yang paling banyak merujuk pada syair-syair Jahili. Keterangan tersebut dikatakan oleh muridnya, Ikrimah, bahwa ia tak pernah mendengar gurunya itu, Ibn Abbas, menafsirkan ayat Al-Quran kecuali merujuk syair-syair meski satu bait. Dan ia menyitir pernyataan Ibn Abbas begini, “jika kalian kesulitan dalam menafsirkan ayat Al-Quran, maka carilah dalam syair. Karena sesungguhnya ia merupakan diwan (bangsa) Arab.”

Akan tetapi, terlepas dari itu semua, ada perselisihan di kalangan ulama tentang keabsahan syair sebagai rujukan untuk menafsirkan Al-Quran. Perselisihan tersebut kemudian membagi dua pendapat yang saling bertentangan satu sama lain, pro dan kontra. Wallahu a’lam.

Perempuan dalam Al-Quran: Antara Pernyataan Allah Sendiri dan Kutipan atas Ucapan Orang Lain

0
Pernyataan dalam Al-Quran tentang perempuan
Pernyataan dalam Al-Quran tentang perempuan

Al-Quran adalah kalamullah (perkataan Allah). Ayat-ayat Al-Quran tidak diragukan lagi berasal dari Allah, lafdzan wa ma’na. Pernyataan ini kemudian berkonsekuensi bahwa segala apa yang disampaikan dan tertulis dalam Al-Quran adalah pernyataan Allah yang harus diyakini, diamini dan dan dikuti. Setiap hal yang bertentangan dengannya maka itu berarti menyangkal dan berlawanan dengan pernyataan Allah.

Kemudian, dalam perkataan Allah ini ternyata banyak ditemukan hal-hal yang menurut pandangan mata sekilas dan pembacaan singkat manusia mengandung hal yang tidak baik, tidak adil bagi pihak-pihak tertentu, sebut saja perempuan. Misal ayat Al-Quran yang berbunyi bahwa tipu daya perempuan itu sangat besar (QS. Yusuf ayat 28), perempuan itu hanyalah makhluk yang pandai berhias, mempercantik dirinya untuk menutupi kebodohannya (QS. Az-Zukhruf ayat 18), perempuan itu ciptaan Allah yang hanya membawa kesedihan dan kebencian (QS. An-Nahl ayat 58 dan QS. Az-Zukhruf ayat 17).

Sejujurnya, ‘pernyataan’ Allah di atas mengganggu dan menyinggung perasaan perempuan. Meski tidak langsung berkaitan dengan ayat ini, dalam Tafsir Ibnu Katsir disampaikan bahwa istri Rasulullah, Ummu Salamah sempat menyatakan protes kepada Rasulullah, suaminya sendiri karena perempuan seakan tidak dianggap oleh Al-Quran, karena  adanya dominasi penyebutan laki-laki, lalu turun surah Al-Ahzab ayat 35. Terlebih ketika membaca ayat-ayat ‘misoginis’ di atas, seandainya Ummu Salamah masih ada, bisa ditebak respon beliau.

Di lain tempat, Allah dengan lantang mendeklarasikan tentang status perempuan, bahwa ia adalah ciptaan Allah, statusnya sama dengan laki-laki, satu-satunya pembeda di hadapan Allah adalah ketakwaannya (QS. Al-Hujurat ayat 13). Jika memang perempuan adalah ciptaan Allah, lalu tega kah Ia menghina dengan begitu rendahnya ciptannya sendiri? Kemudian, bagaimana seharusnya memahami perkataan Allah yang sekilas membenci perempuan seperti di atas? Benarkah Allah memandang perempuan dengan demikian rendahnya, sebagai makhluk penggoda, hanya pandai berhias, pembawa sial dan semacamnya?

Baca Juga: Sabab Nuzul, Perempuan dan Respon al-Qur’an

Faktor yang sering menyebabkan kekeliruan

M. Quraish Shihab dalam beberapa penjelasannya, sebut saja buku Kaidah Tafsir dan Perempuan sangat sering mengingatkan tentang penyebab kekeliruan dalam menafsirkan dan memahami Al-Quran. Salah satu penyebab itu adalah tidak mengetahui atau bahkan tidak memperhatikan konteks uraian ayat yang meliputi terhadap siapa kalimat ayat itu ditujukan dan siapa yang mengucapkan ayat tersebut.

Dalam rangka mengetahui konteks uraian ayat tersebut, maka mau tidak mau seseorang harus melihat bunyi ayat secara lengkap, sabab nuzul maupun munasabah (keterkaitan) dengan ayat sebelum dan sesudahnya. Di sinilah pentingnya pemahaman terhadap ilmu Al-Quran bagi orang yang ingin menafsirkan Al-Quran. Selain itu, model ayat juga harus diperhatikan, apakah itu bermodel kisah (Qasas Al-Quran), perumpamaan (amtsal Al-Quran), sumpah (aqsam Al-Quran dan argumentasi (jadal Al-Quran).

Sementara untuk subjek yang mengucapkan, Quraish Shihab membedakan pemilik pernyataan dalam Al-Quran, memang benar pernyataan Allah sendiri atau kutipan Allah dalam rangka menirukan ucapan seseorang yang sedang dikisahkan. Ini yang sering dilupakan oleh para pengkaji Al-Quran yang terburu-buru dalam menafsirkan Al-Quran. Lebih lanjut kita dapat melihat penafsiran penulis Tafsir Al-Misbah ini yang sangat hati-hati dalam menyinggung perihal perempuan.

Baca Juga: Memahami Makna Seksualitas Perempuan Melalui Kisah Yusuf dan Zulaikha dalam Al-Quran

Beda antara pernyataan Allah sendiri dengan kutipan Allah atas ucapan orang lain

Pembedaan pemilik pernyataan dalam Al-Quran setidaknya dapat kita temui dalam penafsiran pendiri Pusat Studi Quran ini pada empat ayat Al-Quran yang kesemuanya bertemakan tentang perempuan.

