Beranda blog Halaman 220

Tetap Istiqamah di Era Disrupsi, Ini Tips dan Ganjarannya dalam Al-Qur’an

0
Tetap Istiqamah di Era Disrupsi, Ini Tips dan Ganjarannya dalam Al-Qur’an
Tips dan Ganjaran Istiqamah dalam Al-Qur’an

Zaman terus mengalami perubahan, baik itu ke arah baik atau buruk. Perubahan yang sangat mendasar akibat perkembangan zaman dikenal dengan era disrupsi. Sebuah kondisi di mana terdapat gangguan yang besar pasca perubahan yang sangat mengakar.

Kondisi di era disrupsi ini di satu sisi memberikan kemudahan, namun di sisi lain dapat terlena. Oleh karena itu, seorang yang beriman perlu mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Salah satu persiapan itu adalah tetap istiqamah dalam kondisi apapun.

Sikap istiqamah menjadi penting di era disrupsi, karena era ini memberikan keluasan informasi dan teknologi. Oleh karena itu, keteguhan dan konsistensi menjadi modal utama agar tidak terseret oleh arus besar yang membuat kita tak mengenal lagi arah tujuan hidup.

Untuk itu, mari kita pelajari tips dari Al-Qur’an agar tetap istiqamah. Secara jelas, Al-Qur’an memerintahkan untuk tetap bersitiqamah di jalan yang lurus. Kemudian, Al-Qur’an juga mengabarkan serangkaian “hadiah” yang didapat oleh meraka yang selalu istiqamah.

Perintah Istiqamah dalam Al-Qur’an

Perintah istiqamah terdapat dalam surah Hūd ayat 112. Berikut redaksi dan terjemahannya:

فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْا ۚ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Artinya: “Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”

Baca juga: Tafsir Surah Hud Ayat 112: Perintah Istiqomah Dalam Kebaikan

Perintah istaqim, secara bahasa terambil dari kata qama, yang bermakna mantap, terlaksana, dan berkonsentrasi serta konsisten. Dengan demikian, perintah untuk istiqamah mengandung makna pelaksanaan sesuatu secara konsisten dalam keadaan sadar dan fokus. (al-Mu’jam al-Wasīṭ).

Quraish Shihab menjelaskan istaqim sebagai perintah untuk melakukan sesuatu dengan sempurna, diharapkan hasilnya sesempurna mungkin dan tidak disentuh oleh kekurangan dan keburukan. (Tafsir Al-Misbah, jil. 6, hal. 359).

Adapun menurut Sayyid Quthb, dalam kata istaqim mengandung perintah untuk terus menerus memelihara moderasi dan berada pada jalan pertengahan di antara dua titik ekstrem; tidak melebihkan dan tidak pula mengurangi. (Fi Dzilalil Qur’ān, jil. 11, hal. 234).

Setelah perintah istiqamah, terdapat larangan untuk tidak melampaui batas. Asy-Sya’rawi menerangkan lebih lanjut, bahwa keimanan memberikan batasan atas segala sesuatu. Kemudian, keimanan itu yang akan menjaga seseorang untuk tahu batas dan tidak melampauinya. (Tafsir Asy-Sya’rawi, hal. 6710).

Melalui keterangan di atas, dapat kita ketahui bahwa Al-Qur’an memberikan dua tips untuk hidup kita. Pertama, terus konsisten dalam kebaikan dan kebermanfaatan. Kedua, tetap mengetahui batasan dari segala yang kita lakukan.

Dengan sikap dan mental seperti ini kita akan siap dan teguh menghadapi arus globalisasi di era disrupsi. Sikap konsisten dan mengetahui batas memberikan kita kemampuan untuk menyikapi segala perubahan dengan bijaksana. Khususnya dalam menggunakan teknologi dan media sosial.

Baca juga: Tafsir Tarbawi: Pentingnya Penguasaan Teknologi Bagi Pendidik

Jaminan Bagi Mereka yang Isitiqamah

Setelah memahami perintah istiqamah, selanjutnya kita akan melihat bagaimana Al-Qur’an memberikan jaminan bagi mereka yang telah beristiqamah. Hal ini terdapat dalam surah Al-Fussilat ayat 30-31. Berikut redaksi ayat dan terjemahannya:

إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُوا۟ رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسْتَقَٰمُوا۟ تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ ٱلْمَلَٰٓئِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا۟ وَلَا تَحْزَنُوا۟ وَأَبْشِرُوا۟ بِٱلْجَنَّةِ ٱلَّتِى كُنتُمْ تُوعَدُونَ نَحْنُ أَوْلِيَآؤُكُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَفِى ٱلْءَاخِرَةِ ۖ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِىٓ أَنفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu”. “Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta.”

Melalui ayat ini, setidaknya ada empat jaminan yang dijanjikan Al-Qur’an untuk mereka yang istiqamah dalam hidupnya, terlebih dalam kondisi serba berubah seperti di era disrupsi. Mengingat konsistensi seseorang akan diuji benar-benar dalam situasi yang penuh tekanan dan arus yang besar.

Mereka yang konsisten, baik dalam keimanan dan sikap hidup yang bijak dijanjikan empat hal; Pertama, malaikat akan turun kepada mereka. Kedua, mendapat ketenangan dan keamanan dari kesedihan dan rasa takut. Ketiga, mendapat kabar gembira tentang surga. Keempat, mendapat perlindungan malaikat di dunia dan di akhirat.

Keempat jaminan ini Allah kabarkan untuk menguatkan mereka yang istiqamah. Sikap konsistensi dalam hidup dengan segala kondisinya merupakan hal yang berat. Namun, Al-Qur’an harus menegaskan betapa dahsyatnya jaminan dari Allah bagi mereka yang senantiasa istiqamah.

Dengan begitu, istiqamah di era disrupsi menjadi kebutuhan yang harus dimiliki setiap mukmin. Tentu, setiap kondisi akan mengalami naik turun, akan tetapi ayat ini dan ayat-ayat yang serupa memberi semangat untuk tetap istiqamah. Selain itu, memberikan harapan yang indah baik untuk kehidupan di dunia maupun di akhirat.

Semoga, kita semua dapat tetap konsisten dalam keimanan di tengah kondisi yang sedang bergejolak ini. Dan juga memiliki kesadaran akan batasan dalam mendayagunakan teknologi dan media sosial dengan bijak. Kemudian, kelak kita akan meraup ganjaran-ganjaran kebaikan sebagaimana yang dianugerahkan kepada mereka yang istiqamah. Amin ya rabbal ‘alamin.

Baca juga: Apa Saja Jaminan Allah dalam Al-Quran untuk Mereka yang Istikamah?

Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 80-87

0
Tafsir Surah As-Shaffat
Tafsir Surah As-Shaffat

Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 80-87 diawali dengan apresiasi Allah atas ketulusan dan kesabaran Nabi Nuh dalam menjanlakan tugas sebagai Rasul-Nya. Diantara bentuk apresiasi tersebut adalah dianugerahi keturunan yang saleh dan taat, sekaligus sebagai penerusnya dalam menyampaikan ketauhidan Allah Swt. yaitu diutusnya Nabi Ibrahim AS.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 75-79


Ayat 80-82

Pengabadian nama Nuh dengan sebutan salam sejahtera kepadanya itu merupakan penghormatan kepadanya, dan pembalasan kepadanya atas kebajikan yang diperbuatnya dan perjuangannya dalam menegakkan kalimat tauhid yang tak henti-hentinya, siang dan malam, terang-terangan dan sembunyi-sembunyi selama ratusan tahun.

