Beranda blog Halaman 258

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 34-35

0
tafsir surah al isra'
tafsir surah al isra'

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 34-35 berbicara mengenai tatacara yang baik dalam membelanjakan harta anak yatim. Kedua berbicara mengenai perintah untuk berlaku adil dalam hal takaran dan timbangan barang dagangan.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 33


Ayat 34

Kemudian Allah swt melarang para hamba-Nya mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang baik. Mendekati harta anak yatim maksudnya ialah mempergunakan harta anak-anak yatim tidak pada tempatnya atau tidak memberikan perlindungan kepada harta itu, sehingga habis sia-sia.

Allah swt memberikan perlindungan pada harta anak yatim karena mereka sangat memerlukannya, sedangkan ia belum dapat mengurusi hartanya, dan belum dapat mencari nafkah sendiri.

Namun demikian, Allah swt memberikan pengecualian, yaitu apabila untuk pemeliharaan harta itu diperlukan biaya, atau dengan maksud untuk mengembangkannya, maka diperbolehkan bagi orang yang mengurus anak yatim untuk mengambilnya sebagian dengan cara yang wajar.

Oleh sebab itu, diperlukan orang yang bertanggung jawab untuk mengurus harta anak yatim. Orang yang bertugas melaksanakannya disebut wasiy (pengampu) dan diperlukan pula badan atau lembaga yang mengurusi harta anak yatim. Badan atau lembaga tersebut hendaknya diawasi aktivitasnya oleh pemerintah, agar tidak terjadi penyalahgunaan atau penyelewengan terhadap harta anak yatim tersebut.

Kemudian dalam ayat ini dijelaskan bahwa apabila anak yatim itu telah dewasa dan mempunyai kemampuan untuk mengurus dan mengembangkan hartanya, berarti sudah saatnya harta itu diserahkan kembali oleh pengampu kepadanya.

Setelah ayat itu turun, para sahabat Rasulullah yang mengasuh anak-anak yatim merasa takut, sehingga tidak mau makan dan bergaul dengan mereka. Oleh sebab itu, Allah menurunkan ayat ini:

وَاِنْ تُخَالِطُوْهُمْ فَاِخْوَانُكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ الْمُفْسِدَ مِنَ الْمُصْلِحِ ۗ

Dan jika kamu mempergauli mereka, maka mereka adalah saudara-saudaramu. Allah mengetahui orang yang berbuat kerusakan dan yang berbuat kebaikan. (al-Baqarah/2: 220)

Dari ayat ini jelas bahwa membelanjakan harta anak yatim dilarang apabila digunakan untuk kepentingan pribadi. Akan tetapi, apabila dibelanja-kan untuk pemeliharaan harta itu sendiri, atau untuk keperluan anak yatim, dan si pengampu betul-betul orang yang tidak mampu, maka hal itu tidak dilarang. Allah swt berfirman:

وَلَا تَأْكُلُوْهَآ اِسْرَافًا وَّبِدَارًا اَنْ يَّكْبَرُوْا ۗ وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ ۚ وَمَنْ كَانَ فَقِيْرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوْفِ

Dan janganlah kamu memakannya (harta anak yatim) melebihi batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (menyerahkannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barang siapa miskin, maka bolehlah dia makan harta itu menurut cara yang patut. (an-Nisa’/4: 6)

Allah swt memerintahkan kepada hamba-Nya agar memenuhi janji, baik janji kepada Allah ataupun janji yang dibuat dengan sesama manusia, yaitu akad jual beli dan sewa menyewa yang termasuk dalam bidang muamalah.

Az-Zajjaj menjelaskan bahwa semua perintah Allah dan larangan-Nya adalah janji Allah yang harus dipenuhi, termasuk pula janji yang harus diikrarkan kepada Tuhannya, dan janji yang dibuat antara hamba dengan hamba.

Yang dimaksud dengan memenuhi janji ialah melaksanakan apa yang telah ditentukan dalam perjanjian itu, dengan tidak menyimpang dari ketentuan agama dan hukum yang berlaku.

Di akhir ayat, Allah swt menegaskan bahwa sesungguhnya janji itu harus dipertanggungjawabkan. Orang-orang yang mengkhianati janji, ataupun membatalkan janji secara sepihak akan mendapat pembalasan yang setimpal.


Baca juga: Tiga Macam Bentuk Jadal (Perdebatan) Yang Direkam dalam Al-Quran


Ayat 35

Selanjutnya Allah memerintahkan kepada kaum Muslimin agar menyempurnakan takaran bila menakar barang dagangan. Maksudnya ialah pada waktu menakar barang hendaknya dilakukan dengan setepat-tepatnya dan secermat-cermatnya.

Oleh karena itu, seseorang yang menakar barang dagangan yang akan diserahkan kepada orang lain sesudah dijual tidak boleh dikurangi takarannya karena merugikan orang lain. Demikian pula kalau seseorang menakar barang dagangan orang lain yang akan ia terima sesudah dibeli, tidak boleh dilebihkan, karena juga merugikan orang lain.

Allah swt juga memerintahkan kepada mereka agar menimbang barang dengan neraca (timbangan) yang benar dan sesuai dengan standar yang ditetapkan. Neraca yang benar ialah neraca yang dibuat seteliti mungkin, sehingga dapat memberikan kepercayaan kepada orang yang melakukan jual beli, dan tidak memungkinkan terjadinya penambahan dan pengurangan secara curang.

Allah swt mengancam orang-orang yang mengurangi takaran dan timbangan ini dengan ancaman keras. Allah swt berfirman:

وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِيْنَۙ  ١  الَّذِيْنَ اِذَا اكْتَالُوْا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُوْنَۖ  ٢  وَاِذَا كَالُوْهُمْ اَوْ وَّزَنُوْهُمْ يُخْسِرُوْنَۗ  ٣

Celakalah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang)! (Yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dicukupkan, dan apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain), mereka mengurangi. (al-Mutaffifin/83: 1-3)

Di akhir ayat, Allah swt menjelaskan bahwa menakar atau menimbang barang dengan teliti lebih baik akibatnya bagi mereka karena di dunia mereka mendapat kepercayaan dari anggota masyarakat, dan di akhirat nanti akan mendapat pahala dari Allah dan keridaan-Nya, serta terhindar dari api neraka.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 36-37


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 33

0
tafsir surah al isra'
tafsir surah al isra'

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 33 berbicara mengenai larangan membunuh. Larangan ini ditujukan kepada pembunuhan tanpa alasan yang jelas. Di sini disebutkan pulan alasan-alasan pelarangan pembunuhan.


Baca juga: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 32


Ayat 33

Dalam ayat ini Allah swt melarang hamba-Nya membunuh jiwa yang diharamkan Allah. Maksud “membunuh jiwa” ialah menghilangkan nyawa manusia. Sedangkan yang dimaksud dengan “yang diharamkan Allah membunuhnya” ialah membunuh dengan alasan yang tidak sah atau tidak dibenarkan agama.

