Beranda blog Halaman 225

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 84-89

0
Tafsir Surah Al Mu'minun
Tafsir Surah Al Mu'minun

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 84-89 menyindir kesesatan orang kafir Mekah yang sejatinya mengakui ketauhidan Allah Swt, namun karena keangkuhan, dan terlena oleh nafsu, mereka menolak mengatakan kalau Allah Maha Esa. Berikut akan diterangkan bagaimana Allah menyuruh Nabi Muhammad bertanya kepada kafir Mekah tentang beberapa aspek, untuk melihat bagaimana jawaban mereka yang terlampau sesat.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 81-83


Ayat 84-85

Pada ayat ini Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw supaya menanyakan kepada orang-orang kafir yang mengatakan bahwa tidak mungkin Allah kuasa menghidupkan kembali orang yang telah mati sedang tulang belulangnya telah remuk menjadi tanah dan tak mungkin Dia mengumpulkan mereka di padang Mahsyar nanti. Siapakah yang memiliki bumi dan segala yang ada padanya?

Orang-orang kafir diminta untuk menjawab pertanyaan ini. Pada dasarnya mereka akan menjawab bahwa pemiliknya dan yang berkuasa atasnya ialah Allah, karena demikianlah kepercayaan nenek moyang mereka.

Hanya mereka telah jauh menyimpang dari agama tauhid yang murni dan akidah mereka telah dikotori kepercayaan yang tidak benar dan menyesatkan. Oleh sebab itu, Allah mengemukakan pertanyaan ini kepada mereka seakan-akan mereka tidak mengetahuinya sama sekali atau telah melupakannya.

Ayat 86-87

Kemudian Allah memerintahkan pula agar Nabi Muhammad saw menanyakan kembali kepada mereka, bahwa siapakah yang mencipta-kan langit yang tujuh dan yang menciptakan `arsy yang besarnya meliputi langit dan bumi sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَۚ

“Kursi-Nya meliputi langit dan bumi.” (al-Baqarah/2: 255)

Siapakah yang mengatur dan mengurusnya sehingga segalanya berjalan menurut aturan yang demikian teliti dan baik. Allah menetapkan langsung jawaban atas pertanyaan ini karena pastilah jawaban orang-orang kafir ini sama yaitu pencipta itu semua adalah Allah Yang memiliki dan menguasainya.

Tidak akan ada jawaban mereka selain itu karena itulah pada dasarnya kepercayaan mereka. Hanya saja mereka di samping mengakui kekuasaan Allah mereka menyembah pula sembahan-sembahan seperti berhala dan sebagainya.

Kemudian Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad agar mengatakan kepada mereka, “Kalau benar Allah yang menciptakan langit yang tujuh dan menciptakan ‘arsy yang mahabesar, dan Allah-lah yang mengatur dan mengurusnya, mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya dan tidak mau mengikuti ajaran dan perintah-Nya?

Kenapa kamu tetap saja menyembah berhala, sedang penyembahan selain Allah itu sangat dimurkai oleh-Nya?”


Baca Juga: Rahasia Makna Adanya Perintah Allah dalam Al-Qur’an


Ayat 88

Lalu Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad menanyakan pula kepada mereka, siapakah yang menguasai segala sesuatu dan mengaturnya. Yang di tangan-Nya terletak kekuasaan mutlak.

Bila Allah melindungi seseorang, tak ada satu kekuasaan pun yang dapat menimpakan malapetaka atasnya atau membinasakannya. Sebaliknya bila Dia hendak menimpakan bahaya kepada seseorang tak ada pula satu kekuatan pun yang dapat melindungi orang itu.

Siapakah yang mempunyai sifat demikian Yang Mahakuasa lagi Maha Perkasa? Rasul meminta orang-orang kafir itu menjawab pertanyaan-pertanyaan ini jika mereka benar-benar mengetahui.

Ayat 89

Mereka pasti akan menjawab bahwa yang demikian itu sifatnya adalah Allah semata. Oleh sebab itu, Allah memastikan bahwa mereka akan menjawab seperti itu dan memerintahkan kepada Nabi untuk menanyakan kembali kepada mereka.

Kalau mereka mengetahui bahwa Allah Yang Mahakuasa dan Mahaperkasa, mengapa mereka sampai tertipu dan berpaling dari agama tauhid dan selalu menentang Allah dan durhaka kepada-Nya?

Dengan menyembah berhala atau lainnya seakan-akan mereka telah kena sihir dan pikiran mereka tak dapat mempercayai lagi sehingga akidah mereka menjadi kacau balau, mencampur aduk yang benar dengan yang salah, sehingga mereka mempersekutukan Allah dengan lain-Nya. Padahal Allah tidak akan membenarkan tindakan mereka itu bahkan sangat murka.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Mu’minun 90-92


Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 81-83

0
Tafsir Surah Al Mu'minun
Tafsir Surah Al Mu'minun

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 81-83 menerangkan sikap orang kafir Mekah yang mirip dengan kaum terdahulu, mereka ingkar atas seruan Nabi Muhammad dan menolak pernyataannya tentang hari Kiamat. Orang kafir Mekah sampai mengatakan bahwa Muhammad Saw. telah gila karena dustanya, meski mereka sadar bahwa Muhammad adalah manusia paling amanah dan jujur di seantero Mekah.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 79-80


Ayat 81

Pada ayat ini Allah menerangkan keingkaran orang-orang kafir Mekah itu sehingga mereka mengulang kembali apa yang diucapkan oleh orang-orang kafir dahulu seakan-akan mata mereka telah buta, telinga mereka telah tuli dan hati mereka telah terkunci mati untuk memperhatikan dan memikirkan dalil-dalil yang dikemukakan oleh Nabi Muhammad saw, yang tidak dapat mereka bantah lagi.

Mereka mengatakan bahwa hari kebangkitan itu hanyalah omong kosong belaka yang selalu diada-adakan oleh Nabi Muhammad dan para rasul sebelumnya.

Semenjak dahulu kala telah ada nabi-nabi dan rasul-rasul yang mengucapkan kata-kata seperti yang diucapkan Muhammad, tetapi nyatanya sampai sekarang telah berlalu masa yang demikian panjang hari Kiamat dan hari kebangkitan itu belum juga datang.

Allah menggambarkan ucapan nenek moyang mereka tentang hari kebangkitan dengan firman-Nya:

لَقَدْ وُعِدْنَا نَحْنُ وَاٰبَاۤؤُنَا هٰذَا مِنْ قَبْلُ اِنْ هٰذَآ اِلَّآ اَسَاطِيْرُ الْاَوَّلِيْنَ

Sungguh, yang demikian ini sudah dijanjikan kepada kami dan kepada nenek moyang kami dahulu, ini hanyalah dongeng orang-orang terdahulu!” (al-Mu’minun/23: 83


Baca Juga: Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 16-18: Ragam Ancaman Allah serta Ibrah dari Umat Terdahulu


Ayat 82

Dalam ayat ini Allah menjelaskan bagaimana mereka mengulang-ulang ucapan nenek moyang mereka dahulu. Jika mereka sudah mati dan tulang belulang hancur luluh menjadi tanah, apakah mereka akan dibangkitkan kembali?

