Beranda blog Halaman 227

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 115-118

0
Tafsir Surah Al Mu'minun
Tafsir Surah Al Mu'minun

Adapun Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 115-118 adalah series terakhir dari tafsir kali ini yang akan menjelaskan tentang keesaan Allah Swt., bahwa Dia tidaklah menciptakan sesuatu dengan sia-sia, termasuk manusia. Dan bagi manusia pula, ada kebaikan dan keburukan, ada dosa dan pahala, serta surga dan neraka. Mereka yang beriman dan melakukan kebajikan tentu akan mendapatkan pahala dan surga, sementara mereka yang menyekutukannya dan melakukan keburukan, maka balasannya adalah neraka. Simak penjelasan berikut ini.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 111-114


Ayat 115

Ayat ini menerangkan bahwa keingkaran para penghuni neraka tentang adanya hari kebangkitan berkaitan dengan keyakinan mereka bahwa kehidupan berakhir dengan kematian, sehingga Allah perlu mengingatkan mereka dengan pertanyaan, “Apakah mereka menyangka bahwa mereka Kami ciptakan dengan main-main, dibiarkan begitu saja seperti halnya binatang, tidak diberi pahala dan tidak diazab?Ataukah mereka mengira bahwa mereka itu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” Tidak, sekali lagi tidak.

Mereka diciptakan sebagai hamba Allah dan diberi kewajiban. Siapa yang melaksanakan kewajiban, mereka diberi pahala, dan bagi yang menyia-nyiakan kewajiban, mereka akan diazab dan dikembalikan kepada Allah untuk mempertanggungjawabkan segala per-buatan mereka di dunia, sesuai firman Allah:

اَيَحْسَبُ الْاِنْسَانُ اَنْ يُّتْرَكَ سُدًىۗ

Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja? (Tanpa pertanggungjawaban?) (al-Qìyāmah/75: 36)

Ayat 116

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah Mahasuci dari apa yang dituduhkan orang-orang musyrik kepada-Nya, begitu pula sangkaan bahwa Dia menciptakan manusia secara sia-sia, karena Dia adalah Tuhan yang sebenarnya.

Tiada tuhan melainkan Dia, Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang mulia. Dialah yang mengatur alam raya ini, baik yang di atas maupun yang di bawah, begitu pula semua makhluk ciptaan-Nya. Firman Allah:

وَمَا خَلَقْنَا السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا لٰعِبِيْنَ  ٣٨  مَا خَلَقْنٰهُمَآ اِلَّا بِالْحَقِّ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ  ٣٩

Dan tidaklah Kami bermain-main menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya.  Tidaklah Kami ciptakan keduanya melainkan dengan haq (benar), tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (ad-Dukhān/44:38-39)


Baca Juga: Perbedaan Rasm Al-Daniy dan Al-Suyuthiy, Berikut Penjelasannya


Ayat 117

Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang yang menyembah Allah dan menyekutukan-Nya dengan tuhan yang lain, padahal tidak ada yang pantas disembah melainkan Allah, pada hakikatnya tidak ada alasan sama sekali yang dapat membenarkan perbuatan mereka itu.

Mereka akan diajukan ke hadapan Allah, untuk memperhitungkan dan mempertanggung-jawabkan segala perbuatan mereka. Allah yang akan menyempurnakan ganjaran atas perbuatan mereka. Sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak akan beruntung selama-lamanya, dan tidak akan luput dari azab yang menyiksanya.

Ayat 118

Ayat ini menerangkan bahwa setelah menjelaskan keadaan orang-orang kafir, kebodohan mereka di dunia dan siksaan yang disediakan bagi mereka di akhirat, Allah memerintahkan Rasul-Nya supaya memohon kepada-Nya agar dimaafkan semua kesalahan yang diperbuatnya, diberi rahmat dengan diterima tobatnya, dan dibebaskan dari azab atas kelalaian dan kekeliruan yang telah diperbuatnya, karena Dialah Pemberi rahmat yang paling baik.

Perintah Allah kepada Rasul-Nya seperti tersebut di atas, adalah untuk menjadi contoh yang baik bagi umatnya.

Setiap kali mereka berbuat kesalahan, supaya mereka beristigfar, dan setiap mereka berbuat maksiat, supaya cepat-cepat bertobat, jangan sampai kesalahan dan maksiat itu bertumpuk-tumpuk, karena yang demikian itu akan menjadi beban yang berat nanti di hari akhirat.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 103-105

0
Tafsir Surah Al Mu'minun
Tafsir Surah Al Mu'minun

Diperadilan Allah Swt. akan diperlihatkan timbangan amal manusia selama di dunia, ada yang berat dan ringan, maka beruntunglah mereka yang memiliki timbangan berat itu. Adapun Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 103-105 menerangkan betapa sialnya mereka yang timbangannya rendah, sebab mereka akan dijerumuskan kedalam neraka sebagai balasan atas amal yang dilakukan selama di dunia. Lalu bagaimanakah ciri manusia yang memiliki amal yang ringan tersebut? Berikut penjelasannya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 101-102


Ayat 103

Pada ayat ini Allah menerangkan kerugian orang yang ringan timbangan kebaikannya. Mereka itu ketika masih berada di dunia banyak berbuat maksiat menuruti kehendak hawa nafsunya. Mereka mengingkari ayat-ayat Allah yang menyebabkan amal-amal mereka tidak bernilai di hari kemudian, sebagaimana firman Allah:

اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِاٰيٰتِ رَبِّهِمْ وَلِقَاۤىِٕهٖ فَحَبِطَتْ اَعْمَالُهُمْ فَلَا نُقِيْمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ وَزْنًا

Mereka itu adalah orang yang mengingkari ayat-ayat Tuhan mereka dan (tidak percaya) terhadap pertemuan dengan-Nya. Maka sia-sia amal mereka, dan Kami tidak memberikan penimbangan terhadap (amal) mereka pada hari Kiamat.  (al-Kahf/18: 105).

Mereka itu akan kekal di dalam neraka Jahanam. Sejalan dengan ayat 103 ini firman Allah:

وَاَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِيْنُهٗۙ  ٨  فَاُمُّهٗ هَاوِيَةٌ  ۗ  ٩

Dan adapun orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. (al-Qāri`ah/101: 8-9)

بَلٰى مَنْ كَسَبَ سَيِّئَةً وَّاَحَاطَتْ بِهٖ خَطِيْۤـَٔتُهٗ فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ

Bukan demikian! Barang siapa berbuat keburukan, dan dosanya telah menenggelamkannya, maka mereka itu penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya. (al-Baqarah/2: 81)


Baca Juga: Surah Ibrahim Ayat 28: Larangan Memanipulasi Nikmat Allah Swt dalam Konteks Berbangsa


Ayat 104

Pada ayat ini Allah menerangkan kerugian orang yang ringan timbangan kebaikannya. Mereka itu ketika masih berada di dunia banyak berbuat maksiat menuruti kehendak hawa nafsunya. Mereka mengingkari ayat-ayat Allah yang menyebabkan amal-amal mereka tidak bernilai di hari kemudian, sebagaimana firman Allah:

اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِاٰيٰتِ رَبِّهِمْ وَلِقَاۤىِٕهٖ فَحَبِطَتْ اَعْمَالُهُمْ فَلَا نُقِيْمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ وَزْنًا

Mereka itu adalah orang yang mengingkari ayat-ayat Tuhan mereka dan (tidak percaya) terhadap pertemuan dengan-Nya. Maka sia-sia amal mereka, dan Kami tidak memberikan penimbangan terhadap (amal) mereka pada hari Kiamat.  (al-Kahf/18: 105).

Mereka itu akan kekal di dalam neraka Jahanam. Sejalan dengan ayat 103 ini firman Allah:

وَاَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِيْنُهٗۙ  ٨  فَاُمُّهٗ هَاوِيَةٌ  ۗ  ٩

Dan adapun orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. (al-Qāri`ah/101: 8-9)

بَلٰى مَنْ كَسَبَ سَيِّئَةً وَّاَحَاطَتْ بِهٖ خَطِيْۤـَٔتُهٗ فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ

Bukan demikian! Barang siapa berbuat keburukan, dan dosanya telah menenggelamkannya, maka mereka itu penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya. (al-Baqarah/2: 81)

Ayat 105

Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa berbagai pertanyaan yang sifatnya mengejek diajukan kepada para penghuni neraka. Hal itu mengingatkan mereka kembali bahwa telah diutus para rasul untuk membimbing mereka, dan diturunkan kitab-kitab samawi untuk menjadi pedoman mereka, supaya tidak ada lagi alasan bagi mereka untuk tidak taat dan patuh kepada ajaran-ajaran yang dibawa para rasul itu, sebagaimana firman Allah:

لِئَلَّا يَكُوْنَ لِلنَّاسِ عَلَى اللّٰهِ حُجَّةٌ ۢ بَعْدَ الرُّسُلِ ۗ

Agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah setelah rasul-rasul itu diutus.  (an-Nisā`/4: 165).