Adapun sebab mengapa Allah swt melarang para hamba-Nya menghilangkan nyawa manusia dengan alasan yang tidak dibenarkan ialah:

  1. Pembunuhan menimbulkan kerusakan. Islam melarang setiap tindakan yang menimbulkan kerusakan. Larangan itu berlaku umum untuk segala macam tindakan yang menimbulkan kerusakan, maka pembunuhan pun termasuk tindakan yang terlarang. Allah swt berfirman:

وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَاۗ

…janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. (al-A’raf/7: 85)

  1. Pembunuhan itu membahayakan orang lain. Ketentuan pokok dalam agama ialah semua tindakan yang menimbulkan mudarat bagi diri sendiri dan orang lain itu terlarang. Allah swt berfirman:

مَنْ قَتَلَ نَفْسًاۢ بِغَيْرِ نَفْسٍ اَوْ فَسَادٍ فِى الْاَرْضِ فَكَاَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيْعًاۗ وَمَنْ اَحْيَاهَا فَكَاَنَّمَآ اَحْيَا النَّاسَ جَمِيْعًا ۗ

…bahwa barang siapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. (al-Ma’idah/5: 32)

Rasulullah saw bersabda:

;لَزَوَالُ الدُّنْيَا عِنْدَ اللهِ أَهْوَنُ مِنْ قَتْلِ مُسْلِمٍ (رواه الترمذي عن عبد الله بن عمر)

Hilangnya dunia bagi Allah lebih rendah nilainya dibanding membunuh seorang muslim. (Riwayat at-Tirmizi dari Abdullah bin Umar)

  1. Mengganggu keamanan masyarakat yang membawa kepada musnahnya masyarakat itu sendiri. Karena apabila pembunuhan diperbolehkan, tidak mustahil akan terjadi tindakan saling membunuh di antara manusia, yang pada akhirnya manusia itu akan binasa.

وَمَنْ يَّقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَاۤؤُهٗ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيْهَا وَغَضِبَ اللّٰهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهٗ وَاَعَدَّ لَهٗ عَذَابًا عَظِيْمًا   ٩٣

Dan barang siapa membunuh seorang yang beriman dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka Jahanam, dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya. (an-Nisa’/4: 93)


 Baca juga: Mengenal Istilah Mad Wajib Muttashil dan Mad Jaiz Munfashil


Dalam ayat ini Allah swt memberikan pengecualian siapa yang boleh dibunuh melalui firman-Nya, “melainkan dengan sesuatu alasan yang dibenarkan agama.” Di antaranya ialah pria atau wanita yang berzina setelah terikat dalam hukum akad pernikahan dan orang yang dengan sengaja membunuh orang beriman yang dilindungi hukum.

Pengecualian seperti tersebut di atas, disebutkan dalam hadis Nabi:

لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلٰهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ: اَلنَّفْسُ بِالنَّفْسِ، وَالثَّيِّبُ الزَّانِي وَالتَّارِكُ لِدِيْنِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ. (رواه البخاري ومسلم عن عبد الله)

Tidak halal darah orang yang sudah mengucapkan dua kalimat syahadat, kecuali karena salah satu dari tiga perkara: Orang dibunuh karena ia membunuh, janda atau duda yang berzina, dan orang yang meninggalkan agamanya memisahkan diri dari kaum Muslimin. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari ‘Abdullah)

Kemudian Allah swt menjelaskan tindakan apa yang harus dilakukan oleh ahli waris dari yang terbunuh, dan siapa yang harus melaksanakan tindakan itu apabila secara kebetulan si terbunuh itu tidak mempunyai ahli waris.

Allah swt menetapkan bahwa barang siapa yang dibunuh secara zalim, yakni tanpa alasan yang benar, maka Allah telah memberikan kewenangan atau hak kepada ahli warisnya untuk menentukan pilihan hukuman bagi si pembunuh, yaitu antara hukum qi¡a¡ atau menerima diyat (tebusan), seperti yang telah ditetapkan dalam firman-Nya:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِى الْقَتْلٰىۗ

Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) qisas berkenaan dengan orang yang dibunuh. (al-Baqarah/2: 178). (lebih lanjut lihat penafsiran ayat ini pada jilid I).

Dan sabda Nabi Muhammad saw ketika penaklukan kota Mekah:

مَنْ قَتَلَ قَتِيْلاً فَأَهْلُهُ بَيْنَ خَيْرَتَيْنِ، إِنْ أَحَبُّوْا قَتَلُوْا وَإِنْ أَحَبُّوْا أَخَذُوْا الدِّيَةَ. (رواه أبو داود والنسائي عن أبي شريح الخزاعي)

Barang siapa membunuh, maka keluarga  yang terbunuh diberi hak memilih antara dua hal, apabila mereka mau, mereka dapat menuntut hukuman bunuh, dan bila mereka mau, mereka dapat menuntut diyat (tebusan). (Riwayat Abµ Dawud dan an-Nasa’i dari Abµ Syuraih al-Khuza’i)

Kemudian apabila secara kebetulan yang terbunuh tidak mempunyai ahli waris, maka yang bertindak menggantikan kedudukannya dalam menentukan pilihan hukuman ialah penguasa. Dalam hal ini penguasa boleh melimpahkan kekuasaannya kepada para qa«i (hakim) setempat, apabila dipandang perlu.

Dalam melaksanakan qisas, para penguasa yang diberi wewenang untuk melaksanakannya diperintahkan untuk tidak melampaui batas yang ditentu-kan, seperti yang telah terjadi di zaman Jahiliah.

Orang-orang di zaman Jahiliah tidak puas dengan hanya menuntut balas dengan kematian orang yang membunuh, akan tetapi menuntut pula kematian orang lain, apabila yang terbunuh dari kalangan bangsawan. Kalau yang terbunuh itu seorang bangsawan, sedang yang membunuh dari kalangan biasa, maka yang dituntut kematiannya dari kalangan bangsawan juga sebagai pengganti diri si pembunuh.

Pada ayat 178 Surah al-Baqarah terdapat isyarat yang kuat bahwa hukuman yang paling utama bagi keluarga si terbunuh adalah cukup dengan menuntut diyat atau memaafkan, bukan menuntut balas kematian.

Di akhir ayat, Allah swt menjelaskan bahwa ahli waris atau penguasa dalam melaksanakan hukuman kisas tidak boleh melampaui batas karena mereka mendapat pertolongan Allah, berupa pembalasan untuk memilih hukuman kisas atau hukuman diyat.

Oleh sebab itu, para hakim hendaknya berpedoman pada ketentuan tersebut dalam memutuskan perkara. Jangan sampai memutuskan perkara yang bertentangan dengan peraturan Allah atau melebihi ketentuan yang berlaku.

