Beranda blog Halaman 217

Pengertian Nasakh dan Penggunaannya dalam Al-Quran Menurut Para Ulama

0
Nasakh
Nasakh dalam Al-Quran

Nasakh dalam pengertian bahasa diambil dari wazan na-sa-kha yang berarti menyalin tulisan dari sebuah tulisan kata-perkata (iktitabuka kitaban ‘an kitabin harfan bi harfin). Apabila dihimpun dari beberapa literatur kitab ‘ulum al-Quran, maka sedikitnya definisi nasakh menurut kebahasaan adalah sebagai berikut:

  1. Berarti menghilangkan (al-izalah) sebagaimana contoh dalam Q.S al-Hajj: 52:

…فينسخ الله ما يلقي الشيطان ثم يحكم الله ءايته….

…Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayatnya…

  1. Bermakna memindahkan (al-tahwil) seperti contoh kalimat:

تناسخ المواريث اي تحويل الميراث من واحد الى واحد

  1. Memiliki arti kata menyalin (al-naqal) seperti dalam contoh:

نسخت الكتاب إذا نقلت ما فيه حاكيا للفظه و خطه

Dari hasil penelusuaran penulis, dalam al-Quran kata nasakh beserta derivasinya digunakan sebanyak empat kali yaitu pertama dalam Q.S al-Baqarah [02]: 106.

ما ننسخ من آية أو ننسها نأت بخير منها أو مثلها ألم تعلم أن الله على كل شيء قدير

“Ayat yang kami batalkan atau kami hilangkan dari ingatan, pasti Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu tahu bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”

Baca Juga: Pro Kontra Teori Peminjaman dan Keterpengaruhan Al-Quran Terhadap Yahudi dan Nasrani

Kedua dalam Q.S al-A’raf [07]: 154 yang berbunyi:

    و لما سكت عن موسى الغضب أخذا الألواح و في نسختها هدى و رحمة للذين هم لربهم يرهبون

“Dan setelah amarah Musa mereda, diambilnya (kembali) lauh-lauh (Taurat) itu, di dalam tulisannya terdapat petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang takut kepada Tuhannya.”

Ketiga dalam Q.S al-Hajj [22]: 52 sebagaimana tertera di bagian arti kata secara bahasa yang bermakna menghilangkan. Terakhir yang keempat dalam Q.S al-Jatsiah [45]: 29 yaitu:

هذا كتابنا ينطق عليكم بالحق إنا كنا نستنسخ ما كنتم تعملون

“(Allah berfirman), “Inilah kitab Kami yang menuturkan kepadamu dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan.”

Adapun nasakh dalam pengertian istilah ilmu al-Quran sebagaimana diungkapkan Manna’ Qaththan dalam Mabahits fi ‘Ulum al-Quran adalah mengganti hukum syari’at (al-hukm al-syar’i) dengan dalil hukum syariat (bi khitab al-syar’i). Dari pengertian tersebut dapat dijelaskan lagi bahwa nasakh mengecualikan penggantian hukum dengan selain khitab syar’i seperti qiyas dan ijma’.

Kemudian masih dari pengertian istilah dapat diketahui bahwa nasakh hanya ada di seputar hukum, tidak dengan masalah akidah. Lebih spesifik al-Zarqani dalam Manahil al-‘Irfan menilai bahwa nasakh dikhususkan untuk masalah hukum yang bersifat cabang (furu’ al-hukm) tidak dengan yang pokok (usul al-hukm).

Masih dalam konteks definisi nasakh bahwa dari istilah nasakh yang berupa masdar, dapat diturunkan menjadi dua bagian. Pertama adalah nasikh yakni hukum yang mengganti. Kedua yaitu mansukh atau hukum yang diganti. Dikatakan oleh Manna’ Qattan bahwa nasikh atau yang mengganti hukum adalah hak prerogatif Allah swt, artinya hanya Allah yang berhak untuk mengganti hukum.

Sedangkan untuk mansukh, ada tiga hal syarat yang harus dipenuhi. Pertama, hukumnya jelas-jelas merupakan hukum syari’at. Kedua, dalil hukum pengganti tertera dalam nash syar’i. Ketiga, redaksi kalimat yang diganti tidak memiliki spesifikasi waktu.  Untuk syarat yang ketiga, dapat diambil contoh dalam Q.S al-Baqarah [2]: 109:

… فاعفوا واصفحوا حتى يأتي الله بأمره

“… Maka maafkanlah dan berlapangdadalah, sampai Allah memberikan perintah-Nya.”

Baca Juga: Asal Usul Kata al-Qur’an dan Definisinya Menurut Para Ulama

Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa pada masa awal Nabi di Madinah, dari kalangan Yahudi terutama tokoh yang bernama Ka’ab al-Asyraf merasa iri dan menginginkan orang-orang Madinah yang telah masuk Islam untuk murtad. Allah memerintahkan Nabi agar memaafkan dan membiarkan mereka hingga waktu yang ditentukan.

Dari definisi, syarat dan ketentuan nasakh di atas, timbul pertanyaan, kemudian bagaimana cara yang paling mendasar untuk mengetahui nasikh dan mansukh? Ada tiga sumber utama untuk mengetahuinya. Pertama adalah riwayat Nabi yang jelas-jelas menerangkan tentang ayat nasakh. Kedua konsensus para sahabat bahwa ayat tertentu merupakan ayat nasakh. Ketiga dengan mengetahui waktu turunnya ayat (tartib nuzul). Wallahu A’lam.

Benarkah Umat Islam Harus Bersikap Tegas Kepada Non-Muslim?

0
Non-Muslim
Haruskah Umat Islam Bersikap Keras Kepada Non-Muslim

Ayat al-Quran yang sering dikutip oleh sebagian saudara kita sesama umat Islam untuk menegaskan eksklusifitas sesama Muslim kepada non-Muslim adalah Q.S al-Fath [48] ayat 29 yang bunyinya sebagai berikut:

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir. Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan di antara mereka, ampunan dan pahala yang besar.

Yang perlu digaris bawahi adalah pada kalimat asyidda’u ‘ala al-kuffar ruhama’ bainahum yang secara harfiah dapat diterjemahkan dengan bersikap tegas kepada non-Muslim dan kasih sayang di antara orang Muslim.

Baca Juga: Pro Kontra Teori Peminjaman dan Keterpengaruhan Al-Quran Terhadap Yahudi dan Nasrani

Dalam buku Islamku Islam Anda Islam Kita karya Abdurrahman Wahid, Gus Dur—sapaan akrab Abdurrahman Wahid—menceritakan di salah satu bagian buku tersebut bahwa ia pernah satu panel dengan Yusril Ihza Mahendra di suatu diskusi bedah buku di Masjid Sunda Kelapa, Jakarta. Pada acara tersebut, Gus Dur dikritik oleh Yusril karena dianggap terlalu dekat dengan Non-Muslim. Yusril melandaskan kritiknya itu dengan mengutip ayat yang sedang kita bahas disini.

