Beranda blog Halaman 221

Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 29-36

0
Tafsir Surah As-Shaffat
Tafsir Surah As-Shaffat

Sebelumnya telah dijelaskan bagaimana kondisi ketika hari Kebangkitan tiba, dan Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 29-36 akan mengurai bagaimana perdebatan antara pemimpin dan pengikutnya yang menjadikan berhala sebagai sesembahan. Dikisahkan bahwa keduanya saling melempar tanggungjawab dari kesalahan yang pernah dilakukan, meski demikian dihadapan peradilan Allah, tidak ada sesuatu yang bisa disembunyikan, dan dihadapan-Nya pula semua manusia tidak berdaya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 22-28


Ayat 29-30

Kemudian Allah menerangkan penolakan pemimpin mereka terhadap tuduhan tersebut.

Para pemimpin itu menyatakan bahwa mereka tidak menyesatkan orang itu. Para pengikut sendirilah yang karena tabiatnya, menjadi kafir dan melakukan perbuatan syirik dan maksiat.

Mereka mempersekutukan Allah dengan berhala dan patung dan berbuat macam-macam dosa yang menjadikan hatinya tertutup sehingga tidak lagi mengetahui jalan yang benar lagi baik.

Selanjutnya pemimpin-pemimpin itu membantah bahwa mereka memiliki kekuasaan atas pengikut-pengikutnya itu, menyesatkan dan mengkafirkannya serta tidak pernah menghalangi mereka menentukan pilihan, mana perbuatan yang buruk dan mana perbuatan yang baik.

Tetapi kecenderungan pengikut-pengikut itu sendiri yang menyebabkan mereka berbuat kekafiran dan kemaksiatan.

Ayat 31-32

Pada hari Kiamat penyembah-penyembah berhala itu mengakui bahwa mereka dulunya bersikap melampaui batas karena pembawaan dan tabiat mereka sendiri yang cenderung kepada kekafiran dan kejahatan. Maka sepatutnyalah bilamana pada hari Kiamat itu mereka menerima hukuman dari Allah.

Balasan baik atau buruk terhadap suatu perbuatan adalah akibat yang wajar, karena perbuatan itu dilakukan dengan penuh kesadaran.

Maka masing-masing orang tidaklah perlu menyalahkan orang lain, kecuali kepada dirinya sendiri. Tidaklah wajar bila satu golongan lain saling menyalahkan. Masing-masing seharusnya menerima balasan atas perbuatannya.

Mereka yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya mendapat pahala dunia dan akhirat, dan mereka yang sesat akan masuk neraka.

Demikian janji Tuhan yang disampaikan kepada manusia melalui rasul-rasul-Nya. Penyembah-penyembah berhala teman-teman setan mengetahui janji Tuhan itu namun mereka berpaling juga dari kebaikan dan ketaatan.

Golongan pemimpin-pemimpin pada waktu itu menyatakan bahwa merekalah yang menyesatkan pengikut-pengikutnya itu.

Mereka berbuat demikian karena keinginan mereka agar pengikut-pengikut itu mengikuti jejak mereka.

Namun sesungguhnya tabiat dan usaha-usaha pengikut-pengikut itu sendirilah yang menyebabkan mereka berbuat kekafiran dan durhaka sehingga dengan demikian mereka menderita azab seperti diperingatkan sebelumnya oleh para rasul.


Baca Juga : Reinterpretasi Kepemimpinan dalam Surah Al-Nisa Ayat 34


Ayat 33-34

Pada ayat ini Allah menegaskan bahwa azab ditimpakan kepada pemimpin-pemimpin dan pengikut-pengikutnya.

Kedua golongan itu saling menuduh dan melempar tanggung jawab, namun mereka sama-sama dalam kesesatan. Yang menyesatkan tentulah menerima hukuman lebih berat.

Mereka tidak hanya menanggung beban mereka sendiri, tetapi juga harus menanggung beban orang-orang yang mereka sesatkan.

Hukuman yang dijatuhkan Tuhan kepada kaum musyrikin itu sesuai dengan keadilan Tuhan terhadap hamba-hamba-Nya.

Semua orang yang berdosa akan mendapat hukuman sesuai dengan kejahatannya. Demikian pula orang yang berbuat kebaikan akan diberi balasan sesuai dengan kebaikannya.

Ayat 35-36

Kemudian Allah menguraikan sebagian penyebab hukuman yang ditimpakan kepada orang-orang yang berdosa itu.

Sewaktu di dunia mereka menolak ajaran tauhid ketika disampaikan kepada mereka dan berpaling tidak mau mendengarkan bacaan kalimat tauhid “La ilaha illallah” yang artinya, “tidak ada Tuhan yang patut disembah kecuali Allah”.

Alasan penolakan mereka ialah kemustahilan bagi mereka meninggalkan sembahan-sembahan nenek moyangnya.

Mereka mewarisi tradisi penyembahan berhala dan patung secara turun-temurun. Menurut mereka hal itu suatu kebenaran yang terus-menerus harus dipegang.

Keyakinan itu tidak akan ditinggalkan hanya untuk mendengarkan perkataan seseorang penyair gila yang tidak patut didengarkan pembicaraannya dan tidak perlu pula didengar ajaran-ajarannya. Perkataan Nabi menurut mereka penuh dengan khayalan.

Pernyataan orang kafir yang diucapkan di hadapan Nabi sewaktu hidup di dunia dengan penuh kesombongan, menunjukkan bahwa mereka mengingkari keesaan Allah, dan mengingkari kerasulan Muhammad saw.

Keingkaran pertama ialah penolakan dengan sombong mendengarkan ajaran tauhid dan keingkaran kedua, pernyataan ketidakmungkinan meninggalkan sembahan-sembahan itu untuk mematuhi Rasul yang dituduhnya seorang yang gila.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah As-Shaffat  37-42


Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 22-28

0
Tafsir Surah As-Shaffat
Tafsir Surah As-Shaffat

Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 22-28 mengisahkan kondisi manusia pada saat hari Kebangkitan tiba. Bahwa manusia akan di bagi menjadi beberapa kelompok sesuai dengan perbuatan yang mereka lakukan sewaktu di dunia. Kemudian setiap manusia akan ditanyai oleh para malaikat perihal aktivitasnya selama di dunia, apakah banyak melakukan amal yang baik atau buruk, saat itu tidak ada yang bisa menolong, semuanya akan dipertanggung jawabkan masing-masing individu.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 13-19


Ayat 22-23

Kemudian pada hari itu diperintahkan kepada malaikat Zabaniyah untuk mengumpulkan orang-orang yang telah berbuat zalim, agar pergi ke tempat hukuman menurut kelompok perbuatan dosa mereka masing-masing, yaitu para pezina sesama pezina, pemakan riba sesama pemakan riba, demikianlah seterusnya.

Demikian pula penyembah-penyembah berhala dikumpulkan bersama berhalanya agar mereka tambah merasa malu dan sedih. Lalu mereka digiring menuju neraka Jahim. Allah berfirman:

وَنَحْشُرُهُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ عَلٰى وُجُوْهِهِمْ عُمْيًا وَّبُكْمًا وَّصُمًّاۗ مَأْوٰىهُمْ جَهَنَّمُۗ  كُلَّمَا خَبَتْ زِدْنٰهُمْ سَعِيْرًا

Dan Kami akan mengumpulkan mereka pada hari Kiamat dengan wajah tersungkur, dalam keadaan buta, bisu, dan tuli. Tempat kediaman mereka adalah neraka Jahanam. Setiap kali nyala api Jahanam itu akan padam, Kami tambah lagi nyalanya bagi mereka. (al-Isra’/17: 97)

Ayat 24-26

Kepada malaikat diperintahkan supaya menahan mereka di tempat pemberhentian dan menanyakan tentang apa yang mereka usahakan, serta dosa dan kemaksiatan yang telah mereka lakukan.

Pada waktu itu juga ditanyakan tentang akidah-akidah palsu yang diajarkan oleh setan yang menyesatkan hidup mereka. persoalan ini dijelaskan dalam hadis Nabi saw:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَنْ تَزُوْلَ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعِ خِصَالٍ: عَنْ عُمْرِهِ فِيْمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ شَبَابِهِ فِيْمَا أَبْلاَهُ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اِكْتَسَبَهُ وَ فِيْمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ عِلْمِهِ مَاذَا عَمِلَ بِهِ. (رواه الترمذى)

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari Kiamat sebelum dia ditanya empat perkara: tentang umur dihabiskannya untuk apa, tentang masa mudanya dipergunakan untuk apa, lalu tentang harta yang dimilikinya diperoleh dari mana, dan dipergunakan untuk apa, lalu tentang ilmu sampai sejauh mana diamalkannya. (Riwayat at-Tirmizi).