Dan firman-Nya:

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِيْنَ حَتّٰى نَبْعَثَ رَسُوْلًا

Tetapi Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul. (al- Isrā`/17: 15)

Tetapi mereka itu mendustakan ayat-ayat Allah dan tidak mempercayainya sedikit pun, bahkan rasul-rasul yang diutus kepada mereka disiksa dan dianiayanya. Sejalan dengan ayat 105 ayat ini, firman Allah:

تَكَادُ تَمَيَّزُ مِنَ الْغَيْظِۗ كُلَّمَآ اُلْقِيَ فِيْهَا فَوْجٌ سَاَلَهُمْ خَزَنَتُهَآ اَلَمْ يَأْتِكُمْ نَذِيْرٌۙ  ٨  قَالُوْا بَلٰى قَدْ جَاۤءَنَا نَذِيْرٌ ەۙ فَكَذَّبْنَا وَقُلْنَا مَا نَزَّلَ اللّٰهُ مِنْ شَيْءٍۖ اِنْ اَنْتُمْ اِلَّا فِيْ ضَلٰلٍ كَبِيْرٍ  ٩

Hampir meledak karena marah. Setiap kali ada sekumpulan (orang-orang kafir) dilemparkan ke dalamnya, penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka, ”Apakah belum pernah ada orang yang datang memberi peringatan kepadamu (di dunia)?” Mereka menjawab, ”Benar, sungguh, seorang pemberi peringatan telah datang kepada kami, tetapi kami mendustakan(nya) dan kami katakan, ”Allah tidak menurunkan sesuatu apa pun, kamu sebenarnya didalam kesesatan yang besar.” (al-Mulk/67: 8-9)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Mu’minun 106-110


Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 111-114

0
Tafsir Surah Al Mu'minun
Tafsir Surah Al Mu'minun

Sebelumnya telah dijelaskan bagaimana kondisi penghuni nereka, sementara Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 111-114 akan berbicara tentang balasan Allah kepada mereka yang beriman sebagai bentuk apresiasi atas kesabaran mereka dalam ketaatan dan ketakwaan kepada Allah Swt.

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 111-114 juga mengingatkan manusia bahwa dunia adalah tempat persinggahan semata, adapun kehidupan yang abadi dan kekal ada di akhirat. Maka, manusia wajib mencari bekal sebanyak-banyaknya untuk menjalani kehidupan di akhirat kelak.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 106-110


Ayat 111

Ayat ini menegaskan bahwa Allah akan memberi balasan kepada orang-orang mukmin pada hari Kiamat nanti, karena kesabaran dan ketabahan mereka menghadapi ejekan dan tertawaan orang-orang kafir, serta ketaatan dan kepatuhan mereka kepada perintah-Nya.

Sesungguhnya orang-orang mukmin, itulah orang-orang yang menang dan beruntung.

Di akhirat kelak, mereka duduk di atas dipan-dipan sambil memandang santai, menertawakan orang-orang kafir yang menertawakan mereka dahulu di dunia. Inilah ganjaran bagi orang-orang kafir atas apa yang telah dikerjakannya di dunia, sebagaimana firman Allah:

فَالْيَوْمَ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنَ الْكُفَّارِ يَضْحَكُوْنَۙ  ٣٤  عَلَى الْاَرَاۤىِٕكِ يَنْظُرُوْنَۗ  ٣٥  هَلْ ثُوِّبَ الْكُفَّارُ مَا كَانُوْا يَفْعَلُوْنَ ࣖ  ٣٦

Maka pada hari ini, orang-orang yang beriman yang menertawakan orang-orang kafir, mereka (duduk) di atas dipan-dipan melepas pandangan. Apakah orang-orang kafir itu diberi balasan (hukuman) terhadap apa yang telah mereka perbuat?  (al-Muthaffifin/83: 34-36)

Ayat 112

Setelah permintaan penghuni neraka untuk dikembalikan ke dunia ditolak Allah dengan penegasan bahwa mereka akan tetap meringkuk di neraka dan supaya tidak meminta-minta kepada-Nya, mereka ditanya lagi berapa lama mereka hidup di bumi, sejak dilahirkan sampai meninggalkan dunia fana itu ke alam baka.

Ayat 113

Oleh karena besarnya pengaruh bencana yang menimpa penghuni neraka dan hebatnya siksaan dan azab yang dideritanya, maka mereka yang malang itu tidak lagi bisa mengingat berapa lama mereka tinggal di dunia.

Mereka merasa sebentar sekali, bahkan mereka menyangka bahwa mereka tinggal di dunia hanya sehari atau tidak sampai satu hari jika dibandingkan dengan kehidupan akhirat. Pada ayat ini Allah menganjurkan kepada mereka untuk menanyakan berapa lama mereka tinggal di dunia.


Baca Juga: Tafsir Surah Yasin ayat 58-59: Ucapan Salam Untuk Para Penghuni Surga


Ayat 114

Ayat ini menerangkan bahwa mereka memang tinggal di dunia hanya sebentar. Andaikata mereka menyadari hal itu ketika mereka tinggal di dunia, sedang kehidupan yang dihadapinya di akhirat adalah kehidupan yang tiada batasnya, tentu mereka akan berbuat hal-hal yang bermanfaat dan sesuai dengan yang diperintahkan Allah.

Akan tetapi, mereka lalai menyadarinya, sehingga mereka layak mendapat azab dari Allah. Rasulullah bersabda:

رَوَى اِبْنُ اَبِيْ حَاتِمٍ عَنْ اَيْقَعَ بْنِ عَبْدِ اْلكَلاَعِى. قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِنَّ اللهَ اِذَا دَخَلَ اَهْلُ الْجَنَّةِ اَلْجَنَّةَ. وَاَهْلُ النَّارِ اَلنَّارَ. قَالَ يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ، كَمْ لَبِثْتُمْ فِى اْلاَرْضِ عَدَدَ سِنِيْنَ؟ قَالُوْا لَبِثْنَا يَوْمًا اَوْبَعْضَ يَوْمٍ. قَالَ: لَنِعْمَ مَا اِتَّجَرْتُمْ فِى يَوْمٍ اَوْ بَعْضَ يَوْمٍ رَحْمَتِى وَرِضْوَانِى وَجَنَّتِى اُمْكِثُوْا فِيْهَا خَالِدِيْنَ مُخَلَّدِيْنَ، ثُمَّ قَالَ يَا أَهْلَ النَّارِ كَمْ لَبِثْتُمْ فِى اْلاَرْضِ عَدَدَ سِنِيْنَ؟ قَالُوْا لَبِثْنَا يَوْمًا اَوْبَعْضَ يَوْمٍ فَيَقُوْلُ بِئْسَ مَا اِتَّجَرْتُمْ فِى يَوْمٍ اَوْبَعْضَ يَوْمٍ نَارِي وَسُخْطِى اُمْكِثُوْا فِيْهَا خَالِدِيْنَ مُخَلَّدِيْنَ.

Ketika Ibnu Abi Hātim meriwayatkan  dari Aiqa’  bin Abd al-Kala’i, Rasulullah bersabda bahwa apabila penghuni surga telah masuk ke dalam surga dan penghuni neraka ke dalam neraka; Allah berfirman, “Wahai penghuni surga! Berapa lama engkau hidup di dunia?” Mereka menjawab, “Kami tinggal di dunia hanya sehari atau tidak sampai satu hari.” Allah berfirman, “Alangkah baiknya engkau sekalian menginvestasikan waktu yang sehari itu, atau tidak sampai satu hari itu. Engkau sekalian memperoleh rahmat-Ku, rida-Ku dan surga-Ku. Tinggallah kamu sekalian di dalam surga  untuk selama-lamanya.” Sesudah itu Allah berfirman, “Wahai penghuni neraka! Berapa lamakah kamu tinggal hidup di dunia?” Mereka menjawab, “Kami tinggal di dunia hanya sehari atau tidak sampai satu hari.” Allah berfirman, “Alangkah buruknya kamu sekalian menginvestasikan waktu yang sehari atau tidak sampai satu hari itu. Kamu sekalian menerima murka-Ku dan memasuki neraka-Ku. Tinggallah di dalam neraka untuk selama-lamanya.”