Bagi Gus Dur, Yusril kurang tepat memahami ayat tersebut. Menurutnya, kafir dalam ayat tersebut bukan dialamatkan untuk seluruh non-Muslim. Akan tetapi sebab turunnya adalah dalam konteks pengusiran umat Muslim oleh orang-orang kafir Quraisy di Mekah.

Tulisan ini tidak hendak mendiskusikan perdebatan antara Gus Dur dan Yusril. Terlebih siapa yang benar di antara mereka berdua dalam memahami ayat al-Quran. Baik Gus Dur dan Yusril kita hormati sebagai tokoh Nasional yang kiprahnya tidak diragukan lagi untuk bangsa ini.

Lalu timbul pertanyaan, mengapa terjadi perbedaan penafsiran di antara keduanya? Padahal ayat al-Quran adalah diakui oleh keduanya sebagai sumber pedoman hidup. Pertanyaan inilah yang kemudian akan dieksplorasi lebih jauh oleh penulis.

Dalam kajian ilmu tafsir kontemporer terdapat konsep yang disebut dengan “pra-pemahaman”. Pra pemahaman adalah sebuah konsep yang meniscayakan pemahaman seseorang terhadap Kitab Suci, dalam hal ini adalah al-Quran, sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana seseorang itu berinteraksi dan membentuk pola pikirnya. Pra-pemahaman merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan latar belakang seseroang—pendidikan, pengalaman hidup dan lingkungan sosial—akan ikut andil dalam pemahamannya atas al-Quran.

Oleh sebab itu, para ulama semisal Imam Badruddin al-Zarkasyi dalam al-Burhan fi ‘Ulum al-Quran dan juga Imam Jalaludin al-Suyuthi dengan al-Itqan fi Ulum al-Quran mengajukan banyak sekali prasyarat bagi seseorang ketika hendak menafsirkan al-Quran. Di antaranya adalah penguasaan bahasa Arab yang mumpuni, penguasaan kaidah-kaidah tafsir termasuk ilmu sabab nuzul, muhkam mutasyabih, kemudian kaidah ushul dan ilmu-ilmu lain. Sehingga, lagi lagi ditekankan disini bahwa tidak cukup ntuk menyimpulkan penafsiran atas ayat al-Quran hanya berlandaskan pada terjemahannya semata.

Baca Juga: Otoritas Keagamaan dan Upaya Menafsirkan Kehendak Tuhan

Kembali pada pertanyaan yang diajukan tadi, jawabannya jelas adalah karena latar belakang keilmuan dan lingkungan sosial keduanya amat berbeda. Gus Dur, selaku Kiai NU dan mantan ketua umum PBNU, bergaul dengan lintas lapisan masyarakat. Ia tidak hanya berbaur dengan warga Pesantren dan nahdliyyin akar rumput yang mayoritas orang desa, akan tetapi juga sebagai mantan Presiden juga bergaul dengan semua rakyatnya tanpa memandang agamanya. Oleh karenanya, bagi Gus Dur, ayat mengenai bertindak tegas terhadap orang kafir tidak tepat untuk digeneralisir pemaknaannya.

Ternyata pendapat Gus Dur dapat ditemukan pula dalam kitab tafsir. Adalah Syekh Jamaluddin al-Qasimi dalam tafsir Mahasin al-Ta’wil yang menjelaskan bahwa kafir yang dimaksudkan di atas adalah kafir yang memerangi umat Islam dan terang-terangan menghalangi dakwah. Wallahu A’lam.

Tafsir Surah Al-Qalam ayat 7-9

0
Tafsir Surah Al Qalam 52 Ayat
Tafsir Surah Al Qalam 52 Ayat

Tafsir Surah Al-Qalam ayat 7-9 mengingatkan manusia bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang ada di muka bumi ini termasuk dengan sifat-sifat manusia ciptaan-Nya. Oleh sebab itu Allah melarang Nabi Muhammad untuk bersikap lunak kepada orang-orang musyrik yang mendustakan-Nya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Qalam ayat 3-6


Ayat 7

Pada Tafsir Surah Al-Qalam ayat 7-9 khususnya ayat 7 ini, Allah menegaskan lagi pernyataan-Nya pada ayat dahulu dengan mengatakan kepada Nabi Muhammad saw bahwa orang-orang musyrik itu pasti mengetahui perbuatan-perbuatan nyata yang telah dilaksanakannya. Allah dan Nabi Muhammad lebih mengetahui siapa yang menyimpang dari jalan yang benar yang telah dibentangkan untuknya sehingga mereka memperoleh kesengsaraan hidup di dunia dan di akhirat. Allah mengetahui pula siapa yang mengikuti jalan yang benar sehingga memperoleh segala yang mereka inginkan yaitu kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat, tindakan orang-orang yang menyimpang dari jalan yang benar, karena itu mereka akan merasakan kesengsaraan di dunia, seperti kekalahan dalam peperangan dan kehancuran kepercayaan mereka dan di akhirat mereka mendapat azab yang pedih.

Ayat 8

Ayat ini memerintahkan Rasulullah saw agar tetap menolak segala macam tawaran, ajakan, dan keinginan orang-orang musyrik Mekah yang tidak mau mendengarkan ayat-ayat Allah, bahkan mereka mendustakannya. Rasulullah dilarang mengikuti mereka, karena mereka berada di jalan yang sesat sedang beliau telah berada di jalan yang lurus.

Pada ayat lain, Allah berfirman:

وَاِنْ تُطِعْ اَكْثَرَ مَنْ فِى الْاَرْضِ يُضِلُّوْكَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗاِنْ يَّتَّبِعُوْنَ اِلَّا الظَّنَّ وَاِنْ هُمْ اِلَّا يَخْرُصُوْنَ   ١١٦

Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Yang mereka ikuti hanya persangkaan belaka dan mereka hanyalah membuat kebohongan. (al-An‘am/6: 116)

Ayat 9

Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang musyrik ingin agar Rasulullah mengikuti dan memenuhi permintaan, dan memperkenankan ajakan mereka agar Rasulullah bersikap lunak terhadap mereka. Jika Rasulullah dan kaum Muslimin mau bersikap lunak terhadap mereka, maka mereka akan bersikap lunak pula terhadap beliau dan kaum Muslimin.

Menurut suatu riwayat, orang-orang Quraisy pernah menawarkan kepada Rasulullah agar bersedia mengurangi kegiatan dakwahnya, dan tidak lagi mencela berhala-berhala mereka. Bahkan mereka bersedia mengikuti ajaran Nabi selama sekali waktu, asalkan setelah itu Nabi dan pengikutnya mengikuti ajaran mereka sekali waktu, begitu secara bergilir. Ajakan ini tentu saja ditolak oleh Nabi karena tidak sesuai dengan dakwah yang dibawanya untuk meninggalkan kemusyrikan dan mengganti dengan ajaran tauhid.

Ajakan ini bermula ketika Rasulullah menyampaikan agama Allah kepada orang-orang musyrik Mekah dengan terang-terangan dan penuh keberanian, walaupun pada waktu itu kaum Muslimin dalam keadaan lemah dan musuh dalam keadaan kuat. Seluruh alasan-alasan yang dikemukakan Rasulullah yang berhubungan dengan bukti kebenaran risalahnya tidak dapat dijawab oleh orang-orang musyrik. Bahkan sebaliknya, jawaban mereka itu menunjukkan kelemahan kepercayaan yang mereka anut.

