Beranda blog Halaman 226

Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 23-25

0
tafsir surah al-furqan
tafsir surah al-furqan

Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 23-25 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai kemalangan dan kerugian orang-orang kafir. Kedua mengenai keberuntungan orang-orang mukmin. Ketiga mengenai kedahsyatan hari kiamat.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 21-22


Ayat 23

Dalam ayat ini, Allah menjelaskan sebab-sebab kemalangan dan kerugian orang kafir.

Allah akan memperlihatkan segala perbuatan yang mereka anggap baik yang pernah dikerjakan selama hidup di dunia, seperti silaturrahim, menolong orang yang menderita, memberikan derma untuk meringankan bencana alam, memberi bantuan kepada rumah sakit dan yatim piatu, membebaskan atau menebus tawanan, dan sebagainya. Sebanyak apa pun kebaikan mereka, tidak akan memperoleh imbalan apa pun di sisi Allah.

Mereka hanya dapat memandang kebaikan itu tanpa dapat mengambil manfaatnya sedikit pun. Kebaikan-kebaikan mereka itu lalu dijadikan Allah bagaikan debu yang beterbangan di angkasa karena tidak dilandasi iman yang benar kepada Allah. Mereka hanya bisa duduk termenung penuh dengan penyesalan. Itulah yang mereka rasakan sebagai akibat kekafiran dan kesombongan mereka.

Ayat 23

Berbeda dengan nasib orang-orang yang disebut di atas, orang-orang yang beriman menjadi penghuni surga di akhirat.

Mereka mendapatkan tempat tinggal yang jauh lebih baik dibandingkan dengan tempat kediaman kaum musyrikin di dunia yang selalu mereka jadikan lambang kemegahan dan kemewahan. Tempat kediaman ahli surga merupakan tempat istirahat yang paling nyaman. Kenikmatan di dunia hanya sementara karena hanya dapat dirasakan selama hidup di dunia dan kesenangannya pun bisa memperdaya, seperti tersebut dalam firman Allah.

;كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ وَاِنَّمَا تُوَفَّوْنَ اُجُوْرَكُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ ۗ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَاُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا مَتَاعُ الْغُرُوْرِ

Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan hanya pada hari Kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh, dia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya. Ali Imran/3: 185).


Baca juga: Nasaruddin Umar: Al-Qur’an Bedakan antara Gender dan Jenis Kelamin


Ayat 25

Pada ayat ini, Allah memerintahkan kepada Muhammad untuk menjelaskan kepada kaumnya kedahsyatan hari Kiamat.

Ketika itu, langit akan pecah, dan semua benda angkasa yang berada di dalamnya akan hancur bagaikan kabut yang beterbangan, akibat benturan planet-planet dan bintang-bintang yang tidak lagi mengorbit menurut ketentuannya masing-masing, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah:

وَّفُتِحَتِ السَّمَاۤءُ فَكَانَتْ اَبْوَابًاۙ  ١٩  وَّسُيِّرَتِ الْجِبَالُ فَكَانَتْ سَرَابًاۗ  ٢٠  ;

Dan langit pun dibukalah, maka terdapatlah beberapa pintu, dan gunung-gunung pun dijalankan sehingga menjadi fatamorgana. (an-Naba’/78: 19-20)

;اِذَا السَّمَاۤءُ انْفَطَرَتْۙ  ١  وَاِذَا الْكَوَاكِبُ انْتَثَرَتْۙ  ٢  وَاِذَا الْبِحَارُ فُجِّرَتْۙ  ٣  وَاِذَا الْقُبُوْرُ بُعْثِرَتْۙ  ٤  عَلِمَتْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ وَاَخَّرَتْۗ  ٥

Apabila langit terbelah; dan apabila bintang-bintang jatuh berserakan; dan apabila lautan dijadikan meluap; dan apabila kuburan-kuburan dibongkar; (maka) setiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakan dan yang dilalaikan(nya). (al-Infitar/82: 1-5)

Pada hari yang dahsyat itu, malaikat diturunkan secara bergelombang sambil membawa kitab-kitab yang berisi catatan semua amal hamba-hamba Allah yang mereka saksikan dan catat ketika di dunia. Kitab-kitab itu menjadi bahan bukti ketika mereka diadili Allah di Padang Mahsyar.

Menurut para ilmuwan, ayat ini, seperti banyak ayat lainnya dalam Al-Qur’an, menegaskan adanya kejadian-kejadian astronomis yang luar biasa kedahsyatannya yang akan terjadi pada hari Kiamat. Semuanya menunjukkan adanya kerusakan dan kehancuran secara menyeluruh dalam sistem yang mengaitkan bagian-bagian dari alam semesta.

Termasuk perubahan total dalam kedudukan, bentuk, dan kaitan-kaitan antar elemen dalam semesta jagad raya ini. Suatu gambaran akhir dan perubahan total yang tidak hanya terjadi di bumi, tetapi juga mencakup keseluruhan benda-benda langit yang ada di alam semesta ini. Bintang-bintang ‘berjatuhan’, saling bertabrakan, karena rusaknya (hilangnya) gaya gravitasi, langit pecah-belah dan planet-planet saling berbenturan dan berhamburan.

Kabut putih menggambarkan semua benda-benda langit yang jumlahnya triliunan, seolah terlihat seperti kabut. Kala itu benda-benda langit tersebut “melejit” keluar dari langit seperti didesak dari dalam oleh tekanan besar yang memaksa mereka keluar dari “balon” langit. Bintang, planet, dan benda langit lainnya tak ubahnya seperti debu yang kecil dan ringan – yang tidak mempunyai kekuatan apa-apa.

Keseimbangan dan keteraturan antar komponen sistem dalam semesta pada saat itu sudah tidak ada lagi. Benda-benda langit saling berbenturan dan meledak. Bisa jadi kabut putih pun adalah awan-awan yang terkumpul dari uap-uap yang dihasilkan dari ledakan-ledakan  tersebut.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 26-28


(Tafsir Kemenag)

Temu Lembaga Konsultasi Syariah: Layanan Fatwa Digital Berbasis Moderasi Beragama

0
Konsultasi Syariah
Temu Konsultasi Lembaga Konsultasi Syariah: "Layanan Fatwa Digital Berbasis Moderasi Beragama".

Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2018 menunjukkan bahwa 73,7% masyarakat Indonesia adalah pengguna internet. Artinya, ada sekitar 196 juta penduduk yang menggunakan internet dari 266 juta total populasi masyarakat Indonesia.

Menariknya, dalam survei yang lain, informasi keagamaan termasuk konten yang paling banyak diakses pengguna internet masyarakat Indonesia. Terlebih Konten yang berkaitan dengan agama Islam menjadi konten yang banyak diakses dibanding agama lain, mengingat Indonesia adalah Negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia.

