Beranda blog Halaman 222

Tafsir Surah Al-Insyirah Ayat 7-8: Masa Pandemi Tetap Harus Produktif

0
tafsir surah Al-Insyirah ayat 7-8_produktif di masa pandemi
tafsir surah Al-Insyirah ayat 7-8_produktif di masa pandemi

Islam adalah agama yang anti terhadap pengangguran dan kemandekan. Artinya, produktivitas dan kontinuitas menjadi semangat mendasar dalam Al-Qur’an. Untuk itu, banyak ayat Al-Quran yang menganjurkan kita untuk terus produktif, istiqomah dan terus mengembangkan diri, antara lain yaitu surah Al-Insyirah ayat 7-8

Surah Al-Insyirah

Satu di antara berbagai surah yang memuat nilai dan semangat produktivitas adalah surah Al-Insyirah. Surah ini adalah wahyu ke-12 yang diterima Nabi, memiliki 8 ayat dan diturunkan setelah surah Ad-Dhuha dan sebelum surah Al-‘Ashr. Adapun dari sisi urutan mushaf, surah ini menempati urutan ke 94 dari surah-surah di dalam Al-Qur’an.

Terlepas dari itu, tulisan ini akan menggambil hikmah dua ayat terakhir dari surah Al-Insyirah. Tema produktivitas dan harapan menjadi penting di masa semacam ini. Mengingat, situasi zaman, dunia kerja dan media sosial sangat dekat dengan kehidupan kita. Bagi yang mandek, tidak bebrbuat apa-apa maka akan ketinggalan. Tidak peduli dalam keadaan apapun, normal maupun pandemi, kita tetap harus produktif. Di saat seperti ini kita dituntut untuk kreatif dan tidak menyerah pada keadaan.

Baca Juga: Tinggalkan Rebahan, Mari Produktif di Tengah Pandemi: Tafsir Surat Al-Asr Ayat 1-3

Produktiflah!

Menarik untuk mengkaitkan kesibukan dan produktivitas. Tentu, keduanya adalah dua hal yang berbeda. Tidak selamanya kesibukan berjalan lurus dengan produktivitas. Namun, produktivitas adalah satu indikator penting untuk menilai kondisi kita yang sekarang dan sebelumnya.

Ayat yang berkaitan dengan hal ini adalah ayat ke-7 dari surah Al-Insyirah. Mari perhatikan ayat ini beserta terjemahannya

فَإِذا فَرَغْتَ فَانْصَبْ

Artinya: “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.

Secara bahasa, kata faragha bermakna kosong setelah sebelumnya penuh baik secara materi maupun non-materi. Misal, gelas berisi air yang kemudian diminum atau tumpah sehingga menjadi kosong, atau hati yang galau dipenuhi dengan kekhawatiran kemudian menjadi lega. Keduan peristiwa ini dapat disebut dengan faragha. (Qurasih Shihab, Tafsir Al-Misbah,  jilid. 1, hal. 364)

Atau menurut Ibn Manzur, seseorang yang telah memenuhi waktunya dengan pekerjaan dan menyelesaikannya. Maka, durasi waktu antara berakhirnya pekerjaan pertama dan akan dimulainya pekerjaan selanutnya, itulah yang dinamakan faraagh. (Ibn Manzur, Lisanul ‘Arab)

Adapun kata fanshab terdiri dari huruf fa’ dan kata perintah inshaba. Kata perintah ini berasal dari kata nashaba yang bermakna menegakkan sesuatu sehingga menjadi nyata dan mantap. Kemudian, melalui kata ini terdapat kata nashib yang merupakan keadaan yang sudah nyata dan tegak karena usaha kita sebelumnya.

Alhasil, ayat ini meminta kita untuk selalu menyusul pekerjaan yang sudah selesai dengan mantap dengan pekerjaan yang lain. Dengan kata lain, produktivitas harus selalu dimiliki setiap mukmin. Namun, produktivitas di sini bukan hanya memproduksi konten, melainkan terus melakukan aktivitas yang dapat memperbaiki diri setiap harinya. Tentu, dengan kualitas yang mantap.

Selain itu, ayat ini menginginkan agar kita tidak menjadi pengangguran. Mengganggur dalam arti tidak memiliki rencana untuk dilakukan. Sehingga, waktu kita terbuang sia-sia atau akhirnya kita gunakan kepada hal yang sia-sia dan tidak memberi manfaat apapun kepada kita.

Baca Juga: Tiga Sarana Utama Untuk Mendapatkan Rahmat Allah SWT

Berharap Hanya Kepada Allah

Nah, setelah kita melakukan segala pekerjaan secara produktif dan berkesinambungan, ada titik akhir kita berharap. Tentu, tujuan segala produktivitas adalah untuk kebermanfaatan, baik di skala diri sendiri, keluarga, masyarakat bahkan dunia. Namun, terkadang kita berharap lebih terhadap apa yang telah kita usahakan.

Berkaitan dengan hal ini, ayat ke-8 dari surah ini memberi tujuan dan penegasan, tentang kepada siapa kita layak untuk menaruh harapan. Berikut redaksi dan artinya:

وَ إِلى‏ رَبِّكَ فَارْغَبْ

Artinya: “dan hanya kepada Tuhan-mulah hendaknya kamu berharap.”

Kata farghab terambil dari bentuk raghiba, yang artinya kecenderungan hati yang sangat mendalam kepada sesuatu. Kecenderungan yang mendalam ini bisa bermakna dua hal. Pertama, kecenderungan untuk menyukai dan yang kedua kecenderungan untuk membenci.

Yang menarik adalah apabila kata raghiba diikuti dengan huruf ila maka berarti menyukai. Namun, jika setelahnya diikuti dengan huruf ‘an maka bermakna membenci. Artinya, huruf setelahnya menentukan makna sebuah kata, dan itu dapat bertolak belakang maknanya.

Hal yang lebih menarik adalah penempatan huruf ila sebelum perintah farghab. Menurut Al-Biqa’i, bentuk semacam ini memberi penekanan terhadap perintah berharap. Yakni selayaknya harapan itu hanya tertuju pada Allah saja, tidak selainnya. (Al-Biqa’i, Nazm Ad-Durar fi Tanasub Al-Ayat wa As-Suwar). Memang orang boleh saja menggantungkan harapan kepada orang lain, keinginan dan cinta juga boleh kepada selain Allah. Namun, kecintaan dan harapan yang mendalam dan besar, hanya ditujukan kepada Allah semata.

Melalui rangkaian penjelasan tafsir surah Al-Insyirah ayat 7-8 ini kita dapat mengambil 2 hikmah penting. Pertama, selalu produktif dalam menggunakan waktu dalam hidup. Kedua, setelah itu hanya menggantungkan harap kepada Allah semata. Semoga tulisan ini, dapat membawa kita pada kesadaran atas pentingnya waktu, produktivitas, kebermanfaatan, tidak boleh menganggur dan senantiasa ingat pada tujuan akhir dari segala harapan kita. Dengan begitu, kita tidak akan mengalami kemandekan dan kekecewaan dalam hidup kita. Wallahu’alam bishawab.

Open Minded Kuno tentang LGBT dalam Surah Al-A’raf Ayat 80-81

0
LGBT
Surah Al-A'raf Ayat 80

LGBT yang kini kian mempublikasikan komunitasnya terlebih di media sosial menjadi sebuah problema yang ditanggapi dengan berbagai persepsi oleh masyarakat. Ada kelompok yang mendukung, tetapi ada pula kelompok yang menolak dengan tegas keberadaan komunitas tersebut.

Baru-baru ini jagat maya dan media televisi diramaikan oleh pemberitaan tentang penyambutan seorang artis berinisial SJ yang baru saja bebas dari penjara. Ia merupakan seorang mantan narapidana yang tersandung kasus pelecehan seksual (pencabulan) kepada sesama jenis (laki-laki kepada laki-laki) yang membuatnya terkurung di dalam sel dari 2016 hingga bebas 2021 ini.

Namun yang menjadi persoalan bukanlah perkara kasusnya yang telah lama berlalu, tetapi yang kembali mencuat adalah tentang penyambutan kebebasan SJ yang dinilai terlalu berlebihan. Terlihat dalam penyambutannya, SJ dipakaikan kalung bunga bak seorang pahlawan yang pulang dari medan perang.

Padahal kita sama-sama tahu bahwa ia merupakan seorang pelaku pencabulan terlebih pencabulan tersebut dilakukan kepada sesama laki-laki. Fenomena ini cukup memancing berbagai komentar para tokoh terkemuka di negeri ini yang sangat menyayangkan hal tersebut bisa terjadi.