Oleh karena itu, mereka meminta Rasulullah agar bersikap lunak terhadap mereka dan menghentikan celaan-celaan beliau kepada berhala-berhala yang mereka sembah. Jika Rasulullah saw bersedia menerima tawaran itu, maka mereka bersedia pula memenuhi keinginan-keinginan beliau, seperti bersikap lunak terhadap Rasulullah saw dan kaum Muslimin. Mereka juga bersedia ikut menyembah Allah di samping tetap dibolehkan menyembah tuhan-tuhan mereka dan melaksanakan kebiasaan nenek moyang mereka. Mereka juga bersedia mencarikan istri yang disenangi Nabi saw atau mengumpulkan harta yang diinginkannya.

Dilandasi keinginan untuk meringankan penderitaan yang sedang dialami sahabat-sahabatnya akibat siksaan yang dilakukan orang-orang musyrik, maka terlintas dalam pikiran Nabi Muhammad untuk bersikap lunak terhadap orang-orang musyrik dengan menerima sebahagian tawaran mereka. Maka turunlah ayat ini yang memperingatkan Nabi saw agar jangan sekali-kali bersikap lunak terhadap mereka, tetapi tetap seperti biasa, yaitu mengambil sikap keras dan tegas.

Ayat ini senada dengan firman Allah:

وَلَوْلَآ اَنْ ثَبَّتْنٰكَ لَقَدْ كِدْتَّ تَرْكَنُ اِلَيْهِمْ شَيْـًٔا قَلِيْلًا ۙ    ٧٤  اِذًا لَّاَذَقْنٰكَ ضِعْفَ الْحَيٰوةِ وَضِعْفَ الْمَمَاتِ ثُمَّ لَا تَجِدُ لَكَ عَلَيْنَا نَصِيْرًا  ٧٥

Dan sekiranya Kami tidak memperteguh (hati)mu, niscaya engkau hampir saja condong sedikit kepada mereka. Jika demikian, tentu akan Kami rasakan kepadamu (siksaan) dua kali lipat di dunia ini dan dua kali lipat setelah mati, dan engkau (Muhammad) tidak akan mendapat seorang penolong pun terhadap Kami. (al-Isra’/17: 74-75)

Jika dikaji maksud ayat ini, akan diketahui bahwa ada tujuan tertentu dari orang-orang musyrik, yang tidak boleh diketahui oleh Rasulullah, dalam mengemukakan tawaran mereka kepada beliau. Mereka ingin menipu Rasulullah saw dengan ajakan itu, dimana jika diterima, maka agama Islam yang baru disampaikan itu akan bercampur dengan unsur-unsur syirik. Akan terjadi saling mempengaruhi antara kedua macam kepercayaan itu, sehingga agama Islam tidak lagi mempunyai akidah tauhid yang murni.

Teguran Allah kepada Rasulullah saw ini juga merupakan teguran kepada seluruh kaum Muslimin, agar mereka berhati-hati dalam soal akidah. Jangan sekali-kali memasukkan ke dalam akidah Islam unsur syirik walaupun sedikit.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-Qalam ayat 10-13


 

Tafsir Surah Al-Qalam ayat 3-6

0
Tafsir Surah Al Qalam 52 Ayat
Tafsir Surah Al Qalam 52 Ayat

Tafsir Surah Al-Qalam ayat 3-6 menjelaskan bahwa kelak Rasulullah akan memperoleh kemenangan yang besar dengan banyaknya pengikut agama Islam, Rasulullah juga akan memperoleh pahala yang tidak terputus hingga hari akhir nanti. Tafsir Surah Al-Qalam ayat 3-6 ini merupakan penegasan terhadap orang-orang kafir yang tidak mempercayai Allah.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Qalam ayat 2


Ayat 3

Pada ayat yang lalu digambarkan tuduhan orang-orang kafir Mekah yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad itu gila karena berani melawan ajaran nenek moyang mereka dan terus menerus mendakwahkan ajaran baru yang bertentangan dengan ajaran mereka, yang menyembah patung-patung dan berhala, padahal semua yang dilakukan Nabi adalah atas perintah Allah. Allah yang memberikan nikmat kepada Nabi dengan ketabahan dan semangat yang besar dalam melaksanakan dakwah. Pada ayat ini, Allah menegaskan bahwa Nabi benar-benar memperoleh pahala yang terus menerus tiada terputus. Maka hal ini menegaskan bahwa Nabi Muhammad bukanlah orang yang gila karena beliau seorang yang memperoleh pahala dari Allah

Ayat ini juga termasuk yang menerangkan sesuatu yang akan terjadi pada masa yang akan datang, karena mengisyaratkan bahwa Nabi Muhammad dan kaum Muslimin akan memperoleh kemenangan besar. Berkat pertolongan dan perlindungan Allah, usaha dan jerih payahnya membawa hasil dengan tersebarnya agama Islam di Jazirah Arab, yang kemudian memancar ke seluruh penjuru dunia. Orang-orang Quraisy yang semula berkuasa dan menganut agama syirik dalam masa 23 tahun menjadi mukmin dan menjadi pembela-pembela agama Islam. Hal ini merupakan kemenangan yang besar bagi Muhammad saw dan kaum Muslimin, dan di akhirat nanti mereka akan memperoleh balasan kenikmatan yang kekal di dalam surga.

Dengan pernyataan Allah yang demikian dan isyarat yang dipahami Nabi saw dari firman-Nya itu, bertambahlah kekuatan hati, kebulatan tekad, dan kesabaran beliau dalam melaksanakan dakwah, dengan tidak menghiraukan ejekan dan tekanan tindakan orang-orang Quraisy.

Ayat 4

Ayat ini memperkuat alasan yang dikemukakan ayat di atas dengan menyatakan bahwa pahala yang tidak terputus itu diperoleh Rasulullah saw sebagai buah dari akhlak beliau yang mulia. Pernyataan bahwa Nabi Muhammad mempunyai akhlak yang agung merupakan pujian Allah kepada beliau, yang jarang diberikan-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang lain. Secara tidak langsung, ayat ini juga menyatakan bahwa tuduhan-tuduhan orang musyrik bahwa Nabi Muhammad adalah orang gila merupakan tuduhan yang tidak beralasan sedikit pun, karena semakin baik budi pekerti seseorang semakin jauh ia dari penyakit gila. Sebaliknya semakin buruk budi pekerti seseorang, semakin dekat ia kepada penyakit gila. Nabi Muhammad adalah seorang yang berakhlak agung, sehingga jauh dari perbuatan gila.