Hal itu juga sebagai imbalan atas kesabarannya, dalam menahan derita lahir dan batin selama menyampaikan risalah di tengah-tengah kaumnya.

Yang mendorong Nabi Nuh bekerja keras membimbing kaumnya adalah kemurnian dan keikhlasan pengabdiannya kepada Allah disertai keteguhan iman dalam jiwanya.

Oleh karena itu, Allah menyatakan bahwa dia benar-benar hamba-Nya yang penuh iman.

Penonjolan iman pada pribadi Nuh sebagai rasul yang mendapat pujian adalah untuk menunjukkan arti yang besar terhadap iman itu karena dia merupakan modal dari segala amal perbuatan kebajikan.

Adapun kaum Nuh yang lain, yang tidak mau beriman kepada agama tauhid yang disampaikan kepada mereka, dibinasakan oleh topan dan banjir besar hingga tak seorang pun di antara mereka yang tinggal dan tak ada pula bekas peninggalan mereka yang dikenang. Mereka lenyap dari catatan sejarah manusia.

Ayat 83

Ayat ini menerangkan bahwa Nabi Ibrahim termasuk keturunan dan penerus risalah Nabi Nuh. Beliau mengikuti jejak Nabi Nuh dalam memegang ajaran tauhid, meyakini akan adanya hari Kiamat,  memperjuangkan penyebaran agama tauhid dan kepercayaan akan hari Kiamat, melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar serta tabah dan sabar dalam menghadapi permusuhan kaum kafir.


Baca Juga : Tafsir Surah Yasin Ayat 48-50: Hari Kiamat Datang dengan Tiba-Tiba


Ayat 84

Ayat ini mempertegas lagi kemurnian jiwa Nabi Ibrahim. Dia menghadapkan jiwanya kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan penuh keikhlasan, bersih dari kemusyrikan, terlepas dari kepentingan kehidupan duniawi, dan jauh dari perasaan buruk lainnya yang dapat mengganggu jiwanya.

Ayat 85-87

Kemudian Allah mengingatkan kita tentang kisah Nabi Ibrahim ketika dia dengan jiwanya yang bersih dan tulus ikhlas berkata kepada orang tuanya dan kaumnya mengapa mereka menyembah patung-patung.

Seharusnya hal itu tidak patut terjadi jika mereka mau berpikir tentang patung-patung sembahan yang tidak memberi manfaat dan tidak pula memberi mudarat kepada mereka:

Firman Allah:

اِذْ قَالَ لِاَبِيْهِ يٰٓاَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِيْ عَنْكَ شَيْـًٔا   ٤٢  يٰٓاَبَتِ اِنِّيْ قَدْ جَاۤءَنِيْ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِيْٓ اَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا   ٤٣

(Ingatlah) ketika dia (Ibrahim) berkata kepada ayahnya, “Wahai ayahku! Mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolongmu sedikit pun? Wahai ayahku! Sungguh, telah sampai kepadaku sebagian ilmu yang tidak diberikan kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. (Maryam/19: 42-43).

Nabi Ibrahim dengan tegas menyatakan kepada mereka bahwa tidaklah benar sikap mereka yang menghendaki selain Allah untuk disembah dengan alasan-alasan yang tidak benar.

Untuk menyembah Tuhan yang gaib diperlukan petunjuk kalau tidak penyembahan itu tentulah didasarkan atas khayalan-khayalan dan selera pikiran masing-masing orang.

Hal demikian ini akan menimbulkan banyaknya bentuk penyembahan kepada Tuhan sesuai dengan konsepsi masing-masing orang tentang Tuhan.

Pada zaman Jahiliah, tiap-tiap kabilah Arab mempunyai berhala dan patung sendiri-sendiri sesuai dengan pikirannya masing-masing.

Demikian juga zaman Nabi Ibrahim terdapat banyak patung sembahan mereka sebagai hasil imajinasi kaumnya pada waktu itu. Nabi Ibrahim yang diberi Allah ilmu pengetahuan yang tidak diberikan kepada kaumnya, tentulah beliau berusaha untuk mengubah keadaan demikian.

Lalu beliau mengemukakan berbagai pertanyaan kepada kaumnya sehingga terpaksa mereka berpikir tentang diri mereka masing-masing apa dasar anggapan mereka tidak menyembah Tuhan Pencipta dan Penguasa semesta alam, bahkan sebaliknya mereka mempersekutukan-Nya dengan patung-patung dan berhala-berhala.

Sebenarnya mereka tidak dapat mengemukakan alasan untuk menolak menyembah Tuhan Yang Maha Esa.

 (Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah As-Shaffat 88-90


Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 75-79

0
Tafsir Surah As-Shaffat
Tafsir Surah As-Shaffat

Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 75-79 berbicara tentang dakwah Nabi Nuh yang selalu diingkari oleh kaumnya. Akibat keingkaran itu, Nuh pun berdo’a kepada Allah Swt. untuk meminta perlindungan-Nya. Seketika itu, do’a dikabulkan, dan turunlah azab Allah atas kaum Nuh yang ingkar, sementara kaumnya yang beriman diselamatkan dari azab tersebut.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 69-74


Ayat 75

Ayat ini menerangkan bahwa Nabi Nuh berdoa kepada Tuhan supaya memberikan pertolongan kepadanya terhadap ancaman penganiayaan dari kaumnya. Bahkan mereka sudah bermaksud membunuhnya sewaktu dia menyeru mereka kepada agama tauhid.

Meskipun cukup lama Nabi Nuh menyeru kaumnya siang dan malam, secara sembunyi dan terang-terangan, namun hanya sedikit di antara mereka yang beriman.

Setiap kali diberi peringatan dan pengajaran, mereka bertambah jauh dari agama dan tambah sengit permusuhannya kepada Nabi Nuh. Hal itu menyebabkan Nabi Nuh sangat kecewa lalu dia berdoa kepada Tuhan agar orang-orang kafir itu segera dibinasakan. Firman Allah:

وَقَالَ نُوْحٌ رَّبِّ لَا تَذَرْ عَلَى الْاَرْضِ مِنَ الْكٰفِرِيْنَ دَيَّارًا   ٢٦  اِنَّكَ اِنْ تَذَرْهُمْ يُضِلُّوْا عِبَادَكَ وَلَا يَلِدُوْٓا اِلَّا فَاجِرًا كَفَّارًا   ٢٧

Dan Nuh berkata, “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka hanya akan melahirkan anak-anak yang jahat dan tidak tahu bersyukur. (Nuh/71: 26-27).

Allah mengabulkan doa Nabi Nuh itu. Allah menyebutkan dirinya sebagai Zat yang paling baik dalam mengabulkan doa. Pengabulan itu sangat diharapkan oleh Nabi Nuh pada saat itu karena kaumnya mendustakan dan menentangnya.

Ayat 76-78

Kemudian dijelaskan jenis doa Nabi Nuh yang dikabulkan itu, antara lain: Pertama, Allah telah menyelamatkan Nuh beserta orang-orang yang beriman, termasuk beberapa orang puteranya, dari bencana yang besar yakni angin topan yang dahsyat dibarengi banjir besar. Seorang puteranya ikut tenggelam.

