Beranda blog Halaman 218

Al-Qur’an dalam Konstruksi Pemikiran Abraham Geiger

0
Al-Qur’an dalam Konstruksi Pemikiran Abraham Geiger
Pro Kontra Teori Peminjaman dan Keterpengaruhan Al-Quran

Beragam kajian orientalis tentang Islam ditengarai mulai muncul pada awal abad ke-19 yang mencakup kajian Al-Qur’an, hadis, fiqh, dan sebagainya. Studi ketimuran (oriental studies) ini juga menjadi sebuah studi yang menganalisis berbagai hal kaitannya dengan linguistik, historis, hingga kultur atau peradaban Asia dan Afrika Utara.

Jika ditinjau dari perspektif filologi dalam jangkauan yang lebih luas, dapat dipahami pula orientalisme sebagai kajian terhadap budaya dengan mengadakan studi dari sumber otentiknya. Terlebih yang berhubungan dengan teks-teks tertentu yang cenderung bersifat dogmatis (Nanji, Peta Studi Islam: Orientalisme dan Arah Baru Kajian Islam di Barat, hal. 2). Studi inilah yang selanjutnya lebih familier disebut orientalisme, diikuti dengan perkembangan dan penyebarannya yang begitu pesat hingga saat ini.

Dari sederet nama tokoh orientalis yang mendalami berbagai lini disiplin keilmuan, mulai dari kajian bahasa Arab, teks, historis, keislaman, hingga hukum, dan lain-lain, mencuatlah satu nama yang mengkaji Islam dari sudut pandang Al-Qur’an, yaitu Abraham Geiger. Ia mengemukakan bahwa terdapat beberapa bagian Al-Qur’an yang condong mengadopsi kebudayaan Yahudi. Lantas, apakah pendapat demikian dapat dibenarkan atau justru layak dianggap sebagai statement yang salah kaprah?

Baca juga: Al-Quran dalam Pandangan Orientalis dan 3 Ajaran Islam yang Diadopsi dari Yahudi menurut Geiger

Keterpengaruhan Al-Qur’an terhadap budaya Yahudi

Konstruksi pemikiran Abraham Geiger tentang Al-Qur’an dideskripsikan dalam bukunya, Judaism and Islam. Pada buku tersebut ia menerangkan bahwa Al-Qur’an dipengaruhi oleh agama Yahudi dalam beberapa aspek; Pertama, lingustik, keimanan, dan ideologi. Kedua, aturan-aturan hukum dan moral. Ketiga, prinsip tentang kehidupan. Keempat, kisah-kisah dalam Al-Qur’an (Geiger, Judaism and Islam, hal. 41-72).

Terkait dengan aspek linguistik yang mengakar pada budaya Yahudi, menurut Geiger setidaknya terdapat 14 derivasi kata Al-Qur’an yang berasal dari bahasa Ibrani. 14 kata tersebut ialah sakinah, taagut, furqan, ma’un, masani, makalut, darasa, tabut, jannatu ‘adn, taurat, jahannam, rabbani, sabt, serta ahbar (As-Suyuti, Al-Itqan, hal. 197-199).

Pada kata tabut misalnya, Geiger menyatakan bahwa akhiran ut menunjukkan akar kata ini tidak berasal dari bahasa Arab, melainkan bahasa Ibrani yang berkaitan dengan doktrin Yahudi. Begitu pula dengan kata Jahannam yang diklaim sebagai bahasa Yahudi karena mengacu pada lembah Hinnom atau lembah yang dipenuhi kesengsaraan. Simbol inilah yang mendasari penggunaan Hinnom menjadi Gehinnom pada kitab Talmud sebagai isyarat neraka. Di samping itu, masih banyak derivasi kata lain yang dikatakan Geiger sebagai bentuk pengadopsian Al-Qur’an terhadap tradisi Yahudi (Geiger, Judaism and Islam, hal. 32).

Dilanjutkan dengan konsep keagamaan, yaitu keimanan dan doktrin keislaman. Dalam pandangan Geiger, terdapat berbagai bidang yang diadopsi Nabi Muhammad dari ajaran-ajaran sebelum Islam. Sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Baqarah [2]: 29 tentang tujuh tingkatan surga yang seluruhnya sudah dinamai, ternyata tercantum pula pada kitab Chagiga 9: 2.

Selain itu, terkait dengan adanya hari pembalasan termasuk surga dan neraka, umat Yahudi juga mengimaninya. Disebutkan dalam Isaiah, v. 14 bahwa penjaga neraka setiap harinya berkata, “Berikan kami makanan, supaya kami merasa puas.” Hal serupa agaknya juga diterangkan dalam Al-Qur’an walaupun dengan redaksi yang cukup berbeda, tepatnya pada QS. Qaf [50]: 30.

Lalu berhubungan dengan aturan hukum maupun moral Yahudi yang juga lekat dengan ajaran tunggal, Geiger mengklaim Nabi Muhammad telah meminjam tuntunan ini. Seperti halnya perintah untuk salat atau sembahyang. Secara lebih spesifik, Geiger menuturkan bahwa konsep salat khauf atau salat dalam keadaan takut dan berbahaya sebagaimana diterangkan dalam QS. Al-Baqarah [2]: 238-239 juga tercantum pada surat X. 13. Persamaan inilah yang dinyatakan Geiger sebagai peminjaman tradisi.

Dijelaskan pula tentang legalitas tayamum. Pada ajaran Talmud, air juga menjadi salah satu cara untuk bersuci. Dan apabila tidak ditemukan air, pasir bisa digunakan sebagai opsi penggantinya. Hal ini jelas juga diperbolehkan dalam ajaran Islam (Geiger, Judaism and Islam, hal. 72). Selain itu, konsep tuntunan Islam lainnya seperti batalnya wudu saat bersentuhan dengan lawan jenis, adab dalam salat berjamaah, berbagai aturan dalam berpuasa, serta durasi masa ‘iddah selama tiga bulan dan rentang waktu menyusui selama dua tahun bagi perempuan juga dipandang sebagai pengadopsian agama Yahudi.

Tak hanya itu, menurut Geiger dalam hal prinsip kehidupan terdapat beberapa aspek yang memiliki kesamaan antara Islam dan Yahudi. Sebut saja keinginan untuk wafat dalam keadaan husnul khatimah yang diterangkan pada QS. Ali ‘Imran [3]: 193, juga dituturkan dalam Balaam 22: 10. Islam yang sangat menjunjung tinggi balasan kebaikan seperti terdapat dalam QS. An-Nisa’ [4]: 85, sebenarnya juga telah disebutkan konsep tersebut pada Baba Kamma 92 (Geiger, Judaism and Islam, hal. 70).

Disusul dengan kisah-kisah tertentu dalam Al-Qur’an yang dituduh menukil tradisi Yahudi, antara lain kisah tentang kepemimpinan laki-laki yang mencakup para Nabi utusan Allah kepada umatnya, kisah Nabi Musa, kisah tiga raja yang memiliki kekuasaan tak terbatas yaitu raja Thalut, Nabi Daud, dan Nabi Sulaiman, serta kisah kalangan orang suci yang diutus setelah era Nabi Sulaiman.

Baca juga: Pro Kontra Teori Peminjaman dan Keterpengaruhan Al-Quran Terhadap Yahudi dan Nasrani

Kritik pemikiran Abraham Geiger

Menurut Fazlur Rahman, buah pemikiran Abraham Geiger tentang Al-Qur’an sebagaimana pemaparan tersebut dapat dikategorikan sebagai karya orientalis yang memiliki upaya menunjukkan seberapa terpengaruhnya Al-Qur’an oleh tradisi atau kebudayaan Yahudi maupun Kristen (Rahman, The Major Themes of The Qur’an, hal. 5). Pada umumnya, golongan ini mayoritas menguak isu klasik bahwa Al-Qur’an hanyalah sebuah produk ataupun buah tangan Nabi Muhammad, serta dirangkai berlandaskan pada Bibel yang telah lebih dulu ada kala itu.

Dengan demikian, Geiger hendak menyatakan bahwa Al-Qur’an tidaklah suatu hal yang superior, lantaran telah dibuktikan isinya mengandung kombinasi dan plagiasi dari berbagai macam tradisi Yahudi, Nasrani, hingga Jahiliyah. Al-Qur’an hanya dipandang sebagai refleksi Nabi Muhammad berkaitan dengan kebudayaan dan keadaan masyarakat Arab pada saat itu, sehingga cenderung bersifat kultural.

Melalui berbagai penjelasan tersebut dapat ditarik benang merah bahwa sudah barang tentu terdapat berbagai bentuk derivasi kata Al-Qur’an yang memiliki kesamaan dengan kata-kata pada agama Yahudi. Di luar apakah hal ini murni sebagai bentuk akulturasi bahasa Yahudi atau malah memang terdapat keselarasan bahasa Al-Qur’an dengan bahasa Yahudi. Tentu perlu diakui pula bahwa agama Islam hadir tidak dalam ruang yang vakum historis, lantaran telah muncul berbagai tatanan sosial pada masyarakat sebelum Islam.