Ayat ini tergolong ayat Makkiyah dan termasuk dalam bagian ayat hukum yang pertama diturunkan. Dengan demikian, wajar apabila ayat ini hanya mengatur hukum bagi pembunuhan secara garis besarnya saja. Adapun keterangan secara terperinci diatur dalam ayat-ayat yang lain, yang penafsirannya telah dikemukakan pada jilid I.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 34-35


(Tafsir Kemenag)

Mengenal Dua Tafsir Karya Al-Ghazali, Jawahir al-Qur’an dan Al-Arba‘in fi Ushul al-Din

0
Mengenal Dua Tafsir Karya Al-Ghazali, Jawahir al-Qur’an dan Al-Arba‘in fi Ushul al-Din
Kitab Jawahir al-Qur’an

Meski lebih dikenal karena dedikasinya terhadap dunia tasawuf, Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Thusiy, atau Imam Al-Ghazali, juga merupakan seorang yang alim dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan, tak terkecuali Al-Qur’an. Di antara karyanya yang spesifik mengkaji tentang kalamullah adalah Jawahir al-Qur’an dan Al-Arba‘in fi Ushul al-Din, dua kitab yang mengulas tentang rahasia-rahasia (asrar) Al-Qur’an. Berikut ini merupakan pengalaman yang penulis dapatkan ketika berinteraksi dengan kedua kitab tersebut.

Kitab Jawahir al-Qur’an

Jika pembaca sekalian membuka kitab Jawahir al-Qur’an, pembaca akan menemukan hal yang cukup menarik pada bagian akhirnya. Disebutkan bahwa kitab ini secara tidak langsung memiliki part lanjutan yang ditulis, diberi nama, serta dicetak secara terpisah layaknya dua kitab yang berbeda.

Konten kitab Jawahir al-Qur’an sendiri sebenarnya terdiri dari tiga bagian (qism). Bagian pertama berjudul Al-Muqaddimat wa al-Sawabiq, berisi tentang pengantar maqashid Al-Qur’an, posisi Al-Qur’an di tengah-tengah ilmu pengetahuan, rahasia-rahasia (asrar) QS. Al-Fatihah, dan pembahasan lainnya. Bagian kedua berjudul Al-Maqashid, berisi 763 ayat yang menjadi inti (maqshud) dari Al-Qur’an. Dan bagian ketiga berjudul Al-Lawahiq, yang sedianya berisi penjabaran dari 763 ayat yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya. Bagian terakhir ini lah yang penulis maksudkan sebagai part lanjutan di atas.

Pada awal bagian ketiga ini, Al-Ghazali memang telah mengatakan dengan jelas bahwa bagian ini merupakan edisi tersendiri (mustaqil, mufrad), di luar kitab Jawahir. Ia menamakannya dengan Al-Arba‘in fi Ushul al-Din. Ia juga memberikan sinopsis Al-Arba‘in ini, yang tampaknya memiliki gaya sajian yang hampir sama dengan yang digunakan dalam Ihya’ Ulum al-Din.

Jika pembaca menelaah dua kitab ini secara berurutan, Jawahir terlebih dahulu kemudian Al-Arba‘in, maka pembaca tidak akan kaget dan bingung dengan narasi yang disajikan. Namun, tidak demikian dengan yang terjadi pada penulis.

Sekitar akhir tahun 2019, penulis berkesempatan menelaah kitab Al-Arba‘in. Kebetulan naskah yang penulis terima adalah cetakan Dar al-Kutub al-Islamiyyah. Begitu membuka halaman mukaddimah Imam Al-Ghazali, penulis dikejutkan dengan redaksi yang tiba-tiba menyebutkan,

أَمَّا بَعْدُ: وَلَعَلَّكَ تَقُوْلُ: هذِهِ الْأيَاتُ الَّتِى أَوْرَدْتَهَا فِي الْقِسْمِ الثَّانِي تَشْتَمِلُ عَلَى أَصْنَافٍ مُخْتَلِفَةٍ مِنَ الْعُلُوْمِ وَالْأَعْمَالِ

“Amma ba‘d: Barangkali engkau akan bertanya: “Ayat-ayat ini, yang telah Engkau (Al-Ghazali) sebutkan dalam bagian kedua memuat tentang macam-macam ilmu dan amalan-amalan yang berbeda…”

Mengapa tiba-tiba dalam awal pengantar sebuah kitab terdapat rujukan kepada kitab lain tanpa disertai rujukan yang jelas, nama kitab misalnya? Penulis pun sontak bertanya-tanya. Namun setelah membaca pengantar dari penerbit, penulis kemudian mengetahui bahwa kitab Al-Arba‘in ini merupakan part lanjutan dari kitab Jawahir, sebagaimana informasi yang dinukil dari Haji Khalifah dalam Kasyf al-Dzunun.

Baca juga: Menelisik Epistemologi Tafsir Susfistik Abu Hamid al-Ghazali

Kitab Al-Arba‘in fi Ushul al-Din

Seperti yang telah penulis sebutkan sebelumnya, kitab Al-Arba‘in memiliki beberapa kesamaan dengan kitab Ihya’. Kesamaan-kesamaan tersebut seperti terlihat dalam distribusi konten, gaya dan model sajian, serta pendekatan yang digunakan.

Kesamaan distribusi konten terlihat pada bagaimana Al-Ghazali membaginya menjadi 4 bagian. Bagian pertama berisi masalah-masalah akidah, kedua berisi amalan ibadah zahir, ketiga berisi akhlak-akhlak tercela (madhmumah), dan keempat berisi akhlak-akhlak terpuji (mahmudah). Masing-masing bagian memiliki 10 sub-bagian, sehingga totalnya berjumlah 40.

Sementara dari segi model sajian dan narasi, Al-Arba‘in tidak mengikuti gaya khas sajian ulasan Al-Qur’an, yakni penyebutan ayat diikuti uraiannya. Di sini ayat Al-Qur’an justru disesuaikan dengan judul sub-bagian yang ada. Bahkan, meskipun Al-Ghazali menyebutkan bahwa Al-Arba‘in berisi inti dari ayat-ayat yang telah disebutkan dalam Jawahir, tidak semua ayatnya (763 ayat) disebutkan secara terperinci. Ia benar-benar seperti kitab tersendiri yang tidak saling berkaitan.

Sedangkan dari segi pendekatan yang digunakan, sebagaimana kecenderungan yang dimiliki oleh Al-Ghazali, adalah ilmu tasawuf dan analisis filosofis. Di sini lah menurut penulis keunikan yang dimiliki oleh kitab Al-Arba‘in. Ia boleh jadi seperti kitab tafsir isyari karena berisi ulasan maksud dan tujuan ayat Al-Qur’an -yang ada dalam kitab Jawahir- dengan pendekatan tasawuf. Boleh jadi juga ia seperti kitab tasawuf murni yang sesekali mengadopsi dalil-dalil qurani.

Penutup

Walhasil, kitab Jawahir dan Al-Arba‘in merupakan satu kesatuan kitab yang mengkaji ayat-ayat pilihan Al-Ghazali dari dalam Al-Qur’an. Keduanya tidak dapat dipisahkan karena terkait satu sama lain. Kajian terhadap salah satunya tentu meniscayakan kajian kepada yang lain. Dan hendaknya dikaji secara berurutan, supaya mendapatkan pemahaman yang runtut dan tidak bingung. Wallahu a‘lam bi al-shawab.

Baca juga: Misykat Al-Anwar: Tafsir Ayat Cahaya dalam Perspektif Al-Ghazali

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 32

0
tafsir surah al isra'
tafsir surah al isra'

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 32 berbicar mengenai larangan mendekati perzinahan. Titik poin larangan tersebut sebenarnya adalah larangan melakukan zina. Pemakaian ungkapan “larangan mendekati zina” karena rata-rata perzinaah didahuluin dengan hal-hal yang mendekati perzinahan. Misalnya pergaulan tanpa control antara laki-laki dan perempuan dll.


