Beranda blog Halaman 219

Tafsir Ahkam: Kewajiban Berusaha Mencari Air Sebelum Tayamum

0
Kewajiban Berusaha Mencari Air Sebelum Tayamum
Kewajiban Berusaha Mencari Air Sebelum Tayamum

Al-Qur’an menetapkan bahwa orang yang tidak menemukan air untuk berwudhu dan mandi besar, maka ia diperbolehkan bersuci dengan debu alias tayamum. Keterangan ini menimbulkan diskusi cukup panjang di antara ahli tafsir dan fikih. Yakni terkait pemahaman “tidak menemukan air”. Sejauh mana seseorang disebut tidak menemukan air?. Hal ini akan berhubungan dengan adakah syarat wajib mencari air sebelum tayamum?

Apakah tatkala kita hendak berwudhu dan ternyata pompa kamar mandi rusak, sehingga air tidak keluar, apakah sudah bisa disebut tidak menemukan air? Atau apakah kita perlu mencari air ke tetangga rumah atau tetangga desa? Berikut penjelasan singkat para pakar tafsir dan fikih

Baca juga: Tafsir Ahkam: Asal Usul Istilah Tayamum dan Pengertiannya Menurut Para Ulama

Redaksi Tidak Menemukan Air

Berawal dari redaksi “tidak menemukan air” dalam firman Allah yang salah satunya berbunyi:

وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُوْرًا

Jika kamu sakit, sedang dalam perjalanan, salah seorang di antara kamu kembali dari tempat buang air, atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapati air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci). Usaplah wajah dan tanganmu (dengan debu itu). Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (QS. An-Nisa’ [4] :43)

Baca juga: Tetap Istiqamah di Era Disrupsi, Ini Tips dan Ganjarannya dalam Al-Qur’an

Imam Ibn Katsir tatkala mengulas redaksi “tidak mendapati air” menjelaskan, lewat ayat ini, banyak ahli fikih yang menggali hukum tentang bahwa orang yang hendak melakukan tayamum sebab ketiadaan air, harus terlebih dahulu berusaha mencari air. Baru apabila tidak menemukan air, ia boleh tayamum. Mengenai rincian ketentuan usaha mencari air, Ibn Katsir mendorong untuk mempelajarinya dalam kitab-kitab fikih  (Tafsir Ibn Katsir/2/318).

Baca juga: Benarkah Ahli Kitab Selalu Ingin Memurtadkan Orang Islam?

Imam Ar-Razi menjelaskan, menurut pendapat Imam As-Syafi’i, maksud tidak mendapati air adalah, tatkala sudah masuk waktu salat lalu kita berusaha mencari air ternyata kita tidak menemukan air, maka kita boleh tayamum lalu salat. Dan hal itu wajib dilakukan di setiap waktu salat. Sehingga apabila masuk waktu zuhur lalu bertayamum kemudian salat sebab sudah mencari air tapi tidak menemukannya, maka tatkala masuk waktu asar kita harus berusaha mencari air lagi sebelum bertayamum untuk salat asar. Hal ini berdasarkan ayat “tidak mendapati air” yang menunjukkan adanya usaha terlebih dahulu dalam mencarinya (Tafsir Mafatihul Ghaib/5/216).

Imam Al-Qurthubi menjelaskan, yang meyakini tidak wajib mencari air adalah Imam Syafi’i dan yang tampak dari Mazhab Malik. Sedang Imam Abu Hanifah meyakini sebaliknya. Dari dua pendapat ini, Imam Al-Qurthubi mensahihkan pendapat yang menyatakan wajibnya mencari air sebelum tayamum. Ia beralasan, selain sebab ayat di atas menunjukkan keharusan usaha mencari sebelum memutuskan ada atau tidaknya air, tayamum sendiri adalah cara alternatif bersuci sebagai pengganti wudhu. Sehingga sudah seharusnya perlu memastikan ketiadaan air terlebih dahulu yang kemudian berakibat tidak bisanya berwudhu (Tafsir Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an/5/229).

Pentingnya Mentelaah Lebih Lanjut Pendapat Abu Hanifah

Berbagai keterangan di atas menunjukkan bahwa seakan-akan Imam Abu Hanifah meyakini bahwa tatkala kita tidak menemukan air di sekitar kita, kita boleh tayamum dan tidak wajib mencarinya. Pemahaman ini pada kenyataannya kurang tepat. Sebab Abu Hanifah tidak meyakini tidak wajib mencari air secara mutlak. Imam An-Nawawi dalam kitab perbandingan mazhabnya menuturkan, menurut Abu Hanifah wajib mencari air apabila ia memiliki keyakinan kuat keberadaan air di dekatnya. Apabila tidak, maka tidak wajib (Al-Majmu’/2/253).

Syaikh Wahbah Az-Zuhaili menerangkan secara panjang lebar, bahwa sebenarnya tiap mazhab meyakini adanya kewajiban mencari air. Hanya saja, mereka memiliki istilah dan ukuran yang berbeda-beda terkait keharusan dan kondisi serta jarak tempuh yang harus dilalui dalam mencari air (Al-Fiqhu Al-Islami/1/572).

Baca juga: Kritik Angelika Neuwirth atas Pendekatan Revisionisme Wansbrough dalam Studi Al-Quran

Dari berbagai keterangan di atas kita dapat mengambil kesimpulan, kita tidak boleh tergesa-gesa dalam memutuskan ketiadaan air di sekitar kita sehingga kemudian boleh tayamum. Terlebih di zaman yang serba canggih, yang dalam memastikan keadaan sesuatu dapat dilakukan sebatas lewat gawai. Wallahu a’lam bish showab [].

Mengenal Makna Wadih ad-Dalalah dan Khafi ad-Dalalah dalam Al-Qur’an

0
Makna Wadih ad-Dalalah dan Khafi ad-Dalalah
Makna Wadih ad-Dalalah dan Khafi ad-Dalalah

Dalam pengantarnya, Syekh Abdul Wahab Khalaf mengatakan “Bunyi teks Al-Quran dan as-Sunnah adalah berbahasa Arab. Karena itu pemahaman hukum yang digali dari keduanya baru dianggap benar bila prosesnya mengikuti struktur dan tata bahasa Arab dengan baik dan benar.” Itu artinya tangga selanjutnya yang harus dinaiki seorang yang ingin mengakaji teks-teks keagamaan setelah keinginan keras, adalah mendalami struktur dan kesusastraan Arab. Karena memang suatu undang-undang hukum yang dibuat dalam sebuah bahasa, hanya dapat dipahami dengan kaidah-kaidah bahasa yang itu sendiri. Dengan begitu, tulisan ini akan mengulas terkait makna yang menyangkut kejelasan dan kesamarannya dalam lafal bahasa Arab yaitu makna wadih ad-dalalah dan khafi ad-dalalah.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Asal Usul Istilah Tayamum dan Pengertiannya Menurut Para Ulama

Pembagian-Pembagian Lafal

Di antara pokok kajian ulama dalam kesusastraan Arab adalah membincang lafal-lafal yang meliputi berbagai aspek-aspeknya. Secara umum lafal-lafal dapat dilihat dari empat aspek yang sama-sama memiliki kajian khusus. Pertama, aspek pembuatan lafal. Kedua, penggunaannya dalam makna. Ketiga, penunjukan lafal itu untuk suatu makna menyangkut kejelasan dan kesamarannya. Dan terakhir, cara penunjukannya kepada makna.

Namun dalam tulisan ini, penulis akan memulainya dari aspek yang ke tiga, yaitu penunjukan lafal untuk makna menyangkut kejelasan dan kesamarannya.