Menurut mereka, ini adalah suatu hal yang mustahil dan tak mungkin terjadi, karena sampai sekarang belum ada seorang pun nenek moyang mereka yang telah mati dan menjadi tanah itu dapat hidup kembali. Ucapan mereka ini sangat keliru.

Ayat 83

Ayat ini menjelaskan bagaimana orang-orang kafir itu menghina dan memperolok-olokkan Muhammad dengan mengatakan bahwa mereka sudah diberi janji yang tidak ada kebenarannya sama sekali sebagaimana kepada nenek moyang mereka yang telah dijanjikan seperti janji-janji Muhammad ini, tetapi tak ada satu pun janji-janji  para rasul yang terdahulu itu yang telah terbukti.

Bagaimana mereka akan percaya dan menerima saja ucapan-ucapan Muhammad yang telah gila itu yang tak ada buktinya sama sekali dan mungkin ucapan-ucapannya itu hanya dongengan orang dahulu kala. Pada ayat-ayat lain terdapat penjelasan mengenai ucapan-ucapan mereka beserta bantahan dan penolakan terhadap ucapan-ucapan itu seperti firman Allah:

يَقُوْلُوْنَ ءَاِنَّا لَمَرْدُوْدُوْنَ فِى الْحَافِرَةِۗ  ١٠  ءَاِذَا كُنَّا عِظَامًا نَّخِرَةً ۗ  ١١  قَالُوْا تِلْكَ اِذًا كَرَّةٌ خَاسِرَةٌ  ۘ  ١٢  فَاِنَّمَا هِيَ زَجْرَةٌ وَّاحِدَةٌۙ  ١٣  فَاِذَا هُمْ بِالسَّاهِرَةِۗ  ١٤

(Orang-orang kafir) berkata, ”Apakah kita benar-benar akan dikembalikan kepada kehidupan yang semula?  Apakah (akan dibangkitkan juga) apabila kita telah menjadi tulang belulang yang hancur?” Mereka berkata, ”Kalau demikian, itu adalah suatu pengembalian yang merugikan.” Maka pengembalian itu hanyalah dengan sekali tiupan saja. Maka seketika itu mereka hidup kembali di bumi (yang baru). (an-Nāzi’āt/79: 10-14).

Dan firman-Nya:

وَضَرَبَ لَنَا مَثَلًا وَّنَسِيَ خَلْقَهٗۗ قَالَ مَنْ يُّحْيِ الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيْمٌ   ٧٨  قُلْ يُحْيِيْهَا الَّذِيْٓ اَنْشَاَهَآ اَوَّلَ مَرَّةٍ ۗوَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيْمٌ ۙ  ٧٩

Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami dan melupakan asal kejadiannya; dia berkata, ”Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang, yang telah hancur luluh?” Katakanlah (Muhammad), ”Yang akan menghidupkannya ialah (Allah) yang menciptakannya pertama kali. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk. (Yās³n/36: 78-79);Dan firman-Nya:

اَيَعِدُكُمْ اَنَّكُمْ اِذَا مِتُّمْ وَكُنْتُمْ تُرَابًا وَّعِظَامًا اَنَّكُمْ مُّخْرَجُوْنَ ۖ   ٣٥  ۞ هَيْهَاتَ هَيْهَاتَ لِمَا تُوْعَدُوْنَ ۖ   ٣٦  اِنْ هِيَ اِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوْتُ وَنَحْيَا وَمَا نَحْنُ بِمَبْعُوْثِيْنَ ۖ   ٣٧  اِنْ هُوَ اِلَّا رَجُلُ ِۨافْتَرٰى عَلَى اللّٰهِ كَذِبًا وَّمَا نَحْنُ لَهٗ بِمُؤْمِنِيْنَ  ٣٨

Adakah dia menjanjikan kepada kamu, bahwa apabila kamu telah mati dan menjadi tanah dan tulang belulang, sesungguhnya kamu akan dikeluarkan (dari kuburmu)? Jauh! Jauh sekali (dari kebenaran) apa yang diancamkan kepada kamu, (kehidupan itu) tidak lain hanyalah kehidupan kita di dunia ini, (di sanalah) kita mati dan hidup dan tidak akan dibangkitkan (lagi), Dia tidak lain hanyalah seorang laki-laki yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah, dan kita tidak akan mempercayainya. (al-Mu`minun/23: 35-38)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Mu’minun 84-87


Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 79-80

0
Tafsir Surah Al Mu'minun
Tafsir Surah Al Mu'minun

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 79-80 mengajak manusia untuk merenung dan mensyukuri atas segala nikmat yang sudah Allah curahkan. Dia telah menganugerahi penglihatan, pendengaran, dan hati, supaya manusia dapat menyikapi kehidupan lebih baik. Selagi Allah masih memberikan waktu di dunia, maka manusia diajak untuk mencari bekal sebanyak-banyaknya untuk kembali kepada-Nya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 76-78


Ayat 79

Di antara karunia Allah kepada manusia ialah menciptakan manusia dengan sempurna, dibekali dengan pendengaran, penglihatan dan mata hati dan potensi lainnya sehingga dia dapat memanfaatkan semua yang diciptakan Allah di bumi dan di langit yang memang diciptakan oleh Allah untuk manusia sebagai tersebut dalam firman-Nya:

هُوَ الَّذِيْ خَلَقَ لَكُمْ مَّا فِى الْاَرْضِ جَمِيْعًا

Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untukmu. (al- Baqarah/2: 29)

Dan firman-Nya:

اَلَمْ تَرَوْا اَنَّ اللّٰهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَّا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِ وَاَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهٗ ظَاهِرَةً وَّبَاطِنَةً ۗ

Tidakkah kamu memperhatikan bahwa Allah telah menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untuk (kepentingan)mu dan menyempurnakan nikmat-Nya untukmu lahir dan batin. (Luqmān/31: 20)

Dia menciptakan manusia lengkap dengan indera, potensi dan kecenderungan serta hati nurani agar dia benar-benar bisa menjadi khalifah di bumi. Tak ada makhluk di bumi ini yang lebih sempurna penciptaannya daripada manusia seperti tersebut dalam firman-Nya:

لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْٓ اَحْسَنِ تَقْوِيْمٍۖ

Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, (at-T³n/95: 4).

Dengan keistimewaan itu manusia harus bersyukur kepada Penciptanya dengan memanfaatkan karunianya itu dengan sebaik-baiknya, beramal dan bekerja untuk kemaslahatan dunia dan akhiratnya. Karena nanti Allah akan mengumpulkan manusia seluruhnya di padang Mahsyar untuk menerima perhitungan amal perbuatannya selama hidup di dunia.


Baca Juga: Surah Ar-Ra’d Ayat 26: Rezeki adalah karunia Allah swt yang Harus Diusahakan


Ayat 80

Di antara karunia Allah ialah menghidupkan dan mematikan, manusia tidak akan dapat menikmati kehidupan dunia kalau Allah tidak mengaruniakan roh kepadanya.