Baca Juga: Surah Al-Mu’minun Ayat 12 -14: Darah Haid Bukan Darah Kotor

Terlepas dari pro kontra yang ada, penulis menyoroti fenomena dualisme masyarakat yang kadang membingungkan. Satu sisi, masyarakat takut akan kegiatan-kegiatan komunitas LGBT yang ramai dilakukan di media sosial maupun di dunia nyata. Mereka takut keluarga, teman, atau orang-orang terdekatnya terjerumus dan bahkan menjadi korban seperti yang terjadi pada kasus SJ.

Namun pada sisi lain, sebagian masyarakat juga mendukung kebebasan Hak Asasi Manusia yang terlalu berlebihan termasuk penyimpangan orientasi seksual seperti komunitas LGBT tersebut. Sebagian kelompok menganggap bahwa pada zaman modern ini, open minded harus digaungkan pada berbagai aspek termasuk kebebasan dalam urusan seksual. Tidak ada orang yang berhak menghakimi hak masing-masing orang untuk memilih orientasi seksualnya.

Berdasar kepada HAM itulah kemudian kelompok yang pro terhadap LGBT menuduh bahwa mereka yang menghakimi kaum LGBT memiliki pemikiran yang kolot atau tidak open minded. Lagi-lagi perubahan zaman yang dipersoalkan, karena kelompok pro menyebut era sekarang adalah era kebebasan.

Padahal tanpa disadari, sesungguhnya open minded terhadap LGBT yang mereka agung-agungkan justru merupakan pemikiran gila dan kolot yang telah ada sejak dulu. Hanya saja mereka merubah redaksi penyebutan atas identitas tersebut. Hal ini dibuktikan dalam Al-Qur’an sebagaimana terdapat dalam QS. Al-A’raf [7]: 80-81 berikut.

وَلُوطًا إِذۡ قَالَ لِقَوۡمِهِۦٓ أَتَأۡتُونَ ٱلۡفَٰحِشَةَ مَا سَبَقَكُم بِهَا مِنۡ أَحَدٖ مِّنَ ٱلۡعَٰلَمِينَ إِنَّكُمۡ لَتَأۡتُونَ ٱلرِّجَالَ شَهۡوَةٗ مِّن دُونِ ٱلنِّسَآءِۚ بَلۡ أَنتُمۡ قَوۡمٞ مُّسۡرِفُونَ

Terjemah: “80.  Dan (Kami juga telah mengutus) Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya, “Mengapa kamu melakukan perbuatan keji, yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun sebelum kamu (di dunia ini). 81.  Sungguh, kamu telah melampiaskan syahwatmu kepada sesama lelaki bukan kepada perempuan. Kamu benar-benar kaum yang melampaui batas.” (QS. Al-A’raf [7]: 80-81)

Tafsir Ayat

Syaikh Ali Ash-Shabuni (2011: 330) menjelaskan kata fakhisyah dalam ayat tersebut bermakna menyetubuhi laki-laki di duburnya. Maksudnya adalah pada masa Nabi Luth terdapat masyarakat yang menyukai pasangan sesama jenis seperti lelaki suka dengan lelaki sehingga mereka bersetubuh melalui dubur.

Adapun Prof. Quraish Shihab (2009: 190) dalam tafsirnya juga menjelaskan bahwa perbuatan fakhisyah merupakan perbuatan yang sangat buruk, karena bertentangan dengan fitrah manusia. Mereka melakukan perbuatan yang disebut dengan homoseksual, yakni laki-laki mendatangi jenis laki-laki itu sendiri untuk memuaskan hawa nafsunya.

Imam Asy-Syaukani (2010: 145) menambahkan bahwa kaum sodom tersebut telah melewatkan para wanita yang seharusnya menjadi tempat untuk memenuhi syahwat dan mencari kenikmatan.

Bahkan Nabi Muhammad pernah menyatakan bahwa: ‘Tidak merajalela fakhisyah dalam suatu masyarakat sampai mereka terang-terangan malakukannya kecuali tersebar pula wabah dan penyakit di antara mereka yang belum pernah dikenal oleh generasi terdahulu (Quraish Shihab, 2009: 191).

Ibrah Ayat

Mengacu kepada pendapat para mufassir di atas terlihat jelas bahwa fenomena komunitas LGBT ini sejatinya sudah ada sejak zaman Nabi Luth. Hanya saja kala itu tidak ada penyebutan Gay atau Lesbian. Namun pemikiran masyarakatnya kala itu seakan membenarkan perbuatan fakhisyah tersebut.

Lalu kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apakah terdapat perbedaan open minded masyarakat yang ada pada zaman sekarang dengan masyarakat Nabi Luth kala itu? Tentu jawabannya adalah tidak ada bedanya. Sebab sejatinya komunitas LGBT yang berkembang sekarang hanyalah mengulang sejarah kelam masa lalu pendahulu mereka.

Bahkan dalam tafsir ayat di atas juga telah disebutkan tentang penyakit-penyakit aneh yang belum pernah ditemui pada zaman sebelumnya. Dapat dilihat pada zaman sekarang penyakit HIV/AIDS yang semakin merebak terutama pada komunitas-komunitas LGBT. Maka apa yang dikatakan Al-Qur’an sejatinya diulang kembali pada zaman sekarang.

Selain itu, adanya budaya open minded yang berlebihan ini juga menyebabkan fenomena dualisme persepsi masyarakat yang semakin marak terjadi. Hal ini didukung dengan banyak akun-akun media sosial komunitas LGBT yang diramaikan ataupun industri perfilm-an yang juga memproduksi genre film berbau LGBT.

Baca Juga: Tafsir Surah Ali Imran Ayat 134-135 : Empat Perilaku Orang Yang Bertakwa

Pada akhirnya, terjadi dilema yang begitu besar pada masyarakat. Ada orang-orang yang takut akan kehadiran komunitas tersebut, tetapi disisi lain ada sejumlah orang yang begitu aktif mendukung mereka.

Simpulan

Open minded yang berdalih hak asasi manusia hanyalah pemahaman dengan segudang fatwa dan dalil yang kadang menyesatkan. Kelompok-kelompok yang mendukung menghalalkan berbagai argumen yang dinilai menguntungkan komunitas mereka belaka. Mereka seakan terhakimi oleh hukum yang jelas-jelas mengandung kebenaran.

Oleh sebab itu, untuk menghentikan dualisme persepsi yang beredar di tengah-tengah masyarakat, diperlukan ketegasan dari pemerintah dan juga masyarakat itu sendiri untuk lebih peduli dalam mengedukasi agar generasi muda yang ada tidak terjerumus ke dalam komunitas LGBT.

Dua Dimensi Makna Wali Menurut Imam Al-Qusyairiy

0
Makna Wali
Dimensi Makna Wali Menurut Al-Qusyairy

Seperti yang telah disebutkan Haris Fauzi dalam Menyoal Pemakanaan Wali Menurut Al-Qur’an, pembahasan mengenai makna wali memang sangat rumit. Tak kurang dari 200 kata dengan segala bentuk derivasinya menghiasi lembar demi lembar halaman Al-Qur’an. Namun begitu, tulisan mengenai wali nyatanya belum banyak ditemui.

Pencarian penulis terhadap kajian waliyy dalam tafsiralquran.id menemukan dua tulisan dengan fokus kajian yang berbeda. Tulisan pertama milik Haris Fauzi berjudul Menyoal Pemaknaan Wali Menurut Al-Qur’an lebih menyorot pada akar kata wali berikut kemungkinan mengetahui kewalian seseorang. Tulisan kedua dari Habib Maulana Maslahul Adi, Tafsir Surat Yunus Ayat 62: Tak Ada Rasa Takut dan Sedih bagi Wali Allah, lebih menekankan aspek khauf dan huzn bagi seorang wali.

Dari dua tulisan ini, agaknya peluang kajian terhadap konsep wali dalam Al-Qur’an masih terbuka lebar. Untuk itu, dalam tulisan kali ini ijinkan penulis membagikan hasil kajian terhadap kata wali menurut perspektif Imam Al-Qusyairiy.

Dua Dimensi Makna Wali Menurut Al-Qusyairiy

Faktor yang cukup penting dalam konsep wali menurut Al-Qusyairiy dapat dilihat dari dua dimensi pemakanaan literalnya. Akar derivasi yang berbeda dalam bahasa asalnya (waliyy) memiliki implikasi pada pemaknaan yang berbeda pula.