Baca juga Tetap Istiqamah di Era Disrupsi, Ini Tips dan Ganjarannya dalam Al-Qur’an

Wadih ad-Dalalah dan Khafi ad-Dalalah

Suatu lafal atau kalimat pada nyatanya ada yang mudah dipahami dan ada pula yang sulit. Keduanya populer dengan istilah Wadih ad-Dalalah (jelas) dan Khafi ad-Dalalah (samar). Dan masing-masing kategori terdiri dari empat bagian.

Wadih ad-Dalalah sendiri adalah lafal-lafal yang dapat dengan mudah dipahami makna dan maksudnya, tanpa membutuhkan faktor eksternal selain dari redaksinya itu sendiri. Hanya saja diantara lafal-lafal dalam kategori ini ada yang masih berpeluang di ta’wil serta di nasakh dan ada yang tidak berpeluang sama sekali sesuai tingkat kejelasan yang ditunjukkannya. Kaidahnya, semakin jelas makna yang ditunjukkan maka semakin kecil peluang di ta’wil dan di naskh. Secara hirarki pembagian Wadih ad-Dalalah adalah; Zhohir, Nash, Mufassar, dan Muhkam.

Zhohir adalah lafal atau rangkaian kalimat yang dapat dipahami maknanya semata-mata memahami bentuk redaksinya. Hanya saja ia bukan makna asli yang dimaksudkan sejak awal. Selain itu ia juga dapat di ta’wil dan di nasakh. Contohnya, Q.S. al-Baqarah [2] 275.

وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟

“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”

Makna Zhohir ayat ini adalah penghalalan akad jual beli dan pengharaman akad riba. Menurut teori di atas, makna ini bukanlah makna asli ayat itu. Sementara makna aslinya adalah bantahan Allah kepada kaum musyrik yang mengatakan riba itu sama dengan jual beli dengan menegaskan bahwa jual beli itu halal dan riba itu haram yang dipahami dari runtutan potongan ayat sebelumnya.

Baca juga: Tetap Istiqamah di Era Disrupsi, Ini Tips dan Ganjarannya dalam Al-Qur’an

Nash adalah lafal yang juga mudah dipahami maknanya semata melihat bentuk redaksi. Dan juga berpeluang untuk di ta’wil dan di naskh. Hanya saja ia berbeda dengan lafal Zhohir, dari segi bahwa makna Nash adalah makna asli, sementara Zhohir merupakan makna sisipan atau makna kedua. Contohnya juga tidak jauh berbeda dengan Zhohir. Untuk ayat di atas, makna Nash-nya adalah “pembedaan antara akad riba dengan akad jual beli”. Bukan “penghalalan jual beli dan pengharaman riba”.

Mufassar adalah lafal yang dapat dipahami maknanya semata-mata melihat bentuk redaksi. Karna jelasnya makna yang ditunjukkan sehingga ia tidak berpeluang untuk di ta’wil, namun masih bisa di naskh. Biasanya Mufassar ini muncul sebab sebelumnya dia masuk kategori lafal Mujmal (tidak jelas maksudnya). Kemudian dijelaskan oleh lafal lain sehingga ia menjadi lafal yang Mufassar. Contohnya, Q.S. al-Baqarah [2] 43.

وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَارْكَعُوْا مَعَ الرَّاكِعِيْنَ

“Dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang yang rukuk”

Lafal as-Shalah pada ayat di atas sebelum dijelaskan oleh Nabi saw. adalah lafal Mujmal, namun setelah Nabi bersabda “salatlah kalian sebagaimana kalian melihat saya salat” maka kata as-Shalah di atas menjadi lafal Mufassar. Karena telah ditafsiri atau dijelaskan oleh hadis Nabi ini.

Muhkam adalah lafal yang menunjuk pada suatu makna yang tidak mungkin dihapus, diganti, apalagi dipalingkan kepada makna lain, karena kejelasan dan kepatenan makna yang dikandung sebagai dasar-dasar agama atau pokok-pokok akhlak mulia. Seperti soal ketauhidan dan keimanan dsb. Contohnya, Q.S. al-Ikhlas [112] 1.

قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ

 “Katakanlah (Muhammad) Dialah Allah, Yang Maha Esa.”   

Ayat ini dan ayat yang serupa adalah contoh lafal Muhkam, karena makna yang dikandung telah paten dan kokoh menjadi dasar agama, sehingga tidak mungkin terjadi pemalingan, penggantian, dan pengahapusan makna yang ditujukkan oleh ayat itu. (Wahab Khalaf 142-148. Al-Wajiz 175-180). Wallahu a’alam[]

  1. Wadih dalalah

Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 113-116

0
Tafsir Surah As-Shaffat
Tafsir Surah As-Shaffat

Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 113-116 secara umum berbicara tentang kenikmatan yang Dia anugerahkan kepada para Nabi-Nya. Diantara Nabi dan Rasul yang mendapatkan karunia dari Allah yaitu Ibrahim, Ishaq, Ya’kub, Musa, dan Harun, mereka adalah utusan-utusan yang terpilih dan mendapatkan amanah berat dalam mensyiarkan agama Allah Swt.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 112


Ayat 113

Ayat ini menjelaskan bahwa keberkahan dan kesejahteraan hidup dunia dan akhirat dilimpahkan Allah kepada Ibrahim dan Ishak.

Dari keduanya lahir keturunan yang tersebar luas dan dari keturunan mereka banyak muncul para nabi dan rasul. Orang Islam disuruh agar selalu memohon kepada Tuhan setiap kali salat kiranya Ibrahim dan keluarganya diberi berkah dan kebahagiaan.

Dari anak cucu mereka yang menyebar luas di muka bumi, ada yang berbuat kebaikan dan ada pula yang zalim terhadap dirinya sendiri.

Mereka yang berbuat baik ialah mereka yang beriman kepada Allah, menjunjung tinggi perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya sesuai dengan petunjuk rasul-rasul-Nya.

Adapun mereka yang berbuat zalim terhadap dirinya ialah mereka yang mengingkari agama yang dibawa para rasul serta berbuat fasik dan kemaksiatan.

Ayat ini mengingatkan manusia bahwa dari keluarganya yang mulia dan terhormat, kemungkinan lahir turunan yang baik atau jelek.

Keturunan atau ras tidak memberikan jaminan untuk menjadi mulia atau hina bagi keturunan karena hal itu masih tergantung kepada usaha pendidikan dan pembinaan terhadap anak.

Ibrahim, Ishak, dan Yakub adalah orang-orang yang dinyatakan Allah telah mencapai tingkat kemuliaan. Firman Allah:

وَاذْكُرْ عِبٰدَنَآ اِبْرٰهِيْمَ وَاِسْحٰقَ وَيَعْقُوْبَ اُولِى الْاَيْدِيْ وَالْاَبْصَارِ

Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishak, dan Yakub yang mempunyai kekuatan-kekuatan yang besar dan ilmu-ilmu (yang tinggi). (Sad/38: 45).

Akan tetapi, keturunan Yakub yang disebut Bani Israil, baik dalam sejarah kuno maupun sejarah modern, banyak sekali mengalami penderitaan dan penghinaan.

Penyebabnya adalah karena mereka berbuat zalim terhadap diri mereka sendiri, durhaka terhadap leluhur mereka, dan meninggalkan petunjuk Allah dan para nabi.

Ayat 114

Allah menjelaskan bahwa Dia telah menganugerahkan kepada Musa dan Harun kenikmatan yang besar yakni kenabian dan kerasulan.