Dengan adanya roh di dalam jasadnya barulah manusia dapat berusaha, berikhtiar dan berpikir untuk mencapai apa yang diinginkan dan dicita-citakannya. Tidak ada yang mengetahui rahasia hidup mati ini kecuali Allah.

Telah berabad-abad bahkan beribu tahun manusia berusaha untuk mengetahui rahasia roh ini agar dia dapat hidup selamanya, tetapi sampai sekarang tidak ada seorang ilmuwan pun yang sanggup mengungkap rahasia itu.

Karena soal roh itu adalah rahasia yang gaib yang tidak diketahui kecuali oleh Allah sebagai tersebut dalam firman-Nya:

وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الرُّوْحِۗ قُلِ الرُّوْحُ مِنْ اَمْرِ رَبِّيْ وَمَآ اُوْتِيْتُمْ مِّنَ الْعِلْمِ اِلَّا قَلِيْلًا

Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang roh. Katakanlah, ”Roh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit.” (al-Isrā`/17: 85)

Selanjutnya Dialah yang menjadikan pergantian antara malam dan siang. Malam dijadikan waktu untuk istirahat dan siang dijadikan waktu untuk berusaha dan bekerja.

Dapat dibayangkan bagaimana jadinya dunia ini kalau yang ada hanya siang saja, demikian pula sebaliknya. Mungkin dunia ini dan segala makhluk yang ada di atasnya akan mati terbakar karena selalu ditimpa terik matahari yang amat panas atau mungkin dunia ini akan mati dengan segala isinya kalau yang ada hanya malam saja sepanjang waktu, karena tidak ada matahari yang menjadi sumber energi dan menjadi sebab hidupnya makhluk di dunia ini.

Allah menegur sikap dan tindakan manusia yang tidak mau mengingat betapa besar karunia-Nya kepada mereka. Mengapa mereka tidak memikirkan dan memperhatikannya, agar mereka bersyukur dan berterima kasih kepada-Nya atas segala nikmat dan karunia-Nya itu?

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Mu’minun 81-83


Mengenal Profil Lembaga Pentashihan Mushaf Al-Quran Kementerian Agama

0
Lembaga Pentashihan Mushaf Al-Quran
Lembaga Pentashihan Mushaf Al-Quran

Di setiap mushaf Al-Quran yang kita baca, baik yang cetakan lama sebelum komputerisasi maupun cetakan baru dengan macam variasi dan warna, selalu ada satu halaman khusus beraksara jawi (melayu) dengan judul besar “tanda tashih”. Biasanya lembaran itu berisi nomor, kode, keterangan penerbit, ukuran mushaf, dan berisi tanda tangan. Itulah halaman yang dikeluarkan oleh Lembaga Pentashihan Mushaf Al-Quran (LPMQ). Artikel ini akan sedikit mengulas tentang LPMQ, sejarah pendirian, tugasnya, dan transformasinya.

Berdirinya Lembaga Pentashihan Mushaf Al-Quran diawali dengan masuknya modernisasi percetakan di awal abad ke-20. Pada saat itu, produksi mushaf al-Quran turut terpengaruh sehingga ikut diproduksi secara massal oleh berbagai penerbit. Masing-masing penerbit pada waktu itu melakukan pentashihan sendiri-sendiri, seperti penerbit Al-Qur’an Matba’ah al-Islamiyah Bukittinggi 1933 M di tashih oleh as-Syaikh Sulaiman ar-Rasuli dan al-Hajj Abdul Malik, penerbit Abdullah bin Afif Cirebon 1352 H/1933 M ditashih oleh al-Hajj Muhammad Usman dan al-Hajj Ahmad al-Badawi, dan lain-lain.

Sebagai wujud perhatian pemerintah untuk menjamin kesucian teks Al-Qur’an dari berbagai kesalahan dan kekurangan dalam penulisan Al-Qur’an, pada tahun 1957 dibentuk suatu lembaga kepanitiaan yang bertugas mentashih (memeriksa/mengoreksi) setiap mushaf Al-Qur’an yang akan dicetak dan diedarkan kepada masyarakat Indonesia. Lembaga tersebut diberi nama Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an. Keberadaan lembaga ini tidak muncul dalam struktur tersendiri, dan hanya merupakan semacam panitia adhoc. Lembaga tersebut menjadi bagian dari Puslitbang Lektur Keagamaan dan dalam PMA no. 3 tahun 2006 tentang organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama.

Tugas-tugas Lajnah semakin berkembang sejalan dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan. Pada tahun 1982 keluar Peraturan Menteri Agama Nomor 1 tahun 1982, yang isinya antara lain menyebut tugas-tugas Lajnah Pentashih, yaitu (1) meneliti dan menjaga mushaf Al-Qur’an, rekaman bacaan Al-Qur’an, terjemah dan tafsir Al-Qur’an secara preventif dan represif; (2) mempelajari dan meneliti kebenaran mushaf Al-Qur’an, Al-Qur’an untuk tunanetra (Al-Qur’an Braille), bacaan Al-Qur’an dalam kaset, piringan hitam dan penemuan elektronik lainnya yang beredar di Indonesia; dan (3) Menyetop peredaran Mushaf Al-Qur’an yang belum ditashih oleh Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an.

Sepanjang perjalanan Lajnah sejak pertama kali didirikan pada tahun 1957 telah mengalami beberapa pergantian kepemimpinan. Sebutan untuk pemimpin Lajnah hingga akhir tahun 2006 adalah Ketua Lajnah yang secara ex officio dijabat oleh Kepala Puslitbang Lektur Keagamaan. Sejak awal tahun 2007 sejalan dengan ditetapkannya Lembaga Pentashihan Mushaf Al-Quran sebagai satuan kerja (satker) tersendiri, sebutan Ketua Lajnah berubah menjadi Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an.

Tugas-tugas Lajnah hingga tahun 2007 masih sebatas mentashih Al-Qur’an dengan segala macam produknya. Namun belakangan ini tugas-tugas Lajnah menjadi semakin luas. Sehubungan dengan itu, sebagai tindak lanjut pelaksanaan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama dan untuk meningkatkan dayaguna dan hasil-guna pelaksanaan tugas dibidang pentashihan dan pengkajian Al-Qur’an, keluarlah Peraturan Menteri Agama RI Nomor 3 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an.

Di dalam Peraturan Menteri Agama RI Nomor 3 Tahun 2007 Bab I pasal 1, Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an adalah Unit Pelaksana Teknis Badan Penelitian dan Pengembangan serta Pendidikan dan Pelatihan, berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI.

Sejak keluarnya PMA tersebut, Organisasi dan Tata Kerja Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an turut berubah sesuai dengan tugas dan fungsi Lajnah dalam diktum tersebut, sehingga organisasi ini mencakup 3 bidang, yaitu (1) Bidang Pentashihan, (2) Bidang Pengkajian Al-Qur’an, dan (3) Bidang Bayt Al-Qur’an dan Dokumentasi. Khusus pengelolaan Bayt Al-Qur’an dan Museum Istiqlal telah diterbitkan pula Keputusan Menteri Agama No. 45 Tahun 2007 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Agama Nomor E/50 Tahun 2002 tentang Susunan Personalia Pengelolaan Bayt Al-Qur’an dan Museum Istiqlal Taman Mini Indonesia Indah. Sejak keluarnya PMA No. 3 Tahun 2007 inilah tugas pengelolaan Bayt Al-Qur’an dan Museum Al-Qur’an di bawah Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an. Wallahu A’lam.