Surah Yusuf [12] ayat 28

فَلَمَّا رَأَى قَمِيصَهُ قُدَّ مِنْ دُبُرٍ قَالَ إِنَّهُ مِنْ كَيْدِكُنَّ إِنَّ كَيْدَكُنَّ عَظِيمٌ

Maka ketika dia (suami perempuan itu) melihat baju gamisnya (Yusuf) koyak di bagian belakang, dia berkata, “Sesungguhnya ini adalah tipu dayamu. Tipu dayamu benar-benar hebat.” (Terjemah Kemenag 2019)

Ayat ini menceritakan potongan episode kisah Nabi Yusuf dalam Al-Quran. Di sini ada pernyataan ‘tipu daya perempuan benar-benar hebat’. Memahami ayat ini, mufasir Indonesia tersebut mendudukkan konteksnya terlebih dahulu. Menurutnya dalam Tafsir Al-Misbah yang juga disampaikan dalam Perempuan, konteks ayat ini adalah seorang wanita tertentu yang sangat dicintai suaminya, tetapi melakukan penyelewengan -bukan tentang semua wanita-, dan sang suami enggan menuduhnya secara langsung.

Adapun mengenai pemilik pernyataan dalam Al-Quran tersebut, menurut Quraish Shihab bukan Allah. Ia hanya menirukan ucapan penilaian seseorang atas kasus perselingkuhan sang istri raja dalam kisah itu. Jika melihat modelnya, ayat ini masuk dalam kategori kisah, sehingga dapat dimaklumi ketika pembicaraan Allah di sini mengutip ucapan orang lain, karena di sini Allah sebagai pencerita.

Oleh karena pemilik pernyataan Al-Quran itu bukan Allah, jadi jangan dipaksakan bahwa Allah telah menciptakan kodrat perempuan sebagai mahluk penggoda. Itu keliru.

Baca Juga: Surat Yusuf Ayat 28 vs Surat An-Nisa Ayat 76, Benarkah Perempuan Lebih Berbahaya Daripada Setan?

Surah an-Nahl [16] ayat 58

وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ

“Padahal apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam), dan dia sangat marah.” (Terjemah Kemenag 2019)

Surah Az-Zukhruf [43] ayat 17

وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِمَا ضَرَبَ لِلرَّحْمَنِ مَثَلًا ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ

“Dan apabila salah seorang di antara mereka diberi kabar gembira dengan apa (kelahiran anak perempuan) yang dijadikan sebagai perumpamaan bagi (Allah) Yang Maha Pengasih, jadilah wajahnya hitam pekat, karena menahan sedih (dan marah).” (Terjemah Kemenag 2019)

Masih menurut Quraish Shihab, konteks dua ayat di atas adalah tentang pemaparan keburukan kaum musyrikin, yaitu mereka (kaum musyrikin) tidak senang dengan kehadiran anak perempuan. Oleh karena itu mereka mengubur hidup-hidup anak perempuan mereka atau dibiarkan hidup dalam keadaan hina.

Sekali lagi, Allah melalui ayat ini menceritakan tentang tradisi keburukan kaum musyrikin, bukan dalam rangka menyifati perempuan. Tujuannya tiada lain yaitu mengikis habis pandangan masyarakat jahiliyah tentang perbedaan derajat laki-laki dan perempuan, meski pada saat ini masih banyak sekali pembedaan derajat tersebut, terlebih dengan menggunakan dalil ayat Al-Quran di atas.

Surah az-Zukhruf [43] ayat 18

أَوَمَنْ يُنَشَّأُ فِي الْحِلْيَةِ وَهُوَ فِي الْخِصَامِ غَيْرُ مُبِينٍ

“Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan sebagai perhiasan sedang dia tidak mampu memberi alasan yang tegas dan jelas dalam pertengkaran.”

Jika hanya membaca terjemahan dan langsung menafsirkan ayat ini, sangat mungkin berkesimpulan bahwa Al-Quran menyatakan bahwa perempuan hanyalah manusia yang pandai berhias, itu saja, tidak lebih. Namun tidak demikian dengan penafsiran Quraish Shihab, menurutnya, ayat ini turun dalam rangka menggambarkan tentang anggapan dan stigmatisasi perempuan oleh kaum musyrikin pada masa turunnya Al-Quran. Di situ tergambar bahwa perempuan adalah tangis, kebajikannya adalah mencuri harta suami, dan perempuan hanya pandai berhias serta tidak memiliki kemampuan berlogika.

Untuk ke sekian kalinya, ayat Al-Quran ini bukan untuk menyatakan bahwa perempuan seperti apa yang telah digambarkan di atas, namun ayat ini mencoba untuk menunjukkan betapa berani, tidak adil dan tidak sopannya kaum musyrikin itu kepada Allah sebagai pencipta perempuan. Dengan demikian pemilik pernyataan dalam Al-Quran ini bukan Allah sendiri, tetapi Ia menirukan respon kaum musyrikin.

Kembali lagi, di sini Al-Quran bercerita tentang tabiatnya kaum musyrikin, bukan menyatakan pembicarannya sendiri. Dari empat ayat yang sering di’manfaatkan’ oleh pihak yang memandang rendah perempuan ini kita dapat ketahui bahwa Allah tidak pernah menyetujui pandangan mereka, sedikit pun tidak. Wallahu a’lam

Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 9-10

0
tafsir surah al-furqan
tafsir surah al-furqan

Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 9 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai sikap orang kafir yang kehabisan akal untuk menolak kebenaran. Kedua berbicara mengenai kehendak Allah SWT.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 5-8


Ayat 9

Pada ayat ini Allah menyuruh Nabi dan umatnya memperhatikan kecaman-kecaman yang dikemukakan oleh orang-orang kafir itu. Dengan memperhatikan kecaman-kecaman itu nampak jelas bahwa mereka telah kehabisan alasan dan keterangan untuk menolak seruan Nabi Muhammad kepada tauhid dan meninggalkan sembahan-sembahan mereka yang menyesatkan itu.