Mereka yang selamat dari banjir besar itu ialah mereka yang berada dalam kapal. Firman Allah:

فَاَنْجَيْنٰهُ وَمَنْ مَّعَهٗ فِى الْفُلْكِ الْمَشْحُوْنِ    ١١٩  ثُمَّ اَغْرَقْنَا بَعْدُ الْبٰقِيْنَ    ١٢٠

Kemudian Kami menyelamatkannya Nuh dan orang-orang yang bersamanya di dalam kapal yang penuh muatan. Kemudian setelah itu Kami tenggelamkan orang-orang yang tinggal. (asy-Syu’ara’/26: 119-120).

Kedua, Allah menjadikan anak cucu Nabi Nuh orang yang akan melanjutkan keturunannya, dan mereka yang membangkang dan menentang seruannya dibinasakan, seperti yang dimohon Nabi Nuh dalam doanya.

Ketiga, Allah mengabadikan pujian dan nama yang harum bagi Nuh di kalangan para nabi yang datang kemudian dan umat manusia sampai akhir zaman.

Beliau masyhur di kalangan kaum muslimin, termasuk salah seorang dari lima rasul yang disebut ulul ‘azmi yang artinya orang-orang yang mempunyai keteguhan hati. Empat rasul lainnya ialah Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad saw.


Baca Juga : Kisah Al-Quran: Beberapa Gelar Yang Disandang Nabi Ibrahim a.s.


Ayat 79

Kemudian disebutkan salam kesejahteraan bagi Nuh “Salamun ‘ala Nuhin” sebagai pengajaran bagi para malaikat, jin, dan manusia supaya mereka juga mengucapkan salam sejahtera kepada Nuh sampai hari Kiamat. Allah berfirman:

قِيْلَ يٰنُوْحُ اهْبِطْ بِسَلٰمٍ مِّنَّا وَبَرَكٰتٍ عَلَيْكَ وَعَلٰٓى اُمَمٍ مِّمَّنْ مَّعَكَ

Difirmankan, “Wahai Nuh! Turunlah dengan selamat sejahtera dan penuh keberkahan dari Kami, bagimu dan bagi semua umat (mukmin) yang bersamamu. (Hud/11: 48).

Dengan ucapan salam sejahtera untuk Nuh oleh umat manusia dari masa ke masa maka nama Nabi Nuh akan tetap harum dan diingat sepanjang masa.

 (Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah As-Shaffat 80-87


Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 69-74

0
Tafsir Surah As-Shaffat
Tafsir Surah As-Shaffat

Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 69-74 berbicara tentang penyebab orang kafir menerima azab dari Allah Swt. Oleh karena itu, Allah meminta orang beriman supaya belajar dari peristiwa tersebut, dan belajar pula dari peristiwa-peristiwa masa lalu yang dialami oleh umat terdahulu. Dengan demikian, kesalahan yang serupa bisa dihindari dan tidak terulangi kembali.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 58-68


Ayat 69-70

Pada ayat ini Allah menerangkan sebab orang-orang kafir itu terjerumus ke dalam penderitaan azab yang sangat berat. Yaitu bahwa mereka sesudah mendengar seruan yang disampaikan Nabi Muhammad saw, benar-benar mengetahui dan menyadari kesesatan nenek moyang mereka tanpa mengindahkan peringatan Rasulullah saw.

Mereka terlalu terburu-buru dan fanatik mengikuti nenek moyang sehingga pikiran yang sehat dikesampingkan, seolah-olah mereka tidak sempat merenungkan peringatan-peringatan Rasul.

Kelakuan demikian itu sangat tercela karena tidak saja merugikan bagi pelakunya tetapi juga generasi-generasi yang hidup berikutnya.

Kemunduran dan kehancuran akan menimpa umat, bilamana daya berpikir dan berprakarsa tidak berkembang pada mereka.

Kebahagiaan akan dapat dicapai bilamana umat itu terus-menerus mengembangkan daya berpikir mereka dengan pengamatan dan penelitian kehidupan spiritual dan material.

Ayat 71

Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa sebagian besar umat-umat zaman dahulu sebelum Nabi Muhammad saw telah sesat.

Mereka menyembah berhala dan mempersekutukannya dengan Tuhan dan seringkali berbuat kerusakan di atas bumi dengan mengadakan peperangan. Hidup mereka didasarkan atas hawa nafsu dan angkara murka.

Pemimpin-pemimpin mereka dan pembesar-pembesar negara berlaku aniaya dan menindas rakyat dengan kerja paksa membangun istana-istana dan kuil-kuil tempat penyembahan berhala dan makam-makam raja.

Bahkan ada di antara mereka yang mengaku Tuhan dan rakyat dipaksa menyembah mereka. Demikianlah kisah-kisah umat-umat zaman dahulu seperti kaum ‘Ad, Samud, raja Namrud, Fir’aun, dan lain-lainnya.


Baca Juga : Pesan Gus Ghofur Maimoen (2): Bersikap Moderat itu Memerlukan Introspeksi Diri


Ayat 72

Lalu Allah mengutus kepada umat-umat dahulu itu nabi-nabi dan rasul-rasul untuk menegakkan agama tauhid, menjalankan amar ma’ruf nahi munkar.

Nabi-nabi itu merupakan pemberi peringatan yang berjuang untuk meluruskan jalan hidup manusia yang menyimpang dari fitrah kejadiannya.

Mereka menunjukkan kepada kaumnya jalan yang hak dan yang batil, jalan yang baik dan yang buruk, serta mengingatkan kepada mereka azab yang akan menimpa bila mereka tidak mau meninggalkan kesesatan dan tidak mau tunduk kepada kebenaran yang dibawa rasul-rasul.

Tetapi nabi-nabi dan rasul-rasul itu ditentang, didustakan dan dimusuhi, bahkan ada di antara mereka yang dianiaya sampai dibunuh.

Kehadiran para rasul di tengah-tengah mereka itu dipandang sebagai gangguan bagi kemantapan kehidupan mereka, karena itu mereka tetap dalam kesesatan dan kegelapan.

Kesudahannya datanglah azab Tuhan menimpa mereka sebagaimana diterangkan Allah dalam firman-Nya:

فَاَمَّا ثَمُوْدُ فَاُهْلِكُوْا بِالطَّاغِيَةِ   ٥  وَاَمَّا عَادٌ فَاُهْلِكُوْا بِرِيْحٍ صَرْصَرٍ عَاتِيَةٍۙ  ٦

Maka adapun kaum Samud, mereka telah dibinasakan dengan suara yang sangat keras, sedangkan kaum ‘Ad, mereka telah dibinasakan dengan angin topan yang sangat dingin. (al-Haqqah/69: 5-6)

Ayat 73-74

Pada ayat ini Allah menyerukan kepada Rasulullah saw dan umatnya untuk memperhatikan nasib kaum-kaum yang mendustakan rasul-rasul itu.

Bekas-bekas kehancuran mereka itu masih dapat disaksikan berupa peninggalan purbakala.

Dengan memperhatikan sejarah umat dahulu, mereka akan memperoleh pelajaran untuk merenungkan peringatan-peringatan yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw.

Tidaklah semua orang yang berada dalam kaum itu mengingkari utusan Tuhan yang datang kepada mereka dan mengalami siksaan sebagai balasan terhadap keingkaran kaum itu.

Tetapi di antara mereka terdapat hamba-hamba Allah yang beriman kepada-Nya dengan setulus hati beramal saleh, menaati segala perintah dan larangan-Nya. Mereka diselamatkan dari siksaan dan dianugerahi kebahagiaan dunia dan akhirat.