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 76-78

0
Tafsir Surah Al Mu'minun
Tafsir Surah Al Mu'minun

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 76-78 menjelaskan bukti kecil dari azab Allah, yaitu kekalahan kaum kafir pada saat Perang Badar. Namun, mereka telah jauh tersesat sehingga tidak mau mengambil pelajaran dari peristiwa yang dialami. Seandainya mereka mau merenungi apa yang sudah disaksikan dengan hati jernih, maka Allah akan menuntun mereka pada hidayah-Nya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 72-75


Ayat 76

Allah telah menimpakan azab kepada mereka pada Perang Badar sehingga banyak pemimpin dan pembesar mereka yang mati terbunuh tetapi mereka tak pernah tunduk kepada Allah dan tak pernah patuh mengikuti ajaran dan perintah-Nya.

Mereka tidak pernah mau berendah hati kepada-Nya, bahkan tetap sombong dan takabur dan tidak pernah berhenti melakukan kezaliman dan perbuatan dosa.

Mereka bertambah sesat dan bertambah giat memerangi agama Allah sehingga mereka menyiapkan tentara dan alat-alat perang yang lebih banyak dan lebih besar lagi untuk memerangi Rasulullah. Allah berfirman:

فَلَوْلَآ اِذْ جَاۤءَهُمْ بَأْسُنَا تَضَرَّعُوْا وَلٰكِنْ قَسَتْ قُلُوْبُهُمْ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطٰنُ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

Tetapi mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan kerendahan hati ketika siksaan Kami datang menimpa mereka? Bahkan hati mereka telah menjadi keras dan setan pun menjadikan terasa indah bagi mereka apa yang selalu mereka kerjakan. (al-An’am/6:43)

Ayat 77

Sebenarnya mereka yang telah jauh tersesat dari jalan yang benar itu tidak akan sadar dan insaf kecuali bila datang hari Kiamat, dan dibukakan untuk mereka pintu siksaan yang berat.

Pada waktu itulah baru mereka menyesal dan mengharapkan ampunan dari Allah, tetapi saat itu bukanlah saat untuk bertobat.

Penyesalan mereka tak ada gunanya lagi dan tobat mereka pun tidak akan diterima. Mereka pasti dijerumuskan ke dalam neraka sebagai balasan atas keingkaran dan kedurhakaan mereka di dunia sebagaimana tersebut dalam firman Allah:

ذٰلِكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَفْرَحُوْنَ فِى الْاَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَبِمَا كُنْتُمْ تَمْرَحُوْنَ  ٧٥  اُدْخُلُوْٓا اَبْوَابَ جَهَنَّمَ خٰلِدِيْنَ فِيْهَا ۚفَبِئْسَ مَثْوَى الْمُتَكَبِّرِيْنَ  ٧٦

Yang demikian itu disebabkan karena kamu bersuka ria di bumi (tanpa) mengindahkan kebenaran dan karena kamu selalu bersuka ria (dalam kemaksiatan). (Dikatakan kepada mereka), ”Masuklah kamu ke pintu-pintu neraka Jahanam, dan kamu kekal di dalamnya. Maka itulah seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang sombong.” (al-Mu`min/40: 75-76)

Ayat 78

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah telah mengaruniakan kepada manusia pendengaran, pengelihatan dan hati nurani. Sekiranya manusia mau memperhatikan dan memikirkan karunia Allah tersebut, niscaya dia akan mengakui betapa besarnya nikmat Allah yang amat ajaib itu, betapa teliti dan halusnya ciptaan-Nya.

Telinga yang tampak amat sederhana bentuknya dapat menangkap berbagai macam suara yang berbeda-beda. Suara binatang, burung-burung, suara yang terjadi pada alam sekitar seperti suara angin yang menderu, suara petir yang mengguntur dan beraneka ragam suara yang ditimbulkan oleh peradaban manusia seperti suara kendaraan dan mesin-mesin, suara musik yang mengalun, dan suara yang merdu.


Baca Juga: Memuliakan Perempuan, Memuliakan Peradaban: Intisari Doa Asiyah Binti Muzahim


Telinga dapat membedakan suara itu satu per satu sehingga manusia dapat menentukan sikap terhadap apa yang didengarnya. Mata dapat menangkap cahaya dan bentuk sesuatu, dapat membedakan berbagai macam warna, dapat melihat keindahan alam, dapat menyelidiki mana yang bermanfaat dan mana yang berbahaya.

Kemudian hati yang dapat merasakan dan menghayati berbagai macam perasaan, meneliti setiap kejadian, dan mengambil kesimpulan darinya untuk menentukan sikap terhadapnya.

Kalau manusia benar-benar mempergunakan ketiga nikmat itu sebaik-baiknya tentulah dia akan mendapat manfaat yang banyak sekali dan akhirnya mereka sampai kepada kesimpulan bahwa pemberi nikmat dan karunia itu adalah Mahaluas ilmu-Nya.

Mahakuasa atas segala sesuatu, Dia patut dipuji dan disyukuri atas segala anugerah-Nya itu. Tetapi ternyata sedikit sekali manusia yang sampai kepada derajat itu. Seperti yang difirmankan Allah:

وَلَقَدْ مَكَّنّٰهُمْ فِيْمَآ اِنْ مَّكَّنّٰكُمْ فِيْهِ وَجَعَلْنَا لَهُمْ سَمْعًا وَّاَبْصَارًا وَّاَفْـِٕدَةًۖ فَمَآ اَغْنٰى عَنْهُمْ سَمْعُهُمْ وَلَآ اَبْصَارُهُمْ وَلَآ اَفْـِٕدَتُهُمْ مِّنْ شَيْءٍ اِذْ كَانُوْا يَجْحَدُوْنَ بِاٰيٰتِ اللّٰهِ وَحَاقَ بِهِمْ مَّا كَانُوْا بِهٖ يَسْتَهْزِءُوْنَ

Dan sungguh, Kami telah meneguhkan kedudukan mereka (dengan kemakmuran dan kekuatan) yang belum pernah Kami berikan kepada kamu dan Kami telah memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan dan hati; tetapi pendengaran, penglihatan dan hati mereka itu tidak berguna sedikit pun bagi mereka, karena mereka (selalu) mengingkari ayat-ayat Allah dan (ancaman) azab yang dahulu mereka perolok-olokkan telah mengepung mereka.  (al-Ahqāf/46: 26).