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 115-118


Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 106-110

0
Tafsir Surah Al Mu'minun
Tafsir Surah Al Mu'minun

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 106-110 berbicara tentang kondisi penghuni neraka, selain mengakui atas kesesatan yang pernah dilakukan sewaktu di dunia, mereka juga memohon agar diberi kesempatan untuk kembali kedunia agar bisa melakukan kebaikan sebagai penebus kesalahan. Namun, Allah menolak, tidak ada kesempatan lagi, terlebih kesalahan mereka begitu banyak, tidak hanya kepada Allah semata, namun juga terhadap sesama manusia.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 103-105


Ayat 106

Pada ayat ini Allah menerangkan pengakuan penghuni neraka atas kesesatan mereka, sekalipun telah diutus kepada mereka rasul-rasul untuk membimbing mereka, dan diturunkan kitab-kitab samawi untuk menjadi pedoman mereka.

Akan tetapi, mereka telah dikalahkan oleh kejahatan mereka, dan dikendalikan oleh hawa nafsu, maka tidak ada jalan bagi mereka untuk berbuat kebaikan dan menghindarkan diri dari jalan kesesatan. Sejalan dengan ayat ini firman Allah:

فَاعْتَرَفْنَا بِذُنُوْبِنَا فَهَلْ اِلٰى خُرُوْجٍ مِّنْ سَبِيْلٍ

Lalu kami mengakui dosa-dosa kami. Maka adakah suatu jalan (bagi kami) untuk keluar (dari neraka)? (al-Mu`min/40: 11)

Ayat 107

Ayat ini menerangkan permohonan penghuni neraka kepada Allah, yaitu agar mereka dikeluarkan dari neraka dan dikembalikan ke dunia. Mereka berjanji bahwa kalau permohonan mereka dikabulkan, mereka akan mengubah kekafiran mereka kepada keimanan dan taat kepada segala apa yang diperintahkan Allah kepada mereka.

Jika mereka masih tetap saja berbuat maksiat sebagaimana halnya dahulu, maka mereka benar-benar orang yang aniaya dan mereka layak menerima azab dan siksa yang amat pedih.

Ayat 108

Ayat ini menerangkan jawaban Allah terhadap permintaan penghuni neraka untuk dapat dikembalikan ke dunia menebus kesalahan dan dosa-dosa yang telah diperbuatnya.

Allah menegaskan kepada mereka supaya tetap berada di dalam neraka, meringkuk dalam keadaan hina dan tidak mempunyai harga diri sedikit pun. Mereka harus diam dan tidak melanjutkan pembicaraannya dengan Allah serta tidak mengulangi lagi perbuatannya karena mereka tak mungkin lagi dapat dikembalikan ke dunia.


Baca Juga: Tafsir Surat Al-Waqiah Ayat 7-12: Merenungi Tiga Macam Kondisi Manusia


Ayat 109-110

Pada ayat ini Allah menerangkan sebab musabab mereka disiksa dan diazab, serta jawaban yang menghina atas permintaan mereka kembali ke dunia.

Hinaan itu muncul karena mereka menghina hamba-hamba Allah yang telah beriman, seperti Bilal, Khabbāb, Shuhaib dan orang-orang mukmin yang lemah lainnya, selalu mendekatkan diri kepada Allah, menegaskan ikrar dan pengakuan keimanan mereka kepada-Nya, membenar-kan para rasul yang telah diutus-Nya, senantiasa meminta ampunan dan memohon rahmat kepada-Nya karena Dialah pemberi rahmat yang sebaik-baiknya.

Orang-orang kafir menghadapi orang-orang mukmin itu dengan sikap mengejek, menertawakan, dan menghina. Ayat ini juga menerangkan bahwa kesibukan orang-orang kafir itu mereka mengejek dan menertawakan orang-orang mukmin, membuat mereka lupa mengingat Allah. Sejalan dengan ayat ini, Allah berfirman:

اِنَّ الَّذِيْنَ اَجْرَمُوْا كَانُوْا مِنَ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا يَضْحَكُوْنَۖ  ٢٩  وَاِذَا مَرُّوْا بِهِمْ يَتَغَامَزُوْنَۖ  ٣٠  وَاِذَا انْقَلَبُوْٓا اِلٰٓى اَهْلِهِمُ انْقَلَبُوْا فَكِهِيْنَۖ  ٣١  وَاِذَا رَاَوْهُمْ قَالُوْٓا اِنَّ هٰٓؤُلَاۤءِ لَضَاۤلُّوْنَۙ  ٣٢  وَمَآ اُرْسِلُوْا عَلَيْهِمْ حٰفِظِيْنَۗ  ٣٣

Sesungguhnya orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang dahulu menertawakan orang-orang yang beriman. Dan apabila mereka (orang-orang yang beriman) melintas di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya, dan apabila kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira ria. Dan apabila mereka melihat (orang-orang mukmin), mereka mengatakan, ”Sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang sesat,” padahal (orang-orang yang berdosa itu), mereka tidak diutus sebagai penjaga (orang-orang mukmin). (al-Muthaffifin/83: 29-33)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Mu’minun 111-114


Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 101-102

0
Tafsir Surah Al Mu'minun
Tafsir Surah Al Mu'minun

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 101-102 menegaskan bahwa ketika hari Kiamat sudah terjadi, maka tidak ada kesempatan kedua bagi manusia untuk melakukan kebaikan. Pun, tidak ada yang bisa menyelamatkan mereka dari peradilan Allah, kecuali amal kebaikan yang mereka lakukan selama hidup di dunia, dan Allah adalah Hakim yang Maha Adil, tidak ada yang luput dari pantauan-Nya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 97-100


Ayat 101

Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa apabila sangkakala ditiup untuk kedua kalinya dan arwah dikembalikan kepada tubuhnya masing-masing pada hari kebangkitan nanti, maka pada waktu itu tidak ada lagi manfaat pertalian nasab.

Seseorang tidak dapat lagi membanggakan nasabnya, bahwa dia berasal dari keturunan bangsawan sebagaimana halnya pada waktu ia masih berada di dunia. Tidak ada perbedaan antara seseorang dengan yang lain, semua terpengaruh suasana yang meliputinya.

Mereka kebingungan dan diliputi perasaan takut karena kedahsyatan hari itu, sehingga hilanglah rasa cinta dan kasih sayang. Masing-masing memikirkan dirinya sendiri dan tidak mau tahu orang lain, sebagaimana yang dilukiskan di dalam firman Allah:

فَاِذَا جَاۤءَتِ الصَّاۤخَّةُ ۖ  ٣٣  يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ اَخِيْهِۙ  ٣٤  وَاُمِّهٖ وَاَبِيْهِۙ  ٣٥  وَصَاحِبَتِهٖ وَبَنِيْهِۗ  ٣٦  لِكُلِّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ يَوْمَىِٕذٍ شَأْنٌ يُّغْنِيْهِۗ  ٣٧

Maka apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkakala yang kedua), pada hari itu manusia lari dari saudaranya, dan dari ibu dan bapaknya, dan dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang menyibukkannya. (‘Abasa/80: 33-37).

Mereka tidak lagi saling tegur dan bertanya. Tidak seorang pun di antara mereka yang menanyakan keadaan keluarga dan keturunannya, sebagaimana halnya di dunia. Mereka seolah-olah tidak saling mengenal lagi. Firman Allah:

وَلَا يَسْـَٔلُ حَمِيْمٌ حَمِيْمًاۚ

Dan tidak ada seorang teman akrab pun menanyakan temannya. (al- Ma‘ārij/70: 10).