 (Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah As-Shaffat 75-79


Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 58-68

0
Tafsir Surah As-Shaffat
Tafsir Surah As-Shaffat

Sebelumnya telah dijabarkan bagaimana kenikmatan yang diraih oleh penduduk syurga. Adapun Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 58-68 berbicara tentang kondisi yang dialami penduduk neraka. Al-Qur’an menggambarkan bahwa kondisi mereka sangat memprihatinkan, selain merasakan betapa perihnya siksaan, mereka juga kelaparan, sementara sumber makanan yang tersedia hanya ada di pohon Zaqqum. Lalu, bagaimanakan rupa pohon zaqqum itu? berikut penjelasannya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 51-57


Ayat 58-61

Pada ayat ini Allah menjelaskan pernyataan penghuni surga itu bahwa mereka sangat puas terhadap nikmat dan kebahagiaan di surga. Mereka merasakan keadaan hidup dalam surga, tidak akan mengalami kematian lagi dan tidak pula akan menderita azab.

Satu-satunya kematian yang mereka alami ialah kematian yang meninggalkan kehidupan dunia.

Berbeda halnya dengan orang-orang kafir di dalam neraka. Meskipun mereka sudah mengalami kematian di dunia, namun mereka masih menginginkan kematian kedua kalinya untuk mengakhiri penderitaan yang bersangkutan di neraka Jahanam.

Adapun penghuni surga tidak pernah meragukan keabadian hidup di surga, karena keraguan itu menimbulkan kegelisahan dan kegelisahan adalah penderitaan.

Penghuni surga menyatakan lagi dengan penuh kesungguhan bahwa segala kenikmatan yang mereka peroleh, kelezatan makanan dan minuman dan segala kepuasan rohaniah di surga itu adalah kemenangan yang besar.

Untuk mencapai kemenangan yang besar menurut mereka, diperlukan usaha yang sungguh-sungguh penuh keikhlasan dan pengabdian kepada Allah di dunia.

Ayat 62-63

Pada ayat ini Allah memperingatkan kepada orang-orang kafir tentang azab yang mereka alami di neraka.

Kepada mereka dikemukakan pertanyaan tentang manakah hidangan yang lebih baik apakah rezeki yang diberikan kepada penghuni surga sebagaimana telah disebutkan di atas ataukah buah pohon zaqqum yang pahit lagi menjijikkan yang disediakan bagi mereka.

Pertanyaan itu adalah sebagai ejekan kepada mereka. Namun kemudian mereka mempertanyakan tentang pohon zaqqum.

Mungkinkah dia tumbuh dalam neraka, padahal neraka itu membakar segalanya. Bagi mereka pohon zaqqum itu merupakan ujian dan cobaan dan di akhirat akan dijadikan bahan siksaan. Allah berfirman:

وَمَا جَعَلْنَا الرُّءْيَا الَّتِيْٓ اَرَيْنٰكَ اِلَّا فِتْنَةً لِّلنَّاسِ وَالشَّجَرَةَ الْمَلْعُوْنَةَ فِى الْقُرْاٰنِ ۗ وَنُخَوِّفُهُمْۙ فَمَا يَزِيْدُهُمْ اِلَّا طُغْيَانًا كَبِيْرًا

Dan Kami tidak menjadikan mimpi yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia dan (begitu pula) pohon yang terkutuk (zaqqum) dalam Al-Qur’an. Dan Kami menakut-nakuti mereka, tetapi yang demikian itu hanyalah menambah besar kedurhakaan mereka. (al-Isra’/17: 60)


Baca Juga : Kisah Keluarga ‘Imran (Bag. 4): Ujian Maryam dan Kelahiran Isa yang di Luar Nalar


Ayat 64-65

Allah menegaskan bahwa pohon zaqqum itu tumbuh dari dasar neraka yang menyala-nyala.

Dahan-dahannya menjulang tinggi, setinggi nyala api neraka. Pohon itu tumbuh dari dalam api dan dari api pula dia dijadikan. Bayangannya seperti kepala setan, sangat buruk dan menjijikkan.

Orang Arab dalam menggambarkan sesuatu yang sangat buruk dan menjijikkan mengumpamakannya dengan setan, misalnya seperti kepala setan. Akan tetapi, sebenarnya wujud setan itu tidak ada yang mengetahui.

Hanya saja khayalan manusia menggambarkannya sangat buruk. Sebaliknya dalam menggambarkan sesuatu yang indah, mereka mengumpamakannya dengan malaikat.

Karena itu Tuhan mempergunakan kata malaikat dalam menggambarkan ketampanan Yusuf dalam firman-Nya:

مَا هٰذَا بَشَرًاۗ اِنْ هٰذَآ اِلَّا مَلَكٌ كَرِيْمٌ

…Ini bukanlah manusia. Ini benar-benar malaikat yang mulia. (Yusuf/12: 31)

Ayat 66-68

Kemudian Allah menjelaskan bahwa makanan penghuni neraka itu buah pohon zaqqum.

Walau pun mereka mengetahui baunya yang busuk dan rasanya yang pahit tetapi karena sangat lapar dan makanan lain tidak ada terpaksa mereka memakannya sampai penuh perut mereka.

Allah berfirman:

لَيْسَ لَهُمْ طَعَامٌ اِلَّا مِنْ ضَرِيْعٍۙ  ٦  لَّا يُسْمِنُ وَلَا يُغْنِيْ مِنْ جُوْعٍۗ  ٧

Tidak ada makanan bagi mereka selain dari pohon yang berduri, yang tidak menggemukkan dan tidak menghilangkan lapar. (al-Gasyiyah/88: 6-7).

Sehabis makan buah zaqqum itu tentulah mereka memerlukan minuman. Maka kepada mereka disediakan minuman yang bercampur dari air yang sangat panas yang menghanguskan muka mereka, sebagaimana dilukiskan Allah dalam firman-Nya:

اِنَّآ اَعْتَدْنَا لِلظّٰلِمِيْنَ نَارًاۙ اَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَاۗ وَاِنْ يَّسْتَغِيْثُوْا يُغَاثُوْا بِمَاۤءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِى الْوُجُوْهَ

Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka bagi orang zalim, yang gejolaknya mengepung mereka. Jika mereka meminta pertolongan (minum), mereka akan diberi air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan wajah. (al-Kahf/18: 29).

Setelah mereka makan dan minum maka mereka dikembalikan ke neraka Jahim, tempat asal mula mereka.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah As-Shaffat 69-74


Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 51-57

0
Tafsir Surah As-Shaffat
Tafsir Surah As-Shaffat

Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 51-57 mengisahkan tentang dialog antara penduduk syurga. Dimana mereka mengenang kembali masa-masa kehidupan di dunia. Diantara kenangan itu adalah perihal teman, kerabat, dan keluarga yang dulunya ingkar akan kekuasaan Allah Swt, mereka pun terjebak dalam lubang kesesatan, hingga akhirnya dijerumuskan dalam panasnya api neraka. Mengingat masa itu, merekapun bersyukur akan karunia Allah yang telah menuntun mereka meniti jalan yang Ia ridhoi.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 43-50


Ayat 51-53

Pada ayat ini dijelaskan isi percakapan antara ahli surga. Seorang di antara mereka menceritakan kepada teman-temannya bahwa sewaktu hidup di dunia dia mempunyai seorang teman yang menanyakan kepadanya dengan nada mencemooh tentang keyakinannya akan hari kebangkitan dan hari Kiamat.