Mereka tidak sanggup menolak alasan-alasan dan bukti-bukti yang dikemukakan oleh Nabi Muhammad berupa ayat-ayat Al-Qur’an dan lainnya. Mereka tidak sanggup menjawab tantangan membuat satu surah saja yang sama nilainya dengan satu surah dalam Al-Qur’an, baik dari segi isi, makna maupun sastranya.

Oleh sebab itu mereka mengalihkan kecaman mereka kepada pribadi Nabi Muhammad sendiri. Hal itu banyak terjadi pada orang-orang yang telah dikalahkan hujjahnya. Oleh sebab itu Allah tidak langsung menjawab kecaman-kecaman itu dan menyuruh memperlihatkannya agar jelas bagi semua orang bahwa mereka itu telah terlempar ke sudut karena mereka memang telah sesat dari jalan yang benar.


Baca juga: Surah Al-Anbiya Ayat 107: Misi Nabi Muhammad saw Menebar Rahmat


Ayat 10

Sebagai hiburan kepada Nabi yang selalu dihina dan direndahkan oleh orang-orang kafir itu, Allah menjelaskan bahwa kalau Dia menghendaki, niscaya Dia akan memberikan kepadanya kebun-kebun yang lebih baik dari yang diminta oleh orang-orang kafir itu dan akan memberikan pula istana-istana yang paling megah dan indah.

Hal itu amat mudah bagi Allah tetapi bukan demikian yang dikehendaki-Nya. Allah menghendaki agar Rasul pembawa risalah-Nya sebagai manusia biasa yang menjadi ikutan dan teladan bagi umatnya dalam memperjuangkan suatu cita-cita, memperjuangkan kebenaran dan meninggikan kalimat Allah.

Di samping perjuangan yang amat berat itu Nabi harus pula memikirkan keperluan dan hajat pribadinya. Begitulah seharusnya seorang Rasul yang akan menjadi contoh dan teladan.

Kalaulah Nabi Muhammad itu seorang kaya mempunyai kebun-kebun dan istana serta perbendaharaan yang berlimpah-limpah tentulah tidak akan sebesar itu nilai perjuangannya dan tentulah tidak akan dapat dicontoh oleh pengikut-pengikutnya di belakang hari.

Apa arti istana, apa arti kebun-kebun dan apa arti perbendaharaan yang berlimpah-limpah bila seorang berhadapan dengan Khaliknya Yang Mahakuasa, Mahakaya dan Maha Perkasa?

Demikianlah Nabi Muhammad rida dengan keadaannya. meskipun miskin, lemah dan menerima berbagai hinaan dan cemoohan kaumnya, tetapi dia senang dan bahagia karena dia mengemban tugas suci dari Tuhannya. Pernah beliau berkata, “Ya Tuhanku apapun yang terjadi pada diriku dan bagaimana pun beratnya penderitaanku tetapi aku tetap bahagia selama Engkau rida terhadapku.”


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 11-12


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 5-8

0
tafsir surah al-furqan
tafsir surah al-furqan

Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 5-8 berbicara mengenai tiga hal. Pertama mengenai tuduhan bahwa al-Qur’an merupakan dongeng belaka. Kedua mengenai penegasan bahwa al-Qur’an benar-benar dari Allah SWT. Ketiga pengingkaran atas kenabian Nabi Muhammad SAW.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 4


Ayat 5

Orang-orang kafir itu mengatakan bahwa Al-Qur’an itu hanyalah dongengan-dongengan orang dahulu yang mereka tulis di dalam buku-buku, dan Nabi Muhammad minta kepada orang-orang Yahudi supaya disalinkan dan dibacakan kepadanya agar dia dapat menghafalnya pagi dan petang.

Setelah dihafal barulah dia bacakan kepada para sahabat dan pengikutnya sebagai Al-Qur’an yang turun dari langit. Alangkah beraninya mereka mengada-adakan sesuatu yang tidak pernah terjadi pada Nabi Muhammad saw.

Kalau benar demikian tentulah para sahabatnya akan mengetahui hal itu dan tentulah mereka tidak akan percaya lagi kepadanya.

Padahal Nabi Muhammad dikenal oleh mereka semenjak kecilnya sebagai orang yang paling dipercaya, jujur dan tidak pernah dusta. Apakah mungkin seorang yang demikian sifatnya sejak dari kecil akan menipu orang yang setia kepadanya dan mendakwahkan hal-hal yang bukan-bukan.


Baca juga: Mengenal Syed Muhammad Naquib Al-Attas: Penggagas Epistemologi Tafsir Metalinguistik (1)


Ayat 6

Oleh karena orang-orang kafir itu keterlaluan mengadakan tuduhan-tuduhan yang tidak masuk akal, sedang mereka sudah ditantang sedemikian rupa dan tidak dapat menjawab tantangan itu, maka Allah memerintahkan Nabi Muhammad saw supaya menyatakan kepada mereka dengan tegas bahwa Al-Qur’an itu bukanlah sebagaimana yang mereka tuduhkan.

Al-Qur’an itu benar-benar diturunkan oleh Allah yang mengetahui segala rahasia yang tersembunyi di langit dan di bumi. Oleh karena itu terdapat di dalamnya hukum-hukum syariat dan peraturan yang sangat baik dan dalam bahasa yang amat tinggi nilai sastranya sehingga tidak ada seorang pun di antara mereka yang bisa menirunya.

Al-Qur’an banyak yang mengandung hal-hal yang tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah Yang Mahaluas Ilmu-Nya.