Baca juga: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 30-31


Ayat 32

Dalam ayat ini, Allah swt melarang para hamba-Nya mendekati perbuatan zina. Maksudnya ialah melakukan perbuatan yang membawa pada perzinaan, seperti pergaulan bebas tanpa kontrol antara laki-laki dan perempuan, membaca bacaan yang merangsang, menonton tayangan sinetron dan film yang mengumbar sensualitas perempuan, dan merebaknya pornografi dan pornoaksi.

Semua itu benar-benar merupakan situasi yang kondusif bagi terjadinya perzinaan.

Larangan melakukan zina diungkapkan dengan larangan mendekati zina untuk memberikan kesan yang tegas, bahwa jika mendekati perbuatan zina saja sudah dilarang, apa lagi melakukannya. Dengan pengungkapan seperti ini, seseorang akan dapat memahami bahwa larangan melakukan zina adalah larangan yang keras, sehingga benar-benar harus dijauhi.

Yang dimaksud dengan perbuatan zina ialah hubungan kelamin yang dilakukan oleh pria dengan wanita di luar pernikahan, baik pria ataupun wanita itu sudah pernah melakukan hubungan kelamin yang sah ataupun belum, dan bukan karena sebab kekeliruan.

Selanjutnya Allah memberikan alasan mengapa zina dilarang. Alasan yang disebut di akhir ayat ini ialah karena zina benar-benar perbuatan yang keji yang mengakibatkan banyak kerusakan, di antaranya:

  1. Merusak garis keturunan, yang mengakibatkan seseorang akan menjadi ragu terhadap nasab anaknya, apakah anak yang lahir itu keturunannya atau hasil perzinaan. Dugaan suami bahwa istrinya berzina dengan laki-laki lain mengakibatkan timbulnya berbagai kesulitan, seperti perceraian dan kesulitan dalam pendidikan dan kedudukan hukum si anak. Keadaan seperti itu menyebabkan terganggunya pertumbuhan jiwa anak dan menghancurkan tatanan kemasyarakatan.
  2. Menimbulkan kegoncangan dan kegelisahan dalam masyarakat, karena tidak terpeliharanya kehormatan. Betapa banyaknya pembunuhan yang terjadi dalam masyarakat yang disebabkan karena anggota masyarakat itu melakukan zina.
  3. Merusak ketenangan hidup berumah tangga. Nama baik seorang perempuan atau laki-laki yang telah berbuat zina akan ternoda di tengah-tengah masyarakat. Ketenangan hidup berumah tangga tidak akan pernah terjelma, dan hubungan kasih sayang antara suami istri menjadi rusak.

Baca juga: Tafsir Nusantara: Mengenal Tafsir Fatihah Karya Raden Haji Hadjid


  1. Menghancurkan rumah tangga. Istri bukanlah semata-mata sebagai pemuas hawa nafsu, akan tetapi sebagai teman hidup dalam berumah tangga dan membina kesejahteraan rumah tangga. Oleh sebab itu, apabila suami sebagai penanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga, maka si istri adalah sebagai penanggung jawab dalam memeliharanya, baik harta maupun anak-anak dan ketertiban rumah tangga itu. Jadi jika si istri atau suami ternoda karena zina, kehancuran rumah tangga itu sukar untuk dielakkan lagi.
  2. Merebaknya perzinaan di masyarakat menyebabkan berkembangnya berbagai penyakit kelamin seperti sifilis (raja singa). Di samping itu, juga meningkatkan penyebaran penyakit AIDS atau penyakit yang menghancurkan sistem kekebalan tubuh (immunity) penderitanya, sehingga dia akan mati perlahan-lahan.

Secara singkat dapat dikemukakan bahwa perbuatan zina adalah perbuat-an yang sangat keji, yang menyebabkan hancurnya garis keturunan, menimbulkan kegoncangan dan kegelisahan dalam masyarakat, merusak ketenangan hidup berumah tangga, menghancurkan rumah tangga itu sendiri, dan merendahkan martabat manusia. Jika perbuatan itu dibiarkan merajalela di tengah-tengah masyarakat berarti manusia sama derajatnya dengan binatang.

Ayat ini mengandung larangan berbuat zina dan isyarat akan perilaku orang-orang Arab Jahiliah yang berlaku boros. Perzinaan adalah penyebab keborosan.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 33


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 30-31

0
tafsir surah al isra'
tafsir surah al isra'

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 30-31 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai pelapangan rizki oleh Allah kepada siapa yang dikehendakinya. Kedua berbicara mengenai kecaman terhadap prilaku orang jahiliah yang mengubur anak-anak perempuan mereka.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 27-29


Ayat 30

Kemudian Allah swt menjelaskan bahwa Dialah yang melapangkan rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Dia pula yang membatasi-nya. Semuanya berjalan menurut ketentuan yang telah ditetapkan Allah terhadap para hamba-Nya dalam usaha mencari harta dan cara mengembang-kannya.

Hal ini berhubungan erat dengan alat dan pengetahuan tentang pengolahan harta itu. Yang demikian adalah ketentuan Allah yang bersifat umum dan berlaku bagi seluruh hamba-Nya. Namun demikian, hanya Allah yang menentukan menurut kehendak-Nya.

Di akhir ayat ini, Allah swt menegaskan bahwa Dia Maha Mengetahui para hamba-Nya, siapa di antara mereka yang memanfaatkan kekayaan demi kemaslahatan dan siapa pula yang menggunakannya untuk kemudaratan.

Dia juga mengetahui siapa di antara hamba-hamba-Nya yang dalam kemiskinan tetap bersabar dan tawakal kepada Allah, dan siapa yang karena kemiskinan, menjadi orang-orang yang berputus asa, dan jauh dari rahmat Allah. Allah Maha Melihat bagaimana mereka mengurus dan mengatur harta benda, apakah mereka itu membelanjakan harta pemberian Allah itu dengan boros ataukah bakhil.

Oleh sebab itu, kaum Muslimin hendaknya tetap berpegang kepada ketentuan-ketentuan Allah, dengan menaati segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dalam membelanjakan harta hendaklah berlaku wajar. Hal itu termasuk sunnah Allah.


Baca juga: Perjalanan Teks Al-Quran: Transisi Media dan Otoritas


Ayat 31

Kemudian Allah swt melarang kaum Muslimin membunuh anak-anak mereka, seperti yang telah dilakukan oleh beberapa suku dari bangsa Arab Jahiliah. Mereka menguburkan anak-anak perempuan karena dianggap tidak mampu mencari rezeki, dan hanya menjadi beban hidup saja.

Berbeda dengan anak laki-laki yang dianggap mempunyai kemampuan untuk mencari harta, berperang, dan menjaga kehormatan keluarga. Anak perempuan dipandang hanya akan memberi malu karena bisa menyebabkan kemiskinan dan menurunkan martabat keluarga karena kawin dengan orang yang tidak sederajat dengan mereka.