Sehingga tak heran bila website keislaman menjamur di Indonesia. Bahkan, website media arus utama pun, seperti Tribun, Detik, Okezone, dan lain-lain, juga menyediakan layanan konten keislaman yang dapat diakses publik.

Merespon persoalan tersebut, Subdit Hisab Rukyat dan Syariah, Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Ditjen Bimas Islam mengadakan kegiatan Temu Lembaga Konsultasi Syariah dengan tema “Layanan Fatwa Digital Berbasis Moderasi Beragama”. Acara ini digelar pada Jum’at (03/9).

Program workshop ini akan menghadirkan sejumlah narasumber dari lembaga-lembaga fatwa di antaranya dari ada yang dari MUI, Nahdlatul Ulama, dan Muhammadiyah. Selain itu, media-media keislaman juga turut diundang sebagai peserta aktif termasuk tafsiralquran.id, bincangsyariah.com, NU Online, dan media lainnya.

Di antara pemateri yang akan menjadi narasumber adalah Dr. KH. M. Asrorun Ni’am Sholeh, MA perwakilan dari MUI Pusat. Ada juga Ibnu Kharish, M.Hum, Pimpinan Redaksi bincangsyariah.Com. Terakhir acara ini juga menghadirkan Hengki Ferdiansyah, MA, Intelektual Muda Islam Indonesia.

Di samping itu, acara ini juga melibatkan para peserta berasal dari media keislaman yang fokus pada konten syariah, mulai dari urusan ibadah harian sampai masalah haji dan umrah, dan juga menyediakan konten layanan syariah.

Direktur Jenderal Urusan Agama Islam & Pembinaan Syariah, Drs. Moh Agus Salim mengatakan dasar pemikiran kegiatan pembinaan ini adalah  seiring kemajuan teknologi, yang membawa tantangan , termasuk dalam persoalan hukum dan syariah. Sebagai lembaga pemerintah yang berurusan dengan pelayanan masyarakat, banyak persoalan hukum yang ditemukan di masyarakat yang membutuhkan jawaban.”Kami layani mereka dalam konsultasi,” tuturnya, pada Senin (03/9).

Moh. Agus Salim melanjutkan Kementrian Agama, terutama Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah terut terbantu dengan adanya media massa keagamaan yang menyajikan jawaban dan konten yang tumbuh dimasyaraat. “Ini membantu kita. Kami apresiasi ini. Kita ingin bersinergi dan berkolaborasi dengan media yang menyajikan konten keagamaan,” tambahnya.

Prof. Dr. Phil Kamaruddin Amin selaku Dirjen Bimas Islam dalam sambutan sekaligus pembukaan acara Temu Konsultasi: Lembaga Konsultasi Syariah memberikan apresiasi terkait terlaksananya acara ini.

Ia menilai acara ini sangat bermanfaat dan tema yang diangkat sangat relevan dengan situasi sekarang ini. “Kalau melihat tema, ini sangat friendly , bagus sekali,” tuturnya, Jumat (03/9).

Lebih lanjut ia berharap acara ini dapat menghasilkan sesuatu yang bermanfaat untuk masyarakat. Terutama dalam konteks memberi layanan untuk masyarakat. Pasalnya, menurut Profesor Kamaruddin Amin, tugas utama dari Kementrian agama adalah meningkatkan moderasi keberagamaan masyarakat Indonesia. Ia menilai Kemenag tak mungkin bekerja tanpa melibatkan masyarakat, baik itu Ormas Islam, Media Keislmanan, para tokoh agama dan para cendikiawan Muslim. “Pada intinya, kita mendapatkan amanah untuk meningkatkan kehidupan beragama di Indonesia,” tutupnya.

Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 21-22

0
tafsir surah al-furqan
tafsir surah al-furqan

Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 21-22 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai sifat sombong dari orang-orang kafir. Kedua berbicara mengenai keadaan orang musyrik ketika berjumpa dengan malaikat.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 20


Ayat 21

Orang-orang yang tidak percaya hari kebangkitan atau mengingkari hari Kiamat, di mana mereka akan dihadapkan ke hadirat Allah untuk diadili segala perbuatannya di dunia, dengan penuh kesombongan bertanya kenapa tidak diturunkan kepada mereka malaikat yang menjadi saksi atas kebenaran Muhammad sebagai nabi, untuk menghilangkan keraguan mereka tentang kebenaran wahyu yang diturunkan kepadanya.

Jika hal itu sulit untuk dilaksanakan, mengapa mereka tidak langsung saja melihat Tuhan yang akan menerangkan kepada mereka bahwa Muhammad itu benar-benar diutus oleh-Nya untuk menyampaikan kabar gembira dan memberi peringatan.

Jika yang demikian itu terlaksana, mereka mengatakan akan beriman kepada Muhammad. Ucapan demikian itu tidak lain hanyalah karena kesombongan mereka sendiri, dan karena kezaliman mereka dengan mendustakan seorang utusan Allah.

Mereka sama sekali tidak menghiraukan mukjizat nyata yang telah diperlihatkan oleh Rasulullah kepada mereka. Setiap orang yang berakal sehat pasti akan tercengang mendengar ucapan-ucapan mereka itu dan menganggapnya sebagai ucapan orang yang tidak berakal. Seandainya Allah mengabulkan keinginan itu, mereka tetap tidak akan beriman kepada Allah dan rasul-Nya, sebagaimana tercantum dalam firman Allah:

;وَلَوْ اَنَّنَا نَزَّلْنَآ اِلَيْهِمُ الْمَلٰۤىِٕكَةَ وَكَلَّمَهُمُ الْمَوْتٰى وَحَشَرْنَا عَلَيْهِمْ كُلَّ شَيْءٍ قُبُلًا مَّا كَانُوْا لِيُؤْمِنُوْٓا اِلَّآ اَنْ يَّشَاۤءَ اللّٰهُ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَهُمْ يَجْهَلُوْنَ   ;

Dan sekalipun Kami benar-benar menurunkan malaikat kepada mereka, dan orang yang telah mati berbicara dengan mereka dan Kami kumpulkan (pula) di hadapan mereka segala sesuatu (yang mereka inginkan), mereka tidak juga akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki. Tapi kebanyakan mereka tidak mengetahui (arti kebenaran). (al-An’am/6: 111)


Baca juga: Apakah Iblis Termasuk Golongan Malaikat atau Bukan? Ini Kata Ulama


Ayat 22

Pada ayat ini dijelaskan keadaan orang-orang kafir dan musyrik ketika berjumpa dengan malaikat di akhirat. Malaikat yang mereka inginkan sebagai rasul di dunia, atau sebagai saksi dari kebenaran kenabian Muhammad, akan mereka temui di akhirat.

Namun demikian, pertemuan itu tidak seperti yang mereka harapkan karena mereka tidak akan mendengar kabar gembira dari para malaikat itu, baik berupa ampunan dari dosa, atau perintah masuk surga.