Pada waktu itu orang-orang kafir bisa saling menolong satu sama lain sebagaimana mereka perkirakan di dunia dulu. Tetapi nyatanya hal itu tidak dapat dilakukan, dan mereka benar-benar ditimpa azab setimpal dengan perbuatannya. Allah berfirman:

يَوْمَ لَا يُغْنِيْ مَوْلًى عَنْ مَّوْلًى شَيْـًٔا وَّلَا هُمْ يُنْصَرُوْنَ

(Yaitu) pada hari (ketika) seorang teman sama sekali tidak dapat memberi manfaat kepada teman lainnya dan mereka tidak akan mendapat pertolongan. (ad-Dukhan/44: 41)


Baca Juga : Penafsiran Aulia (Pemimpin) Perspektif Hamka dalam Tafsir al-Azhar


Ayat 27-28

Pada hari Kiamat terjadi perdebatan antara pemimpin dengan pengikut-pengikutnya.

Para pengikut itu melemparkan pertanggung-jawaban kepada para pemimpin mereka atas kesesatan dan kekafiran mereka.

Mereka menyatakan bahwa para pemimpin itulah yang mencegah mereka berbuat kebaikan, dan menghalang-halangi mereka serta memaksa mereka untuk memeluk keyakinan pemimpin-pemimpin itu.

Perbantahan mereka sebagaimana di atas itu dilukiskan oleh Allah dalam firman-Nya:

وَاِذْ يَتَحَاۤجُّوْنَ فِى النَّارِ فَيَقُوْلُ الضُّعَفٰۤؤُا لِلَّذِيْنَ اسْتَكْبَرُوْٓا اِنَّا كُنَّا لَكُمْ تَبَعًا فَهَلْ اَنْتُمْ مُّغْنُوْنَ عَنَّا نَصِيْبًا مِّنَ النَّارِ  ٤٧  قَالَ الَّذِيْنَ اسْتَكْبَرُوْٓا اِنَّا كُلٌّ فِيْهَآ اِنَّ اللّٰهَ قَدْ حَكَمَ بَيْنَ الْعِبَادِ  ٤٨

Dan (ingatlah), ketika mereka berbantah-bantahan dalam neraka, maka orang yang lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri, “Sesungguhnya kami dahulu adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah kamu melepaskan sebagian (azab) api neraka yang menimpa kami?” Orang-orang yang menyombongkan diri menjawab, “Sesungguhnya kita semua sama-sama dalam neraka karena Allah telah menetapkan keputusan antara hamba-hamba-(Nya).” (Gafir /40: 47-48);

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah As-Shaffat 29-34


Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 13-21

0
Tafsir Surah As-Shaffat
Tafsir Surah As-Shaffat

Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 13-21 menerangkan bahwa orang musyrik itu tidak akan mudah untuk menerima kebenaran, sebab hati mereka telah mati. Terlebih lagi, hari Kebangkitan adalah peristiwa besar diluar logika mereka, maka akan semakin sulit untuk diterima, meskipun Nabi sudah menunjukkan bukti-bukti adanya hari Kebangkitan, mereka tidak akan beriman, kecuali peristiwa itu terjadi dihadapan mereka sendiri.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 8-12


Ayat 13-15

Allah menegaskan bahwa karena kekerasan hati orang-orang yang ingkar tadi, maka tidak akan ada manfaatnya apabila mereka diberi nasihat. Karena jiwa mereka telah dikotori tingkah laku dan perbuatan mereka sendiri.

Bilamana diperlihatkan kepada mereka dalil-dalil dan mukjizat-mukjizat yang menunjukkan kebenaran Nabi, mereka pun menertawakan dan memperolok-olokkannya serta menuduh Nabi sebagai seorang tukang sihir yang telah memperdaya pikiran mereka dan ingin menjauhkan mereka dari sembahan-sembahan nenek moyang mereka.

Mereka juga mengatakan bahwa segala dalil-dalil kenabian yang beliau sampaikan dipandang sebagai permainan sihir.

Mereka mengatakan bahwa semua bukti-bukti kebenaran yang dibawa Nabi itu tidak ada artinya sama sekali.

Oleh karena itu, mereka menghindari seruan Nabi dan tetap berpegang kepada agama nenek moyang yang sudah dianut berabad-abad.

Ayat 16-17

Allah menunjukkan keingkaran kaum musyrikin terhadap peristiwa-peristiwa pada hari Kiamat. Kejadian-kejadian pada hari Kiamat itu membingungkan akal mereka.

Mereka sama sekali tidak dapat mengerti apa yang dikatakan Nabi Muhammad bahwa tulang-belulang yang berserakan dan sudah menjadi tanah dapat dihidupkan kembali.

Lebih mengherankan mereka lagi adalah kebangkitan nenek moyang mereka yang sudah lama terkubur dalam bumi, yang tidak ada bekasnya lagi, sehingga dengan demikian nenek moyang mereka itu tidak dapat hidup kembali.

Semua ini ditanyakan mereka kepada Nabi saw.


Baca Juga : Bukti Perkembangan Al-Qur’an yang Fleksibel dan Tidak Sepi dari Perdebatan


Ayat 18-19

Allah memerintahkan Nabi Muhammad agar menjawab pertanyaan mereka secara tegas bahwa benar mereka dan nenek moyangnya akan dibangkitkan kembali sesudah menjadi tanah. Mereka yang ingkar itu menjadi hina di hadapan Allah Yang Mahatinggi. Sebagaimana Allah berfirman:

اِنَّ الَّذِيْنَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِيْ سَيَدْخُلُوْنَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيْنَ

Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina. (al- Gafir /40: 60)

Dalam ayat lain Allah berfirman:

وَكُلٌّ اَتَوْهُ دَاخِرِيْنَ

… Dan semua mereka datang menghadap-Nya dengan merendahkan diri. (an-Naml/27: 87).

Terjadinya hari Kiamat sangatlah mudah bagi Allah.

Dengan satu teriakan saja yang ditiupkan dari sangkakala manusia akan bangkit dari kubur dan hidup kembali. Pada waktu itu, mereka akan menyaksikan terlaksananya ancaman Allah.

Ayat 20-21

Pada ayat ini, Allah menjelaskan keluhan orang-orang yang ingkar akan hari Kiamat.

Ketika mereka melihat azab yang akan menimpanya, mereka menjadi sadar akan ancaman Allah melalui lisan para rasul dan hukuman yang akan mereka terima pada hari itu atas perbuatannya ketika di dunia.

Mereka memperolok-olokkan dan mendustakan para rasul serta mengingkari kebenaran ajaran yang dibawanya.

Pada hari Kiamat mereka menyesali perbuatan dan kata-kata demikian itu terhadap diri sendiri. Mereka sadar bahwa hari pembalasan sudah datang.

Pada hari Kiamat itu akan jelas perbedaan antara orang yang baik dan kebajikan yang dibuatnya dengan orang-orang jelek dengan kejahatan yang dilakukannya.

Orang-orang yang telah berbuat baik akan dimasukkan ke surga Na’im. Sedang orang-orang yang telah berbuat fasik dan durhaka akan dimasukkan ke neraka Saqar. Firman Allah:

وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا سَقَرُۗ   ٢٧  لَا تُبْقِيْ وَلَا تَذَرُۚ   ٢٨  لَوَّاحَةٌ لِّلْبَشَرِۚ   ٢٩

Dan tahukah kamu apa (neraka) Saqar itu? Ia (Saqar itu) tidak meninggalkan dan tidak membiarkan, yang menghanguskan kulit manusia. (al-Muddatstsir/74: 27-29)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah As-Shaffat 22-28


Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 8-12

0
Tafsir Surah As-Shaffat
Tafsir Surah As-Shaffat

Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 8-12 menjelaskan bahwa para setan tidak bisa menggali informasi dari para malaikat, sebab ada penghalang yang tidak dapat tembus, yaitu berupa panah api yang selalu siap menghantam apabila ada setan yang berusaha untuk memasukinya.

Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 8-12 juga berbicara tentang perintah Allah kepada Nabi Muhammad agar bertanya soal hari Kebangkitan kepada orang-orang kafir. Pertanyaan yang dimaksud bukan untuk mencari jawaban, melainkan untuk memojokkan sikap ingkar mereka akan adanya hari Kebangkitan.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 1-7


Ayat 8

Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa setan tidak dapat mendengar pembicaraan malaikat.

Setan-setan itu dilempari dari segala penjuru karena ulah mereka yang suka merusak tatanan alam dan menggoda manusia untuk berbuat maksiat kepada Allah.

Ayat 9

Lemparan itu untuk mengusir setan-setan tersebut karena mereka makhluk yang ingkar dan sesat, dan selalu berusaha menyesatkan manusia, dan membujuk manusia supaya ingkar kepada Tuhan.

Untuk mereka telah disediakan azab yang akan berlangsung selama-lamanya di neraka.

Ayat 10

Akan tetapi, bila ada di antara setan-setan yang sengaja mendengar-dengarkan pembicaraan  para malaikat, ia segera diburu dengan suluh api yang menyala-nyala. Ini menunjukkan betapa terkutuknya setan-setan itu, sehingga mereka merupakan makhluk yang paling dibenci dan diusir di mana-mana.

Oleh sebab itu, manusia tidak patut takluk kepada rayuan dan godaan mereka.


Baca Juga : Idul Yatama dan Tuntunan Al-Quran dalam Memperlakukan Anak Yatim


Ayat 11-12

Allah memerintahkan Nabi Muhammad menanyakan kepada orang-orang yang mengingkari adanya kebangkitan dari kubur tentang mana yang lebih sukar antara menjadikan manusia termasuk orang-orang yang ingkar tadi dengan menjadikan malaikat, langit, bumi, dan segala isinya, yang wujudnya lebih besar dan lebih beraneka ragam.

Allah memerintahkan rasul-Nya supaya mengajukan pertanyaan kepada mereka, dimaksudkan sebagai celaan terhadap sikap keras kepala mereka.

Sebenarnya, mereka sendiri mengakui bahwa penciptaan langit, bumi, dan segala isinya yang besar itu lebih sukar dari menciptakan manusia.

Maka bagaimana mereka dapat mengingkari kebangkitan itu, padahal mereka menyaksikan suatu yang lebih sukar dari apa yang mereka ingkari itu.

Firman Allah:

اَوَلَيْسَ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ بِقٰدِرٍ عَلٰٓى اَنْ يَّخْلُقَ مِثْلَهُمْ ۗبَلٰى وَهُوَ الْخَلّٰقُ الْعَلِيْمُ

Dan bukankah (Allah) yang menciptakan langit dan bumi, mampu menciptakan kembali yang serupa itu (jasad mereka yang sudah hancur itu)? Benar, dan Dia Maha Pencipta, Maha Mengetahui. (Yasin/36: 81).

Dalam ayat lain Allah berfirman:

لَخَلْقُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ اَكْبَرُ مِنْ خَلْقِ النَّاسِ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَ

Sungguh, penciptaan langit dan bumi itu lebih besar daripada penciptaan manusia, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Gafir/40: 57)

Untuk menjelaskan perbandingan ini Allah memberikan tambahan penjelasan dengan menyebutkan kejadian nenek moyang mereka, yaitu Adam dari tanah liat.

Proses kejadian Adam itu menunjukkan kepada mereka tentang kesederhanaan penciptaannya jika dibandingkan dengan penciptaan alam semesta yang mahabesar ini.

Bilamana Allah kuasa menciptakan alam ini, tentulah lebih kuasa lagi menghidupkan kembali anak cucu Adam pada hari Kiamat.

Rasulullah kemudian diperingatkan Allah agar jangan terlalu mengharapkan berimannya mereka yang keras kepala.

Tidak ada manfaat bagi mereka segala keterangan dan peringatan itu karena mereka tidak tertarik.

Bahkan orang-orang kafir itu memperolok-olokkan Rasul, sehingga Rasulullah sendiri merasa heran.

Sesungguhnya hati mereka telah tertutup, dan jiwa mereka tidak dapat menjangkau keyakinan yang seperti itu.

Mereka tidak mampu lagi melihat keterangan-keterangan dan tanda-tanda yang dapat menunjukkan kebangkitan dari kubur.

Bahkan kesombongan dan pembangkangan mereka telah sampai ke puncaknya.

Mereka memperolok-olokkan apa yang telah diucapkan oleh Nabi Muhammad saw, dan meremehkan kesungguhan beliau supaya mereka meyakini hari kebangkitan itu.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah As-Shaffat 13-21


Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 1-7

0
Tafsir Surah As-Shaffat
Tafsir Surah As-Shaffat

Surah as-Shaffat termasuk dari surah Makkiyah yang terdiri dari 182 ayat. Series tafsir kali ini akan dimulai dari Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 1-7 yang membicarakan kekuasaan Allah Swt. Menariknya, redaksi awal surah menggunakan kata-kata ‘sumpah’ untuk mempekuat kesan pada suatu kalimat/ayat. Dan Allah bersumpah dengan nama Malaikat sebagai makhluk yang patuh, taat, dan amanah, untuk menunjukkan bahwa ia berkuasa atas segala seusatu.

Ayat 1

Di dalam Al-Qur’an terdapat banyak kata-kata untuk bersumpah, yang maksudnya untuk menguatkan kesan yang diberikan dalam ayat-ayatnya.

Kata-kata yang dipakai untuk bersumpah itu pastilah kata-kata yang mempunyai arti penting yang menunjukkan kebesaran dan kekuasaan-Nya, misalnya: “demi matahari”, “demi malam”, dan sebagainya.

Pada ayat ini, Allah berfirman, “Demi (rombongan malaikat) yang berbaris bersaf-saf.” Maksudnya ialah demi malaikat-malaikat yang berbaris dalam saf-saf yang lurus dan teratur, dalam melakukan ibadah dan tugas-tugas lain yang diperintahkan Allah.

Hal ini mempunyai arti bahwa para malaikat selalu disiplin, teratur, dan rapi dalam melaksanakan tugas dari Allah. Rasulullah bersabda:

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اَلاَ تَصُفُّوْنَ كَمَا تَصُفُّ الْمَلاَئِكَةُ عِنْدَ رَبِّهِمْ. قُلْنَا: وَكَيْفَ تَصُفُّ الْمَلاَئِكَةُ عِنْدَ رَبِّهِمْ؟ قَالَ: يُتِمُّوْنَ الصُّفُوفَ الْمُتَقَدِّمَةَ وَيَتَرَاصَّوْنَ فِى الصَّفِّ. (رواه ابو داود وابن ماجه وأحمد عن جابر بن سمرة)

Rasulullah bersabda, “ Mengapa kamu tidak berbaris seperti malaikat berbaris dihadapan Allah?” Kami bertanya, “Bagaimana berbarisnya malaikat dihadapan Allah?” Rasulullah menjawab, “Malaikat menyempurnakan barisan depan kemudian merapatkan dan merapikannya.” (Riwayat Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad dari Jabir bin Samurah)

Ayat 2

Pada ayat ini, Allah bersumpah dengan menyebut para malaikat yang menghardik untuk melarang makhluk sedemikian rupa dari perbuatan-perbuatan maksiat. Malaikat adalah makhluk Allah yang sangat patuh dan taat kepada perintah dan larangan-Nya.

Oleh sebab itu, mereka tidak senang melihat makhluk lain yang berbuat kemaksiatan, melanggar larangan Allah, dan tidak melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya. Mereka menghardiknya seperti seorang gembala yang menghardik untuk menghalau ternaknya.

Ayat 3

Allah bersumpah dengan menyebutkan malaikat yang senantiasa membacakan zikir atau ayat-ayat-Nya. Pernyataan ini berarti bahwa Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah dengan perantaraan malaikat.

Demikian pula wahyu Allah yang diturunkan kepada para rasul sebelum Nabi Muhammad, juga disampaikan dengan perantaraan malaikat.


Baca Juga : Tafsir Surah Hud Ayat 27: Konflik Sosial di Balik Pendustaan Dakwah Nabi Nuh


Ayat 4

Allah menegaskan pada ayat ini bahwa Dia benar-benar Maha Esa. Ia tidak berserikat dengan siapa pun dalam menciptakan, memelihara, dan menguasai segala makhluk-Nya.