Allah menjelaskan kepada Nabi Muhammad sikap kebanyakan manusia yang tidak mau bersyukur kepada-Nya, seperti tersebut dalam firman-Nya:

وَمَآ اَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِيْنَ

Dan kebanyakan manusia tidak akan beriman walaupun engkau sangat menginginkannya. (Yusuf/12:103)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Mu’minun 79-80


Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 72-75

0
Tafsir Surah Al Mu'minun
Tafsir Surah Al Mu'minun

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 72-75 menegaskan kepada Nabi Muhammad Saw. bahwa orang-orang musyrik itu tidak akan pernah berubah, bahkan jika Allah menurunkan rahmat-Nya, mereka akan tetap memalingkan diri dari kebenaran. Namun demikian, dakwah tetaplah menjadi kewajiban dan tugas bagi setiap Rasul atas kaumnya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 70-71


Ayat 72

Pada ayat ini Allah mempertanyakan mengapa mereka tidak mau menerima ajaran-ajaran Al-Qur’an padahal Nabi Muhammad tidak pernah meminta kepada mereka imbalan jasa atas penyampaian ajaran Al-Qur’an.

Nabi Muhammad menyadari bahwa penyampaian risalah itu adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebaik-baiknya atas perintah Tuhannya.

Kalau ada sesuatu yang diharapkannya maka harapan itu tiada lain hanyalah keridaan Allah yang dengan keridaan-Nya ia akan berbahagia dan dengan keridaan Allah itu ia akan mendapat balasan karunia yang tidak akan putus-putusnya sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

قُلْ مَا سَاَلْتُكُمْ مِّنْ اَجْرٍ فَهُوَ لَكُمْۗ اِنْ اَجْرِيَ اِلَّا عَلَى اللّٰهِ ۚوَهُوَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ

Katakanlah (Muhammad), ”Imbalan apa pun yang aku minta kepadamu, maka itu untuk kamu. Imbalanku hanyalah dari Allah, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”  (Saba`/34: 47)

Ayat 73

Kemudian pada ayat ini Allah meyakinkan Nabi Muhammad saw bahwa dia benar-benar seorang rasul yang menyeru kaumnya kepada jalan yang lurus yang membawa mereka kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Allah menghimbau Muhammad agar tidak terpengaruh dengan kata-kata orang-orang kafir itu yang menghina dan mencemoohkannya.

Semua ucapan-ucapan mereka itu adalah bohong belaka yang keluar dari mulut mereka karena dengki dan sakit hati.

Ayat 74

Allah menegaskan dalam ayat ini bahwa orang-orang yang tidak mau beriman itu dan tidak percaya kepada hari akhirat, benar-benar telah menyimpang dari jalan yang benar.

Kepada mereka telah diberikan berbagai alasan dan perumpamaan yang jelas. Seandainya mereka mau mendengarkan dan memikirkannya tentulah mereka akan sadar dan kembali kepada kebenaran.

Tetapi hati dan pikiran mereka telah ditutupi oleh kesombongan, kedurhakaan dan perbuatan dosa yang selalu mereka lakukan. Mereka tidak berhak sama sekali atas rahmat dan kasih sayang Allah karena semua perbuatan baik tidak ada gunanya sama sekali buat orang-orang yang bersifat demikian.


Baca Juga: Tafsir Surat al-Mulk Ayat 15: Berkelanalah! Hingga Sadar Kefanaan Dunia dan Kekekalan Allah


Ayat 75

Ayat ini mengatakan bahwa walaupun Allah memberi rahmat kepada mereka dan menyingkirkan bahaya yang mengancam, mereka tetap tidak akan mensyukuri rahmat itu, bahkan mereka akan bertambah durhaka dan tetap akan melakukan maksiat dan kezaliman.

Tidak ada satu kebaikan pun yang dapat diharapkan dari mereka. Bahkan, sebagaimana dijelaskan Al-Qur’an, di akhirat nanti setelah melihat dahsyatnya siksaan yang akan ditimpakan kepada diri mereka, kemudian permintaan mereka untuk dikembalikan ke dunia dikabulkan guna memperbaiki kesalahan mereka, namun mereka akan tetap juga melakukan maksiat dan akan tetap juga menjadi orang-orang yang ingkar dan durhaka. Allah berfirman pada ayat lain:

وَلَوْ تَرٰٓى اِذْ وُقِفُوْا عَلَى النَّارِ فَقَالُوْا يٰلَيْتَنَا نُرَدُّ وَلَا نُكَذِّبَ بِاٰيٰتِ رَبِّنَا وَنَكُوْنَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ   ٢٧  بَلْ بَدَا لَهُمْ مَّا كَانُوْا يُخْفُوْنَ مِنْ قَبْلُ ۗوَلَوْ رُدُّوْا لَعَادُوْا لِمَا نُهُوْا عَنْهُ وَاِنَّهُمْ لَكٰذِبُوْنَ   ٢٨

Dan seandainya engkau (Muhammad) melihat ketika mereka dihadapkan ke neraka, mereka berkata, ”Seandainya kami dikembalikan (ke dunia) tentu kami tidak akan mendustakan ayat-ayat Tuhan kami, serta menjadi orang-orang yang beriman.” Tetapi (sebenarnya) bagi mereka telah nyata kejahatan yang mereka sembunyikan dahulu. Seandainya mereka dikembalikan ke dunia, tentu mereka akan mengulang kembali apa yang telah dilarang mengerjakannya. Mereka itu sungguh pendusta. (al-An’ām/6: 27-28)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Mu’minun 76-77


Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 70-71

0
Tafsir Surah Al Mu'minun
Tafsir Surah Al Mu'minun

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 70-71 menyindir sikap orang kafir yang semena-mena kepada Nabi Muhammad sebagai utusan dalam menyampaikan kebenaran. Padahal mereka memahami karakter Muhammad, selain karena akhlak yang mulia, dia adalah putra asli suku Quraish yang memiliki sanad yang baik. Namun, mereka menutup hati dari kebenaran, dan mengejek-ejek al-Qur’an, meski sadar akan ketinggian dan keindahan bahasanya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 65-69


Ayat 70

Penjelasan selanjutnya mengatakan bahwa mereka menganggap Muhammad saw sebagai orang gila yang tidak menyadari semua ucapannya.

Sebetulnya, mereka tahu benar bahwa Muhammad tidak gila, dan mengakui bahwa dia adalah seorang yang paling cerdas di antara mereka, seorang cendekiawan yang bijaksana.

Mereka sendiri pernah mengangkatnya sebagai hakim yang memutuskan perkara di antara mereka, ketika berselisih tentang siapa yang akan meletakkan hajar aswad di tempatnya semula setelah bangunan Ka’bah dirombak dan diperbaiki.

Pada ayat ini Allah menegaskan bahwa Muhammad adalah pembawa kebenaran dari Tuhannya, bukan seperti yang mereka tuduhkan.

Dia mengajak mereka supaya meninggalkan berbagai sembahan dan berhala serta kembali kepada agama tauhid yang murni, agama nenek moyang mereka Nabi Ibrahim.

Dia adalah pembawa agama yang mempunyai syariat dan peraturan untuk kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat. Tetapi kebanyakan mereka benci kepada kebenaran yang dia serukan, karena hati mereka telah tertutup oleh syirik, dosa, dan kedurhakaan.

Oleh sebab itu, mereka berpaling dari jalan yang benar, selalu menempuh jalan yang sesat, dan tak dapat lagi memahami kebenaran, bahkan mereka membencinya.