Maka dari itu, sangat dimungkinkan terjadi adanya akulturasi bahasa, adat istiadat, maupun budaya agama lain dengan ajaran Islam sebagai agama yang hadir setelahnya. Kendati demikian, realitas ini tidak dapat serta merta disebut mengubah keautentikan Al-Qur’an ataupun doktrin-doktrin keislaman. Hal ini lantaran Islam hadir tidak sebagai penentang, melainkan sebagai penyempurnaan bagi agama-agama sebelumnya.

Baca juga: Theodor Nöldeke: Sarjana German Pelopor Kajian Sejarah Al-Qur’an

Tuntunan Hidup Minimalis dalam Al-Quran

0
Tuntunan Hidup Minimalis dalam Al-Quran
Tuntunan Hidup Minimalis dalam Al-Quran

Setiap manusia pasti punya harapan untuk dapat memenuhi kebutuhan. Ia bekerja, mendayagunakan kemampuan segala rupa demi dapat mewujudkannya. Sampai-sampai seringkali harapan itu kelewat batas karena kebahagiaan ia gantungkan pada capaian kepemilikan barang yang lebih dari sekadar keperluan. Itulah gaya hidup konsumtif yang hari ini menjadi fenomena sosial di masyarakat kita. Saat banyak orang hanya dapat puas jika mereka memiliki barang mewah dengan jumlah berlimpah. Satu-satunya cara untuk dapat merubah fenomena ini ialah beralih pada gaya hidup minimalis, yang sebenarnya menjadi salah satu ajaran Islam. Agama yang mengajarkan kesederhanaan.

Apa itu hidup minimalis?

Hidup minimalis merupakan gaya hidup yang mengajarkan untuk fokus pada sektor esensial dan mengesampingkan sektor non esensial. Anthony Ongaro, penggerak gaya hidup minimalis lewat website breakthetwich.com yang didirikannya mendefinisikan hidup minimalis dengan “lifestyle practice focused on minimizing distractions that keep you from doing what matters to you”. Yakni gaya hidup yang fokus untuk meminimalisasi gangguan yang menghalangi hal penting yang harus dikerjakan seseorang.

Banyak tokoh ternama yang mempraktikkan gaya hidup ini. Di antaranya, Steve Jobs, CEO perusahanan Apple, yang selalu sederhana dalam berbusana dan dalam menjalani hidupnya. Selain itu, ada Mahatma Gandhi dan Bunda Tesera. Menurut penuturan Fumio Sasaki dalam Goodbye, Things, tiga tokoh ini termasuk yang sempurna dalam mempraktikkan gaya hidup minimalis.

Nabi Muhammad juga termasuk sosok yang mempraktikkan gaya hidup minimalis, seperti kebiasaan tidur Nabi di kamar yang sederhana, hanya beralaskan tikar dari kulit binatang yang berisi serabut pelepah kurma. Dari kebiasaan Nabi inilah seharusnya seorang muslim meneladani hidup sederhana, secukupnya.

Baca juga: 3 Pola Hidup Minimalis Yang Bernilai Qur’ani

Larangan israf, tuntunan hidup minimalis dalam Al-Quran

Selain melalui sunah Nabi, hidup minimalis juga diajarkan dalam Al-Quran. Hidup minimalis yang seyogianya dipedomani oleh setiap muslim dalam Al-Quran tampak pada larangan untuk bermewah-mewahan, yang antara lain tertera pada surah Al-An’am ayat 141.

وَهُوَ الَّذِي أَنْشَأَ جَنَّاتٍ مَعْرُوشاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفاً أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشابِهاً وَغَيْرَ مُتَشابِهٍ كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصادِهِ وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِين

Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.

Ayat tersebut memberikan tuntunan untuk tidak hidup bermewah-mewahan. Kata kunci yang menunjukkan larangan itu ialah laa tusrifuu, yang secara literal berarti berlebihan.

Ibnu ‘Asyur dalam al-Tahrir wa al-Tanwir menuturkan bahwa israf bermakna melebihi dari yang cukup yang ditandai dengan hati yang selalu rela untuk memenuhi hawa nafsu. Dengan pengertian ini, dapat dipahami bahwa orang yang israf berkecenderungan untuk berusaha mewujudkan keinginannya. Dan hanya dengan ini ia akan merasa lega. Tetapi, karena termasuk tabiat keinginan itu yang tak terbatas, ia justru akan menghancurkan dirinya sebab membuang banyak waktu dan tenaga demi pergi ke satu kelegaan menuju kelegaan lain yang tiada ujung.

Menurut Fuad Abdul Baqi dalam Mu’jam-nya, israf disebutkan sebanyak 23 kali dengan beragam derivasi kata dalam Al-Quran. Ada yang menunjukkan makna pola relasi kebendaan seperti yang dibahas surah Al-An’am di atas. Ada yang bermakna pola relasi personal transendental, seperti pada surah Taha ayat 127. Ada pula yang menunjukkan pola relasi sosial, seperti pada surah Yunus ayat 83.

Makna larangan israf dalam dimensi relasi kebendaan dalam surah Al-An’am merupakan salah satu contoh etika religius Islam. Larangan yang bersifat menuntun menunjukkan bahwa konteks ayat tersebut berada pada wilayah etika. Sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu ‘Asyur bahwa larangan pada ayat tersebut adalah li irshad, bukan li al-tahrim.

Pemaknaan ini akan selaras dengan pengertian israf dalam konteks ayat tersebut yang secara khusus menuntun untuk tidak berlebihan dalam makan, minum, atau dalam hal mubah lainnya. Ibnu Kathir dalam Tafsir Al-Quran al-‘Adzim menjelaskan bahwa israf dalam ayat tersebut ditujukan dalam hal makan, minum, berpakaian, dan bersedekah. Begitu pula ar-Razi dalam Mafatih al-Ghayb juga menyebutkan bahwa israf dalam konteks ayat itu berarti berlebihan dalam hal kebendaan.

Fokus pada sektor esensial

Larangan untuk israf menunjukkan perintah agar kita fokus pada sektor esensial. Hal-hal yang sifatnya penting untuk hidup kita, itulah yang harus diupayakan. Seperti dalam pemberdayaan diri, kita harus memulainya dari diri sendiri dulu, baru kepada sanak keluarga terdekat, dan prioritas seterusnya.

Nabi pun juga menyinggung konsep minimalis ini dalam banyak hadis, di antaranya yang diriwayatkan oleh at-Turmudzi dalam Arbain Nawawi:

من حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنيه

Termasuk dari kesalehan seorang muslim ialah meninggalkan hal yang tidak penting baginya.

Baca juga: Tafsir Surah At-Taubah Ayat 24, Isyarat Larangan Cinta Dunia yang Berlebihan

Keuntungan hidup minimalis

Gaya hidup minimalis dapat memberikan profit dalam segi finansial, mental, dan tentu saja spiritual. Seseorang dengan gaya hidup minimalis lebih bijak dalam mengelola kebutuhan ekonominya, karena ia lebih fokus pada pembunuhan keinginan, bukan kebutuhan. Strategi ini akan mempermudah seseorang untuk mewujudkan tujuan finansial.

Dalam segi mental, seseorang dengan gaya hidup minimalis dapat lebih menikmati hidup dan merasakan bahagia. Dengan manajemen pikiran yang baik, yaitu fokus pada hal-hal esensial yang menunjang dirinya, di satu sisi. Dan di sisi lain, meninggalkan hal non esensial, seperti rasa penasaran pada capaian-capaian orang lain, ia akan terhindar dari kebiasaan atau lingkungan yang tidak sehat baginya. Sebagaimana yang dituturkan Joshua Becker dalam Becoming Minimalist, bahwa gaya hidup ini dapat mengantarkan seseorang pada hidup yang bahagia, karena kesederhanaannya.

Gaya hidup minimalis juga dapat meningkatkan kualitas spiritual. Dengan hidup sederhana dan dalam makna, kita berarti telah mengerem hawa nafsu berlebih pada hal duniawi. Tidak menjadikan perkara materiel sebagai tujuan kebahagiaan, melainkan lantaran. Sehingga, kita mengambil hal materiel itu secukupnya saja, sesuai dengan kebutuhan. Karena hidup minimalis adalah tentang bagaimana kita dapat memiliki hal yang benar-benar bernilai untuk hidup kita. Hal yang menjadi cerminan bagi visi dan misi hidup kita.