Tuhan yang pantas ditaati dan disembah memang hanya satu, yaitu Allah swt. Dalam Surah al-Ikhlas, jelas Allah menerangkan zat-Nya: huwa All±h a¥ad, Allah as-Shamad.

Ayat 5

Kata-kata sumpah yang terdapat pada ayat-ayat yang lalu diikuti dengan keterangan dan pembuktian tentang kekuasaan Allah. Maka pada ayat ini Allah menegaskan bahwa Dia adalah Tuhan yang menciptakan dan memelihara semua langit dan bumi, serta segala apa yang berada di antara keduanya.

Dia pula yang menguasai seluruh penjuru alam ini, antara lain tempat-tempat terbitnya matahari setiap hari sepanjang tahun.

Ini semuanya menunjukkan kekuasaan dan kebesaran-Nya, serta keindahan dari semua ciptaan-Nya yang tak dapat ditiru oleh siapa pun juga.

Ayat 6

Selanjutnya Allah menambahkan lagi bukti-bukti tentang kekuasaan-Nya, yaitu bahwa Dia telah menghias langit dengan planet-planet yang demikian indah.

Barang siapa memandang langit di waktu malam yang cerah dan penuh bintang, serta bulan yang bersinar lemah, semestinya merasa sangat takjub dan dari mulutnya akan terucap kata-kata “Allahu Akbar”, Allah Mahabesar.

Ayat 7

Di samping ciptaan-ciptaan-Nya yang demikian menakjubkan, Allah memelihara semua makhluk-Nya itu dari apa yang akan merusaknya.

Ia memelihara manusia dari godaan setan yang senantiasa membujuk manusia untuk melakukan kemaksiatan, yang akan menjerumuskan kepada kebinasaan dan kemurkaan-Nya.

Untuk itu, Allah telah memberikan petunjuk, berupa agama yang benar, yang akan menjaga manusia dari godaan setan. Hanya manusia yang ingkar yang dapat ditundukkan oleh rayuan setan yang mencelakakan itu.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah As-Shaffat 8-12


Inilah Beberapa Argumentasi Orientalis dalam Mematahkan Autentisitas Al-Quran

0
argumentasi orientalis dalam mempersoalkan autentisitas Al-Quran
argumentasi orientalis dalam mempersoalkan autentisitas Al-Quran

Pada awalnya, Orientalis lebih dikenal sebagai seseorang yang melakukan kajian beragam bahasa dan sastra ketimuran. Dalam hubungannya dengan persoalan keagamaan, pemahaman ini kemudian dispesifikkan menjadi aktivitas studi agama-agama Timur yang dijalankan oleh para ahli ketimuran dari Barat atau Orientalis tersebut. Lebih jauh, mereka lalu menganalisis berbagai hal kaitannya dengan bangsa-bangsa Timur yang mencakup berbagai bidang. Mulai dari sejarah, bahasa, agama, sastra, adat istiadat, politik, hingga ekonomi (Zarkasyi, 2011, hal. 3).

Gerakan ini kemudian berkembang menjadi sebuah bidang studi tentang dunia Timur dan Islam yang kerap disebut Orientalisme. Hingga kini, Orientalisme telah bertransformasi menjadi disiplin ilmu yang lekat akan spesifikasi teori serta metodologi ataupun kerangka studi. Namun, lantaran upaya ini datang dari tradisi intelektual Barat, sehingga kerap ditinjau dengan ideologi Barat. Terlebih dalam kajian terhadap Al-Qur’an, tak sedikit framework berpikir Orientalis yang cenderung salah kaprah dan kurang dapat dipertanggungjawabkan.

Meskipun demikian, beberapa akademisi Muslim Indonesia tidak semuanya memandang sama rata motif dari para orientalis. Menurut mereka motif orientalis berbeda-beda dalam mengkaji Al-Quran. Pemikiran atau pendapat orientalis yang akan disampaikan di sini adalah mereka yang mempersoalkan autentisitas Al-Quran dengan berbagai alasannya.

Baca Juga: Pengaruh Kesarjanaan Barat Terhadap Transformasi Kajian Akademik Al-Quran dan Tafsir di Indonesia

Argumentasi mereka yang mempersoalkan autentisitas Al-Quran

Cengkeraman worldview Barat dalam bingkai kajian Orientalis telah terpampang pada studi mereka terhadap Al-Qur’an. Hipotesis dasar bahwa Al-Qur’an bukanlah sebuah wahyu seakan menjadi fondasi sekaligus tujuan utama studi mereka. Theodore Noldeke dan Arthur Jeffery sebagai pelopor kajian sejarah teks Al-Qur’an (Jeffery, 1935, hal. 4-16). Disusul teori revisi teks Al-Qur’an yang digagas Richard Bell dan M. Watt (Richard Bell & W. M. Watt, 1970), hingga J. A. Bellamy yang menyalahkan penulisan Al-Qur’an menjadi bukti deretan asumsi negatif Orientalis Barat terhadap autentisitas Al-Qur’an.

Dengan adanya pengaruh tersebut, para Orientalis hanya mengandalkan pendekatan serta metode penelitian keilmuan sosial yang mereka kantongi dalam menelaah Al-Qur’an. Konsekuensinya, berbagai persoalan yang menjadi topik bahasan mereka akan dipadu padankan dengan metode tersebut. Inilah yang kemudian menjadi momok tersendiri bagi eksistensi Al-Qur’an pada khususnya, dan umumnya bagi umat Islam.

Beberapa motif kajian Orientalis yang berpatokan pada bingkai pemikiran mereka sendiri, adalah mengaitkan Al-Qur’an dengan teks-teks keagamaan masa lampau. Akibat hegemoni keagamaan yaitu Yahudi dan Kristen, para Orientalis lebih condong memanfaatkan kitab mereka sebagai parameter penilaian. Salah satu metodenya ialah dengan mengidentifikasi berbagai kesamaan yang ada.

Baca Juga: Al-Quran dan Orientalis: Penerjemahan Al-Quran dalam Bahasa Latin

Seorang tokoh intelektual Yahudi Liberal dari Jerman bernama Abraham Geiger, mengemukakan teori tentang pengaruh Yahudi terhadap Al-Qur’an. Dalam esainya, ia menjelaskan berbagai isyarat bahwa Al-Qur’an adalah imitasi dari Taurat serta Injil. Hal ini ditunjukkan dengan beberapa kosa kata yang berakar dari bahasa Ibrani, seperti Tabut, Taurat, Jahannam, Taghut, dan sebagainya.

Selain itu, Geiger juga beranggapan bahwa isi Al-Qur’an sangat dipengaruhi oleh Yahudi. Sebagaimana pemaparan Al-Qur’an tentang hal-hal yang berkaitan dengan keimanan ataupun doktrin, ketentuan-ketentuan hukum serta moral, hingga mindset tentang kehidupan (Rippin, 2001, hal. 11). Ia juga berkeyakinan bahwa berbagai celaan Al-Qur’an kepada Yahudi dikarenakan kebodohan dan kesalahpahaman Nabi Muhammad terhadap doktrin-doktrin agama mereka (Geiger, 1998, hal. 165-26).

Motif selanjutnya yaitu mengesampingkan Riwayah dan lebih mengutamakan Rasm. Para Orientalis yang telah dicekoki ilmu-ilmu sosial Barat ataupun metodologi kajian Bibel, cenderung menitikberatkan pada fakta-fakta empiris sehingga mengabaikan bukti-bukti lain yang tidak memiliki fakta fisik. Hal ini ditunjukkan dengan antusiasme yang cukup besar dari para Orientalis dalam meneliti sejarah kompilasi teks Al-Qur’an.

Pandangan ini lebih terlihat mengacu pada pengalaman mereka dalam mengidentifikasi sejarah Bibel yang sebatas menyandarkan pada teks manuskrip dalam bentuk papirus dan sebagainya. Manuskrip inilah yang menjadi dasar dan acuan dalam penulisan Gospel (Wansbrough, 1977). Melalui metode ini juga, Arthur Jeffery menganggap mushaf yang ada saat ini tidak lengkap dan berbeda dari aslinya. Padahal, ia sendiri belum mampu menunjukkan bentuk mushaf yang asli.

Kemudian, para Orientalis juga mempersoalkan tentang pembentukan mushaf. Kendati menerima kompilasi Utsman, mereka masih berspekulasi terdapat kemungkinan terjadi kesalahan penulisan teks Al-Qur’an saat itu, karena rentang waktu yang cukup panjang antara wafatnya Nabi dengan distribusi mushaf Al-Qur’an ke berbagai wilayah, yaitu lima belas tahun.