Mereka kebingungan seperti orang-orang yang sedang mabuk, padahal mereka tidak mabuk. Firman Allah:

يَوْمَ تَرَوْنَهَا تَذْهَلُ كُلُّ مُرْضِعَةٍ عَمَّآ اَرْضَعَتْ وَتَضَعُ كُلُّ ذَاتِ حَمْلٍ حَمْلَهَا وَتَرَى النَّاسَ سُكٰرٰى وَمَا هُمْ بِسُكٰرٰى وَلٰكِنَّ عَذَابَ اللّٰهِ شَدِيْدٌ

(Ingatlah) pada hari ketika kamu melihatnya (goncangan itu), semua perempuan yang menyusui anaknya akan lalai terhadap anak yang disusuinya, dan setiap perempuan yang hamil akan keguguran kandungannya, dan kamu melihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, tetapi azab Allah itu sangat keras. (al-Hajj/22: 2)


Baca Juga: Tafsir Surah Yasin Ayat 48-50: Hari Kiamat Datang dengan Tiba-Tiba


Ayat 102

Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang yang berat timbangan amal kebaikannya yaitu orang-orang yang beriman dan banyak beramal saleh di dunia, adalah orang-orang yang beruntung dan berbahagia.

Pada hari Kiamat nanti, seseorang sebelum ditetapkan nasibnya, apakah ia dimasukkan ke dalam surga atau ke dalam neraka, lebih dahulu ia akan diajukan ke pengadilan yang akan memberi keputusan yang seadil-adilnya.

Tidak akan terjadi kecurangan dalam proses pengadilan itu karena yang menjadi hakimnya ialah Allah sendiri. Berbeda halnya dengan pengadilan di dunia ini, orang yang bersalah adakalanya diputuskan tidak bersalah, karena pintarnya bersilat lidah, memutarbalikkan keadaan atau karena kelicikan pembelanya, sehingga hakim menjadi terkecoh.

Begitu pula sebaliknya, orang yang tidak bersalah ada kemungkinan diputuskan bersalah karena tidak mampu membayar pembela yang pintar dan sebagainya. Setiap keputusan di dunia yang tidak adil akan dimentahkan kembali dan akan diputuskan sekali lagi di akhirat dengan seadil-adilnya.

Segala sangkut paut yang belum selesai di dunia ini akan diselesaikan nanti di akhirat dengan seadil-adilnya. Setelah melalui proses pengadilan dan sangkut paut masing-masing telah diselesaikan maka untuk mengetahui kadar kebaikan dan kejahatan masing-masing diadakan timbangan, sebagaimana dijelaskan di dalam firman Allah:

وَنَضَعُ الْمَوَازِيْنَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيٰمَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْـًٔاۗ

Dan Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari Kiamat, maka tidak seorang pun dirugikan walau sedikit. (al- Anbiyā`/21: 47).

Barangsiapa yang berat timbangan amal kebaikannya, berbahagialah ia. Sejalan dengan ayat 102 ini firman Allah:

فَاَمَّا مَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهٗۙ  ٦  فَهُوَ فِيْ عِيْشَةٍ رَّاضِيَةٍۗ  ٧

Maka adapun orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan (senang). (al-Qāri`ah/101: 6-7)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Mu’minun 103-105


Menggali Hikmah dari Munasabah Surah Muawwidzatain

0
munasabah dan hikmah surah muawwidzatain
munasabah dan hikmah surah muawwidzatain

Satu dari keistimewaan Al-Qur’an adalah keterkaitan ayatnya satu sama lain. Keterkaitan ini serupa anyaman benang yang saling mengikat dan tak terpisahkan. Dalam kajian ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, tema ini dikenal dengan “al-munāsabah”.

Kajian munāsabah ini membahas bagaimana keserasian antar ayat atau surah di dalam Al-Qur’an. Satu dari sekian mufasir yang mengkaji tema ini adalah M. Quraish Shihab. Hal ini bisa dilihat dari judul kecil kitabnya, yaitu “Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an.”

Keserasian dalam Al-Qur’an mengabarkan kepada kita dua hal penting. Pertama, keutuhan Al-Qur’an. artinya, Al-Qur’an merupakan satu kesatuan, antar ayat saling menjelaskan dan tidak berdiri sendiri-sendiri. Sehingga, memahaminya tidak boleh secara parsial, namun harus melihat rangkaian ayat secara komprehensif. Dengan begitu, pemahaman yang diperoleh dari Al-Qur’an menjadi “komplit” dan tidak sepotong.

Adapun yang kedua, keagungannya sebaga wahyu yang datang dari Allah tanpa perubahan (tahrīf). Dengan kata lain, Al-Qur’an merupakan jelmaan dari ilmu Allah Yang Maha Benar. Oleh sebab itu, tidak ada pertentangan sedikit pun di dalam Al-Qur’an.

Baca Juga: Inilah 3 Keutamaan Surah Al-Muawwidzatain (Al-Falaq dan An-Nas)

Surah Muawwidzatain

Nah, artikel ini akan membahas keterkaitan antar dua surah; surah Al-Falaq dan surah An-Nās. Mengapa? Karena, kedua surah ini memiliki keterkaitan dari sisi kalimat pembukanya dan dari sisi kandungannya.

Dari sisi kalimat pembukanya, kedua surah ini di awali dengan perintah untuk memohon perlindungan. Redaksi itu berbunyi qul a’ūdzu, yang artinya “katakanlah aku berlindung”. Oleh karena itu, kedua surah ini sering disebut dengan surah muawwidzatain. Yakni, dua surah yang menuntun pembacanya kepada tempat perlindungan. (Tafsir Al-Misbah)

Sebagian ulama menyebut surah Al-Falaq dengan surah al-Mu’awwidzah al-Ulā (yang pertama), sedangkan surah An-Nās sebagai surah al-Mu’awwidzah ath-Thāniyah (yang kedua). Adapun menurut Al-Qurthubi, kedua surah ini juga disebut sebagai al-Muqasyqisyatain, yaitu dua surah yang membebaskan manusia dari kemunafikan. (Tafsir Al-Qurthūbī)

Adapun dari sisi kandungan, kedua surah ini mengajarkan kita untuk berlindung hanya kepada Allah dari segala bentuk kejahatan. Jika demikian, lalu apa perbedaan keduanya? Mari lanjut membaca!

Baca Juga: Agar Terhindar dari Kejahatan? Baca Surah Muawwidzatain

Berlindung Kepada Allah

Kedua surah ini sama-sama mengajarkan kita untuk berlindung kepada Allah. Namun, apabila kita perhatikan, maka penyebutan Allah sebagai Tuhan (yang dimintai perlindungan) di kedua surah ini berbeda dalam jumlahnya.

Perhatikan kedua redaksi surah berikut ini:

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ

Artinya: “Katakanlah, Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai Subuh.”

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ مَلِكِ النَّاسِ إِلٰهِ النَّاسِ

Artinya: “Katakanlah, “Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja dan penguasa manusia. Sembahan manusia.”

Pada surah Al-Falaq, kita hanya berlindung kepada satu Tuhan. Yaitu, Tuhan yang menguasai subuh (rabb al-Falaq). Sementara, di dalam surah An-Nās, ada tiga nama Tuhan yang dimintai perlindungan. Pertama, Tuhan (Pemelihara) manusia. Kedua, Raja dan penguasa manusia, dan yang ketiga, sesembahan manusia. (Tafsir Al-Kabīr)

Perbedaan penyebutan jumlah sebutan Tuhan dalam kedua surah ini akan menjadi menarik apabila kita kaitkan dengan redaksi selanjutnya. Yaitu yang berkaitan dengan keburukan yang kita mintai untuk dihindarkan.

Baca Juga: Sihir itu Nyata ataukah Hayalan? Inilah Tafsir Ayat tentang Sihir

Dua Macam Keburukan

Redaksi selanjutnya berkaitan dengan ragam keburukan. Setelah mengamati perbedaan dalam penyebutan Tuhan, selanjutnya ada perbedaan dalam ragam keburukan. Dua ragam keburukan itu adalah keburukan dari luar dan keburukan dari dalam diri manusia.

Dalam surah Al-Falaq keburukan yang disebutkan adalah keburukan yang berasal dari luar diri manusia. Seperti, keburukan yang diciptakan, keburukan wanita yang menyihir dan keburukan orang yang mendengki. Artinya, model keburukan ini berasal dari luar diri dan sifatnya lebih nyata.