Di tengah beragam persoalan yang disebabkan oleh tren materialisme saat ini, hidup minimalis dapat menjadi alternatif. Kita juga dapat mengangkat marwah budaya Timur yang sarat akan kesederhanaan, keseimbangan, dan hidup dalam makna. Yang beberapa kurun terakhir kabur jati dirinya sebab arus materialisme. Tentu saja, Islam termasuk di dalam budaya Timur dengan ajaran kesederhanaan, keseimbangan, dan hidup bermakna ini. Wallahu a’lam[]

Baca juga: Surah Al-Furqan [25] Ayat 67: Anjuran Bersedekah Secara Proporsional

Pro Kontra Teori Peminjaman dan Keterpengaruhan Al-Quran Terhadap Yahudi dan Nasrani

0
Al-Qur’an dalam Konstruksi Pemikiran Abraham Geiger
Pro Kontra Teori Peminjaman dan Keterpengaruhan Al-Quran

Kajian terhadap al-Quran atau studi al-Quran yang dilakukan oleh para orientalis telah terjadi sejak lama yakni dimulai pada abad ke-12. Ketika itu, kajian al-Quran kaum orientalis cenderung bersifat apologetik. Pengertian istilah apologetik sendiri yakni pendekatan yang didasarkan pada semangat membela keyakinan dan agama (Kristen) sendiri sebagai agama yang murni berasal dari Tuhan serta paling benar di antara agama lainnya. Pendekatan tersebut digunakan oleh para orientalis dalam studi al-Quran sampai abad ke-18.

Pada periode orientalisme yang kedua, yakni di abad ke-19, para orientalis mulai mengkaji al-Quran dengan sifat akademisnya dan tidak lagi bersifat apologetik. Periode ini ditandai dengan terbitnya Was Hat Mohammed aus dem Judenthume Aufgenommen? atau Apa yang Telah Dipinjam Muhammad dari Yahudi? karya Abraham Geiger di tahun 1833. Meski karya terebut cukup kontroversial, namun menurut Angelika Neuwirth, tulisan Geiger tersebut telah meninggalkan sifat apologetik dan beralih pada pendekatan baru yakni kritik historis yang bersifat deskriptif.

Sementara itu pada periode ketiga, pendekatan kritik historis dalam studi al-Quran masih digunakan oleh para orientalis, hanya saja titik fokusnya adalah pada sosok Nabi Muhammad saw. Ini berbeda dengan periode pertama dan kedua yang pembahasannya mengenai asal-usul al-Quran dalam tradisi Yahudi dan Kristen atau yang biasa disebut dengan theories of borrowing and influence (teori peminjaman dan keterpengaruhan).

Adapun pada kesempatan kali ini, penulis berniat membahas mengenai pro dan kontra teori peminjaman dan keterpengaruhan dalam studi al-Quran.

Latar Belakang Munculnya Teori Peminjaman dan Keterpengaruhan

Sebelum memahami dan mengetahui maksud dari teori peminjaman dan keterpengaruhan Yahudi dan Kristen dalam studi al-Quran, perlu diketahui dua latar belakang munculnya teori tersebut;

Pertama, karena kebencian terhadap al-Quran. Kebencian ini muncul sebagai respon atas isi al-Quran pada ayat-ayat tertentu, misalnya ketika Allah Swt berfiman pada QS. Al-Maidah ayat 73 bahwa “Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga.”, atau pada QS. An-Nisa ayat 157 yang berbunyi “Padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak menyalibnya, tetapi orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka.”

Kedua, karena penilaian negatif terhadap Nabi Muhammad saw. Penilaian tersebut dapat tertuju pada sejarah hidup karakter maupun visi Nabi Muhammad saw dalam Islam. Contoh penilaian buruk para orientalisme kepada Nabi misalnya mereka menganggap sosok Nabi sebagai seseorang yang biadab dan cinta perang, tamak akan kekuasaan, serta bodoh karena tidak dapat membaca dan menulis (ummi).

Baca juga: Al-Quran dalam Pandangan Orientalis dan 3 Ajaran Islam yang Diadopsi dari Yahudi menurut Geiger

Pro Kontra Teori Peminjaman dan Keterpengaruhan

Perlu diketahui bahwa kemunculan teori peminjaman dan keterpengaruhan dimulai dengan riset Abraham Geiger yang berusaha menginvestigasi beberapa kata dalam al-Quran, sebab ia yakin bahwa Nabi banyak mengadopsi perbendaharaan Yahudi dalam al-Quran. Asumsinya tersebut ia hadirkan dalam bentuk pertanyaan dalam bagian pertama bukunya yang berjudul Judaism and Islam atau Islam dan Yahudi. Ia menulis:

“Apakah Muhammad memang berkeinginan untuk mengambil dari Yahudi, bisakah Muhammad melakukan pengambilan itu, jika bisa dilakukan, dengan cara apa Muhammad melakukannya, dan apa yang sebanding dengan rencana Muhammad untuk mengambil dari Yahudi?”

Bukti lainnya yang ia paparkan adalah beberapa kosa kata seperti jannatu ‘adn, jahannam, dan Tabut. Menurutnya, ketiga kata tersebut merupakan bahasa Ibrani yang menjadi bahasa bagi kitab orang-orang Yahudi. Selain itu, ia juga memaparkan bahwa kegiatan sembahyang orang Yahudi maupun Islam dilakukan dalam posisi yang sama yakni berdiri, serta terdapat larangan untuk tidak sembahyang dalam keadaan mabuk.

Teori peminjaman dan keterpengaruhan oleh Geiger tersebut kemudian mendapat pujian oleh beberapa orientalis yang mendukung teorinya, salah satunya adalah Theodor Noldeke yang merupakan seorang pendeta Kristen dari Jerman. Theodor Noldeke mengatakan bahwa di usia mudanya Geiger telah mampu mengawali diskusi mengenai elemen Yahudi dalam al-Quran.

Adapun bentuk dukungannya terhadap teori Geiger tersebut di antaranya Noldeke menjelaskan bahwa kalimat basmallah merupakan kalimat yang biasa diucapkan sebelum melaksanakan peribadatan baik dalam tradisi Yahudi maupun Kristen. Selain itu, dengan mengutip QS. Al-Anbiya ayat 105 yang berbunyi; “Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hambaKu yang saleh” ia mengatakan bahwa sudah jelas al-Quran merupakan kitab yang kandungannya berasal dari perjanjian lama.

Selain kedua tokoh tersebut, John Wansbrough juga termasuk orang yang mendukung teori peminjaman dan keterpengaruhan dalam studi al-Quran. Hal ini terlihat pada karyanya yang berjudul Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation atau Studi Al-Quran: Sumber dan Metode Penafsiran Kitab Suci. Ia mengatakan bahwa al-Quran merupakan hasil persengketaan antara Yahudi dan Kristen dalam waktu lebih dari dua abad. Selain itu, ia juga menjelaskan bahwa secara umum, doktrin agama Islam bahkan sosok seorang Muhammad mendapatkan pengaruh dari kependetaan agama Yahudi.

Baca juga: Inilah Beberapa Argumentasi Orientalis dalam Mematahkan Autentisitas Al-Quran

Meski begitu, terdapat beberapa orientalis yang membantah teori peminjaman dan keterpengaruhan tersebut. Camilia Adang misalnya, setelah mengkaji beberapa pendapat ulama Islam mengenai Taurat dalam karyanya yang berjudul Muslim Writers on Judaism and the Hebrew Bible From Ibn Rabban to Ibn Hazm, ia menyatakan bahwa penjelasan terkait Nabi Muhammad saw dalam Taurat telah dirubah ataupun dihapus.

Adapun Abdullah Saeed membantah teori peminjaman dan keterpengaruhan tersebut dengan mengkaji sebuah tesis yang berjudul The Charge of Distortion of Jewish and Christian Scripture atau Tuduhan Distorsi Kitab Suci Yahudi dan Kristen. Ia kemudian sampai pada kesimpulan bahwa kitab Yahudi dan Nasrani tidak lagi dapat disebut sebagai kitab yang murni berisi firman Tuhan, sebab kedua kitab tersebut telah lama dirubah dan diselewengkan isinya.

Bantahan lainnya atas teori peminjaman dan keterpengaruhan oleh para orientalis juga dapat dilihat dalam buku karya M.M. Al-‘Azami yang berjudul The History of The Qur’ānic Text From Revelation to Compilation: A Comparative Study with the Old and New Testaments atau Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi: Kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.

Penutup

Demikianlah penjelasan mengenai pro kontra teori peminjaman dan keterpengaruhan para orientalis dalam studi al-Quran. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa teori tersebut mulanya dilatarbelakangi oleh kebencian terhadap al-Quran dan sosok Nabi Muhammad, maka jelas teori yang dihasilkan berfungsi untuk menjatuhkan al-Quran dan juga Islam.

Hal lainnya yang perlu digarisbawahi adalah meskipun ada kesamaan dalam al-Quran dengan kitab suci lainnya, hal itu disebabkan karena ajaran atau agama Nabi terdahulu bersumber dari satu asal sebelum ajaran tersebut dirubah oleh penganutnya. Oleh karena itu, konsep peminjaman dan keterpengaruhan Yahudi dan Kristen dalam al-Quran sangatlah bertentangan dengan kebenaran yang ada. Wallahua’lam.