Memang ada di antara mereka yang sadar dan insaf, mengakui dalam hatinya bahwa agama yang dibawa Muhammad itu adalah agama yang benar dan baik, tetapi karena takut dicemooh kaumnya yang kafir mereka tidak mau beriman seperti halnya paman Nabi sendiri yaitu Abu Talib.

Ia pernah mengatakan, “Kalau tidak karena takut akan dicerca oleh pemimpin-pemimpin kabilah kami, tentulah kami benar-benar telah menjadi pengikutnya dalam segala hal.”


Baca Juga: Bom Bunuh Diri Bukan Jihad! Inilah Makna Jihad Dalam Al-Qur’an


Ayat 71

Kemudian Allah menjelaskan bahwa kalau Al-Qur’an mengikuti kemauan orang-orang yang mendustakan Allah dan Rasul-Nya, yang menye-kutukan Allah dan mengatakan bahwa Dia mempunyai anak, serta membenarkan segala perbuatan dosa dan munkar, tentulah dunia ini akan rusak binasa sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

لَوْ كَانَ فِيْهِمَآ اٰلِهَةٌ اِلَّا اللّٰهُ لَفَسَدَتَاۚ فَسُبْحٰنَ اللّٰهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُوْنَ

Seandainya pada keduanya (di langit dan di bumi) ada tuhan-tuhan selain Allah, tentu keduanya telah binasa. Mahasuci Allah yang memiliki ‘Arsy, dari apa yang mereka sifatkan.(al-Anbiyā`/21: 22)

Kalau Al-Qur’an membolehkan perbuatan zalim, aniaya, dan mening-galkan keadilan tentu akan terjadi kekacauan dan keguncangan hebat dalam masyarakat.

Kalau Al-Qur’an membolehkan pelanggaran hak, perampasan harta sehingga si lemah menjadi santapan yang empuk bagi si kuat, tentulah dunia ini tidak akan aman dan tenteram selama-lamanya. Hal ini telah terbukti pada diri mereka sendiri.

Hampir saja masyarakat Arab pada masa Jahiliah rusak binasa, karena tidak mempunyai norma-norma akhlak yang mulia, tidak ada syariat dan peraturan yang mereka patuhi.

Mereka hanya membangga-banggakan kekayaan dan kekuatan sehingga untuk memperebutkannya mereka jatuh dalam jurang perselisihan dan peperangan yang tidak habis-habisnya.

Allah kembali menerangkan bahwa Dia telah mengaruniakan kepada mereka sesuatu yang seharusnya menjadi kebanggaan bagi mereka yaitu Al-Qur’an.

Mengapa mereka berpaling daripadanya, menolak, menganggap hina, dan memperolok-olokkannya. Kalau mereka sadar dan insaf tentulah mereka tidak akan berbuat seperti itu.

Padahal terbukti kemudian bahwa Al-Qur’an itu menjadikan mereka bangsa yang mulia dan mereka bangga karena Al-Qur’an turun pertama kali kepada mereka dan menggunakan bahasa mereka, sesuai dengan firman Allah:

وَاِنَّهٗ لَذِكْرٌ لَّكَ وَلِقَوْمِكَ ۚوَسَوْفَ تُسْـَٔلُوْنَ

Dan sungguh, Al-Qur’an itu benar-benar suatu peringatan bagimu  dan  bagi kaummu, dan kelak kamu akan diminta pertanggungjawaban.  (az-Zukhruf/43: 44)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Mu’minun 72-75


Tafsir Surah An-Nur Ayat 61

0
tafsir surah an-nur
Tafsir Surah An-Nur

Tafsir Surah An-Nur Ayat 61 berbicara mengenai etika bertamu. Selain itu juga dijelaskan mengenai aturan-aturan dalam kekerabatan.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah An-Nur Ayat 59-60


Ayat 61

Menurut kebiasaan orang Arab semenjak masa Jahiliah mereka tidak merasa keberatan apa-apa meskipun tanpa diundang di rumah kaum kerabat dan kadang-kadang mereka membawa serta famili yang cacat makan bersama-sama.

Pada ayat ini telah disusun urutan kaum kerabat itu dimulai dari yang paling dekat, kemudian yang dekat bahkan termasuk pula pemegang kuasa atau harta dan teman-teman akrab, karena tidak jarang seorang teman dibiarkan di rumah kita tanpa diundang atau meminta izin lebih dahulu. Urutan susunan kaum kerabat itu adalah sebagai berikut:

  1. Yang paling dekat kepada seseorang ialah anak dan istrinya, tetapi dalam ayat ini tidak ada disebutkan anak dan istri karena cukuplah dengan menyebut “di rumah kamu” karena biasa seorang tinggal bersama anak dan istrinya. Maka di rumah anak istri tidak perlu ada izin atau ajakan untuk makan lebih dahulu, baru boleh makan. Demikian pula kalau anak itu telah mendirikan rumah tangga sendiri maka bapaknya boleh saja datang ke rumah anaknya untuk makan tanpa undangan atau ajakan, karena rumah anak itu sebenarnya rumah bapaknya juga karena Nabi Muhammad saw pernah bersabda:

اَنْتَ وَمَالُكَ ِلاَبِيْكَ (رواه احمد واصحاب السنن)

“Engkau sendiri dan harta kekayaanmu adalah milik bapakmu.”    (Riwayat A¥mad dan A¡¥ābus-Sunan)

  1. Ayah. Anak tidaklah perlu meminta izin lebih dahulu kepada bapak untuk makan, karena memang sudah menjadi kewajiban bagi bapak untuk menafkahi anaknya. Bila anak sudah berkeluarga dan berpisah rumah dengan bapaknya tidak juga perlu meminta izin untuk makan meskipun tidak tinggal lagi di rumah bapaknya.
  2. Ibu. Kita sudah mengetahui bagaimana kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya. Walaupun anaknya sudah besar dan sudah beranak cucu sekalipun, namun kasih ibu tetap seperti sediakala. Benarlah pepatah yang mengatakan, “kasih anak sepanjang penggalah dan kasih ibu sepanjang jalan.” Tidaklah menjadi soal baginya bila anaknya makan di rumahnya tanpa ajakan, bahkan dia akan sangat bahagia melihat anaknya bertingkah laku seperti dahulu di kala masih belum dewasa.
  3. Saudara laki-laki. Hubungan antara seorang dengan saudaranya adalah hubungan darah yang tidak bisa diputuskan, meskipun terjadi perselisihan dan pertengkaran. Maka sebagai memupuk rasa persaudaraan di dalam hati masing-masing maka janganlah hendaknya hubungan itu dibatasi dengan formalitas etika dan protokol yang berlaku bagi orang lain. Alangkah akrabnya hubungan sesama saudara bila sewaktu-waktu seseorang datang ke rumah saudaranya dan makan bersama di sana.
  4. Saudara perempuan hal ini sama dengan makan di rumah saudara laki-laki.
  5. Saudara laki-laki ayah (paman).
  6. Saudara perempuan ayah (bibi).
  7. Saudara laki-laki dari ibu.
  8. Saudara perempuan dari ibu.
  9. Orang yang diberi kuasa memelihara harta benda seseorang.
  10. Teman akrab.