 Sesungguhnya Tuhan yang menurunkan Al-Qur’an itu, Maha Pengampun dan Penyayang kepada hamba-Nya. Sebenarnya mereka harus bersyukur dan berterima kasih atas rahmat dan kasih sayang-Nya kepada mereka dengan menurunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk dan pembimbing mereka ke jalan yang benar.

Tetapi mereka tetap ingkar dan durhaka dan menentang ajaran-ajaran-Nya. Kalau tidaklah karena rahmat dan kasih sayang-Nya tentulah telah ditimpakan kepada mereka azab yang pedih.

Ayat 7-8

Orang-orang kafir mengatakan bahwa tidak mungkin Muhammad itu menjadi Rasul karena tidak terdapat padanya tanda-tanda bahwa dia diangkat menjadi Rasul. Dia hanyalah orang biasa seperti mereka bahkan jika dilihat bagaimana kehidupannya tambah nyatalah bahwa dia berbohong mendakwahkan dirinya sebagai Rasul karena dia sama dengan mereka bahkan sebagai manusia dia lebih rendah kedudukannya dan lebih miskin dari mereka. Kritik-kritik itu dapat disimpulkan, sebagai berikut:

  1. Mereka berkata, “Kenapa Muhammad itu makan minum juga seperti manusia biasa dan tidak ada kelebihannya sedikit pun dari kita, tidak akan mungkin dia berhubungan dengan Tuhan. Orang yang dapat berhubungan dengan Tuhan hanya orang-orang yang jiwanya suci dan tinggi sehingga tidak mementingkan makan dan minum lagi.”
  2. Mengapa tidak diturunkan malaikat bersamanya yang dapat menjadi bukti bagi kerasulannya dan membantunya dalam memberi peringatan dan petunjuk kepada manusia.
  3. Mengapa Muhammad itu pergi ke pasar untuk mencari nafkah hidupnya seperti orang biasa? Di mana letak kelebihannya sehingga ia diangkat Allah sebagai Rasul.
  4. Mengapa Allah tidak menurunkan saja kepadanya perbendaharaan dari langit agar dia dapat menumpahkan seluruh perhatiannya kepada dakwah untuk menyebarkan agamanya, sehingga dia tidak perlu lagi pergi ke pasar melakukan jual beli untuk mencari nafkah hidupnya.
  5. Atau kenapa tidak diberikan kepadanya kebun yang luas yang hasilnya dapat menutupi kebutuhannya.

Setelah mereka berputus asa karena semua tawaran mereka ditolak oleh Muhammad tidak ada jalan lain bagi mereka kecuali menuduhnya sebagai orang yang kena sihir sehingg tidak dapat lagi membedakan antara yang baik dan yang buruk. Menurut mereka orang-orang seperti itu tidaklah pantas untuk dipercaya apalagi untuk diangkat Allah sebagai Nabi.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 9


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 4

0
tafsir surah al-furqan
tafsir surah al-furqan

Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 4 berbicara mengenai tudduhan orang-orang kafir terhadap al-Qur’an. Mereka mengatakan bahwa al-Qur’an merupakan buatan Nabi Muhammad SAW.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 3


Ayat 4

Orang-orang kafir mengatakan bahwa Al-Qur’an itu bukanlah kitab yang diturunkan Allah. Al-Qur’an itu hanyalah suatu kebohongan yang dibuat-buat oleh Muhammad dan dalam membuat Al-Qur’an itu dia dibantu oleh sekelompok ahli kitab yang telah beriman.

Muhammad menurut mereka, selalu menemui kelompok ahli kitab itu dan mereka mengajarkan kepadanya kisah-kisah tentang umat-umat yang terdahulu kemudian Muhammad menyusun kisah-kisah itu dalam bahasa Arab yang baik susunan redaksinya.

Diriwayatkan bahwa ayat-ayat ini turun mengenai Nadr bin al-Haris dan orang-orang yang membantu Muhammad ialah Addās budak Khuwatih bin Abdul Uzza, Yasar budak al-A`lā bin al-Khadrami dan Abu Fukaihah ar-Rµmi.

Semula mereka adalah penganut agama Yahudi yang pandai membaca Taurat dan banyak bercerita tentang kisah umat terdahulu. Kemudian mereka masuk Islam dan banyak berhubungan dengan Nabi Muhammad. Oleh sebab itulah Nadr bin Haris berani mengadakan tuduhantuduhan palsu itu.

Maka Allah menolak tuduhan tersebut dan mengatakan bahwa orang-orang yang membuat tuduhan palsu itu telah berbuat zalim dan berdusta. Jelaslah bahwa tuduhan itu dibuat-buat karena Al-Qur’an sendiri dengan ayat-ayatnya telah menantang orang-orang Arab untuk membuat satu surah yang sama fasahah dan balagahnya dengan suatu surah dari Al-Qur’an.


Baca juga: Surah Al-Anbiya Ayat 107: Misi Nabi Muhammad saw Menebar Rahmat


Kalau mereka tidak berhasil pastilah Al-Qur’an itu bukan bikinan Muhammad tetapi benar-benar wahyu dari Allah. Hal itu tersebut dalam firman-Nya:

وَاِنْ كُنْتُمْ فِيْ رَيْبٍ مِّمَّا نَزَّلْنَا عَلٰى عَبْدِنَا فَأْتُوْا بِسُوْرَةٍ مِّنْ مِّثْلِهٖ ۖ وَادْعُوْا شُهَدَاۤءَكُمْ مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ

Dan jika kamu meragukan (Al-Qur’an) yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surah semisal dengannya dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. (al-Baqarah/2: 23)

Karena tidak ada seorang pun di antara mereka yang dapat menjawab tantangan itu walaupun mereka telah berusaha dengan sekuat tenaga, maka benarlah bahwa Al-Qur’an itu bukan buatan manusia melainkan wahyu dari Allah. Tetapi karena tidak ada jalan bagi mereka untuk menentang Al-Qur’an, mereka mencari berbagai alasan untuk mendustakannya dan mereka membuat berita-berita seperti tersebut di atas.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 5-8


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 3

0
tafsir surah al-furqan
tafsir surah al-furqan

Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 3 berbicara mengenai sembahan-sembahan orang-orang musyrik yang tidak dapat memberikan suatu apapun kepada mereka.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 1-2


Ayat 3

Allah menjelaskan dalam ayat ini bahwa berhala-berhala sembahan orang-orang kafir tidak ada sedikit pun mempunyai arti, dan tidak sedikit pun mempunyai sifat kesempurnaan bahkan sifat-sifat yang dimiliki berhala itu hanyalah sifat-sifat kekurangan belaka. Sungguh amat aneh jalan pikiran orang-orang yang menjadikan berhala sebagai tuhan, menyembahnya dan memohonkan pertolongan kepadanya.