Mereka hanya mendengar perkataan yang sangat menyakitkan hati, yaitu hijran mahjµran, yang berarti “(surga) haram dan diharamkan bagi mereka”. Ucapan malaikat itu dianggap sangat menyakitkan, karena biasa diucapkan orang Arab ketika mendapatkan kesulitan.

Adapun orang-orang mukmin disambut baik oleh para malaikat yang datang menyongsong mereka dan memberi kabar gembira untuk masuk surga. Hal ini digambarkan dalam firman Allah:

اِنَّ الَّذِيْنَ قَالُوْا رَبُّنَا اللّٰهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوْا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ اَلَّا تَخَافُوْا وَلَا تَحْزَنُوْا وَاَبْشِرُوْا بِالْجَنَّةِ الَّتِيْ كُنْتُمْ تُوْعَدُوْنَ  ;

Sesungguhnya orang-orang yang berkata, ”Tuhan kami adalah Allah,” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), ”Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.” (Fussilat/41: 30)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 23-25


(Tafsir Kemenag)

Surah Al-Maidah Ayat 2: Perintah Berbuat Adil dan Saling Tolong Menolong

0
Surah Al-Maidah Ayat 2: Perintah Berbuat Adil dan Saling Tolong Menolong
Surah Al-Maidah Ayat 2: Perintah Berbuat Adil dan Saling Tolong Menolong

Al-Qur’an melarang umat Islam berbuat aniyaya kepada orang lain karena kebencian yang ada dalam diri mereka, sebagaimana dalam surah al-Maidah ayat 2 :

‌…وَلا ‌يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرامِ أَنْ تَعْتَدُوا وَتَعاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوى وَلا تَعاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقابِ

Jangan sampai kebencian(mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya.

Baca juga: Surah Al-Fajr Ayat 27: Bagaimana Manusia Mencapai Ketenangan Jiwa?

Sebab Nuzul Ayat

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Zaid bin Aslam: para sahabat Nabi Saw merasa cemas dengan perilaku orang-orang musyrik yang menghalangi mereka dan Rasul Saw. ketika akan mengerjakan umrah di Masjidil Haram di Mekah (yang menimbulkan perjanjian Hudaibiyah antara kaum Muslimin dan Musyrikin).

Suatu hari, lewatlah orang-orang musyrik dari penduduk masyriq yang akan melaksanakan umrah (maksudnya, bukan ibadah umrah seperti yang dilakukan oleh umat Islam). Lalu, para sahabat Nabi Saw. berkata : “Mari kita cegah mereka sebagaimana mereka pernah mencegah sahabat-sahabat kita”. Maka Allah menurunkan ayat ini (ungkapan : “walayajrimannakum” sampai akhir ayat).

Ayat ini diturunkan pada masa Fathu Makkah, kurang lebih sekitar delapan tahun hijriyah. Sedangkan umat Islam dihalang-halangi oleh orang-orang musyrik saat akan melaksanakan umrah pada masa perjanjian hudaibiyah, kurang lebih sekitar enam tahun hijriyyah dan sebelum ayat ini turun. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ayat ini termasuk ayat madaniyah (ayat yang turun setelah hijrah Rasul Saw.).

Baca juga: Perempuan dalam Al-Quran: Antara Pernyataan Allah Sendiri dan Kutipan atas Ucapan Orang Lain

Perintah Berbuat Adil dan Saling Tolong Menolong

Ayat ini memerintahkan kepada umat Islam agar mereka selalu berlaku adil kepada siapapun dan dimanapun mereka berada, sebab siapapun berhak mendapatkan keadilan, baik muslim maupun non muslim. Karena itu, ayat ini melarang umat Islam memiliki dendam dan mengumbar kebencian kepada orang lain. Sifat benci dan dendam akan menghalangi seseorang untuk berbuat adil.

Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah (3/13) ayat ini merupakan bukti nyata betapa Al-Qur’an menekankan keadilan. Walaupun umat Islam membenci musuh hingga mencapai puncak kebenciannya lantaran musuh itu menghalang-halangi pelaksanaan tuntunan agama, tapi musuh itu masih harus diperlakukan secara adil, apalagi musuh yang dibenci belum sampai ke puncak kebencian dan oleh sebab lain yang lebih ringan.

Umat Islam dituntut agar mereka dapat mengendalikan jiwa sehingga mencapai tingkatan toleransi hati. Umat Islam memiliki tanggung jawab untuk mengesampingkan kepentingan pribadi dan melupakan deritanya di masa lalu agar mereka dapat mencapai tingkatan ini. Dengan demikian, mereka akan selalu berperilaku baik dan adil kepada semua orang. Perilaku inilah yang dapat menarik dan menjadikan hati manusia cinta kepada Islam.

Baca juga: Surah An-Nahl [16]: 125: Pentingnya Kontra Narasi di Media Sosial

Perintah berbuat adil kepada siapapun ini kemudian dihubungkan dengan perintah untuk saling tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa. Al-Qurtubi menukil pendapat dari al-Mawardi dalam kitab Al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an (6/47) bahwa perintah tolong menolong dalam ayat ini yang dihubungkan dengan taqwa mengandung isyarat bahwa dengan bertaqwa, seseorang akan mendapatkan ridha/kerelaan Allah, dan dengan tolong menolong dalam kebaikan, seseorang akan mendapatkan ridha/kerelaan dari manusia. Siapapun yang mendapatkan kedua ridha ini, maka ia akan memperoleh kebahagiaaan dan kenikmatan yang sempurna.

Al-Qurtubi juga menukil pendapat Ibn Khuwayz Mandad yang mengatakan bahwa saling tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya : pertama, seorang yang alim (dalam bidang agama) menolong orang lain dengan mengajarkan ilmu agama kepadanya.

Kedua, orang kaya membantu orang lain yang miskin dan fakir dengan kekayaannya. Ketiga, orang yang pemberani berjuang di jalan Allah dengan keberaniannya. Keempat, orang-orang islam saling bahu membahu bagaikan satu anggota tubuh. Kelima, selalu menghindari berbagai macam permusuhan dan tidak berkecimpung dalam hal-hal yang memicu terjadinya konflik dan pertengkaran.

Islam adalah agama toleransi dan keadilan yang tidak membenarkan perilaku saling membenci antar umat beragama. Islam mewajibkan kepada seluruh pemeluknya agar saling bagu membahu dalam kebaikan. Hal ini bertujuan untuk memperkuat keimanan orang-orang yang beriman dan menarik simpati orang-orang non muslim agar mereka bertobat dan mengakui kesalahan mereka.

Kebencian yang mendarah daging dapat memicu terjadinya konflik dan merusak kerukunan masyarakat dalam berbangsa, bernegara dan beragama. Sifat ini dapat merusakan tatanan masyarakat yang sejahtera dan harmonis. Memang, benci adalah sifat yang wajar bagi manusia, tetapi jangan sampai kebencian itu membawanya pada permusuhan yang berlarut-larut. Perilaku tolong menolong akan sirna dengan kebencian yang demikian.