Mereka juga diberi kepercayaan untuk memikul tugas yang mulia yaitu memimpin Bani Israil dan membebaskan mereka dari perbudakan Fir’aun dan membawa kembali ke negeri asal mereka.

Tugas ini sangat berat. Jika bukan karena pertolongan Allah, tentu mereka mengalami kebinasaan.

Kisah Musa paling banyak disebutkan dalam Al-Qur’an. Sebagai seorang rasul, dia mempunyai banyak persamaan dengan Nabi Muhammad sebagaimana diterangkan Allah dalam Surah al-Muzzammil/73 ayat 15.


Baca Juga: Nabi Musa as yang Ringan Tangan dan Doa Ketika Lapar


Ayat 115-116

Pada ayat ini, Allah menjelaskan enam nikmat yang telah diberikan kepada Musa dan Harun. Nikmat-nikmat itu ialah:

Pertama, Musa, Harun, dan kaumnya diselamatkan dari bencana yang besar. Sejak lama, orang Israil hidup di Mesir di bawah kekuasaan Fir’aun.

Mereka disuruh melakukan pekerjaan yang berat dengan paksa dan diperlakukan sebagai budak belian.

Bahkan anak laki-laki mereka banyak yang dibunuh dan anak-anak perempuan dibiarkan hidup atas perintah dan ramalan dukun-dukun yang mengelilingi Fir’aun.

Hampir saja mereka mengalami kemusnahan, jika Musa dan Harun tidak datang menyelamatkan mereka.

Kedua, di samping tertolongnya mereka dari kejaran Fir’aun, bahkan Fir’aun tenggelam di dasar laut, Bani Israil berhasil pula mengalahkan musuh-musuh lainnya, dan merebut kembali negeri-negeri mereka.

Mereka kembali dapat mengumpulkan harta kekayaan yang mereka peroleh sepanjang hidup, menjadi bangsa yang kuat, serta memiliki kekuatan dan kekuasaan hingga memiliki negara yang besar seperti zaman raja T±lµt dan Daud. Firman Allah:

فَهَزَمُوْهُمْ بِاِذْنِ اللّٰهِ  ۗوَقَتَلَ دَاوٗدُ جَالُوْتَ وَاٰتٰىهُ اللّٰهُ الْمُلْكَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَهٗ مِمَّا يَشَاۤءُ

Maka mereka mengalahkannya dengan izin Allah, dan Daud membunuh Jalut. Kemudian Allah memberinya (Daud) kerajaan, dan hikmah, dan mengajarinya apa yang Dia kehendaki…. (al-Baqarah/2: 251)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah As-Shaffat 117-124


Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 112

0
Tafsir Surah As-Shaffat
Tafsir Surah As-Shaffat

Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 112 secara umum menceritakan kisah Nabi Ibrahim dan keturunannya, termasuk pendapat para ulama terkait alasan kenapa Isma’il yang terpilih pada peristiwa penyembelihan, bukan Ishaq.

Penjelasan ini diangkat dalam Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 112 karena beberapa isi dalam al-Kitab dinilai telah dirubah dari redaksi asalnya, bahwa Ishaq-lah sosok yang disembelih pada peristiwa itu, bukan Isma’il. Untuk menyikapinya, maka berikut akan dihadirkan penjelasan kuat para ulama berkaitan terpilihnya isma’il pada peristiwa ‘kurban’.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 106-111


Ayat 112

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah telah menyampaikan berita gembira kepada Ibrahim tentang akan lahirnya seorang putera dari istrinya yang pertama, Sarah.

Berita ini disampaikan oleh malaikat, yang menyamar sebagai manusia, ketika bertamu ke rumahnya padahal ketika itu Sarah sudah tua. Firman Allah:

فَاَوْجَسَ مِنْهُمْ خِيْفَةً  ۗقَالُوْا لَا تَخَفْۗ وَبَشَّرُوْهُ بِغُلٰمٍ عَلِيْمٍ   ٢٨  فَاَقْبَلَتِ امْرَاَتُهٗ فِيْ صَرَّةٍ فَصَكَّتْ وَجْهَهَا وَقَالَتْ عَجُوْزٌ عَقِيْمٌ   ٢٩  قَالُوْا كَذٰلِكِۙ قَالَ رَبُّكِ ۗاِنَّهٗ هُوَ الْحَكِيْمُ الْعَلِيْمُ  ۔  ٣٠

Maka dia (Ibrahim) merasa takut terhadap mereka. Mereka berkata, “Janganlah kamu takut,” dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang alim (Ishak). Kemudian istrinya datang memekik (tercengang) lalu menepuk wajahnya sendiri seraya berkata, “(Aku ini) seorang perempuan tua yang mandul.” Mereka berkata, “Demikianlah Tuhanmu berfirman. Sungguh, Dialah Yang Mahabijaksana, Maha Mengetahui.” (az-Zariyat/51: 28-30).

Malaikat juga memberitahukan bahwa Ishak itu adalah seorang nabi dan darinya akan diturunkan Yakub yang juga seorang nabi.

Keduanya adalah termasuk hamba-hamba Allah yang saleh, orang yang suka berbuat kebajikan, dan membawa kemaslahatan kepada umatnya.

Mengenai berita kelahiran Ishak ini, diberitakan Allah juga dalam surah-surah lain seperti dalam Surah Hud/11: 69-73, Surah Maryam/19: 49 dan Surah al-Anbiya’/21: 72.

Di kalangan ulama tafsir terdapat pendapat bahwa Ishaklah yang akan disembelih oleh Ibrahim untuk memenuhi perintah Tuhan, bukan kakaknya Ismail. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengutip keterangan al-Bagawi menyatakan bahwa Umar, Ali, Ibnu Mas’ud dan al-‘Abbas (Ibnu ‘Abbas) berpendapat Ishaklah yang akan dijadikan korban itu. Sumber pendapat demikian ini adalah dari orang Yahudi yang masuk agama Islam.

Menurut Ibnu Katsir, semua pendapat yang mengatakan bahwa Ishak yang akan disembelih bersumber dari Ka’b al-Akhbar.

Dia seorang Yahudi yang masuk Islam pada zaman Khalifah Umar, dan membacakan isi kitab Taurat itu kepada Umar.

Berbicara masalah perbedaan pendapat tentang sembelihan ini, Ibnu al-Qayy³m dalam kitabnya Zadul Ma’ad mengatakan bahwa pendapat yang benar menurut ulama-ulama sahabat, para tabi’in, dan ulama-ulama kemudian, Ismaillah yang menjadi sembelihan Ibrahim.

Pendapat yang mengatakan sembelihan itu Ishak sangat salah dipandang dari pelbagai segi. Ibnu Taimiyah, sebagaimana dikutip Ibnu al-Qayyim, berkata, “Pendapat tersebut dilancarkan oleh Ahli Kitab, padahal ia bertentangan dengan isi kitab sendiri.”

Dalam kitab Taurat dikatakan bahwasanya Allah memerintahkan Ibrahim menyembelih anaknya yang pertama lahir. Baik orang Islam maupun Ahli Kitab sepakat bahwa putera yang pertama kali lahir adalah Ismail.

Akan tetapi kemudian, mereka melakukan pemutarbalikan isi Taurat dengan mencantumkan kata-kata: Sembelihlah anakmu Ishak.

Menurut Ibnu Taimiyah, “Itulah tambahan hasil pemutarbalikkan orang Yahudi, karena tambahan itu bertentangan dengan kata-kata anak pertama, satu-satunya kedengkian mereka kepada keturunan Ismail yang memperoleh kemuliaan, menyebabkan mereka melakukan pemalsuan isi kitab ini.”