Kata waliyy mengikuti bentuk (shighat) fa‘iil (فعيل). Bentuk ini dapat berfungsi sebagai subjek atau fa’il dan objek atau maf‘ul. Kata waliyy yang memiliki fungsi subjek berarti seseorang yang memelihara, menjaga dan bertanggungjawab (tawalla) atas segala upaya penghambaannya kepada Allah tanpa sedikit pun disertai bentuk kemaksiatan.

Fungsi subjek yang dimiliki bentuk ini memiliki perbedaan pada aksentuasi makna mubalaghah yang diberikan. Sehingga bukan sekedar subjek biasa, ia boleh dikatakan sebagai subjek super yang karenanya dalam implementasi maknanya ditunjukkan dengan definisi tanpa sedikit pun disertai bentuk kemaksiatan.

Sedangkan kata waliyy yang memiliki fungsi objek atau maf‘ul berarti seseorang yang segala urusannya telah dipelihara, dijaga dan ditanggung oleh Allah. Dan dua dimensi makna ini menjadi satu keniscayaan menurut Al-Qusyairiy. Ibarat dua sisi mata uang, keduanya harus ada dalam diri seorang wali.

Dua Dimensi Makna Wali dalam Al-Qur’an

A. Mustofa Bisri dalam beberapa momen mau‘idzah hasanah-nya sering kali merujukkan konsep wilayah dalam Al-Qur’an pada Surah Yunus ayat 62 dan Surah Al-Ahqaf ayat 13.

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah,” kemudian mereka tetap istiqamah tidak ada rasa khawatir pada mereka, dan mereka tidak (pula) bersedih hati”

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“Ingatlah wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati”

Dari keduanya, beliau lantas membuat sebuah silogisme sederhana dalam rangka mengetahui definisi wali-wali Allah. Mereka adalah orang-orang yang beriman, dengan mengatakan “Allah lah Tuhanku”, kemudian beristiqamah. Dan mereka juga adalah orang-orang yang tidak pernah tunduk pada rasa takut dan tidak pula bersedih.

Dua definisi Al-Qur’an ini agaknya juga menjadi akar rujukan Al-Qusyairiy dalam konsep wilayah-nya. Surah Yunus ayat 62 menjadi landasan fungsi subjek. Sementara Surah Al-Ahqaf ayat 13 menjadi landasan fungsi objek. Dan sebagaimana Al-Qur’an menyebutkan, keduanya selalu terkait satu sama lain.

Kaitan yang dimiliki keduanya diantaranya dibuktikan dengan adanya konsep hifdz bagi para wali. Seperti telah jamak diketahui bahwa para wali memiliki sifat mahfudz atau dijaga dari melakukan kemaksiatan. Menurut Al-Qusyairiy, sifat penjagaan ini selain diupayakan sendiri oleh mereka (wali berperan sebagai subjek penjagaan) juga ditunjang dengan pemberian penjagaan dari Allah (wali berperan sebagai objek penjagaan).

Namun perlu dicatat bahwa konsep hifdz ini berbeda dengan konsep ‘ishmah para nabi dari segi dimungkinkannya terjadi kemaksiatan oleh para wali. Meskipun para wali akan langsung bertaubat nashuha begitu mereka terjatuh pada melakukan kemaksiatan.

Maka berdasar pada ulasan ini, wilayah atau derajat kewalian adalah sesuatu yang tidak melulu pada pemberian Allah Swt berupa hifdz yang sering kali diasosiasikan sebagai karamah. Tetapi lebih dari itu, betapa sulitnya proses pencapaian yang harus dilakukan, memenuhi hakikat penghambaan dan meninggalkan kemaksiatan. Wallahu a‘lam bi al-shawab

Surah Al-Mu’minun Ayat 12 -14: Darah Haid Bukan Darah Kotor

0
Darah Haid
Darah Haid

Sebagian orang masih beranggapan bahwa darah haid yang keluar pada siklus menstruasi wanita merupakan darah kotor. Anggapan ini perlu diluruskan. Mengingat bahwa proses penciptaan manusia berasal dari saripati tanah, kemudian menjadi segumpal darah, kemudian berkembang menjadi segumpal daging, dan barulah setelah itu ruh ditiupkan ke dalam rahim seorang ibu untuk dapat menjadi janin yang utuh dan hidup. Hal tersebut tergambarkan pada firman Allah SWT, dalam Surah Al-Mu’minun Ayat 12 -14;

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ مِنْ سُلٰلَةٍ مِّنْ طِيْنٍ ۚ ثُمَّ جَعَلْنٰهُ نُطْفَةً فِيْ قَرَارٍ مَّكِيْنٍ ۖ ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظٰمًا فَكَسَوْنَا الْعِظٰمَ لَحْمًا ثُمَّ اَنْشَأْنٰهُ خَلْقًا اٰخَرَۗ فَتَبَارَكَ اللّٰهُ اَحْسَنُ الْخَالِقِيْنَۗ

Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari saripati tanah (12). Kemudian Kami menjadikannya air mani (yang tersimpan) dalam tempat yang kukuh (rahim) (13). Kemudian, air mani itu Kami jadikan sesuatu yang melekat, lalu dari yang melekat itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang-belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian, Kami menjadikannya makhluk yang berbentuk lain. Maha Suci Allah, Pencipta yang paling baik.” (Surah Al-Mu’minun Ayat 12 -14).

Mengenai Surah Al-Mu’minun Ayat 12 -14 ini, Hasbi As-Shiddieqy dalam Tafsir An-Nur (2000,[3]: 2729) menyatakan bahwa nuthfah ialah suatu zat berupa darah yang berasal dari apa yang dikonsumsi oleh manusia baik berupa tumbuh-tumbuhan maupun daging-dagingan. Sedangkan tumbuhan dan daging hewan yang dikonsumsi oleh manusia tersebut pada dasarnya berasal dari tanah, hingga dengan demikian menjadikan nuthfah dapat dimaknai sebagai saripati tanah yang kemudian terproses dengan sendirinya di dalam tubuh manusia dan berubah menjadi sperma.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Hasyr Ayat 9: Sifat-Sifat Kepahlawanan Kaum Ansar

Sedangkan Ibnu Katsir berpendapat bahwa “nuthfah” ialah zat cair yang bertemu antara tulang selangka dan pusar, dari seorang laki-laki yang awal letaknya berasal dari tulang punggung, sedangkan dalam perempuan letak awalnya di tulang dada. Lalu kemudian terproses alamiah di dalam rahim dalam bentuk segumpal darah yang memanjang. (Tafsir Ibnu Katsir, [5], 575)

Berkenaan dengan penciptaan manusia, Nabi Muhammad SAW juga memberikan dalam sabdanya;

عَنْ اَبِيْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: حَدَّثَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوقُ إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِى بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا ثُمَّ يَكُوْنُ فِيْ ذَلِكَ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُوْنُ فِيْ ذَلِكَ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يُرْسَلُ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِىٌّ أَوْ سَعِيْدٌ فَوَالَّذِى لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُونَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُونَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا. (رواه البخاري ومسلم)

Dari Abi Abdirrahman Abdillah bin Mas’ud r.a., ia berkata, Rasulullah saw. yang dialah orang yang jujur dan terpercaya pernah bercerita kepada kami.“Sesunggunya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya dalam rahim ibunya selama empat puluh hari (berupa nutfah/sperma), kemudian menjadi alaqah (segumpal darah) selama waktu itu juga, kemudian menjadi mudghah (segumpal daging) selama waktu itu pula, kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya dan mencatat empat perkara yang telah ditentutkan yaitu; rezekinya, ajal, amal perbuatan, dan sengsara atau bahagianya. Maka demi Allah yang tiada Tuhan selain-Nya, sesunggguhnya ada seseorang di antara kalian beramal dengan amalan penghuni surga, sehingga tidak ada jarak antara dirinya dengan surga kecuali sehasta saja, namun ketetapan (Allah) mendahuluinya, sehingga ia beramal dengan amalan ahli neraka, maka ia pun masuk neraka.Ada seseorang di antara kalian beramal dengan amalan ahli neraka, sehingga tidak ada jarak antara dirinya dengan neraka kecuali sehasta saja, namun ketetapan (Allah) mendahuluinya, sehingga ia beramal dengan amalan penghuni surga, maka ia pun masuk surga.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Namun, ketika wanita di awal kehamilannya tidak mendapati menstruasi atau masyarakat menyebutnya dengan “telat datang bulan”, serta beredarnya isu bahwa darah haid adalah darah kotor, dan dari pemaparan al Qur’an bahwa manusia pada awalnya juga terbentuk dari segumpal darah. Apakah secara sederhana dapat dikatakan bahwa kita sebagai manusia tercipta dari darah yang kotor? Demikianlah pertanyaan yang muncul dalam pikiran penulis.