Baca juga: Kembali kepada Al-Qur’an dengan Fitur Kontekstualis-Progresif Menurut Amin Abdullah

Saat Zayd bin al-Khattab (saudara Umar bin al-Khattab) dibunuh oleh Abu Maryam al-Hanafi, maka Umar bin al-Khattab tidak melampiaskan kebenciannya kepada Abu Maryam. Lagipula, pembunuh itu sudah bertobat dan masuk Islam. Suatu hari seseorang berkata kepada beliau : wahai Umar, ini adalah pembunuh saudaramu ! (maksudnya, orang itu bertanya apakah Umar tidak membalaskan dendamnya).

Lalu, Sayyiduna Umar menjawab perkataan orang itu : “Apa yang bisa saya lakukan dengan dia ketika Tuhan telah membimbingnya ke jalan Islam ?”. Maksud jawaban beliau ini adalah tidak perlu mengumbar kebencian dan dendam kepada orang yang pernah menyakiti perasaan kita. Apalagi, orang itu sudah benar-benar insaf dan mendapat hidayah.

Dengan demikian, perintah dalam ayat ini merupakan prinsip dasar dalam menjalin kerjasama dan saling bahu membahu dengan siapa pun, baik muslim maupun non muslim selama tujuannya adalah kebajikan, ketakwaan dan kemaslahatan bersama.

Wallahu A’lam

Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 20

0
tafsir surah al-furqan
tafsir surah al-furqan

Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 20 berbicara mengenai sifat kemanusiaan para nabi dan rasul. Sebagai manusia Nabi Muhammad agak tersinggung. Maka dari itu Allahmenghibur Nabi Muhammad agar tidak risau atas sikap orang kafir.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 17-19


Ayat 20

Pada ayat ini Allah menjelaskan kepada Nabi Muhammad saw bahwa rasul-rasul sebelumnya juga makan dan minum seperti dia. Kecaman-kecaman orang kafir terhadap dirinya amat menyakitkan hati Muhammad, kecaman-kecaman itu bukan semata-mata kecaman saja, bahkan mengandung hinaan yang sangat merendahkan dirinya padahal dia adalah seorang Rasul yang dimuliakan Allah.

Maka untuk menghibur dan meringankan tekanan batin yang diderita Nabi Muhammad saw yang disebabkan kecaman dan hinaan itu, Allah menyatakan kepadanya bahwa Dia tidak pernah mengutus seorang rasul sebelumnya seperti yang dikehendaki oleh orang-orang kafir Mekah itu.

Semua Rasul yang diutusnya adalah manusia yang tidak bebas dari sifat-sifat manusiawinya, tetapi membutuhkan makanan dan minuman, tetap berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sesuai dengan firman-Nya pada ayat-ayat yang lain.

وَمَآ اَرْسَلْنَا قَبْلَكَ اِلَّا رِجَالًا نُّوْحِيْٓ اِلَيْهِمْ فَسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ   ٧  وَمَا جَعَلْنٰهُمْ جَسَدًا لَّا يَأْكُلُوْنَ الطَّعَامَ وَمَا كَانُوْا خٰلِدِيْنَ   ٨

Dan Kami tidak mengutus (rasul-rasul) sebelum engkau (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui. Dan Kami tidak menjadikan mereka (rasul-rasul) suatu tubuh yang tidak memakan makanan dan mereka tidak (pula) hidup kekal.  (al-Anbiyā`/21: 7-8)

Jadi perbedaan antara manusia sebagai Rasul dan manusia umumnya terletak pada keutamaan pribadinya, ketinggian akhlaknya, kesucian hati dan keikhlasannya dalam menunaikan tugasnya, karena itu diturunkanlah wahyu Allah kepadanya dan dikuatkan pula dengan mukjizat-mukjizat yang tidak dapat manusia menandinginya apalagi mengalahkannya.

Maka ejekan dan kecaman orang kafir itu amat jauh dari sasarannya, tidak wajar dilontarkan kepada Nabi Muhammad saw. Kalau mereka benar-benar hendak membatalkan kebenaran yang dibawanya bukannya dengan kecaman seperti itu yang harus mereka kemukakan.

Mereka telah ditantang untuk menandingi mukjizat yang diberikan Allah kepadanya yaitu membuat satu surah pendek saja yang serupa nilainya dengan surah pendek dari Al-Qur’an. Tetapi mereka tidak berdaya dan tidak sanggup membuatnya walaupun mereka sudah termasuk golongan orang yang pintar dan tinggi sastranya.


Baca juga: Kemukjizatan pada Irama Al-Quran dalam Kajian Subhi Al-Shalih


Hanya rasa benci dan dengki telah menggelapkan hati nurani mereka dan rasa takut akan kehilangan pengaruh dan kedudukan telah meluapkan amarah mereka. Karena itu mereka tetap menantang walaupun dalam hati mereka telah menyadari kekhilafan mereka.

Kemudian Allah menjelaskan pula bahwa manusia diuji dengan berbagai macam ujian. Masing-masing manusia diberi kebebasan untuk apakah dia akan tabah dan sabar menghadapi ujian itu ataukah dia akan berpaling dari kebenaran karena tidak tahan menanggung amarah dan rasa dengki di dalam hatinya. Allah menjadikan sebagian manusia sebagai Nabi dan Rasul, pembawa risalah Tuhan-Nya, sebagian lain dijadikan-Nya raja dan penguasa yang berkuasa atas manusia lainnya, sebagian lagi dijadikan-Nya kaya dan kuat, miskin dan lemah dan demikian seterusnya.

Orang-orang yang mempergunakan akal dan pikirannya, terutama orang-orang yang beriman tidaklah akan terpengaruh oleh perbedaan tingkat, derajat, kekayaan dan kedudukan, tetapi dia akan tetap menerima yang benar dan menolak yang salah tanpa memperhitungkan darimana datangnya kebenaran itu, apakah kebenaran itu datangnya dari seorang kepala negara atau menteri atau dari seorang hina dina tidak mempunyai pengaruh apa-apa.

Ali bin Abi Talib pernah berkata, “Perhatikanlah apa yang dikatakan dan janganlah kamu memperhatikan siapa yang mengatakannya.” Si miskin diuji ketabahan hatinya menghadapi keadaannya yang serba kurang, tidak seperti orang kaya yang dapat menikmati berbagai macam kesenangan jasmani dengan kekayaannya itu.

Orang-orang kafir Mekah itu diuji kebersihan hati mereka dengan memberikan karunia kerasulan kepada Nabi Muhammad, sedang dia adalah seorang biasa saja di antara mereka, bukan dari orang-orang kaya atau dari pemimpin kabilah yang berpengaruh besar.