Sementara dalam surah An-Nās, kita meminta untuk dihindarkan dari segala keburukan yang berasal dari dalam diri manusia. Yaitu, keburukan bisikkan setan yang tersembunyi dan keburukan bisikkan ke dalam dada manusia. Artinya, keburukan ini lebih halus, lembut dan sangat dekat dengan diri manusia. (Tafsir Asy-Sya’rawī)

Dua model keburukan inilah yang membedakan kedua surah ini. Selain memiliki kesesuaian, kedua surah ini juga memiliki perbedaan yang memberikan pelajaran berharga bagi kita semua. Selanjutnya akan kita uraikan hikmah tersebut.

Hikmah Surah Muawwidzatain

Setelah memahami kesesuain dan perbedaan kedua surah ini, ada beberapa hikmah dan pelajaran berharga yang dapat kita ambil. Hikmah dari kedua surah ini dapat diraih dengan memperhatikan keserasian dan perbedaan dari kandungan keduanya. Hikmah yang menarik adalah bahwa perlindungan diri hanya kepada Allah adalah keniscayaan bagi kita yang lemah. Segala keburukan, baik yang lembut dan nyata harus dimohonkan kepada Allah Yang Maha Melindungi hamba-Nya.

Dan yang menarik adalah keburukan yang halus, yang berasal dari dalam diri manusia lebih besar dan kuat dibandingkan dengan keburukan yang berasal dari luar diri. Oleh karena itu, surah Al-Falaq hanya menyebut satu bentuk Tuhan (rabb Al-Falaq), sementara surah An-Nās, menyebutkan tiga bentuk Tuhan. Dengan kata lain, kita perlu mewaspadai segala keburukan yang lembut. Karena keburukan ini begitu tersembunyi dan tidak disadari. Sementara, keburukan dari luar diri juga tetap perlu kita waspadai dengan sigap.

Alhasil, melalui hikmah ini semoga kita terus dapat berlindung dari segala keburukan. Khususnya keburukan yang sangat lembut dan tersembunyi. Dengan begitu, kita dapat menjadi hamba yang terus terhubung dengan perlindungan Allah dalam segala keadaan dalam hidup kita. Wallahu’alam bishawab.

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 97-100

0
Tafsir Surah Al Mu'minun
Tafsir Surah Al Mu'minun

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 97-100 diawali dengan perintah Allah kepada Muhammad dan pengikutnya agar senantiasa memohon perlindungan kepada-Nya dari godaan setan, sebab hanya Dia yang berkuasa melindungi manusia dari tipu daya setan.

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 97-100 juga membicarakan bagaimana kondisi orang kafir ketika mereka dihadapi dengan maut, bahwa mereka meminta Allah menunda kematian, supaya ada waktu untuk mereka betaubat kepada-Nya. Namun, tegas Allah menolak, karena selama di dunia kesempatan itu sudah diberikan, dan sudah ada peringatan dari para Rasul, akan tetapi mereka lalai dari seruan tersebut.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 93-96


Ayat 97-98

Pada ayat ini Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad supaya dia selalu berlindung kepada-Nya dari bisikan-bisikan setan dan dari godaan-godaannya, dan supaya setan itu selalu jauh daripadanya dan tidak dapat masuk ke dalam hatinya untuk memperdayakannya.

Demikianlah seharusnya sikap setiap pejuang untuk menegakkan kebenaran. Mereka harus benar-benar menjaga supaya tidak sekalipun dipengaruhi hawa nafsunya dan terdorong untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak benar dan tidak jujur. Setan amat mudah sekali menjerumuskan manusia ke jurang kesalahan, penghinaan dan kejahatan apabila ia dapat memasuki hawa nafsu manusia.

Karena itu hendaklah kita selalu berlindung kepada Allah dari tipu daya setan. Memang apabila seseorang benar-benar telah berserah diri kepada Tuhannya dalam segala tindakannya dan selalu memohon perlindungan-Nya dari tipu daya dan godaan setan, dirinya menjadi bersih dan hati nuraninya akan terketuk untuk selalu berbuat kebaikan dan menghindari kejahatan.

Rasulullah selalu berlindung kepada Tuhannya supaya dijauhkan daripadanya campur tangan setan dalam segala perbuatannya terutama dalam salat ketika membaca Al-Qur’an dan pada saat ajalnya akan tiba.

Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dāud dan at-Tirmìdzi dan dinilai sahih  oleh al-Baihaqi dari ‘Amr bin Syu’aib dan ayahnya dari kakeknya ia berkata, “Rasulullah saw mengajarkan kepada kami beberapa kata-kata (doa) pada waktu akan tidur.”

بِاسْمِ اللهِ اَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّةِ مِنْ غَضَبِهِ وَعِقَابِهِ وَشَرِّ عِبَادِهِ وَمِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِيْنِ وَاَنْ يَحْضُرُوْنِ. (رواه احمد وابو داود والترمذي)

Dengan menyebut nama Allah, aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari kemurkaan-Nya, dari siksa-Nya. Dari kejahatan hamba-Nya, dari bisikan-bisikan setan dan dari kahadiran setan kepadaku. (Riwayat Ahmad, Abu Dāud dan at-Tirmizi)

Ayat 99-100

Pada ayat ini Allah memberitahukan tentang kata-kata yang diucapkan oleh orang kafir ketika menghadapi maut, walaupun kata-kata itu tidak dapat didengar oleh orang-orang yang hadir ketika itu.

Orang kafir itu meminta kepada Allah supaya dia jangan dimatikan dahulu dan dibiarkan hidup seperti sediakala agar dia dapat bertobat dari kesalahan dan kedurhakaannya dan dapat beriman dan mengerjakan amal yang baik yang tidak dikerjakannya selama hidupnya.

Baca Juga:

Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu pada waktu dia masih sehat walafiat dan mempunyai kesanggupan untuk beriman dan beramal saleh, dia enggan menerima kebenaran, takabur dan sombong terhadap orang-orang yang beriman, selalu durhaka kepada Allah bahkan melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan perintah Allah dan mengucapkan kata-kata yang tidak benar terhadap-Nya.

Akan tetapi, ketika dalam keadaan sakaratul maut, mereka teringat pada dosa dan kesalahan yang telah mereka lakukan. Ketika itu juga mereka menjadi insaf dan sadar lalu meminta dengan sepenuh hati kepada Allah agar diberi umur panjang untuk berbuat baik guna menutupi semua kedurhakaan dan kejahatan yang telah mereka lakukan.

Namun demikian, saat sakaratul maut bukan waktu untuk meminta ampun dan bertobat sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ السَّيِّاٰتِۚ حَتّٰىٓ اِذَا حَضَرَ اَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ اِنِّيْ تُبْتُ الْـٰٔنَ وَلَا الَّذِيْنَ يَمُوْتُوْنَ وَهُمْ كُفَّارٌ ۗ اُولٰۤىِٕكَ اَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا اَلِيْمًا

Dan tidaklah tobat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: “Sesungguhnya saya bertobat sekarang.” Dan tidak (pula diterima tobat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam keadaan kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih. (an-Nisā`/4: 17-18).

Lalu Allah menegaskan bahwa permintaan orang-orang kafir itu hanyalah ucapan yang keluar dari mulut mereka saja dan tidak akan dikabulkan. Kalaupun benar-benar diberi umur panjang, mereka tidak juga akan kembali beriman dan tidak akan mau mengerjakan amal saleh sebagaimana ditegaskan Allah dalam firman-Nya:

وَلَوْ تَرٰٓى اِذْ وُقِفُوْا عَلَى النَّارِ فَقَالُوْا يٰلَيْتَنَا نُرَدُّ وَلَا نُكَذِّبَ بِاٰيٰتِ رَبِّنَا وَنَكُوْنَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ   ٢٧  بَلْ بَدَا لَهُمْ مَّا كَانُوْا يُخْفُوْنَ مِنْ قَبْلُ ۗوَلَوْ رُدُّوْا لَعَادُوْا لِمَا نُهُوْا عَنْهُ وَاِنَّهُمْ لَكٰذِبُوْنَ   ٢٨

Dan seandainya engkau (Muhammad) melihat ketika mereka dihadapkan ke neraka, mereka berkata, ”Seandainya kami dikembalikan (ke dunia) tentu kami tidak akan mendustakan ayat-ayat Tuhan kami, serta menjadi orang-orang yang beriman.” Tetapi (sebenarnya) bagi mereka telah nyata kejahatan yang mereka sembunyikan dahulu. Seandainya mereka dikembalikan ke dunia, tentu mereka akan mengulang kembali apa yang telah dilarang mengerjakannya. Mereka itu sungguh pendusta. (al-An’ām/6: 27-28).