Apalagi dalam peperangan, anak perempuan tentu akan menjadi tawanan, sehingga tidak mustahil akan mengalami nasib yang hina lantaran menjadi budak. Oleh karena itu, Allah swt melarang kaum Muslimin meniru kebiasaan Jahiliah tersebut, dengan memberikan alasan bahwa rezeki itu berada dalam kekuasaan-Nya.

Dia yang memberikan rezeki kepada mereka. Apabila Dia kuasa memberikan rezeki kepada anak laki-laki, maka Dia kuasa pula untuk memberikannya kepada anak perempuan. Allah menyatakan bahwa takut pada kemiskinan itu bukanlah alasan untuk membunuh anak-anak perempuan mereka.

Di akhir ayat ini, Allah swt menegaskan bahwa membunuh anak-anak itu adalah dosa besar, karena hal itu menghalangi tujuan hidup manusia. Tidak membiarkan anak itu hidup berarti memutus keturunan, yang berarti pula menumpas kehidupan manusia itu sendiri dari muka bumi. Hadis Nabi saw berikut ini menggambarkan betapa besarnya dosa membunuh anak:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ: قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ؟ قَالَ: أَنْ تَجْعَلَ ِللهِ نِدًّا وَهُوَ الَّذِيْ خَلَقَكَ. ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: أَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ خَشْيَةَ أَنْ يَطْعَمَ مَعَكَ. قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: أَنْ تُزَانِيَ بِحَلِيْلَةِ جَارِكَ. (رواه البخاري و مسلم)

Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’µd bahwa ia bertanya, “Wahai Rasulullah, dosa manakah yang paling besar? Rasulullah menjawab, “Bila engkau menjadikan sekutu bagi Allah, padahal Allah itulah yang menciptakanmu.” Saya bertanya lagi, “Kemudian dosa yang mana lagi?” Rasulullah saw menjawabnya, “Bila engkau membunuh anakmu karena takut anak itu makan bersamamu.” Saya bertanya lagi, “Kemudian dosa yang mana lagi?” Rasulullah saw menjawabnya, “Engkau berzina dengan istri tetanggamu.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Di samping itu, dapat dikatakan bahwa tindakan membunuh anak karena takut kelaparan adalah termasuk berburuk sangka kepada Allah. Bila tindakan itu dilakukan karena takut malu, maka tindakan itu bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, karena mengarah pada upaya menghancur-kan kesinambungan eksistensi umat manusia di dunia.

Selain mengungkapkan kebiasaan jahat yang dilakukan oleh orang-orang Arab di masa Jahiliah, ayat ini juga mengungkapkan tabiat mereka yang sangat bakhil.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 32


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 27-29

0
tafsir surah al isra'
tafsir surah al isra'

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 27-29 berbicara mengenai tiga hal. Pertama mengenai ungkapan terhadap orang-orang yang boros. Kedua mengenai akhlak tolong menolong antar manusia. ketiga mengenai cara-cara yang baik dalam penggunaan harta.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 25-26


Ayat 27

Kemudian Allah swt menyatakan bahwa para pemboros adalah saudara setan. Ungkapan serupa ini biasa dipergunakan oleh orang-orang Arab. Orang yang membiasakan diri mengikuti peraturan suatu kaum atau mengikuti jejak langkahnya, disebut saudara kaum itu. Jadi orang-orang yang memboroskan hartanya berarti orang-orang yang mengikuti langkah setan.

Sedangkan yang dimaksud pemboros dalam ayat ini ialah orang-orang yang menghambur-hamburkan harta bendanya dalam perbuatan maksiat yang tentunya di luar perintah Allah. Orang-orang yang serupa inilah yang disebut kawan-kawan setan. Di dunia mereka tergoda oleh setan, dan di akhirat mereka akan dimasukkan ke dalam neraka Jahanam.

Allah swt berfirman:

وَمَنْ يَّعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَّحْمٰنِ نُقَيِّضْ لَهٗ شَيْطٰنًا فَهُوَ لَهٗ قَرِيْنٌ

Dan barang siapa berpaling dari pengajaran Allah Yang Maha Pengasih (Al-Qur’an), Kami biarkan setan (menyesatkannya) dan menjadi teman karibnya. (az-Zukhruf/43: 36)

Dan firman Allah swt:

اُحْشُرُوا الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا وَاَزْوَاجَهُمْ وَمَا كَانُوْا يَعْبُدُوْنَ ۙ

(Diperintahkan kepada malaikat), ”Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman sejawat mereka dan apa yang dahulu mereka sembah. (as-Saffat/37: 22)

Di akhir ayat, dijelaskan bahwa setan sangat ingkar kepada Tuhannya, maksudnya sangat ingkar kepada nikmat Allah yang diberikan kepadanya, dan tidak mau mensyukurinya. Bahkan, setan membangkang tidak mau menaati perintah Allah, dan menggoda manusia agar berbuat maksiat.

Al-Karkhi menjelaskan keadaan orang yang diberi kemuliaan dan harta berlimpah. Apabila orang itu memanfaatkan harta dan kemuliaan itu di luar batas-batas yang diridai Allah, maka dia telah mengingkari nikmat Allah. Orang yang berbuat seperti itu, baik sifat ataupun perbuatannya, dapat disamakan dengan perbuatan setan.

Ayat ini diturunkan Allah dalam rangka menjelaskan perbuatan orang-orang Jahiliah. Telah menjadi kebiasaan orang-orang Arab menumpuk harta yang mereka peroleh dari rampasan perang, perampokan, dan penyamunan.

Harta itu kemudian mereka gunakan untuk berfoya-foya supaya mendapat kemasyhuran. Orang-orang musyrik Quraisy pun menggunakan harta mereka untuk menghalangi penyebaran agama Islam, melemahkan pemeluk-pemeluknya, dan membantu musuh-musuh Islam. Ayat itu turun untuk menyatakan betapa jeleknya usaha mereka.


Baca juga: Perjalanan Teks Al-Quran: Transisi Media dan Otoritas


Ayat 28

Dalam ayat ini dijelaskan bagaimana sikap yang baik terhadap orang-orang yang sangat memerlukan pertolongan, sedangkan orang yang dimintai pertolongan itu tidak mempunyai kemampuan untuk menolong.

Apabila hal itu terjadi pada seseorang, maka hendaklah ia mengatakan kepada orang itu dengan perkataan yang sopan dan lemah lembut. Jika ia mempunyai kesanggupan di waktu yang lain, maka hendaklah berjanji dengan janji yang bisa dilaksanakan dan memuaskan hati mereka.

Ayat 29

Selanjutnya dalam ayat ini, Allah swt menjelaskan cara-cara yang baik dalam membelanjakan harta. Allah menerangkan keadaan orang-orang yang kikir dan pemboros dengan menggunakan ungkapan jangan menjadi-kan tangan terbelenggu pada leher, tetapi juga jangan terlalu mengulurkan-nya.

Kedua ungkapan ini lazim digunakan orang-orang Arab. Yang pertama berarti larangan berlaku bakhil atau kikir, sehingga enggan memberikan harta kepada orang lain, walaupun sedikit.