Dengan adanya selisih waktu tersebut, mereka beranggapan telah terjadi penyimpangan ataupun pemalsuan teks asli Al-Qur’an. Padahal, para ilmuwan Injil tidak pernah mempersoalkan sejarah Bibel, walaupun beberapa Kitab Perjanjian lama disusun berlandaskan transformasi lisan dengan selang waktu delapan abad lamanya.

Baca Juga: Kritik Angelika Neuwirth atas Pendekatan Revisionisme Wansbrough dalam Studi Al-Quran

Lalu, disusul dengan mempermasalahkan kandungan Al-Qur’an. Melalui pendekatan historis dan fenomenologis, W. Montgomery Watt mengemukakan bahwa terdapat dua sumber wahyu Al-Qur’an, yaitu Tuhan dan Nabi Muhammad. Dari sini ia menginterpretasikan bahwa wahyu Al-Qur’an memang bersumber dari Allah, tetapi diproduksi ulang oleh Nabi dengan bahasanya sendiri dalam konteks ruang lingkup serta sosio-religius Yahudi dan Kristen.

Pada satu sisi, Watt menerima Islam yang fundamental. Namun di sisi lain, ia menekankan pendekatan historis yang kontras dengan Islam. Sebagaimana penolakannya terhadap malaikat Jibril sebagai pembawa wahyu. Menurutnya, wahyu diturunkan oleh Tuhan hanya dalam bentuk makna dan bukan lafal. Lantaran terdapat andil Nabi Muhammad dalam esensi wahyu, maka dapat dimungkinkan terjadi kesalahan dalam Al-Qur’an.

Dilanjutkan dengan karakteristik Orientalis lainnya yaitu menggunakan metodologi Bibel dalam kajian Al-Qur’an. Metodologi ini biasa disebut kritis-historis dengan tokohnya, Edward Sell, misionaris terkenal dari Madras, India. Ia memaksa supaya kajian kritis-historis Al-Qur’an dijalankan dengan menerapkan kritik Bibel (biblical criticism). Ia juga mengejawantahkan pendapatnya melalui tulisan Historical Development of The Qur’an yang terbit pada tahun 1909 (Sell, 1985, hal. 253-56).

Lantaran pendekatan ini berbeda dengan tradisi intelektual Islam, maka akan melahirkan hasil yang berbeda pula. Penerapan metodologi Bibel dan menganggap teks Al-Qur’an sama dengan Bibel merupakan sebuah kesalahan fatal, sebab keduanya jelas memiliki perbedaan baik secara historis maupun tekstual. Dalam hal lain, kajian Al-Qur’an sudah barang tentu menuntut adanya unsur keimanan. Namun, tidak dengan mereka yang menelaah substansi Al-Qur’an tanpa iman. Tindakan semacam ini mengakibatkan persoalan yang bersifat doktriner diabaikan. Sehingga, kajian yang sebatas menggantungkan akal hanya akan memicu keraguan saat menjumpai permasalahan yang tidak mampu dijangkau oleh akal. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Al-Qasas Ayat 77: Ingat Akhirat Harus, Tapi Dunia Jangan Dilupakan

0
tafsir surah Al-Qasas ayat 77
tafsir surah Al-Qasas ayat 77

Bagi setiap muslim, doa sapu jagad (lihat QS. Al-Baqarah [2]: 201) bukanlah hal asing. Pasalnya, setiap hari, selepas shalat lima waktu, kita selalu membacanya. Doa yang di dalamnya berisi tentang permohonan agar selalu diberikan kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat serta memohon lindungan dari azab neraka

Kebaikan di akhirat tentulah dambaan setiap insan, pun dengan kebaikan di dunia. Sebab, dunia adalah tempat transit untuk kehidupan akhirat. Di dunia kita berniaga mencari berbagai penghidupan. Sayangnya, terkadang kita sering mendengar ucapan “Buat apa sih ngejar-ngejar dunia, ndak guna karena tidak bisa dibawa mati”. Tunggu dulu, ucapan itu jangan ditelan mentah-mentah agar kita tidak salah memahami. Padahal untuk hidup dunia kita butuh makan, minum, pakaian dan lai-lain. Lalu bagaimana al-Qur’an bicara tentang bagian seseorang dari kenikmatan duniawi?

Baca Juga: Tafsir Al-Baqarah Ayat 28: Alasan dan Cara Mensyukuri Kehidupan Dunia

Sejalan dengan hal di atas, Al-Quran memberi kita rambu-rambu agar tidak melupakan bagian kita di dunia sebagai seorang hamba. Pesan tersebut terdapat dalam Al-Qur’an surah Al-Qasas Ayat 77.

وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ

Dan, carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (pahala) negeri akhirat, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia. Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (Terjemah Kemenag 2019)

Tafsir Surah Al-Qasas Ayat 77

Ibn Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim menafsirkan ayat di atas agar kita selalu menggunakan harta dan nikmat sebagai bekal bentuk ketaatan dan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan mengerjakan berbagai macam kebaikan agar mendapat pahala di dunia dan kebaikan diakhirat. Diperbolehkan kepadamu oleh Allah untuk makan, minum, pakaian, rumah dan nikah. Sebab engkau punya kewajiban terhadap Tuhanmu, dirimu, dan keluargamu. Maka penuhilah kewajiban tersebut. Serta berbuat baiklah kepada sesama makhluk sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu. Janganlah engkau berkeinginan untuk berbuat kerusakan dimuka bumi dan jangan pula berbuat jahat kepada ciptaan-Nya. (Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, juz 10, hlm. 482)

Menurut M. Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah (vol.9, hlm. 665) frasa wala tansa nashibaka min ad-dunya merupakan larangan melupakan atau mengabaikan bagian seseorang dari kenikmatan duniawi. Larangan itu dipahami oleh sementara ulama bukan dalam arti haram mengabaikannya, tetapi dalam arti mubah (boleh untuk mengambilnya).

Sedangkan menurut Ibn ‘Asyur, lanjut Shihab, memahami frasa di atas dalam arti bahwa Allah tidak mengecammu jika engkau mengambil bagianmu dari kenikmatan duniawi selama bagian itu tidak atas resiko kehilangan bagian kenikmatan ukhrawi. Adapun Thabathaba’i memahami penggalan ayat di atas dalam arti jangan sampai kita mengabaikan apa yang dibagi dan dianugrahkan Allah kepadamu dari kenikmatan duniawi dan gunakanlah hal itu untuk kepentingan akhiratmu sebagai bekal untuk kehidupan akhirat yang kekal.

Ayat di atas dalam tafsir Kementerian Agama dibagi ke dalam beberapa point, pertama, orang yang dianugerahi oleh Allah kekayaan yang berlimpah ruah, perbendaharaan harta yang bertumpuk-tumpuk, serta nikmat yang banyak, hendaklah ia memanfaatkan di jalan Allah, patuh dan taat pada perintah-Nya, mendekatkan diri kepada-Nya untuk memperoleh pahala sebanyak-banyaknya di dunia dan akhirat.

Kedua, setiap orang dipersilakan untuk tidak meninggalkan sama sekali kesenangan dunia baik berupa makanan, minuman, pakaian, serta kesenangan-kesenangan yang lain sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran yang telah digariskan oleh Allah. Baik Allah, diri sendiri, maupun keluarga, mempunyai hak atas seseorang yang harus dilaksanakannya. Ketiga, setiap orang harus berbuat baik sebagaimana Allah berbuat baik kepadanya, misalnya membantu orang-orang yang memerlukan, menyambung tali silaturrahim, dan lain sebagainya. Dan, keempat, setiap orang dilarang berbuat kerusakan di atas bumi, dan berbuat jahat kepada sesama makhluk, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

Baca Juga: Tafsir Surah At-Taubah Ayat 24, Isyarat Larangan Cinta Dunia yang Berlebihan

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibn ‘Asakir dalam Mukhtar al-Hadist al-Nawawi (hlm. 25) disebutkan bahwa “Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selamanya. Dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan kamu akan mati besok”.

Dari berbagai pandangan dan hadits di atas, menjadi jelas bahwa siapapun kita boleh ibtigha (mencari) serta menggunakan harta untuk tujuan kenikmatan duniawi. Dengan syarat tidak berlebih-lebihan hingga melupakan kewajiban kepada Allah, keluarga, dan diri sendiri. Semoga kita selau dalam lindungan-Nya serta mendapatkan kebaikan-kebaikan yang kita perbuat baik di dunia ataupun di akhirat. Ihdina ash-Shirat al-Mustaqim. Wallahu a’lam.