Baca juga: Kritik Angelika Neuwirth atas Pendekatan Revisionisme Wansbrough dalam Studi Al-Quran

Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 150-157

0
Tafsir Surah As-Shaffat
Tafsir Surah As-Shaffat

Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 150-157 berbicara tentang pertanyaan-pertabyaan Allah kepada kaum kafir Mekah yang menganggap bahwa diri-Nya memiliki anak. Allah mendebat dan meminta bukti atas klaim liar yang mereka utarakan, meski Allah tau bahwa mereka tidaklah memiliki bukti apa-apa, pertanyaan Allah hanya sebatas menguji dan mempermalukan mereka dihadapan kaumnya sendiri.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 143-149


Ayat 150

Anak perempuan yang mereka maksud sebagai anak Allah adalah malaikat. Lalu Allah memperkeras bantahan-Nya dengan mempertanyakan lebih lanjut apakah mereka menyaksikan ketika Allah menciptakan atau melahirkan malaikat sebagai anak perempuan-Nya.

Mereka tidak punya bukti apa-apa tentang hal itu, begitu juga bukti lain yaitu wahyu. Dengan demikian pandangan mereka itu salah, dan merupakan ucapan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan karena dosanya amat besar, sebagaimana dinyatakan ayat berikut:

وَجَعَلُوا الْمَلٰۤىِٕكَةَ الَّذِيْنَ هُمْ عِبٰدُ الرَّحْمٰنِ اِنَاثًا ۗ اَشَهِدُوْا خَلْقَهُمْ ۗسَتُكْتَبُ شَهَادَتُهُمْ وَيُسْـَٔلُوْنَ

Dan mereka menjadikan malaikat-malaikat hamba-hamba (Allah) Yang Maha Pengasih itu sebagai jenis perempuan. Apakah mereka menyaksikan penciptaan (malaikat-malaikat itu)? Kelak akan dituliskan kesaksian mereka dan akan dimintakan pertanggungjawaban. (az-Zuhkruf/43: 19)


Baca Juga: Kalimat Istirja’ di Akhir Surah Al-Baqarah Ayat 156, Kita Semua Milik Allah


Ayat 151-153

Selanjutnya Allah mengecam lebih keras lagi ucapan atau pandangan mereka bahwa Allah punya anak itu. Allah menegaskan bahwa pandangan mereka itu hanyalah suatu kebohongan besar yang direkayasa.

Karena rekayasa seperti itu maka Allah mencap mereka sebagai pembohong-pembohong besar.

Untuk mempertegas kecaman terhadap kebohongan mereka itu, Allah bertanya, “Apakah Ia memilih anak perempuan daripada anak laki-laki?” Maksudnya: anak perempuan rendah dalam pandangan mereka, dan anak laki-laki mulia, lalu apakah Allah akan memilih anak perempuan dan untuk mereka anak laki-laki?

Bila demikian keadaannya berarti Allah bodoh dan mereka pintar. Pandangan itulah yang dikecam Allah, karena Allah tidak mungkin beranak dan tidak memerlukan anak, dan tidak boleh dilecehkan dengan pandangan seperti itu, bahwa untuk Allah cukup anak perempuan sedangkan untuk mereka anak laki-laki.

Mereka harus mempertanggungjawabkan dosa besar karena pandangan yang keliru itu dan dosa orang-orang yang mengikutinya. Firman Allah:

اَفَاَصْفٰىكُمْ رَبُّكُمْ بِالْبَنِيْنَ وَاتَّخَذَ مِنَ الْمَلٰۤىِٕكَةِ اِنَاثًاۗ اِنَّكُمْ لَتَقُوْلُوْنَ قَوْلًا عَظِيْمًا

Maka apakah pantas Tuhan memilihkan anak laki-laki untukmu dan Dia mengambil anak perempuan dari malaikat? Sungguh, kamu benar-benar mengucapkan kata yang besar (dosanya). (al-Isra’/17: 40)

Ayat 154-155

Kecaman dilanjutkan lagi dengan pertanyaan, “Bagaimana kalian ini? Bagaimana kalian berpendapat demikian?”

Mereka dikecam karena tidak punya pikiran yang sehat, karena bagaimana mungkin Allah yang menciptakan segala sesuatu di alam ini butuh seorang anak dan anak itu perempuan.

Mereka dikecam pula karena, seandainya mereka punya pikiran, mereka keliru dalam berpikir sehingga pikiran itu tidak logis dan tidak dapat diterima akal.

Selanjutnya mereka dikecam bahwa sebenarnya mereka tidak menggunakan pikirannya untuk menganalisa ayat-ayat Allah yang disampaikan, dan tidak mereka ambil menjadi pelajaran padahal hal itu berguna.

Kaum kafir Mekah itu sudah mengetahui tentang umat-umat terdahulu, tetapi tidak mengambil hikmah dan pelajaran dari pengalaman umat-umat terdahulu sehingga mereka beriman.

Ayat 156-157

Bantahan lebih lanjut yang disampaikan Allah untuk membantah pandangan kaum kafir Mekah bahwa Allah punya anak yaitu malaikat sebagai anak perempuan-Nya, Allah meminta mereka mengemukakan bukti nyata yang tidak dapat dibantah kebenarannya, baik bukti itu berbentuk fisik maupun berbentuk ungkapan yang terjamin kebenarannya.

Bukti fisik, misalnya, bahwa Allah melahirkan malaikat. Bukti non-fisik adalah wahyu. Tentu saja mereka tidak akan bisa mengemukakan bukti-bukti itu, karena memang tidak ada.

Dengan demikian firman-Nya berbentuk pertanyaan, “Atau apakah kalian memiliki bukti yang nyata?” merupakan sanggahan yang jitu terhadap pandangan mereka bahwa Allah punya anak perempuan tersebut.

Apalagi setelah itu Allah meminta mereka menyampaikan kitab suci yang berisi pernyataan bahwa malaikat itu adalah anak-Nya. Kitab suci itu tidak mungkin mereka dapatkan karena Allah tidak pernah menurunkannya.

Pada ayat lain Allah berfirman yang isinya sama dengan ayat ini:

اَمْ اَنْزَلْنَا عَلَيْهِمْ سُلْطٰنًا فَهُوَ يَتَكَلَّمُ بِمَا كَانُوْا بِهٖ يُشْرِكُوْنَ

Atau pernahkah Kami menurunkan kepada mereka keterangan, yang menjelaskan (membenarkan) apa yang (selalu) mereka persekutukan dengan Tuhan? (ar-Rum/30: 35);

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah As-Shaffat 158-164


Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 143-149

0
Tafsir Surah As-Shaffat
Tafsir Surah As-Shaffat

Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 143-149 diawali dengan ending dari kisah Nabi Yunus, dimana ia yang telah menuntaskan masa-masa pertaubatan diperut ikan paus, lalu kembali kepada kaumnya yang ternyata telah bertaubat pula, dan mengimani keesaan Allah Swt.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 137-142


Ayat 143-144

Dalam tobatnya ia banyak bertasbih mensucikan Allah dan berdoa. Bunyi tasbih yang terus diulang-ulang Nabi Yunus dicantumkan dalam Surah al-Anbiya’/21: 87:

فَنَادٰى فِى الظُّلُمٰتِ اَنْ لَّآ اِلٰهَ اِلَّآ اَنْتَ سُبْحٰنَكَ اِنِّيْ كُنْتُ مِنَ الظّٰلِمِيْنَ

…Maka dia berdoa dalam keadaan yang sangat gelap, ”Tidak ada tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau. Sungguh, aku  termasuk orang-orang yang zalim.” (al-Anbiya’/21: 87).

Dalam tasbihnya itu, Nabi Yunus mengakui dengan sebenar-benarnya bahwa Tuhan hanyalah Allah. Allah Mahasuci dari segala kekurangan dan sifat-sifat yang tidak pantas bagi-Nya.

Dan mengakui bahwa ia telah berbuat salah. Di dalam pengakuan-pengakuan itu terselip doa yang tulus agar ia dilepaskan dari siksaan terpenjara dalam perut ikan itu.

Allah menegaskan bahwa bila ia tidak bertasbih dan berdoa seperti itu, maka ia akan menghuni perut ikan itu sampai hari Kiamat.

Karena tasbih dan doanya itulah maka Allah melepaskannya dari dalam perut ikan tersebut, sebagaimana dinyatakan dalam ayat lain:

فَاسْتَجَبْنَا لَهٗۙ وَنَجَّيْنٰهُ مِنَ الْغَمِّۗ وَكَذٰلِكَ نُـْۨجِى الْمُؤْمِنِيْنَ  

Maka Kami kabulkan (doa)nya dan Kami selamatkan dia dari kedukaan. Dan demikianlah Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman. (al-Anbiya’/21: 88)

Baca Juga:

Ayat 145-146

Setelah satu, atau tiga, atau beberapa hari, menurut beberapa pendapat, Nabi Yunus berada di dalam perut ikan besar itu, Allah memerintahkan ikan tersebut memuntahkannya ke suatu daerah tandus tidak ditumbuhi tanaman apa pun.