Baca Juga: Surah Al-Maidah [5] Ayat 5: Hukum Hewan Sembelihan non-muslim, halalkah?


Alasan kedua yang dikemukakan Ibnu Taimiyah didasarkan pada keterangan Al-Qur’an:

فَبَشَّرْنٰهَا بِاِسْحٰقَۙ وَمِنْ وَّرَاۤءِ اِسْحٰقَ يَعْقُوْبَ

Maka Kami sampaikan kepadanya kabar gembira tentang (kelahiran) Ishak dan setelah Ishak (akan lahir) Yakub. (Hud/11: 71).

Allah mengabarkan kepada Sarah akan kelahiran Ishak, yang akan menurunkan anak yang bernama Yakub. Maka tidaklah mungkin Allah menyampaikan kelahiran Ishak lalu memerintahkan menyembelihnya padahal telah dinyatakan darinya akan diturunkan Yakub.

Bagaimana mungkin Yakub lahir ke dunia kalau bapaknya dijadikan sembelihan, padahal dia dijanjikan akan lahir dari keturunan Ishak? Jadi kalau demikian bukanlah Ishak yang dijadikan sembelihan tetapi Ismail.

Alasan ketiga Ibnu Taimiyah menunjuk berita Ibrahim dan anaknya dalam Surah ash-Shaffat ini. Dalam ayat 103-111 diceritakan ketika Ibrahim akan menyembelih anaknya untuk melaksanakan perintah Allah, lalu datang suara menegurnya dari belakang, yang menyeru bahwa Ibrahim dengan tindakannya itu dipandang sudah melaksanakan perintah Allah. Atas ketaatannya yang tulus itu, Ibrahim memperoleh pahala dan pujian dari Allah.

Sesudah peristiwa itu, Allah lalu memberitahu Ibrahim tentang kelahiran Ishak, sebagai ganjaran Allah atas kesabaran dan ketaatannya. Dengan demikian, tentu bukan Ishak yang akan disembelih, karena dia belum lahir.

Alasan keempat: bahwa peristiwa Ibrahim akan menyembelih anaknya itu terjadi di dekat Mekah, tidak ada yang meragukan. Oleh karena itu, ibadah kurban diadakan pada hari raya haji. Juga sa’i antara Safa dan Marwah serta melempar jumrah dalam ibadah haji merupakan kenangan pada peristiwa yang menimpa Ismail dan ibunya.

Seperti diketahui, Ismail dan ibunya tinggal di Mekah. Waktu dan tempat ibadah kurban selalu dihubungkan dengan Baitulharam. Jika sekiranya Ishak yang akan dijadikan sembelihan, tentulah upacara ibadah kurban diadakan di tempat dimana Ishak tinggal  (Syam), tidak di Mekah.

Demikianlah beberapa alasan yang dikemukakan Ibnu Taimiyah untuk membantah pendapat yang mengatakan bahwa Ishak yang menjadi sembelihan itu. (Lihat juga keterangan yang terdapat dalam kosakata Ibrahim dan Ismail)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah As-Shaffat 113-116


Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 106-111

0
Tafsir Surah As-Shaffat
Tafsir Surah As-Shaffat

Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 106-111 berbicara tentang peristiwa ‘kurban’ yang dialami Ibrahim adalah ujian dari Allah, sekaligus menandaskan bahwa siapapun bisa saja mengalami ujian dari-Nya. Maka, beruntuglah mereka yang berhasil melewati ujian itu dengan perasaan ikhlas, tulus, sabar, dan menerima ketentuan-ketentuan dari Allah Swt.

Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 106-111 juga berbicara tentang sosok Ibrahim yang sangat dimuliakan oleh semua agama samawi, bahkan kaum musyrik di Mekkah juga memuliakan Ibrahim, dan tidak sedikit dari mereka yang mengakui bahwa agama yang mereka anut berasal dari agama Ibrahim.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 100-105


Ayat 106-107

Pada ayat ini ditegaskan bahwa apa yang dialami Ibrahim dan puteranya itu merupakan batu ujian yang amat berat.

Memang hak Allah untuk menguji hamba yang dikehendaki-Nya dengan bentuk ujian yang dipilih-Nya berupa beban dan kewajiban yang berat.

Bila ujian itu telah ditetapkan, tidak seorang pun yang dapat menolak dan menghindarinya.

Di balik cobaan-cobaan yang berat itu, tentu terdapat hikmah dan rahasia yang tidak terjangkau oleh pikiran manusia.

Ismail yang semula dijadikan kurban untuk menguji ketaatan Ibrahim, diganti Allah dengan seekor domba besar yang putih bersih dan tidak ada cacatnya.

Peristiwa penyembelihan kambing oleh Nabi Ibrahim ini yang menjadi dasar ibadah kurban untuk mendekatkan diri kepada Allah, dilanjutkan oleh syariat Nabi Muhammad.

Ibadah kurban ini dilaksanakan pada hari raya haji/raya kurban atau pada hari-hari tasyriq, yakni tiga hari berturut-turut sesudah hari raya kurban, tanggal 11, 12, 13 Zulhijah.

Hewan kurban terdiri dari binatang-binatang ternak seperti unta, sapi, kerbau, dan kambing. Diisyaratkan binatang kurban itu tidak cacat badannya, tidak sakit, dan cukup umur.

Menyembelih binatang untuk kurban ini hukumnya sunnah muakkadah(sunah yang ditekankan).

Firman Allah:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Maka laksanakanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah). (al-Kautsar/108: 2).

Dengan disyariatkannya ibadah kurban dalam agama Islam, maka peristiwa Ibrahim menyembelih anaknya akan tetap dikenang selama-lamanya dan diikuti oleh umatnya. Ibadah kurban juga menyemarakkan agama Islam karena daging-daging kurban itu dibagi-bagikan kepada masyarakat terutama kepada fakir miskin.


Baca Juga: Kisah Rencana Penyembelihan Nabi Ismail dan Asal-Usul Ibadah Kurban


Ayat 108-111

Ayat-ayat ini menerangkan bahwa umat manusia dari berbagai agama (samawi) dan golongan mencintai Nabi Ibrahim sepanjang masa.

Penganut agama Yahudi, Nasrani, dan Islam menghormatinya dan memuji namanya, bahkan kaum musyrik Arab mengakui bahwa agama mereka juga mengikuti agama Islam (Ibrahim).

Demikianlah Allah memenuhi permohonan Nabi Ibrahim ketika berdoa:

وَاجْعَلْ لِّيْ لِسَانَ صِدْقٍ فِى الْاٰخِرِيْنَ ۙ   ٨٤  وَاجْعَلْنِيْ مِنْ وَّرَثَةِ جَنَّةِ النَّعِيْمِ ۙ  ٨٥

Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian, dan jadikanlah aku termasuk orang yang mewarisi surga yang penuh kenikmatan. (asy-Syu’ara’/26: 84-85).

Kemudian Allah memberikan penghargaan kepada Ibrahim bahwa Dia memberikan salam sejahtera kepadanya. Salam sejahtera untuk Ibrahim ini terus hidup di tengah-tengah umat manusia bahkan juga di kalangan malaikat.

Dengan demikian, ada tiga pahala yang telah dianugerahkan Allah kepadanya, yaitu seekor kambing besar yang didatangkan kepadanya sebagai ganti dari anaknya, pengabadian yang memberi keharuman namanya sepanjang masa, dan ucapan salam sejahtera dari Tuhan dan manusia.

Begitulah Allah memberikan ganjaran kepada hamba-hamba-Nya yang berbuat kebaikan. Semua ganjaran itu sebagai imbalan ketaatannya melaksanakan perintah Allah.