Demikianlah Allah menyatakan janganlah seseorang baik yang memiliki maupun tidak memiliki cacat tubuh merasa keberatan untuk makan di rumah kaum kerabatnya selama kaum kerabatnya itu benar-benar tidak merasa keberatan atas hal itu, karena hubungan kerabat harus dipupuk dan disuburkan.

Sedang hubungan dengan orang lain seperti dengan tetangga baik yang dekat maupun yang jauh harus dijaga sebaik-baiknya, apalagi hubungan dengan kaum kerabat.


Baca juga: Nabi Musa as yang Ringan Tangan dan Doa Ketika Lapar


Meskipun demikian seseorang janganlah berbuat semaunya terhadap kaum kerabatnya apalagi bila kaum kerabatnya itu sedang  kesulitan dalam rumah tangganya dan hidup serba kekurangan kemudian karena kita ada hubungan kerabat beramai-ramai makan di rumahnya.

Rasa tenggang menenggang dan rasa bantu membantu haruslah dibina sebaik-baiknya. Bila kita melihat salah seorang kerabat dalam kekurangan hendaklah kaum kerabatnya bergotong royong menolong dan membantunya. Lalu Allah menerangkan lagi tidak mengapa seorang makan bersama-sama atau sendiri-sendiri.

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ad-Dahhāq dan Qatādah bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Bani Lais bin Amr bin Kinanah, mereka merasa keberatan sekali makan sendiri-sendiri.

Pernah terjadi seseorang di antara mereka tidak makan sepanjang hari karena tidak ada tamu yang akan makan bersama dia. Selama belum ada orang yang akan menemaninya makan dia tidak mau makan.

Kadang-kadang ada pula di antara mereka yang sudah tersedia makanan di hadapannya tetapi dia tidak mau menyentuh makanan itu sampai sore hari. Ada pula di antara mereka yang tidak mau meminum susu untanya padahal untanya sedang banyak air susunya karena tidak ada tamu yang akan minum bersama dia. Barulah apabila hari sudah malam dan tidak juga ada tamu dia mau makan sendirian.

Hatim At-Ta’i seorang yang paling terkenal sangat pemurah mengucapkan satu bait syair kepada istrinya:

اِذَا صَنَعْتِ الزَّادَ فَالْتَمِسِى لَهُ #  اَكِيْلاً فَاِنِّى لَسْتُ اٰكِلَهُ وَحْدِي

Apabila engkau memasak makanan, maka carilah orang yang akan memakannya bersamaku, karena aku tidak akan memakan makanan itu sendirian.

Maka untuk menghilangkan kebiasaan yang mungkin tampaknya baik karena menunjukkan sifat pemurah pada seseorang, tetapi kadang-kadang tidak sesuai dengan keadaan semua orang, Allah menerangkan bahwa seseorang boleh makan bersama dan boleh makan sendirian.

Janganlah seseorang memberatkan dirinya dengan kebiasaan makan bersama tamu, lalu karena tidak ada tamu dia tidak mau makan. Kemudian Allah menyerukan kepada setiap orang mukmin agar apabila dia masuk ke rumah salah seorang dari kaum kerabatnya, hendaklah dia mengucapkan salam lebih dahulu kepada seisi rumah itu, yaitu salam yang ditetapkan oleh Allah, salam yang penuh berkat dan kebaikan yaitu, “Assalāmu`alaikum warahmatullāhi wabarakātuh.” Dengan demikian karib kerabat yang ada di rumah itu akan senang dan gembira dan menerimanya dengan hati terbuka.

رَوَى اَلْحَافِظُ اَبُوْ بَكْرٍ اَلْبَزَّارِ عَنْ اَنَسِ قَالَ: أَوْصَانِى النَِّبيُّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَمْسُ خِصَالٍ قَالَ يَا اَنَسَ أَسْبِغْ الْوُضُوْءَ يَزِدْ فِى عُمُرِكَ وَسَلِّمْ عَلَى مَنْ لَقَيْكَ مِنْ اُمَّتِى تَكْثُرْ حَسَنَتُكَ وَاِذَا دَخَلَتَ –يَعْنِى بَيْتِكَ- فَسَلِّمْ عَلَى اَهْلِكَ يَكْثُرُ خَيْرُ بَيْتِكَ وَصَلَّ صَلاَةَ الضُّحَى فَاِنَّهَا صَلاَةَ اْلاَوَّابِيْنَ قَبْلَكَ، يَا اَنَسَ اِرْحَمِ الصَّغِيْرَ وَوَقَّرِ الْكَبِيْرَ، تَكُنْ مِنْ رُفَقَائِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

Al-Hafiz, Abu Bakar al-Bazzār meriwayatkan bahwa Anas berkata: Rasulullah mengajarkan kepadaku lima hal. Rasulullah bersabda, “Hai Anas! Berwudulah dengan sempurna tentu umurmu akan bertambah, beri salamlah kepada siapa yang kamu temui di antara umatku, tentu kebaikanmu akan bertambah banyak, apabila engkau memasuki rumahmu, ucapkanlah salam kepada keluargamu; tentu rumahmu itu akan penuh dengan berkah, kerjakanlah salat duha karena salat duha itu adalah salat orang-orang saleh di masa dahulu.

Hai Anas sayangilah anak-anak dan hormatilah orang tua, niscaya engkau akan termasuk teman-temanku pada hari Kiamat nanti.”

Demikianlah Allah menerangkan ayat-Nya sebagai petunjuk bagi hamba-Nya, bukan saja petunjuk mengenai hal-hal yang besar, melainkan juga petunjuk mengenai hal-hal yang kecil. Semoga dengan mengamalkan petunjuk itu kita dapat memikirkan bagaimana baik dan berharganya petunjuk itu.


Baca setelahnya: Tafsir Surah An-Nur Ayat 62


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah An-Nur Ayat 59-60

0
tafsir surah an-nur
Tafsir Surah An-Nur

Tafsir Surah An-Nur Ayat 59-60 berbicara mengenai etika memasuki ruangan sebagaimana telah dibahas sebelumnya.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah An-Nur Ayat 56-58


Ayat 59

Bila anak-anak itu sudah mencapai usia balig maka mereka diperlakukan seperti orang dewasa lainnya, bila hendak memasuki kamar harus meminta izin lebih dahulu bukan pada waktu yang ditentukan itu saja tetapi untuk setiap waktu.

Kemudian Allah mengulangi penjelasan-Nya bahwa petunjuk dalam ayat ini adalah ketetapan-Nya yang mengandung hikmah dan manfaat bagi keharmonisan dalam rumah tangga. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala sesuatu dan Mahabijaksana.


Baca juga: Nasaruddin Umar: Al-Qur’an Bedakan antara Gender dan Jenis Kelamin


Ayat 60

Bagi perempuan-perempuan yang sudah tua yang tidak lagi mempunyai keinginan bersenggama dan tidak lagi memiliki daya tarik diizinkan menanggalkan sebagian pakaiannya yang biasa dipakai perempuan untuk menutupi seluruh aurat seperti hauscoat (pakaian lapang yang menutupi seluruh badan) dan lain sebagainya.