Karena beberapa saat berada di dalam perut ikan, kondisi Nabi Yunus lemah sekali. Untuk menyelamatkannya dari terpaan panas matahari, Allah menumbuhkan pohon yaqthin (sejenis labu) di sampingnya. Daun pohon itu melindunginya dan buahnya jadi makanannya.

Ayat 147-148

Setelah kesehatan Nabi Yunus pulih, Allah mengutusnya kembali kepada kaumnya yang pada waktu itu jumlahnya sudah sampai seratus ribu orang lebih.

Kedatangannya mereka sambut dengan baik karena mereka sadar bahwa dahulu mereka telah mengecewakannya sehingga ia meninggalkan mereka.

Mereka menyadari telah memperoleh kasih sayang Allah, karena mereka baru beriman ketika tanda-tanda azab Allah telah menghadang mereka. Pada umat-umat yang lalu, iman di saat seperti itu tidak diterima.

Hanya umat Nabi Yunus yang dikecualikan dari ketentuan itu, sebagaimana dinyatakan dalam Surah Yunus/10: 98 yang sudah diterangkan di atas.

Mereka kemudian hidup bahagia dan sentosa sampai waktu yang ditetapkan bagi mereka.

Ayat 149

Allah meminta Nabi Muhammad agar menanyakan kepada kaum kafir Mekah tentang kepercayaan mereka bahwa Allah punya anak, dan anaknya itu perempuan, padahal anak perempuan itu dalam pandangan mereka rendah, sebagaimana firman Allah:

وَاِذَا بُشِّرَ اَحَدُهُمْ بِالْاُنْثٰى ظَلَّ وَجْهُهٗ مُسْوَدًّا وَّهُوَ كَظِيْمٌ

Padahal apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam), dan dia sangat marah. (an-Nahl/16: 58).

Yang mulia dalam pandangan mereka adalah anak laki-laki, karena anak laki-laki itu mampu berperang dan membela mereka serta mengharumkan nama keluarga. Karena itu mereka mengambil anak laki-laki sedangkan anak perempuan mereka nisbahkan kepada Allah.

Dengan demikian, mereka berdasarkan pandangan yang keliru dan mau menang sendiri. Pembagian menurut kepercayaan mereka itu menjadi tidak adil, sebagaimana dinyatakan ayat berikut:

اَلَكُمُ الذَّكَرُ وَلَهُ الْاُنْثٰى   ٢١  تِلْكَ اِذًا قِسْمَةٌ ضِيْزٰى   ٢٢ 

Apakah (pantas) untuk kamu yang laki-laki dan untuk-Nya yang perempuan? Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil. (an-Najm/53: 21-22).

Pemberian anak perempuan, yang mereka pandang rendah, kepada Allah dan anak laki-laki untuk mereka, berarti mereka merendahkan Allah.

Pertanyaan yang diminta Allah untuk diajukan Nabi Muhammad kepada kaum kafir Mekah itu sekaligus mengandung arti bahwa pandangan mereka itu salah.

Dalam pandangan Allah tidak ada perbedaan laki-laki dan perempuan. Yang membedakan manusia hanyalah takwanya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah As-Shaffat 150-157


 

Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 137-142

0
Tafsir Surah As-Shaffat
Tafsir Surah As-Shaffat

Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 137-142 diawali dengan sindiran Allah kepada kaum kafir Mekah yang tidak mau mengambil pelajaran atas peristiwa masa lalu yang sering mereka saksikan sendiri.

Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 137-142 juga mengisahkan tentang keingkaran kaum Nabi Yunus yang tidak mau menerima ketauhidan Allah Swt., sikap kaumnya membuat Yunus marah dan mengancam kaumnya dengan azab Allah. Namun sikapnya dinilai keliru, dan ia bertaubat kepada Allah sambil memperbaiki sikapnya tersebut.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 130-136


Ayat 137-138

Pada ayat ini Allah swt mengarahkan sapaan-Nya kepada kaum kafir Mekah, bahwa mereka setiap saat lewat di negeri Sodom yang telah dihancurkan dan sebagiannya tinggal puing-puing itu, karena letaknya di jalur perdagangan antara Mekah dan Syria.

Jalur itu sering dilewati kafilah-kafilah dagang mereka. Mereka melewatinya pagi hari atau sore hari.

Dari puing-puing itu mereka dapat memperkirakan bagaimana kedahsyatan peristiwa itu.

Seharusnya mereka, dan siapa pun sesudah itu, mengambil pelajaran dari peristiwa tersebut dan beriman sebagaimana dinyatakan dalam ayat berikut:

وَاِنَّهَا لَبِسَبِيْلٍ مُّقِيْمٍ   ٧٦  اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيَةً لِّلْمُؤْمِنِيْنَۗ    ٧٧

Dan sungguh, (negeri) itu benar-benar terletak di jalan yang masih tetap (dilalui manusia). Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah) bagi orang yang beriman. (al-Hijr/15: 76-77).

Tetapi mengapa mereka tidak juga mengambil pelajaran dari peristiwa itu dan mengapa mereka tidak juga mau beriman.

Ayat 139

Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa Nabi Yunus adalah seorang rasul Allah. Ia diutus ke negeri Niniveh (Nainawa), salah satu kota kerajaan Asyuria di pinggir sungai Tigris (daerah Mosul, Irak sekarang).

Ia berusaha menyadarkan kaumnya untuk tidak mempertuhankan berhala, dan mengajak mereka untuk mempercayai dan menyembah Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Allah swt, tetapi mereka menentangnya.


Baca Juga: Kisah Teladan Nabi di Bulan Muharram; Nabi Yunus Keluar dari Perut Ikan Paus


Ayat 140-142

Karena begitu kerasnya sikap kaum Nabi Yunus terhadap ajakan untuk memeluk agama tauhid, Nabi Yunus marah, lalu mengancam mereka bahwa tidak lama lagi mereka akan ditimpa bencana sebagai hukuman dari Allah. Ia kemudian meninggalkan mereka dan tidak lama kemudian ancaman itu memang terbukti, karena mereka telah melihat tanda-tanda azab itu dari jauh berupa awan tebal yang hitam.

Sebelum azab itu sampai, mereka keluar dari kampung mereka bersama istri-istri dan anak-anak mereka menuju padang pasir.

Di sana mereka bertobat dan berdoa agar Allah tidak menurunkan azab-Nya. Tobat mereka diterima oleh Allah dan doa mereka dikabulkan, sebagaimana dinyatakan dalam ayat lain:

فَلَوْلَا كَانَتْ قَرْيَةٌ اٰمَنَتْ فَنَفَعَهَآ اِيْمَانُهَآ اِلَّا قَوْمَ يُوْنُسَۗ  لَمَّآ اٰمَنُوْا كَشَفْنَا عَنْهُمْ عَذَابَ الْخِزْيِ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَمَتَّعْنٰهُمْ اِلٰى حِيْنٍ

Maka mengapa tidak ada (penduduk) suatu negeri pun yang beriman, lalu imannya itu bermanfaat kepadanya selain kaum Yunus? Ketika mereka (kaum Yunus itu) beriman, Kami hilangkan dari mereka azab yang menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami beri kesenangan kepada mereka sampai waktu tertentu. (Yunus/10: 98).

Sementara itu, Nabi Yunus dalam pelariannya menumpang pada sebuah kapal yang sarat muatan barang dan penumpang. Di tengah laut kapal diterpa gelombang besar, yang dipercayai mereka sebagai suatu tanda bahwa ada seorang budak pelarian di dalam kapal itu.

Orang itu harus diturunkan. Karena tidak ada yang mau terjun ke laut secara sukarela, diadakanlah undian dengan melemparkan anak-anak panah sebagaimana kebiasaan masyarakat waktu itu.

Siapa yang anak panahnya menancap berarti ia kalah dan harus terjun ke laut. Dalam undian itu yang menancap anak panahnya adalah anak panah Nabi Yunus.

Namun para penumpang tidak mau melemparkan beliau ke dalam laut secara paksa karena mereka hormat kepadanya. Diadakanlah undian sekali lagi, tetapi yang kalah tetap Nabi Yunus.

Diadakan sekali lagi, juga demikian. Akhirnya Nabi Yunus sendiri membuka bajunya, dan terjun ke laut.

Allah lalu memerintahkan seekor ikan amat besar menelan Nabi Yunus, tetapi tidak memakannya.