Semua manusia diuji kekuatan mentalnya menghadapi perbedaan dan jurang pemisah antara berbagai macam golongan dalam masyarakat. Barang siapa yang menang dalam menghadapi ujian itu dialah yang akan mendapatkan kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim Rasulullah saw bersabda:

اُنْظُرُوْا اِلَى مَنْ هُوَ اَسْفَلُ مِنْكُمْ وَلاَتَنْظُرُوْا اِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ اَجْدَرُ اَنْ لاَتَزْدَرُوْا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ. (رواه مسلم)

“Lihatlah kepada orang yang rendah derajatnya dari kamu, dan janganlah melihat orang yang lebih tinggi dari kamu, karena melihat kepada orang yang lebih tinggi itu akan membawamu kepada merendahkan nilai nikmat yang telah dianugerahkan Allah kepadamu.” (Riwayat Muslim)

Demikianlah ujian yang diberikan Allah kepada hamba-hamba-Nya, dan Dia Maha Mengetahui siapa di antara hamba-Nya itu yang tabah dan sabar menghadapi ujian itu sehingga ia termasuk orang-orang yang lulus dan menang.

Dia akan memberi balasan sebaik-baiknya kepada pemenangpemenang itu dan akan menimpakan siksaan kepada orang-orang yang kalah yang karena ketidaksabarannya dan karena kesombongannya dia sampai mendurhakai nikmat yang telah diberikan-Nya kepada mereka.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 21-22


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 17-19

0
tafsir surah al-furqan
tafsir surah al-furqan

Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 17-19 berbicara mengenai keadaan orang-orang kafir ketika diakhirat. Salah satunya adalah ketika Allah bertanya kepada sesuatu yang mereka sembah.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 13-16


Ayat 17

Pada hari Kiamat orang-orang musyrik dikumpulkan bersama-sama dengan sembahan-sembahan mereka. Lalu Allah mengemukakan pertanyaan-pertanyaan kepada sembahan-sembahan itu. Benarkah mereka dahulu di dunia menyuruh mereka itu menyembahnya sehingga mereka telah sesat dari jalan yang benar, mempersekutukan Allah dengan sesembahan itu sehingga mereka mengingkari ajaran-ajaran Allah dan ajaran-ajaran Rasul-Nya.

Di antara sembahan-sembahan yang disembah orang-orang kafir itu termasuk beberapa malaikat, Nabi Isa dan Uzair. Mereka merasa sangat heran dan tercengang mendengar pertanyaan-pertanyaan itu karena mereka tidak pernah menyuruh manusia menyembah mereka, bahkan mereka selalu menyeru kepada tauhid, menyembah Allah tanpa mempersekutukan-Nya dengan suatu apapun.

Dalam ayat ini disebutkan pertanyaan Allah yang khusus dihadapkan kepada Nabi Isa yaitu firman-Nya:

وَاِذْ قَالَ اللّٰهُ يٰعِيْسَى ابْنَ مَرْيَمَ ءَاَنْتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُوْنِيْ وَاُمِّيَ اِلٰهَيْنِ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ ۗقَالَ سُبْحٰنَكَ مَا يَكُوْنُ لِيْٓ اَنْ اَقُوْلَ مَا لَيْسَ لِيْ بِحَقٍّ ۗاِنْ كُنْتُ قُلْتُهٗ فَقَدْ عَلِمْتَهٗ ۗتَعْلَمُ مَا فِيْ نَفْسِيْ وَلَآ اَعْلَمُ مَا فِيْ نَفْسِكَ ۗاِنَّكَ اَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوْبِ

Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, ”Wahai Isa putra Maryam! Engkaukah yang mengatakan kepada orang-orang, ”Jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua tuhan selain Allah?” (Isa) menjawab, ”Mahasuci Engkau, tidak patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku. Jika aku pernah mengatakannya tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada-Mu. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui segala yang gaib.” (al-Mā`idah/5: 116)


Baca juga: Memahami Pesan Q.S Al-Nisa: 1 dengan Kacamata Filosofi Kemanusiaan


Ayat 18

Dengan spontan mereka menjawab pertanyaan Allah yang tidak mereka duga sedikit pun akan dimajukan kepadanya. Mereka serentak menjawab, “Mahasuci Engkau Ya Tuhan kami, tidaklah patut bagi kami mengambil perlindungan selain Engkau. Inilah kepercayaan kami karena tidak ada yang berhak disembah dan diambil jadi pelindung kecuali engkau sajalah.

Bagaimana pula kami akan menyuruh orang lain menyembah selain Engkau sedangkan hal itu bertentangan dengan akidah dan iman kami. Mungkin Engkau Ya Tuhan kami telah melimpahkan kepada mereka nikmat dan rahmat-Mu agar mereka bersyukur kepada-Mu tetapi mereka pergunakan nikmat dan rahmat itu untuk kepuasan hawa nafsu mereka, sehingga mereka telah tenggelam dalam kesenangan dan kelezatan. Akhirnya mereka melupakan-Mu dan jatuh ke jurang kesesatan dan tidak dapat ditolong lagi dan termasuk ke dalam golongan orang-orang yang binasa.”

Ayat 19

Allah mengarahkan firman-Nya kepada orang-orang musyrik itu. Kamu telah mendengar sendiri jawaban orang-orang yang kamu sembah itu. Nyatalah sekarang bahwa bukan mereka yang menyesatkan kamu, mereka tidak pernah menyuruh kamu supaya menyembah mereka. Jadi kamu sendirilah yang mengada-adakan sembahan selain Aku. Sekarang kamu sekali-kali tidak akan dapat lepas dari siksaan-Ku dan tak ada seorang jua pun yang dapat memberikan pertolongan kepadamu. Kamu telah menganiaya dirimu sendiri dengan membuat-buat sembahan selain Aku, dan nasib orang-orang yang menganiaya dirinya dengan menyembah selain Aku, pasti akan Aku masukkan ke dalam siksaan yang pedih dan berat.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 20


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 13-16

0
tafsir surah al-furqan
tafsir surah al-furqan

Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 13-16 berbicara mengani dua hal. Pertama mengenai keadaan orang-orang penghuni neraka. Kedua mengenai keadaan orang-orang penghuni surga.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 11-12


Ayat 13

Bila mereka dilemparkan ke suatu tempat yang sempit di neraka itu dengan tangan terbelenggu di sanalah mereka akan berseru “Celakalah aku! Kenapa aku dahulu mengacuhkan petunjuk yang diturunkan Allah dengan perantaraan Rasul-Nya, kenapa aku membantah dan menolaknya benar-benar aku ini seorang yang celaka.”

Ayat 14

Di waktu itu diucapkan kepada mereka agar tidak mengucapkan kata itu (celaka aku) sekali saja. Ucapkanlah kata itu berkali-kali karena yang mereka lihat dan alami itu baru satu macam dari siksa yang akan ditimpakan kepadanya. Banyak lagi macam siksaan yang akan mereka derita. Oleh sebab itu berteriak-teriaklah berkali-kali, memang mereka akan ditimpa siksaan yang dahsyat dan hebat.