Di antara sifat-sifat berhala yang tercela ialah:

  1. Berhala-berhala itu tidak dapat menciptakan sesuatu apapun, sedang yang patut disembah ialah Allah Yang Maha Pencipta.
  2. Berhala-berhala itu sendiri dibuat oleh para penyembahnya. Alangkah bodohnya manusia-manusia yang menyembah buatan mereka sendiri yang lebih rendah derajatnya daripada diri mereka.

Baca juga: Tafsir Surah al-An’am Ayat 68 : Bagaimana Menyikapi Orang Yang Melecehkan Al-Qur’an ?


  1. Berhala-berhala itu tak berdaya dan tak mempunyai tenaga untuk melakukan suatu tindakan, tidak dapat mendatangkan manfaat apapun bagi dirinya sendiri apalagi bagi penyembah-penyembahnya, tidak dapat membela dirinya apalagi untuk membela dan menolong orang lain. Memang tidak ada gunanya menyembah patung-patung yang demikian sifatnya.
  2. Berhala-berhala itu tidak dapat menghidupkan atau mematikan atau mengumpulkan manusia untuk memperhitungkan amal perbuatan mereka. Sedangkan untuk dirinya sendiri berhala itu tidak dapat memberika kehidupan karena ternyata dia tetap saja sebagai benda mati, apalagi untuk memberikan kehidupan kepada orang lain. Inilah sifat-sifat berhala yang disembah oleh orang-orang musyrikin Mekah itu. Mengapa mereka tidak menyembah Allah yang mempunyai sifat kesempurnaan Yang Maha Esa, Mahakuasa atas segala sesuatu.;

Baca setelahnya: Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 4


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 1-2

0
tafsir surah al-furqan
tafsir surah al-furqan

Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 1-2 berbicara mengenai pujian Allah terhadap diriNya sendiri bahwasannya Ia telah menurunkan wahyu kepada Nabi Muhammad SAW sebagai peringatan bagi manusia dan jin.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah An-Nur Ayat 63-64


Ayat 1-2

Pada ayat ini Allah memuji diri-Nya dengan menurunkan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad saw yang disebutnya “hamba-Nya” untuk menjadi peringatan bagi alam semesta (manusia dan jin).

Dengan pujian terhadap diri-Nya karena Dia menurunkan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad dapatlah dipahami bahwa Al-Qur’an itu adalah suatu kitab yang amat penting dan amat tinggi nilainya di sisi Allah, karena Al-Qur’an itu adalah petunjuk dan pedoman hidup bagi makhluk-Nya yang dimuliakan-Nya yaitu manusia, sedangkan ciptaan-ciptaan lainnya baik di langit maupun di bumi adalah untuk kepentingan manusia itu sendiri.

Pada ayat ini Allah tidak menyebut Al-Qur’an tetapi al-Furqān karena Al-Qur’an itu adalah pembeda yang hak dan yang batil antara petunjuk dan kesesatan. Al-Qur’an diturunkan untuk seluruh umat manusia di masa Nabi Muhammad dan masa sesudahnya sampai hari Kiamat, karena nabi-nabi sebelum Muhammad saw hanya diutus untuk kaumnya sedang Nabi Muhammad diutus untuk manusia di segala masa dan di semua tempat.

Demikian pula Allah tidak menyebut nama Muhammad atau Rasul-Nya tetapi menyebut “hamba-Nya” karena hendak memuliakan-Nya dengan gelar itu. Manusia yang benar-benar memperhambakan dirinya kepada Allah mengaku keesaan dan kekuasaan-Nya, taat dan patuh menjalankan perintah-Nya selalu menjadikan petunjuk-Nya sebagai pedoman hidupnya, mencintai Allah secara hakiki lebih daripada apa pun di dunia ini, itulah hamba Allah yang hakiki, hamba Allah terkandung di dalam Surah al-Furqān ini. Di dalam ayat-ayat lain Allah menyebut Nabi Muhammad saw dengan predikat “hamba-Nya” seperti firman-Nya:

سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ

Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya. (al-Isrā`/17: 1)

Dan firman-Nya:

وَّاَنَّهٗ لَمَّا قَامَ عَبْدُ اللّٰهِ يَدْعُوْهُ كَادُوْا يَكُوْنُوْنَ عَلَيْهِ لِبَدًاۗ  ࣖ

Dan sesungguhnya ketika hamba Allah (Muhammad) berdiri menyembah-Nya (melaksanakan salat), mereka (jin-jin) itu berdesakan mengerumuninya. (al-Jin/72: 19)

Dan firman-Nya:

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ عَلٰى عَبْدِهِ الْكِتٰبَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَّهٗ عِوَجًا ۜ

Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya dan Dia tidak menjadikannya bengkok. (al-Kahf/18: 1)