Dalam perut ikan besar itu tentu saja Nabi Yunus menderita. Ia merasa terpenjara. Ia merasa tersiksa karena telah meninggalkan kaumnya. Ia kemudian bertobat.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah As-Shaffat 143-149


Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 130-136

0
Tafsir Surah As-Shaffat
Tafsir Surah As-Shaffat

Secara umum Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 130-136 mengisahkan tentang dua utusan Allah Swt. Pertama, kisah tentang Nabi Ilyas yang dipuji oleh Allah karena telah menuntaskan tugas sebagai seorang utusan. Bahkan, pujian itu tertera dalam al-Qur’an dengan redaksi ‘ilyasin’ sebagai bentuk ucapan salam Allah kepada Rasul-Nya itu.

Kisah kedua dalam Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 130-136 adalah tentang perjuangan Nabi Lut mendakwahkan ketauhidan Allah kepada kaumnya. Kaum Lut termasuk kaum ingkar yang cukup sering dibicarakan al-Qur’an, kesesatan nyata dari kaum Lut adalah menyukai sesama jenis, mereka dikenal dengan kaum Sodom, yang pada akhirnya dibinasakan oleh Allah Swt.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 125-129


Ayat 130

Allah mengucapkan salam kepada Ilyasin (bentuk jamak Ilyas), yaitu Nabi Ilyas dan orang-orang yang menerima dan mendukung ajaran yang disampaikannya. Ucapan salam dari Allah adalah kepastian keselamatan dan kesejahteraan sepanjang masa dari Allah bagi Nabi Ilyas dan para pengikutnya di dunia dan di akhirat.

Imam Nafi’ membaca ال ياسين dengan Āli Yasin seperti Āli Muhammad, sedangkan Imam Hafsh membacanya Ilyasin.

Kemudian ahli tafsir berbeda pendapat apakah ال ياسين maksudnya Ilyas atau keluarga Yasin. Namun demikian, kebanyakan ulama berpendapat bahwa maksudnya adalah keluarga atau pengikutnya.

Ayat 131

Pada ayat ini, Allah menegaskan bahwa kemuliaan yang diberi-kan kepada Nabi Ilyas itu adalah karena kebajikan yang telah ia perbuat.

Ia telah berjuang menegakkan agama tauhid dan meluruskan kembali jalan kehidupan yang ditempuh kaumnya, Bani Israil.

Ia telah berdakwah dengan penuh pengorbanan secara tulus ikhlas. Kepentingannya bukan untuk dirinya, tetapi bagaimana supaya umatnya beriman dan berbuat baik dalam hidup mereka.


Baca Juga: Rencana Pembunuhan Nabi Ilyas dan Bencana untuk Kaumnya


Ayat 132

Allah memuji Nabi Ilyas karena termasuk salah satu hamba-Nya yang beriman. Ia seorang yang benar-benar beriman sehingga ia mengabdikan diri untuk-Nya.

Karena keimanannya, Nabi Ilyas bisa memberikan pengorbanan yang besar bagi kebaikan umatnya. Iman memang perlu dibuktikan dengan perbuatan baik, dan Nabi Ilyas telah membuktikannya.

Ayat 133

Pada ayat ini diterangkan bahwa Nabi Lut adalah seorang rasul Allah. Ia sezaman dengan Nabi Ibrahim. Ia diutus Allah ke negeri bernama Sodom di daerah Palestina. Penduduk negeri ini terkenal dengan perilaku homoseksual.

Nabi Lut berusaha menyadarkan mereka dengan menyatakan bahwa perbuatan mereka itu menyimpang dan dikutuk Allah. Allah berfirman:

وَلُوْطًا اِذْ قَالَ لِقَوْمِهٖٓ اِنَّكُمْ لَتَأْتُوْنَ الْفَاحِشَةَ ۖمَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ اَحَدٍ مِّنَ الْعٰلَمِيْنَ   ٢٨  اَىِٕنَّكُمْ لَتَأْتُوْنَ الرِّجَالَ وَتَقْطَعُوْنَ السَّبِيْلَ ەۙ وَتَأْتُوْنَ فِيْ نَادِيْكُمُ الْمُنْكَرَ ۗفَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهٖٓ اِلَّآ اَنْ قَالُوا ائْتِنَا بِعَذَابِ اللّٰهِ اِنْ كُنْتَ مِنَ الصّٰدِقِيْنَ  ٢٩

Dan (ingatlah) ketika Lut berkata kepada kaumnya, “Kamu benar-benar melakukan perbuatan yang sangat keji (homoseksual) yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun dari umat-umat sebelum kamu. Apakah pantas kamu mendatangi laki-laki, menyamun dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu?” Maka jawaban kaumnya tidak lain hanya mengatakan, “Datangkanlah kepada kami azab Allah, jika engkau termasuk orang-orang yang benar.” (al-‘Ankabut/29: 28-29).

Tetapi peringatan dan nasihat Nabi Lut itu tidak mereka indahkan, bahkan mereka menantang Nabi Lut untuk segera memohon kepada Allah untuk mendatangkan azab kepada mereka.

Ayat 134-136

Karena terus membangkang bahkan menantang, maka Allah menurunkan azab-Nya. Dalam ayat-ayat ini, Allah menjelaskan bahwa Ia menyelamatkan Nabi Lut dan pengikut-pengikutnya yang beriman dan menghancurkan mereka yang membangkang termasuk istrinya.

Cara Allah menyelamatkan Nabi Lut dan pengikutnya adalah memerintahkan mereka keluar dari negeri itu tengah malam sehingga sebelum subuh mereka harus sudah berada di luar negeri itu, sebagaimana dilukiskan pada ayat berikut:

قَالُوْا يٰلُوْطُ اِنَّا رُسُلُ رَبِّكَ لَنْ يَّصِلُوْٓا اِلَيْكَ فَاَسْرِ بِاَهْلِكَ بِقِطْعٍ مِّنَ الَّيْلِ وَلَا يَلْتَفِتْ مِنْكُمْ اَحَدٌ اِلَّا امْرَاَتَكَۗ اِنَّهٗ مُصِيْبُهَا مَآ اَصَابَهُمْ  ۗاِنَّ مَوْعِدَهُمُ الصُّبْحُ ۗ اَلَيْسَ الصُّبْحُ بِقَرِيْبٍ

Mereka (para malaikat) berkata, “Wahai Lut! Sesungguhnya kami adalah para utusan Tuhanmu, mereka tidak akan dapat mengganggu kamu, sebab itu pergilah beserta keluargamu pada akhir malam dan jangan ada seorang pun di antara kamu yang menoleh ke belakang, kecuali istrimu. Sesungguhnya dia (juga) akan ditimpa (siksaan) yang menimpa mereka. Sesungguhnya saat terjadinya siksaan bagi mereka itu pada waktu subuh. Bukankah subuh itu sudah dekat?” (Hud/11: 81).

Ketika subuh tiba datanglah bencana yang dijanjikan itu, yaitu negeri itu dibalikkan sehingga mereka yang kafir itu terkubur di dalam bumi. Firman Allah:

فَلَمَّا جَاۤءَ اَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَاَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِّنْ سِجِّيْلٍ مَّنْضُوْدٍ  ٨٢  مُسَوَّمَةً عِنْدَ رَبِّكَۗ وَمَا هِيَ مِنَ الظّٰلِمِيْنَ بِبَعِيْدٍ     ٨٣

Maka ketika keputusan Kami datang, Kami menjungkirbalikkannya negeri kaum Lut, dan Kami hujani mereka bertubi-tubi dengan batu dari tanah yang terbakar, yang diberi tanda oleh Tuhanmu. Dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang yang zalim. (Hud/11: 82-83).

Di samping itu negeri itu dilanda topan besar yang membawa batu-batu sehingga menghancurkan dan menguburkan negeri itu, sebagaimana diinformasikan pada ayat lain:

كَذَّبَتْ قَوْمُ لُوْطٍ ۢبِالنُّذُرِ   ٣٣  اِنَّآ اَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ حَاصِبًا اِلَّآ اٰلَ لُوْطٍ ۗنَجَّيْنٰهُمْ بِسَحَرٍۙ  ٣٤

Kaum Lut pun telah mendustakan peringatan itu.  Sesungguhnya Kami kirimkan kepada mereka badai yang membawa batu-batu (yang menimpa mereka), kecuali keluarga Lut. Kami selamatkan mereka sebelum fajar menyingsing. (al-Qamar/54: 33-34).

Karena Nabi Lut, sebagian keluarganya, dan pengikutnya yang beriman sudah berada di luar kota mereka, maka mereka semua selamat. Yang tidak selamat adalah seorang perempuan tua, yaitu istrinya.