Ayat 15

Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad agar mengatakan kepada orang-orang kafir itu, apakah siksaan yang demikian hebat dan dahsyat itu lebih baik dari surga yang penuh nikmat dan rahmat yang disediakan bagi orang-orang mukmin yang bertakwa. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Surga itu dijadikan untuk mereka karena beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta taat dan patuh menjalankan perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.


Baca juga: Nasaruddin Umar: Al-Qur’an Bedakan antara Gender dan Jenis Kelamin


Ayat 16

Di dalam surga itu mereka diberi apa yang mereka minta dan mereka inginkan berupa pakaian, makanan dan minuman serta segala kenikmatan yang tak dapat dibayangkan oleh manusia di dunia ini. Selain dari itu mereka selalu berada dalam keridaan Ilahi dan inilah suatu nikmat rohani yang tidak ada taranya, karena keridaan Ilahi itulah yang menimbulkan rasa tenteram dan bahagia di dalam hati sanubari setiap hamba Allah sebagaimana tersebut dalan firman-Nya.

قَالَ اللّٰهُ هٰذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصّٰدِقِيْنَ صِدْقُهُمْ ۗ لَهُمْ جَنّٰتٌ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَآ اَبَدًا ۗرَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ ۗذٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ

Allah berfirman, ”Inilah saat orang yang benar memperoleh manfaat dari kebenarannya. Mereka memperoleh surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Itulah kemenangan yang agung.” (al-Mā`idah/5: 119)

Demikianlah janji Allah kepada hamba-Nya yang beriman dan bertakwa dan janji Allah itu pasti terlaksana.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 17-19


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 11-12

0
tafsir surah al-furqan
tafsir surah al-furqan

Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 11-12 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai kelakukan orang-orang yang kafir yang selalu ingkar terhadap segala yang berbau Islam. Kedua mengenai keadaan orang kafir kelak di akhirat.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 9-10


Ayat 11

Pada ayat ini Allah menegaskan lagi bahwa orang-orang kafir itu telah jauh tersesat dari jalan yang benar, bahkan mereka mendustakan pula datangnya hari Kiamat, hari pembalasan di mana semua amal perbuatan manusia dibalas dengan adil.

Perbuatan baik dibalas dengan pahala yang berlipat ganda, perbuatan jahat dibalas dengan azab yang pedih. Mereka mendustakan hari Kiamat itu agar mereka berbuat sewenang-wenang terhadap kaum yang lemah, bersimaharajalah melakukan kezaliman, oleh sebab itu Allah mengancam mereka dengan api neraka yang menyala-nyala akibat keingkaran dan kedurhakaan mereka, akibat perbuatan jahat mereka di dunia.


Baca juga: Anjuran Menolak Kejahatan dengan Cara Terbaik dalam Surah Fussilat Ayat 34


Ayat 12

Apabila orang-orang kafir itu telah digiring ke neraka, seakan-akan neraka melihat mereka dari jauh, terdengarlah suaranya yang gemuruh karena kemarahan melihat orang-orang kafir itu, seakan-akan neraka itu seekor singa yang lapar melihat mangsanya mendekatinya.

Ibnu Munzir dan Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Ubaid bin Umair berkata, “Sesungguhnya Jahanam itu bergemuruh suaranya sehingga para malaikat dan nabi-nabi gemetar persendiannya mendengar suara itu, sehingga Nabi Ibrahim jatuh berlutut dan berkata, “Ya Tuhanku tidak ada yang aku mohonkan hari ini kecuali keselamatan diriku.” Dapatlah dibayangkan bagaimana seramnya keadaan di waktu itu dan bagaimana dahsyatnya siksa yang akan diterima oleh mereka dan bagaimana beratnya penderitaan yang akan mereka rasakan pada waktu itu.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 13-16


(Tafsir Kemenag)

Fath al-Allam; Kitab Tafsir Ahkam yang Unik

0
Kitab Fath al-Allam
Kitab Fath al-Allam

Dalam kajian al-Qur’an, tafsir ahkām juga dikenal dengan sebutan tafsir fiqhī. Ia menjadi satu dari sekian corak yang dimiliki kitab-kitab tafsir. Ragamnya tergantung pada banyaknya mazhab fikih yang ada (Ushūl al-Tafsīr wa Manāhijuhū, 94). Mengenai penyajiannya, Ālī Iyāzī menemukannya dalam dua metode; tahlīlī dan maudlū’ī.

Cara pertama adalah dengan menafsirkan al-Qur’an secara berurutan dari awal surat al-Fātihah hingga akhir surat al-Nās dengan memberikan penjelasan yang lengkap dan mendalam saat bertemu dengan ayat-ayat ahkām. Adapun cara kedua yakni dengan mengelompokkan ayat-ayat ahkām yang setema demi diperolehnya kesimpulan yang komprehensif. Model pertama banyak diikuti oleh mufassir yang berhaluan ahlus sunnah. Sementara yang kedua, banyak digunakan oleh ulama Syi’ah (90-91). 

Baca Juga: Mengenal Corak Tafsir Fiqhi dan Kitab-kitabnya

Kitab Fath al-Allam fī Tartīb Āyāt al-Ahkām

Sesuai namanya, kitab yang terdiri dari satu jilid ini berisi ayat-ayat ahkām. Kitab ini ditulis oleh Shabāh Abdul Karīm al-‘Anzī. Dalam pengantarnya, mu’allif menegaskan bahwa kebanyakan tafsir ahkām disajikan dalam bentuk tahlīlī. Semisal Ahkām al-Qur`ān karya al-Jashshāsh (3 jilid), Ahkām al-Qur`ān milik Ibn ‘Arabī (3 jilid), dan alJāmi’ li Ahkām al-Qur’ān yang ditulis oleh al-Qurthūbī. Kesemuanya ditulis berdasarkan tartib Mushhaf ‘Utsmānī.

Kitab-kitab ini cukup menyulitkan pembaca yang hendak mencari tahu hukum suatu masalah. Pasalnya, terlebih dahulu mereka harus mencari tahu ayatnya. Kalaupun sudah mendapatkannya, masih sangat mungkin ada ayat lain yang memiliki keterkaitan. Sehingga untuk memperoleh informasi yang komplit terhadap sebuah kasus butuh usaha yang cukup keras dan waktu yang relatif lama.