Temannya itu sangat mengingkari akan terjadinya hari kebangkitan dari kubur. Dengan penuh keheranan dan keingkaran, temannya di dunia itu mengatakan bahwa tidaklah mungkin dan sangat tidak masuk akal bilamana manusia yang sudah menjadi tanah dan tulang-belulang akan dihidupkan kembali dari dalam kubur.

Lalu setelah itu diadakan perhitungan terhadap amal perbuatannya semasa hidup di dunia.

Menurut keyakinan orang kafir itu tidak ada lagi perhitungan antara kejahatan dan kebaikan, dan antara kufur dan iman.

Semua perbuatan manusia sudah selesai diperhitungkan di dunia. Namun demikian, Allah menegaskan adanya perhitungan terakhir dengan firman-Nya:

وَمَا يَسْتَوِى الْاَعْمٰى وَالْبَصِيْرُ ەۙ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَلَا الْمُسِيْۤئُ ۗقَلِيْلًا مَّا تَتَذَكَّرُوْنَ  ٥٨  اِنَّ السَّاعَةَ لَاٰتِيَةٌ لَّا رَيْبَ فِيْهَا ۖوَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يُؤْمِنُوْنَ  ٥٩

Dan tidak sama orang yang buta dengan orang yang melihat, dan tidak (sama) pula orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan dengan orang-orang yang berbuat kejahatan. Hanya sedikit sekali yang kamu ambil pelajaran. Sesungguhnya hari Kiamat pasti akan datang, tidak ada keraguan tentangnya, akan tetapi kebanyakan manusia tidak beriman. (Gafir/40: 58-59)

Ayat 54-57

Penghuni surga itu berkata kepada teman-temannya supaya mereka mau meninjau keadaan ahli surga.

Dengan peninjauan itu tentulah mereka akan bertambah syukur kepada Allah yang telah memberikan taufik kepada mereka untuk mengikuti petunjuk para nabi sehingga terlepas dari penderitaan api neraka.

Lalu ahli surga itu meninjau keadaan penghuni neraka, dan diperlihatkan kepada mereka kawan-kawannya yang kafir, sedang berada di tengah-tengah api neraka yang menyala-nyala. Pada waktu itu penghuni surga itu menuding kawannya yang berada di neraka itu, karena sewaktu di dunia hampir saja dia dijerumuskan ke dalam kekafiran oleh kawannya itu.

Tetapi berkat taufik dan hidayah Allah yang dianugerahkan kepadanya, terhindarlah dia dari pengaruh paham kawannya yang kafir itu, dan selamatlah ia dari azab nereka.


Baca Juga : Ragam Makna Kata An-Nur dalam Al-Quran


Percakapan antara penghuni surga dan neraka itu diterangkan Allah pula dalam firman-Nya:

وَنَادٰٓى اَصْحٰبُ الْجَنَّةِ اَصْحٰبَ النَّارِ اَنْ قَدْ وَجَدْنَا مَا وَعَدَنَا رَبُّنَا حَقًّا فَهَلْ وَجَدْتُّمْ مَّا وَعَدَ رَبُّكُمْ حَقًّا ۗقَالُوْا نَعَمْۚ فَاَذَّنَ مُؤَذِّنٌۢ بَيْنَهُمْ اَنْ لَّعْنَةُ اللّٰهِ عَلَى الظّٰلِمِيْنَ

Dan para penghuni surga menyeru penghuni-penghuni neraka, “Sungguh, kami telah memperoleh apa yang dijanjikan Tuhan kepada kami itu benar. Apakah kamu telah memperoleh apa yang dijanjikan Tuhan kepadamu itu benar?” Mereka menjawab, “Benar.” Kemudian penyeru (malaikat) mengumumkan di antara mereka, “Laknat Allah bagi orang-orang zalim. (al-A’raf/7: 44);;

Firman Allah:

وَنَادٰٓى اَصْحٰبُ النَّارِ اَصْحٰبَ الْجَنَّةِ اَنْ اَفِيْضُوْا عَلَيْنَا مِنَ الْمَاۤءِ اَوْ مِمَّا رَزَقَكُمُ اللّٰهُ ۗقَالُوْٓا اِنَّ اللّٰهَ حَرَّمَهُمَا عَلَى الْكٰفِرِيْنَ

Para penghuni neraka menyeru para penghuni surga, “Tuangkanlah (sedikit) air kepada kami atau rezeki apa saja yang telah dikaruniakan Allah kepadamu.” Mereka menjawab, “Sungguh, Allah telah mengharamkan keduanya bagi orang-orang kafir.” (al-A’raf/7: 50)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah As-Shaffat 58-68


Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 43-50

0
Tafsir Surah As-Shaffat
Tafsir Surah As-Shaffat

Sebelumnya telah dijelaskan tentang balasan bagi orang-orang yang beriman dan taat kepada Allah Swt, yakni berupa kenikmatan syurga. Adapun Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 43-50 adalah kelanjutan dari tafsir sebelumnya, yang akan berbicara tentang kenikmatan-kenikmatan yang akan diperoleh orang beriman saat menjadi ahli syurga.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 37-42


Ayat 43-44

Pada ayat ini, Allah menjelaskan lebih lanjut hamba-hamba Allah yang beriman dan beramal saleh dan surga yang penuh nikmat yang mempunyai tempat-tempat yang tinggi yang di bawahnya terdapat sungai-sungai yang mengalir, sebagaimana dijelaskan Allah dalam firman-Nya:

وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ لَنُبَوِّئَنَّهُمْ مِّنَ الْجَنَّةِ غُرَفًا تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَاۗ نِعْمَ اَجْرُ الْعٰمِلِيْنَ

Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, sungguh, mereka akan Kami tempatkan pada tempat-tempat yang tinggi (di dalam surga), yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah sebaik-baik balasan bagi orang yang berbuat kebajikan. (al-‘Ankabut/29: 58).

Ahli surga itu duduk di atas kursi yang megah berhadap-hadapan satu sama lain agar saling mengenal dan mereka berbincang-bincang tentang hal-hal yang menyenangkan, yang memberikan mereka kepuasan rohani dan jasmani sebagaimana diterangkan Allah dengan firman-Nya:

وَاَقْبَلَ بَعْضُهُمْ عَلٰى بَعْضٍ يَّتَسَاۤءَلُوْنَ

Dan sebagian mereka berhadap-hadapan satu sama lain saling bertegur sapa. (at-Thur/52: 25)

Ayat 45-47

Sesudah menggambarkan makanan dan tempat tinggal mereka, Allah kemudian menerangkan minuman mereka.

Dengan dilayani oleh anak-anak remaja yang cakap, ahli surga itu menikmati minuman lezat, segelas khamar yang sangat jernih bagaikan air bening yang warnanya putih bersih yang sedap rasanya, ada minuman mereka yang bercampur zanjabil (jahe) yang didatangkan dari sumber air surga yang namanya Salsabil sebagaimana diterangkan dalam firman Allah:

وَيُسْقَوْنَ فِيْهَا كَأْسًا كَانَ مِزَاجُهَا زَنْجَبِيْلًاۚ  ١٧  عَيْنًا فِيْهَا تُسَمّٰى سَلْسَبِيْلًا   ١٨  ۞ وَيَطُوْفُ عَلَيْهِمْ وِلْدَانٌ مُّخَلَّدُوْنَۚ اِذَا رَاَيْتَهُمْ حَسِبْتَهُمْ لُؤْلُؤًا مَّنْثُوْرًا  ١٩

Dan di sana mereka diberi segelas minuman bercampur jahe. (Yang didatangkan dari) sebuah mata air (di surga) yang dinamakan Salsabil. Dan mereka dikelilingi oleh para pemuda yang tetap muda. Apabila kamu melihatnya, akan kamu kira mereka, mutiara yang bertaburan. (al-Insan/76: 17-19)


Baca Juga : Tafsir Ahkam: Kebolehan Memakan Makanan Haram dalam Situasi Darurat


Kenikmatan minuman yang disediakan Allah dalam surga merupakan kelengkapan kenikmatan bagi ahli surga. Mereka disuguhi bermacam ragam khamar yang melimpah ruah seolah-olah khamar itu diambilnya dari sumber bening yang mengalir tanpa putus-putusnya, setiap kali mereka meminta tentu mendapatkannya.