Dalam artikel yang telah dirilis oleh hallosehat.com, “Darah Haid Wanita Bukan Darah Kotor! Begini Penjelasannya” memberikan tanggapan bahwa darah yang keluar pada saat siklus menstruasi bulanan tersebut bukanlah darah kotor, melainkan aliran darah biasa seperti darah pada saat mimisan. Hal ini juga dapat dilihat kepada keadaan perempuan yang terlihat lemas saat menstruasi.

Baca Juga: Membincang Kebahagiaan dalam Al-Qur’an: Hakikat, Bentuk, dan Cara Menggapainya

DR. dr. Inge Permadi, seorang ahli Gizi Klinis FKUI-RSCM, mengatakan bahwa wanita akan kehilangan pasokan darah bersih yang mengandung hemoglobin. Maka pada saat itu tubuh wanita terlihat lemas karena kekurangan zat besinya. Adapun darah haid yang keluar pada saat tersebut merupakan darah yang berasal dari luruhnya dinding rahim setelah proses ovulasi. Ovulasi ini sendiri merupakan persiapan kehamilan secara alamiah di dalam rahim seorang wanita, yang jika tidak dibuahi dengan sperma maka dinding rahim tersebut luruh dan keluarlah darah sebagai siklus menstruasi.

Dengan demikian, penulis mendapatkan jawaban bahwa manusia berasal dari saripati tanah, kemudian menjadi segumpal darah haid yang bersih, bukan darah kotor yang dibuahi oleh sperma saat proses ovulasi, dan kemudian menjadi segumpal daging, dan proses alamiah selanjutnya. Sungguh besar dan menakjubkannya orang-organ yang dapat bekerja secara alamiah di dalam diri ini, berkat penciptaan yang sempurna oleh Allah Swt. Wallahu a’lam.

Mengenal Sosok Salman Harun, Guru Besar Ilmu Tafsir yang Bersahaja

0
Salman Harun
Salman Harun, Guru Besar Tafsir UIN Jakarta

Bagi mahasiswa yang belajar tafsir di UIN Syarif Hidayatullah, tentu tidak asing dengan sosok yang bernama Salman Harun. Beliau adalah guru besar di bidang tafsir yang sederhana dan bersahaja. Meskipun sudah tidak lagi muda, beliau selalu suka berjalan kaki. Ketika pergi mengajar baik di Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta maupun di Masjid Fathullah, ia selalu tampak berjalan kaki dengan tas selempang berwarna hitam. Artikel ini akan mengulas sedikit mengenai Salman Harun, biografi dan karya-karyanya.

Salman Harun lahir pada tanggal 12 Juni 1945 di Pariaman, sebuah kota pesisir yang dalam sejarahnya selama ratusan tahun, memegang peranan penting sebagai entrepot (pelabuhan gudang) di pantai barat Sumatera. Terletak sekitar 59 km menuju utara dari kota Padang, dengan jarak tempuh sekitar satu setengah jam.

Sejak sebelum jaman penjajahan Belanda, Pariaman telah menjadi entrepot utama untuk distribusi perdagangan dari pedalaman Minangkabau sebelum dimuat ke pelabuhan lain di dalam dan luar Sumatera. Oleh karena aktifitas ekonomi yang ramai, Pariaman menjelma menjadi sebuah kota multikultural; warga keturunan Cina, India, Arab, dan orang pribumi berbaur satu sama lain.

Baca Juga: Metodologi Tafsir Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Konstruksi Fiqh Ke-Indonesiaan

Salman Harun menyelesaikan jenjang pendidikan strata satu di bidang pendidikan bahasa Arab Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah pada tahun 1973, melanjutkannya hingga doktor di almamaternya, lulus pada tahun 1988, dan kemudian berkesempatan melakukan studi pasca doktoral di Bonn University, Jerman, pada tahun 1999. Riwayat profesi yang dijalani oleh beliau, selain menjadi guru besar, adalah pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah tahun 1994-1996, Kakanwil Depag Sumatera Barat selama satu tahun setelah menjabat dekan, dan menjadi staf ahli Menteri Agama di tahun 1998, kemudian didapuk menjadi Dekan di Fakultas yang sama untuk yang kedua kali pada tahun 2001 hingga tahun 2005.

Beberapa karya yang dapat penulis akses dari buah pikirnya antara lain:

  1. Tafsir Tarbawi: NIlai-nilai Pendidikan Dalam Al-Quran

Karya dengan tebal 116 halaman ini menjadi diktat mata kuliah Tafsir Tarbawi yang masuk pada kurikulum perkuliahan di Fakultas Ilmu Tarbiyah UIN Syarif Hidayatullah. Sistematika penulisannya: a. menguraikan ayat yang berkaitan dengan tema-tema pendidikan, b. mengemukakan nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam ayat, c. menjelaskan bagaimana implementasinya dalam dunia pendidikan.

  1. Pintar Bahasa Arab Al-Quran: Cara Cepat Belajar Bahasa Arab Agar Paham Al-Quran

Al-Quran dalam buku ini diposisikan sebagai contoh kongkrit dari berbagai konsep tata bahasa Arab. Ada empat metode yang disusun untuk pembelajaran: pertama judul tata bahasa Arab, kedua contoh-contoh yang diambil dari al-Quran, ketiga pemahaman arti kosa katanya, keempat menjelaskan tata bahasa arab, dan kelima latihan yang diambilkan dari contoh-contoh al-Quran dan selainnya (jika tidak ditemukan contoh lagi).

  1. Morfologi Kosakata al-Quran

Tulisan ini merupakan hasil penelitian pada tahun 1992 yang didanai oleh IAIN Syarif Hidayatullah. Berkutat pada pencarian contoh-contoh al-Quran dengan mengklasifikasikannya ke dalam tasrif istilahi ke dalam bentuk fi’il madi, fi’il mudari, fi’il amr, masdar, isim fa’il, isim maf’ul, isim makan, isim zaman, dan isim alat. Penelitian beliau mengandalkan Mu’jam Mufahras li Alfaz al-Quran untuk menemukan contoh ayat al-Quran yang dicari.

Baca Juga: Kembali kepada Al-Qur’an dengan Fitur Kontekstualis-Progresif Menurut Amin Abdullah

  1. Perkembangan Saintifik Ilmu Qawaid Tafsir

Penelitian ini mengulas tentang pemikiran Khalid bin ‘Ustman al-Sabt dengan sumber primer karya al-Sabt yang berjudul Qawa’id al-Tafsir. Dalam pandangan Salman Harun, al-Sabat berkontribusi besar di bidang ‘Ulum al-Quran karena telah menggiring aspek-aspek ilmu al-Quran menjadi kaidah baku.

Dari keempat buku dan jurnal di atas, dapat tercermin bahwa Salman Harun memiliki minat kajian dan keahlian di tiga bidang secara garis besar; pendidikan, tafsir al-Quran, dan bahasa Arab. Bidang kajian al-Quran merupakan bidang yang dominan dari karya-karya beliau. Hal ini terbukti dengan penelitiannya baik dalam studi Pendidikan maupun bahasa Arab, selalu berkaitan dengan al-Quran sebagai titik acuan penelitiannya.

Peran Bahasa Arab dan Cabang Keilmuannya dalam Penafsiran Al-Qur’an

0
Peran Bahasa Arab dan Cabang Keilmuannya dalam Penafsiran Al-Qur’an
Al-Qur’an Berbahasa Arab

Bahasa Arab dan beberapa cabang keilmuannya merupakan bagian penting dalam menafsirkan Al-Quran. Selain Al-Quran sendiri berbahasa Arab, kosa-katanya yang kaya akan makna dan struktur kalimatnya yang kompleks menuntut pemahaman terhadapnya dimulai secara analisis kebahasaan (lughawi). Pemahaman terhadap Al-Quran tidak cukup hanya dengan hafal ribuan bahkan jutaan mufradat (kosa-kata bahasa Arab), tapi perlu ditunjang dengan pengetahuan tentang kaidah-kaidah bahasa Arab.

Dalam banyak ayat ditemukan susunan kalimat yang potensial disalahartikan secara fatal. Hal ini menguatkan keharusan memahami Al-Quran melalui analisis bahasa terlebih dahulu. Oleh karena itu, hampir di setiap kitab-kitab tafsir klasik maupun modern ditemukan analisis secara bahasa.