Demikianlah ucapan yang mereka lontarkan sebagai penghibur hati mereka sendiri, suatu ucapan yang tidak ada nilainya sama sekali karena tidak mungkin mereka akan hidup kembali karena ajal mereka telah tiba. Di hadapan mereka terbentang dinding yang menghalangi mereka kembali ke dunia sampai hari kiamat.

(Tafsir Kemenag)

Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Mu’minun 101-102

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 93-96

0
Tafsir Surah Al Mu'minun
Tafsir Surah Al Mu'minun

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 93-96 diawali dengan doa yang diajarkan Allah kepada Nabi Muhammad dan umatnya untuk senantiasa dilafalkan, supaya terhindar dari sikap buruk dan aniaya orang-orang kafir. Di sini, Allah juga mengajarkan bagaimana cara menyikapi tingkah orang-orang musyrik, dan menyampaikan dakwah Islam yang benar, supaya mereka dengan mudah bisa menerima seruan Nabi dan pengikutnya untuk mentauhidkan Allah Swt.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 90-92


Ayat 93-94

Pada ayat ini Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad agar berdoa memohon kepada-Nya supaya dijauhkan dari orang-orang kafir yang aniaya itu bila Dia hendak mengazab mereka, jangan dibinasakan bersama mereka, agar diselamatkan dari siksaan dan kemurkaan-Nya, dan menjadikannya golongan orang yang diridai.

Perintah supaya berdoa seperti ini diajarkan Allah karena musibah dan malapetaka yang ditimpakan Allah kepada orang-orang durhaka dan aniaya kadang-kadang juga menimpa orang-orang yang tidak bersalah, karena mereka hidup bersama dalam masyarakat atau suatu negara. Ini sesuai dengan firman Allah:

وَاتَّقُوْا فِتْنَةً لَّا تُصِيْبَنَّ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْكُمْ خَاۤصَّةً ۚوَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ

Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya.

(al-Anfāl/8: 25)

Menurut riwayat Imam Ahmad dan at-Tirmi©i doa Nabi Muhammad saw dalam hal ini berbunyi:

وَاِذَا اَرَدْتَ بِقَوْمٍ فِتْنَةً فَتَوَفَّنِى اِلَيْكَ غَيْرَ مَفْتُوْنٍ. (رواه احمد والترمذي)

(Ya Allah) apabila Engkau hendak menimpa siksaan kepada kaum (yang aniaya) maka wafatkan aku dalam keadaan tidak ikut disiksa. (Riwayat Ahmad dan at-Tirmizi)

Ayat 95

Allah menjelaskan kepada Nabi Muhammad, bahwa Dia Kuasa memperlihatkan kepadanya siksaan yang akan ditimpakan kepada orang kafir itu sehingga Nabi Muhammad dapat melihat sendiri bagaimana dahsyatnya dan hebatnya siksaan Allah.

Tetapi karena rahmat dan kasih sayang-Nya kepada umat Muhammad, Allah tidak menjatuhkan siksa itu dengan segera (di dunia ini), tetapi sudah menjadi ketetapan-Nya bahwa siksaan itu akan menimpa mereka di akhirat, karena mungkin kelak ada di antara mereka atau keturunan mereka yang akan sadar dan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.

Oleh sebab itu, Nabi Muhammad jangan terlalu bersedih hati atas tindakan dan perlakuan orang kafir terhadapnya dan kaum Muslimin yang memang dalam keadaan lemah dan tak berdaya.


Baca Juga: Kisah Keluarga ‘Imran: Belajar Dari Keluarga Yang Dipilih Allah


Ayat 96

Kemudian Allah memberikan tuntunan kepada Nabi Muhammad bagaimana cara yang sebaik-baiknya menghadapi sikap kaum musyrik itu.

Di antaranya, Nabi harus tetap bersikap lemah lembut terhadap mereka dan jangan sekali-kali membalas kejahatan dengan kejahatan, kekerasan dengan kekerasan karena memang belum waktunya bersikap demikian.

Bila mereka mencemooh dan mencaci maki hendaknya Nabi memaafkan ucapan-ucapan mereka yang tidak pada tempatnya itu, karena ucapan itu tidak mengenai sasarannya tetapi hendaklah dibalas dengan kata-kata yang mengandung patunjuk dan ajaran dengan mengemukakan dalil-dalil dan alasan yang masuk akal.

Bila mereka hendak melakukan tindakan penganiayaan, hindari mereka dan jauhi sedapat mungkin kesempatan yang membawa kepada tindakan seperti itu dan hendaklah dihadapi dengan penuh kesabaran dan ketabahan.

Nabi juga diperintahkan untuk menunjukkan kepada mereka bahwa beliau memang seorang ksatria yang tidak ada niat sedikit pun untuk mencelakakan mereka. Dengan sikap lemah lembut dan kebijaksanaan itu, mereka tidak akan merajalela terhadap kaum Muslimin.

Lambat laun mereka yang keras seperti batu itu akan menjadi lembut dan menyadari sendiri kesalahan yang sudah mereka lakukan. Nabi juga diminta untuk meyakini dalam hati bahwa Allah mengetahui semua ucapan dan tindakan mereka. Allah lebih mengetahui apa saja yang mereka lakukan dan apa saja yang tersembunyi dalam dada mereka.

Sesuai dengan petunjuk ini Allah berfirman dalam ayat yang lain:

وَلَا تَسْتَوِى الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ۗاِدْفَعْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ فَاِذَا الَّذِيْ بَيْنَكَ وَبَيْنَهٗ عَدَاوَةٌ كَاَنَّهٗ وَلِيٌّ حَمِيْمٌ

Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang ada rasa permusuhan antara kamu dan dia akan seperti teman yang setia. (Fushshilat/41: 34).

Anas bin Malik berkata mengomentari ayat ini, “Seorang laki-laki mengatakan terhadap saudaranya hal yang tidak-tidak.” Maka dia menjawab, “Jika ucapanmu itu bohong maka saya memohon kepada Allah supaya Dia mengampuni kebohonganmu itu. Jika ucapanmu itu benar maka saya memohon kepada Allah supaya mengampuniku.”

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Mu’minun 97-100


Syair Jahili dalam Penafsiran Al-Quran

0
Pro-Kontra Syair Jahili sebagai Hujah Penafsiran al-Quran
Pro-Kontra Syair Jahili sebagai Hujah Penafsiran al-Quran

Syair merupakan produk kebudayaan sangat luhur yang dicapai oleh bangsa Arab. Tidak syak lagi jika Al-Quran turun di tanah Arab, bangsa Arab, sebuah bangsa yang telah mencapai titik termatang dalam kesusastraannya. Syair Arab sendiri jika ditinjau dari masanya terbagi menjadi tujuh; Jahili, Islami, Umawi, Abbasi, Andalusi, Pertengahan (Wustha), dan Modern (Husain, 2018). Namun, tulisan kali ini hanya akan menyoal masa pertama syair Arab; Jahili, dan kaitannya dengan Al-Quran.

Syair Jahili

Dimulai dari pertanyaan kapan rentang waktu yang disebut dengan masa Jahili? Al-Jahizh dalam al-Hayawan menakrifkan masa Jahili sebagai masa yang terentang seratus lima puluh tahun sampai dua ratus tahun sebelum diutusnya Nabi Muhammad saw sebagai seorang nabi dan rasul. Lalu orang pertama yang mentradisikannya, tutur al-Jahiz, ialah Imru’ al-Qais ibn Hajar atau Muhalhal bin Rabi’ah al-Taghlibiy. Namun, Ibn Salam dalam Thabaqat Fuhul al-Syu’ara` menyebutkan nama terakhir tersebut sebagai pelopor syair Jahili.

Secara istilah, syi’r (atau syair) adalah ungkapan yang berwazan (satu metrum) dan be-qafiyah (satu rima) yang mengungkapkan keindahan imajinasi dan penggambaran yang mengesankan. Sama seperti istilah guru lagu dan guru gatra dalam tetembangan Jawa. Sehingga, jika diperhatikan menurut klasifikasi syair formal Yunani, maka syair Arab tampak sangat lyrical bila dibandingkan dengan syair Yunani yang lebih naratif dan cenderung dramatik (Fadlil, 2011).