Tetapi tidak boleh membuka aurat yang biasa tertutup rapi seperti dada, betis, paha dan lain-lainnya. Bila perempuan tua itu tetap ingin berpakaian lengkap seperti biasa, maka hal itu lebih baik baginya. Bagaimanapun seorang perempuan meskipun telah tua lebih terhormat bila dia masih memperhatikan dan mementingkan apa yang baik dipakai baginya sebagai perempuan. Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui semua tingkah laku hamba-Nya dan apa yang tersimpan dalam hatinya.


Baca setelahnya: Tafsir Surah An-Nur Ayat 61


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah An-Nur Ayat 56-58

0
tafsir surah an-nur
Tafsir Surah An-Nur

Tafsir Surah An-Nur Ayat 56-58 berbicara mengenai tiga hal. Pertama mengenai adanya perintah salat dan zakat. Kedua mengenai kebinasaan bagi orang kafir. Ketiga mengenai larangan memasuki ruangan tanpa izin.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah An-Nur Ayat 55


Ayat 56

Pada ayat ini Allah mengiringi janji akan mencapai kemenangan itu dengan perintah mendirikan salat, menunaikan zakat dan menaati Allah dan Rasul-Nya.

Itulah syarat pertama untuk mencapai kemenangan dan memeliharanya. Kadang-kadang mencapai sesuatu tidaklah begitu berat, tetapi memelihara kelestarian apa yang telah dicapai itu lebih berat daripada mencapainya.

Oleh sebab itu kaum Muslimin harus memperkuat diri dan memupuk pertahanan dengan tiga macam senjata yang sangat ampuh itu yaitu pertama menguatkan batin dengan selalu berhubungan dengan Yang Mahakuasa.

Kedua zakat yang membersihkan diri dari sifat bakhil dan kikir, sehingga apabila tiba waktu untuk seseorang tidak segan mengorbankan harta, tenaga bahkan jiwanya. Ketiga taat dan patuh kepada Allah dan Rasul-Nya di mana segala tindak tanduknya disesuaikan dengan ajaran-Nya dan bila terdapat perbedaan pendapat hendaklah dikembalikan kepada hukum Allah dan Rasul-Nya.

Itulah yang menjadi pedoman bagi segala gerak dan langkah. Dengan memenuhi ketiga syarat itu akan dapat dibina kekuatan umat dan ketahanannya terhadap segala bahaya yang mengancam dan kejayaan yang telah dicapai dapat dipertahankan dan dipelihara .

Ayat 57

Pada ayat ini Allah menegaskan kepada Nabi Muhammad bahwa orang-orang kafir itu tidak akan dapat menghindarkan diri dari siksa Allah bila Allah menghendaki kebinasaan mereka atau keruntuhan kekuasaan mereka.

Oleh sebab itu janganlah terlalu memperhitungkan kekuatan mereka selama kaum Muslimin tetap memelihara kondisi mereka dengan ketiga syarat yang dikemukakan pada ayat 56. Mereka pasti menemui akibat dari kedurhakaan dan keingkaran mereka baik di dunia maupun di akhirat.

Di akhirat mereka akan ditempatkan dalam neraka Jahanam dan itu seburuk-buruk tempat kembali.


Baca juga: Perintah Menjaga Diri dan Keluarga dari Api Neraka


Ayat 58

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hātim dari Muqātil Ibnu Hayyān, bahwasannya seorang laki-laki dari kaum Ansar bersama istrinya Asma` binti Musyidah membuat makanan untuk Nabi Saw, kemudian Asma` berkata, “Wahai Rasulullah, alangkah jeleknya ini.

Sesungguhnya masuk pada (kamar) isteri dan suaminya sedang keduanya berada dalam satu sarung masing-masing dari keduanya tanpa izin, lalu turunlah ayat ini.

Sebagaimana kita ketahui, pada masa kini sebuah rumah biasanya terdiri atas beberapa kamar, dan tiap-tiap kamar ditempati oleh anggota keluarga dan orang lain yang ada di rumah itu.

Ada kamar untuk kepala keluarga dan istrinya, ada kamar untuk anak-anak dan kamar untuk pembantu dan lain sebagainya. Biasanya masing-masing anggota keluarga dapat masuk ke kamar yang bukan kamarnya itu bila ada keperluan dan tidak perlu minta izin kepada penghuni kamar itu. Akan tetapi, Islam memberikan batas-batas waktu untuk kebebasan memasuki kamar orang lain.

Maka para hamba sahaya, dan anak-anak yang belum balig tidak dibenarkan memasuki kamar orang tua atau kamar anggota keluarga yang sudah dewasa dan berkeluarga pada waktu-waktu yang ditentukan kecuali meminta izin lebih dahulu, seperti dengan mengetuk pintu dan sebagainya.

Bila ada jawaban dari dalam “Silahkan masuk”, barulah mereka boleh masuk. Waktu-waktu yang ditentukan itu ialah pertama pada waktu pagi hari sebelum salat Subuh, kedua pada waktu sesudah Zuhur, dan ketiga pada waktu sesudah salat Isya`.

Waktu-waktu itu disebut dalam ayat ini “aurat”, karena pada waktu-waktu itu biasanya orang belum mengenakan pakaiannya dan aurat mereka belum ditutupi semua dengan pakaian. Pada pagi hari sebelum bangun untuk salat subuh biasanya orang masih memakai pakaian tidur.

Demikian pula halnya pada waktu istirahat sesudah zuhur dan istirahat panjang sesudah Isya`. Pada waktu-waktu istirahat seperti itu suami istri mungkin melakukan hal-hal yang tidak pantas dilihat oleh orang lain, pembantu, atau anak-anak.

Adapun di luar tiga waktu yang telah ditentukan itu maka amat berat rasanya kalau diwajibkan meminta izin dahulu sebelum memasuki kamar-kamar itu, karena para pembantu dan anak-anak sudah sewajarnya bergerak bebas dalam rumah karena banyak yang akan diurus dan banyak pula yang perlu diambil dari kamar-kamar tersebut.

Para pembantu biasa memasuki kamar untuk membersihkan kamar atau untuk mengambil sesuatu yang diperintahkan oleh tuan atau nyonya rumah dan demikian pula halnya dengan anak-anak.

Allah menjelaskan adab sopan santun dalam rumah tangga yang harus dipatuhi dan dilaksanakan.

Para ahli ilmu jiwa setelah mengadakan penelitian yang mendalam berpendapat bahwa anak-anak di bawah umur (sebelum balig) tidak boleh melihat hal-hal yang belum patut dilihatnya karena akan sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa mereka dan mungkin akan menimbulkan berbagai macam penyakit kejiwaan.

Amat besar hikmah adab sopan santun ini bagi ketenteraman rumah tangga, dan memang demikianlah halnya karena adab ini diperintahkan oleh Allah Yang Maha Mengetahui dan Mahabijaksana.


Baca setelahnya: Tafsir Surah An-Nur Ayat 59-60


(Tafsir Kemenag)