Baca juga: Nasaruddin Umar: Al-Qur’an Bedakan antara Gender dan Jenis Kelamin


Setelah Allah menyebutkan diri-Nya Yang menurunkan al-Furqān kepada hamba-Nya, barulah Dia mensifati diri-Nya bahwa Dialah pemilik langit dan bumi dan yang berkuasa atas keduanya, mengutus dan mengurusnya menurut hikmah kebijaksanaan-Nya sesuai dengan kepentingan dan kemaslahatan masing-masing ciptaan-Nya itu. Allah menyatakan pula bahwa Dia tidak mempunyai anak sebagaimana dituduhkan oleh kaum Nasrani, orang-orang Yahudi dan kaum musyrikin, sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

وَقَالَتِ الْيَهُوْدُ عُزَيْرُ ِۨابْنُ اللّٰهِ وَقَالَتِ النَّصٰرَى الْمَسِيْحُ ابْنُ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ قَوْلُهُمْ بِاَفْوَاهِهِمْۚ يُضَاهِـُٔوْنَ قَوْلَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ قَبْلُ ۗقَاتَلَهُمُ اللّٰهُ ۚ اَنّٰى يُؤْفَكُوْنَ

Dan orang-orang Yahudi berkata, ”Uzair putra Allah,” dan orang-orang Nasrani  berkata, ”Al-Masih putra Allah.” Itulah ucapan yang keluar dari mulut mereka. Mereka meniru ucapan orang-orang kafir yang terdahulu. Allah melaknat mereka; bagaimana mereka sampai  berpaling?  (at-Taubah/9: 30)

Dan firman-Nya:

فَاسْتَفْتِهِمْ اَلِرَبِّكَ الْبَنَاتُ وَلَهُمُ الْبَنُوْنَۚ   ١٤٩  اَمْ خَلَقْنَا الْمَلٰۤىِٕكَةَ اِنَاثًا وَّهُمْ شَاهِدُوْنَ  ١٥٠  اَلَآ اِنَّهُمْ مِّنْ اِفْكِهِمْ لَيَقُوْلُوْنَۙ  ١٥١  وَلَدَ اللّٰهُ ۙوَاِنَّهُمْ لَكٰذِبُوْنَۙ  ١٥٢  اَصْطَفَى الْبَنَاتِ عَلَى الْبَنِيْنَۗ   ١٥٣

Maka tanyakanlah (Muhammad) kepada mereka (orang-orang kafir Mekah), ”Apakah anak-anak perempuan itu untuk Tuhanmu sedangkan untuk mereka anak-anak laki-laki?” atau apakah Kami menciptakan malaikat-malaikat berupa perempuan sedangkan mereka menyaksikan(nya)? Ingatlah, sesungguhnya di antara kebohongannya mereka benar-benar mengatakan,  “Allah mempunyai anak.” Dan sungguh, mereka benar-benar pendusta. Apakah Dia (Allah) memilih anak-anak perempuan daripada anak-anak laki-laki? (as-Sāffāt/37: 149-153)

Selanjutnya Allah menyatakan lagi bahwa Dia tidak bersekutu dengan lainnya dalam kekuasaan-Nya, hanya Dialah yang patut disembah dan kepada-Nya sajalah manusia harus memohonkan sesuatu, bukan seperti yang dilakukan oleh manusia-manusia yang telah sesat yang menyembah makhluk-Nya seperti menyembah manusia, berhala dan benda-benda lainnya. Kemudian Allah menyatakan pula bahwa Dialah Pencipta segala sesuatu sesuai dengan hikmah kebijaksanaan-Nya dan mengaturnya menurut kehendak dan Ilmu-Nya.

Ringkasnya segala sesuatu dalam alam ini baik di langit maupun di bumi adalah makhluk-Nya. Dialah Penciptanya tidak ada Pencipta selain Dia tidak ada sekutu bagi-Nya yang patut disembah, semua berada di bawah kekuasaan-Nya dan tunduk patuh kepada sunnah dan peraturan yang telah ditetapkan-Nya. Janganlah sekali-kali terbayang atau terlintas dalam pikiran manusia bahwa Dia mempunyai anak atau mempunyai sekutu.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 3


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah An-Nur Ayat 63-64

0
tafsir surah an-nur
Tafsir Surah An-Nur

Tafsir Surah An-Nur Ayat 63-64 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai sifat orang-orang munafik. Kedua berbicara mengenai penutup surah al-Nur.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah An-Nur Ayat 62


Ayat 63

Diriwayatkan oleh Abu Dāud bahwa ada di antara orang-orang munafik yang merasa tidak senang mendengarkan khutbah. Apalagi dilihatnya ada seorang muslim meminta izin keluar dan diberi izin oleh Rasulullah, dia pun ikut saja keluar bersama orang yang telah mendapat izin itu dengan berlindung kepadanya. Maka turunlah ayat ini.

Kemudian sebagai penghormatan kepada Rasulullah, seorang muslim dilarang oleh Allah memanggil Rasulullah dengan menyebut namanya saja seperti yang biasa dilakukan oleh orang-orang Arab antara sesama mereka. Maka tidak boleh seorang muslim memanggilnya “hai Muhammad “ atau “hai ayah si Qasim.”

Dan sebagai adab dan sopan santun kepada Rasulullah hendaklah beliau dipanggil sesuai dengan jabatan yang dikaruniakan Allah kepadanya yaitu Rasul Allah atau Nabi Allah. Kemudian Allah mengancam orang-orang yang keluar dari suatu pertemuan bersama Nabi dengan cara sembunyi-sembunyi karena takut akan dilihat orang. Perbuatan semacam ini walaupun tidak diketahui oleh Nabi, tetapi Allah mengetahuinya dan mengetahui sebab-sebab yang mendorong mereka meninggalkan pertemuan itu.

Allah memberi peringatan kepada orang-orang semacam itu yang suka melanggar perintah, bahwa mereka akan mendapat musibah atau siksa yang pedih. Meskipun di dunia mereka tidak ditimpa musibah apapun tetapi di akhirat mereka akan masuk neraka dan itulah seburuk-buruknya kesudahan.