Meskipun peran bahasa Arab dalam penafsiran Al-Quran sangat besar, seseorang hanya berbekal pengetahuan bahasa Arab saja tidaklah cukup untuk menjadi mufasir. Disebutkan dalam artikel yang berjudul Gus Awis: Tidak Cukup Menafsirkan Al-Quran Hanya Bermodalkan Bahasa Arab bahwa porsi bahasa dalam penafsiran Al-Quran hanya berkisar 25% dari seluruh piranti yang diperlukan.

Senada dengan pendapat di atas, Imam az-Zarkasyi dan As-Suyuthi telah menyebutkan bahwa landasan pokok dalam penafsiran Al-Quran ada empat. Pertama hadits yang diriwayatan dari Rasulullah, kedua atsar yang diriwayatkan dari para sahabat, ketiga Bahasa (Arab), keempat makna yang dikehendaki suatu Nash dan kesesuainnya dengan syariat. (az-Zarkasyi, al-Burhan 2/156-161; As-Suyuthi, al-Itqan 4/180-182) .

Baca juga: Kompleksitas Bahasa Arab Sebagai Bahasa Al-Quran

Penafsiran Al-Quran dari Perspektif Kebahasaan

Penafsiran Al-Quran dari aspek kebahasaan sebetulnya sudah ada sejak masa Rasulullah Saw, yang kemudian dilanjutkan para sahabat, para tabiin dan para mufasir generasi setelahnya.

Pada masa Rasulullah, yang menjadi contoh penafsiran dari aspek kebahasaan adalah jawaban Rasulullah kepada seorang sahabat yang bernama Uday bin Hatim ketika menanyakan makna kata “al-Khaith al-Abyadh dan al-Khaith al-Aswad” pada QS. al-Baqarah: 02/187.

 وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ

Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.

Uday bin Hatim terpaksa menanyakan ayat di atas karena sempat kebingungan ketika sebelumnya dia hanya memahami kata tersebut dengan makna benang putih dan benang merah. Diriwayakan ketika malam hari, ia mengambil benang putih dan benang merah, kemudian disimpan di bawah bantal. Setiap kali terbangun dari tidur, ia melihat keduanya, dan kedua benang pun belum bisa dibedakan sampai datang waktu subuh. Akhirnya ia bertanya, dan Rasulullah menjawab, bahwa yang dimaksud dengan kata “al-Khaith al-Abyadh dan al-Khaith al-Aswad” adalah terangnya siang dan gelapnya malam. (Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, 2/147).

Penjelasan Rasulullah ini menunjukkan pemaknaan Al-Quran secara bahasa. Uday bin Hatim menanyakan makna leksikal kata yang ada dalam ayat tersebut dan Rasulullah memberitahu maknanya. Namun yang lebih penting dari itu adalah, bahwa Nabi memberikan makna yang tidak sesuai dengan makna yang sebenarnya, al-Khaith al-Abyadh bukanlah benang putih dan al-Khaith al-Aswad bukan pula benang hitam dalam pengertian umunya, melainkan makna selainnya (terangnya siang dan gelapnya malam). Ungkapan seperti inilah yang pada perkembangan selanjutnya dikenal sebagai majaz yang merupakan bagian dari ilmu Balaghah atau sastra Arab.

Baca juga: Alasan Kenapa Al-Quran Diturunkan Berbahasa Arab

Di antara contoh tafsir kebahasaan generasi sahabat adalah penafsiran Qatadah pada ayat 2 surat al-Insyiqaq:

 وَأَذِنَتْ لِرَبِّهَا وَحُقَّتْ

Dia patuh kepada Tuhannya, dan sudah semestinya langit itu patuh,

Kata أذنت pada ayat ditafsiri dengan makna kata وأطاعت  سمعت yang berarti mendengar dan patuh. (Tafsir al-Tabari, 30/113).

Ketika sahabat menentukan kata untuk makna kata lain seperti ini tidak semata-mata langsung dari dirinya sendiri, melainkan banyak merujuk kepada syair-syair Jahiliyah. Hal ini karena syair Jahiliyah mencakup banyak kosa-kata bahasa Arab yang tidak semua orang mengetahuinya. Oleh karena itulah syair Jahiliyah disebut sebagai “Diwanul Arab” (arsipnya Arab).

Penutup

Dari ulasan di atas bisa disimpulkan, bahwa peran analisis bahasa tidak bisa dinafikan dalam proses penafsiran Al-Quran. Bahkan, As-Suyuthi dalam kitab Syarh Alfiyah-nya memberikan pernyataan, ‘Bahwa siapapun yang tidak mempunyai wawasan kaidah bahasa Arab maka tidak diperkenankan berbicara tentang isi Al-Quran, karena Al-Quran berbahasa Arab, dan ia tidak mungkin dipahami kecuali dengan mengetahui kaidah-kaidah Bahasa Arab terlebih dahulu. (Syarh Mukhtasar Jiddan, 6).

Baca juga: Kontribusi Al-Qur’an terhadap Perkembangan Bahasa Arab

Tafsir Surah Al-Hasyr Ayat 9: Sifat-Sifat Kepahlawanan Kaum Ansar

0
Tafsir Surah Al-Hasyr Ayat 9: Sifat-Sifat Kepahlawanan Kaum Ansar
Sifat-Sifat Kepahlawanan Kaum Ansar

Pahlawan adalah orang yang berjiwa besar dan sangat berjasa pada bangsa dan negara serta masyarakatnya. Kontribusi dan peran besar mereka layak dianggap sebagai jasa yang tak terbayarkan hingga saat ini. Semangat juang dan pantang menyerah merupakan ciri-ciri yang tak bisa dihilangkan dari mereka.

Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam yang berlaku sepanjang zaman telah mengabarkan kepada manusia tentang karakteristik kepahlawanan sejati yang dapat kita teladani dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini telah Allah Swt. sebutkan dalam firman-Nya Al-Qur’an surah al-Hasyr ayat 9:

وَٱلَّذِينَ تَبَوَّءُو ٱلدَّارَ وَٱلْإِيمَٰنَ مِن قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِى صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِّمَّآ أُوتُوا۟ وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۚ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ ۦفَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ

“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum mereka, mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung”

Penjelasan ayat

Ayat di atas turun berkaitan dengan cerita yang bersumber dari Ibnu Umar; bahwa ada seorang sahabat Rasulullah dihadiahi kepala kambing, lalu ia berkata: “Sungguh saudaraku si Fulan dan keluarganya lebih membutuhkan ini ketimbang kami”. Lalu ia memberikan kepala kambing itu ke saudaranya. Tapi justru yang diberi malah memberikan lagi ke orang lain. begitu seterusnya sampai tujuh keluarga lain, lalu kembali lagi ke orang yang pertama memberikan. Maka turunlah ayat ini (ungkapan “wa yu’siruna a’la anfusihim” sampai akhir ayat) sebagai bentuk pujian Allah kepada mereka. (Lubab an-Nuqul, hal. 232-233).

Menurut Wahbah al-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir, bahwa ayat ini bercerita tentang kaum Ansar. Mereka adalah kaum yang telah menetap di dar al-hijrah (Madinah) dan telah mantap keimanan di hati mereka kepada Allah dan Rasul-Nya sebelum hijrahnya kaum Muhajirin. (Tafsir al-Munir, juz 14, hal. 458).

Baca juga: Kisah Thalut Dalam Al-Quran: Representasi Sosok Pahlawan Bangsa

Cinta tanah air, cinta kepada sesama

Dalam ayat ini tercantum tiga sifat kepahlawanan kaum Ansar yang dapat kita ambil. Di antaranya yang pertama adalah patriotisme (cinta tanah air). Sifat patriotisme bukan hanya cinta kepada bangsa dan negara, tetapi juga termasuk mendarmabaktikan diri untuk kepentingan sosial demi menggapai rida Allah dan Rasul-Nya.

Rasa patriotisme yang didasari dengan keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya telah mendorong kaum Ansar untuk mencintai segala sesuatu yang berkaitan dengan keduanya tanpa pandang bulu. Menjadikan mereka sebagai orang yang berani, percaya diri dan suka menolong kepada siapa yang membutuhkan. Inilah yang mereka lakukan kepada kaum Muhajirin, saudara seiman mereka yang terusir dari kampung halamannya.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu  bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda,

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأِخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

“Tidak sempurna keimanan seseorang di antara kalian sehingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri”.