Ibrahim mencapai prestasi yang tinggi itu karena dorongan iman yang kuat dan keikhlasan ibadahnya kepada Allah sehingga dia termasuk hamba-hamba-Nya yang beriman.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah As-Shaffat 112


Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 100-105

0
Tafsir Surah As-Shaffat
Tafsir Surah As-Shaffat

Setelah Ibrahim diselamatkan oleh Allah dari kobaran api, Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 100-105 mengisahkan perantauan Ibrahim yang menuntunnya memiliki keluarga serta keturunan yang saleh lagi taat kepada Allah Swt. Diantara bukti ketaatan itu ditunjukkan pada saat peristiwa ‘kurban’, dimana Ibrahim diperintahkan oleh Allah Swt. untuk menyembelih anaknya, yaitu Isma’il, sebagai kurban dihadapan-Nya. Tentu ada pesan tersembunyi dibalik perisitiwa ini, simak kisahnya berikut.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 91-99


Ayat 100-101

Ayat ini mengisahkan bahwa Nabi Ibrahim dalam perantauan memohon kepada Tuhan agar dianugerahi seorang anak yang saleh dan taat serta dapat menolongnya dalam menyampaikan dakwah dan mendampinginya dalam perjalanan dan menjadi kawan dalam kesepian.

Kehadiran anak itu sebagai pengganti dari keluarga dan kaumnya yang ditinggalkannya. Permohonan Nabi Ibrahim ini diperkenankan oleh Allah. Kepadanya disampaikan berita gembira bahwa Allah akan menganugerahkan kepadanya seorang anak laki-laki yang punya sifat sangat sabar.

Sifat sabar itu muncul pada waktu balig. Karena pada masa kanak-kanak sedikit sekali didapati sifat-sifat seperti sabar, tabah, dan lapang dada.

Anak remaja itu ialah Ismail, anak laki-laki pertama dari Ibrahim, ibunya bernama Hajar istri kedua dari Ibrahim. Putera kedua ialah Ishak, lahir kemudian sesudah Ismail dari istri pertama Ibrahim yaitu Sarah.


Baca Juga: Kisah Nabi Ismail, Siti Hajar dan Asal Usul Air Zamzam


Ayat 102

Kemudian ayat ini menerangkan ujian yang berat bagi Ibrahim. Allah memerintahkan kepadanya agar menyembelih anak satu-satunya sebagai korban di sisi Allah.

Ketika itu, Ismail mendekati masa balig atau remaja, suatu tingkatan umur sewaktu anak dapat membantu pekerjaan orang tuanya. Menurut al-Farra’, usia Ismail pada saat itu 13 tahun. Ibrahim dengan hati yang sedih memberitahukan kepada Ismail tentang perintah Tuhan yang disampaikan kepadanya melalui mimpi.

Dia meminta pendapat anaknya mengenai perintah itu. Perintah Tuhan itu berkenaan dengan penyembelihan diri anaknya sendiri, yang merupakan cobaan yang besar bagi orang tua dan anak.

Sesudah mendengarkan perintah Tuhan itu, Ismail dengan segala kerendahan hati berkata kepada ayahnya agar melaksanakan segala apa yang diperintahkan kepadanya.

Dia akan taat, rela, dan ikhlas menerima ketentuan Tuhan serta menjunjung tinggi segala perintah-Nya dan pasrah kepada-Nya.

Ismail yang masih sangat muda itu mengatakan kepada orang tuanya bahwa dia tidak akan gentar menghadapi cobaan itu, tidak akan ragu menerima qada dan qadar Tuhan.

Dia dengan tabah dan sabar akan menahan derita penyembelihan itu. Sikap Ismail sangat dipuji oleh Allah dalam firman-Nya:

وَاذْكُرْ فِى الْكِتٰبِ اِسْمٰعِيْلَ ۖاِنَّهٗ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُوْلًا نَّبِيًّا

Dan ceritakanlah (Muhammad), kisah Ismail di dalam Kitab (Al-Qur’an). Dia benar-benar seorang yang benar janjinya, seorang rasul dan nabi. (Maryam/19: 54)

Ayat 103-105

Tatkala keduanya sudah pasrah kepada Tuhan dan tunduk atas segala kehendak-Nya, kemudian Ismail berlutut dan menelungkupkan mukanya ke tanah sehingga Ibrahim tidak melihat lagi wajah anaknya itu. Ismail sengaja melakukan hal itu agar ayahnya tidak melihat wajahnya.

Dengan demikian Nabi Ibrahim bisa dengan cepat menyelesaikan pekerjaannya.  Nabi Ibrahim mulai menghunus pisaunya untuk menyembelihnya.

Pada waktu itu, datanglah suara malaikat dari belakangnya, yang diutus kepada Ibrahim, mengatakan bahwa tujuan perintah Allah melalui mimpi itu sudah terlaksana dengan ditelungkupkannya Ismail untuk disembelih.

Tindakan Ibrahim itu merupakan ketaatan yang tulus ikhlas kepada perintah dan ketentuan Allah. Sesudah malaikat menyampaikan wahyu itu, maka keduanya bergembira dan mengucapkan syukur kepada Allah yang menganugerahkan kenikmatan dan kekuatan jiwa untuk menghadapi ujian yang berat itu.

Kepada keduanya Allah memberikan pahala dan ganjaran yang setimpal karena telah menunjukkan ketaatan yang tulus ikhlas. Mereka dapat mengatasi perasaan kebapakan semata-mata untuk menjunjung perintah Allah.

Menurut riwayat Ahmad dari Ibnu ‘Abbas, tatkala Ibrahim diperintahkan untuk melakukan ibadah sa’i, datanglah setan menggoda. Setan mencoba berlomba dengannya, tetapi Ibrahim berhasil mendahuluinya sampai ke Jumrah Aqabah.

Setan menggodanya lagi, tetapi Ibrahim melemparinya dengan batu tujuh kali hingga dia lari.

Pada waktu jumratul wustha datang lagi setan menggodanya, tetapi dilempari oleh Ibrahim tujuh kali. Kemudian Ibrahim menyuruh anaknya menelungkupkan mukanya untuk segera disembelih. Ismail waktu itu sedang mengenakan baju gamis (panjang) putih.

Dia berkata kepada bapaknya, “Wahai bapakku, tidak ada kain untuk mengafaniku kecuali baju gamisku ini, maka lepaskanlah supaya kamu dengan gamisku dapat mengafaniku.”

Maka Ibrahim mulai menanggalkan baju gamis itu, tapi pada saat itulah ada suara di belakang menyerunya, “Hai Ibrahim, kamu sudah melaksanakan dengan jujur mimpimu.” Ibrahim segera berpaling, tiba-tiba seekor domba putih ada di hadapannya.

 (Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah As-Shaffat 106-111


Membuka Kembali Perdebatan Klasik Tentang “Apa Itu Al-Qur’an?”

0
Mendiskusikan Kembali Perdebatan Klasik Tentang “Apa Itu Al-Qur’an?”
Mendiskusikan Kembali Perdebatan Klasik Tentang “Apa Itu Al-Qur’an?”

Bahasan tentang “apa itu Al-Qur’an?” masih berada dalam wilayah perbedaan pendapat. Setiap gagasan pengertian Al-Qur’an yang ada merupakan implikasi dari bagaimana konsep penurunan wahyu yang dipahami. Gagasan pengertian ini juga pada perkembangannya menimbulkan konsekuensi-konsekuensi tertentu terhadap pemahaman.