Allah menjelaskan pula bahwa khamar dalam surga itu keadaannya jauh berbeda dengan khamar yang terdapat di dunia, baik mengenai kejernihan, warna, bau ,dan rasanya.

Demikian pula pengaruh minuman terhadap jasmani dan rohani berbeda dengan khamar dunia. Khamar surga tidak membahayakan dan tidak memabukkan.

Ayat 48-49

Kemudian Allah menyebutkan lagi dalam ayat ini kecantikan istri ahli-ahli surga sebagai penyempurnaan terhadap nikmat yang diberikan Tuhan kepada mereka di akhirat.

Istri-istri mereka itu merupakan bidadari-bidadari yang cantik, tidak suka melihat orang-orang yang bukan suaminya, matanya jeli, kulitnya putih kuning bersih seperti warna telur burung unta yang belum pernah disentuh orang-orang dan belum dikotori debu.

Warna kulit perempuan demikian sangat disenangi oleh orang Arab.

Pada ayat yang lain digambarkan para bidadari itu bagaikan mutiara. Firman Allah:

وَحُوْرٌ عِيْنٌۙ    ٢٢  كَاَمْثَالِ اللُّؤْلُؤِ الْمَكْنُوْنِۚ    ٢٣

Dan ada bidadari-bidadari yang bermata indah, laksana mutiara yang tersimpan baik. (al-Waqi’ah/56: 22-23)

Ayat 50

Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa orang-orang mukmin dalam surga duduk saling berhadap-hadapan dan berbincang-bincang satu sama lain sambil menikmati minuman yang disuguhkan kepada mereka.

Betapa nikmatnya mengenang masa lampau mereka sewaktu dalam kesenangan dan ketenteraman hidup dalam surga. Mereka berbincang-bincang tentang pelbagai keutamaan dan pengalaman di dunia.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah As-Shaffat 51-61


Asal Usul Kata al-Qur’an dan Definisinya Menurut Para Ulama

0
Kata al-Qur’an dan
Kata al-Qur’an dan definisinya menurut Ulama

Kata Al-Qur’an bagi umat muslim sangat dekat dan lekat dalam kehidupan sehari-hari. Lantunan ayat suci al-Quran dapat dengan mudah didengarkan dalam format dan sumber yang beragam. Tetapi sudahkah kita mengetahui apa makna dan pengertian al-Qur’an? Dalam artikel ini penulis akan sedikit mengulas makna dan definisi al-Qur’an menurut para ulama dalam disiplin ilmu-ilmu al-Qur’an (Ulum al-Qur’an).

Sebelum kita membahas makna dan pengertian al-Qur’an ini, ada satu pertanyaan yang penting dimunculkan: apa yang pertama kali terlintas dalam benak kita ketika mendengar kata al-Qur’an?

Pertanyaan ini coba penulis tanyakan ke pengikut instagram, jawabannya beragam, ada yang mengatakan kitab suci umat Islam, pedoman hidup umat Islam, Surat Al-fatihah, dan ada juga yang menjawab Kalam Allah Swt. Semua jawaban ini benar adanya dan dapat mewakili definisi al-Quran. Akan tetapi, untuk dapat mengenal al-Qur’an lebih dekat kita perlu menelisik lebih jauh definisinya menurut para ulama.

Baca Juga: Inilah Beberapa Argumentasi Orientalis dalam Mematahkan Autentisitas Al-Quran

Menurut Badruddin al-Zarkayi dalam al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an dan juga menurut Jalaluddin al-Suyuthi dalam al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, ada perbedaan pendapat mengenai asal usul atau akar kata dari al-Qura’n. Sebagian ulama berpendapat kata al-Qur’an tidak memiliki akar kata, ia merupakan nama khusus yang disematkan untuk menyebut Kalam Allah Swt.

Namun sebagian lain memandang kata al-Qur’an berasal dari kata al-qaraa (القرى) yang artinya mengumpulkan (al-jam’u). Makna “mengumpulkan” ini berdasarkan keyakinan bahwa al-Quran mengumpulkan intisari dari kitab-kitab suci terdahulu.

Berbeda dengan al-Zarkasyi maupun al-Suyuthi, Abdul Azhim al-Zarqani dalam bukunya Manahil al-‘Irfan berpandangan bahwa kata al-Qur’an berakar dari kata qara’a yang artinya “membaca”. Bila merujuk makna ini, maka al-Qur’an berarti “bacaan” atau “yang dibaca” (maqru’). Al-Zarqani melandaskan pendapat ini pada Q.S al-Qiyamah ayat 17-18:

إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ () فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ ()

 “Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu.”

Menurut al-Zarqani pendapat yang menyebutkan al-Qur’an berasal dari kata al-qaraa atau al-qar’u berdasarkan pelafalan orang Arab Hijaz dulu yang membaca al-Qur’an dengan al-Quraan (tanpa hamzah). Padahal bagi al-Zarqani pelafalan yang membuang huruf hamzah ini hanya kebiasaan saja (li al-takhfif), pada hakikatnya tetap menggunakan hamzah. Senada dengan al-Zarqani, Taufik Adnan Amal juga berpandangan bahwa penghilangan hamzah pada kata al-Qur’an merupakan karakteristik pelafalan dialek Mekah atau Hijazi, dan juga terdapat pada karakter penulisan aksara kufi awal yang tidak memakai hamzah.

Penulis sendiri cenderung sepakat dengan pendapat terakhir yang mengatakan bahwa al-Qur’an secara etimologi berasal dari kata qara’a yang artinya bacaan. Selain karena didasarkan pada ayat al-Quran sendiri, pada dasarnya makna bacaan lebih lekat dan memotivasi kita untuk terus menerus menjadikan al-Qur’an sebagai bacaan yang diresapi maknanya dan diimplementasikan pesan-pesannya.

Lalu bagaimana al-Quran didefinisikan dari segi terminologi? Kita bisa mendapat jawabannya dari penjelasan Muhammad ‘Abid al-Jabiri. Dari sekian definisi yang diuraikan al-Jabiri, penulis cenderung memilih definisi sebagai berikut:

القرآن هو كلام الله تعالى المنزل على خاتم أنبيائه محمد المكتوب في المصحف المنقؤل إلينا بالتواتر المتعبد بتلاوته المتحدى بإعجاءه

 “al-Qur’an adalah Kalam Allah Swt yang diturunkan kepada penghujung para Nabi, Muhammad Saw, ditulis dalam mushaf, ditransmisikan secara mutawatir, menjadi ibadah dengan membacanya, dan menjadi penentang/penguat dengan kemukjizatannya.”