Baca juga: Nasaruddin Umar: Al-Qur’an Bedakan antara Gender dan Jenis Kelamin


Ayat 64

Allah menutup Surah an-Nµr ini setelah menerangkan bahwa Dialah Pemberi cahaya bagi langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dan memberi petunjuk kepada hamba-Nya dengan perantaraan rasul-rasul-Nya, dan mengancam orang-orang yang melanggar perintah-Nya dengan menegaskan bahwa milik-Nyalah semua yang ada di langit dan di bumi itu dan Dia mengetahui keadaan semua hamba-Nya dan akan memperhitungkan semua amal perbuatan mereka serta membalasnya.

Perbuatan jahat diberi balasan yang setimpal dengan kejahatan yang dikerjakan dan perbuatan baik dibalas dengan berlipat ganda, seperti tersebut dalam firman-Nya:

وَمَا تَكُوْنُ فِيْ شَأْنٍ وَّمَا تَتْلُوْا مِنْهُ مِنْ قُرْاٰنٍ وَّلَا تَعْمَلُوْنَ مِنْ عَمَلٍ اِلَّا كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُوْدًا اِذْ تُفِيْضُوْنَ فِيْهِۗ وَمَا يَعْزُبُ عَنْ رَّبِّكَ مِنْ مِّثْقَالِ ذَرَّةٍ فِى الْاَرْضِ وَلَا فِى السَّمَاۤءِ وَلَآ اَصْغَرَ مِنْ ذٰلِكَ وَلَآ اَكْبَرَ اِلَّا فِيْ كِتٰبٍ مُّبِيْنٍ

Dan tidakkah engkau (Muhammad) berada dalam suatu urusan, dan tidak membaca suatu ayat Al-Qur’an serta tidak pula kamu melakukan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu ketika kamu melakukannya. Tidak lengah sedikit pun dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah baik di bumi ataupun di langit. Tidak ada sesuatu yang lebih kecil dan yang lebih besar dari itu, melainkan semua tercatat dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfµz).(Yµnus/10: 61)

Selanjutnya dalam sebuah hadis riwayat at-Tabari dijelaskan sebagai berikut:

عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرِ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقْرَأُ هَذِهِ اْلاَيَةِ فِى خَاتِمَةِ النُّوْرِ وَهُوَ جَاعِلُ اَصْبِعَيْهِ تَحْتَ عَيْنِهِ يَقُوْلُ (بِكُلِّ شَيْئٍ بَصِيْرٌ). (رواه الطبري وغيره)

Diriwayatkan dari `Uqbah bin Amir, “Aku melihat Rasulullah saw di waktu sedang membaca ayat terakhir dari Surah an- Nur ini, beliau  meletakkan dua buah jari tangannya di bawah pelupuk matanya dan bersabda: Allah Maha Melihat segala sesuatu.” (Riwayat at-Tabari dan lainnya)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 1-2


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah An-Nur Ayat 62

0
tafsir surah an-nur
Tafsir Surah An-Nur

Tafsir Surah An-Nur Ayat 62 berbicara mengenai perbedaan sikap yang mencolok yang membedakan antara orang-orang muslim dan munafik.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah An-Nur Ayat 61


Ayat 62

Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa orang yang benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya ialah orang-orang yang bila berada bersama Rasulullah untuk membicarakan suatu hal yang penting mengenai urusan kaum muslim, mereka tidak mau meninggalkan pertemuan itu sebelum mendapatkan izin dari Rasulullah.

Setelah mendapat izin barulah mereka meninggalkan pertemuan itu dan memberi salam kepada para hadirin yang masih tinggal bersama Rasulullah.

عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اِذَا اِنْتَهَى اَحَدُكُمْ اِلَى الْمَجْلِسِ فَلْيُسَلِّمْ فَاِنْ بَدَا لَهُ اَنْ يَجْلِسَ فَلْيَجْلِسْ. ثُمَّ اِذَا قَامَ فَلْيُسَلِّمْ فَلَيْسَتِ اْلاُوْلَى بِأَحَقَّ مِنَ اْلاٰخِرَةِ. (رواه احمد وابو داود وابن حبان)

Dari Abu Hurairah  dari Rasulullah, beliau bersabda, “Bila salah seorang di antara kamu telah sampai ke suatu majlis, hendaklah ia memberi salam. Bila ia hendak duduk, maka duduklah. Kemudian bila hendak pergi, hendaklah memberi salam. Orang yang dahulu tidak lebih berhak dari yang belakangan. (Riwayat Ahmad, Abu Dāud, Ibnu Hibbān dan al-Hākim)

Orang-orang yang sifat tingkah lakunya seperti itu, itulah orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.

Kemudian Allah memerintahkan kepada Rasulullah, bila ada seseorang yang memajukan permohonan untuk meninggalkan suatu pertemuan bersama Rasululah, maka Rasulullah berhak sepenuhnya untuk menerima permohonan itu atau menolaknya sesuai dengan keadaan orang yang meminta izin itu dan untuk keperluan apa dia meninggalkan sidang itu.

Pernah Umar bin al-Khattāb meminta izin kepada Rasulullah kembali ke Medinah untuk menemui keluarganya dalam suatu perjalanan bersama-sama sahabat lainnya menuju Tabuk, maka Rasulullah memberi izin kepada Umar dan berkata kepadanya. Kembalilah! Engkau bukanlah seorang munafik.

Rasulullah diperintahkan pula setelah memberi izin kepada orang yang memohonkannya agar ia meminta ampun kepada Allah untuk orang-orang meminta izin itu. Ini adalah satu isyarat bahwa meminta izin itu meskipun dibolehkan meninggalkan pertemuan dengan Rasulullah, namun Rasulullah disuruh meminta ampunan kepada Allah bagi orang itu.