Pengertian yang selama ini dipahami misalnya bahwa Al-Qur’an merupakan kalamullah (firman Allah) yang diturunkan dari Lauh al-Mahfudz ke falak as-sama’ (langit dunia) dalam satu waktu pada malam lailatul qadr. Terdapat juga pendapat bahwa Al-Qur’an diturunkan dari Lauh al-Mahfudz langsung ke benak hati dan pikiran Nabi. Penurunan Al-Qur’an kepada Nabi melalui falak as-sama’ atau tidak ini merupakan perdebatan yang belum selesai.

Baca juga: Asal Usul Kata al-Qur’an dan Definisinya Menurut Para Ulama

Konsekuensi pemahaman yang kemudian muncul terkait dengan definisi ini adalah adanya perbedaan tentang kalamullah yang bi laa shaut wa harf (tanpa suara dan huruf) ini dengan kalamullah yang berbahasa Arab, ditulis dengan huruf, dan oleh kebanyakan orang disebut dengan mushaf.

Pengertian yang kedua tersebut menyalahi keyakinan selama ini bahwa Tuhan sebagai pemilik teks memiliki sifat mukhalafatu li al-hawaditsi (berbeda dengan makhluk) dan laisa kamitslihi syai’ (tidak ada yang semisalnya). Pertanyaan yang muncul juga berkisar pada apakah makna dan lafadznya dari Tuhan ataukah maknanya dari Tuhan dan lafadznya dari Nabi?

Terkait dengan ini, M. Syahrur dalam al-Qur’an wa al-Kitab memahami proses turunnya Al-Qur’an diawali dengan proses al-inzal yakni perpindahan objek dari wilayah yang tidak dapat diketahui menuju wilayah yang dapat diketahui.

Maksud dari proses ini adalah perpindahan atau proses penampakan al-Qur’an sebagai kalamullah yang bi laa shaut wa harf ke langit dunia. Proses tersebut terjadi secara sempurna pada lailat al-qadr (QS. Al-Qadr). Proses al-inzal ini terjadi bersamaan sekaligus dengan adanya proses al-ja’l.

Al-ja’l merupakan transformasi wujud dari wujud primordial Al-Qur’an berubah ke bentuk yang dapat diserap oleh pengetahuan manusia secara relatif. Dalam hal ini, pengertiannya adalah bahwa Al-Qur’an yang berwujud primordial ditransformasikan menjadi bahasa Arab. Kedua proses tersebut terjadi secara bersamaan.

Baca juga: Catatan Kritis Mun’im Sirry terhadap Sumber tentang Kanonisasi Al-Qur’an

Proses selanjutnya adalah proses al-tanzil yang merupakan proses perpindahan objek secara material dan berlangsung di luar kesadaran manusia seperti halnya transmisi gelombang. Proses al-tanzil ini disampaikan melalui Jibril kepada Nabi Muhammad dan berlangsung selama rentang waktu 23 tahun.

Melalui pemahaman Syahrur ini, masalah pembedaan antara معنى من الله و لفظ من النبي (makna dari Allah dan lafaz dari Nabi) dan معنى و لفظ من الله (makna dan lafaz dari Allah) menjadi runtuh. Pada kesimpulannya, proses bagaimana kalamullah bisa sampai pada wujud mushaf yang sekarang ini begitu kompleks untuk dipahami.

Setiap gagasan tentang bagaimana proses penurunan Al-Qur’an ini memiliki implikasi terhadap bagaimana seseorang memahami apa itu Al-Qur’an. Persoalannya pun tidak berhenti di sini. Ketika ayat-ayat Al-Qur’an telah dihafalkan oleh para sahabat kemudian dikodifikasi dan dikenal dengan Al-Qur’an mushaf Usmani ini pun kemudian masih memunculkan perdebatan.

Mun’im Sirry dalam Kontroversi Islam Awal (2015) memaparkan bagaimana proses pengumpulan dan kodifikasi Al-Qur’an itu tidak “hitam-putih”. Dipaparkan ada berbagai riwayat yang berbeda dan sulit untuk direkonsiliasi terkait siapa yang memiliki inisiatif dalam pengumpulan Al-Qur’an dan juga yang menuliskannya.

Disebutkan juga bagaimana kelompok Syi’ah seringkali dituduh menyebarkan anggapan bahwa ada kekurangan redaksi dalam al-Qur’an yang kita baca, yaitu versi Usmani. Sedangkan di sisi lain, literatur Sunni sendiri malah banyak meriwayatkan adanya ayat yang hilang atau bahkan ada yang berbeda pada beberapa surah Al-Qur’an.

Hilangnya atau berubahnya surah Al-Bayyinah, surah Al-Ahzab, bahkan terdapat riwayat dari Hudzaifah bin Yaman yang menyebutkan bahwa surah Al-Bara’ah yang dibaca saat ini hanya memuat 1/3 atau 1/4 dari yang dibaca Nabi dahulu.

Terlepas dari segala kontroversi tersebut, tercakup hikmah bagi penghafal Al-Qur’an untuk tidak merasa berbangga diri atas hafalannya terhadap Al-Qur’an karena pada esensinya, keutamaan amal yang tertinggi bukan pada hafalannya namun pada pengamalannya. Wallahu a’lam,

Baca juga: Makna Qur’an yang Plural dan Kontradiktif, Makna Awal Qur’an yang Terlupakan

Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 91-99

0
Tafsir Surah As-Shaffat
Tafsir Surah As-Shaffat

Melanjutkan tafsir sebelumnya, Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 91-99 menceritakan bagaimana keberhasilan Ibrahim meruntuhkan argumen kaumnya, akan tetapi, bukannya beriman dan membenarkan kebenaran yang dibawa Ibrahim, mereka justru menutup hati dan menghukum Ibrahim atas kelancangannya menggugat keyakinan yang sudah lama mereka anut.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 88-90


Ayat 91-94

Sesudah kaumnya pergi, Ibrahim diam-diam menuju tempat patung-patung itu, lalu berkata dengan maksud mengejek, “Mengapa patung-patung itu tidak memakan makanan yang dihidangkan di hadapannya.” Sesajen itu disuguhkan oleh para penyembahnya pada hari-hari tertentu untuk mengharapkan berkah.

Tentu saja patung-patung itu tidak berkata apa-apa. Akan tetapi, Ibrahim bertanya lagi, “Mengapa patung-patung itu tidak menjawab pertanyaanku?”

Kemudian patung-patung itu dipukulnya dengan keras sampai hancur kecuali sebuah patung yang paling besar. Peristiwa ini menimbulkan kemarahan kaumnya.

Lalu mereka mencari pelakunya dan memperoleh keterangan bahwa Ibrahimlah yang memecahkan patung-patung itu.

Mereka cepat-cepat menemui Ibrahim dan menanyakan kepadanya, apakah benar dia memecahkan patung-patung itu. Ibrahim mengelak dari pertanyaan itu dan mengatakan bahwa patung yang besar itulah yang memecahkannya.

Setelah mendengar ucapan Ibrahim, kaumnya menundukkan kepala dan merenungkan diri masing-masing. Tidak ada yang dapat mereka perbuat terhadap patung besar itu, yang selama ini mereka sembah.


Baca Juga: Kisah Nabi Ibrahim Mencari Tuhan Melalui Matahari dalam Al-Quran


Ayat 95-99

Sesudah melihat keadaan kaumnya tertegun menundukkan kepala, Nabi Ibrahim lalu berkata lagi kepada mereka bahwa tidak patut mereka menyembah patung-patung yang mereka pahat dengan tangannya sendiri.

Mereka mestinya bersyukur bahwa dari kalangan mereka sendiri, lahir seorang yang punya akal pikiran, yang mencegah penyembahan patung-patung itu.