Kritik Angelika Neuwirth atas Pendekatan Revisionisme Wansbrough dalam Studi Al-Quran

0
kritik angelika neuwirth atas pendekatan revisionisme wansbrough
kritik angelika neuwirth atas pendekatan revisionisme wansbrough

Di masa kini, studi al-Quran yang dilakukan oleh para orientalis bukanlah hal yang asing lagi. Berawal dari kekalahan perang yang dialami oleh orang-orang Kristen di Perang Salib, kemudian mereka berusaha mengetahui dan mempelajari Islam serta bahasa Arab lebih dalam melalui al-Quran.

Para orientalis mengenal studi al-Quran sebagai kajian akademik tentang al-Quran (academic studi of the Quran atau Qur’anic Studies). Adapun definisinya, menurut Manfred S. Kroop yakni suatu kajian akademik yang tugas utamanya adalah mengkaji dan mendemonstrasikan teks al-Quran tentang seberapa jauh al-Quran beserta sejarahnya dapat dimengerti oleh akal manusia, atau singkatnya sebagai kajian akademik yang dilakukan berdasarkan bukti penelitian dan argumentasi rasional.

Studi al-Quran termasuk dari bagian studi Islam yang sangat diminati di dunia Barat. Dalam perkembangannya, studi al-Quran mulai digemari oleh para sarjana Barat setelah diterbitkannya buku berjudul Sejarah Al-Quran karya Theodor Noldeke. Sejak saat itu, hampir seluruh kampus di Barat menawarkan studi Islam dengan berbagai ragam penyebutannya.

Adapun para orientalis yang mempelajari studi Islam diantaranya, Gustave Weil, Theodor Noldeke, Abraham Geiger dan John Wansbrough. Namun pada kesempatan kali ini, penulis akan membahas pendekatan revisionisme dalam studi al-Quran oleh John Wansbrough yang kemudian mendapat kritikan dari Angelika Neuwirth.

Baca Juga: Mengenal Kesarjanaan Revisionis dalam Studi Al-Quran

Poin Penting Pendekatan Revisionisme Wansbrough

John Wansbrough merupakan salah satu tokoh revisionis. Ia memiliki karya kontroversial yang berjudul Qur’anic Studies: Source and Method of Scriptural Interpretation  atau Studi Al-Quran: Sumber dan Metode Penafsiran Kitab Suci. Karya tersebut merupakan bentuk kajian kritisnya terhadap al-Quran. Beberapa metode yang digunakannya yakni kritik historis, kritik sumber, analisis literer, dan penyelamatan sejarah atau salvation history merupakan poin penting dalam pendekatan revisionismenya.

Pertama, kritik historis. Wansbrough menggunakan metode ini untuk mempertanyakan ulang mengenai ketepatan dan keaslian informasi-informasi yang terdapat dalam al-Quran, misalnya mengenai apakah benar al-Quran mengalami proses kanonisasi pada abad 1 Hijriah, sebab ia tidak menemukan bukti sejarah yang netral kecuali sumber yang berasal dari orang Muslim dan menurutnya sumber tersebut dipenuhi kepentingan suatu agama.

Kemudian, kritik historis tersebut ia gabungkan dengan kritik sumber. Penggabungan dua metode ini dimaksudkan agar sejarah Islam tidak tercampur dengan pengaruh teologis. Hal ini dapat terlihat dimana Wansbrough memberikan pertanyaan “Apakah terdapat bukti yang netral yang dapat menjelaskan bagaiaman agama (Islam) ini muncul?”.

Ketiga, analisis literer. Pada hal ini, Wansbrough berupaya megungkapkan bahwa al-Quran tidak lagi orisinil sebab terdapat beberapa perkataan Nabi Muhammad saw yang disisipkan ke dalamnya. Ia juga berpendapat bahwa al-Quran merupakan turunan dari tradisi Yahudi dan Kristen.

Keempat, penyelamatan sejarah (salvation history). Setelah menggunakan 3 metode yang telah disebutkan sebelumnya, Wansbrough menegaskan bahwa apa yang dilakukannya merupakan bentuk penyelamatan sejarah, sebab ia telah berhasil merefleksikan apa yang orang Muslim yakini telah terjadi dan bukan merefleksikan apa yang sebenarnya terjadi.

Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa tokoh revisionisme cenderung mengedepankan adanya bukti empirik yang bersifat netral atau dengan kata lain mereka menggunakan pendekatan skeptisme radikal.

Baca Juga: Mengenal Tokoh Revisionis John Wansbrough, yang Mempertanyakan Kemurnian Al-Qur’an

Kritik Angelika Neuwirth atas Pendekatan Revisionisme Wansbrough

Dengan terbitnya Qur’anic Studies: Source and Method of Scriptural Interpretation atau Studi Al-Quran: Sumber dan Metode Penafsiran Kitab Suci, banyak orientalis sangat mengapresiasi jasa keilmuan dan usaha yang telah dilakukan oleh Wansbrough. Akan tetapi, beberapa orientalis lainnya merasa kurang setuju dengan pemikiran Wansbrough tersebut.

Angelika Neuwirth adalah salah satu orang yang kurang setuju dengan pendekatan skeptisme radikal Wansbrough tersebut. Dalam sebuah karya antologi yang diedit oleh Neuwirth, The Qur’an in Context: Historical and Literary Investigations into the Qur’anic Milieu atau Al-Qur’an dalam Konteks: Investigasi Sejarah dan Sastra ke dalam Lingkungan Al-Qur’an, ia mengatakan bahwa bagaimana mungkin jati diri al-Quran yang selama ini telah melekat dalam kepercayaan orang Muslim harus dipertanyakan kembali yakni mengenai validitas sejarah al-Quran sampai benar-benar ditemukannya bukti ilmiah.

Kemudian ia juga menambahkan bahwa pendekatan skeptisme radikal tersebut dapat mengakitbatkan terjadinya konflik ataupun pertentangan antara penafsiran al-Quran di masa klasik ulama Islam dengan kajian tradisi penulisan sejarah Islam di Barat. Selain itu, Angelika juga berpedapat bahwa pendekatan yang digunakan Wansbourgh dalam studi al-Quran seolah meniadakan eksistensi dari al-Quran itu sendiri baik dari segi latar belakang lingkungan maupun tempat al-Quran tersebut diturunkan.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa dalam mengkaji al-Quran kaum orientalis menggunakan beberapa metode yakni kritik historis, kritik sumber, analisis literer, dan penyelamatan sejarah. Beberapa dari mereka mungkin melakukan kajian terhadap studi Islam untuk mencari kelemahan dan menjatuhkan umat Islam seperti halnya yang dilakukan Wansbrough. Akan tetapi masih ada orientalis lainnya yang justru ikut berkontribusi besar dalam meneliti al-Quran dan menambah khazanah keilmuan umat Islam, sebagaimana disampaikan dalam buku bunga rampai dengan Angelika Neuwirth sebagai ketuanya yang berjudul The Qur’an in Context: Historical and Literary Investigations into the Qur’anic Milieu.

Childfree dan Tujuan Pernikahan dalam Tafsir Surah Ar-Rum Ayat 21

0
Childfree
Childfree

Tema childfree belum lama ini cukup menyita perhatian banyak orang. Melansir Narasi Newsroom, ‘Kenapa Sih Ada yang Mau Childfree?’ topik ini mulai ramai jadi obrolan di media sosial karena ada dua publik figur yang menyatakan ketidakinginannya untuk memiliki anak. Bagi yang belum tahu childfree, di sini disampaikan bahwa childfree itu adalah istilah bagi seseorang yang memilih dan memutuskan untuk tidak menjadi seorang ibu.

Melihat pengertian di atas, keengganan untuk tidak melahirkan anak ini dapat dipahami sebagai sebuah pilihan dan keputusan yang bersifat selamanya, bukan sekadar menunda, karena jika hanya menunda maka akan sama halnya dengan praktik KB yang selama ini sudah berlangsung. Kita harus bisa membedakannya. Childfree juga tidak sama dengan childless. Childfree itu memilih untuk tidak memiliki anak, sementara childless adalah tidak bisa mempunyai anak. Dan mestinya childfree tidak hanya terfokus pada sang istri atau pihak perempuan, karena keputusan untuk tidak memiliki anak dalam hubungan pernikahan harusnya adalah keputusan bersama, laki-laki dan perempuan, suami dan istri.