Ungkapan kedua berarti melarang orang berlaku boros dalam membelanjakan harta, sehingga melebihi kemampuan yang dimilikinya. Kebiasaan memboroskan harta akan meng-akibatkan seseorang tidak mempunyai simpanan atau tabungan yang bisa digunakan ketika dibutuhkan.

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa cara yang baik dalam membelanja-kan harta ialah dengan cara yang hemat, layak dan wajar, tidak terlalu bakhil dan tidak terlalu boros. Terlalu bakhil akan menjadikan seseorang tercela, sedangkan terlalu boros akan mengakibatkan pelakunya pailit atau bangkrut.

Adapun keterangan-keterangan yang didapat dari hadis-hadis Nabi dapat dikemukakan sebagai berikut:

Imam A¥mad dan ahli hadis yang lain meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah saw bersabda:

وَمَا عَالَ مَنِ اقْتَصَدَ

Tidak akan menjadi miskin orang yang berhemat.;Hadis ini menjelaskan pentingnya berhemat, sehingga Nabi mengatakan bahwa orang yang selalu berhemat tidak akan menjadi beban orang lain atau menjadi miskin.

Imam al-Baihaq³ meriwayatkan sebuah hadis dari Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah saw bersabda:

َاْلإِقْتِصَادُ فِى النَّفَقَةِ نِصْفُ الْمَعِيْشَةِ.

Berlaku hemat dalam membelanjakan harta, separuh dari penghidupan.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 30-31


(Tafsir Kemenag)

Makna Pengulangan Lafaz al-Rahmān al-Rahīm dalam Surah al-Fatihah

0
Pengulangan Lafaz
Pengulangan Lafaz dalam Al-Quran

Pembahasan pengulangan lafaz dalam al-Qur’an  sudah lama dipermasalahkan oleh banyak peneliti (Orientalis). Mereka menganggap pengulangan ini sebagai problem teks. Berbeda dengan para ulama pengkaji Al-Quran, mereka berpendapat bahwa pengulangan lafaz adalah bagian dari aspek kesusastraan Al-Quran.

Maḥmūd bin Ḥamzah al-Karmānī (w. 505 H.) yang telah melakukan invetarisasi pengulangan lafaz yang dikategorikan per-surah, ia menemukan 589 pengulangan lafaz, dari surat al-Fātiah sampai surat al-Nās. Ibn Qutaibah (213-276 H.) berpendapat bahwa pengulangan yang terdapat dalam al-Qu’an berfungsi untuk menguatkan kandungan yang sudah dipaparkan sebelumnya dan memberi pemahaman yang mendalam.

Menurut Badr al-Dīn al-Zarkasyi, pengulangan lafaz (tikrār) lebih kuat secara makna (ablagh) dibandingkan dengan tawkīd (penggunaan kata penguatan). Hal ini karena pengulangan lafaz membangun makna dan maksud, sedang tawkīd menentukan keinginan makna dari kata/kalimat yang terdahulu dan menghilangkannya.

Baca Juga: Ayat-Ayat Al-Qur’an yang Turun Lebih dari Sekali dan Hikmah di Baliknya

Mutawalli al-Sya’rawi berpendapat bahwa pengulangan lafaz yang terdapat al-Qur’an hanya pengulangan secara lafaz, bukan pengulangan secara kandungan. Pendapat-pendapat ini menarik untuk dikaji, bagaimana konsistensi dan metode yang digunakan dalam mengeloborasi pengulangan dalam al-Qur’an.

Dalam pandangan al-Sha’rāwī, basmalah dimaknai  dengan pertolongan dari Allah Swt yang Maha Kuasa untuk setiap hambanya dalam melakukan segala sesuatu. Pertolongan-Nya bagi siapa pun, dan kapanpun selalu terbuka baik itu bagi seorang muslim yang taat maupun seseorang yang terjerumus melakukan maksiat.

Penafsiran ini sama dengan apa yang diutarakan Muḥammad ‘Alī al-Shābūnī, bahwa pembacaan basmalāh dalam setiap melakukan segala hal merupakan bentuk permintaan pertolongan kepada Allah Swt, pertolongan itu bagi setiap makhluk-Nya. Artinya, dua penafsir ini sepakat bahwa basmalāh merupakan perwujudan bahwa pertolongan Allah Swt selalu terbuka untuk setiap makhlukNya.

Itulah pemaknaan lafaz al-ramān al-raīm yang terdapat pada ayat pertama dari surah al-Fātiah, ayat  pertama ini juga mempunyai konteks yang mengelilinginya, baik itu hadis yang memberikan informasi tambahan mengenai basmallāh, maupun letak ayat ini pada surah pertama yang ada pada al-Qur’an.

Menurut al-Sha’rāwī, lafaz al-ramān al-raīm dalam basmalāh atau ayat pertama memiliki makna yang berbeda dengan makna dari lafaz al-ramān al-raīm dalam surah al-Fātiah pada ayat ketiga.

Lafaz ini pada basmalāh, mengingatkan kita bahwa pertolongan Allah Swt berupa rahmat (kasih sayang) dan ampunan Allah Swt. Sehingga, jika seorang hamba terjerumus/khilaf melakukan maksiat, tidak usah malu dan takut untuk memohon pertolongan dengan mengucapkan basmalāh.

Sungguh Allah Swt menginginkan hamba-Nya agar senantiasa memohon pertolongan dengan nama-Nya di setiap aktivitas. Jika seseorang jatuh pada jurang kemaksiatan, maka dia bertanya bagaimana kalau saya memohon pertolongan dengan basmalāh, sedangkan saya telah melakukan maksiat? Bagi  Al-Sha’rawi perkara ini termasuk pada bab rahmat, maka Allah Swt akan senantiasa mengampuni dan membantu.

Al-Sha’rawi dalam menafsirkan lafaz al-ramān al-raīm dalam ayat ketiga dari surah al-Fātiah, menghubungkan lafaz tersebut dengan kata rabb al-‘ālamīn. Menurutnya kata rabb al-‘ālamīn itu Dzat yang mengadakan semuanya, yang sebelumnya tidak ada. Allah Swt merupakan Rabb bagi orang yang beriman maupun orang kafir (tidak beriman). Oleh karenanya, Allah Swt pula yang memberikan mereka (orang beriman dan kafir) makanan, baik itu nikmat dan kasih sayang, itu semua bukan karena mereka yang meminta haknya.

Baca Juga: Makna dan Urgensi Perumpamaan dalam Al-Quran

Al-Sha’rāwī memberikan contoh nikmat dan kasih sayang yang dapat dirasakan dan dinikmati oleh semuanya, seperti nikmat sinar matahari dan hujan itu dirasakan bagi orang yang beriman maupun yang tidak. Jadi setiap nikmat yang itu berasal dari sisi rubūbiyyah Allah itu diperuntukkan bagi setiap ciptaannya di dunia, dan itu merupakan kasih sayang yang Allah berikan.

Allah Swt merupakan Rabb bagi semuanya, baik itu untuk hamba yang taat maupun hamba yang melakukan maksiat, dan itu juga perujudan kasih sayangnya, jadi dapat dipahami, lafaz al-ramān al-raīm pada ayat ke tiga merupakan kasih sayang Allah kepada makhluknya. Wallahu A’lam.