Nabi Ibrahim menegaskan lagi bahwa yang patut disembah hanyalah Allah yang menciptakan mereka dan patung-patung sesembahan mereka itu. Tuhan Maha Pencipta lebih berhak disembah daripada makhluk-Nya. Firman Allah:

قَالَ اَفَتَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ مَا لَا يَنْفَعُكُمْ شَيْـًٔا وَّلَا يَضُرُّكُمْ ۗ  ٦٦  اُفٍّ لَّكُمْ وَلِمَا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ ۗاَفَلَا تَعْقِلُوْنَ   ٦٧

Dia (Ibrahim) berkata, “Mengapa kamu menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikit pun, dan tidak (pula) mendatangkan mudarat kepada kamu? Celakalah kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah! Tidakkah kamu mengerti?” (al-Anbiya’/21: 66-67).

Alasan yang disampaikan Nabi Ibrahim tidak dapat mereka bantah dengan alasan pula, sehingga mereka menempuh cara kekerasan menantang Ibrahim. Mereka merencanakan membunuh Ibrahim.

Lalu didirikanlah sebuah bangunan untuk dijadikan tempat pembakaran Nabi Ibrahim. Ketika bangunan itu telah selesai dan apinya telah dinyalakan, lalu Nabi Ibrahim dilemparkan ke dalamnya. Firman Allah:

قَالُوْا حَرِّقُوْهُ وَانْصُرُوْٓا اٰلِهَتَكُمْ اِنْ كُنْتُمْ فٰعِلِيْنَ

Mereka berkata, “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak berbuat.” (al-Anbiya’/21: 68).

Kaum Ibrahim benar-benar menghendaki ia binasa dan hangus terbakar dalam unggun api itu.

Akan tetapi, Allah berkehendak menyelamatkan dia dari kebinasaan dengan memerintahkan kepada api supaya tidak membakar Ibrahim, sebagaimana firman-Nya:

قُلْنَا يَا نَارُ كُوْنِيْ بَرْدًا وَّسَلٰمًا عَلٰٓى اِبْرٰهِيْمَ

Kami (Allah) berfirman, “Wahai api! Jadilah kamu dingin, dan penyelamat bagi Ibrahim!” (al-Anbiya’/21: 69).

Dengan demikian, Nabi Ibrahim selamat dari unggun api, dan mendapat kemenangan atas orang kafir.

Sesudah beliau tidak melihat lagi tanda-tanda kesediaan kaumnya untuk beriman, maka beliau bermaksud untuk meninggalkan mereka, hijrah dari kampung halaman.

Barangkali di tempat yang baru itu, beliau dapat beribadah kepada Tuhan tanpa gangguan dari kaum yang ingkar, dan dapat mengembangkan agama dengan taufik dan hidayah Allah. Adapun negeri yang beliau tuju ialah Baitulmakdis.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah As-Shaffat 100-105


Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 88-90

0
Tafsir Surah As-Shaffat
Tafsir Surah As-Shaffat

Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 88-90 berbicara tentang kisah Nabi Ibrahim ketika menentang kepercayaan kaumnya yang menyembah berhala sebagai tuhan. Ibrahim dengan berani menghancurkan berhala-berhala tersebut yang membuatnya diadili oleh kaumnya sendiri. Namun, kecerdasan Ibrahim berhasil meruntuhkan keyakinan kaumnya, dan mematahkan argumen mereka yang keukeuh ingin membela berhala-berhala itu.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 80-87


Ayat 88-90

Kemudian Ibrahim melayangkan pandangannya ke bintang-bintang dengan berpikir secara mendalam bagaimana menghadapi kaumnya yang tetap bersikeras untuk menyembah patung, hanya dengan alasan mempertahankan warisan nenek moyang.

Padahal, beliau sudah memberikan peringatan dan pengajaran kepada mereka, sebagaimana firman Allah:

اِذْ قَالَ لِاَبِيْهِ وَقَوْمِهٖ مَا هٰذِهِ التَّمَاثِيْلُ الَّتِيْٓ اَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُوْنَ   ٥٢  قَالُوْا وَجَدْنَآ اٰبَاۤءَنَا لَهَا عٰبِدِيْنَ   ٥٣

(Ingatlah), ketika dia (Ibrahim) berkata kepada ayahnya dan kaumnya, “Patung-patung apakah ini yang kamu tekun menyembahnya?” Mereka menjawab, “Kami mendapati nenek moyang kami menyembahnya.” (al-Anbiya’/21: 52-53).

Sesudah berpikir dan mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh, beliau memutuskan untuk mengambil tindakan yang bahaya, yaitu menghancurkan semua patung sembahan itu.

Pada suatu saat, kaum Ibrahim datang untuk mengundangnya guna menghadiri hari besar mereka.

Beliau menolak ajakan mereka secara halus dengan alasan kesehatannya terganggu. Selain untuk menghindari hadir dalam hari besar mereka, Nabi Ibrahim bermaksud melaksanakan rencananya untuk menghancurkan patung-patung, dan menyatakan perlawanan secara terbuka terhadap pemuja patung-patung itu.

Kaumnya tidak mengetahui rencana Nabi Ibrahim itu dan tidak pula mencurigainya. Juga tidak tampak pada sikapnya bahwa dia tidak jujur dalam perkataannya.

Dengan demikian, upacara hari besar mereka berlangsung tanpa hadirnya Ibrahim. Alasan terganggu kesehatannya untuk tidak menghadiri undangan kaumnya, padahal sebenarnya dia tidak sakit, tidaklah dipandang dusta yang terlarang dalam agama.

Bahwa Ibrahim membohongi kaumnya memang benar. Rasulullah bersabda:

لَمْ يَكْذِبْ إِبْرَاهِيْمُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ غَيْرُ ثَلاَثِ كَذِبَاتٍ: اِثْنَتَيْنِ فِي ذَاتِ اللهِ تَعَالَى قَوْلُهُ إِنِّي سَقِيْمٌ وَقَوْلُهُ بَلْ فَعَلَهُ كَبِيْرُهُمْ هٰذَا وَقَوْلُهُ فِي سَارَةَ هِيَ أُخْتِيْ. (رواه أحمد والشيخان عن أبي هريرة)

Nabi Ibrahim tidak berbohong kecuali tiga perkataan, dua di antaranya tentang zat Allah, yaitu kata-katanya “Saya sedang sakit” dan “sebenarnya yang besar ini yang memecahkannya”, dan kata-katanya mengenai istrinya Sarah “ini saudaraku”. (Riwayat Ahmad dan asy-Syaikhani dari Abu Hurairah).


Baca Juga: Pesan di Balik Doa Nabi Ibrahim dalam Surah Asy-Syu’ara Ayat 83-89


Kata-kata Nabi Ibrahim bahwa kesehatannya terganggu yang diucapkan di hadapan kaumnya sebenarnya untuk menghindari kehadirannya pada upacara hari besar kaumnya.

Ibrahim berkata, “Sesungguhnya kami dan bapak-bapakku berada dalam kesesatan yang nyata”.

Mereka menjawab, “Apakah kamu datang kepada kami dengan sungguh-sungguh ataukah kamu termasuk orang-orang yang bermain-main?”

Ibrahim berkata, “Sebenarnya Tuhan kamu adalah Tuhan langit dan bumi yang telah Dia ciptakan dan aku termasuk orang-orang yang dapat memberikan bukti atas yang demikian itu. Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya.”

Dalam perayaan hari besar itu, Nabi Ibrahim mempergunakan kesempatan untuk menghancurkan patung-patung kaumnya.