Ia lebih mematuhi kaumnya yang ingkar daripada mengikuti Nabi Lut. Oleh karena itu, ia tetap tinggal di negeri itu, sehingga ikut menjadi korban.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah As-Shaffat 137-142


Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 125-129

0
Tafsir Surah As-Shaffat
Tafsir Surah As-Shaffat

Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 125-129 menceritakan tentang perjuangan Nabi Ilyas dalam mengajak kaumnya untuk menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya, namun seruan itu ditolak. Jutru, ia menerima perlakuan tidak baik dari kaumnya, namun Allah memandang perjuangan Ilyas yang tulus dalam menjalankan perintah Tuhannya, sebab itulah ia dianugerahi kemuliaan dari Allah Swt.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 117-124


Ayat 125

Nabi Ilyas meminta mereka agar meninggalkan penyembahan patung yang mereka beri nama Ba’l.

Menurut sebagian ulama Ba’l adalah nama patung orang-orang Funisia pada zaman sebelum masehi.

Ada pula yang mengatakan bahwa Ba’l adalah nama patung yang disembah penduduk kota Ba’labak di barat Damaskus.

Nabi Ilyas mengecam mereka, mengapa mereka menyembah patung itu, karena patung itu tidak mencipta bahkan tidak bisa berbuat apa-apa. Yang patut dijadikan Tuhan dan disembah adalah yang mencipta bukan patung Ba’l yang tidak bisa berbuat apa-apa tersebut.

Ayat 126

Nabi Ilyas menegaskan bahwa Tuhan yang Maha Pencipta itu adalah Allah. Allah-lah yang menciptakan mereka dan nenek moyang mereka.

Karena itu, Allah-lah Tuhan mereka yang sebenarnya dan juga Tuhan nenek moyang mereka, yaitu Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Nabi Ishak dan Nabi Yakub.

Sebelum meninggal, Nabi Yakub telah menerima janji dari anak-anaknya bahwa mereka hanya akan mempertuhankan Allah, sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an:

اَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاۤءَ اِذْ حَضَرَ يَعْقُوْبَ الْمَوْتُۙ اِذْ قَالَ لِبَنِيْهِ مَا تَعْبُدُوْنَ مِنْۢ بَعْدِيْۗ قَالُوْا نَعْبُدُ اِلٰهَكَ وَاِلٰهَ اٰبَاۤىِٕكَ اِبْرٰهٖمَ وَاِسْمٰعِيْلَ وَاِسْحٰقَ اِلٰهًا وَّاحِدًاۚ وَنَحْنُ لَهٗ مُسْلِمُوْنَ

Apakah kamu menjadi saksi saat maut akan menjemput Yakub, ketika dia berkata kepada anak-anaknya, “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu yaitu Ibrahim, Ismail dan Ishak, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami (hanya) berserah diri kepada-Nya.” (al-Baqarah/2: 133).

Dengan penyembahan patung Ba’l itu berarti bahwa mereka telah melanggar ikrar nenek moyang mereka tersebut.


Baca Juga: Tafsir Surah Al-Ikhlas: Mengenal Tuhan Via Negativa (Bag. 1)


Ayat 127-128

Ayat ini menerangkan bahwa kaum Nabi Ilyas menentang Nabi Ilyas. Mereka memandang Nabi Ilyas berbohong dengan dakwah yang disampaikannya.

Oleh karena itu, mereka menolak untuk kembali kepada agama tauhid. Karena tetap memilih syirik dan tidak kembali ke agama tauhid itu, maka selama di dunia mereka dibiarkan, tetapi di akhirat nanti mereka akan diseret dengan paksa ke dalam neraka.

Mereka yang mengerjakan kebaikan dengan ikhlas dihindarkan dari neraka. Mereka disebut al-mukhlish “orang yang ikhlas”.

Setelah keikhlasan mereka dalam beramal begitu kuatnya sehingga sudah menjadi sifatnya, maka Allah menyambut keikhlasan itu sehingga ia dijadikan-Nya sebagai orang yang telah diterima sepenuhnya keikhlasannya. Orang itu disebut al-mukhlash ‘orang yang diikhlaskan’.

Dalam Al-Qur’an orang itulah yang tidak mempan digoda oleh setan sebagaimana diakui setan itu sendiri:

قَالَ رَبِّ بِمَآ اَغْوَيْتَنِيْ لَاُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِى الْاَرْضِ وَلَاُغْوِيَنَّهُمْ اَجْمَعِيْنَۙ    ٣٩  اِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِيْنَ   ٤٠

Ia (Iblis) berkata, “Tuhanku, oleh karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih di antara mereka.” (al-Hijr/15: 39-40)

Ayat 129

Ayat ini menjelaskan kemuliaan yang diberikan Allah kepada Nabi Ilyas atas perjuangannya yang tidak kenal lelah dalam menyampai-kan dakwah kepada manusia.

Kemuliaan itu sama dengan kemuliaan yang diberikan kepada Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, dan Harun, yaitu dikenangnya nama mereka sepanjang masa oleh umat beragama.

Di antaranya adalah dipujinya nama mereka dalam Al-Qur’an yang lestari sampai akhir zaman.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah As-Shaffat 130-136


Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 117-124

0
Tafsir Surah As-Shaffat
Tafsir Surah As-Shaffat

Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 117-124 masih berbicara tentang nikmat, kali ini Allah menegaskan bahwa Ia telah anugerahi kenimakmatan kepada Bani Israil, nikmat yang belum pernah diberikan kepada umat-umat sebelumnya. Selain itu, dijelaskan pula tentang kenikmatan yang Allah anugerahkan kepada para Nabi dan Rasul-Nya, dan setiap mereka memiliki keistimewaannya masing-masing.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 113-116


Ayat 117-118

Dua ayat ini menjelaskan nikmat yang diberikan Allah kepada Bani Israil. Dua macam nikmat yang lalu merupakan kenikmatan lahiriah maka dua macam berikut ini kenikmatan batiniah, yakni dua macam anugerah Tuhan yang menyelamatkan dan meningkatkan jiwa dan akhlak mereka.

Ketiga, Allah memberikan kepada Musa dan Harun kitab Taurat yang sangat jelas dan memuat ketentuan-ketentuan dan petunjuk baik untuk kebahagiaan hidup di dunia maupun akhirat. Allah berfirman:

وَلَقَدْ اٰتَيْنَا مُوْسٰى وَهٰرُوْنَ الْفُرْقَانَ وَضِيَاۤءً وَّذِكْرًا لِّلْمُتَّقِيْنَ

Dan sungguh, Kami telah memberikan kepada Musa dan Harun, Furqan (Kitab Taurat) dan penerangan serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (al-Anbiya’/21: 48).

Kitab ini diwariskan kepada Bani Israil untuk dijadikan pegangan hidup mereka. Firman Allah:

وَلَقَدْاٰتَيْنَا مُوْسٰى الْهُدٰى وَاَوْرَثْنَا بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ الْكِتٰبَۙ   ٥٣  هُدًى وَّذِكْرٰى لِاُولِى الْاَلْبَابِ  ٥٤

Dan sungguh, Kami telah memberikan petunjuk kepada Musa; dan mewariskan Kitab (Taurat) kepada Bani Israil untuk menjadi petunjuk dan peringatan bagi orang-orang yang berpikiran sehat. (Gafir/40: 53-54).

Keempat, Allah menunjukkan jalan kebenaran kepada keduanya untuk menuju kepada kebahagiaan yang hakiki. Dengan akal pikiran, keduanya menjalankan dan mengikuti petunjuk-petunjuk Ilahi, baik dalam bidang akidah maupun muamalah, dan Allah masih menganugerahkan kepada mereka taufik dan perlindungan-Nya.

Ayat 119-120

Kemudian Allah menerangkan kenikmatan lain yang merupakan kemuliaan yang diberikan-Nya kepada Musa dan Harun, sebagaimana yang diberikan Allah kepada Nuh dan Ibrahim. Kemuliaan itu ialah:

Allah mengabadikan sebutan keharuman nama keduanya yang mengharumkan di kalangan para nabi dan umat manusia sepanjang masa. Begitu juga dengan pujian dan doa terus diberikan kepadanya.

Allah menyebutkan salam sejahtera bagi Musa dan Harun agar para malaikat, jin, dan manusia menyebutkan salam juga bagi keduanya. Dengan ucapan salam sejahtera itu maka nama mereka akan tetap harum selama-lamanya.


Baca Juga: Surah An-Nur [24] Ayat 27: Anjuran Mengucap Salam Ketika Bertamu


Ayat 121-122

Dua ayat ini menjelaskan bahwa kenikmatan yang besar tersebut di atas seperti kemenangan atas musuh-musuh, petunjuk-petunjuk Tuhan, kemuliaan-kemuliaan, dan sebagainya adalah berkat amal kebajikan yang mereka lakukan, dan pengorbanan serta penderitaan mereka dalam memperjuangkan penegakan agama tauhid.

Jadi begitulah Allah memberikan pembalasan pahala dunia-akhirat atas orang-orang yang berbuat kebaikan untuk kemaslahatan sesama umat manusia.

Yang mendorong keduanya mengerjakan amal-amal kebajikan dan bersedia mengalami penderitaan adalah iman yang bersemi dalam dada mereka.