Tafsir Surah Nuh ayat 25-28

0
Tafsir Surah Nuh
Tafsir Surah Nuh

Tafsir Surah Nuh ayat 25-28 ini menerangkan bahwa Allah menenggelamkan umat Nabi Nuh dengan banjir yang luar biasa. 


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Nuh ayat 23-24


Ayat 25

Tafsir Surah Nuh ayat 25-28 khususnya Ayat ini menerangkan bahwa Allah menenggelamkan umat Nabi Nuh yang zalim itu dengan banjir yang luar biasa besarnya. Semua itu disebabkan keingkaran dan dosa mereka kepada Allah. Dalam keadaan demikian, tidak seorang pun yang dapat menghindarkan mereka dari azab Allah. Bahkan berhala yang mereka sembah itu tidak dapat menolong diri dari kehancuran, apalagi menolong orang lain. Di akhirat nanti, mereka akan dijebloskan ke dalam neraka Jahanam.

Dalam ayat-ayat yang sebelumnya, seperti dalam Surah Hud, telah diterangkan bahwa setelah Nabi Nuh berpendapat bahwa kaumnya tidak mungkin memperkenankan seruannya, maka atas wahyu Allah, beliau mulai membuat kapal. Setelah kapal selesai, banjir pun datang, sehingga Nuh dan keluarganya beserta orang-orang yang beriman dengannya dapat diselamatkan dengan kapal itu.

Ayat 26-27

Pada waktu terjadinya banjir itu, Nabi Nuh berdoa kepada Allah agar Dia memusnahkan seluruh orang-orang kafir dengan menenggelamkan mereka. Permohonan Nuh ini dikabulkan Allah.

Alasan Nabi Nuh berdoa kepada Allah agar memusnahkan seluruh orang-orang kafir adalah:

  1. Jika di antara mereka ada yang dibiarkan hidup, mereka tetap akan berusaha menyesatkan manusia.
  2. Jika di antara mereka ada yang dibiarkan hidup, mereka akan menurunkan anak-anak yang kafir pula dan akan berusaha menjadikan orang-orang lain menjadi kafir.

Nabi Nuh berkesimpulan bahwa orang-orang kafir yang berada di zamannya itu tidak mungkin lagi akan beriman. Kesimpulannya ini didasarkan pada pengalamannya menyeru mereka selama 950 tahun. Oleh karena itulah, dia berdoa kepada Tuhan agar seluruh orang kafir itu ditenggelamkan tanpa meninggalkan seorang pun di antara mereka.

Pada ayat yang lain, Allah berfirman:

وَنَصَرْنٰهُ مِنَ الْقَوْمِ الَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِاٰيٰتِنَاۗ اِنَّهُمْ كَانُوْا قَوْمَ سَوْءٍ فَاَغْرَقْنٰهُمْ اَجْمَعِيْنَ   ٧٧

Dan Kami menolongnya dari orang-orang yang telah mendustakan ayat-ayat Kami. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang jahat, maka Kami tenggelamkan mereka semuanya. (al-Anbiya’/21: 77)


Baca Juga: Kisah Nabi Nuh As dan Keingkaran Kaumnya Dalam Al-Quran


Ayat 28

Setelah Nuh berdoa kepada Allah agar membinasakan orang-orang kafir, beliau berdoa untuk keselamatan diri dan kedua orang tuanya serta seluruh orang-orang yang beriman.

Pada akhir ayat, Nuh memohon lagi kepada Allah agar menambah kesesatan orang-orang kafir, sehingga mereka akhirnya akan merasakan azab yang tidak terkirakan di hari Kiamat.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Nuh ayat 23-24

0
Tafsir Surah Nuh
Tafsir Surah Nuh

Tafsir Surah Nuh ayat 23-24 mengisahkan bahwa pembesar umat Nabi Nuh meminta agar tidak meninggalkan berhala sesembahan nenek moyang mereka dahulu. Bahkan dalam Tafsir Surah Nuh ayat 23-24 para pembesar tersebutlah yang menyesatkan umat Nabi Nuh, sehingga di akhir Tafsir Surah Nuh ayat 23-24 ini Nabi Nuh memohon ampunan kepada Allah swt. 


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Nuh ayat 22


Ayat 23

Pembesar-pembesar umat Nabi Nuh meminta kaumnya agar tidak meninggalkan tuhan-tuhan yang telah disembah nenek moyang mereka dahulu. Mereka disuruh untuk tetap menyembah berhala-berhala mereka yaitu, wadd, suwa‘, yuguts, ya‘uq dan nasr.

Kelima berhala tersebut merupakan berhala yang paling dihormati di antara sekian banyak berhala kabilah-kabilah kaum Nuh. Masing-masing kabilah juga mempunyai berhala-berhala sendiri yang berbeda-beda satu sama lain. Dari sinilah para ulama berpendapat bahwa agama syirik mulai berkembang pada zaman Nabi Nuh. Sebelumnya, yaitu pada masa Nabi Adam dan Idris, belum ada keyakinan syirik ataupun penyembahan berhala.

Penyembahan kepada banyak berhala itu kemudian turun kepada bangsa Arab. Oleh karena itu, bangsa Arab juga memiliki berhala-berhala yang dinamai dengan nama-nama yang pernah dipakai oleh umat Nuh.

Menurut riwayat al-Bukhari, Ibnu al-Mundzir, dan Ibnu Mardawaih dari Ibnu ‘Abbas bahwa ia berkata, “Kemudian berhala-berhala itu pindah kepada bangsa Arab, maka Wadd menjadi berhala kabilah Kalb, Suwa‘ menjadi berhala kabilah Husail, Yaguts menjadi berhala kabilah Murad yang kemudian berpindah kepada kabilah Guthaif; Ya‘uq menjadi berhala kabilah Hamdan, dan Nasr menjadi adalah nama berhala kabilah Himyar.”

Di samping itu, juga terdapat berhala-berhala selain tersebut dalam ayat di atas yang disembah oleh umat Nuh, yang kemudian berpindah pula kepada bangsa Arab, seperti al-Lat, berhala kaum Tsaqif di Tha’if; al-‘Uzza, berhala kabilah Sulaim, Gathfan, dan Jusyam; Manah, berhala kabilah Khuza‘ah di Qudaid; Asaf, Na’ilah, dan Hubal, berhala-berhala yang disembah penduduk Mekah. Hubal adalah berhala yang terbesar dan teragung, menurut mereka, yang diletakkan di atas Ka‘bah. Berhala-berhala itu mereka buat sendiri untuk disembah.

Perpindahan berhala-berhala itu dari bangsa-bangsa lain ke bangsa Arab seperti diisyaratkan oleh riwayat di atas menunjukkan bahwa ajaran monoteisme yang dibawa oleh Nabi Muhammad berlaku atau bersifat universal. Ajaran itu tidak hanya untuk bangsa Arab, tetapi juga untuk bangsa-bangsa lain.