Mereka ingin membuktikan keimanan dengan cara mencintai orang-orang Muhajirin sebagai saudara mereka. Mereka berusaha agar orang-orang Muhajirin memperoleh kebaikan sebagaimana mereka menginginkan kebaikan atas dirinya. Kecintaan yang membuat mereka tak sama sekali menaruh rasa iri dan dengki kepada apa yang telah Allah berikan kepada kaum Muhajirin.

Berkorban dan mendahulukan kebaikan bagi orang lain

Sifat kepahlawanan kedua yang dapat kita teladani dari kaum Ansar adalah rela berkorban (isar). Menurut Wahbah Zuhaili, bahwa rela berkorban (isar) yang dimaksud adalah mendahulukan maslahat orang lain atas dirinya sendiri di dalam urusan dunia bukan akhirat. (Tafsir al-Munir, juz 14, hal. 458).

Dalam sikap rela berkorban terkandung sikap tidak mementingkan diri sendiri (egois). Kaum Ansar rela mengorbankan rumah dan hartanya untuk kaum Muhajirin, padahal mereka sendiri membutuhkannya. Kepentingan bersama lebih mereka prioritaskan dibandingkan dengan kepentingan pribadi, bahkan dikisahkan ada seorang Ansar yang mempunyai dua orang istri, kemudian diceraikannya agar dapat dinikahi oleh saudaranya dari kaum Muhajirin.

Ar-Razi dalam tafsirnya menyebutkan berbagai pengorbanan lain yang dilakukan kaum Ansar di antaranya kerelaan diri mereka dan keluarganya untuk menahan lapar demi membuat tamunya dari orang Muhajirin merasa kenyang, menyediakan sebagian rumah untuk mereka, dan tidak berkeinginan memperoleh harta fa’i (harta rampasan perang yang diperoleh tanpa pertempuran). (Mafatih al-Ghaib, juz 29, hal. 288).

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. berkata kepada orang-orang Ansar, “Sesungguhnya saudara-saudara kami (Muhajirin) telah meninggalkan harta dan anak-anak mereka serta telah hijrah ke negerimu”. Mereka berkata, “Harta kami telah terbagi-bagi di antara kami.” Rasulullah berkata, “Adakah yang lain dari itu?” Mereka menjawab, “Apa ya Rasulullah?” beliau berkata, “Mereka adalah orang yang tidak bekerja, maka berikanlah kurma kepada mereka.” Mereka menjawab, “Baik ya Rasululllah.”

Itulah bentuk pengorbanan kaum Ansar yang dilandasi atas dasar keikhlasan yang membuat mereka melakukannya tanpa pamrih.

Baca juga: Kisah Kedermawanan Dua Sahabat Nabi Saw yang Diabadikan Al-Qur’an

Jauh dari sifat kikir

Sifat ketiga yang dapat kita teladani adalah menjaga diri dari sifat bakhil dan kikir (syuh). Tidak mungkin keimanan muncul bersamaan dengan sifat tamak terhadap harta dan benci untuk berinfaq. Keimanan hanya akan muncul bersamaan dengan sifat dermawan dan senang berbagi.

Ketiga sifat yang dipraktekkan kaum Ansar ini membuat mereka dipuji oleh Allah dan menjadikan mereka termasuk dari golongan orang-orang yang beruntung (almuflihun) dan akan memperoleh apa yang mereka inginkan berupa pahala dan ridha Allah dan Rasul-Nya. (Tafsir al-Munir, juz 14, hal. 465).

Penutup

Dari ayat di atas, dapat kita ketahui bahwa pahlawan ialah mereka yang cinta kepada Allah dan Rasul-Nya serta berusaha mengabdikan dirinya untuk menggapai rida keduanya. Usaha itu diwujudkan dengan sikap rela berkorban tanpa pamrih memenuhi kebutuhan orang lain dan masyarakat sekitar, meskipun diri sendiri dalam keadaan sempit dan membutuhkan. Wallahu a’lam bissawab.

Baca juga: Implementasi Mental Heroik dalam Al-Quran; Refleksi Peringatan Hari Pahlawan

Sisi Lain Turunnya Surah An-Nashr yang Masih Jarang Diketahui

0
Sisi Lain Turunnya Surah An-Nashr
Sisi Lain Turunnya Surah An-Nashr

Surah An-Nashr yang berarti pertolongan adalah surah ke-110 dalam Al-Qur’an. Surah ini termasuk di antara surah yang terakhir turun dari Al-Qur’an. Dalam sebuah riwayat dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa surah ini turun sepulang Nabi SAW dari Khaibar sekitar tahun ke-7 Hijriyah. Riwayat lain darinya menyatakan bahwa surah ini adalah surah yang paling akhir turun, dalam artian tidak ada ayat lagi yang turun setelahnya. Ada pula riwayat yang menyebutkan surah ini turun pada tahun ke-8 atau ke-9 Hijriyah. Meski demikian, tidak dapat dipastikan kapan tepatnya surah ini turun. Namun dapat disimpulkan bahwa ia turun di akhir masa hidup Rasulullah SAW.

Secara kuantitas, surah ini termasuk surat mufashshal (surah pendek) yang hanya terdiri dari tiga ayat, yaitu:

إِذَا جَآءَ نَصْرُ ٱللَّهِ وَٱلْفَتْحُ  .وَرَأَيْتَ ٱلنَّاسَ يَدْخُلُونَ فِى دِينِ ٱللَّهِ أَفْوَاجًا .فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَٱسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُۥ كَانَ تَوَّابًۢا   .

“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah, maka bertasbihlah dalam dengan Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat.” Q.S. Al-Nashr [110]: 1-3.

Baca juga: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 114: Ancaman Bagi Mereka yang Merusak Rumah Ibadah

Secara eksplisit, surah ini mengabarkan tentang sebuah kabar gembira yang amat besar untuk kaum Muslimin, yaitu Fathu Makkah atau penaklukkan kota Mekkah. Setelah bertahun-tahun dikuasai kafir Quraish dan Hawazin, pada tahun 8 Hijriah akhirnya Mekkah berhasil ditaklukkan kaum Muslimin tanpa ada peperangan.

Bukan hanya Mekkah, Ibnu ‘Athiyyah dalam tafsirnya menambahkan bahwa kemenangan Islam saat itu juga meliputi Thaif, kota-kota di Hijaz dan sebagian besar Yaman. Surah ini juga mengabarkan bahwa akan ada waktu orang-orang berbondong-bondong memeluk Islam. Tentu saja kabar ini sangat menggembirakan para sahabat pada umumnya.

Sisi Lain Turunnya Surah An-Nashr Menurut Ibnu Abbas

Namun ada beberapa sahabat yang memahami makna tersirat dari surah ini. Salah satunya adalah Ibnu Abbas, seorang sahabat sekaligus sepupu Nabi Muhammad SAW yang terberkati dengan doanya: “Ya Allah jadikanlah ia pahamkanlah ia agama dan ajarkanlah ia tafsir (Al-Qur’an).” Berkat doa tersebut Ibnu Abbas menjadi salah satu sahabat yang paling cemerlang pemahamannya terhadap Al-Qur’an, meskipun usianya jauh lebih muda dari sahabat-sahabat senior yang lain.

Dalam sebuah kesempatan Umar bin Al-Khaththab mengajak Ibnu ‘Abbas ke majelis perkumpulan sahabat-sahabat senior veteran perang Badar. Umar bertanya bertanya pada mereka, “Apa pendapat kelian tentang surah Al-Nashr?” Sebagian mereka menjawab, “Allah memerintahkan kita untuk senantiasa memujinya, beristighfar pada-Nya jika telah datang pertolongan dan kemenangan dari-Nya.” Sebagian yang lain memilih diam.

Baca juga: Tafsir Surah Ali Imran Ayat 134-135 : Empat Perilaku Orang Yang Bertakwa

Lalu Umar bertanya pendapat Ibnu ‘Abbas. Ia menjawab, “Ayat itu adalah berita tentang dekatnya ajal Rasulullah.” Jawaban Ibnu ‘Abbas pun disetujui oleh ‘Umar. Jawaban Ibnu ‘Abbas menunjukkan intuisinya dalam memahami yang tersirat dari ayat-ayat Al-Qur’an. Hal yang sama juga disetujui oleh bebrapa sahabat senior lain seperti ‘Aisyah dan Ibnu Mas’ud.