Ayat ini menggambarkan tugas Rasulullah saw sebagai seorang yang berakhlak mulia. Beliau diberi tugas menyampaikan agama Allah kepada manusia agar dengan menganut agama itu mereka mempunyai akhlak yang mulia pula. Beliau bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ مَكَاِرمَ اْلأَخْلاَقِ. (رواه البيهقي عن أبي هريرة)

Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak mulia (dari manusia). (Riwayat al-Baihaqi dari Abu Hurairah)

Ayat 5-6

Kedua ayat ini merupakan peringatan kepada kaum musyrikin dan menyatakan dengan pasti bahwa mereka benar-benar dalam keadaan sesat, karena tidak berapa lama lagi akan kelihatan kebenaran ajaran agama yang dibawa Nabi Muhammad saw. Akan kelihatan kekuatan Islam dan kelemahan kaum musyrikin itu. Kaum Muslimin akan mengalahkan mereka, dan agama Islam menjadi ajaran yang tersebar luas.

Dengan keterangan ini jelaslah bahwa Nabi Muhammad saw tidak gila, tetapi orang-orang kafir yang menolak kebenaran dan terus menerus mengikuti hawa nafsu itulah yang kehilangan akal sehat. Hal ini justru berbahaya bagi mereka karena sikap dan pendirian yang salah ini akan membawa kehancuran dan kehinaan bagi mereka. Di dunia mereka akan kehilangan pengaruh dan kekuasaan seperti terjadi pada beberapa kali peperangan dengan orang Islam yaitu pada Perang Badar, Perang Uhud, dan Perang Khandaq. Di akhirat mereka pasti akan menyesali kesesatan mereka karena akan mendapat siksa yang pedih karena penolakan mereka pada dakwah Nabi Muhammad saw.

Pada hari Kiamat, semua perbuatan manusia dihisab, ditimbang, dan diperlihatkan kepada masing-masing mereka. Di saat itu, kaum musyrikin melihat dengan nyata, siapakah di antara mereka yang benar, apakah Rasul yang mereka tuduh gila ataukah mereka sendiri? Di sini tampak dengan jelas bahwa Nabi Muhammad saw adalah yang benar, sedangkan mereka dilemparkan ke dalam neraka Jahanam. Firman Allah:

سَيَعْلَمُوْنَ غَدًا مَّنِ الْكَذَّابُ الْاَشِرُ   ٢٦

Kelak mereka akan mengetahui siapa yang sebenarnya sangat pendusta (dan) sombong itu. (al-Qamar/54: 26)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-Qalam ayat 7-9


 

Tafsir Surah Al-Qalam ayat 2

0
Tafsir Surah Al Qalam 52 Ayat
Tafsir Surah Al Qalam 52 Ayat

Tafsir Surah Al-Qalam ayat 2 Allah menegaskan bahwa Nabi Muhammad tidak membutuhkan suatu nikmatpun dari orang lain selain dari Allah. Ayat ini diturunkan sebagai perlindungan kepada Nabi Muhammad yang dianggap sebagai tukang tenung karena menyebabkan orang-orang masa itu meninggalkan agama nenek moyangnya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Qalam ayat 1


Ayat 2

Dalam Tafsir Surah Al-Qalam ayat 2 ini, Allah menyatakan dengan tegas kepada Nabi Muhammad saw bahwa beliau  tidak memerlukan suatu nikmat pun dari orang lain selain dari nikmat Allah. Mungkinkah Muhammad itu dikatakan seorang gila, karena memperoleh nikmat dan karunia yang sangat besar dari Allah? Pada ayat lain dinyatakan:

وَقَالُوْا يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْ نُزِّلَ عَلَيْهِ الذِّكْرُ اِنَّكَ لَمَجْنُوْنٌ  ۗ    ٦

Dan mereka berkata, “Wahai orang yang kepadanya diturunkan Al-Qur’an, sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar orang gila.” (al-Hijr/15: 6)

Setelah orang-orang Quraisy mengetahui pernyataan Waraqah bin Naufal itu dan Rasulullah menyampaikan agama Islam kepada mereka, maka mereka menuduh bahwa Muhammad saw dihinggapi penyakit gila atau seorang tukang tenung yang ingin memalingkan orang-orang Quraisy dari agama nenek moyang mereka. Oleh karena itu, mereka memerintahkan kepada kaumnya agar jangan sekali-kali mendengarkan ucapan Muhammad saw, dan jangan mempercayai bahwa yang diterimanya benar-benar agama Allah. Mungkinkah seorang manusia, seorang gila atau seorang tukang tenung dipercaya Allah menyampaikan agama-Nya?

Sehubungan dengan sikap orang-orang Quraisy itu, turunlah ayat ini untuk menguatkan risalah Muhammad saw, menguatkan hati beliau, dan mengingatkan karunia yang telah dilimpahkan kepadanya. Dengan ini, Allah mengisyaratkan bahwa agama yang benar dan berasal dari-Nya ialah agama yang mendorong manusia mencari dan menuntut ilmu-Nya yang luas, kemudian memanfaatkan ilmu itu untuk kepentingan manusia dan kemanusiaan.

Setiap ilmu Allah yang diperoleh itu harus ditulis dengan pena, agar dapat dipelajari dan dibaca oleh orang lain, sehingga ilmu itu berkembang. Dengan ilmu itu juga, manusia akan dapat mencapai kemajuan. Oleh karena itu, belajar membaca dan menulis dengan pena adalah pangkal kemajuan suatu umat. Apabila manusia ingin maju, maka galakkanlah belajar menulis dan membaca. Dengan turunnya ayat ini, hati Rasulullah saw bertambah mantap, tenang, dan kuat untuk melaksanakan tugasnya menyampaikan agama Allah. Beliau mempunyai argumentasi yang kuat pula dalam menghadapi sikap orang-orang Quraisy.

Dengan ayat ini, Allah menjawab tuduhan orang-orang Quraisy itu dengan menyuruh mereka mempelajari kembali sejarah hidup Nabi Muhammad yang besar dan tumbuh di hadapan mata kepala mereka sendiri. Bukankah sebelum ia diutus menjadi rasul, orang-orang yang mengatakannya gila itu menghormati dan menjadikannya sebagai orang yang paling mereka percayai? Apakah mereka tidak ingat lagi bahwa di antara mereka pernah terjadi perselisihan tentang siapa yang berhak mengangkat Hajar Aswad dan meletakkannya pada tempatnya yang semula. Peristiwa itu hampir menimbulkan pertumpahan darah, dan tidak seorang pun yang dapat mendamaikannya. Lalu mereka minta kepada Muhammad untuk bersedia menjadi juru damai di antara mereka. Mereka menerima keputusan yang ditetapkan Muhammad atas mereka, dan mereka menganggap bahwa keputusan yang diberikannya itu adalah keputusan yang paling adil.

Mungkinkah seorang yang semula baik, dianugerahi Allah kejujuran, kehalusan budi pekerti, selalu menolong dan membantu siapa saja yang memerlukannya, dan menjadi contoh dan teladan bagi orang Quraisy, tiba-tiba menjadi gila karena ia melaksanakan perintah Tuhan semesta alam, yaitu menyampaikan agama Allah dan berhijrah ke Medinah.