Dari landasan iman yang kuat lahirlah perbuatan-perbuatan yang mulia, itulah sebabnya Allah menegaskan bahwa keduanya adalah hamba-hamba Allah yang beriman.

Ayat 123

Pada ayat ini, Allah menegaskan bahwa Ilyas adalah seorang rasul yang diutus Allah. Menurut at-Thabari, Ilyas adalah putera Yasin bin Finhas bin Iyzar bin Nabi Harun saudara Nabi Musa.

Masa kenabiannya setelah kenabian Nabi Sulaiman. Ia diutus Allah kepada Bani Israil ketika kaumnya itu tidak lagi menyembah Allah, tetapi menyembah berhala.

Raja-raja mereka juga mendukung agama berhala tersebut, bahkan membangun tempat-tempat khusus penyembelihan hewan untuk dipersembahkan kepada berhala tersebut.

Ayat 124

Nabi Ilyas memperingatkan kaumnya agar bertakwa kepada Allah, yaitu mengerjakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.

Takwa adalah inti ajaran para nabi sampai Nabi Muhammad. Bila mereka takwa mereka akan bahagia di dunia dan di akhirat, tetapi bila tetap kafir maka mereka akan ditimpa azab yang dahsyat dari Allah.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah As-Shaffat 125-129


3 Pola Hidup Minimalis Yang Bernilai Qur’ani

0
Hidup Minimalis Yang Bernilai Qur’ani
Hidup Minimalis Yang Bernilai Qur’ani

Gaya hidup minimalis mulai banyak dikenal dan dipelajari beberapa tahun terakhir. Trend pola hidup ini tersebar melalui buku dan tokoh yang menjalaninya. Kemudian, tak sedikit pula yang ikut beralih dan menjalani pola hidup minimalis.

Memang, hidup minimalis menawarkan pola hidup sederhana di tengah kehidupan yang kompleks ini. Dengan begitu, banyak manfaat dan kemudahan yang dirasakan begi mereka yang menjalaninya.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Kewajiban Berusaha Mencari Air Sebelum Tayamum

3 Pola Hidup Minimalis

Dalam buku Seni Hidup Minimalis, Francine Jay menjelaskan 10 dasar pemikiran seorang minimalis. Yang menarik, setidaknya ada tiga pola hidup minimalis -menurut penulis- yang erat kaitannya dengan nilai-nilai Qur’ani. Artinya, tiga pola hidup ini sejalan dan sejiwa dengan Al-Qur’an.

Tiga pola hidup itu adalah yang pertama, mengenali kegunaan setiap barang. Yang kedua, anda bukan barang anda. Adapun yang ketiga, hidup sederhana. Tentu masih ada 7 pola hidup lainnya, namun dalam tulisan ini akan diuraikan 3 poin saja.

Kenali Kegunaan Setiap Barang!

Mengenali kegunaan barang membuat kita mengenali kebutuhan hidup kita. Kemudian, kita mulai memikirkan kembali apakah barang-barang yang kita miliki benar-benar kita butuhkan. Setelah itu, kita akan memiliki kesadaran untuk hanya memiliki apa yang kita butuhkan, bukan sekedar apa yang kita inginkan.

Secara umum, barang yang dimaksud ini adalah segala apa yang ada di bumi. Menurut Al-Qur’an, Allah telah menjadikan segala apa yang di bumi untuk kemaslahatan manusia. Sebagaimana dalam surat Al-Baqarah ayat 29:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا

Artinya: “Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kalian.”

Baca juga: Kritik Angelika Neuwirth atas Pendekatan Revisionisme Wansbrough dalam Studi Al-Quran

Kemudian, sebagai khalifah di bumi, selayaknya manusia dapat mengambil manfaat dan mengelolanya dengan baik. Selain barang-barang, bahkan binatang ternakpun telah ditundukkan untuk keberlangsungan hidup manusia. Sebagaimana dalam surat Yasin ayat 72-73:

وَذَلَّلْنٰهَا لَهُمْ فَمِنْهَا رَكُوْبُهُمْ وَمِنْهَا يَأْكُلُوْنَ وَلَهُمْ فِيْهَا مَنَافِعُ وَمَشَارِبُۗ اَفَلَا يَشْكُرُوْنَ

Artinya: “Dan Kami menundukkannya (hewan-hewan itu) untuk mereka; lalu sebagiannya untuk menjadi tunggangan mereka dan sebagian untuk mereka makan. Dan mereka memperoleh berbagai manfaat dan minuman darinya. Maka mengapa mereka tidak bersyukur?”

Menurut Qurasih Shihab, ayat ini berbicara tentang anugerah besar dari Allah kepada manusia. Lalu, pentingnya untuk mengenali kebermanfaat binatang ternak sebagai yang kendaraan atau makanan. Artinya, pengenalan manfaat menjadi penting agar manusia tidak salah mengelola dan mengkonsumsi nikmat-nikmat Allah. Dan sikap ini merupakan bentuk rasa syukur terhadap nikmat tersebut. (Tafsir Al-Misbah, jil. 11, hal. 574)

Baca juga: Mengenal Sosok Salman Harun, Guru Besar Ilmu Tafsir yang Bersahaja

Anda Bukan Barang Anda!

Selanjutnya adalah konsep barang dan diri. Konsep ini menyebutkan bahwa diri kita bukanlah barang. Dengan kata lain, diri adalah satu hal dan barang adalah hal yang lain. Sehingga, kebahagiaan dan kesedihan kita tidak ditentukan oleh barang, melainkan kualitas diri kita masing-masing.

Pola hidup semacam ini membebaskan kita dari keterikatan dengan barang. Orang yang terikat barang bisa digambarkan sepeti ini. Seseorang yang memiliki mobil bagus akan bahagia. Namun, apabila mobil itu penyok atau hilang, maka kebahagiaan orang itu ikut penyok dan menghilang.

Gaya hidup semacam ini sejalan dengan surat Al-Hadid ayat 23:

لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

Artinya: “(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”

Berkenaan ayat ini, Asy-Sya’rawi menerangkan tentang kondisi jiwa, bahwa hendaknya jiwa tidak terpengaruh dengan kesedihan dan kebahagiaan karena barang. Dengan begitu, jiwa akan merasa tenang, tidak mudah gelisah dan tetap berada pada kondisi seimbang atas keataan pada Allah. (Tafsir Asy-Sya’rawi, Hal. 14953)

Dalam kajian tasawuf, ayat ini berkaitan dengan sifat zuhud. Zuhud bukan dalam arti tidak boleh memiliki barang-barang, akan tetapi kemampuan untuk tidak terikat oleh barang. Sehingga, tidak sedih atau terlampau bahagia dengan silih bergantinya barang.

Baca juga: Hukum Nun Mati dan Tanwin: Hukum Idzhar Dilengkapi dengan Contoh dalam Al-Quran

Hidup Sederhana

Gaya hidup yang terakhir adalah kesederhanaan hidup. Hidup yang sederhana adalah hidup dalam kecukupan. Artinya, hidup dalam posisi yang seimbang, tidak kekurangan dan tidak berlebihan. Pola ini diyakini dapat mendatangkan kebahagiaan hidup.

Prinsip minimalis yang terkenal adalah “setelah kebutuhan dasar terpenuhi, kebahagiaan kita tak lagi ditentukan oleh banyaknya barang yang dimiliki.” Implikasinya, pola konsumsi dilakukan berdasarkan kebutuhan dan kesederhanaan.

Prinsip ini berkesesuaian dengan surat Al-Furqan ayat 67:

وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَٰلِكَ قَوَامًا

Artinya: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.”

Dalam tafsir Ibn Kathir, ayat ini menjelaskan tentang keseimbangan atau perkara pertengahan. Maksudnya, tidak boros dalam konsumsi melebihi batas kebutuhan dan tidak kikir terhadap keluarga. Akan tetapi, adil dan seimbang dalam menggunakan harta. (Tafsir Ibn Kathir, hal. 365)

Baca juga: Tafsir Ahkam: Kewajiban Berusaha Mencari Air Sebelum Tayamum

Selain prinsip kesederhanaan, sikap hidup ini dekat dengan rasa cukup atau dalam Islam dikenal dengan Qana’ah. Sifat yang melahirkan kesadaran untuk menerima, rela dan menysukuri apa yang dimiliki. Karena tidak ada rasa cukup bagi mereka yang menganggap bahwa rasa cukup itu masih kurang.

Semoga melalui 3 pola hidup minimalis ini dapat menginspirasi kita untuk lebih hidup secara Qur’ani. Terlepas dari asal muasal hidup minimalis ini, dari Jepang atau sedang trend di Amerika, kita tetap harus belajar dari siapapun yang membawa hikmah dan kebajikan. Terlebih, jika nilai itu sejalan dengan kandungan Al-Qur’an. wallahu’alam bishawab.