Dalam tafsir Jalalain disebutkan bahwa setelah turun surah ini Rasulullah memperbanyak membaca subhanallah wa bihamdihi astaghfirullaha wa atubu ilaih. Sayyidah ‘Aisyah juga mengungkapkan, Rasulullah menyadari bahwa surah ini adalah sinyal akan dekatnya ajal beliau. Benar saja, Fathu Makkah terjadi pada Ramadhan tahun ke-8 Hijriyah, dan Rasulullah wafat Rabi’ul Awwal tahun ke-10.

Inilah dua sisi bertolak belakang dari surah Al-Nashr, berita gembira sekaligus kabar duka. Tidak ada yang lebih menggembirakan dari kemenangan yang telah dinanti-nanti kaum Muslimin dan banyaknya orang yang memeluk agama Allah. Tidak ada pula yang menggoreskan duka melebihi kepergian Sang Kekasih untuk selamanya, kepergian Rasulullah SAW. Wallahu a’lam[]

Tafsir Surah Ali Imran Ayat 134-135 : Empat Perilaku Orang Yang Bertakwa

0
li Imran Ayat 134-135 : Empat Perilaku Orang Yang Bertakwa
li Imran Ayat 134-135 : Empat Perilaku Orang Yang Bertakwa

Allah Swt berfirman dalam surah Ali Imran Ayat 134-135 :

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعافِينَ عَنِ النَّاسِ ‌وَاللَّهُ ‌يُحِبُّ ‌الْمُحْسِنِينَ (134) وَالَّذِينَ إِذا فَعَلُوا فاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَاّ اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلى ما فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ (135)

(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, (segera) mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui.

Baca juga: Membincang Kebahagiaan dalam Al-Qur’an: Hakikat, Bentuk, dan Cara Menggapainya

Ada empat perilaku orang-orang yang bertakwa berdasarkan ayat ini. Berikut penjelasan secara terperinci tentang keempat perilaku tersebut :

Selalu Istiqamah dalam Berinfaq

Al-Qur’an menyebut orang-orang yang menafkahkan hartanya dengan ungkapan “yunfiqun”. Ungkapan ini merupakan bagian dari pola fi’il Mudhari’. Salah satu fungsi fi’il mudhari’ dalam Al-Qur’an adalah untuk menunjukkan aktifitas yang dilakukan secara berkesinambungan. Maka, ungkapan ini mengisyaratkan bahwa mereka adalah orang-orang yang selalu istiqomah dalam menafkahkan harta mereka di jalan Allah, sekalipun dalam keadaan duka/sempit.

Menurut Sayyid Tanthawi dalam kitab al-Tafsir al-Wasith (2/263), perilaku menafkahkan harta dalam ayat ini disebut lebih awal dari pada perilaku menahan amarah dan memaafkan orang lain, sebab seseorang yang rela menafkahkan sebagian hartanya dalam keadaan suka dan duka, maka ia termasuk orang yang murni hatinya dan benar-benar ikhlas. Ia memiliki komitmen yang mendalam terhadap ajaran agama dan ketaatan kepada Allah Swt.

Perilaku ini sebagaimana dalam Q.S al-Baqarah (2) : 274 :

اَلَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ بِالَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَّعَلَانِيَةً فَلَهُمْ اَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْۚ

Orang-orang yang menginfakkan hartanya malam dan siang hari (secara) sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya.

Baca juga: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 114: Ancaman Bagi Mereka yang Merusak Rumah Ibadah

Mampu Menahan Amarah

Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah (2/221), kata al-kadzimin mengandung makna penuh dan menutupnya dengan rapat, seperti wadah yang penuh air lalu ditutup rapat agar tidak tumpah. Ini mengisyaratkan bahwa perasaan tidak bersahabat masih memenuhi hati yang bersangkutan, pikirannya masih menuntut balas, tetapi dia tidak memperturutkan ajakan hati dan pikiran itu. Dia menahan diri dan amarah agar tidak mencetuskan kata-kata buruk atau perbuatan negatif.

Perilaku ini merupakan kemampuan seseorang yang diliputi oleh emosi dan kemarahan, namun ia mampu meredam dan menahannya agar tidak diketahui oleh orang lain. Perilaku ini sebagaimana yang disabdakan oleh Rasul Saw. : “Orang kuat bukanlah orang yang bergulat, tetapi orang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya saat marah.”

Dalam hadis lain, Rasul Saw. memberikan jaminan aman dan iman bagi orang yang dapat meredam amarahnya. Beliau bersabda : “Siapapun yang mampu menahan amarahnya, padahal ia bisa saja meluapkannya, maka Allah akan mengisi perutnya dengan rasa aman dan iman.”

Baca juga: Mengenal Syed Muhammad Naquib Al-Attas: Penggagas Epistemologi Tafsir Metalinguistik (1)

Memaafkan Kesalahan Orang Lain

Menurut al-Zuhayli dalam Tafsir al-Munir (4/88), sesorang yang memaafkan orang yang berbuat dzalim kepadanya, padahal ia mampu membalasnya, maka perilaku ini menunjukkan kemampuannya untuk mengendalikan diri, kebijaksanaannya dalam berfikir dan kharakternya yang kuat. Perilaku ini lebih baik dari pada seseorang yang dapat menahan amarahnya.

Perilaku ini sebagaimana dalam Q.S al-Shura ayat 37 :

وَإِذا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ

Dan apabila mereka marah, segera memberi maaf

Al-Zuhayli juga berpendapat bahwa ayat ini mengisyaratkan tentang kemuliaan Rasul Saw. yang memaafkan para pasukan pemanah saat mereka tidak mengikuti intruksi beliau dalam perang Uhud. Beliau juga memaafkan perilaku orang-orang musyrik yang menjadi penyebab kematian pamannya, Hamzah bin Abd al-Mutallib.

Dalam sebuah riwayat, Rasul Saw. menjelaskan bahwa seseorang yang ingin derajatnya ditinggikan oleh Allah, maka hendaklah ia mengampuni (memaafkan) orang-orang yang menganiyayanya dan menyambung silaturrahim kepada orang-orang yang memutuskan hubungan dengannya.

Segera Bertaubat Kepada Allah

Kata “fahishah” dalam ayat ini secara etimologi berarti melebihi batas dalam melakukan perbuatan buruk (mujawazah al-had fi al-su’), seperti zina, mencuri, dan perbuatan lain yang termasuk dosa besar. Menurut al-Sha’rawi, para ulama’ berbeda pendapat tentang makna “fahishah”. Ada yang mengartikannya semua perilaku dosa besar, ada pula yang hanya membatasi pada arti berbuat zina.

Ayat ini memberikan penjelasan kepada kita bahwa maksiat dan kedurhakaan yang dilakukan seseorang (selama dia segera menyadarinya) tidak mencabut identitas ketakwaannya. Hal ini juga membuktikan betapa realialistisnya ajaran Al-Qur’an. Allah tidak menutup pintu, dan mengharuskan semua orang sebersih kain putih, sehalus sutera.

Baca juga: Rahasia di Balik Redaksi al-Wa’d dan al-Wa’id Allah (Janji dan Ancaman)

Dia menerima hamba-hamba-Nya yang berlumuran dosa dan memasukkannya dalan\ kelompok orang yang bertakwa selama mereka menyadari kesalahannya. Namun, tentu peringkat ketakwaannya belum mencapai peringkat yang tinggi.

Hal ini berdasarkan hadis Rasul Saw. yang diriwayatkan oleh Shaykha>ni> (Bukhari Muslim) bahwa beliau bersabda : “seorang hamba, jika ia mengakui kesalahannya, lalu ia segera bertaubat kepada Allah, maka Allah akan menerima taubatnya.

Menurut al-Razi dalam kitab Mafatih al-Ghayb (9/368), keseluruhan ayat ini dapat disimpulkan bahwa secara umum, perilaku orang-orang yang bertakwa dibagi menjadi dua : pertama, orang-orang yang senantiasa taat dan beribadah kepada Allah. Mereka adalah orang orang yang berinfak dalam keadaan suka dan duka, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain.

Kedua, orang – orang yang berdosa dan segera bertaubat. Mereka adalah orang-orang yang disebut pada ayat 135. Mereka dimasukkan oleh Allah sebagai bagian dari orang-orang yang bertakwa karena seseorang yang berdosa, lalu segera bertaubat, maka statusnya sama seperti orang yang bertakwa, yang mendapatkan kemuliaan dari Allah Swt.