Baca Juga: Kisah Nabi Nuh As dan Keingkaran Kaumnya Dalam Al-Quran


Ayat 24

Para pembesar dan pemimpin umat Nabi Nuh telah menyesatkan masyarakatnya dari jalan Allah dan mempengaruhi mereka dengan berbagai macam tipu muslihat, sehingga mereka mengikutinya. Dengan demikian, orang-orang yang datang sesudah mereka kemudian mengikuti jejak mereka, sampai kepada orang-orang Arab Jahiliah.

Doa Nabi Ibrahim berikut mengindikasikan bahwa penyembahan berhala itu terus berlangsung sampai ke zamannya. Oleh karena itulah, ia berdoa kepada Allah agar anak cucunya terhindar dari meyembah berhala tersebut. Firman Allah:

وَاِذْ قَالَ اِبْرٰهِيْمُ رَبِّ اجْعَلْ هٰذَا الْبَلَدَ اٰمِنًا وَّاجْنُبْنِيْ وَبَنِيَّ اَنْ نَّعْبُدَ الْاَصْنَامَ ۗ  ٣٥  رَبِّ اِنَّهُنَّ اَضْلَلْنَ كَثِيْرًا مِّنَ النَّاسِۚ فَمَنْ تَبِعَنِيْ فَاِنَّهٗ مِنِّيْۚ وَمَنْ عَصَانِيْ فَاِنَّكَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ٣٦ 

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa, “Ya Tuhan, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku agar tidak menyembah berhala. Ya Tuhan, berhala-berhala itu telah menyesatkan banyak dari manusia. Barang siapa mengikutiku, maka orang itu termasuk golonganku, dan barang siapa mendurhakaiku, maka Engkau Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Ibrahim/14: 35-36)

Pada akhir ayat ini, Nuh berdoa agar Allah menambah kesesatan kaumnya itu. Hal itu ia lakukan karena mereka sudah zalim, yaitu ingkar dan semakin ingkar ketika dinasihati. Doa itu dimohonkan Nabi Nuh setelah melihat bahwa kaumnya tidak mungkin lagi dinasihati dengan cara apa pun.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Nuh ayat 25-28


 

Tafsir Surah Nuh ayat 17-22

0
Tafsir Surah Nuh
Tafsir Surah Nuh

Dalam Tafsir Surah Nuh ayat 17-22 Nuh menerangkan kepada kaumnya bahwa Allah wajib disembah karena Allah lah yang menciptakan manusia tumbuh dengan nutrisi yang berasal dari tanah. Selain itu diingatkan pula dalam Tafsir Surah Nuh ayat 17-22 bahwa manusia pasti akan mati.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Nuh ayat 16


Ayat 17

Nabi Nuh selanjutnya menerangkan kepada kaumnya bahwa Allah Yang Maha Esa dan wajib disembah itu adalah Tuhan yang membuat manusia tumbuh dengan nutrisi yang berasal dari tanah. Di samping itu, manusia juga diciptakan dari tanah yaitu dari mani dan ovum yang terbentuk dari makanan yang berasal dari tanah.

Dari mani dan ovum yang terbentuk dari nutrisi yang berasal dari tanah itu terjadi pembuahan, kemudian mereka tumbuh menjadi manusia seperti tumbuhnya tanaman. Tanaman dalam perjalanan hidupnya mengalami berbagai macam proses, manusia juga demikian. Umat kaum Nuh tidak mengambil pelajaran dari proses penciptaan manusia itu. Mereka tetap mengingkari Tuhan dan tidak mempercayai kebesaran-Nya. Inilah yang diingatkan oleh Nabi Nuh kepada mereka dalam ayat ini.

Ayat 18

Nabi Nuh juga menerangkan kepada kaumnya bahwa mereka akan mati dan akan dikembalikan ke dalam tanah atau dikuburkan. Selanjutnya mereka akan dikeluarkan dari tanah itu pada hari Kiamat untuk diminta pertanggungjawabannya. Karena adanya pertanggungjawaban itu, mereka seharusnya beriman dan berbuat baik dalam kehidupan di dunia ini.

Ayat 19-20

Allah menegaskan lagi nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepada manusia, yaitu Dia telah menciptakan bumi luas dan datar sehingga mereka dapat menjalankan kehidupan dengan mudah. Dengan datarnya permukaan bumi, manusia dapat membuat jalan sehingga mereka dapat menjelajahi bumi sampai ke tempat-tempat yang jauh letaknya.

Ayat-ayat ini menggambarkan bahwa bumi telah dijadikan Allah relatif datar (plane), terlepas dari fakta bahwa di bumi banyak gunung yang dijadikan sebagai tiang pancang permukaan bumi, dan fakta bahwa 70% dari permukaan bumi berupa permukaan laut. Namun demikian, profil permukaan bumi relatif lebih rata dan mulus dibandingkan dengan planet atau benda-benda langit lainnya di alam semesta. Menurut para ahli, kondisi bumi termasuk permukaannya sangat sesuai dengan kondisi kehidupan dan kenyamanan manusia yang menghuninya.

Allah dengan kerahmanan-Nya telah mengkondisikan permukaan bumi sehingga manusia menikmati kenyamanan kehidupan di dunia. Mengapa Allah menjadikan permukaan bumi datar (sebagai hamparan)? Sebabnya ialah supaya manusia dapat menjelajahi jalan-jalannya. Ini berarti bahwa Allah mengharapkan manusia agar mempelajari dan mengeksplorasi seluruh permukaan maupun kandungan perut bumi. Yang dimaksud dengan “menjalani jalan-jalan” ini ialah bukan hanya secara fisik menjelajahi permukaan bumi, tapi juga secara ilmiah.

Untuk mencapai atau menghasilkan pengetahuan manusia perlu mengembara, menjelajahi seraya mengamati seluruh seluk beluk dan semua pelosok bumi, agar bisa menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah di permukaan bumi. Akumulasi pengetahuan manusia mengenai bumi disebut ilmu bumi, dan pada perkembangan lebih lanjut manusia perlu mempelajari ilmu bumi dan juga ilmu-ilmu kebumian serta ilmu pengetahuan dan teknologi yang relevan untuk dapat mengelola bumi ini.

Ayat 21

Nuh mengadu kepada Allah bahwa umatnya tetap durhaka kepadanya. Mereka tidak mau mengikuti seruannya, dan tetap mengikuti pemimpin-pemimpin mereka yang terdiri dari orang-orang kaya, yang mempunyai harta dan anak-anak yang banyak. Akan tetapi, harta itu hanya digunakan untuk berfoya-foya. Anak-anak mereka juga tidak dididik dengan baik, sehingga bila dewasa nanti, mereka menjadi sesat dan jahat

Ayat 22

Tafsir Surah Nuh ayat 17-22 khususnya Ayat ini menerangkan bahwa para pembesar dan pemimpin umat Nabi Nuh, melakukan segala macam tipu muslihat untuk menghambat dan menghancurkan agama yang dibawa Nabi Nuh. Di antaranya adalah dengan menghalangi dan mengancam orang-orang yang hendak mengikuti seruan Nuh, memperkuat kedudukan berhala, dan bahkan menghasut masyarakat untuk menganiaya Nabi Nuh.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Nuh ayat 23-24