Anak itu sendiri merupakan konsekuensi bawaan dari hubungan pernikahan pasangan suami istri. Oleh sebab itu, kesan menentang fitrah -bawaan alami- pernikahan ini yang menjadikan childfree kontroversi. Dan karena memiliki anak atau melestarikan keturunan erat kaitannya dengan pernikahan, bahkan ada ulama, sebut saja Jamaluddin Atiyyah dalam Nahw Taf’il Maqashid Asy-Syariah yang menjadikannya sebagai salah satu tujuan pernikahan atau berkeluarga (maqasid al-usrah), maka perspektif yang akan kami sampaikan dalam melihat fenomena childfree kali ini yaitu dari sudut tujuan pernikahan, lebih tepatnya tujuan pernikahan dalam pandangan tafsir Al-Quran.

Baca Juga: Surah Ar-Rum [30] Ayat 21: 3 Tujuan Pernikahan Menurut Al-Quran

Anak menjadi faktor terwujudnya sakinah dan rahmah dalam pernikahan

Tujuan pernikahan dalam Al-Quran disinggung dalam surah Ar-Rum ayat 21

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (terjemah kemenag 2019)

Berdasar pada ayat ini, tujuan pernikahan itu ada tiga, yaitu sakinah, mawaddah dan rahmah. Mufasir berbeda-beda dalam memposisikan anak dalam tiga tujuan tersebut. Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir memang tidak menyebutkan anak secara langsung, namun melihat penjelasannya tentang makna litaskunu ilaiha yang dimaknainya dengan litamilu ilaiha (saling terikat), maka adanya anak sangat memungkinkan masuk dalam pengikat antara suami dan istri tersebut. Suami istri pun kemudian beralih status menjadi orang tua yang selamanya, keduanya akan bertanggung jawab atas kelangsungan hidup sang anak.

Ibnu Asyur dalam At-Tahrir wa At-Tanwir juga sama dengan mufasir asal Damaskus di atas. Selain itu, mufasir yang dikenal dengan teori maqashid dalam penafsirannya ini menyatakan bahwa surah Ar-Rum ayat 21 merupakan asas at-tanasul (dasar dari proses reproduksi) manusia, yaitu pernikahan. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa salah satu konsekuensi dari adanya pernikahan ini adalah reproduksi atau melestarikan keturunan.

Sementara itu, Ar-Razi dalam Mafatih Al-Ghaib mengatakan bahwa hadirnya rahmah itu bersamaan dengan lahirnya anak, merujuk pada ayat Al-Quran lain yang berkisah tentang dikabulkannya doa Nabi Zakariya yang memohon untuk diberikan seorang anak sebagai bentuk kasih sayang (rahmah) Allah kepadanya.

Lebih lanjut, Ar-Razi menyampaikan posisi anak ada dalam tujuan pernikahan yang keitga, yaitu rahmah. Menurutnya, rahmah hadir seiring dengan lahirnya anak itu karena sang anak membutuhkan kasih sayang orang tua, dan secara alami pasangan suami istri tersebut menjelma menjadi orang tua yang kehadiran mereka dibutuhkan oleh sang anak. Sama hal nya dengan Al-Qurtubi, ia menafsirkan rahmah di sini juga dengan kondisi ketika lahirnya seorang anak.

Mirip dengan Ar-Razi dan Al-Qurthubi, M. Quraish Shihab juga menyatakan bahwa tahap rahmah pada suami istri itu bersamaan dengan lahirnya anak. Namun sedikit berbeda, karena mufasir Indonesia ini mengajukan kondisi lain, yaitu ketika suami istri itu telah mencapai usia lanjut, masa keduanya sudah sama-sama lemah, tiada lain yang dibutuhkan adalah kasih sayang dari keduanya. Untuk penafsiran yang terakhir ini, kurang lebih sama dengan yang disampaikan oleh mufasir asal Mesir, Mutawalli Asy-Sya’rawi.

Baca Juga: Pilihan Tidak Memiliki Anak Meningkat, Namun Begini Pentingnya Anak dalam Al-Quran

Tugas berat dan kebahagiaan besar menjadi orang tua

Penafsiran di atas, terlihat sangat cenderung mengatakan bahwa anak lah perantara harmonis dan bahagianya pasangan suami istri, lantas bagaimana dengan keterangan yang sangat kontras dalam Al-Quran  yang menyatakan bahwa anak itu ujian dan musibah bagi kedua orang tuanya, bukankah berarti anak juga berpotensi mendatangkan kegaduhan pada kedua orang tuanya, bahkan pada lingkungannya yang lebih luas?

Sebagai orang tua, orang yang lebih dulu hidup menghirup udara dunia mestinya bisa waspada dan melakukan tindakan preventif sejak dini atas potensi anak yang tidak baik ini. Hal ini sebagaimana disampaikan dalam hadis Nabi dalam Shahih Al-Bukhari

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ، كَمَثَلِ البَهِيمَةِ تُنْتَجُ البَهِيمَةَ هَلْ تَرَى فِيهَا جَدْعَاءَ

“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kemudian kedua orang tuanyalah yang akan menjadikan anak itu Yahudi, Nasrani atau Majusi, sebagaimana binatang ternak yang melahirkan binatang ternak dengan sempurna, apakah kamu melihat ada cacatnya?”

Pesan Rasulullah saw. ini memberi isyarat bahwa menjadi orang tua itu tidak mudah, tanggung jawabnya sangat berat, namun jika tugas ini dijalani bersama-sama oleh ayah dan ibu, maka secara alami akan membuat keduanya semakin erat hubungannya, semakin saling terikat dan semakin saling membutuhkan. Apapun hasilnya, berhasil atau tidak keduanya siap menanggung bersama.

Jika hadis di atas berbicara tentang tugas berat orang tua menjaga anak, maka hadis berikut berbicara tentang nikmat besar orang tua karena sudah menjaga anak,

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Apabila salah seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah segala amalannya kecuali tiga perkara; sedekah jariyah; ilmu yang bermanfaat baginya dan anak salih yang selalu mendoakannya”

Pada hadis ini, sudah jelas bahwa hubungan anak dengan orang tua begitu erat, tidak terpisahkan, doa seorang anak menjadi salah satu perantara kebahagiaan bagi orang tuanya, bahkan hingga kedua orang tua itu sudah meninggal.

Baca Juga: Mengenal Empat Tipologi Anak dalam Al-Quran

Berdasar pada penjelasan di atas, para mufasir menyatakan bahwa anak -dengan segala permasalahnnya- adalah salah satu faktor yang mengantarkan pada tercapainya tujuan pernikahan, khususnya sakinah dan rahmah, dan memang bukan satu-satunya faktor. Meskipun demikian, ibarat sedang bepergian ke suatu tempat, bukankah lebih banyak mempunyai jalan alternatif itu akan menjadi lebih ringan dan lebih cepat sampai pada tujuan daripada hanya punya satu jalan? Wallahu a’lam

Mengenal Asal Muasal Doa Khatmil Quran

0
doa khatmill quran
doa khatmill quran

Setelah menghatamkan atau sekadar selesai membaca Al-Quran, biasanya sering dibaca doa khatmil quran yang sudah sangat popular seperti berikut,

اللّٰهُمَّ ارْحَمْنِيْ بِالْقُرْآنِ . واجْعَلْهُ لِيْ إمَامًا وَنُوْرًا وَهُدًى وَرَحْمَةً . اللّٰهُمَّ ذَكِّرْنِيْ مِنْهُ مَا نَسِيْتُ . وَعَلِّمْنِيْ مِنْهُ مَا جَهِلْتُ . وَارْزُقْنِيْ تِلَاوَتَهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ . وَاجْعَلْهُ لِيْ حُجَّةً يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Doa ini sudah mentradisi di masyarakat, namun sudah tahukah asal muasal doa tersebut? Di sini kami akan membahas perihal tersebut, mulai dari asal redaksi doa dan yang lainnya.

Hadis-hadis kesunahan berdoa setelah membaca atau menghatamkan Al-Quran

Sementara hasil penelusuran penulis, tidak dijumpai redaksi doa khatmil quran atau doa setelah membaca Al-Qur`an yang spesifik bersumber dari Rasulullah saw. Kendati memang terdapat sejumlah hadis yang mengisyaratkan kesunahan berdoa setelah khatam Al-Quran, antara lain dua hadis marfu’ (hadis yang punya sanad/rangkaian perawi sampai kepada Nabi Muhammad saw.) di bawah ini.