Dari realita ini, disusunlah Kitab Fath al-Allam fī Tartīb Āyāt al-Ahkām dengan metode tematik. Kitab setebal 198 halaman ini memuat 30 tema yang ada dalam kitab fikih. Dimulai dari pembahasan mengenai bersuci dan berakhir dengan ikrar. Dalam topik mengenai bersuci, mu`allif menyajikan sekian ayat yang berbicara mengenai air, wadah, istinjā` (bersuci dari buang hajat), bersiwak, wudu, mengusap khuff (sepatu kulit yang tinggi dan biasa digunakan untuk perjalanan jauh), mandi, tayammum, menghilangkan najis dan haid. Beberapa hal yang lazim di bahas dalam kitab-kitab fikih.

Baca Juga: Tafsir Ahkam; Definisi dan Pernak-Perniknya

Sistematika Penulisan

Konsekuensi dari penyajian menggunakan model tematik, seseorang harus menentukan tema besar yang bisa mencakup beberapa hal yang memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini telah dicontohkan oleh para fuqohā` dalam kitab fikih karya mereka. Saat membuka kitab Fath al-Allam ini kita akan menemukan tema besar atau utama yang diistilahkan dengan kitāb. Jumlahnya mencapai 30 tema. Di bawah kitāb ada tema kecil yang diberi judul bāb.

Dalam perjalanannya, kitāb atau tema utama ini ada yang langsung diikuti bāb, ayat, atau definisi daripada tema tersebut. Untuk model yang pertama misalnya pada kitāb thahārah atau bersuci. Kemudian yang langsung menuliskan ayat-ayat terkait, diantaranya bisa kita jumpai dalam pembahasan tema 4 rukun Islam, janā`iz, jihād, dan lainnya. Adapun model ketiga terlihat misalnya saat mu`allif membahas wasiat (washāyā), waris (farā`idl), īlā`, dan lainnya. Dalam kitāb īlā`, sebelum mengutip QS. al-Baqarah [2]: 226-227, mu’allif mendefinisikan īlā` dengan

الْإِيْلاَءُ هُوَ الْاِمْتِنَاعُ بِالْيَمِيْنِ مِنْ وَطْءِ الزَّوْجَةِ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ

Artinya “Īlā` adalah sumpah tidak menggauli istri selama lebih dari empat bulan” (135).

Kemudian pada bagian bāb yang menjadi tema kecil dari kitāb, mu`allif menukil ayat-ayat yang memiliki keterkaitan dengan tema utama (kitāb) namun tidak langsung. Jadi ayat tersebut berbicara seputar tema kecil yang masuk dalam kategori tema besar. Untuk ayat-ayat yang berbicara langsung mengenai tema besar, maka akan dikategorikan dengan fashl jika jumlahnya banyak dan bisa dibagi-bagi. Jika jumlahnya sedikti dan tidak bisa dibagi-bagi, maka ayat-ayat tersebut akan dimasukkan langsung di bawah tema besar (kitāb). Hal inilah yang membuat kita tidak menemukan bāb dan fashl dalam pembahasan tema utama seperti dalam kitāb raj’ah, īlā`, zhihār, dan radlā’.

Sebagaimana kita ketahui dari kitab fikih, bāb memiliki cakupan yang lebih besar dibanding fashl. Oleh karenanya, urutan kitāb – bāb – fashl mendominasi sitematika penulisan dalam karya ini. Namun hal itu tidak berlaku secara umum. Contohnya kitāb nikah (111), mu`allif mendahulukan fashl dari pada bāb. Sebelum membahas tema kecil tentang wanita yang haram dinikahi dan nikah beda agama, terlebih dahulu mu`allif menuliskan fashl rukun nikah dan wali.

Kemudian untuk melengkapi ayat-ayat yang dinukil, mu`allif menambahkan penjelasan hukum yang terkandung di dalamnya ataupun kosa kata kunci yang berkaitan dengan tema. Penjelasan kosa kata penting yang memiliki keterkaitan dengan tema misalnya pada fashl fī makrūhāt al-shalāt (sesuatu yang dimakruhkan dalam salat). Setelah menyebutkan QS. al-Mu`minūn [23}: 1-2 yang diantaranya mengandung kata khāsyi’ūn, dijelaskan bahwa “khusyu berkaitan dengan hati, penglihatan yang fokus dan suara yang hening. Adapun khudlū’ berkaitan dengan ketenangan badan. Harus menghadirkan kekhusyu’an agar mendapatkan pahala” (28).

Baca Juga: Abi Laits al-Samarqandi; Mufasir Bergelar Faqih, Penulis Tafsir Bahr al-‘Ulum

Keunggulan dan Kelemahan

Sebuah karya pasti memiliki kelebihan dan tidak akan pernah lepas dari kekurangan. Kelebihan kitab ini dibanding tafsir ahkām yang lain adalah 1) model penyajiannya yang tematik. Ia memudahkan pembaca untuk melacak ayat-ayat yang berbicara mengenai permasalahan yang dicarinya. 2) Ulasan singkat mengenai hukum yang dikandung sebuah ayat. 3) Penggabungan antara qur’an dan hadis dalam mengkaji sebuah kasus. Sehingga bertemulah antara āyāt ahkām dengan ahādīts ahkām. āyāt ahkām sebagai sumber utama dalam memproduksi hukum dan ahādīts ahkām (hadis-hadis hukum) sebagai sumber kduanya. Untuk keunggulan yang ketiga ini bisa kita temukan dalam fashl cara mengetahui arah kiblat. Di sana mu`allif menukil hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas setelah menulis QS. al-Nahl [16]: 16. (24).

Namun demikian, di balik keunggulan yang ada, terdapat celah yang membuat penikmat karya ini harus membuka kembali referensi terkait demi memperoleh pemahaman yang lebih mendalam. Mengenai keunggulan kedua, ulasan singkat yang disajikan bisa dibilang sangat singkat sekali. tidak ada perdebatan para ulama fikih yang ditulisakan di sana. Kemudian dibalik keunggulan yang ketiga, mu`allif tidak men-takhrīj sebagian hadis yang dinukilnya. Hadis Ibnu ‘Abbas tadi misalnya, di sana tidak ada penjelasan hadis riwayat imam A atau B. Berbeda dengan hadis yang dinukilnya saat menjelaskan bāb kewajiban wudu (14), informasi Nabi tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Tumūdzī. wallāhu a’lam.

Surah Al-Fajr Ayat 27: Bagaimana Manusia Mencapai Ketenangan Jiwa?

0
Surah Al-Fajr Ayat 27: Bagaimana Manusia Mencapai Ketenangan Jiwa?
Surah Al-Fajr Ayat 27: Bagaimana Manusia Mencapai Ketenangan Jiwa?

Kita semua tentu pernah merasakan kegelisahan, sebuah suasana yang begitu mengguncang ketenangan jiwa. Keadaan dimana pikiran negatif dan merasa jauh dari kasih sayang Tuhan.  Padahal kasih sayang Allah Swt nyata adanya. Dalam Firman-Nya, Allah Swt menyapa jiwa-jiwa yang tenang dengan istilah nafs al-muthmainnah. Term ini dapat kita temukan dalam surah Al-Fajr ayat 27.

 يٰٓاَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَىِٕنَّةُۙ ٢٧

“Wahai jiwa yang tenang”

Ayat ini secara umum, ditafsirkan sebagai panggilan Tuhan kepada manusia yang akhir hayatnya dalam keadaan tenang. Ketenangan ini diukur berdasarkan iman dan amal saleh yang telah dikerjakan hamba kepada Tuhannya. Lantas jiwa-jiwa yang tenang itu diminta kembali dengan perasaan puas dan senang karena telah memenuhi perintah Tuhan kala di dunia. Setidaknya penafsiran ini yang tercantum dalam Tafsir Kementerian Agama Republik Indonesia tahun 1972.

Muhammad Abduh, salah satu mufassir modernis Mesir menafsirkan kata nafs muthmainnah dalam salah satu tafsir Juz Amma-nya dengan permisalan yang menarik. Ia menyebutkan bahwa nafs muthmainnah ada dalam jiwa seorang hartawan yang senantiasa bersyukur, tidak mengambil apapun kecuali haknya, dan memberikan sesuatu kepada yang berhak. Selain itu, hartawan itu juga memberikan perhatian lebih kepada anak yatim, serta mengajak orang lain agar mengikutinya, dan menebar manfaat untuk masyarakat sekitar.

Baca juga: Perempuan dalam Al-Quran: Antara Pernyataan Allah Sendiri dan Kutipan atas Ucapan Orang Lain

Selain untuk hartawan, orang miskin juga dapat mencapai ketenangan jiwa (nafs muthmainnah). Abduh menyebut ragam contohnya seperti bersabar, tidak meminta-minta, tidak melakukan hal yang rendah, dan saling tolong-menolong. Dari penafsiran ini, terlihat pendekatan sosial digunakan oleh Muhammad Abduh, untuk menggerakkan orang-orang yang membaca tafsirnya.

Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menafsirkan nafs muthmainnah sebagai tingkatan kepribadian yang telah melalui gemblengan pengalaman dan penderitaan hingga berhasil mencapai ketenangan. Kepribadian ini bersinggungan dengan spiritual karena sukses melalui berbagai liku percobaan. Orang dengan nafs muthmainnah tersebut tidak mengeluh dan berhasil menyeimbangkan antara iman dan perasaan.

Keseimbangan ini juga dimisalkan layaknya dua sayap yang kuat. Sayap pertama yakni sikap syukur, sementara sayap kedua yakni sabar. Syukur ketika mendapatkan kenikmatan, kekayaan dan lainnya, dan sabar saat mendapati kekurangan dan cobaan. Dari uraian ini, terlihat bahwa penafsiran Abduh dan Buya Hamka terhadap nafs muthmainnah memiliki persamaan yang signifikan, yakni konsep syukur dan sabar. Jika Buya Hamka menjelaskan syukur dan sabar dalam tataran konsep, maka Abduh melengkapinya dengan permisalan yang solutif di lingkungan sosial.

Selain itu, Buya Hamka juga menyebutkan beberapa nafs sebagai tingkatan pengolahan jiwa. Adapun ragam nafs itu terdiri dari, nafs ammarah, nafs lawwamah, dan  nafs muthmainnah.

Baca juga: Surah An-Nahl [16]: 125: Pentingnya Kontra Narasi di Media Sosial

Terkait tiga tingkatan nafs ini, perlu diuraikan lebih lanjut sebagai berikut.

  1. Nafs Ammarah

Nafs Ammarah berarti jiwa yang memerintah. Kepribadian ini merupakan tabiat alami dari diri manusia. Maka kepribadian ini memiliki kecenderungan badaniyah yang berkeinginan untuk mendapatkan kesenangan (syahwat). Adapun contoh kepribadian ini seperti ambisius, hasrat biologis, marah, dan sifat lainnya. Terkait nafs ini, Allah Swt memperingatkan agar manusia tidak mudah menurutinya, sebab nafs ini berpotensi menyesatkan dan menjerumuskan kepada hal-hal yang buruk.

  1. Nafs lawwamah

Nafs ini merupakan tingkat kepribadian jiwa seseorang yang kedua. Sesungguhnya level jiwa yang kedua ini mampu menerima pencerahan hati, namun sesekali ia masih melakukan hal yang buruk, dan terkadang menyesalinya. Tentu, jiwa yang ada dalam level lawwamah ini memiliki potensi besar untuk bertaubat dan insyaf.

Dalam disiplin ilmu tasawuf, nafs lawwamah ini menyukai perbuatan-perbuatan baik, namun tidak dapat melakukan secara istiqamah. Di antara penyebab sulitnya istiqamah itu karena dalam hati masih dihinggapi maksiat batin, seperti ujub dan riya’. Meski demikian, orang yang masih dominan nafs lawwamah-nya dianjurkan untuk memperbanyak zikir kepada Allah agar mampu mengendalikannya dan mencapai ketenangan jiwa (nafs muthmainnah).

Baca juga: Balasan Kebaikan Adalah Ridha Allah Swt Bagi Hamba-Nya

  1. Nafs Muthmainnah

Nafs yang ketiga ini merupakan puncak dari jiwa-jiwa yang sebelumnya. Manusia secara alami memang tidak bisa lepas dari ammarah dan lawwamah. Namun bukan berarti manusia tidak dapat mengendalikan jiwa dan mencapai ketenangan yang purna. Tentu, cara yang ditempuh agar mampu mencapai level ini, sudah dijelaskan di awal bahwa iman dan amal saleh yang diliputi istiqamah zikir dapat menggapai ketenangan yang sejati.

Bergandengan dengan surah Al-Fajr ayat ke-27, Allah memanggil manusia yang telah mencapai ketenangan jiwa untuk kembali di sisi-Nya dengan hati ridha dan diridhai. Lantas manusia tersebut masuk golongan baik yang akan dimasukkan ke surga.

 ارْجِعِيْٓ اِلٰى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ۚ ٢٨ فَادْخُلِيْ فِيْ عِبٰدِيْۙ ٢٩ وَادْخُلِيْ جَنَّتِيْ ࣖ ٣٠

  1. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai-Nya.
  2. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku,
  3. dan masuklah ke dalam surga-Ku.

Baca juga: Nasaruddin Umar: Al-Qur’an Bedakan antara Gender dan Jenis Kelamin

Dari lanjutan ayat tersebut, penafsiran yang umum menunjukkan keadaan hari akhir seseorang yang condong terhadap nafs muthmainnah. Namun, Abduh dan Hamka tidak hanya membatasinya dalam konteks tersebut, mereka menunjukkan bahwa ketenangan jiwa bisa juga digapai dengan kepekaan sosial dan kekuatan iman, khususnya melalui rasa syukur dan sabar.

Semoga kita semua mampu menggapai ketenangan jiwa.

Wallahu a’lam[]