Kata-kata Ibrahim bahwa patung yang paling besar ini yang memecahkannya, diucapkan sewaktu dia diperiksa oleh kaumnya tentang perkara penghancuran patung.

Sebenarnya dia sendiri yang memecahkan patung itu, tetapi dikatakan patung yang paling besarlah yang menghancurkannya, padahal kaumnya menyadari bahwa patung-patung itu tidak dapat berbuat apa-apa.

Kedua ucapan Ibrahim diucapkan dalam rangka perjuangannya menegakkan kalimat tauhid. Adapun ucapan yang ketiga, yaitu “Sarah itu saudaraku” padahal sebenarnya istrinya, diucapkan di hadapan raja ketika raja menginginkan Sarah.

Dengan demikian, ketiga perkataan yang diucapkan Ibrahim itu bukanlah kebohongan yang tercela dalam pandangan agama dan masyarakat. Rasulullah saw menjelaskan bahwa ketiga perkataan Nabi Ibrahim itu dibenarkan agama, seperti sabda Nabi saw:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ فِى كَلِمَاتِ اِبْرَاهِيْمَ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَ السَّلاَمُ الثَّلاَث الَّتِيْ قَالَ: مَا مِنْهَا كَذِبَةٌ إِلاَّ مَا حَلَّ بِهَا عَنْ دِيْنِ اللهِ تَعَالَى. (رواه الترمذى عن أبى سعيد)

Rasulullah bersabda tentang tiga perkataan Ibrahim dengan mengatakan bahwa tidak ada suatu dusta pun kecuali hal-hal yang dibenarkan agama Allah. (Riwayat at-Tirmizi dari Abu Sa’id)

 (Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah As-Shaffat 91-99


Tafsir Ahkam: Asal Usul Istilah Tayamum dan Pengertiannya Menurut Para Ulama

0
Tafsir Ahkam: Asal Usul Istilah Tayamum dan Pengertiannya Menurut Para Ulama
Tayamum

Islam menetapkan keberadaan hadas kecil serta hadas besar bagi pemeluknya dan mengharuskan mereka menyucikannya dengan cara berwudhu dan mandi besar. Maka air menjadi alat bersuci yang utama dalam Islam, sebab mensucikan diri dengan berwudhu dan mandi besar hanya bisa dilakukan dengan air. Dan fakta ini kadang menimbulkan problem tersendiri bagi sebagian muslim yang aksesnya terhadap air amat terbatas.

Namun Al-Qur’an telah memberikan solusi terhadap orang yang tidak menemukan air untuk bersuci, atau sebab satu atau dua hal ia terpaksa harus menghindarinya. Yakni bersuci dengan debu atau yang diistilahkan dengan tayamum. Bagaimana Al-Qur’an menyinggung perihal tayamum? Bagaimana asal usul istilah tersebut dan pengertiannya menurut para ulama? Berikut penjelasannya:

Tayamum dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an tidaklah menetapkan tayamum sebagai sebuah istilah khusus bagi praktik bersuci dalam Islam. Hal ini dapat dilihat dalam dua ayat yang menjadi dasar disyariatkannya cara bersuci alternatif ini, sebagai berikut:

وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُوْرًا

Jika kamu sakit, sedang dalam perjalanan, salah seorang di antara kamu kembali dari tempat buang air, atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapati air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci). Usaplah wajah dan tanganmu (dengan debu itu). Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (QS. An-Nisa’ [4]: 43).

وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ ۗ

Jika kamu sakit, dalam perjalanan, kembali dari tempat buang air (kakus), atau menyentuh perempuan, lalu tidak memperoleh air, bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu (QS. Al-Ma’idah [5]: 6).

Baca juga: Dalil dan Aturan Tayamum, Tafsir Surat An-Nisa Ayat 43

Imam Ibn Katsir dan Ar-Razi menjelaskan bahwa makna tayamum sebenarnya adalah menyengaja. Sehingga redaksi “bertayamumlah dengan debu yang baik (suci)” makna sebenarnya adalah “menyengajalah pada debu yang baik (suci)”. Dalam artian apabila hendak bersuci tapi tidak menemukan air, maka pergunakanlah debu yang suci (Tafsir Ibn Katsir/2/318 dan Tafsir Mafatihul Ghaib/5/217).

Kemudian banyak yang menggunakan redaksi tayamum tidak sebatas pada makna menyengaja, tapi lebih khusus pada menyengaja pada debu dan mengusapkannya ke wajah dan tangan. Hal inilah yang menurut Ibn Sikkit, mendorong tayamum menjadi istilah tersendiri pada tindakan mengusapkan debu pada wajah dan tangan. Dan inilah makna tayamum dalam syariat Islam menurut Imam Al-Qurthubi.

Imam Al-Qurthubi juga menjelaskan bahwa ayat di atas turun berkenaan sahabat Abdurrahman ibn Auf yang terluka dan tidak bisa menggunakan air untuk bersuci. Selain itu, tayamum adalah cara bersuci yang muncul hanya di kalangan umat Nabi Muhammad. Ini adalah keistimewaan yang dimiliki umat ini (Tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an/5/232).

Sahabat Khudzaifah meriwayatkan bahwa Nabi bersabda:

فُضِّلْنَا عَلَى النَّاسِ بِثَلاَثٍ جُعِلَتْ صُفُوفُنَا كَصُفُوفِ الْمَلاَئِكَةِ وَجُعِلَتْ لَنَا الأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدًا وَجُعِلَتْ تُرْبَتُهَا لَنَا طَهُورًا إِذَا لَمْ نَجِدِ الْمَاءَ

Kita diutamakan dibanding umat lain dengan tiga hal: barisan-barisan kita sebagaimana barisan para malaikat, bumi seluruhnya dijadikan tempat sujud bagi kita, dan debu bumi dijadikan suci serta mensucikan tatkala kita tidak menemukan air (HR. Imam Muslim).

Baca juga: Tafsir Ahkam: Tata Cara Tayamum dan Syarat Sahnya

Pengertian Tayamum dalam Pandangan Ahli Fikih

Beragamnya dasar hukum dari Al-Qur’an, hadis, dan selainnya yang berkaitan dengan masalah tayamum, memberikan konsekuensi ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan istilah tayamum dalam kacamata fikih. Syaikh Wahbah Az-Zuhaili memaparkan perbedaan pendapat para ahli fikih mengenai tayamum.

Ulama Malikiyah memberi pengertian, tayamum adalah praktik bersuci dengan debu yang mencakup mengusap wajah serta kedua tangan disertai niat. Ulama Syafiiyah memberi pengertian, tayamum adalah membuat debu sampai ke wajah dan dua tangan sebagai ganti wudhu, mandi, atau anggota dari keduanya, dengan beberapa syarat khusus. Sedang ulama Hanabilah menyatakan, tayamum adalah mengusap wajah dan kedua tangan dengan debu suci dan dengan cara tertentu (Al-Fiqhu Al-Islami/1/560).

Kesimpulan

Dari berbagai keterangan di atas kita dapat mengambil kesimpulan keberadaan tayamum dalam Islam sebagaimana telah ditetapkan syariatnya dalam beberapa ayat al-Qur’an maupun hadis. Kata tayamum awalnya bermakna “menyengaja”, namun kemudian menjadi istilah khusus dalam fikih Islam. Bertayamum dengan debu menjadi alat bersuci alternatif saat air tidak ditemukan atau tidak dapat digunakan untuk bersuci karena sebab-sebab tertentu. Wallahu a’lam bish showab.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Salat Orang yang Tidak Menemukan Air dan Debu untuk Bersuci