Jika diperhatikan susunan ayat ini, ada suatu teladan yang harus ditiru oleh kaum Muslimin, yaitu walaupun orang-orang Quraisy telah bersikap kasar dan menyakiti hati dan jasmaninya, namun Rasulullah saw membantah tuduhan-tuduhan mereka dengan cara yang baik dan mendidik. Beliau menyuruh mereka menggunakan akal pikiran yang benar dan menggunakan norma-norma yang baik.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-Qalam ayat 3-5


 

Tafsir Surah Al-Qalam ayat 1

0
Tafsir Surah Al Qalam 52 Ayat
Tafsir Surah Al Qalam 52 Ayat

Tafsir Surah Al-Qalam ayat 1 membahas perbedaan pendapat para ulama mengenai arti dari huruf “nun” yang menjadi pembuka surah Al-Qalam.  Dijelaskan dalam Tafsir Surah Al-Qalam ayat 1, bahwa huruf “nun” merupakan bentuk sumpah yang dilakukan untuk meyakinkan pendengar atau lawan bicara. Sumpah di sini merujuk kepada sumpah-sumpah Allah yang ada di dalam Al-Qur’an seperti “wal-‘Asr” dan lain sebagainya. 

Tafsir Surah Al-Qalam ayat 1 menjelaskan tentang sumpah Allah dengan Qalam (pena), banyak ikhtibar yang dapat kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti menjaga apa yang kita tulis karena tulisan juga merupakan salah satu bentuk komunikasi yang dapat menjadikan seseorang yang awalnya tidak tahu menjadi tahu.


Baca Juga: Tafsir Surah Al-Haqqah 1-52 Ayat


Ayat 1

Dalam Tafsir Surah Al-Qalah ayat 1 ini, Para mufasir berbeda pendapat tentang arti huruf “nun” yang terdapat dalam ayat ini. (Selanjutnya lihat jilid I dalam keterangan tentang huruf-huruf hijaiah yang terdapat pada permulaan surah dalam Al-Qur’an). Dalam ayat ini Allah bersumpah dengan al-qalam (pena) dan segala macam yang ditulis dengannya.

Suatu sumpah dilakukan adalah untuk meyakinkan pendengar atau orang yang diajak berbicara bahwa ucapan atau perkataan yang disampaikan itu adalah benar, tidak diragukan sedikit pun. Akan tetapi, sumpah itu kadang-kadang mempunyai arti yang lain, yaitu untuk mengingatkan orang yang diajak berbicara atau pendengar bahwa yang dipakai untuk bersumpah itu adalah suatu yang mulia, bernilai, bermanfaat, dan berharga. Oleh karena itu, perlu dipikirkan dan direnungkan agar dapat menjadi iktibar dan pengajaran dalam kehidupan dunia yang fana ini.

Sumpah dalam arti kedua ini adalah sumpah-sumpah Allah yang terdapat dalam surah-surah Al-Qur’an, seperti wal-‘ashr (demi masa), was-sama’ (demi langit), wal-fajr (demi fajar), dan sebagainya. Seakan-akan dengan sumpah itu, Allah mengingatkan kepada manusia agar memperhatikan masa, langit, fajar, dan sebagainya. Segala sesuatu yang berhubungan dengan yang disebutkan itu perlu diperhatikan karena ada kaitannya dengan hidup dan kehidupan manusia dalam mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Dalam ayat ini, Allah bersumpah dengan qalam (pena) dan segala sesuatu yang ditulis dengannya. Hal itu untuk menyatakan bahwa qalam itu termasuk nikmat besar yang dianugerahkan Allah kepada manusia, di samping nikmat pandai berbicara dan menjelaskan sesuatu kepada orang lain. Dengan qalam, orang dapat mencatat ajaran agama Allah yang disampaikan kepada para rasul-Nya, dan mencatat pengetahuan-pengetahuan Allah yang baru ditemukannya. Dengan surat yang ditulis dengan qalam, orang dapat menyampaikan berita gembira dan berita duka kepada keluarga dan teman akrabnya. Dengan qalam, orang dapat mencerdaskan dan mendidik bangsanya, dan banyak lagi nikmat yang diperoleh manusia dengan qalam itu.

Pada masa Rasulullah saw, masyarakat Arab telah mengenal qalam dan kegunaannya, yaitu untuk menulis segala sesuatu yang terasa, yang terpikir, dan yang akan disampaikan kepada orang lain. Sekalipun demikian, belum banyak di antara mereka yang mempergunakannya karena masih banyak yang buta huruf dan ilmu pengetahuan belum berkembang.

Pada masa itu, kegunaan qalam sebagai sarana menyampaikan agama Allah sangat dirasakan. Dengan qalam, ayat-ayat Al-Qur’an ditulis di pelepah-pelepah kurma dan tulang-tulang binatang atas perintah Rasulullah. Beliau sendiri sangat menghargai orang-orang yang pandai menulis dan membaca. Hal ini tampak pada keputusan Nabi Muhammad saw pada Perang Badar, yaitu seorang kafir yang ditawan kaum Muslimin dapat dibebaskan dengan cara membayar uang tebusan atau mengajar kaum Muslimin menulis dan membaca.

Dengan ayat ini, seakan-akan Allah mengisyaratkan kepada kaum Muslimin bahwa ilmu-Nya sangat luas, tiada batas dan tiada terhingga. Oleh karena itu, cari dan tuntutlah ilmu-Nya yang sangat luas itu agar dapat dimanfaatkan untuk kepentingan duniawi. Untuk mencatat dan menyampaikan ilmu kepada orang lain dan agar tidak hilang karena lupa atau orang yang memilikinya meninggal dunia, diperlukan qalam sebagai alat untuk menuliskannya. Oleh karena itu, qalam erat hubungannya dan tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan ilmu, kesejahteraan, dan kemaslahatan umat manusia.

Masa turun ayat ini dekat dengan ayat Al-Qur’an yang pertama kali diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad saw, yaitu lima ayat pertama Surah al-‘Alaq. Setelah Nabi menerima ayat 1-5 Surah al-‘Alaq itu, beliau pulang ke rumahnya dalam keadaan gemetar dan ketakutan. Setelah hilang rasa gentar dan takutnya, Nabi saw dibawa Khadijah, istri beliau, ke rumah Waraqah bin Naufal, anak dari saudara ayahnya (saudara sepupu). Semua yang terjadi atas diri Rasulullah di gua Hira itu disampaikan kepada Waraqah, dan menanggapi hal itu, ia berkata, “Yang datang kepada Muhammad saw itu adalah seperti yang pernah datang kepada nabi-nabi sebelumnya. Oleh karena itu, yang disampaikan malaikat Jibril itu adalah agama yang benar-benar berasal dari Allah.” Kemudian Waraqah mengatakan bahwa ia akan mengikuti agama yang dibawa Muhammad itu.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-Qalam ayat 2


 

Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 176-182

0
Tafsir Surah As-Shaffat
Tafsir Surah As-Shaffat

Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 176-182 merupakan series terakhir dari tafsir kali ini, yang diawali dengan tantangan Allah kepada orang kafir yang mengingkari adanya azab atas mereka.