Baca juga: Nasaruddin Umar: Al-Qur’an Bedakan antara Gender dan Jenis Kelamin


Hal ini menunjukkan, bahwa permintaan izin dan meninggalkan pertemuan itu adalah suatu hal yang tidak layak atau tercela. Seakan-akan orang itu lebih mengutamakan kepentingan pribadinya sendiri daripada kepentingan bersama di hadapan Rasulullah.

Demikian salah satu di antara adab sopan santun dalam bergaul dengan Rasulullah saw. Rasulullah adalah seorang Rasul yang dimuliakan Allah, karena itu tidak layak seorang muslim memperlakukannya seperti kepada pemimpin lainnya yang mungkin saja mempunyai kesalahan dan kekhilafan.


Baca setelahnya: Tafsir Surah An-Nur Ayat 63-64


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 90-92

0
Tafsir Surah Al Mu'minun
Tafsir Surah Al Mu'minun

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 90-92 menjelaskan bahwa jawaban dari pertanyaan kaum kafir Mekah sejatinya benar, jika mereka mau mengikuti hati nurani, namun mereka lebih memilih berdusta dengan jawaban yang salah.

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 90-92 juga menegaskan  bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu bahkan yang tersembunyi sekalipun. Dia tidak bisa disamakan dengan manusia yang memiliki keterbatasan, membutuhkan sandaran, dan keluarga, sementara Dia adalah Tuhan Yang Esa, Tunggal, lagi Kuasa.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 84-89


Ayat 90

Pada ayat ini Allah menegaskan kepada orang-orang kafir itu, karena semua pertanyaan yang dikemukakan kepada mereka mengenai Allah sebagai Pencipta, Pemilik dan Pengatur segalanya, mereka jawab dengan jawaban yang benar dan positif, bahwa Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad untuk memperbaiki dan meluruskan akidah mereka yang telah sesat, adalah benar dan tuduhan-tuduhan yang mereka kemukakan terhadap Muhammad dan Al-Qur’an yang dibawanya adalah keliru dan bohong.

Al-Qur’an bukanlah dongengan-dongengan orang dahulu, tetapi benar-benar wahyu dan petunjuk dari Allah Yang Maha Pencipta, Mahakuasa dan Yang Mengatur segala sesuatu, baik di bumi maupun di langit dengan hikmat dan kebijaksanaan-Nya.

Ayat 91

Ayat ini menolak dakwaan kaum musyrik bahwa para malaikat itu adalah putri-putri Allah dengan menerangkan bahwa Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, karena Dia Mahakaya, Mahakuasa dan Mahakekal, tidak memerlukan keturunan seperti halnya manusia.

Manusia memang banyak memerlukan anak yang akan melanjutkan keturunannya, dan bila dia sudah tua dan tidak berdaya lagi maka anak-anaknya itulah yang akan membantu dan menolongnya.

Dan bila dia mati maka anak-anaknya pulalah yang akan melanjutkan usaha dan profesinya dan mengangkat namanya di kalangan masyarakatnya. Allah Yang Mahakuasa, Mahakaya dan Mahakekal tidak memerlukan semua itu.

Allah tidak ditimpa kelelahan karena Dia Mahakuat, tidak akan ditimpa kematian karena Dia Mahakekal, Dia tidak akan ditimpa kemiskinan karena Dia Mahakaya, milik-Nyalah semua yang ada di langit dan di bumi.


Baca Juga: Tafsir Surah Al-Anbiya 90: Etika Berdoa dan Bacaan Doa Akhir dan Awal Tahun Beserta Terjemahannya


Alangkah bodohnya kaum musyrikin yang menyamakan Allah dengan manusia yang amat lemah dan miskin, atau kalau mereka tidak bodoh maka mereka adalah pendusta besar karena yang diucapkannya itu bertentangan sama sekali dengan pikiran orang-orang berakal.

Sungguh amat lemah pikiran orang yang mengatakan bahwa Allah mempunyai anak atau mempunyai sekutu. Mahasuci Allah dari segala anggapan dan tuduhan yang tidak masuk akal itu.

Ayat 92

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah Yang Mahatahu segala yang gaib yang tidak dapat dilihat dan dirasakan dengan panca indera, Maha Mengetahui segala yang tampak dan nyata dan dapat dilihat dan dirasakan.

Apapun yang terjadi di alam ini baik alam langit ataupun alam bumi semuanya terjadi dengan sepengetahuan-Nya, tak ada yang besar maupun yang kecil kecuali ada dalam ilmu-Nya yang Mahaluas, seperti tersebut dalam firman-Nya:

وَمَا تَكُوْنُ فِيْ شَأْنٍ وَّمَا تَتْلُوْا مِنْهُ مِنْ قُرْاٰنٍ وَّلَا تَعْمَلُوْنَ مِنْ عَمَلٍ اِلَّا كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُوْدًا اِذْ تُفِيْضُوْنَ فِيْهِۗ وَمَا يَعْزُبُ عَنْ رَّبِّكَ مِنْ مِّثْقَالِ ذَرَّةٍ فِى الْاَرْضِ وَلَا فِى السَّمَاۤءِ وَلَآ اَصْغَرَ مِنْ ذٰلِكَ وَلَآ اَكْبَرَ اِلَّا فِيْ كِتٰبٍ مُّبِيْنٍ

Dan tidakkah engkau (Muhammad) berada dalam suatu urusan, dan tidak membaca suatu ayat Al-Qur’an serta tidak pula kamu melakukan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu ketika kamu melakukannya. Tidak lengah sedikit pun dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah baik di bumi ataupun di langit. Tidak ada sesuatu yang lebih kecil dan yang lebih besar dari itu, melainkan semua tercatat dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuz). (Yunus/10: 61)

Demikianlah luas dan mencakupnya ilmu Allah. Mahasuci Allah dari segala tuduhan orang kafir yang mengatakan bahwa Dia mempunyai anak dan sekutu.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Mu’minun 93-96