Baca Juga: Benarkah Syair Itu Haram? Simak Penafsiran Surat Yasin Ayat 69

Penyair Mesir yang dijuluki Amir al-Syu’ara`, Ahmad Syauqi, dalam al-Syauqiyat mensyaratkan tiga hal agar suatu ungkapan tersebut disebut sebagai syair. Tidak cukup berwazan dan ber-qafiyah, tapi syair juga harus memuat al-dzikra (impresi), al-‘athifah (afeksi) dan al-hikmah (kebijaksanaan).

Dahulu, untuk mengukur tingkat intelektualitas seseorang pada zaman itu, kepiawaian dalam membuat syair adalah parameter utama. Baru kemudian pengetahuan nasab dan ilmu perbintangan (nujum) menjadi parameter yang lain, sebagaimana yang dikatakan Azis Fachrudin dalam Linguistik Arab (2021).

Lebih jauh, Ibn Rasyiq dalam al-‘Umdah (1934) menyebutkan kebiasaan bangsa Arab yang sangat bangga ketika ada seorang penyair lahir dari kabilahnya. Lantas, mereka akan mendatangi rumahnya, membikinkan aneka makanan, membawa gadis-gadis mereka untuk bermain alat musik semacam kecapi di hadapannya, peris seperti yang mereka lakukan kepada seorang pengantin baru. Dengan kata lain, seorang penyair adalah layaknya intan permata yang dimiliki oleh suatu kabilah, saking tingginya prestise seorang penyair.

Baca Juga: Ragam Qiraat Sebagai Hujah Kebahasaan, Antara Mazhab Basrah dan Kufah

Syair dan Autentisitas Bahasa

Pada bagian lain dalam al-Hayawan, al-Jahizh kemudian menuturkan bahwa keluhuran setiap bangsa itu dapat dilihat dari seberapa lamanya tradisi dan budaya umat tersebut dijaga dan berlangsung dari masa ke masa. Dan bangsa Arab, dengan tradisi Jahilinya—termasuk kebahasaannya yang adiluhung—masih terjaga dalam syair-syair bermetrum dan berima. Itulah diwan (catatan sejarah) bangsa Arab.

Hingga Allah menurunkan kalam-Nya ke dunia dalam bahasa terbaik sezamannya, bahasa Arab, dan kepada utusannya, Nabi Muhammad, seorang pemuda Quraisy, kaum yang memiliki bahasa terbaik itu. Tamam sudah!

Berkat adanya Al-Quran, bahasa mereka terwarisi hingga kini. Tak hanya sebagai perekam, bahkan Al-Quran dalam konteks ini menjadi sebuah agen budaya. Dan dengan adanya syair-syair Jahili yang banyak diriwayatkan dalam literatur klasik, kosakata dalam Al-Quran dapat ditafsirkan (Azis, 2021).

Tak mengherankan jika kemudian para ulama mensyaratkan seorang mufasir menguasai bahasa Arab, mulai seluk-beluknya, detail-detailnya hingga asrar-asrarnya. Dan seorang mufasir tak akan sampai pada tingkatan tersebut tanpa mempelajari syair-syair yang menjadi diwan-nya bangsa Arab. Sebagaimana yang dikatakan Imam Malik, “seseorang yang ingin menafsirkan Kitabullah, maka ia harus benar-benar mumpuni dalam bahasa Arab.”

Walhasil, semakin luas pengetahuan seorang mufasir tentang lisanul ‘arab—bahasa Arab, maka semakin banyak ia mencerap pengetahuan dari kandungan Al-Quran. Senada dengan itu, al-Syathibi dalam al-Muwafaqat mengatakan, “barangsiapa ingin memahami Al-Quran, maka hanya satu cara, yaitu melalui lisanul ‘arab. Tiada jalan memahaminya kecuali dengan cara tersebut.”

Baca Juga: Ayat-Ayat ‘Lucu’ Musailamah Al-Kadzdzab dalam ‘Menjawab’ Tantangan Al-Quran

Syair dan Penafsiran Al-Quran

Dalil atau hujah yang dipakai untuk menafsirkan Al-Quran dengan syair adalah riwayat Sayyidina Umar dengan seorang badui. Kala itu, Sayyidina Umar berdiri di atas mimbar. Lalu ada seseorang yang bertanya apa makna kata takhawwuf dalam al-Nahl [16]: 47

اَوْ يَأْخُذَهُمْ عَلٰى تَخَوُّفٍۗ فَاِنَّ رَبَّكُمْ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ

Kemudian berdirilah seorang badui paruh baya dari bani Huzail dan berkata; “al-takhawwuf adalah bahasa kami, yang berarti al-tanaqqush (berkurang sedikit demi sedikit).”

Kemudian Sayyidina Umar bertanya lagi, “Apakah orang Arab mengetahui itu dalam syair-syair mereka?”

“Iya,” jawab Badui, kemudian melanjutkan, “penyair kami bernama Abu Kabir menyifati untanya begini..

تَخَوَّفَ الرَّحْلُ مِنْهَا تَامِكًا قَرِدًا * كَمَا تَخَوَّفَ عُوْدُ النَّبْعَةِ السَّفِنُ

Lalu Sayyidina Umar berseru; “Wahai manusia, peganglah diwan syair-syair Jahili kalian. Karena di dalamnya ada tafsir bagi kitab kalian dan makna-makna kalam kalian.”

Kemudian di antara para mufasir, Ibn Abbas adalah seorang mufasir yang paling banyak merujuk pada syair-syair Jahili. Keterangan tersebut dikatakan oleh muridnya, Ikrimah, bahwa ia tak pernah mendengar gurunya itu, Ibn Abbas, menafsirkan ayat Al-Quran kecuali merujuk syair-syair meski satu bait. Dan ia menyitir pernyataan Ibn Abbas begini, “jika kalian kesulitan dalam menafsirkan ayat Al-Quran, maka carilah dalam syair. Karena sesungguhnya ia merupakan diwan (bangsa) Arab.”

Akan tetapi, terlepas dari itu semua, ada perselisihan di kalangan ulama tentang keabsahan syair sebagai rujukan untuk menafsirkan Al-Quran. Perselisihan tersebut kemudian membagi dua pendapat yang saling bertentangan satu sama lain, pro dan kontra. Wallahu a’lam.

Perempuan dalam Al-Quran: Antara Pernyataan Allah Sendiri dan Kutipan atas Ucapan Orang Lain

0
Pernyataan dalam Al-Quran tentang perempuan
Pernyataan dalam Al-Quran tentang perempuan

Al-Quran adalah kalamullah (perkataan Allah). Ayat-ayat Al-Quran tidak diragukan lagi berasal dari Allah, lafdzan wa ma’na. Pernyataan ini kemudian berkonsekuensi bahwa segala apa yang disampaikan dan tertulis dalam Al-Quran adalah pernyataan Allah yang harus diyakini, diamini dan dan dikuti. Setiap hal yang bertentangan dengannya maka itu berarti menyangkal dan berlawanan dengan pernyataan Allah.

Kemudian, dalam perkataan Allah ini ternyata banyak ditemukan hal-hal yang menurut pandangan mata sekilas dan pembacaan singkat manusia mengandung hal yang tidak baik, tidak adil bagi pihak-pihak tertentu, sebut saja perempuan. Misal ayat Al-Quran yang berbunyi bahwa tipu daya perempuan itu sangat besar (QS. Yusuf ayat 28), perempuan itu hanyalah makhluk yang pandai berhias, mempercantik dirinya untuk menutupi kebodohannya (QS. Az-Zukhruf ayat 18), perempuan itu ciptaan Allah yang hanya membawa kesedihan dan kebencian (QS. An-Nahl ayat 58 dan QS. Az-Zukhruf ayat 17).

Sejujurnya, ‘pernyataan’ Allah di atas mengganggu dan menyinggung perasaan perempuan. Meski tidak langsung berkaitan dengan ayat ini, dalam Tafsir Ibnu Katsir disampaikan bahwa istri Rasulullah, Ummu Salamah sempat menyatakan protes kepada Rasulullah, suaminya sendiri karena perempuan seakan tidak dianggap oleh Al-Quran, karena  adanya dominasi penyebutan laki-laki, lalu turun surah Al-Ahzab ayat 35. Terlebih ketika membaca ayat-ayat ‘misoginis’ di atas, seandainya Ummu Salamah masih ada, bisa ditebak respon beliau.