Disisi lain, Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 176-182 juga berbicara tentang perintah Allah kepada Muhammad dan kaum yang beriman untuk senantiasa memuji-Nya, yaitu dari sifat-sifat yang kurang, sebagaimana yang dipersepsikan oleh kaum-kaum yang ingkar.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 170-175


Ayat 176-177

Setelah orang-orang kafir itu diancam kekalahan di dunia, supaya mereka beriman, mereka diancam dengan azab akhirat.

Karena keingkaran atau karena tidak percaya adanya azab akhirat itu, mereka menantang Nabi saw agar menyegerakan terjadinya azab akhirat itu waktu di dunia ini juga.

Untuk menjawab tantangan itu, Allah bertanya apakah betul-betul mereka menginginkan azab akhirat itu disegerakan.

Allah menyatakan bahwa bila azab akhirat itu disegerakan dan diturunkan ke halaman rumah mereka, maka malapetaka yang menimpa akan tak terkirakan.

Yaitu datangnya malapetaka itu pada pagi hari, yakni di saat orang-orang yang diancam itu masih ingin menambah tidurnya menjelang matahari terbit, sehingga mereka belum siap menghadapinya.

Hebatnya malapetaka pagi hari dapat diambil contohnya dari serangan Nabi saw terhadap Khaibar di waktu subuh yang mengakibatkan jatuhnya benteng itu:

عَنْ اَنَسٍ رَضِيَ الله ُعَنْهُ قَالَ: صَبَحَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْبَرَ فَلَمَّا خَرَجُوْا بِفُؤُسِهِمْ وَمَسَاحِيْهِمْ وَرَأَوْا الْجَيْشَ رَجَعُوْا وَهُمْ يَقُوْلُوْنَ: مُحَمَّدٌ وَاللهِ مُحَمَّدٌ وَالْخَمِيْسُ فَقَالَ النَّبِيُ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ : الله ُاَكْبَرُ خُرِبَتْ الخْيَبَر اِنَّا اِذَا نَزَلْنَا بِسَاحَةِ قَوْم فَسَاءَ صَبَاحُ المُنْذَ رِيْنَ. (رواه البخاري و مسلم)

Dari Anas r.a. bahwa ia berkata, “Rasulullah pada pagi hari berada di Khaibar. Ketika mereka (Yahudi penduduk Khaibar) keluar dengan kampak dan tombak mereka, dan melihat pasukan, mereka lari dan berteriak, “Muhammad, demi Allah, Muhammad, dan pasukannya!” Nabi berkata, “Allah Mahaagung, Khaibar hancur. Kita bila sampai di halaman mereka, itu adalah subuh yang jelek sekali bagi orang-orang yang diancam itu.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).


Baca Juga: Tafsir Surat Al-Fath Ayat 1-3: Kunci Kemenangan Ada pada Perdamaian


Ayat 178-179

Menghadapi tantangan kaum kafir agar azab akhirat disegerakan bagi mereka, Allah memerintahkan Nabi untuk berpaling, yaitu menunjukkan sikap tidak suka pada sikap pembangkangan mereka, tidak menghiraukan ancaman mereka, dan melanjutkan dakwah kepada mereka dengan penuh tawakal kepada Allah, dan melihat perkembangan selanjutnya, yaitu menunggu.

Untuk itu diperlukan sikap sabar dan tawakal sebagaimana sikap yang lalu pada waktu menunggu kehancuran mereka di dunia. Dengan demikian azab akhirat itu pasti mereka terima.

Ayat 180-182

Selanjutnya Allah memerintahkan Nabi Muhammad saw agar bertasbih mensucikan Allah dari segala sifat kekurangan dan kelemahan.

Allah Mahaperkasa, tidak lemah sebagaimana pandangan kaum kafir itu, yang membutuhkan anak, teman hidup, dan tidak mampu memenangkan mereka yang beriman atau menjatuhkan azab segera.

Karena Ia Mahasuci dari sifat kekurangan dan kelemahan itu, maka ia pasti akan menghukum yang kafir dan jahat dan membahagiakan yang beriman dan berbuat baik.

Kepada para rasul dan pengikut mereka, khususnya kepada Nabi Muhammad dan umat Islam, Allah memberikan selamat, yaitu memastikan bahwa mereka memperoleh kemenangan di dunia dan kebahagiaan nanti di akhirat, yaitu menjadi penghuni surga.

Dengan hancurnya mereka yang membangkang dan diazabnya mereka di dalam neraka, dan menangnya mereka yang beriman dan masuknya mereka menjadi penghuni surga, berarti Allah Mahaadil dan Mahakuasa.

Ia memberi ganjaran yang baik sesuai dengan kebaikannya dan membalas perbuatan yang jahat sesuai dengan kejahatannya. Dengan demikian terbuktilah bahwa Ia terpuji dan memang patut selalu dipuji.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 170-175

0
Tafsir Surah As-Shaffat
Tafsir Surah As-Shaffat

Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 170-175 menegaskan kembali apa yang pernah diminta oleh orang kafir Mekah kepada Allah, yaitu diutusnya seorang Rasul. Namun, setelah Rasul itu dihadirkan, mereka justru menentangnya dengan berbagai alasan, padahal sudah nyata bahwa Muhammad adalah utusan-Nya, tidak ada sosok yang pantas menyandang Nabi terakhir melainkan dirinya. Dan, Allah selalu menuntun dan melindungi Muhammad dalam mensyiarkan dakwah Islam kepada manusia.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 165-169


Ayat 170

Allah menjelaskan bahwa rasul yang mereka tunggu-tunggu itu sebenarnya sudah datang, yaitu Nabi Muhammad dan pedoman yang mereka dambakan itu sudah ada yaitu Al-Qur’an.

Akan tetapi, mereka mengingkari nabi dan kitab suci tersebut. Tindakan mereka itu diterangkan dalam ayat lain:

وَاَقْسَمُوْا بِاللّٰهِ جَهْدَ اَيْمَانِهِمْ لَىِٕنْ جَاۤءَهُمْ نَذِيْرٌ لَّيَكُوْنُنَّ اَهْدٰى مِنْ اِحْدَى الْاُمَمِۚ فَلَمَّا جَاۤءَهُمْ نَذِيْرٌ مَّا زَادَهُمْ اِلَّا نُفُوْرًا

Dan mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sungguh-sungguh bahwa jika datang kepada mereka seorang pemberi peringatan, niscaya mereka akan lebih mendapat petunjuk dari salah satu umat-umat (yang lain). Tetapi ketika pemberi peringatan datang kepada mereka, tidak menambah (apa-apa) kepada mereka, bahkan semakin jauh mereka dari (kebenaran) (Fathir/35: 42).

Di akhir ayat, Allah swt menegaskan bahwa mereka yang kafir nanti akan tahu apa akibat kekafiran mereka. Yaitu bahwa mereka akan sengsara baik di dunia dengan kekalahan, maupun di akhirat yaitu disiksa dalam neraka selama-lamanya. Ancaman itu seharusnya membuat mereka takut lalu beriman.