Wallahu A’lam[]

Rahasia di Balik Redaksi al-Wa’d dan al-Wa’id Allah (Janji dan Ancaman)

0
Redaksi Wa'd dan Wa'īd Allah
Redaksi Wa'd dan Wa'īd Allah

Dalam buku Oase Al-Qur’an, karangan KH. Ahsin Sakho’ Muhammad mengibaratkan Al-Qur’an sebagai mutiara yang segala sisinya memancarkan aneka cahaya yang indah. Ungkapan ini sangat tepat mengingat banyak sekali ilmu pengetahuan yang ditemukan dan berkembang berkat sentuhan Al-Qur’an. Al-Suyūthī (al-Itqān, 5/1912) menuliskan sekian banyak ilmu pengetahuan yang bisa dipelajari manusia berkat firman Allah Yang Maha Tahu. Keragaman ilmu ini lahir dari rahim Al-Qur’an setelah ditinjau dari sekian sisi-sisinya. Diantara ilmu tersebut adalah al-wa’d dan al-wa’id (janji dan ancaman) yang merupakan keturunan dari ayat-ayat yang mengandung hikmah, contoh, dan ajaran yang menggoncang hati manusia dan hampir-hampir meluluh lantakkan gunung.

Sudah menjadi kebiasaan Allah – sebagaimana  tulis Abu Hayyān – menyebutkan dua hal ini secara bergantian dalam satu tempat. Hal ini memudahkan hamba-Nya untuk mengambil pelajaran sesuai dengan cara berfikir mereka. Diantara mereka ada yang bisa menerima pelajaran sebab termotivasi oleh janji Allah. Dan ada pula yang baru mau berubah setelah mengetahui ancaman yang Allah siapkan bagi mereka yang enggan beriman (Tafsir al-Bahr al-Muhīth, 1/252). Banyak sekali ayat yang mengandung janji dan ancaman Allah kepada hamba-Nya. Diantara ayat yang tersebar dalam banyak surat ini adalah QS. al-Insān [76]: 4-5.

اِنَّآ اَعْتَدْنَا لِلْكٰفِرِيْنَ سَلٰسِلَا۟ وَاَغْلٰلًا وَّسَعِيْرًا. اِنَّ الْاَبْرَارَ يَشْرَبُوْنَ مِنْ كَأْسٍ كَانَ مِزَاجُهَا كَافُوْرًا

Artinya: “Sungguh, Kami telah menyediakan bagi orang-orang kafir rantai, belenggu dan neraka yang menyala-nyala. Sungguh, orang-orang yang berbuat kebajikan akan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur

Tafsir Surah Al-Insan Ayat 4-5

Pesan yang dikandung dua ayat ini sangat jelas, yakni balasan bagi dua golongan, mereka yang ingkar dan yang beriman. Balasan ini Allah sampaikan setelah menyebutkan adanya nikmat berupa petunjuk jalan yang diberikan kepada manusia. KH. Bisyri Musthofa memahami nikmat yang diberikan ini dengan pengutusan seorang rasul yang bertugas memberikan petunjuk hidup kepada mereka (al-Ibrīz, 2183). Hal ini karena memberikan panduan hidup berupa kitab suci saja tidak cukup. Kehadirannya membutuhkan sosok yang mampu menjelaskannya kepada mereka, baik dengan ucapan maupun perbuatan nyata. Setelah mendapatkan peringatan darinya, mereka dipersilahkan untuk memilih dua jalan; tetap menutup diri dengan kekafirannya atau beriman sebagai ungkapan rasa syukur atas anugerah petunjuk tersebut.

Baca juga: Membincang Kebahagiaan dalam Al-Qur’an: Hakikat, Bentuk, dan Cara Menggapainya

Makna al-wa’d

Kemudian dalam QS. al-Insān [76]: 4 Allah memberikan al-wa’d (ancaman) bagi orang-orang yang enggan menerima ajakan utusan-Nya. Di sana Allah menyatakan bahwa bagi mereka yang kafir telah disediakan rantai, belenggu, dan neraka yang menyala-nyala. Sungguh perpaduan yang membuat suasana semakin mencekam. Ibarat di penjara, mereka yang divonis tidak hanya diborgol tangannya tapi juga diblenggu lehernya. Pemandangan yang membuat penghuninya sama sekali tidak bisa leluasa bergerak di dalam sel tahanan.

Namun demikian, yang lebih menarik adalah pemilihan kata a’tadnā (menyiapkan) yang Allah gunakan. Dia tidak menvonis para pembangkang tersebut sebagai orang-orang yang berhak menerima tiga hukuman di atas. Allah tidak berfirman “Kami akan memasukkan mereka”, “Kami akan menghukum mereka” atau kalimat lain yang mengandung vonis. Di sini Allah lebih memilih kata a’tadnā yang berarti ‘menyiapkan’. Ada apa di balik kata yang Allah gunakan sebagai ancaman ini?

Memperhatikan jamuan model prasmanan akan membuat kita mudah memahami makna di balik penggunaan kata ‘menyiapkan’ ini. Dalam pesta yang menunya disajikan secara prasmanan, tuan rumah akan menyiapkan sekian menu yang bisa dipilih tamu-tamunya. Mereka bisa memilih satu, dua, atau tiga menu yang dihidangkan. Bahkan jika enggan memilih satu pun menu yang ada, tidak menjadi soal. Demikianlah Allah. Dia tidak ingin hamba-Nya yang ingkar, memilih dan mengambil apa yang telah Allah siapkan untuk mereka di akhirat kelak. Caranya bagaimana? Bertaubat, berhenti dari keingkarannya dan menerima petunjuk-Nya. Cukup kiranya, bentuk ancaman dan pilihan yang Allah berikan itu menjadi sesuatu yang membuat kita jera dari aneka keburukan.

Baca juga: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 114: Ancaman Bagi Mereka yang Merusak Rumah Ibadah

Makna al-wa’īd

Berbeda dengan al-wa’īd, saat menyampaikan al-wa’id atau janji, Allah lebih suka menggunakan kata yang menggambarkan sebuah kegiatan yang sedang dilakukan seorang hamba. Dalam QS. al-Insān [76]: 5 Allah memilih kata yasyrabūna (meminum) sebagai pembanding kata a’tadnā (menyediakan). Melalui penggunaan fi’il mudlāri’ ini Allah mengajak hamba-Nya untuk berimajinasi seakan-akan mereka sedang merasakan apa yang Allah janjikan. Kemudian dari sisi materi yang akan dinikmati, Allah memilih kāfūr sebagai bahan campuran minuman mereka di surga nanti. Menurut Ibn Katsīr, kāfūr adalah sesuatu yang mampu mendinginkan badan dan memiliki aroma yang harum (14/208). Sungguh ramuan minuman yang sangat pas untuk wilayah dengan suhu di atas 40° celsius.

Pendek kata, masyarakat Arab yang sangat faham makna di balik yasyrabūna (fi’il mudlāri’) diajak berimajinasi untuk menikmati minuman yang menyejukkan di tengah-tengah panasnya terik matahari padang pasir. Sangat tidak wajar, jika hal ini belum membuat mereka termotivasi untuk menerima ajaran Islam. Lantas bagaimana dengan kita yang terbiasa merasakan sejuknya alam Indonesia? Rasa dahaga yang sesekali menghampiri kita, cukup rasanya membuat kita tersadar. Apa lagi jika dahaga tersebut dipadukan dengan gambaran kondisi di Hari Kiamat kelak? Di mana matahari berada sejengkal di atas kepala. Tidak ada tempat lari untuk berteduh (QS. al-Qiyāmah [75]: 11).

Baca juga: Tafsir Ahkam: Benarkah Baca Selawat Kepada Nabi Wajib Ketika Salat?

Terakhir, penulis ingat wejangan yang dahulu disampaikan almarhūm KH. Ahmad Ilyas Ahmad Jaza – orang tua angkat Habib Luthfi – terkait mati dan hidupnya manusia. “Orang itu ada empat macam. Pertama, orang yang hidup dalam keadaan beriman dan mati juga beriman. Inilah kehidupan dan kematian yang kita inginkan. Kedua orang yang hidup dan matinya dalam kondisi kafir. Ketiga, orang yang hidup dalam kemaksiatan dan kekafiran. Tapi saat akan mati, ia bertaubat dan taubatnya diterima Allah. Jarang sekali hal ini terjadi. Keempat, orang yang usianya dihabiskan untuk mengabdi kepada Allah namun ketika sudah mendekati ajal dia berubah keyakinan dan mati dalam keadaan kafir. wal-‘iyādzu billāh”.

Kurang lebih demikian tutur Beliau. Dengan merenungi bentuk janji dan ancaman Allah serta redaksi yang digunakan-Nya, semoga kita tergugah dan termotivasi untuk senantiasa menjadi yang lebih baik hingga ajal menjemput. wallāhu a’lam