Mari kita bahas satu per satu definisi yang sekiranya tidak dapat langsung dipahami di atas. Pertama, yang ditulis dalam mushaf, maksudnya apa? Selain dihafal dalam memori para sahabat, sejak awal al-Quran telah diperintahkan oleh Nabi Muhammad Saw untuk dituliskan melalui berbagai media: pelepah kurma, tulang unta, dan sebagainya. Ini menegaskan bahwa al-Qur’an secara historis telah dijaga keotentikannya bahkan segera setelah wahyu diterima Nabi Saw.

Kemudian segera setelah Nabi Saw wafat, para sahabat bersepakat untuk mengumpulkan al-Quran ke dalam satu mushaf. Untuk penjelasan lebih detail soal sejarah penulisan al-Qur’an baik dari segi tulisannya (khat) hingga sekarang bisa dicetak, diterbitkan, ada lembaga tashih yang ikut menjaga kemurnian al-Quran dan lain sebagainya akan dibahas pada topik tersendiri.

Kedua, ditransmisikan secara mutawatir. Istilah Mutawatir lebih akrab dikenal dalam dunia periwayatan hadis. Secara harfiah mutawatir berarti “berturut-turut atau beruntun”, tetapi dalam ilmu hadis istilah ini merujuk pada kriteria kuantitas periwayat hadis yang menandakan sebuah hadis diriwayatkan oleh banyak periwayat. Setidaknya ada empat kriteria menurut Mahmud Thahhan ketika sebuah riwayat dinyatakan mutawatir. Pertama jumlah perawi minimal 10 orang. Kedua jumlah minimal tersebut harus terpenuhi dari setiap generasi periwayat. Ketiga, dengan banyaknya jumlah tersebut sehingga mustahil bagi para periwayat untuk bersepakat bohong. Keempat para perawi menyaksikan langsung dengan panca indera proses transmisinya.

Al-Quran sudah dapat dipastikan sebagai kitab suci yang mutawatir. Karena sejak awal masa kenabian ia telah menjadi fokus utama Nabi Muhammad Saw beserta para sahabat. Mereka mencatat, menghafal, mengajarkan, dan mempraktikkan ajaran al-Qur’an. Dari generasi ke genarsi al-Qur’an terus diajarkan dan dihafal sehingga tidak ada sejarawan yang menyangkal keotentikannya.

Ketiga, menjadi ibadah ketika membacanya. Pada poin inilah al-Quran dibedakan dengan hadis qudsi. Meskipun sama-sama diyakini sebagai wahyu Allah secara verbal, al-Qur’an merupakan Firman Allah Swt yang dikhususkan dan menjadi ibadah bagi umat muslim ketika membacanya. Ibadah ini berkait kelindan dengan pahala yang dapat diraih oleh umat muslim terlepas dari paham dan tidaknya mereka dengan apa yang dibaca. Ada banyak riwayat hadis sahih yang menerangkan keutamaan membaca al-Qru’an, satu di antara yang paling populer adalah riwayat dari Ibnu Mas’ud:

عن عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ، يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ، وَالحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، لَا أَقُولُ الم حَرْفٌ، وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ

“Dari ‘Abdullah ibn Mas‘ud, ia berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa saja membaca satu huruf dari Kitabullah (Al-Qur’an), maka dia akan mendapat satu kebaikan. Sedangkan satu kebaikan dilipatkan kepada sepuluh semisalnya. Aku tidak mengatakan alif lâm mîm satu huruf. Akan tetapi, alif satu huruf, lâm satu huruf, dan mîm satu huruf,” (HR. At-Tirmidzi).

Baca Juga: Peran Bahasa Arab dan Cabang Keilmuannya dalam Penafsiran Al-Qur’an

Keempat, al-Qur’an didefinisikan sebagai penentang dengan kemukjizatannya. Inilah yang paling menonjol dalam al-Quran ketika pertama kali ia diwahyukan terutama saat dihadapkan pada orang-orang kafir Quraisy. Kebiasaan Arab yang sangat menghormati syair dan nilai sastra yang tinggi, tidak dapat mengalahkan kesusastraan al-Qur’an yang begitu indah dan penuh dengan nilai moral yang luhur. Tidak ada seorang pun penyair Arab yang mampu menandingi kehebatan dan keagungan bahasa al-Qur’an. Terdapat ayat al-Qur’an yang menantang secara terbuka para penyair untuk membuat semacam al-Qur’an, tetapi mereka tidak mampu. Satu di antaranya Allah berfirman:

قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْآنِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا

“Katakanlah, sungguh jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.”

Demikianlah penjelasan mengenai kata Al-Quran dan definisinya menurut para ulama. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.

Hukum Nun Mati dan Tanwin: Hukum Idzhar Dilengkapi dengan Contoh dalam Al-Quran

0
Hukum Nun Mati dan Tanwin
Hukum Nun Mati dan Tanwin (Hukum Idzhar)

Hukum nun mati dan tanwin merupakan bagian dari ilmu tajwid yang paling sering dibahas. Selain paling banyak ditemukan, hukum nun mati dan tanwin di dalam pembahasan kitab-kitab ilmu tajwid juga merupakan yang paling awal dibahas. Artikel ini akan mengulas secara singkat definisi dan pembagian hukum nun mati dan tanwin yang diambil dari keterangan kitab Tuhfat al-Athfal karya Sulaiman al-Jamzuri.

Syekh Sulaiman al-Jamzuri dalam nadzamnya terkait dengan hukum nun mati dan tanwin menuliskan:

للنون إن تسكن و للتنوين # أربع أحكام فخذ تبييني

“Bagi nun sukun dan tanwin, ada empat hukum yang berlaku, maka ambillah penjelesanku.”

Menurut Syekh Hasan Dimasyqi dalam Taqrib al-Manal bi Syarh Tuhfat al-Athfal, yang dimaksud dengan empat hukum yang berlaku dalam nun mati dan tanwin adalah idzhar, idgham, iqlab, dan ikhfa. Kemudian bait selanjutkan dijelaskan secara rinci mengenai hukum Idzhar.

فالأول الإظهار قبل أحرف # للحلق ست رتبت فلتعرف

“Yang pertama adalah idzhar, terdapat enam huruf  yang disusun, maka perhatikanlah.”

Syekh Hasan Dimasyqi menjelaskan bahwa secara bahasa Idzhar berarti jelas (al-bayan) dan menurut istilah yaitu mengeluarkan seluruh huruf sesuai makhrajnya. Artinya, dalam hukum Idzhar semua huruf dibaca dengan jelas, tidak berdengung ataupun disamarkan sebagaimana hukum lain yang akan dijelaskan pada artikel selanjutnya.

Baca Juga: Mengenal Istilah Mad Wajib Muttashil dan Mad Jaiz Munfashil

Ia menjelaskan juga bahwa dalam hukum bacaan idzhar terutama dalam Al-Quran, ketika termasuk dalam nun mati/sukun, terkadang tersusun dalam dua kata yang berbeda, sedangkan dalam tanwin selalu dalam dua kata yang berbeda.

Adapun huruf-huruf dari hukum Idzhar terdapat enam huruf sebagaimana dijelaskan dalam bait:

همز فهاء ثم عين حاء # مهملتان ثم غين خاء

“Hamzah, Ha, ‘Ain, Ha, yang keduanya tanpa titik, kemudian Ghain dan Kha.”

Huruf pertama dari hukum idzhar adalah hamzah (ء). Contoh kalimat yang menunjukkan hukum ini dalam al-Quran:

مَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡیَوۡمِ ٱلۡـَٔاخِرِ

Yang menjadi contoh terdapat dalam kalimat “man aamana”, disini nun mati setelahnya terdapat hamzah yang merupakan bagian dari huruf idzhar. Maka dibacanya jelas mengikuti aturan idzhar yang berarti jelas.    