Di lain tempat, Allah dengan lantang mendeklarasikan tentang status perempuan, bahwa ia adalah ciptaan Allah, statusnya sama dengan laki-laki, satu-satunya pembeda di hadapan Allah adalah ketakwaannya (QS. Al-Hujurat ayat 13). Jika memang perempuan adalah ciptaan Allah, lalu tega kah Ia menghina dengan begitu rendahnya ciptannya sendiri? Kemudian, bagaimana seharusnya memahami perkataan Allah yang sekilas membenci perempuan seperti di atas? Benarkah Allah memandang perempuan dengan demikian rendahnya, sebagai makhluk penggoda, hanya pandai berhias, pembawa sial dan semacamnya?

Baca Juga: Sabab Nuzul, Perempuan dan Respon al-Qur’an

Faktor yang sering menyebabkan kekeliruan

M. Quraish Shihab dalam beberapa penjelasannya, sebut saja buku Kaidah Tafsir dan Perempuan sangat sering mengingatkan tentang penyebab kekeliruan dalam menafsirkan dan memahami Al-Quran. Salah satu penyebab itu adalah tidak mengetahui atau bahkan tidak memperhatikan konteks uraian ayat yang meliputi terhadap siapa kalimat ayat itu ditujukan dan siapa yang mengucapkan ayat tersebut.

Dalam rangka mengetahui konteks uraian ayat tersebut, maka mau tidak mau seseorang harus melihat bunyi ayat secara lengkap, sabab nuzul maupun munasabah (keterkaitan) dengan ayat sebelum dan sesudahnya. Di sinilah pentingnya pemahaman terhadap ilmu Al-Quran bagi orang yang ingin menafsirkan Al-Quran. Selain itu, model ayat juga harus diperhatikan, apakah itu bermodel kisah (Qasas Al-Quran), perumpamaan (amtsal Al-Quran), sumpah (aqsam Al-Quran dan argumentasi (jadal Al-Quran).

Sementara untuk subjek yang mengucapkan, Quraish Shihab membedakan pemilik pernyataan dalam Al-Quran, memang benar pernyataan Allah sendiri atau kutipan Allah dalam rangka menirukan ucapan seseorang yang sedang dikisahkan. Ini yang sering dilupakan oleh para pengkaji Al-Quran yang terburu-buru dalam menafsirkan Al-Quran. Lebih lanjut kita dapat melihat penafsiran penulis Tafsir Al-Misbah ini yang sangat hati-hati dalam menyinggung perihal perempuan.

Baca Juga: Memahami Makna Seksualitas Perempuan Melalui Kisah Yusuf dan Zulaikha dalam Al-Quran

Beda antara pernyataan Allah sendiri dengan kutipan Allah atas ucapan orang lain

Pembedaan pemilik pernyataan dalam Al-Quran setidaknya dapat kita temui dalam penafsiran pendiri Pusat Studi Quran ini pada empat ayat Al-Quran yang kesemuanya bertemakan tentang perempuan.

Surah Yusuf [12] ayat 28

فَلَمَّا رَأَى قَمِيصَهُ قُدَّ مِنْ دُبُرٍ قَالَ إِنَّهُ مِنْ كَيْدِكُنَّ إِنَّ كَيْدَكُنَّ عَظِيمٌ

Maka ketika dia (suami perempuan itu) melihat baju gamisnya (Yusuf) koyak di bagian belakang, dia berkata, “Sesungguhnya ini adalah tipu dayamu. Tipu dayamu benar-benar hebat.” (Terjemah Kemenag 2019)

Ayat ini menceritakan potongan episode kisah Nabi Yusuf dalam Al-Quran. Di sini ada pernyataan ‘tipu daya perempuan benar-benar hebat’. Memahami ayat ini, mufasir Indonesia tersebut mendudukkan konteksnya terlebih dahulu. Menurutnya dalam Tafsir Al-Misbah yang juga disampaikan dalam Perempuan, konteks ayat ini adalah seorang wanita tertentu yang sangat dicintai suaminya, tetapi melakukan penyelewengan -bukan tentang semua wanita-, dan sang suami enggan menuduhnya secara langsung.

Adapun mengenai pemilik pernyataan dalam Al-Quran tersebut, menurut Quraish Shihab bukan Allah. Ia hanya menirukan ucapan penilaian seseorang atas kasus perselingkuhan sang istri raja dalam kisah itu. Jika melihat modelnya, ayat ini masuk dalam kategori kisah, sehingga dapat dimaklumi ketika pembicaraan Allah di sini mengutip ucapan orang lain, karena di sini Allah sebagai pencerita.

Oleh karena pemilik pernyataan Al-Quran itu bukan Allah, jadi jangan dipaksakan bahwa Allah telah menciptakan kodrat perempuan sebagai mahluk penggoda. Itu keliru.

Baca Juga: Surat Yusuf Ayat 28 vs Surat An-Nisa Ayat 76, Benarkah Perempuan Lebih Berbahaya Daripada Setan?

Surah an-Nahl [16] ayat 58

وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ

“Padahal apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam), dan dia sangat marah.” (Terjemah Kemenag 2019)

Surah Az-Zukhruf [43] ayat 17

وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِمَا ضَرَبَ لِلرَّحْمَنِ مَثَلًا ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ

“Dan apabila salah seorang di antara mereka diberi kabar gembira dengan apa (kelahiran anak perempuan) yang dijadikan sebagai perumpamaan bagi (Allah) Yang Maha Pengasih, jadilah wajahnya hitam pekat, karena menahan sedih (dan marah).” (Terjemah Kemenag 2019)

Masih menurut Quraish Shihab, konteks dua ayat di atas adalah tentang pemaparan keburukan kaum musyrikin, yaitu mereka (kaum musyrikin) tidak senang dengan kehadiran anak perempuan. Oleh karena itu mereka mengubur hidup-hidup anak perempuan mereka atau dibiarkan hidup dalam keadaan hina.

Sekali lagi, Allah melalui ayat ini menceritakan tentang tradisi keburukan kaum musyrikin, bukan dalam rangka menyifati perempuan. Tujuannya tiada lain yaitu mengikis habis pandangan masyarakat jahiliyah tentang perbedaan derajat laki-laki dan perempuan, meski pada saat ini masih banyak sekali pembedaan derajat tersebut, terlebih dengan menggunakan dalil ayat Al-Quran di atas.

Surah az-Zukhruf [43] ayat 18

أَوَمَنْ يُنَشَّأُ فِي الْحِلْيَةِ وَهُوَ فِي الْخِصَامِ غَيْرُ مُبِينٍ

“Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan sebagai perhiasan sedang dia tidak mampu memberi alasan yang tegas dan jelas dalam pertengkaran.”

Jika hanya membaca terjemahan dan langsung menafsirkan ayat ini, sangat mungkin berkesimpulan bahwa Al-Quran menyatakan bahwa perempuan hanyalah manusia yang pandai berhias, itu saja, tidak lebih. Namun tidak demikian dengan penafsiran Quraish Shihab, menurutnya, ayat ini turun dalam rangka menggambarkan tentang anggapan dan stigmatisasi perempuan oleh kaum musyrikin pada masa turunnya Al-Quran. Di situ tergambar bahwa perempuan adalah tangis, kebajikannya adalah mencuri harta suami, dan perempuan hanya pandai berhias serta tidak memiliki kemampuan berlogika.

Untuk ke sekian kalinya, ayat Al-Quran ini bukan untuk menyatakan bahwa perempuan seperti apa yang telah digambarkan di atas, namun ayat ini mencoba untuk menunjukkan betapa berani, tidak adil dan tidak sopannya kaum musyrikin itu kepada Allah sebagai pencipta perempuan. Dengan demikian pemilik pernyataan dalam Al-Quran ini bukan Allah sendiri, tetapi Ia menirukan respon kaum musyrikin.

Kembali lagi, di sini Al-Quran bercerita tentang tabiatnya kaum musyrikin, bukan menyatakan pembicarannya sendiri. Dari empat ayat yang sering di’manfaatkan’ oleh pihak yang memandang rendah perempuan ini kita dapat ketahui bahwa Allah tidak pernah menyetujui pandangan mereka, sedikit pun tidak. Wallahu a’lam