Baca Juga: Membincang Kebahagiaan dalam Al-Qur’an: Hakikat, Bentuk, dan Cara Menggapainya


Ayat 171-173

Allah menegaskan bahwa ketetapan-Nya telah berlaku sejak semula berkenaan dengan para rasul-Nya. Mereka itu dibela oleh Allah dan hamba-hamba-Nya yang beriman akan menang. Pernyataan bahwa Allah akan membantu para rasul-Nya ditegaskan dalam ayat lain:

اِنَّا لَنَنْصُرُ رُسُلَنَا وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ يَقُوْمُ الْاَشْهَادُ

Sesungguhnya Kami akan menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari tampilnya para saksi (hari Kiamat). (Gafir/40: 51).

Bahwa para rasul Allah beserta kaum yang beriman akan menang ditegaskan pula dalam ayat lain:

كَتَبَ اللّٰهُ لَاَغْلِبَنَّ اَنَا۠ وَرُسُلِيْۗ اِنَّ اللّٰهَ قَوِيٌّ عَزِيْزٌ

Allah telah menetapkan, “Aku dan rasul-rasul-Ku pasti menang.” Sungguh, Allah Mahakuat, Mahaperkasa. (al-Mujadalah/58: 21).

Bukti ketetapan Allah itu sudah jelas dari pengalaman umat-umat terdahulu sebagaimana sudah dibaca kisah-kisah mereka dalam ayat-ayat sebelum ini, yaitu bahwa rasul-rasul Allah beserta mereka yang beriman mendapat pertolongan dari-Nya, sedangkan umat mereka yang durhaka mengalami kehancuran.

Begitu pulalah Nabi Muhammad saw, beliau dan pengikutnya akan dibantu oleh Allah sebagaimana rasul-rasul-Nya yang lain, dan beliau beserta kaum Muslimin akan menang menghadapi kaum kafir Mekah, cepat atau lambat.

Ayat 174-175

Untuk mewujudkan kemenangan itu, Allah meminta Nabi Muhammad agar berpaling dari mereka.

Maksudnya yaitu menunjukkan sikap tidak suka pada sikap pembangkangan mereka, tidak menghiraukan ancaman mereka, dan melanjutkan dakwah pada mereka dengan penuh tawakal kepada Allah, sebagaimana diperintahkan Allah dalam ayat lain:

وَلَا تُطِعِ الْكٰفِرِيْنَ وَالْمُنٰفِقِيْنَ وَدَعْ اَذٰىهُمْ وَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗوَكَفٰى بِاللّٰهِ وَكِيْلًا

Dan janganlah engkau (Muhammad) menuruti orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, janganlah engkau hiraukan gangguan mereka dan bertawakallah kepada Allah.Dan cukuplah Allah sebagai pelindung. (al-Ahzab/33: 48).

Di samping diperintahkan berpaling, Nabi Muhammad juga diperintahkan untuk melihat perkembangan selanjutnya, yaitu menunggu, karena pertolongan Allah pasti datang.

Pertolongan itu adalah takluknya kota Mekah, sebagaimana dinyatakan ayat berikut:

اِذَا جَاۤءَ نَصْرُ اللّٰهِ وَالْفَتْحُۙ  ١  وَرَاَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُوْنَ فِيْ دِيْنِ اللّٰهِ اَفْوَاجًاۙ  ٢  فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُۗ اِنَّهٗ كَانَ تَوَّابًا ࣖ  ٣

Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,  dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah, maka bertasbihlah dalam dengan Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat. (an-Nashr/110: 1-3).

Mereka juga akan melihat perkembangan dan menunggu. Tetapi yang mereka tunggu hanyalah kekalahan.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah As-Shaffat 176-182


Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 165-169

0
Tafsir Surah As-Shaffat
Tafsir Surah As-Shaffat

Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 165-169 berbicara tentang pengakuan malaikat sendiri bahwa mereka hanyalah hamba Allah yang senantiasa melaksanakan tugas yang diamanatkan pada mereka. Tidak pernah ingkar, dan selalu melantunkan tasbih kepada-Nya. Berbeda sekali dengan kaum kafir Mekah, yang ingkar, bahkan dengan apa yang pernah mereka harapkan saja, mereka tidak bisa komitmen, padahal Allah telah mengabulkannya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 158-164


Ayat 165

Lebih jauh para malaikat itu menjelaskan bahwa mereka dalam menjalankan tugasnya berbaris-baris, yaitu selalu sigap melaksanakan tugasnya dan bekerjasama dalam kesatuan-kesatuan yang kuat.

Dengan berbaris-baris seperti itu maka tugas dilaksanakan mereka dengan penuh semangat, gegap-gempita, dan sempurna, sehingga pelaksanaan tugas itu sukses secara maksimal tanpa ada yang kurang atau yang lebih.

Pelaksanaan tugas secara serius itu memberikan petunjuk bahwa mereka sangat patuh kepada Allah dan menjalankan perintah-Nya.

Kepatuhan dan keseriusan malaikat menjalankan tugasnya itu perlu ditiru oleh kaum Muslimin. Dalam sebuah hadis sahih yang diriwayatkan oleh Muslim yang bersumber dari Jabir bin Samurah, ia mengatakan:

عَنْ جَابِر بْنِ سَمُرَةَ قاَلَ: خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ نَحْنُ فِى الْمَسْجِدِ فَقَالَ: اَلاَ تَصُفُّوْنَ كَمَا تَصُفُّ الْمَلاَئِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا. فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَيْفَ تَصُفُّ الْمَلاَئِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا؟ قَالَ: يُتِمُّوْنَ الصُّفُوْفَ اْلأُولَ وَيَتَرَاصُّوْنَ فِى الصَّفِّ. (رواه مسلم)

Dari Jabir bin Samurah bahwa Rasulullah suatu ketika keluar menemui kami sedang kami berada di dalam masjid, lalu beliau bersabda, “Mengapa kalian tidak berbaris seperti malaikat berbaris di sisi Tuhannya?” Lalu kami bertanya, “Ya, Rasulullah, bagaimana caranya malaikat-malaikat itu berbaris di sisi Tuhannya?” Rasulullah bersabda, “Mereka mengisi sampai penuh barisan pertama dan merapatkannya.” (Riwayat Muslim).

Karena terinspirasi oleh ayat itu, Khalifah Umar bin Khatthab mengatur saf-saf sebelum mengimami salat. Dilaporkan oleh Abu Nazrah:

كَانَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ اِذَا قيمت الصَّلاَة اِسْتَقْبَلَ النَّاسَ بِوَجْهِهِ ثُمَّ قَالَ : اَقِيْمُوْا صُفُوْفَكُمْ وَاسْتَوُوْا قِيَامًا يُرِيْدُ اللهُ تَعَالَى بِكُمْ هديَ الْمَلاَ ئِكَةِ ثُمَّ يَقُوْلُ: وَاِنَّا لَنَحْنُ الصَّافُّوْنَ  تَأَخَرْ يَا فُلاَن تَقَدَّمْ يَا فُلاَن ثُمَّ يَتَقَدَّمُ فَيُكَبِّرُ. (رواه ابن أبي حاتم وابن جرير)

Umar r.a. ketika iqamat dilantunkan, ia menghadap kepada jamaah dan berkata, “Atur saf-saf kalian, luruskan barisan kalian! Allah Ta’ala ingin kalian mengikuti perilaku malaikat.” Kemudian ia membaca ayat: “wa inna lanahnu as-Shaffun” “Hai Fulan mundur, hai Fulan maju!” Setelah itu ia maju ke depan dan membaca takbir (mengimami salat). (Riwayat Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Jarir).