Huruf kedua adalah ha (ه), adapun salah satu contoh kalimat dalam Al-Quran yakni:

وَقُلۡنَا یَـٰۤـَٔادَمُ ٱسۡكُنۡ أَنتَ وَزَوۡجُكَ ٱلۡجَنَّةَ وَكُلَا مِنۡهَا رَغَدًا

Di dalam Surah Al-Baqarah ayat 35 di atas, terdapat setidaknya dua contoh hukum idzhar. Pertama yang termasuk dalam contoh huruf hamzah sebagaimana huruf pertama tadi, yaitu dalam kalimat “uskun anta”. Kedua yakni huruf kedua yang sedang dibahas, huruf hamzah, terdapat dalam kalimat “minha”.

Huruf ketika yaitu ‘ain (ع), contoh dari hukum idzhar dengan huruf ‘ain yang ada dalam al-Quran yaitu:

صِرَ ٰ⁠طَ ٱلَّذِین أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ

Yang menjadi contoh yaitu dalam kata an’amta, nun mati bertemu dengan salah satu huruf idzhar yaitu ‘ain. Maka cara bacanya dibaca jelas.

Huruf keempat adalah ha (ح). Adapun contohnya dalam Al-Quran yakni:

 وَٱللَّهُ عَلِیمٌ حَكِیمࣱ

Yang menjadi contoh adalah kalimat ‘alimun hakim. Nun sukun yang terdapat dalam kata ‘alimun bertemu dengan huruf ha yang terdapat pada awal kata hakim. Maka dibacanya adalah idzhar.

Huruf kelima adalah ghain (غ), contoh dari hukum idzhar dengan huruf ghain yaitu:

 فَسَیُنۡغِضُونَ إِلَیۡكَ رُءُوسَهُمۡ

Contoh yang terdapat dalam surah al-Isra ayat 51 di atas adalah pada fasayunghiduuna, yakni huruf nun mati bertemu dengan huruf ghain.

Baca Juga: Tiga Macam Idghom Berdasarkan Shifatul Huruf dan Makharijul Huruf

Huruf terakhir atau huruf keenam adalah huruf kha (خ), contohnya terdapat pada kalimat:

وَلِمَنۡ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ

Dalam surah Ar-rahman ayat 46 di atas, contoh dari hukum idzhar terdapat pada kalimat man khaafa, huruf nun sukun bertemu dengan huruf kha dalam dua kata yang berbeda.

Demikianlah penjelasan singkat mengenai hukum nun mati dan tanwin terutama hukum idzhar, berikut contoh dalam Al-Quran. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.

 

Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 37-42

0
Tafsir Surah As-Shaffat
Tafsir Surah As-Shaffat

Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 37-42 kali ini membicarakan dua tipe umat manusia. Pertama, adalah umat yang seringkali ingkar akan keesaan Allah Swt, bahkan mereka juga membantah seruan para Rasul, termasuk menolak kitab-kitab yang diturunkan kepada mereka. Untuk umat yang seperti ini, kelak akan menerima azab dari Allah Swt.

Kedua, adalah umat yang senantiasa beriman, ikhlas, dan taat atas perintah dan larangan Tuhan melalui lisan Rasul-Nya. Sebaliknya, umat yang seperti ini akan mendapatkan balasan dari Allah Swt. berupa surga dan kenikmatan didalamnya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 29-36


Ayat 37-39

Allah pada ayat ini membantah tuduhan orang-orang kafir Mekah itu. Nabi Muhammad saw tidak pernah mengucapkan kalimat-kalimat khayalan sebagai penyair, tetapi sesungguhnya beliau pembawa dan pendukung kebenaran.

Ajaran tauhid yang disebarluaskan beliau tidak perlu lagi diragukan, sebab keesaan Tuhan itu dikukuhkan oleh pikiran yang sehat dan dapat dibuktikan dengan dalil-dalil yang nyata.

Tidaklah patut bilamana Rasul itu dikatakan penyair padahal dia membawa ajaran yang benar. Ajaran yang sama telah dibawakan pula sebelumnya oleh para nabi-nabi terdahulu.

Ajaran tauhid yang dibawa beliau meneruskan ajaran tauhid yang dibawa oleh nabi-nabi dahulu, dan bukan sekali-kali buatan Muhammad saw. Jadi tuduhan kepada Rasul sebagai penyair dan orang gila hanyalah karena kebencian dan keingkaran semata-mata.

Allah pastilah akan menimpakan azab yang pedih dan hukuman yang berat kepada orang-orang kafir yang menuduh Rasul dengan tuduhan nista itu. Azab bagi mereka yang ingkar kepada ajaran rasul-rasul itu bisa jadi dirasakan di dunia ini, sebelum dirasakan di akhirat.

Seperti azab yang diderita oleh kaum Samud, Fir’aun dan lain-lain. Namun Tuhan tidak akan menurunkan azab kepada manusia kecuali hanya sebagai balasan dan akibat dari perbuatan mereka sendiri. Allah berfirman:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهٖ ۙوَمَنْ اَسَاۤءَ فَعَلَيْهَا ۗوَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيْدِ

Barangsiapa mengerjakan kebajikan maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa berbuat jahat maka (dosanya) menjadi tanggungan dirinya sendiri. Dan Tuhanmu sama sekali tidak menzalimi hamba-hamba(-Nya). (Fusshilat/41: 46)

Ayat 40-42

Allah menceritakan kenikmatan yang diberikan kepada kaum yang taat kepada Allah dan rasul-Nya.

Mereka dengan penuh keikhlasan melakukan amal kebajikan, menjauhi segala bentuk kemaksiatan dan kemungkaran, bersih dari dosa selalu memanjatkan doa dan harapan kepada Tuhan mereka.


Baca Juga : Tafsir Surah Al-Anbiya 90: Etika Berdoa dan Bacaan Doa Akhir dan Awal Tahun Beserta Terjemahannya


Itulah hamba-hamba Allah yang ikhlas, yang akan mendapatkan surga, sebagaimana firman Allah:

لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْٓ اَحْسَنِ تَقْوِيْمٍۖ  ٤  ثُمَّ رَدَدْنٰهُ اَسْفَلَ سَافِلِيْنَۙ  ٥  اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ فَلَهُمْ اَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُوْنٍۗ  ٦

Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan; maka mereka akan mendapat pahala yang tidak ada putus-putusnya. (at-Tin/95: 4-6).

Dan firman Allah:

وَالْعَصْرِۙ  ١  اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ  ٢  اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ٣

Demi masa, sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran. (al-‘Ashr/103: 1-3).

Golongan hamba Allah yang ikhlas itu, tidak akan merasakan azab, tidak akan ditanya pada hari hisab, bahkan mereka mungkin diampuni kesalahannya jika ada kesalahan, dan diberi ganjaran pahala sepuluh kali lipat dari tiap amal saleh yang dikerjakannya atau lebih besar dari itu dengan kehendak Allah.

Kepada mereka inilah Allah memberikan rezeki yang telah ditentukan yakni buah-buahan yang beraneka ragam harum baunya dan rasanya amat lezat sehingga membangkitkan selera untuk menikmatinya. Mereka hidup mulia serta mendapat pelayanan dan penghormatan.

Dari ayat-ayat di atas, dapat dipahami bahwa makanan di surga itu disediakan untuk kenikmatan dan kesenangan.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah As-Shaffat 43-50