Baca Juga: Anda Sedang Khataman Al-Quran? Berikut Anjuran Para Ulama Mengenainya

Hadis yang pertama dirawikan oleh Imam al-Thabrani dari Irbadh bin Sariyah. Lalu, yang kedua diriwayatkan dari Anas bin Malik oleh Imam al-Baihaqi.

مَنْ خَتَمَ الْقُرْآنَ فَلَهُ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ

Siapa pun yang telah tamat membaca Al-Qur`an, doanya punya kans untuk makbul.

مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ وَحَمِدَ الرَّبَّ وَصَلَّى عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاسْتَغْفَرَ رَبَّهُ فَقَدْ طَلَبَ الْخَيْرَ مَكَانَهُ

Siapa-siapa orang yang membaca Al-Qur`an, kemudian membaca tahmid, shalawat, dan istighfar, maka sungguh dia telah menuntut kebaikan pada tempatnya (dia pasti meraih ganjaran kebaikan).

Satu lagi, hadis tentang kebiasaan Nabi ketika selesai menghatamkan Al-Quran yang diriwayatkan Imam al-Darimi yang bersumber dari Ubay bin Ka’ab.

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَرَأَ قُلْ أَعْوذُ بِرَبِّ النَّاسِ افْتَتَحَ مِنَ الْحَمْدِ، ثُمَّ قَرَأَ مِنَ الْبَقَرَةِ إِلَى أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ، ثُمَّ دَعَا بِدُعَاءِ الْخَتْمَةِ، ثُمَّ قَامَ

Sesungguhnya Nabi saw. manakala tengah membaca qul a’uudzu bi-rabb al-naas (surah terakhir dalam Al-Qur`an; maksudnya saat Nabi khatam Al-Qur`an), Nabi mengawali lagi membaca dari al-hamdu (surah Al-Fatihah). Lalu, dilanjutkan dengan membaca surah Al-Baqarah sampai ulaa`ika humu al-muflihuun (akhir ayat kelima surah Al-Baqarah). Setelah itu, Nabi berdoa dengan doa khataman, kemudian beliau bangkit dari duduknya.

Selain itu, ada pula sebuah atsar dari sahabat Anas bin Malik ra. Bahwa setiap kali mengkhatamkan Al-Quran, khadam Rasulullah itu mengajak seluruh anggota keluarganya berkumpul dan berdoa bersama.

Banyak kalangan salafu-naa al-shaalih (ulama-ulama terdahulu yang saleh) lantas mentradisikan atsar ini. Antara lain beberapa tokoh tabiin sekaliber Imam Mujahid bin Jabr, Imam Ubadah bin Abi Lubabah, Imam al-Hakam bin Utaibah, dan Imam Salamah bin Kahil.

Setali tiga uang, Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi dalam al-Syarh al-Kabir, mengungkapkan bahwa Imam Ahmad bin Hambal pun menegaskan hal yang sama. Beliau menganjurkan berdoa seusai khatam Al-Qur`anntuk redaksi doanya tidak ditentukan. Adapun mengenai dasar anjuran ini, ulama bermazhab Hambali itu mengetengahkan kesaksian Syekh Hambal bin Ishaq, yang telah melihat langsung penduduk Makkah dan Imam Sufyan bin Uyainah melakukan ihwal tersebut.

Ulama Hanabilah lainnya, Syekh Manshur bin Yunus al-Bahuthi, menambahkan penjelasan sedikit berbeda. Dalam kitabnya berjudul Kasysyaaf al-Qinaa` ‘an Matn al-Iqnaa`, fakih asal Mesir itu menyatakan bahwa justru doa populer di atas memiliki cantolan sebuah hadis. Hadis yang dimaksud diriwayatkan oleh Abu Manshur al-Muzhaffar bin al-Husain dan Abu Bakkar Ahmad bin Amr bin al-Dhahhak, dua perawi yang tergolong tsiqah (terpercaya dalam periwayatannya).

Akan tetapi, Syekh al-Bahuthi berpendapat berbeda. Ia mengutip pendapat Imam Ibnu al-Jauzi yang mengaku tidak pernah menemukan hadis yang spesifik memuat redaksi doa khatam Al-Qur`an, selain hadis yang disinggung tadi. Dan lagi, Ibnu al-Jauzi selaku eksponen fikih Hambali yang notabene juga seorang ahli hadis, mengklaim hadis itu berstatus hadis mu’dhal, hadis yang lemah karena sanadnya terputus secara berturut-turut.

Baca Juga: Mengkhatamkan Al-Quran dan Prinsip-Prinsipnya Menurut Para Ulama

Koreksi bacaan nasitu

Masih ada hal lain yang tidak kalah penting untuk diketahui menyangkut doa khatmil quran di atas. Hal lain yang dimaksud adalah perihal koreksi bacaan pada lafaz nasii-tu. Beberapa ulama memberikan penjelasan terkait hal ini.

Dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (juz 2 halaman 197), Imam Nawawi berpandangan bahwa mengucapkan nasii-tu (artinya: aku lupa), itu hukumnya makruh. Kemakruhan ini berdalilkan QS. Thaha [20]: 126. Menurutnya, semestinya lafaz itu dibaca unsii-tu-haa (artinya: aku dijadikan lupa) atau usqith-tu-haa (artinya: aku dibuat keliru).

Dalam kitab al-Itqan fii ‘Ulum al-Qur’an (juz 2 halaman 718), Imam Jalaluddin al-Suyuthi berpandangan sama dengan Imam Nawawi. Lafaz tersebut memang seharusnya dibaca unsii-tu-haa. Makruh hukumnya dibaca nasii-tu. Selain berdalilkan QS. Thaha [20]: 126, kemakruhan ini juga berdasarkan hadis yang tercantum dalam Shahih Bukhari-Muslim.

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِئْسَمَا لِأَحَدِهِمْ يَقُولُ نَسِيتُ آيَةَ كَيْتَ وَكَيْتَ بَلْ هُوَ نُسِّيَ اسْتَذْكِرُوا الْقُرْآنَ فَلَهُوَ أَشَدُّ تَفَصِّيًا مِنْ صُدُورِ الرِّجَالِ مِنْ النَّعَمِ بِعُقُلِهَا

Rasulullah saw. bersabda: “Alangkah buruknya seseorang yang berkata, ‘Aku lupa ayat ini dan itu.’ Akan tetapi, dia telah dibuat lupa oleh Allah. Sering-seringlah mengingat (membaca) Al-Qur`an, karena ia lebih cepat hilang dari dada seseorang daripada unta yang lepas dari ikatannya.”

Baca Juga: Tradisi dan Metode Mengkhatamkan Al-Quran Menurut Para Ulama

Imam Nawawi menjelaskan makna hadis ini dalam kitabnya yang lain, berjudul al-Minhaaj fii Syarh Shahiih Muslim bin al-Hajjaaj (juz 6 halaman 76). Sekurang-kurangnya terdapat dua poin penjelasan Imam Nawawi. Pertama, kemakruhan dalam konteks ini termasuk kategori makruh tanzih. Kedua, alasan nasii-tu dihukumi makruh karena model pelafalan ini mengandung unsur al-tasaahul dan al-taghaaful terhadap Al-Qur`an, yakni meremehkan dan melalaikannya.

Alhasil, sejauh ini penulis belum berani menyimpulkan siapa kreator awal redaksi doa khatmil quran atau yang biasa dibaca setelah membaca Al-Qur`an di atas. Sebab, segelintir kitab yang menyebutkan redaksi utuh doa itu, hanya bersumber dari perkataan Abu al-Fadhl Abbas bin Abdul Azhim al-Anbari (w. 246 H). Abbas al-Anbari merupakan sosok perawi tingkatan tsiqah haafizh dan tergolong kibar taabi’ul-atbaa’, yaitu generasi setelah atba’ut-taabi’in.

Terakhir, jikapun preferensi kebanyakan orang tetap menggunakan redaksi doa di atas setiap kali khataman atau setiap selesai membaca Al-Qur`an, maka hendaknya menghindari model pelafalan yang dimakruhkan sebagaimana keterangan yang telah dijelaskan tadi.

Wallaahu a’lam