Baca Juga: Kriteria Akhlak Mulia dalam Islam dan Empat Sifat Sebagai Pilarnya


Ayat 166

Kemudian Allah menjelaskan perilaku malaikat bahwa mereka selalu bertasbih kepada-Nya.

Bertasbih adalah mensucikan Allah dari sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya, baik berupa sifat-sifat kekurangan, seperti lemah, mengantuk, perlu pembantu/anak dan sebagainya atau sifat-sifat tercela seperti pemarah, zalim, dan sebagainya.

Bertasbih itu tidak cukup hanya dengan ucapan, dengan membaca subhanallah, tetapi perlu diiringi dengan perbuatan.

Contoh tasbih yang sempurna adalah apa yang dikerjakan malaikat, dimana mereka tidak hanya terus menerus memuji Allah tetapi juga melaksanakan sepenuhnya perintah-perintah-Nya.

Ayat 167-169

Dijelaskan bahwa kaum kafir Mekah itu sebelum kedatangan Nabi Muhammad sebenarnya sudah berjanji bahwa seandainya mereka memiliki kitab suci yang berisi pedoman seperti yang dimiliki oleh kaum Yahudi dan Nasrani, mereka akan beriman dan melaksanakan perintah yang tertera dalam kitab suci itu dengan sepatuh-patuhnya.

Mereka mengharapkan datangnya seorang rasul untuk membimbing mereka menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat seperti yang dipunyai mereka.

Mereka ingin pula mengalami kejayaan seperti yang pernah dialami kedua kaum itu di bawah nabi mereka masing-masing, karena umat di bawah pimpinan nabi pastilah terjamin kebahagiaan dan kejayaannya.

 (Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah As-Shaffat 170-175


Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 158-164

0
Tafsir Surah As-Shaffat
Tafsir Surah As-Shaffat

Pada tafsir yang lalu Allah mempertanyakan klaim liar orang kafir yang menganggap diri-Nya memiliki anak, namun pertanyaan itu tidak bisa dijawab, terlebih mereka juga tidak memiliki argumen kuat akan hal itu. Maka, pada Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 158-164 ini berbicara penegasan Allah bahwa diri-Nya tidaklah beranak, dan malaikat bukanlah anak Allah, melainkan makhluk yang taat kepada-Nya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah As-Shaffat Ayat 150-157


Ayat 158

Di samping kaum kafir Mekah itu memandang malaikat sebagai anak Allah, mereka juga memandang Allah punya hubungan nasab (kekerabatan) dengan jin. Yaitu bahwa Allah memperistri sejumlah jin-jin perempuan, dan dari hubungan itu lahirlah malaikat dan malaikat itu jenisnya perempuan.

Pandangan itu sangat keliru, karena bila demikian jin-jin itu berkedudukan sama dengan Allah, padahal mereka sendiri mengakui bahwa mereka pun nanti akan dihadirkan di depan-Nya, diminta tanggung- jawabnya berkenaan dengan perbuatan-perbuatan mereka, serta disiksa bila bersalah.

Dengan pertanggungjawaban itu berarti bahwa mereka tidaklah sama dengan Allah dan bukan keluarga Allah, tetapi adalah hamba-hamba-Nya yang akan diberi pahala bila berbuat baik dan akan dihukum bila berbuat jahat, sesuai dengan firman-Nya:

وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمٰنُ وَلَدًا سُبْحٰنَهٗ ۗبَلْ عِبَادٌ مُّكْرَمُوْنَ

Dan mereka berkata, “Tuhan Yang Maha Pengasih telah menjadikan (malaikat) sebagai anak.” Mahasuci Dia. Sebenarnya mereka (para malaikat itu) adalah hamba-hamba yang dimuliakan (al-Anbiya’/21: 26)

Baca Juga:

Ayat 159-160

Selanjutnya Allah menegaskan bahwa Ia Mahasuci dari segala anggapan dan pandangan seperti itu, bahwa Ia punya anak perempuan yaitu malaikat dan bahwa antara Ia dan jin ada hubungan kekerabatan.

Bahkan Ia Mahasuci dari apa pun pandangan manusia mengenai diri-Nya, karena keadaan-Nya yang sebenarnya tidak dapat dilukiskan manusia dengan sebenar-benarnya, karena Ia tidak akan dapat ditangkap mata, tidak dapat didengar telinga, dan tidak tergores di dalam hati. Orang yang berpandangan demikian adalah musyrik.

Hamba-hamba Allah yang terpilih, yaitu yang telah dijadikan-Nya memiliki sifat ikhlas, tidak akan mempunyai pandangan yang salah tentang-Nya.

Mereka selalu mengagungkan-Nya sejauh yang ia mampu mengagungkan-Nya, memuji-Nya sejauh yang ia mampu memuji-Nya, dan melaksanakan perintah-Nya dengan patuh sejauh yang ia mampu melaksanakannya.

Begitu pulalah malaikat dalam pandangan mereka. Malaikat bukanlah anak perempuan Allah, tetapi adalah hamba Allah yang selalu menghambakan diri kepada-Nya dan melaksanakan perintah-Nya tanpa pamrih sedikit pun.

Ayat 161-163

Pada ayat-ayat ini Allah menegaskan bahwa kaum kafir Mekah itu bersama sembahan-sembahan mereka, yaitu patung-patung dan berhala-berhala itu, tidak akan bisa mempengaruhi dan menyesatkan mereka yang beriman.

Hal itu karena dasar iman mereka mempertuhankan patung-patung itu tidak ada. Begitu juga menyatakan bahwa malaikat itu adalah anak-anak perempuan Allah.

Dasar suatu keimanan adalah wahyu, sedangkan Allah tidak pernah menurunkan wahyu tentang benarnya penyembahan berhala dan tentang malaikat sebagai putrinya.

Di samping itu mereka yang beriman kepada Allah, iman mereka kuat sehingga tidak akan terpengaruh oleh akidah mereka yang keliru. Bila ada yang terpengaruh, maka mereka adalah calon-calon penghuni neraka juga, yaitu orang-orang yang lemah imannya.

Mereka nanti akan dimasukkan ke dalam neraka Jahim bersama orang-orang yang mempengaruhinya.

Ayat 164

Pada ayat ini disampaikan pengakuan malaikat mengenai dirinya, yaitu bahwa mereka memanggul fungsi dan tugas tertentu.

Mereka menjalankan fungsi dan tugasnya itu tanpa mengurangi atau menambah sedikit pun dari yang diperintahkan Allah swt sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya:

 لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ

…yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (at-Tahrim/66: 6)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah As-Shaffat 165-169